614 1176 1 SM
614 1176 1 SM
Abdillah
STAI DDI Pangkep
Jln Poros Pangkajene, Pangkep, SULSEL
Email; abdillah@gmail.com
Abstract;
This article discusses the renewal of Islamic thought as a manifestation of the
values of monotheism. Tawhid is central and very fundamental concept in
Islam. Undoubtedly the essence of Islam itself is an affirmation of monotheism-
or acknowledgment that God is Almighty, Creator of absolute and
transcendent, as well as King and Lord of the universe. Tawhid Islamic
civilization is functionally or structural elements of civilization identity
provider. Tawhid binding or integrating the entire basic elements so as to form
a coherent whole, which is known as civilization. In the process of integrating
the different elements of the essence of civilization-in this case typically forms
tauhid- coloring. The authors came to the conclusion that the fundamental
purpose of the renewal of Islamic thought in the religious life is to make the
evolution of life is moving in a direction to move much more important for the
purpose of ego than the moral health of the social structure that forms the
current environment.
Keywords;
Islamic Thought – Values – Monotheism - Civilization
Abstrak;
Artikel ini membahas pembaharuan pemikiran Islam sebagai manifestasi nilai-
nilai tauhid. Tauhid merupakan konsep sentral dan sangat fundamental dalam
Islam. Tak diragukan lagi esensi ajaran Islam itu sendiri adalah tauhid-suatu
afirmasi atau pengakuan bahwa Allah adalah Maha Esa, Pencipta yang mutlak
dan transenden, serta Raja dan Penguasa alam semesta. Tauhid dalam
peradaban Islam secara fungsional adalah unsur atau struktur pemberi
identitas peradaban. Tauhid mengikat atau mengintegrasikan keseluruhan
unsur pokok tersebut sehingga membentuk suatu kesatuan yang padu, yang
dikenal sebagai peradaban. Dalam proses mengintegrasikan unsur-unsur yang
berbeda tersebut, esensi peradaban-dalam hal ini tauhid- mewarnai bentuknya
secara khas. Penulis sampai pada kesimpulan bahwa tujuan mendasar dari
pembaharuan pemikiran Islam dalam kehidupan keagamaan ialah membuat
evolusi kehidupan ini bergerak bergerak dalam arah yang jauh lebih penting
untuk tujuan ego daripada kesehatan moral tentang struktur sosial yang
membentuk lingkungannya saat ini.
Kata Kunci;
Pemikiran Islam – Nilai-Nilai – Monoteis - Peradaban
I. PENDAHULUAN
S
ecara keseluruhan prinsip Islam bertumpu pada tauhid. Hal inilah yang
merupakan inti atau ruh Islam. Dengan kata lain tauhid merupakan
konsep sentral dan sangat fundamental dalam Islam. Tak diragukan lagi
esensi ajaran Islam itu sendiri adalah tauhid-suatu afirmasi atau pengakuan
bahwa Allah adalah Maha Esa, Pencipta yang mutlak dan transenden, serta
Raja dan Penguasa alam semesta. 1 Selain itu, tauhid secara kebahasaan berarti
keesaan atau kesatuan. Dimaksud keesaan di sini adalah keesaan Tuhan. Ulama
menyebutkan bahwa pengertian tiada Tuhan selain Allah adalah tiada yang
layak disembah selain-Nya, ketundukan hanya tertuju pada-Nya. 2 Kepasrahan
dan atau ketundukan secara essensial yang diharapkan untuk diberikan oleh
setiap Muslim kepada Allah adalah seseorang yang menyerahkan segenap
dirinya kepada Sang Pencipta Tunggal.3
Dalam pengertian sederhana, tauhid bisa diartikan sebagai pengakuan
dan persaksian “Tiada Tuhan selain Allah”. Pernyataan ini cukup singkat dan
padat namun memiliki makna yang sangat kaya dalam ajaran Islam sebagai
suatu keseluruhan sistem. Bahkan terkadang seluruh kebudayaan, peradaban
atau sejarah kehidupan termuat dalam kalimat tersebut. Rukun Islam, Syahadat,
yaitu pengakuan seorang Muslim bahwa “aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah” bukanlah sekedar
penegasan atas eksistensi Tuhan melainkan juga persaksian bahwa Allah
merupakan satu-satunya realitas sejati, bentuk eksistensi sejati. Dialah satu-
satunya realitas, keindahan, atau kesempurnaan sejati. Semua wujud yang
terlihat ada dan memiliki sifat-sifat seperti ini hanya meminjam keberadaan
dan sifat tersebut dari wujud essensial ini. Mengucapkan penegasan ini
menuntut kaum Muslim untuk mengintegrasikan kehidupan mereka dengan
menjadikan Allah sebagai fokus dan prioritas tunggal mereka. Mengatakan
bahwa Allah itu satu bukan sekedar sebuah definisi numerik, melainkan seruan
untuk menjadikan seruan keesaan tersebut sebagai fakto pengendali kehidupan
individu dan masyarakat. Keesaan Tuhan dapat terpantul dalam diri yang
benar-benar terintergrasi dengan-Nya.4
Inti pengalaman keagaman adalah Tuhan. Kalimat syahadat, atau
pengakuan penerimaan Islam, menegaskan: “Tidak ada Tuhan selain Allah”.
Nama Tuhan adalah “Allah” dan menempati posisi sentral dalam setiap
kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap Muslim. Kehadiran Tuhan mengisi
kesadaran Muslim dalam waktu kapanpun. Dalam pandangan Muslim yang
benar, Tuhan bukanlah semata-mata sebagai ‘sebab pertama’ sebagaimana
dideskripsikan sementara teolog dan ultimat yang tinggi. Melankan lebih dari
itu, yaitu bahwa Dia adalah inti kenormativan. Tuhan sebagai inti
kenormativan berarti bahwa Dia adalah Dzat yang Mahamemerintah. Gerakan-
gerakan-Nya, pemikiran-pemikiran-Nya, serta perbuatan-perbuatan-nya
adalah realitas-realitas yang mustahil untuk dipungkiri dan diragukan. Tiap-
tiap dari hal ini, sepanjang manusia memahaminya, merupakan suatu nilai
baginya serta suatu keharusan.5
Akan sangat carut marut ketika Tuhan menciptakan manusia, namun
tidak memungkinkan baginya memikirkan-Nya, mengetahui kehendak-Nya.
Sedangkan cara untuk mengetahui kehendak-Nya adalah diberikannya wahyu;
suatu pengungkapan langsung mengenai apa yang diinginkan Tuhan agar
diwujudkan manusia di muka bumi. Karenanya, jikalau kita merenung dan
berpikir secara tulus dan benar, pasti kita akan menyadari bahwa Allah hadir
di mana-mana. Kita dapat menemukan-Nya setiap saat dan di semua tempat.
Pengetahuan manusia dapat mengantarnya kepada pengakuan tentang wujud
dan kuasa-Nya.
Menurut Quraish Shihab bahwa yang dimaksud ulama adalah mereka
yang memperhatikan dan memahami kitab Tuhan Yang terhampar di alam
raya. Mereka mengenal-Nya melalui hasil ciptaan-Nya, menjangkau-Nya
melalui dampak kuasa-Nya, serta merasakan hakikat kebesaran-Nya dengan
melihat aneka kebijakan-Nya.6 Iman atau agama dan ilmu pengetahuan
dibutuhkan umat manusia karena menentukan arah yang dituju, sedang ilmu
mempercepat manusia sampai ke tujuan, dan Tuhan adalah tujuan utama dan
terakhir, yakni di mana semua perihal finalistik mengarah dan berhenti.
Menjadi seorang Muslim berarti menganggap Tuhan semata sebagai normatif,
kehendak-Nya semata sebagai perintah, sistem dan pola kehidupan semata
sebagai kebutuhan etis penciptaan. Kandungan wawasan Muslim adalah
kebenaran, keindahan dan kebaikan.
Tauhid dalam peradaban Islam secara fungsional adalah unsur atau
struktur pemberi identitas peradaban. Tauhid mengikat atau mengintegrasikan
keseluruhan unsur pokok tersebut sehingga membentuk suatu kesatuan yang
padu, yang dikenal sebagai peradaban. Dalam proses mengintegrasikan unsur-
unsur yang berbeda tersebut, esensi peradaban-dalam hal ini tauhid- mewarnai
bentuknya secara khas. Tauhid menyusun unsur-unsur pokok peradaban
sedemikian rupa sehingga membangun suatu harmoni yang padu dan saling
mendukung antar unsur. Tanpa perlu mengubah hakikat, esensi ini dengan
sendirinya melakukan pengubahan dengan semua unsur pembentuk dan
memberi ciri khas beru bagi peradaban tersebut. Tahap transformasi peradaban
Islam beragam, tergantung pada sejauhmana relevansi esensi dengan unsur-
unsur pokok yang berbeda serta peranannya. Relevansi ini pada kenyataannya
mempengaruhi secara kuat alam pikiran para pengamat muslim peminat
peradaban untuk mengkajinya secara serius. Mereka menganggap tauhid
merupakan prinsip mendasar yang menentukan segenap prinsip peradaban
lainnya.7
Sebagai sebuah tradisi religius yang utuh, yang mencakup seluruh aspek
kehidupan umat manusia, Islam tidak hanya membahas yang wajib dan yang
dilarang untuk dilakukan oleh mansia, tetapi juga membahas apa yang perlu
diketahuinya. Dengan kata lain, Islam adalah sebuah cara berbuat dan atau
melakukan sesuatu sekaligus cara untuk mengetahui. Dari kedua jalan tersebut,
aspek mengetahui adalah aspek yang dianggap paling penting. Hal ini adalah
karena secara esensial, Islam adalah agama pengetahuan. Islam memandang
pengetahuan sebagai cara yang utama dalam menyelamatkan jiwa dan
pencapaian kebahagiaan serta kesejahteraan hidup manusia di dunia dan
akhirat.8
Pengalaman keagamaan Islam memang mempunyai konsekuensi besar
bagi sejarah Islam. Semangat wawasan Islam mendorong seorang Muslim ke
atas panggung sejarah, untuk mewujudkan di dalamnya pola Ilahi yang telah
diberikan Nabi kepadanya. Baginya tidak ada yang lebih berharga dari tugas
ini. Demi tugas ini, dia siap untuk mengorbankan apa saja, termasuk
nyawanya. Semuanya dikemukakan untuk menggaungkan, sebagaimana
dalam al-Qur’an, ‘menjadikan kalimat Ilahi menjadi yang terunggul’. 9
Karena segala sesuatu diciptakan untuk suatu tujuan, maka realisasi
tujuan tersebut pastilah mungkin didapat melalui sesuatu yang terdapat
lingkup ruang dan waktu. Tanpa kemungkinan ini, taklif terhadap manusia
atau kewajiban moral tidak berlaku. Karena ketidakberlakuannya, sifat
kekuasaan Tuhan akan menjadi hancur. Sedang hal tersebut mustahil adanya.
Sebagai pelaku dari tindakan moral, manusia karenanya harus mampu
mengubah dirinya, sesamanya, atau masyarakatnya, alam dan lingkungannya
untuk bisa mengaktualisasikan pola atau perintah Ilahi. Selain itu sebagai objek
dari tindakan moral sekaligus, manusia dan lingkungannya juga haruslah
mampu menerima tindakan efektif dari manusia yang lain.
Kita telah melihat bahwa manusia dibebani kewajiban untuk mengubah
dirinya, masyarakat dan lingkungannya agar sesuai dengan pola Ilahi. Dari
fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia memikul tanggung
jawab. Mematuhi Tuhan, yakni merealisasikan perintah-perintah-Nya dan
mengaktualisasikan sistem-sistem-Nya berarti menuju untuk memperoleh
keberuntungan (falah) dan kebahagiaan. Sebaliknya, tidak berbuat demikian,
berarti mengundang untuk memperoleh hukuman, penderitaan, dan
kesengsaraan. Hak istimewa manusia adalah menjalani kehidupan yang penuh
dengan budaya kosmik dengan kemerdekaan yang dianugerahkan Tuhan
kepadanya, kemerdekaan untuk berkehendak, dan kemerdekaan untuk
memilih. Tentunya hal ini tidak melampaui kadar atau ukuran yang ditetapkan
oleh Tuhan.10
II. PEMBAHASAN
A. Pembaharuan Pemikiran Islam sebagai Manifestasi Nilai Ketauhidan
umumnya. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak yang menghitung
perubahan di Eropa tersebut sebagai titik mula dimulainya abad modern.
Setahap demi setahap, kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa tidak dapat
dibendung dan sangat deras, karena selain memanfaatkan warisan keilmuan
tradisi Yunani, Eropa juga belajar banyak dari peradaban Islam yang baru saja
runtuh dan telah banyak menymbangkan perkembangan luar biasa dalam
ilmu-ilmu eksakta. Kemajuan di Eropa tersebut diiringi dengan semakin
maraknya gerakan anti-agama (baca: Gereja). Setidaknya ada dua faktor yang
telah menyebabkan masyarakat Eropa menjauhi agama: pertama, akibat trauma
kemunduran yang sebelumnya dialami masyarakat Eropa, dimana gereja
sangat mendominasi seluruh sisi kehidupan masyarakat. Kedua, perkembangan
ilmu-ilmu empiris yang sangat pesat, telah banyak mementahkan doktrin-
doktrin gereja yang banyak mengandung unsur irasionalitas.
Satu hal yang harus diingat, bahwa masa peralihan yang dialami
masyarakat Eropa dari the dark age menuju kepada peradaban modern,
ditopang oleh berbagai pemikiran yang berkembang saat itu, terutama filsafat
dan ilmu-ilmu eksakta, seperti terjadinya Aufklarung di Jerman. Minimal ada
empat faktor yang telah mengantarkan Eropa mencapai renaissance:
1. Penerjemahan buku-buku hasil karya kaum Muslimin ke dalam bahasa
Latin. Hal ini berlangsung antara abad 13 dan 14 Masehi. Pengaruh
pemikiran Arab inilah yang telah memberi amunisi besar bagi masyarakat
Barat untuk melanjutkan berbagai inovasi dan penemuan ilmiah ilmuwan
Arab-Muslim.
2. Ketika Turki berhasil menaklukkan Konsatntinovel pada tahun 1452 M,
banyak ilmuwan Yunani yang hijrah ke Italia dan bekerjasama dengan
komunitas yang sudah lama berusaha menghidupkan tradisi filsafat
Platonis.
3. Mulai banyak berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang mempelajari
ilmu pengetahuan secara independen dan jauh dari tekanan gereja. 13
Abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam. Abad
inilah daerah-daerah Islam meluas di barat melalui Afrika Utara sampai
Spanyol, di Timur Melalui Pesia sampai India. Daerah-daerah ini kepada
kekuasaan kholifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian
di Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Di abad ini lahir para pemikir dan ulama
besar seperti; Maliki, Syafi’I, Hanafi, dan Hambali. Dengan lahirnya pemikiran
para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang dengan
pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama, nono agama maupun
dalam bidang kebudayaan lainnya. Memasuki benua Eropa melalui Spanyol
dan Sisilia, dan inilah yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan yang
menguasai alam pikiran orang barat (Eropa) pada abad selanjutnya. Di
pandang dari segi sejarah kebudayaan, maka maka tugas memelihara dan
menyebarkan ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil nilainya dibanding dengan
mencipta ilmu pengetahuan. Di antara yang mendorong timbulnya
pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah: Pertama, paham tauhid yang
B. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266 H atau 1849 M disebuah
distrik bernama Sibsyir kota Mahallah Nasr dari profinsi Bakhirhah, Mesir.
Tumbuh ditengah keluarga berperekonomian menengah yang berprofesi
sebagai petani. Beliau belajar Al-quran di rumah ayahnya saat beliau berusia10
tahun. Dan selesai menghafalnya setelah dua tahun. Kemudian ayahnya
saya akan rela mengorbankan apa yanga da pada diri sayauntuk menghidupkan
rasa solidaritas Islam yang mendalam.
Saya bersumpah atas nama kehebatan dan kekuasaan Allah bahwa saya
tidak akan mendahulukan kecuali apa yang diprioritaskan oleh agama Allah dan
tidak akan menbelakangkan sesuatu langkah kalau akan membawa kerugian bagi
agama, sedikit atau banyak.
Dan saya berjanji kepada Allah bahwa sayaakan selalu berdaya upaya
mencari segala jalan atau peluang untuk kekuatan Islam dan kaum Muslimin. 19
Menurut Abduh, Agama Islam datang dengan kepercayaan Tauhid,
mengesakan Allah Swt dalam Dzat-Nya dan perbuatan-Nya serta bersihnya
dari hal yang serupa dengan segala makhluk. Islam mengemukakan dalil-dalil
bahwa alam ini mempunyai Tuhan Pencipta yang satu lagi memunyai sifat-
sifat utama yang dibuktikan oleh tanda-tanda karya ciptaan-Nya, yaitu sifat-
sifat Ilmu, Qudrat, Iradat dan lain-lain. Dan bahwa tidak ada satupun diantara
makhluk-Nya yang menyerupai-Nya dan bahwa tidak ada nisbah (sandaran)
antara-Nya dengan para makhluk kecuali bahwa Dialah yang mewujudkan
mereka itu. Dengan ajaran tauhid, jadilah manusia selaku hamba Allah semata-
mata, merdeka dari segala macam perhambaan yang lain daripada-Nya. Ia
mempunyai hak asasi sebagai manusia yang merdeka, yang tidak ada
perbedaan antara hak orang yang mulia dan orang rendah. Tidak ada dalam
Islam orang bawah dan tidak pula orang atasan. Tidak ada kelebihan antar
sesama manusia kecuali dengan kelebihan nilai-nilai amal mereka, dan dalam
kelebihan akal serta pengetahuan mereka.20
Islam menuntut semua orang yang mempunyai kesanggupan supaya
bekerja. Islam menentukan bahwa keuntungan ataupun kerugian tiap-tiap diri
itu tergantung kepada kerja yang dilakukannya.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan
melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.”(QS. Al-Zal-zalah [99]: 7-8)
Islam menerangkan bahwa pintu-pintu karunia Ilahi tidak pernah
terkunci bagi siapa yang mencarinya. Sedang rahmat-Nya yang meliputi segala
sesuatu tidak pernah ditahan-tahan untuk kepentingan segala makhluk di bumi
ini. Islam mencela dengan keras kepada penganut-penganut agama yang
sangat fanatik kepada kekunoan para nenek moyang mereka dan hanya mau
melihat jalan usang yang dibuat oleh para leluhur mereka. Maka, dengan ajaran
Islam ini menjadi bebas merdekalah rasio manusia dari segala belenggu yang
membelitnya. Dibebaskannya dari pengaruh taklid yang memperbudaknya,
serta dikembalikannya kepada tempat di mana akal itu bertahta. Akal
dipersilakan untuk memberikan putusan dengan ilmu dan kebijaksanannya
sendiri disamping harus tunduk hanya kepada allah Yang Mahatunggal semata
dan berdiri patuh pada peraturan syari’at agama-Nya.21
terdahulu”. Yang dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada
sumber-sumber yang asli yaitu al-qur’an dan al-hadist sebagaimana yang
dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu.
Sesungguhnya bagi Abduh, persoalannya bukanlah apakah mungkin
menjadi Muslim sambil tetap menerima dunia modern. Melainkan apakah
Islam itu relevan dengan modernitas atau tidak. Karena itu, beliau ingin
membuktikan bahwa Islam merupakan agama yang mendukung pada
rasionalitas yang hal tersebut menjadi basis kehidupan modern. Beliau
menyebutkan pula bahwa tidak ada konflik antar Islam dan prinsip peradaban
modern seta membersihkannya dari nodanya. Bila peradaban modern
mengenal Islam sejati, maka Islam akan menjadi pembela yang gigih, dan
sumber kekuatannya. Kekuatan akan sirna dan bukti kekuatannya adalah
bahwa al-Qur’an tetap bertahan sebagai kebenaran Islam.24
C. Muhammad Iqbal
Dr. muhammad Iqbal adalah salah seorang tokoh abad ke-20 yang
menjadi kebanggaan dunia islam, dulu, kini dan akan datang. Beliau telah
memberikan sumbangan besar pada dunia islam bahkan dunia internasional,
Tokoh yang berasal dari Pakistan ini selain terkenal sebagai penyair besar
dalam peradaban dunia sastra islam juga terkenal sebagai pemikir, filosof, ahli
perundang-undangan, reformis, politikus, ahli kebudayaan dan pendidikan.
Kalau kita perhatikan karya-karyanya yang dituangkan dalam syair-syair dan
puisinya dapat kita tangkap beliau tidak hanya menyerukan rasa hatinya
dalam pembentukan atau kemerdekaan negara Pakistan dari tangan penjajah,
tetapi juga tentang kegemilangan zaman islam di Spanyol, mengenai nasib
Umat islam seperti faktor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran umat
islam dan faktor-faktor yang mendorong kebangkitan umat islam, beliau juga
menyinggung tentang keburukan dan kebaikan budaya barat dan sebagainya. 25
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Wilayah Punjab (pakistan barat)
pada tahun 1877. Iqbal berasal dari keluarga Brahma Kashmir, tetapi nenek
moyang Muhammad Iqbal telah memeluk islam 200 tahun sebelum Ia
dilahirkan. Ayah muhammad Iqbal, Nur Muhammad adalah penganut islam
yang taat dan cenderung ke pada ilmu tasawuf. Dengan lingkungan dan
asuhan yang ada dalam rumah muhammad Iqbal, sedikit banyak telah
menanamkan roh islam dalam jiwa Muhammad Iqbal, Ia masuk sekolah dasar
dan menengah di Sialkot. pada masa yang sama Ia mendapatkan pendidikan
agama secara langsung dari seorang guru yang bernama Mir Hassan, dari guru
beliau ini ia memahami islam secara mendalam, mengajarinya sikap kritis dan
mengasahbakatnyaalamduniakesusastraan.26
Pada tahun 1895 Muhammad iqbal melanjutkan sekolahnya di Government
College Lahore. di sini ia dapat menguasai bahasa arab dan inggris dengan baik
disamping penguasaanya terhadap bahasa urdu dan bahasa persi. Ia lulus
sarjana muda Bachelor of Arts tahun 1897 untuk jurusan Filsafat, Bahasa Arab,
dan Sastera Inggeris, dan gelaran Master of Arts pada 1899, setelah itu Ia
Tidak diragukan lagi, menurut Iqbal, kalimat pembuka dari ayat tersebut
memberikan kesan melarikan diri dari konsepsi individualistik tentang Tuhan.
Tetapi ketika kita mengikuti metafora cahaya dalam ayat tersebut, memberikan
kesan yang berlawanan. Pengembangan metafora cukup diartikan
menghasilkan saran tentang elemen kosmik yang selanjutnya tidak
diindividualisasi dalam sebuah kaca yang digambarkan sebagai bintang yang
didefinisikan dengan baik. Iqbal berfikir tentang gambaran Tuhan seperti
cahaya. Ajaran fisika modern tentang kecepatan cahaya tidak bisa dilampaui
serta bersifat sama untuk semua pengamat, apapun dan bagaimanapun sistem
gerakannya. Jadi, dalam dunia perubahan, ahaya merupakan pendekatan yang
terdekat pada Yang Mutlak.Metafora cahaya yang diterapkan pada Tuhan,
harus berada dalam pandangan pengetahuan modern dan diambil untuk
mendukung keabsolutan atau kemutlakan Tuhan dan bukan kehadiran-Nya
yang dengan mudah mengarahkan pada interpretasi panteistik.31
Selain hal tersebut, pemikiran keagamaan Islam Iqbal setidaknya
terangkum dalam pemahamannya mengenai sumber hukum ajaran Islam; al-
Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Mengenai al-Qur’an, Iqbal percaya bahwa al-
Qur’an itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada - Nabi Muhammad
dengan perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya,
kedudukannya adalah sebagai sumber hukum yang utama dengan
pernyataannya “The Qur’an is a book which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “
(al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). 32
Namun demikian dia menyatakan bahwa al–Qur’an bukanlah kitab undang-
undang yang paten. Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman,
pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan sebenarnya al-Qur’an adalah
membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya
dengan Tuhan dan alam semesta. Mengenai hal ini Al-Qur’an tidak memuatnya
secara detail dan eksplisit, maka manusialah yang dituntut untuk memahami
dan mengembangkannya. Disamping itu al–Qur’an memandang bahwa
kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya,
walaupun al–Qur’an tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar
ulama terdahulu, namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru
secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
mereka hadapi. “Akibat pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama
terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di
tempatnya”.33
Nilai-nilai dasar ajaran al–Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali
secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu.
Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al–Qur’an dan
mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya
sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang
mati dan kaku. Namun demikian pada akhirnya, kendatipun Iqbal sangat
menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al – Qur’an,
namun ia melihat ada dimensi-dimensi didalam al – Qur’an yang sudah
merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di
konservasikan ( pertahankan), sebab ketentuan itu berlaku konstan.34
Selanjutnya mengenai hadis, Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak
percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli hadis.35 Iqbal setuju dengan
pendapat Syah Waliyullah tentang hadis, yaitu cara Nabi dalam
menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara
dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat
memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam
penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar
kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat oleh ruang dan
waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi
Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip
kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu
Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadist yang
masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadist-hadist pada zamannya
belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al-Zuhri telah membuat koleksi
hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu
Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadist daripada koleksi
belaka.
Oleh karenanya, Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi
mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada
Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan
wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai hidup dari
prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al–Qur’an.
Pandangan Iqbal tentang pembedaan hadist hukum dan hadist bukan
hukum agaknya sejalan dengan pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa
hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw.yang berkaitan
dengan hukum; seperti mengenai kebiasaan-kebiasaan Nabi yang bersifat
khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan.
Mengenai Ijtihad Iqbal memiliki pandangan bahwa menurutnya Ijtihad
berarti “exert with a view to form an independent judgement on legal question”,
(barsungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk
menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadist maupun al-
Qur’an mamang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut, disamping ijtihad
pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif.
Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh
para ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat
yang muncul, sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazdhab),
Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, Iqbal membagi kualifikasi ijtihad
kedalam tiga tingkatan, yaitu:
III. PENUTUP
Berkaitan kehidupan beragama secara umum dapat dibagi menjadi tiga
periode. Ini dapat digambarakan dalam periode “Kesetiaan”, “Pemikiran” dan
“Penemuan”. Pada periode pertama, kehidupan keberagamaan tampak seperti
bentuk disiplin yang harus diterima individu atau semua masyarakat sebagai
perintah tak bersyarat tanpa daya kritis untuk memahami arti mendasar dan
tujuan perintah itu. Pada periode pertama ini kehidupan beragama mencari
dasarnya dalam jenis metafisika. Berbeda dengan periode kedua dan ketiga,
metafisika dipindahkan oleh kehidupan keagamaan dan psikologi yang
mengembangkan ambisi untuk mencapai kontak langsung dengan Realitas
yang mendasar.
Tujuan mendasar dari kehidupan keagamaan ialah membuat evolusi
kehidupan ini bergerak bergerak dalam arah yang jauh lebih penting untuk
tujuan ego daripada kesehatan moral tentang struktur sosial yang membentuk
lingkungannya saat ini. Persepsi dasar dari kehidupan yang bergerak maju
merupakan kesatuan ego, kemampuan melebur, persetujuan untuk
pembentukan kembali dan kapasitasnya untuk kebebasan untuk menciptakan
situasi baru dalam lingkungan yang diketahui dan yang tidak diketahui.
Endnotes
Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid terjemah Firdaus A.N. Jakarta: Bulan Bintang. 1963.
Al-Faruqi, Isma’il Raji. Tauhid terjemah Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka. 1988.
Ali. H. M. Alam Pemikiran Islam di India dan Paskistan. Bandung: Mizan. 1993.
Al-Ittihad Al-Islamiy li Ulama al-Muslimin, Al-Misaq Al-Islamiy, terj. Bukhari Yusuf dkk., "25
Prinsip Islam Moderat". Jakarta: Al-Markaz Al-Istisyar li Al-Syari'ah. 2008.
Amstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang
Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 Tahun terjemah Zaimul am. Bandung: Mizan
Pustaka 2004.
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains; Esai-esai tetang Sejarah dan Filsafat Sains Islam terjemah Yuliani
Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah. 1995.
Esha, Muhammad In’am. Teologi Islam; Isu-Isu Kontemporer. Malang: UIN Malang Press. 2008.
Iqbal, Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam terjemah Didik Komaidi.
Yogyakarta: Lazuardi. 2002.
______________. Rekonstruksi Pemikiran Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 1994.
Khozin dkk. Pembaruan Islam; Konsep Pemikiran, dan Gerakan. Malang: UMM Press. 2000.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.
Shihab, M. Quraish. Dia Di Mana-mana; Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena. Tangerang:
Lentera Hati. 2011.
________________ . Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:
Mizan. 2007.
Zaqzuq, Hamdi. Dirasat fi al-Falsafah al-Haditsah. Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi. Cet. 3. 1993.