Anda di halaman 1dari 5

Nama : Achmad Robbert Robby

Nim : 20010001

Prodi : S1 Ilmu Keperawatan

Judul Esai : Analisis Resistensi Masyarakat Terhadap Kebijakan Pembatasan Sosial


Berskala Besar (PSBB) Pemerintah Indonesia Melalui Perspektif Teori Strukturasi Giddens

Persebaran pandemi covid-19 telah menggegerkan dunia beberapa bulan ini. Sudah hampir
tiga bulan lebih pemerintah Republik Indonesia menggelar konferensi pers guna mengumumkan
kasus positif covid-19, namun publik tampak acuh tak acuh terhadappandemi covid-19 ini.
Pemerintah dan media sudah gencar mengumumkan bahaya virus covid-19, antara lain
menyebabkan batuk, demam, kesulitan bernafas, hingga menyebabkan kematian. Untuk
menertibkan masyarakat dan mengurangi tingkat penularan virus covid-19, pemerintah segera
membuat kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB). PSBB atau bisa diartikan sebagai lockdown parsial merupakan salah satu intervensi yang
dilakukan pemerintah setelah mengimbau masyarakat untuk menjaga jarak (physical distancing)
(Dwirahmadi, 2020). Terhitung sejak 3 Mei 2020, penerapan PSBB semakin meluas di empat
provinsi dan 22 kabupaten/kota (Sakti, 2020). PSBB diyakini sebagai cara efektif untuk memutus
persebaran dan pemerataan kurva eksponensial. Para ahli telah membuktikan penghitungan
tersebut secara matematis. Mereka mengatakan bahwa penyebaran dapat diperlambat jika
masyarakat mempraktikkan “jarak sosial” dengan menghindari ruang publik dan membatasi
pergerakan mereka secara umum (Stevens, 2020). Implikasi dari PSBB bertujuan untuk membatasi
mobilitas masyarakat, yaitu dengan membatasi jumlah penumpang transportasi umum dan
menutup sementara tempat - tempat umum seperti pasar, sekolah, perkantoran, tempat ibadah, dll.
Di tengah lonjakan kurva sebaran pandemi covid-19 ini, banyak masyarakat yang tidak
mengindahkan kebijakan PSBB. Hal tersebut dibuktikan melalui kurva kasus covid-19 yang terus
meningkat di Indonesia. Ahli Epidemiologi, Pandu Riono Indonesia mengatakan bahwa Indonesia
tengah berjalan menuju puncak kurva pandemi virus covid-19 (Mashabi, 2020). Di lain sisi, Ketua
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo menyatakan sebanyak 81 persen
masyarakat ingin segera mengakhiri Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Fenomena ini menunjukkan bahwa terdapat resistensi masyarakat terhadap kebijakan PSBB.
Melalui esai ini, penulis hendak menganalisis resistensi masyarakat terhadap kebijakan PSBB
yang didukung dengan teori strukturasi Anthony Giddens. Dalam teori strukturasi Giddens, relasi
negara-media-masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem yang di dalamnya terdapat perilaku -
perilaku yang ditujukan untuk mencapai cita-cita. Di dalam sistem tersebut, terdapat struktur yang
terdiri atas aturan - aturan dan sumber daya yang digunakan oleh agensi dalam menjaga dan
memelihara sistem tersebut. Negara dapat dipahami sebagai struktur dan masyarakat dapat
dipahami sebagai agensi, begitu juga media yang merupakan salah satu elemen dari masyarakat.
Struktur akan dipelajari oleh agensi sesuai dengan budaya organisasi, pengalaman, dan nilai
pribadinya. Struktur dipandang sebagai sesuatu yang berlaku dan dipatuhi, namun di saat yang
bersamaan juga memiliki kemungkinan untuk berubah. Peraturan - peraturan yang ada di dalam
struktur sangat mungkin berubah karena faktor agensi sangat diperhitungkan. Agensi dapat
menyetujui atau melakukan resistensi terhadap peraturan yang ada di dalam struktur. Menurut
Giddens, struktur dan agensi harus dipandang sebagai dualitas (duality) di mana hubungan antara
keduanya bersifat dialektik. Artinya, kedudukan antara struktur dan agensi saling mempengaruhi
satu sama lain dan hal ini berlangsung terus menerus, tanpa henti (Ashaf, 2006). Oleh karena itu,
fokus utama dari teori ini adalah “social practice”, yaitu bagaimana hubungan agensi (masyarakat
dan media) dengan struktur (negara) dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dalam proses
tersebut, agensi tidak bisa dipandang sebagai manusia statis yang pasrah menerima segala kondisi
yang diciptakan struktur karena mereka memiliki fungsi dan kesadaran agensi yang digunakan
untuk mencapai tujuan personal yang sangat heterogen. Resistensi masyarakat terhadap penerapan
kebijakan PSBB dipicu oleh beberapa hal yang merugikan masyarakat. Yang pertama fenomena
penolakan PSBB yang terjadi di daerah. Situs kompas.com pada tanggal 20 Mei 2020
memberitakan bahwa terdapat penolakan PSBB oleh pedagang kaki lima (PKL) dan warga di Kota
Dumai, Riau (Purnamasari, 2020). PKL dan warga menolak kebijakan PSBB karena mereka
menilai bahwa PSBB telah menyebabkan penurunan pendapatan. Survei jurnalisme presisi tentang
PSBB dan mudik lebaran yang dilakukan oleh puslitbangdiklat RRI dan Indo Barometer
menunjukkan 40,3% responden mengatakan kesulitan mencari nafkah sebagai alasan utama
menolak PSBB. Dalam hal ini terdapat ketidaksesuaian antara kehendak struktur dan agensi.
Ketidaksesuaian tersebut disebabkan karena peraturan yang diciptakan oleh struktur hanya
mengutamakan kepentingan parsial, yakni memutus rantai persebaran virus covid-19.
PSBB dinilai telah mengabaikan masyarakat yang bergantung pada perekonomian harian.
Kesadaran agensi untuk bertahan hidup ternyata tidak sejalan dengan peraturan struktur.
Ketidaksesuaian antara idealisme struktur dengan kesadaran agensi untuk bertahan hidup telah
menimbulkan resistensi berupa penolakan PSBB di daerah. Di lain sisi, sifat kebijakan PSBB yang
tergolong baru ini juga dinilai berpengaruh terhadap kepatuhan masyarakat. Ketika suatu
kebijakan belum pernah diterapkan sebelumnya atau belum mapan, maka kemungkinan
masyarakat untuk patuh dan menjalankan kebijakan tersebut sangat minim. Masyarakat
melakukan tindakan resistensi terhadap kebijakan baru tersebut karena fakta bahwa kebijakan
tersebut sangat merugikan masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah. Dalam
hal ini, struktur perlu memahami kesadaran diskursif masyarakat yang merekam bahwa
pemerintah sebagai struktur memiliki jejak inkonsistensi dalam penerapan kebijakan - kebijakan.
Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah menjadi hal yang sangat penting mengingat peran
masyarakat sebagai agen yang melaksanakan kebijakan. Sebagai contoh, masyarakat Selandia
Baru memiliki kepercayaan 88% terhadap kebijakan pemerintah menangani covid-19 karena
keberhasilan perdana menteri dalam mengkomunikasikan kebijakan tersebut disertai dengan
tindakan yang konsisten (Gunia, 2020). Dengan begitu, pemerintah Indonesia dapat mengambil
pelajaran untuk memperbaiki pola komunikasi terhadap masyarakat melalui media agar dapat
memperoleh tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi. Di saat yang bersamaan, pemerintah
juga harus menyadari bahwa opinion leaders sangat berpengaruh untuk membangun kepercayaan
masyarakat. Media dalam hal ini juga berperan dalam membentuk pandangan opinion leaders.
Dengan memahami dua hal tersebut, pemerintah bisa bekerja sama dengan media untuk
mengedukasikan dan mensosialisasikan kebijakan dalam bentuk yang lebih mudah dipahami.
Pasalnya, selama ini terdapat pilihan kata yang sulit dipahami oleh masyarakat awam dalam
pemberitaan terkait PSBB. Salah satu contoh adalah penggunaan istilah “penutupan tempat
ibadah” yang cukup provokatif. Pemerintah seharusnya mengganti istilah tersebut dengan istilah
yang lebih menyejukkan, misalnya “penundaan jumat berjamaah untuk menjaga keselamatan jiwa
umat” (Hayat, 2020). Pemerintah pun dapat bekerja sama dengan para tokoh agama setempat untuk
menjamin persebaran dan kepatuhan masyarakat. Yang kedua adalah keterbatasan ruang gerak
publik. Selama dalam masa PSBB, masyarakat yang hendak pergi keluar daerah harus
menunjukkan berbagai surat keterangan, salah satu dari surat - surat tersebut adalah surat
keterangan negatif covid-19 berdasarkan Polymerase Chain Reaction (PCR) Test/Rapid Test atau
surat keterangan sehat dari dinas kesehatan/rumah sakit/puskesmas/klinik kesehatan (Jelita, 2020).
Untuk memperoleh surat ini, masyarakat harus menjalani rangkaian tes kesehatan dan membayar
atas rangkaian tes tersebut. Menurut Patricia (dalam Aditya, 2020), biaya rapid test di rumah sakit
Universitas Udayana Bali sekitar Rp350.000 dan biaya swab test mencapai sekitar Rp900.000.
Masa aktif rapid test adalah tiga hari, sementara masa aktif swab test adalah tujuh hari (Aida,
2020). Biaya yang mahal atas surat keterangan negatif covid-19 dan masa aktif yang relatif cepat
dinilai sangat menyulitkan masyarakat yang hendak bepergian keluar kota. Biaya keluar kota jadi
membengkak karena harus menjalani rangkaian test. Masyarakat harus memiliki uang lebih jika
hendak bepergian keluar kota. Hal ini tentunya sangat memberatkan bagi para pekerja penglaju
(commuter) yang harus bekerja di luar kota. Peraturan ini sangat merugikan karena pekerja harus
mengeluarkan biaya lebih agar bisa bekerja. Di sisi lain, perusahaan juga memiliki kemungkinan
untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) demi menaati kebijakan pemerintah dalam
memutus rantai persebaran virus covid-19. Fakta - fakta tersebut menjadi motivasi masyarakat
untuk menolak PSBB karena PSBB secara langsung mengurangi pendapatan para pekerja dan juga
memiliki kemungkinan menghilangkan pekerjaan masyarakat. Relasi antara struktur dengan
agensi melalui fakta - fakta tersebut mengindikasikan adanya ketidaksesuaian. Struktur membuat
kebijakan dengan sangat tegas, namun agensi tidak memiliki daya tawar atas kebijakan tersebut.
Sebagai reaksi atas ketidaksesuaian ini, kesadaran agensi pun mendorong terjadinya resistensi
kepada struktur. Dalam perkembangan relasi antara struktur dan agen, ternyata kesadaran agen
dalam melakukan resistensi mampu mendorong struktur untuk melakukan perubahan. Bentuk
perubahan yang terjadi adalah ketika pemerintah mulai melakukan transisi kebijakan PSBB
menjadi kebijakan baru, yaitu kebijakan New Normal. Kebijakan tersebut merupakan tindak lanjut
dari kegagalan efektivitas kebijakan PSBB akibat penolakan agen yang menilai bahwa aturan
tersebut sangat merugikan masyarakat.

Analisis Essai :

Masyarakat melakukan resistensi terhadap PSBB karena beberapa hal. Yang pertama, masyarakat
menilai kebijakan PSBB hanya mementingkan pemutusan rantai persebaran covid 19 dan bukan
mementingkan aspek kehidupan ekonomi masyarakat. Akibat kebijakan PSBB, masyarakat yang
mengandalkan perekonomian harian mengalami penurunan pendapatan. Yang kedua, masyarakat
menilai PSBB mengakibatkan keterbatasan ruang gerak publik yang berimbas pada kerugian para
pekerja penglaju (commuter). Para pekerja ini harus mengeluarkan biaya lebih untuk melakukan
rapid test atau swab test untuk dapat bekerja di luar daerah, atau bahkan terancam PHK. Namun
pada akhirnya, masyarakat sebagai agen akan menentukan kebijakan yang akan ditentukan oleh
pemerintah. Proses penafsiran atau reflektifitas informasi oleh setiap agen mampu menyebabkan
perubahan - perubahan kebijakan dalam struktur, sehingga mampu membuat struktur lebih hidup
dan berkembang. Strukturasi pun menjadi pendorong suatu sistem kehidupan agar terus bergerak
merespons lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai