Anda di halaman 1dari 20

MENILIK KEMBALI HAK KEBEBASAN BERPENDAPAT MASYARAKAT

DALAM RUANG PUBLIK BARU DI ERA SIBER TAHUN 2020

Fillah Maulana Octavandi (1910413081)


Cyberpolitics dan Media Baru Kelas A
Dosen Pengampu: Reinhard Sirait, S.IP, MA
Dr. Evie Ariadne Shinta Dewi, M. Pd

Abstrak

Kebebasan berpendapat merupakan suatu hak dan kewajiban bagi setiap


individu. Terlebih lagi dalam mengutarakan kritik maupun opini terkait
permasalahan maupun suatu isu yang melibatkan peran dari pemerintah suatu
negara. Dalam era globalisasi 4.0 ini dalam mengutarakan suatu kebebasan
berpendapat dinilai sudah sangat mudah dan efisien salah satunya melalui
ruang publik baru yakni media sosial. Media sosial sebagai suatu media baru
yang digunakan masyarakat dalam berpendapat juga dinilai sangat dibatasi.
Indonesia salah satunya merupakan salah satu negara yang dinilai membatasi
suatu ruang public sebagai satu media baru dalam mengekspresikan
kebebasan pendapat dengan adanya aturan hukum dalam UU ITE.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilik kembali bagaimana hak-
hak kebebasan berpendapat bagi masyarakat dalam ruang public baru dalam
hal ini adalah media sosial dalam era siber pada Tahun 2020 yang dinilai masih
dibatasi oleh berbagai aspek.

Kata-kata kunci : Media Sosial, Kebebasan Berpendapat, Pemerintah

Abstract

Freedom of speech is a right and obligation for every individual. Moreover, in


expressing criticism and opinion related to the problem and an issue involving
the role of the government of a country. In this era of globalization 4.0 in
expressing a freedom of speech is considered really easy and efficient one of
them through a new public space namely social media. Social media as a new
medium used by the public in opinion is also considered very limited. Indonesia
is one of the countries that is considered to limit a public space as a new
medium in expressing freedom of speech with the rule of law in the UU ITE.

The purpose of this research is to look back at how the rights of freedom of
speech for the public in this new public space in this case is social media in the
cyber era in 2020 which is considered still limited by various aspects.

Keywords : Social Media, Freedom of Speech, Government

PENDAHULUAN

Negara demokrasi sebagai negara dimana sistem pemerintahannya


didasarkan pada prinsip-prinsip dasar rule of law, dimana menurut A.V Dicey,
setidaknya ada 3 (tiga) unsur rule of law, yaitu supremasi aturan/hukum dan
tidak adanya kekuasaan yang sewenang wenang, equality before the law, dan
terjaminnya hak rakyat dalam masyarakat. Kebebasan yang dimaksud tentunya
berbeda-beda dalam setiap negara yang menganut demokrasi, tergantung
pada hukum yang ada pada berbagai negara tersebut dalam mengatur makna
kebebasan. Kebebasan yang paling umum tergambar dalam negara demokrasi,
setidaknya adalah kebebasan berpendapat (freedom of expression) dan
kebebasan pers (freedom of the press) [ CITATION Mar10 \l 1033 ].

Sejak kemajuan teknologi akibat Revolusi Industri 4.0, aktivitas manusia


sampai pada titik dimana manusia acapkali tergambar dengan interkonektivitas
yang cepat satu dengan yang lainnya tanpa sekat dan batasan dan tergambara
dengan Slogan IoT (Internet of Things). Internet membuka sebuah ruang
dimana ruang tersebut nampak terasa nyata namun tidak terlihat dan ruang
tersebut memungkinkan pertukaran informasi menjadi lebih cepat dan ruang
tersebut adalah ruang siber. Aktivitas politik yang terjadi dalam ruang siber
memungkinkan para aktor dan partai politik memanfaatkan berbagai fitur yang
hadir di internet. Makna atau istilah cyberpolitics dengan demikian merupakan
kegiatan politik yang terjadi dalam medium/ruang siber. Ruang siber yang
dimaksud disini merupakan sebuah medium yang berfungsi menjadi tempat
bernaung aktivitas politik dengan memanfaatkan kemajuan Teknologi dan
Informasi (TI). Kegiatan politik seperti kegiatan kampanye, pendidikan/edukasi
politik, serta kegiatan politik lainnya, tidak lagi harus secara langsung berada di
satu tempat di ujung jalanan, namun bisa melalui ruang maya yang terasa
nyata namun tidak dapat dijangkau [ CITATION Jer19 \l 1033 ].

Seiring dengan perkembangnnya, ruang siber melahirkan pernakannya


yakni media baru dimana para aktor politik dan partai politik juga memanfaatkan
media baru sebagai strategi politik mereka. Konsep ruang publik yang digagas
oleh Jurgen Habermas dimana terdapat ruang publik yang terpisah dari
kekuasaan negara untuk masyarakat membicarakan permasalahan mereka dan
mengambil tindakan bersama, sejatinya berpindah ke ruang-ruang digital
seperti di media sosial. Bukan hanya untuk sarana bertukar pendapat, namun
sosial media juga dapat dimaksudkan untuk masyarakat mendapatkan
informasi actual dan terkini yang terjadi di sekitar mereka. Namun Habermas
menggambarkan bahwasannya dalam rezim pemerintah yang otoriter,
seringkali ruang publik sengaja ditutup bahkan ditiadakan. Indonesia ditengarai
mengalami kenaikan indeks demokrasi pada Tahun 2019 dimana berada di
angka 74,92%, namun kebebasan sipil berdasarkan indeks demokrasi
Indonesia tahun 2019, mengalami penurunan dimana berada pada 77,20 poin,
menurun dibandingkan pada 2018.

Penelitian ini akan mencoba menganalisis kebebasan berpendapat


masyarakat dalam media sosial pada tahun 2020. Dengan menggunakan
konsep ruang publik dari Habermas sebagai bahan analisis, tulisan ini juga
akan mencoba melihat bagaimana bisa media sosial dikatakan sebagai ruang
publik baru, sebagaimana ruang publik yang dikatakan Habermas seperti
ruang-ruang di jalanan, toko, salon, tempat kopi, dan sebagainya. Adapun
penelitian terdahulu yang sudah mengangkat penelitian topik ini yakni jurnal
ilmiah karya Rahman Asri yang berjudul Ekspresi Kebebasan berpendapat di
Media Sosial. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena
dalam penelitian ini lebih berfokus kepada bagaimana hak-hak masyarakat
dalam ranah digital, khususnya hak kebebasan berpendapat. Adapun beberapa
pertanyaan penelitian dalam jurnal ini untuk memudahkan pembaca memahami
fenomena penulis angkat diantaranya adalah sebagai berikut; (i) Bagaimana
keterkaitan antara Cyberpolitics, Media Baru dan Ruang Publik Baru?; (ii)
Bagaimana kebebasan berpendapat dalam media sosial di Tahun 2020?; (iii)
Apakah Ruang Publik Virtual dapat menjadi ruang yang ideal?

KERANGKA TEORITIS

Public Sphere Jurgen Habermas

Ruang publik (public sphere) sejatinya merupakan sebuah ruang yang


bebas dan terpisah dari kekuasaan negara, di mana warga negara dapat
melakukan pembicaraan politik guna mewujudkan suatu konsensus untuk
mengambil tindakan bersama. Habermas melihat ruang publik merupakan
“tempat” untuk berkomunikasi sebagai elemen pembentuk kehidupan sosial
(life-world) yang bersandar pada rasionalitas komunikatif anggota masyarakat.
Habermas mengatakan “Dunia” di mana opini publik akan terbentuk menurut
Habermas, pada awalnya bermula dari perkembangan kelas borjuis pada abad
ke-16 dan -17 di Inggris, Jerman, dan Prancis. Ruang publik pada masa itu
berupa tempat-tempat seperti balai kota, warung kopi, salon, dan pada akhirnya
ditemukan newsletter dari para penguasa atau pedagang. Isi dari newsletter ini
adalah seputar harga-harga barang, pajak, serta peraturan pemerintah
[ CITATION Sal14 \l 1033 ]. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Habermas
pada tahun 1962 lewat bukunya yang berjudul The Structural Transformation
of the Public Sphere, dimana menurut Midgley (2012), buku ini
menggambarkan “transformasi dan kehancuran virtual rasionalitas ruang publik
yang tengah berkembang pada abad 19 dan 20 di Inggris, Perancis, dan
Jerman” [ CITATION Jad17 \l 1033 ].
METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode


deskriptif yang digunakan untuk menjelaskan masalah dengan memuat
gambaran mengenai kejadian secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang akan diteliti
(Indrawan, 2019: 4). Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan
studi kepustakaan yang mana menurut Nazir (1998), studi kepustakaan
merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan penelaahan terhadap
buku, literatur, catatan, serta berbagai laporan yang berkaitan dengan masalah
yang ingin di pecahkan[ CITATION TAb18 \l 1033 ] . Dengan begitu, penulis
menggunakan data sekunder dimana penulis tidak secara langsung terjun ke
lapangan untuk mengambil data yang dibutuhkan, namun data yang digunakan
penulis adalah data yang sudah ada sebelumnya. Pencarian literatur
menggunakan mesin pencarian google, dan data sekunder diambil dari
berbagai literatur seperti jurnal ilmiah, artikel ilmiah, peraturan perundang-
undangan, dan portal-portal daring yang berhubungan dengan teori public
sphere dari Habermas, kebebasan berpendapat, serta cyberpolitics. Hasil
temuan pada data-data yang diperoleh tersebut, dianalisis secara mendalam
oleh penulis dan dijabarkan dalam sub bab pembahasan sehingga dapat
menjawab pertanyaan penelitian guna menggambarkan dan menjelaskan
masalah atau fenomena yang diteliti. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
bahan evaluasi serta rujukan bagi Pemerintah Indonesia serta stakeholder yang
terkait dengan jaminan kebebasan berpendapat pada ruang publik di internet,
agar hak-hak masyarakat dapat dikedepankan dan tidak di represif.

PEMBAHASAN

Cyber Politics, Media Baru, dan Ruang Publik Baru

Istilah cyberpolitics mungkin terdengar tidak asing lagi ditelinga kita,


namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat awam yang tidak
mengerti secara mendalam, apa yang dimaksud dengan istilah cyberpolitics.
Dalam jurnal karya Jerry Indrawan yang berjudul Cyberpolitics sebagai
Perspektif Baru Memahami Politik di Era Siber, beliau mengutip David Bell
bahwasannya istilah kata ‘siber’ itu sendiri sebenarnya sudah ditemukan
sebelum internet berkembang pesat seperti sekarang. Istilah siber tersebut
sebenarnya merupakan kata yang muncul dari permainan video games, dimana
lebih merujuk kepada sebuah ruang yang seakan seperti ada dan nyata, namun
tidak dapat dijangkau. Bell lebih cenderung menggunakan istilah ruang siber
dengan istilah ‘consensual hallucination’. Jadi secara garis besar, dapat
diartikan bahwa ruang siber merujuk pada sebuah ruang yang terdapat dalam
kekompleks-an sistem internet. Menurut Jerry, hubungan antara ruang siber
dan politik menjadi kajian yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut,
sehingga kita bisa lebih rinci memahami pemaknaan dari cyberpolitics itu
sendiri. Makna atau istilah cyberpolitics dengan demikian merupakan kegiatan
politik yang terjadi dalam medium/ruang siber. Ruang siber yang dimaksud
disini merupakan sebuah medium yang berfungsi menjadi tempat bernaung
aktivitas politik dengan memanfaatkan kemajuan Teknologi dan Informasi (TI).
Kegiatan politik seperti kegiatan kampanye, pendidikan/edukasi politik, serta
kegiatan politik lainnya, tidak lagi harus secara langsung berada di satu tempat
di ujung jalanan, namun bisa melalui ruang maya yang terasa nyata namun
tidak dapat dijangkau [ CITATION Jer19 \l 1033 ].

Penggunaan ruang siber sebagai aktivitas politik, sejatinya merupakan


bentuk adaptasi yang dilakukan aktor dan partai politik, maupun elemen
masyarakat sipil di berbagai belahan negara di dunia. Pada saat yang
bersamaaan pula, mereka dapat berbagi informasi mengenai aktivitas
perpolitikan yang ada di dalam negara mereka melalui ruang-ruang siber yang
terkoneksi dengan internet. Seiring dengan perkembangan internet, muncul
sebuah konsep media baru (new media) dimana pertukaran informasi yang
berubah drastis semenjak kemunculan internet mengambil alih aktivitas
masyarakat. Masyarakat tidak perlu langgi menunggu informasi yang
disediakan oleh penyedia informasi seperti televisi, koran, radio, atau pemilik
media swasta lainnya. Media konvensial tersebut, telah kalah lantaran new
media melahirkan banyak fitur-fitur menarik yang ditawarkan untuk masyarakat
salah satunya adalah arus informasi, yang sedari arus informasi hanya
bersumber dari satu pihak disalurkan ke banyak pihak (one to many), dengan
hadirnya media baru memungkinkan arus informasi bergerak dari banyak orang
ke banyak orang pula (many to many).

Mc Quail dalam Mass Communication Theory (2010), melihat media


baru tersebut sebagai kumpulan dari teknologi komunikasi yang menyajikan
beberapa fitur, terbentuk dari proses digitalisasi dan lebih cenderung digunakan
sebagai pemakaian pribadi utuk perangkat komunikasi [ CITATION Den10 \l 1033 ].
Sedangkan menurut Kavanagh dan Blumler, kehadiran media baru merupakan
bagian dari “third age of political communication” dimana proses komunikasi
politik tidak lagi menggunakan media konvensional sebagai medium politik
mereka (Efriza et al., 2020). Kehadiran media baru yang merupakan proses dari
perkembangan teknologi, membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap
kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia. Adapun Mc Quail
menjelaskan bahwa kita dapat mengidentifikasi 5 kategori new media yang
menghadirkan beberapa fitur dari segi penggunaan, konten, dan konteksnya,
dimana meliputi beberapa kategori sebagai berikut;

(i) Interpersonal communication media, kategori ini meliputi telepon, dan email untuk
pekerjaab sehari-hari dan makin bersifat personal.

(ii) Interactive play media, kategori ini merupakan dasar dari komputer, video game,
dan perangkat virtual reality.

(iii) Information search media, ini merupakan kategori yang luas, namun internet
/WWWadalah contoh paling signifikan yang dilhat sebagai penyimpanan dan sumber
data.

(iv) Collective participatory media, kategori ini meliputi kegunaan spesial dari internet
untuk bertukar informasi, ide, dan pengalanman aktif, serta membangun hubungan
personal.

(v) Substitution of broadcast media, kategori ini emrujuk pada media sebagai tempat
untuk menerima dan mengunggah konten yang sebelumnya sudah pernah disiarkan
atau didistribusikan. Menonton film dan program televisi merupakan aktivitas utama
dari kategori media baru ini [ CITATION Den10 \l 1033 ].
Penggunaan media baru sebagai aktivitas politik dapat kita lihat pada
Pemilu A.S Tahun 2008 ketika Barack Obama dan Hillary Clinton sama-sama
menggunakan media baru sebagai stategi branding dan kampanye mereka.
Barack Obama maupun Hillary, sama-sama menggunakan trend penggunaan
web, dimana web mereka berisikan informasi kandidat, program kerja, hingga
visi-misi. Selain itu masyarakat dapat langsung berpartisipasi dalam kampanye
mereka lewat memberikan donasi untuk keperluan kampanye kedua aktor
tersebut lewat web mereka. Obama akhirnya yang diusungkan menjadi
kandidat presiden dari Partai Demokrat dan berkontestasi dalam Pemilu A.S
Tahun 2008, dengan lawan dari Partai Republik yakni John Mc Cain. Obama
ditengarai juga menggunakan media sosial yang juga bagian dari media baru
seperti youtube, twitter, dan facebook selama proses kampanyenya untuk
menjangkau suara publik lebih luas.

Jauh sebelum internet berkembang pesat seperti sekarang, paada akhir


1970- an dan 1980-an di Uni-Soviet, orang-orang yang mencoba untuk
mengekspresikan diri mereka namun dilarang di bawah pemerintahan yang
otoriter, mencoba mencetak leaflet atau yang disebut sebagai “materi
tersensor” ini secara individual mencoba mendistribusikannya secara langsung
dari orang ke orang. Ini disebut sebagai samizdat (yang dalam bahasa Rusia
secara harfiah artinya publikasi sendiri). Adapun bentuk publikasi bawah tanah
lain juga ada ketika pemerintah yang represif mencoba untuk mencegah orang
mengekspresikan ide dan pendapat mereka, seperti, rekaman kaset audio
berisi pidato pemimpin Iran dalam pengasingan, Ruhollah Khomeini, diproduksi
di negara-negara tetangga dan diselundupkan kembali ke Iran dan
didistribusikan secara diam-diam. Rekaman audio ini akhirnya menebarkan
benih Revolusi Iran yang pecah di akhir 1970-an (UNESCO, 2013: 46-47).
Dengan hadirnya media baru, pertukaran informasi menjadi lebih mudah dan
tidak tersekat oleh batasan dan jarak serta waktu. Internet juga membuka
sebuah ruang publik baru, dimana masyrakat dapat bertemu dan
mendiskusikan pendapat dan ide mereka mealui ruang-ruang virtual.

Jika kita melihat bahwa media sosial yang merupakan bagian dari media
baru sebagai ruang publik baru, maka setidaknya kita harus kembali kepada
Jurgen Habermas yang telah menyajikan konsep tersebut kepada kita. Konsep
ini pertama kali diperkenalkan oleh Habermas pada tahun 1962 lewat bukunya
yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere, dimana
menurut Midgley (2012), buku ini menggambarkan “transformasi dan
kehancuran virtual rasionalitas ruang publik yang tengah berkembang pada
abad 19 dan 20 di Inggris, Perancis, dan Jerman” [ CITATION Jad17 \l 1033 ].
Ruang publik (public sphere) sejatinya merupakan sebuah ruang yang bebas
dan terpisah dari kekuasaan negara, di mana warga negara dapat melakukan
pembicaraan politik guna mewujudkan suatu konsensus untuk mengambil
tindakan bersama. Habermas melihat ruang publik merupakan “tempat” untuk
berkomunikasi sebagai elemen pembentuk kehidupan sosial (life-world) yang
bersandar pada rasionalitas komunikatif anggota masyarakat. Habermas
mengatakan “Dunia” di mana opini publik akan terbentuk menurut Habermas,
pada awalnya bermula dari perkembangan kelas borjuis pada abad ke-16 dan
-17 di Inggris, Jerman, dan Prancis. Ruang publik pada masa itu berupa
tempat-tempat seperti balai kota, warung kopi, salon, dan pada akhirnya
ditemukan newsletter dari para penguasa atau pedagang. Isi dari newsletter ini
adalah seputar harga-harga barang, pajak, serta peraturan pemerintah
[ CITATION Sal14 \l 1033 ] . Keberadaan public sphere ini sendiri sebenarnya sudah
ada sejak 1700-an, dimana masyarakat barat seperti Perancis dan Amerika
mulai melakukan revolusi, dan warga masyarakat biasa menuntut untuk
dilibatkan dalam berbagai proses diskusi publik dalam rangka pembuatan
keputusan mengenai berbagai persoalan publik sebagaimana Habermas
mengatakan sebagai berikut :

“A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed
(where) citizens.... deal with matters of general interest without being subject to
coercion.... (to) express and publicize their views” [ CITATION Jad17 \l 1033 ].

Semenjak perkembangan teknologi semakin massif dengan


ditunjukannya kehadiran media baru, maka konsep public sphere yang
dinyatakan Habermas agaknya berpindah ke ranah digital. Sebagaimana
Kellner (1998) menyatakan bahwa perkembangan teknologi saat ini khususnya
internet, telah menghasilkan dan memperkaya ruang demokrasi dimana
memungkinkan publik untuk menyampaikan pendapat dan pemikiran kritis
mereka yang berbasis kepada mediasi komputer yang terkoneksi dengan
jaringan (network). Adapun Rycroft (2007) mengatakan bahwa ruang-ruang
virtual di internet berdampak pada terdorongnya budaya politik pada ruang
publik baru (new public sphere), sebagai tempat dimana terjadi pertukaran nilai-
nilai antar penggunanya. Lalu ada Clay Shirky dalam bukunya yang berjudul
“The Political Power of Social Media“ (2011), menyatakan bahwa media sosial
membantu proses demokrasi dengan memungkinkan siapa saja berbagi
informasi dan menciptakan apa yang disebut sebagai kesadaran bersama
[ CITATION Rah20 \l 1033 ].

Namun ada hal menarik dalam penelitian karya Kruse et al. (2018) yang
berjudul Social Media as a Public Sphere? Politics on Social Media, dia
memberikan 2 pandangan mengenai sosial media sebagai ruang publik dari
teori Habermas. Di satu sisi dia memberikan pandangan bahwa media sosial
sebagai ruang publik, telah banyak diteliti oleh para peneiliti sebelumnya seperti
(Halpern and Gibbs 2013; Sørensen 2016; Vromen, Xenos, and Loader 2015)
yang menggunakan analisis percakapan dari konten sosial media untuk melihat
potensial media media sebagai ruang publik, serta (Miller et al. 2015), yang
melakukan pengukuran kuantitatif untuk melihat perilaku perilaku
pemilih[ CITATION Kru18 \l 1033 ]. Lalu ada Shirky (2008, 2011) juga menyatakan
bahwa media sosial merevitalisasi ruang publik, dimana dia memunculkan
kesempatan ruang dalam diskusi publik, dan meningkatkan kesempatan untuk
mengambil tindakan kolektif. Namun dia juga memberikan pandangan lain
dalam penelitiannya tersebut, dimana dengan hasil wawancaranya dengan 29
orang dari lintas generasi yaitu generasi X dan Millenials, menyebutkan bahwa
media sosial tidak dapat dikatakan sebagai ruang publik baru lantaran tidak
memenuhi beberapa karakteristik public sphere, karena alasan pertama,
kekurangan diskursus mengenai sipil di media sosial (lack of civil discourse),
dan yang kedua adalah ketakutan akan pelecahan dan kurangnya pengawasan
(lack of surveillance and lost job opportunity) dan takut kesempatan pekerjaan
mereka hilang [ CITATION Kru18 \l 1033 ].

Memang media sosial membuka ruang bagi masyrakat untuk dapat


berpartisipasi dalam segala proses politik dimana sekarang masyarakat dapat
ikut langsung mempengaruhi kebijakan dan mengawasi jalannya pemerintahan
(watchdog) yang mana dulu peran itu hanya dimilki oleh pers. Selain itu internet
juga melahirkan civic juurnalism, dimana masyrakat dapat membuat konten
jurnalisitiknya dalam bentuk film-film yang nantinya dapat diunggah dan
disebarkan dalam media-media sosial seperti youtube, instagram, facebook,
twitter, dan lain sebagainya. Memang media baru memudahkan partisipasi
masyarakat terhadap perpolitikan yang ada didalam negara, namun,
bagaimana ketika ruang publik baru ini juga hadir pembatasan atas hak
masyarakat untuk mengungkapkan ekespresi mereka?

Kebebasan Berpendapat di Media Sosial Tahun 2020

Mc Quail menyitir Hamelink (2000) yang mengatakan bahwa, walaupun


internet itu tidak dimiliki oleh siapapun dan tidak mempunyai regulasi yang
sentral, namun hal tersebut pasti akan membuka kesempatan bagi para pemain
industri untuk memilki segala maksud teknikal dimana nantinya semua orang
butuh izin akses untuk menggunakan internet. Dia juga menyatakan
kehawatirannya ketika nanti pemerintah dan akses terhadap ruang siber akan
jatuh ketangan beberapa kalangan saja serta dikontrol oleh kelompok kecil, dan
Mc Quail mengatakan bahwa 10 Tahun ketika Hamelink berkata seperti itu,
prediksinya benar dan dapat kita konfirmasi hari ini [ CITATION Den10 \l 1033 ].
Kebebasan bereskpresi sejatinya memang dijamin dalam setiap negara yang
sistem pemerintahannya berdasarkan pada demokrasi. Habermas mengatakan
kebebasan berbicara adalah syarat utama agar terjadi komunikasi umum dan
diskursus tingkat tinggi, walau mungkin ini sulit dilakukan. Pembukaan akses
seluas-luasnya terhadap ruang publik, menjadi syarat agar masyarakat sipil
dapat berkembang dan mendapati konsensus bersama dari setiap fenomena
yang terjadi disekitar mereka. Namun apabila ruang publik ditutup, maka
demokrasi agaknya akan menjadi stagnan dan tidak beranjak dari tempatnya.
Internet dan sosial media sebagai ranah ruang publik digital, menjadi ruang
bagi penguatan masyrakat sipil yang berlandaskan demokrasi.

Jika berbicara mengenai kebebasan berekspresi di ranah digital, maka


pada Tahun 2013, United Nations, Educational, Scientific and Cultural
Organization atau UNESCO, merilis sebuah buku panduan mengenai
kebebasan berekspresi dan sudah dialihbahasakan oleh SAFEnet dan ICT
Watch ke bahasa Indonesia dengan judul “TOOLKIT Kebebasan Berekspresi
Bagi Aktivis Informasi”. Kebebasan berekspresi, sebagaimana mencakup
ekspresi yang lebih luas, merupakan kebebasan untuk berekpresi secara lisan,
tercetak, audiovisual, ekspresi budaya, maupun politik. Hal ini sesuai dengan
Pasal 19, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang menyatakan
bahwa, setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berkespresi; hak
ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk
mencari, menerima, berbagi informasi atau ide melalui media apapun dan tanpa
memandang batas negara (UNESCO, 2013: 16). Sejatinya memang kebebasan
berpendapat adalah hak asasi manusia, dan didalam media sosial pun kita
memiliki hak untuk berbicara, berekspresi, berbicara tentang ide kita, maupun
mengkritik pemerintah. Namun bagaimana apabila yang terjadi di dalam media
sosial, ternyata tidak sejalan dengan hak masyrakat untuk mengemukakan
ekspresi mereka di media sosial? Lebih lanjut, laporan UNESCO tersebut
memberikan kita gambaran satu kondisi dimana kondisi ini akan muncul ketika
kebebasan kita berekspresi dan berpendapat sedang dibatasi atau ditutup
diantaranya; (i) ketika izin menerbitkan atau menyiarkan ditolak; (ii) ketika
terjadi intimidasi fisik atau emosional; (iii) ketika akses pada informasi ditolak
atau dibatasi secara tidak sah; (iv) ketika terdapat undang-undang yang
restriktif.

Melihat 4 karakteristik diatas, beberapa diantaranya sedang terjadi di


ruang publik media sosial di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari laporan
Southeast Asia Freedom of Expression atau SAFEnet tentang situasi hak-hak
digital masyarakat Indonesia pada tahun 2019, dimana mereka memberi judul
laporan tersebut yaitu “Bangkitnya Otoritarian Digital”. Dalam laporannya,
SAFEnet memaparkan beberapa kasus pembatasan ruang publik oleh negara
yang diantaranya seperti pemutusan akses internet, kriminalisasi terhadap
ekspresi, serta kekerasan digital berbasis siber. Selama 2019, terjadi tiga kali
pemadaman Internet (Internet shutdown) sepihak yaitu di Jakarta dan sebagian
Indonesia lain (tidak ada data jelas dari pemerintah) pada 22-24 Mei 2019,
kemudian di Papua dan Papua Barat pada 21 Agustus 2019, serta pada 23-29
September 2019 di Wamena dan Jayapura. Dari dimensi kebebasan
berekspresi, SAFEnet memaparkan terdapat 24 kasus pemidanaan dengan UU
ITE. Jumlah itu menurun dibandingkan kasus setahun sebelumnya yang
mencapai 25 kasus. Dari sisi latar belakang, jurnalis dan media masih menjadi
korban terbanyak dari kriminalisasi ini sebanyak 8 kasus, terdiri atas 1 media
dan 7 jurnalis menjadi korban. Sementara kekerasan gender berbasis siber
Sepanjang 2019, SAFEnet menerima 60 aduan kasus KBGS di mana 44 kasus
di antaranya adalah dari rujukan Komnas Perempuan pada SAFEnet.

Dari pemaparan diatas kita akan kembali mempertanyakan bagaimana


kondisi ruang publik kita saat ini, apakah sudah masuk kedalam ruang publik
yang mengedepankan iklim demokratis, ataupun terjerembab dalam
otoritarianisme negara. Memang kebebasan berekspresi kini dapat kita rasakan
sebagai hal yang samar dalam mengemukakan pendapat di internet, karena
ada UU ITE sebagai pembatas. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau akrab disebut UU ITE ini,
memang menjadi momok yang menakutkan bagi masyrakat yang
menggunkaan media sosial, khususnya mereka yang mencoba
mempertanyakan kemabli hak-hak rakyat kepada pemerintah lewat media
sosial, orang-orang kritis yang mempertanyakan kinerja pemerintah, serta
aktivis digital.

SAFEnet dalam laporannya yang berjudul “Represi Digital di Tengah


Pandemi” Sepanjang 2020, SAFEnet mencatat bahwa ada 84 kasus
pemidanaan terhadap warganet, dimana hal ini terjadi peningkatan karena pada
2019 hanya terdapat 24 kasus. UU ITE banyak mengambil peran daripadi
kriminalisasi ini, dimana dari 84 kasus tersebut, 64 kasus diataranya terkena
dampak pasal akret UU ITE tepatnya pasal 28 Ayat 7 tentang ujaran kebencian
(7 kasus), Pasal 27 Ayat 3 Tentang Pencemaran Nama Baik (22 kasus), dan
Pasal 28 Ayat 1 tentang Kabar Bohong Konsumen (12 kasus) [ CITATION SAF21 \l
1033 ]. Latar belakang korban kriminalisasi ini diantaranya seperti warga (50
orang), aktivis (15 orang), buruh (4 orang), mahasiswa (4 orang), karyawan
swasta (3 orang), pelajar (2 orang), dan jurnalis (1 orang). Maraknya
kriminalisasi digital selama 2020, tidak bisa dilepaskan dari 2 hal diantaranya
penanganan pandemi COVID-19, dan UU ITE dimana dalam telegram Kapolri
Nomor ST/ IV/ HUK.7.1.2020 pada 4 April 2020 dan nomor
STR/645/X/PAM.3.2/2020 tertanggal 2 Oktober 2020. Dalam telegram pertama
Kapolri menginstruksikan polisi siber untuk memantau opini berita dengan
sasaran hoaks COVID-19, kebijakan pemerintah dalam menangani wabah
COVID-19, serta penghinaan terhadap penguasa/ presiden dan pejabat
pemerintah. Adapun telegram kedua merupakan respons terhadap penolakan
pengesahan UU Ciptakerja.

Disisi hak atas keamanan, SAFEnet mencatat banyaknya serangan


digital selama 2020, bertepatan dengan 2 momentum, yakni kritik terhadap
pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 dan Pengesahan UU Cipta
Kerja pada Oktober 2020. Dalam laporan tersebut, SAFEnet menjelaskan
bahwa penyerangan dalam ranah digital ini dapat ditemui dalam 2 kategori,
yang pertama serangan kasar (hard attack) seperti peretasan, penyadapan,
dan DDos (distributed denial service). Sementara kategori yang lainnya adalah
serangan halus yang berutujuan menjatuhkan psikologis target, diantaranya
seperti penyebarluasan identitas pribadi (doxing), peniruan akun (impersonasi),
dan penyerbuan (trolling) pada kolom komentar konten yang dibuat target di
media sosial oleh akun anonym. Adapun tercatat kasus serangan digital ini
selama 2020 sebanyak 147 kasus, dengan rata-rata 12 kali tiap bulan. Latar
belakang target atau korban ditengarai merupakan lembaga pemerintah 38
kasus (25,38%), warga umum 30 kasus (20,41%), jurnalis 26 kasus (17,01%),
aktivis 25 kasus (17,01%), mahasiswa 19 kasus (19,23%), dan organisasi
masyarakat sipil 15 kasus (10,20%).

Adapun Laporan gabungan SAFEnet bersama beberapa organisasi lain


seperti KontraS, ELSAM, ICJR, Amnesty International, dan lainnya, mendesak
pemeritnah agar merevisi UU ITE ini. Menurut laporan yang dihimpun oleh
koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai Februari 2020
tersebut, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan
penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat
pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara) [ CITATION
SAF211 \l 1033 ]. Lebih lanjut dalam UU ITE, terdapat pasal-pasal yang bersifat
multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi. Rumusan pasal-pasal dalam UU
ITE tersebut memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk membatasi
informasi tanpa subtansi yang jelas. Dalam laporan tersebut pasal yang
dianggap bermasalah dan menjadi pokok bahasan substansial untuk mendesak
Revisi atas UU ITE diantaranya, Pasal 26 ayat 3 terkait penghapusan
informasi, Pasal 27 ayat 1 jo Pasal 45 ayat 1 terkait pidana kesusilaan, Pasal
27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 terkait penghinaan dan pencemaran nama baik,
Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 A ayat 2 terkait kebencian atau permusuhan
berdasarkan SARA, Pasal 29 jo Pasal 45 B terkait ancaman kekerasan, Pasal
36 jo Pasal 51 ayat 2, Pasal 40 ayat 2a dan 2b terkait pencegahan
penyebarluasan dan kewenangan pemerintah memutus akses, dan Pasal 43
ayat 3 dan 6 terkait penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan.
Adapula Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, yang menurut SAFEnet jika
diterapkan akan merupakan UU yang paling represif di dunia. Salah satu isi
dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tersebut adalah meminta platform
UGC (user generated content) seperti Instagram, youtube, facebook, dan lain
sebagainya, membantu memantau konten komunikasi untuk tujuan
pengawasan oleh lembaga administratif pemerintah, dan penegakan hukum
terhadap konten yang dilarang pemerintah dengan memblokir akses atau
penghapusan. Memang UU ITE tidak membatasi kebebasan berekspresi
secara absolut, namun hari ini, penulis merasa negara seperti sedang menaruh
“anjing penjaga” didepan pintu arus pertukaran informasi ranah digital.
Sewaktu-waktu, bisa saja negara menginstruksikan “anjing penjaga” tersebut
untuk menerkam orang-orang yang tidak sejalan dengan mereka, maupun
dianggap menerobos terlalu jauh kedalam zona nyaman negara.
Menjadikan Ruang Publik Virtual Yang Ideal

Kebebasan berpendapat di ruang publik baru, yakni media sosial,


agaknya menjadi sebuah realitas yang paradox pada hari ini. Disatu sisi
pemerintah Indonesia terus menerus menggangkan agar masyarakat Indonesia
senantiasa mengkritik pemerintah jika pemerintah dirasa ada yang salah dalam
memerintah, namun disisi lain UU ITE seperti menjaga pintu ruang publik virtual
dan kita akan diizinkan masuk apabila kita sudah mengikuti standar mereka
dalam berpendapat di media sosial. Penulis sendiri pun berpikir 2 kali jika ingin
mengkritik pemerintah Indonesia di media sosial pada hari ini, yang pertama
takut akan UU ITE, yang kedua serangan digital atau doxing. Yang baru-baru
ini terlihat adalah kasus The King of Lip Service dari BEM UI, dimana BEM UI
membuat meme tentang Jokowi karena dinilai hanya obral janji, seperti
memperkuat KPK, merevisi UU ITE dan sebagainya, hanyalah janji belaka. Tak
lama kemudian, BEM UI justru dipanggil Rektorat UI karena dianggap tidak
sopan dan tidak beretika dalam mengkritik. Menurut laporan instagram BEM UI,
beberapa akun media sosial anggota BEM UI juga diretas dan baru dapat
digunakan kembali setelah beberapa jam kemudian.

Melihat kondisi ini, sepertinya kita harus merefleksikan kembali


mengenai ruang publik virtual, dimana masih terdapat banyak kelemahan dan
kekurangan. Disisi pertama, kita akan dihadapkan dengan pembatasan hal
serta serangan digital. Disisi lain, ruang publik virtual ini akan menemui
masalah seperti berkeliarannya informasi bohong atau hoax, karena tidak ada
pihak ketiga yang mengawasi, tidak seperti media konvensional yang
bertanggung jawab langsung kepada lembaga negara. Beberapa kelemahan
lain juga ditengarai Habermas sebagai degradasi public sphere, dimana media
baru turut menumbuhkan praktek budaya konsumtif karena dipenuhi oleh
promosi hiburan daripada forum yang membahas permasalahan publik
[ CITATION Jad17 \l 1033 ] . Menurut Chambers (2021), femonema fake news itu
meliputi 2 karakteristik, pertama dia dibentuk dan diproduksi, dan yang kedua
informasi palsu tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pemikiran, penilaian,
dan perilaku politik seseorang [ CITATION Sim21 \l 1033 ]. Dia juga menyatakan
hasil penelitian dari MIT 10 Tahun lalu, dimana terdapat 126.000 orang yang
berkontestan untuk membuat berita di twitter, dan menyatakan bahwa berita
palsu dan rumor, menarik lebih banyak orang masuk lebih jauh ke media sosial
untuk diperbincangkan serta menyebar lebih cepat daripada berita akurat.
Tentu saja dengan hasil penelitian yang disajikan oleh Chambers, agaknya kita
juga harus merefleksikan kembali, apakah selama ini informasi yang kita terima
ini sudah benar atau tidak. Karena tidak ada yang mengetahui kebenaran
tersebut akibat tidak adanya pihak ketiga. Kiat-kiat yang dapat kita galakan
untuk mengetahui berita tersebut asli atau bohong adalah dengan kelogisan.
Apabila berita yang disajikan tersebut menarik tapi tidak logis, biasanya itu
adalah berita bohong.

KESIMPULAN

Media sosial yang dinilai sebagai suatu media baru bagi masyarakat dalam
mengekspresikan haknya dalam kebebasan berpendapat dan memberi kritik
terhadap pemerintah tersebut dinilai masih memiliki batas. Hal tersebut dapat
terlihat dari banyaknya kasus pelanggaran dalam media sosial karena
banyaknya masyarakat yang mengemukakan pendapat maupun memberi kritik
terhadap pemerintah yang pada akhirnya terkena kasus-kasus melalui pasal-
pasal di UU ITE. Maka dari itu, media sosial sebagai suatu media baru yang
dinilai dapat digunakan oleh masyarakat untuk memberikan kebebasan
berpendapat tersebut masih terbatas karena banyaknya aturan-aturan dan
hukum-hukum yang berlaku dalam mengawasi aktivitas masyarakat dalam
menggunakan media sosial tersebut. Menilik adanya pembatasan terhadap
hak-hak kebebasan berpendapat di Indonesia dengan adanya UU ITE,
seharusnya dalam era globalisasi ini dimana seluruh aktivitas dan informasi
yang dapat menyebar secara cepat dan serba digital, pemerintah Indonesia
dimana negara Indonesia juga merupakan suatu negara demokrasi seharusnya
tidak membatasi hak-hak kebebasan berpendapat para masyarakat dalam
media sosial, namun tetap memberikan suatu aturan terkait kebebabasan
berpendapat sebagai salah satu usaha dalam mengatasi adanya cybercrime di
media sosial maupun internet.
DAFTAR PUSTAKA

Alfiyani, N. (2018). MEDIA SOSIAL SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK.


POTRET PEMIKIRAN Volume 22, No 2.

Asri, R. (2020). EKSPRESI KEBEBASAN BERPENDAPAT DI MEDIA SOSIAL:


TELAAH KRITIS RUANG PUBLIK HABERMAS. Universitas Al Azhar
Indonesia.

Budiarjo, M. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Chambers, S. (2021). Truth, Deliberative Democracy, and the Virtues of Accuracy: Is


Fake News Destroying the Public Sphere? Political Studies, 69(1), 147-163.

CNN Indonesia. (2020, 08 03). Kebebasan Sipil Turun, Indeks Dmeokrasi Naik. Dipetik
04 14, 2021, dari CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200803160536-32-
531684/kebebasan-sipil-turun-indeks-demokrasi-indonesia-naik

CNN Indonesia. (2020, 10 20). SAFEnet: Kebebasan Berpendapat di Medsos


Memburuk. Dipetik 07 05, 2021, dari CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20201020160620-185-
560594/safenet-kebebasan-berpendapat-di-medsos-memburuk

Efriza, Indrawan , J., & Ilmar Anwar. (2020). Kehadiran Media Baru (New Media)
Dalam Proses Komunikasi Politik. Medium: Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu
Komunikasi Vol.8 No.1, 1-16.

Indrawan, J. (2019). Cyberpolitics sebagai Perspektif Baru Memahami Politik di Era


Siber. Politica Vol.10, No.1.

Kruse, L. M., Norris, D. R., & Flinchum, J. R. (2018). Social Media as a Public Sphere?
Politics on Social Media. The Sociological Quarterly, 59(1), 62-64.

Marijan, K. (2010). Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Pranada Media Group.


Nasrullah, R. (2012). Interenet dan Ruang Publik Virtual, Sebuah Refleksi Atas Teori
Ruang Publik Habermas. Jurnal KOMUNIKATOR, Vol. 4 (1).

Pambayan, J. G. (2017). Rekonstruksi Pemikiran Habermas Di Era Digital. JURNAL


KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA, VOLUME 1 (1), 1-14.

Quail, D. M. (2010). McQuail's Mass Communication Theory 6th Edition. London:


SAGE Publiucations.

Ragnedda, M., & Gladkova, A. (2020). Digital Inequalities in Global South. Switzerland:
Palgrave Mc Millan.

SAFEnet. (2020). Bangkitnya Otoritarian Digital. Denpasar: SAFEnet.

SAFEnet. (2021). Kerta Kebijakan Catatan dan Desakan Masyarakat Sipil atas Revisi
UU ITE. Denpasar: SAFEnet.

SAFEnet. (2021). Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia 2020 Represi Digital
Ditengah Pandemi . Denpasar: SAFEnet.

Sholihah, I. (2016). KEBIJAKAN BARU: JAMINAN PEMENUHAN HAK BAGI


PENYANDANG DISABILITAS. Sosio Informa Vol. 2 (2).

Siahaan, J. T. (2011). FORMASI PUBLIC SPHERE DALAM MASYARKAT


TRANSISIONAL, Studi Kasus Penyusunan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2007 Tentang Limbah Padat di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi
Selatan. Cosmogov:Jurnal Ilmu Pemerintahan.

Simarmata, S. (2014). MEDIA BARU, RUANG PUBLIK BARU, DAN TRANSFORMASI


KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA. Jurnal Interact, 3(2), 18-36.

STUDI KEPUSTAKAAN MENGENAI LANDASAN TEORI DAN PRAKTIK KONSELING


EXPRESIVE WRITING. (n.d.).

T., A. M., & Purwoko, B. (2018). STUDI KEPUSTAKAAN MENGENAI LANDASAN


TEORI DAN PRAKTIK KONSELING EXPRESIVE WRITING. Jurnal BK UNESA
Vol 8, No.1.

UNESCO. (2013). TOOLKIT Kebebasan Berekspresi Bagi Aktivis Informasi, Alih


Bahasa oleh ICT Watch & SAFEnet. Paris: The United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Anda mungkin juga menyukai