Anda di halaman 1dari 10

SPIN OFF | How to be Your Husband

/1

Di belakang vila itu terdengar ramai, padahal hanya ada dua orang saja. Sedari tadi keduanya berteriak,
menangis, serta tertawa. Tempatnya tidak semenakutkan yang biasa dibayangkan. Karena bukit identik
dengan pepohonan yang rimbun jadi terkesan menakutkan. Tapi karena bulan April ini masih di musim
kemarau, pepohonan tampak kering kerontang. Daunnya pun berjatuhan, tanah mulai berdebu.
Untungnya masih pagi, udaranya lumayan dingin dan sejuk. Makanya dua orang ayah-anak ini begitu
semangat menjelajah. Karena berpergian kini jadi kesempatan langka yang bisa mereka lakukan.

"Ayo, Willi! Kamu bisa naik! Kamu pasti bisa!" Di tengah tanjakan bukit, Ali bersorak menyemangati. Tak
jauh di bawahnya, anaknya berdiri mematung dengan pandangan memelas. Di pikirannya penuh dengan
tanya, bukannya tadi Ayah jalan sama aku? Kok udah di sana aja?

Dengan bibir cemberut, anak berumur empat setengah tahun itu berujar, "gendong Papa."

Ali tergelak pelan setelahnya, "kamu mau gendong Papa? Tubuh kecilmu belum bisa, Willi." katanya
menahan geli. Mata Willi berkaca-kaca dan tangannya terangkat ke depan, "Gendong Willi, Papa."
katanya hampir berteriak.

Matanya tambah berair karena permintaannya tak dikabulkan. "Papa.." rengeknya mulai menangis. Hal
yang membuat Ali cepat-cepat menghampirinya. Pelukannya meredam suara tangisan Willi, dan mulai
menghilang seiring tepukan pelannya yang hendak menenangkannya.

"Cup, cup. Jagoan Papa yang kuat, tolong berhenti ya nangisnya." kata Ali pelan. Dia duduk memangku
anaknya, hampir tiduran malah karena mereka ada di kaki bukit. Dia mengarahkan anaknya agar duduk
membelakanginya dan bersandar padanya. Ia mengurung anaknya dengan dua kaki dan tangannya.
Biasanya Willi tidak suka dengan afeksi yang membuatnya sesak, tapi kali ini dia hanya diam dan enggan
menatap Papanya itu. Diam-diam Ali tersenyum gemas, ugh anak ini, mirip betul sama ibunya,
gumamnya dalam hati.

"Kamu mau liat pemandangan yang lebih indah dari ini gak?" tawar Ali yang membuat Willi mendongak
penasaran. "Tapi kan adanya lumah belakang, ndak indah, Papa." ingatnya cemberut lagi. Ali tertawa
mendengarnya, "kalo kita naik lebih tinggi lagi, gak cuma rumah kita yang keliatan kok. Tapi ada yang
lain lagi."
"Benelan? Apa itu Papa?" Willi berbalik menatap Ali lebih jelas. "Heum, Papa juga gak tau. Makanya
Papa mau naik buat liat. Kamu ikut?" Si Kecil mengangguk antusias dia bahkan berdiri dan menarik
Papanya agar mengikutinya. "Ayo Papa! Ayo, liat!" katanya sambil memeluk manja ayahnya.

Sayangnya Ali enggan menggendongnya. Dia dengan pelan melepas kedua tangan Willi yang melingkar
erat di lehernya. "Ayo kita jalan. Jangan digendong, oke?"

Willi menggeleng cepat, "nanti ditinggal Papa." katanya cemberut. Ali menepuk pucuk kepala anaknya
pelan, "Papa di belakang kamu, gak akan ninggalin kok. Tapi nanti kalo kamu capek, Papa bakal
gendong."

Setelah menyetujui kesepakatan tidak tertulis itu, Willi akhirnya berjalan pelan. Sesekali ia menoleh ke
belakang, memastikan kalau ayahnya tidak akan pergi meninggalkannya lagi.

"Injak batu yang besar,"

"Pelan-pelan jalannya."

"Kamu lihat pohon-pohon sekitar? Nanti kalau kamu capek, bisa istirahat di sana."

"Lihat, bayangan kamu itu bisa jadi jam, semakin kecil bayangannya, berarti posisi matahari makin tinggi.
Tandanya sudah jam dua belas siang. Mafahari juga bisa jadi petunjuk arah, asalkan cuaca cerah dan
kamu tahu caranya, kamu bisa jalan ke tujuanmu tanpa tersesat." jelas Ali yang masih membuntuti
anaknya sambil berjaga-jaga. Willi menoleh, dia selalu tertarik dengan cerita-cerita ayahnya itu.

"Benalkah? Lalu kenapa jam dibuat kalau ada matahali?"

"Karena, di dunia ini kita butuh waktu yang pasti. Meskipun detik di jam milik Papa dengan yang lain
beda, tetap saja jam ini dibutuhkan." Ali menghela napas lelah, dia menghentikan langkahnya dan
menuntun Willi untuk duduk di sampingnya. "Kamu tau, manusia itu diciptakan untuk terus belajar dari
alam sekitar. Dengan begitu kehidupan berjalan dan berkembang. Mengandalkan matahari seterusnya
memang memungkinkan, tapi akan merugikan kalau mendung. Karena mataharinya tidak akan muncul.
Tidak semua orang bisa membaca waktu dengan cahaya matahari, makanya ada orang yang membuat
jam untuk memudahkan semua orang. "
Ali terkekeh menatap Willi yang menatapnya dengan bingung. Khas sekali dengan anak lugu yang dijejali
pembicaraan berat. "Intinya, mau jam atau cahaya matahari, dua-duanya bisa menunjukkan waktu."
Willi memprotes setelahnya, "tapi Papa, malam hali gak ada matahali. Tlus gimana?" Dia menggaruk
kepala bingung.

"Makanya jam pasir dibuat. Kalau pasir yang di atasnya udah abis, tinggal di balik lagi. Jadi pasirnya bisa
turun lagi. Setiap tabung bawah terisi semua pasir dari tabung di atasnya, berarti menunjukkan sudah
satu jam.

Dan jam pasir inilah yang biasa dipakai waktu malam hari."

"Ada juga bintang yang jadi penunjuk arah, Nak." Ali menjawab sabar. "Bintang? Kenapa bukan bulan
yang lebih besal, Papa?"

"Sebab, bintang jumlahnya lebih banyak. Bisa membentuk gugusan yang disebut rasi bintang. Nah,
nelayan biasanya memakainya sekaligus sebagai penunjuk jalan kalau sedang melaut."

Willi menatap langit dengan penuh binar, "Papa, kalau sudah besal nanti, Willi ingin jadi nelayan bial
bisa liat bintang, boleh?" Ali berdehem panjang, "Papa lebih suka kamu jadi bos saja, Nak. Tapi kita
pikirkan lagi nanti ya. Tiap hari cita-citamu berubah, tunggu jadi besar dulu ya, biar lebih matang
keputusannya."

Willi tak mengerti maksud omongan ayahnya, dia mengangguk-angguk sok paham. Ayahnya kembali
bercerita lagi, bukan soal jam, tapi soal liburan lagi. Hal yang sangat ia sukai, karena kalau ada liburan,
berarti ada sang ayah. Di hari-hari biasanya ia jarang bertemu Ali akibat pekerjaannya yang
mengharuskan untuk berpergian. Kadang, ia dan ibunya akan ikut serta, namun berakhir pulang duluan
karena keduanya sama-sama tak betah seharian di hotel.

"Jadi, kita lanjutkan naik bukitnya?" Willi merengut mendengarnya. Walaupun ia senang menghabiskan
waktu bersama sang Ayah, bukan berarti ia juga menyukai momen saat Ali menyiksanya dengan hal ini
contohnya. Makanya ia menggeleng cepat-cepat mengambil langkah seribu, meninggalkan Ali yang
berteriak panik karena sang anak berlari turun dari bukit.

"Willi, hati-hati! Jangan lari-lari nanti jatuh!"


Kaki kecil Willi baru berhenti saat sampai di pintu belakang vila. Tempat Prillyana muncul. Ia langsung
bersembunyi di belakang sang ibu, jaga-jaga kalau Ali mau memarahinya. Ibu satu orang anak itu ikut
panik kala Ali menampakan wajah di depannya sambil ngos-ngosan. "Ada apa? Kalian kenapa lari-larian
dari bukit? Kalau jatuh gimana?"

"Willi tiba-tiba lari saat aku ajak lanjut naik." jelas Ali yang membuat Prillyana melotot marah. "Kamu itu!
Willi masih kecil sudah kamu ajak buat aktivitas orang dewasa! Gimana gak kabur dianya kamu paksa?"

"Namanya kan lagi masa golden age, Susser. Gak ada salahnya kalau aku ajak eksplorasi." bela Ali tak
mau disalahkan. "Ya tapi jangan terlalu ekstrim, Boo." Prillyana mendengus sebal. Dia menyingkir dari
himpitan ayah dan anak itu. Matanya mengintimidasi keduanya, "ayo minta maaf dan berbaikan."
katanya. "Dua-duanya." Prilly melanjutkan sambil melotot lagi.

Baik Ali maupun Willi mengkerut. Keduanya mengikuti instruksi Prillyana sampai wanita itu tersenyum
puas. "Ayo sarapan menjelang makan siang dulu. Kalian bisa-bisanya main tanpa makan, untung aja hari
ini gak panas banget. Setelah ini kalian harus minum air putih banyak-banyak biar gak kena flu.
Terutama kamu, Willi. Mama udah siapin buah jeruk sama jus alpukat. Untuk Papa, kamu harus makan
sayur bayam dan jus wortel dulu oke?"

Ali dan Willi sama-sama memasang wajah masam. Oh mereka tidak suka, sungguh!

***
/2

Willi selalu mencintai orang tuanya. Baik ayah dan ibunya itu menjadi nomor satu di hatinya. Tapi ada
satu hal yang tidak ia suka; diabaikan. Pagi-pagi seperti ini ayahnya sudah sibuk dengan ponsel dan
setumpuk berkas yang ia baca disela bertelepon dan juga sarapan. Sedang sibuk saja Ali masih sempat
memprotes Prillyana yang malah memberinya jus buah bukannya kopi seperti yang ia minta.

Melihat itu, ibunya tak lekas membantah atau berdebat seperti biasa. Wanita itu langsung bergerak
mengganti minumannya daripada ikut kena semprot sang ayah. Willi merengut tidak suka. Alisnya
menyatu lengkap dengan tatapan tajam khas anak berumur enam tahun yang baru masuk Sekolah
Dasar. Jam segini Mamanya juga harus sarapan, dia tau Prillyana punya maag kronis yang harus
memperhatikan pola makannya. Belum lagi sarapan belum selesai dihidangkan, dan ibunya kembali
sibuk masak lagi.

Kadang ia gemas sendiri, padahal di rumahnya yang besar ini punya banyak pelayan. Tapi kenapa dari
dulu Prillyana suka sekali merepotkan diri?

Ali bangkit dan bergegas menuju lift rumah. Sepertinya ada yang tertinggal. Perhatian Willi kembali lagi
pada Ibunya yang datang ke ruang makan sambil membawa secangkir kopi. Wajah pucatnya menjadi
atensi utama anak lelaki itu. Dia kembali menggeram sebal. Cepat-cepat meraih cangkir kopi dan
beranjak menuju kamar mandi dapur. Dia buang isinya asal-asalan. Setelahnya Willi kembali duduk
tenang di kursinya. Dikembalikannya cangkir itu ke tempat sebelumnya. Tak lama kemudian Ali muncul,
masih dengan berkas-berkas yang ia baca.

Tangannya hampir meraih kopinya sebelum tatapannya terpaku pada isinya yang kosong.

"Susser! Apa kamu melupakan kopiku?" tanyanya berteriak pada Prillyana yang masih ada di dapur.
"Baru aja aku taruh di meja kok. Pakai cangkir yang biasanya."
/3

Pesawat rute internasional tujuan Jepang-Indonesia baru saja landing. Setelah berjam-jam lamanya
mengudara dengan segala fasilitas standar hingga VVIP, semua penumpang mengambil lekas mengambil
bagasi. Termasuk Alisaki yang telah dijemput oleh Rega dan dua anak buahnya lagi. Lelaki kekar itu
mengangguk sebagai isyarat sapaan. "Biar saya bawakan koper Anda, Tuan Ali." katanya yang langsung
mengambil alih barang bawaan sang majikan.

Ali berjalan cepat dan lekas masuk ke dalam mobil jemputannya. Dia berkata, "antar aku ke rumahku."
Sopirnya mengangguk tanpa bantahan. Udara pagi di ibu kota serasa siang hari yang terik. Polusi di
mana-mana hingga Ali dibuat tak nyaman dengan pemandangan sekitar. Plus kemacetan kali ini berlalu
begitu lama hingga membuatnya kehilangan kesabaran. "Apa tidak ada jalan lain?"

Si sopir dengan takut menjawab, "jalan lain juga macet, Pak. Sebagian ditutup untuk wisuda kampus
depan, Pak." Ali berdecak tak sabar. Rega yang satu mobil dengannya berbicara memberi saran,
"haruskah saya menghubungi keamanan agar memberi jalan, Tuan?" Ali menggeleng tak setuju.
Kalaupun bisa, hal ini hanya akan menimbulkan kontra. Bisa saja mereka meributkan seputar
ketidakadilan di mana emosi mereka makin tersulut melihat adanya pihak yang diistimewakan. Baiklah,
mau tak mau Ali harus menikmati hari ini.

Sebenarnya ia sudah lelah sekali, apalagi karena efek jet lag membuatnya kian pusing. Bunyi klakson di
kanan-kirinya menambah ekspresinya yang kian masam. Alhasil ia memilih memejamkan mata barang
sejenak untuk menenangkan diri. Biasanya ia mampu menidurkan diri barang 2 menit, tapi karena
suasana tidak mendukung membuatnya harus berkonsentrasi lebih ekstra.

Dan begitu mobilnya berada di tempat pelaksanaan wisuda, Ali memandangi lalu lalang mahasiswa/i
bertoga yang raut wajahnya bahagia. Tak berapa lama matanya menajam, berusaha memperjelas sosok
yang dirasanya familiar. Perempuan bergelung dengan riasan tebal nan cantik membuatnya terpaku.
Atensinya fokus padanya yang baru saja melewati mobilnya dengan senyum manis yang memukau.

Ali merasa waktu makin melambat beberapa saat. Garis bibir dan lengkung mata yang familiar
membuatnya kian terpaku. Ya Tuhan! Jiwanya segera disadarkan begitu perempuan itu hilang dari
pandangannya. "Rega! Gunakan kartu As. Aku ingin masuk ke kampus itu." katanya tergesa.
"T-tapi, Tuan—

"Segera, kubilang!" potong Ali dengan tajam. Rega menelan ludah, dia memberi titah yang sama pada
sopir yang langsung menurut dan mengambil arah kiri. Mereka baru saja memarkirkan mobil mereka.
Didampingi Rega, Ali meminta anak buahnya yang lain agar tidak mengikutinya ke dalam gedung. Ia
bergegas masuk, mencari satu-satunya gadis yang tadi ia hapalkan ciri-cirinya. "Rega, apa kau tadi
melihat gadis itu?"

Rega menggeleng bingung yang membuat Ali menggeram kesal. "Dia menggelung rambutnya dan
membawa tas kecil warna merah. Dia juga memakai heels merah. Carikan dia untukku, kalau ketemu
lekas hubungi aku." kata Ali yang segera berlalu. Wajahnya celingukan, mengamati lalu lalang orang
dengan cermat. Sampai kemudian dia menggeram sebal saat ada petugas keamanan yang
menghadangnya dengan pandangan curiga.

Ali menatapnya tajam saat dirinya tidak diperbolehkan masuk ke dalam gedung. "Maaf, selain calon
wisudawan tidak diperbolehkan masuk, Tuan."

"Alisaki Dipta, pemilik sponsor acara ini." ujar Ali sambil mengeluarkan kartu namanya. Dia masuk tanpa
membiarkan si petugas itu menyahutinya. Di dalam aula yang besar itu Ali memindai satu per satu wajah
dari mahasiswi yang ada sementara acara baru dimulai. Dia hampir putus asa dan menganggap hal tadi
ialah halusinasi semata. Tapi nyatanya, beberapa detik kemudian matanya menangkap sosok itu lagi. Dia
sampai harus mengerjapkan matanya beberapa kali demi memastikan hal yang nyata.

Perempuan itu duduk anggun dan menebar senyum pada beberapa orang yang dikenalinya.
Penampilannya tampak begitu memukau dan Ali harus beberapa kali memastikan tidak salah sampai
akhirnya ia berbalik. Senyumnya mengembang, apalagi ketika ia menemukan beberapa orang
menghampirinya dengan tergopoh. Satu diantaranya ia kenali sebagai rektor universitas yang sedang ia
singgahi.

"Tuan Alisaki, suatu kehormatan Anda berkunjung kemari. Boleh saya tahu, apa yang anda perlukan?"

Ali menyeringai kecil, dia tak jadi pergi. "Bapak lihat mahasiswi bergelung yang duduk di baris ke lima
itu? Jelaskan profil singkatnya." Dititahi seperti itu, si rektor gelagapan. Ia memberi isyarat kepada
seorang dekan yang mengikutinya. Tak lama setelahnya suaranya kembali berbunyi dan mengalihkan
pandangan Ali yang tetap pada perempuan itu.

"Namanya Jihan Prillyana Nalendra, jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi. IPK terakhir 3,89. Hampir
straight A. Orang tuanya duduk di barisan depan sebagai wali lulusan cum laude. Sebelah sana, Tuan."
Ali mengikuti arah yang ditunjukkan sang rektor. Dia mengangguk paham. "Terima kasih untuk infonya,
Pak. Silakan kembali ke tempat Anda. Saya yakin panitia penyelenggara sedang kebingungan mencari
Anda." kata Ali beranjak pamit. "Terima kasih kembali karena telah datang, Tuan Alisaki. Jika berkenan
menyaksikan, kami akan dengan senang hati msnyiapkan kursi tamu kehormatan untuk Anda."

Ali menggeleng singkat, "mohon maaf. Setelah ini saya harus hadir di konferensi pers dengan media.
Tapi saya sudah meminta pihak kami untuk mewakili saya." jelasnya singkat. Setelah meladeni basa-basi
singkat, Ali bergegas keluar. Dia memanggil Rega dan memintanya untuk segera pergi.

"I have find her just now." kata Ali pelan. Untungnya Rega bisa mendengarnya. Lelaki kekar itu menoleh
ke arah sang majikan yang bertumpu dagu dan menatap ke arah luar. "Should I meet with her?" Ali
menoleh ke arah Rega yang langsung menunduk. "Apa tidak terburu-buru, Tuan?"

Ali mengerjap pelan, ah iya. Belum tentu juga dia akan mengenalinya. Penolakan paling ekstrim yang
terbayang ialah; dia akan menganggapnya gila atau penjahat karena sok kenal dan sok dekat. Napasnya
terhembus pelan, "jangan lupa untuk ikuti dia, Rega."

***

Sebulan terakhir Ali disibukkan dengan pengembangan perusahaan barunya, Zenius Tech. Salah satu
anak perusahaannya yang merambat ke dunia pendidikan. Dia jadi jarang pulang ke rumah orang
tuanya, padahal Ayah dan Bundanya sudah mewanti-wanti agar dia harus tinggal lagi di sana. Tapi dia
keras kepala. Jiwa berbisnisnya sudah mendarah daging dan sulit dilepas. Kalau bukan paksaan
Bundanya yang kelewat berlebihan mungkin hari ini Ali masih berkutat dengan segala meeting dan
persoalan kantornya.

Hanya dengan modal Bundanya yang ngambek dan ancaman Ayahnya tentang mencabut saham yang
ditanam di sebagian besar Prama Grup membuatnya tak bisa berkutik. Bisa-bisa langsung tumbang
perusahaan kakeknya akibat pemutusan sepihak itu, mengingat lebih dari empat puluh persen dari
masing-masing anak perusahaan adalah saham milik keluarga yang dikelola oleh ayahnya sebagai
penanggung jawab. Jadilah dirinya berakhir di meja makan bersama sebagian keluarga besarnya.
Bodohnya ia baru ingat hari ini adalah hari ulang tahun sang kakek yang sudah sepuh dan segala
aktivitasnya dibantu oleh suster pribadi.

Canggung rasanya. Ia tidak begitu dekat dengan saudara-saudaranya. Biasanya di acara seperti ini dia
akan melipir ke kamar begitu sudah mengikuti seperempat jam sebagai bukti setor muka. Tapi kali ini
Bundanya terus menahan dan menyuruhnya ini-itu. Ali hampir meledak kalau emosinya tidak segera
dikendalikan. Ia menghela napas pelan, berusaha menenangkan diri dan berhenti menggertakan gigi.

"Ali, sini minum dulu. Ini jus wortel buatannya Bude Maya. Cobain deh, ini enak banget. Kakek aja
sampai abis tiga gelas." Bunda Maudi berkata dengan ceria. Di seberangnya sang Kakek tersenyum
hangat. Tapi raut wajah Ali berkebalikan, ia malah merengut tidak suka. "Bun, Ali gak suka wortel."
tolaknya halus.

"Ayo dong, Sayang. Jahat banget kamu nolak pemberian dari Bunda. Bunda sedih nih." Bibir Bunda
Maudi sudah mencebik masam. Lelaki itu hampir saja berdecak kalau tidak ingat nanti ibunya
bertambah muram. "O-oke. Tapi setengah gelas."

"Satu gelas ya? Oke? Oke. Anak Bunda emang terbaik." Bunda Maudi menebar senyum bahagia. Lagi-lagi
Ali merasa kalau dia sedang menghadapi ujian berat. Ya, mau bagaimana lagi? Titah Bunda yang paling
berat seperti menyeberangi gunung dan lautan pun akan ia lakukan. Apalagi cuma disuruh minum jus
berwarna oranye ini?

Masalahnya, Ali benci wortel. Ali tidak suka sayur. Dia tidak suka dipaksa, tapi dia patuh pada sang Ibu.
Soalnya yang tahu baik dan buruk kebiasaannya ya wanita yang melahirkannya itu.

"Omong - omong siapa cewek yang lagi kamu kepoin, Nak?"

Huk. Lelaki itu hampir saja tersedak kalau tidak menahan diri. Dia menoleh kaget pada ibunya. "Apasih,
maksud Bunda?!" sewotnya dengan mata melotot. "Hei, kamu jangan sok kaget gitu. Dari dulu Bunda
kan selalu pantau kamu. Walaupun kamu udah besar, tetap aja Bunda gak bisa cuekin kamu."
Bunda Maudi mengelus bahu Ali dengan pelan. "Jujur deh, siapa cewek yang lagi kamu kepoin sebulan
ini? Dia bukan korban PHP kamu kan?" tanyanya penuh selidik. Sekejap kemudian ia memekik pelan,
"atau dia itu cewek yang kamu hamilin lagi?! Ali, kan Bunda udah bilang, jangan suka having sex before
married. Kamu gak bisa terus-terusan gini. Umurmu itu udah matang, jangan terus-terusan ikut
pergaulan bebas kenapa? Gak inget kamu punya Bunda di rumah?" Wajah paruh baya itu beruraian air
mata.

"Bunda, Bun. Jangan gini." Ali berdesis pelan. Dia meraih tubuh ibunya yang menangis untuk ke sekian
kalinya karena dirinya. Meski begitu, yang namanya Ali tetap Ali. Inget dosa hari ini, besoknya udah
kumat lagi.

"Bun, dia bukan siapa-siapa kok. Beneran. Ali cuma penasaran aja." perkataannya tak serta merta
meredakan tangis ibunya. "Stop sekarang Ali kalau niatmu jelek sebelum hal yang Bunda gak ingin
terjadi. Atau kalau kamu masih keras kepala, ajak serius cewek itu." kata Bunda Maudi dengan gesture
tegas selaras dengan suaranya yang penuh penekanan.

Hell! Ali mengerjap kaget. "Bun, Ali cuma penasaran karena dia mirip temen Ali dulu Bun. Gak lebih.
Lagian dia cuma mirip mukanya, dan gak akan Ali gak akan deketin itu cewek." Ya setidaknya hari ini, gak
tau besok.

Naluri seorang ibu memang kuat, dia mengenali segala tingkah laku anaknya. Seperti Bunda Maudi yang
langsung tahu dari nada suara Ali yang meragu. "Beneran? Gimana kalau Bunda ikut cari tau? Mau gak
Bunda bantuin?"

H-hah?

Ali terpaku. Dia bahkan tak mendengar kala Bundanya sudah memberi pengumuman perihal kedekatan
Ali dengan seorang wanita. Saran-saran dari para tetua pun ditanggapinya dengan linglung. Satu-dua
diantara mereka memberi petuah kalau hubungannya harus lekas diresmikan, katanya niat baik tidak
boleh ditunda-tunda.

Anda mungkin juga menyukai