Anda di halaman 1dari 15

HIKMAH DAN FILSAFAT TALAK

MAKALAH

Ditulis untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat dan Riset Keluarga Islam

DOSEN PENGAMPU
Dr.H.Pujiono,MAg
Dr.H.Ahmad Junaidi,M.Ag

Disusun oleh:
LAILI SALIMAH
NIM: 203206050017

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


PASCASARJANA IAIN JEMBER
DESEMBER 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan
hidayahnya kepada pemakalah sehingga dapat menyelesaikan tugas kuliah dengan judul
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat dan Riset Hukum
Keluarga Islam di Pascasarjana IAIN Jember jurusan Hukum Keluarga. Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
tentang filsafat hukum keluarga.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak
Dr.H.Pujiono,MAg dan Dr.H.Ahmad Junaidi,M.Ag dosen pengampu. Tugas yang telah
diberikan ini dapat mensambah pengetahuan di bidang yang ditekuni penulis. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu proses
penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karenanya, kritik dan saran kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan
mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan
semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh dan
jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling
mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi cinta dan kasih saying.1
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh- tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk
berkembang biak, dan melestarikan hidup.2
Namun pada praktiknya, ada kalanya di dalam pernikahan terjadi percekcokan
antara suami isteri. Jika hal itu tidak dapat diperbaiki kembali, tentu kedua pihak akan
merasa menderita dengan ikatan yang sedang mereka jalani karena sudah tidak
berlandaskan lagi kepada rasa cinta dan kasih sayang, yang ada malah kebencian satu
sama lain. Maka dalam keadaan genting seperti ini Islam memberikan solusi yang
terakhir yaitu talak.
Meskipun ia diperbolehkan tapi ia sangat dibenci oleh Allah, kalaupun harus
terjadi perceraian secara terpaksa, maka setelah ikatan mereka putus hendaknya sudah
tidak ada lagi kebencian dan permusuhan, tapi hubungan yang baik sebagai sesama
muslim.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas maka dapat penulis kemukakan
rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai talak?
2. Apa hikmah dan nilai filosofis yang terkandung dalam pensyariatan talak?

1 Mohammad Asmawi, Nikah: Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), cet. I, h.


19.
2 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 9
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan menambah wawasan pembaca terhadap ilmu


pengetahuan di bidang filsafat hukum terutama hukum keluarga islam serta
mendorong bagi penelitian selanjutnya, sehingga proses pengkajian secara mendalam
akan terus berlangsung.

Dari rumusan masalah diatas, maka ada dua tujuan penting dalam penulisan
ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai talak.
2. Untuk mengetahui hikmah dan nilai filosofis yang terkandung dalam talak.

BAB II
TALAK DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Talak
Menurut bahasa talak berarti pemutusan ikatan, kata ini adalah berasal dari
kata iṭlaq yang berarti melepas atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah talak
berarti pemutusan tali perkawinan dengan lafadz talak atau yang semakna, atau
menghilangkan ikatan perkawinan dengan seketika atau rentang waktu jarak tertentu
dengan menggunakan lafadz tertentu. Ikatan perkawinan dapat lepas seketika apabila
sang suami mentalak istrinya dengan talak bā’in, dan ikatan perkawinan dapat hilang
setelah masa iddah selesai apabila suami mentalak istrinya dengan talak raj’i.
Perspektif Islam tentang talak hadir oleh karena adanya petunjuk dasar
pembolehannya dalam Alquran maupun hadis, bahkan ulama sepakat bahwa talak
dalam kondisi-kondisi tertentu memang dibolehkan bagi seorang suami yang ingin
menceraikan isteri. Tidak hanya itu, petunjuk dan dasar pensyariatan talak secara
langsung difirmankan kepada Rasulullah saw.
Hal ini mengacu pada ketentuan QS. al-Ṭalāq ayat 1 artinya:

َ‫ ر ُۡجن‬JJ‫وا ٱهَّلل َ َربَّ ُكمۡۖ اَل تُ ۡخ ِرجُوه َُّن ِم ۢن بُيُوتِ ِه َّن َواَل يَ ۡخ‬ ْ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلنَّبِ ُّي ِإ َذا طَلَّ ۡقتُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء فَطَلِّقُوه َُّن ِل ِع َّدتِ ِه َّن َوأَ ۡحص‬
ْ ُ‫ُوا ۡٱل ِع َّد ۖةَ َوٱتَّق‬
‫ث بَ ۡع َد ٰ َذلِكَ أَمۡ ٗر‬
ُ ‫ك ُحدُو ُد ٱهَّلل ۚ ِ َو َمن يَتَ َع َّد ُحدُو َد ٱهَّلل ِ فَقَ ۡد ظَلَ َم ن َۡف َس ۚۥهُ اَل ت َۡد ِري لَ َع َّل ٱهَّلل َ ي ُۡح ِد‬َ ‫فَ ِح َش ٖة ُّمبَيِّن ٖ َۚة َوتِ ۡل‬ٰ ِ‫إِٓاَّل أَن يَ ۡأتِينَ ب‬

“ Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu


ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah
dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.

Kemudian ada sebuah kisah dari ‘Abdullah bin Umar ra yang diriwayatkan
dalam sebuah hadits:
"Dan dari Ibnu Umar ra bahwa dia menceraikan istrinya di saat sedang haid
pada masa Rasulullah SAW lalu Umar ra bertanya kepada Rasulullah tentang hal itu.
Maka, beliau pun berkata, "Suruhlah dia agar merujuknya kembali. Dan sebaiknya dia
menahan diri sampai sang istri suci, lalu haid, lalu suci lagi. Kemudian jika mau, dia
tetap menjadikannya sebagai istri, dan jika mau, dia dapat menceraikannya sebelum
menggaulinya. Itulah iddah (masa penantian) yang diperintahkan Allah untuk
menceraikan istri."

B. Dasar Hukum Talak

Perkawinan putus disebabkan karena perceraian dijelaskan pada Pasal 114


KHI yang membagi perceraian menjadi dua bagian, yaitu perceraian yang disebabkan
karena talak dan perceraian yang disebabkan oleh gugatan perceraian. Berbeda
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak
mengenal istilah talak, KHI Pasal 117 menjelaskan pengertian talak, yaitu: Talak
adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129,
130, dan 131.
Perceraian menurut hukum Islam yang dipositifkan dalam Pasal 38 dan Pasal
39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9
Tahun 1975, mencakup sebagai berikut:
1. Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan
permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan Agama
yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat
perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama (vide Pasal 14
sampai Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975). Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.
2. Perceraian dalam pengertian cerai gugat yaitu perceraian yang diajukan gugatan
cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama yang dianggap
terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan
Pegadilan Agama.
Dalam KHI talah memuat aturan talak secara terperinci. Dalam tingkat
tertentu, KHI hanya mengulang penjelasan fikih. Namun berkenaan dengan proses,
KHI lebih maju dari fikih itu sendiri. Adapun beberapa Pasal tentang talak dalam KHI
adalah sebagai berikut:
1. Pasal 122 KHI Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan
pada waktu Istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tapi sudah
dicampuri pada waktu suci tersebut.46
2. Pasal 115 KHI Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan
Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
3. Pasal 149 KHI Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas Istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas Istri tersebut qobla ad dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas Istri selama dalam iddah,
kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan
tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla
ad dukhul
d. Memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum memcapai umur
21 tahun.3
C. Talak dalam Hukum Islam
Talak biasanya terjadi karena perselisihan antara suami isteri yang
menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap
kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian
tidak dapat disambung lagi, maka talak itulah jalan satu-satunya yang menjadi
pemisah antara mereka, meskipun menurut asalnya hukum talak itu makruh. 4 Nabi
SAW bersabda:

Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, "Sesuatu yang
halal yang amat dibenci Allah ialah talak." (HR. Abu Daud)5
Di antara keadilan-keadilan Islam, membatasi talak itu agar si isteri tidak
menjadi permainan di tangan suami, dan dengan demikian Islam membatalkan suatu
adat yang buruk dari adat-adat orang Arab di zaman jahiliyah. Para suami dahulu
memperlakukan isterinya dengan perlakuan yang sangat kejam dan sangat kasar

3 Kompilasi Hukum Islam, cet. 1, pasal 115, (Jakarta: Graha Media Press, 2014), 367-374.
4 Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam, (Bandung :  PT. Sinar Baru Algensindo, 2003), cet. 36, hal. 401.

5 Abu Daud Sulaiman. Sunan Abi Daud, (Riyad : Darussalam, 1999), h. 315.


kemudian menceraikannya karena hanya penyebab sepele, padahal niat untuk
menceraikan isterinya itu sebenarnya karena sudah merasa bosan dengan isterinya.6

1. Wajib
Hukum talak menjadi Wajib yakni talak yang akan dijatuhkan oleh pihak
penengah antara suami dan istri (hakam), karena perceraian antara suami dan istri
yang tidak akan mungkin disatukan kembali dan jug talak merupakan satu-
satunya jalan.
2. Haram
Hukum dari talak menjadi Haram yakni talak tanpa alasan yang benar. oleh sebab
itu, diharamkan karena menyakiti istri yang pada akhirnya akan merugikan kedua
belah pihak, dikarenakan tidak ada gunanya dan juga kemaslahatan melakukan
talak.
3. Hukum talak menjadi Sunnah yakni suatu talak yang disebabkan istri
mengabaikan kewajibannya kepada Allah Swt maupun suka melanggar larangan-
Nya. Dalam hal ini istri dikategorikan sudah rusak moralnya, padahal suami
sudah berusaha memperbaikinya diri. Menurut Imam Ahmad tidak patut
mempertahankan istri seperti itu, karena hal tersebut akan banyak mempengaruhi
keimanan suami dan juga tidak membuat ketenangan dalam rumah tangga.
Bahkan Ibnu Qadamah menjelaskan bahwa talak terhadap istri yang demian wajib
hukumnya.
Talak mempunyai beberapa banyak macamnya, dibawah ini merupakan
macam-macam talak yang akan dilihat dari beberapa segi yang di antaranya yaitu:

1. Talak satu. ialah talak yang pertama kali dijatuhkan oleh suami kepada istrinya
dan juga hanya dengan satu talak.
2. Talak dua. ialah suartu talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang
kedua kali maupun untuk yang pertama kalinya tetapi dengan 2 talak
sekaligus.misalnya: aku talak kamu dengan talak yang dua.
3. Talak yang ke tiga. ialah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya untuk
yang ketiga kalinya. ataupun untuk yang pertama kalinya tetapi langsung talak
tiga. misalnya suami berkata: aku talak kamu dengan talak yang tiga.

66. Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006),
cet. I, h. 123.
Talak Ditinjau Dari Segi Boleh Tidaknya Bekas Suami Untuk Rujuk Kembali

1. Talak Raj’i

Yang dimaksud dengan talak raj’i ialah talak yang boleh dirujuk kembali
mantan istri oleh mantan suaminya selama masa iddah maupun sebelum masa
iddahnya yang berakhir. Yang termasuk talak raj’i yakni talak satu dan juga talak
dua. DR. Asy-Syiba’iy mengatakan bahwa talak raj’i merupakan talak yang telah
dijatuhkan suami kepada istrinya, apabila suami ingin rujuk kembali maka tidak
akan melakukan akad nikah lagi, tidak akan memerlukan mahar dan tidak
memerlukan saksi lagi.

2. Talak Ba’in

Yang dimaksud dengan talak ba’in yakni talak yang akan dijatuhkan suami
dan mantan suami tidak boleh meminta rujuk kembali kecuali dengan melakukan
akad nikah lagi dengan semua syaratnya serta rukunnya.

Talak ba’in ada 2 macam yaitu talak ba’in shughra dan juga talak bain
kubra.

- Talak Ba’in Shughra: talak yang dapat menghilangkan kepemilikan mantan


suami terhadap mantan istri, tetapi tidak menghilangkan kebolehan mantan
suami untuk rujuk dengan melakukan akad nikah ulang. yang termasuk talak
ba’in shughra antara lain talak yang belum akan bercampur, khuluk, talak satu
dan juga talak dua tetapi masa iddahnya sudah habis.
- Talak Ba’in qubra: merupakan talak 3 dimana mantan suami tidak boleh rujuk
kembali, terkecuali jika mantan istrinya pernah menikah dengan laki-laki yang
lain dan sudah digaulinya, lalu diceraikan oleh suaminya yang kedua.

Talak Ditinjau Dari Segi Keadaan Istri

- Talak Sunny: yakni talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang pernah
dicampurinya dan pada waktu itu keadaan istri dalam keadaan suci dan pada
waktu suci belum dicampurinya, sedang hamil dan juga jelas kehamilannya.
- Talak Bid’iy: yakni talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang pernah
dicampurinya dan pada saat itu keadaan istri saat sedang haid Dan dalam
keadaan suci tetapi pada waktu suci tersebut sudah dicampuri.
BAB III

HIKMAH DAN FILSAFAT PENSYARIATAN TALAK

Dalam kehidupan ini kita mengetahui beberapa perhatian Islam terhadap usrah
muslimah (keluarga muslimah) dan keselamatanya serta terhadap damainya
kehidupan di dalamnya dan kita juga melihat metode-metode terapi yang Islam
syari’atkan untuk mengatasi segala perpecahan yang muncul di tengah usrah
muslimah, baik disebabkan oleh salah satu suami isteri atau oleh keduanya. Hanya
saja, terkadang ’ilaj (terapi dan upaya penyelesaian) tidak bisa efektif lagi karena
perpecahannya sudah parah dan persengketaanya sudah memuncak, sehingga pada
saat itu mesti di tempuh ’ilaj yang lebih, yaitu talak.

Orang yang mencermati hukum-hukum yang terkandung dalam masalah talak


akan kian kuat, menurutnya perhatian Islam terhadap institusi rumah tangga dan
keinginan Islam demi kekalnya hubungan baik antara suami isteri. Karena itu, tatkala
Islam membolehkan talak, ia tidak menjadikan kesempatan menjatuhkan talak hanya
sekali yang kemudian hubugan kedua suami isteri terputus begitu saja selama-
lamanya, tidak demikian, namun memberlakukannya sampai beberapa kali.

Allah SWT berfirman:

‫ُوف أَ ۡو ت َۡس ِري ۢ ُح بِإ ِ ۡح ٰ َسن‬


ٍ ‫ك بِ َم ۡعر‬ ُ َ‫ٱلطَّ ٰل‬
ُ ۢ ‫ق َم َّرتَا ۖ ِن فَإِمۡ َسا‬

”Talak (yang dapat di rujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan  orang
yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).

Apabila seorang laki-laki mentalak isterinya, talak pertama atau talak  kedua,
maka ia tidak berhak baginya untuk mengusir isterinya dari rumahnya sebelum
berakhir masa idahnya, bahkan sang isteri tidak boleh keluar dari rumah tanpa izin
dari suaminya. Hal itu disebabkan Islam sangat menginginkan segera hilangnya
amarah yang menyulut api perceraian.

Walaupun talak itu dibenci terjadinya dalam suatu rumah tangga, namun
sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh
dilakukan. Hikmah dibolehkannya talak itu karena dinamika kehidupan rumah tangga
itu kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan
pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan seperti ini kalau dilanjutkan juga,
rumah tangga akan menimbulkan mudharat kepada dua belah pihak dan orang
disekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya mudharat yang lebih jauh, lebih baik
ditempuh perceraiaan dalam bentuk talak tersebut. Dengan demikian talak dalam
islam hanyalah untuk suatu tujuan maslahat.

Dalam kontek hukum Islam, hadirnya hukum perceraian memiliki tujuan


tersendiri yang tercakup dalam tujuan umum maupun khusus. Tujuan umum
perceraian adalah demi kemaslahatan suami-isteri itu sendiri. Para ulama sering
menggunakan beberapa kaidah fikih yang berhubungan dengan konsep kemaslahatan,
di antara-nya adalah kaidah yang berbunyi: 'jalbul mashalih wa dar'ul mafasid'
(mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat) dan 'tasharruful imamu ala
ra'iyyatu manutu al mashlahah' (Ketetapan/keputusan seorang imam diambil
berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.

Dua kaidah tersebut biasanya menjadi kaidah yang digunakan oleh hakim
dalam memberi pertimbangan bahwa suatu hubungan memang-benar-benar harus
diputuskan. Sebab, boleh jadi dengan memutuskan pernikahan, kemudharatan-
kamudharatan yang dialami suami-isteri selama dalam masa perselisihan dan
pertengkaran dapat diselesaikan dan diputuskan. Dengan begitu, tujuan dari
perceraian dengan cara talak erat kaitannya dengan tujuan umum syariat itu sendiri,
yaitu mencipatakan kemasalahatan manusia.

Menurut al-Khallāf, tujuan umum hukum syarak adalah untuk kemaslahatan


(maṣlaḥah) manusia.7 Term maṣlaḥah berarti kebaikan, kemaslaahatan umum.
Mustafa Zayd, dikutip oleh Al Yasa Abubakar menyebutkan bahwa salah satu
pengertian maṣlaḥah yakni menolak kemudharatan dan mendatangkan manfaat. 8 Jadi,
kaitannya dengan syariat talak, secara langsung bertujuan untuk menolak mudharat
yang ditimbulkan mempertahkan pernikahan dan upaya untuk mengambil manfaat
dari perceraian itu. Adapun tujuan dan hikmah talak secara khusus, adalah untuk
memberi peluang bagi suami atau isteri mengintropeksi diri. Sangat dimungkinkan
salah satu pihak dari keduanya keras kepala, tidak menghargai pasangan, sehingga

7 Abd al-Wahhāb al-Khallāf, „Ilm Uṣūl al-Fiqh, terj: Moh Zuhri dan Ahmad Qorib, Edisi Kedua,
Semarang: Dina Utama, 2015. Hal 365
8Al Yasa‟ Abubakar, Metode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2016. Hal. 36
dengan jalan talak menjadi pelajaran bagi keduanya. Al-Aḥmadi dan kawan-kawan,
menyebutkan hikmah dan tujuan talak adalah karena di dalamnya terkandung soslusi
untuk menangani masalah suami isteri manakala diperlukan, khususnya ketika tidak
ada keharmonisan dan timbulnya kebencian yang karenanya membuat kedua belah
pihak tidak mampu menegakkan batasan-batasan Allah Swt., dalam melangsungkan
kehidupan rumah tangga. Talak dengan alasan tersebut termasuk dari salah satu bukti
kebaikan Islam.9

BAB IV

9 Abd al-„Azīz Mabruk al-Aḥmadi, dkk, al-Fiqh al-Muyassar, terj: Izzudin Karimi, Cet. 3, Jakarta: Darul Haq,
2016. Hal. 502
PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain


yaitu:

1. Tujuan disyariatkannya talak atau perceraian adalah untuk menciptakan


kemaslahatan-kemaslahatan yang sebelumnya kedua pihak mengalami kesulitan
dan bahkan timbul mudharat.
2. Talak berarti pemutusan tali perkawinan dengan lafadz talak atau yang semakna,
atau menghilangkan ikatan perkawinan dengan seketika atau rentang waktu jarak
tertentu dengan menggunakan lafadz tertentu. Perceraian menurut hukum Islam
tersebut diformulasikan menjadi hukum positif dalam Pasal 38 dan Pasal 39
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9
Tahun 1975.

DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), cet. I
Aminuddin, Slamet Abidin. Fiqh Munakahat I (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Kompilasi Hukum Islam, cet. 1, pasal 115, (Jakarta: Graha Media Press, 2014)
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam, (Bandung :  PT. Sinar Baru Algensindo, 2003), cet. 36
Sulaiman, Abu Daud. Sunan Abi Daud, (Riyad : Darussalam, 1999)
Aripin, Jaenal dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : UIN Jakarta
Press, 2006), cet. I,
al-Khallāf, Abd al-Wahhāb. Ilm Uṣūl al-Fiqh, terj: Moh Zuhri dan Ahmad Qorib,
Edisi Kedua, Semarang: Dina Utama, 2015
Abubakar, Al Yasa.‟ Metode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul
Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016.
al-Aḥmadi, Abd al-„Azīz Mabruk dkk, al-Fiqh al-Muyassar, terj: Izzudin Karimi, Cet.
3, Jakarta: Darul Haq, 2016

Anda mungkin juga menyukai