Anda di halaman 1dari 13

I.

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Pembicaraan tentang demokrasi dalam Islam menjadi polemik antara ada atau
tidak ajaran demokrasi dalam Al-Qur’an dan hadist. Apakah islam
mengajarkannya atau ia merupakan produk pemikiran Barat yang sekuler. Ini
dapat dipahami karena demokrasi terlahir di Yunani dan berkembang pesat di
Eropa atau belahan bumi bagian utara, sementara Islam lahir di Arab dan
berkembang pesat di arah selatan. Demokrasi merupakan produk akal sedang
islam adalah wahyu yang difirmankan kepada Rasulullah SAW fakta sejarah
menunjukkan bahwa perintah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW dan Khulafa
‘alrasyidin tidak menyebutkan atau berlandaskan pada dermokrasi. Pertemuan
Islam dan demokrasi adalah pertemuan adat.

Hak asasi manusia adalah hak dasar manusia yang secara kodrati
dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya tanpa perbedaan. Dengan hak asasi itu,
manusia dapat mengembangkan diri pribadi berperan bagi kesejahteraan hidup
manusia. Dimana hak asasi manusia yang melekat pada diri tiap manusia ini di
tetapkan dasar-dasarnya dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Sedangkan kewajiban
manusia adalah kewajiban dasar manusia yang wajib dipenuhi olehnya meski
dalam skala minimal.

1.2 Masalah atau Topik Bahasan


1. Sejarah Demokrasi
2. Sisi Positif dan Negatif Demokrasi
3. Pandangan Islam dalam Demokrasi
4. Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Manusia
5. Pandangan tentang Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia

1
1.3 Tujuan
1. Menambah wawasan demokrasi dalam agama Islam
2. Membedakan antara pengertian demokrasi antara masyarakat Barat dengan
agama Islam.
3. Memahami pengertian konsep hak dan kewajiban asasi manusia dari segi
Islam.

4. Mampu menjalankan kewajiban sebagai manusia.

2
II. Pembahasan

A. DEMOKRASI DALAM ISLAM

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos
(kekuasaan). Bentuk-bentuk pemerintahan dalam demokrasi yaitu Oligarki,
Aristokrasi, dan Monarki (Aristoteles, Organon). Ibnu Rusyd seorang filosof
muslim Andalusia termasyhur sekaligus pensyarah buku-buku Aristoletes
menerjemahkan demokrasi dengan "politik kolektif". Sedang dalam ilmu
sosiologi, demokrasi adalah sikap hidup yang berpijak pada sikap egaliter
(mengakui persamaan derajat) dan kebebasan berpikir. Meski demokrasi
merupakan kata kuno, namun demokrasi modern merupakan istilah yang mengacu
pada eksperimen orang-orang Barat dalam bernegara sebelum abad XX. Orang
Islam mengenal kata demokrasi sejak zaman transliterasi buku-buku Yunani pada
zaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para filosof
muslim zaman pertengahan seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd ketika membahas
karya-karya Aristoteles. Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing,
karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal.
Orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar
utama demokrasi yang diwarisi semenjak zaman Nabi Muhammad SAW,
termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara
bersama-sama (syuro), kebebasan mengkritik penguasa dan kebebasan
berpendapat (Farhan, 2006).

SISI POSITIF DAN NEGATIF DEMOKRASI


Sebagai suatu pemikiran, demokrasi tidak lepas dari sisi positif dan negatif.
Ada sisi positif yang menggiurkan sehingga dianut oleh banyak bangsa tetapi
banyak pula sisi negatif yang terkadang dinafikan oleh mereka (S.N. Dubey,
2007) mencatat delapan segi positif demokrasi:

 Melindungi kebebasan individual


 Menjamin persamaan hak
 Mendidik rakyat jelata
 Mengembangkan karakter rakyat M

3
 Memperkembangkan cinta tanah air
 Pencegah pergolakan
 Menghasilkan kemajuan
 Menciptakan ketepatgunaan yang baik

Lebih jauh, S.N. Dubey menjelaskan:

“Demokrasi menjamin setiap keinginan seseorang di dalam komunitas,


bahkan akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau
ketetapan pemerintah. Di dalam negara demokrasi tidak pantas seorang
terlukai atau mengatakan bahwa pendapatnya tidak pernah didengarkan.
Di dalam negara demokrasi, semuanya memiliki persamaan hak di dalam
berpolitik. Pokok persoalannya selalu didiskusikan dari semua aspek, dan
diteliti dari setiap sudut pandang. Kebijaksanaan juga dirumuskan dan
semua program dicatat, serta melalui media semua ini akan disebarluaskan
untuk pengetahuan rakyat. Di dalam demokrasi, masyarakat memiliki hak
untuk berpartisipasi dalam hal kerjasama adminitrasi dalam hal
kesejahteraan adminitrasi publik, dan mereka bisa berperan langsung
untuk mengubah pemerintah gagal dalam melaksanakan keinginan dan
aspirasi rakyat.”

Disamping itu, demokrasi menanamkan secara mendalam pada setiap warga


rasa cinta terhadap negara dan sifat sentimen patriotisme. Hal ini memberikan
mereka perasaan memikul bangsa, dan mengembangkan perasaan bertanggung
jawab bahkan meciptakan perasaan bertanggung jawab dalam hal keamanan,
martabat, dan kemajuan bangsa. Dalam demokrasi dikumandangkan semangat
“Liberte, Egalite, Fraternite”, kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan yang
diharapkan akan tercipta dalam pemerintahan yang demokratis. Tetapi terdapat
sisi negatif yang menjadikan demokrasi tidak dapat diterima oleh sebagian orang.
Kelemahan yang terdapat di dalamnya menjadi sorotan bagi para penentang
demokrasi. Menurut mereka cacat demokrasi yang paling fatal adalah terdapat
pada landasan konsepsinya sendiri. Prinsip kedaulatan di tangan rakyat yang
diwujudkan dalam suara terbanyak. Prinsip mayoritas ini amat rentan tatkala
penguasa dan sekelompok orang yang dapat merekayasa masyarakat melalui

4
propaganda, money politik, tindakan persuasif hingga reperesif menurut para ahli
politik, ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu tidak tampak adanya pemaksaan
atau ancaman dalam menyukseskan suatu opini tertentu, juga tidak ada
pembatasan pembebasan berbicara, tidak terdapat propaganda, dan tidak ada
kontrol institusional terhadap fasilitas-fasilitas komunikasi massa. “Jika orang
banyak itu dituruti, maka muncul kekuasaan yang bertumpuan pada tirani dan
teror. Karena itu pula diyakini hanya sedikit orang yang diuntungkan dari sistem
pemerintahan yang demokratis ini” (Plato, 2007). Bahkan Aristoteles
menambahkan, ”Pemerintahan yang didasarkan pada pilihan orang banyak dapat
mudah dipengaruhi oleh para demagog, dan akhirnya akan merosot jadi
kediktatoran.” Pelaksanaannya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
kemampuan spesifik dan pengetahuan dalam memahami makna yang terkandung
di dalamnya dimana mereka mempunyai kapabilitas untuk menafsisi maksud Al-
Qur’an dan Hadist. Kebebasan berpendapat bisa saja menjurus pada
ketidakpastian arena parameter yang dipakai adalah rasio yang subjektif dan
relatif. Karena itu, prinsip musyawarah yang tidak sama persis dengan syura.
Dalam demokrasi, keputusan diserahkan kepada suara terbanyak, padahal
kebenaran tidak diukur dengan jumlah banyaknya orang. Syura didasarkan pada
parameter yang baku, yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Prinsip Syura Pertama:
Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.
Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan
musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya
sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung
suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah
SWT:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab: 36).

5
Slogan egalite (persamaan) yang menyamaratakan strata masyarakat, juga
mengandung kelemahan. Realitas menunjukkan ada perbedaan dalam kehidupan
masyarakat. Kondisi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipungkiri.

PANDANGAN ISLAM TENTANG DEMOKRASI

Pemahaman umat islam terhadapnya mewujudkan pemikiran yang terkadang


bersebrangan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, terlebih lagi jika
diingat bahwa demokrasi secara bahasa terdiri atas dua kata, yaitu demos dan
kratos yang berarti “kekuasaan di tangan rakyat”. Ada yang memaknai bahwa
kekuasaan hanya di tangan Tuhan, sedangkan manusia tidak sedikit pun
mempunyai kekuasaan itu. Karena itu, demokrasi tidak diajarkan oleh islam.
Esposito dan Piscatori, mengidentifikasi adanya tiga varian pemikiran
mengenai hubungan islam dan demokrasi. Pertama, Islam menjadi sifat dasar
demokrasi, karena konsep syura, ijtihad, dan ijma’ merupakan konsep yang sama
dengan demokrasi. Kedua, Islam tidak berhubungan dengan demokrasi. Menurut
pandangan ini kedaulatan rakyat tidak bisa disamakan antara muslim dan non
muslim dan antara laki-laki dan perempuan. Ini bertentangan dengan kualitas
demokrasi. Ketiga, Theoremocracy yang diperkenalkan oleh Al-Maududi
berpandangan bahwa Islam merupakan dasar demokrasi. Meskipun kedulatan
rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan. Tetapi perlu diakui bahwa
kedaulatan rakyat merupakan subordinasi kedaulatan Tuhan.
Meski telah terjadi polarisasi pandangan seputar relasi Islam dan demokrasi,
namun masih diperlukan pengkajian yang cermat untuk memperoleh pemahaman
yang tepat tentang makna demokrasi, agar dapat ditarik benang merah yang
menghubungkan antara Islam dan demokrasi. Terlebih, jika diingat bahwa dari
sekian banyak sumber syara’ tidak satupun ayat atau hadist yang mencamtumkan
kata dimoqrodyah (demokrasi).
Dahl mengatakan, “Semua individu yang telah dewasa bisa terlibat dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut seluruh aspek kehidupan”. Karena, itu
prinsip utama demokrasi adalah persamaan. Setiap anggota masyarakat
mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih, serta mendapat privilege

6
dalam berpartisipasi dalam pemerintahan. Di sini, rakyat secara lansung atau tidak
(melalui perwakilannya) ikut menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah atau
yang dikenal dengan pemerintahan rakyat (people’s rule). Dalam demokrasi,
keputusan apapun sepenuhnya berada di tangan rakyat, bukan di tangan
pemimpin.
Uraian di atas menunjukkan peran masyarakat luas dalam memutuskan
kebijakan-kebijakan yang menyangkut seluruh aspek seluruh kehidupan mereka.
Dalam hal ini, Islam menganjurkan agar dilakukan musyawarah, dengan
memberikan hak yang sama bagi setiap individu sehingga rakyat mempunyai
kedaulatan untuk menentukan cita-cita dan harapan mereka.
Kedaulatan mutlak dan ke–Esaan Tuhan terkandung dalam konsep tauhid dan
peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah, memberikan kerangka
yang dengannya para cendikiawan belakangan ini mengembangkan teori politik
tertentu yang dianggap demokratis. Di dalamnya, tekanan pada kesamaan derajat
manusia, dan kewjiban rakyat sebagai pengemban pemerintahan. Penjelasan
mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam banyak memberikan
perhatian pada beberapa aspek khusus diranah sosial dan politik. Sistem
demokrasi dipandang sebagai suatu sistem politik yang lebih dekat dengan Islam
dibandingkan dengan liberalisme atau otrokasi. Terlebih jika diperhatikan, secara
doktrinal tidak ada teks-teks agama yang bisa ditafsirkan sebagai justifikasi sikap
sewenang-wenang dan otoritarian.

B. HAK DAN KEWAJIBAN ASASI MANUSIA MENURUT AJARAN


ISLAM

Rasulullah meletakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia ketika beliau menata


masyarakat Madinah, yang disebut-sebut sebagai masyarakat plural yang ideal. Di
Madinah, Rasulallah mempersatukan orang Islam Makkah dan orang Islam
Madinah berdasarkan ikatan akidah dan ukhuwah Islamiyah. Beliau juga
mempersatukan seluruh penduduk Madinah, baik muslim maupun Yahudi dan
penyembah berhala menjadi satu umat berdasarkan ikatan sosial politik dan
kemanusiaan. Hal ini ditetapkan dalam (Shahifah al – Madinah atau Mitsaq al-

7
Madinah) dengan prisip-prinsip persamaan persaudaraan, persatuan, kebebasan,
toleransi beragama, perdamaian, tolong-menolong, dan membela yang teraniaya
serta mempertahankan Madinah secara kolektif dari serangan musuh,

Piagam Madinah secara lugas menetapkan hak dan kewajiban masyarakat


Madinah baik sebagai individu maupun masyarakat, secara adil dan proposional.
Rasulallah SAW menetapkan bahwa hak yang diperoleh anggota masyarakat
seimbang dengan kewajiban yang ditunaikannya. Kewajiban yang dilakukannya
merupakan ibadah yang bukan saja terkait dengan manusia, melainkan juga
dengan Allah SWT. Ada konsekuensi religius yang terkandung di dalamnya. Ini
secara diametral berbeda dengan kosep pemikiran barat.

Hak Asasi Manusia Menurut Piagam PBB

Pemikiran barat yang berkembang selama ini sangat mementingkan individu.


Akibatnya, pola berpikir manusia lebih difokuskan pada hak asasi daripada
kewajiban-kewajibannya. Para ahli pikir Barat tampaknya sangat dipengaruhi oleh
pandangan individualisme sehingga hak asasi manusia dianggap lebih utama
daripada kewajibannya. Akibat dari pandangan ini manusia lebih banyak
menuntut haknya daripada memenuhi kewajibannya. Banyak bukti yang
menunjukkan hal ini, diantaranya tuntutan buruh agar dinaikkan upah minimal
mereka, sampai pada tuntutan suatu bangsa terhadap hak menentukan nasib
sendiri di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga hak asasi manusia lebih
bersifat antoposentris yang melihat kepentingan individu lebih dari segalanya.
Individu manusia menjadi tolak ukur segala sesuatu dan manusia sangat
dipentingkan. Piagam itu sendiri menegaskan kembali keyakinan akan hak asasi
manusia yang mendasar akan martabat, harkat manusia, persamaan antara laki-
laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara kecil.
Hak asasi manusia sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen
hak asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi
Universal, mempunyai ciri menonjol:
 Agar kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas karena hak asasi
manusia adalah hak.

8
 Hak-hak ini dianggap universal yang dimiliki oleh manusia semata-
mata karena ia adalah manusia.
 Hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya dan tidak
bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat
atau sistem hukum di negara-negara tertentu.
 Hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting.
 Hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun
pemerintah. Pemerintah dari orang tersebut sekaligus memiliki
tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna
melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.

Pandangan Islam Tentang Hak Asasi dan Kewajiban Asasi Manusia

Berbeda dengan pendekatan barat, strategi Islam sangat mementingkan


penghargaan kepada hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah
aspek kualitas dari kesadaran-kesadaran yang terpatri di dalam hati, pikiran, dan
jiwa penganutnya. Dalam konsep Islam, manusia dan jin diciptakan untuk
mengemban kewajiban-kewajiban. Di antara kewajiban yang utama itu adalah
menyembah kepada Tuhan. Pada hakikatnya, hak-hak manusia itu merupakan
imbalan dari kewajiban-kewajiban yang ditunaikannya. Oleh karena itu, salah satu
ciri hukum Islam adalah hak itu baru timbul setelah kewajiban dilaksanakan.
Hukum Islam telah menggariskan agar manusia menjadi equilibrium, yaitu
keseimbangan dan harmoni antara kewajiban-kewajiban dan hak-haknya.
Kepentingan pribadi dan masyarakat hendaknya selalu beriringan dan bukan
antagonis atau kontradiktif.
Dalam hukum Islam dikenal hukum fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Fardhu
kifayah adalah suatu kewajiban kolektif yang apabila dilaksanakan oleh sebagian
atau sejumlah masyarakat, maka anggota masyarakat lainnya yang tidak
melaksanakan kewajiban itu dianggap telah menunaikan kewajiban tersebut
sehingga mereka bebas dari tuntutan pertanggungjawaban (Zaki Ustmani,
1996:37). Secara garis besar kewajiban manusia adalah:
 Kewajiban terhadap Allah (QS Ad-Dzariat:6).

9
 Kewajiban terhadap diri sendiri (QS Al-Isra:70).
 Kewajiban terhadap keluarga (QS At-Tahrim:6).
 Kewajiban terhadap tetangga dan membina kerukunan hidup dalam suatu
lingkungan sosial dimana ia bertempat tinggal (QS An-Nisa’:36).
 Kewajiban terhadap buruhnya. Kewajiban pokok bagi seorang majikan:
(1) mencukupi sandang-pangan buruhnya, (2) menyediakan tempat
tinggalnya, (3) memberikan pendidikan dan pengajaran, dan (4) tidak
memberikan pekerjaan yang melampaui batas kemampuan buruh (QS Al-
An’am:2).
 Kewajiban menjaga harta. Prinsip-prinsip hukum terhadap harta benda
digariskan oleh Allah SWT: (1) memelihara dan menjaga harta sebagai
amanat Allah padanya, (2) harta akan dimintai pertanggungjawabannya,
dari mana diperoleh dan untuk apa penggunaanya, (3) harta yang dimiliki
tidak bersifat mutlak dan bukan hak monopoli 100%, karena di dalamnya
terdapat hak-hak orang yang memerlukan bantuan, dan (4) diwajibkan
mengeluarkan bagi orang miskin, anak yatim, dan buruh (QS Al-
Dzariat:19).
 Kewajiban terhadap negara. Kewajiban ini terkait selama pemimpin
negara itu patuh pada Allah dan Rasul-Nya (QS An-Nisa’:59).
 Kewajiban terhadap lingkungan hidup (QS A-A’raf:56).

Semua kewajiban itu ditinjau dari segi iman, kelak di akhirat akan dituntut
pertanggungjawaban dari setiap individu.
Selain pahala di akhirat, ia berhak memiliki hak asasi sebagai manusia. Di
dalam Al-Qur’an, prinsip-prinsip Human Right (UDHR), dilukiskan dalam
berbagai ayat Al-Qur’an, antara lain:

 Martabat manusia. Setiap manusia dilahirkan dengan membawa kemuliaan


martabat dirinya. “setiap anak dilahirkan atas fitrahnya.....( HR.Al-
Bukhari dan Muslim).
 Prinsip persamaan. Pada dasarnya manusia adalah sama, karena semuanya
adalah hamba Allah. Hanya satu kriteria yang dapat membuat seseorang
lebih tinggi derajatnya dari yang lain, yaitu taqwa (QS Al-Hujarat: 13).

10
 Prisip kebebasan mengeluarkan pendapat.
 Prinsip kebebasan beragama. Dalam QS al-Baqarah:256 secara tegas Allah
SWT menggariskan, “tidak (boleh) ada paksaan dalam beragama.”
 Hak jaminan sosial. Sejak awal Islam telah menggariskan suatu ketentuan
bahwa di dalam harta orang kaya terdapat hak fakir miskin dan mereka
yang memerlukannya (QS al-Dzariat:28).
 Hak atas harta benda. Sesuai dengan martabat manusia yang tinggi, maka
jaminan dan perlindungan terhadap hak milik seseorang merupakan
kewajiban penguasa. Pemerintah boleh mengambil alih harta kekayaan
seseorang, tetapi wajib memberi ganti rugi yang cukup (Depag RI,
1996:40-45).

11
III. Penutup
3.1. Kesimpulan
Di dalam Islam tidak satupun ayat atau hadist yang mencantumkan kata
dimoqrodyah (demokrasi). Demokrasi (musyawarah) dilakukan ketika muncul
permasalahan yang tidak ada dalilnya untuk memperolah kebenaran dan tidak
hanya sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung suatu
pendapat atau gagasan.
Saat ini banyak pandangan yang mendahulukan hak asasi dibandingkan
kewajiban. Akibat dari pandangan ini manusia lebih banyak menuntut haknya
daripada memenuhi kewajibannya. Dalam hukum Islam hak baru timbul setelah
kewajiban dilaksanakan. Hak merupakan imbalan atas kewajiban yang telah
dilaksanakan. Hukum Islam telah menggariskan agar manusia menjadi
menyeimbangkan antara kewajiban dan haknya. Kepentingan pribadi dan
masyarakat hendaknya selalu beriringan.

3.2. Saran

 Dalam mencari solusi suatu permasalahan, terlebih dahulu melihat dari sisi
Al Qur’an dan hadist.
 Demokrasi (musyawarah) yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari
hendaknya dilakukan ketika menghadapi masalah yang tidak ditemukan
penyelesaiannya dalam Al Qur’an dan hadist.
 Demokrasi tidak dilakukan untuk membuktikan banyak atau sedikitnya
pendukung suatu pendapat atau gagasan, melainkan untuk mencari sebuah
kebenaran.
 Manusia hendaknya lebih mengutamakan kewajibannya dibandingkan hak
asasinya, karena hak itu sendiri akan diperoleh setelah manusia
menunaikan kewajibannya.

12
DAFTAR RUJUKAN

Badri, Muhammad Arifin. 2010. Meluruskan Kerancuan Seputar Istilah-Istilah


Syariat, (Online),(http://muslim.or.id) diakses 10 Februari 2011.

Kurniawan, Farhan. 2006. Melacak Jejak-Jejak Demokrasi Dalam Islam,


(Online),
(http://www.mailarchive.com/filsafat@yahoogroups.com/msg02449.html),
diakses 10 Februari 2011.

Tim Dosen Pendidikan Islam Universitas negeri Malang. 2009. Aktualisasi


Pendidikan Islam. Surabaya: Hilal Pustaka.

13

Anda mungkin juga menyukai