UAS Cyberpolitics Kelas A - Fillah Maulana Octavandi - 1910413081
UAS Cyberpolitics Kelas A - Fillah Maulana Octavandi - 1910413081
Abstrak
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilik kembali bagaimana hak-
hak kebebasan berpendapat bagi masyarakat dalam ruang public baru dalam
hal ini adalah media sosial dalam era siber pada Tahun 2020 yang dinilai masih
dibatasi oleh berbagai aspek.
Abstract
The purpose of this research is to look back at how the rights of freedom of
speech for the public in this new public space in this case is social media in the
cyber era in 2020 which is considered still limited by various aspects.
PENDAHULUAN
KERANGKA TEORITIS
PEMBAHASAN
(i) Interpersonal communication media, kategori ini meliputi telepon, dan email untuk
pekerjaab sehari-hari dan makin bersifat personal.
(ii) Interactive play media, kategori ini merupakan dasar dari komputer, video game,
dan perangkat virtual reality.
(iii) Information search media, ini merupakan kategori yang luas, namun internet
/WWWadalah contoh paling signifikan yang dilhat sebagai penyimpanan dan sumber
data.
(iv) Collective participatory media, kategori ini meliputi kegunaan spesial dari internet
untuk bertukar informasi, ide, dan pengalanman aktif, serta membangun hubungan
personal.
(v) Substitution of broadcast media, kategori ini emrujuk pada media sebagai tempat
untuk menerima dan mengunggah konten yang sebelumnya sudah pernah disiarkan
atau didistribusikan. Menonton film dan program televisi merupakan aktivitas utama
dari kategori media baru ini [ CITATION Den10 \l 1033 ].
Penggunaan media baru sebagai aktivitas politik dapat kita lihat pada
Pemilu A.S Tahun 2008 ketika Barack Obama dan Hillary Clinton sama-sama
menggunakan media baru sebagai stategi branding dan kampanye mereka.
Barack Obama maupun Hillary, sama-sama menggunakan trend penggunaan
web, dimana web mereka berisikan informasi kandidat, program kerja, hingga
visi-misi. Selain itu masyarakat dapat langsung berpartisipasi dalam kampanye
mereka lewat memberikan donasi untuk keperluan kampanye kedua aktor
tersebut lewat web mereka. Obama akhirnya yang diusungkan menjadi
kandidat presiden dari Partai Demokrat dan berkontestasi dalam Pemilu A.S
Tahun 2008, dengan lawan dari Partai Republik yakni John Mc Cain. Obama
ditengarai juga menggunakan media sosial yang juga bagian dari media baru
seperti youtube, twitter, dan facebook selama proses kampanyenya untuk
menjangkau suara publik lebih luas.
Jika kita melihat bahwa media sosial yang merupakan bagian dari media
baru sebagai ruang publik baru, maka setidaknya kita harus kembali kepada
Jurgen Habermas yang telah menyajikan konsep tersebut kepada kita. Konsep
ini pertama kali diperkenalkan oleh Habermas pada tahun 1962 lewat bukunya
yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere, dimana
menurut Midgley (2012), buku ini menggambarkan “transformasi dan
kehancuran virtual rasionalitas ruang publik yang tengah berkembang pada
abad 19 dan 20 di Inggris, Perancis, dan Jerman” [ CITATION Jad17 \l 1033 ].
Ruang publik (public sphere) sejatinya merupakan sebuah ruang yang bebas
dan terpisah dari kekuasaan negara, di mana warga negara dapat melakukan
pembicaraan politik guna mewujudkan suatu konsensus untuk mengambil
tindakan bersama. Habermas melihat ruang publik merupakan “tempat” untuk
berkomunikasi sebagai elemen pembentuk kehidupan sosial (life-world) yang
bersandar pada rasionalitas komunikatif anggota masyarakat. Habermas
mengatakan “Dunia” di mana opini publik akan terbentuk menurut Habermas,
pada awalnya bermula dari perkembangan kelas borjuis pada abad ke-16 dan
-17 di Inggris, Jerman, dan Prancis. Ruang publik pada masa itu berupa
tempat-tempat seperti balai kota, warung kopi, salon, dan pada akhirnya
ditemukan newsletter dari para penguasa atau pedagang. Isi dari newsletter ini
adalah seputar harga-harga barang, pajak, serta peraturan pemerintah
[ CITATION Sal14 \l 1033 ] . Keberadaan public sphere ini sendiri sebenarnya sudah
ada sejak 1700-an, dimana masyarakat barat seperti Perancis dan Amerika
mulai melakukan revolusi, dan warga masyarakat biasa menuntut untuk
dilibatkan dalam berbagai proses diskusi publik dalam rangka pembuatan
keputusan mengenai berbagai persoalan publik sebagaimana Habermas
mengatakan sebagai berikut :
“A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed
(where) citizens.... deal with matters of general interest without being subject to
coercion.... (to) express and publicize their views” [ CITATION Jad17 \l 1033 ].
Namun ada hal menarik dalam penelitian karya Kruse et al. (2018) yang
berjudul Social Media as a Public Sphere? Politics on Social Media, dia
memberikan 2 pandangan mengenai sosial media sebagai ruang publik dari
teori Habermas. Di satu sisi dia memberikan pandangan bahwa media sosial
sebagai ruang publik, telah banyak diteliti oleh para peneiliti sebelumnya seperti
(Halpern and Gibbs 2013; Sørensen 2016; Vromen, Xenos, and Loader 2015)
yang menggunakan analisis percakapan dari konten sosial media untuk melihat
potensial media media sebagai ruang publik, serta (Miller et al. 2015), yang
melakukan pengukuran kuantitatif untuk melihat perilaku perilaku
pemilih[ CITATION Kru18 \l 1033 ]. Lalu ada Shirky (2008, 2011) juga menyatakan
bahwa media sosial merevitalisasi ruang publik, dimana dia memunculkan
kesempatan ruang dalam diskusi publik, dan meningkatkan kesempatan untuk
mengambil tindakan kolektif. Namun dia juga memberikan pandangan lain
dalam penelitiannya tersebut, dimana dengan hasil wawancaranya dengan 29
orang dari lintas generasi yaitu generasi X dan Millenials, menyebutkan bahwa
media sosial tidak dapat dikatakan sebagai ruang publik baru lantaran tidak
memenuhi beberapa karakteristik public sphere, karena alasan pertama,
kekurangan diskursus mengenai sipil di media sosial (lack of civil discourse),
dan yang kedua adalah ketakutan akan pelecahan dan kurangnya pengawasan
(lack of surveillance and lost job opportunity) dan takut kesempatan pekerjaan
mereka hilang [ CITATION Kru18 \l 1033 ].
KESIMPULAN
Media sosial yang dinilai sebagai suatu media baru bagi masyarakat dalam
mengekspresikan haknya dalam kebebasan berpendapat dan memberi kritik
terhadap pemerintah tersebut dinilai masih memiliki batas. Hal tersebut dapat
terlihat dari banyaknya kasus pelanggaran dalam media sosial karena
banyaknya masyarakat yang mengemukakan pendapat maupun memberi kritik
terhadap pemerintah yang pada akhirnya terkena kasus-kasus melalui pasal-
pasal di UU ITE. Maka dari itu, media sosial sebagai suatu media baru yang
dinilai dapat digunakan oleh masyarakat untuk memberikan kebebasan
berpendapat tersebut masih terbatas karena banyaknya aturan-aturan dan
hukum-hukum yang berlaku dalam mengawasi aktivitas masyarakat dalam
menggunakan media sosial tersebut. Menilik adanya pembatasan terhadap
hak-hak kebebasan berpendapat di Indonesia dengan adanya UU ITE,
seharusnya dalam era globalisasi ini dimana seluruh aktivitas dan informasi
yang dapat menyebar secara cepat dan serba digital, pemerintah Indonesia
dimana negara Indonesia juga merupakan suatu negara demokrasi seharusnya
tidak membatasi hak-hak kebebasan berpendapat para masyarakat dalam
media sosial, namun tetap memberikan suatu aturan terkait kebebabasan
berpendapat sebagai salah satu usaha dalam mengatasi adanya cybercrime di
media sosial maupun internet.
DAFTAR PUSTAKA
CNN Indonesia. (2020, 08 03). Kebebasan Sipil Turun, Indeks Dmeokrasi Naik. Dipetik
04 14, 2021, dari CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200803160536-32-
531684/kebebasan-sipil-turun-indeks-demokrasi-indonesia-naik
Efriza, Indrawan , J., & Ilmar Anwar. (2020). Kehadiran Media Baru (New Media)
Dalam Proses Komunikasi Politik. Medium: Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu
Komunikasi Vol.8 No.1, 1-16.
Kruse, L. M., Norris, D. R., & Flinchum, J. R. (2018). Social Media as a Public Sphere?
Politics on Social Media. The Sociological Quarterly, 59(1), 62-64.
Ragnedda, M., & Gladkova, A. (2020). Digital Inequalities in Global South. Switzerland:
Palgrave Mc Millan.
SAFEnet. (2021). Kerta Kebijakan Catatan dan Desakan Masyarakat Sipil atas Revisi
UU ITE. Denpasar: SAFEnet.
SAFEnet. (2021). Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia 2020 Represi Digital
Ditengah Pandemi . Denpasar: SAFEnet.