Anda di halaman 1dari 468

Amerika dan Dunia

Memperdebatkan Bentuk Baru


Politik Internasional
Amerika dan Dunia
Memperdebatkan Bentuk Baru
Politik Internasional

Penerbitan buku ini berdasarkan kerja sama


Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta,
Freedom Institute, dan
Yayasan Obor Indonesia

Jakarta 2005
America «wd tfre ftbrfcf, Debating the New Shape of International Politics
Hak cipta © oleh Council on Foreign Relations. All rights reserved.

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Kedutaan Besar Amerika
Serikat Jakarta bekerja sama dengan Freedom Institute dan Yayasan O b o r
Indonesia, pada Agustus 2005/ Jakarta. Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari
penerbit.

Yayasan Obor Indonesia


Jl. Plaju No, 10 Jakarta 10230
Tel. 31926978,3920114; Fax. 31924488
email: yayasan_obor®cbn.net.id
http://www.obor.or.id

Penerjemah : Yusi A. Pareanom dan A. Zaim Rofiqi


Penyunting : A. Zaim Rofiqi
Desain sampul/isi : Si>o Sudarsono/Ari Pramcswari

KDT: 979-46 l-f>42-()

Isi diluar Ungguflgjwab Peletakan Grafika Mérdi Yuana, Bogor


Daftar Isi

Pendahuluan
GIDEON ROSE ix

1. Akhir Sejarah?
FRANCIS FUKUYAMA
The National Interest - Summer 1989 1

2. Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-Kesa lahan Endisme


S A M U E L P. H U N T I N G T O N
The Na tional Interest - Fall 1989 35

3. Benturan Peradaban?
S A M U E L P. H U N T I N G T O N
Foreign Affairs- Summer 1993 53

4. Panggilan
FOUAD AJAMI
Foreign Affairs-September/October 1993 87

5. Anarki yang Mengancam


R O B E R T D. K A P L A N
The Atlantic Monthly-February 1994 101

6. Mitos Kekacauan Pasca-Perang Dingin


G. J O H N IKENBERRY
Foreign Affairs-May/June 1996 149

V
7. Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal
FAREED ZAKARIA
Foreign Affairs-November/December1997 165

8. Liberalisme dan Demokrasi


M A R C F. PLATTNER
Foreign Affairs -March/April 1998 193

9. Yang Masuk-Akal dan Tidak Masuk-Akal


dalam Perdebatan Globalisasi
DANI RODR1K
Foreign Policy -Summer 1997 211

10. Menyebarluaskan Kemakmuran


DAVID D O L L A R dan A A R T K RA AY
Foreign Affairs-January/February2002 231

11. Kehidupan Setelah Pax Amerikana


C H A R L E S A. K U P C H A N
World Policy Journal-Fall 1999 251

12. Keunggulan Amerika dalam Tinjauan


S T E P H E N G. B R O O K S dan
W I L L I A M C. W O H L F O R T H
Foreign Affairs-July/August2002 267

13. Mengapa Mereka Membenci Kita?


FAREED ZAKARIA
Newsweek-15 October2001 287

14. Perang Saudara Orang Lain


MICHAEL SCOTT DORAN
Foreign Affairs - January/February2002 313

vi
15. Teror, Islam, dan Demokrasi
L A D A N B O R O U M A N D dan ROYA B O R O U M A N D
Journal of Democracy-April2002 339

16. Setelah bin Ladin:


Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat
S T E P H E N M. WALT
International Security - Winter2001/2002 365

17. Ancaman Baru Penghancuran Massal


R I C H A R D K. BETTS
Foreign Affairs - January/February 1998 401

18. Pidato Sambutan West Point


P R E S I D E N G E O R G E W. B U S H
Pidato Presiden pada Upacara Wisuda Akademi Militer
Amerika Serikat2002 di VfestPoint, New York 423

19. Ambisi Imperial Amerika


G. J O H N I K E N B E R R Y
Foreign Affairs-September/October2002 433

vil
Pendahuluan

Gideon Rose*

dan ambruknya Uni Soviet mengantar kita pada


A K H I R PEKA.NX; I H N C I N

era baru politik internasional. Era ini coba dipahami banyak orang
sejak pertama kali menggelinding. Selama satu dekade ini bentuknya
masih nampak samar, dan era ini masih diberi label dengan acuan
yang tidak tepat, yakni acuan dari era sebelumnya, dan bukan
dengan berbagai ciri yang ada padanya. Kemudian terjadi serangan
11 September 2001 yang nampaknya menghamparkan suatu babak
baru dalam sejarah Amerika Serikat, dunia, dan hubungan di antara
mereka. Semuanya berubah sama sekali. Atau benarkah demikian?
Apa yang benar adalah bahwa pemahaman kita tentang berbagai
persoalan tersebut selalu bersifat sebagian dan subjektif, dengan
kejelasan yang lebih bersumber dari kebutuhan kita untuk
memaksakan suatu jenis keteraturan intelektual pada kebingungan
yang merebak di antara kita, ketimbang dari realitasnya sendiri.
Kumpulan artikel ini adalah sebuah rekaman berbagai upaya terbaik
dari usaha tersebut yang berlangsung selama dua belas tahun
terakhir. Buku ini menghadirkan banyak pemikir kuat dan

" G I D E O N ROSE adalah Redaktur Pelaksana Foreign Affairs. Dicetak kembali


atas izin Foreign Affairs dari "Amerika dan Dunia, Memperdebatkan Bentuk Baru Politik
Internasional". Hak cipta &2002 oleh Council on Foreign Relations, Ine

ix
Gideon Rose

berpandangan luas, yang semuanya berupaya mencari tahu keku-


atan apa yang menggerakkan kejadian-kejadian dunia dan bagai-
mana rakyat Amerika mesti menyikapinya.
Mana yang lebih penting, ideologi, budaya, atau kekuasaan? Apa
yang menanti di depan, ketertiban atau kekacauan? Apa itu
demokrasi? Seberapa kuat Amerika Serikat, dan untuk tujuan apa
seharusnya kekuatan itu digunakan? Seberapa rapuh Amerika, apa
yang harus dilakukan untuk perlindungan diri? Para penulis dalam
kumpulan ini membahas hal ini dan berbagai persoalan lain. Mereka
sering kali saling beradu argumen, dan proses ini mendidik
masyarakat. Artikel-artikel yang awalnya diterbitkan di majalah
Foreign Affairs dan delapan jurnal dan majalah terkemuka ini
menyuguhkan daftar bacaan penting bagi siapa pun yang tertarik
dalam hubungan internasional dewasa ini.
Francis Fukuyama memulai debat besar era paska-Perang Dingin
dengan sebuah esai pada 1989, yang sekarang sudah legendaris, yang
menyatakan bahwa yang tiba adalah akhir sejarah. Yang ia
maksudkan dengan pernyataan ini adalah memuncaknya evolusi
ideologis umat manusia. Perdebatan tentang bentuk ideal
pemerintahan telah selesai, dan demokrasi liberal telah menang;
persoalan-persoalan besar ideologis adalah masalah masa silam,
demikian juga konflik-konflik besar. Salah satu tanggapan paling
keras terhadap Fukuyama datang dari Samuel P. Huntington, yang
menunjuk pada kemungkinan berbaliknya semua kecenderungan
politik serta pada kelemahan dan ketidakrasionalan watak manusia
sebagai alasan-alasan penting mengapa trauma sejarah akan terus
berlanjut.
Beberapa tahun kemudian, Huntington sendiri memicu debat
besar kedua dengan esainya pada 1993 (yang kini sama
legendarisnya dengan esai Fukuyama). Dalam esai ini ia
berpendapat bahwa jalur genting konflik masa depan bukanlah
bersifat ideologis, ekonomis ataupun politik, melainkan bersifat
budaya, saat peradaban-peradaban besar dunia saling berbenturan.
Kali ini tanggapan paling kuat datang dari Fouad Ajami, yang

x
Pendahuluan

menyatakan bahwa Huntington terlalu melebih-lebihkan kejelasan


dan arti-penting identitas peradaban dan meremehkan ketahanan
dan kelihaian negara, yang akan terus-menerus mencari berbagai
cara untuk mempertahankan pengaruh mereka terhadap warga
negara dan terhadap jalannya berbagai peristiwa.
Namun ramalan yang lain lagi segera datang dari Robert D.
Kaplan. Dengan esainya yang terbit pada 1994, Kaplan memper-
kirakan bahwa masa depan dunia akan seperti Afrika saat ini, ketika
pertumbuhan penduduk, kerusakan lingkungan, dan kebusukan po-
litik menyebarluaskan anarki ke seluruh dunia. Pada 1996, dengan
menggunakan baik jenis pandangan yang bersifat apokaliptik ini
maupaun argumen yang meramalkan kembalinya perang di antara
negara-negara besar, G. John Ikenberry menekankan pentingnya
sumber-sumber yang menjamin stabilitas internasional. Sebagai-
mana yang dengan tepat dipahami, menurutnya, akhir Perang Di-
ngin bukannya menggambarkan awal sebuah era yang pada da-
sarnya baru, melainkan sekadar merupakan perpanjangan dari ta-
tanan liberal paska-Perang Dunia II yang disponsori Amerika, yang
membentang dari Barat hingga ke sebagian besar dunia.
Meskipun demikian, sebagaimana yang dikemukakan Fareed
Zakaria pada 1997, banyak negara berkembang semakin sulit
mengikuti jalur ini, dan terjebak dalam keadaan yang disebutnya
"demokrasi yang tak-liberal." Mereka memiliki bentuk dan pernik
rezim demokratis, namun tidak substansi politik ataupun hu-
kumnya—dan yang terakhir ini tampaknya tak akan dicapai dalam
waktu dekat. Menurut Zakaria, sekiranya dunia sadar bahwa dalam
jangka panjang liberalisme konstitusional tanpa perwakilan de-
mokratis akan memberikan hasil yang lebih baik ketimbang pro-
sedur demokratis tanpa perlindungan liberal, kecemasan akan hi-
lang. Marc F. Plattner setuju mengenai perlunya membedakan dua
komponen demokrasi liberal, namun ia menganggap kesimpulan
Zakaria salah arah. Menurutnya, demokrasi yang tak-liberal bisa
mengalami peningkatan, sementara otoritarianisme liberal menjadi
jarang dan tak lagi dipercaya.

xi
Gideon Rose

Pada paruh kedua 1990-an, semakin banyaknya bukti yang


menunjukkan bahwa penyatuan ekonomi dunia berjalan dengan
cepat telah memunculkan suatu ledakan perdebatan tentang sifat,
kebaikan, dan tantangan dari fenomena yang disebut "globalisasi"
ini. Pada 1997, Dani Rodrik menawarkan suatu panduan yang jernih
tentang pelbagai aspek dari persoalan ini, yang menggabungkan
perspektif dari seorang ekonom umum dengan simpati terhadap
keprihatinan-keprihatinan yang dimunculkan gerakan antiglo-
balisasi. Empat tahun kemudian, David Dollar dan Aart Kraay
berpendapat bahwa orang yang benar-benar peduli terhadap kaum
miskin seharusnya menjadi p e n d u k u n g utama globalisasi,
mengingat dengan bertambahnya jumlah penduduk Cina dan In-
dia, penyatuan ekonomi telah membalikkan kecenderungan berusia
satu abad yang menuju ketidakseimbangan yang lebih besar dari
ekonomi global.
Ketika milenium baru mendekat, timpangnya distribusi kekuatan
internasional bukan saja gagal mengarah menjadi multipolaritas,
melainkan malah semakin membesar. Pertanyaan seputar tingkat
dan prospek masa depan hegemoni Amerika tak pelak mengemuka.
Pertanyaan ini menjadi semakin penting karena krisis paska»U Sep-
tember dan naluri unilateral pemerintahan baru Bush. Pada 1999,
Charles A. Kupchan berpendapat bahwa keunggulan Amerika
memudar saat Eropa berpadu menjadi sebuah kutub yang
berlawanan dari sistem internasional dan rakyat Amerika sendiri
semakin jemu menanggung beban kepemimpinan global. Oleh sebab
itu, jalan paling bijak adalah mengantisipasi perkembangan
semacam ini dan merencanakan transisi kekuasaan selagi masih ada
waktu. Tiga tahun kemudian, Robert Kagan (artikelnya "Power and
Weakness" tidak diterjemahkan karena penerbit tidak mendapatkan
hak ciptanya), Stephen G. Brooks, dan William CWohlforth tak
sepakat dengan hal ini. Menulis bersamaan dengan keberhasilan
yang mengejutkan dari serangan ke Afganistan, mereka
menganalisis posisi internasional Amerika Serikat yang tak ada
presedennya dalam sejarah dan implikasinya terhadap hubungan

xii
Pendahuluan

transatlantik dan kebijakan luar negeri Amerika secara lebih


umum.
Serangan teroris yang meluluh-lantakkan World Trade Center dan
Pentagon selain mendatangkan dendam juga menyadarkan adanya
kenyataan bahwa abad baru telah datang membawa musuh-musuh
dan bahaya-bahaya baru, dan warga Amerika mendapati diri mereka
mau tak mau terseret dalam pertikaian dengan politik Muslim
dewasa ini. Tiga upaya besar untuk memberikan konteks intelektual
bagi serangan tersebut dan berbagai peristiwa yang kemudian terjadi
diberikan oleh Fareed Zakaria, Michael Sott Doran, serta Ladan dan
Roya Boroumand. Mereka bersama-sama menawarkan suatu gam-
baran yang jelas tentang persilangan terorisme, agama, dan represi.
Sementara itu, Stephen M. Walt menggambarkan beberapa implikasi
dari krisis ini yang mungkin terjadi bagi kebijakan luar negeri
Amerika.
Surat antraks yang masih misterius, pada akhirnya menyingkap
betapa rapuhnya Amerika Serikat, dan juga setiap orang, dalam ber-
hadapan dengan sebuah dunia di mana senjata pemusnah massal
makin banyak tersedia dan lebih mematikan dibanding sebelumnya.
Richard K. Betts telah mengetengahkan bahaya-bahaya ini beberapa
tahun sebelumnya dan menawarkan saran bagaimana menghadapi
tantangan ini. Dan dalam pidato sambutan di West Point pada 2002,
Presiden Bush menyampaikan pandangan tegas tentang perlunya
tindakan preventif untuk mengatasi masalah-masalah semacam ini.
Namun masih belum jelas bagaimana wajah pendekatan ini dan
dalam kasus yang mana kebijakan ini bisa diterapkan, apalagi meng-
ingat penolakan internasional yang menentang praktek kebijakan
baru ini seperti yang dicatat oleh G. John Ikenberry.
Pendeknya, dua belas tahun setelah akhir Perang Dingin, bebe-
rapa ciri paling penting dari bidang strategis ini belum bisa dipas-
tikan. Komentar Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld mungkin pa-
ling jitu dalam menggambarkan situasi yang dihadapi para akade-
misi dan praktisi saat ini: "Ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita
tahu ... ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu. Namun

xiii
Gideon Rose

ada juga ... hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu."
Kami berharap pembaca akan sepakat bahwa kumpulan ini sedikit-
nya membantu meringkaskan dan memajukan diskusi.

xiv
1

Akhir Sejarah?

Francis Fukuyama*

berbagai peristiwa yang terjadi selama satu


M E N Y A K S I K A N JALANNYA

dekade silam atau lebih, rasanya sulit untuk mengelak bahwa ada
sesuatu yang sangat mendasar yang terjadi dalam sejarah dunia.
Tahun lalu menjadi saksi banjir artikel yang merayakan akhir Perang
Dingin, dan kenyataan bahwa "perdamaian" tampaknya menyebar
di banyak wilayah dunia. Sebagian besar dari analisis-analisis ini
tidak mempunyai kerangka konseptual yang lebih besar untuk
membedakan antara apa yang bersifat esensi dan apa yang bersifat
kontingen atau kebetulan dalam sejarah dunia dan dengan demikian
dangkal. Jika Tuan Gorbachev diusir dari Kremlin atau seorang
Ayatullah baru memproklamasikan zaman baru dari sebuah ibukota
terpencil di Timur Tengah, para komentator ini akan bergegas
mengumumkan kelahiran kembali era konflik baru.
Meskipun d e m i k i a n , orang-orang ini secara s a m a r - s a m a r
menyadari bahwa ada suatu proses yang lebih besar yang sedang

* FRANCIS FUKUYAMA adalah Dekan Fakultas dan Bernard L. Schwartz Professor


di Paul H. Nit2e School of A d v a n c e d International Studies, J o h n s H o p k i n s
University. Dicetak kembali atas izin International Creative M a n a g e m e n t Inc. Hak
cipta ۥ 1989 oleh Francis Fukuyama

1
Francis Fukuyama

terjadi, suatu proses yang memberi koherensi dan keteraturan pada


berita-berita utama sehari-hari. Di abad ke-20 kita menyaksikan
dunia yang telah maju terperosok ke dalam suatu ledakan kekerasan
ideologi, saat liberalisme bertarung dengan sisa-sisa absolutisme,
kemudian dengan bolshevisme dan fasisme, dan terakhir dengan
Marxisme baru yang mengarah pada bencana besar perang nuklir.
Namun abad yang mulai bergulir dengan penuh kepercayaan-diri
pada kemenangan pamungkas demokrasi liberal Barat ini pada
ujungnya kembali sepenuhnya ke titik awal: bukan menuju "akhir
ideologi" atau perpaduan antara kapitalisme dan sosialisme seperti
diperkirakan sebelumnya, melainkan menuju kemenangan penuh
liberalisme ekonomi dan politik.
Kemenangan Barat, kemenangan ide Barat, merupakan bukti kuat
dari pudarnya semua sistem alternatif yang ada bagi liberalisme
Barat. Dalam dasawarsa silam, ada perubahan-perubahan yang
sangat jelas dalam iklim intelektual dua negara komunis terbesar
dunia, dan mulainya gerakan reformasi yang signifikan di keduanya.
Namun fenomena ini berkembang melampaui politik tinggi, dan
hal ini juga terlihat dalam tersebar-luasnya budaya konsumerisme
Barat dalam beragam konteks seperti pasar petani dan perangkat
televisi berwarna yang kini ada di mana-mana di seluruh Cina, res-
toran dan toko pakaian waralaba yang dibuka tahun lalu di Mos-
kow, Beethoven yang mengalun di toko-toko serba ada di Jepang,
dan musik rock yang sama-sama dinikmati di Praha, Rangoon, dan
Teheran.
Barangkali, vang kita saksikan bukanlah sekadar akhir Perang
Dingin, atau bergulirnya periode tertentu dari sejarah paska-perang;
melainkan akhir sejarah: yakni, titik akhir dari evolusi ideologi umat
manusia dan makin universalnya demokrasi liberal Barat sebagai
bentuk final pemerintahan umat manusia. Hal ini bukan berarti tak
ada lagi kejadian-kejadian yang akan mengisi halaman-halaman edi-
si tahunan Foreign Affairs yang berkaitan dengan hubungan inter-
nasional, karena kemenangan liberalisme baru terjadi di tataran ide
atau kesadaran dan belum genap dalam dunia nyata atau materiil.

2
Akhir Sejarah?

Namun ada alasan-alasan kuat untuk percaya bahwa yang ideal


yang pada akhirnya akan mengatur dunia materi. Untuk memahami
bagaimana hal ini bisa berlangsung, kita pertama-tama harus
mempertimbangkan beberapa persoalan teoritis menyangkut sifat
perubahan sejarah.

GAGASAN TENTANG akhir sejarah bukan merupakan suatu gagasan


yang orisinil. Penggagasnya yang paling terkenal adalah Karl Marx,
yang yakin bahwa arah perkembangan sejarah mempunyai tujuan
tertentu yang ditetapkan oleh jalinan kekuatan-kekuatan materiil,
dan akan berakhir pada tercapainya sebuah utopia komunis yang
akhirnya akan menyelesaikan semua kontradiksi yang ada sebe-
lumnya. Namun konsep sejarah sebagai proses dialektis dengan ba-
gian awal, tengah, dan akhir dipinjam Marx dari orang besar Jer-
man pendahulunya, Georg Wilhelm Friedrich Hegel.
Bagaimanapun juga, pengaruh ide Hegel tentang sejarah telah
menjadi bagian pemikiran intelektual dewasa ini. Gagasan bahwa
umat manusia telah bergerak maju melewati beberapa tahapan pri-
mitif kesadaran dalam perjalanannya sampai saat ini, dan tahapan-
tahapan ini berhubungan dengan bentuk-bentuk konkret organisasi
sosial, seperti suku, pemilikan budak, teokrasi, dan akhirnya masya-
rakat yang egaliter-demokratis, telah menjadi tak terpisahkan dari
pengertian modern mengenai manusia. Hegel adalah filsuf pertama
yang berbicara dengan bahasa ilmu sosial modern, sampai tingkat
di mana manusia baginya adalah produk dari sejarah konkret dan
lingkungan sosialnya, dan bukan semacam kumpulan atribut
"alamiah" yang sudah pasti, seperti vang sebelumnya dikatakan pa-
ra teoretisi hak-hak alamiah. Penguasaan dan transformasi lingkung-
an alam manusia melalui sains dan teknologi pada mulanya bukan-
lah konsep Marxis, melainkan konsep Hegelian. Meskipun begitu,
tidak seperti penggagas teori sejarah di kemudian hari yang

3
Francis Fukuyama

relativisme historisnya merosot menjadi relativisme belaka, Hegel


percaya bahwa sejarah memuncak dalam sebuah momen absolut—
sebuah momen di mana bentuk final masyarakat dan negara yang
rasional menjadi pemenang.
Hegel kurang beruntung karena saat ini ia lebih dikenal sebagai
perintis jalan bagi Marx, dan kita kurang beruntung mengingat
hanya sedikit dari kita yang akrab dengan karya Hegel secara lang-
sung. Kita lebih mengenal pemikiran Hegel vang sudah tersaring
oleh lensa Marxisme yang telah terdistorsi. Meskipun demikian, di
Prancis, ada upaya untuk menyelamatkan Hegel dari para penafsir
Marxisnya dan membangkitkannya sebagai filsuf yang paling tepat
menyuarakan zaman kita. Di antara para penafsir modern Prancis
terhadap Hegel, yang paling besar tentunya Alexandre Kojève,
seorang imigran Rusia yang mengajar serangkaian kuliah yang
sangat besar pengaruhnya pada 1930-an di Ecole Pratique des Hautes
Etudes1 di Paris. Sekalipun tak dikenal luas di Amerika Serikat,
Kojève punya dampak besar terhadap kehidupan intelektual benua
ini. Di antara para mahasiswanya ada yang kemudian menjadi pe-
mikir cemerlang seperti Jean-Paul Sartre di Kiri dan Raymond Aron
di Kanan; e k s i s t e n s i a l i s m e p a s c a p e r a n g m e m i n j a m banyak
kategorinya dari Hegel via Kojève.

Kojève ingin membangkitkan pemikiran Hegel dalam Phenom-


enology of Mind, di mana Hegel menyatakan sejarah akan berakhir
pada 1806. Karena pada saat ini Hegel melihat dalam kekalahan Na-
poleon dari kerajaan Prussia pada Pertempuran Jena kemenangan
cita-cita Revolusi Prancis, dan makin universalnya negara-negara
yang mengakui prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan. Kojève,
bukannya menolak Hegel berdasarkan kejadian-kejadian yang

1 Karya Kojève yang paling terkenal adalah Introduction a/a lecture de Hegel
(Paris Editions Gallimard, 1947), yang merupakan sebuah diktat kuliah Ecole
Practiquedari tahun 1930-an. Buku ini tersedia dalam bahasa Inggris dengan judul
Introduction to Reading of Hegel, yang dikumpulkan oleh Raymond Queneau,
diedit oleh Allan Bloom, dan diterjemahkan oleh james Nichols {New York: Basic
Book, 1969)

4
Akhir Sejarah?

bergolak dalam satu setengah abad berikutnya, justru menegaskan


bahwa Hegel pada dasarnya benar. 2 Pertempuran Jena menandai
akhir sejarah karena pada titik itulah garda depan kemanusiaan
(sebuah istilah yang akrab untuk kaum Marxis) mengaktualisasikan
prinsip-prinsip Revolusi Prancis. Sementara ada banyak persoalan
yang mesti diselesaikan setelah 1806—menghapus perbudakan dan
perdagangan budak, meluaskan hak suara kepada pekerja, wanita,
kulit hitam, dan ras-ras minoritas lainnya, dan sebagainya—prinsip-
prinsip dasar dari negara demokratis liberal sudah tak bisa lebih
sempurna lagi. Dua perang dunia di abad ini, dan revolusi serta
pergolakan yang menyertainya, justru punya dampak menyebarkan
prinsip-prinsip itu lebih luas, sehingga beragam wilayah peradaban
manusia diantarkan ke tingkatan yang paling maju, dan memaksa
masyarakat-masyarakat di Eropa dan Amerika Utara berada di garda
terdepan peradaban untuk menerapkan liberalisme mereka secara
lebih Penuh.
Negara yang muncul pada akhir sejarah adalah liberal, sejauh ia
mengakui dan melindungi hak universal manusia akan kemerde-
kaan melalui sistem hukum, dan demokratis sejauh ia hadir hanya
dengan persetujuan mereka yang diperintah. Bagi Kojève, apa yang
disebut "negara homogen universal" ini menemukan pengejawan-
tahannya yang nyata di negara-negara Eropa Barat pascaperang—
tepatnya negara-negara damai, makmur, berpuas-diri, berorientasi
ke dalam, dan tak-berkehendak kuat, yang proyek terbesarnya tak
lebih heroik ketimbang penciptaan Pasar Bersama? Namun hal ini
sudah bisa diduga. Karena sejarah manusia dan konflik yang men-
arikannya didasarkan pada adanya "berbagai kontradiksi": penca-
rian manusia primitif untuk saling memperhatikan, dialektika ma-
jikan dan budak, transformasi dan penguasaan alam, perjuangan

2 Dalam hal ini pendapat Kojève sangat kontras dengan penafsir Hegel dari
Jerman dewasa ini seperti Herbert Marcuse, yang karena lebih bersimpati kepada
Marx, menganggap Hegel terbatas secara sejarah dan filsuf yang tak lengkap.
3 Sebagai kemungkinan lain, Kojève mengidentifikasi akhir sejarah dengan

"gaya hidup Amerika" pasca-perang, yang menurutnya juga dituju oleh Uni Soviet.

5
Francis Fukuyama

untuk pengakuan yang universal terhadap hak-hak, dan dikotomi


antara proletarian dan kapitalis. Namun dalam negara homogen uni-
versal, semua kontradiksi yang ada sebelumnya terpecahkan dan
semua kebutuhan manusia terpuaskan. Tak ada perjuangan ataupun
konflik atas isu-isu "besar", dan konsekuensinya tak perlu ada para
jenderal dan negarawan; yang tersisa hanyalah kegiatan ekonomi.
Dan sejatinyalah, kehidupan Kojève konsisten dengan pengajaran-
nya. Meyakini bahwa juga tak ada pekerjaan sebagai filsuf, mengi-
ngat Hegel (yang dipahami secara benar) telah mencapai pengeta-
huan absolut, Kojève meninggalkan kegiatan mengajar setelah pe-
rang dan menghabiskan sisa hidupnya dengan bekerja sebagai biro-
krat di Masyarakat Ekonomi Eropa sampai kematiannya pada 1968.
Bagi rekan sejawatnya di pertengahan abad, proklamasi Kojève
mengenai akhir sejarah pastilah terlihat seperti solipsisme (teori bah-
wa satu-satunya pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan
tentang diri sendiri) esentrik khas intelektual Prancis, yang muncul
menyusul berakhirnya Perang Dunia II dan pada saat Perang Dingin
sedang tegang-tegangnya. Untuk memahami bagaimana Kojève bisa
begitu berani menyatakan bahwa sejarah telah berakhir, kita perta-
ma-tama harus mengerti idealisme Hegelian.

BACI HECEI, kontradiksi-kontradiksi yang menggerakkan sejarah


hadir terutama dalam wilayah kesadaran, yakni pada tingkat ide-
ide. 4 Ide yang dimaksudkan di sini bukanlah dalam pengertian re-
meh-temeh seperti proposal yang diajukan para politikus Amerika
dalam tahun pemilihan, melainkan ide dalam pengertian pandang-
an-pandangan yang menyatukan dunia yang mungkin paling tepat

4 G a g a s a n ini dinyatakan dalam ungkapan yang terkenal dari pengantar


Philosophy of History yang berbunyi "semua yang rasional adalah nyata, dan
semua yang nyata adalah rasional."

6
Akhir Sejarah?

dipahami di bawah rubrik ideologi. Ideologi dalam pengertian ini


tidak terbatas pada doktrin politik yang eksplisit dan sekular yang
biasanya kita asosiasikan dengan istilah ini, namun bisa juga men-
cakup agama, budaya, dan nilai-nilai moral yang kompleks yang
menyangga masyarakat yang mana saja.
Pandangan Hegel tentang hubungan antara dunia ideal dan dunia
nyata atau dunia materi adalah suatu pandangan yang sangat rumit,
dimulai dengan fakta bahwa baginya perbedaan antara keduanya
adalah sesuatu yang nyata belaka. 3 Ia tidak percaya bahwa dunia
nyata menyesuaikan atau bisa dibuat agar bisa sesuai dengan pre-
konsepsi ideologis dari para guru besar filsafat dalam cara yang se-
derhana, atau bahwa dunia "materi" tidak bisa bersinggungan de-
ngan dunia ideal. Memang, Hegel sang guru besar untuk sementara
waktu menganggur sebagai akibat dari peristiwa yang sangat ma-
terial, Pertempuran Jena. Namun sementara tulisan dan pemikiran
Hegel bisa dihentikan dengan sebutir peluru dari dunia materi, ta-
ngan yang menarik pelatuk senjata sebaliknya termotivasi oleh ide-
ide kebebasan dan kesetaraan yang telah menggerakkan Revolusi
Prancis.
Bagi Hegel, semua perilaku manusia dalam dunia materi, dan
dengan demikian semua sejarah manusia, berakar dalam sebuah
tahapan kesadaran yang mendahuluinya— sebuah ide yang mirip
dengan pernyataan John Maynard Keynes ketika ia berkata bahwa
pandangan orang terhadap permasalahan-permasalahan biasanya
diperoleh dari ekonom yang telah mangkat dan makalah akademik
dari generasi sebelumnya. Kesadaran ini mungkin sifatnya tidak
ekplisit dan jelas, seperti halnya doktrin-doktrin politik modern,
melainkan lebih mengambil bentuk agama, atau kebiasaan-kebia-
saan budaya dan moral yang sederhana. Meskipun demikian, wila-

* Sejatinyalah, bagi Hegel, dikotomi yang sangat kentara antara dunia ideal
dan dunia materi itu sendiri adalah sesuatu yang nyata yang akhirnya teratasi
oleh subyek yang sadar diri; dalam sistemnya, dunia materi itu sendiri hanyalah
sebuah aspek pikiran.

7
Francis Fukuyama

yah kesadaran ini dalam jangka panjang akhirnya mengejawantah


dalam dunia materi, dan membentuk dunia materi dalam Citranya
sendiri. Kesadaran adalah penyebab dan bukan akibat, dan bisa ber-
kembang secara otonom dari dunia materi; dengan demikian, makna
nyata yang mendasari carut-marut berbagai peristiwa sekarang ini
adalah sejarah ideologi.
Idealisme Hegel menjadi sangat merosot di tangan para pemikir
yang muncul belakangan. Marx sepenuhnya membalikkan prioritas
yang nyata dan yang ideal, dan menyisihkan seluruh wilayah
kesadaran—agama, seni, budaya, dan juga filsafat—ke dalam "su-
perstruktur" yang ditentukan sepenuhnya oleh bentuk produksi ma-
teri yang sedang berlaku. Namun warisan lain dari Marxisme yang
patut disesalkan adalah kecenderungan kita untuk kembali ke pen-
jelasan-penjelasan materialis atau utilitarian terhadap fenomena po-
litik atau sejarah, dan keengganan kita untuk percaya pada kekuatan
otonom dari ide-ide. Contoh terbaru dari hal ini adalah buku karya
Paul Kennedy yang sukses besar, The Rise and Fall of the Great Pow-
ers, yang menganggap kemunduran negara-negara besar semata-
mata disebabkan oleh perluasan ekonomi yang berlebihan. Sudah
jelas, hal ini benar pada tingkatan tertentu; sebuah kerajaan yang
ekonominya sedikit saja di atas tingkat penghasilannya, selamanya
tak akan pernah bangkrut. Namun apakah masyarakat industri mo-
dern yang sangat produktif memilih untuk menghabiskan 3 atau 7
persen dari Produk Domestik Bruto untuk pertahanan ketimbang
konsumsi adalah persoalan yang sepenuhnya merupakan prioritas
politik masyarakat tersebut, yang pada gilirannya ditentukan dalam
wilayah kesadaran.

Bias materialis dari pemikiran modern merupakan suatu hal yang


tidak hanya mencirikan orang-orang Kiri yang mungkin bersimpati
kepada Marxisme, melainkan juga mereka yang bersemangat anti-
Marxis. Di Kanan, terdapat suatu kelompok yang sering disebut ma-
terialisme deterministik aliran Wall Street Journal yang memangkas
nilai penting ideologi dan kebudayaan serta melihat manusia sebagai
individu yang pada dasarnya rasional dan mengejar keuntungan

8
Akhir Sejarah?

sebanyak-banyaknya. Tepat jenis individu dan pengejarannya atas


keuntungan materi inilah yang dianggap sebagai dasar kehidupan
ekonomi seperti yang ada dalam buku-buku teks ekonomi.11 Satu
contoh kecil akan menunjukkan ciri problematis dari pandangan
materialis semacam ini.
Max Weber mengawali bukunya yang terkenal, The Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism, dengan mencatat perbedaan
kinerja ekonomi komunitas-komunitas Protestan dan Katolik di
seluruh Eropa dan Amerika, dan menyimpulkan bahwa kaum Pro-
testan makan enak sementara kaum Katolik tidur nyenyak. Weber
mencatat bahwa menurut teori ekonomi yang mana saja yang me-
nempatkan manusia sebagai pengejar keuntungan yang rasional,
menaikkan rasio piece-work (pembayaran mengikuti banyaknya
pekerjaan) seharusnya meningkatkan produktivitas pekerja. Namun
dalam kenyataannya, di banyak komunitas petani tradisional, me-
naikkan rasio piece-work malah punya dampak sebaliknya, yakni
menurunkan produktivitas pekerja: pada rasio yang lebih tinggi,
seorang petani yang terbiasa mendapatkan dua setengah mark per
hari mendapati bahwa ia bisa mendapatkan jumlah yang sama de-
ngan bekerja lebih sedikit, dan ia melakukannya karena ia lebih
menghargai waktu untuk bersantai ketimbang penghasilan. Pilihan
untuk bersantai ketimbang penghasilan, atau kehidupan militeristik
serdadu Sparta ketimbang kemakmuran pedagang Athena, atau bah-
kan kehidupan asketis dari wirausahawan kapitalis terdahulu ke-
timbang kehidupan aristokrat tradisional yang bersantai-santai saja,
tidak mungkin dijelaskan dengan cara kerja kekuatan materi yang
tidak menyentuh orang tertentu. Sebaliknya, pilihan ini muncul dari
wilayah kesadaran—yang harus kita beri label secara luas di sini

* Faktanya, para ekonom modern mengakui bahwa manusia tidak senantiasa


berperilaku sebagai makhluk pengejar keuntungan, sebagai gantinya mereka
menempatkan sebuah fungsi " k e g u n a a n " , kegunaan ini bisa berupa penghasilan
a t a u b a r a n g y a n g bisa d i m a k s i m a l k a n : h i b u r a n , k e p u a s a n s e k s u a l , a t a u
kegembiraan berfilsafat. Keuntungan yang mesti diganti dengan sebuah nilai
seperti kegunaan menjadi indikasi betapa meyakinkannya perspektif idealis.

y
Francis Fukuyama

sebagai ideologi. Dan memang, tema utama dari karya Weber adalah
untuk membuktikan bahwa berlawanan dengan yang dikatakan
Marx, bentuk produksi materi itu bukannya "basis", melainkan
suatu "superstruktur" yang berakar pada agama dan budaya, dan
bahwa untuk memahami munculnya kapitalisme modem dan mo-
tif pengejaran keuntungan seseorang harus mempelajari asal-
usulnya dalam wilayah kesadaran.
jika kita melihat dunia dewasa ini, melesetnya teori-teori
materialis perkembangan ekonomi sangatlah jelas. Materialisme
deterministik aliran Wall Street Journal biasanya m e n u n j u k
kesuksesan ekonomi Asia yang mengejutkan dalam beberapa
dasawarsa silam sebagai bukti bisa hidupnya ekonomi pasar bebas,
dengan implikasi bahwa semua masyarakat bisa menjumpai
perkembangan yang serupa hanya dengan membiarkan penduduk
mereka mengejar kepentingan materinya secara bebas. Tentu saja
pasar bebas dan sistem politik yang stabil adalah prakondisi yang
diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi kapitalis. Namun, yang
tak kalah p e n t i n g n y a d a l a m m e n j e l a s k a n kinerja e k o n o m i
masyarakat Timur Jauh adalah warisan budaya, etika kerja,
kebiasaan menabung, penghormatan terhadap keluarga, warisan
keagamaan yang tidak, seperti Islam, melarang bentuk-bentuk
tertentu perilaku ekonomi, dan kualitas-kualitas moral lain yang
berurat akar. 7 Namun pengaruh intelektual materialisme sede-
mikian kuatnya sehingga tidak ada satu pun teori perkembangan
ekonomi dewasa ini yang secara sungguh-sungguh menyebut
kesadaran dan budaya sebagai matriks di mana di dalamnya
perilaku ekonomi dibentuk.

7 Tidak perlu jauh-jauh melihat, tengok saja kinerja terkini dari imigran Vietnam
di sistem sekolah Amerika saat dibandingkan dengan rekan sekelas mereka yang
k e t u r u n a n Hispnnik atau kulit hitam untuk menyadari b a h w a b u d a y a d a n
kesadaran mutlak penting untuk menjelaskan bukan hanya perilaku ekonomi
melainkan juga semua aspek penting lain dari kehidupan.

10
Akhir Sejarah?

memahami bahwa akar perilaku ekonomi terletak


K E G A G A L A N UNTUK

d a l a m wilayah k e s a d a r a n dan b u d a y a telah m e n y e b a b k a n


munculnya kesalahan umum, yakni melekatkan penyebab materi
bagi fenomena yang pada dasarnya bersifat pemikiran. Sebagai
contoh, sudah jamak di Barat untuk menafsirkan gerakan reformasi
yang pertama-tama muncul di Cina dan kemudian di Uni Soviet
sebagai kemenangan yang material atas pemikiran—yakni, sebuah
pengakuan bahwa dorongan ideologis tidak bisa menggantikan
dorongan-dorongan material dalam merangsang ekonomi modern
yang sangat produktif, dan bahwa jika seseorang ingin makmur ia
harus makin mementingkan diri sendiri. Namun kerusakan ekonomi
sosialis yang begitu mendalam adalah bukti yang telah berumur
tiga puluh atau e m p a t puluh tahun bagi siapa pun y a n g
memperhatikan. Mengapa negara-negara sosialis ini baru beralih
dari perencanaan terpusat pada 1980-an? Jawabannya pasti bisa
dijumpai dalam kesadaran para elite dan pemimpin yang menguasai
mereka, yang memutuskan untuk memilih kehidupan "Protestan"
yang m a k m u r dan b e r i s i k o daripada jalur kemiskinan dan
keselamatan "Katolik"- 8 Perubahan ini jadi tak terhindarkan bukan
karena kondisi materi yang dijumpai masing-masing negara di
ambang reformasi, melainkan sebaliknya datang sebagai akibat
kemenangan sebuah ide atas ide yang lain.*

Bagi Kojève, seperti halnya bagi para pemikir Hegelian lain yang
mumpuni, untuk bisa memahami proses yang mendasari sejarah,
orang perlu terlebih dahulu memahami perkembangan di wilayah
kesadaran atau ide-ide, mengingat kesadaran akhirnya akan

8 Saya mengerti bahwa sebuah penjelasan lengkap mengenai asal-usul gerakan


reformasi di Cina dan Rusia adalah persoalan yang jauh lebih rumit daripada
y a n g d i s e b u t k a n formula s e d e r h a n a ini. R e f o r m a s i S o v i e t , s e b a g i a n b e s a r
digerakkan oleh rasa tidak a m a n M o s k o w dalam bidang teknologi militer.
Meskipun demikian, tak ada negara satu pun pada ambang reformasinya berada
dalam krisis materi yang sedemikian rupa sehingga seseorang bisa memerkirakan
jalur reformasi yang mengejutkan yang akhirnya ditempuh.
M Masih belum jelas apakah rakyat Soviet adalah "Protestan" sebagaimana

Gorbachev dan akan mengikuti jalur yang ditempuhnya.

11
Francis Fukuyama

membentuk kembali dunia materi dalam Citranya sendiri. Dengan


mengatakan bahwa sejarah berakhir pada 1806, ia bermaksud
menyebut bahwa evolusi ideologi umat manusia berakhir dalam
cita-cita Revolusi Prancis atau Amerika: sekalipun rezim-rezim ter-
tentu di dunia nyata mungkin tak sepenuhnya menerapkan ide-ide
ini, kebenaran teoritis mereka bersifat mutlak dan kesadaran gene-
rasi Eropa pascaperang tidaklah menjadi sesuatu yang bersifat
umum di seluruh dunia; sekiranya perkembangan ideologis benar-
benar telah berakhir, negara homogen akhirnya akan menjadi peme-
nang di seluruh dunia material.
Sejujurnya, saya tidak punya tempat maupun kemampuan
untuk mempertahankan secara mendalam perspektif idealis Hegel
yang radikal. Persoalannya bukanlah apakah sistem Hegel benar
atau tidak, melainkan apakah perspektifnya bisa membongkar
banyak penjelasan materialis yang bermasalah yang sering kita
terima begitu saja. Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk
menyangkal peran faktor-faktor material itu sendiri. Bagi seorang
idealis yang berpikiran harfiah, masyarakat manusia bisa dibangun
melalui serangkaian prinsip aturan terlepas dari hubungan mereka
dengan dunia materi. Dan dalam kenyataannya manusia telah
membuktikan diri mampu menjalani penderitaan material yang
paling ekstrem atas nama ide-ide yang hadir semata-mata di wilayah
kesadaran, entah itu berupa pemujaan terhadap sapi atau wujud
Trinitas Suci. 10

10 Politik internal Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) pada masa Justinia-


nus berkisar pada konflik antara kaum yang disebut monofisit (penganut doktrin
anti-Kaledonia, mereka meyakini bahwa Kristus bersifat ilahiah sepenuhnya dan
bukan manusia walaupun ia telah muncul di bumi dan mengambil wujud manusia
dengan siklusnya yang berupa kelahiran, kehidupan, dan ajal) dan monotelit, yang
meyakini bahwa kesatuan Trinitas Suci adalah alternatif dari alam atau dari ke-
hendak. Konflik ini pada tingkatan tertentu berhubungan dengan konflik antara
para pendukung regu pacuan yang berbeda di Hippodrome di Byzantium dan
mengantar pada kekerasan politik yang tak signifikan tingkatnya. Para sejarawan
modern cenderung mencari akar konflik semacam ini dalam antagonisme antara
kelas-kelas sosial atau kategori ekonomi modern lainnya, dan tak bersedia percaya
bahwa manusia sanggup saling bunuh karena beda pendapat soal wujud Trinitas.

12
Akhir Sejarah?

Namun sementara persepsi manusia tentang dunia materi diben-


tuk oleh kesadaran historisnya mengenai dunia itu, dunia materi
sebaliknya bisa dengan jelas mempengaruhi kesadaran. Secara
khusus, kekayaan berlimpah-ruah negara liberal yang maju dan
beragam budaya konsumen yang tak terbatas yang berhasil mereka
wujudkan tampaknya telah memupuk sekaligus menjaga liberalisme
dalam lingkup politik. Saya ingin menghindari determinisme mate-
rialis yang mengatakan bahwa ekonomi liberal dengan sendirinya
menghasilkan politik liberal, karena saya percaya bahwa baik eko-
nomi dan politik mensyaratkan kesadaran yang otonom yang me-
mungkinkannya terwujud. Namun kesadaran yang memungkinkan
pertumbuhan liberalisme rasanya baru bisa membuat stabil dalam
cara yang diharapkan orang pada akhir sejarah sekiranya hal ini
dijamin oleh berlimpahnya ekonomi pasar bebas modern. Kita bisa
saja menyimpulkan isi dari negara homogen universal ini adalah
demokrasi liberal dalam lingkup politik digabungkan dengan akses
terhadap perekam video dan perangkat stereo dalam ekonomi.

BJ

benar-benar telah sampai pada akhir sejarah? Dengan


A P A K A H KITA

kata lain, apakah ada "kontradiksi" mendasar dalam kehidupan ma-


nusia yang tak bisa dipecahkan dalam konteks liberalisme modern,
yang akan bisa dipecahkan oleh struktur politik-ekonomi alternatif?
Jika kita menerima premis kaum idealis yang dipaparkan di atas,
kita harus mencari jawaban untuk pertanyaan ini dalam wilayah
ideologi dan kesadaran. Tugas kita bukanlah menjawab tantangan-
tantangan terhadap liberalisme yang diajukan oleh semua messiah
sinting di seluruh dunia, namun hanya tantangan-tantangan vang
terwujud dalam kekuatan dan gerakan sosial atau politik yang pen-
ting, dan dengan demikian yang menjadi bagian dari sejarah dunia.
Untuk kepentingan kita, kecil saja artinya pemikiran ganjil yang me-
landa orang-orang di Albania atau Burkina Faso, karena kita tertarik

13
Francis Fukuyama

pada apa yang dalam pengertian tertentu dapat disebut sebagai wa-
risan ideologis bersama umat manusia.
Di abad sebelumnya, ada dua tantangan besar terhadap liberal-
isme, yaitu fasisme dan komunisme. Fasisme 11 melihat kelemahan
politik, materialisme, anomi, dan cairnya masyarakat Barat sebagai
kontradiksi mendasar dalam masyarakat liberal yang hanya bisa
dipecahkan oleh sebuah negara yang kuat yang menempa "rakyat"
baru berdasarkan kekhasan nasional. Fasisme sebagai ideologi yang
hidup telah hancur oleh Perang Dunia II. Tentu saja ini sebuah ke-
kalahan dalam tataran yang sangat material, namun ini juga sekali-
gus merupakan kekalahan sebuah gagasan. Yang menghancurkan
fasisme sebagai sebuah ide bukanlah perubahan moral universal
yang tiba-tiba menentangnya, mengingat banyak orang yang berse-
dia menyokong ide ini di kemudian hari, hanya saja tak ada yang
berhasil. Setelah perang, tampak bagi sebagian besar orang bahwa
fasisme Jerman seperti halnya varian-variannya di Eropa dan Asia
sedang menuju penghancuran diri-sendiri. Tidak ada alasan mate-
rial mengapa gerakan fasis baru tidak bisa berkembang lagi setelah
perang di wilayah-wilayah lain, selain kenyataan bahwa ultranasio-
nalisme yang ekspansionis, dengan janjinya tentang konflik tak ber-
kesudahan yang mengarah pada kekalahan militer besar-besaran,
telah sepenuhnya kehilangan daya tariknya. Runtuhnya kekanselir-
an Reich serta bom-bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Na-
gasaki telah membunuh ideologi ini pada tingkatan kesadaran dan juga
material, dan semua gerakan protofasis yang disemai oleh Jerman dan

11 Saya tidak menggunakan istilah "fasisme" di sini dalam pengertiannya yang


paling tepat, sepenuhnya sadar seringnya penyalahgunaan dari istilah ini untuk
mencela siapa saja menurut kehendak pengguna. "Fasisme" di sini menunjuk pada
setiap gerakan ultra-nasionalis yang terorganisasi dengan pretensi universalistik
- tentu saja bukan universalistik yang berkenaan dengan nasionalismenya, karena
yang belakangan ini adalah sesuatu yang eksklusif menurut definisi, namun yang
berkenaan dengan keyakinan pergerakan dalam haknya untuk menguasai orang
lain. Dengan demikian Kekaisaran Jepang memenuhi kualifikasi sebagai fasis
sementara bekas orang kuat Paraguay Stoessner atau Pinochet di Cile tidak. Tentu
saja ideologi fasis tak bisa dijadikan universal dalam pengertian Marxisme atau
liberalisme, namun struktur doktrin ini bisa ditransfer dari satu negara ke negara.

14
Akhir Sejarah?

Jepang seperti gerakan Peronis di Argentina atau Tentara Nasional In-


dia yang dipimpin Subhas Chandra Bose memudar setelah perang.
Tantangan ideologis lain yang yang dihadirkan oleh komunisme,
alternatif lain bagi liberalisme, jauh lebih serius. Marx, berbicara de-
ngan bahasa Hegel, menyatakan bahwa masyarakat liberal mengan-
dung sebuah kontradiksi mendasar yang tak bisa dipecahkan di da-
lam konteksnya, yaitu antara modal dan buruh, dan sejak saat itu
kontradiksi ini telah menjadi serangan utama terhadap liberalisme.
Namun tentu saja, persoalan kelas ini telah berhasil dipecahkan di
Barat. Seperti yang dilihat Kojève (dan juga para pemikir lain), ega-
litarianisme Amerika modem melambangkan pencapaian mendasar
dari masyarakat tanpa kelas yang dibayangkan Marx. Hal ini bukan
berarti mengatakan bahwa tak ada orang kaya dan orang miskin di
Amerika Serikat, atau jurang di antara mereka tidak melebar dalam
tahun-tahun terakhir. Namun akar yang menyebabkan ketaksetaraan
ekonomi tidak ada kaitannya dengan struktur hukum dan sosial
yang melandasi masyarakat kita, yang pada dasarnya tetap egaliter
dan cukup merata, demikian juga dengan karakteristik budaya dan
sosial dari kelompok-kelompok yang membentuknya, yang tak lain
merupakan warisan historis dari kondisi pramodern. Dengan
demikian kemiskinan kaum kulit hitam di Amerika Serikat bukanlah
produk inheren dari liberalisme, namun lebih merupakan "warisan
perbudakan dan rasisme" yang masih bertahan lama setelah peng-
hapusan resmi perbudakan.

Akibat memudarnya isu kelas, boleh dikatakan saat ini daya tarik
komunisme di dunia Barat yang maju lebih rendah dari waktu kapan
pun sejak akhir Perang Dunia I. Hal ini bisa diukur dengan berbagai
cara: berkurangnya keanggotaan dan turunnya angka pemilih partai
komunis di negara-negara besar Eropa dan program revisionis me-
reka; keberhasilan perolehan suara partai-partai konservatif dari Ing-
gris dan Jerman hingga AS dan Jepang yang jelas-jelas pro-pasar
dan anti-statis; serta dalam iklilm intelektual di mana anggota-
anggotanya yang "paling maju" tak lagi percaya bahwa masyarakat
borjuis adalah sesuatu yang pada akhirnya harus dilampaui. Hal

15
Francis Fukuyama

ini tidak berarti mengatakan bahwa pendapat intelektual progresif


di negara-negara Barat tidak punya kelemahan yang mendasar da-
lam banyak hal. Melainkan bahwa orang-orang yang percaya bahwa
masa depan tidak bisa tidak adalah sosialis cenderung sangat jarang,
atau sangat marginal bagi wacana politik riil masyarakat mereka.
Seseorang mungkin berpendapat bahwa paham sosialis tak per-
nah benar-benar masuk akal bagi dunia Atlantik Utara, dan bisa
bertahan selama beberapa dekade terakhir terutama karena keber-
hasilannya di luar wilayah ini. Namun justru belahan dunia di luar
Eropalah yang paling terkena transformasi ideologi besar-besaran.
Perubahan yang paling mencolok pastilah yang terjadi di Asia. Oleh
karena kekuatan dan kemampuan adaptasi budaya asli di sana, Asia
menjadi medan perang bagi beragam ideologi impor dari Barat pada
awal abad ini. Liberalisme di Asia sangat lemah di masa setelah
Perang Dunia I; mudah sekali sekarang ini untuk melupakan betapa
seramnya masa depan politik Asia sekitar sepuluh atau lima belas
tahun yang lalu. Juga sangat mudah untuk melupakan betapa pen-
tingnya hasil perjuangan ideologi Asia bagi perkembangan politik
dunia secara keseluruhan.
Di Asia, alternatif pertama bagi liberalisme yang berhasil dika-
lahkan adalah fasisme yang dilambangkan oleh kekaisaran Jepang.
Fasisme Jepang (seperti halnya versi Jerman) dikalahkan oleh pa-
sukan Amerika dalam perang Pasifik, dan demokrasi liberal di-
paksakan di Jepang oleh Amerika Serikat yang jadi pemenang. Keti-
ka dicangkokkan pada Jepang, kapitalisme dan liberalisme politik
Barat diadaptasi dan ditransformasikan oleh orang-orang Jepang
sedemikian rupa sehingga hampir tidak dapat dikenali. 12 Banyak
orang Amerika kini sadar bahwa organisasi industri Jepang sangat

12 Sava menggunakan contoh Jepang dengan kehati-hatian tersendiri, karena


Kojève di akhir hidupnya sampai pada kesimpulan bahwa Jepang, dengan buda-
yanya yang berdasarkan seni formal yang murni, membuktikan bahwa negara
homogen yang universal bukanlah pemenang dan sejarah mungkin saja tak ber-
a k h i r Lihat catatan panjang di akhir edisi kedua dari Introduction a la Lecture de
Hegel 462-3

16
Akhir Sejarah?

berbeda dengan yang ada di Amerika Serikat atau Eropa, dan dapat
dipertanyakan apa kaitan manuver faksional yang terjadi di Partai
Demokrat Liberal yang berkuasa dengan demokrasi. Meskipun de-
mikian, kenyataan bahwa elemen mendasar dari liberalisme eko-
nomi dan politik telah sedemikian berhasilnya dicangkokkan ke da-
lam tradisi dan lembaga Jepang yang unik, telah menjamin kelang-
sungan hidup mereka dalam jangka panjang. Lebih penting lagi ada-
lah kontribusi yang dilakukan Jepang dalam mengubah sejarah du-
nia dengan mengikuti jejak langkah Amerika Serikat menciptakan
budaya konsumen yang benar-benar universal yang telah menjadi
sebuah simbol sekaligus penopang dari negara homogen universal.
V.S. Naipaul yang pergi ke Iran di bawah Khomeini tak lama setelah
revolusi melihat reklame di mana-mana yang mengiklankan produk
Sony, Hitachi, dan JVC, yang daya tariknya tetap sangat menggoda
dan membuktikan kebohongan dari pretensi rezim untuk memba-
ngun sebuah negara yang didasarkan pada aturan Syariah. Hasrat
akan akses terhadap budaya konsumen, yang sebagian besar dicip-
takan oleh Jepang, telah memainkan peran penting dalam memper-
luas penyebaran liberalisme ekonomi di seluruh Asia, dan dengan
demikian juga dalam mempromosikan liberalisme politik.

Keberhasilan ekonomi dari negara-negara industri baru yang lain


di Asia yang mengikuti contoh Jepang sekarang menjadi cerita yang
dikenal banyak orang. Dari sudut pandang Hegelian, apa yang pen-
ting adalah bahwa liberalisme politik mengikuti liberalisme ekono-
mi, lebih lambat dari yang diharapkan banyak orang, namun tampak
tak terhindarkan. Sekali lagi di sini kita melihat kemenangan ide
negara homogen universal. Korea Selatan telah berkembang menjadi
sebuah masyarakat urban modern dengan kelas menengah terdidik
yang bertambah banyak yang tidak mungkin diisolasi dari
kecenderungan demokratis di sekitar mereka. Dalam situasi seperti
ini, tampak tak bisa ditoleransi lagi bagi sebagian besar penduduk
bahwa negara harus diperintah oleh rezim militer, sementara Jepang,
yang dalam hal ekonomi lebih maju satu dekade atau lebih, telah
punya lembaga parlemen selama empat puluh tahun. Bahkan bekas

17
Francis Fukuyama

rezim sosialis di Burma, yang untuk beberapa dekade hidup dalam


isolasi yang menyedihkan dari kecenderungan lebih besar yang men-
dominasi Asia, dalam tahun terakhir mengalami tekanan yang begitu
kuat untuk meliberalkan sistem ekonomi maupun politiknya. Dike-
mukakan bahwa ketidaksenangan terhadap orang kuat Nc Win mulai
merebak ketika seorang pejabat senior Burma pergi ke Singapura untuk
berobat. Di sana, pejabat ini menangis pilu melihat betapa jauh
tertinggalnya Burma yang sosialis dari negara ASEAN tetangganya.

N A M U N KEKUATAN ide liberal akan tampak kurang mengesankan jika


tidak memengaruhi budaya terbesar dan tertua di Asia, Cina.
Keberadaan Cina yang komunis menciptakan kutub alternatif dari
daya tarik ideologis, dan dengan demikian menjadi sebuah ancaman
bagi liberalisme. Namun dalam 15 tahun terakhir telah terjadi pen-
diskreditan yang hampir total terhadap Marxisme-Leninisme seba-
gai sebuah sistem ekonomi. Diawali dengan sidang pleno ketiga dari
Komite Sentral Kesepuluh 1978, Partai Komunis Cina berencana
membubarkan pertanian kolektif untuk 800 juta warga Cina yang
masih tinggal di pedesaan. Peran negara dalam pertanian direduksi
menjadi pemungut pajak saja, sementara produksi barang-barang
konsumen ditingkatkan secara tajam untuk memberi petani sececap
rasa negara homogen universal, dan dengan demikian rangsangan
untuk bekerja. Reformasi ini menggandakan panen padi Cina dalam
jangka waktu hanya lima tahun, dan dalam prosesnya menghasilkan
basis politik yang solid bagi Deng Xiao-Ping, dan dari sini ia dapat
memperluas reformasi ke wilayah-wilayah ekonomi yang lain. Para
pengamat ekonomi belumlah memulai menjabarkan dinamisme, ini-
siatif, dan bukti keterbukaan di Cina sejak reformasi bergulir.

Meskipun demikian, saat ini Cina tak bisa disebut sebagai negara
liberal demokrasi. Dewasa ini, tak lebih dari 20 persen dari ekono-
minya yang telah dipasarkan, dan apa yang paling penting, Cina
masih terus dikuasai oleh partai Komunis yang mengangkat diri
sendiri dan tak ada tanda ingin mengalihkan kekuasaan. Deng tak

18
Akhir Sejarah?

membuat janji-janji ala Gorbachev yang berkaitan dengan demo-


kratisasi sistem politik dan tak ada padanan Cina untuk glasnost
Pemimpin Cina ini bahkan sangat lebih berhati-hati dalam meng-
kritik Mao dan Maoisme bila dibandingkan dengan sikap Gorbachev
terhadap Brezhnev dan Stalin, dan rezim Cina terus berpura-pura
memuja Marxisme-Leninisme sebagai ideologi yang melandasinya.
Namun siapa pun yang akrab dengan pandangan dan perilaku elite
teknokrat baru yang sekarang memerintah Cina, tahu bahwa Marxis-
me dan prinsip ideologis telah menjadi benar-benar tak relevan seba-
gai panduan kebijakan, dan konsumerisme borjuis punya arti nyata
di negara itu untuk pertama kali sejak revolusi. Berbagai kemun-
duran dalam laju reformasi, kampanye menentang "polusi spiritual",
dan pembungkaman atas pembangkang politik seharusnya lebih
dilihat sebagai penyesuaian taktis dalam proses penanganan suatu
transisi politik yang luar biasa sulitnya. Dengan menghindari ma-
salah reformasi politik di saat ia menempatkan ekonomi di atas pijak-
an yang baru, Deng telah berhasil menghindari keruntuhan otoritas
yang mengiringi perestroika-nya Gorbachev. Namun daya tarik ide
liberal menjadi sangat kuat ketika kekuasaan ekonomi berpindah
dan ekonomi menjadi makin terbuka bagi dunia luar. Dewasa ini
ada 20 ribu lebih mahasiswa Cina yang belajar di Amerika Serikat
dan negara-negara Barat lainnya, hampir semuanya adalah anak-
anak elite Cina. Sulit dipercaya bahwa saat mereka pulang ke rumah
untuk mengelola negara, mereka akan bahagia melihat Cina sebagai
satu-satunya negara di Asia yang tidak terpengaruh oleh kecende-
rungan demokratisasi. Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di Bei-
jing yang pecah pertama kali pada bulan Desember 1986 dan ter-
ulang baru-baru ini pada kematian Hu Yao Bang, hanyalah awal
dari bertambahnya tekanan yang tak terhindarkan lagi untuk per-
ubahan yang sama dalam sistem politik.

Dari sudut pandang sejarah dunia, apa yang penting menyangkut


Cina bukanlah kondisi reformasi saat ini atau bahkan prospek masa
depannya. Persoalan yang utama adalah fakta bahwa Republik Rak-
yat Cina tak bisa lagi berperan sebagai suar kekuatan yang tak libe-

19
Francis Fukuyama

ral di seluruh dunia, baik mereka gerilya di sebuah hutan Asia atau
mahasiswa kelas menengah di Paris. Maoisme, bukannya menjadi
pola masa depan Asia, malah menjadi suatu anakronisme, dan da-
ratan Cinalah yang faktanya begitu terpengaruh oleh kemakmuran
dan dinamisme dari sesama etnik mereka di luar negeri—keme-
nangan akhir Taiwan yang ironis.
Namun, apa yang tak kalah penting dibanding perubahan-per-
ubahan di Cina adalah perkembangan di Uni Soviet—"kampung
halaman kaum proletar dunia" yang asli—yang telah memasang
paku terakhir di keranda paham Marxis-Leninis untuk berganti ke
demokrasi liberal. Harus jelas bahwa dalam hal lembaga resmi, tak
banyak yang berubah dalam empat tahun sejak Gorbachev meme-
gang kekuasaan: pasar bebas dan gerakan kerja sama hanya mewa-
kili bagian kecil dari ekonomi Soviet, yang masih direncanakan seca-
ra terpusat; sistem politik masih didominasi oleh Partai Komunis
yang baru mulai melakukan demokratisasi secara internal dan ber-
bagi kekuasaan dengan kelompok lain; rezim ini masih terus me-
nyatakan bahwa yang ia inginkan hanyalah memodernkan sosialis-
me dan bahwa basis ideologinya tetap Marxisme-Leninisme; dan
akhirnya, Gorbachev menghadapi potensi perlawanan kuat kelom-
pok konservatif yang bisa membatalkan perubahan yang telah ba-
nyak terjadi. Selain itu, sulit untuk berharap terlalu banyak akan
peluang sukses reformasi yang diajukan Gorbachev, baik dalam bi-
dang ekonomi maupun politik. Namun tujuan saya di sini bukanlah
untuk menganalisis peristiwa-peristiwa dalam jangka pendek, atau
membuat prediksi untuk kepentingan kebijakan, melainkan untuk
melihat kecenderungan yang melandasi di bidang ideologi dan ke-
sadaran. Dan dalam hal ini, terlihat jelas bahwa transformasi vang
menakjubkan telah terjadi.

Para imigran dari Uni Soviet telah melaporkan paling tidak sela-
ma satu generasi terakhir bahwa sekarang praktis tak ada seorang
pun yang benar-benar percaya pada Marxisme-Leninisme, dan ini
lebih terasa lagi kebenarannya di kalangan elite Soviet, yang masih
terus menggembar-gemborkan slogan-slogan Marxis namun dengan

20
Akhir Sejarah?

nada sinis. Hanya saja, korupsi dan dekadensi negara Soviet era
almarhum Brehnev tampaknya tak banyak terpengaruh selama
negara ini sendiri menolak masuk ke dalam persoalan prinsip-prin-
sip dasar mana saja yang melandasi masyarakat Soviet. Sekalipun
lamban, sistem ini mampu berfungsi secara memadai dan bahkan
bisa mengorakkan semacam dinamisme di wilayah kebijakan luar
negeri dan pertahanan. Marxisme-Leninisme mirip jampi-jampi
klenik yang, betapapun absurd dan hampa artinya, merupakan satu-
satunya basis bersama yang bisa disetujui kaum elite untuk me-
merintah masyarakat Soviet.

APA YANG terjadi dalam empat tahun sejak Gorbachev berkuasa


adalah sebuah serangan revolusioner pada lembaga dan prinsip
yang paling mendasar dari Stalinisme, dan penggantian mereka
dengan prinsip-prinsip lain yang tak bisa disebut liberalisme per
se, namun benang penghubung satu-satunya adalah liberalisme. Hal
ini paling jelas terlihat dalam bidang ekonomi, di mana para ekonom
reformis di sekitar Gorbachev kian lama kian radikal dalam dukung-
an mereka terhadap pasar bebas, sampai pada titik di mana orang
seperti Nikolai Shimelev tak keberatan dibandingkan di muka
umum dengan Milton Friedman. Ada konsensus nyata di antara alir-
an ekonom Soviet yang kini dominan bahwa perencanaan terpusat
dan sistem alokasi terkomando adalah akar penyebab ketidakefi-
sienan ekonomi, dan bahwa jika sistem Soviet ingin menyembuhkan
dirinya sendiri, ia harus mengizinkan pengambilan keputusan yang
bebas dan terdesentralisasi dengan mempertim-bangkan investasi,
tenaga kerja, dan harga. Setelah kebingungan ideologi pada dua ta-
hun pertama, prinsip-prinsip ini akhirnya disertakan ke dalam kebi-
jakan dengan penerbitan undang-undang baru tentang otonomi
perusahaan, kerja sama, dan akhirnya pada 1988 tentang pengaturan
peminjaman uang dan pertanian keluarga. Tentu saja ada serang-
kaian kekurangan fatal dalam penerapan reformasi saat ini, dan yang
p a l i n g m e n c o l o k adalah k e t i a d a a n r e f o r m a s i harga yang

21
Francis Fukuyama

berkesinambungan. Namun masalahnya bukan lagi sesuatu yang


konseptual: Gorbachev dan para pembantu dekatnya tampaknya
cukup paham logika ekonomi pembukaan pasar, tetapi seperti hal-
nya para pemimpin Dunia Ketiga yang menghadapi IMF, mereka
cemas akan konsekuensi-konsekuensi sosial dari penghentian sub-
sidi konsumen dan bentuk-bentuk lain ketergantungan pada sektor
negara.
Di bidang politik, perubahan-perubahan yang diusulkan untuk
konstitusi Soviet, sistem hukum, dan aturan-aturan partai sangat
jauh untuk bisa disebut pembentukan sebuah negara liberal. Gorba-
chev bicara tentang demokratisasi semata dalam lingkup urusan in-
ternal partai, dan tak banyak memperlihatkan niat untuk mengakhiri
monopoli kekuasaan Partai Komunis; tak diragukan lagi, reformasi
politik berusaha untuk melegitimasi dan dengan demikian mem-
perkuat kekuasaan Partai Komunis Uni Soviet. 13
Meskipun demikian, prinsip-prinsip umum yang mendasari ba-
nyak hal dalam reformasi ini—bahwa "rakyat" harus benar-benar
bertanggung jawab untuk urusan mereka sendiri, bahwa badan-ba-
dan politik yang lebih tinggi harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada badan-badan yang lebih rendah, dan bukan sebaliknya, bah-
wa aturan hukum harus mengatasi tindakan polisi yang sewenang-
wenang, dengan pemisahan kekuasaan dan peradilan independen,
bahwa harus ada perlindungan hukum bagi hak-hak milik, perlunya
diskusi terbuka tentang isu-isu publik dan hak publik untuk berbeda
pendapat, memberdayakan negara Soviet sebagai sebuah forum yang
di dalamnya seluruh rakyat Soviet bisa berpartisipasi, dan member-
dayakan budaya politik yang lebih toleran dan majemuk—berasal dari
sebuah sumber yang secara mendasar asing bagi tradisi Marxis-Leninis
Republik Sosialis Uni Soviet, sekalipun mereka tak terartikulasikan
secara sempurna dan diterapkan dengan buruk dalam praktek.

11Namun tidak demikian halnya di Polandia dan Hungaria, Partai Komunis


di dua negara ini telah bergerak menuju pembagian kekuasaan yang sebenarnya
dan kemajemukan.

22
Akhir Sejarah?

Pernyataan Gorbachev yang berulang-ulang bahwa yang ia laku-


kan tak lain hanvalah mencoba memulihkan makna awal dari Le-
ninisme adalah semacam basa-basi Orwellian, Gorbachev dan seku-
tunya terus-menerus menyatakan bahwa demokrasi intrapartai ba-
gaimanapun juga merupakan esensi Leninisme, dan bahwa beragam
praktek liberal seperti debat terbuka, pemungutan suara rahasia,
dan aturan hukum semuanya adalah warisan Leninis yang kemu-
dian diselewengkan oleh Stalin. Sekalipun hampir semua orang akan
terlihat bagus kalau dibandingkan dengan Stalin, menarik garis yang
begitu tajam antara Lenin dan penerusnya merupakan sesuatu yang
dapat dipertanyakan. Esensi sentralisme demokratis Lenin adalah
sentralisme, bukan demokrasi; yakni kediktatoran yang sangat kaku,
monolitik dan terdisiplinkan dari sebuah Partai Komunis pelopor
yang diorganisir secara hierarkis, yang berbicara atas nama demos
(rakyat). Semua polemik tajam Lenin melawan Karl Kautsky, Rosa
Luxemburg, dan beberapa pemikir Menshevik lain serta lawan-
lawannya dari Sosial Demokrat, untuk tidak menyebut cercaannya
terhadap "legalitas borjuis" dan kebebasan, berpusat pada keyakinan
besarnya bahwa revolusi tak akan berhasil bila ditangani oleh orga-
nisasi yang dijalankan secara demokratis.

Pernyataan Gorbachev bahwa ia berusaha untuk kembali pada


Lenin yang sejati sangat mudah dipahami: setelah mencela habis-
habisan Stalinisme dan Brezhnevisme sebagai akar dari kesulitan
Republik Sosialis Uni Soviet sekarang ini, ia memerlukan jangkar
dalam sejarah Soviet bagi kelanjutan kekuasaan Partai Komunis Uni
Soviet. Namun cara-cara taktis Gorbachev seharusnya tidak membu-
at kita menutup mata pada fakta bahwa prinsip-prinsip demokra-
tisasi dan desentralisasi yang telah ia canangkan baik dalam bidang
ekonomi maupun politik sangat subversif terhadap sejumlah ajaran
dasar Marxisme dan Leninisme. Memang, jika sebagian besar propo-
sal reformasi ekonomi dijalankan, sulit untuk mengetahui akankah
ekonomi Soviet lebih sosialis daripada ekonomi negara-negara Barat
lain dengan sektor publik yang luas.
Saat ini, Uni Soviet sama sekali tidak bisa digambarkan sebagai

23
Francis Fukuyama

negara liberal atau demokratis. Saya juga tak berpikir bahwa peres-
troika akan sukses sehingga label semacam ini akan masuk akal di
masa mendatang. Namun pada akhir sejarah bukan merupakan se-
suatu yang niscaya bahwa semua masyarakat akan menjadi ma-
syarakat liberal yang berhasil, melainkan bahwa mereka mengakhiri
pretensi ideologis mereka dalam hal mewakili bentuk-bentuk ma-
syarakat manusia yang berbeda dan lebih tinggi. Dan dalam penger-
tian ini saya percaya bahwa sesuatu yang sangat penting telah terjadi
di Uni Soviet dalam beberapa tahun terakhir: kritik terhadap sistem
Soviet yang dilontarkan Gorbachev begitu menyeluruh dan kuat
sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk kembali begitu saja
ke Stalinisme ataupun ke Brezhnevisme. Gorbachev akhirnya telah
mengizinkan rakyat untuk mengatakan apa yang sudah mereka pa-
hami diam-diam selama bertahun-tahun, yakni bahwa jampi-jampi
Marxisme-Leninisme adalah omong kosong belaka, bahwa sosialis-
me Soviet tidak lebih unggul dibanding Barat dalam hal apa pun,
tetapi justru merupakan suatu kegagalan yang monumental. Oposisi
kelompok konservatif di USSR, yang terdiri baik dari para pekerja
rendahan yang takut jadi penganggur dan terkena inflasi dan para
pejabat partai yang cemas kehilangan jabatan dan hak-hak istimewa,
begitu keras dan mungkin cukup kuat untuk memaksa pemecatan
Gorbachev dalam beberapa tahun ke depan. Namun apa yang di-
inginkan dua kelompok ini adalah tradisi, keteraturan, dan otoritas;
mereka tak menunjukkan komitmen yang mendalam pada Marxis-
me-Leninisme, kecuali sejauh mereka dapat menanamkan kepen-
tingan hidup mereka sendiri di dalamnya. 14 Bagi otoritas yang ingin
pulih di Uni Soviet setelah perombakan yang dilakukan Gorbachev,
ia harus punya semacam basis ideologi yang baru dan kuat vang
tampaknya belum terlihat di cakrawala.

u Hal ini paling terasa kebenarannya pada sosok konservatif Soviet yang
terkemuka, Sekretaris Kedua Yegor Ligachev, yang telah secara terbuka mengakui
banyaknya kerusakan mendalam pada periode Brezhnev.

24
Akhir Sejarah?

kita mengakui bahwa tantangan fasis dan komunis


J I K A S E K A R A N G INI

bagi liberalisme sudah mati, adakah pesaing ideologis yang tersisa?


Atau dengan kata lain, adakah kontradiksi-kontradiksi di dalam ma-
syarakat liberal di luar masalah kelas yang tak bisa dipecahkan?
Ada dua kemungkinan kuat, yakni masalah agama dan nasionalisme.
Kebangkitan fundamentalisme agama di tahun-tahun terakhir
dalam tradisi Kristen, Yahudi, dan Muslim telah banyak diketahui.
Orang cenderung mengatakan bahwa kebangkitan kembali agama
dalam beberapa hal membuktikan ketidakbahagiaan yang luas terha-
dap impersonalitas dan kekosongan spiritual dari masyarakat kon-
sumeris liberal. Namun meskipun kehampaan pada inti liberalisme
jelas merupakan kekurangan dalam ideologi ini—suatu kekurangan
yang bisa dikenali tanpa perlu menggunakan perspektif agama 1 *—
masih belum jelas bahwa hal ini bisa disembuhkan melalui politik.
Liberalisme modern sendiri dalam sejarah merupakan konsekuensi
dari kelemahan masyarakat berdasarkan agama yang, setelah gagal
untuk sepakat mengenai wujud kehidupan yang baik, bahkan tak
bisa menghadirkan prasyarat minimal perdamaian dan stabilitas.
Di dunia modem sekarang ini hanya Islam yang telah menawarkan
sebuah negara teokratis sebagai alternatif politik, baik terhadap li-
beralisme maupun komunisme. Namun doktrin ini sedikit sekali
daya tariknya bagi non-Muslim, dan sulit untuk percaya bahwa ge-
rakan ini akan meraih dukungan universal. Impuls-impuls keaga-
maan lain yang kurang terorganisir telah cukup terpuaskan dalam
lingkup kehidupan pribadi yang diizinkan dalam masyarakat liberal.

"Kontradiksi" besar lain yang kemungkinan besar berpotensi tak


terpecahkan oleh liberalisme adalah yang diajukan oleh nasionalis-
me dan bentuk lain kesadaran rasial dan etnik. Memang benar bahwa
sebagian besar konflik sejak Pertempuran jena berakar pada nasio-
nalisme. Dua perang dunia yang membawa perubahan besar di abad

** Saya khususnya berpikir tentang Rousseau dan tradisi filsafat Barat yang
mengalir darinya yang sangat kritis terhadap liberalisme Lockean atau Hobbesian,
sekalipun kita juga bisa mengkritik liberalisme dari posisi filsasat politik klasik.

25
Francis Fukuyama

ini dipicu oleh nasionalisme negara maju dalam berbagai kedok,


dan jika dorongan ini telah dimatikan sampai tingkat tertentu di
Eropa pascaperang, mereka masih sangat kuat di Dunia Ketiga. Na-
sionalisme telah menjadi ancaman untuk liberalisme dalam sejarah
di Jerman, dan berlanjut menjadi ancaman di bagian-bagian Eropa
"pascasejarah" yang terisolasi seperti Irlandia Utara.
Namun tidak jelas apakah nasionalisme mewakili kontradiksi
yang tak bisa didamaikan dalam inti liberalisme. Pertama, nasio-
nalisme bukanlah fenomena tunggal melainkan beragam, yang
terentang mulai dari nostalgia budaya halus sampai doktin Sosial-
isme Nasional yang sangat terorganisir dan terartikulasikan secara
terperinci. Hanya nasionalisme sistematis dari jenis terakhirlah yang
memenuhi kualifikasi sebagai ideologi formal pada tingkatan libe-
ralisme atau komunisme. Mayoritas besar gerakan nasionalis dunia
tak punya program politik selain keinginan negatif untuk bebas dari
kelompok atau orang lain, dan tak menawarkan suatu agenda kom-
prehensif organisasi sosio-ekonomi. Dengan bentuknya yang seperti
ini, nasionalisme cocok dengan doktrin dan ideologi yang memang
menawarkan agenda-agenda seperti itu. Meski mereka mungkin bisa
jadi sumber konflik bagi masyarakat liberal, konflik ini tak banyak
muncul karena liberalismenya sendiri mengingat fakta bahwa libe-
ralisme yang dipermasalahkan adalah sesuatu yang tidak lengkap.
Tentu saja banyak ketegangan etnik dan nasionalis dunia bisa dije-
laskan dalam kaitannya dengan orang-orang yang dipaksa hidup
di dalam sistem politik tak representatif yang tidak mereka pilih.

Meskipun mustahil untuk mengabaikan kemunculan ideologi-


ideologi baru ataupun kontradiksi-kontradiksi yang sebelumnya tak
dikenali dalam masyarakat liberal, dunia sekarang ini nampak me-
negaskan bahwa prinsip-prinsip dasar organisasi sosio-politik tidak
berkembang terlalu jauh sejak 1806. Banyak dari perang dan revolusi
yang berkobar sejak saat itu berlangsung atas nama ideologi yang
menyatakan diri lebih maju dibanding liberalisme, namun pretensi
mereka akhirnya tersingkap oleh sejarah. Pada saat yang sama, mere-
ka membantu menyebar-luaskan negara homogen universal sampai

26
Akhir Sejarah?

ke titik di mana ia bisa punya dampak penting pada karakter


keseluruhan dari hubungan internasional.

rv

A P A IMPLIKASI-IMPLIKASI akhir sejarah bagi hubungan internasional?


Yang jelas, sebagian besar Dunia Ketiga sangat berkubang dalam
sejarah, dan akan menjadi lahan konflik untuk tahun-tahun yang
akan datang. Namun marilah kita sementara ini memusatkan per-
hatian pada negara-negara maju dan besar dunia yang bagaimana-
pun merupakan bagian yang lebih besar dari politik dunia. Rusia
dan Cina sepertinya tak akan bergabung ke dalam negara-negara
maju Barat sebagai masyarakat liberal dalam waktu dekat, namun
untuk sementara andaikanlah bahwa Marxisme-Leninisme berhenti
menjadi faktor penggerak kebijakan luar negeri negara-negara ini—
sebuah prospek yang, jika belum hadir saat ini, beberapa tahun
terakhir ini telah terlihat kemungkinannya. Bagaimana karakteristik
keseluruhan dari dunia yang mengalami de-ideologisasi akan
berbeda dari sebuah dunia yang selama ini kita kenali?
Jawaban yang paling umum adalah: tak banyak bedanya. Karena
ada sebuah kepercayaan yang tersebar luas di antara banyak peng-
amat hubungan internasional bahwa di bawah kulit ideologi ada
inti kekuatan besar kepentingan nasional yang menjamin persaingan
tingkat tinggi dan konflik yang cukup marak antara negara-negara.
Memang, menurut sebuah teori hubungan internasional yang di-
percayai banyak akademisi, konflik melekat dalam sistem interna-
sional itu sendiri, dan untuk memahami prospek-prospek terjadinya
konflik seseorang harus melihat bentuk sistemnya—misalnya, apa-
kah ia bipolar atau multipolar—dan bukannya pada karakter spesifik
dari negara-negara dan rezim-rezim yang memben-tuknya. Aliran
pemikiran ini pada dasarnya menerapkan sebuah pandangan Hob-
besian mengenai politik untuk hubungan inter-nasional, dan meng-
andaikan bahwa agresi dan rasa tidak aman adalah ciri-ciri univer-

27
Francis Fukuyama

sal masyarakat manusia dan bukannya produk dari lingkungan


sejarah yang spesifik.
Para penganut aliran pemikiran ini mengambil hubungan-hu-
bungan yang ada di antara para partisipan dalam keseimbangan
kekuatan Eropa klasik abad ke-19 sebagai model untuk perkiraan
bentuk dunia modern yang mengalami de-ideologisasi, Charles
Krauthammer, misalnya, baru-baru ini menjelaskan bahwa sekira-
nya akibat dari reformasi Gorbachev ini Uni Soviet terlepas dari ide-
ologi MarxLs-LeninLs, perilakunya akan kembali seperti kekaisaran
Rusia pada abad ke-19. 16 Sekalipun ia melihat hal ini lebih menen-
teramkan hati ketimbang ancaman yang dihadirkan oleh Rusia yang
komunis, ia mengandaikan bahwa masih akan ada persaingan dan
konflik dalam sistem internasional dalam tingkatan yang substansial,
katakanlah seperti halnya antara Rusia dan Inggris atau Jerman di
bawah Wilhelmina di abad yang lalu. Tentu saja, hal ini merupakan
pandangan yang cocok bagi orang yang ingin mengakui bahwa sesu-
atu yang besar sedang berubah di Uni Soviet, namun tak ingin me-
nerima tanggung jawab untuk mcrckomcn-dasikan perubahan kebi-
jakan yang radikal yang implisit dalam pandangan semacam itu.
Namun, apakah hal ini benar?
Dalam kenyataannya, gagasan bahwa ideologi adalah sebuah su-
perstruktur yang ditanamkan pada lapisan bawah dari kepen-tingan
permanen negara besar adalah sebuah proposisi yang dapat diper-
tanyakan. Karena cara di mana setiap negara mendefinisikan kepen-
tingan nasionalnya tidaklah universal tetapi didasarkan pada suatu
jenis basis ideologi sebelumnya, sebagaimana kita melihat bahwa
perilaku ekonomi ditentukan oleh keadaan kesadaran sebelumnya.
Di abad ini, negara-negara telah mengadopsi doktrin yang sangat
terperinci dengan agenda-agenda kebijakan luar negeri yang secara
eksplisit melegitimasi ekspansionisme, seperti Marxisme-Leninisme
atau Sosialisme Nasional.

Lihat artikelnya, "Beyond the Cold War," New Republic, 19 Desember 1988.

28
Akhir Sejarah?

dan suka bersaing negara-negara Eropa abad


P E R I L A K U EKSPANSIONIS

ke-19 didasarkan pada sebuah basis yang tak kurang idealnya;


kebetulan saja bahwa ideologi yang menggerakkannya tidak se-
eksplisit doktrin-doktrin abad ke-20. Untuk satu hal, masyarakat
Eropa yang paling "liberal" tidaklah liberal sejauh mereka percaya
pada legitimasi imperialisme, yaitu hak suatu bangsa untuk
menguasai bangsa lain tanpa memandang kehendak yang terjajah.
Pembenaran bagi imperialisme bervariasi dari satu negara ke negara
lain, mulai dari keyakinan keji pada legitimasi kekuatan, terutama
bila diterapkan bagi orang non-Eropa, sampai Beban Kaum Kulit
Putih dan misi Pengkristenan Orang Eropa, serta hasrat untuk mem-
beri akses bagi orang kulit berwarna pada budaya Rabelais dan Mo-
lière. Namun apa pun basis ideologisnya, semua negara "maju" per-
caya dalam ihwal bisa diterimanya gagasan bahwa peradaban yang
lebih tinggi menjajah yang lebih rendah—termasuk Amerika Serikat
dalam kaitannya dengan Filipina. Hal ini menyebabkan munculnya
suatu dorongan untuk perluasan kekuasaan murni pada paruh akhir
abad ke-19 dan memainkan peran besar dalam menyebabkan
terjadinya Perang Besar.
Dampak radikal dan buruk dari imperialisme abad ke-19 adalah
fasisme Jerman, sebuah ideologi yang membenarkan hak Jerman
untuk tidak hanya menjajah orang-orang non-Eropa, melainkan juga
semua orang yang bukan Jerman. Namun, jika dilihat kembali, nam-
pak bahwa Hitler mewakili jalan bersama perkembangan bangsa
Eropa saat itu yang memang salah jalur, dan sejak kekalahannya,
legitimasi perluasan kekuasaan wilayah macam apa pun telah
sepenuhnya dianggap salah. 17 Sejak Perang Dunia II, nasionalisme
Eropa telah kehilangan taring dan tidak ada relevansinya lagi bagi

Perlu waktu beberapa tahun bagi negara-negara kolonial Eropa seperti


17

Prancis untuk mengakui ketidahabsahan kekaisaran mereka, namun dekolonisasi


adalah konsekuensi tak terhindarkan dari kemenangan Sekutu, yang dibentuk
berdasarkan janji pemulihan kebebasan-kebebasan demokratis.

29
Francis Fukuyama

kebijakan luar negeri. Konsekuensinya, perilaku negara besar model


abad ke-19 telah menjadi suatu anakronisme. Bentuk nasionalisme
paling ekstrem dari negara Eropa Barat yang muncul sejak 1945 ada-
lah Gaullisme, yang penegasan-dirinya sebagian besar berkisar pada
wilayah politik dan budaya. Kehidupan internasional negara-negara
di dunia yang telah mencapai akhir sejarah jauh lebih disibukkan
dengan persoalan ekonomi ketimbang politik atau strategi.
Negara-negara Barat yang maju benar-benar menjaga kemapanan
pertahanannya dan dalam periode paska-perang bersaing keras
demi pengaruh untuk menghadapi ancaman komunis di seluruh
dunia. Namun, perilaku ini didorong oleh ancaman luar dari negara-
negara yang secara terang-terangan menganut ideologi ekspansionis,
dan perilaku ini tak akan ada jika ancamannya juga tak hadir Untuk
menganggap serius teori "neo-realis" ini, seseorang harus percaya
bahwa perilaku kompetitif "alamiah" akan mempertegas dirinya di
antara negara-negara OECD (Organization for Economic Coopera-
tion and Development, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan
Perkembangan) sehingga Rusia dan Cina harus lenyap dari muka
bumi. Orang juga harus percaya bahwa Jerman Barat dan Prancis
akan berperang satu sama lain seperti yang mereka lakukan pada
1930-an, Australia dan Selandia Baru akan mengirim penasihat
militer untuk menghadang kemajuan masing-masing di Afrika, dan
perbatasan Amerika Serikat-Kanada akan makin ketat. Tentu saja,
prospek semacam ini konyol: tanpa ideologi Marxis-Leninis kita
sepertinya akan lebih melihat "Pembukaan Pasar Bersama" dari
dunia politik dan bukannya perpecahan Masyarakat Ekonomi Eropa
menjadi persaingan terbuka model abad ke-19. Tak diragukan lagi,
sebagaimana telah dibuktikan oleh pengalaman kita dengan Eropa
untuk masalah-masalah seperti terorisme atau Libya, mereka me-
langkah lebih jauh daripada cara kita menjalaninya. Caranya, dengan
menyangkal legitimasi penggunaan kekuatan dalam politik in-
ternasional, bahkan dalam pertahanan diri.

Oleh karena itu, anggapan otomatis bahwa Rusia yang lepas dari
ideologi komunisnya yang ekspansionis akan menganut apa yang

30
Akhir Sejarah?

ditinggalkan para tsar sebelum Revolusi Bolshevik adalah sesuatu


yang mengherankan. Hal ini mengandaikan bahwa evolusi kesa-
daran manusia tak bergerak sama sekali, dan bahwa Uni Soviet, mes-
ki mengambil ide-ide yang sekarang ini umum dalam bidang eko-
nomi, akan kembali ke pandangan kebijakan luar negeri yang di
Eropa sudah ketinggalan satu abad. Hal ini jelas-jelas tak menimpa
Cina setelah ia memulai proses reformasinya. Sikap suka bersaing
dan ekspansionisme Cina di panggung dunia praktis telah meng-
hilang: Beijing tak lagi mendukung pemberontakan-pemberontakan
Maois atau mencoba mengembangkan pengaruh di negara-negara
Afrika seperti yang dilakukannya pada 1960-an. Namun bukan ber-
arti tak ada aspek yang mencemaskan dari kebijakan luar negeri
Cina dewasa ini, seperti penjualan serampangan teknologi peluru
kendali balistik di Timur Tengah; dan RRC terus menunjukkan peri-
laku tradisional negara besar dengan dukungannya kepada Khmer
Merah melawan Vietnam. Yang pertama bisa dijelaskan dengan mo-
tif-motif komersial dan yang berikutnya adalah sisa-sisa persaingan
sebelumnya yang berbasis ideologi. Cina baru jauh lebih mirip Pran-
cis era Gaullis daripada Jerman sebelum Perang Dunia I.

Namun, pertanyaan sesungguhnya untuk masa depan adalah


sampai tingkatan mana kelompok elite Soviet menerima kesadaran
tentang negara homogen universal, yakni Eropa pasca-Hitler. Dari
tulisan-tulisan mereka dan kontak pribadi saya sendiri dengan me-
reka, tak ada keraguan di benak saya bahwa kaum terpelajar liberal
Soviet yang mendukung Gorbachev telah sampai pada pandangan
akhir sejarah dalam waktu yang terhitung singkat, yang banyak
disebabkan oleh kontak-kontak yang mereka buat sejak era Brezhnev
dengan peradaban Eropa yang lebih besar yang mengitari mereka.
"Pemikiran politik baru," sebutan umum untuk pandangan mereka,
menggambarkan sebuah dunia yang didominasi oleh masalah-masa-
lah ekonomi, di mana tidak terdapat landasan ideologis bagi konflik
besar antara negara-negara, dan di mana, sebagai konsekuensinya,
penggunaan kekuatan militer menjadi kurang absah. Seperti kata
Menteri Luar Negeri Shevardnadze di pertengahan 1988:

31
Francis Fukuyama

Pertempuran antara dua sistem yang berlawanan tak lagi merupakan


kecenderungan pendorong masa sekarang ini. Di masa modem,
yang menentukan adalah kemampuan untuk membangun
kemakmuran materi dengan kencang pada basis sains, teknik, serta
teknologi maju tingkat terdepan, dan membagikannya secara adil,
dan melalui upaya-upaya bersama untuk menjaga dan melindungi
sumber-sumber yang diperlukan untuk kelangsungan umat
manusia.1*

pascasejarah yang digambarkan oleh


M E S K I P U N DEMIKIAN, KESADARAN

"pemikiran baru" hanya merupakan salah satu masa depan yang


mungkin bagi Uni Soviet. Akan selalu ada arus yang sangat kuat
dari chauvinisme Rusia agung di dalam Uni Soviet, yang telah mene-
mukan ekspresi yang lebih bebas sejak munculnya glasnost. Soviet
mungkin saja kembali ke Marxisme-Leninisme tradisional untuk se-
mentara semata-semata sebagai pijakan penggerak bagi mereka yang
ingin memulihkan otoritas yang dihilangkan Gorbachev. Namun
seperti halnya di Polandia, Marxisme-Leninisme sudah mati sebagai
ideologi penggerak: di bawah panjinya orang tak bisa dibuat bekerja
lebih keras, dan para pendukung setianya telah kehilangan keper-
cayaan dalam diri mereka. Namun, tak seperti agen propaganda
Marxisme-Leninisme tradisional, kaum ultranasionalisdi RSUS ya-
kin sepenuhnya dalam perjuangan Slavophile mereka, dan orang
akan dapat bayangan bahwa alternatif fasis belum sepenuhnya
menghilang di sana.

Dengan demikian, Uni Soviet sekarang berada di persimpangan


jalan: ia bisa meyusuri jalur yang ditempuh oleh Eropa Barat empat
puluh lima tahun yang lalu, jalan yang diikuti sebagian besar Asia,

,H Vestnik Ministers Inostrannikh DelSSSRtioAS (Agustus 1988)., hal. 27-46.


"Pemikiran b a r u " tentu saja menjalankan tujuan propaganda untuk memikat
k h a l a y a k Barat akan niat b a i k S o v i e t . N a m u n kenyataan b a h w a ini adalah
propaganda yang bagus bukan berarti para pembuat formulanya tidak menanggapi
gagasan ini secara serius.

32
Akhir Sejarah?

atau ia bisa menyadari keunikannya sendiri dan tetap terpaku di


dalam sejarah. Pilihan yang dibuatnya akan sangat penting bagi kita,
mengingat besarnya Uni Soviet dan kekuatan militernya, karena ke-
kuatan itu akan terus menyibukkan kita dan memperlambat kesa-
daran kita bahwa kita telah berada di sisi lain sejarah.

HENGKANGNYA MARXJSME-LENINISME, pertama dari Cina dan kemudian


dari Uni Soviet, berarti kematiannya sebagai ideologi yang hidup
dalam sejarah dunia. Untuk sementara mungkin ada beberapa peng-
anut fanatik yang terisolasi di tempat-tempat seperti Managua,
Pyongyang, atau Cambridge, Massachusetts, fakta bahwa tak ada
satu pun negara besar di dalamnya adalah sebuah masalah yang
bergulir yang sepenuhnya melemahkan pretensinya untuk menjadi
garda terdepan sejarah manusia. Dan kematian ideologi ini berarti
tumbuhnya "Pembukaan Pasar Bersama" hubungan internasional,
dan berkurangnya konflik berskala besar antara negara-negara.
Hal ini bukan berarti mengisyaratkan akhir konflik internasional
itu sendiri. Karena dunia pada titik itu akan terbagi antara bagian
yang sejarah dan bagian lain yang pascasejarah. Masih ada kemung-
kinan konflik antara negara-negara yang masih berada dalam seja-
rah, dan antara negara-negara ini dan negara-negara di akhir sejarah.
Masih akan ada kekerasan etnik dan nasionalis yang tinggi, bahkan
makin meningkat, mengingat mereka adalah gerakan yang tidak
sepenuhnya tersingkir, dan bahkan di bagian-bagian dunia pasca-
sejarah. Kaum Palestina dan Kurdi, Sikh dan Tamil, Katolik Irlandia
dan Walloon, Armenia dan Azeri, akan terus memiliki duka lara
mereka yang tak terpecahkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa teror-
isme dan perang-perang pembebasan nasional akan terus berlanjut
menjadi unsur penting pada agenda internasioal. Namun konflik
skala besar mesti melibatkan negara-negara besar yang masih terjerat
oleh cengkeraman sejarah, dan hal ini tampaknya tak bakal terjadi.

Akhir sejarah akan menjadi saat yang sangat menyedihkan. Per-

33
Francis Fukuyama

juangan untuk pengakuan, kesediaan untuk mempertaruhkan ke-


hidupan seseorang demi tujuan yang sepenuhnya abstrak, per-
juangan ideologi di seluruh dunia yang meminta keberanian, ke-
perwiraan, imajinasi, dan idealisme, akan digantikan oleh perhitung-
an ekonomi, pemecahan tanpa akhir problem-problem teknik, kepe-
dulian lingkungan, dan kepuasan tuntutan konsumen yang rumit.
Di dalam periode pascascjarah tak akan ada seni ataupun filsafat,
hanya perawatan abadi museum sejarah manusia. Saya dapat mera-
sakannya sendiri, dan melihatnya pada orang-orang di sekitar saya,
nostalgia kuat terhadap waktu ketika sejarah eksis. Nostalgia
semacam ini, kenyataannya, akan terus memacu persaingan dan
konflik bahkan di dalam dunia pascasejarah untuk beberapa waktu
ke depan. Sekalipun saya mengakui hal ini tak terhindarkan, saya
memiliki perasaan-perasaan yang sangat m e n d u a terhadap
peradaban yang telah dihasilkan di Eropa sejak 1945, dengan
cabangnya di Atlantik utara dan Asia. Barangkali prospek dari abad-
abad kebosanan pada akhir sejarah semacam ini akan menjadi
pemicu sejarah untuk mulai bergerak sekali lagi.

34
2

Tak Ada Jalan Keluar:


Kesalahan-Kesalahan Endisme

Samuel P. Huntington*

diskusi serius mengenai masalah inter-


S E L A M A DUA TAHUN TERAKHIR

nasional didominasi oleh sebuah persoalan teoritis dan akademik


besar. Pada 1988 pokok persoalannya adalah kemerosotan Amerika.
Teori deklinisme,** yang dilontarkan oleh banyak pemikir, terutama
Paul Kennedy, menjadi fokus perdebatan yang luas dan mendalam.
Apakah Amerika Serikat mengikuti jejak Inggris Raya dan merosot
sebagai sebuah negara yang besar? Sampai sejauh mana dasar eko-
nominya diruntuhkan oleh pengeluaran yang terlalu besar untuk
pertahanan dan/atau konsumsi?
Persoalan utama pada 1989 sangatlah berbeda. Teori deklinisme
telah digantikan oleh teori endisme.***Unsur utamanya adalah bah-

* SAMUEL P. HUNTINGTON adalah Eaton Professor of the Science of Government


dan Direktur John M. Olin Institute for Strategic Studies di Harvard University.
Artikel ini pertama kali muncul dalam The National Interest, Fall 1989. Hak cipta
® 1989 oleh National Affairs, Inc.
" £fekf/m$/neadalah keyakinan bahwa sesuatu, terutama sebuah negara,sistem
p o l i t i k , a t a u s i s t e m e k o n o m i , s e d a n g m e n g a l a m i k e m u n d u r a n b e s a r dan
kemungkinan tak dapat dipulihkan. Kata deklinisme (dvdinism) sendiri datangnya
dari Huntington.
Endisme adalah keyakinan bahwa sebentuk lingkup pengetahuan dan masa,
terutama sesuatu yang negatif, telah berakhir. Kata endisme (endism) juga datang
dari Huntington.

35
Samuel P. Huntington

wa hal-hal yang buruk telah berakhir.1 Endisme menyatakan dirinya


paling tidak dalam tiga cara. Pada tingkatan yang paling spesifik,
endisme mengelu-elukan akhir Perang Dingin, Pada musim semi
1989 New York Timesd an International Institute for strategiestud-
ies, George Kennan dan George Bush, semuanya menyatakan pro-
posisi ini dalam satu dan lain bentuk. Akhir Perang Dingin menjadi
Kebenaran Mapan dari Kemapanan Kebijakan Luar Negeri.
Pada tingkatan kedua, endisme menyatakan dirinya dalam pro-
posisi yang lebih akademik dan umum bahwa perang di antara nega-
ra-negara bangsa, atau setidaknya di antara negara-negara bangsa
jenis tertentu, telah berakhir. Banyak akademisi menunjuk pada tidak
adanya perang di antara negara-negara demokratis dalam sejarah
dan melihat makin berlipatnya rezim demokratis sejak 1974 sebagai
bukti bahwa kemungkinan terjadinya perang semakin mengecil. Da-
lam pernyataan yang berhubungan namun merupakan versi lain
dari proposisi ini, Michael Doyle mengatakan bahwa perang mus-
tahil terjadi antara negara-negara liberal. Dalam formulasi yang lebih
umum, John Mueller berpendapat bahwa kemajuan peradaban
membuat perang jadi hal yang ketinggalan zaman dan akan meng-
hilang dalam cara yang sama seperti halnya perbudakan dan duel
lenyap dari masyarakat maju. 2 Perang masih mungkin terjadi di
antara negara-negara dunia ketiga yang terbelakang. Namun, di an-
tara negara-negara maju, baik yang komunis ataupun kapitalis, pe-
rang merupakan suatu hal yang tak-terpikirkan.

1 Beberapa telah mengajukan pertanyaan sampai sejauh mana para penulis


"akhir dari" ini sungguh-sungguh serius dalam argumen mereka. Waktu dan upaya
intelektual yang telah mereka curahkan untuk menguraikan argumen-argumen
tersebut menunjukkan bahwa mereka serius, dan saya percaya memang
demikianlah halnya. Argumen-argumen tersebut juga layak dianggap serius karena
keterkenalannya yang menyebar luas.
2 Michael W. Doyle, " K a n t , Liberal Legacies, and Foreign Affairs/' Philosophy
and Public Affairs, vol. 12 (Musim Panas, Musim Gugur 1983), him. 205-235.323-
353, dan "Liberalism and World Politics/' American Political Science Review, vol.
80 (Desember 1986), him. 1151-1169; John Mueller, Retreat from Doomsday: The
Obsolescence of Major YVar (New York: Basic Books, 1989). Lihat juga Dean V.

36
Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-kesalahan Endisrne

Formulasi ketiga dan yang paling ekstrem dari endisme diajukan


oleh Francis Fukuyama dalam sebuah esai cemerlang berjudul "The
End of History?" dalam edisi Musim Panas jurnal ini, Fukuyama
merayakan bukan saja akhir Perang Dingin ataupun akhir perang
di antara negara-negara maju, melainkan juga "akhir sejarah". Hal
ini merupakan akibat dari "kemenangan tak terbantahkan liberalis-
me ekonomi dan politik" dan pudarnya pesona sistem alternatif yang
ada. Seperti halnya Mueller, Fukuyama menyatakan bahwa perang
mungkin terjadi di antara negara-negara Dunia Ketiga yang masih
terjerat dalam proses sejarah. Namun bagi negara-negara maju, Uni
Soviet, dan Cina, sejarah telah berakhir.
Endisme—kecenderungan intelektual 1989—berbeda cukup
tajam dari deklinisme—kecenderungan intelektual 1988. Deklinisme
bersifat pesimistis. Keyakinan ini berakar pada studi sejarah dan
menjajarkan kesamaan antara Amerika Serikat pada akhir abad ke-
dua puluh. Inggris pada akhir abad ke-19, dan Prancis, Spanyol,
serta kekuasaan-kekuasaan lain pada abad-abad sebelumnya. Para
pendukung dan pengkritik deklinisme memperdebatkan relevansi
kesamaan-kesamaan ini dan berbeda pendapat menyangkut rincian
data sejarah mengenai pertumbuhan ekonomi, produktivitas, belanja
pertahanan, penghematan, dan investasi. 3 Endisme, di sisi lain, lebih
berorientasi kepada masa depan ketimbang masa silam dan sepe-
nuhnya optimistis. Dalam bentuknya yang paling maju, seperti kata
Fukuyama, keyakinan ini berakar pada spekulasi filosofis dan bu-
kannya pada analisis sejarah, Endisme tidak mendasarkan diri pada

Babst, " A Force for P e a c e / ' Industrial Research, vol. 14 (April 1972), him. 55-58;
R.J. Rummel, "Libertarianism and International Violence," Journal of Conflict Reso-
lution, vol. 27 (Maret 1983), hlm.27-71; Z e e v M a o z d a n Nasrin Abdolali, "Regimes
Types and International Conflict,1816-1976, Journal of Conflict Resolution, vol. 33
(Maret 1989), him. 3-35; Bruce Russett, " T h e Politics of an Alternative Security
System: Toward a More Democratic and Therefore More Peaceful World," dalam
Bums Weston, ed., Alternatives to Nuclear Deterrence (Boulder: Westview Press, 1989).
1 Untuk analisis yang teliti mengenai bukti dan argumen atas isu ini, lihat buku

Joseph S. Nye, Jr. yang akan datang, American Power: Past and Future (New York:
Basic Books).

37
Samuel P. Huntington

bukti sejarah melainkan pada asumsi mengenai sejarah. Dalam ben-


tuknya yang paling ekstrem, deklinisme secara historis bersifat de-
terministic bangsa-bangsa secara alamiah—dan barangkali nis-
caya—berkembang melalui tahapan kebangkitan, perluasan, dan ke-
munduran. Mereka terjebak dalam cengkeraman sejarah yang tak
dapat ditawar. Sebaliknya, dalam bentuk ekstrem endismer bangsa-
bangsa terlepas dari sejarah.
Pesan deklinisme bagi bangsa Amerika adalah "Kita kalah"; pesan
endisrne adalah "Kita menang!" Terlepas atau bahkan karena ke-
cenderungan deterministiknya, deklinisme mempunyai fungsi
sejarah yang berguna. Keyakinan ini menghadirkan peringatan dan
titik-tolak untuk bertindak dengan tujuan untuk mengurangi dan
membalikkan kemunduran yang dianggap sedang berlangsung. Ke-
yakinan ini memenuhi tujuan tersebut pada saat ini, seperti halnya
pada saat manifestasinya yang lebih awal pada 1950-an, 1960-an,
dan 1970-an. Sebaliknya, cndismc tidak memberikan peringatan ba-
haya melainkan ilusi kedamaian. Keyakinan ini tidak mengundang
tindakan korektif tetapi rasa puas diri yang santai. Oleh sebab itu,
konsekuensi yang muncul jika tesis endisrne ini keliru jauh lebih
berbahaya dan merusak ketimbang yang diakibatkan oleh tesis dekli-
nisme yang keliru.
"Perang Dingin sudah berakhir" adalah pekik yang menggema
pada musim semi 1989, Apa artinya ini? Hal ini secara khusus me-
rujuk pada dua perkembangan yang saling berkaitan: perubahan
yang lazim disebut glasnost dan perestroika di Uni Soviet serta pe-
ningkatan hubungan Soviet-Amerika yang sedang berlangsung. "Pe-
rang dingin," sebagaimana yang dikemukakan New York Times,
"hubungan buruk Soviet-Amerika, histeria politik dalam negeri, pe-
ristiwa-peristiwa yang dibesarkan dan disimpangkan oleh kon-
frontasi Timur-Barat, kebuntuan diplomatik yang hampir abadi telah
berakhir." 4 Beberapa pertanyaan bisa diajukan mengenai proposisi ini.
Pertama, apakah hal ini benar? Membaiknya hubungan Soviet-

4 " T h e Cold War Is O v e r / ' The New York Times, 2 April 1989, him. E3Ö.

38
Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-kesalahan Endisrne

Amerika pada akhir 1950-an diikuti oleh krisis Berlin dan Kuba;
détente (peredaan ketegangan) di awal 1970-an diikuti oleh Angola
dan Afganistan. Bagaimana kita tahu bahwa peredaan yang terjadi
saat ini bukan sekadar beralihnya titik persoalan? Satu jawaban
adalah bahwa perubahan yang terjadi di Uni Soviet jauh lebih
mendasar dibanding berbagai perubahan yang terjadi di masa silam,
dan tepat inilah persoalannya. Dibukanya debat politik, persaingan
yang terbatas namun nyata dalam pemilihan umum, pembentukan
kelompok-kelompok politik di luar Partai Komunis, ditinggalkannya
gagasan partai yang monolitik, penegasan kekuasaan Soviet
Agung—semua ini, jika berlanjut, akan memunculkan sistem politik
Soviet yang berbeda drastis. Upaya untuk membalikkan keadaan
ini kian sulit dari hari ke hari, namun terlalu gegabah bila
menyimpulkan bahwa keadaan ini tak mungkin dibalikkan, dan
risiko untuk membalikkannya bisa jadi turun di masa depan. Di
tataran internasional. Uni Soviet telah bekerja sama dalam
memecahkan konflik regional di Teluk Persia, Afrika wilayah selatan,
dan I n d o c i n a . Uni S o v i e t telah berjanji u n t u k m e n g u r a n g i
keseluruhan kekuatan militer mereka dan penyebarannya di Eropa
Timur. Meskipun demikian, hingga sekarang ini belum terjadi
perubahan nyata dalam struktur kekuatan militer Soviet, penyebaran
pasukan Soviet, atau keluaran peralatan milter Soviet. Bahkan jika
hal ini terjadi, persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet
untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan dalam persoalan
dunia akan terus berlanjut. Persaingan ini telah berlangsung saat
Presiden Bush dan Presiden Gorbachev berupaya merebut hati
rakyat Eropa Timur dan Barat. Perlu diingat bahwa Eropa adalah
tempat Perang Dingin bermula. Eropa adalah taruhan tingkat tinggi
d a l a m P e r a n g D i n g i n ; dan l a n g k a h h u b u n g a n m a s y a r a k a t
Gorbachev bisa sama mengancamnya bagi kepentingan Amerika di
Eropa seperti halnya tank-tank Brezhnev (yang juga dipunyai
Gorbachev dalam keadaan apa pun).

Meskipun demikian, marilah kita mengakui bahwa Perang Di-


ngin telah berakhir dalam pengertian yang pasti dan bukannya se-

39
Samuel P. Huntington

men tara, dan bahwa perubahan nyata telah terjadi dalam hubungan
Soviet-Amerika. Bagaimana para pendukung tesis ini melihat dunia
paska-Perang Dingin? "Dunia kita-mereka" yang telah hadir, kata
para redaktur New York Times meyakinkan kita, memberi jalan "ba-
gi perjuangan yang lebih tradisional dari negara-negara besar." Da-
lam nada yang serupa, George Kennan beranggapan bahwa Uni So-
viet "Sekarang ini semestinya sungguh-sungguh dianggap sebagai
satu negara besar, seperti halnya negara-negara besar lain." Kepen-
tingannya mungkin berbeda dari kita, namun perbedaan-perbedaan
ini bisa "disesuaikan dengan cara-cara kompromi dan akomodasi
yang normal." 5
Namun, Rusia telah merupakan "satu negara besar" untuk be-
berapa abad sebelum ia menjadi sebuah negara komunis. Sebagai
sebuah negara besar, Rusia seringkali mengirimkan militernya ke
Eropa dan berulangkah menghancurkan pemberontakan rakyat di
Eropa tengah. Pasukan Soviet dengan keji menindas Revolusi Hu-
ngaria pada 1956 dan memberangus embrio demokrasi Ceko pada
1968. Pasukan Rusia dengan kejam menindas Revolusi Hungaria
pada 1848-49 dan secara bengis menghancurkan perlawanan di Po-
landia pada 1831 dan sekali lagi pada 1863-64. Pasukan Soviet men-
duduki Berlin pada 1945; pasukan Rusia menduduki dan membakar
Berlin pada 1760. Dalam pengejaran kepentingan Rusia sebagai se-
buah negara besar, pasukan Rusia menduduki banyak tempat yang
tidak diduduki pasukan Soviet. Pada 1799 pasukan Rusia mendu-
duki Milan dan Turin dan menggelar pertempuran di pinggiran kota
Zurich. Pada tahun yang sama, mereka merampas kepulauan Ionian
dari Yunani dan tetap berada di sana sampai 1907. Pendudukan-
pendudukan ini disulut oleh invasi Napoleon terhadap Rusia.
Sebagai sebuah negara besar, Rusia secara teratur ambil bagian da-
lam pembagian Polandia. Pada 1914 Nicholas II secara langsung me-
merintah wilayah Eropa lebih banyak (termasuk sebagian besar
Polandia) ketimbang Gorbachev sekarang ini.

1 "Just Another Great Power," The New York Times, 9 April 1989, him. E25.

40
Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-kesalahan Endisrne

Dengan demikian, catatan masa silam Rusia sebagai sebuah ne-


gara besar yang "normal", tidaklah menenteramkan baik bagi ke-
bebasan Eropa Timur maupun keamanan Eropa Barat. Beberapa pi-
hak berpendapat bahwa kecenderugan liberalisasi dan demokrati-
sasi di Uni Soviet akan mencegah negara tersebut dari menghantam
negara-negara lain seperti yang dilakukan para tsar. Menurut Fu-
kuyama, orang tak boleh menganggap bahwa "evolusi kesadaran
manusia tak bergerak" dan bahwa "orang-orang Soviet akan kembali
ke pandangan-pandangan kebijakan luar negeri yang di Eropa telah
ketinggalan satu abad." Fukuyama benar: seseorang tak boleh ber-
anggapan bahwa orang Soviet akan kembali pada cara lama yang
buruk dari masa silam. Namun, orang juga tak boleh beranggapan
bahwa mereka tidak akan begitu. Gorbachev mungkin bisa mem-
buang komuisme tetapi ia tak bisa membuang dorongan geografi
dan geopolitik yang telah membentuk perilaku Rusia dan Soviet
selama berabad-abad. Dan, sebagaimana yang akan dengan segera
dikemukakan oleh orang Amerika Latin, bahkan sebuah negara adi-
daya vang benar-benar demokratis pun mampu melakukan inter-
vensi militer untuk mencampuri perkara tetangga-tetangganya yang
lebih kecil.

Era Perang Dingin, kata John Lewis Gaddis mengingatkan kita,


juga merupakan era Perdamaian Panjang, periode terpanjang dalam
sejarah tanpa perang besar antara negara-negara besar. Apakah akhir
Perang Dingin juga berarti akhir Perdamaian Panjang? Dua unsur
utama dari keduanya adalah bipolaritas dan senjata nuklir: kedua-
nya secara umum mendefinisikan baik persaingan So v iet-Amerika
maupun batas-batasnya. Akhir Perang Dingin akan bcrarli melong-
garnya bipolarilas, sekalipun hal ini tidak berarti, sebagaimana yang
diramalkan beberapa pemikir deklinis, sebuah dunia yang terdiri
dari lima atau lebih negara-negara besar yang kurang lebih setara.
Delegitimasi senjata nuklir dan meningkatnya pembatasan terhadap
penyebaran dan penggunaannya bisa meningkatkan kemungkinan
perang konvensional.
Keterlibatan aktif Amerika dalam masalah dunia telah secara

41
Samuel P. Huntington

substansial dibatasi pada dua perang dunia dan satu perang dingin
berkepanjangan yang digerakkan ideologi. Dengan tidak adanya
Kaiser, Hitler, Stalin, dan Brezhnev, Amerika mungkin cenderung
bersikap santai dan menganggap bahwa perdamaian, niat baik, dan
kerja sama internasional akan berjaya: bahwa sekiranya Perang
Dingin sudah berakhir, hubungan Amerika dengan Uni Soviet akan
serupa dengan hubungannya dengan Kanada, Prancis, atau Jepang.
Bangsa Amerika cenderung untuk melihat kompetisi dan konflik
sebagai segi yang normal bahkan diinginkan dari ekonomi dan
politik domestik, tetapi sebaliknya menganggapnya sebagai abnor-
mal dan tak diinginkan dalam hubungan antara negara-negara. Na-
mun, kenyataannya, sejarah hubungan antara negara-negara besar
jika bukan merupakan sejarah perang panas, biasanya merupakan
sejarah perang dingin.
Akhir Perang Dingin tidak berarti akhir persaingan ideologi, di-
plomatik, ekonomi, teknologi, atau bahkan militer di antara negara-
negara. Hal ini tidak berarti akhir dari perebutan kekuasaan dan
pengaruh. Hal sangat mungkin berarti meningkatnya instabilitas,
ketidakpastian, dan kekerasan dalam persoalan-per-soalan inter-
nasional. Hal ini bisa berarti akhir dari Perdamaian Panjang.

AKHIR PERANG

M A N I F E S T A S I K E D U A DARI endisme mendalilkan akhir perang di antara


jenis negara bangsa-negara bangsa tertentu. Sejumlah penulis, ter-
masuk Dean V. Babst, R J . Rummel, dan Bruce Russett, menunjuk
pada kenyataan bahwa tak ada perang antar-negara yang signifikan
yang terjadi antara rezim-rezim demokratis sejak munculnya rezim
semacam ini di awal abad kesembilan belas. Michael Doyle berpen-
dapat serupa bahwa "serikat damai" hadir di antara rezim-rezim
liberal (yang mencakup dan sedikit lebih luas dari kelas rezim-rezim
demokratis, seperti didefinisikan oleh kebanyakan akademisi.) "Ne-
gara-negara liberal yang aman secara konstitusi," ungkapnya, belum

42
Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-kesalahan Endisrne

pernah terlihat perang satu sama lain. Bahkan ancaman perang dianggap
sebagai sesuatu yang tidak sah,"
Mengingat banyaknya angka peperangan antara rezim-rezim
non-demokratis, serta antara rezim demokratis dan rezim non-
demokratis, konflik bersenjata antara rezim-rezim demokratis yang
nyaris tak ada memang nampak begitu menyolek. Hal ini, seperti
dikemukakan Bruce Russet, "mungkin merupakan pernyataan
penting dan non-tautoligis terkuat yang bisa dibuat tentang hu-
bungan internasional." Juga merupakan suatu hal yang masuk akal
untuk memercayai bahwa tidak-adanya perang ini bersumber dari
sifat rezim tersebut. Demokrasi adalah suatu sarana bagi penyele-
saian perselisihan secara damai, vang melibatkan negosiasi dan kom-
promi, serta pemilihan umum dan voting. Para pemimpin negara
demokrasi mungkin berharap bahwa mereka harus dapat menye-
lesaikan perbedaan-perbedaan mereka dengan pemimpin negara
demokrasi lain secara damai. Di tahun-tahun setelah Perang Dunia
II, misalnya, sejumlah konflik yang bisa atau telah menye-babkan
terjadinya peperangan antara negara-negara cenderung mereda keti-
ka negara-negera yang bersangkutan menjadi de-mokratis. Kon-
troversi antara Inggris dan Argentina, Guatemala, serta Spanyol me-
nyangkut sisa-sisa kerajaan, sebagian besar mereda ketika ketiga
negara tersebut menjadi demokratis. Konflik antara Yunani dan Turki
juga nampak mereda di 1980-an setelah kedua negara memiliki rezim
yang terpilih secara demokratis.

"Zona damai" demokratis adalah suatu fenomena sejarah yang


dramatis. Jika hubungan tersebut terus bertahan dan jika demokrasi
semakin menyebar, peperangan akan makin berkurang di masa
datang ketimbang di masa silam. Ini merupakan sebuah argumen
endisrne yang memiliki basis empiris yang kuat. Meskipun
demikian, ada tiga batasan yang harus dicatat menyangkut impli-
kasinya bagi berakhirnya perang.
Pertama, negara-negara demokrasi masih merupakan minoritas
di antara rezim-rezim dunia. Survei Freedom House 1989 menggo-
longkan 60 dari 167 negara berdaulat sebagai "bebas" berdasarkan

43
Samuel P. Huntington

definisi lembaga ini yang agak longgar tentang kebebasan. Kemung-


kinan perang yang semakin berlipat dengan demikian terus ada di
antara 197 negara yang tidak bebas, dan antara negara-negara terse-
but dengan negara-negara demokratis.
Kedua, jumlah negara demokratis semakin bertambah, namun
pertambahannya cenderung tak teratur dalam pola dua langkah ke
depan, satu langkah ke belakang. Gelombang besar demokratisasi
terjadi pada abad ke-19, namun kemudian terjadi arus-balik ke otori-
tarianisme yang signifikan pada 1920-an dan 1930-an. Ge-lombang
kedua demokratisasi setelah Perang Dunia II diikuti oleh beberapa
arus-balik di 1960-an dan 1970-an. Gelombang ketiga demokratisasi
mulai pada 1974, dengan 15 sampai 20 negara yang bergerak ke arah
yang demokratis sejak saat itu. Jika pola sebelumnya berlaku, bebe-
rapa dari negara demokrasi baru ini akan kembali lagi ke otoritari-
anisme. Oleh karena itu, kemungkinan perang bisa meningkat dan
bukannya menurun di waktu dekat, sekalipun jumlahnya masih
lebih sedikit ketimbang sebelum 1974.
Yang terakhir, perdamaian di antara negara-negara demokratis
dapat dikaitkan dengan faktor-faktor luar yang kebetulan dan bukan
dengan sifat demokrasi itu sendiri. Di abad ke-19, misalnya, pepe-
rangan cenderung terjadi antara negara-negara yang secara geografis
berbatasan. Negara-negara demokratis jumlahnya sedikit dan jarang
berbatasan satu sama lain. Oleh karena itu, tidak-adanya perang
bisa disebabkan karena tidak-adanya kedekatan? Sejak Perang Du-
nia II sebagian besar negara demokratis merupakan anggota sistem
aliansi yang dipimpin oleh America Serikat, yang ditujukan untuk
melawan aliansi rezim-rezim non-demokratis, dan di mana di da-
lamnya posisi hegemonis Amerika Serikat menghindarkan perang
di antara anggota-anggota aliansi yang lain (yaitu, antara Yunani
dan Turki). Jika kepemimpinan Amerika melemah dan sistem aliansi

6 Lihat J. David Singer dan Melvin Small, " T h e YVar-Proneness of Democratic


R e g i m e s , 1 8 1 5 - 1 9 6 5 / * Jerusalem Journal of International Relations, vol. I ( M u s i m
Panas 1976), him. 67

44
Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-kesalahan Endisrne

merenggang, kemungkinan perang antara anggota-anggotanya yang


terdahulu, baik yang demokratis atau sebaliknya, bisa meningkat.
Argumen "zona damai demokratis" dengan demikian valid se-
jauh ini, namun mungkin tidak akan terlalu jauh. Dalam bukunya,
Retreat from Doomsday, John Mueller berpendapat perang menjadi
hal yang makin ketinggalan zaman pada tataran yang lebih umum.
Ia melihat Perdamaian Panjang sejak 1945 bukan sebagai hasil bipo-
laritas atau senjata nuklir melainkan lebih sebagai buah pengalaman
bahwa peperangan tak ada manfaatnya, dan bahwa konflik kepen-
tingan di antara negara-negara tersebut terlalu kecil sehingga tak
masuk akal bagi siapa pun untuk melancarkan perang demi meraih
tujuannya. Perang Dunia II merupakan penyimpangan dari kecen-
derungan abad ke-20 yang menghindari perang, yang sebagian besar
disebabkan oleh kepribadian sinting Hitler. Ketika negara-negara
menjadi lebih maju dan beradab, mereka akan menjadi lebih damai.
Denmark adalah model masa depan bagi negara-negara individual,
dan hubungan Amerika Serikat-Kanada merupakan model masa
depan bagi hubungan antara negara-negara.
Mueller membuat banyak argumen bahwa perang akan menjadi
hal yang "ketinggalan zaman, tak masuk-akal," dan tidak dapat-
diterima dalam masyarakat beradab seperti halnya perbudakan dan
duel pada masa lalu. Mengapa tidak pembunuhan? Pembunuhan
sudah tidak bisa diterima dalam masyarakat beradab selama ribuan
tahun, namun sepertinya tidak mungkin bahwa angka pembunuhan
di New York abad kedua puluh lebih sedikit ketimbang yang terjadi
di Athena abad ke-5. Meski peperangan besar antara negara-negara
maju tidak terjadi sejak Perang Dunia II, kekerasan antarnegara dan
dalam negara telah menyebar dengan korban jiwa sampai puluhan juta.
Mueller sendiri secara substansial mensyaratkan kasusnya. Ia se-
tuju bahwa peperangan akan terus berlanjut di antara negara-negara
yang kurang maju. Ia juga menyatakan bahwa para pe-mimpin ira-
sional model Hitler bisa melibatkan negara mereka dalam pepe-
rangan masa depan. Menurutnya, pertimbangan ekonomi dengan
kuat mendorong orang untuk menentang perang, namun kemak-

45
Samuel P. Huntington

muran ekonomi "tidak selalu merupakan tujuan yang meminggirkan


hal lain bahkan untuk saat ini," Persoalan-persoalan teritorial hadir
bahkan di negara-negara maju yang "bisa menyebabkan munculnya
perang-pcrluasan atau penyesuaian-ulang teritorial," Perang Dingin
diselesaikan secara damai, "namun tak ada jaminan kuat bahwa ke-
cenderungan ini akan berlanjut."
Problem yang lebih umum mungkin juga terdapat pada tesis
akhir-perang atau bahkan menurunnya-perang. Seperti vang di-
tunjukkan Michimi Muranushi dari Yale, perdamaian mungkin lebih
membatasi-diri ketimbang meningkat. Jika hubungan antara dua
negara menjadi makin damai, bisa saja dalam situasi tertentu hal
ini malah meningkatkan kemungkinan bahwa salah satu atau kedua
negara itu akan berperang dengan negara ketiga. Pakta Hitler-Stalin
melempangkan jalan untuk serangan terhadap Polandia; normalisasi
hubungan Amerika Serikat-Cina mempercepat perang Cina dengan
Vietnam. Jika ancaman Soviet menghilang, lenyap pula penghalang
perang Yunani-Turki.
Selain itu, jika makin banyak negara seperti Denmark, yang ber-
sumpah menghentikan perang dan mencurahkan diri mereka untuk
kenyamanan material, hal ini sendiri mungkin bisa menghasilkan
situasi di mana negara-negara lain ingin mengeksploitasinya. Seja-
rah penuh contoh negara yang lebih miskin dan lebih kejam meng-
injak-injak negara yang lebih kaya dan kurang perkasa.

AKHIR SEJARAH

adalah frasa yang dahsyat, dramatis, dan provokatif.


" A K H I R SEJARAH"

Apa yang Fukuyama maksudkan dengan hal ini? Inti dari argumen
Fukuyama adalah anggapan adanya perubahan dalam kesadaran
politik di seluruh negara besar di dunia dan munculnya sebuah kon-
sensus yang menyebar tentang prinsip-prinsip demokrasi-liberal.
Argumen ini mendalilkan kemenangan satu ideologi dan akibatnya
adalah akhir ideologi dan akhir konflik ideologis sebagai faktor

46
Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-kesalahan Endisrne

signifikan dalam eksistensi manusia. Namun, pilihan kata-katanya


memberi kesan bahwa ia mungkin punya sesuatu yang lebih dahsyat
di benaknya ketimbang pernyataan Mueller bahwa perang sudah
jadi hal yang ketinggalan zaman atau akhir ideologi yang diramalkan
Daniel Bell 25 tahun yang lalu.
Sepanjang fokusnya perang, argumen Fukuyama juga mengan-
dung semua kelemahan yang ada dalam pendapat Mueller. Ia meng-
akui bahwa "konflik antara negara-negara yang masih ada dalam
sejarah, serta antara negara-negara ini dan negara-negara yang sudah
berada di akhir sejarah, masih bisa terjadi." Pada saat yang sama ia
menyertakan Cina dan Uni Soviet di antara negara-negara vang su-
dah keluar dari sejarah. Para pemimpin Uni Soviet sekarang ini,
menurutnya, telah sampai pada "pandangan akhir-sejarah" dan "te-
lah menerima kesadaran negara homogen universal, yakni Eropa
pasca-Hitler"; tetapi ia juga mengakui bahwa Uni Soviet bisa meng-
arah pada chauvinisme Rusia Slavophile dan dengan demikian tetap
terpaku dalam sejarah.
Fukuyama menertawakan ide bahwa Jerman dan Prancis bisa
saling berperang lagi. Pendapat ini valid namun tak-relevan. Seratus
tahun yang lalu orang bisa secara valid menyatakan Pennsylvania
dan Virginia tak akan saling berperang lagi. Hal itu tak mencegah
Amerika Serikat, yang di dalamnya ada dua negara-bagian ini, dari
terlibat dalam perang-perang dunia di abad berikutnya. Satu ke-
cenderungan dalam sejarah adalah penggabungan unit-unit yang
lebih kecil ke dalam unit-unit yang lebih besar. Kemungkinan perang
antara unit-unit yang lebih kecil menurun namun kemungkinan pe-
rang antara unit-unit gabungan yang lebih besar tidak dengan sen-
dirinya berubah. Komunitas Eropa yang bersatu mungkin meng-
akhiri kemungkinan perang Prancis-Jerman; namun hal ini tidak
mengakhiri kemungkinan perang antara komunitas itu dengan unit-
unit politik yang lain.
Dalam hal Cina, Fukuyama berpendapat bahwa "sikap Cina yang
suka bersaing dan ekspansionisme di panggung dunia praktis telah
menghilang" dan, menurutnya, tidak akan muncul kembali. Argu-

47
Samuel P. Huntington

men yang lebih persuasif, bagaimanapun juga, dapat dibuat untuk


proposisi yang sepenuhnya berlawanan bahwa ekspansionisme Cina
belum muncul di panggung dunia. Inggris dan Prancis, Jerman dan
Jepang, Amerika Serikat dan Uni Soviet, semuanya menjadi negara
ekspansionis dan imperialis di masa industrialisasi. Cina baru saja
mulai serius mengembangan kekuatan industrinya. Mungkin Cina
akan berbeda dari semua negara besar lain dan tak berupaya me-
ngembangkan pengaruh dan kontrolnya saat ia makin terindustri-
alisasi. Namun bagaimana orang yakin bahwa Cina akan mengikuti
langkah yang menyimpang ini? Dan sekiranya ia mengikuti pola
yang sudah jamak, satu miliar orang Cina yang terlibat dalam eks-
pansi imperial pasti akan memaksakan banyak sejarah kepada
seluruh dunia.
Fukuyama dengan cukup tepat menekankan peran kesadaran,
ide, dan ideologi dalam memotivasi dan membentuk tindakan
manusia dan bangsa-bangsa. Ia juga benar dalam menunjuk akhir
nyata dari daya tarik komunisme sebagai ideologi. Secara ideologi,
komunisme merupakan "kegagalan besar", sebagaimana yang
dilabelkan Brzezinski. Namun, merupakan suatu hal yang keliru
untuk melompat dari merosotnya komunisme ke kemenangan glo-
bal liberalisme dan hilangnya ideologi sebagai sebuah kekuatan
dalam masalah dunia.
Pertama-tama, kebangkitan-kembali adalah hal yang mungkin.
Serangkaian gagasan atau sebuah ideologi mungkin saja memudar
pamornya dalam satu generasi, namun ia bisa muncul lagi dengan
kekuatan yang diperbarui satu atau dua generasi berikutnya. Dari
1940-an sampai 1960-an, arus dominan dalam pemikiran ekonomi
adalah aliran Keynesianisme*, welfarestatism, demokrasi sosial, dan
perencanaan. Sangat sulit untuk mendapatkan banyak dukungan

' K e y n e s i a n i s m e adalah teori d a n p r o g r a m e k o n o m i y a n g p e r t a m a kali


dilontarkan John M. Keynes; yang intinya adalah dukungan terhadap program
m o n e t e r d a n fiskal p e m e r i n t a h u n t u k m e n i n g k a t k a n l a p a n g a n kerja d a n
pembelanjaan.

48
Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-kesalahan Endisrne

bagi liberalisme ekonomi klasik. Namun, pada akhir 1970-an,


liberalisme ekonomi klasik tampil kembali secara luar bisa: pada
1950-an para ekonom dan lembaga ekonomi patuh kepada Rencana
(The Plan); pada 1980-an mereka patuh pada Pasar {The Market).
Demikian juga, ilmuwan sosial di dekade-dekade setelah Perang
Dunia II b e r p e n d a p a t b a h w a a g a m a , kesadaran etnik, dan
nasionalisme semuanya akan tergusur oleh perkembangan ekonomi
dan modernisasi. Namun di 1980-an hal-hal ini menjadi basis
dominan dari tindakan politik di kebanyakan negara. Kebangkitan
agama sekarang merupakan sebuah fenomena global. Komunisme
mungkin ambruk untuk saat ini, namun sangat tergesa untuk
menganggap bahwa ia akan lenyap selamanya.
Kedua, penerimaan universal demokrasi liberal tak menghin-
darkan konflik-konflik di dalam liberalisme. Sejarah ideologi adalah
sejarah perpecahan. Pertempuran antara mereka yang memiliki versi
berbeda dari ideologi yang sama seringkali lebih sengit dan lebih
bengis daripada pertempuran antara mereka yang menganut
ideologi yang sepenuhnya berbeda. Bagi seorang pemeluk keya-
kinan, kaum bid'ah lebih buruk daripada yang bukan pemeluk. Se-
buah kesepakatan ideologis berkenaan dengan agama Kristen hadir
di Eropa pada 1500, namun hal ini tidak mencegah umat Protestan
dan Katolik saling bunuh selama satu setengah abad berikutnya.
Kaum sosialis dan komunis, kaum Trotskyis dan Leninis, kaum
Shi'ah dan Sunni telah memperlakukan satu sama lain dengan cara
yang kurang-lebih sama.
Ketiga, kemenangan satu ideologi tidak menyingkirkan kemung-
kinan munculnya ideologi-ideologi baru. Bangsa-bangsa dan masya-
rakat bisa dibilang akan terus berkembang. Tantangan baru bagi
kesejahteraan manusia akan muncul, dan orang akan mengembang-
kan konsep, teori, dan ideologi baru guna mengatasi tantangan-tan-
tangan tersebut. Kecuali jika semua perbedaan sosial, ekonomi, dan
politik lenyap, orang juga akan mengembangkan sistem kepercayaan
yang melegitimasi apa yang mereka punyai dan membenarkan
perkembangan mereka. Misalnya saja, salah satu fungsi komunisme

49
Samuel P. Huntington

dalam sejarah adalah melegitimasi kekuatan intelektual dan birokrat.


Jika hal ini lenyap, besar kemungkinan para intelektual dan birokrat
akan mengembangkan serangkaian ide baru untuk merasionalisasi
klaim mereka atas kekuasaan dan kemakmuran.
Keempat, benarkah demokrasi liberal telah menang? Fukuyama
mengakui bahwa paham ini belum menang di Dunia Ketiga. Mes-
kipun demikian, sampai sejauh mana ia benar-benar diterima di Uni
Soviet dan Cina? Kedua masyarakat ini secara bersamaan memimpin
lebih dari seperempat penduduk dunia, jika ada sebuah kecende-
rungan yang bekerja di dunia hari ini, kecenderungan itu adalah
bahwa negara-negara kembali menengok budaya, nilai-nilai, dan
pola perilaku tradisional mereka. Kecenderungan ini mengejewantah
dalam kebangkitan-kembali identitas dan karakter tradisional ne-
gara-negara Eropa Timur, yang lepas dari keseragaman pekat komu-
nisme yang dipaksakan Soviet dan juga dalam meningkatnya per-
bedaan di antara republik-republik dalam Uni Soviet sendiri. Rusia
dan Cina tak kekurangan unsur liberalisme dan demokrasi dalam
sejarah mereka. Meskipun demikian, semua ini adalah unsur-unsur
yang lemah, dan posisi mereka yang lebih rendah ditegaskan oleh
problem saat ini yang menerpa liberalisme ekonomi di Uni Soviet
dan demokrasi politik di Cina komunis.

Secara lebih umum, tesis Fukuyama sendiri tidak mencerminkan


lenyapnya Marxisme, melainkan malah tersebar-luasnya Marxisme.
Gambarannya tentang akhir sejarah bersumber langsung dari Marx.
Fukuyama bicara tentang "negara homogen universal," yang di da-
lamnya "semua kontradiksi sebelumnya diselesaikan dan semua ke-
butuhan manusia dipuaskan." Apa ini kalau bukan gambaran
Marxis tentang sebuah masyarakat tanpa konflik kelas atau kontra-
diksi lain yang diatur berdasarkan dalil dari setiap orang menurut
kemampuannya dan untuk setiap orang menurut kebutuhannya?
Perjuangan sejarah, kata Fukuyama, "akan digantikan oleh perhi-
tungan ekonomi, pemecahan tanpa henti persoalan-persoalan teknis,
kepedulian lingkungan, dan kepuasan tuntutan konsumen yang
rumit." Engels bahkan mengatakannya dengan lebih ringkas:

50
Tak Ada Jalan Keluar: Kesalahan-kesalahan Endisrne

"Pemerintahan orang-orang akan digantikan oleh administrasi


benda-benda dan pengelolaan proses p r o d u k s i , " F u k u y a m a
mengatakan liberalisme adalah akhir sejarah. Marx mengatakan
komunisme "adalah solusi untuk teka-teki sejarah." Mereka pada
dasarnya mengatakan hal yang sama, dan yang paling penting,
mereka berpikir dengan cara yang sama. Ideologi Marxis masih tetap
hidup dalam argumen-argumen Fukuyama untuk menyangkalnya.

DUA KESAI-AHAN BERPIKIR

U N I SOVIET SEMAKINdisibukkan dengan problem-problemnya sendiri


dan pelonggaran politik yang signifikan telah terjadi di negara itu.
Intensitas ideologis dari awal Perang Dingin praktis menghilang,
dan kemungkinan perang panas antara dua negara adidaya sama
kecil seperti sebelumnya. Perang bahkan lebih tidak mungkin terjadi
antara negara-negara industri maju. Tentang hal-hal ini, proposisi-
proposisi endisrne akurat. Meskipun demikian, formulasi yang lebih
luas dari argumen endis mengandung dua kekeliruan pikir.
Pertama, endisrne terlalu menekankan bisa ditebaknya sejarah
dan permanennya momen itu. Kecenderungan saat ini mungkin
berlanjut sampai masa depan, mungkin juga tidak. Pengalaman
masa lalu jelas-jelas menunjukkan bahwa hal tersebut tidak mungkin
demikian. Catatan dari prediksi-prediksi sebelumnya oleh para
ilmuwan sosial tidaklah menggembirakan. Lima belas tahun vang
lalu, tepat ketika gelombang demokrasi bergulir, para analis politik
menguraikan mengapa otoriterisme pasti berjaya di Dunia Ketiga.
Sepuluh tahun yang lalu jurnal-jurnal kebijakan luar negeri penuh
dengan peringatan akan bangkitnya kekuatan militer dan pengaruh
politik Soviet di seluruh dunia. Lima tahun yang lalu mana ada analis
Uni Soviet yang memprediksi tingkatan perubahan-perubahan
politik yang terjadi di negara itu? Mengingat terbatasnya wawasan-
pengetahuan manusia, prediksi endis mengenai akhir perang dan
konflik ideologis layak disertai skeptisme dalam dosis tinggi. Tak

51
Samuel P. Huntington

diragukan lagi, dalam suasana damai sekarang ini, lebih menenang-


kan jika kita berspekulasi tentang kemungkinan malapetaka masa
depan yang gagal diperkirakan analisis sosial saat ini.
Kedua, endisme cenderung untuk mengabaikan kelemahan dan
ketidakrasionalan watak manusia. Argumen-argumen endis sering-
kali menganggap bahwa karena akan rasional bagi manusia untuk
memusatkan perhatian kepada kesejahteraan ekonominya, mereka
akan bertindak dalam cara tersebut, dan dengan demikian mereka
tidak akan terlibat dalam peperangan yang tidak cocok dengan hi-
tungan untung-rugi, atau terlibat dalam konflik ideologi yang tidak
banyak gunanya. Manusia seringkali rasional, pemurah, kreatif dan
bijak, namun mereka juga bodoh, mementingkan diri sendiri, kejam,
dan penuh dosa. Perjuangan yang sebenarnya adalah sejarah dimulai
dengan dimakannya buah terlarang dan hal ini berakar-kuat dalam
watak manusia. Dalam sejarah mungkin ada kekalahan total, namun
tak ada solusi final. Selama makhluk manusia ada, tak ada jalan
keluar dari trauma-trauma sejarah.
M e n d a m b a k a n akhir sejarah y a n g d a m a i m e r u p a k a n suatu hal
y a n g m a n u s i a w i . N a m u n m e n g h a r a p k a n hal ini terjadi m e r u p a k a n
s u a t u hal y a n g t i d a k realistis. M e r e n c a n a k a n hal ini a g a r terjadi
adalah b e n c a n a besar.

52
3

Benturan Peradaban?

Samuel R Huntington*"

POLA KONFLIK MASA DEPAN

POLITIK DUNIA sedang memasuki tahap baru, dan para intelektual tidak
segan-segan mengembangkan visi tentang akan seperti apa nantinya
tahap baru ini—di antaranya: akhir sejarah, kembalinya persaingan
lama antara negara-bangsa, dan merosotnya negara-bangsa karena
konflik yang disebabkan tribalisme dan globalisme. Setiap visi
menangkap aspek-aspek kenyataan yang muncul. Namun dalam
melihat akan seperti apa politik global di tahun-tahun mendatang,
semua visi ini mengabaikan satu aspek yang krusial, bahkan utama.
Hipotesis saya adalah bahwa sumber utama konflik di dunia baru
ini bukanlah ideologi atau ekonomi. Budayalah yang akan menjadi
faktor pemecah-belah umat manusia dan sumber konflik yang do-
minan. Negara-bangsa masih menjadi aktor dominan dalam perca-
turan dunia, namun konflik utama dari politik global akan terjadi
antara negara dan kelompok dari peradaban yang berbeda. Benturan

4 S A M U E L P . H U N T I N G T O N adalah Eaton Professor of the Science of Government

dan Director of the John M. Olin Institute for Strategic Studies di Harvard Univer-
sity. Dicetak kembali atas izin Foreign Affairs, S u m m e r 1993. Hak cipta © 1993
oleh Council on Foreign Relations, Inc.

53
Samuel P. Huntington

peradaban akan mendominasi politik global. Garis pemisah antara


peradaban akan menjelma menjadi garis pertem-puran di masa depan.
Konflik antar-peradaban akan menjadi tahap terakhir dalam
evolusi konflik di dunia modern. Selama satu setengah abad setelah
munculnya sistem internasional modern dengan Perdamaian
Westphalia, konflik dunia Barat sebagian besar terjadi antara para
pangeran—para kaisar, para raja absolut dan raja konstitusional yang
berusaha memperluas birokrasi, militer, kekuatan ekonomi perda-
gangan dan, yang terpenting, teritori yang mereka kuasai. Dalam
proses itu mereka melahirkan negara-bangsa, dan dimulai dengan
Revolusi Prancis, garis konflik yang utama adalah antara bangsa-
bangsa dan bukan antara pangeran. Pada 1793, seperti yang dike-
mukakan oleh R.R. Palmer, "peperangan para raja usai; peperangan
rakyat dimulai." Pola abad ke-19 ini berlangsung hingga akhir
Perang Dunia I. Kemudian, sebagai akibat dari Revolusi Rusia dan
reaksi keras yang menentangnya, konflik bangsa-bangsa berubah
menjadi konflik ideologi, pertama antara komunisme, fasisme-Na-
zisme dan demokrasi liberal, kemudian antara komunisme dan de-
mokrasi liberal. Selama Perang Dingin, konflik yang terakhir ini me-
lekat erat dalam pertentangan di antara dua negara adidaya, di mana
tak satu pun dari keduanya merupakan sebuah negara bangsa dalam
pengertian klasik Eropa, dan masing-masing mendefinisikan iden-
titasnya berdasarkan ideologi yang dianutnya.

Konflik-konflik yang terjadi di antara para pangeran, negara-


bangsa, dan ideologi ini pada dasarnya merupakan konflik di dalam
peradaban Barat. "Perang sipil Barat," demikian William IJnd men-
julukinya. Inilah yang sesungguhnya terjadi dalam Perang Dingin,
seperti halnya yang terjadi pada perang-perang dunia dan perang-
perang sebelumnya di abad ke-17, ke-18, dan ke-19. Dengan
berakhirnya Perang Dingin, politik internasional bergerak keluar
dari fase Barat, dan titik-fokusnya beralih ke hubungan antara per-
adaban Barat dan non-Barat, serta di antara peradaban-peradaban
non-Barat sendiri. Dalam politik peradaban, masyarakat dan
pemerintahan-pemerintahan dari peradaban non-Barat tidak lagi

54
Benturan Peradaban?

merupakan objek sejarah—yakni sebagai sasaran kolonialisme


Barat—tetapi mereka bergabung dengan Barat sebagai penggerak
dan pembentuk sejarah.

S I F A T PHK A D A K A N

S E L A M A PERANG DINGIN dunia terbagi menjadi Dunia Pertama, Dunia


Kedua, dan Dunia Ketiga. Pembagian tersebut tidak lagi relevan.
Sekarang ini yang jauh lebih bermakna adalah mengelompokkan
negara-negara bukan berdasarkan sistem politik atau ekonomi, atau
b e r d a s a r k a n tingkat p e r k e m b a n g a n e k o n o m i , tetapi lebih
berdasarkan budaya dan peradabannya.
Apa yang kita maksudkan bila kita bicara tentang peradaban?
Sebuah peradaban adalah sebuah entitas budaya. Desa-desa,
wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, kelompok-kelompok
bangsa, serta kelompok-kelompok agama, semua memiliki budaya
yang berlainan pada tingkat keberagaman budaya yang juga
berlainan. Budaya di sebuah desa di Italia Selatan mungkin berbeda
dari yang di Italia Utara, tetapi keduanya memiliki sama-sama me-
miliki budaya Italia membedakan mereka dari desa-desa di Jerman.
Komunitas Eropa, sebaliknya, memiliki ciri-ciri budaya yang sama
yang membedakan mereka dari komunitas Arab atau Cina. Meski-
pun demikian, bangsa Arab, Cina, dan Barat, bukanlah bagian dari
sebuah entitas budaya yang lebih luas. Mereka membentuk per-
adaban. Dengan demikian, peradaban adalah pengelompokan bu-
daya tertinggi dari sekelompok orang dan iden-titas budaya paling
luas yang dimiliki oleh orang-orang yang membedakan manusia
dari makhluk lain. la terdefinisikan baik lewat unsur-unsur objektif
umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun
melalui identifikasi diri yang subjektif. Orang-orang memiliki
t i n g k a t a n i d e n t i t a s : s e o r a n g p e n d u d u k R o m a d a p a t saja
mengidentifikasi dirinya dengan berbagai tingkatan penekanan,
misalnya sebagai orang Roma, Italia, Katolik, Kristen, Eropa, atau

55
Samuel P. Huntington

warga Barat. Peradaban di mana ia menjadi bagiannya adalah tingkat


terluas dari identifikasi yang dengannya ia mendefinisikan iden-
titasnya. Orang bisa mendefinisikan kembali identitas mereka dan,
sebagai akibatnya, komposisi dan batas-batas peradaban pun berubah.
Peradaban dapat meliputi sekelompok besar manusia, seperti
halnya Cina ("sebuah peradaban yang menyaru sebagai sebuah ne-
gara," demikian ungkap Lucian Pye), atau hanya sekelompok kecil
orang, seperti orang-orang Karibia vang berbahasa Inggris. Sebuah
peradaban juga dapat mencakup beberapa negara-bangsa, seperti
dalam kasus Barat, Amerika Latin dan Arab, atau hanya satu negara-
bangsa, seperti dalam kasus peradaban Jepang. Peradaban tentu saja
melebur dan tumpang-tindih, dan bisa mencakup sub-sub per-
adaban. Peradaban Barat memiliki dua varian besar, Eropa dan Ame-
rika Utara, dan Islam memiliki subdivisi Arab, Turki, dan Melayu.
Peradaban bagaimanapun adalah entitas yang bermakna, dan meski
batas di antara mereka jarang kentara, mereka sesungguhnya nyata.
Peradaban juga dinamis sifatnya; ada masa naik dan runtuh; per-
adaban juga terbelah dan menyatu. Dan, seperti yang dipelajari oleh
semua mahasiswa sejarah, berbagai peradaban musnah dan terkubur
di dalam pasir waktu.

Orang-orang Barat cenderung menganggap negara-bangsa se-


bagai pemeran utama dalam pelbagai urusan global. Meskipun de-
mikian, negara bangsa berada dalam posisi tersebut hanya selama
beberapa abad. Jangkauan lebih luas dari sejarah manusia selama
ini adalah sejarah peradaban. Dalam buku A Study of History, Ar-
nold Toynbee mengidentifikasi 21 peradaban besar; dari itu semua,
hanya enam yang masih hadir di dunia sekarang ini.

MENGAPA PERADABAN AKAN BERBENTURAN

IDENTITAS PERADABAN AKAN menjadi semakin penting di masa depan,


dan dunia akan dibentuk sebagian besar oleh hubungan timbal-balik
antara tujuh atau delapan peradaban besar. Yang termasuk di

56
Benturan Peradaban?

dalamnya adalah peradaban Barat, Konghucu, Jepang, Islam, Hindu,


Ortodoks-Slavik, Amerika Latin, dan kemungkinan besar juga
peradaban Afrika. Konflik yang paling penting di masa mendatang
akan terjadi sepanjang perbatasan budaya yang memisahkan satu
peradaban dengan peradaban lain.
Mengapa bisa demikian?
Pertama, perbedaan di antara peradaban bukan hanya nyata,
melainkan juga mendasar. Peradaban dibedakan satu sama lain oleh
sejarah, bahasa, kebudayaan, tradisi dan, yang paling penting,
a g a m a . M a s y a r a k a t dari p e r a d a b a n yang berbeda memiliki
pandangan yang berbeda tentang hubungan antara Tuhan dan
manusia, individu dan kelompok, penduduk dan negara, orang tua
dan anak, suami dan istri, serta pandangan yang berbeda tentang
pentingnya hak dan kewajiban, kebebasan dan otoritas, persamaan
dan hierarki. Perbedaan-perbedaan ini merupakan produk yang
dihasilkan selama berabad-abad. Mereka tidak akan mudah lenyap.
Mereka jauh lebih mendasar dibanding perbedaan-perbedaan di
antara ideologi-ideologi politik dan rezim-rezim politik. Perbedaan
tidak selalu berarti konflik, dan konflik tidak selalu berarti kekerasan.
Namun, selama berabad-abad perbedaan di antara peradaban telah
menghasilkan berbagai konflik yang begitu berkepanjangan dan
keras.

Kedua, dunia menjadi sebuah tempat yang lebih kecil. Hubungan


timbal-balik yang terjadi di antara masyarakat dari peradaban yang
berbeda semakin meningkat; peningkatan interaksi ini menguatkan
kesadaran peradaban dan kepekaan akan perbedaan di antara
peradaban maupun persamaan dalam peradaban. Imigrasi orang-
orang Afrika Utara ke Prancis menimbulkan permusuhan di antara
penduduk Prancis dan pada saat yang sama hal ini semakin
meningkatkan penerimaan terhadap imigrasi yang dilakukan oleh
Kutub Katolik Eropa "yang baik". Penduduk Amerika bereaksi jauh
lebih negatif terhadap investasi Jepang ketimbang terhadap investasi
yang lebih besar dari Kanada dan negara-negara Eropa. Demikian
juga, sebagaimana yang dikemukakan oleh Donald Horowitz,

57
Samuel P. Huntington

"Seorang lbo mungkin ... adalah seorang Owerri Ibo atau seorang
Onitsha Ibo di bekas wilayah Timur Nigeria. Di Lagos, ia hanya
seorang Ibo. Di London, ia adalah orang Nigeria, Di New York, ia
adalah orang Afrika/' Interaksi di antara orang-orang dari peradaban
yang berbeda meningkatkan kesadaran peradaban, yang pada
gilirannya memperkuat perbedaan dan permusuhan yang berakar
panjang, atau dianggap berakar panjang, dalam sejarah.
Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di
seluruh dunia memisahkan manusia dari identitas lokal yang sudah
lama ada. Proses tersebut juga melemahkan negara-bangsa sebagai
sumber identitas. Di banyak bagian dunia, agama mengisi celah ini,
seringkali dalam bentuk gerakan-gerakan yang diberi nama "fun-
damentalis." Selain dalam Islam, gerakan-gerakan seperti ini juga
ditemukan dalam Kristen Barat, Yahudi, Buddha, dan Hindu. Di
kebanyakan negara dan kebanyakan agama, orang-orang yang aktif
dalam gerakan fundamentalis adalah orang muda, berpendidikan
tinggi, teknisi kelas menengah, orang-orang profesional dan
pengusaha. "De-sekularisasi dunia/' sebagaimana yangdikemuka-
kan George Weigel, "adalah sebuah kenyataan sosial yang dominan
dalam kehidupan di akhir abad ke-20." Kebangkitan kembali agama,
"la revanche de Dieu (pembalasan Tuhan)/' seperti yang disebut
Gilles Kepel, menyediakan suatu dasar bagi identitas dan komitmen
yang melampaui batas-batas nasional dan menyatukan pelbagai
peradaban.

Keempat, meningkatnya kesadaran-peradaban diperkuat oleh


peran ganda Barat. Di satu sisi. Barat sedang berada di puncak
kekuasaan. Pada saat yang sama, dan mungkin sebagai akibatnya,
fenomena kembali ke akar terjadi di antara peradaban-peradaban
non-Barat. Orang semakin sering mendengar kecenderungan untuk
melihat ke dalam dan "Asianisasi" di Jepang, berakhirnya warisan
Nehru dan munculnya "Hindunisasi" India, kegagalan ide-ide Barat
tentang sosialisme dan nasionalisme dan oleh karena itu "re-
Islamisasi" Timur Tengah, dan kini perdebatan tentang Westernisasi
melawan Rusianisasi di negara Boris Yeltsin. Barat di puncak

58
Benturan Peradaban?

kekusasaannya melawan non-Barat yang memiliki hasrat, keinginan,


dan sumber daya yang semamin besar untuk membentuk dunia
dalam cara-cara non-Barat
Di masa lalu, kaum elite masyarakat non-Barat biasanya adalah
orang-orang yang paling terlibat dengan Barat, pernah belajar di
Oxford, Sorbonne atau Sandhurst, dan menyerap perilaku dan nilai-
nilai Barat. Pada saat yang sama, masyarakat di negara-negara non-
Barat tetap terilhami oleh budaya pribumi. Namun, hubungan ini
sekarang telah berbalik. De-VVesternisasi dan pembumiputeraan
kaum elite tengah terjadi di banyak negara non-Barat pada saat yang
sama di mana kebudayaan, gaya hidup, dan kebiasaan Barat, biasa-
nya Amerika, menjadi lebih populer di antara massa kebanyakan.
Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya tidak mudah
dipadamkan dan dengan demikian tidak mudah dikompromikan
dan dipecahkan dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Di bekas
Uni Soviet, orang-orang komunis bisa menjadi demokrat, yang kaya
bisa menjadi miskin dan yang miskin jadi kaya, tetapi orang Rusia
tidak bisa menjadi Estonia dan kaum Azeri tidak bisa menjadi or-
ang Armenia. Dalam konflik kelas dan ideologi, pertanyaan
kuncinya adalah "Kamu berpihak pada siapa?", dan orang dapat
dan memang berpihak ataupun berbalik pihak. Dalam konflik antar-
peradaban, pertanyaannya adalah "Apa kamu?" Hal itu merupakan
sesuatu yang terberi dan tidak bisa diubah. Dan seperti yang kita
ketahui, mulai dari Bosnia, Kaukasia, sampai Sudan, jawaban yang
salah bisa berakibat pelor menghunjam kepala. Bahkan agama, lebih
dari etnisitas, mendiskriminasi manusia secara tajam dan eksklusif.
Seseorang bisa setengah Prancis dan setengah Arab dan secara seren-
tak bahkan merupakan warga dari dua negara. Lebih sulit menjadi
setengah Katolik dan setengah Muslim.

Yang terakhir, regionalisme ekonomi semakin meningkat. Proporsi


dari total perdagangan yang merupakan perdagangan antarwilayah
meningkat antara 1980 dan 1989 dari 51 persen menjadi 59 persen di
Eropa, 33 persen menjadi 37 persen di Asia Timur, dan 32 persen
menjadi 36 persen di Amerika Utara. Pentingnya blok ekonomi re-

59
Samuel P. Huntington

gional akan semakin meningkat di masa yang akan datang. Di satu


sisi, regionalisme ekonomi yang sukses akan memperkuat kesadaran
peradaban. Di sisi lain, regionalisme ekonomi bisa sukses hanya bila
berakar dalam satu peradaban yang sama. Masyarakat Eropa
bersandar pada landasan bersama budaya Eropa dan Kristen Barat.
Suksesnya Zona Perdagangan Bebas Amerika Utara tergantung pada
pertemuan budaya Meksiko, Kanada dan Amerika yang sekarang
sedang berjalan. Jepang, sebaliknya, menghadapi kesulitan dalam
menciptakan sebuah entitas ekonomi yang diperhitungkan di Asia
Timur karena Jepang adalah sebuah masyarakat dan peradaban yang
begitu unik. Betapapun kuatnya relasi perdagangan dan investasi
yang dibangun Jepang dengan negara-negara Asia Timur, perbedaan
budayanya dengan negara-negara tersebut bisa menghambat
upayanya mempromosikan integrasi ekonomi regional seperti di
Eropa dan Amerika Utara.
Kesamaan budaya, sebaliknya, jelas memudahkan perluasan re-
lasi ekonomi yang cepat antara RRC, Hong Kong, Taiwan, Singapura
dan komunitas Cina di negara-negara Asia lainnya. Dengan ber-
akhirnya Perang Dingin, kesamaan budaya semakin mengikis perbe-
daan ideologis, membuat Cina daratan dan Taiwan semakin dekat
satu sama lain. Jika kesamaan budaya adalah syarat pokok sebuah
integrasi ekonomi, blok ekonomi Asia Timur di masa mendatang
sepertinya akan berpusat di Cina. Blok ini sebenarnya sudah mewu-
jud, sebagaimana dicermati oleh Murray Weidenbaum:

T e r l e p a s dari d o m i n a n s i J e p a n g di w i l a y a h t e r s e b u t , e k o n o m i Asia
berbasis Cina m u n c u l d e n g a n pesat sebagai pusat baru untuk
i n d u s t r i , p e r d a g a n g a n d a n k e u a n g a n . W i l a y a h s t r a t e g i s ini
menguasai k e m a m p u a n teknologi dan manufaktur yang menonjol
(Taiwan), k e m a m p u a n w i r a u s a h a , p e m a s a r a n , d a n j a s a l a y a n a n y a n g
luar b i a s a ( H o n g K o n g ) , j a r i n g a n k o m u n i k a s i y a n g s a n g a l b a i k (Si-
n g a p u r a ) , k u m p u l a n m o d a l y a n g s a n g a t b e s a r ( k e t i g a n y a ) , serta k e -
t e r s e d i a a n lahan, s u m b e r d a y a , d a n t e n a g a kerja y a n g b e g i t u b a n y a k
( C i n a d a r a t a n ) . . . Dari G u a n g z h o u s a m p a i S i n g a p u r a , dari K u a l a

60
Benturan Peradaban?

L u m p u r s a m p a i M a n i l a , j a r i n g a n y a n g s a n g a t p e n t i n g ini—seringkali
didasarkan pada perpanjangan klan tradisional— digambarkan
s e b a g a i t u l a n g p u n g g u n g e k o n o m i Asia Timur. 1

Budaya dan agama juga menjadi basis dari Organisasi Kerja sama
Ekonomi yang menyatukan sepuluh negara Muslim non-Arab: Iran,
Pakistan, Turki, Azerbaijan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Turkmenistan,
Tadjikistan, Uzbekistan dan Afghanistan. Satu momentum yang
menghidupkan kembali dan mengembangkan organisasi yang di-
dirikan 1960-an oleh Turki, Pakistan, dan Iran ini adalah kesadaran para
pemimpinnya bahwa mereka tidak memiliki kesempatan men-
dapatkan tiket untuk masuk dalam Masyarakat Eropa. Demikian juga,
Caricom (Central American Common Market and Mercosur—Pasar
Bersama dan Mercosur Amerika Tengah) bertumpu pada fondasi
kesamaan budaya. Namun, rangkaian usaha untuk mem-bangun
sebuah entitas ekonomi Amerika Tengah-Karibia yang lebih luas untuk
menjembatani terpisahnya Anglo-Latin masih gagal sampai saat ini.
Ketika orang-orang mendefinisikan identitas mereka berdasarkan
etnis dan agama, mereka sangat mungkin akan melihat sebuah hu-
bungan "kita" lawan"mereka" hadir di antara mereka dan orang-
orang dari etnis atau agama yang berbeda. Berakhirnya negara-ne-
gara yang mendefinisikan diri secara ideologis di Eropa Timur dan
bekas Uni Soviet membuat identitas etnis tradisional dan rasa
permusuhan muncul ke permukaan. Perbedaan dalam hal budaya
dan agama menciptakan perbedaan dalam isu-isu kebijakan, mulai
dari hak asasi, imigrasi, perdagangan, sampai lingkungan. Kede-
katan geografis menyebabkan munculnya konflik klaim teritorial
dari Bosnia sampai Mindanao. Apa yang paling penting, berbagai
usaha Barat untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan
liberalismenya sebagai nilai universal, mempertahankan keunggulan

1 M u r r a y W e i d e n b a u m . Greater China: The Next Economic Superpower?, St.


Louis: Washington University Center for the Study of American Business,
Contemporary Issues, Series 57, Februari 1993, him. 2-3.

61
Samuel P. Huntington

militernya, serta meningkatkan kepentingan ekonomi mereka telah


mengakibatkan munculnya reaksi perlawanan dari peradaban lain.
Pemerintah dan kelompok-kelompok, yang tak lagi bisa meng-
andalkan mobilisasi dukungan dan membentuk koalisi berdasarkan
ideologi, akan sekuat tenaga melakukan hal ini melalui daya tarik
kesamaan agama dan identitas peradaban.
Dengan demikian, pertikaian peradaban terjadi pada dua tingkat.
Di tingkat mikro, kelompok-kelompok yang hidup berdampingan
di sepanjang garis pemisah antara peradaban-peradaban akan
bertikai, acapkali dengan brutal, untuk memperebutkan kendali wi-
layah dan kendali satu sama lain. Di tingkat makro, negara-negara
dari peradaban yang berbeda bersaing untuk memperebutkan ke-
kuasaan militer dan ekonomi, bertikai memperebutkan pengawasan
atas lembaga internasional dan pihak ketiga, serta bersaing mem-
promosikan nilai-nilai politik dan keagamaan mereka.

GARIS PEMISAH ANTAR PERADABAN

antarperadaban menggantikan batas-batas ideologi


G A R I S PEMISAH

dan politik Perang Dingin sebagai pemicu munculnya krisis dan


pertumpahan darah. Perang Dingin mulai ketika Tirai Besi memi-
sahkan Eropa secara politis dan ideologis. Perang Dingin berakhir
dengan hancurnya Tirai Besi. Begitu pembagian ideologis Eropa le-
nyap, pembangian budaya Eropa antara Kristen Barat di satu sisi,
dan Kristen Ortodoks dan Islam di sisi lain, kembali muncul. Me-
nurut William Wallace, garis pemisah yang paling signifikan di Eropa
mungkin adalah batas timur dari Kristen Barat pada 1500. Garis ini
membentang di sepanjang apa yang sekarang merupakan tapal batas
antara Finlandia dan Rusia serta antara negara-negara Baltik dan
Rusia, memotong Belarusia dan Ukraina memisahkan kaum Katolik
Barat Ukraina dari Ortodoks Timur Ukraina, mengayun ke barat
memisahkan Transylvania dari wilayah Romania yang lain, lalu
menerabas Yugoslavia hampir di sepanjang garis yang sekarang ini

62
Benturan Peradaban?

memisahkan Kroasia dan Slovenia dari wilayah Yugoslavia yang


lain. Di Balkan, garis ini tentu saja bertepatan dengan batas sejarah
antara Kekaisaran Hapsburg dan Ottoman. Orang-orang yang
tinggal di utara dan barat garis ini adalah kaum Protestan atau Ka-
tolik; mereka memiliki pengalaman yang sama dalam sejarah
Eropa—feodalisme, Renaisans, Reformasi, Pencerahan, Revolusi
Prancis, Revolusi Industri; secara umum ekonomi mereka lebih baik
dibanding yang tinggal di wilayah timur; dan mungkin sekarang
mereka berusaha untuk meningkatkan keterlibatan mereka dalam
ekonomi Eropa serta konsolidasi sistem demokrasi politik. Masya-
rakat yang tinggal di wilayah timur dan selatan garis ini adalah kaum
Ortodoks atau Muslim; mereka secara historis merupakan bagian
dari Kekaisaran Ottoman atau Tsar dan mereka hanya sedikit ter-
sentuh oleh peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di sebagian
besar Eropa; pada umumnya mereka kurang maju secara ekonomi;
mereka nampaknya mempunyai kemungkinan kecil untuk mengem-
bangkan sistem demokrasi politik yang stabil. Tirai Beludru budaya
telah menggantikan Tirai Besi ideologi sebagai garis pemisah yang
paling signifikan di Eropa. Seperti yang ditunjukkan oleh berbagai
peristiwa di Yugoslavia, garis ini bukan sekadar sebuah garis per-
bedaan; namun kadang juga merupakan garis konflik berdarah.

Konflik yang terjadi di sepanjang garis pemisah antara peradaban


Barat dan Islam telah berlangsung selama 1.300 tahun. Setelah
munculnya Islam, bangsa Arab dan Moor menyerbu barat dan utara,
dan baru berakhir di Tours pada 732. Dari abad ke-11 sampai ke-13
para prajurit Perang Salib berusaha keras membawa agama Kristen
dan kekuasaan Kristen ke Tanah Suci, dan berhasil untuk sementara.
Dari abad ke-14 sampai ke-17, Kekaisaran Turki Ottoman memba-
likkan keseimbangan tersebut, memperlebar jangkauan mereka sam-
pai ke Timur Tengah dan Balkan, merebut Istanbul, dan dua kali
mengepung VVina. Di abad ke-19 dan awai abad ke 20 ketika keku-
asaan Ottoman merosot, Inggris, Prancis, dan Italia mengukuhkan
kendali Barat atas hampir seluruh Afrika Utara dan Timur Tengah.
Setelah Perang Dunia II, Barat justru mulai mundur; kekaisaran

63
Samuel P. Huntington

k o l o n i a l h i l a n g ; n a s i o n a l i s m e Arab awal dan k e m u d i a n


fundamentalisme Islam muncul; Barat mulai sangat bergantung
pada negara-negara Teluk Persia untuk sumber energi; negara-
negara Muslim yang kaya minyak punya berlimpah uang, dan jika
mereka menghendaki, mereka pun punya berlimpah senjata. Bebe-
rapa perang terjadi antara negara-negara Arab dan Israel (yang
diciptakan oleh Barat). Prancis menggelar perang yang amat berda-
rah dan kejam di Aljazair sepanjang 1950-an; pasukan Inggris dan
Prancis melakukan invasi ke Mesir pada 1956; pasukan bersenjata
Amerika memasuki Libanon pada 1958; dan kembali lagi ke Libanon,
menyerang Libia, dan terlibat dalam berbagai pertempuran militer
dengan Iran; kaum teroris Arab dan Islam, didukung oleh setidaknya
tiga pemerintah Timur Tengah, menggunakan senjata kaum lemah,
meledakkan pesawat dan instalasi Barat, serta menyandera tawanan-
tawanan Barat. Perang antara Arab dan Barat ini memuncak pada
1990, ketika Amerika Serikat mengirimkan pasukan dalam jumlah
besar ke Teluk Persia untuk membantu mempertahankan beberapa
negara Arab dari agresi yang dilancarkan oleh negara tetangganya.
Setelah perang ini rencana NATO semakin diarahkan pada ancaman
potensial dan instabilitas di sepanjang "barisan selatan/'

Interaksi militer yang sudah berabad-abad antara Barat dan Is-


lam ini tidak memperlihatkan gejala melemah. Interaksi ini bahkan
semakin menegang. Perang Teluk menyisakan rasa bangga bagi
bangsa Arab karena Saddam Hussein menyerang Israel dan menan-
tang B a r a t Perang ini juga menyisakan rasa malu dan kesal atas
kehadiran dan dominasi militer Barat di Teluk Persia, serta atas ke-
tidakmampuan mereka yang amat mencolok untuk membentuk na-
sib mereka sendiri. Banyak negara Arab, karena posisinya sebagai
pengekspor minyak, telah mencapai tingkat perkembangan sosial
dan ekonomi di mana bentuk-bentuk pemerintahan otokratis menja-
di tidak relevan lagi dan usaha untuk memperkenalkan demokrasi
menjadi semakin kuat. Beberapa keterbukaan dalam sistem politik
Arab sudah dilakukan. Pihak yang paling diuntungkan dari keter-
bukaan ini adalah gerakan kaum fundamentalis. Singkatnya, di du-

64
Benturan Peradaban?

nia Arab demokrasi Barat justru memperkuat kekuatan politik anti-


Barat. Hal ini mungkin merupakan fenomena yang akan berlalu,
namun dapat dipastikan hal ini semakin memperumit hubungan
antara negara-negara Islam dan Barat.
Hubungan tersebut juga diperumit oleh demografi. Pertumbuhan
penduduk di negara-negara Arab yang mencengangkan, khususnya
di Afrika Utara, telah menyebabkan meningkatnya migrasi ke Eropa
Barat. Perpindahan orang di Eropa Barat yang mengarah kepada
makin minimalnya batas-batas internal telah memperuncing
kepekaan politik berkenaan dengan perkembangan ini. Di Italia,
Prancis, dan Jerman, rasisme semakin terbuka, dan reaksi politik
serta kekejaman terhadap migran Arab dan Turki semakin nyata
dan menyebar sejak 1990.
Di kedua sisi, interaksi antara Islam dan Barat dipandang sebagai
sebuah benturan peradaban. "Konfrontasi Barat berikutnya," ung-
kap M.J. Akbar, seorang penulis Muslim India, "dapat dipastikan
datang dari dunia Muslim. Dalam gerakan bangsa-bangsa Islam
mulai dari Maghribi hingga Pakistan inilah perjuangan untuk
tatanan dunia baru akan mulai." Bernard Lewis juga memiliki ke-
simpulan yang senada:

Kita m e n g h a d a p i s e b u a h s e n t i m e n d a n g e r a k a n y a n g t i n g k a t a n n y a
j a u h m e l e b i h i isu, k e b i j a k a n , serta p e m e r i n t a h a n y a n g m e b a y a n g i
m e r e k a . H a l ini tak lain a d a l a h b e n t u r a n p e r a d a b a n — s u a t u reaksi
y a n g m u n g k i n t i d a k - r a s i o n a l n a m u n h i s t o r i s dari s e o r a n g l a w a n
p u r b a t e r h a d a p w a r i s a n b u d a y a Y a h u d i - K r i s t e n kita, k e a d a a n
s e k u l a r kita, d a n e k s p a n s i k e d u a n y a . 2

Secara historis, hubungan antagonistik besar lain dalam peradaban


Arab Islam adalah dengan orang-orang hitam penyembah berhala,
animis, dan sekarang ini semakin banyak yang Kristen di wilayah

2Bernard Lewis, " T h e Roots of Muslim Rage," The Atlantic Monthly, vol. 266,
September 1990, hlm.60; 77me, 15 Juni 1992, hlm.24-28

65
Samuel P. Huntington

selatan. Di masa lalu, antagonisme ini dilambangkan dalam citra


Arab sebagai pedagang budak dan budak-budak kulit hitam. Hal
ini tercermin dalam perang saudara yang terjadi terus-menerus di
Sudan antara kaum Arab dan kaum berkulit hitam, pertempuran di
Chad antara pemerintah dan kaum pemberontak yang didukung
Libia, ketegangan yang terjadi antara kaum Kristen Ortodoks dan
Muslim di Tanduk Afrika, serta konflik-konflik politik, kerusuhan
yang terus terjadi, dan kekerasan komunal antara kaum Muslim dan
Kristen di Nigeria. Modernisasi Afrika dan penyebaran agama
Kristen sepertinya memperkuat kemungkinan terjadinya kekejaman
di sepanjang garis pemisah ini. Gejala dari peningkatan konflik ini
adalah khotbah Paus Paulus II di Khartoum, Februari 1993, yang
mengecam aksi-aksi yang dilakukan oleh pemerintah Islam Sudan
terhadap kaum minoritas Kristen di sana.
Di perbatasan utara Islam, konflik meledak antara kaum Ortodoks
dan Muslim, termasuk pembantaian Bosnia dan Sarajevo, kekejaman
yang membuncah antara Serbia dan Albania, hubungan yang reng-
gang antara orang Bulgaria dan minoritas Turki di sana, kekejaman
yang terjadi antara kaum Ossetia (kaum Arya di Kaukasia Tengah)
dan lngush (etnik di Rusia, satu puak dengan Chechnya), pemban-
taian yang tiada henti antara kaum Armenia dan Azeri, ketegangan
hubungan antara Rusia dan kaum Muslim di Asia Tengah, serta pe-
ngerahan pasukan Rusia dalam melindungi kepentingan-ke-
pentingan Rusia di Kaukasus dan Asia Tengah. Agama memperkuat
kebangkitan kembali identitas etnik dan merangsang kembali
ketakutan Rusia akan keamanan perbatasan-perbatasan selatannya.
Situasi ini ditangkap dengan sangat baik oleh Archie Roosevelt:

S e b a g i a n b e s a r s e j a r a h Rusia m e m p e r l i h a t k a n p e r t e n t a n g a n a n t a r a
k a u m Slavia d a n Turki di p e r b a t a s a n - p e r b a t a s a n m e r e k a , yang s u d a h
d i m u l a i sejak b e r d i r i n y a n e g a r a R u s i a lebih dari s e r i b u t a h u n lalu.
Di d a l a m konfrontasi k a u m Slavia y a n g s u d a h b e r u m u r seribu tahun
d e n g a n t e t a n g g a - t e t a n g g a m e r e k a d i b e l a h a n t i m u r ini t e r b e n t a n g
kunci u n t u k m e m a h a m i b u k a n saja sejarah R u s i a , tetapi juga karakter

66
Benturan Peradaban?

R u s i a . U n t u k m e m a h a m i r e a l i t a s R u s i a s e k a r a n g ini kita h a r u s
m e m p u n y a i k o n s e p t e n t a n g k e l o m p o k e t n i s Turki y a n g a g u n g y a n g
telah m e n j a j a h R u s i a s e l a m a b e r a b a d - a b a d . '

Konflik peradaban berakar sedemikian mendalam di wilayah lain


di Asia. Pertentangan historis antara Muslim dan Hindu di jazirah
India sekarang ini bukan hanya terlihat dalam persaingan antara
Pakistan dan India, tetapi juga dalam meningkatnya permusuhan
agama di dalam India sendiri antara kelompok-kelompok Hindu
yang semakin militan dan minoritas Muslim India. Penghancuran
Mesjid Ayodhya pada bulan Desember 1992 memicu munculnya isu
apakah India akan tetap merupakan negara demokratis sekular atau
menjadi negara Hindu. Di Asia Timur, Cina menghadapi perselisihan
teritori yang besar dengan hampir semua negara tetangganya. Hal
itu menimbulkan munculnya kebijakan yang kejam terhadap kaum
Buddha di Tibet, serta kebijakan yang semakin kejam terhadap kaum
minoritas Turki-Muslim. Dengan berakhirnya Perang Dingin, perbe-
daan mendasar antara Cina dan Amerika Serikat semakin nampak
dalam wilayah-wilayah seperti hak asasi manusia, perdagangan, dan
pertumbuhan persenjataan. Perbedaan-perbedaan ini sepertinya
sulit dilunakkan. Pada 1991 Deng Xaioping menegaskan bahwa "Pe-
rang Dingin baru" sedang berlangsung antara Cina dan Amerika.

Ungkapan yang sama juga diterapkan pada hubungan yang kian


sulit antara Jepang dan Amerika Serikat. Di sini perbedaan budaya
memperburuk konflik ekonomi. Masyarakat di masing-masing pi-
hak saling melontarkan rasisme, namun paling tidak di sisi Amerika
antipati ini bukan bersifat rasial melainkan kultural. Nilai-nilai dasar,
kebiasaan, pola perilaku dari kedua masyarakat ini sangat berbeda.
Isu-isu ekonomi antara Amerika Serikat dan Eropa tidak kurang se-
riusnya dibanding antara Amerika Serikat dan Jepang. Namun, isu
ekonomi antara Amerika dan Eropa ini tidak punya kepentingan
politik dan intensitas emosional yang sama dengan isu antara Ame-

y Archie Roosevelt, For Lust of Knowing, Boston: Little, Brown, 1988, him. 332-333.

67
Samuel P. Huntington

rika dan Jepang. Alasannya, perbedaan antara kultur Amerika dan


kultur Eropa tidak terlalu mencolok bila dibandingkan dengan
perbedaan antara peradaban Amerika dan Jepang.
Interaksi antara peradaban-peradaban sangat beragam dalam
tingkat di mana interaksi ini mungkin disertai kekerasan. Kompetisi
ekonomi sangat jelas mendominasi hubungan antara sub-peradaban
Barat Eropa dan Amerika, serta antara keduanya dengan Jepang.
Namun, di benua Eurasia, maraknya konflik etnik, yang di tingkat
ekstrem dilambangkan dengan "pembasmian etnis," tidak sepenuh-
nya acak. Hal ini paling sering dan paling brutal terjadi antara kelom-
pok-kelompok dari peradaban yang berbeda. Di Eurasia garis pemi-
sah antar-peradaban sekali lagi bergolak. Hal ini juga terjadi di se-
panjang perbatasan blok negara Islam bulan sabit dari semenanjung
Afrika sampai ke Asia tengah. Kekerasan juga terjadi antara kaum
Muslim di satu sisi, dan kaum Serbia Ortodoks di Balkan, Yahudi di
Israel, Hindu di India, Buddha di Burma, dan Katolik di Filipina.
Islam memiliki perbatasan-perbatasan yang berdarah.

P E N C E R A H A N P E R A D A B A N ! S I N D R O M NECAKA SATU PUAK

KELOMPOK-KELOMPOK ATAU NEGARA-NEGARAyang termasuk dalam


sebuah peradaban yang terlibat dalam peperangan dengan orang-
orang dari peradaban lain biasanya cenderung untuk menggalang
dukungan dari anggota lain dalam kelompok peradaban yang sama.
Ketika dunia p a s k a - P e r a n g Dingin b e r k e m b a n g , k e s a m a a n
peradaban, yang disebut oleh H.D.S. Greenway sebagai gejala "nega-
ra-satu puak", menggantikan ideologi politik dan tatanan perim-
bangan kekuatan lama sebagai prinsip dasar untuk melakukan kerja-
sama dan koalisi. Hal ini bisa dilihat muncul secara bertahap dalam
konflik-konflik yang terjadi paska-Perang Dingin di Teluk Persia,
Kaukasia, dan Bosnia. Tak satu pun dari konflik ini merupakan pe-
rang besar antara peradaban, tetapi setiap konflik telah melibatkan
beberapa elemen pengerahan peradaban, yang nampaknya semakin

68
Benturan Peradaban?

menjadi penting saat konflik tersebut berlanjut, dan hal ini mungkin
memberikan sebuah gambaran masa depan.
Pertama, dalam Perang Teluk sebuah negara Arab melakukan
invasi ke negara Arab yang lain, dan kemudian melawan sebuah
koalisi yang terdiri dari negara-negara Arab, Barat, dan negara-
negara lain. Meski hanya segelintir pemerintahan Muslim yang se-
cara terbuka mendukung Saddam Hussein, banyak kaum elite Arab
yang secara pribadi mendukungnya, dan Saddam menjadi sangat
populer di antara rakyat Arab. Gerakan fundamentalis Islam secara
universal mendukung Irak ketimbang pemerintah Kuwait dan Saudi
Arabia yang didukung Barat. Dengan bersumpah demi nasionalisme
Arab, Saddam Hussein secara eksplisit menggunakan daya-tarik
Islam. Ia dan para pendukungnya cenderung mendefinisikan perang
itu sebagai perang antar peradaban. "Bukan dunia melawan Irak,"
ujar Safar Al-Hawali, dekan Kajian Islam di Universitas Umm Al-
Qura, Mekah, yang beredar dalam bentuk rekaman. "Perang ini ada-
lah perang Barat melawan Islam." Dengan mengabaikan rivalitas
antara Iran dan Irak, pemimpin agama di Iran, Ayatollah Ali
Khamenei, menyerukan perang suci melawan Barat: "peperangan
melawan agresi, ketamakan, rencana, dan kebijakan Amerika diang-
gap jihad, dan siapa pun yang terbunuh dalam perang tersebut ada-
lah syuhada." "Ini adalah perang," kata Raja Hussein dari Jordania,
"terhadap semua bangsa Arab dan kaum Muslim, dan bukan ter-
hadap Irak semata,"

Pengerahan dukungan dari kelompok elite dan publik Arab


dalam jumlah yang tidak sedikit bagi Saddam Hussein menyebabkan
pemerintah-pemerintah Arab dalam koalisi anti-Irak melunakkan
aktivitas serta p e r n y a t a a n terbuka mereka. Pemerintah-pemerintah
Arab menentang atau menjauhkan diri mereka dari usaha lanjutan
Barat untuk menerapkan tekanan atas Irak, termasuk pemberlakuan
zona larangan terbang di musim panas 1992 dan pengeboman Irak
pada bulan Januari 1993. Koalisi Barat-Soviet-Turki-Arab yanganti-
Irak pada 1990 telah menjadi semata koalisi Barat dan Kuwait
melawan Irak pada 1993.

69
Samuel P. Huntington

Kaum Muslim mengontraskan tindakan-tindakan Barat melawan


Irak dengan kegagalan Barat untuk melindungi kaum Bosnia dari
Serbia dan untuk memberlakukan sanksi terhadap Israel yang telah
melanggar resolusi PBB. Mereka menganggap Barat menggunakan
standar ganda. Namun, sebuah dunia pertikaian-peradaban bagaima-
napun juga merupakan sebuah dunia dengan standar ganda: manusia
menerapkan suatu standar pada negara-negara yang masih satu puak
dan menerapkan standar yang berbeda pada negara-negara lain.
Kedua, gejala negara satu puak juga muncul dalam konflik yang
terjadi di bekas Uni Soviet. Keberhasilan militer Armenia pada 1992
dan 1993 telah mendorong Turki untuk makin mendukung Azer-
baijan yang punya kemiripan agama, etnis, dan linguistik. "Bangsa
Turki mempunyai sentimen yang sama seperti bangsa Azerbaijan,"
kata salah seorang pejabat Turki pada 1992. "Kami di bawah tekanan.
Surat kabar kami penuh dengan foto-foto pembantaian dan mereka
bertanya apakah kami masih sungguh-sungguh mau menjalankan
kebijakan netral kami. Mungkin kami perlu menunjukkan kepada
Armenia bahwa ada Turki yang besar di wilayah ini." Presiden
TurgutÖzal menyetujuinya, dan mengatakan bahwa setidaknya Tur-
ki harus "sedikit menakut-nakuti Armenia." Turki, ancam Özal lagi
di 1993, akan "menunjukkan taringnya." Jet-jet Angkatan Udara Tur-
ki melakukan pengintaian di sepanjang perbatasan Armenia; Turki
menghalangi pengiriman bahan makanan dan penerbangan ke Ar-
menia; dan Turki bersama Iran mengumumkan bahwa mereka tidak
akan menerima pe-mecahan Azerbaijan. Di tahun-tahun terakhir ke-
beradaannya, pemerintah Uni Soviet mendukung Azerbaijan karena
pemerin-tahannya didominasi oleh bekas orang-orang komunis.
Namun, dengan berakhirnya Uni Soviet, pertimbangan politik telah
beralih ke pertimbangan-pertimbangan keagamaan. Tentara Rusia
berperang demi Armenia, dan Azerbaijan menuduh "pemerintah
Rusia berbalik 180 derajat" untuk mendukung kaum Kristen Armenia.

Ketiga, dalam hal peperangan yang terjadi di bekas Yugoslavia,


publik Barat menunjukkan simpati dan dukungan bagi kaum Mus-
lim Bosnia dan kengerian yang mereka derita di bawah tekanan

70
Benturan Peradaban?

Serbia, Tetapi, tidak banyak perhatian yang ditunjukkan atas se-


rangan Kroasia terhadap kaum Muslim dan partisipasinya dalam
perpecahan Bosnia-Herzegovina. Di tahap-tahap awal pecahnya
Yugoslavia, Jerman, dalam suatu pendekatan diplomatik yang tak
lazim dan sedikit berbau gertakan, membujuk 11 anggota Masya-
rakat Eropa lainnya untuk mengikuti jejaknya dalam mengakui Slo-
venia dan Kroasia. Akibat determinasi Paus agar dua negara Katolik
ini mendapatkan dukungan yang kuat, Vatikan memberikan
pengakuan bahkan sebelum Masyarakat Eropa melakukannya. Ame-
rika Serikat mengikuti jejak Eropa. Jadi pemain-pemain utama dalam
peradaban Barat bersatu di belakang rekan-rekan seagama mereka.
Setelah itu, menurut laporan Kroasia menerima sejumlah besar ten-
tara dari Eropa Tengah dan negara-negara Barat lainnya. Pemerintah
Boris Yeltsin, di lain pihak, berusaha meraih jalan tengah yang
mengundang simpati kaum Ortodoks Serbia tanpa menjauhkan Ru-
sia dari Barat. Meskipun begitu, kelompok konservatif dan nasionalis
Rusia, termasuk para anggota parlemen, menyerang pemerintah
karena tidak mau terus terang dalam memberi dukungan kepada
Serbia. Di awal 1993, beberapa ratus orang Rusia tampak jelas berdi-
nas di bawah angkatan bersenjata Serbia, dan laporan menyatakan
adanya pasokan Rusia ke Serbia.

Di lain pihak, pemerintah dan kelompok-kelompok Islam meng-


ritik Barat karena tidak tampil melindungi rakyat Bosnia. Para pe-
mimpin Iran mendesak kaum Muslim dari seluruh negara untuk
menyiapkan bantuan bagi Bosnia; dengan melanggar embargo
senjata PBB r Iran memasok senjata dan pasukan bagi Bosnia; kelom-
pok-kelompok Libanon yang didukung Iran mengirimkan pasukan
gerilya untuk melatih dan mengorganisir pasukan Bosnia. Menurut
laporan, pada 1993 terdapat kira-kira 4.000 Muslim dari puluhan
negara Islam yang bertempur di Bosnia. Pemerintah Arab Saudi dan
negara-negara lain merasakan tekanan yang besar dari kelompok
fundamentalis di negara mereka masing-masing untuk memberikan
dukungan yang lebih besar kepada rakyat Bosnia. Menurut laporan,
pada akhir 1992 Arab Saudi Arabia memasok dana yang cukup besar

71
Samuel P. Huntington

untuk persenjataan dan bahan makanan kepada Bosnia, yang secara


signifikan meningkatkan k e m a m p u a n militer mereka dalam
menghadapi Serbia.
Pada 1930-an, Perang Saudara Spanyol mengundang intervensi
negara-negara yang secara politis adalah fasis, komunis, dan demo-
kratis. Pada 1990-an, konflik yang terjadi di Yugoslavia mengundang
intervensi dari negara-negara Muslim, Ortodoks, dan Kristen Barat.
Kesamaan ini perlu diperhatikan. "Perang di Bosnia-Herzegovina
secara emosional sepadan dengan pertempuran melawan fasisme
dalam Perang Saudara Spanyol/' demikian menurut pengamatan
salah seorang redaktur di Saudi. "Mereka yang mati dalam perang
itu dianggap sebagai syuhada yang mencoba menyelamatkan rekan
Muslim mereka/'
Konflik dan kekerasan juga terjadi antara negara-negara dan
kelompok-kelompok dalam peradaban yang sama. Namun, konflik
semacam ini sepertinya tidak terlalu mendalam dan tidak meluas
dibanding konflik antara dua peradaban. Keanggotaan bersama
dalam sebuah peradaban mengurangi kemungkinan kekerasan
dalam situasi-situasi di mana kekerasan tersebut mungkin terjadi.
Pada 1992 dan 1993, banyak orang khawatir akan kemungkinan
timbulnya konflik keras antara Rusia dan Ukraina dalam mem-
perebutkan wilayah, khususnya Crimea, armada Laut Hitam, per-
senjataan nuklir dan isu-isu ekonomi. Namun, jika kita memper-
timbangkan peradaban, kecil kemungkinan terjadinya kekerasan
antara Ukraina dan Rusia. Mereka adalah dua bangsa Slavik, dan
pada dasarnya masyarakat Ortodoks yang telah memiliki hubungan
erat satu sama lain selama berabad-abad. Pada awal 1993, terlepas
dari semua alasan yang dapat memicu konflik, para pemimpin
kedua negara merundingkan dan meredam berbagai persoalan yang
muncul antara kedua negara. Hampir tidak ada kekerasan yang
terjadi antara penduduk Rusia dan Ukraina, meski di tempat lain di
bekas Uni Soviet terjadi pertempuran yang serius antara kaum
Muslim dan Kristen, dan banyak ketegangan dan pertempuran
antara kaum Barat dan Kristen Ortodoks di negara-negara Baltik.

72
Benturan Peradaban?

Pengerahan dukungan berdasarkan peradaban sampai sekarang


ini masih terbatas, namun hal ini semakin berkembang, dan jelas
memiliki potensi untuk menyebar lebih luas lagi. Seperti konflik-
konflik yang terjadi di Teluk Persia, konflik antara kaum Kaukasia
dan Bosnia masih terus berlanjut, posisi bangsa-bangsa dan
perpecahan di antara mereka semakin nampak berkisar di jalur
peradaban. Para politisi populis, pemimpin agama, dan media meng-
anggapnya sebagai alat yang potensial untuk meningkatkan
dukungan massa dan menekan pemerintah yang ragu-ragu. Di
tahun-tahun mendatang, konflik lokal yang paling mungkin me-
ningkat menjadi perang besar adalah konflik-konflik, seperti halnya
di Bosnia dan Kaukasia, yang terjadi di sepanjang garis pemisah
antar-peradaban. Perang dunia berikutnya, bila ada, adalah perang
antara peradaban.

DARAT M E L A W A N Y A N G L A I N N Y A

DIBANDINGKAN DENGAN peradaban-peradaban lain, Barat sekarang ini


sedang berada di puncak kejayaannya. Lawan adidayanya telah le-
nyap dari peta dunia. Konflik militer antara negara-negara Barat
tak-terpikirkan, dan kekuasaan militer Barat tak tertandingi. Selain
Jepang, Barat tidak menghadapi tantangan ekonomi. Barat mendo-
minasi lembaga politik dan keamanan internasional, dan bersama
Jepang mendominasi lembaga ekonomi internasional. Persoalan-
persoalan politik dan keamanan global diselesaikan dengan efektif
oleh sebuah direktorat yang dibentuk oleh Amerika Serikat, Inggris,
dan Prancis, persoalan-persoalan ekonomi dunia oleh direktorat
Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang, yang semuanya saling menjaga
hubungan erat satu sama lain dan mengesampingkan negara-negara
non-Barat lain yang lebih kecil. Keputusan-keputusan yang dibuat
di Dewan Keamanan PBB atau IMF yang mencerminkan kepenting-
an Barat disajikan kepada dunia sebagai keputusan-keputusan yang
mencerminkan kepentingan masyarakat dunia. Ungkapan "masya-

73
Samuel P. Huntington

rakat dunia" telah menjadi kata benda kolektif yang eufemistik


(menggantikan "Dunia Bebas") untuk memberikan legitimasi glo-
bal bagi tindakan-tindakan yang mencerminkan kepentingan Ame-
rika Serikat dan negara Barat lainnya. 4 Melalui IMF dan institusi
ekonomi internasional lainnya, Barat mempromosikan kepentingan
ekonominya dan memaksakan kebijakan ekonominya vang diang-
gapnya tepat. Dalam setiap jajak pendapat yang digelar di masya-
rakat non-Barat, dapat dipastikan IMF akan meraih dukungan dari
para menteri keuangan dan beberapa orang lainnya, namun meme-
roleh nilai yang kurang baik dari hampir semua masyarakat, yang
lebih setuju dengan karakterisasi Georgy Arbatov yang menyebut para
petinggi IMF sebagai "kaum neo-Bolshevik yang suka mengambil alih
uang orang lain, memaksakan peraturan ekonomi dan panduan politik
yang asing dan tidak demokratis, serta mencekik kebebasan ekonomi."
Dominasi Barat di Dewan Keamanan PBB dan keputusan-kepu-
tusannya, yang hanya dilunakkan sesekali oleh Cina yang abstain,
menghasilkan legitimasi PBB bagi Barat untuk menggunakan
kekuatan untuk mengusir Irak dari Kuwait dan menyingkirkan
senjata canggih Irak serta kapasitasya untuk memproduksi senjata-
senjata semacam ini. Dominasi ini juga membuat Amerika Serikat,
Inggris, dan Prancis mengambil langkah yang sama sekali tak ada
presedennya dalam menggiring Dewan Keamanan mengeluarkan
perintah agar Libia menyerahkan para tersangka peledakan Pan Am
103 dan memaksakan sanksi bila Libia menolak. Setelah menga-
lahkan militer Arab terbesar. Barat tidak ragu-ragu menekan dunia
Arab. Barat memanfaatkan lembaga, kekuatan militer, dan sumber daya
ekonomi internasional untuk mengendalikan dunia dengan cara-cara
yang dapat mempertahankan dominasi Barat, melindungi kepentingan

4 H a m p i r semua pemimpin Barat mengklaim mereka bertindak mewakili


"masyarakat d u n i a / ' Sebuah kecelakaan kecil terjadi menjelang berlangsungnya
Perang Teluk. Dalam sebuah wawancara di program " Good Morning America"
pada tanggal 21 Desember 1990, Perdana Menteri Inggris John Major menyebut
tindakan " B a r a t " yang diambil terhadap Saddam Hussein, la seketika meralat dan
menyebut "masyarakat dunia." Namun, ia justru benar ketika sedang selip lidah.

74
Benturan Peradaban?

Barat, dan mempromosikan nilai-nilai politik dan ekonomi Barat.


Setidaknya itulah cara masyarakat non-Barat melihat dunia baru,
dan terdapat elemen kebenaran yang signifikan dalam pandangan
mereka. Perbedaan kekuasaan dan persaingan untuk mendapatkan
kekuasaan militer, ekonomi, dan kelembagaan dengan demikian
merupakan satu sumber konflik antara Barat dan peradaban lainnya.
Perbedaan budaya, yakni nilai-nilai dan keyakinan dasar, adalah
sumber konflik yang kedua. V.S. Naipaul membantah bahwa per-
adaban Barat adalah "peradaban universal" yang "cocok bagi siapa
saja." Di tingkat permukaan, banyak budaya Barat yang memang
telah membanjiri dunia. Namun, di tingkat yang lebih mendasar,
konsep Barat berbeda secara mendasar dari konsep-konsep yang
berlaku di peradaban lain. Ide-ide Barat tentang individualisme, hak
asasi, kesetaraan, kemerdekaan, aturan hukum, demokrasi, pasar
bebas, pemisahan gereja dan negara, acapkali tak bergaung dalam
budaya Islam, K o n g h u c u , Jepang, Hindu, Buddha, ataupun
Ortodoks. Usaha-usaha yang dilakukan Barat untuk menyebarkan
ide-ide tersebut justru menghasilkan reaksi menentang "impe-
rialisme hak asasi manusia" dan peneguhan kembali nilai-nilai lokal,
seperti yang dapat dilihat dalam dukungan bagi fundamentalisme
religius oleh generasi muda dalam budaya-budaya non-Barat.
Gagasan bahwa mungkin ada "peradaban universal" adalah gagasan
Barat, dan secara langsung bertentangan dengan partikularisme dari
sebagian besar masyarakat Asia dan penekanan mereka pada apa
yang membedakan satu masyarakat dari masyarakat lainnya. Tak
pelak, penulis kajian 100 studi-banding nilai-nilai di masyarakat
yang berbeda menyimpulkan bahwa "nilai-nilai yang paling penting
di Barat tidaklah terlalu penting di penjuru dunia lainnya." 5 Tentu
saja dalam wilayah politik perbedaan-perbedaan ini terwujud dalam
usaha Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya dalam mem-

1Harry C. Triandis, The New York Times, 25 Des. 1990, him. 41, dan " C r o s s -
Cultural Studies o f Individualism and Collectivism," Nebraska S y m p o s i u m on
Motivation, vol. 3 7 , 1 9 8 9 , him. 41-133.

75
Samuel P. Huntington

bujuk masyarakat lain untuk mengadopsi ide-ide Barat tentang de-


mokrasi dan hak asasi. Pemerintahan demokratis modern berasal
dari Barat. Ketika berkembang di masyarakat non-Barat, hal ini bia-
sanya merupakan produk dari kolonialisme atau pemaksaan Barat.
Poros utama politik dunia di masa depan sepertinya, dalam istilah
yang dikemukakan oleh Kishore Mahbubani, adalah konflik vang
terjadi antara "Barat dan yang Lainnya", serta perlawanan dari pera-
daban non-Barat terhadap kekuasaan dan nilai-nilai Barat. 6 Respon
tersebut secara umum mengambil satu bentuk atau kombinasi
kombinasi dari tiga bentuk. Di satu ekstrem, negara-negara non-
Barat, seperti Burma dan Korea Utara, dapat berusaha melakukan
isolasi, untuk melindungi masyarakat mereka dari penetrasi atau
"korupsi" yang dilakukan Barat, dan dengan demikian memilih
keluar dari partisipasi dalam komunitas global yang didominasi
Barat. Tentu saja, harga yang harus dibayar tinggi sekali, dan bebe-
rapa negara telah mengalaminya. Alternatif kedua, setara dengan
"pendomplengan" dalam teori hubungan internasional, adalah
berupaya bergabung dengan Barat dan menerima nilai-nilai serta
lembaga-lembaganya. Alternatif ketiga adalah berusaha "menyeim-
bangkan" Barat dengan cara mengembangkan kekuasaan ekonomi
dan militer serta bekerja sama dengan masyarakat non-Barat lainnya
melawan Barat, dan pada saat yang sama mempertahankan nilai-
nilai dan institusi lokal; singkatnya, menjadi modern tanpa harus
menjadi kebarat-baratan.

N E G A R A - N E G A R A YANG TERCABIK

Di M A S A M E N D A T A N G ketika manusia membedakan dirinya melalui


peradaban, negara-negara besar dengan penduduk dari peradaban
yang berbeda-beda seperti Uni Soviet dan Yugoslavia, merupakan

' Kishore Mahbubani, " T h e West and the Rest," The National
f Interest, Musim Panas
1992, him. 3-13.

76
Benturan Peradaban?

calon kuat untuk terpecah-belah. Beberapa negara lain memiliki


tingkat homogenitas budaya yang cukup baik tetapi terbelah
berdasarkan apakah masyarakat mereka merupakan bagian dari satu
peradaban atau peradaban lain. Ini adalah contoh dari negara-negara
yang terpecah-belah. Para pemimpin mereka biasanya ingin
menjalankan strategi pendomplengan dan menjadikan negeri
mereka bagian dari Barat, tetapi sejarah, budaya, dan tradisi negeri
mereka adalah non-Barat. Contoh paling jelas dan mudah dilihat
dari negeri yang terbelah adalah Turki. Para pemimpin Turki di akhir
abad ke-20 memilih untuk m e n g i k u t i tradisi Attratiirk dan
mendefinisikan Turki sebagai negara-bangsa yang modem, sekular,
dan Barat. Mereka menyekutukan Turki dengan Barat melalui NATO
dan Perang Teluk; mereka mendaftarkan diri menjadi anggota
Masyarakat Eropa. Namun, pada saat yang sama, berbagai unsur
dalam masyarakat Turki mendukung kebangkitan Islam dan
menyatakan bahwa Turki pada dasarnya adalah masyarakat Timur
Tengah. Selain itu, meski para elite Turki mendefinisikan Turki
sebagai bagian dari masyarakat Barat, kaum elite Barat menolak
menerima Turki sebagai bagian dari mereka. Turki tidak akan men-
jadi anggota Masyarakat Eropa, dan alasan yang sesungguhnya ada-
lah, seperti yang disampaikan oleh Presiden Özal, "karena kami
Muslim dan mereka Kristen dan mereka tidak mau mengakuinya/'
Setelah menolak Mekkah, lalu ditolak Brussel, di manakah posisi
Turki? Tashkent mungkin adalah jawabannya. Bubarnya Uni Soviet
membuka peluang bagi Turki untuk menjadi pemimpin peradaban
Turki yang bangkit kembali yang mcncakup tujuh negara dari perba-
tasan Yunani sampai perbatasan Cina. Dengan dukungan Barat, Tur-
ki melakukan usaha yang gencar untuk meraih identitas barunya ini.

Selama satu dekade terakhir Meksiko telah mengambil posisi


yang kira-kira sama dengan Turki. Seperti halnya Turki yang me-
ninggalkan pertentangan historisnya dengan Eropa dan berusaha
bergabung dengan Eropa, Meksiko berhenti menegaskan posisi
oposisinya terhadap Amerika Serikat dan malah berusaha meniru
Amerika Serikat dan bergabung dengannya dalam Area Perda-

77
Samuel P. Huntington

gangan Bebas Amerika Utara. Para pemimpin Meksiko terlibat da-


lam tugas besar mendefinisikan ulang identitas Meksiko dan mem-
perkenalkan reformasi mendasar di bidang ekonomi yang pada
akhirnya akan mengarah pada perubahan mendasar di bidang poli-
tik. Pada 1991, seorang penasihat utama Presiden Carlos Salinas de
Gortari menggambarkan secara panjang lebar pada saya semua
perubahan yang dibuat oleh pemerintahan Salinas. Ketika ia selesai,
saya memberi komentar: "Semua itu sangat mengesankan. Nampak
bagi saya bahwa pada dasarnya Anda ingin mengubah Meksiko dari
sebuah negeri Amerika Latin menjadi negeri Amerika Utara." Ia me-
natap saya dengan terkejut dan berseru: "Benar! Itulah yang akan
kami lakukan, tetapi tentu saja kami tak dapat mengatakannya secara
terbuka." Seperti yang diandaikan oleh ucapannya, di Meksiko, seba-
gaimana di Turki, unsur-unsur penting dalam masyarakat menen-
tang upaya pendefinisian kembali identitas negeri mereka. Di Turki,
para pemimpin yang berorientasi Eropa wajib melakukan langkah-
langkah yang berbau Islam (perjalanan naik haji Özal ke Mekkah);
begitu pula dengan para pemimpin Meksiko yang berorientasi Ame-
rika Utara harus melakukan pendekatan kepada mereka-mereka
yang berkeras menganggap Meksiko adalah sebuah negeri Amerika
Latin, (pertemuan puncak Ibero-Amerika Guadalajara yang dilaku-
kan Salinas).

Secara historis Turki adalah negeri yang paling tercabik. Bagi


Amerika Serikat, Meksiko adalah negeri yang segera tercabik. Secara
global, negeri terpenting yang tercabik-cabik adalah Rusia.
Pertanyaan apakah Rusia merupakan bagian dari Barat atau
pemimpin peradaban Slavik-Ortodoks yang berbeda merupakan
masalah yang terus-menerus muncul dalam sejarah Rusia. Persoalan
tersebut dikaburkan oleh kemenangan komunis di Rusia, yang
mengimpor ideologi Barat, mengadaptasikannya dengan kondisi
Rusia dan kemudian menantang Barat atas nama ideologi tersebut.
Dominasi komunisme menutup perdebatan sejarah tetang Western-
isasi vs. Rusifikasi. Dengan tidak dipercayainya lagi komunisme,
rakyat Rusia sekali lagi menghadapi pertanyaan tersebut.

78
Benturan Peradaban?

Presiden Yeltsin mengadopsi prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan


Barat, serta berusaha untuk membuat Rusia menjadi negeri yang
"normal" dan bagian dari Barat. Namun baik kaum elite maupun
masyarakat Rusia terpecah menyangkut persoalan ini. Di antara para
pembelot yang lebih moderat adalah Sergei Stankevich, yang
menyetakan bahwa Rusia seharusnya menolak jalur "Atlantisis",
yang akan membawanya "menjadi Eropa, menjadi bagian dari
ekonomi dunia yang tumbuh dengan cepat dan rapi, serta menjadi
anggota kedelapan dari Tujuh (besar negara dunia), dan memberi
bobot khusus pada Jerman dan Amerika Serikat sebagai dua anggota
dominan dari aliansi Atlantik." Meski menolak kebijakan Eurasia
yang eksklusif, Stankevich juga menyatakan bahwa Rusia harus
memberi prioritas pada perlindungan orang Rusia di negara-negara
lain, menegaskan kaitan Turkis dan Muslimnya, serta mempro-
mosikan "distribusi ulang sumber daya kita yang berharga, pilihan
kita, ikatan kita, dan kepentingan kita yang berpihak pada Asia,
pada kubu timur." Orang-orang yang mempunyai keyakinan seperti
ini mengkritik Yeltsin karena menomorduakan kepentingan Rusia
di bawah Barat, mengurangi kekuatan militer, gagal mendukung
sahabat-sahabat tradisionalnya seperti Serbia, dan telah memak-
sakan reformasi politik dan ekonomi dengan cara-cara yang memba-
hayakan rakyat Rusia. Indikasi dari kecenderungan seperti ini adalah
populernya gagasan-gagasan Petr Savitsky, yang pada 1920-an
menyatakan bahwa Rusia adalah peradaban Eurasia yang unik/
Pandangan-pandangan anti-Barat dan anti-Semit mendorong Rusia
u n t u k m e n g e m b a n g k a n kembali k e k u a t a n militernya serta
membangun hubungan yang lebih dekat dengan Cina dan negara-
negara Muslim. Masyarakat Rusia juga terpecah seperti kaum
elitenya. Sebuah jajak pendapat di Rusia bagian Eropa yang dila-
kukan pada musim semi 1992 mengungkapkan bahwa 40 persen

7 Sergei Stankevich, "Russia in Search of Itself/' The National Interest, Musim


Panas 1992, him. 47-51; Daniel Schneider, "A Russian Movement Rejects Western
Tilt," Christian Science Monitor, 5 Februari 1993, him. 5-7

79
Samuel P. Huntington

penduduk menyambut Barat dengan positif, dan 36 persen menyam-


but negatif. Seperti dalam sebagian besar sejarahnya, Rusia di awal
1990-an adalah sebuah negeri yang terpecah-belah.
Untuk mendefinisikan ulang identitas peradabannya, sebuah
negara yang terbelah harus dapat memenuhi tiga syarat. Pertama,
kaum elite politik dan ekonominya secara umum harus mendukung
dan antusias terhadap gerakan ini. Kedua, publiknya harus mau
menyatakan persetujuan mutlak mereka dalam upaya definisi ulang
tersebut. Ketiga, kelompok-kelompok dominan dalam peradaban
yang sedang mendefinisikan ulang dirinya wajib menerima peru-
bahan tersebut. Ketiga persyaratan tersebut dalam banyak hal ter-
dapat di Meksiko. Dua persyaratan awal ada di Turki. Belum terlalu
kelihatan apakah persyaratan-persyaratan ini ada di Rusia yang
menggabungkan diri dengan Barat. Terlepas dari perbedaan-per-
bedaan besarnya, konflik yang terjadi antara demokrasi liberal dan
Marxisme-Leninisme adalah konflik antara ideologi yang sebenar-
nya mempunyai tujuan sama: kebebasan, kesetaraan, dan kesejah-
teraan. Namun, seorang Rusia yang tradisional, otoriter, dan nasio-
nalis bisa saja memiliki tujuan yang berbeda. Seorang Barat yang
demokrat bisa saja melontarkan debat intelektual dengan seorang
Marxis Soviet. Hal ini nampaknya mustahil dilakukan dengan orang
Rusia tradisionalis. Ketika orang Rusia berhenti bersikap seperti Marxis,
dan jika mereka menolak demokrasi liberal dan mulai bersikap seperti
orang Rusia dan bukannya seperti orang Barat, hubungan antara Rusia
dan Barat mungkin akan menjauh kembali dan penuh konflik?

" S e p e r t i ditunjukkan Owen Harries, Australia sebaliknya malah mencoba


(secara tidak bijak menurut pandangannya) untuk menjadi negara yang terpecah-
belah. Walaupun Australia bukan saja sudah menjadi anggota penuh di Barat,
melainkan juga di militer ABCA dan anggota inti intelijen Barat, para pemimpinnya
sekarang ini sedang terlanda pengaruh untuk menyeberang dari Barat, mendefinisi
ulang dirinya sebagai bagian dari negara Asia dan mengusahakan hubungan yang
e r a t d e n g a n para t e t a n g g a n y a . M a s a d e p a n A u s t r a l i a , m e n u r u t m e r e k a ,
berkembang bersama ekonomi Asia Timur. Tetapi, seperti yang telah saya usulkan,
kerja sama ekonomi yang erat biasanya membutuhkan sebuah basis kesamaan

80
Benturan Peradaban?

KAITAN KONGHUCU-LSLAM

negara-negara non-Barat untuk bergabung dengan


H A M B A T A N BAGI

Barat sangat beragam. Hambatan paling kecil terdapat di negeri-


negeri Amerika Latin dan Eropa Timur Hambatan tersebut lebih
besar di negeri-negeri Ortodoks bekas Uni Soviet. Lebih besar lagi
pada masyarakat Muslim, Konghucu, Hindu, dan Buddha. Jepang
telah mengembangkan posisi yang unik sebagai anggota asosiasi
Barat: ia ada di Barat dalam sebagian hal, tetapi sudah jelas bukan
Barat dalam dimensi yang lebih penting. Negeri-negeri yang karena
alasan budaya dan kekuasaan tidak ingin, atau tidak bisa, bergabung
dengan Barat, bersaing dengan Barat dengan mengembangkan
ekonomi, militer, dan kekuasaan politik mereka. Mereka melakukan
hal ini dengan memajukan perkembangan internal mereka dan
melalui kerja sama dengan negeri-negeri non-Barat lainnya. Bentuk
yang paling mencolok dari kerjasama ini adalah hubungan Kong-
hucu-Islam yang muncul untuk menghadang kepentingan, nilai, dan
kekuasaan Barat.
Hampir tanpa perkecualian, negara-negara Barat mengurangi ke-
kuatan militer mereka; termasuk Rusia di bawah kepemimpinan
Yeltsin. Namun, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara Timur Te-
ngah, malah secara signifikan meningkatkan kemampuan militer
mereka. Mereka melakukan ini dengan cara mengimpor persenja-
taan dari Barat dan sumber-sumber non-Barat, serta dengan me-
ngembangkan industri persenjataan lokal. Salah satu hasilnya adalah
munculnya apa yang oleh Charles Krauthammer disebut sebagai
"Negara Senjata/' dan negara-negara senjata ini bukanlah negara
Barat. Hasil lainnya adalah pendefinisian ulang pengawasan per-
senjataan, yang merupakan konsep Barat dan tujuan Barat. Selama
Perang Dingin tujuan utama pengawasan persenjataan adalah untuk

budaya. Selain itu, tidak ada dari ketiga persyaratan yang digunakan oleh negara
yang tercabik untuk bergabung dengan peradaban lain yang dapat diberlakukan
pada kasus Australia.

81
Samuel P. Huntington

membangun keseimbangan militer antara Amerika Serikat beserta


negara sekutunya dengan Uni Soviet beserta sekutunya. Dalam masa
paska-Perang Dingin tujuan utama dari pengawasan persenjataan
adalah untuk mencegah pengembangan kemampuan militer
masyarakat non-Barat yang dapat mengancam kepentingan Barat.
Barat berusaha keras melakukan hal ini melalui perjanjian interna-
sional, tekanan ekonomi, dan pengawasan atas pengiriman senjata
serta teknologi persenjataan.
Konflik antara Barat dan negara-negara Konghucu-Islam sebagian
besar berfokus, meski tidak eksklusif, pada senjata nuklir, kimia,
biologi, peluru kendali balistik, dan peralatan canggih lain untuk
meluncurkan senjata-senjara itu, serta arahan, intelijen, dan kemam-
puan peralatan elektronik lain untuk mencapai tujuan itu. Barat
mempromosikan pelucutan senjata sebagai norma universal, dan
traktat pemusnahan dan inspeksi digunakan sebagai alat untuk me-
realisisasi norma tersebut. Barat juga mengancam dengan sejumlah
sanksi bagi siapa saja yang hendak menyebarluaskan persenjataan
canggih dan memberikan berbagai keuntungan bagi siapa saja yang
tidak melakukannya. Dapat dipastikan, perhatian Barat terfokus pa-
da bangsa-bangsa yang pada dasarnya atau kemungkinan besar
memusuhi Barat.
Bangsa-bangsa non-Barat, di sisi lain, menegaskan hak mereka
untuk memperoleh dan menyebarkan persenjataan apa pun yang
mereka pandang penting bagi keamanan mereka. Mereka juga telah
menyerap sepenuhnya kebenaran yang dikemukakan menteri perta-
hanan India ketika ditanya pelajaran apa yang ia dapatkan dari
Perang Teluk: "Jangan melawan Amerika Serikat kecuali bila Anda
punya senjata nuklir." Senjata nuklir, senjata kimia, dan peluru
kendali dilihat, mungkin secara keliru, sebagai potensi penyeimbang
terhadap superioritas kekuatan Barat. Cina, tak diragukan, mempu-
nyai senjata nuklir; Pakistan dan India telah memiliki kemampuan
untuk menyebarkannya. Korea Utara, Iran, Irak, Libia dan Aljazair
muncul sebagai negara-negara yang memiliki keinginan yang sama.
Seorang pemimpin tingkat tinggi Iran menyatakan bahwa semua

82
Benturan Peradaban?

negara Muslim wajib memiliki senjata nuklir, dan pada 198S presiden
Iran menurut laporan telah menyerukan pengembangan "persen-
jataan kimia, biologi, dan radiologi yang kuat dan canggih."
Apa yang paling penting menyangkut pengembangan kemam-
puan militer penentang-Barat adalah perluasan terus menerus
kekuatan militer Cina dan sarana yang digunakanya untuk mencip-
takan kekuatan militer. Didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang
spektakuler, Cina secara pesat meningkatkan anggaran militernya
dan secara besar-besaran memodernkan angkatan bersenjatanya.
Cina membeli senjata dari negara-negara bekas Uni Soviet; mengem-
bangkan peluru kendali jarak jauh; dan di 1992 melakukan uji coba
peralatan nuklir seberat satu megaton. Ia juga mengembangkan ke-
mampuan senjata sinar, menjajaki teknologi pengisian bahan bakar
di udara, serta mencoba membeli armada angkatan udara. Pengem-
bangan militer dan penegasanya atas kedaulatan Laut Cina Selatan
mcmancing perlombaan persenjataan negara-negara di kawasan
Asia Timur. Cina juga merupakan eksportir utama senjata dan tekno-
logi persenjataan. Cina telah mengekspor pelbagai bahan baku ke
Libia dan Irak yang dapat digunakan untuk menciptakan senjata
nuklir serta gas saraf yang mematikan. Cina juga membantu Aljazair
membangun reaktor yang dapat digunakan untuk melakukan pene-
litian serta memproduksi senjata nuklir. Cina menjual teknologi
nuklir pada Iran yang menurut petinggi Amerika tak bisa tidak pasti
akan digunakan untuk membuat senjata, dan tampaknya Cina telah
mengirimkan komponen peluru kendali berdaya jelajah 300 mil ke
Pakistan. Korea Utara diam-diam telah memiliki program senjata
nuklir selama beberapa waktu dan telah menjual beberapa teknologi
peluru kendali canggih ke Suriah dan Iran. Aliran senjata dan tekno-
logi persenjataan umumnya bergerak dari Asia Timur ke Timur Te-
ngah. Namun, ada juga aliran senjata dari arah sebaliknya; Cina me-
nerima peluru kendali Stinger dari Pakistan.

Hubungan militer Konghucu-Islam dengan demikian memang


terjadi, dan dirancang untuk mendorong kemampuan penguasaan
negara-negara anggotanya atas persenjataan dan teknologi yang

83
Samuel P. Huntington

dibutuhkan untuk menghadapi kekuatan militer Barat. Hubungan


ini bisa langgeng, bisa juga sebaliknya. Namun, pada saat ini, seperti
yang dinyatakan oleh Dave McCurdy, hubungan ini adalah "pakta
bersama para 'pembangkang', yang dijalankan oleh sang pengem-
bang persenjataan dan para pendukungnya." Dengan demikian, se-
buah bentuk baru perlombaan senjata telah muncul antara negara-
negara Islam-Konghucu dan Barat. Dalam perlombaan senjata gaya
lama, setiap pihak mengembangkan persenjataannya masing-ma-
sing untuk mengimbangi atau mencapai superioritas terhadap pihak
lain. Dalam kompetisi gaya baru ini, satu pihak mengembangkan
persenjataannya dan pihak lain berusaha untuk tidak menyeimbang-
kan tetapi membatasi dan mencegah berkembangnya persenjataan
tersebut dan pada saat yang sama menurunkan kemampuan mili-
ternya sendiri.

IMPLIKASI BAGI BARAT

menyatakan bahwa identitas peradaban akan meng-


A R T I K E L INI T I D A K

gantikan semua identitas lainnya, bahwa negara-bangsa akan hilang,


bahwa setiap peradaban akan menjadi entitas politik tunggal yang
koheren, dan bahwa kelompok-kelompok dalam sebuah peradaban
tidak akan berkonflik atau bahkan saling berperang. Artikel ini men-
coba mengajukan hipotesis-hipotesis yang mengatakan bahwa per-
bedaan antara peradaban adalah nyata dan penting; kesadaran per-
adaban meningkat; konflik antara peradaban akan menggantikan
konflik ideologi dan bentuk konflik lainnya sebagai bentuk konflik
global yag dominan; hubungan internasional, yang dalam sejarah
merupakan sebuah permainan yang dimainkan di dalam peradaban
Barat, akan semakin menjadi tidak Barat lagi dan menjadi sebuah
permainan di mana peradaban non-Barat menjadi aktor dan bukan
semata-mata objek; lembaga-lembaga internasional yang berhasil
di bidang politik, keamanan, dan ekonomi sepertinya akan berkem-
bang di dalam peradaban itu sendiri ketimbang lintas peradaban;

84
Benturan Peradaban?

konflik-konflik antara kelompok dalam peradaban yang berbeda


akan semakin sering terjadi, semakin berat, dan semakin brutal dari-
pada konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok dalam per-
adaban yang sama; konflik-konflik brutal di antara kelompok-
kelompok dari peradaban yang berbeda sangat mungkin menjadi
sumber benturan yang paling berbahaya yang dapat mengarah pada
perang-perang global; poros yang terpenting dari politik dunia
adalah hubungan antara "Barat dan yang Lainnya"; kaum elite di
beberapa negara non-Barat yang terbelah akan berusaha membuat
negara mereka menjadi bagian dari Barat, namun sebagian besar
menghadapi berbagai hambatan besar untuk mencapai tujuan ini;
fokus utama konflik di masa depan yang sudah terlihat adalah antara
Barat dan beberapa negara Islam-Konghucu.
Artikel ini tidak mendorong terjadinya konflik antara peradaban.
Tulisan ini hanyalah hipotesis deskriptif tentang seperti apa masa
depan kita nanti. Namun, seandainya hipotesis-hipotesis ini masuk
akal, perlu kiranya mempertimbangkan implikasi mereka bagi kebi-
jakan Barat. Implikasi ini seharusnya dibagi antara manfaat jangka
pendek dan akomodasi jangka panjang. Dalam jangka pendek,
sudah jelas menjadi kepentingan Barat untuk mempromosikan ker-
jasama yang lebih luas dan kesatuan dalam peradabannya sendiri,
khususnya antara komponen-komponen Eropa dan Amerika Utara;
memasukkan ke dalam masyarakat Barat negara-negara Eropa
Timur dan Amerika Latin yang budayanya dekat dengan Barat;
mempromosikan dan memelihara hubungan kerja sama dengan Ru-
sia dan Jepang; mencegah eskalasi konflik lokal antarperadaban
menjadi perang-perang antarperadaban; membatasi ekspansi
kekuatan militer negara-negara Konghucu dan Islam; tidak berle-
bihan mengurangi kemampuan militer Barat dan menjaga su-
perioritas militer di Asia Timur dan Barat Daya; memanfaatkan
berbagai perbedaan dan konflik antara negara-negara Konghucu dan
Islam; mendukung kelompok-kelompok dalam peradaban lain yang
bersimpati dengan nilai-nilai dan kepentingan Barat; memperkuat
l e m b a g a - l e m b a g a i n t e r n a s i o n a l yang m e n c e r m i n k a n dan

85
Samuel P. Huntington

melegitimasi kepentingan dan nilai-nilai Barat serta mendukung


keterlibatan negara-negara non-Barat dalam lembaga-lembaga
tersebut.
Dalam jangka panjang ukuran-ukuran lain dapat diterapkan.
Peradaban Barat adalah Barat sekaligus modern. Peradaban-
peradaban non-Barat berusaha menjadi modem tanpa menjadi Barat.
Sampai saat ini hanya Jepang yang sepenuhnya berhasil. Peradaban
non-Barat akan terus berusaha meraih kesejahteraan, teknologi, ke-
mampuan, mesin-mesin, dan persenjataan yang merupakan bagian
dari menjadi modern. Mereka juga akan berusaha menyelaraskan
modernitas ini dengan budaya dan nilai-nilai tradisional mereka.
Kekuatan ekonomi dan militer mereka relatif akan meningkat
terhadap Barat. Oleh karena itu, Barat juga harus semakin meng-
akomodasi peradaban modern non-Barat yang kekuatannya men-
dekati kekuatan Barat tetapi nilai-nilai dan kepentingannya jauh ber-
beda dari Barat. Hal ini mengharuskan Barat senantiasa memelihara
kekuatan ekonomi dan militer yang diperlukan untuk melindungi
kepentingannya dalam hubungannya dengan peradaban-peradaban
tersebut. Namun, hal ini juga mensyaratkan Barat untuk mengem-
bangkan pemahaman yang lebih baik atas agama-agama besar dan
asumsi filosofis yang mendasari peradaban lain dan cara-cara
masyarakatnya memandang kepentingan mereka. Tentu saja hal ini
m e m b u t u h k a n usaha u n t u k m e n g i d e n t i f i k a s i u n s u r - u n s u r
persamaan antara Barat dan peradaban lain. Di masa yang akan da-
tang, tidak akan ada peradaban yang universal, meliankan sebuah
dunia dengan peradaban yang berbeda-beda, dan setiap peradaban
harus belajar untuk hidup berdampingan dengan yang lainnya.

86
3

Panggilan
Tetapi Mereka Berkata, Kami Tidak Mau Memperhatikannya'
Yeremiah6:l7

Fouad Ajami*

Conrad yang berjudul Youth, sebuah novel pen-


D A L A M KARYA J O S E P H

dek yang diterbitkan pada pergantian abad, Marlowe, sang narator,


mengingat ketika ia pertama kali menjumpai "Timur":

Dan kemudian, sebelum aku bisa membuka mulut. Timur berbicara


kepadaku, namun ia bicara dalam suara Barat. Semburan kata-kata
tumpah ke dalam keheningan yang ganjil dan menentukan; kata-
kata amarah yang asing bercampur dengan kata-kata dan bahkan
satu kalimat utuh bahasa Inggris yang bagus, yang tidak begitu asing
namun malah jauh lebih mengejutkan. Suara itu menyumpah dan
mengutuk dengan kasar; ia mengoyak kedamaian teluk dengan
berondongan cacian. Suara itu mulai memanggilku Babi, dan dari sana
mengalirlah suara yang kian lama kian mengeras menyembur-kan
serangkaian kata sifat yang tak bisa disebutkan—dalam bahasa Inggris.

Marlowe muda tahu bahwa bahkan peradaban yang paling terpencil

4F O U A D A J A M I adalah Majid Khadduri Professor dan Director of Middle East

Studies di School of Advanced International Studies. Johns Hopkins University.


Dicetak kembali atas izin Foreign Affairs, S e p t e m b e r / O c t o b e r 1993. Hak cipta ©
1993 oleh Council on Foreign Relations, Inc.

87
Fouad Ajami

pun telah dibentuk dan kembali dibentuk oleh Barat, dan diajari
kebiasaan-kebiasaan baru.
Tidak demikian halnya dengan Samuel P. Huntington. Dalam sebuah
esai yang mengundang pertanyaan, "The Clash of Civilizations?",
Huntington melihat bahwa peradaban-peradabannya bulat dan
lengkap, kedap air di bawah langit abadi. Seolah-olah terkubur hidup-
hidup selama tahun-tahun Perang Dingin, peradaban-peradaban ini
(Islam, Slavik-Ortodoks, Barat, Konghucu, Jepang, Hindu, dll) segera
bangkit begitu batu digulingkan, merapikan diri, dan kemudian
meluncur untuk menuntut loyalitas dari para pengikut mereka. Bagi
pelajar sejarah dan budaya ini, peradaban-peradaban selalu tampak
sebagai makhluk yang tak rapi. Kerut-marut menjalar pada seluruh
peradaban, juga pada individu-individu itu sendiri—itulah ketetapan
modernitas. Tetapi Huntington mengabaikan semua itu. Jalan gelap
yang berkelok dan berputar-putar dari dunia diluruskannya. Dengan
sebuah pensil tajam dan tangan yang mantap Huntington menandai
di mana sebuah peradaban berakhir dan alam liar "yang-lain" mulai.
Lebih mengejutkan lagi adalah sikap Huntington terhadap negara-
negara, dan tempat mereka di dalam skemanya. Dari salah satu peneliti
yang paling berpengaruh dan cemerlang tentang negara-negara dan
kepentingan nasionalnya, muncul sebuah esai yang mengabaikan keli-
haian negara-negara, yang mempunyai watak tenang dan berdarah-
dingin saat melakukan sebagian besar urusan mereka untuk mencari
jalan keluar dari kekacauan. Terlepas dari bagian esainya yang menya-
takan bahwa negara-negara akan tetap merupakan "aktor paling kuat
dalam urusan dunia," negara-negara disingkirkan, dan tempat mereka
diberikan kepada peradaban-peradaban yang berbenturan. Dalam kata-
kata Huntington, "Perang dunia berikutnya, jika ada, akan berupa pe-
rang antara peradaban-peradaban."

KEKUATAN MODERNITAS

PEMIKIRAN HUNTINCTON dari keprihatinannya akan keadaan


DATANG

Barat, kekuatannya, dan hubungannya dengan "bagian dunia yang

88
Panggilan

lain/' 1 "Ia yang memberi, akan mendominasi/' kata sejarawan besar


Fernand Braudel saat mengamati lalu lintas peradaban-peradaban.
Dalam membentuk peradabannya sendiri selama berabad-abad,
Barat juga membantu membentuk peradaban-peradaban yang lain.
Huntington sangat yakin, kita telah sampai pada akhir jalan ini. Ia
terkesan dengan "de-Westernisasi" yang terjadi dalam berbagai ma-
syarakat, "pembumiputeraan" mereka, dan keinginan nyata mereka
untuk menempuh jalan mereka sendiri. Dalam pandangannya, fe-
nomena seperti "Hindunisasi" India dan fundamentalisme Islam
adalah suatu fenomena yang sangat berpengaruh. Huntington
menganggap fenomena kembali ke "tradisi" ini mempunyai ke-
kuatan dan pengaruh yang begitu besar.
Namun Huntington salah. Ia telah meremehkan keuletan mo-
dernitas dan sekularisme di tempat-tempat di mana untuk menda-
patkan dua hal ini perlu perjuangan berat, seringkali dengan ke-
mungkinan gagal. India tidak akan menjadi sebuah negara Hindu.
Warisan sekularisme India akan bertahan. Sebagian besar kelas me-
nengah akan mempertahankan sekularisme. Mereka akan menjaga
tatanan tetap utuh untuk menjaga tempat India—dan tempat mereka
sendiri—di dunia modern bangsa-bangsa. Ada kecemasan yang na-
luriah terhadap tatanan anarkis. Chauvinisme Hindu mungkin me-
rusak kehidupan publik negara itu, namun negara dan kelas me-
nengah yang merawat kehidupan publik tersebut paham bahwa
kembali pada fanatisme agama adalah penjeblosan diri ke dalam
kerusakan. Kelas menengah ini adalah kelas menengah yang terdidik
dan ikut ambil bagian dalam budaya dan norma global. Melalui ken-
daraan politik Kongres Nasional India, kaum borjuis India sudah
selama satu abad mengklaim sebuah tempat bagi India dan mereka
sendiri di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa. Setelah lepas dari

1 Barai sendiri tidak dikaji dalam esai H u n t i n g t o n . Tak a d a retak yang


menyusurinya. Tak ada multikulturalis yang didengarkan. Barat tertib di dalam
bentengnya. Huntington menyimpan sendiri apa yang membuatnya ragu tentang
keinginan mereka yang ada di dalam tembok. Ia telah beranggapan bahwa
seruannya untuk persatuan akan ditanggapi, seruan untuk panji Saracen (Mus-
lim) dan Konghucu yang berkibar di luar.

H9
Fouad Ajami

perjuangan panjang menggulingkan penjajah Inggris dan perjuangan


melawan " k o m u n a l i s m e " , para penyokong ide kebangsaan
membangun sebuah negara yang besar dan kuat bertahan. Mereka tidak
akan menyerahkan semua ini untuk kerajaan politik kemurnian Hindu.
Kita telah mendengar perkataan kelompok tradisionalis, namun kita
tak seharusnya membesar-besarkan kekuatan mereka. Karena tradisi
seringkali paling keras dan kuat suaranya justru ketika mereka sedang
terputus, ketika orang-orang tak lagi percaya, dan ketika kebiasaan kuno
tak mampu lagi menjaga laki-laki dan perempuan tetap di rumah.
Fenomena yang kita namai fundamentalisme Islam bukanlah tanda
kebangkitan (Islam) melainkan hanya kepanikan, kebingungan, dan
rasa bersalah karena perbatasan dengan ''yang lain" telah terseberangi.
Anak-anak muda perkotaan yang miskin dan setengah terdidik di kota-
kota negara Arab, dan pengkhotbah mereka yang terdidik di Sorbonne,
bisakah mereka jadi bukti dari langkah-kembali ke tradisi? Mereka
menerobos gerbang Eropa dan Amerika untuk mencari kebebasan dan
pekerjaan, dan mereka menista dosa-dosa Barat. Mudah dimengerti
jika Huntington frustrasi dengan kompleksitas semacam ini, dengan
campuran ganjil dari ketertarikan dan penolakan yang disemaikan
Barat, dan keinginannya untuk menyederhanakan masalah, untuk
menandai perbatasan peradaban-peradaban.

Meskipun demikian, penjajaan-tradisi bukanlah bukti bahwa


peradaban-peradaban di luar Barat ini tak-retak, atau bahwa berko-
ar-koarnya mereka adalah tanda vitalitas mereka, atau bahwa mere-
ka menghadirkan ancaman militer yang konvensional. Bahkan se-
buah serangan terhadap hegemoni Barat yang begitu menyeluruh
dan jauh jangkauannya seperti revolusi teokratis Iran masih belum
bisa menyapih masyarakat tersebut dari budaya Barat. Revolusi
kejam negara itu lahir dari kesadaran "Imam bersenjata" yang me-
nilai rakyatnya sedang diperdaya oleh gaya hidup Amerika. Gerbang
telah terbuka lebar pada 1970-an, dan tembok tinggi yang dibangun
mengitari pemerintahan Ayatollah Khomeini adalah sebuah jawaban
terhadap godaan budaya tersebut. Iran yang terperosok "disela-
matkan" oleh orang-orang yang mengklaim otentisitas sebagai panji

90
Panggilan

mereka. Satu ekstrem mengantar ke ekstrem yang lain,


"Kami berdoa meminta hujan rahmat dan mendapatkan banjir/ 7
adalah cara Mehdi Bazargan, modernis santun yang merupakan per-
dana menteri pertama Khomeini, menggambarkan hal tersebut. Na-
mun milenium baru telah datang, dan impian tentang suatu revolusi
pan-Islam dalam citra Iran telah menghilang bersama angin. Teror
dan kebobrokan telah berkelindan dengan utopia. Sudan bisa me-
nandingi "contoh revolusioner" Iran. Namun hal ini hanya punya
makna pemiskinan yang lebih parah dan kehancuran sebuah negara
yang merana. Tak ada rehabilitasi dari contoh Iran.
Pertempuran tengah berkecamuk di Aljazair, sebuah masyarakat
Laut Tengah, dekat dengan Eropa—sebuah negara penghasil anggur
jika ini dianggap penting—dan di Mesir antara kekuatan sekular
yang memegang kekuasaan dan sebuah alternatif Islam. Namun kita
tak perlu terburu-buru mengumumkan obituari negara-negara ini.
Di Aljazair nomenklatur dari Front Pembebasan Nasional gagal dan
memicu pemberontakan kaum muda, kelas bawah, dan mereka yang
terpinggirkan. Pemberontakan tersebut menggunakan panji Islam.
Kaum profesional, kaum wanita, dan kaum modernis kelas mene-
ngah yang terjebak di antara sebuah rezim yang mereka kutuk dan
pemaksaan ajaran yang mereka takuti, memberikan dukungan
mereka pada kekuatan "ketertiban." Mereka mengelu-elukan tin-
dakan tentara menghentikan kelompok fundamentalis; mereka
membiarkan gangguan terhadap sebuah proses demokrasi yang jelas-
jelas akan membawa kaum fundamentalis berkuasa; mereka menerima
"kebebasan" yang dilindungi lewat represi. Lebih baik berhadapan
dengan setan yang diketahui wujudnya daripada manusia yang tidak.

Tema-tema Aljazair berulang di dalam kasus Mesir, meskipun


dilema Mesir menyangkut oposisi kaum fundamentalisnya tidak
begitu gawat. Kaum fundamentalis terus-menerus mendesak negara,
namun mereka tak bisa menggulingkannya. Tak ada kemungkinan
bahwa negara Mesir akan runtuh, sekalipun negara ini sekarang
terkoyak oleh cukup banyak sikap berpuas-diri dan korupsi—
sebuah situasi yang betul-betul menjajal kesabaran dan dan humor

VI
Fouad Ajami

sehat orang Mesir. Namun Mesir adalah negara tua dan skeptis. Me-
sir sudah sangat tahu apa jadinya bila memercayakan nasibnya kepa-
da para pemaksa dogma agama yang radikal. Struktur ketertiban
yang ditata kelas menengah berpaham kebangsaan tidaklah mendalam
dan aman. Namun mereka tidak akan runtuh dalam waktu semalam.
Turki juga tidak akan kehilangan arah sehingga memalingkan
diri dari Eropa dan mengejar semacam godaan imperial di wilayah-
wilayah gersang Asia Tengah. Huntington meremehkan modernitas
dan sekularisme negeri tersebut ketika ia menulis bahwa orang-or-
ang Turki—yang menolak Mekkah dan ditolak oleh Brussel—seper-
tinya akan menatap ke Tashkent dalam pencarian sebuah kekuasa-
an Pan-Turki. Tidak akan ada perjalanan menuju kekaisaran masa
silam tersebut. Ataturk telah membabat rantai ini dengan amarah,
mengarahkan negaranya menuju barat, memeluk peradaban Ero-
pa, dan melakukannya tanpa rasa cemas atau keraguan. Pada Frank-
furt dan Bonn—dan Washington—dan bukan pada Baku dan Tashkent
perhatian Turki tertuju. Para pewaris peninggalan Ataturk terlalu cerdas
untuk mengejar kejayaan imperial, dan menyatukan kembali wilayah-
wilayah bangsa Turki yang terpencar-pencar. Setelah wilayah Eropa
yang mereka miliki hilang, bangsa Turki berpegang erat pada Thrace
dan pada semua hal yang mewakili jalinan dengan Eropa ini.

Huntington menganggap bangsa-bangsa akan berperang demi


ikatan dan kesetiaan peradaban. Padahal, mereka lebih suka berebut
saham pasar mereka, belajar bagaimana berkompetisi di sebuah du-
nia ekonomi yang tak mengenal belas-kasihan, menyediakan
pekerjaan, dan keluar dari kemiskinan. Bagi mereka, "para ahli ma-
najemen" dan mereka yang percaya bahwa kepentingan telah
menaklukkan gairah di dunia sekarang ini memberi tahu kita bahwa
orang-orang menginginkan Sony, bukan tanah. 2 Terdapat begitu
banyak kebenaran dalam apa yang mereka katakan: suatu rasa letih
yang luar biasa terhadap utopia, suatu keengganan untuk menjalani

Kenichi O h m a e , " G l o b a l C o n s u m e r s Want Sony, Not Soil," jVeiv


2 Perspective
Qua terly, Musim G u g u r 1991

92
Panggilan

perjuangan prinsip atau keyakinan. Sulit membayangkan Rusia,


yang porak-poranda karena inflasi, akan menempuh jalan besar
"Byzantium kedua", pembawa obor ortodoks-Slavik.
Dan di mana dunia Konghucu yang dibicarakan Huntington? Di
wilayah-wilayah yang sibuk dan ekonominya meledak di Lingkar
Pasifik, begitu banyak politik dan ideologi yang disublimasikan ke
dalam masalah keuangan sehingga negara-negara Asia Timur benar-
benar berubah menjadi bengkel kerja. Peradaban Cathay telah mati;
kepulauan Indonesia mengabaikan seruan kelompok radikal agama
di Teheran di saat ia mencoba mengejar Malaysia dan Singapura.
Angin yang berbeda bertiup di negara-negara Pasifik. Di dunia itu,
ekonomilah yang menjadi panglima, bukan politik. Dunia menjadi
jauh kurang menarik ketimbang yang diinginkan Lee Kuan Yew,
datuk Singapura. Mungkin ada balasan yang menunggu bagi semua
kemakmuran yang dibawa era 1980-an ke Pasifik. Namun negara-
negara Lingkar Pasifik—yang tentu saja dilindungi oleh payung ke-
amanan Amerika—tidak sedang bersiap-siap untuk suatu benturan
besar-besaran di antara bangsa-bangsa. Dan sekiranya pertikaian-
pertikaian terjadi negara-negara ini, masalah ini akan meletup di
dalam perbatasannya, bukan melintasi garis peradaban.

Berbagai hal dan kebiasaan yang dibawa Barat ke "wilayah dunia


yang lain"—kalimat dalam bahasa Inggris yang bagus yang didengar
Marlowe seabad lalu—telah menjadi kebiasaan dunia. Ide sekular,
sistem negara dan perimbangan kekuasaan, budaya pop yang
melewati tembok dan rintangan bea-cukai, negara sebagai piranti
kesejahteraan—semua irü telah menjadi bagian internal dari wilayah-
wilayah yang paling terpencil. Kita telah menyebabkan badai yang
sekarang kita tunggangi.

KELEMAHAN TRADISI

BANGSA-BANGSA MELAKUKAN "kecurangan": Mereka memalsukan iden-


titas dan kepentingan. Cara mereka berkelok-kelok. Lalu lintas sen-

VI
Fouad Ajami

jata dari Korea Utara dan Cina ke Libia, Iran, dan Suriah memper-
lihatkan hal ini—bahwa negara-negara akan bergaul dengan per-
adaban yang mana pun, betapapun asingnya, selama harganya cocok
dan barangnya siap. Huntington mengubah tindakan rutin memen-
tingkan-diri-sendiri ini menjadi ungkapan sinis "koneksi Konghucu-
Islam." Ada penjelasan-penjelasan vang lebih baik: perdagangan
para pembelot, perompakan terang-terangan, sebuah "ekonomi ba-
wah tanah" yang memanfaatkan celah yang tak diisi oleh pemasok
besar senjata (Amerika Serikat, Rusia, Inggris, dan Prancis).
Cara Huntington melihat hal-hal kontras dengan penggambaran
Braudel mengenai lalu lintas antara wilayah Kristen dan Islam di
seputar Laut Tengah di abad keenambelas—dan ini berlangsung di
zaman religius, setelah kejatuhan Istambul ke Turki dan Granada
ke Spanyol: "Orang-orang berhilir-mudik, acuh tak acuh terhadap ba-
tas-batas, negara, dan keyakinan. Mereka lebih siaga akari pentingnya
pengapalan dan perdagangan, bahaya perang dan perompakan, dan
peluang untuk bekerja sama atau berkhianat tergantung situasinya." 3
"Kerja sama" dan ambiguitas semacam itu tidak terdapat dalam
analisis Huntington. Peradaban-peradaban dijejalkan ke dalam
sudut dan celah—dan juga garis-perbatasan—Balkan. Huntington
melanglang ke tempat yang hanya dijelajahi para pemberani, ke
dalam sabuk populasi campuran yang terentang mulai Adriatik
sampai Baltik. Tak terhitung nasionalisme yang bersarang di sana,
semuanya muram, semuanya memiliki kenangan masa lalu yang
indah dan sama-sama siap menyambut para demagog yang bertekad
meluruskan peta yang kacau balau. Dalam rimbun gerakan-pan ini
ia mendapati garis yang menandai "batas timur Kristen Barat pada
1500 " Perebutan tanah antara nasionalisme Kroasia dan Serbia,
"usaha gabungan" mereka untuk menggasak Bosnia, dibuat menjadi
pertempuran para pewaris Roma, Byzantium, dan Islam.
Tetapi mengapa kita harus percaya kepada determinisme ini?

F e r d i n a n d B r a u d e l , The Mediterranean
1 and the Mediterranean World in the
Age of Philip U, Vol. II, N e w Y o r k : H a r p e r f c R o w , 1976, h i m . 7 5 9 .

94
Panggilan

"Orang asing yang bepergian menggunakan jalan raya antara Zagreb


dan Beograd tak akan tertegun oleh jalur pemisah bersejarah yang
memisahkan dataran lebat Slovenia, melainkan sebaliknya. Orang
Serbia dan Kroasia berbicara bahasa yang sama, bertukar beberapa
ratus kata, dan berbagi cara hidup pedesaan yang sama selama
berabad-abad." 4 Genius kejam seperti Slobodan Milosevic dan Franjo
Tudjman, para penguasa yang paham akan sulitnya tanah dan
situasi, tak keberatan mendapatkan kekuasaan walaupun harus
dibayar dengan peradaban yang dikubur—kubu Pencerahan
melawan Islam atau, dalam kasus Tudjman, melawan para pewaris
keyakinan Ortodoks-Slavik. Perbedaan-perbedaan harus dibesar-
besarkan. Begitu Tito, seseorang penindas kesempatan yang tak-
kalah besar, berlalu dari panggung tersebut, akta perimbangan di
antara bangsa-bangsa jadi berantakan. Serbia memegang hegemoni
dalam sistem yang lama. Namun terhadap dunia yang mengintip
dari cakrawala—privatisasi dan reformasi ekonomi—Serbia kurang
percaya diri. Warga Sarajevo, Kroasia, dan Slovenia jauh lebih maju
dari Serbia yang udik. Alhasil, Serbia tersaruk dalam tatanan baru
dengan harapan yang tipis.

Beberapa relawan Muslim datang ke Bosnia, didorong oleh iman


dan semangat. Huntington melihat di dalam sejumlah kecil
pengembara ini kekuatan hebat "pengumpulan peradaban," bukti
sebuah pendirian yang ia sebut "sindrom negara satu-puak." Ini
adalah khayalan. Tak akan pernah ada kavaleri Muslim yang akan
pergi untuk menyelamatkan Bosnia. Orang-orang Iran bisa saja me-
nyerukan perang suci, namun kaum Chetnik terus melanjutkan kerja
mereka. Tugas penjagaan ketertiban dan kemanusiaan harus dilaku-
kan oleh Amerika Serikat jika utopia kejam Serbia hendak ditentang.
Tak perlu punya kekuatan nujum untuk meramalkan di mana
pertempuran di Balkan akan berakhir. Ditinggalkannya Bosnia
sesuai dengan apa yang bisa terjadi di dunia. Tak ada seorang pun

* Michael Ignatieff, " T h e Balkan Tragedy/" New York Review of Books, 13 Mei
1993

95
Fouad Ajami

yang mau mati demi Srebrenica. Orang-orang Eropa memalingkan


muka, seperti kebiasaan mereka. Amerika ragu sejenak ketika do-
rongan untuk tidak mencampuri Balkan telah membuat pertem-puran
menjadi ajang kengerian. Lantas "kebijaksaaan" menang. Milosevic dan
Tudjman mungkin menginginkan legenda peradaban, namun tak perlu
memasukkan dalam proyek penaklukan mereka makna seperti ini.
Dalam keinginannya untuk memahami perang tak berkesudahan
di seputar "perbatasan berdarah" Islam, Huntington menggunakan
penafsiran Saddam Hussein tentang Perang Teluk. Bagi Saddam dan
Huntington, perang ini adalah perang peradaban. Namun apa yang
terjadi dalam Perang Teluk sepenuhnya berbeda. Karena jika ada
sebuah operasi militer yang menghamparkan kepentingan negara-
negara, tahapan di mana mereka akan berjalan untuk memulihkan
perimbangan kekuatan yang bisa ditoleransi di tempat yang penting,
inilah yang terjadi. Seorang despot lokal hampir kehilangan keka-
yaan Teluk Persia, dan Negara Besar dari jauh datang untuk menye-
lamatkannya. Kekuatan yang dikumpulkan Amerika meliputi Saudi,
Turki, Mesir, Suriah, Prancis, Inggris, dan para petualang lain.
Benar bahwa ketika mimpi hegemoni Saddam berantakan, or-
ang yang jelas sekular dan telah menghancurkan ulama—pemuka
agama di negaranya—ini kembali menggunakan bahasa Ayatollah
Khomeini tentang api dan kerak neraka dan meminjam simbolisme
dan teriakan perang Iran, musuh lamanya. Namun, jikapun ada,
hanya beberapa orang saja yang terkecoh dengan konversi dadakan
ke arah iman ini. Mereka tahu orang macam apa sang predator ini:
ia punya menteri luar negeri yang beragama Kristen (Tariq Aziz); ia
telah menentang revolusi Iran selama hampir satu dekade dan telah
membanggakan diri atas sekularisme rezimnya. Sebagai orang-or-
ang yang bijak di tatanan sosial dan politik, ulama menyingkir dan
memberi negara mereka ruang yang dibutuhkan untuk mengirim
sang predator di perbatasan Saudi/Kuwait? Mereka tahu ini adalah

* Huntington m e n g u t i p Safar al Hawaii, seorang radikal a g a m a di U m m al


Qura University di iMekkah, y a n g menyatakan b a h w a serangan militer terhadap

%
Panggilan

salah satu dari momen-momen ketika kesucian mengalah pada


keterpaksaan. Sepuluh hari setelah Saddam merangsek ke Kuwait,
badan agama paling berkuasa di Arab Saudi, Majelis Ulama Tinggi,
mengeluarkan sebuah fatwa yang mendukung hadirnya pasukan
Arab, Islam, dan "negara lain yang bersahabat". Segala cara
pertahanan, bunyi fatwa ulama itu, adalah sah untuk menjamin
rakyat mendapatkan "keselamatan agama mereka, kekayaan
mereka, dan kehormatan dan darah mereka, juga untuk melindungi
keselamatan dan stabilititas mereka." Di tempat yang agak jauh, di
Mesir, tokoh agama terkemuka, Syekh Al Azhar, Syekh Jadd al Haqq,
mencela Saddam sebagai seorang tiran dan mencemooh pretensi
keislamannya sebagai kedok.
Retorika pemimpin agama Iran Ayatollah Ali Khamenei menen-
tang Amerika selama Perang Teluk juga tak bisa digunakan sebagai
bukti kecondongan Iran atas operasi militer tersebut. Sebagai orang
yang pintar, para penguasa Iran tak ambil bagian dalam perang itu.
Mereka muncul sebagai pengambil keuntungan terbesar dari keka-
lahan Irak. Serangan yang dipimpin Amerika terhadap Irak menjan-
jikan perimbangan kekuatan yang memihak mereka. Tal ada airmata
yang tumpah di Iran atas apa yang menimpa rezim Saddam Hussein.
Merupakan karunia istimewa untuk hidup di tempat-tempat sulit
karena orang-orangnya tahu bagaimana membedakan apa yang
mereka dengar dan apa yang ada: tak ada ilusi yang menggem-bi-
rakan di dunia Muslim Arab yang luas tentang Saddam, atau tentang
serangan untuk menjungkalkannya. Pertempuran di teluk dilihat
seperti apa adanya: keinginan untuk menang sendiri yang ber-
hadapan dengan ekspedisi imperial yang menghancurkannya. Se-
buah lingkaran kini sempurna di teluk: tatanan di wilayah "timur
Suez" yang dulunya merupakan karya Inggris, sekarang dihadirkan
oleh Pax Amerikana. Kekuatan baru yang berjaga-jaga di teluk ada-

Irak adalah serangan Barat terhadap Islam. Namun hal ini tak bisa dijadikan bukti.
Safar al Hawaii adalah seorang yang ganjil. Di antara para ulama dan ahli agama
di Arab Saudi, ia secara praktis bisa disebut penyendiri.

97
Fouad Ajami

lah milik peradaban Barat, seperti halnya kekuatan sebelumnya. Na-


mun kehadiran Amerika mendatangkan kecemasan bersama di ne-
gara-negara Arab. Orang asing datang untuk mengawasi kerabat
mereka.
Dunia Islam terbagi dan terbagi lagi. Garis pertempuran di Kau-
kasia juga tidak sejajar dengan garis pemisah peradaban. Garis-garis
ini mengikuti kepentingan negara-negara. Di mana Huntington me-
lihat benturan peradaban antara Armenia dan Azerbaijan, negara
Iran malah mengabaikan semangat dan kesetiaan keagamaan me-
reka. Tak diragukan lagi, dalam pertempuran itu Iran lebih condong
kepada Armenia yang Kristen.

KETETAPAN NEGARA-NEGARA

ke dalam sebuah dunia baru, tentu saja. Namun


K I T A TELAH DIBAWA

ini bukanlah sebuah dunia di mana hukum peradaban bekuasa.


Peradaban dan kesetiaan peradaban masih ada. Bagi semua itu ter-
dapat suatu takaran permanensi yang mengagumkan. Namun mari
kita melihatnya dengan jernih: peradaban-peradaban tidak mengon-
trol negara, negaralah yang mengontrol peradaban-peradaban. Ne-
gara-negara memalingkan muka dari ikatan darah ketika mereka
menginginkannya; mereka melihat persaudaraan, keimanan, dan
kekerabatan jika mereka punya kepentingan.
Kita masih hidup di dunia yang setiap orang harus menolong
dirinya sendiri. Kesendirian negara-negara masih berlanjut; ke-
tidakteraturan di dunia dewasa ini telah membuat kesendirian ini
makin terasa. Belum ada cara yang ditemukan untuk mengakurkan
Prancis dengan hegemoni Pax Amerikana, atau meyakinkannya un-
tuk memercayakan keamanannya, atau menyerahkan penilaiannya
kepada kekuatan Barat yang paling menonjol. Dan belum ada or-
ang Azeri yang menemukan cara agar negara-negara Islam bisa
dikerahkan untuk bertempur memperebutkan Nagorno Karabakh.
Langit belum runtuh di Kuala Lumpur atau di Tunis karena keka-

98
Panggilan

lahan Azerbaijan dalam pertempurannya melawan Armenia,


Pelajaran yang diwariskan Thucydides dalam dialog antara kaum
Melia dan Athena yang dikenang orang masih bisa kita petik
manfaatnya. Kaum Melia, demikian dideritakan, merupakan sebuah
koloni kaum Lacedaemonia. Terkepung oleh orang-orang Athena,
kaum Melia bertahan dan yakin bahwa Lacedaemonia "terikat, bah-
kan jika hanya karena rasa malu, untuk menolong saudara serumpun
mereka." Kaum Melia tak pernah ragu dalam keyakinan mereka
dalam persekutuan "peradaban": "Darah kami yang sama menjamin
kesetiaan kami," 6 Kita tahu apa yang menimpa kaum Melia. Sekutu
mereka tidak muncul, pulau mereka dirampok habis-habisan, dan
dunia mereka porak-poranda.

* Thucydides, The Peloponnesian War, New York: T h e M o d e m American


Library, 1951, him. 334-335

99
3

Anarki yang Mengancam

Robert D. Kaplan 4

M A T A PAK MENTERI terlihat seperti kuning telur, sebuah bekas yang


ditinggalkan banyak penyakit endemik, terutama malaria, di
negaranya. Juga terlihat kesedihan tak tersembunyikan di matanya.
Ia bicara dalam suara pelan dan tajam, suara harapan yang hampir
pudar. Semak-belukar, pohon-pohon kelapa, dan lautan Atlantik
yang berwarna biru tinta menjadi latar belakang. Namun tak satu
pun yang terlihat bagus. "Dalam 45 tahun saya tidak pernah melihat
hal-hal yang sedemikian buruk. Kami tidak mengatur diri dengan
baik setelah Inggris pergi. Namun yang kami alami sekarang adalah
sesuatu yang lebih buruk—pembalasan dendam orang miskin, ke-
gagalan sosial, dan orang yang tak mampu membesarkan anak da-
lam masyarakat modern." Kemudian ia mengacu pada kudeta yang
baru terjadi di negara Afrika Barat, Sierra Leone. "Lelaki-lelaki muda
yang merebut kekuasaan di Sierra Leone datang dari rumah-rumah
seperti ini." Pak Menteri menudingkan jarinya ke gubuk seng berge-

4 R O B E R T D . K A P L A N adalah Senior Fellow pada New America Foundation, la

adalah esais yang produktif sekaligus provokatif yang telah menghasilkan berbagai
buku terkena) antara lain Balkan Ghost dan The Corning of Anarchy. Dari The
Atlantic Monthly, February 1994. Hak cipta & 1994. Dicetak kembali dengan izin.

101
Robert D. Kaplan

lombang yang penuh dengan anak-anak. "Dalam tiga bulan, lelaki-


lelaki muda ini menyita semua Mercedes, Volvo, dan BMW milik
pejabat, dan seenaknya merusakkannya di jalanan." Pak Menteri
menyebut bahwa salah satu pemimpin kudeta, Solomon Anthony
Joseph Musa, menembak orang-orang yang telah membiayai seko-
lahnya "untuk menghapus pelecehan dan mengurangi kekuasaan
yang dipunyai sponsornya dari kelas menengah atas dirinya."
Tirani bukanlah sesuatu yang baru di Sierra Leone atau di wilayah
lain Afrika Barat. Tetapi sekarang ia telah menjadi bagian hakiki dari
ketiadaan hukum vang kian meningkat, yang jauh lebih signifikan
ketimbang kudeta, pemberontakan, atau percobaan sementara dalam
demokrasi. Kejahatan adalah tema yang sangat ingin dibicarakan teman
saya—seorang pejabat tinggi di Afrika yang hidupnya akan terancam
jika saya sebutkan nama sebenarnya. Kejahatan adalah suatu hal yang
membuat Afrika Barat menjadi titik tolak yang tepat bagi ulasan saya
tentang seperti apa ciri politik planet kita di abad kcduapuluh satu.
Kota-kota di Afrika Barat pada malam hari adalah tempat yang
paling tidak aman di dunia. Jalan-jalan tidak berlampu, kendaraan
polisi sering kehabisan bensin; pencuri bersenjata, pembajak mobil,
dan pembegal merajalela. "Pemerintahan di Sierra Leone tidak pu-
nya surat perintah setelah hari gelap," kata seorang penduduk asing
sambil mengangkat bahu. Ketika saya sedang berada di ibukota,
Freetown, September yang lalu, delapan orang bersenjata AK-47 ma-
suk ke sebuah rumah yang dihuni orang Amerika. Mereka meng-
ikatnya dan mencuri segala sesuatu yang berharga. Lupakan Mia-
mi: penerbangan-penerbangan langsung antara Amerika Serikat dan
Bandara Murtala Muhammed, dekat kota Nigeria terbesar, Lagos,
telah dihentikan sementara waktu oleh Menteri Transportasi Ame-
rika Serikat karena keamanan yang tidak efektif di terminal dan se-
kelilingnya. Laporan Departemen Luar Negeri menyebutkan di ban-
dara itu terjadi "pungutan liar yang dilakukan oleh petugas hukum
dan imigrasi." Inilah salah satu dari kejadian langka ketika peme-
rintah Amerika Serikat mengembargo sebuah bandara luar negeri
dengan alasan yang murni terkait dengan kejahatan. Di Abidjan,

102
.Anarki yang Mengancam

yang pada dasarnya adalah ibukota Pantai Gading, restoran-restoran


punya penjaga dengan tongkat dan senjata api yang mengantarkan
tamu berjalan sekitar kaki atau lebih dari mobil menuju pintu masuk.
Hal ini mendatangkan rasa seram berkaitan dengan seperti apa kota-
kota Amerika di masa depan. Seorang duta besar Italia terbunuh oleh
tembakan senapan ketika para perampok menyerang sebuah restoran
di Abidjan. Keluarga duta besar Nigeria diikat dan dirampok di bawah
todongan senjata di kediaman duta besar. Setelah para mahasiswa di
Pantai Gading menangkap para bandit yang menganggu asrama me-
reka, mereka mengeksekusi para bandit dengan menggantungkan ban
di leher mereka dan kemudian membakar ban itu. Dalam satu kejadian
para polisi Pantai Gading berdiri dan hanya melihat "pengantungan"
ini, takut untuk ikut-campur. Setiap kali saya pergi ke terminal bus
Abidjan, sekelompok pemuda dengan mata nyalang dan sangar me-
ngelilingi taksi saya, meletakkan tangan mereka di semua jendela, me-
minta "uang jasa" karena membawakan barang meskipun saya hanya
membawa satu ransel. Di kota-kota di enam negara Afrika Barat saya
melihat anak-anak muda yang serupa di mana-mana—bergerombol.
Mereka seperti molekul-molekul lepas di cairan sosial yang sangat tidak
stabil, cairan yang sebentar lagi tampak jelas akan menyala.

"Anda lihat," kata Pak Menteri teman saya, "di desa-desa Afrika
merupakan suatu hal yang sangat lazim untuk makan di meja mana
pun dan tidur di pondok mana pun. Tetapi di kota-kota ikatan komu-
nal ini tak lagi bertahan. Anda harus membayar untuk menginap
dan diundang jika mau makan. Ketika anak-anak muda itu tahu
bahwa kerabatnya tidak bisa menampung, mereka menjadi tersesat.
Mereka bergabung dengan para pendatang lain dan berangsur-ang-
sur terjerumus ke dalam proses kriminal."
"Di kawasan miskin Afrika Utara Arab," lanjutnya, "tak banyak
ada kejahatan, karena Islam menyediakan sebuah jangkar sosial: ya-
itu pendidikan dan indoktrinasi. Di sini di Afrika Barat, yang ada
hanya agama Islam maupun agama Kristen yang dangkal. Agama
Barat terkikis oleh keyakinan animisme yang tidak sesuai untuk
sebuah masyarakat bermoral, karena keyakinan ini didasarkan pada

103
Robert D. Kaplan

kekuatan arwah yang tidak rasional. Di sini arwah-arwah digunakan


untuk membalas dendam oleh satu orang melawan orang yang lain,
atau satu kelompok melawan kelompok lain." Banyak dari
kekejaman dalam perang saudara di Liberia dikaitkan dengan
kepercayaan pada arwah juju, dan BBC melaporkan, dalam maja-
lahnya Focus on Africa, bahwa dalam perang saudara di Sierra Leone
yang bersebelahan dengan Liberia, para pemberontak kabarnya
mempunyai "seorang perempuan muda bersama mereka yang akan
pergi ke garis depan dalam keadaan bugil, selalu berjalan mundur
dan melihat cermin untuk melihat ke mana dia pergi. Hal ini mem-
buatnya tak terlihat, sehingga dia dapat menyeberang ke posisi tenta-
ra dan di sana menanam mantra ...untuk meningkatkan peluang
keberhasilan para pemberontak."
Yang terakhir. Pak Menteri teman saya berbicara tentang
poligami. Sekalipun persyaratannya berat, poligami terus tumbuh
subur di Afrika sub-Sahara meskipun hal ini semakin tidak lazim di
Afrika Utara Arab. Sebagian besar anak muda yang saya temui di
jalanan di Afrika Barat mengatakan kepada saya bahwa mereka
berasal dari keluarga-keluarga "tambahan", dengan ibu di satu tem-
pat dan bapak di tempat yang lain. jika dipindahkan ke dalam ling-
kungan urban, struktur keluarga yang longgar menjadi biang utama
tingkat kelahiran tertinggi di dunia dan ledakan virus H1V di benua
ini. Seperti komunalisme dan animisme, mereka memberikan ta-
meng yang lemah terhadap dampak sosial yang merusak dari ke-
hidupan di kota. Di kota-kota itu kebudayaan Afrika didefinisikan
kembali, sementara tanah-tanah menjadi tandus dan hutan menjadi
g u n d u l — y a n g juga berkaitan dengan populasi yang terlalu
berlebih—membuat para petani Afrika keluar dari desanya.

PERTANDA MASA DEPAN

menjadi simbol derita demografis, lingkungan,


A F R I K A BARAT TELAH

dan kemasyarakatan dunia, di mana kejahatan anarkis muncul se-

104
.Anarki yang Mengancam

bagai bahaya "strategis" yang nyala. Penyakit, penduduk berlebih,


kejahatan, kelangkaan sumber daya, migrasi pengungsi, makin
terkikisnya negara-bangsa dan tapal batas internasional, serta ber-
jayanya tentara-tentara pribadi, perusahaan keamanan, dan kartel-
kartel narkoba internasional, semuanya saat ini paling jelas terlihat
melalui sebuah prisma bernama Afrika Barat. Afrika Barat membe-
rikan pengantar yang tepat untuk berbagai persoalan, yang sering
sangat tidak menyenangkan untuk dibahas, yang segera akan meng-
ancam peradaban kita. Untuk memetakan kembali bagaimana wajah
dunia politik beberapa dekade ke depan—suatu hal yang ingin saya
lakukan dalam artikel ini—saya merasa bahwa saya harus mulai
dengan Afrika Barat.
Tak ada tempat lain di planet ini di mana peta politik begitu mem-
perdaya—tempat di mana begitu banyak kebohongan—seperti hal-
nya di Afrika Barat. Mulai dengan Sierra Leone. Menurut peta, Si-
erra Lcone adalah sebuah negara-bangsa dengan tapal batas yang
sudah pasti, dengan sebuah pemerintahan yang mengendalikan wi-
layah ini. Dalam kenyataannya pemerintahan Sierra Leone, yang
dijalankan oleh seorang kapten angkatan darat berumur dua puluh
tujuh tahun, Valentine Strasser, sehari-hari mengendalikan Freetown
dan juga mengendalikan sebagian wilayah pedalaman. Di wilayah
pemerintah tentara nasional adalah pengacau liar yang mengancam
para pengemudi dan penumpang di sebagian besar pos pemerik-
saan. Di bagian lain negara ini, regu-regu dari dua tentara yang ber-
musuhan dari perang di Liberia bermukim, demikian juga pasukan
pemberontak Sierra Leone. Pasukan pemerintah yang bertempur
melawan para pemberontak dipenuhi dengan para komandan pem-
bangkang yang telah bersekutu dengan kepala-kepala suku yang
tidak puas. Medan perang tercipta karena kekacauan pramodern,
yang mengingatkan kita pada peperangan di Eropa abad pertengah-
an sebelum Perjanjian Damai Westphalia 1648, yang mendorong la-
hirnya era negara-bangsa yang terorganisasi.

Akibatnya, sekitar 400 ribu warga Sierra Leone terusir dari ru-
mahnya dan lari ke negara-negara lain, 280 ribu lebih telah kabur

105
Robert D. Kaplan

ke negara tetangga Guinea, dan sekitar 100 ribu lari ke Liberia,


meskipun sekitar 400 ribu warga Liberia justru lari ke Sierra Leone.
Kota terbesar ketiga Sierra Leone, Gondama, adalah kamp penam-
pungan orang-orang yang terusir dari rumahnya. Dengan tambahan
600 ribu warga Liberia di Guinea dan 250 ribu di Pantai Gading,
perbatasan yang membagi empat negara ini praktis sudah tak
bermakna lagi. Bahkan di zona-zona tenang, tak satu pun dari
pemerintahan tersebut yang merawat sekolah, jembatan, jalan, dan
pasukan polisi agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya, selain
pemerintahan Pantai Gading. Etnik Koranku di Sierra Leone timur
laut melakukan semua kegiatan dagangnya di Guinea. Intan Sierra
Leone sepertinya lebih banyak dijual di Liberia daripada di
Freetown. Di provinsi-provinsi timur Sierra Leone orang bisa mem-
beli bir Liberia tetapi tidak merk lokal.
Di Sierra Leone, seperti halnya di Guinea, Pantai Gading dan
Ghana, sebagian besar hutan hujan primer dan semak-semak se-
kunder telah dirusak dalam tingkatan yang mengkhawatirkan. Saya
melihat konvoi truk mengangkut gelondongan kayu ke pelabuhan-
pelabuhan di wilayah pantai. Ketika Sierra Leone memperoleh
kemerdekaannya di 1961,60 persen wilayahnya adalah hutan hujan
primer. Sekarang hutan ini hanya enam persen. Di Pantai Gading
proporsiya menurun dari 38 persen menjadi 8 persen. Penggundul-
an hutan telah mengakibatkan erosi tanah, yang membuat banjir
dan nyamuk makin banyak datang. Hampir semua orang di wilayah
pedalaman Afrika Barat mengidap malaria.
Sierra Leone adalah sebuah mikrokosmos dari apa yang terjadi,
sekalipun dalam tingkatan yang lebih keras dan bertahap, di seluruh
Afrika Barat dan sebagian besar negara terbelakang: melemahnya
pemerintahan pusat, bangkitnya kekuasaan suku dan daerah, pe-
nyebaran penyakit yang tak terkontrol, dan dorongan yang semakin
besar untuk perang. Afrika Barat berbalik menjadi Afrika di zaman
Victoria. Afrika Barat yang sekarang memiliki pos-pos perdagangan
di wilayah pantai seperti Freetown dan Conakry, dan wilayah pe-
dalaman yang dilanda kekerasan, ketidakpastian, dan penyakit, se-

106
.Anarki yang Mengancam

kali lagi menjadi "kosong" dan "tak terolah" seperti yang pernah
diamati oleh Graham Greene. Namun, mengingat penggambaran
Greene menyertakan romansa tertentu, seperti Freetown yang lesu
dan lusuh namun memikat dalam novel terkenalnya The Heart of
the Matter, maka Thomas Malthus-lah, filsuf kerusakan demografis,
yang sekarang ini dianggap juru nujum untuk masa depan Afrika
Barat. Dan masa depan Afrika Barat, pada akhirnya juga akan men-
jadi masa depan sebagian besar dunia.
Tengoklah "Chicago." Yang saya maksudkan bukan Chicago, Il-
linois, melainkan sebuah distrik kumuh di Abidjan, yang oleh para
pemuda preman di wilayah itu dinamai seperti kota Amerika terse-
but. ("Washington" adalah kawasan miskin lain di Abidjan.) Meski
Sierra Leone umumnya dianggap sudah tak bisa diselamatkan, Pan-
tai Gading dianggap sebagai suatu kisah sukses Afrika, dan Abidjan
disebut "Paris Afrika Barat." Namun, sukses dibangun di atas dua
faktor artifsial: tingginya harga kakao, di mana Pantai Gading adalah
produsen nomor satu di dunia, dan keandalan komunitas ekspatriat
Prancis, yang anggota-anggotanya telah membantu menjalankan pe-
merintahan dan sektor swasta. Perdagangan kakao yang makin
meningkat telah menjadikan Pantai Gading sebuah magnet bagi para
pekerja migran dari seluruh Afrika Barat: antara sepertiga sampai
setengah populasi negara ini sekarang bukanlah warga Gading, dan
angka ini tingginya bisa mencapai 75 persen di Abidjan. Selama
1980-an harga kakao jatuh dan orang-orang Prancis mulai pergi. Pen-
cakar-pencakar langit di Paris Afrika Barat pun menjadi pajangan
belaka. Barangkali 15 persen dari tiga juta penduduk Abidjan tinggal
di daerah-daerah kumuh seperti Chicago dan Washington, dan ma-
yoritas besar tinggal di tempat-tempat yang tidak banyak bedanya.
Tidak semua tempat ini muncul di peta-peta yang sudah ada. Ini
adalah indikasi lain dari betapa peta-peta politik merupakan produk
dari pemikiran konvensional yang layu dan, dalam kasus Pantai
Gading, dari sebuah elite yang akhirnya akan dipaksa untuk
melepaskan kekuasaan.

Chicago, seperti halnya kawasan Abidjan yang lain, adalah daerah

107
Robert D. Kaplan

kumuh yang nyata: barisan atap seng bengkok dan dinding yang
terbuat dari kardus dan kantung plastik hitam, ia berlokasi di selokan
yang mampat oleh sampah kelapa dan kelapa sawit, dan porak-po-
randa karena banjir. Sedikit saja pemukim yang punya akses mudah
untuk listrik, sistem saluran pembuangan kotoran, atau pasokan air
bersih. Tanah merah mengandung laterit penuh dengan kadal-kadal
berkaki panjang baik di dalam maupun di luar gubuk. Anak-anak
buang air besar di sebuah sungai yang penuh dengan sampah, babi,
dan nyamuk malaria yang berdengung-dengung. Di sungai kecil
wanita-wanita mencuci. Para pemuda pengangguran menghabiskan
waktu dengan minum bir, tuak nira, dan jenewer serta main judi
karambol yang dibuat dari kayu bekas dan paku berkarat. Anak-
anak muda ini juga yang pada malam hari merampok rumah-rumah
di lingkungan orang-orang Pantai Gading yang lebih kaya. Seorang
laki-laki yang saya temui, Damba Tesele, datang ke Chicago dari
Burkina Faso pada 1963, Profesinya adalah koki, ia punya empat
istri dan tiga puluh dua anak, yang tak seorang pun bersekolah sam-
pai bangku SMA. la telah melihat komunitas kumuhnya dihancur-
kan oleh pemerintah kotapraja selama tujuh kali sejak ia datang ke
wilayah ini. Tiap kali ia dan para tetangganya harus membangun
kembali. Chicago adalah penjelmaannya yang paling akhir.

Lima puluh lima persen populasi Pantai Gading adalah warga


perkotaan, dan proporsinya diperkirakan akan mencapai 62 persen
pada 2000. Pertumbuhan bersih populasi tahunan adalah 3,6 persen.
Hal ini berarti bahwa penduduk Pantai Gading yang berjumlah 13,5
juta jiwa akan menjadi 39 juta pada 2005, ketika kebanyakan pendu-
duk akan terdiri dari kaum petani kota seperti yang terdapat di ka-
wasan Chicago. Namun jangan berharap Pantai Gading masih ada
pada saat itu. Chicago, adalah indikasi demografi Afrika dan Dunia
Ketiga saat ini—dan bahkan masa depan. Masa depan Dunia Ketiga
bukanlah tempat terpencil dengan para wanitanya yang berjalan
dengan menyunggi guci tanah liat di atas kepala. Inilah alasan me-
ngapa Pantai Gading, yang pernah menjadi model kesuksesan Dunia
Ketiga, sekarang menjadi studi kasus petaka besar di Dunia Ketiga.

122
.Anarki yang Mengancam

Presiden Fèlix Houphouët-Boigny, yang meninggal Desember lalu


di usia sekitar 90 tahun, meninggalkan sekelompok partai politik
yang lemah dan birokrasi kusut yang menyurutkan minat investasi
asing. Karena militer kecil dan jumlah penduduk non-Pantai Gading
besar, tak ada kekuatan nyata yang menjaga ketertiban ataupun rasa
kebangsaan yang akan mengurangi keadaan semacam itu. Ekonomi
telah merosot sejak pertengahan 1980-an. Sekalipun orang Prancis
masih bekerja penuh ketekunan untuk menjaga stabilitas, Pantai Ga-
ding menghadapi kemungkinan yang lebih buruk ketimbang kude-
ta: sebuah ledakan anarkis kekerasan kriminal—sebuah versi ur-
ban dari apa yang telah terjadi di Somalia. Atau ia mungkin menjadi
Yugoslavianya Afrika, bedanya cuma tak ada negara-negara kecil
untuk menggantikan negara kesatuan.
Karena realitas demografis Afrika Barat adalah sebuah wilayah
pedalaman hingga daerah-daerah kumuh padat di pinggir pantai,
pada akhirnya para penguasa wilayah akan memikirkan ulang nilai
kawasan kumuh ini. Ada tanda-tanda hal ini sudah terjadi di Sierra
Leone—dan di Togo, di mana diktator Etienne Eyadema, yang ber-
kuasa sejak 1967, hampir terguling pada 1991, bukan oleh kelompok
demokrat melainkan oleh ribuan kaum muda yang oleh majalah
West Africa yang berbasis di London digambarkan sebagai "para
pemuda pelempar batu ala Soweto." Perilaku mereka mungkin bisa
membentuk sebuah rezim yang lebih brutal ketimbang rezim Eya-
dema yang represif.
Kerapuhan dari "negara-negara" Afrika Barat ini tergambar saat
saya naik serangkaian angkutan reyot sepanjang Pantai Guinea, dari
ibukota Togo, Lome, menyeberangi Ghana, menuju Abidjan. Perja-
lanan 400 mil membutuhkan dua hari penuh di jalan, karena pember-
hentian-pemberhentian di dua garis perbatasan dan sebelas pos tam-
bahan, yang di setiap tempatnya tas para penumpang digeledah.
Saya harus menukarkan uang dua kali dan berulang kali mengisi
formulir pernyataan-valuta asing. Saya harus menyogok seorang
pejabat imigrasi Togo dengan uang yang jumahnya sekitar delapan
belas dolar sebelum ia mau membubuhkan cap keluar di paspor

109
Robert D. Kaplan

saya. Meskipun demikian, penyelundupan merajalela di perbatasan.


The London Observer telah melaporkan bahwa di 1992 uang senilai
$856 juta meninggalkan Afrika Barat menuju Eropa dalam bentuk
"uang panas" yang diperkirakan adalah uang hasil penjualan nar-
koba yang telah mengalami pencucian. Kartel internasional telah
memanfaatkan rezim-rezim Afrika Barat yang lemah dan miskin uang.
Makin fiktif kedaulatan negara, makin keras pejabat-pejabat
perbatasan untuk membuktikan yang sebaliknya. Mendapatkan visa
untuk negara-negara ini bisa sama susahnya dengan menyeberangi
perbatasan mereka. Kedutaan besar Sierra Leone dan Guinea di
Washington—dua negara termiskin di dunia, menurut laporan PBB
1993 tentang "pembangunan manusia"—meminta surat dari bank
saya (sebagai jaminan tiket pulang pergi yang sudah dibayar sebe-
lumnya) dan juga referensi personal, untuk membuktikan bahwa
saya memiliki sarana yang memadai untuk menjaga diri selama
kunjungan saya. Saya lantas teringat tentang kekusutan pengurusan
visa dan valuta asing saat bepergian ke negara-negara komunis Ero-
pa Timur, terutama Jerman Timur dan Cekoslowakia, sebelum nega-
ra-negara itu ambruk.
Ali A. Mazrui, direktur Institute of Global Cutural Studies di State
University of New York di Binghamton, meramalkan bahwa Afrika
Barat—seluruh benua itu—berada di ambang pergolakan perbatasan
berskala besar. Mazrui menulis,

Di abad ke-21 Prancis a k a n m e n a r i k diri dari Afrika Barat saat ia


s e m a k i n terlibat d e n g a n p e r s o a l a n - p e r s o a l a n ( E r o p a ) . L i n g k u p
p e n g a r u h Prancis di Afrika Barat akan diisi oleh N i g e r i a — s e b u a h
kekuatan h e g e m o n i k y a n g lebih n a t u r a l . . . D a l a m keadaan seperti
itulah perbatasan-perbatasan Nigeria sendiri m u n g k i n b e r k e m b a n g
d e n g a n m e m a s u k k a n R e p u b l i k N i g e r {ikatan H a u s a ) , R e p u b l i k
Benin (ikatan Yoruba), d a n k e m u n g k i n a n juga K a m e r u n .

Masa depan bisa lebih kacau-balau, dan berdarah, kertimbang yang


telah dikemukakan Mazrui. Prancis akan menarik diri dari bekas-

110
Anarki yang Mengancam

bekas koloninya seperti Benin, Togo, Niger, dan Pantai Gading, di


mana ia telah menyangga mata uang lokal. Ia melakukannya bukan
hanya karena perhatiannya akan teralihkan ke tantangan-tantangan
baru di Eropa dan Rusia melainkan juga karena para pejabat Prancis
yang lebih muda tak memiliki ikatan emosional yang dipunyai gene-
rasi sebelumnya dengan daerah bekas koloni. Meskipun demikian,
bahkan saat Nigeria berusaha memperluas wilayahnya, ia juga seper-
tinya akan terpecah-pecah ke dalam beberapa bagian. Biro Intelijen
dan Riset Departemen Luar Negeri baru-baru ini menyodorkan poin-
poin ini dalam analisis tentang Nigeria:

Prospek untuk s e b u a h transisi m e n u j u p e m e r i n t a h a n sipil d a n


demokratisasi sangat kecil...Aparat dinas keamanan negara yang
r e p r e s i f . . - a k a n s u l i t d i k o n t r o l o l e h p e m e r i n t a h a n s i p i l di m a s a
d e p a n . . . N e g a r a ini m a k i n tak bisa d i k e l o l a l a g i . . . P e r p e c a h a n e t n i k
d a n regional m a k i n m e n d a l a m , s e b u a h situasi y a n g d i p e r b u r u k o l e h
m e n i n g k a t n y a j u m l a h n e g a r a b a g i a n d a r i 19 ke 3 0 d a n b e r l i p a t
g a n d a n y a j u m l a h p e j a b a t lokal; k e r e t a k a n a g a m a lebih s e r i u s lagi;
f u n d a m e n t a l i s m e M u s l i m d a n militansi K r i s t e n p e n g i n j i l s e d a n g
b a n g k i t ; d a n k e c e m a s a n k a u m M u s l i m di utara t e r h a d a p kontrol
selaian [Kristen] atas ekonomi makin meningkat...keinginan untuk
m e n j a g a N i g e r i a tetap utuh s e k a r a n g s a n g a t l e m a h .

Mengingat bahwa Nigeria yang kaya minyak adalah pemimpin wi-


layah itu—populasinya yang sekitar 90 juta jiwa setara dengan
gabungan seluruh populasi Afrika Barat yang lain—tampaknya Afri-
ka menghadapi malapetaka tiba-tiba yang nantinya bisa membuat
bencana kelaparan di Ethiopia dan Somalia seperti tidak ada apa-
apanya. Hal ini terutama disebabkan populasi Nigeria, termasuk di
kota terbesarnya, Lagos, di mana kejahatan, polusi, serta kepadatan
penduduknya yang berlebihan merupakan gambaran sempurna ten-
tang kegagalan perkotaan Dunia Ketiga, sangat mungkin menjadi
dua kali lipat selama 25 tahun ke depan, sementara negara ini terus
menghabiskan sumber daya alamnya.

i l l
Robert D. Kaplan

Sebagian persoalan pelik Afrika Barat adalah bahwa sekalipun


lajur populasinya horisontal, dengan kepadatan tempat tinggal yang
makin meningkat saat seseorang bepergian dari Sahara ke arah sela-
tan menuju daerah tropis yang kaya hasil alam di pesisir Atlantik,
garis perbatasan yang dibentuk oleh penguasa kolonial Eropa adalah
vertikal, sehingga bersilang jalan dengan demografi dan topografi.
Foto-foto satelit menggambarkan realitas serupa yang saya alami
saat naik taksi: jalan pantai Lomé-Abidjan—yakni seluruh bentang
pantai dari Abidjan ke timur menuju Lagos—adalah sebuah mega-
lopolis yang sedang tumbuh, yang menurut standar ekonomi dan
geografi yang rasional seharusnya membentuk sebuah negara tung-
gal, dan bukannya terbagi lima (Pantai Gading, Ghana, Togo, Benin,
dan Nigeria) seperti sekarang ini.
Di saat banyak perbatasan internal Afrika mulai runtuh, sebuah
tapal batas yang lebih tak bisa ditembus muncul dan mengancam
akan mengisolasi benua itu secara keseluruhan: dinding penyakit.
Hanya untuk bisa mengunjungi Afrika Barat dengan perasaan aman,
saya mesti menghabiskan $500 untuk serangkaian vaksinasi hepa-
titis B dan pencegahan penyakit lain. Dalam hal kesehatan, Afrika
sekarang ini mungin lebih berbahaya dibanding pada 1862, sebelum
antibiotik, ketika penjelajah Sir Richard Francis Burton menggam-
barkan situasi kesehatan di benua ini dengan kata-kata, "mematikan,
sebuah Golgota, sebuah Jehannum." Dari sekitar 12 juta orang di
dunia yang darahnya dinyatakan positif HIV, 8 juta di antaranya
ada di Afrika. Di ibukota Pantai Gading, yang sistem jalanan mo-
dernnya malah membantu penyebaran penyakit, 10 persen pendu-
duk terkena postif HIV. Dan perang serta pergerakan pengungsi
membantu virus menembus ke wilayah-wilayah yang lebih terpencil
di Afrika. Alan Greenberg, M.D., seorang perwakilan dari Pusat
Pengawasan Penyakit di Abidjan, menjelaskan bahwa di Afrika vi-
rus HIV dan tuberkulosis sekarang ini "saling membiakkan satu-
sama lain". Dari sekitar 4.000 pasien di Abidjan yang baru saja di-
diagnosa terkena TBC, 45 persen Kasih-nya juga didapati terkena
HIV positif. Saat angka kelahiran di Afrika membumbung dan ke-

112
.Anarki yang Mengancam

miskinan merajalela, beberapa pakar cemas bahwa mutasi virus dan


hibridisasi bisa saja menghasilkan sebuah bentuk virus AIDS yang
lebih mudah menyerang daripada turunannya yang sekarang,
Malaria-lah yang paling bertanggung jawab terhadap dinding
penyakit yang mengancam memisahkan Afrika dan bagian lain dari
Dunia Ketiga dari wilayah yang lebih maju dari planet ini di abad
ke-21. Tidak seperti AIDS, malaria yang dibawa oleh nyamuk ini
gampang teridap. Sebagian besar orang di Afrika sub-Sahara telah
m e r a s a k a n d e r i t a p e n y a k i t ini s e p a n j a n g h i d u p m e r e k a , d a n p e n y a k i t
ini telah bermutasi menjadi sebuah bentuk yang kian mematikan.
"Bahaya terbesar dari malaria adalah rasa lemas vang sangat," tulis
Sir Richrad Burton, yang secara akurat memotret situasi di sebagian
besar Dunia Ketiga saat ini. Para pengunjung ke wilayah planet ini
yang terjangkit malaria d i l i n d u n g i oleh sebuah obat b a r u ,
mefloquine, yang akibat sampingnya adalah mimpi-mimpi buruk
kekerasan yang sepertinya nyata. Namun sebuah turunan malaria
yang menyerang otak ternyata tahan terhadap mefloquine, dan tu-
runan ini sekarang sedang menyerang. Akibatnya, melindungi sese-
orang terhadap malaria di Afrika semakin mirip dengan melindungi
seseorang dari tindak kejahatan. Orang jadi melakukan "modifikasi
perilaku": tidak pergi keluar saat malam hari, dan mengenakan pe-
nolak nyamuk sepanjang waktu.

Dan kota-kota tersebut terus berkembang. Saya mendapatkan ke-


san umum tentang masa depan saat mengendarai mobil dari bandara
menuju pusat kota Conakry, ibukota Guinea. Perjalanan empat puluh
lima menit di jalanan padat melewati sebuah kawasan kumuh yang
seolah tak ada habisnya: sebuah gambaran mimpi buruk Dickensian
yang mana Dicken sendiri mungkin tak akan memercayainya. Gu-
buk seng yang bengkok-bengkok dan dindingnya yang penuh karat
dilaburi lumpur hitam. Toko-toko dibangun dari peti kemas rongsok,
mobil rombengan, dan kabel yang malang- melintang tak karu-karu-
an. Jalanan adalah aliran sampah yang panjang. Nyamuk dan lalat
ada di mana-mana. Anak-anak, banyak dari mereka busung perut-
nya, nampak berkerumum seperti semut. Ketika pasang datang,

113
Robert D. Kaplan

bangkai tikus dan kerangka mobil terhampar di pantai yang kotor.


Dalam waktu dua puluh delapan tahun populasi Guinea akan ber-
tambah dua kali lipat jika pertumbuhan berjalan dengan angka yang
sekarang ini. Penebangan kayu gelondongan masih berlangsung
gila-gilaan, dan orang-orang lari dari daerah pedalaman Guinea me-
nuju Conakry. Tampak bagi saya bahwa di sini, dan di tempat lain
di Afrika dan Dunia Ketiga, manusia telah menantang alam jauh
melampaui batasannya, dan sekarang alam mulai membalas dendam.

AFRIKA MUNGKIN SAMA RELEVANNYA dengan ciri dunia politik masa


depan seperti halnya Balkan seratus tahun lalu, sebelum dua perang
Balkan dan Perang Dunia I. Saat itu ancamannya adalah runtuhnya
kerajaan-kerajaan dan lahirnya negara-negara yang semata-mata di-
dasarkan pada suku. Sekarang ancamannya lebih mendasar: alam
yang tak terkendalikan. Masa depan Afrika dalam waktu dekat bisa
sangat buruk. Pergolakan yang mengancam, di mana kedutaan-ke-
dutaan asing ditutup, negara-negara runtuh, dan kontak dengan
dunia luar berlangsung melalui pos perdagangan pinggir pantai
yang berbahaya dan terjangkit penyakit, akan semakin besar di abad
baru yang kita masuki (sembilan dari dua puluh satu misi bantuan
luar negeri Amerika Serikat akan ditutup selama tiga tahun menda-
tang di Afrika—sebuah prolog untuk konsolidasi dari kedutaan-ke-
dutaan Amerika Serikat sendiri.). Sebabnya tak lain adalah sebagian
besar Afrika sudah berada dalam keadaan yang membahayakan pa-
da waktu Perang Dingin berakhir, ketika derita lingkungan dan de-
mografik di bagian lain dunia menjadi penting, dan ketika sistem
negara-bangsa pasca-Perang Dunia I—bukan hanya di Balkan me-
lainkan juga mungkin di Timur Tengah—sebentar lagi terguling.
Afrika memperlihatkan akan seperti apa wajah perang, perbatasan,
dan politik etnik beberapa dekade dari sekarang.

Untuk mengerti kejadian-kejadian 50 tahun mendatang, orang


harus memahami kelangkaan lingkungan, benturan budaya dan ras,
kodrat geografis, dan transformasi peperangan. Urutan yang saya

114
.Anarki yang Mengancam

sebutkan ini tidaklah kebetulan. Setiap konsep kecuali yang pertama


sebagian bersandar pada satu hal atau beberapa hal yang menda-
huluinya, yang berarti bahwa dua yang terakhir—pendekatan baru
untuk pemetaan dan peperangan—adalah yang paling penting. Me-
reka juga yang paling kurang dipahami. Saya sekarang akan mem-
bahas setiap ide, yang bersumber dari karya para spesialis dan pe-
ngalaman perjalanan saya sendiri di beragam belahan dunia selain
Afrika, untuk mengisi kekosongan dalam atlas politik yang baru.

LINGKUNGAN SEBAGAI KEKUATAN YANG MEMUSUHI

media akan terus menganggap kerusuhan


U N T U K S E M E N T A R A WAKTUI

dan ledakan kekerasan lain di luar negeri terutama disebabkan oleh


konflik etnik dan keagamaan. Namun saat konflik-konflik ini berlipat
ganda, akan tampak jelas bahwa sesuatu yang lain sedang terjadi,
yang membuat tempat-tempat seperti Nigeria, India, dan Brasil tak
bisa dikelola lagi.
Sebutlah "lingkungan" atau "menipisnya sumber daya alam" di
lingkaran pembuat kebijakan luar negeri, dan Anda bakal menjum-
pai tembok batu skeptisisme atau sikap bosan. Khususnya bagi ke-
lompok konservatif, istilah-istilah ini nampak rapuh. Yayasan-ya-
yasan kebijakan publik mempunyai andil dalam kurangnya minat
tersebut, dengan pendanaan sedikit saja yang terfokus pada pene-
litian-penelitian lingkungan yang penuh dengan jargon teknis yang
dibiarkan menumpuk di meja para pakar masalah luar negeri.
Sudah waktunya memahami "lingkungan" sebagaimana adanya:
masalah keamanan nasional awal abad kedua puluh satu. Dampak
politik dan strategis dari populasi yang bertambah banyak, penye-
baran penyakit, pengundulan hutan dan erosi tanah, kekurangan
air, polusi udara dan, mungkin, naiknya permukaan air laut di wi-
layah-wilayah kritis yang sangat padat penduduknya seperti Delta
Nil dan Bangladesh—perkembangan-perkembangan yang akan
mendorong migrasi massal dan, pada gilirannya, menyulut konflik

115
Robert D. Kaplan

kelompok—akan menjadi inti tantangan kebijakan luar negeri yang


darinya hal-hal lain akhirnya akan muncul, menggugah publik dan
menyatukan beragam kepentingan yang tersisa dari Perang Dingin.
Di abad ke-21, pasokan air akan amat sangat menipis di wilayah-
wilayah yang berbeda seperti seperti Arab Saudi, Asia Tengah, dan
barat daya Amerika Serikat. Peperangan bisa meletus antara Mesir
dan Ethiopia untuk memperebutkan air Sungai Nil. Bahkan di Eropa,
ketegangan telah muncul antara Hungaria dan Slowakia dalam hal
pembendungan Danube, sebuah kasus klasik bagaimana perselisih-
an lingkungan berpadu dengan perselisihan etnik dan sejarah. Ilmu-
wan politik dan juga penasihat Clinton yang terdahulu, Michael
Mandelbaum, telah mengatakan, "Kita saat ini memiliki sebuah
kebijakan luar negeri yang bentuknya seperti donat—begitu banyak
minat-perhatian pada hal-hal yang tidak-pokok namun kosong di
pusat persoalan." Menurut saya, lingkungan adalah bagian dari se-
rangkaian masalah mengerikan yang akan membentuk suatu an-
caman baru terhadap keamanan kita, mengisi lubang di donat Man-
delbaum dan membuat kebijakan luar negeri pasca-Perang Dingin bisa
muncul lebih karena kebutuhan dan bukannya karena perencanaan.

Kebijakan luar negeri Perang Dingin kita benar-benar dimulai


dengan artikel kondang George F. Kennan, yang menggunakan
nama penulisan " X " , di Foreign Affairs pada Juli 1947. Dalam arti-
kelnya ia menyarankan adanya "pencegahan yang tegas dan was-
pada" terhadap pengaruh Uni Soviet yang mempunyai motivasi
perluasan-wilayah ketimbang ideologi. Suatu hari nanti, barangkali
awal kebijakan luar negeri pasca-Perang Dingin kita akan dianggap
muncul dari sebuah analisis tertulis yang lantang dan terperinci:
artikel yang muncul di jurnal International Security. Artikel ini,
diterbitkan pada musim gugur 1991 oleh Thomas Fraser Homer-
Dixon, yang merupakan pimpinan Peace and Conflict Studies Pro-
gram di University of Toronto, berjudul " O n the Threshold:
Enviromental Changes as Causes of Acute Conflict." ("Di Ambang
Batas: Perubahan-Perubahan Lingkungan sebagai Penyebab Konflik
Akut."), Lebih kuat ketimbang analis-analis Iain, Homer-Dixon me-

116
.Anarki yang Mengancam

madukan dua bidang yang terpisah sampai sekarang ini—studi kon-


flik militer dan studi lingkungan fisik.
Dalam pandangan Homer-Dixon, peperangan masa depan dan
kekerasan sipil akan seringkali dipicu karena kelangkaan sumber
daya seperti air, tanah pertanian, hutan, dan ikan. Seperti halnya
akan ada perang yang digerakkan lingkungan dan aliran pengungsi,
akan ada pula rezim-rezim korup yang terpengaruh secara lingkung-
an—atau, sebagaimana ia menyebutnya, "rezim-rezim keras/' Ne-
geri-negeri yang paling mungkin mendapatkan rezim keras, me-
nurut Homer-Dixon, adalah negeri-negeri yang basis sumber daya-
nya terancam merosot dan juga memiliki "sejarah kekuatan negara
[baca 'militer']". Kandidat-kandidatnya antara lain Indonesia, Brasil,
dan tentu saja Nigeria. Meskipun masing-masing negara tersebut
telah menunjukkan kecenderungan demokratisasi di saat-saat ter-
akhir ini, Homer-Dixon berpendapat bahwa kecenderungan ini se-
pertinya adalah "epifenomcna" dangkal yang tak ada kaitannya sa-
ma sekali dengan proses jangka panjang yang mencakup pembeng-
kakan jumlah penduduk dan menyusutnya bahan mentah. Demokrasi
adalah hal yang problematis; kelangkaan adalah hal yang lebih pasti.

Tak diragukan lagi, para Saddam Hussein masa depan akan me-
miliki kesempatan yang lebih besar, bukan sebaliknya. Selain me-
nyulut pertikaian kesukuan, sumber daya yang makin langka akan
memberi tekanan besar terhadap banyak orang yang tak pernah
memiliki cukup tradisi ataupun kelembagaan demokratis untuk me-
mulai. Selama 50 tahun ke depan populasi dunia akan melambung
dari 5,5 miliar menjadi 9 miliar. Sekalipun kelompok optimistis telah
berharap pada sumber teknologi baru dan per-kembangan pasar
bebas di desa global, mereka luput memper-hatikan, seperti yang
sudah ditunjukkan National Academy of Sciences, bahwa 95 persen
peningkatan penduduk akan berada di daerah-daerah paling miskin
di dunia, di mana pemerintahan sekarang—lihat saja Afrika—mem-
perlihatkan kecakapan yang kecil untuk berfungsi, apalagi mene-
rapkan perbaikan-perbaikan yang kecil sekalipun. Homer-Dixon me-
nulis dengan getir, "kaum Neo-Malthusian mungkin merendahkan

117
Robert D. Kaplan

kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dalam sistem ling-


kungan-sosial saat ini, namun seiring dengan berjalannya waktu ana-
lisis mereka kian lama kian meyakinkan."
Sementara minoritas populasi manusia akan, seperti yang dike-
mukakan Francis Fukuyama, cukup terlindung untuk masuk wila-
yah "pascasejarah", tinggal di kota atau pinggiran kota di mana ling-
kungan telah kendalikan dan kebencian etnik telah dipadamkan oleh
kemakmuran borjuis, semakin banyak orang yang akan terpaku da-
lam sejarah, hidup di rumah-rumah kumuh di mana upaya untuk
bangkit dari kemiskinan, kegagalan budaya, dan perseteruan etnik
akan terhantam oleh kekurangan air minum, tanah garapan, dan
ruang untuk bertahan hidup. Di dunia berkembang petaka lingkung-
an akan memberi orang-orang suatu pilihan antara totalitarianisme
(seperti halnya di Irak), negara-negara kecil yang cenderung fasis
(seperti halnya Bosnia yang dikuasai Serbia), dan budaya petarung
jalanan (seperti di Somalia). Homer-Dixon menyimpulkan bahwa
"saat kerusakan lingkungan berlanjut, besarnya gejolak sosial akan
meningkat."
Homer-Dixon yang berperawakan kecil ini bukanlah seorang
Jeremiah (orang yang pesimis mengenai masa depan). Saat ini, laki-
laki yang awet muda ini sudah berusia 37 tahun, besar di tengah-
tengah Pulau Vancouver dengan hutannya yang lebat, menempuh
pendidikan di sekolah swasta. Bicaranya tenang, singkat, dan jelas.
Tak ada dalam latar belakangnya yang akan mengindikasikan
kecondongan menuju pesimisme. Sebagai seorang Anglikan Kanada
yang menghabiskan musim panasnya dengan naik perahu di danau-
danau utara Ontario, dan yang berbicara tentang gunung-gunung
yang ramah, beruang hitam, dan pohon cemara Douglas dari masa
mudanya, ia adalah kebalikan dari seorang neokonservatif yang
kaku secara intelektual, yang mengurung diri di rumah dengan ske-
nario-skenario konflik, la juga bukan aktivis lingkungan yang me-
nentang pembangunan. "Ayah saya adalah seorang penebang kayu
yang berpikir tentang kehutanan yang aman secara ekologis sebelum
orang lain melakukannya," katanya. "Ia menebang, menanam, me-

ns
.Anarki yang Mengancam

nebang, dan menanam. Ia meninggalkan bisnis ini tepat saat isu ini
diperdebatkan oleh para aktivis lingkungan. Mereka tak suka eko-
sistem yang berubah. Namun manusia, dengan membawa biji-bijian
ke mana pun, telah mengubah alam." Sebagai anak tunggal yang tem-
pat bermainnya praktis adalah alam liar dan pesisir yang tak tersentuh
tangan manusia, Homer-Dixon punya keakraban dengan alam yang
membuatnya bisa melihat sebuah realitas yang gelap bagi kebanyakan
analis kebijakan—anak-anak pinggiran kota dan jalanan kota.
"Kita perlu kembali berbicara tentang alam," ujarnya. "Kita harus
berhenti memisahkan politik dari dunia fisik—iklim, kesehatan
publik, dan lingkungan." Dengan mengutip Daniel Deudney, se-
orang pakar terkemuka lain tentang aspek keamanan lingkungan,
Homer-Dixon menyatakan bahwa "sudah terlalu lama kita menjadi
tawanan teori "sosial-sosial", yang menganggap hanya ada sebab-
sebab sosial untuk perubahan sosial dan politik, dan bukan penyebab
alam. Mentalitas sosial-sosial ini muncul dengan Revolusi Industri,
yang memisahkan kita dari alam. Namun alam kembali dengan
membawa dendam, yang terkait dengan pertumbuhan penduduk.
Hal ini akan punya implikasi keamanan yang luar biasa.
"Bayangkan sebuah limo panjang di jalanan berlubang di Kota
New York, di mana para pengemis tinggal. Di dalam limo yang sejuk
karena pendingin-udara adalah wilayah-wilayah pascaindustri
Amerika Utara, Eropa, Lingkar Pasifik yang bani muncul, dan bebe-
rapa tempat jauh yang lain, dengan perdagangan yang tinggi dan
jalan-jalan besar berinformasi-komputer. Di luar adalah manusia di
belahan dunia lainnya, yang berjalan menuju arah yang sepenuhnya
berbeda."
Kita sedang memasuki dunia yang terbagi dua. Sebagian dunia
dihuni oleh Manusia Terakhir ala Heysel dan Fukuyama yang sehat,
makan cukup, dan dimanjakan oleh teknologi. Bagian lain yang lebih
besar, dihuni oleh Manusia Pertama Hobbes, yang dikutuk untuk
menjalani kehidupan yang "miskin, keji, kasar, dan serba kekurang-
an." Sekalipun dua bagian ini akan terancam oleh tekanan lingkungan,
Manusia Paripurna akan bisa mengatasinya; Manusia Pertama tidak.

119
Robert D. Kaplan

Manusia Terakhir akan menyesuaikan diri dengan berkurangnya


cadangan air tanah di Amerika Serikat bagian barat. Ia akan mem-
bangun bendungan-bendungan untuk menyelamatkan Tanjung
Hatteras dan pantai-pantai Chesapeake dari naiknya pemukaan air
laut, bahkan ketika Kepulauan Maladewa dan pesisir India teng-
gelam habis, serta garis pantai Mesir, Bangladesh, dan Asia Tenggara
menyusut dan membuat puluhan juta orang bergerak ke pedalaman
di mana tak ada ruang lagi bagi mereka sehingga mempertajam
pembagian etnik.
Homer-Dixon menunjuk ke sebuah peta kerusakan tanah dunia
di kantornya di Toronto. "Makin gelap warna peta, makin parah
kerusakannya," katanya menjelaskan. Pesisir Afrika Barat, Timur
Tengah, jazirah India, Cina, dan Amerika Tengah memiliki arsiran
paling kelam, menunjukkan semua bentuk kerusakan, yang terkait
dengan masalah angin, kimia, dan air. "Kerusakan terparah biasanya
berada di tempat yang populasinya tertinggi. Populasi tertinggi bia-
sanya berada di tanah terbaik. Jadi kita sedang merusak tanah terbaik
bumi."
Cina, dalam pandangan Homer-Dixon, adalah contoh paling jelas
dari kerusakan lingkungan. "Kesuksesan" ekonominya dewasa ini
membuat persoalan makin dalam. "Angka pertumbuhan Cina yang
14 persen tidak berarti negara ini akan menjadi suatu kekuatan du-
nia. Ini berarti bahwa pesisir Cina, di mana pertumbuhan ekonomi
berlangsung, sedang bergabung dengan Lingkar Pasifik lainnya. Ke-
senjangan dengan pedalaman Cina meningkat." Merujuk riset ling-
kungan yang dilakukan rekannya, ahli ekologi kelahiran Chek
Vaclav Smil, Homer-Dixon menjelaskan bagaimana ketersediaan
tanah per kapita yang bisa ditanami di pedalaman Cina dengan cepat
menurun bersamaan dengan turunnya kualitas tanah tersebut vang
telah rusak oleh penggundulan hutan, hilangnya lapisan hara, dan
perembesan air laut. Ia menyebutkan berkurangnya dan tercemarnya
pasokan air, keringnya sumur-sumur, tersumbatnya sistem irigasi
dan penampungan air karena endapan lumpur yang menyebabkan
erosi, dan populasi yang akan berjumlah 1,54 miliar pada 2025: me-

120
.Anarki yang Mengancam

rupakan suatu kesalahan pengertian untuk menganggap bahwa Cina


telah bisa mengendalikan pertambahan populasinya. Perpindahan
penduduk dalam skala besar sedang terjadi, dari pedalaman Cina
ke pesisir Cina dan dari desa ke kota, vang membawa gelombang
kejahatan seperti yang terjadi di Afrika. Kesenjangan serta konflik
wilayah juga semakin besar di sebuah negara yang punya tradisi
kuat kepanglimaan perang, namun memiliki tradisi lemah peme-
rintahan pusat—sekali lagi, seperti di Afrika. "Kita mungkin akan
melihat pusat ditentang dan terpecah, dan Cina tak akan sama lagi
di peta," kata Homer-Dixon.
Kelangkaan lingkungan akan menyulut kebencian yang sudah
ada dan memengaruhi hubungan kekuasaan, yang sekarang sedang
kita lihat.

KOSAK RASIS, PRAJURIT JUJU

DAI.AM FOR£U:M AFFAIRS edisi musim panas 1999, Samuel P. Hunting-


ton, dari Olin Institute for Strategic Studies di Harvard, menerbitkan
sebuah artikel yang sangat menggelitik pikiran yang berjudul "The
Clash of Civilizations?" (Benturan Peradaban?). Menurutnya, selama
abad ini dunia telah bergerak dari konflik negara-bangsa menuju
konflik ideologi, dan akhirnya konflik budaya. Saya akan menam-
bahkan bahwa saat aliran para pengungsi meningkat dan saat para
petani miskin berpindah ke kota-kota di seluruh dunia—yang mem-
buat kota-kota ini menjadi desa yang lintang-pukang—perbatasan
nasional akan kurang bermakna lagi, apalagi ketika kekuasaan jatuh
ke tangan kelompok-kelompok yang kurang terpelajar, dan kurang
pintar. Di mata jutaan orang yang tak terpelajar namun mempunyai
kekuatan baru ini, perbatasan yang sesungguhnya adalah hal-hal
yang paling nyata dan paling jelas: budaya dan suku. Huntington
menulis, "Pertama-tama, perbedaan di antara peradaban-peradaban
bukan hanya nyata; melainkan juga sangat mendasar," yang antara
lain mencakup sejarah, bahasa, dan agama. "Kedua.. .hubungan tim-

121
Robert D. Kaplan

bal-balik antara orang-orang dari peradaban yang berbeda semakin


meningkat; peningkatan ini menguatkan kesadaran peradaban/'
Modernisasi ekonomi tidak niscaya merupakan suatu panasea,
mengingat hal ini membesarkan ambisi individu dan kelompok, dan
justru melemahkan loyalitas tradisional kepada negara. Perlu dicatat,
misalnya, bahwa justru di kota paling makmur dan paling cepat
berkembang di India, Bombay, terjadi kekerasan antarkelompok ter-
buruk antara kaum Hindu dan Muslim. Pikirkanlah bahwa kota-
kota di India, seperti halnya kota-kota di Afrika dan Cina, adalah
bom waktu ekologis—Delhi dan Kalkuta, dan juga Beijing, mem-
punyai kualitas air terburuk dibanding kota-kota dunia lainnya—
dan terlihat jelas bagaimana populasi yang melambung, kerusakan
ingkungan, dan konflik etnik sangat berkaitan.
Huntington menunjuk konflik-konflik yang saling-torkait di an-
tara kaum Hindu, Muslim, Ortodoks Slavik, Barat, Jepang, Kong-
hucu, Amerika Latin, dan kemungkinan peradaban-peradaban Afri-
ka: misalnya, Hindu bertikai dengan Muslim di India, Muslim Turki
bertikai dengan Rusia Ortodoks Slavik di kota-kota Asia Tengah,
Barat bertikai dengan Asia. (Bahkan di Amerika Serikat, kelompok
Afrika-Amerika mendapati diri mereka terkepung oleh banjir kaum
Latin yang jadi pesaing). Apa pun undang-undangnya, para peng-
ungsi selalu punya cara untuk melintasi perbatasan, membawa has-
rat mereka bersamanya, yang berarti Eropa dan Amerika Serikat
akan menjadi lemah karena perselisihan budaya.
Karena Huntington memaparkan argumennya dalam garis besar,
hal-hal spesifik yang dibahasnya rentan terhadap serangan. Dalam
sebuah tanggapan terhadap argumen Huntington, guru besar dari
Johns Hopkins Fouad Ajami, seorang syi'ah kelahiran Libanon yang
jelas paham kehidupan di luar kawasan pinggir kota, menulis dalam
Foreign Affairs edisi September 1993.

Dunia Islam terbagi dan terbagi lagi. Garis p e r t e m p u r a n di Kaukasia


juga tidak sejajar d e n g a n jalur pemisah p e r a d a b a n . G a r i s - g a r i s ini
mengikuti kepentingan negara-negara. Di m a n a Huntington melihat

122
.AnarkiyangMengancam

benturan peradaban antara Armenia dan Azerbaijan, negara Iran malah


m e l e m p a r s e m a n g a t dan kesetiaan k e a g a m a a n ...ke angin lalu. D a l a m
p e r t e m p u r a n itu Iran lebih c o n d o n g kepada A r m e n i a yang Kristen.

Benar, hipotesis Huntinton mengenai perang antara Islam dan Kris-


ten Ortodoks tidak didukung bukti kuat jaringan aliansi di Kaukasia.
Namun itu hanya karena ia salah mengenali perang budaya apa
yang sedang terjadi di sana. Kunjungan baru-baru ini ke Azerbaijan
membuat saya paham bahwa bangsa Turki Azeri, kelompok Mus-
lim Shiah paling sekular sedunia, melihat identitas budaya mereka
bukan berdasarkan agama melainkan ras Turki mereka. Demikian
juga, bangsa Armenia, memerangi bangsa Azeri bukan karena yang
terakhir ini Muslim melainkan karena mereka adalah bangsa Turki,
yang punya ikatan dengan kelompok Turki yang sama yang mem-
bantai orang-orang Armenia pada 1915. Budaya Turki (yang sekular
dan didasarkan pada bahasa yang menggunakan aksara Latin) ber-
perang dengan budaya Iran (militan religius, sebagaimana yang di-
definisikan oleh Teheran, dan fanatik pada aksara Arab) di seluruh
wilayah Asia Tengah dan Kaukasia. Dengan demikian, orang Arme-
nia adalah sekutu alami dari rekan Indo-Eropa mereka, orang Iran.

Huntington benar bahwa Kaukasia adalah titik nyala perang bu-


daya dan rasial. Namun, seperti pengamatan Ajami, lempeng tektonik
Huntington terlalu sederhana. Dua bulan perjalanan yang baru-baru
ini saya lakukan ke seluruh wilayah Turki menyadarkan saya bahwa
sekalipun bangsa Turki sedang membangun ketidakpercayaan yang
mendalam, yang nyaris menjad i kebencian, terhadap bangsa Iran yang
sama-sama Muslim, mereka juga, terutama di kawasan kumuh yang
mulai mendominasi ruang publik Turki, mengkaji ulang identitas ke-
lompok mereka, dengan makin melihat diri mereka sebagai orang
Muslim vang ditelantarkan oleh Barat yang tak banyak berbuat untuk
menolong kaum Muslim yang terkepung di Bosnia dan yang menye-
rang Muslim Turki di jalanan Jerman.
Dengan kata lain, negara-negara Balkan, sebuah tong mesiu untuk
perang negara-bangsa di awal abad ke-20, bisa menjadi sebuah tong

123
Robert D. Kaplan

mesiu untuk perang budaya di peralihan abad keduapuluh satu:


antara Kristen Ortodoks (yang diwakili Serbia dan konfigurasi klasik
Romawi Timur yang terdiri dari Yunani, Rusia, dan Romania) dan
Negara-Negara Islam. Namun di Kaukasia Negara-Negara Islam
tersebut jatuh ke dalam benturan antara peradaban Turki dan Iran.
Ajami menyatakan bahwa sub-pembagian yang seperti ini, terlebih-
lebih semua pembagian di dalam dunia Arab, menunjukkan bahwa
Barat, termasuk Amerika Serikat, tidak terancam oleh skenario Hun-
tington. Seperti yang diperlihatkan oleh Perang Teluk, Barat terbukti
mampu memainkan satu negara Islam melawan negara Islam lain.
Benar. Meskipun demikian, apakah ia sadar atau tidak, Ajami
sedang menggambarkan sebuah dunia yang lebih berbahaya ketim-
bang yang dibayangkan Huntington, khususnya ketika orang mem-
pertimbangkan penelitian Homer-Dixon tentang kelangkaan ling-
kungan. Di luar limo panjang adalah sebuah planet yang kacau dan
penuh sesak oleh pasukan Kosak yang rasis dan prajurit juju, yang
terpengaruh oleh sampah terburuk budaya pop Barat dan kebencian
kesukuan purba, dan memperebutkan remah-remah tanah dalam
konflik gerilya yang mengoyak-moyak benua-benua dan saling-si-
lang dalam pola yang tak dapat dilihat—artinya tak ada ancaman
yang mudah untuk didefinisikan. Dunia Kennan dengan satu musuh
tampak sama jauhnya dengan dunia Herodotus.
Kebanyakan orang percaya bahwa dunia politik sejak 1989 telah
mengalami perubahan yang begitu besar. Namun hal ini tak begitu
banyak berarti jika dibandingkan dengan apa yang bakal terjadi.
Perpecahan dan pembuatan ulang atlas sekarang hanyalah awal.
Ambruknya kekaisaran Soviet dan berakhirnya pertikaian militer
Arab-Israel hanyalah permulaan bagi berbagai perubahan yang
begitu besar yang menunggu di depan. Michael Vlahos, seorang pe-
mikir kawakan untuk Angkatan Laut Amerika Serikat, memperi-
ngatkan, "Kita tidak mengelola lingkungan, dan dunia tak mengikuti
kita. Dunia berjalan ke arah yang berbeda-beda. Jangan beranggapan
bahwa kapitalisme demokratis adalah kata terakhir dalam evolusi
sosial manusia."

124
.Anarki yang Mengancam

Sebelum membahas persoalan peta dan peperangan, saya ingin


melihat lebih dekat pada hubungan agama, budaya, pergeseran
demografi, dan distribusi sumber daya alam di wilayah tertentu
dunia: Timur Tengah.

M A S A S I L A M S U D A H MATI

DIBANGUN DI A T A Sbukit berlumpur yang curam, wilayah-wilayah


kumuh Ankara, ibukota Turki, memancarkan drama visual. Altin-
dag, atau "Gunung Emas", adalah sebuah piramid mimpi-mimpi,
yang dibuat dari papan kayu arang dan besi bengkok, tegak seolah-
olah setiap bangunan dibangun di atas yang lain, yang semuanya
berusaha menggapai surga dengan canggung dan penuh susah-
payah—surga bangsa Turki yang lebih makmur yang tinggal di ba-
gian lain kota ini. Tak ada tempat lain di planet ini yang saya anggap
memiliki simbol arsitektur pedih dari upaya keras manusia, dengan
lubang-lubang tembok disumpal dengan kaleng bekas, dan bakung
serta bawang perai tumbuh di beranda yang dibuat dari papan-pa-
pan kayu lapuk. Untuk alasan-alasan yang akan saya jelaskan, ka-
wasan kumuh Turki berjarak satu semesta jauhnya dari kawasan
kumuh Afrika.
Untuk benar-benar melihat abad ke-21, seseorang harus mem-
pelajari serangkaian estetika yang berbeda. Orang harus menolak
gambar-gambar yang terlalu dipoles dalam majalah-majalah
perjalanan, dengan foto-fotonya yang menarik tentang desa-desa
yang eksotis dan pusat kota yang gemerlap. Ada jutaan orang yang
mimpi-mimpinya lebih vulgar, lebih nyata—yang energi kasar dan
hasratnya akan mengalahkan pandangan-pandangan kaum elite,
menata ulang masa depan menjadi suatu hal baru yang menakutkan.
Namun di Turki saya belajar bahwa kawasan kumuh tidak sela-
manya buruk.
Sudut-sudut kumuh di Abidjan menakutkan dan menolak pen-
datang luar. Di Turki, apa yang terjadi adalah hal yang sebaliknya.

125
Robert D. Kaplan

Makin dekat saya ke Gunung Emas, makin bagus ia terlihat, dan


saya merasa semakin aman. Saya punya lira Turki senilai $1.50(3 di
satu saku dan cek perjalanan senilai $1.000 di saku yang lain, namun
saya tak merasa takut. Gunung Emas merupakan suatu pemukiman
nyata. Bagian dalam dari sebuah rumah menceritakan penyebabnya:
arsitektur semrawut dari papan kayu arang, lembaran seng, dan
dinding kardus adalah sesuatu yang menipu mata. Di dalamnya
adalah ruangan sebuah rumah—yang teratur dan memancarkan
martabat. Saya melihat lemari es yang masih berfungsi, televisi, rak
dinding dengan beberapa buku dan banyak foto keluarga, beberapa
tanaman ditaruh di jendela, dan sebuah kompor. Sekalipun jalanan
menjadi selokan lumpur ketika hujan turun, lantai-lantai di dalam
rumah ini tetap bersih.
Rumah-rumah vang lain juga seperti ini. Anak-anak sekolah ber-
larian dengan ransel punggung, truk mengantarkan gas untuk me-
masak, beberapa orang duduk di dalam sebuah kafe menyeruput
teh. Seseorang yang lain menenggak bir. Alkohol mudah didapatkan
di Turki, sebuah negara sekular di mana 99 persen penduduknya
adalah Muslim. Namun tidak banyak terdapat masalah alkoholisme.
Kejahatan terhadap orang-orang sangat kecil. Kemiskinan dan kebu-
tahurufan di sini adalah versi yang lebih ringan daripada apa yang
terjadi di Aljazair dan Mesir (apalagi Afrika Barat) sehingga kaum
ekstremis keagamaan sulit mendapatkan pijakan.
Poin saya dalam menyajikan daerah kumuh yang hampir sepe-
nuhnya tanpa kejahatan ini adalah: keberadaannya memper-lihatkan
betapa mengesankan tatanan budaya Muslim Turki tersusun.
Budaya yang kuat ini punya potensi untuk sekali lagi mendominasi
Umur Tengah. Daerah kumuh adalah ujian sulit bagi kekuatan dan
kelemahan budaya tinggi. Masyarakat yang bu-dayanya bisa
menanggung kehidupan kumuh yang berat tanpa harus menjadi
berantakan mungkin adalah para pemenang masa depan. Mereka
yang budayanya tak bisa tahan terhadap kekumuhan adalah korban
masa depan. Daerah kumuh—dalam pengertian sosiologi—tak ada
di kota-kota Turki. Jalinan antara masyarakat dan kelompok-kelom-

126
.Anarki yang Mengancam

pok keluarga lebih kuat di sini ketimbang di Afrika. Kebangkitan


kembali Islam dan identitas budaya Turki telah menghasilkan sebuah
peradaban dengan tekanan kekerasan yang alamiah. Bangsa Turki,
kaum nomad abadi dalam sejarah, sedang terganggu langkahnya.
Masa depan Timur Tengah diam-diam sedang ditulis di benak
para penghuni Gunung Emas. Banyangkanlah tempat perkemahan
milter Ottoman menjelang kehancuran Konstantinopel Yunani pada
1453. Itulah Gunung Emas. "Kami membawa desa tersebut ke sini.
Namun di desa tersebut kami bekerja lebih keras—di ladang, se-
panjang hari. Maka kami tak bisa berpuasa sepanjang [bulan suci]
Ramadan. Di sini kami berpuasa, di sini kami lebih religius," kata
Aisha Tanrikulu, sambil memasukkan beras dari sebuah mangkuk
plastik murahan ke dalam daun anggur bersama enam wanita lain.
Ia meminta saya bergabung dengannya di bawah keteduhan lem-
baran seng. Semua wanita ini kepalanya tertutup kerudung. Di kota
tersebut mereka pertama kali menjumpai televisi. "Kami adalah
orang tradisional dan religius. Acara-acara televisi menyinggung
kami," kata Aisha. Wanita yang lain mengeluhkan sekolah. Sekalipun
anak-anaknya punya pilihan pendidikan yang tak ada di desa,
mereka harus bersaing dengan orang Turki sekular yang lebih kaya.
"Anak-anak dari keluarga kaya yang mempunyai koneksi—mereka
yang dapat semua jabatan." Dengan kata lain, makin banyak
kesempatan, makin banyak ketegangan.

Buku panduan saya menuju Gunung Emas adalah sebuah buku


yang tidak lazim: Tales From the Garbage Hills, sebuah novel
realistik yang brutal karya penulis Turki, Latife Tekin, bercerita ten-
tang kehidupan di wilayah-wilayah kumuh, yang di Turki disebut
gecekondus ("dibangun dalam semalam") "Ia mendengarkan bumi
dan meratap tanpa henti meminta air, pekerjaan, dan pengobatan
bagi penyakit yang tersebar karena sampah dan limbah pabrik,"
tulis Tekin. Di bagian yang paling menggugah dari Tales From the
Garbage Hills, para penghuni liar diberi tahu "tentang sebuah
'Kekaisaran Ottoman' ...bahwa tempat tinggal mereka sekarang ini
pernah menjadi kekaisaran dengan nama ini." Sejarah ini "melukai"

127
Robert D. Kaplan

para penghuni liar. Ini pertama kalinya mereka mendengar tentang


hal ini. Sekalipun salah satu dari mereka tahu bahwa "kakek dan
anjing peliharaannya mati bertempur melawan orang Yunani," na-
sionalisme dan perasaan kesejarahan Turki adalah wilayah milik kelas
menengah dan atas Turki, dan milik orang asing seperti saya yang
merasa wajib untuk mendapatkan sebuah gagasan tentang "Turki".
Tapi apa yang diketahui para penghuni liar Gunung Emas tentang
tentara migran Turki yang ada sebelum mereka—yakni, Seljuk dan
Ottoman? Bagi para petani miskin yang baru saja pindah ke kota,
dan para petani lain di Afrika, negara Arab, India, dan negeri-negeri
lain, dunia—meminjam ungkapan V.S Naipaul—merupakan suatu
hal yang baru,. Sebagaimana yang ditulis Naipaul tentang pengungsi
urban dalam India: A Wounded Civilization: "Mereka melihat diri
mereka berada pada permulaan segala sesuatu: para gelandangan
yang menuntut tanah mereka untuk pertama kalinya, dan yang me-
ngembangkan filsafat mereka sendiri mengenai komunitas dan per-
tolongan-diri dari kekacauan. Bagi mereka masa lalu sudah mati;
mereka telah meninggalkannya di desa-desa."
Di semua tempat di negara berkembang pada peralihan abad ke-
21, para laki-laki dan perempuan ini, yang berduyun-duyun pindah
ke kota-kota, membentuk kembali peradaban dan mendefinisikan
kembali identitas mereka berdasarkan agama dan etnisitas kesukuan
yang tak jumbuh dengan perbatasan negara-negara yang ada.

Di T U K K I B E B E R A P A hal terjadi secara bersamaan. Pada 1980,44 persen


bangsa Turki hidup di perkotaan; di 1990 jumlahnya men-capai 61
persen . Pada 2000 angkanya diperkirakan sekitar 67 persen . Desa-
desa menjadi kosong saat lingkaran pusat perkembangan gecekondu
tumbuh di kota-kota Turki. Ini adalah revolusi politik dan demografis
nyata di Turki dan di tempat-tempat lain, dan kores-ponden asing
biasanya tak menulis tentang masalah ini.
Di mana kemiskinan pedesaan sudah menjadi sesuatu yang uzur
dan hampir merupakan bagian " n o r m a l " dari tatanan sosial,

128
.Anarki yang Mengancam

kemiskinan perkotaan adalah suatu hal yang membuat tak-stabil


secara sosial. Seperti yang telah diperlihatkan Iran, ekstremisme Is-
lam adalah mekanisme pertahanan psikologis dari para petani mis-
kin yang pindah ke kota, yang terancam kehilangan tradisi di kota-
kota semu-modern, di mana nilai-nilai mereka diguncang, di mana
layanan dasar seperti air dan listrik tak tersedia, dan di mana mereka
terancam oleh lingkungan yang tak sehat secara fisik. Etnologis dan
orientalis Amerika, Carleton Stevens Coon, menulis di 1951 bahwa
Islam "telah memungkinkan hadirnya upaya bertahan hidup yang
optimal dan kebahagiaan jutaan manusia dalam lingkungan yang
kian miskin selama periode seribu empatratus tahun." Di balik pe-
sannya yang lugas, yang disampaikan secara fasih, militansi Islam
sangat menarik bagi orang-orang tertindas. Ini adalah sebuah agama
yang disiapkan untuk berjuang. Sebuah era politik yang digerakkan
oleh ketegangan lingkungan, kepekaan budaya yang kian mening-
kat, urbanisasi yang tak teratur dan perpindahan pengungsi adalah
sebuah era yang seolah-olah ditakdirkan bagi penyebaran dan pe-
nguatan Islam, yang merupakan agama dunia yang paling cepat
tumbuh. (Sekalipun Islam menyebar-luas di Afrika Barat, ia terha-
lang oleh sinkretisasi dengan animisme: hal ini membuat para mualaf
baru kurang begitu tertarik dengan ekstremis anti-Barat, namun hal
tersebut juga menghadir-kan versi yang lebih lemah dari sebuah
keyakinan, yang kurang efektif sebagai penangkal kejahatan.)

Namun, di Turki, Islam dengan penuh susah-payah dan kecang-


gungan membentuk sebuah konsensus dengan modernisasi, sebuah
kecenderungan yang kurang terlihat di negara-negara Arab dan Per-
sia (dan praktis tak terlihat di Afrika.) Di Iran, membubung-nya har-
ga minyak—karena ia menjalankan pembangunan dan urbanisasi
di jalur cepat, maka budayanya terguncang lebih kuat — menyulut
Revolusi Islam 1978. Namun Turki, tak seperti Iran dan negara-ne-
gara Arab, hanya mempunyai minyak yang sedikit. Dengan demi-
kian pembangunan dan urbanisasi terjadi lebih bertahap. Kaum fun-
damentalis telah tercakup dalam sistem parlemen selama berpuluh
tahun. Ketegangan yang saya perhatikan di Gunung Emas adalah

129
Robert D. Kaplan

sesuatu yang alamiah, yang kreatif: jenis yang dihadapi imigran di


dunia. Di saat dunia memusatkan perhatian pada pertentangan aga-
ma di Aljazair, sebuah negara yang kaya dengan gas alam, dan Mesir,
yang bagian dari ibukotanya, Kairo, nyata-nyata memperlihatkan
keruwetan yang bahkan lebih parah dibanding yang saya lihat di
Kalkuta, Turki telah mengalami Reformasi Muslim yang setara de-
ngan Reformasi Protestan.
Distribusi sumber daya juga memperkuat bangsa Turki dalam
cara lain saat berhadap-hadapan dengan bangsa Arab dan Persia.
Turki mungkin hanya punya sedikit minyak, namun pedalaman
Anatolia-nya memiliki banyak air—cairan paling penting di abad
ke duapuluh satu. Proyek Anatolia Tenggara Turki, yang mencakup
dua puluh dua bendungan besar dan sistem irigasi, mengambil air
dari sungai Tigris dan Eufrat. Sebagian besar air yang dibutuhkan
bangsa Arab dan mungkin juga Israel untuk minum di masa depan
dikendalikan oleh bangsa Turki. Proyek terbesar adalah Waduk Ata-
türk enam belas tingkat, seluas satu mil, yang dihiasi dengan kata-
kata pendiri Turki modern: " N e Mutlu Turkum Diyene" ("Berun-
tunglah orang yang berkebangsaan Turki").
Tidak seperti Waduk Besar Aswan milik Mesir di Sungai Nil, dan
Waduk Revolusi Suriah di Eufrat, yang keduanya sebagian besar
dibangun oleh Rusia, Waduk Atatürk sebagian besar merupakan
karya bangsa Turki sendiri, dengan tanggung jawab berada di tangan
para insiyur dan perusahaan-perusahaan Turki. Dalam kunjungan
baru-baru ini saya menjumpai kantor dan kebun mereka yang tanpa
cela, jaringan listrik tegangan tinggi dan stasiun telepon, getaran
transformer besar yang menimbulkan dengungan kencang, beton-
beton yang sedang dicurahkan, dan daerah pinggiran kota yang ma-
sih rapi, dilengkapi dengan sekolah untuk para pekerja waduk.
Bangkitnya kekuatan bangsa Turki terasa mencengangkan.
Erduhan Bayindir, manajer proyek waduk tersebut, berkata
kepada saya bahwa "Sementara minyak bisa dikirimkan ke luar ne-
geri untuk memperkaya kelompok elite semata, air harus disebar-
kan secara lebih adil di dalam masyarakat...Benar, kami bisa meng-

130
.Anarki yang Mengancam

hentikan aliran air ke Suriah dan Irak selama delapan bulan, untuk
mengatur perilaku politik mereka/'
Kekuasaan jelas bergerak ke arah utara di Timur Tengah, dari la-
dang minyak di Dhahran, Teluk Persia, ke cadangan air di Hanan,
Anatolia Selatan—dekat lokasi Waduk Atatiirk. Namun apakah
negara-bangsa Turki, seperti vang hadir saat ini, akan jadi pewaris
kekayaan ini?
Saya sangat meragukannya.

K E B O H O N G A N PARA P E M B U A T PETA

mewakili bagian realitas politik yang paling


S E M E N T A R A AFRIKA BARAT

tidak stabil di luar limo panjang Homer-Dixon, Turki, keturunan


organik dari dua kekaisaran Turki yang menguasai Anatolia selama
850 tahun, termasuk di antara vang paling stabil. Perbatasan Turki
ditetapkan bukan oleh kekuasaaan kolonial melainkan dalam sebuah
perang kemerdekaan pada awal 1920-an. Kemal Atatürk memberi
Turki sebuah mitos pembangunan-bangsa sekular yang tak dimiliki
sebagian besar negara Arab dan Afrika, yang terbebani oleh perba-
tasan yang ditetapkan secara artifisial. Kekurangan ini membuat ba-
nyak negara Arab tak berdaya menghadapi sebuah gelombang Is-
lam yang akan mengabaikan legitimasi dan perbatasan mereka di
tahun-tahun mendatang. Namun, dalam hal Turki, peta bisa menipu.
Bukan hanya kawasan kumuh Afrika yang tak muncul di peta
perkotaan. Banyak kawasan kumuh di Turki dan tempat lain juga
tak muncul—seperti banyak wilayah yang dikendalikan oleh
pasukan gerilya dan mafia perkotaan. Bepergian dengan gerilyawan
Eritrea di dalam apa yang menurut peta disebut Ethiopia utara,
bepergian di "Irak utara" bersama gerilyawan Kurdi, dan menginap
di sebuah hotel di Kaukasia yang dikendalikan oleh mafia setem-
pat—belum lagi kalau menyebut pengalaman saya di Afrika Barat—
menggiring saya untuk mengembangkan sebuah skeptimisme yang
sehat terhadap peta-peta. Saya mulai merasa sadar bahwa peta men-

131
Robert D. Kaplan

ciptakan sebuah kendala konseptual yang mencegah kita memahami


keruntuhan politik sedang terjadi di seluruh dunia.
Simak peta dunia, dengan sekitar 190 negara atau lebih, yang
masing-masing ditandai dengan warna yang tegas dan seragam: peta
ini, yang dengannya kita semua tumbuh besar, secara umum adalah
penemuan modernisme, khususnya kolonialisme Eropa. Modernis-
me, dalam pengertian yang saya bicarakan, dimulai dengan bang-
kitnya negara-negara bangsa di Eropa dan diperkuat dengan mati-
nya feodalisme di akhir Perang Tiga Puluh Tahun—sebuah peristiwa
yang terjadi antara Renaissance dan Pencerahan, yang secara bersa-
maan melahirkan ilmu pengetahuan modern. Orang-orang menda-
dak dipenuhi antusiasme untuk membuat kategori, untuk membuat
definisi. Peta, yang didasarkan pada teknik pengukuran ilmiah, me-
nawarkan sebuah jalan untuk mcnggolong-golongkan organisme
nasional baru, membuat sebuah teka-teki potongan gambar dari ke-
pingan-kepingan yang rapi tanpa zona transisi di antara mereka.
"Tapal batas" sendiri adalah sebuah konsep modem yang tidak ada
dalam pemikiran feodal. Dan ketika bangsa-bangsa Eropa menggo-
reskan wilayah mereka sejauh mungkin, pada saat yang bersamaan
teknologi cetak membuat reproduksi peta jadi lebih murah, dan kar-
tografi muncul sebagai sebuah cara menghasilkan fakta dengan
mengatur cara kita memandang dunia.

Dalam bukunya yang berjudul Imagined Communities: Reflec-


tions on the Origin and Spread of Nationalism, Benedict Anderson,
dari Cornell University, memperlihatkan bahwa peta telah memung-
kinkan kaum kolonialis untuk berpikir mengenai kekayaan mereka
berdasarkan "neraca penggolongan hitung-hitungan ... Ia terikat,
pasti, dan dengan demikian—pada dasarnya—dapat dihitung." Bagi
kaum kolonialis, peta-peta negara setara dengan buku kas seorang
akuntan. Peta, menurut Anderson, "membentuk tatabahasa" yang
memungkinkan konsep-konsep yang dapat dipertanyakan seperti
Irak, Indonesia, Sierra Leone, dan Nigeria bisa berjalan. Perlu diingat
bahwa negara adalah sebuah gagasan yang sepenuhnya Barat, suatu
gagasan yang sampai abad ke-20 diterapkan pada negara-negara

132
.Anarki yang Mengancam

yang hanya menempati 3 persen dari wilayah dunia. Juga tak ada
bukti yang meyakinkan bahwa negara, sebagai sebuah gagasan ideal,
bisa dengan sukses dipindahkan ke wilayah di luar dunia industri.
Bahkan Amerika Serikat, dalam kata-kata salah satu penyair yang
masih hidup, Gary Snvder, berisi "penegasan yang semena-mena
dan tak-tepat tentang apa yang sebetulnya ada di sini."
Namun realitas yang kaku dan semu ini berlanjut terus, bukan
hanya di PBB melainkan juga dalam berbagai majalah geografis dan
perjalanan (yang pada dirinya sendiri merupakan produk dari era
perjalanan kaum elite yang memungkinkan terjadinya kolonialisme)
yang masih melaporkan dan memotret dunia menurut "negara".
Surat kabar, majalah ini, dan penulis ini juga tak bersih dari kecende-
rungan tersebut.
Menurut peta, kompleks pembangkit listrik tenaga air yang di-
lambangkan dengan Waduk Ataturk terletak di Turki. Lupakan peta
tersebut. Wilayah tenggara Turki ini dihuni oleh penduduk yang
hampir semuanya suku Kurdi. Sekitar setengah dari 20 juta orang
Kurdi di dunia tinggal di "Turki". Kaum Kurdi adalah mayoritas
penduduk yang tinggal di wilayah berbentuk elips yang bersing-
gungan bukan hanya dengan Turki namun juga dengan Irak, Iran,
Suriah, dan bekas Uni Soviet. Kantung suku Kurdi yang dipaksakan
Barat di Irak utara, sebuah konsekuensi dari Perang Teluk 1991, telah
membuka sifat fiktif dari apa yang dianggap negara-bangsa.
Pada kunjungan baru-baru ini ke perbatasan Turki-Iran, terpikir
oleh saya betapa berisikonya gagasan tentang negara-bangsa. Di sini
saya berada di jalur pemisah legal antara dua peradaban yang beren-
turan, Turki dan Iran. Namun realitasnya lebih sublim: seperti halnya
di Afrika Barat, perbatasan mudah ditembus dan penyelundupan
merajalela, namun di sini orang yang melakukan penyelundupan,
di kedua sisi perbatasan, adalah orang-orang Kurdi. Di wilayah tan-
dus semacam ini, di mana orang-orang telah bermigrasi dan bermu-
kim dalam pola yang meniadakan perbatasan, akhir Perang Dingin
akan menghasilkan sebuah proses kejam seleksi alam di antara ne-
gara-negara yang ada. Negara-negara ini tak lagi disangga dengan

133
Robert D. Kaplan

kuat oleh Barat atau Uni Soviet. Mengingat Kurdi bertumpang-tindih


dengan hampir semua pihak di Timur Tengah, mengingat mereka
dicurangi sehingga tak memiliki negara seperti yang tertuang dalam
traktat perdamaian pasca-Perang Dunia I, mereka kini muncul
sebagai penyeleksi alamiah—pemeriksa realitas yang paling akhir.
Mereka telah membuat Irak tak stabil dan mungkin akan terus meng-
ganggu negara-negara yang tak memberi mereka ruang bernapas
yang memadai. Namun mereka akan memperkuat negara yang
memberinya ruang.
Karena bangsa Turki, dengan cadangan air mereka, ekonomi me-
reka yang sedang tumbuh, dan kepaduan sosial yang nyata-nyata
ditunjukkan oleh sebagian besar kawasan kumuh bebas kejahatan
yang saya temui, berada di ambang status negara besar, dan karena
10 juta orang Kurdi yang berada di dalam Turki mengancam status
tersebut, maka dampak dari perselisihan Turki-Kurdi bisa lebih pen-
ting bagi Timur Tengah daripada hasil akhir kesepakatan terbaru
Israel-Palestina.

KETERTARIKAN AMERIKA DENGAN persoalan Israel-Palestina, serta


kurangnya minat pada persoalan Turki-Kurdi, adalah buah dari ob-
sesi domestik dan etniknya sendiri, bukan dari realitas kartografi
yang akan mengubah Timur Tengah. Proses diplomatik yang meli-
batkan bangsa Israel dan Palestina, saya yakin, akan mempunyai
dampak yang tidak begitu besar pada peta wilayah tersebut pada
awal dan pertengahan abad ke-21. Israel dengan angka pertumbuhan
ekonomi 6,6 persen vang kian mengandalkan ekspor teknologi ting-
gi, bersiap memasuki limo panjang Homer-Dixon. Ia juga diperkuat
oleh sebuah komunitas politik yang terdefinisi secara baik yang me-
rupakan buah perkembangan organik sejarah dan etnisitas. Seperti
Jepang yang makmur dan damai di satu sisi, dan Armenia yang
compang-camping karena terkoyak perang dan kemiskinan di sisi
yang lain, Israel adalah sebuah organisme etnik-nasional yang klasik.
Namun, sebagian besar negara Arab akan menjalani perubahan, saat

134
.Anarki yang Mengancam

Islam menyebar melewati perbatasan-perbatasan semu, yang


didorong oleh migrasi massa menuju kota-kota dan tingginya angka
kelahiran yang melebihi 3,2 persen . Tujuh puluh persen penduduk
Arab lahir sejak 1970—kaum muda dengan sedikit kenangan tentang
perjuangan kemerdekaan antikolonial, upaya-upaya pascakolonial
untuk pembangunan negara, ataupun Perang Arab-Israel. Kenangan
paling jauh dari kaum muda ini adalah penghinaan yang dilakukan
Barat pada 1991 terhadap Irak yang terbentuk secara kolonial. Saat
ini 17 dari 22 negara Arab mengalami penurunan PDB; dalam 20
tahun ke depan, dengan pertumbuhan yang seperti sekarang ini,
populasi di kebanyakan negara Arab akan bertambah dua kali lipat.
Negara-negara ini, seperti kebanyakan negara Afrika, tak akan bisa
dikelola dengan ideologi sekular konvensional. Seorang ahli Timur
Tengah, Christine M. Helms, menjelaskan,

Menyatakan nasionalisme Arab "bangkrut", "tercabut hak waris"


politiknya tidaklah menjelaskan kegagalan Arabisme.-.atau
m e n y u s u n u l a n g hal t e r s e b u t . P e m e c a h a n - p e m e c a h a n alternatif
t i d a k t e r p i k i r k a n . M e r e k a c e n d e r u n g tertarik p a d a p a r a d i g m a di
u j u n g lain dari s p e k t r u m p o l i t i k y a n g s u d a h m e r e k a a k r a b i — I s l a m .

Seperti halnya perbatasan-perbatasan Afrika Barat, perbatasan yang


ditetapkan kolonial terhadap Suriah, Irak, Yordania, Aljazair, dan
negara-negara Arab lain seringkah bertentangan dengan realitas bu-
daya dan politik. Saat mekanisme kontrol negara meredup di ha-
dapan masalah lingkungan dan demografi, negara kota Islam yang
"keras" atau negara-negara kawasan kumuh sepertinya bermun-
culan. Fiksi yang memiskinkan kota Aljir, di Laut Tengah, yang me-
ngendalikan Tamanrasset, jauh di pedalaman Sahara Aljazair, tak
bisa dipertahankan selamanya. Apa pun hasil dari proses perda-
maian, Israel ditakdirkan menjadi sebuah benteng etnik Yahudi di
tengah dunia Islam yang luas dan bergejolak. Di wilayah tersebut,
budaya kaum muda yang keras dari kawasan kumuh Gaza mungkin
merupakan petunjuk era yang akan datang.

135
Robert D. Kaplan

Nasib bangsa Turki dan Kurdi lebih tidak pasti, namun jauh lebih
relevan bagi jenis peta yang akan menjelaskan dunia kita di masa
depan. Kaum Kurdi menyajikan sebuah realitas geografi yang tak
bisa diperlihatkan dalam ruang dua dimensi. Persoalan di Turki bu-
kanlah sekadar masalah pemberian otonomi atau bahkan kemerde-
kaan bagi suku Kurdi di tenggara. Ini bukanlah Balkan atau Kauka-
sia, di mana wilayah-wilayah praktis terbagi-bagi ke dalam unit yang
lebih kecil, Abkhazia memisahkan diri dari Georgia dan seterusnya.
Federalisme bukanlah jawaban. Orang Kurdi bisa dijumpai di mana
saja di Turki, termasuk di distrik-distrik kumuh Istanbul dan An-
kara. Masalah Turki adalah bahwa tanah Anatolia-nya merupakan
rumah bagi dua budaya dan bahasa, Turki dan Kurdi. Identitas di
Turki, seperti halnya di India dan tempat lain, jauh lebih kompleks
dan rumit daripada vang bisa diperlihatkan kartografi konvensional.

PERANG IENIS BARU

U N T U K MEMAHAMI dampak politik dan kartografis dari


SEPENUHNYA

posmodemisme—sebuah zaman penjajaran tanpa tema, di mana ke-


rangka penggolongan negara-bangsa akan digantikan dengan pola
acak negara-kota, negara-kawasan kumuh, serta regionalisme yang
kabur dan anarkis—pada akhirnya perlu dipikirkan seluruh perso-
alan tentang perang.
"Oh, betapa leganya bertempur, memerangi musuh-musuh yang
membela diri, musuh-musuh yang bangun!" tulis André Malraux
dalam Man's Fate. Saya tak bisa memikirkan pekik peperangan yang
lebih tepat bagi banyak pihak yang berperang di dekade-dekade
awal abad ke duapuluh satu. Kebrutalan luar biasa dari pertempuran
di beragam wilayah budaya seperti Liberia, Bosnia, Kaukasia, dan
Sri Lanka—belum lagi kalau menyebut apa yang terjadi di dalam
kota-kota Amerika—menunjukkan sesuatu yang sangat menganggu:
bahwa yang berada di limo panjang, yang peduli dengan isu-isu
pemberian hak kelas menengah dan masa depan televisi kabel in-

136
.AnarkiyangMengancam

teraktif, tak punya nyali untuk merenungkannya. Inilah yang terjadi:


sejumlah besar orang di planet ini, yang nyaris tak mengenal ke-
nyamanan dan kemapanan kelas menengah, mengalami perang dan
barak-barak yang justru kian meningkat.
"Seperti tak masuk akal untuk menanyakan 'mengapa orang ma-
kan' atau 'untuk apa mereka tidur V' tulis Martin van Creveld, seo-
rang sejarawan militer di Hebrew University di Yerusalem, dalam
The Transformation of War, "demikian pula peperangan dalam
banyak hal bukanlah sebuah cara melainkan tujuan. Sepanjang se-
jarah, bagi setiap orang yang menyatakan kengeriannya terhadap
perang, ada orang lain yang menjumpai di dalam peperangan semua
pengalaman yang paling mengagumkan yang tersedia bagi manusia,
bahkan sampai titik di mana ia kemudian menghabiskan seumur
hidupnya untuk membuat bosan keturunannya dengan mencerita-
kan pengalamannya/' Ketika saya bertanya kepada para pejabat Pen-
tagon tentang sifat peperangan di abad ke-21, jawaban yang sering-
kali saya dapatkan adalah "Baca Van Creveld." Para pejabat tinggi
terpikat pada sejarawan ini bukan karena tulisannya membenarkan
keberadaan mereka melainkan justru sebaliknya: Van Creveld mem-
peringatkan mereka bahwa mesin militer negara besar seperti Penta-
gon adalah dinosaurus yang akan punah, dan sesuatu yang jauh
lebih mengerikan tengah menunggu kita.

The Transformation of War karya Van Creveld sampai tingkatan


yang mengejutkan melengkapi karya Homer-Dixon tentang ling-
kungan, pemikiran Huntington tentang benturan budaya, kesadaran
saya sendiri saat bepergian dengan berjalan kaki, bus, dan taksi reot
di lebih dari 60 negara, dan pembalasan Amerika yang menenangkan
dalam zona budaya-keras seperti Haiti dan Somalia. Buku ini mulai
dengan menghancurkan gagasan bahwa manusia tak suka ber-
perang. "Bila orang memusatkan diri di sini dan saat ini," tulis Van
Creveld, perang "bisa menyebabkan seseorang menjadi seperti lupa
daratan." Siapa pun yang telah memiliki pengalaman dengan bangsa
Chetnik di Serbia, "kelompok teknis" di Somalia, kelompok Tonton
Macoute di Haiti, atau para serdadu di Sierra Leone dapat menya-

137
Robert D. Kaplan

takan, bahwa di tempat-tempat di mana Pencerahan Barat tidak


sampai dan di mana selalu ada kemiskinan massal, orang menjumpai
pembebasan dalam kekerasan. Di Afganistan dan tempat lain, saya
seolah mengalami sendiri fenomena ini: kecemasan akan ranjau dan
penyergapan telah membebaskan diri dari kecemasaan duniawi hi-
dup sehari-hari. Jika pengalaman saya terlalu subjektif, ada begitu
banyak data yang memperlihatkan begitu seringnya peperangan,
terutama di negara berkembang sejak Perang Dunia II. Agresi fisik
adalah bagian dari menjadi manusia. Hanya ketika orang menda-
patkan standar ekonomi, pendidikan, dan budaya tertentu kecen-
derungan ini terjinakkan. Mengingat fakta bahwa 95 persen per-
tumbuhan populasi dunia akan berada di wilayah yang paling mis-
kin di dunia, pertanyaannya bukan akankah ada perang (akan ada ba-
nyak perang), namun perang macam apa. Dan siapa memerangi siapa?
Dengan menolak pemikiran ahli strategi militer terkemuka Cari
von CIausewitz, Van Crevel, yang mungkin merupakan pemikir ten-
tang perang paling orisinil sejak pemikir Prussia awal abad kesem-
bilanbelas tersebut, menulis, "Ide-ideCIausewitz... sepenuhnya ber-
akar pada fakta bahwa, sejak 1648, perang telah begitu luar biasa
dikobarkan oleh negara-negara." Namun, seperti yang dijelaskan
Van Creveld, periode negara-bangsa dan dengan demikian juga kon-
flik negara kini sudah berakhir. Dan oleh karena itu berakhir pula
"pemisahan nyata tiga bagian yang berupa pemerintahan, tentara,
dan rakyat" yang terjadi ketika perang dikobarkan oleh negara. Ma-
ka, untuk melihat masa depan, langkah pertama adalah menengok
ke belakang ke masa silam tepat sebelum kelahiran modernisme,
yakni perang di Eropa abad pertengahan yang mulai selama
Reformasi dan mencapai puncaknya dalam Perang Tiga Puluh
Tahun.
Van Creveld menulis,

Di d a l a m s e m u a p e p e r a n g a n ini m o t i f politik, s o s i a l , e k o n o m i , d a n
k e a g a m a a n a m a t s a n g a t terkait satu s a m a lain. M e n g i n g a t ini a d a l a h
zaman serdadu bayaran, s e m u a perang juga diikuti oleh s e k u m -

138
.Anarki yang Mengancam

pulan pengusaha perang B a n y a k dari m e r e k a y a n g m e n d a p a t


b a y a r a n kecil, s e k a d a r p e m u a s d a r i o r g a n i s a s i y a n g m e n g o n t r a k
mereka untuk berperang. Sebaliknya, mereka m e r a m p o k wilayah
pedalaman demi kepentingan mereka sendiri....
M e l i h a t kondisi s e m a c a m ini, s e m u a p e m b e d a a n y a n g j e l a s . . . a n t a r a
tentara di satu sisi d a n r a k y a t di sisi y a n g lain d a p a t d i p a s t i k a n a k a n
r u n t u h . Terlanda p e p e r a n g a n , w a r g a sipil m e n d e r i t a k e k e j i a n y a n g
mengerikan.

DENGAN pada zaman tersebut tak ada "politik" seperti


KATA L A I N ,

pemahaman kita akan istilah tersebut, seperti halnya sekarang ini


makin sedikit "politik" di Liberia, Sierra Leone, Somalia, Sri Lanka,
Balkan, dan Kaukasia.
Karena, seperti tulis Van Creveld, radius kepercayaan di dalam
masyarakat suku menyempit ke keluarga dekat dan sesama rekan
gerilyawan, kesepakatan damai yang dibuat dengan seorang ko-
mandan Bosnia, misalnya, bisa dipatahkan segera oleh seorang ko-
mandan Bosnia yang lain. Kebanyakan gencatan senjata yang ber-
umur pendek di Balkan dan Kaukasia memberikan bukti bahwa kita
tak lagi hidup di dunia di mana aturan lama tentang peperangan
berlaku. Bukti lebih banyak dihadirkan oleh perusakan monumen
abad pertengahan di pelabuhan Dubrovnik di Kroasia: ketika bu-
daya, dan bukannya negara, berperang, maka monumen budaya
dan agama adalah senjata peperangan yang bisa digunakan.
Demikian juga, entitas yang mengobarkan perang tak lagi terbatas
pada sebuah wilayah tertentu. Organisme yang longgar dan tak jelas
bentuknya seperti organisasi-organisasi teroris Islam menunjukkan
mengapa perbatasan makin kecil maknanya dan lapisan endapan
identitas dan kontrol kesukuan akan semakin bermakna. "Dari peng-
amatan masa kini, terlihat kemungkinan bahwa fanatisme keaga-
maan akan memainkan peran yang lebih besar dalam motivasi kon-
flik bersenjata" di Barat daripada yang pernah ada "selama 300 tahun
terakhir," tulis Van Creveld. Inilah mengapa analis seperti Michael
Vlahos memantau dengan dekat sekte-sekte keagamaan. Vlahos ber-

139
Robert D. Kaplan

kata, "Ideologi yang menantang kita mungin tidak akan mengambil


bentuk yang kita kenali, seperti Nazi atau Komunis lama. Ia awalnya
bahkan mungkin tak melibatkan kita dalam cara-cara yang sesuai
dengan pertanda ancaman yang lama." Van Creveld menyimpulkan,
"Konflik bersenjata akan dijalankan orang-orang di bumi, bukan
robot di angkasa luar. la akan punya lebih banyak kesamaan dengan
pertempuran suku-suku primitif daripada perang konvensional da-
lam skala besar." Sementara sejarawan militer yang lain, John
Keegan, dalam bukunya yang baru A History of Warfare, menggam-
barkan potret yang lebih jinak dari manusia primitif, penting untuk
disebutkan bahwa apa yang sebetulnya dimaksud Van Creveld ada-
lah manusia yang terprimitifkan kembali: masyarakat prajurit pe-
rang yang beroperasi pada sebuah zaman yang sumber alamnya
makin menipis dan planetnya terlalu sesak.
Visi pra-Westphalia ala Van Creveld mengenai konflik dengan
intensitas rendah di seluruh dunia bukanlah skenario "kembali ke
masa depan" yang mengada-ada. Pertama-tama, teknologi akan di-
gunakan untuk tujuan-tujuan yang bersifat primitif. Di Liberia pe-
mimpin gerilya Prince Johnson tidak hanya memotong kedua telinga
Presiden Samuel Doe sebelum Doe disiksa sampai mati pada 1990—
Johnson membuat sebuah rekaman video untuk mengabadikan pe-
ristiwa ini yang kemudian beredar ke seluruh Afrika Barat. Pada
Desember 1992, ketika para perancang sebuah kudeta yang gagal
terhadap rezim Strasser di Sierra Leone dipotong telinganya sebelum
mereka dibunuh di Pantai Hamilton, Freetown, hal ini dilihat oleh
banyak orang sebagai eksekusi yang meniru-niru. Mengingat, seperti
yang telah saya jelaskan sebelumnya, bahwa rezim Strassser bu-
kanlah sebuah pemerintahan dan Sierra Leone bukanlah sebuah ne-
gara-bangsa yang sesungguhnya, maka simaklah perkataan Van
Creveld berikut ini: "Begitu monopoli legal angkatan bersenjata yang
lama dimiliki oleh negara terlepas dari genggamannya, pembedaan
yang ada antara perang dan kejahatan akan runtuh seperti kasus
yang sekarang ini terjadi di Libanon, Sri Lanka, El Salvador, Peru,
atau Kolombia."

140
.Anarki yang Mengancam

Jika kejahatan dan perang menjadi tak bisa dibedakan, maka


"pertahanan nasional" di masa depan mungkin akan dilihat sebagai
konsep lokal. Saat kejahatan makin meningkat di kota-kota kita dan
kemampuan pemerintahan negara dan sistem pemberantasan-
kejahatan untuk melindungi warga mereka merosot, maka kejahatan
perkotaan, menurut Van Creveld, mungkin "berkembang menjadi
konflik dengan intensitas rendah lewat perpaduan jalur rasial,
keagamaan, sosial, dan politik." Saat kekerasan dalam skala kecil
berlipat ganda di dalam negeri dan luar negeri, tentara negara akan
terus menyusut, dan berangsur-angsur digantikan oleh bisnis kea-
manan pribadi, seperti yang terjadi Afrika Barat, dan oleh mafia per-
kotaan, terutama di bekas negara-negara komunis, yang mungkin
punya peralatan lebih baik daripada kepolisian kotapraja untuk
memberikan perlindungan fisik terhadap penghuni setempat.
Peperangan masa depan akan berupa upaya bertahan hidup
kelompok, yang diperburuk atau, dalam banyak kasus, disebabkan
oleh kelangkaan lingkungan. Perang-perang ini bentuknya akan
subnasional, yang artinya akan sulit bagi pemerintahan negara dan
daerah untuk melindungi secara fisik warga mereka. Hal inilah yang
menjelaskan mengapa dan bagaimana banyak negara akhirnya akan
mati. Saat kekuatan negara melemah—dan dengannya melemah
pula kemampuan negara untuk menolong kelompok yang lebih
lemah di dalam masyarakat, apalagi negara lain—masyarakat dan
budaya di seluruh dunia akan kembali ke kekuatan dan kelemah-
annya sendiri, dengan sedikit mekanisme penyeimbang untuk me-
lindungi mereka. Sementara di mana masa depan yang jauh kita
akan menyaksikan munculnya manusia global yang secara rasial
campuran, dalam dekade-dekade yang akan datang kita akan men-
jadi lebih waspada terhadap perbedaan kita ketimbang kesamaan
kita. Bagi orang kebanyakan, nilai-nilai politik akan kurang
bermakna dibandingkan keamanan pribadi. Keyakinan bahwa kita
semua setara kemungkinan besar akan digantikan oleh obsesi para
pengembara Yunani kuno yang telah lama dikesampingkan.
Mengapa ada perbedaan di antara orang-orang?

141
Robert D. Kaplan

PETA T E R A K H I R

Di D A L A M B U K U GEOGRAPHY ANO HUMAN SPIRIT, Anne Bu t timer, seorang


guru besar di University College, Dublin, menyebut karya ahli geo-
grafi Jerman awal abad kesembilan belas, Cari Ritter, yang meng-
isyaratkan "sebuah rencana Ilahiah bagi ke manusiaan" yang dida-
sarkan pada regionalisme dan aliran bentuk kehidupan yang terus-
menerus. Peta masa depan, sampai tingkat di mana sebuah peta
merupakan suatu hal yang mungkin, akan melambangkan kebalikan
yang ganjil dari visi Ritter. Bayangkan kartografi dalam tiga dimensi,
seperti dalam sebuah hologram. Di dalam hologram ini terdapat
kelompok-kelompok dan identitas-identitas lain yang nantinya akan
bertumpang-tindih di atas peta dua dimensi dengan warna-warna
yang menandai negara-kota dan negara-negara yang tersisa, yang
pada dirinya sendiri dikaburkan tempatnya oleh bayang-bayang
tentakel, yang mengindikasikan kekuatan kartel obat terlarang,
mafia, dan agen keamanan swasta. Sebagai pengganti perbatasan,
akan ada "pusat-pusat" kekuasaan yang terus berpindah, seperti
halnya di Abad Pertengahan. Banyak dari lapisan ini akan berada
dalam keadaan bergerak. Garis yang pasti dan sangat jelas di ruang
datar akan digantikan oleh pola bergerak dari entitas penyangga,
seperti entitas penyangga Kurdi dan Azeri antara Turki dan Iran,
entitas penyangga Uighur Turki antara Asia Tengah dan Cina Pe-
dalaman (yang ia sendiri berbeda dari Cina pesisir), dan entitas pe-
nyangga Latin yang menggantikan perbatasan Amerika Serikat-
Meksiko yang sesungguhnya. Terhadap hologram kartografis yang
memperlihatkan begitu banyak kemajemukan ini, orang harus
menambahkan faktor-faktor lain, seperti perpindahan penduduk,
ledakan angka kelahiran, serta arah penyebaran dan besarnya pe-
nyakit. Dengan demikian peta dunia tak akan pernah statis. Peta
masa depan ini—yang dalam pengertian tertentu adalah "Peta
T e r a k h i r " — a k a n m e r u p a k a n r e p r e s e n t a s i k e k a c a u a n yang
selamanya bergerak.

Jazirah India menawarkan contoh-contoh mengenai apa yang

142
.Anarki yang Mengancam

bakal terjadi. Untuk alasan-alasan yang berbeda, baik India maupun


Pakistan semakin tidak berfungsi. Argumen menyangkut demokrasi
di tempat-tempat ini kian lama kian kurang relevan bagi persoalan
yang lebih besar tentang pengelolaan pemerintah. Dalam kasus In-
dia pertanyaan yang muncul adalah apakah birokrasi bobrok di New
Delhi merupakan mekanisme terbaik yang ada untuk meningkatkan
kehidupan 866 juta rakyat dari beragam bahasa, agama, dan kelom-
pok etnik? Pada 1950, ketika populasi India kurang dari setengah
jumlah besar itu dan idealisme pembangunan negara masih kuat,
argumen untuk demokrasi lebih mengesankan daripada sekarang.
Mengingat bahwa pada 2025 populasi India bisa mendekati 1,5 miliar
jiwa, bahwa banyak dari ekonominya mengandalkan sumber daya
alam vang kian berkurang, dan bahwa kekerasan komunal dan urba-
nisasi kian gencar, sulit membayangkan bahwa negara India akan
bertahan hidup di abad berikutnya. Revolusi Hijau yang sering
dikumandangkan India telah dicapai dengan mengolah lahan perta-
niannya serta menguras cadangan airnya. Norma Myers, seorang
konsultan pembangunan asal Inggris, cemas bahwa India telah
"memberi makan diri mereka hari ini dengan meminjam sumber
makanan anak cucu mereka/'

Problem Pakistan lebih mendasar: seperti kebanyakan negara


Afrika, negara ini tak masuk akal secara geografi maupun demografi.
Negara ini didirikan sebagai tanah air kaum Muslim di jazirah
tersebut, namun orang Muslim yang berada di sekitar jazirah masih
lebih banyak daripada yang ada di Pakistan, Seperti Yugoslavia, Pa-
kistan adalah sebuah campuran dari berbagai kelompok etnik, yang
makin sering berada dalam pertikaian keras satu sama lain. Semen-
tara media Barat merasa kagum atas fakta bahwa negara ini memiliki
seorang perdana menteri perempuan, Benazir Bhutto, Karachi se-
dang menjadi Lagos versi jazirah ini. Dalam delapan kunjungan ke
Pakistan, saya tak pernah merasakan adanya identitas nasional yang
padu. Dengan 65 persen tanahnya tergantung irigasi yang intensif,
dengan penggundulan hutan dalam skala besar, dan dengan pertum-
buhan penduduk tahunan sebesar 2,7 persen (yang menjamin bahwa

143
Robert D. Kaplan

jumlah lahan olahan per penduduk desa akan menciut), Pakistan


menjadi tempat yang kian lama kian putus harapan. Saat irigasi di
lembah Sungai Indus digalakkan untuk melayani dua populasi yang
semakin bertambah, perselisihan Muslim-Hindu mengenai skema
curah air mungkin tak bisa dihindarkan.
"India dan Pakistan mungkin akan terpecah-pecah/' ramal
Homer-Dixon. "Sektor pemerintahan mereka semakin tidak mempu-
nyai legitimasi serta semakin berkurang kecakapannya untuk meng-
atur rakyat dan sumber daya/' Alih-alih sebuah garis tebal yang
membagi jazirah tersebut ke dalam dua bagian, di masa depan kita
sepertinya akan melihat garis yang lebih tipis dan bagian-bagian
yang lebih kecil, dengan entitas etnik Pakhtunistan dan Punjab ber-
angsur-angsur menggantikan Pakistan di wilayah antara dataran
Asia Tengah dan jantung jazirah.
Tak ada satu pun dari skenario ini yang menyertakan perubahan
iklim, yang bila terjadi dalam abad berikut, akan semakin mengikis
kapasitas negara-negara yang ada untuk menanggulanginya. India,
misalnya, menerima 70 persen hujannya dari siklus monsoon (mu-
sim hujan), yang bisa terganggu oleh pemanasan planet ini.
Bukan hanya aspek tiga dimensi Peta Terakhir yang akan selalu
bergerak, basis dua dimensinya juga mungkin berubah. National
Academy of Sciences melaporkan bahwa sebanyak satu miliar or-
ang, atau 20 persen penduduk dunia, hidup di kawasan yang seper-
tinya akan tergenangi atau berubah secara dramatis karena naiknya
permukaan air. Negara-negara berkembang yang terletak di dataran
rendah seperti Mesir dan Bangladesh, di mana sungai-sungainya
besar dan deltanya ekstensif dan disesaki penduduk, akan terkena
hantaman paling keras. Di mana sungai-sungai dibendung, seperti
dalam kasus Nil, akibatnya akan sangat keras.
Mesir yang bisa menjadi tempat di mana pergolakan iklim—un-
tuk tidak menyebut ancaman yang lebih dekat yang terkait dengan
pertambahan penduduk—akan menyulut pergolakan agama dalam
cara yang serupa dengan yang tertulis di kitab suci. Bencana alam
yang besar, seperti gempa bumi Kairo di 1992, di mana pemerintah

144
.Anarki yang Mengancam

gagal menyalurkan bantuan, dan penghuni kawasan kumuh di


banyak tempat dibantu oleh mesjid lokal mereka, hanya akan
memperkuat posisi dari faksi Islam. Dalam sebuah pernyataan ten-
tang pemanasan rumah kaca yang bisa merujuk pada setiap bentuk
bencana alam, pakar lingkungan Jessica Tuchman Matthews
memperingatkan bahwa banyak dari kita yang menyepelekan sam-
pai sejauh mana sistem politik, dalam masyarakat-masyarakat mak-
mur serta tempat-tempat seperti Mesir, "bergantung pada sistem
alam yang menyangganya." Ia menambahkan, "Fakta bahwa sese-
orang bisa dengan mudah berpindah dari Vermont ke Miami tak
ada hubungannya dengan konsekuesi orang Vermont menerima
iklim Miami."
Memang, tidak jelas apakah Amerika Serikat akan bertahan hidup
di abad berikut persis dalam bentuknya yang sekarang. Mengingat
Amerika adalah sebuah masyarakat multietnik, negara-bangsa selalu
lebih rapuh di wilayah ini ketimbang di masyarakat yang lebih ho-
mogen seperti Jerman dan Jepang. James Kurth, dalam sebuah artikel
yang terbit dalam The National Interest pada 1992, menjelaskan bah-
wa di mana masyarakat negara-bangsa dibangun dengan menyer-
takan angkatan bersenjata yang anggotanya direkrut dari wajib mili-
ter massal dan sistem sekolah publik yang dibakukan, "rezim yang
multikultural" menyodorkan sebuah angkatan besenjata bertekno-
logi tinggi dan sukarela (dan, saya akan menambahkan, sekolah-
sekolah swasta yang mengajarkan nilai-nilai yang berbeda), yang
beroperasi di sebuah budaya di mana media internasional dan indus-
tri hiburan punya lebih banyak pengaruh daripada "golongan politik
nasional." Dengan kata lain, sebuah negara-bangsa adalah sebuah
tempat di mana semua orang telah dididik menurut garis yang seru-
pa, di mana rakyat mengambil teladan dari para pemimpin nasional,
dan di mana setiap orang (paling tidak setiap laki-laki dewasa) telah
menjalani percobaan wajib militer, hingga membuat patriotisme
menjadi masalah yang tidak begitu pelik. Menulis tentang keluarga
imigrannya di Chicago selama masa pergantian abad, Saul Bellow
menyatakan, "Negara ini mengambil alih kita. Ia dulu adalah sebuah

145
Robert D. Kaplan

negara, bukan sebuah kumpulan 'budaya'."


Selama Perang Dunia II dan dekade sesudahnya. Amerika Serikat
mencapai puncaknya sebagai sebuah negara-bangsa klasik. Selama
1960-an, yang sekarang terlihat jelas, pelan namun pasti Amerika
memulai proses transformasi. Tanda-tandanya nyaris tak perlu diu-
lang-ulang: polaritas rasial, kegagalan pendidikan, serta fragmentasi
sosial dari banyak dan beragam jenis. William Irwin Thompson, da-
l a m Passages About Earth: Art Exploration of the New Planetary
Culture, menulis, "Sistem pendidikan yang berhasil untuk orang
Yahudi dan Irlandia tak bisa lagi berhasil untuk kaum kulit hitam;
dan ketika para guru Yahudi di New York berupaya untuk mereng-
gut anak-anak kulit hitam dari orang tua dalam cara yang sama se-
perti saat mereka direnggut dari orang tua mereka, mereka terkejut
mendapati sebuah penegasan akan identitas kulit hitam yang begitu
keras."
Namun isu-isu seperti Afrika Barat bisa muncul sebagai sebuah
isu kebijakan luar negeri jenis baru, yang bisa semakin mengikis
kedamaian dalam negeri Amerika. Pemandangan beberapa negara
Afrika Barat yang ambruk secara bersamaan bisa memperkuat ste-
reotype rasial paling buruk di dalam negeri. Inilah alasan lain me-
ngapa Afrika penting. Kita tak boleh menipu diri sendiri: faktor kepe-
kaan sekarang sedang tinggi-tingginya. Sistem sekolah publik di
Washington, D.C., sudah menguji coba kurikulum Afrosentris.
Pertemuan tingkat tinggi antara para pemimpin Afrika dan tokoh-
tokoh Afrika-Amerika kian sering digelar, sesering ramalan ala
Pollyanna tentang pemilihan multipartai di Afrika yang tak menyer-
takan kejahatan, tingginya angka kelahiran, dan menipisnya sumber
daya. Serikat Kaukus Kulit Hitam adalah salah satu pertemuan yang
mendorong keterlibatan Amerika Serikat di Somalia dan Haiti. Di
Los Angeles Times para staf minoritas telah mengajukan protes an-
tara lain terhadap apa yang mereka anggap nada rasis dari peliputan
Afrika. Tuduhan ini dibantah oleh redaktur seksi "Laporan Dunia",
Dan Fisher, dengan mengatakan bahwa pada dasarnya Afrika harus
dilihat dengan lensa analisis yang sama telitinya dengan bagian-

146
.Anarki yang Mengancam

bagian lain dunia. Afrika mungkin marjinal dalam pengertian kon-


sepsi strategi konvensional di akhir abad ke-20, namun di sebuah
masa pertikaian budaya dan rasial, ketika pertahanan nasional ma-
kin bersifat lokal, kesulitan Afrika akan mendesakkan sebuah penga-
ruh yang membuat tidak stabil Amerika Serikat.
Faktor ini dan banyak faktor lain akan membuat Amerika Serikat
di masa depan kurang merupakan sebuah bangsa dibandingkan saat
ini, bahkan jika ia mendapatkan wilayah menyusul perpecahan da-
mai Kanada. Quebec, yang berlandaskan Katolik Roma dan etnisitas
berbahasa Prancis, bisa menjadi negara-bangsa Amerika Utara yang
paling padu dan bebas kejahatan. (Namun, Quebec akan lebih kecil,
mengingat orang-orang pribumi mungkin bergerak ke arah utara
provinsi ini.) "Patriotisme" akan semakin bersifat regional saat or-
ang-orang di Alberta dan Montana menyadari bahwa mereka punya
kesamaan yang jauh lebih banyak dibanding dengan Ottawa atau
Washinton, dan para penutur bahasa Spanyol di Barat Daya men-
jumpai kesamaan yang lebih besar dengan Mexico City. (The Nine
Nations of North Africa, karya Joel Garreau, sebuah buku tentang
regionalisasi benua ini, sekarang ini lebih relevan ketimbang saat ia
diterbitkan pada 1981). Saat pengaruh Washigton melemah, dan de-
ngannya melemah pula simbol patriotisme Amerika, Amerika Utara
akan melakukan pengungsian psikologis dalam komunitas dan
budaya tertutup mereka.

KEMMU DARI AFKIKA BAKAT musim gugur lalu adalah sebuah cobaan
berat yang mencerahkan. Setelah meninggalkan Abidjan, pesawat
Air Afrique saya mendarat di Dakar, Senegal, di mana semua pe-
numpang harus turun untuk menjalani pemeriksaan keamanan se-
kali lagi, yang diminta oleh pejabat Amerika Serikat sebelum mereka
mengizinkan pesawat berangkat ke New York. Begitu kami tiba di
New York, sekalipun hari sudah tengah malam, petugas imigrasi di
Bandara Kennedy menahan turunnya penumpang dengan melaku-
kan interogasi singkat terhadap penumpang pesawat—selain pro-

147
Robert D. Kaplan

sedur imigrasi dan bea cukai yang biasa. Sangat jelas bahwa penye-
lundupan obat terlarang, penyakit dan faktor-faktor lain telah mem-
beri andil untuk prosedur keamanan terberat yang pernah saya jum-
pai ketika pulang dari luar negeri.
Kemudian, untuk pertama kalinya dalam waktu satu bulan, saya
melihat para pengusaha dengan tas diplomat dan komputer jinjing.
Ketika saya berangkat dari New York menuju Abidjan, semua peng-
usaha tersebut naik pesawat menuju Seoul dan Tokyo, yang berang-
kat dari gerbang dekat Air Afrique. Orang-orang non-Afrika yang
berangkat menuju Afrika Barat adalah para pekerja sosial yang me-
ngenakan celana khaki dan kaos oblong. Sekalipun perbatasan di
dalam Afrika Barat semakin tak nyata, perbatasan yang memisahkan
Afrika Barat dari dunia luar dalam beragam tingkatan menjadi
makin tak bisa ditembus.
Namun para Afrosentris benar dalam satu hal: kita mengabaikan
wilayah yang sekarat ini sekalipun risikonya bisa menimpa kita.
Ketika Tembok Berlin runtuh pada November 1989, saya kebetulan
berada di Kosovo, meliput kerusuhan antara orang Serbia dan or-
ang Albania. Masa depan ada di Kosovo, kata saya kepada diri sendi-
ri malam itu, bukan di Berlin. Pada hari yang sama ketika Yitzhak
Rabin dan Yasser Arafat bergenggaman tangan di halaman rumput
Gedung Putih, pesawat Air Afrique yang saya tumpangi sedang
mendekati Bamako, Mali, memperlihatkan gubuk-gubuk seng
berkarat di tepi padang pasir yang bertambah luas. Saya sadar, berita
sesungguhnya tidak berada di Gedung Putih. Berita sesungguhnya
tepat ada di bawah.

148
6

Mitos Kekacauan Pasca-Perang Dingin

G. John Ekenberry*

TATANAN 1945 MASIH BERLANGSUNG

BANYAK SEKALI tulisan dalam tahun-tahun terakhir ini yang mema-


parkan berbagai versi tatanan pasca-Perang Dingin. Semua usaha
ini gagal, karena tak ada tatanan yang dimaksud. Tatanan dunia
yang tercipta pada 1940-an masih melingkupi kita, dan dalam
banyak hal malah semakin kuat. Tantangan bagi kebijakan luar nege-
ri Amerika bukanlah membayangkan dan membangun tatanan du-
nia baru melainkan mendapatkan kembali dan memperbarui yang
lama—tatanan yang inovatif dan tahan lama yang sangat berhasil
dan tidak perlu digembar-gemborkan.
Akhir Perang Dingin, menurut anggapan umum, adalah tonggak
sejarah. Runtuhnya komunisme menyebabkan runtuhnya tatanan
yang dibentuk setelah Perang Dunia II. Sementara para ahli dan pe-
jabat kebijakan luar negeri berusaha merancang strategi besar baru,
Amerika Serikat bergerak tanpa kendali di laut yang belum dipetakan.

4 G . JCH IN IKENBERKY adalah Peter R Krogh Professor of Geopolitics and Global Justice,

dengan afiliasi bersama dalam Department of Government di Edmund A. Walsh


School of Foreign Service, Georgetown University. Dicetak kembali atas izin Foreign
Affairs, M a y / J u n e 1996. Hak cipta © 1996 oleh Council on Foreign Relations, Inc.

149
G. John Ikcnborry

Namun anggapan umum tersebut salah. Apa yang berakhir


bersama Perang Dingin adalah bipolaritas, kemacetan perundingan
nuklir, dan dekade-dekade pengucilan Uni Soviet—yang tampaknya
menjadi ciri paling dramatis dan menonjol dari era pascaperang.
Tetapi tatanan dunia yang diciptakan pada pertengahan hingga akhir
1940-an masih bertahan, lebih meluas, dan dalam hal-hal tertentu
lebih kuat dibandingkan selama tahun-tahun Perang Dingin. Prin-
sip-prinsip dasarnya, yang berhubungan dengan organisasi dan hu-
bungan di antara negara-negara demokrasi liberal Barat, masih hi-
dup dan berjalan baik.
Prinsip-prinsip dan kebijakan yang kurang disambut, kurang he-
roik, tetapi lebih mendasar ini—yakni tatanan internasional sesung-
guhnya—mencakup komitmen pada ekonomi dunia yang terbuka
dan manajemen multilateralnya, serta stabilitas kesejah-teraan sosio-
ekonomi. Dan visi politis di balik tatanan ini sama pentingnya seperti
keuntungan ekonomi yang diharapkan. Negara-negara demokratis
industrial besar menerapkan tatanan ini pada diri mereka sendiri
untuk "memuluskan" transaksi mereka melalui begitu banyak ja-
ringan lembaga multilateral, hubungan antar-pemerintahan, dan
kerjasama manajemen ekonomi politik Barat dan dunia. Keamanan
dan stabilitas di Barat nampak secara intrinsik terkait dengan sederet
lembaga—Perserikatan Bangsa Bangsa beserta badan-badan di ba-
wahnya dan Persetujuan Tarif dan Perdagangan Dunia (GATT)—
yang menyatukan negara-negara demokrasi, membatasi konflik, dan
memfasilitasi komunitas politik. Dengan memakai norma-norma
demokrasi liberal yang umum dan beroperasi di dalam lembaga-lem-
baga multilateral yang saling terkait, Amerika Serikat, F.ropa Barat, dan
kemudian Jepang membangun tatanan pascaperang yang tangguh.

Akhir Perang Dingin telah menjadi saat yang begitu membi-


ngungkan karena hal ini mengakhiri tatanan containment (siasat
pencegahan perluasan kekuasaan politik, militer, ekonomi atau ide-
ologi musuh)—yakni 40 tahun masa kebijakan, misi birokrasi, dan
seluruh orientasi intelektual. Tetapi sebetulnya tatatan pascaperang
sudah ada sebelum munculnya permusuhan dengan Uni Soviet. Titik

150
Mitos Kekacauan Pasca-Perang Dingin

baliknya bukanlah tonggak Perang Dingin seperti pengumuman


Doktrin Truman pada 1947 atau terciptanya aliansi Atlantik pada
1948-49. Tatanan tersebut telah muncul pada 1941 r ketika Roosevelt
dan Churchill mengeluarkan Piagam Atlantik yang berisi prinsip-
prinsip liberal yang nantinya memandu penyelesaian pascaperang.
Proses tersebut tidak bisa ditawar lagi pada 1944, ketika para utusan
pada konferensi Bretton Woods meletakkan prinsip-prinsip dasar
dan mekanisme tatanan ekonomi Barat pascaperang, dan para utus-
an di konferensi Dumbarton Oak memberikan bentuk nyata dari
aspek politik visi ini dalam proposal mereka kepada Perserikatan
Bangsa Bangsa. Perang Dingin boleh jadi telah memperkuat tatanan
demokrasi liberal, dengan mempercepat intregrasi kembali Jerman
dan Jepang dan membawa Amerika Serikat lebih terarah kepada ma-
najemen sistem tersebut. Namun hal ini seperti luput dari perhatian.
Dari sudut pandang sejarah dunia, akhir Perang Dingin meru-
pakan kejadian yang dinilai secara berlebihan. Bekas Menteri Luar
Negeri, James A.Baker III, dalam memoarnya pada 1995, The Poli-
tics of Diplomacy, menyatakan bahwa "Dalam tiga setengah tahun
(dari akhir 1980-an sampai awal 1990-an)...sifat sistem inter-nasional
sebagaimana yang kita ketahui telah berubah." Tentu saja, sebagian
besar dunia non-Barat sedang melewati suatu transformasi luar biasa
dan sulit. Drama kemanusian yang besar sedang terjadi di bekas-
bekas negara komunis, dan masa depan di sana masih terombang-
ambing. Tetapi sistem yang pembentukannya dipelopori oleh Ame-
rika Serikat setelah Perang Dunia II tidak ambruk; sebaliknya, sistem
ini tetap menjadi inti tatanan dunia. Tugas se-karang ini bukanlah
mencari atau mendefinisikan tatanan baru yang mistis, melainkan
mengumandangkan kembali kebijakan, komit-men dan strategi lama.

KISAH DUA DOKTRIN

n menghasilkan dua kesepakatan pascaperang. Per-


P E R A N G DUNIA

tama, reaksi atas menurunnya hubungan dengan Uni Soviet, telah

151
G. John Ikcnborry

mengantarkan pada tatanan containment> yang didasarkan pada


perimbangan kekuatan, penangkalan nuklir, serta persaingan
ideologi dan politik. Kedua, reaksi atas persaingan ekonomi dan
kekacauan politik 1930-an serta perang dunia yang disebab-kannya,
bisa disebut tatanan demokrasi liberal. Hal ini memuncak pada mun-
culnya serangkaian lembaga-lembaga baru dan hubungan antara
negara-negara demokrasi industri Barat, yang didasarkan pada ke-
terbukaan ekonomi, ketergantungan politik, dan manajemen mul-
tilateral sistem politik liberal yang dipimpin oleh Amerika.
Berbagai visi politik dan pendapat intelektual menyemarakkan
dua kesepakatan itu, dan pada momen-momen penting presiden
Amerika memberi komentar mengenai keduanya. Pada tanggal 12
Maret 1947, Presiden Truman menyampaikan pidato di hadapan
Kongres mengumumkan bantuan kepada Yunani dan Turki, yang
dibungkus dalam sebuah komitmen Amerika untuk memberi du-
kungan gerakan kemerdekaan di seluruh dunia. Deklarasi Doktrin
Truman merupakan tonggak dimulainya tatanan containment, yang
menyatukan warga Amerika menuju sebuah perjuangan besar baru,
kali ini melawan sesuatu yang dianggap sebagai hasrat Soviet komu-
nis untuk mendominasi dunia. Truman berkata, "Saat-saat yang me-
nentukan telah tiba," dan warga dunia "harus memilih antara dua
jalan hidup". Ia mengingatkan, bila Amerika Serikat gagal menja-
lankan kepemimpinan, "Kita mungkin membahayakan perdamaian
dunia."

Seringkah dilupakan bahwa enam hari sebelumnya, Truman telah


menyampaikan pidato yang sama bergeloranya di Universitas Bay-
lor. Pada kesempatan ini, ia bicara tentang pelajaran yang harus di-
petik dunia dari bencana 1930-an. "Ketika setiap pertem-puran dari
perang ekonomi tahun Tigapuluhan dijalani, akibat tragis yang tak
terhindarkan semakin nyata terlihat," kata Truman. "Dari kebijakan
tarif (pajak masuk) Haw ley dan Smoot, dunia terus bergerak ke Otta-
wa dan ke sistem imperial yang lebih disukai, dari Ottawa ke pemba-
tasan-pembatasan dagang yang terperinci dan mendetail yang di-
pakai oleh Nazi Jerman." Truman menandaskan kembali komitmen

152
Mitos Kekacauan Pasca-Perang Dingin

Amerika pada "perdamaian ekonomi", yang akan meliputi pengu-


rangan bea-cukai dan berbagai aturan serta lembaga perdagangan
dan investasi. Ketika perbedaan ekonomi timbul, ungkapnya, "Ke-
pentingan semua pihak akan dipertimbangkan, dan pemecahan
yang bijak dan adil akan ditemukan." Konflik akan diatasi dan dire-
dam dalam kerangka aturan, patokan, perlindungan, serta prosedur
multilateral untuk penyelesaian perselisihan. Menurut Truman, "Ini-
lah cara komunitas yang beradab".
Namun, tatanan con fa j/unenf-lah yang sungguh berkesan di be-
nak rakyat. Pada tahun-tahun pertama kemenangan Amerika setelah
Perang Dunia II, pejabat-pejabat Amerika yang waspada berupaya
keras memahami kekuatan militer dan niat geopolitik Soviet. Bebe-
rapa "orang pintar" merancang sebuah tanggapan utuh terhadap
tantangan global dari komunisme Soviet, dan strategi containtrnent
mereka memberikan kejelasan dan maksud bagi kebijakan luar ne-
geri Amerika selama beberapa dekade. Selama dekade-dekade ter-
sebut, banyak sekali organisasi militer dan birokrasi dibangun se-
putar strategi containment. Pembagian dunia menjadi dua kutub,
senjata nuklir yang semakin bertambah dan canggih, benturan yang
terus terjadi antara dua ideologi yang ekspansif—semua ini memberi
andil pada dan memperkuat sentralitas tatanan confaj'nmenf.
Sebagai perbandingan, pemikiran di balik tatanan demokrasi lib-
eral lebih bertele-tele. Agenda demokrasi liberal kurang kelihatan
sebagai strategi besar yang dirancang untuk meningkatkan kepen-
tingan keamanan Amerika, dan selama Perang Dingin hal tersebut
dianggap kurang penting dan hanya merupakan keasyikan para
pakar ekonomi dan pengusaha untuk memikirkannya. Kebijakan-
kebijakan dan lembaga-lembaga yang mendukung perdagangan be-
bas antara masyarakat industri maju dipandang sebagai bagian dari
politik rendahan. Padahal, agenda demokrasi liberal sebetulnya di-
dasarkan pada serangkaian gagasan yang kuat dan canggih yang
terkait dengan kepentingan keamanan Amerika, sebab-sebab perang
dan depresi, serta dan tatanan politik pasca-perang yang dikehen-
daki. Walaupun kebijakan containment membayang-bayanginya, ta-

153
G. John Ikcnborry

tanan demokrasi liberal pascaperang lebih berakar dalam penga-


laman, pemahaman sejarah, ekonomi, dan sumber stabilitas politik
Amerika.
Landasan yang cocok bagi tatanan politik telah menyibukkan pa-
ra pemikir Amerika sejak pendirian negara, dan berbagai lembaga
serta praktek inovatif telah dikembangkan sebagai jawaban bagi
masalah kemerdekaan, ekspansi benua, perang saudara, depresi eko-
nomi, dan perang dunia. Pemikiran liberal dipandang tinggi: lem-
baga-lembaga politik yang terbuka dan terdesentralisasi dapat mem-
batasi dan mengurai konflik, sekaligus menyatukan beragam ma-
nusia dan kepentingan. Selain itu, tatanan politik yang stabil dan
sah telah dijamin dalam Konstitusi, yang merinci hak, jaminan dan
proses politik yang dilembagakan. Ketika para pejabat Amerika mu-
lai merenungkan tatanan pascaperang, mereka mendapatkannya da-
ri berbagai sumber gagasan, eksperimen, dan pelajaran dari sejarah
dan menyaring hal-hal ini dengan prinsip liberal yang tak lekang
dalam kemungkinan hubungan internasional yang damai dan saling
menguntungkan.
Keyakinan paling inti yang mendasari agenda liberal pasca-pe-
rang adalah bahwa wilayah-wilayah autarkis tertutup yang ikut me-
nyebabkan depresi di seluruh dunia dan memecah dunia dalam
blok-blok yang saling bersaing sebelum perang harus dihilangkan
dan diganti dengan sistem ekonomi terbuka yang tidak diskrimi-
natif. Para pendukung gagasan ini menyatakan bahwa perdamaian
dan keamanan mustahil terwujud dihadapan wilayah-wilayah
ekonomi yang ekslusif. Namun, para penantang multilateralisme
liberal, menguasai hampir segala penjuru dunia industri maju. Jer-
man dan Jepang merupakan negara yang paling terang-terangan
menentang; keduanya menempuh jalan berbahaya yang mengga-
bungkan kapitalisme otoriter dengan kediktatoran militer dan autar-
ki regional yang kaku. Tetapi Negara Persemakmuran Inggris dan
kecondongannya pada sistem imperial juga menentang tatanan
multilateral liberal.

Piagam Atlantik yang dirancang tergesa-gesa merupakan usaha

154
Mitos Kekacauan Pasca-Perang Dingin

Amerika untuk memastikan bahwa Inggris bersedia menyetujui tu-


juan perang demokrasi liberal.1 Pernyataan bersama tentang prinsip-
prinsip pokok ini dimaksudkan untuk meneguhkan perdagangan
bebas, akses yang sama terhadap sumber daya alam bagi semua
pembeli yang tertarik, dan kolaborasi ekonomi internasional untuk
memajukan standar tenaga kerja, keamanan kerja, dan kesejahteraan
sosial. Roosevelt dan Churchill menyatakan kepada dunia bahwa
mereka telah memetik pelajaran dari masa perang—dan pelajaran
itu pada dasarnya adalah tentang organisasi ekonomi politik Barat
yang tepat. Musuh-musuh Amerika, teman-temannya, dan bahkan
Amerika sendiri harus direformasi dan digabungkan ke dalam
sistem ekonomi pascaperang.

MANIFESTO LIBERAL

TATANAN DEMOKRASI pascaperang dirancang untuk menye-


LIBERAL

lesaikan berbagai persoalan internal kapitalisme industri Barat. Ia


tidak dimaksudkan untuk melawan komunisme Soviet, dan bukan
semata-mata merupakan suatu rencana untuk mendapatkan kembali
kendali bisnis Amerika setelah perang dengan membuka dunia bagi
berdagang dan berinvestasi. Tatanan ini merupakan suatu strategi
untuk membangun solidaritas Barat melalui keterbukaan ekonomi
dan bentuk pemerintahan politik bersama. Empat prinsip yang di-
buat pada 1940 memberikan bentuk pada tatanan ini.
Prinsip yang paling jelas adalah keterbukaan ekonomi, yang ide-
alnya akan mengambil bentuk suatu sistem perdagangan dan in-
vestasi yang tidak diskriminatif. Ketika para pemikir strategi Ame-
rika pada 1930-an melihat ambruknya ekonomi dunia dan muncul-

1 Churchill berkeras bahwa piagam ini bukan mandat untuk membubarkan


Kerajaan Inggris dan kecondongan sistem p e r d a g a n g a n n y a , dan hanya
penghindaran dari masalah kontroversial di menit terakhirlah yang membuat
kesepakatan bisa diteken.

155
G. John Ikcnborry

nya blok Jerman dan Jepang, mereka berpikir apakah Amerika Seri-
kat dapat tetap merupakan kekuatan industri besar di belahan bumi
Barat. Apa syarat-syarat geografis minimum bagi daya tahan eko-
nomi dan militer negara tersebut? Untuk kepentingan praktis, ja-
waban ini mereka dapatkan ketika Amerika Serikat memasuki
perang. Blok benua Amerika tidak akan cukup; Amerika Serikat
perlu mengamankan pasar dan pasokan bahan mentah di Asia dan
Eropa. Para pakar dalam kelompok studi Dewan Hubungan Luar
Negeri mencapai kesimpulan yang serupa ketika membicarakan
ukuran wilayah yang diperlukan di mana Amerika Serikat bergan-
tung bagi kehidupan ekonominya.
Pemikiran Amerika adalah bahwa keterbukaan ekonomi meru-
pakan unsur penting dari suatu tatanan politik yang stabil dan da-
mai. "Tetangga yang makmur adalah tetangga yang terbaik", kata
Harry Dexter White, pejabat Departemen Keuangan semasa peme-
rintahan Roosevelt. Tetapi para pejabat yakin bahwa kepentingan
ekonomi dan keamanan Amerika juga memerlukannya. Para pe-
mikir besar liberal dan pembuat strategi geopolitik yang keras kepala
bisa sepakat menyangkut gagasan tentang pasar terbuka; hal ini me-
nyatukan para perencana pascaperang Amerika dan merupakan ga-
gasan utama yang menjadi sumber bahasan konferensi Bretton
Woods mengenai kerja sama ekonomi pascaperang. Dalam pidato
perpisahannya kepada konferensi. Menteri Keuangan Henry Mor-
genthau menyatakan bahwa persetujuan pembentukan Dana Mo-
neter Internasional dan Bank Dunia menandai berakhirnya nasio-
nalisme ekonomi. Hal ini, menurutnya, tidak berarti negara-negara
akan berhenti mengejar kepentingan nasionalnya, melainkan bahwa
blok perdagangan dan lingkup pengaruh ekonomi sudah bukan lagi
merupakan sarana yang mereka pakai.

Prinsip kedua adalah manajemen bersama tatanan ekonomi


politik Barat. Negara-negara demokrasi industri maju tidak cukup
hanya mengurangi pembatasan-pembatasan perdagangan dan ge-
rakan modal, tetapi mereka juga harus mengatur sistemnya. Hal ini
juga merupakan pelajaran dari 1930-an: lembaga-lembaga, peratur-

156
Mitos Kekacauan Pasca-Perang Dingin

an-peraturan dan manajemen timbal-balik yang aktif oleh pemerin-


tah diperlukan untuk menghindari praktek-praktek persaingan eko-
nomi yang tidak produktif dan mengundang konflik. Orang Amerika
percaya kerja sama seperti itu perlu di dunia di mana ekonomi
nasional semakin meningkat karena perkembangan di luar negeri.
Kebijakan yang tidak bijaksana atau tidak meng-untungkan dari satu
negara akan mengancam dan mengguncang stabilitas semua negara.
Seperti yang dikatakan Roosevelt pada pembukaan Bretton Woods,
"Kesehatan ekonomi setiap negara merupakan masalah semua nega-
ra tetangganya, jauh ataupun dekat."
Keyakinan pada manajemen ekonomi kooperatif juga mengambil
inspirasi dari aktivisme New Deal pemerintahan Roosevelt. Sistem
Barat pascaperang diatur dengan optimisme yang begitu tinggi me-
nyangkut kemampuan para pakar, pengetahuan ekonomi dan tek-
nik, dan campur tangan pemerintah. Munculnya ilmu ekonomi Key-
nesian di Eropa pada 1930-an mulai mendorong peran aktif bagi
negara dalam masyarakat dan ekonomi. Pengaturan ekonomi inter-
nasional merupakan perluasan alamiah dan tak terhindarkan dari
berbagai kebijakan yang sedang dicoba di setiap masyarakat industri
Barat.
Prinsip ketiga tatanan demokrasi liberal menyatakan bahwa atur-
an-aturan dan lembaga-lembaga ekonomi dunia Barat harus diatur
untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keamanan sosial dalam
negeri. Komitmen baru ini diisyaratkan dalam seruan Piagam Atlan-
tik untuk kolaborasi internasional pascaperang guna menjamin sta-
bilitas ketenagakerjaan dan kesejahteraan sosial. Hal ini merupakan
tanda zaman bahwa Churchill, seorang Tory yang konservatif, dapat
menjanjikan suatu ekspansi bersejarah berkenaan dengan tanggung
jawab pemerintah terhadap kesejahteraan rakyatnya. Di dalam ske-
ma mereka untuk tatanan ekonomi pascaperang, baik Inggris mau-
pun Amerika Serikat mencari suatu sistem yang dapat menolong
dan melindungi lahirnya komitmen sosial dan ekonomi mereka. Me-
reka menginginkan suatu ekonomi dunia yang terbuka, tetapi yang
dapat membawa kesejahteraan negara sekaligus dunia bisnis.

157
C . John Ikcnbcrry

Penemuan suatu jalan tengah di antara berbagai alternatif politik


lama adalah penemuan utama tatanan ekonomi Barat pascaperang.
Para perencana Amerika dan Inggris yang mengadakan pembicaraan
pada 1942 menemui jalan buntu, hasrat Inggris akan stabilisasi eko-
nomi dan ketenagakerjaan yang penuh setelah perang bertentangan
dengan keinginan Amerika akan perdagangan bebas. Terobosan ter-
jadi pada 1944 dengan persetujuan Bretton Woods mengenai tatanan
moneter, yang menjamin sistem perdagangan dan pembayaran yang
kurang-lebih terbuka sekaligus menyediakan perlindungan bagi sta-
bilitas ekonomi dalam negeri melalui Dana Moneter Internasional.
Kesepakatan tersebut merupakan sebuah sintesis yang dapat mena-
rik suatu koalisi baru para pedagang bebas yang konservatif dan
nabi-nabi liberal perencanaan ekonomi.
Unsur terakhir dari sistem demokrasi liberal dapat disebut "kons-
titusionalisme"—yang berarti bahwa negara-negara Barat akan
membuat berbagai usaha sistematis untuk menambatkan komitmen
bersama mereka dalam mekanisme kelembagaan yang terkait dan
berdasarkan prinsip piagam. Kenyataannya, hal ini mungkin meru-
pakan aspek dari tatanan tersebut yang paling mendasar, yang me-
lingkupi prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan lain dan memberi
karakter domestik yang khas pada keseluruhan aspek. Pemerintah
biasanya berusaha untuk menjaga agar pilihan-pilihannya tetap ter-
buka, bekerjasama dengan negara-negara lain namun tetap menjaga
kemungkinan untuk mundur kembali dari kerjasama tersebut.
Amerika Serikat dan negara-negara Barat setelah perang justru
melakukan hal yang sebaliknya. Mereka membangun komitmen
ekonomi, politik, dan keamanan jangka panjang yang sulit ditarik
kembali, mereka terbelenggu dalam hubungan tersebut, sampai
batas tertentu yang dapat dilakukan negara berdaulat. Sejauh peme-
rintah-pemerintah yang terlibat berusaha untuk membangun suatu
tatanan politik berdasarkan norma-norma dan prinsip-prinsip
umum yang sejalan dengan mekanisme kelembagaan untuk me-
nyelesaikan konflik dan mencapai persetujuan-persetujuan tertentu,
mereka mempraktekkan konstitusionalisme.

158
Mitos Kekacauan Pasca-Perang Dingin

Demokrasi secara khusus mampu membangun komitmen kons-


titusional satu sama lain. Agar negara-negara yang bermartabat bisa
bersepakat mengejar kepentingan-kepentingan mereka di dalam
lembaga-lembaga terkait, mereka harus melihat adanya komitmen
yang sungguh-sungguh pada mitra mereka—suatu jaminan bahwa
mereka tidak akan kabur setidaknya pada saat penandatanganan
ketidaksepakatan. Karena pembuatan kebijakan di dalam negara-
negara demokrasi cenderung terbuka dan terdesentralisasi, sifat
komitmen dapat lebih jelas ditentukan dan ada kesempatan untuk
melobi pembuat kebijakan di negara demokrasi lain. Negara-negara
demokrasi tersebut tidak hanya menandatangani persetujuan; me-
reka menciptakan proses-proses politik yang mengurangi ketidak-
pastian dan membangun kepercayaan dalam komitmen timbal-balik.

SEBUAH KONSTITUSI BACl BAKAT

konstitusional telah dibangun di Barat dalam kait-


T A T A N A N POLITIK

annya dengan lembaga ekonomi, politik, dan keamanan. Di bidang


ekonomi, kesepakatan Bretton Woods merupakan perjanjian inter-
nasional permanen pertama bagi kerjasama antara negara-negara.
Berbagai peraturan dan lembaga diajukan untuk menjamin ekonomi
dunia yang stabil dan meluas dan sistem pertukaran nilai uang yang
teratur. Banyak kesepakatan awal untuk tatanan moneter yang ber-
dasarkan-aturan digantikan perjanjian ad hoc yang lebih didasarkan
pada dolar xAmerika, tetapi visi bersama dan tatanan multilateral
tetap ada. Organisasi hubungan perdagangan pascaperang juga
mempunyai awal yang tidak menentu, tetapi akhirnya sistem rinci
aturan dan obligasi dikembangkan, dengan prosedur mirip penga-
dilan untuk menengahi pertikaian. Hasilnya, pemerintah Barat telah
menciptakan kesatuan arena politik trans-nasional yang diatur ber-
dasarkan fungsinya. Tahun-tahun pascaperang penuh dengan per-
selisihan ekonomi, tetapi mereka umumnya masih berada dalam
arena-arena tersebut.

159
G. John Ikcnborry

Visi konstitusi memberi masukan bagi terciptanya Persatuan


Bangsa-Bangsa, yang menggabungkan berbagai aspirasi keamanan,
politik dan ekonomi. Tentu saja, sistem PBB menjaga hak kedaulatan
negara-negara anggota. Dengan maksud untuk menghindari kega-
galan Liga Bangsa-Bangsa, para arsitek badan internasional baru
ini merancang suatu piagam yang dengannya negara-negara besar
tetap memiliki kebebasan untuk bertindak. Namun, terlepas kewa-
jiban-kewajiban dan aturan-aturannya yang lemah, PBB mencermin-
kan keinginan Amerika dan Eropa untuk menjamin agar isolasi Ame-
rika tak terulang lagi, mengukuhkan prinsip dan mekanisme pe-
nyelesaian konflik, dan meredam konflik-konflik antara negara-ne-
gara di dalam proses politik semikelembagaan.
Struktur keamanan Perang Dingin menyediakan rancangan kons-
titusi tambahan. Pengamatan Lord Ismay bahwa NATO diciptakan
untuk menghadang Rusia, melemahkan Jerman, dan menjayakan
Amerika membuat pentingnya persekutuan ini dalam merekatkan
harapan dan komitmen jangka panjang. Pakta keamanan Amerika-
Jepang mempunyai karakter containment rangkap yang serupa.
Lembaga-lembaga ini tidak hanya bertindak sebagai sekutu dalam
pengertian biasa mengenai upaya terorganisasi untuk menyeim-
bangkan ancaman dari luar, tetapi juga menawarkan mekanisme
dan tempat untuk membangun hubungan, menjalankan bisnis, dan
mengatur konflik. Keputusan Prancis baru-baru ini untuk bergabung
kembali dengan NATO dapat dimengerti hanya dalam pengertian
ini. Seandainya NATO hanyalah aliansi penyeimbang, organisasi
ini pasti sudah tak berfungsi. Fungsi politik NATO yang lebih luaslah
yang mengikat bersama negara-negara demokrasi dan memperkuat
komunitas politik. Hal inilah yang menjelaskan ketahanannya yang
mengagumkan.

Sifat demokrasi Amerika Serikat dan mitranya mempermudah


dibentuknya hubungan antarnegara yang erat ini. Sifat terbuka dan
terdesentralisasi dari lembaga-lembaga domestik mendorong
hubungan timbal-balik politik di seluruh dunia industri maju. De-
ngan demikian, tatanan demokrasi liberal Barat tidak hanya didefi-

160
Mitos Kekacauan Pasca-Perang Dingin

nisikan oleh seperangkat lembaga dan perjanjian, tetapi memang


dibuat untuk jenis perpolitikan tertentu -transnasional, pluralistik
timbal-balik, dan sah.
Sifat-sifat konstitusional tatanan Barat penting sekali bagi Jepang
dan Jerman. Kedua negara tersebut tergabung kembali dalam dunia
industri maju sebagai kekuatan semi-berdaulat yang telah menerima
pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap kemandirian dan
kapasitas militer mereka. Dengan demikian, mereka menjadi sangat
bersandar pada lembaga ekonomi dan keamanan regional dan multi-
lateral Barat. Tatanan Barat di mana mereka tergabung adalah bagian
tak terpisahkan bagi stabilitas dan fungsi mereka sebagai negara.
Politikus Demokratik Kristen Walter Leisier Kiep pada 1972
berpendapat bahwa "Aliansi Jerman-Amerika...tidaklah semata-
mata merupakan satu aspek dari sejarah Jerman modern, tetapi
merupakan suatu unsur yang menentukan sebagai hasil dari keung-
gulan posisi mereka dalam politik kita. Akibatnya, ada konstitusi
kedua bagi negara kita." Lembaga ekonomi dan keamanan Barat
bagi Jerman dan Jepang baik dulu maupun sekarang merupakan
suatu dukungan politik yang memberikan stabilitas dan melampaui
kepentingan langsung lembaga-lembaga tersebut.

APA Y A N G B E R T A H A N

berpikir bahwa kerja sama di antara negara-negara


B A G I MEREKA YANG

demokrasi industri maju didorong terutama oleh ancaman-ancaman


Perang Dingin, tahun-tahun terakhir ini pasti terlihat membingung-
kan. Hubungan antara negara-negara besar Barat tidak pernah rusak.
Jerman tidak dipersenjatai lagi, demikian juga Jepang. Apa vang
luput dari pengamatan Perang Dingin adalah apresiasi terhadap pro-
yek pascaperang Amerika yang lain, yang kurang digembar-gem-
borkan—pembangunan tatanan liberal di Barat. Para arkeolog me-
nyingkap satu lapisan hanya untuk menemukan lapisan yang lebih
tua di bawahnya; akhir Perang Dingin memungkinkan kita untuk

161
C . John Ikcnbcrry

melihat lapisan yang lebih dalam dan lebih tahan lama dari tatanan
politik pascaperang yang biasanya tertutup oleh perseteruan antara
Timur dan Barat yang lebih dramatis.
Lima puluh tahun setelah berdirinya, dunia demokratis liberal
Barat tetap tangguh, dan prinsip serta kebijakannya tetap menjadi
inti tatanan dunia. Tantangan terhadap multilateralisme liberal baik
dari dalam maupun dari luar Barat praktis sudah menghilang. Wa-
laupun ada eksperimen-eksperimen regional, mereka pada dasarnya
berbeda dari blok ekonomi autarkik pada 1930-an. Kekuatan inte-
grasi bisnis dan finansial telah sedemikian kuat menggerakkan dunia
menuju suatu sistem yang saling-terkait yang mengabaikan batas-
batas regional dan nasional. Usulan baru-baru ini bagi kesepakatan
perdagangan bebas Atlantik dan Traktat Transatlantic apa pun ke-
untungan ekonomisnya, mencerminkan kecenderungan penyatuan
lintas wilayah yang kian meningkat. Kesimpulan dari pembicaraan
perdagangan internasional Putaran Uruguay pada 1994 dan pelun-
curan Organisasi Dagang Dunia pada 1 Januari 1995, menguji ke-
kuatan prinsip-prinsip multilateral liberal.
Beberapa aspek dari visi 1940-an telah memudar Optimisme ten-
tang aktivisme pemerintah dan manajemen ekonomi yang meng-
gerakkan New Deal dan Keynesianisme dianggap telah me-lunak.
Demikian juga, fungsi multilateralisme liberal berdasarkan-aturan
dan bersifat kuasi-judisial berkurang, khususnya dalam hubungan
moneter. Paradoksnya, sekalipun aturan-aturan kerjasama menjadi
kurang padu, kerjasama itu sendiri meningkat. Aturan-aturan baku
yang mengatur ekonomi dunia Barat secara perlahan telah diganti
dengan penyatuan pemikiran kebijakan ekonomi. Konsensus pada
kerangka luas kebijakan ekonomi internasional dan domestik yang
diinginkan telah mencerminkan dan mempromosikan pertumbuhan
ekonomi yang meningkat sekaligus penyatuan kekuatan-kekuatan
ekonomi ke dalam sistem ini.
Persoalan yang dihadapi tatanan demokratik liberal sebagian be-
sar adalah persoalan keberhasilan, terutama kebutuhan untuk meng-
gabungkan negara-negara paseakomunis dan baru berkembang. Di

162
Mitos Kekacauan Pasca-Perang Dingin

sini kita bisa melihat dengan jelas bahwa tatanan pasca-Perang Di-
ngin sesungguhnya merupakan kelanjutan dan perluasan tatanan
Barat yang ditempa selama dan setelah Perang Dunia II. Perbeda-
annya adalah pencapaian globalnya. Dunia telah melihat suatu le-
dakan keinginan berbagai negara dan masyarakat untuk bergerak
menuju demokrasi dan kapitalisme. Ketika sejarah akhir abad ke-
duapuluh ditulis, era ini akan ditandai dengan kisah perjuangan
untuk mendapatkan pemerintahan demokratis dan lebih terbuka
di seluruh dunia, dan bukannya kegagalan komunisme.
Tantangan lain terhadap sistem ini terdapat di negara-negara yang
jadi pemimpin. Pada tahun-tahun awal, pertumbuhan ekonomi yang
cepat dan sangat merata telah menyangga sistem ini, saat kelas pe-
kerja dan kelas menengah di dunia industri maju bekerja giat dalam
kegiatan ekonomi. Sekarang ini globalisasi ekonomi menghasilkan
ketimpangan yang jauh lebih besar antara pemenang dan pecun-
dang, kaya dan miskin. Bagaimana kerusakan, harapan yang kandas,
kemuraman politik yang mengikuti globalisasi ditangani—apakah
keuntungan akan dibagi dan apakah sistem tersebut secara keselu-
ruhan merupakan sistem yang secara sosial adil—akan lebih mem-
pengaruhi stabilitas tatanan dunia liberal ketimbang konflik regional,
betapapun tragisnya, seperti yang terjadi di negara-negara Balkan.
Tak diragukan lagi, Perang Dingin memperkuat solidaritas dan
identitas bersama di antara negara-negara demokrasi liberal, dan
dengan demikian merupakan suatu kesalahan untuk menerima be-
gitu saja kekuatan penyatu ini sekarang ini. Perselisihan dagang,
kontroversi tentang pembagian beban, dan konflik regional akan
menguji ketahanan tatanan liberal. Tanpa ancaman Perang Dingin
untuk menyatukan negara mereka, para pemimpin negara demo-
krasi maju harus bekerja lebih keras untuk menangani konflik dan
perpecahan yang tidak dapat dielakkan. Suatu agenda reformasi dan
pembaharuan akan menjadi langkah cerdas untuk melindungi 50
tahun investasi dalam hubungan yang stabil dan kuat. Kebijakan,
lembaga, dan simbol politik semuanya dapat digerakkan menuju
penguatan tatanan liberal, sekaligus penguatan negara liberal ma-

163
G. John Ikcnborry

sing-masing. Setidaknya, para pemimpin Barat dapat lebih menggu-


nakan waktunya untuk mengenali dan menangani ruang politik
yang sama-sama mereka tempati.
Sudah lazim untuk mengatakan bahwa Amerika Serika setelah
Perang Dingin menghadapi usaha ketiganya dalam membentuk sua-
tu tatanan dunia yang tangguh, menciptakan kembali aturan-aturan
dasar politik dunia, seperti halnya setelah dua perang dunia. Namun
pandangan ini lebih menarik secara retoris dan kurang sahih secara
historis. Akhir Perang Dingin bukanlah akhir tatanan dunia, mela-
inkan runtuhnya dunia komunis karena meluasnya tatanan Barat.
Jika tatanan tersebut ingin dipertahankan dan diperkuat, akar sejarah
dan pencapaiannya harus didapatkan kembali. Amerika Serikat
membangun dan kemudian mengelola tatanan containmen t selama
40 tahun, tetapi ia juga membangun dan terus menikmati hasil ta-
tanan demokrasi liberal lama. Amerika Serikat tidaklah terapung-
apung di lautan tak berpcta. Ia sedang berada di pusat dunia yang
dihasilkannya sendiri.

164
6

Bangkitnya Demokrasi
yang Tak Liberal

Fareed Zakaria*

GELOMBANG BERIKLTNYA

DIPLOMAT AMERIKA, Richard Holbrooke, merenungkan sesuatu men-


jelang pemilu Bosnia, September 19%, yang ditujukan untuk mem-
perbaiki kehidupan sipil di negara yang sudah porak-poranda terse-
but. "Anggaplah pemilu dinyatakan bebas dan adil," ujarnya, dan
mereka yang terpilih adalah orang-orang "rasis, fasis, separatis, yang
secara terbuka menentang [perdamaian dan penyatuan-kembalij.
Ini sungguh sebuah dilema." Memang demikian adanya, bukan ha-
nya di bekas negara Yugoslavia, tetapi juga hampir di seluruh dunia.
Rezim yang terpilih secara demokratis, bahkan rezim-rezim vang
terpilih-kembali atau dikuatkan melalui refe-rendum, seringkali
mengabaikan batas-batas konstitusional ke-kuasaan mereka dan me-
nindas hak-hak dasar dan kebebasan warga negaranya. Dari Peru
sampai Otoritas Palestina, Sierra Leone sampai Slowakia, Pakistan
sampai Filipina, kita menyaksikan kebangkitan suatu fenomena

" F A R E E D Z A K A I U A adalah Redaktur majalah NewsweeJcedisi luar negeri. Dicetak

kembali atas izin Foreign Affairs, N o v e m b e r / D e c e m b e r 1997. Hak cipta © 1997


oleh Council on Foreign Relations, Inc.

165
Fareed Zakaria

yang sangat mengganggu dalam kehidupan internasional—demo-


krasi yang tak liberal.
Sangat sulit untuk mengenali masalah ini karena selama hampir
satu abad di Barat, demokrasi berarti demokrasi //bera/—sebuah sis-
tem politik yang ditandai bukan hanya oleh pemilu yang bebas dan
adil, tetapi juga oleh penegakan undang-undang, pemisahan keku-
asaan, dan perlindungan atas kebebasan dasar untuk berbicara, ber-
kumpul, memeluk agama, dan hak milik pribadi. Dalam kenyata-
annya, bundel kebebasan ini—apa vang mungkin dapat disebut li-
beralisme konstitusional—secara teoritis maupun historis sangat
berbeda dari demokrasi. Seperti yang dinyatakan oleh ilmuwan poli-
tik Philippe Schmitter, "Liberalisme, baik sebagai konsep kebebasan
politik, ataupun sebagai doktrin kebijakan ekonomi, mungkin saja
beriringan dengan bangkitnya demokrasi. Tetapi liberalisme tidak
selamanya ada atau mutlak berkaitan dengan praktek demokrasi/'
Namun sekarang ini kedua helai demokrasi liberal tersebut, yang
dalam struktur politik Barat saling berjalin, sedang memisah di se-
luruh dunia. Demokrasi tumbuh
subur; kebebasan konstitusional tidak.

Saat ini, 118 dari 193 negara di


seluruh dunia adalah negara demo-
kratis, meliputi mayoritas pendu-
duknya (54,8 persen, persisnya), se-
buah pertumbuhan yang sangat
besar dibanding satu dekade sebe-
lumnya. Di musim kejayaan seperti
sekarang ini, kita mungkin berharap
para negarawan dan kaum intelek-
tual Barat bisa lebih maju daripada
E.M. Forster dan menyambut demo-
krasi dengan meriah. Sebaliknya,
malah ada rasa gelisah yang menja-
lar pesat dalam pemilu multipartai
di sepanjang Eropa Tengah-Selatan,

166
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang mungkin disebabkan oleh


apa terjadi setelah pemilihan umum. Pemimpin yang populer seperti
Boris Yeltsin dari Rusia dan Carlos Menem dari Argentina memangkas
kekuasaan parlemen mereka dan memerintah berdasarkan dekrit
presiden, mengikis praktek-praktek konstitusional dasar. Parlemen Iran,
yang dipilih secara lebih bebas dibanding negara-negara lain di Timur
Tengah, menerapkan pembatasan yang sangat ketat dalam berbicara,
berkumpul, dan bahkan dalam berbusana, sehingga semakin mengi-
kis kebebasan negeri tersebut yang pada dasarnya sudah tinggal sedikit.
Pemerintah terpilih Ethiopia menggunakan angkatan bersenjatanya un-
tuk melawan politikus dan jurnalis, dan membuat kerusakan permanen
pada hak-hak azasi (termasuk juga pada manusianya).
Biasanya demokrasi yang tak liberal ini ada spektrumnya, mulai
dari Argentina yang tingkat pelanggarannya sedang, sampai Ka-
zakstan dan Belarusia yang mendekati tirani, sementara negara se-
perti Romania dan Bangladesh berada di tengah-tengahnya. Di se-
bagian besar spektrum ini, pemilu sangat jarang dilakukan secara
bebas dan adil seperti yang terjadi di Barat sekarang ini, tetapi me-
reka jelas-jelas mencerminkan kenyataan partisipasi rakyat dalam
politik dan dukungan terhadap yang terpilih. Contoh-contoh yang
ada juga tidak tersendiri atau tidak khas. Penelitian 1996-1997 yang
dilakukan oleh Freedom House, Kebebasan di Dunia (Freedom in
the World), memberikan peringkat yang disusun berurutan untuk
kebebasan politik dan kebebasan sipil, yang kurang lebih berkaitan
dengan demokrasi dan liberalisme konstitusional. Dari negara-nega-
ra yang terdapat di antara pemerintahan diktator yang kuat dan
pemerintahan demokrasi yang solid, 50 persen lebih baik dalam
perkara kebebasan politik daripada kebebasan sipil. Dengan kata
lain, setengah dari negara "vang sedang mengalami demo-kratisasi"
di dunia sekarang ini adalah negara demokrasi yang tak liberal. 1

1 Roger Kaplan, ed., Freedom Around the World, 1997, New York: Freedom
H o u s e , 1997, him. 21-22. Penelitian ini m e n d u d u k k a n negara-negara dalam dua
skala 7-poin, untuk hak-hak politik dan kebebasan sipil (makin rendah makin baik).

167
Fareed Zakaria

Demokrasi yang tak liberal adalah sebuah industri yang tengah


berkembang. Tujuh tahun lalu hanya 22 persen negara demokrasi
yang bisa dikategorikan sebagai demokrasi tak liberal; lima tahun
lalu angka tersebut meningkat menjadi 35 persen ? Dan sampai saat
ini, sedikit saja negara demokrasi tak-liberal yang matang menjadi
demokrasi liberal; sebaliknya, mereka bergerak menuju ketidakli-
beralan yang semakin mendalam. Bukannya merupakan tahapan
yang bersifat sementara atau transisional, nampak jelas bahwa ba-
nyak negara mandek dalam sebuah bentuk pemerintahan yang
menggabungkan demokrasi dalam tingkatan tertentu dengan suatu
ketidakliberalan dalam tingkatan tertentu pula. Seperti halnya bang-
sa-bangsa di dunia yang nyaman dengan banyaknya variasi dalam
kapitalisme, mereka bisa juga mengadopsi dan mempertahankan
berbagai bentuk demokrasi. Demokrasi liberal Barat ternyata bukan
tujuan akhir dari jalan demokrasi, melainkan hanya satu dari banyak
jalan keluar.

DEMOKRASI DAN KEBEBASAN

Herodotus demokrasi berarti, pertama-tama dan


S E J A K ZAMAN

terutama, pemerintahan oleh rakyat. Pandangan tentang demokrasi


sebagai sebuah proses memilih pemerintahan seperti yang pernah

Saya memasukkan semua negara dengan nilai kombinasi antara 5 dan 10 sebagai
berdemokrasi. Persentasenya berdasarkan angka-angka Freedom House, tetapi
dalam kasus masing-masing negara, saya tidak melulu terpatok pada peringkatnya.
Survei ini adalah hasil karya yang luar biasa, komprehensif dan cerdas. Namun,
metodologinya yang membaurkan hak-hak konstitusional tertentu dengan
prosedur demokratis inilah yang membuat masalah jadi tidak jelas. Selain itu,
yang saya gunakan sebagai contoh (walaupun bukan merupakan bagian dari
rangkaian data tersebut) adalah negara seperti Iran, Kazakstan, dan Belarusia,
yang dari segi prosedur adalah semidemokrasi yang sebaik-baiknya. Tetapi, mereka
patut disoroti sebagai c o n t o h k a s u s yang m e n a r i k karena h a m p i r s e m u a
pemimpinnya dipilih, dipilih kembali, dan tetap popular.
7 Freedom in the World: The Annua! Survey of Political Rights and Civil Liberties,
1992-1993. h i m . 6 2 0 - 2 6 ; Freedom in the World, 1989-1990. him. 312-19

168
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

disampaikan oleh para akademisi mulai Alexis de Tocqueville, Jo-


seph Schumpeter, sampai Robert Dahi ini sekarang digunakan secara
luas oleh para ilmuwan sosial. Dalam The Third Wave, Samuel P.
Huntington menjelaskan mengapa:

Pemilihan u m u m yang terbuka, bebas dan jujur m e r u p a k a n esensi


demokrasi, suatu syarat hakiki yang tak-dapat-diabaikan. Pemerin-
tahan y a n g dihasilkan oleh pemilihan u m u m m u n g k i n tidak-efisien,
k o r u p , p i c i k , tidak b e r t a n g g u n g - j a w a b , d i d o m i n a s i o l e h k e p e n t i n g -
an-kepentingan tertentu, dan tidak m a m p u mengambil kebijakan-
k e b i j a k a n y a n g d i t u n t u t o l e h k e b a i k a n p u b l i k . S i f a t - s i f a t ini m e n j a -
d i k a n p e m e r i n t a h a n s e p e r t i itu t i d a k - d i i n g i n k a n , n a m u n t i d a k m e n -
jadikannya tidak-demokratis. Demokrasi merupakan salah satu, na-
m u n bukan satu-satunya, kebajikan publik, dan h u b u n g a n d e m o -
krasi d e n g a n k e b a j i k a n d a n k e j a h a t a n p u b l i k y a n g lain h a n y a d a p a t
d i p a h a m i jika d e m o k r a s i d i b e d a k a n d e n g a n j e l a s d a r i k a r a k t e r i s t i k
s i s t e m p o l i t i k y a n g lain.

Definisi ini juga sesuai dengan pandangan umum tentang istilah


tersebut. Jika sebuah negara menyelenggarakan pemilu yang kom-
petitif dan multipartai, kita menyebutnya demokratis. Jika partisipasi
publik dalam politik meningkat, misalnya melalui pemberian hak
suara kaum perempuan, negara tersebut dianggap telah menjadi
semakin demokratis. Tentu saja pemilu harus dilakukan secara ter-
buka dan adil, dan ini semua mensyaratkan beberapa perlindungan
bagi kebebasan berbicara dan berkumpul. Namun bergerak melebihi
syarat minimal ini dan mencap sebuah negara demokratis hanya
jika ia menjamin suatu daftar hak-hak sosial, politik, ekonomi dan
keagamaan tertentu berarti mengubah kata demokrasi menjadi len-
cana kehormatan saja dan bukannya sebuah kategori deskriptif. Ba-
gaimanapun juga, Swedia memiliki sistem ekonomi yang menurut
banyak pihak membatasi hak kepemilikan individu, pemerintah
Prancis sampai dewasa ini masih memonopoli siaran televisi, dan
Inggris memiliki agama resmi. Tetapi mereka jelas-jelas dapat

169
Fareed Zakaria

dikategorikan sebagai negara demokratis. Menganggap "demo-


krasi", secara subjektif, berarti "suatu pemerintahan yang baik" men-
jadikannya secara analitis tidak-berguna.
Liberalisme konstitusional, di pihak lain, tidak berkenaan dengan
prosedur-prosedur untuk memilih pemerintahan, melainkan lebih
berkenaan dengan tujuan-tujuan pemerintahan. Ia mengacu pada
suatu tradisi, yang mengakar dalam sejarah Barat, yang berusaha
untuk melindungi otonomi dan martabat seorang individu terhadap
pengekangan, apapun sumbernya—negara, gereja, atau masyarakat.
Istilah tersebut menggabungkan dua gagasan yang sangat terkait.
Ia liberal karena memiliki nada filosofis—yang bermula dari orang-
orang Yunani dan Romawi—yang menekankan kebebasan indi-
vidual/ Ia konstitusional karena ia bersandar pada tradisi kekuasaan
berdasarkan hukum, yang bermula dari orang-orang Romawi. Li-
beralisme konstitusional berkembang di Eropa Barat dan Amerika
Serikat sebagai suatu perlindungan terhadap hak seorang individu
atas hidup dan hak-milik dan kebebasan beragama dan berbicara.
Untuk menjamin hak-hak ini, liberalisme konstitusional menekan-
kan pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah, kesetaraan di de-
pan hukum, pengadilan dan pemeriksaan yang tidak-memihak, serta
pemisahan gereja dan negara. Tokoh-tokoh utamanya antara lain
adalah penyair John Milton, ahli hukum William Blackstone, nega-
rawan seperti Thomas Jefferson dan James Madison, serta filsuf se-
perti Thomas Hobbes, John Locke, Adam Smith, Baron de Montes-
quieu, John Stuart Mill, dan Isaiah Berlin. Dalam hampir semua ra-
gamnya, liberalisme konstitusional menyatakan bahwa manusia me-
miliki hak-hak dasariah tertentu (atau yang "tak-dapat-dihilang-
kan") dan bahwa pemerintah harus menerima suatu hukum dasar
dan membatasi kekuasaannya sendiri untuk melindungi hak-hak

* Istilah "liberal" yang digunakan di sini adalah yang dipakai dalam pengertian
Eropa yang lebih tua. sekarang seringkali disebut sebagai liberalisme klasik.
Sekarang ini di Amerika kata itu sudah menjadi sesuatu yang berbeda, yaitu
kebijakan yang melindungi negara kesejahteraan modern.

170
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

tersebut. Demikianlah pada 1215 di Runnvmede, para bangsawan


Inggris memaksa raja untuk untuk tunduk pada hukum adat yang
berlaku di negeri mereka. Di wilayah-wilayah koloni Amerika ke-
wajiban ini dibikin lebih eksplisit, dan pada 1638 kota Hartford mem-
berlakukan konstitusi tertulis pertama dalam sejarah modern. Pada
1789 Konstitusi Amerika menciptakan suatu kerangka formal bagi
bangsa baru ini. Pada 1975 bangsa-bangsa Barat menetapkan stan-
dar-standar perilaku bahkan bagi rezim-rezim non-demokratis. Mag-
na Carta, Aturan-Aturan Fundamental Connecticut, Konstitusi Ame-
rika, dan Akta Final Helsinki semuanya merupakan ungkapan li-
beralisme konstitusional.

JALAN MENUJU DEMOKRASI LIBERAL

SEJAK 1945 pemerintahan-pemerintahan Barat, sebagian besar, telah


mewujudkan baik demokrasi maupun liberalisme konstitusional.
Dengan demikian, menjadi sulit untuk membayangkan kedua hal
tersebut terpisah, entah dalam bentuk demokrasi iliberal atau dalam
bentuk otokrasi liberal. Dalam kenyataannya keduanya ada di masa
lalu dan terus bertahan di masa sekarang ini. Sampai abad kedua-
puluh, sebagian besar negara di Eropa Barat adalah otokrasi liberal
atau, paling jauh, semidemokrasi. Hak suara dikekang dengan kuat,
dan anggota legislatif yang terpilih memiliki kekuasaan yang terba-
tas. Pada 1830, Inggris Raya, yang dalam beberapa hal merupakan
negara Eropa yang paling demokratis, mengizinkan tidak-lebih dari
2 persen penduduknya untuk memberikan suaranya bagi satu maje-
lis di Parlemen; angka itu melonjak menjadi 7 persen setelah 1867
dan mencapai sekitar 40 persen di 1880-an. Baru pada akhir 1940-
an hampir seluruh negara Barat menjadi demokrasi penuh, dengan
hak pilih yang berlaku bagi semua orang dewasa. Namun seratus
sebelumnya, di akhir 1840-an, sebagian besar dari mereka telah men-
jalankan berbagai aspek penting dari liberalisme konstitusional—
kekuasaan hukum, hak kepemilikan pribadi, dan selain itu, pemisah-

171
Fareed Zakaria

an kekuasaan dan kebebasan berbicara dan berkumpul Dalam se-


bagian besar sejarah modern, apa yang mencirikan pemerintahan-
pemerintahan di Eropa dan Amerika Utara, dan membedakan me-
reka dari pemerintahan-pemerintahan lain di dunia, bukanlah de-
mokrasi melainkan liberalisme konstitusional. "Model pemerintahan
Barat" tersebut disimbolkan dengan paling bagus bukan oleh plebisit
massa melainkan oleh hakim yang tidak-memihak.
Sejarah Asia Timur mengikuti perjalanan Barat. Setelah bermain-
main singkat dengan demokrasi usai Perang Dunia II, hampir semua
rezim Asia Timur berubah menjadi otoritarian. Seiring perjalanan
waktu mereka berpindah dari otokrasi ke otokrasi liberal dan, dalam
beberapa kasus, ke semidemokrasi liberal. 4 Hampir semua rezim di
Asia Timur hanya menjadi semidemokratis, dengan sistem satu par-
tai yang membuat pemilu mereka menjadi ratifikasi kekuasaan dan
bukan persaingan yang sebenarnya. Tetapi rezim-rezim ini memberi
peluang lebih lebar bagi warga mereka di bidang ekonomi, sipil,
agama, dan hak-hak politik yang terbatas. Seperti halnya di Barat,
liberalisasi di Asia Timur sudah termasuk liberalisasi ekonomi, yang
juga penting dalam mempromosikan baik pertumbuhan maupun
demokrasi liberal. Dalam sejarah, faktor-faktor yang erat diasosia-
sikan dengan demokrasi liberal sepenuhnya adalah kapitalisme, ke-
borjuisan, dan pendapatan perkapita yang tinggi. Saat ini peme-
rintahan di Asia Timur merupakan percampuran antara demokrasi,
liberalisme, kapitalisme, oligarki, dan korupsi—hampir seperti
pemerintahan Barat pada 1900-an.

Liberalisme konstitusional telah mengarah menuju demokrasi,


tetapi demokrasi kelihatannya tidak menghasilkan liberalisme kons-

4 Indonesia, S i n g a p u r a , d a n Malaysia adalah contoh dari otokrasi yang


mengalami liberalisasi, sementara Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand adalah
demokrasi semiliberal. Bagaimanapun, kedua kelompok tersebut, lebih liberal
daripada demokratis, yang kenyataannya memang benar, di wilayah tersebut yang
betul-betul demokrasi liberal hanyalah Jepang, Papua New Guinea, dan pada
tingkat yang lebih rendah Filipina adalah satu-satunya contoh demokrasi yang
tak liberal di Asia Timur.

172
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

titusionaL Bertolak belakang dengan jalur dunia Barat dan Asia


Timur, setidaknya dalam dua dekade terakhir di Amerika Latin, Afri-
ka, dan sebagian Asia, pemerintahan diktator dengan sedikit latar
belakang liberalisme konstitusional telah memberi jalan kepada
demokrasi. Hasilnya tidaklah terlalu baik. Di belahan bumi barat,
dengan pemilu yang diselenggarakan di setiap negara kecuali Kuba,
penelitian yang dilakukan pada 1993 oleh Larry Diamond menyim-
pulkan bahwa 10 dari 22 negara utama Amerika Latin mempunyai
"tingkat pelanggaran hak asasi manusia yang tidak-sesuai dengan
konsolidasi demokrasi [liberall"? Di Afrika, demokratisasi berlang-
sung sangat cepat. Dalam enam bulan pada 1990 hampir semua
negara Afrika yang berbahasa Prancis telah mencabut larangannya
atas politik multipartai. Walaupun pemilu telah diselenggarakan di
hampir 45 negara sub-Sahara sejak 1991 (18 pada 1996 saja), terjadi
kemunduran kebebasan di banyak negara. Salah satu pengamat Afri-
ka yang paling cermat, Michael Chege, melakukan survei terhadap
gelombang demokratisasi serta mengambil pelajaran dari benua
yang "terlalu menekankan pemilu multipartai ... dan secara bersa-
maan melalaikan ajaran dasar pemerintahan liberal." Di Asia Tengah,
pemilu, bahkan ketika benar-benar dijalankan secara bebas, seperti
di Kyrgyzstdan dan Kazakstan, menghasilkan badan eksekutif yang
kuat, badan legislatif dan pengadilan yang lemah, serta sedikit saja
kebebasan sipil dan ekonomi. Di negara-negara Islam, mulai Oto-
ritas Palestina sampai Iran dan Pakistan, demokratisasi menyebab-
kan meningkatnya peran politik teokrasi, mengikis tradisi lama
sekularisme dan toleransi. Di banyak bagian dari wilayah tersebut,
seperti Tunisia, Maroko, Mesir, dan beberapa negara Teluk, di mana
pemilu baru akan diberlakukan tak lama lagi, rezim-rezim yang di-
hasilkan hampir pasti akan lebih tidak liberal daripada yang se-
karang berkuasa.

s Larry Diamond, "Democracy in Latin A m e r i c a / ' dalam Tom Farer, ed., Beyond
Sovereignty: Collectively Defending Democracy in a World of Sovereign States,
Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1 9 % , him. 73.

173
Fareed Zakaria

Di sisi lain, banyak negara di


Eropa Tengah yang telah dengan
baik sekali bergerak dari komunis-
me menjadi demokrasi liberal, se-
telah melalui tahap liberalisasi
tanpa demokrasi seperti yang di-
lakukan negara-negara Eropa la-
innya di abad ke-19. Memang, ke-
kaisaran Austro-Hungaria, yang
mana sebagian besar negara terse-
but termasuk di dalamnya, meru-
pakan negara otokrasi liberal yang
klasik. Bahkan di luar Eropa, ilmu-
wan politik Myron Weiner men-
deteksi sebuah hubungan yang
mencolok antara masa lalu yang konstitusional dengan masa kini
yang demokratis liberal. Ia menunjukkan bahwa sejak 1983, "setiap
negara di dunia ketiga yang lepas dari kekuasaan kolonial sejak
Perang Dunia U dengan populasi sedikitnya satu juta (termasuk juga
hampir semua koloni yang lebih kecil) dengan pengalaman de-
mokrasi yang terus-menerus adalah bekas negara jajahan Inggris."*
Kekuasaan Inggris tidak berarti demokrasi—kolonialisme pada di-
rinva sendiri tidak-demokratis—melainkan liberalisme konstitusio-
j
nal. Warisan undang-undang dan sistem administrasi Inggris ter-
bukti lebih bermanfaat ketimbang kebijakan Prancis yang membe-
rikan hak suara kepada beberapa penduduk koloninya.
Meskipun otokrasi liberal mungkin hanya ada di masa lalu, da-
patkah seseorang membayangkannya sekarang ini? Sampai saat ini,
ada contoh negara kecil namun kuat yang tumbuh pesat di daratan

6 Myron Weiner, "Empirical Democratic T h e o r y / dalam Myron Weiner and


Ergun Ozbudun, ods., Competitive Elections in Developing Countries, Durham:
Duke University Press, 1987, him. 20. Saat ini ada demokrasi yang berjalan di negara
Dunia Ketiga yang bukan berasal dari bekas koloni Inggris. Tetapi, mayoritas yang
berdemokrasi memang bekas koloni Inggris.

174
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

Asia, Hongkong. Selama 156 tahun, sampai 1 Juli, 1997, Hongkong


berada di bawah pemerintah Kerajaan Inggris melalui seorang gu-
bernur jendral yang diangkat. Sampai 1991 Hongkong belum pernah
menyelenggarakan pemilu yang berarti, tetapi pemerintahnya me-
rupakan contoh liberalisme konstitusional, yang melindungi hak-
hak dasar penduduknya dan menjalankan sistem pengadilan serta
birokrasi yang adil. Pada tanggal 8 September 1997, terdapat tulisan
editorial The Washington Post tentang masa depan pulau tersebut
yang judulnya sangat mengganggu, "Membatalkan Demokrasi
Hongkong." Sebenarnya, Hongkong tidan banyak memiliki demo-
krasi untuk dibatalkan; apa yang dimilikinya adalah sebuah kerang-
ka hak-hak dan undang-undang. Pulau-pulau kecil ini mungkin ti-
dak terlalu berpengaruh bagi dunia sekarang ini, tetapi mereka dapat
membantu kita untuk mengukur nilai relatif demokrasi dan liberal-
isme konstitusional. Pikirkan, misalnya, pertanyaan tentang di mana
Anda ingin tinggal, apakah Haiti yang punya demokrasi tak lib-
eral, atau Antigua yang semidemokrasi liberal. Pilihan Anda boleh
jadi tak berkaitan dengan cuacanya, keduanya punya iklim yang me-
nyenangkan, melainkan karena iklim politiknya, yang jauh berbeda.

KEDAULATAN ABSOLUT

J O H N STUART MILL membuka karya klasiknya, On Liberty, dengan me-


nyatakan bahwa ketika negara-negara menjadi demokratis, rakyat
cenderung yakin bahwa "terlalu banyak arti-penting yang dilekat-
kan pada pembatasan kekuasaan pemerintah itu sendiri. Hal itu . . .
m e r u p a k a n suatu tanggapan terhadap para penguasa vang
kepentingannya berlawanan dengan kepentingan rakyat." Segera
setelah rakyat itu sendiri berkuasa, peringatan tidak lagi diperlukan;
"Rakyat tidak perlu dicegah dari kehendaknya sendiri." Seolah-olah
menegaskan kekhawatiran Mill, Aleksander Lukashenko, setelah
menjadi presiden terpilih Belarus dengan suara besar dalam sebuah
pemilihan umum yang bebas 1994, saat ditanya tentang pembatasan

175
Fareed Zakaria

kekuasaannya, mengatakan, "Tidak akan ada kediktatoran. Saya dari


rakyat, dan saya akan bertindak demi rakyat."
Ketegangan yang terjadi antara liberalisme konstitusional dan
demokrasi berpusat pada lingkup otoritas pemerintahan. Liberalis-
me konstitusional berkenaan dengan pembatasan kekuasaan, se-
dangkan demokrasi berkenaan dengan akumulasi kekuasaan dan
penggunaannya. Karena alasan ini, banyak pemikir liberal abad ke-
18 dan ke-19 melihat demokrasi sebagai suatu kekuatan yang dapat
meruntuhkan kebebasan. James Madison menjelaskan dalam The
Federalist bahwa "bahaya penindasan" dalam demokrasi berasal
dari "suara terbanyak." Tocqueville yang memperingatkan adanya
"tirani mayoritas", menulis, "Intisari pemerintah yang demokratis
berada dalam kedaulatan absolut kaum mavoritas."

Kecenderungan suatu pemerintahan demokratis untuk meyakini
dirinya memiliki kedaulatan absolut (yaitu, kekuasaan) bisa meng-
akibatkan pemusatan kekuasaan, yang seringkali didapat lewat cara-
cara ekstrakonstitusional dan dengan hasil yang suram. Selama de-
kade terakhir, pemerintahan-pemerintahan terpilih yang mengklaim
mewakili rakyat semakin menggerogoti kekuasaan dan hak-hak ele-
men lain dalam masyarakat, suatu penjarahan-keku-asaan baik yang
bersifat horisontal (dari cabang-cabang peme-rintahan nasional yang
lain) maupun vertikal (dari otoritas-otoritas regional dan lokal serta
perusahaan pribadi dan kelompok-kelompok non-pemerintah lain).
Lukashenko dan Alberto Fujimori dari Peru adalah contoh paling
buruk dari praktek ini. (Di saat tindakan Fujimori yang membubar-
kan legislatif dan menangguhkan konstitusi membuat rezimnya sulit
disebut demokratis, perlu dicatat bahwa ia memenangkan dua pe-
milu dan sangat popular sampai dewasa ini). Bahkan seorang pem-
baharu yang meyakinkan seperti mantan presiden Argentina, Carlos
Menem, mengeluarkan hampir 300 dekrit presiden selama delapan
tahun kekuasaannya, sekitar 3 kali lipat dari yang dikeluarkan oleh
semua presiden Argentina sebelumnya digabungkan, mulai dari
1853. Askar Akavev dari Kyrgyzstan, yang terpilih dengan 60 persen
suara, mengusulkan untuk mempertinggi kekuasaannya dalam se-

176
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

buah referendum yang dengan mudah disahkan pada 1996.


Kekuasaannya sekarang ini meliputi pengangkatan semua pejabat
tinggi kecuali perdana menteri, meskipun ia dapat membubarkan
parlemen jika parlemen menampik tiga di antara calon-calonnya
untuk jabatan itu.
Perampasan kekuasaan horizontal yang biasanya dilakukan oleh
para presiden terlihat lebih kentara, tetapi perampasan kekuasaan
vertikallah yang paling jamak. Selama tiga dekade terakhir,
pemerintah India secara rutin membubarkan parlemen-parlemen
negara bagian dengan alasan yang sangat lemah, menempatkan wi-
layah-wilayah di bawah kekuasaan langsung New Delhi. Dalam ge-
rakan yang tidak terlalu dramatis tetapi sejenis, pemerintah terpilih
Republik Afrika Tengah baru-baru ini mengakhiri kebebasan yang
sudah cukup lama dinikmati sistem universitas, dengan menja-
dikannya bagian dari aparat pemerintahan pusat.
Penjarahan-kekuasaan tersebar-luas terutama di Amerika Latin
dan bekas Uni Soviet, mungkin karena negara-negara di wilayah
ini sebagian besar bercirikan sistem presidensiil. Sistem ini cende-
rung menghasilkan pemimpin-pemimpin kuat yang percaya bahwa
mereka adalah penyambung lidah rakyat—bahkan ketika mereka
terpilih oleh tidak lebih dari segelintir pluralitas. (Sebagai-mana yang
ditunjukkan oleh ilmuwan politik Juan Linz, Salvador Allende ter-
pilih menjadi presiden Cili pada 1970 hanya dengan 36 persen suara.
Dalam keadaan serupa, seorang perdana menteri sudah harus mem-
bagi kekuasaan dalam suatu pemerintahan koalisi.) Para presiden
membentuk kabinet-kabinet dari para kroni, ketimbang figur-figur
partai senior, serta menjalankan pengawasan internal yang kecil ter-
hadap kekuasaan mereka. Dan ketika timbul konflik antara pan-
dangan mereka dengan para legislator, atau bahkan dengan penga-
dilan, presiden cenderung "berpaling ke rakyat/' dengan menga-
baikan kewajiban bernegosiasi yang tidak menyenangkan dan
membangun koalisi. Sementara para intelektual memperdebatkan
kebaikan dari bentuk pemerintahan presidensiil melawan parlemen-
ter, perampasan kekuasaan dapat terjadi di bawah keduanya, yang

177
Fareed Zakaria

menghilangkan alternatif pusat-pusat kekuasaan yang bagus seperti


badan pembuat undang-undang, pengadilan, partai politik, dan pe-
merintahan daerah yang kuat, serta universitas-universitas dan me-
dia yang mandiri. Amerika Latin sebenarnya menggabungkan sistem
presidensiil dengan perwakilan proporsional, yang menghasilkan
pemimpin-pemimpin populis dan banyak partai—suatu kombinasi
yang tidak-stabil.
Banyak pemerintah Barat dan kaum intelektual mendorong pem-
bentukan negara-negara sentralistik yang kuat di Dunia Ketiga. Para
pemimpin negara-negara ini berpendapat bahwa mereka membu-
tuhkan kewenangan untuk menghancurkan feodalisme, memisah-
kan koalisi yang sudah berurat-akar, menghalau kepentingan sepi-
hak, dan menghamparkan ketertiban bagi masyarakat yang kacau-
balau. Tetapi hal ini mengacaukan perlunya sebuah pemerintah yang
sah yang dengannya ia bisa jadi sangat kuat. Pemerintah yang diang-
gap sah biasanya mampu menjaga ketertiban dan menjalankan kebi-
jakan-kebijakan yang sulit, walaupun lambat, dengan membangun
koalisi. Bagaimanapun, segelintir orang menyatakan bahwa peme-
rintah di negara-negara berkembang tidak seharusnya memiliki ke-
kuasaan yang kuat; karena kekacauan datang dari kekuasaan politik,
sosial, dan, ekonomi yang mereka kumpulkan semua. Dalam keada-
an krisis seperti perang saudara, pemerintah konstitusional mungkin
tidak akan sanggup meme-rintah secara efektif, tetapi alternatifnya—
negara-negara dengan petugas keamanan sangat besar yang me-
nangguhkan hak-hak konstitusional—biasanya tidak menghasilkan
ketertiban ataupun pemerintah yang baik. Lebih sering lagi, negara-
negara semacam ini menjadi pemangsa, menjaga ketertiban sekali-
gus memenjarakan para penentang, memberangus perbedaan pen-
dapat, melakukan nasionalisasi industri, dan menyita hak milik pri-
badi. Sementara anarki punya ancamannya sendiri, ancaman terbe-
sar bagi kebebasan dan ketenteraman manusia dalam abad ini ti-
daklah disebabkan oleh ketidaktertiban melainkan negara-negara
terpusat yang brutal dan kuat, seperti Jerman di bawah Nazi, Rusia
di bawah Soviet, dan Cina di bawah Mao. Dunia Ketiga dikotori

178
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

oleh karya yang berdarah-darah dari negara-negara kuat.


Dalam sejarah, sentralisasi yang tidak terawasi selalu menjadi
musuh demokrasi liberal. Ketika partisipasi politik di Eropa me-
ningkat pada abad ke-19, hal tersebut diakomodasi dengan baik di
negara-negara seperti Inggris dan Swedia, di mana majelis-majelis
tingkat menengah, pemerintah lokal, dan dewan parlemen regional
tetap kuat. Di sisi lain, negara-negara seperti Prancis dan Prussia, di
mana monarki mempunyai kekuasaan terpusat yang efektif (baik
secara vertikal maupun horisontal), seringkali berakhir menjadi tak
liberal dan tidak demokratis. Bukan merupakan suatu kebetulan bila
di abad ke-20 Spanyol, ujung tombak liberalisme di Catalunia, sela-
ma berabad-abad merupakan wilayah otonom dan sangat mandiri.
Di Amerika, hadirnya berbagai macam lembaga—negara, lokal, dan
swasta—membuatnya lebih mudah mengakomodasi perkembangan
hak pilih secara cepat yang mulai muncul pada awal abad ke-19.
Arthur Schlesingcr Sr. mendokumentasikan bagaimana, selama 50
tahun pertama berdirinya Amerika, hampir setiap negara bagian,
kelompok kepentingan dan golongan mencoba melemahkan bahkan
menghancurkan pemerintahan federal. 7 Baru-baru ini, demokrasi
semiliberal di India mampu bertahan justru karena, dan bukan ter-
lepas dari, wilayah-wilayahnya yang kuat serta beragamnya bahasa,
budaya, bahkan kastanya. Apa yang terjadi pada dasarnya sangat
logis, bahkan tautologis: pluralisme di masa lalu membantu men-
jamin pluralisme politik di masa kini.

Lima puluh tahun yang lalu, politikus di negara berkembang


menghendaki kekuasaan yang luar biasa untuk menerapkan doktrin-
doktrin ekonomi yang populer pada masa itu, seperti nasionalisasi
industri. Sekarang ini penerus mereka menginginkan kekuasaan
yang serupa untuk melakukan privatisasi industri-industri tersebut.
Pembenaran Menem bagi metodenya adalah bahwa itu semua sa-
ngat dibutuhkan untuk menjalankan reformasi ekonomi yang berat.

7Arthur Schlesinger, Sr., Afew Viewpoints in American History. New York:


Macmillan, 1922, him. 220-40.

179
Fareed Zakaria

Argumen serupa disampaikan oleh Ab-


dala Bucarem dari Ekuador dan oleh Fuji-
mori, Lembaga pinjaman, seperti Dana
Moneter Internasional dan Bank Dunia,
menunjukkan simpati mereka terhadap
dalih ini, dan pasar saham secara sangat
positif menanggapinya. Tetapi kecuali da-
lam kondisi darurat seperti perang, cara-
cara tak liberal dalam jangka panjang
akan bertentangan dengan tujuan-tujuan
liberal. Pemerintahan konstitusional sebe-
narnya merupakan kunci keberhasilan
kebijakan reformasi ekonomi. Pengala-
man Asia Timur dan Eropa Tengah me-
nunjukkan bahwa ketika sebuah rezim—
apakah dia otoriter seperti di Asia Timur atau demo-krasi liberal
seperti di Polandia, Hungaria, dan Republik Cheko—melindungi
hak individu, termasuk hak milik pribadi dan kontrak, menciptakan
kerangka hukum dan administrasi, maka kapitalisme dan pertum-
buhan akan mengikuti. Dalam pidatonya baru-baru ini di Woodrow
Wilson International Center, Washington, yang menjelaskan apa
yang dibutuhkan kapitalisme untuk tumbuh berkembang, pimpinan
Bank Sentral Alan Greenspan menyimpulkan bahwa, "Mekanisme
penuntun dalam ekonomi pasar bebas,.. adalah penjaminan hak-hak
azasi, yang diperkuat oleh sebuah peradilan yang tidak memihak."

Akhirnya, dan mungkin lebih penting lagi, kekuasaan yang


dikumpulkan untuk tujuan baik selanjutnya dapat digunakan pula
untuk hal yang sebaliknya. Ketika Fujimori membubarkan parle-
men, persetujuan yang diperolehnya menduduki angka yang pa-
ling tinggi yang pernah ada. Tetapi jajak pendapat akhir-akhir ini
cenderung menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka yang
pernah menyetujui tindakannya sekarang berharap ia kini lebih diba-
tasi. Pada 1993 Boris Yeltsin (secara harfiah) menyerang parlemen
Rusia, dipicu oleh tindakan-tindakan parlemen sendiri yang tidak

180
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

konstitusional. Kemudian ia menunda mahkamah konstitusi,


membongkar sistem pemerintah lokal, dan memecat beberapa
gubernur provinsi. Dari perang di Chechnya sampai program-pro-
gram ekonominya, Yeltsin secara rutin menunjukkan ketidakpedu-
liannya terhadap prosedur dan batasan konstitusional. Ia mungkin
saja seorang yang berjiwa demokrat liberal, tetapi tindakan Yeltsin
telah menghasilkan kepresidenan-super di Rusia. Kita hanya bisa
berharap penggantinya tidak akan menyalahgunakan hal itu.
Selama berabad-abad para intelektual Barat cenderung meng-
anggap liberalisme konstitusional sebagai tradisi uzur dalam pem-
buatan undang-undang, sebuah formalitas belaka yang seharusnya
berada di baris belakang untuk memerangi kejahatan yang lebih
besar di dalam masyarakat. Tanggapan yang paling mengesankan
terhadap pandangan ini sampai sekarang tetaplah dialog dalam
drama Robert Bolt, A Man For All Seasons. William Roper, anak
muda yang berapi-api dalam menumpas kejahatan, gusar dengan
pengabdian Sir Thomas More terhadap hukum. Dengan santun More
mempertahankan dirinya.

M O R E : Apa yang akan kau lakukan? M e m b a b a t h u k u m habis-


h a b i s a n u n t u k m e n g e j a r Iblis?
R O P E R : S a y a a k a n m e l a n g g a r s e t i a p h u k u m di I n g g r i s u n t u k itu!
M O R E : Dan ketika h u k u m t e r a k h i r r u n t u h , d a n Iblis b e r b a l i k
p a d a m u — d i m a n a kau akan bersembunyi Roper, semua h u k u m
sudah kau babat habis?

K O N H J K D A N F'KRANG E T N I K

Jack Lang melakukan gebrakan dramatis ter-


P A D A 8 DESEMBER 1 9 % ,

hadap Beograd. Politisi terkenal Prancis yang juga mantan menteri


kebudayaan ini terinspirasi oleh demonstrasi mahasiswa yang me-
libatkan puluhan ribu orang menentang Slobodan Milosevic, orang
yang dianggap Lang dan banyak intelektual Barat bertanggung

181
Fareed Zakaria

jawab atas perang yang terjadi di Balkan. Lang bermaksud membe-


rikan dukungan moralnya kepada oposisi Yugoslavia. Para pemim-
pin pergerakan menerimanya di kantor mereka, departemen filsafat,
hanya untuk menendangnya keluar. Mereka menyatakan Lang
adalah "musuh Serbia/' dan memerintahkannya keluar dari negara
mereka. Ternyata para mahasiswa menentang Milosevic bukan ka-
rena memulai perang, tetapi karena gagal memenangkannya.
Rasa malu Lang menegaskan dua asumsi umum yang seringkali
keliru: bahwa kekuatan demokrasi adalah kekuatan kerukunan dan
perdamaian etnik. Keduanya tidak ada yang benar. Demokrasi libe-
ral yang matang biasanya mampu menampung pembagian etnik
tanpa kekerasan atau teror dan hidup selaras dengan demokrasi-
demokrasi liberal yang lainnya. Tetapi tanpa latar belakang liberalis-
me konstitusional, pengenalan demokrasi dalam masyarakat yang
terpecah-pecah dalam kenyataannya telah memicu munculnya na-
sionalisme, konflik etnik, bahkan perang. Banyak pemilihan umum
yang digelar segera setelah runtuhnya komunisme di Uni Soviet
dan Yugoslavia dimenangkan oleh kaum separatis nasionalis dan
mengakibatkan pecahnya negara-negara tersebut. Hal ini tidak se-
luruhnya buruk, karena negara-negara tersebut dulunya diikat men-
jadi satu karena paksaan. Tetapi pemisahan diri yang begitu cepat,
tanpa jaminan, institusi, atau kekuasaan politik bagi banyak kaum
minoritas yang tinggal di negara-negara baru itu, telah menyebabkan
munculnya lingkaran-spiral pemberontakan, penindasan dan, di
tempat-tempat seperti Bosnia, Azerbaijan, dan Georgia, perang.

Pemilihan umum menghendaki para politisi bersaing untuk


mendapatkan suara rakyat. Dalam masyarakat-masyarakat yang ti-
dak memiliki tradisi kelompok multi-etnik atau asimilasi yang kuat,
hal yang paling mudah adalah mengorganisir dukungan menurut
garis ras, etnis, atau keagamaan. Sekali sebuah kelompok etnis ber-
kuasa, ia cenderung menyingkirkan kelompok etnis yang lain. Kom-
promi seolah tidak mungkin; seseorang bisa saja tawar-menawar
atas isu-isu kebutuhan dasar seperti perumahan, rumah sakit, atau
sumbangan sosial, tetapi bagaimana ia dapat memilah-milah agama

182
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

nasional? Kompetisi politik yang bersifat memecah-belah dapat


dengan cepat memburuk menjadi kekerasan. Gerakan-gerakan
oposisi, pemberontakan-pemberontakan bersenjata, dan kudeta-ku-
deta di Afrika seringkali diarahkan untuk melawan rezim-rezim
yang berdasarkan etnis, banyak di antaranya berkuasa melalui pemi-
lihan umum. Dengan meneliti kemacetan demokrasi-demokrasi Afri-
ka dan Asia di 1960an, dua orang sarjana menyimpulkan bahwa
demokrasi "sama sekali tidak dapat berjalan dalam sebuah ling-
kungan yang penuh dengan preferensi etnik yang kuat/ 7 Penelitian
yang dilakukan baru-baru ini, khususnya di Afrika dan Asia Tengah,
kembali menegaskan pesimisme ini. Seseorang yang sangat ahli di
bidang konflik etnis, Donald Horowitz, menyim-pulkan, "Di hadap-
an perkara yang suram ini ... mengenai kegagalan konkret demo-
krasi dalam masyarakat yang terpecah-belah ... seseorang punya
kecenderungan untuk lepas tangan. Apa gunanya mengadakan pe-
milu bila semua yang mereka lakukan pada akhirnya adalah untuk
menggantikan rezim yang didominasi oleh Bemba dengan rezim
Nyanja di Zambia, keduanya sama-sama piciknya, atau rezim selatan
untuk rezim utara di Benin, yang tak satu pun dari dua rezim ini
sudi melibatkan belahan negara yang lainnya?""

Selama dekade terakhir, salah satu perdebatan yang paling hangat


di antara para ahli hubungan internasional berkisar seputar
"perdamaian demokratis"—penegasan bahwa tidak ada dua negara
demokrasi modem yang melakukan perang satu sama lain. Perde-
batan tersebut memunculkan berbagai pertanyaan mendasar yang
menarik (Apakah Perang Sipil Amerika masuk-hitungan? Apakah
persenjataan nuklir lebih menjelaskan perdamaian tersebut?). Bah-
kan temuan-temuan statistik mampu membangkitkan bantahan
yang menarik. (Sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh sarjana

* A l v in R a b u s h k a d a n K e n n e t h S h e p s l e , Politics in Plural Societies: A Theory


of Democratic Instability, C o l u m b u s ; Charles E. Merill, him. 62-92; Donald
Horowitz, ''Democracy in Divided Societies/' dalam Larry Diamond dan " M a r k
F. Plattner, e d s . , Nationalism, Ethnic, Conflict and Democracy, Baltimore: T h e Johns
Hopkins University Press. 1994, him. 35-55.

183
Fareed Zakaria

David Spiro, dengan melihat jumlah kecil baik demokrasi maupun


perang selama duaratus tahun terakhir, hanya kebetulan belaka yang
mungkin menjelaskan tidak-adanya perang di antara demokrasi-
demokrasi. Tak seorangpun anggota keluarganya pernah meme-
nangkan lotere, namun hanya sedikit yang memberikan penjelasan
bagi korelasi yang mengesankan ini.) Namun sekalipun statistik-
statistik tersebut benar, apa yang menjelaskannya? Kant, penganjur
utama p e r d a m a i a n d e m o k r a t i s , b e r p e n d a p a t b a h w a dalam
demokrasi mereka vang menerima akibat dari perang adalah publik
yang membuat keputusan. Jadi, sangat wajar bila mereka waspada.
Tetapi klaim tersebut mengesankan bahwa negara de-mokrasi lebih
cinta damai daripada negara-negara yang lain, sedangkan dalam
kenyataannya mereka lebih agresif, lebih sering berperang dan lebih
bersemangat dibandingkan negara-negara lain. Hanya dengan ne-
gara demokrasi lainnyalah mereka dapat berdamai.
Ketika meramalkan penyebab di balik korelasi ini, satu hal men-
jadi jelas: perdamaian demokratis sesungguhnya adalah perdamaian
liberal. Menulis di abad ke-I 8, Kant percaya bahwa demokrasi adalah
tiranis, dan secara khusus menyingkirkannya dari konsepsinya ten-
tang pemerintahan "republikan", yang berada dalam zona perda-
maian. Republikanisme, bagi Kant, berarti suatu pemisahan kekua-
saan, pengawasan dan penyeimbangan {checks and balances), pe-
merintahan berdasarkan hukum, perlindungan hak-hak individu,

184
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

dan suatu tingkat perwakilan dalam pemerintahan (meski tidak se-


rupa dengan hak-pilih universal). Penjelasan-penjelasan lain Kant
untuk "perdamaian abadi" antara republik-republik semuanya sa-
ngat terkait dengan ciri konstitusional dan liberal mereka: suatu
penghargaan timbal-balik terhadap hak-hak dari masing-masing
warga negara, suatu sistem pengawasan dan penyeimbangan yang
menjamin bahwa tak satupun pemimpin yang dapat menjerumus-
kan sebuah negeri ke dalam perang, dan kebijakan-kebijakan eko-
nomi liberal klasik—dan yang paling penting darinya adalah per-
dagangan bebas—yang menciptakan kesaling-tergantungan yang
menjadikan perang sangat mahal dan kerja sama berfaedah. Michael
Doyle, cendekiawan yang amat menguasai topik ini, memastikan
dalam bukunya yang terbit 1997, Ways of War and Peace, bahwa
tanpa liberalisme konstitusional, demokrasi itu sendiri tidak mem-
punyai kualitas untuk menciptakan perdamaian:

Kant tidak m e m p e r c a y a i m a y o r i t a r i a n i s m e d e m o k r a t i s y a n g tak-


terkekang, d a n argumennya tidak m e m b e r i k a n d u k u n g a n bagi suatu
klaim b a h w a semua pemerintahan partisipatoris—demokrasi—pasti
d a m a i , b a i k s e c a r a u m u m a t a u p u n di a n t a r a s e s a m a d e m o k r a s i . B a -
nyak pemerintahan partisipatoris merupakan pemerintahan non-
liberal. S e l a m a d u a r i b u t a h u n s e b e l u m z a m a n m o d e r n , p e m e r i n -
tahan populer secara luas d i h u b u n g k a n d e n g a n keagresifan (oleh
T h u c y d i d e s ) atau keberhasilan imperial (oleh M a c h i a v e l l i ) . . . pre-
ferensi u t a m a d a r i p e m i l i h r a t a - r a t a m u n g k i n m e n c a k u p " p e m b e r -
s i h a n e t n i s " t e r h a d a p p e m e r i n t a h a n d e m o k r a t i s y a n g lain.

demokrasi liberal dan tak liberal terlihat jelas pada


P E R B E D A A N ANTARA

korelasi statistik lain yang cukup mengejutkan. Ilmuwan politik Jack


Snyder dan Edward Mansfield berpendapat, dengan menggunakan
serangkaian data yang mengesankan, bahwa selama 200 tahun ter-
akhir negara-negara yang mengalami demokratisasi secara signi-
fikan lebih sering melakukan perang dibanding baik otokrasi-oto-
krasi yang stabil ataupun demokrasi liberal. Di negara-negara yang

185
Fareed Zakaria

tidak mempunyai dasar liberalisme konstitusional, munculnya


demokrasi seringkali membawa semangat nasionalisme berlebihan
dan hasrat untuk berperang. Ketika sistem politik dibuka, beragam
kelompok yang berbeda kepentingan memperoleh akses menuju
kekuasaan dan memaksakan tuntutan mereka. Para pemimpin po-
litik dan militer, yang seringkali memerangi sisa-sisa tatanan otoriter
lama, sadar bahwa untuk berhasil mereka harus mengerahkan massa
untuk mendukung sebuah perkara nasional. Hasilnya adalah rang-
kaian kebijakan dan retorika agresif yang seringkali menyeret ne-
gara-negara ke dalam konfrontasi dan perang. Contoh-contoh vang
layak dikemukakan berjajar mulai dari Napoleon III di Prancis,
Wilhelmine di Jerman, Taisho di Jepang, hingga negeri-negeri yang
sekarang termuat dalam suratkabar hari ini, seperti Armenia, Azer-
baijan, Jerman, dan Milosevic di Serbia. Ternyata, perdamaian de-
mokratis kecil saja kaitannya dengan demokrasi.

JALAN AMERIKA

Amerika baru-baru ini bepergian ke Kazakstan


S E O R A N G AKADEMISI

dalam sebuah misi yang disponsori pemerintah Amerika Serikat un-


tuk membantu parlemen baru menyusun undang-undang pemilu.
Rekan kerjanya, seorang anggota senior parlemen Kazakhstan, me-
remehkan berbagai pilihan yang disajikan oleh sang ahli dari Ame-
rika tersebut, dan berkata dengan sungguh-sungguh, "Kita ingin
parlemen kita menjadi seperti Konggres Anda." Ahli Amerika itu
terkejut, dan mengingatkan, "Saya mencoba untuk mengatakan se-
suatu yang lain ketimbang beberapa kata yang serta-merta meng-
gema dalam pikiran saya: 'Jangan, Anda tidak perlu melakukan-
nya!'" Pandangan ini bukannya tidak-biasa. Masyarakat Amerika
dalam urusan demokrasi cenderung menganggap sistem mereka se-
bagai suatu mesin aneh yang sukar-dijalankan hingga tak satu pun
negara lain yang harus menjalankannya. Dalam kenyataannya,
adopsi dari beberapa aspek kerangka konstitusi Amerika dapat

186
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

memperbaiki banyak masalah yang berkaitan dengan demokrasi


yang tak liberal. Filosofi di belakang Konstitusi Amerika Serikat,
suatu ketakutan akan penggumpalan kekuasaan, sama relevannya
sekarang ini sebagaimana pada 1789. Kazakhstan, sebagaimana yang
terjadi, akan banyak mendapatkan manfaat dengan suatu parlemen
yang kuat—seperti Kongres Amerika—untuk mengawasi kerakusan
presidennya.
Rasanya aneh bila Amerika seringkali adalah penyokong pemilu
dan demokrasi suara rakyat langsung di luar negeri. Apa yang khas
menyangkut sistem Amerika bukanlah seberapa demokratis ia me-
lainkan lebih tepat seberapa tidak-demokratis ia, yang menem-pat-
kan banyak kekangan pada mayoritas elektoral. Dari tiga cabang
dalam pemerintah, satu cabang, yang dianggap terpenting, dipimpin
oleh sembilan orang yang tidak dipilih dengan jabatan seumur hi-
dup. Senat Amerika adalah majelis tinggi yang paling tidak repre-
sentatif di dunia, dengan satu-satunya perkecualian adalah House
of Lords (Majelis Tinggi Ingggris), yang sama sekali tidak punya
kekuasaan. (Setiap negara bagian mengirimkan dua senator ke Wash-
ington berapa pun jumlah penduduknya—30 juta penduduk Califor-
nia punya suara yang sama di Senat dengan negara bagian Arizona
yang penduduknya hanya 3,7 juta—artinya, para senator yang
mewakili sekitar 16 persen jumlah penduduk dapat menghadang
undang-undang yang diajukan,) Demikian juga, di dalam badan le-
gislatif negara bagian di seluruh Amerika Serikat, apa yang me-nyo-
lok bukanlah kekuasaan mayoritas tetapi justru yang minoritas. Un-
tuk lebih lanjut mengawasi kekuasaan nasional, negara bagian dan
pemerintah lokal dibuat kuat dan dengan garang memerangi setiap
gangguan federal atas wilayah mereka. Usaha swasta dan kelompok
nonpemerintah lainnya, yang disebut Tocqueville sebagai asosiasi
perantara, menciptakan strata lain dalam masyarakat.

Sistem Amerika berlandaskan sebuah konsepsi pesimistik me-


ngenai sifat manusia, yang menganggap bahwa manusia tidak dapat
dipercaya memegang kekuasaan. "Bila manusia adalah malaikat,"
tulis Madison, "tidak diperlukan pemerintahan." Model lain bagi

187
Fareed Zakaria

pemerintahan demokratis dalam sejarah Barat didasarkan pada


Revolusi Prancis. Model Prancis ini percaya pada kebaikan manusia.
Begitu manusia menjadi sumber kekuasaan, seharusnya kekuasaan
ini tidak dibatasi sehingga mereka dapat menciptakan masyarakat
yang adil. (Revolusi Prancis, seperti yang diamati Lord Acton, bu-
kanlah tentang pembatasan kekuasaan tertinggi tetapi pembatalan
semua kekuasaan subordinat yang menghalangi.) Hampir semua
negara non-Barat menganut model Perancis ini—bukan karena elite
politik menyukai kemungkinan untuk menguasai negara, karena
itu artinya menguasai diri sendiri—dan hampir semua degradasi
menjadi pertarungan yang kacau, tirani, atau keduanya. Tidak perlu
terkejut dengan semua ini. Bagaimanapun, sejak revolusinya,
Perancis sendiri telah mengalami dua monarki, dua kekaisaran, satu
diktator proto-fasis, dan lima republik.*
Tentu saja kebudayaan bermacam-macam, dan masyarakat yang
berbeda akan menuntut kerangka pemerintah yang berbeda pula.
Ini bukanlah sebuah dalih bagi adopsi keseluruhan cara Amerika,
melainkan lebih bagi konsep demokrasi liberal yang beraneka ragam,
yang memberi tekanan pada kedua kata dari frasa tersebut. Sebelum
kebijakan-kebijakan baru dapat diadopsi, ada tugas intelektual untuk
memulihkan tradisi konstitusi liberal, yang merupakan pusat pe-
ngalaman Barat serta tumbuhnya pemerintah yang baik di seluruh
penjuru dunia. Sebagaimana dinyatakan dalam Declaration of In-
dependence, perkembangan politik dalam sejarah Barat merupakan
hasil dari pengakuan yang berkembang selama berabad-abad bahwa
manusia memiliki "sejumlah hak azasi tertentu" dan bahwa "untuk
menjaga hak-hak inilah pemerintah dididirikan." Bila sebuah demo-
krasi tidak memelihara kebebasan dan hukum, demokrasi tersebut
hanyalah kata-kata manis belaka.

M Bernard Lewis, " W h y Turkey is the Only Muslim Democracy/' Middle East
Quarterlye Maret 1994, him. 47-48.

188
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

MELIBERALKAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI

APRESIASI YANG TEPATterhadap liberalisme konstitusional memiliki


beragam implikasi bagi kebijakan luar negeri Amerika. Pertama, ia
menganjuran suatu kerendahan hati tertentu. Meski mudah untuk
menggelar pemilu di sebuah negara, namun sulit untuk menekankan
liberalisme konstitusional pada sebuah masyarakat. Proses liberali-
sasi dan demokratisasi yang sejati membutuhkan waktu yang pan-
jang dan bertahap, di mana pemilu hanyalah salah satu tahapan.
Tanpa persiapan yang matang, sangat mungkin langkah ini keliru.
Menyadari hal ini, pemerintah dan organisasi nonpemerintah secara
gencar mempromosikan deretan perangkat yang dirancang untuk
mendukung liberalisme konstitusional di negara-negara berkem-
bang. The National Endowment for Democracy (Bantuan Nasional
untuk Demokrasi) mempromosikan pasar bebas, gerakan pekerja
independen, dan partai-partai politik. The U.S. Agency for Interna-
tional Development (Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan
Internasional) mendanai peradilan yang mandiri. Namun, pada
akhirnya pemilu-lah yang paling menentukan. Bila sebuah negara
menyelenggarakan pemilu, Washington dan seluruh dunia akan
memberikan toleransi yang besar kepada pemerintah yang terpilih,
seperti yang telah mereka lakukan pada Yeltsin, Akayev, dan Menem.
Di era citra dan simbol, pemilu sangatlah mudah direkam dalam
bentuk film. (Namun, bagaimana anda membuat tayangan tentang
pemerintahan berdasar hukum?) Tetapi masih ada kehidupan sete-
lah pemilu, khususnya bagi orang-orang yang hidup di sana.

Sebaliknya, ketiadaan pemilu yang bebas dan adil harus dilihat


sebagai satu cacat, bukan definisi dari tirani. Pemilu adalah sebuah
kebajikan penting pemerintahan, tetapi bukan satu-satunya. Peme-
rintah seharusnya juga dinilai berdasarkan ukuran yang berkaitan
dengan liberalisme konstitusional. Kebebasan ekonomi, sipil, dan
agama adalah inti dari otonomi serta martabat manusia. Bila sebuah
pemerintah dengan demokrasi yang terbatas terus-menerus me-
ngembangkan kebebasan-kebebasan tersebut, pemerintah itu seha-

189
Fareed Zakaria

rasnya tidak dicap kediktatoran. Terlepas dari terbatasnya pilihan


politik yang mereka tawarkan, negara-negara seperti Singapura, Ma-
laysia, dan Thailand memberikan lingkungan yang lebih baik untuk
kehidupan, kebebasan, dan kebahagiaan penduduknya daripada ne-
gara-negara diktatorial seperti Irak dan Libya atau demokrasi yang
tak liberal seperti Slowakia atau Ghana. Dan tekanan dari kapitalis-
me global dapat mendorong proses liberalisasi tersebut lebih jauh.
Pasar dan moral dapat bekerja bersama. Bahkan Cina, yang masih
merupakan sebuah rezim yang sangat represif, mulai lebih banyak
memberikan penduduknya otonomi dan kebebasan ekonomi dari-
pada vang dimiliki oleh generasi-generasi sebelumnya. Ada banyak
hal yang harus diubah sebelum Cina dapat disebut sebagai otokrasi
liberal, tetapi hal tersebut seharusnya tidak menutup fakta bahwa
banyak hal yang sudah berubah.
Akhirnya, kita harus membangkitkan konstitusionalisme. Salah
satu dampak dari penekanan yang berlebihan terhadap demokrasi
mumi adalah sedikitnya usaha yang dilakukan untuk menciptakan
suatu konstitusi yang bagus bagi negara-negara yang sedang
menjalani transisi. Konstitusionalisme, seperti yang dipahami oleh
para pendukung terbesarnya di abad ke-18, Montesquieu dan Madi-
son, adalah sebuah sistem pengawasan dan penyeimbangan yang
rumit yang dirancang untuk mencegah penumpukan kekuasaan ser-
ta penyalahgunaan jabatan. Hal ini terlaksana tidak sekadar lewat
pengakuan sederetan hak-hak tetapi juga dengan membangun se-
buah sistem di mana pemerintah tidak akan melanggar hak-hak ter-
sebut. Banyak kelompok harus dilibatkan dan didayagunakan ka-
rena, seperti yang dijelaskan Madison, "ambisi harus dibuat untuk
mencegah ambisi." Konstitusi juga dimaksudkan untuk menjinak-
kan semangat publik, dan menciptakan bukan saja pemerintahan
yang demokratis tetapi juga yang deliberatif. Sayangnya, beragam
lembaga yang anggotanya tidak dipilih, pemungutan suara tidak-
langsung, rancangan federal, serta pengawasan dan penyeimbangan
yang mencirikan banyak konstitusi formal dan informal di Eropa
sekarang dipandang dengan curiga. Apa yang dapat disebut sebagai

190
Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal

sindrom Weimar—diambil dari nama konstitusi Jerman yang


dirancang dengan baik pada masa di antara dua perang dunia, yang
gagal mencegah fasisme—telah membuat masyarakat melihat
konstitusi sebagai rangkaian kata-kata yang tidak dapat membuat
banyak perubahan. (Seolah-olah sistem politik apa pun di Jerman
dapat dengan mudah bertahan terhadap kekalahan militer, revolusi
sosial, depresi besar-besaran, dan hiperinflasi). Prosedur-prosedur
yang merintangi demokrasi langsung dianggap tidak otentik dan
membungkam suara rakyat. Saat ini di seluruh dunia kita melihat
begitu banyak variasi dari tema mayoritarianisme. Tetapi masalah
dengan sistem pemenang-mengambil-semuanya (winner-takes-all
system) adalah, di hampir semua negara yang sedang mengalami
demokratisasi, p e m e n a n g n y a s u n g g u h - s u n g g u h m e n g a m b i l
semuanya.

KEKECEWAAN DEMOKRASI

KITA HIDUP dalam zaman demokratis. Dalam sebagian besar sejarah


manusia, bahaya yang mengancam kehidupan individual, kebe-
basan, dan kebahagiaan seseorang berasal dari absolutisme monarki,
dogma-dogma agama, teror pemerintahan diktator, serta tangan besi
totaliterisme. Para diktator dan beberapa rezim totaliter masih ber-
tahan, namun mereka semakin tidak mendapat tempat di dunia pa-
sar bebas, informasi, dan media. Tidak ada lagi alternatif berbobot
terhadap demokrasi; demokrasi adalah piranti cantik modernitas.
Dengan demikian, permasalahan pemerintah pada abad ke-21 ini
tampaknya adalah masalah-masalah di dalam demokrasi itu sendiri.
Hal ini membuat mereka semakin sulit diatasi, karena terbungkus
rapat dalam jubah legitimasi.
Demokrasi yang tak liberal memperoleh legitimasi, dan dengan
demikian kekuatan, dari kenyataan bahwa mereka memang bisa di-
sebut demokratis. Sebaliknya, bahaya yang terbesar yang disodorkan
demokrasi yang tak liberal, selain kepada rakyatnya sendiri, adalah

191
Fareed Zakaria

ia akan mendiskreditkan demokrasi liberal, suatu hal yang me-


mengaruhi pemerintahan demokratis. Ini bukanlah sesuatu yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Setiap gelombang demokrasi pas-
tilah diikuti dengan kemunduran, di mana sistem tersebut dianggap
tidak memadai dan beberapa alternatif baru dicari oleh para pe-
mimpin yang ambisius dan massa yang tak kenal lelah. Periode ke-
kecewaan semacam ini yang paling akhir, yakni di Eropa selama
tahun-tahun antara dua perang dunia, berada dalam cengkeraman
para demagog, yang banyak dari mereka sudah popular sebelum-
nya, bahkan terpilih. Saat ini, di hadapan penyebaran virus keti-
dakliberalan, peran yang paling mungkin dimainkan oleh komunitas
internasional dan terutama Amerika Serikat bukan mencari wilayah
baru untuk dibuat demokratis dan lokasi baru untuk penyelengga-
raan pemilu. Peran yang bisa dilakukan adalah menguatkan demo-
krasi di mana hal itu telah berakar dan mendorong pembangunan
bertahap liberalisme konstitusional di seluruh dunia. Demokrasi tan-
pa liberalisme konstitusional bukan hanya tidak memadai, tetapi
juga berbahaya, karena akan mendatangkan erosi kebebasan, pe-
nyalahgunaan kekuasaan, perpecahan etnis, dan bahkan perang.
Delapan puluh tahun lalu, Woodrow Wilson membawa Amerika
memasuki abad ke-20 dengan sebuah tantangan yaitu membuat du-
nia aman untuk demokrasi. Saat kita menyongsong abad berikut,
tugas kita adalah membuat demokrasi aman bagi dunia.

192
10

Liberalisme dan Demokrasi


Dua Hal yang Tak-Terpisahkan

MarcF. Plattner*

yang lampau, dengan sejumlah kecil


K U R A N G DARI SEPEREMPAT A B A D

pengecualian, demokrasi terlihat terbatas pada Amerika Utara dan


Eropa Barat. Negara-negara ini memiliki ekonomi industri yang
maju, jumlah kelas menengah yang cukup besar, dan tingkat melek
huruf yang tinggi—faktor-faktor yang oleh para ahli politik dianggap
sebagai prasyarat bagi kesuksesan demokrasi. Negara-negara
tersebut tidak hanya merupakan tempat bagi pemilihan umum
multipartai yang bebas dan kompetitif, tetapi juga tempat bagi peme-
rintahan berdasarkan hukum dan perlindungan kebebasan individu-
al. Singkatnya, merekalah yang kemudian disebut "demokrasi liberal".
Sebaliknya, di belahan dunia lain, sebagian besar negara tidak
liberal ataupun demokratis. Mereka diperintah oleh kediktatoran
dalam berbagai bentuk—militer, partai tunggal, revolusioner,
Marxis-Lenin—yang menolak pemilihan umum yang diikuti oleh
banyak partai dan bebas (dalam prakteknya, meski tidak selalu da-
lam prinsipnya). Namun, pada awal 1990-an keadaan ini telah ber-

* M A K C A . P L A T T N E R adalah Direktur untuk International Forum for Democratic

Studies di National Endowment for Democracy. Dicetak kembali atas izin Foreign
Affairs, March/April 1998. Hak. cipta © 1998 oleh Council on Foreign Relations,
Inc.

193
Marc F. Plattner

ubah drastis seiring dengan kejatuhan beberapa rezim diktator di


seluruh dunia. Mereka biasanya digantikan oleh rezim yang paling
tidak ingin demokratis, dan muncul sebagai fenomena yang disebut
Samuel P. Huntington sebagai demokratisasi "gelombang ketiga".
Kini, lebih dari seratus negara di setiap benua di dunia dapat meng-
klaim memiliki pemerintahan yang dipilih secara bebas.
Di luar Afrika, sebagian negara yang ingin berdemokrasi ini ber-
balik kembali ke dalam otoritarianisme. Namun, bahkan di antara
negara-negara yang jelas-jelas menyelenggarakan pemilu yang bebas
dan adil, banyak di antaranya yang gagal menghadirkan perlindung-
an bagi kebebasan individu dan ketaatan terhadap hukum yang bia-
sanya terdapat di negara yang telah lama berdemokrasi. Seperti yang
diungkap oleh Larry Diamond, kebanyakan dari rezim-rezim baru
ini adalah "demokrasi pemilihan umum" namun bukan "demokrasi
liberal". Dengan mengutip pembedaan yang diungkap oleh Dia-
mond, Huntington berpendapat bahwa diperkenalkannya pemilu
di masyarakat non-Barat seringkali berujung pada kemenangan ke-
kuatan antiliberal. Fareed Zakaria yakin bahwa penyelenggaraan
pemilu di seluruh dunia merupakan penyebab "bangkitnya demo-
krasi vang tak liberal"—yakni peme-rintah yang dipilih secara bebas
yang gagal melindungi kebebasan mendasar. "Liberalisme konsti-
tusional," ungkap Zakaria, "secara teori dan menurut sejarah berbe-
da dari demokrasi... Kini kedua cabang demokrasi liberal ini, yang
saling bertaut dalam struktur politik Barat, mulai runtuh di pelbagai
belahan dunia. Demokrasi makin subur; liberalisme konstitusional
tidak." Berdasarkan perbedaan ini, Zakaria menyarankan para pem-
buat keputusan di Barat agar tidak hanya meningkatkan usaha untuk
mengembangkan liberalisme konstitusional, namun juga mengu-
rangi dukungan mereka untuk pemilu, dan lebih mendukung "oto-
krasi liberal" daripada demokrasi yang tak liberal.

MENDEKONSTRUKSI DEMOKRASI

yang dibuat semua penulis ini dapat diterima


PERBEDAAN MENDASAR

dan penting. Demokrasi liberal—apa yang diandaikan oleh

194
Liberalisme dan Demokrasi Dua Hal yang Tak-Terpisahkan

kebanyakan orang ketika mereka bicara demokrasi sekarang ini —


memang merupakan gabungan dari dua elemen yang berbeda, yang
satu demokratis dan satunya lagi liberal dalam pengertian yang lebih
tegas. Seperti yang dimaksudkan oleh turunan katanya, makna pal-
ing dasar dari kata "demokrasi" adalah kekuasaan ada di tangan
rakyat. Dengan demikian, demokrasi berbeda dari monarki (keku-
asaan satu orang), aristrokasi (kekuasaan orang yang terbaik), dan
oligarki (kekuasaan ada pada sebagian orang). Dalam dunia mo-
dern, ketika ukuran sebuah negara tidak memungkinkan terlaksa-
nanya demokrasi secara langsung seperti yang pernah dipraktekkan
oleh beberapa republik masa lampau, pemilihan wakil rakyat dan
pejabat publik lainnya adalah mekanisme utama yang dengannya
rakyat menjalankan kekuasaannya. Kini demokrasi makin diartikan
sebagai hak pilih yang dimiliki semua rakyat secara umum dan ma-
syarat untuk mengemban sebuah jabatan. Oleh karenanya, pemi-
lihan umum dianggap sebagai aspek popular atau utama dari de-
mokrasi liberal masa kini.
Kata "liberal" dalam frasa demokrasi liberal tidak mengacu pada
siapa yang berkuasa tetapi pada bagaimana kekuasaan dijalankan.
Apa yang paling utama, ia mengandaikan bahwa pemerintah diba-
tasi kekuasaan dan pelaksanaan kekuasaannya. Pemerintah dibatasi
oleh aturan hukum, khususnya oleh hukum dasar atau konstitusi.
Namun, utamanya kekuasaan pemerintah dibatasi oleh hak-hak se-
tiap individu. Konsep hak alamiah atau hak yang tidak dapat dica-
but, yang sekarang lebih umum disebut sebagai "hak-hak azasi ma-
nusia", berasal dari liberalisme. Keutamaan hak azasi manusia ber-
arti bahwa perlindungan terhadap wilayah pribadi, serta kemaje-
mukan dan beragam tujuan yang dikehendaki manusia dalam pe-
ngejaran kebahagian mereka, merupakan unsur penting dari tatanan
politik liberal.
Kenyataan bahwa demokrasi dan liberalisme bukannya tidak da-
pat dipisahkan terbukti melalui jejak sejarah adanya negara de-
mokrasi non-liberal dan negara non-demokrasi yang liberal. Demo-
krasi pada zaman kuno, walaupun penduduknya lebih terlibat da-
lam pemerintahan dibandingkan dengan kita pada masa kini, tidak

195
Marc F. Plattner

menyediakan kebebasan berpendapat dan beragama, perlindungan


atas kepemilikan pribadi, atau pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Di sisi lain, tempat kelahiran liberalisme, Inggris yang modem, hing-
ga abad ke-19 masih sangat membatasi hak suara masyarakat. Seperti
yang diungkapkan oleh Zakaria, Inggris memiliki contoh klasik de-
mokratisasi dengan perluasan hak pilih secara bertahap setelah lem-
baga-lembaga penting liberalisme kontitusional dibentuk. Pada masa
kini, Zakaria mengangkat Hongkong di bawah aturan kolonial Ing-
gris sebagai contoh liberalisme yang tumbuh subur tanpa demokrasi.

S E M U A M A N U S I A D1CIPTAKAN SETARA

WALAUPUN "PEMBONGKARAN" unsur-unsur penyusun demokrasi libe-


ral modern adalah langkah pertama yang penting dalam memahami
karakternya, pembedaan liberalisme dan demokrasi yang berlebihan
dapat berujung pada kesalahpahaman baru. Meski banyak negara
demokrasi pemilihan umum baru yang tidak begitu liberal, secara
keseluruhan, negara-negara yang menyelenggarakan pemilihan
yang bebas jauh lebih liberal daripada yang tidak, dan negara-negara
yang melindungi kebebasan sipil lebih mungkin menyelenggarakan
pemilihan yang bebas daripada negara-negara yang tidak. Hal ini
tidak terjadi begitu saja. Hal ini merupakan akibat dari jalinan intrinsik
yang sangat kuat antara demokrasi elektoral dan tatanan liberal.
Sebagian hubungan ini dapat dengan jelas dipahami. Dilihat dari
sisi demokrasi, pemilihan umum yang benar-benar bebas dan adil
dapat dipastikan mengharuskan jaminan kebebasan sipil tertentu
seperti kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat. Oleh ka-
renanya, definisi minimal mengenai demokrasi yang dihasilkan oleh
para ilmuwan politik biasanya menyertakan ketentuan bahwa ke-
bebasan semacam itu harus dipertahankan, setidaknya sampai pada
tingkat yang diperlukan untuk memungkinkan adanya kompetisi
pemilihan yang terbuka. Sebaliknya, jika kita mulai dengan hak-
hak asasi manusia yang dimandatkan oleh tradisi liberal, sekarang

210
Liberalisme dan Demokrasi Dua Hal yang Tak-Terpisahkan

ini semua hal ini biasanya dianggap menyertakan semacam hak


berpartisipasi dalam pemilihan umum. Oleh karenanya, Pasal 21
Deklarasi Universal PBB tentang Hak Azasi Manusia menyatakan:
"Semua orang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemerin-
tahan negaranya, baik secara langsung ataupun melalui perwakilan
yang dipilih secara bebas... Kehendak rakyat harus menjadi dasar
kekuasaan pemerintahan; hal ini harus diungkapkan melalui pe-
milihan secara berkala dan nyata, yang hak pilihnya universal dan
setara, dan pemberian suara harus bersifat rahasia atau dengan pro-
sedur pemberian suara secara bebas yang setara." Seseorang mung-
kin menganggap hal ini sebagai hubungan formal atau bahkan hanya
definitif antara liberalisme dan demokrasi elektoral, tetapi hal ini
menunjuk kepada kemiripan yang lebih mendalam.
Doktrin politik yang menjadi inti liberalisme juga mengandung
dimensi egaliter dan suara mayoritas. Doktrin ini menyatakan bahwa
seluruh kekuatan politik yang sah berasal dari persetujuan individu-
individu, yang secara alamiah tidak hanya bebas tapi juga setara.
Pada halaman pembuka buku Second Treatise of Government, John
Locke menyatakan bahwa manusia secara asasi berada dalam "ke-
bebasan yang sempurna", yang juga berarti "kesetaraan, di mana
terdapat hubungan timbal-balik antara kekuasaan dan yurisdiksi,
dan tak seorang pun mempunyai hak yang lebih ketimbang yang
lain: tidak ada hal yang lebih jelas ketimbang bahwa Mahluk yang
berasal dari spesies yang sama, berharkat sama, dilahirkan ke Alam
yang sama, dan memiliki kemampuan-kemampuan yang sama, ha-
rus setara satu sama lain tanpa ada Penindasan atau Penaklukan/'
Poin pentingnya adalah bahwa tak ada seorang manusia pun yang
secara alamiah berhak menguasai manusia lainnya, dan oleh karena
itu kekuasaan seseorang atas yang lainnya dapat diterima hanya
atas dasar perjanjian saling menguntungkan atau "pakta bersama".

Sekarang jelas bahwa Locke maupun pengikutnya tidak menyim-


pulkan bahwa demokrasi adalah satu-satunya bentuk pemerintahan
yang sah. Karena meskipun mereka berpendapat bahwa persetujuan
semua pihak penting dalam persetujuan awal yang membentuk

197
Marc F. Plattner

sebuah komunitas politik, mereka juga menyatakan bahwa komu-


nitas politik bebas untuk memutuskan ke arah mana rakyat memer-
cayakan kekuasaan legislatif—apakah dalam bentuk demokrasi, oli-
garki, monarki atau gabungan, seperti halnya pada Raja, Majelis
Tinggi, dan Majelis Rendah di Inggris. Liberalisme sejatinya tidak
menekankan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, tetapi secara
tegas menekankan pada kedaulatan rakyat- Oleh karenanya, Locke
menyatakan bahwa jika legislatif menyalahgunakan wewenangnya,
kekuasaan untuk membentuk lembaga legislatif yang baru kembali
beralih pada mayoritas rakyat.
Untuk memahami sifat khas egaliterisme liberal, perlu kiranya
untuk mengetahui betapa berbedanya demokrasi liberal modem dari
demokrasi pra-modern (yang benar-benar tidak liberal). Ketergan-
tungan pada perwakilan terpilih dalam parlemen, lembaga politik
yang sangat penting dalam demokrasi liberal modern, dipahami oleh
para pendukungnya sebagai titik pembeda dari demokrasi kuno.
Para penulis The Federalist seringkali mengon-traskan dua jenis "pe-
merintahan rakyat" yang sangat berbeda. Mereka menulis dengan
keberpihakan pada "republik" ("sebuah pemerintahan dengan ske-
ma perwakilan"), yang menurut mereka tidak perlu tunduk pada
kelemahan "demokrasi yang m u m i " ("sebuah masyarakat yang di-
huni oleh warga dalam jumlah yang kecil yang berkumpul dan
mengatur sendiri pemerintahan". Federalist 10). Menurut mereka,
dalam demokrasi mumi atau langsung "tidak ada pengawasan terha-
dap dorongan untuk mengorbankan kelompok yang lebih lemah atau
individu yang tidak sejalan," dan karenanya "terbukti tidak sesuai de-
ngan keamanan pribadi atau hak-hak kepemilikan." Selanjutnya dalam
Federalist 63, sembari mengakui bahwa prinsip perwakilan bukannya
tidak dikenal dalam demokrasi kuno, Madison menyatakan: "Per-
bedaan yang sebenarnya antara [demokrasi kuno) dan pemerintahan
Amerika terletak pada disisihkannya rakyat dalam kapasitas kolektif
mereka dari campur-tangan dalam yang-pertama, dan bukan pada di-
sisihkannya wakil-wakil rakyat dari administrasi vang-terakhii" (huruf
miring tercetak sebagaimana aslinya). Singkatnya, demokrasi liberal

198
Liberalisme dan Demokrasi Dua Hal yang Tak-Terpisahkan

modem pada mulanya cenderung dimaksudkan untuk meminimalkan


peran langsung rakyat. Dalam hal ini, Zakaria memiliki dasar yang
kuat dalam menekankan aspek anti-mayoritas liberalisme.
Tentu saja, sebagian alasan pembenar digantinya demokrasi lang-
sung dengan pemerintah perwakilan adalah bentuk negara-negara
modern yang lebih besar, sehingga tidak praktis bagi seluruh rakyat
untuk berkumpul. Tetapi kenyataan ini telah membuat pemikir se-
macam Montesquieu dan Rousseau menyimpulkan bahwa peme-
rintahan demokratis atau republik hanya mungkin diwujudkan da-
lam sebuah negara yang kecil, dan Rousseau menekankan bahwa
"pada saat seorang rakyat mengizinkan dirinya diwakilkan, tidak
ada lagi kebebasan." Namun, ada alasan lain untuk membenarkan
pemerintahan perwakilan. Madison menyatakan bahwa perwakilan
"akan menyaring dan memperluas pandangan publik dengan me-
nyalurkan pendapat mereka melalui sebuah badan yang berisi pen-
duduk pilihan, yang pandangannya paling mewakili kepentingan
sejati negara mereka, dan patriotisme serta kecintaannya terhadap
keadilan membuatnya mengesampingkan kepentingan sementara
dan sepihak." Dengan kata lain, perwakilan yang terpilih memang
diharapkan lebih unggul dibandingkan penduduk biasa. Sebaliknya,
dalam demokrasi kuno kebanyakan pejabat publik dipilih dengan
cara diundi. Dalam The Politics, Aristoteles menjelaskan undian ada-
lah cara yang demokratis dalam memilih pejabat, dan pemilihan
adalah cara yang oligarkis. Montesquieu mengulangi pernyataan
ini dengan menambahkan, "Hak pilih berdasarkan undian adalah
metode pemilihan yang tidak menyinggung siapa pun, malah hal
ini memberi semangat tiap penduduk dengan harapan yang meng-
gembirakan untuk mengabdi negaranya." Kebalikannya, ketika pe-
milihan diselenggarakan, yang terpilih biasanya adalah orang-or-
ang vang lebih kaya, lebih terdidik, dan lebih berbakat daripada
rakyat kebanyakan. Dalam pandangan ini, perwakilan atau demo-
krasi elektoral, selain menyingkirkan rakyat secara besar-besaran
untuk berpartisipasi langsung dalam pemerintahan, juga mendo-
rong tumbuhnya bias aristokrat dalam kesetaraan politik.

199
Marc F. Plattner

OLEH DAN UNTUK RAKYAT

NAMUN ADA H A L LAINyang membuat demokrasi liberal modern


dengan perwakilan menjadi lebih egaliter dibandingkan dengan de-
mokrasi kuno. Dalam demokrasi kuno, rakyat yang berhak meng-
ambil peran dalam urusan publik tanpa terkecuali hanya terwakili
dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan jumlah penduduk
keseluruhan. Bukan hanya budak dan penduduk pendatang dalam
jumlah besar yang disisihkan, perempuan juga tidak memiliki peran
dalam urusan politik. Demokrasi pra-liberal, demokrasi langsung
di kota kuno, tidak didasarkan pada konsep kesetaraan dasar dan
alamiah semua manusia. Memang benar bahwa pemerintahan per-
wakilan modern dalam kurun waktu yang lama juga tidak menyer-
takan kaum miskin dan perempuan dalam partisipasi politik, dan
di Amerika Serikat ia bahkan hadir bersama perbudakan. Namun
apa yang tak kurang benarnya adalah bahwa penyingkiran semacam
ini bertentangan dengan prinsip dasar liberalisme—yang menyatakan
bahwa seluruh manusia secara alamiah bebas dan setara. Perkembangan
historis prinsip ini mengubah liberalisme menuju demokrasi liberal.

Merupakan suatu persoalan tersendiri untuk mengklaim bahwa


mayoritas rakyat dalam masyarakat tradisional dan berjenjang
bagaimanapun juga menyetujui susunan politik di mana mereka
tidak boleh bersuara di dalamnya. Bila dapat diukur, sentimen
umum di Inggris pada abad ke-17 boleh jadi mendukung sistem
politik monarki. Namun seiring dengan berkembangnya prinsip
bahwa seluruh manusia diciptakan setara, serta latar pendidikan
dan ekonomi yang meningkat, dapat diperkirakan keinginan untuk
memilih mulai timbul. Begitu keinginan ini timbul, apakah klaim
bahwa mereka menyetujui bentuk pengaturan politik tanpa keikut-
sertaan mereka dapat dipertahankan? Kedaulatan rakyat tanpa pe-
merintahan rakyat bisa bersatu dalam teori dan bahkan dalam
praktek untuk suatu masa tertentu. Namun, dalam jangka panjang,
kedaulatan rakyat hampir pasti akan menuju pemerintahan rakyat.
Dengan demikian, tidak mengejutkan bahwa di seluruh dunia

200
Liberalisme dan Demokrasi Dua Hal yang Tak-Terpisahkan

Barat, rezim konstitusional yang liberal menjadi semakin demokra-


tis pada abad kesembilanbelas dan keduapuluh. Pembagian kekua-
saan legislatif yang dilakukan oleh monarki dan badan yang tidak
dipilih meyurut hingga akhirnya menghilang. Pada saat yang sama,
hak pilih semakin meluas. Persyaratan kepemilikan harta dan pe-
ngecualian berdasarkan ras dan jenis kelamin dihilangkan sampai
tahap di mana "hak pilih universal dan hak pilih setara" disetujui
oleh masyarakat dunia pada 1948 sebagai hak azasi manusia.
Dasar moral untuk memperluas hak pilih dikemukakan secara
jelas oleh John Stuart Mill dalam karyanya Considerations on Repre-
sentative Government (Pemikiran-Pemikiran tentang Pemerintahan
Perwakilan), yang terbit pada 1861. Mill berpendapat, "Merupakan
suatu ketidakadilan personal untuk menghalangi seseorang me-
nyuarakan pendapatnya pada masalah yang menjadi kepentingan
bersama, kecuali untuk menghindari kejahatan yang lebih besar.
Oleh sebab itu, tidak ada pengaturan hak pilih yang secara permanen
memuaskan di mana ada orang atau kelas yang tidak disertakan, di
mana hak pilih tidak terbuka bagi semua orang yang sudah cukup
umur yang ingin mendapatkannya." Dengan dasar ini Mill me-
nuntut diperluasnya hak pilih bagi perempuan. Namun, hal ini tidak
mencegah ketidaksetujuannya untuk memberi hak pilih bagi kelom-
pok buta huruf dan penerima derma (tunjangan); dia juga menya-
rankan hak pilih berlipat bagi kelompok sosial yang terdidik dan
profesional. Kini penyimpangan dari universalitas dan kesetaraan
dalam pengalokasian hak suara seperti itu nampak sangat "elitis".
Alasan "menghindari kejahatan yang lebih besar" tidaklah cukup
memadai untuk mengalahkan ketidakadilan penolakan hak setiap
warga untuk mempunyai suara yang setara.

MEMBUAT DEMOKRASI BERJALAN

yang membuat Representative Government karya Mill


A D A HAL LAIN

memuakkan untuk nalar sehat masa kini—yakni pembenarannya

201
Marc F. Plattner

atas kolonialisme. Bagi Mill, pemerintahan perwakilan adalah "tipe


ideal pemerintahan yang sempurna", tetapi tidak dapat diterapkan
pada setiap lingkungan sosial. Secara khusus, pemerintahan
semacam ini sangat tidak cocok bagi orang-orang "barbar" atau "ter-
belakang", yang tampaknya perlu semacam pemerintahan kerajaan
atau (yang lebih tepat lagi) kekuatan luar yang membawa mereka
menuju peradaban di mana mereka bisa sesuai untuk pemerintahan
perwakilan.
Pendapat Mill yang mendukung kolonialisme sebagian didasar-
kan pada doktrin meragukan mengenai kemajuan historis (atau yang
kini kita sebut sebagai "modernisasi"). Meskipun demikian, ada da-
sar lain untuk pendapat Mill bahwa pemerintahan perwakilan tidak
dapat diterapkan pada semua kondisi yang tidak bisa disingkirkan
begitu saja. Sebagaimana diungkapkannya, "(Pemerintahan) perwa-
kilan, seperti halnya pemerintahan yang lain, jadi tidak cocok lagi
di sebuah kasus ketika ia tidak bisa lagi bertahan secara permanen."
Bila rakyat tidak menghargai pemerintahan perwakilan, bila mereka
tidak ingin mempertahankannya, bila mereka tidak mampu meme-
nuhi tuntutannya, maka mereka tidak bisa memeliharanya. Oleh
karenanya, akan sia-sia mengharapkan model pemerintahan sema-
cam ini akan cocok bagi mereka.
Pemikiran untuk membuat demokrasi dapat memertahankan
dirinya sendiri, untuk melatih dan memacu rakyat untuk mema-
hami apa yang membuat demokrasi bekerja, tentu saja tidak keting-
galan zaman. Hal ini justru merupakan inti dari sebagian besar pro-
gram "bantuan demokrasi" bagi negara demokrasi baru yang kini
disediakan oleh pemerintahan Barat, organisasi internasional dan
regional, dan juga organisasi non-pemerintah. Pemikiran inilah yang
sekarang merupakan akar perhatian para ahli politik yang mempe-
lajari negara-negara demokrasi baru—masalah konsolidasi, atau ba-
gaimana membawa sebuah rezim demokratis ke satu tahap yang
membuatnya nyaris tak bisa ambruk. Dan hal ini menjelaskan me-
luasnya perhatian terhadap persoalan-persoalan kewarganegaraan
dan masyarakat madani saat ini, tidak hanya di negara demokrasi

202
Liberalisme dan Demokrasi Dua Hal yang Tak-Terpisahkan

baru tetapi juga di negara yang telah lama menerapkan demokrasi.


Semua ini mencerminkan kenyataan penting bahwa membuat pe-
merintahan-sendiri berjalan bukan merupakan hal yang mudah. Pe-
merintahan yang demokratis dapat didirikan untuk siapa saja, tetapi
tidak semua orang dapat mempertahankannya. Namun, apa yang
harus dilakukan dalam kasus di mana rakyat tidak mampu membuat
demokrasi berjalan, setidaknya untuk sementara? Jawaban Mill un-
tuk masalah ini adalah kekuasaan kolonial. Apa jawaban kita? Itulah
pertanyaan vang secara implisit dikemukakan oleh Zakaria dalam
tulisannya.
Kesulitan dalam menjawab pertanyaan di atas mengarah kepada
ketegangan akut di dalam tradisi demokrasi modern. Ketegangan
ini terjadi antara doktrin liberal tentang pemerintahan yang adil atau
sah dan keharusan praktis pemerintahan rakyat. (Dalam The Social
Contract, Rousseau menyatakan bahwa "semua pemerintahan yang
sah bersifat republik." Namun kemudian, dalam karya yang sama
dia menyatakan bahwa "kebebasan bukan merupakan buah yang
ada di setiap musim, dan oleh karenanya tidak dapat dimiliki oleh
setiap orang.") Prinsip bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan
setara, dan tak seorang pun yang berhak mengatur orang lain tanpa
persetujuan mereka, tengah melanda dunia. Seperti yang telah saya
kemukakan di atas, prinsip ini harus dipahami sebagai suatu prinsip
yang mengandung arti bahwa mereka tidak bisa diperintah tanpa
persetujuan yang mereka nyatakan dengan jelas, dalam bentuk
pemilihan umum. Namun pengalaman masa lampau di banyak tem-
pat memberi kesan bahwa prinsip ini tidak bisa secara efektif dite-
rapkan di mana saja dan secepatnya. Kegagalan banyak negara de-
mokrasi pada 1960-an yang muncul setelah perginya penguasa
kolonial sekali lagi memperlihatkan kenyataan bahwa dalam kea-
daan tertentu demokrasi tampaknya tidak dapat bertahan. Tetapi,
bila dalam prinsipnya pemerintahan demokratis diperlukan di mana
saja, jalan apa yang mesti ditempuh dalam prakteknya oleh demo-
krat liberal ketika hal ini tampaknya tak bisa berjalan? Teka-teki ini
kebanyakan menyebabkan siklus euforia dan keputusasaan yang

203
Marc F. Plattner

bergantian muncul berkenaan dengan prospek penyebaran demo-


krasi liberal.
Bagaimana saran Zakaria untuk mengatasi masalah ini? Pertama-
tama, ia berpendapat bahwa konstitusionalisme, pemerintahan ber-
dasarkan hukum, dan perlindungan kebebasan individu lebih men-
dasar ketimbang pemerintahan perwakilan. Seiring dengan hal ini,
ia menyarankan bahwa daripada mendorong pemilihan umum di
banyak negara berkembang, kebijakan Barat seharusnya lebih me-
milih pendirian "otokrasi liberal". Seperti diungkapkan di atas,
contoh utama otokrasi liberal yang ia hadirkan adalah Eropa pada
abad ke-19, ketika liberalisme konstitusional yang diperkenalkan
oleh pemerintahan kerajaan menghasilkan demokratisasi. Seringkali
diungkapkan bahwa tahapan yang dimulai pertama-tama dari kons-
titusionalisme liberal dan kemudian diikuti demokratisasi dapat me-
nolong rakyat dalam memahami persyaratan pemerintahan yang
mandiri. Namun, apakah hal ini merupakan strategi yang praktis
saat ini?
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, demokratisasi berjalan
dalam sebuah konteks di mana banyak prinsip tradisional dari
hierarki sosial masih lebih mendominasi pola pikir umum. Gagasan
kesetaraan belum sepenuhnya diterima sebagai prinsip legitimasi
politik yang unggul. Monarki dan aristokrasi masih berjaya di se-
bagian besar wilayah Eropa, sehingga bahkan peran legislatif yang
terbatas untuk sebuah majelis yang dipilih dengan hak pilih terbatas
pula bisa dipandang sebagai kemajuan menuju pemerintahan rakyat.
Kini situasinya sama sekali berbeda. Hanya ada beberapa negara—
terutama kerajaan-kerajaan Islam—di mana kekuasaan tradisional
masih bertahan. Dalam kasus seperti ini, model Eropa pada abad
ke-19 barangkali dapat dipakai. Di tempat lain, otokrasi yang ber-
kuasa, atau rezim yang telah dijatuhkan oleh demokrasi, biasanya
lebih ideologis dibandingkan rezim tradisional dan mereka men-
junjung beberapa doktrin egaliter versi mereka sendiri. Dalam se-
buah rezim pasca-komunis atau bekas rezim sosialis satu-partai,
prinsip apa yang dapat diterima sebagai dasar untuk membatasi

204
Liberalisme dan Demokrasi Dua Hal yang Tak-Terpisahkan

hak pilih? Dan mekanisme legitimasi macam apa selain pemilihan


umum yang dapat digunakan untuk menentukan siapa yang berkuasa?
Satu-satunya contoh dalam otokrasi liberal dunia masa kini yang
disebut dengan jelas oleh Zakaria adalah Hongkong yang dipe-
rintah-fnggris. Namun, terlihat jelas kalau Zakaria tidak siap untuk
merekomendasikan bangkitnya kolonialisme. Di awal dekade ini,
terdapat suatu perdebatan hangat mengenai persoalan "negara-ne-
gara gagal"—negara-negara yang sebelumnya berada dalam naung-
an negara adidaya selama Perang Dingin yang terancam runtuh begi-
tu dukungan dari patron mereka ditarik. Di luar pembicaraan me-
ngenai tatanan dunia baru, nampak terdapat kecenderungan untuk
membentuk 'komunitas internasional untuk campur-tangan dalam
kasus-kasus seperti itu, yang sebenarnya tak jauh berbeda dari ben-
tuk kolonialisme di bawah bendera PBB. Apa pun kebaikan atau
kelayakan gagasan ini, kegagalan besar upaya campur tangan po-
litik Amerika Serikat (sebagai kebalikan dari upaya kemanusiaan)
di Somalia, serta tumbuhnya negara-negara yang mungkin jadi kandi-
dat untuk operasi rekonstruksi internasional semahal itu, dengan cepat
memperjelas bahwa niat politik dalam kasus seperti ini tidak cukup.

Model praktis yang tampaknya dibayangkan Zakaria adalah oto-


krasi-otokrasi Asia Timur yang secara ekonomi berhasil (setidaknya
hingga saat ini). Namun jelas dapat dipertanyakan untuk menegas-
kan bahwa otokrasi-otokrasi ini benar-benar konstitusional atau lib-
eral, sebuah fakta yang tampaknya disadari sendiri oleh Zakaria
dengan menggolongkan Indonesia, Singapura dan Malaysia bukan
sebagai negara "liberal" melainkan otokrasi yang "meliberar. Akan
betul-betul tidak masuk akal untuk menyatakan bahwa negara-ne-
gara tersebut lebih memberikan perlindungan terhadap hak-hak in-
dividual atau memiliki peradilan yang lebih independen dan tak
memihak dibandingkan dengan negara demokrasi Amerika Latin
yang oleh Zakaria dijabarkan sebagai "tidak liberal". Bahkan bangsa
Singapura sendiri, meski menyatakan mempraktekkan demokrasi,
mengakui bahwa rezim mereka, mengutip pendapat Duta Besar Si-
ngapura untuk PBB, Bilahari Kausikan, "tidak pernah berpura-pura

205
Marc F. Plattner

atau ingin menjadi liberal". Oleh karena itu, terlepas dari pemba-
hasan Zakaria mengenai konstitusionalisme dan hak individu, tam-
paknya ia berakhir dengan mengambil pandangan yang lebih lazim
bahwa perkembangan kapitalis otoriter adalah jalan yang lebih bisa
diandalkan untuk demokrasi liberal yang sesungguhnya.
Pencapaian ekonomi otokrasi-otokrasi Asia Timur ini memang
mengesankan, tetapi begitu pula dengan pencapaian ekonomi
negara demokrasi Asia Timur, dimulai dengan Jepang. Di sini bukan
tempatnya untuk masuk ke dalam perdebatan kompleks dan sengit
mengenai sampai tingkat mana, jika sekiranya ada, kekuasaan oto-
riter mendorong perkembangan ekonomi Asia. Bagaimanapun juga,
apa yang jelas adalah bahwa di belahan dunia yang lain catatan kese-
luruhan otokrasi dalam mendorong perkembangan ekonomi,
apalagi pertumbuhan liberalisme konstitusional, sangat menyedih-
kan. Seperti diungkapkan oleh Mill, kelemahan serupa yang mem-
buat rakyat tidak siap untuk pemerintahan perwakilan tampaknya juga
dapat ditemukan dalam penguasanya yang tidak dipilih. Despot yang
bijaksana dan baik merupakan pengecualian, bukan pemerintahannya.

S E B U A H P A N D A N G A N DI D A L A M K O T A K S U A R A

SESUAI DENGAN ketika negara-negara di seluruh dunia


PERKIRAAN,

mengganti rezim otokrasi mereka dengan pemerintahan yang ter-


pilih secara bebas, mereka akan menjumpai kesulitan serius untuk
membuat demokrasi berjalan. Pemerintahan yang mandiri memang
sulit, dan penyelenggaraan pemilihan umum hanyalah satu langkah
dalam sebuah proses berat dan panjang yang, dalam kasus terbaik,
akan memuncak pada demokrasi liberal yang terkonsolidasikan. Pa-
ra pemilih bisa melakukan pilihan yang baik, yang buruk atau (yang
paling sering) yang biasa saja. Para demagog dapat menggunakan
kampanye pemilihan untuk memikat naluri paling rendah pemilih,
termasuk kebencian etnik atau agama (walaupun jumlah negara de-
mokrasi baru dengan kandidat yang berhasil dengan pendekatan

206
Liberalisme dan Demokrasi Dua Hal yang Tak-Terpisahkan

seperti itu lebih sedikit dari yang diperkirakan). Namun, dalam


kasus mana pun, seberapa sering pemilihan umum itu sendiri bisa
dianggap sebagai penyebab masalah yang mau tak mau tetap akan
bertahan atau muncul dalam pemerintahan yang tidak dipilih? Pe-
milih Afrika contohnya, boleh jadi sering memberikan pilihan me-
reka berdasarkan etnik atau kesukuan. Namun, berapa banyak ne-
gara Afrika yang pemerintahan diktatornya betul-betul meraih du-
kungan etnik, dan bukannya dominasi kelompok tertentu oleh yang
lain? Tidak diragukan lagi, sebagian besar negara demokrasi baru meng-
hadapi berbagai tantangan berat, tetapi hampir tak satu pun dari
halangan ini yang akan teratasi dengan menghapus pemilihan umum.
Juga benar bahwa, terlepas dari penyingkiran damai pemerin-
tahan yang buruk dan tidak-populer (ini bukan merupakan penca-
paian kecil), pemilihan umum itu sendiri tidak memecahkan seba-
gian besar masalah politik lainnya. Untuk alasan ini dan lainnya,
kehati-hatian menyarankan kita untuk menentang pcnyeleng-garaan
pemilihan umum yang tergesa-gesa di sebuah rezim non-demokratis
yang cukup stabil, baik, dan tenang, terutama di negara yang keku-
atan oposisi terkuatnya tidak mempunyai kecenderungan kuat ke
arah demokrasi liberal. Bagaimanapun, ini adalah pelajaran yang
hampir tidak perlu diajarkan kepada sebagian besar pemerintahan
Barat, yang secara inheren cenderung pada kehati-hatian diplomatik.
Pada kenyataannya, kepatuhan mereka terhadap kebijakan yang se-
perti inilah yang paling sering dikeluhkan pihak-pihak yang me-
nuduh pemerintahan Barat terlalu bersahabat dengan pemerintahan
yang non-demokratis, terutama di negara-negara Arab.
Terdapat beberapa kasus di mana pemilihan umum telah me-
nyebabkan keadaan bertambah buruk, seperti halnya di Angola pada
1992, ketika penolakan jonas Savimbi untuk menerima kekalahan-
nya dalam pemilihan umum yang diawasi PBB menyebabkan sema-
kin memburuknya perang saudara di negeri ini. Namun, terlepas
dari beberapa kemunduran serius, terakhir di Kamboja, catatan ke-
seluruhan usaha pemanfaatan pemilihan umum yang diawasi in-
ternasional sebagai upaya penyelesaian konflik bagi negara-negara

207
Marc F. Plattner

yang terlibat dalam perang saudara, telah memberi hasil yang benar-
benar positif. Penemuan yang relatif baru ini, pertama dicoba di Ni-
karagua pada 1990, menggabungkan upaya perdamaian dan pemba-
ngunan demokrasi, namun penekanan utamanya adalah pada tujuan
perdamaian. Oleh karena itu, pemilihan seringkali diadakan dalam
keadaan yang sangat sulit dan pada waktu yang tak akan dipilih
seandainya pembangunan demokrasi adalah satu-satunya tujuan.
Meskipun demikian, pemilihan seperti itu tidak hanya menghenti-
kan beberapa perang saudara berdarah, tetapi juga memberikan hasil
politik yang positif seperti yang terjadi di Mozambik dan El Savador.
Bahkan bila negara-negara seperti itu saat ini masih dalam keadaan
demokrasi yang tak liberal, keadaan mereka lebih baik dibandingkan
jika masih terkoyak perang saudara. Afganistan, negara yang tidak
menggelar proses pemilihan umum dan terus-menerus menghadapi
perang saudara serta kekuasaan pemerintah kaum fundamentalis yang
tidak toleran, tidak menghadirkan model alternatif yang menarik.

Dalam kasus transisi demokratis yang lebih khas, di mana pe-


merintahan otoriter digulingkan atau menegosiasikan sebuah kese-
pakatan dengan kekuatan oposisi domestik tentang pembentukan
rezim baru, waktu dilaksanakannya J'founding elections" (pemilihan
yang diselenggarakan untuk membentuk pemerintahan baru) meru-
pakan suatu persoalan yang sangat penting bagi suksesnya negara
demokrasi yang sedang tumbuh. Dalam kasus yang seperti itu ter-
dapat ruang untuk perbedaan pendapat yang masuk akal tentang
seberapa segera pemilihan umum dilaksanakan. Misalnya saja, di
tengah-tengah tatanan politik Kongo yang hancur pasca-Mobutu,
bahkan mereka yang bersungguh-sungguh berupaya mengarahkan
negara menuju demokrasi terpecah baik menyangkut perkara
kepraktisan maupun diinginkan-tidaknya melaksanakan pemilihan
umum dini. Pada saat yang sama, sulit untuk melihat apakah tanpa
pemilihan umum pemerintahan Kabila bisa bergerak menuju "li-
beralisme konstitusional", ataukah penguasa yang tidak bisa
dimintai pertanggungjawaban ini akan condong ke "demokrasi yang
tak liberal".

208
Liberalisme dan Demokrasi Dua Hal yang Tak-Terpisahkan

BILA KESUKSESAN TAK L A N G S U N G DIRAIH

TENTU situasi yang tak menguntungkan tersebut, de-


S A J A , DI D A L A M

mokrasi elektoral mungkin tak mampu bertahan. Sejarah demokra-


tisasi penuh dengan kegagalan. Itulah sebabnya pola yang dilon-
tarkan oleh Huntington juga dicirikan dengan "gelombang balik",
sebuah periode ketika kegagalan demokrasi jauh lebih banyak ke-
timbang transisi demokratis. Meskipun demikian, kecenderungan
keseluruhan adalah makin banyak negara menjadi demokratis dan
tetap bertahan dalam keadaan ini. Apalagi, catatan sejarah menun-
jukkan bahwa negara-negara yang memiliki kegagalan dalam pe-
ngalaman sebelumnya dengan demokrasi cenderung lebih berhasil
dalam upaya berikutnya daripada negara yang tidak memiliki pe-
ngalaman demokrasi. Jadi bahkan bila demokrasi gagal, kegagalan
tersebut masih meninggalkan harapan untuk masa mendatang.
Sekarang ini semakin banya negara yang tidak memenuhi 'per-
syaratan 7 sosial dan ekonomi untuk membangun demokrasi mem-
peroleh hak istimewa untuk memilih pemimpin mereka sendiri, ma-
ka tidak mengejutkan sekiranya rezim-rezim baru ini seringkali me-
miliki kekurangan dalam hal pertanggungjawaban, pemerintahan
berdasarkan hukum, dan perlindungan terhadap kebebasan indi-
vidu. Ada banyak alasan bagi negara-negara Barat untuk melakukan
segala upaya untuk membantu rezim-rezim baru tersebut mening-
katkan demokrasi elektoral mereka dan mengubahnya menjadi de-
mokrasi liberal. Justru negara-negara demokrasi yang tak liberal yang
dikritik Zakaria inilah yang tampaknya akan menjadi khalayak paling
mau menerima promosi liberalisme kontitusional yang ia sarankan.
Karena jalan menuju liberalisme konstitusional di dunia saat ini tidaklah
melalui otokrasi yang tidak dapat dimintai tanggung jawabnya,
melainkan melalui pemerintahan yang terpilih secara bebas.

21)9
10

Yang Masuk-Akal dan Tidak Masuk-


Akal dalam Perdebatan Globalisasi

DaniRodrik*

Thomas Friedman dari New York Times, ada-


G L O L B A L I S A S J , SEPERTI KATA

lah "Perdebatan besar berikutnya menyangkut kebijakan luar ne-


geri/' Namun, semakin menghangat dan meluas, perdebatan ini juga
semakin membingungkan. Apakah globalisasi merupakan sumber
pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran, seperti yang dipercayai
oleh sebagian besar ahli ekonomi dan kebanyakan pembuat ke-
bijakan? Ataukah globalisasi merupakan ancaman bagi stabilitas so-
sial dan lingkungan hidup, sebagaimana yang dikemukakan oleh
beragam suara mulai dari para penyokong buruh hingga pecinta
lingkungan—termasuk trio yang tak lazim: Ross Perot, George Soros
dan Sir James Goldsmith? Apakah globalisasi begitu majunya se-
hingga pemerintahan nasional menjadi tidak berdaya untuk meng-
atur perekonomian mereka dan menggunakan perangkat kebijakan
untuk memajukan tujuan sosial? Apakah pergeseran kegiatan pro-
duksi ke negara-negara dengan upah rendah melemahkan daya beli
dunia, sehingga barang menjadi berlimpah mulai mobil hingga pe-

* D A N I R O D R I K a d a l a h Professor o f International Political E c o n o m y di J o h n F .

K e n n e d y S c h o o l of G o v e r n m e n t , Harvard University. Hak cipta © 1997 d i l i n d u n g i


undang-undang.

211
Dani Rodrik

sawat udara? Atau, apakah globalisasi tidak lebih dari sekadar desas-
desus dan dampaknya sangat dibesar-besarkan?
Ada berbagai alasan menarik untuk peduli pada mutu perdebat-
an globalisasi. Apa yang kita saksikan tak lebih adalah debat kusir,
dan bukannya sebuah diskusi yang rasional. Mereka yang berpihak
kepada integrasi internasional melecehkan para penentang globali-
sasi sebagai proteksionis dungu yang tidak mengerti prinsip keun-
tungan komparatif dan kompleksitas aturan dan lembaga-lembaga
perdagangan. Di sisi lain, para pengkritik globalisasi menyalahkan
para ahli ekonomi dan perdagangan karena sudut pandang tekno-
kratis mereka yang sempit. Menurut mereka, para ahli ekonomi ter-
lalu terpikat pada model khayalan mereka dan tidak punya pegang-
an tentang bagaimana dunia nyata sebenarnya berjalan. Hasilnya,
kedua pihak terlalu banyak menghantam, dan sedikit sekali belajar
dari lawannya.
Kedua pihak memiliki keluhan-keluhan yang masuk-akal. Salah
satu contoh penting, banyak dari diskusi umum tentang dampak
globalisasi pada gaji orang Amerika mengabaikan banyak penelitian
yang telah dilakukan para ahli ekonomi. Seorang pembaca halaman
tajuk rencana surat kabat terkemuka yang cukup mendapat infor-
masi bisa dimaafkan karena tidak menyadari bahwa ada sejumlah
buku tentang hubungan antara perdagangan dan ketidaksetaraan,
banyak di antaranya yang menyangkal pandangan sederhana bahwa
orang Amerika atau Eropa berkurang keberuntungannya akibat
kompetisi gaji rendah di luar negeri. Arus utama pandangan aka-
demik pada dasarnya adalah bahwa meningkatnya perdagangan
dengan negara-negara berkembang bisa mengurangi paling banyak
20 persen pendapatan pekerja Amerika yang tidak terampil (relatif
terhadap pekerja vang sangat terampil), dan tidak lebih. Kita harus
memperhatikan hal lain—perubahan teknologi dan pembubaran
serikat pekerja, misalnya—untuk menjelaskan sebagian besar pe-
ningkatan kesenjangan gaji antara pekerja yang terampil dan tidak.

Namun, benar juga bahwa para ahli ekonomi dan pendukung


perdagangan telah mengabaikan ataupun tak ambil pusing pada

212
Yang Masuk-Akal dan Tidak Masuk-Akal dalam Perdebatan Globalisasi

komplikasi yang lebih luas yang berkaitan dengan integrasi ekonomi


internasional Simak pertanyaan-pertanyaan berikut: Sejauh apa per-
gerakan modal dan outsourcing produksi meningkatkan pergantian
tenaga kerja domestik lintas batas negara, yang oleh karenanya mem-
perparah keresahan ekonomi yang dihadapi para pekerja (selain
tekanan berkurangnya gaji mereka)? Apakah dampak distribusional
globalisasi, yang sudah pasti ada, dapat diselaraskan dengan konsep
domestik mengenai keadilan distributif? Apakah perdagangan de-
ngan negara-negara yang memilki norma dan institusi sosial yang
berbeda bertentangan dan melemahkan nilai-nilai sosial domestik
yang lama? Sampai sejauh mana globalisasi melemahkan kemam-
puan pemerintah nasional untuk menyediakan barang-barang kebu-
tuhan publik yang diharapkan warga negaranya, termasuk jaminan
sosial terhadap risiko ekonomi?
Inilah pertanyaan-pertanyaan serius menggaris-bawahi kemung-
kinan bahwa pasar yang berkembang mendunia akan berkonflik
dengan stabilitas sosial, bahkan saat pasar ini menghasilkan keun-
tungan bagi para pengekspor, penanam-modal, dan konsumen. Se-
bagian dari pertanyaan ini belum secara serius disimak para ahli
ekonomi. Pertanyaan-pertanyaan yang lain tidak dapat dijawab ha-
nya dengan menggunakan analisis ekonomi dan statistik. Masalah
globalisasi tidak dapat dibicarakan secara menyeluruh bila persoal-
an-persoalan yang lebih luas tidak ditanggapi.

BATAS-BATAS GLOBALISASI

B A H K A N DENGAN REVOLUSIdalam transportasi dan komunikasi, serta


kemajuan besar dalam liberalisasi perdagangan selama tiga dekade
belakangan ini, ekonomi negara-negara di dunia secara luar biasa
tetap terisolasi satu sama lain. Isolasi semacam ini memiliki implikasi
penting, yang telah berulang kali ditekankan oleh Paul Krugman:
Sebagian besar pemerintahan di negara industri maju sama sekali
tidak terbelenggu oleh globalisasi ekonomi seperti anggapan umum.

213
Dani Rodrik

Mereka mempertahankan otonomi yang substansial dalam menga-


tur perekonomian mereka, merancang kebijakan sosial, dan meme-
lihara berbagai lembaga yang berbeda dari mitra dagang mereka.
Anggapan bahwa perekonomian domestik tenggelam dalam
pasar dunia yang bersatu tanpa batas terbantahkan oleh beragam
bukti. Ambil kasus Amerika Utara. Perdagangan antara Kanada dan
Amerika Serikat merupakan salah satu perdagangan paling bebas
di dunia, rintangannya minimal saja berupa biaya transportasi dan
komunikasi. Namun, sebuah studi yang dilakukan oleh ekonom Ka-
nada, John McCallum, mengungkapkan bahwa perdagangan antara
sebuah provinsi Kanada dengan sebuah negara bagian di Amerika
Serikat (artinya, perdagangan internasional) volumenya 20 kali lebih
kecil dibanding perdagangan antara dua provinsi Kanada (artinya,
perdagangan dalam negeri). Jelas bahwa pasar Amerika Serikat dan
Kanada tak berhubungan secara substansial satu dengan yang lain-
nya. Dan bila memang demikian kenyataan perdagangan antara
Amerika Serikat dan Kanada, hal yang serupa dapat terjadi pada
hubungan dagang dua negara lainnya.
Bukti mengenai mobilitas modal fisik juga bertentangan dengan
pemikiran yang sedang berkembang. Pandangan umum menerima
begitu saja anggapan bahwa modal sepenuhnya bebas melintasi batas
nasional dalam upaya mendapat keuntungan sebanyak mung-kin. Se-
perti diungkapkan oleh ekonom Martin Feldstein dan Charles Horioka,
bila ini benar, tingkat investasi di Prancis hanya akan ber-gantung pada
keuntungan investasi di Prancis, dan tidak akan ada hubungannya de-
ngan jumlah simpanan uang di Prancis. Namun, sebenarnya pandangan
ini keliru. Peningkatan jumlah simpanan di sebuah negara sejalan de-
ngan penambahan investasi di negara tersebut, hampir dengan per-
bandingan satu banding satu. Terlepas aliran uang lintas batas dalam
jumlah besar, rasio keuntungan yang berbeda di antara negara-negara
tetap bertahan dan tidak disetarakan dengan pergerakan modal ke per-
ekonomian yang memberi keuntungan lebih tinggi.
Banyak contoh mengenai hal ini. Portofolio Amerika Serikat se-
cara luar biasa cenderung terkonsentrasi pada pasar saham Amerika

214
Yang Masuk-Akal dan Tidak Masuk-Akal dalam Perdebatan Globalisasi

Serikat. Harga barang-barang yang jelas-jelas serupa jauh berbeda


dari satu negara ke negara lainnya terlepas fakta bahwa barang-
barang ini dapat diperdagangkan. Dalam kenyatannya, perekono-
mian nasional tetap mempunyai tingkat ketertutupan besar terhadap
negara lain, dan pembuat kebijakan nasional menikmati lebih ba-
nyak otonomi daripada yang diperkirakan oleh serangkaian tulisan
akhir-akhir ini yang bicara tentang erosi kedaulatan nasional.
Sifat globalisasi yang terbatas barangkali dapat dipahami secara
lebih baik dengan menempatkannya dalam konteks sejarah. Dilihat
dari berbagai sisi, perekonomian dunia lebih terintegrasi pada masa
kejayaan standar emas pada akhir abad ke-19 dibandingkan saat
ini. Di Amerika Serikat dan Eropa, volume perdagangan memuncak
sebelum Perang Dunia I dan ambruk selama tahun-tahun di antara
dua perang dunia. Perdagangan kembali meningkat pada 1950-an,
namun tidak satu pun dari Eropa atau Amerika Serikat yang lebih
terbuka saat ini (diukur berdasarkan rasio perdagangan terhadap
pendapatan nasional), dibandingkan masa standar emas. Jepang
bahkan lebih sedikit mengekspor produksinya sekarang ini di-
banding masa antara dua perang dunia.

GLOBALISASI PENTING

menyimpulkan dari bukti ini bahwa globalisasi ti-


A K A N KELIRU BILA

dak relevan. Seiring dengan semakin pentingnya perdagangan, pi-


lihan-pilihan yang tersedia bagi pembuat kebijakan nasional telah
menyempit selama tiga dekade terakhir ini. Seruan yang sering di-
lontarkan tentang menjaga "kemampuan berkompetisi secara in-
ternasional" kini makin besar terbayang dan menanamkan bias ter-
tentu bagi pembuatan kebijakan.
Simak praktek-praktek pasar tenaga kerja. Sebagaimana yang di-
tunjukkan Prancis, Jerman, dan negara lain, masih mungkin mem-
pertahankan kebijakan pasar tenaga kerja yang meningkatkan ong-
kos pekerja. Namun globalisasi membuat biaya sosial untuk pilihan

215
Dani Rodrik

ini meningkat secara keseluruhan. Negara-negara Eropa mampu mem-


beri upah minimum yang besar dan tunjangan yang layak bila mereka
memilih untuk membayar biaya sosial ini. Namun taruhannya—tingkat
pengangguran yang disebabkannya—semakin besar karena mobilitas
internasional perusahaan-perusahaan yang semakin meningkat.
Konsekuensi langkah tersebut terlihat di mana-mana. Di Jepang,
perusahaan-perusahaan besar telah mulai menghapus praktek pas-
caperang yang menyediakan pekerjaan seumur hidup, yang meru-
pakan salah satu lembaga sosial penting Jepang. Di Prancis dan Jer-
man, serikat-serikat pekerja menentang upaya pemerintah untuk
memotong tunjangan pensiun. Di Korea Selatan, serikat buruh turun
ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang melonggarkan
batasan pemecatan. Negara-negara berkembang di Amerika Latin
saling bersaing dalam meliberalkan perdagangan, menderegulasi per-
ekonomian mereka, dan melakukan privatisasi perusahaan publik.
Tanyakanlah kepada eksekutif bisnis atau pejabat pemerintahan
mengapa perubahan ini penting, dan Anda akan mendengar man-
tra yang sama diulang terus-menerus: "Kami perlu tetap (atau men-
jadi) kompetitif dalam perekonomian global/' Karena sebagian dari
perubahan ini mengguncang kesepakatan-kesepakatan sosial lama
di banyak negara, reaksi populis di mana-mana terhadap globalisasi
mungkin dapat dimaklumi.
Kecemasan yang disebabkan oleh globalisasi harus dilihat dalam
konteks tuntutan yang diarahkan kepada pemerintahan nasional,
yang telah meluas secara radikal sejak akhir abad ke-19. Pada masa
kejayaan standar emas, pemerintah belum diharapkan menjalankan
fungsi kesejahteraan sosial dalam skala besar. Menjamin tingkat la-
pangan kerja yang memadai, menguatkan jaring pengaman sosial,
menyediakan asuransi kesehatan dan sosial, serta penanganan ke-
lompok masyarakat miskin bukan merupakan bagian dari agenda
pemerintah. Tuntutan seperti itu semakin berlipat selama masa-masa
setelah Perang Dunia II. Memang, komponen penting dalam
kesepakatan sosial pasca-perang yang tersirat di negara-negara in-
dustri maju adalah penyediaan jaminan sosial dan jaring pengaman

216
Yang Masuk-Akal dan Tidak Masuk-Akal dalam Perdebatan Globalisasi

di dalam negeri (misalnya, kompensasi pengangguran, pesangon,


dan bantuan hidup) sebagai imbalan berlakunya kebijakan perda-
gangan yang lebih bebas.
Kesepakatan-kesepakan ini kini semakin terkikis. Para majikan
mulai malas menyediakan tunjangan keamanan dan stabilitas kerja,
sebagian karena kompetisi yang meningkat dan juga mobilitas glo-
bal mereka yang bertambah yang membuat mereka tak begitu ber-
gantung pada tenaga kerja lokal mereka. Pemerintah kurang bisa
lagi mempertahankan jaring pengaman sosial karena bagian penting
dari dasar penerimaan pajak mereka goyah akibat meningkatnya
mobilitas modal. Selain itu, serangan ideologis yang gencar ter-ha-
dap negara kesejahteraan telah melumpuhkan banyak pemerinta-
han dan membuat mereka tidak mampu menanggapi kebutuhan-
kebutuhan dalam negeri dari ekonomi yang lebih terintegrasi.

LEBIH BANYAK P E R D A G A N G A N , LEBIH BANYAK P E M E R I N T A H A N

kita menyaksikan dua kecenderungan


D A L A M PERIODE PASCAPERANG

yang tampaknya berlawanan: meningkatnya perdagangan dan me-


ningkatnya pemerintahan. Sebelum Perang Dunia II, pengeluaran
pemerintah (negara industri maju saat ini) jumlahnya sekitar 20 per-
sen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Pada pertengahan 1990-an,
angka tersebut bertambah 47 persen. Meningkatnya peran peme-
rintah sangat menyolok di negara-negara seperti Amerika Serikat
(dari 9 persen menjadi 34 persen ), Swedia (dari 10 persen menjadi
69 persen), dan Belanda (dari 1.9 persen menjadi 54 persen). Kekuat-
an yang menggerakkan perluasan pemerintah selama periode ini adalah
meningkatnya pengeluaran sosial—khususnya transfer pendapatan.
Bukan sebuah kebetulan sekiranya pengeluaran sosial meningkat
seiring dengan meningkatkanya perdagangan internasional. Misal-
nya, negara kecil di Eropa yang sangat terbuka ekonominya seperti
Austria, Belanda, dan Swedia memiliki pemerintahan yang gemuk
sebagian karena upaya mereka untuk meminimalkan dampak sosial

217
Dani Rodrik

keterbukaan pada perekonomian internasional. Justru, di negara-


negara paling terbuka seperti Denmark, Belanda, dan Swedia, trans-
fer pendapatan paling berkembang.
Memang, terdapat hubungan kuat di berbagai negara antara de-
rajat keterbukaan terhadap perdagangan internasional dan penting-
nya pemerintahan dalam perekonomian. Diagram 1 menunjukkan
hubungan antara perdagangan dan pengeluaran untuk perlindung-
an sosial (termasuk asuransi pengangguran, pensiun, dan tunjangan
keluarga) di 21 negara, yang data perbandingan lintas negaranya
diterbitkan oleh Organizaton for Economic Cooperation and Devel-
opment (OECD). Diagram tersebut menghadirkan hubungan positif
pasti antara keterbukaan sebuah negara pada per-dagangan dan
jumlah pengeluaran untuk program sosial. Di satu ujung distribusi,
kita mendapati Amerika Serika dan Jepang dengan andil perdagang-
annya terendah dalam PDB, dua negara ini juga masuk ke dalam
kelompok dengan andil terendah untuk pcrlin-dungan sosial. Di
ujung yang lain, Luksemburg, Belgia, dan Belanda memiliki per-
ekonomian dengan tingkat keterbukaan yang tinggi dan transfer
pendapatan yang besar. Hubungan seperti ini tidak terbatas pada
negara-negara OECD saja: Negara-negara berkembang juga menun-
jukkan pola yang sama. Lebih lanjut, tingkat di mana impor dan
ekspor merupakan hal yang penting bagi perekonomian negara pada
awal 1960-an memberikan prediksi yang baik mengenai seberapa
besar pemerintah suatu negara dalam tiga dekade berikutnya, terle-
pas dari seberapa maju negara tersebut. Semua bukti yang ada meng-
arah kepada kesimpulan sama yang tidak bisa dihindari: Negara ke-
sejahteraan sosial adalah sisi lain ekonomi terbuka.

Integrasi ekonomi internasional dengan demikian mengandung


suatu dilema serius: Globalisasi meningkatkan tuntutan atas jaminan
sosial sembari secara simultan mendesak kemampuan pemerintah
untuk menanggapi secara efektif tuntutan tersebut. Akibatnya, ke-
tika globalisasi makin dalam, kesepakatan sosial yang diperlukan
untuk mempertahankan pasar domestik tetap terbuka untuk per-
dagangan internasional menjadi terkikis.

218
Yang Masuk-Akal dan Tidak Masuk-Akal dalam Perdebatan Globalisasi

Hubungan antara Perdagangan dan Pengeluaran


untuk Perlindungan Sosial (1980)

05
iwt,
y>
25

Ptnft-luafan umuk jO
Perlindungan Sotial
(persen <1*1 C U P ) ^
— USA

10 - unMAU»

0 -L. -1_
50 100 150 200

AiMltft Ekspoi & Impor (petsen dari PDB>


Sunber pfii£.riii|;

Sejak awal 1980-an, tarif pajak atas modal cenderung menurun


di negara-negara industri maju, sementara tarif pajak atas pekerja
secara umum terus meningkat. Pada saat yang sama, pengeluaran
sosial menjadi stabil akibat pendapatan nasional. Akibat-akibat ini
mencerminkan untung-rugi yang dihadapi pemerintah-pemerintah
dalam perekonomian yang semakin terbuka: Tuntutan terhadap pro-
gram sosial diimbangi dengan perlunya mengurangi beban pajak
pada modal, yang secara global makin bergerak.
Dengan standar apa pun, kesepakatan-kesepakatan sosial pasca-
perang telah membuat perekonomian dunia berjalan dengan sangat
baik. Terdorong oleh liberalisasi perdagangan yang meluas, perda-
gangan dunia mulai bangkit sejak 1950-an. Ekspansi ini tidak menye-
babkan keretakan sosial besar-besaran dan tidak melahirkan banyak
penentangan di negara-negara industri maju. Proses integrasi ekonomi
internasional saat ini berada dalam posisi berlawanan dengan pe-
merintahan yang melemah dan kewajiban sosial yang memudar. Na-
mun, kebutuhan akan jaminan sosial bagi sebagaian besar penduduk

219
Dani Rodrik

dunia yang tidak memiliki mobilitas internasional tidak bekurang.


xAlih-alih, kebutuhan ini malah bertambah.
Oleh sebab itu, pertanyaannya adalah bagaimana ketegangan antara
globalisasi dan tekanan untuk mengurangi resiko yang diakibatkannya
dapat diperlunak. Bila peran vital yang dimainkan oleh jaminan sosial
dalam membantu ekspansi perdagangan pascaperang diabaikan, dan
jaring pengaman sosial dibiarkan menyusut, kesepakatan domestik
yang memihak pasar terbuka akan sangat terkikis, dan seman kelompok
proteksionls akan berkumandang.

PERDAGANGAN GLOBAL DALAM NILAI-NILAI SOSIAL

Di D A L A M PASAR B A R A N G , jasa, tenaga kerja dan modal, perdagangan


internasional menciptakan arbitrase, yakni kemungkinan untuk
membeli (atau memproduksi) di satu tempat dengan satu harga dan
menjualnya di tempat lain dengan harga yang lebih tinggi. Dengan
demikian, harga-harga cenderung bertemu pada satu titik dalam
jangka panjang, proses pertemuan pada satu titik inilah yang men-
jadi sumber keuntungan perdagangan. Tetapi perdagangan juga
mendesakkan tekanan ke arah arbitrase lainnya: arbitrase dalam nor-
ma-norma nasional dan lembaga-lembaga sosial. Secara tidak lang-
sung, bentuk arbitrase ini muncul ketika biaya untuk memeli-hara
kesepakatan sosial yang beragam makin tinggi. Akibatnya, perda-
gangan terbuka dapat berbenturan dengan nilai-nilai sosial lama
yang melindungi kegiatan tertentu dari kebengisan pasar bebas. Hal
ini merupakan ketegangan utama yang ditimbulkan globalisasi.
Ketika teknologi pembuatan barang menjadi baku dan tersebar
secara internasional, negara-negara dengan seperangkat nilai, norma,
lembaga, dan kecondongan kolektif vang berbeda mulai bersaing
langsung di pasar untuk barang yang serupa. Dalam pendekatan tra-
disional terhadap kebijakan perdagangan, kecenderungan ini tidak
mempunyai dampak: Perbedaan-perbedaan dalam praktek nasional
dan lembaga sosial, dalam kenyataannya, diperlakukan sama seperti

220
Yang Masuk-Akal dan Tidak Masuk-Akal dalam Perdebatan Globalisasi

perbedaan lain yang menentukan daya saing negara tersebut (seperti


halnya berkah modal fisik atau tenaga kerja terlatih).
Namun, pada prakteknya, perdagangan menimbulkan benturan
ketika ia menghasilkan berbagai kekuatan yang melemahkan norma-
norma sosial yang secara tersirat terdapat dalam praktek domestik.
Misalnya, tidak semua rakyat di negara-negara industri maju merasa
nyaman dengan melemahnya lembaga domestik karena tekanan per-
dagangan, seperti halnya ketika buruh anak di Honduras menggan-
tikan pekerja di South Carolina, atau ketika ada permintaan pemo-
tongan tunjangan pensiun di Prancis sebagai tanggapan persyaratan
Traktat Uni Eropa. Perasaan gelisah ini adalah satu cara menafsirkan
tuntutan akan "perdagangan jujur". Kebanyakan dari diskusi yang
berkisar pada persoalan-persoalan baru dalam kebijakan perdagang-
an—seperti standar tenaga kerja, lingkungan, kebijakan persaingan,
dan korupsi—bisa disertakan dalam bahasan keadilan prosedural ini.
Perdagangan biasanya menyebarkan kembali pendapatan di an-
tara negara-negara industri, berbagai wilayah, dan individu. Dengan
demikian, pembelaan penting terhadap perdagangan bebas tidak
dapat dibangun tanpa mengangkat masalah keadilan dan keabsahan
praktek-praktek yang menimbulkan "biaya" distribusional ini. Ba-
gaimana keunggulan komparatif diperoleh meru-pakan hal yang
penting. Persaingan upah rendah luar negeri yang muncul karena
melimpahnya tenaga kerja berbeda dari persaingan yang muncul
karena praktek ketenagakerjaan luar negeri yang melanggar norma-
norma di dalam negeri. Upah rendah yang berasal dari demografi
atau sejarah sangat berbeda dari upah rendah karena tekanan peme-
rintah terhadap serikat pekerja.
Dari sudut pandang ini lebih mudah untuk memahami mengapa
banyak orang sering tak nyaman dengan konsekuensi-konsekuensi
integrasi ekonomi internasional. Namun, serta-merta melabeli semua
kelompok yang prihatin dengan masalah ini sebagai protek-sionis
yang mementingkan diri sendiri tidak akan banyak menolong. Sudut
pandang seperti ini juga membuat kita tak bisa mengharapkan du-
kungan luas bagi perdagangan ketika perdagangan melibatkan per-

221
Dani Rodrik

tukaran nilai yang bertentangan dengan (dan mengikis) kesepakatan


sosial domestik yang berlaku.
Simak aturan-aturan ketenagakerjaan, misalnya. Sejak 1930-an,
undang-undang Amerika Serikat mengakui bahwa pembatasan
"kontrak bebas" adalah sah untuk mencegah dampak daya tawar
yang tidak seimbang. Sebagai akibatnya, hubungan ketenagakerjaan
di Amerika Serikat (dan di tempat lainnya) tunduk pada serangkaian
batasan, seperti pengaturan jam kerja, keamanan tempat kerja, negosi-
asi pekerja/ manajemen, dan sebagainya. Banyak dari pembatasan ini
yang dibuat untuk memperbaiki asimetri dalam daya tawar yang bila
dibiarkan akan merugikan pekerja saat berhadapan dengan majikannya.
Globalisasi mengganggu keseimbangan ini dengan menciptakan
sebuah asimetri yang berbeda: Majikan bisa pindah ke luar negeri
sementara para pekerjanya tidak. Tidak ada perbedaan yang men-
dasar bagi pekerja Amerika antara harus terusir dari pekerjaan mere-
ka karena ada rekan pekerja domestik yang sudi bekerja selama 12
jam sehari, dengan penghasilan yang lebih rendah dari upah mini-
mum, atau dipecat bila mereka bergabung dalam serikat pekerja—
yang semua dianggap tidak sah menurut undang-undang Amerika
Serikat—dan keberadaan mereka juga dirugikan oleh pekerja asing
yang melakukan hal serupa. Bila masyarakat tak sudi menerima atur-
an tenaga kerja yang terdahulu, mengapa mereka harus menyetujui
aturan yang muncul belakangan? Globalisasi menghasilkan ketidak-
setaraan dalam daya tawar yang telah coba dicegah selama 60 tahun
dengan undang-undang tenaga kerja di Amerika Serikat. Dalam ke-
nyatannya, globalisasi mengikis kesepakatan sosial yang telah lama
mapan.
Apakah bersumber dari standar tenaga kerja, kebijakan ling-
kungan, ataupun korupsi, berbagai perbedaan yang terdapat dalam
praktek dan lembaga-lembaga domestik telah menjadi persoalan
kontroversi internasional. Memang inilah tema utama yang meng-
gerakkan naik-turunnya persoalan-persoalan baru pada agenda
Organisasi Dagang Dunia (VVTO). Konflik timbul baik ketika perbe-
daan ini menghasilkan perdagangan—seperti halnya dalam kasus-

222
Yang Masuk-Akal dan Tidak Masuk-Akal dalam Perdebatan Globalisasi

kasus buruh anak dan kebijakan lingkungan yang lemah—maupun


ketika perbedaan ini mengurangi perdagangan—seperti yang ditu-
duhkan kepada praktek industri di Jepang. Seperti tajuk rencana
New York Times pada 11 Juli 1996, yang berkaitan dengan pertikaian
Kodak-Fuji atas akses ke pasar film fotografi di Jepang, "Sebenarnya,
kasus Kodak meminta VVTO untuk memberi penilaian terhadap cara
Jepang berbisnis."
Gagasan tentang "perdagangan jujur" dan "menyamakan la-
pangan permainan" yang berada di balik tekanan untuk menem-
patkan persoalan-persoalan baru ini dalam agenda perdagangan te-
lah menjadi bahan olok-olok para ahli ekonomi. Namun, begitu di-
sadari bahwa perdagangan memiliki dampak pada norma-norma
dan kesepakatan sosial domestik, dan bahwa legitimasinya sebagian
terletak pada kecocokannya dengan hal-hal ini, pemikiran ini tidak
lagi dipandang sebelah mata. Sentimen-sentimen ini adalah cara me-
nyampaikan keprihatinan terhadap berbagai permasalahan yang di-
timbulkan oleh perdagangan. Perdagangan bebas di antara negara-
negara dengan praktek domestik yang berbeda memerlukan pene-
rimaan baik terhadap pengikisan struktur domestik maupun kebu-
tuhan harmonisasi atau penyatuan pada tingkat tertentu.
Jika hal ini merupakan konteks yang tepat di mana tuntutan un-
tuk "perdagangan jujur" dan "menyamakan lapangan permainan"
harus dipahami, harus dibuat jelas pula bahwa para pembuat kebi-
jakan seringkali mengambil terlalu banyak kebebasan dalam mem-
benarkan tindakan mereka sepanjang garis ini. Sebagian besar ke-
bijakan penetapan harga yang dinilai sebagai "perdagangan tidak
jujur" dalam laporan antidumping Amerika Serikat, misalnya, me-
rupakan praktek bisnis standar di Amerika Serikat dan negara lain-
nya. Sekalipun mungkin tidak ada garis yang jelas untuk membe-
dakan apa yang jujur dan yang tidak dalam perdagangan interna-
sional, satu tanda yang jelas bahwa proteksionisme mumi merupa-
kan akar perselisihan perdagangan adalah praktek lazim dalam per-
ekonomian domestik yang identik atau serupa dengan yang diprotes
di arena internasional. Kejujuran tidak dapat dising-kirkan dari pe-

223
Dani Rodrik

mikiran kebijakan perdagangan; tetapi hal ini juga tidak dapat di-
pakai untuk membenarkan pembatasan dagang ketika praktek yang
jadi dipersoalan tidak bertentangan dengan norma domestik seperti
terungkap lewat praktek nyata.

SALAH PAHAM P E R D A G A N G A N

karena globalisasi adalah sesuatu yang


K E T E C A N C A N YANG TERCIPTA

nyata. Namun, ketegangan ini lebih rumit dan mendalam dibanding


berbagai terminologi yang mendominasi perdebatan tersebut. "Per-
saingan upah rendah", "menyamakan lapangan permainan" dan
"berlomba habis-habisan" adalah frasa-frasa menarik yang sering-
kali mengacaukan pemahaman publik terhadap berbagai persoalan
yang sebenarnya. Perdebatan yang lebih bernuansa dan solusi yang
lebih pintar benar-benar diperlukan.

Produktivitas Buruh dan Biaya Buruh, 1985


100.000

««
tn GER
D JPN Z
Um - NOR
E IRK l J K " -
JÉ - "FIN "SA
3C SPA r «
«RT NZ I.
«S
m A U S
m

E 10.000
E KOR VEN
. " CYP m S?jp
-S PRT - .
-C ZWF. COL - PAN MLX
TIJR
• -ECU
È
PHI. t*»*
NiTS
CM
ro
55 ™

1.000
10.000 100.000

P D B per pekerja ( U S $ )
Sumber, pciigjf jfrA (stal» IORI

224
Yang Masuk-Akal dan Tidak Masuk-Akal dalam Perdebatan Globalisasi

Pendekatan yang lebih luas terhadap perdebatan ini, yang mem-


pertimbangkan sejumlah aspek yang dibahas di sini, menghadirkan
kredibilitas yang lebih bagi para pendukung perdagangan bebas da-
lam upaya mereka untuk menghilangkan kesalahpahaman yang se-
ring dipropagandakan kubu penentang perdagangan bebas. Buku
terbaru wartawan William Greider, One WorldI Ready or Not—The
Manic Logic of Global Capitalism, menggambarkan situasi di mana
banyak kesalahpahaman ini masih tertanam di benak para komen-
tator perdagangan yang populer.
Salah satu tema utama dalam buku tersebut—bahwa perluasan
pasar global mengguncang keutuhan sosial dan niscaya menyebab-
kan munculnya krisis besar ekonomi dan politik—dapat dipandang
sebagai sebuah versi yang lebih tegas mengenai bahaya po-tensial
yang dibahas di atas. Banyak pemikiran Greider—konsekuensi bagi
pekerja tidak terampil di negara industri maju, melemahnya jaring
pengaman sosial, dan represi hak-hak politik di beberapa negara
eksportir utama seperti Cina dan Indonesia—memang benar adanya.
Namun, pengabaian analisis ekonomi yang kuat dan bukti empirik
yang sistematis yang menjadi ciri karya Greider membuatnya men-
jadi panduan yang sangat tidak bisa diandalkan untuk memahami
apa yang sedang terjadi dan buku manual yang keliru untuk melu-
ruskan sesuatu.
Kekeliruan umum yang terus bermunculan dalam buku-buku
seperti karya Greider adalah bahwa upah rendah merupakan keku-
atan penggerak perdagangan global sekarang ini. Bila memang de-
mikian halnya, eksportir paling hebat pastilah Bangladesh dan bebe-
rapa negara miskin Afrika. Beberapa pabrik pengekspor Meksiko
atau Malaysia dapat mendekati tingkatan Amerika Serikat dalam
produktivitas pekerja, sementara upah lokal jauh lebih rendah. Na-
mun, apa yang berlaku bagi sejumlah kecil pabrik tidak bisa dijadi-
kan ukuran ekonomi secara keseluruhan dan oleh karena itu tidak
punya banyak imbas pada volume perdagangan dunia.
Diagram 2 menunjukkan hubungan antara produktivitas tenaga
kerja dalam ekonomi (PDB per pekerja) dan biaya tenaga kerja dalam

225
Dani Rodrik

berproduksi di berbagai negara. Hampir ada hubungan satu band-


ing satu antara dua hal ini, yang mengindikasikan bahwa upah terka-
it erat dengan produktivitas. Negara dengan perekonomian upah
rendah adalah mereka yang level produktivitas pekerjanya sama
rendahnya. Kecenderungan ini tentunya tak mengagetkan siapa pun
yang berakal sehat. Meskipun demikian, banyak wacana mengenai
perdagangan mengandaikan adanya celah lebar antara upah dan
produktivitas di negara-negara berkembang pengekspor
Demikian juga, merupakan suatu kekeliruan untuk m e n g a n g g a p
defisit perdagangan Amerika Serikat disebabkan kebijakan ketat ko-
mersial terhadap kebijakan negara lainnya yang disebut Greider se-
bagai "perilaku tak seimbang" dari mitra dagang Amerika Serikat.
Bagaimana kita menjelaskan defisit besar Amerika Serikat dengan
Kanada? Jika ketidakseimbangan perdagangan ditentukan oleh ke-
bijakan komersial, maka India, sebagai salah satu negara paling pro-
teksionis di dunia hingga dewasa ini, akan mengalami surplus per-
dagangan besar-besaran.
Satu lagi pandangan yang keliru adalah bahwa industrialisasi
yang berorientasi ekspor karena satu dan lain hal gagal meningkat-
kan taraf hidup para pekerja di Asia Timur dan Tenggara. Berten-
tangan dengan kesan yang didapat jika seseorang mendengarkan
para penentang globalisasi, kehidupan bekas petani yang beralih
menjadi pekerja di pabrik Malaysia dan Cina membaik secara drastis.
Selain itu, secara umum jarang terjadi bahwa perusahaan milik asing
di negara berkembang menyediakan lingkungan kerja yang lebih
buruk daripada yang tersedia di mana pun di negara tertentu; ke-
nyataannya, hal sebaliknyalah vang sering terjadi.
Barangkali argumen antiglobalisasi yang paling mencengangkan
adalah bahwa perdagangan dan investasi asing tidak bisa tidak
mengantarkan pada kapasitas yang berlebihan pada skala global.
Inilah argumen utama Greider dan pada dasarnya merupakan alasan
utama mengapa ia percaya bahwa sistem ini akan rusak dengan sen-
dirinya. Simak pembahasannya mengenai outsourcing yang dila-
kukan Boeing untuk sejumlah komponennya kepada perusahaan

226
Yang Masuk-Akal dan Tidak Masuk-Akal dalam Perdebatan Globalisasi

Xian Aircraft di Cina:

Ketika proses produksi bani dipindahkan ke Xian dari tempat seperti


Amerika Serikat sistem global, dalam kenyataannya, menukar pe-
kerja industri yang dibayar tinggi dengan pekerja yang dibayar sa-
ngat murah. Tegasnya, Boeing menukarkan seorang mekanik senilai
$50.000 dengan seorang mekanik Cina yang berpendapatan $600
atau $700 per tahun. Siapa yang mampu membeli barang-barang
dunia? Oleh karenanya, walaupun pendapatan dan daya beli ber-
kembang pesat di kalangan konsumen Cina, dampak keseluruhan-
nya adalah penggerusan kemampuan daya beli dunia. Bila contoh
di Xian dilipatgandakan di berbagai pabrik dan sektor industri, dan
juga di negara-negara lain yang berminat, seseorang bisa mulai mem-
bayangkan mengapa konsumsi global tak mampu mengikuti pro-
duksi global.

Seorang ahli ekonomi akan segera menganggap pendapat di atas


lemah sekali. Pekerja Cina yang mendapat gaji jauh lebih kecil dari
pekerja Amerika akan condong kurang produktif. Bahkan bila gaji
pekerja Cina ditekan di bawah produktivitas aktual, hasilnya akan
berupa transfer daya beli kepada para pemegang saham Boeing dan
para majikan Cina—bukan pengurangan daya beli global. Barang-
kali Greider menyangka para pemegang saham Boeing dan majikan
di Cina memiliki kecenderungan lebih rendah untuk mengonsumsi
dibandingkan para pekerja Cina. Bila memang demikian, apa buk-
tinya? Di manakah surplus global dalam bentuk tabungan dan pe-
nurunan musiman dalam tingkat suku bunga nyata yang pastinya
akan terlihat sekiranya pendapatan beralih dari penyimpan uang
sedikit ke penyimpan uang yang banyak?
Mungkin tidak adil untuk terus-menerus mengkritik Greider, ter-
utama karena beberapa kesimpulannya yang lain perlu disimak seca-
ra sungguh-sungguh. Namun kesalahpahaman yang dipaparkan
bukunya merupakan hal yang jamak dalam perdebatan globalisasi,
dan hal ini tidak membantu memajukan perdebatan.

227
Dani Rodrik

JARING PENGAMAN, BUKAN RINTANGAN PERDAGANGAN

cemas karena globalisasi, tapi mereka juga tak perlu


O R A N G TAK PERLU

mengambil sudut pandang Panglossian mengenai hal ini. Globalisasi


banyak membuka kesempatan bagi mereka yang memiliki keteram-
pilan dan mobilitas untuk berkembang di pasar dunia. Globalisasi
dapat menolong negara miskin untuk lepas dari kemiskinan. Glo-
balisasi tidak menghalangi otonomi nasional seperti anggapan
umum. Pada saat yang sama, globalisasi memang menekan pada
gaji para pekerja yang kurang terampil di negara industri, memper-
buruk ketidakamanan ekonomi, mempertanyakan kesepakatan so-
sial yang sudah diterima, dan memperlemah jaring pengaman sosial.
Ada dua bahaya dari kepongahan diri karena konsekuensi sosial
globalisasi. Yang pertama dan yang paling jelas adalah kemungkinan
serangan balik politik terhadap perdagangan. Pencalonan Patrick Buch-
anan pada 1996 dalam pemilihan awal di Partai Republik untuk kursi
presiden telah menyingkap bahwa proteksionisme merupakan komo-
ditas yang laku jual pada saat masyarakat Amerika dilanda kecemasan
menghadapi globalisasi. Hal yang sama bisa dikatakan tentang penga-
ruh politik Vladimir Zhirinovsky di Rusia atau Jcan-Maric Le Pen di
Prancis—suatu pengaruh yang berhasil diraih, paling tidak sebagian,
sebagai tanggapan terhadap anggapan umum tentang dampak global-
isasi. Para ekonom bisa saja mengeluh bahwa proteksionisme adalah
obat yang salah dan menyatakan bahwa penyakit yang ada sekarang
membutuhkan obat-obat yang berbeda, namun pendapat intelektual
tidak akan meraih hati dan pikiran siapa pun kecuali ada pemecahan
nyata yang ditawarkan. Perlindungan dagang, dengan segala keke-
liruannya, mempunyai keunggulan menawarkan hal-hal yang konkret.

Barangkali Buchanan-Buchanan masa depan akan kalah, seperti


halnya Buchanan sendiri, oleh nalar sehat masyarakat. Meskipun
demikian, bahaya yang kedua dan mungkin lebih serius masih ada:
Akumulasi dampak samping globalisasi dapat mengarah pada pem-
bagian kelas yang baru—antara mereka yang makmur dalam per-
ekonomian yang mengglobal dan yang tidak; antara mereka yang

228
Yang Masuk-Akal dan Tidak Masuk-Akal dalam Perdebatan Globalisasi

meyakini nilai-nilainya dengan yang tidak; dan antara mereka yang


mampu menangani risikonya serta yang tidak. Ini bukanlah prospek
yang menggembirakan, bahkan bagi orang-orang yang ada di sisi
pemenang dari pemilahan globalisasi: Jurang sosial yang semakin
dalam akan mencelakai kita semua.
Para pembuat kebijakan nasional tidak boleh berlindung di balik
dinding proteksionis. Proteksionisme tidak akan banyak menolong,
dan dapat menciptakan berbagai ketegangan sosialnya sendiri. Para
pembuat kebijakan sebaiknya melengkapi strategi eksternal liberal-
isasi dengan strategi internal, kompensasi, pelatihan, dan jaminan
sosial bagi kelompok masyarakat yang paling mungkin terkena
dampak globalisasi.
Di Amerika Serikat, prakarsa pendidikan Presiden Bill Clinton
mewakili suatu gerakan ke arah yang tepat. Namun, undang-undang
reformasi tunjangan pada bulan Agustus 1996 dapat memperlemah
jaring pengaman sosial tepat ketika globalisasi menyerukan hal yang
sebaliknya. Di Eropa, pemangkasan tunjangan negara juga bisa
memperburuk ketegangan globalisasi.
Bertentangan dengan pemahaman umum, mempertahankan ja-
ring pengaman yang memadai bagi kelompok berpendapatan kecil
tidak akan membangkrutkan bank. Dewasa ini, asuransi model lama
merupakan unsur transfer-pendapatan paling mahal bagi negara
industri maju. Sebuah reorientasi sumber daya publik yang men-
jauh dari program pensiun dan menuju program pasar tenaga kerja
dan antikemiskinan akan menjadi cara yang lebih tepat dalam meng-
hadapi tantangan globalisasi. Perubahan ini dapat dicapai dengan
mengurangi belanja publik secara keseluruhan. Bisa dimengerti bila
segmen penduduk yang luas di negara-negara industri gugup meng-
hadapi kesepakatan dasar kesejahteraan-sosial yang mengalami peru-
bahan. Oleh karenanya, kepemimpinan politik diperlukan untuk me-
nerjemahkan perubahan ini agar cocok bagi kelompok-kelompok ini.
Pada tataran global, tantangannya menjadi dua kali lipat. Di satu
sisi, diperlukan serangkaian peraturan atas dasar sukarela yang men-
dorong keselarasan yang lebih besar dari kebijakan sosial dan in-

229
Dani Rodrik

dustri. Keselarasan semacam ini dapat mengurangi ketegangan yang


timbul dari praktek nasional yang berbeda. Fada saat yang sama,
perlu fleksibilitas untuk membiarkan adanya ketidaksepakatan se-
lektif dari kepentingan-kepentingan displin multilateral agar bisa
dijadikan pedoman yang mengatur perdagangan internasional.
Akhir-akhir ini. Kesepakatan WTO tentang Perlindungan me-
mungkinkan negara-negara anggota memberlakukan pembatasan
dagang sementara, menyusul meningkatnya impor—namun hanya
dalam keadaan yang mendesak. Bisa dibayangkan melebarnya ca-
kupan kesepakatan untuk menyertakan situasi yang lebih luas, yang
mencerminkan kepedulian atas standar tenaga kerja, lingkungan,
bahkan norma etis di negara pengimpor. Tujuan dari mekanisme
"klausa jalan keluar" yang diperlebar macam ini adalah memung-
kinkan negara-negara yang berada dalam kondisi khusus, dan terikat
pada prosedur multilateral yang telah disepakati, untuk mendapat-
kan ruang yang lebih lega untuk bisa memenuhi kewajiban domestik
yang tidak sesuai dengan perdagangan bebas. Bila fleksibilitas ini
dapat dicapai sebagai ganti dari aturan ketat anti-dumping, yang
memiliki efek sangat buruk pada sistem perdagangan dunia, keun-
tungannya bisa besar.

Globalisasi tidak terjadi di dalam ruang hampa udara, ia meru-


pakan bagian dari kecenderungan lebih luas yang bisa kita sebut
"marketisasi". Peran pemerintahan yang berkurang, deregulasi, dan
berkurangnya kewajiban sosial adalah lawan d o m e s t i k dari
p e r e k o n o m i a n - p e r e k o n o m i a n nasional yang saling-berjalin.
Globalisasi tidak mungkin berjalan sampai sejauh ini tanpa berja-
lannya kekuatan pelengkap tersebut Tantangan yang lebih luas di
abad ke-21 adalah untuk menghadirkan keseimbangan baru antara
pasar dan masyarakat, keseimbangan yang akan terus melepaskan
energi kreatif kewirausahaan swasta tanpa mengikis dasar sosial
kerjasama.

230
10

Menyebarluaskan Kemakmuran

Da vid Dollar dan Aart Kraay*

GELOMBANG PASANG

SALAH SATU utama gerakan antiglobalisasi adalah bahwa


KLAIM

globalisasi memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Glo-


balisasi menguntungkan si kaya dan membawa sedikit kebaikan saja
bagi si miskin, bahkan mungkin membuatnya lebih menderita. Se-
perti yang diungkapkan pemimpin serikat buruh Jay Mazur, "Glo-
balisasi telah secara dramatis memperlebar kesenjangan antara dan
dalam negara-negara ("Labor's New Internationalism" Januari/Fe-
bruari 2000). Masalah yang terdapat dalam pendapat umum yang
banyak berkembang ini adalah bahwa bukti terbaik yang tersedia
memperlihatkan hal yang sebaliknya. Hingga saat ini, gelombang
globalisasi terkini, yang dimulai sekitar 1980, telah benar-benar me-
ningkatkan kesetaraan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.
Penyatuan ekonomi global menghasilkan dampak yang kompleks
pada pendapatan, kebudayaan, komunitas sosial, dan lingkungan.

* DAVID DOLLAR dan A A R T K R A A Y adalah ekonom pada Development Research


Group Bank Dunia. Dicetak kembali atas izin Foreign Affairs, J a n u a r y / F e b r u a r y
2002. Hak cipta © 2002 oleh Council on Foreign Relations, Inc.

231
David Dollar dan Aart Kraay

Namun dalam perdebatan mengenai kebaikan globalisasi, dampak-


nya terhadap kemiskinan sangatlah penting. Jika perdagangan dan
investasi internasional utamanya menguntungkan si kaya, banyak
orang akan berpikir bahwa pembatasan perdagangan untuk melin-
dungi pekerjaan, kebudayaan, atau lingkungan layak untuk dila-
kukan. Namun, sekiranya pembatasan perdagangan menimpakan
kesulitan vang lebih berat terhadap rakyat miskin di negara ber-
kembang, banyak orang yang akan berpikir sebaliknya.
Tiga fakta berkaitan dengan permasalahan ini. Pertama, kecen-
derungan global jangka panjang menuju ketidaksetaraan lebih besar
yang berlangsung selama sedikitnya 200 tahun; yang memuncak
pada 1975. Namun sejak saat itu, keadaan menjadi stabil dan bahkan
mungkin berbalik. Alasan utama perubahan ini adalah terpacunya per-
tumbuhan dua negara besar yang sebelumnya miskin: Cina dan India.
Kedua, terdapat suatu korelasi vang kuat antara partisipasi yang
meningkat dalam perdagangan dan investasi internasional di satu
sisi, serta pertumbuhan yang semakin cepat di sisi lain. Dunia ber-
kembang dapat dibagi ke dalam kelompok negara yang "mengglo-
bal" dengan peningkatan pesat dalam perdagangan dan investasi
asing selama dua dekade—jauh di atas angka negara-negara kaya—
dan kelompok yang "tidak mengglobal" yang saat ini transaksi per-
dagangannya bahkan lebih kecil daripada pemasukannya bila di-
bandingkan 20 tahun yang lampau. Angka pertumbuhan per kapita
tahunan rata-rata dari kelompok yang mengglobal naik secara man-
tap dari 1 persen pada 1960-an menjadi 5 persen pada 1990-an. Seba-
liknya, selama dekade belakangan, negara-negara kaya tumbuh 2
persen dan kelompok negara yang tidak mengglobal hanya 1 persen.
Para ekonom berhati-hati dalam mengambil kesimpulan yang ber-
kaitan dengan hubungan sebab-akibat, namun sebagian besar setuju
bahwa keterbukaan terhadap perdagangan dan investasi asing (sei-
ring dengan reformasi yang menyertainya) menjelaskan pertumbuh-
an yang lebih cepat dari kelompok globalisasi.

Ketiga, bertentangan dengan pemahaman umum, globalisasi ti-


dak mengakibatkan kesenjangan yang lebih lebar di dalam pereko-

232
Menyebarluaskan Kemakmuran

nomian negara-negara. Kesenjangan memang melebar di beberapa


negara (seperti Cina) dan menurun di tempat lain (seperti Filipina).
Tetapi perubahan-perubahan tersebut tidak secara sistematis terkait
dengan ukuran-ukuran globalisasi seperti arus perdagangan dan
investasi, besarnya cukai, dan adanya kontrol modal. Sebaliknya,
pergeseran dalam kesenjangan ini lebih bersumber dari pendidikan,
pajak, dan kebijakan sosial dalam negeri. Secara umum, angka per-
tumbuhan yang lebih tinggi di negara-negara berkembang yang
mengglobal telah diterjemahkan ke dalam pemasukan vang lebih
tinggi bagi kaum miskin. Bahkan dengan kesenjangan yang makin
menjadi, Cina, sebagai contoh, mengalami penurunan paling spek-
takuler dalam sejarah dunia dalam masalah kemiskinan—dengan
cara membuka ekonominya untuk perdagangan dan investasi asing.
Sekalipun globalisasi dapat menjadi senjata ampuh untuk me-
ngurangi kemiskinan, dampak menguntungkan yang dihasilkannya
bukannya suatu hal yang niscaya. Jika para pembuat kebijakan ingin
memanfaatkan potensi penuh penyatuan ekonomi dan memperta-
hankan manfaatnya, mereka harus menghadapi tiga tantangan uta-
ma. Gerakan proteksionis yang semakin meningkat di negara-negara
kaya yang bertujuan membatasi penyatuan dengan negara-negara
miskin harus dihentikan. Negara-negara berkembang perlu mem-
peroleh semacam lembaga dan kebijakan yang akan membuat me-
reka sejahtera di bawah globalisasi, lembaga dan kebijakan ini mung-
kin berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan migrasi yang
lebih banyak, baik domestik dan internasional, harus diperbolehkan
ketika geografi membatasi potensi pengembangan.

PEMBAGIAN BESAR

terakhir, perekonomian-perekonomian lokal vang


S E L A M A 2 0 0 TAHUN

berbeda di seluruh penjuru dunia menjadi lebih menyatu sementara


angka pertumbuhan ekonomi global telah meningkat secara men-
cengangkan. Sekalipun mustahil untuk membuktikan hubungan se-

233
David Dollar dan Aart Kraay

bab-akibat antara dua perkembangan tersebut—karena tidak ada


perekonomian-perekonomian dunia lainnya untuk diperbanding-
kan—bukti menunjukkan adanya keterkaitan antara keduanya. Se-
perti yang dikemukakan Adam Smith, sebuah pasar yang lebih besar
memungkinkan pembagian kerja yang lebih baik, yang pada gilir-
annya mempermudah inovasi dan pembelajaran mandiri. Sejumlah
inovasi tersebut meliputi transportasi dan teknologi komunikasi
yang menurunkan biaya dan meningkatkan penyatuan. Jadi, mudah
dilihat bagaimana penyatuan dan inovasi bisa saling mendukung.
Berbagai lokasi yang berbeda menjadi lebih menyatu karena me-
ningkatnya arus barang, modal dan pengetahuan. Dari 1820 hingga
1914, perdagangan internasional meningkat lebih cepat dibanding-
kan ekonomi global. Perdagangan meningkat dari sekitar 2 persen
pendapatan dunia pada 1820 menjadi 18 persen pada 1914. Glo-
balisasi perdagangan mengalami kemunduran selama periode pro-
teksionis semasa Depresi Besar dan Perang Dunia II, dan pada 1950
perdagangan (dalam hubungannya dengan pendapatan) lebih ren-
dah dari 1914. Tetapi berkat serangkaian liberalisasi perdagangan
multilateral di bawah Kesepakatan Bersama atas Tarif dan Perda-
gangan (General Agreement on Tariffs and Trade, GATT), perda-
gangan berkembang pesat di antara negara-negara industri antara
I960 dan 1980. Sebagian besar negara berkembang umumnya masih
terisolir dari perdagangan ini karena kebijakan mereka sendiri yang
berfokus ke dalam negeri, namun keberhasilan beberapa negara
yang layak dicatat seperti Taiwan dan Korea Selatan akhirnya mem-
bantu mendorong negara-negara berkembang lainnya untuk mem-
buka diri terhadap perdagangan dan investasi asing.

Arus modal internasional, yang dihitung sebagai aset-aset milik


asing terhadap pendapatan dunia, turut tumbuh selama gelombang
pertama globalisasi dan mengalami penurunan selama masa De-
presi Besar dan Perang Dunia II; dan hingga 1980, mereka tidak kem-
bali pada angka-angka pada 1914. Namun sejak saat itu, arus sema-
cam ini telah meningkat tajam dan sudah berganti sifat pula. Seratus
tahun yang lampau, modal asing biasanya digunakan untuk mem-

234
Menyebarluaskan Kemakmuran

biayai infrastruktur publik (seperti kanal dan jalan raya) atau inves-
tasi langsung yang terkait dengan sumber daya alam. Sekarang ini,
sebaliknya, arus modal ke negara berkembang merupakan investasi
langsung yang terkait dengan produksi dan jasa.
Perubahan dalam sifat arus modal jelas terkait dengan berbagai
kemajuan dalam penyatuan ekonomi, seperti transportasi yang lebih
murah dan lebih cepat serta perubahan-perubahan revolusioner da-
lam bidang telekomunikasi. Sejak 1920, biaya perjalanan laut telah
turun sekitar dua pertiga dan tarif pesawat udara turun sebanyak
84 persen; biaya telepon selama tiga menit dari New York City ke
London telah turun hingga 99 persen. Kini, produksi di tempat-tem-
pat yang sangat berjauhan bisa disatukan dengan berbagai cara yang
sebelumnya benar-benar mustahil.
Aspek lain dari penyatuan adalah pergerakan penduduk dunia.
Namun di sini kecenderungannya terbalik: ada lebih banyak perja-
lanan internasional dibandingkan dahulu namun migrasi yang
permanen berkurang. Antara 1870 dan 910, sekitar 10 persen dari
populasi dunia berpindah secara permanen dari satu negara ke ne-
gara lainnya; selama 25 tahun terakhir hanya satu sampai dua persen
yang melakukan hal tersebut.
Seiring dengan kemajuan penyatuan ekonomi, angka pertum-
buhan tahunan ekonomi dunia pun melaju, dari satu persen pada
pertengahan abad ke-19 menjadi 3,5 persen pada kurun waktu 1960-
2000. Setelah mengalami pertumbuhan yang tetap selama bertahun-
tahun, lompatan dalam pertumbuhan tersebut telah membuat
perbedaan sangat besar dalam standar hidup nyata. Sekarang hanya
perlu dua atau tiga tahun, misalnya, bagi ekonomi dunia untuk
memproduksi barang dan jasa dalam jumlah yang sama dengan yang
diproduksinya selama keseluruhan abad ke-19. Perbandingan se-
macam ini memang bisa dibilang merupakan pernyataan yang terlalu
mengecilkan perbedaan yang sebenarnya, karena kebanyakan yang
dikonsumsi sekarang ini—perjalanan udara, mobil, televisi, serat sin-
tetik, obat-obat pemanjang umur—tidak ada pada 200 tahun yang
lampau. Oleh sebab itu, angka pertumbuhan produk barang dan jasa

235
David Dollar dan Aart Kraay

Ketaksetaraan Pendapatan Dunia, 1820-1995


dalam persen
88.1

1820 '50 '70 '90 1910 '30 '50 '70 >90 '95
Cauun: An^-ingte menajamku kan penyimpanan itww f c*? aniara pendapaian
individual dsn rata-rata pendipaian perk^ita.
Suritwi F Fsiiu^uipuifirfiiJr. Mooittfi, \ t n n v , Y*mM CitiJMM. I R 2 0 - H W 2 ' K«rUv*»tj4 200 U 2 S |Pttrto:
RUFUNMIMI 4ivd l^for^TORV nf «»d T>««IN<K4l FRAMIMIX Xtfll|; « d TAoiil HiilUr, \ . k M i ^ K H , II»#IJJ.«1C>.
jryi ( ' n u f |y S«ntv l*WJI. 'W c r M f l * i t lur*|gnuvul ^ h » * hllp .VwtiHiJtwik ur£r'v*»frh'gjifc.«1

sejak 1820 adalah tak terhingga. Produktivitas manusia telah mening-


kat sampai hampir tak terbayangkan.
Semua pertumbuhan kemakmuran yang menakjubkan ini ter-
distribusi dengan sangat tidak merata hingga 1975, dan sejak saat
itu kesetaraan terus meningkat. Satu tolok ukur yang bagus menge-
nai kesenjangan antara individu-individu di seluruh dunia adalah
deviasi logaritmik rata-rata—hitungan selisih pendapatan seseorang
yang dipilih secara acak dan rata-rata umum. Ada fakta yang harus
diperhatikan bahwa distribusi pendapatan condong memihak si kaya,
sehingga individu tertentu akan lebih miskin dari rata-rata kelompok;
semakin condong distribusinya, makin besar kesenjangannya. Misalnya,
pendapatan per kapita di dunia saat ini sekitar 5.000 dolar, sementara
seseorang yang dipilih secara acak pendapatannya akan berkisar pada
angka 1.000 dolar—80 persen lebih kecil. Kesenjangan tersebut diartikan
sebagai deviasi logaritmik rata-rata sebesar 0,8.
Dengan memakai pendekatan ini, perkiraan distribusi pendapat-

236
Menyebarluaskan Kemakmuran

an dunia di antara individu-individu memperlihatkan naiknya ke-


senjangan antara 1820 sampai 1975. Dalam periode tersebut, kesen-
jangan antara individu yang dijadikan contoh dan pendapatan per
kapita dunia meningkat dari sekitar 40 persen menjadi sekitar 80
persen. Mengingat kecilnya perubahan-perubahan dalam kesen-
jangan pendapatan di dalam negara-negara, peningkatan kesen-
jangan kebanyakan diakibatkan oleh perbedaan dalam angka per-
tumbuhan di seluruh negara. Daerah yang relatif sudah kaya pada
1820 (terutama Eropa dan Amerika Serikat) tumbuh lebih cepat di-
bandingkan area yang miskin (Cina dan India). Kesenjangan global
memuncak pada 1970-an, namun kesenjangan ini kemudian tersta-
bilkan dan bahkan mulai menurun, sebagian besar karena pertum-
buhan di Cina dan di India yang mulai melaju.
Cara lain untuk melihat kesenjangan global adalah mengkaji apa
yang terjadi pada kelompok yang sangat miskin—yakni orang-or-
ang yang hidup dengan pendapatan kurang dari 1 dolar per hari.
Sekalipun persentase penduduk dunia yang hidup dalam kemis-
kinan telah menurun seiring waktu, angka absolutnya naik secara ber-
tahap sampai 1980. Selama Depresi Besar dan Perang Dunia II, jumlah
orang miskin meningkat sangat tajam, dan angka ini menurun tak lama
sesudahnya. Ekonomi dunia tumbuh dengan kuat antara 1960dan 1980,
tetapi jumlah orang miskin meningkat karena pertumbuhan tidak terjadi
di tempat-tempat di mana kelompok paling miskin tinggal Namun
sejak saat itu, pertumbuhan paling cepat terjadi di daerah-daerah
miskin. Akibatnya jumlah orang miskin turun sebanyak 200 juta sejak
1980. Sekali lagi, kecenderungan ini utamanya terjelaskan oleh
pertumbuhan pendapatan yang cepat di Cina dan India, yang jumlah
penduduk keduanya pada 1980 sebesar sepertiga penduduk dunia dan
merupakan 60 persen lebih dari kelompok yang sangat miskin.

LOMPATAN K E ATAS

PERGESERAN KECENDERUNGAN DALAM kesenjangan global terjadi berba-


rengan dengan pergeseran strategi-strategi perekonomian beberapa

237
David Dollar dan Aart Kraay

negara berkembang yang besar. Setelah Perang Dunia II, sebagian


besar kawasan berkembang memilih strategi yang terfokus ke dalam
negeri dan enggan untuk bersatu dengan ekonomi global. Namun
pendekatan seperti ini tidak begitu berhasil, dan sepanjang 1960-an
dan 1970-an negara-negara berkembang secara keseluruhan tumbuh
lebih lambat ketimbang negara-negara industri. Guncangan harga
minyak dan inflasi Amerika Serikat pada 1970-an mengakibatkan
masalah-masalah berat bagi mereka, memberi andil bagi pertum-
buhan negatif, inflasi tinggi, dan krisis utang selama beberapa tahun
berikutnya. Dihadapkan pada hasil-hasil yang mengecewakan ini, be-
berapa negara berkembang mengubah strategi mereka mulai 1980-an.
Misalnya, Cina memiliki perekonomian yang sangat tertutup
sampai pertengahan 1970-an. Sekalipun reformasi ekonomi Beijing
pada awalnya terfokus pada pertanian, bagian penting dari pende-
katannya sejak 1980-an telah menyertakan keterbukaan terhadap
perdagangan dan investasi asing, termasuk turunnya pajak masuk
hingga dua pertiga dan bahkan lebih besar lagi jumlahnya untuk
pungutan bukan cukai. Reformasi ekonomi ini telah mengantarkan
ke pertumbuhan ekonomi yang belum pernah ada sebelumnya di
provinsi-provinsi pantai dan pertumbuhan dalam tingkatan sedang
di provinsi pedalaman. Dari 1978 hingga 1994 ekonomi Cina tumbuh
9 persen per tahun, sementara ekspor tumbuh sebanyak 14 persen
dan impor 13 persen. Tentu saja, Cina dan negara-negara berkem-
bang lainnya yang mengglobal telah menggelar reformasi di banyak
bidang, bukan hanya ekonomi. Beijing telah memperkuat hak-hak
kepemilikan melalui reformasi pertanahan dan bergerak dari ekonomi
yang terencana menjadi ekonomi yang berorientasi pasar, dan langkah
ini memberi andil pada penyatuan sekaligus pertumbuhannya.

Negara-negara berkembang lainnya juga telah membuka diri se-


bagai bagian dari program reformasi yang lebih luas. Selama 1990-
an, India meliberalkan perdagangan dan investasi asing dengan hasil
memuaskan; pertumbuhan pendapatan per kapita tahunannya se-
karang di atas empat persen. India juga telah menggelar agenda
reformasi diberbagai bidang dan keluar dari sistem yang terencana

238
Menyebarluaskan Kemakmuran

dengan regulasi ketat. Sementara itu, Uganda dan Vietnam adalah


contoh terbaik dari negara dengan pendapatan sangat rendah yang
telah meningkatkan pertisipasi mereka dalam perdagangan dan
investasi, dan akhirnya menjadi lebih makmur. Dan di bumi belah-
an barat, Meksiko layak dicatat karena menandatangani kesepakatan
perdagangan bebasnya dengan Amerika Serikat dan Kanada pada
1993, dan juga karena pertumbuhannya yang pesat sejak saat itu,
terutama di wilayah utara yang berdekatan dengan perbatasan Ame-
rika Serikat.
Kasus-kasus di atas membuktikan bagaimana keterbukaan terha-
dap perdagangan dan investasi asing, yang digabungkan dengan
program reformasi, biasanya mengarah pada pertumbuhan yang
lebih cepat. Contoh yang ada bukan hanya India, Cina, Vietnam,
Uganda dan Meksiko; secara umum, negara-negara yang lebih ter-
buka mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat. Cara terbaik untuk
menggambarkan kecenderungan ini adalah membuat peringkat ne-
gara-negara berkembang menurut peningkatan mereka dalam per-
dagangan terhadap pendapatan nasional selama 20 tahun terakhir.
Sepertiga teratas dari daftar ini bisa dianggap sebagai kelompok
yang "mengglobal", dan dua pertiga di bawah sebagai kelompok
yang "tidak mengglobal". Kelompok yang mengglobal telah meng-
alami peningkatan pendapatan hingga 104 persen selama dua de-
kade terakhir, dibandingkan 71 persen yang dialami negara-negara
kaya. Sementara itu, kelompok yang tidak mengglobal, saat ini ma-
lah lebih sedikit melakukan perdagangan dibandingkan 20 tahun
yang lampau. Kelompok yang mengglobal juga telah memotong pa-
jak impor rata-rata sebesar 22 persen, dibandingkan kelompok yang
tidak mengglobal yang hanya U persen .

Bagaimana tingkat pertumbuhan kelompok yang mengglobal?


Angka pertumbuhan tahunan rata-rata meningkat dari 1 persen
pada 1960-an menjadi 3 persen pada 1970-an, 4 persen pada 1980-
an, dan 5 persen pada 1990-an. Sebagai perbandingan, angka per-
tumbuhan tahunan negara-negara kaya menurun sekitar 2 persen
pada 1990-an, dan kelompok yang tidak mengglobal malah menga-

239
David Dollar dan Aart Kraay

Pertumbuhan PDB dan


Pengorangan kemiskinan in
diUgCKda.ln±a Attn* d&t C hm.
J992-91 dtusnp4runp*7 tife*

Angka pertumbuhan P D B
W
ptr kapfcta

6,4

4,4
3.8

Uganda India Vnr*™ Chra

• Grafik FVnguran&an
kinan dl India untuk tahun
199^99
5:9 $un*«: D.viil DuJU. *C.kM>-
uiian. liwqujUi). and Pormy
7.5 Sinct IWD/ V%V>rld Bank

Aagupeia«wan.«
KU
UI
hirkground paper. nv.nUMr al
htl w w W.WOlldèMh

lami penurunan dari 3 persen pada 1970-an menjadi 1 persen pada


1980-an dan 1990-an.
Pola yang serupa dapat diamati pada tingkat lokal. Di dalam ne-
geri Cina dan India, lokasi-lokasi yang berintegrasi dengan ekonomi
global tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang
tidak mempunyai hubungan ekonomi global. Negara-negara bagian
India, misalnya, sangat bervariasi dalam kualitas iklim investasi me-
reka seperti diukur dengan efisiensi pemerintahan, korupsi, dan in-
frastruktur. Negara-negara bagian yang memiliki iklim investasi
yang lebih baik telah menyatukan diri mereka secara lebih erat de-
ngan pasar-pasar luar dan telah mengelola lebih banyak investasi
(domestik dan asing) dibandingkan negara bagian lain yang kurang
menyatu. Selain itu, negara-negara bagian yang pada awalnya mis-

240
Menyebarluaskan Kemakmuran

kin kemudian menciptakan iklim investasi yang bagus sehingga


mengalami tingkat penurunan kemiskinan yang lebih tinggi pada
1900-an dibandingkan mereka yang tidak menyatu dengan ekonomi
global. Perbandingan-perbandingan internal tersebut penting kare-
na, dengan mempertahankan kebijakan perdagangan nasional dan
makroekonomi, dapat diketahui betapa pentingnya melengkapi libe-
ralisasi perdagangan dengan reformasi kelembagaan sehingga pe-
nyatuan dapat benar-benar terjadi.
Angka pertumbuhan vang tinggi dari negara-negara yang meng-
global seperti Cina, India, dan Vietnam konsisten dengan berbagai
perbandingan lintas-negara yang menyimpulkan bahwa keterbu-
kaan berkaitan langsung dengan pertumbuhan yang lebih cepat. Pe-
lajaran yang paling bisa dipetik dari penelitian-penelitian ini adalah
bahwa perdagangan dan investasi yang lebih banyak sangat berko-
relasi dengan pertumbuhan yang lebih tinggi, sehingga kita perlu
berhati-hati dalam menarik kesimpulan mengenai hubungan sebab-
akibat. Meskipun begitu, bukti keseluruhan dari kasus per kasus
dan korelasi lintas ini meyakinkan. Seperti yang ditulis oleh ekonom
Peter Lindert dan Jeffrey Williamson, "Walaupun tidak ada satu pe-
nelitian pun yang dapat memperlihatkan bahwa keterbukaan ter-
hadap perdagangan tak diragukan lagi telah membantu ekonomi
negara Dunia Ketiga, banyak sekali bukti yang mendukung kesim-
pulan ini." Selanjutnya mereka mencatat bahwa, "Tidak ada laporan
kemenangan kelompok antiglobal setelah perang di Dunia Ketiga."

Dengan demikian, bertentangan dengan pernyataan-pernyataan


gerakan antiglobalisasi, keterbukaan yang semakin besar pada per-
dagangan dan investasi internasional dalam kenyataannya mem-
bantu mempersempit jurang pemisah antara negara kaya dan negara
miskin. Selama 1990-an, ekonomi kelompok yang mengglobal, de-
ngan populasi gabungan sekitar 3 miliar jiwa, tumbuh dua kali lipat
lebih dibandingkan negara kaya. Sebaliknya, kelompok yang tidak
mengglobal hanya tumbuh setengahnya, dan kini semakin jauh ter-
tinggal. Banyak diskusi tentang kesenjangan global menganggap
bahwa ada perbedaan pendapatan yang kian meningkat antara ne-

241
David Dollar dan Aart Kraay

gara berkembang dan negara kaya, namun hal ini tidak benar sama
sekali. Perkembangan yang paling penting dalam kesenjangan glo-
bal dalam dekade-dekade terakhir ini adalah makin meningkatnya
perbedaan pendapatan di dalam negara-negara berkembang itu sen-
diri, dan hal ini berkaitan langsung dengan per-soalan apakah nega-
ra-negara tersebut mengambil manfaat dari keuntungan ekonomi
yang ditawarkan oleh globalisasi.

IALAN KELUAR DARI KEMISKINAN

menyatakan bahwa penyatuan eko-


G E R A K A N ANTI-GLOBAUSASI JUGA

nomi memperburuk kesenjangan di dalam negara-negara dan juga


antara negara-negara. Hingga pertengahan 1980-an, tidak terdapat
bukti yang cukup untuk mendukung kesimpulan kuat tentang per-
soalan yang penting ini. Namun kini semakin banyak negara ber-
kembang yang mulai melakukan survei dengan kualitas yang cukup
bagus mengenai pendapatan rumah tangga dan konsumsi (Di nega-
ra-negara dengan pendapatan rendah, survei semacam ini biasanya
melacak apa yang sesungguhnya dikonsumsi rumah-rumah tangga
sehingga benar-benar tergambar pendapatan asli mereka dan bukan
merupakan bagian dari ekonomi uang). Sekarang ini sudah terdapat
penelitian yang bagus terhadap 137 negara, dan banyak dari pene-
litian ini yang cukup jauh melacak ke belakang untuk mengukur
perubahan kesenjangan dari waktu ke waktu.
Satu cara untuk melihat kesenjangan di dalam negara adalah
dengan memfokuskan pada 20 persen rumah tangga yang berada
di tingkat bawah ketika globalisasi dan pertumbuhan bergerak cepat.
Di semua negara, pendapatan kaum miskin tumbuh pada kisaran
yang sama dengan PDB. Tentu saja, terdapat begitu banyak variasi
sekitar hubungan rata-rata tersebut. Di beberapa negara, distribusi
pendapatan telah bergeser menguntungkan kaum miskin; di negara-
negara lainnya, sebaliknya. Namun pergeseran ini tidak dapat di-
jelaskan dengan variabel apa pun yang terkait dengan globalisasi.

242
Monvob.irlu.iskan Kcmnkmuran

A n g k a I n v e s t a s i Net di I n d i a , 1 9 9 9
(JalanJ persen

West
Bengal
-0,58

Maha-
rashtra Andhra
Pradesh
8,04
5,60
Karnataka
6,78
Kerala 1 , 5 3 Tamil Nadu 6 , 0 5
•?adt September 2000. Sebuah negara barn. Ullaranchal. didirikan d m bagian Barai Laut Ultar Prad:»h.
Catatan: Angka Invwiw bcaili rxnggmntwrkan angka pertumbuhan tahunan diri slok mudai pcruïtaJvir domwtik
dan lotcrnavxinal. Angka negatif mcogtixJaikan bahwa p<ru>ahaaxi-pn\tfibiDdiUnjL
Sumber O. Gosuami el aL. "Coatpttirtvenea of Indian Manufacturing: RcsvJi of a Firm LcvcJ
Suns, '(New Delhi: Confederation of Indian Industry. 2001).

243
David Dollar dan Aart Kraay

Dengan demikian tidak bisa serta-merta dikatakan bahwa kesen-


jangan muncul akibat perdagangan yang lebih banyak, investasi
asing yang lebih banyak, dan cukai yang yang lebih rendah. Bagi
banyak negara yang melakukan globalisasi, perubahan keseluruhan
dalam distribusi masih terbilang kecil, dan di beberapa kasus (misal-
nya Filipina dan Malaysia) distribusi tersebut bahkan memihak ke-
lompok miskin. Apa vang dicerminkan oleh perubahan-perubahan
dalam kesenjangan adalah kebijakan-kebijakan khusus negara atas
pendidikan, pajak, dan perlindungan sosial.
Penting kiranya untuk tidak salah mengerti penemuan ini. Cina
adalah contoh penting dari sebuah negara yang mengalami pening-
katan tajam dalam hal kesenjangan dalam dekade terakhir, ketika
pendapatan 20 persen kelompok terbawah naik namun tertinggal
jauh dari pendapatan per kapita. Kecenderungan ini mungkin ber-
kaitan dengan keterbukaan yang lebih besar, walaupun liberalisasi
domestik yang tampaknya menjadi penyebab. Cina memulai pada
1970-an dengan distribusi pendapatan yang merata, dan bagian dari
program reformasinya dengan sengaja ditujukan untuk meningkat-
kan penghargaan atas pendidikan, yang secara finansial berarti
memberi ganjaran bagi orang-orang yang lebih terdidik. Namun ka-
sus Cina bukan merupakan sesuatu yang khas; kesenjangan tidak
meningkat di sebagian besar negara-negara berkembang yang telah
membuka diri terhadap perdagangan dan investasi asing. Lebih jauh,
distribusi pendapatan di Cina bisa saja menjadi semakin tidak me-
rata, namun pendapatan kelompok miskin di Cina tetap meningkat
tajam. Dalam kenyataannya, kemajuan negara tersebut dalam me-
ngurangi kemiskinan telah menjadi salah satu keberhasilan yang
paling mencengangkan dalam sejarah.

Karena peningkatan perdagangan biasanya terjadi bersamaan de-


ngan pertumbuhan yang lebih cepat dan tidak secara sistematis
mengubah distribusi pendapatan rumah tangga, hal ini lazimnya
dikaitkan dengan peningkatan taraf hidup kaum miskin. Vietnam
merupakan contoh yang tepat untuk masalah ini. Setelah negara ini
membuka diri, Vietnam mengalami peningkatan pendapatan per

244
Menyebarluaskan Kemakmuran

kapita yang tinggi dan tidak ada perubahan yang berarti dalam
kesenjangan. Namun, pendapatan kaum miskin telah meningkat
drastis dan jumlah penduduk Vietnam yang hidup dalam kemis-
kinan absolut telah menurun secara tajam dari 75 persen populasi
pada 1988 menjadi 37 persen pada 1998. Dari 5 persen yang terma-
suk rumah tangga termiskin pada 1992,98 persen sudah membaik
enam tahun kemudian. Dan peningkatan taraf hidup yang lebih baik
tidak hanya terjadi dalam ihwal pendapatan. Penggunaan tenaga
kerja anak-anak telah menurun dan pendaftaran masuk sekolah me-
ningkat. Tidak mengejutkan bila sebagian besar kelompok rumah
tangga miskin di Vietnam mendapat keuntungan langsung dari sis-
tem perdagangan yang lebih liberal, mengingat keterbukaan negara
tersebut telah berbuah dalam ekspor beras (yang sebagian besar di-
produksi oleh petani miskin) dan produk-produk padat karya seperti
sepatu. Namun pengalaman Cina dan Vietnam bukanlah sesuatu
yang unik. India dan Uganda juga menikmati penurunan kemis-
kinan yang cepat seiring dengan makin eratnya penyatuan mereka
ke dalam ekonomi global.

MASYARAKAT TERBUKA

PENEMUAN-PENEMUAN di atas mempunyai dampak penting bagi nega-


ra-negara berkembang, bagi negara-negara kaya seperti Amerika
Serikat, dan bagi siapa pun yang peduli pada kemiskinan global.
Seluruh pihak harus mengakui bahwa gelombang globalisasi terbaru
merupakan dorongan kuat ke arah kesetaraan dan pengurangan ke-
miskinan, dan mereka harus mendukung kelangsungan globalisasi
apa pun hambatannya.
Bukan merupakan suatu hal yang niscaya bahwa globalisasi akan
terus berlangsung. Pada 1910, banyak pihak meyakini bahwa glo-
balisasi tidak dapat dihentikan, namun mereka segera melihat ke-
nyataan yang mengejutkan. Sejarah biasanya tidak akan berulang
dengan cara yang sama, namun layak dicatat bahwa sentimen anti-

245
David Dollar dan Aart Kraay

globalisasi sedang bangkit. Makin banyak pemimpin politik di


negara berkembang menyadari bahwa sebuah sistem perdagangan
terbuka merupakan kepentingan besar negara mereka. Mereka pasti
akan mengindahkan Presiden Meksiko Vicente Fox yang baru-baru
ini menyatakan,

Kami yakin bahwa globalisasi bagus dan a k a n bagus kalau A n d a


mengerjakan pekerjaan rumah Anda...jagalah prinsip-prinsip Anda
d a l a m p e r e k o n o m i a n , b a n g u n pendidikan b e r m u t u tinggi, hormati
u n d a n g - u n d a n g . . . K e t i k a s e m u a ini d i k e r j a k a n , k a m i y a k i n m a n f a a t
a k a n terpetik.

Namun saat ini kepentingan-kepentingan yang sempit menolak pe-


nyatuan lebih jauh—terutama mereka di negara-negara kaya—yang
terlihat lebih bertenaga daripada oponen mereka. Di Kota Quebec
musim semi yang lalu dan di Genoa musim panas terakhir, seke-
lompok pemimpin yang terpilih secara demokratis berkumpul untuk
mendiskusikan bagaimana cara melaksanakan penyatuan ekonomi
dan meningkatkan taraf hidup rakyat mereka. Para demonstran anti-
globalisasi cukup efektif mengganggu jalannya pertemuan tersebut
dan menarik perhatian media. Para pemimpin negara maju maupun
berkembang harus membuat paham proglobalisasi lebih langsung
dan makin efektif atau menghadapi risiko lawan-lawan mereka mendo-
minasi diskusi dan memandekkan proses.
Selain itu, negara-negara industri masih menggunakan cara-cara
proteksionis terhadap produk pertanian dan padat karya. Pengu-
rangan hambatan-hambatan ini akan sangat menolong negara-nega-
ra berkembang. Daerah-daerah yang lebih miskin di dunia juga akan
memetik manfaat dari pembukaan pasar mereka lebih jauh, mengi-
ngat 70 persen hambatan bea masuk yang dihadapi negara-negara
berkembang datang dari negara-negara berkembang yang lain.
Bila globalisasi berlanjut, potensinya sebagai kekuatan penyeim-
bang akan bergantung pada apakah negara-negara miskin berhasil
mengintegrasikan diri mereka sendiri ke dalam sistem ekonomi glo-

246
Menyebarluaskan Kemakmuran

bal. Penyatuan yang sebenarnya mensyaratkan bukan hanya libe-


ralisasi perdagangan, melainkan juga reformasi kelembagaan dalam
skala luas. Banyak dari negara yang tidak mengglobal, seperti Myan-
mar, Nigeria, Ukraina dan Pakistan, menawarkan iklim investasi
yang tidak menarik. Bahkan sekiranya mereka membuka diri terha-
dap perdagangan, tidak akan banyak yang terjadi kecuali reformasi-
reformasi yang lain juga digelar. Tidak mudah untuk memperkirakan
jalan reformasi dari negara-negara ini; beberapa keberhasilan relatif
dalam tahun-tahun terakhir ini, seperti Cina, India, Uganda, dan
Vietnam merupakan sebuah kejutan. Namun selama sebuah daerah
memiliki lembaga dan kebijkan yang lemah, orang-orang vang ting-
gal di sana akan makin tertinggal di belakang negara-negara lainnya.
Melalui kebijakan perdagangan mereka, negara-negara kaya bisa
meringankan negara-negara berkembang yang telah memilih untuk
membuka diri dan bergabung dalam kelompok perdagangan glo-
bal. Namun dalam beberapa tahun belakangan ini, negara-negara
kaya melakukan hal yang sebaliknya. GATT pada awalnya dibentuk
dalam kaitannya dengan kesepakatan dalam hal praktek perdagang-
an. Kini, ada aturan kelembagaan seperti persetujuan atas kebijakan
hak kepemilikan intelektual yang menjadi persyaratan untuk ber-
gabung dengan WTO. Peraturan ketenagakerjaan dan standar ling-
kungan jenis apa pun yang dibuat di bawah ancaman sanksi WTO
akan semakin mempersulit persyaratan ini. Langkah-langkah seperti
ini sebenarnya merupakan langkah neoproteksionis, karena mereka
akan menghalangi integrasi negara-negara berkembang ke dalam
ekonomi dunia dan melemahkan perdagangan antara negara miskin
dan negara kaya.
Pertemuan WTO di Doha merupakan langkah maju yang penting
dalam integrasi perdagangan. Lebih kuat daripada yang di Seattle,
para pemimpin negara industri bersedia meningkatkan integrasi dan
bicara apa adanya mengenai isu-isu yang jadi keprihatinan utama:
akses terhadap paten obat-obatan, penggunaan cara-cara antidump-
ing terhadap negara-negara berkembang, dan subsidi pertanian. Pu-
taran baru perundingan perdagangan yang diluncurkan di Doha

247
David Dollar dan Aart Kraay

berpotensi membalikkan kecenderungan yang berkembang saat ini,


yang menyebabkan negara-negara miskin semakin sulit untuk me-
nyatu dengan ekonomi dunia.
Hal terakhir yang berpotensi menghalangi globalisasi yang ber-
hasil dan adil berkaitan dengan geografi. Tidak ada alasan inheren
mengapa pesisir Cina harus miskin; seperti halnya India bagian sela-
tan, Meksiko utara, dan Vietnam. Semua lokasi ini dekat dengan
pasar-pasar penting atau jalur-jalur perdagangan, namun lama di-
kendalikan oleh kebijakan yang salah arah. Kini, dengan reformasi
yang tepat, mereka mulai tumbuh secara pesat dan mengambil tem-
pat mereka yang sebenarnya di dunia. Tetapi hal ini tak bisa dite-
rapkan kepada Mali, Chad, atau negara-negara atau daerah lain yang
terkena nasib sial karena "geografinya yang buruk"—jauh dari pasar,
secara inheren biaya angkutan jadi tinggi, serta masalah kesehatan
dan pertanian vang parah. Naif sekali jika berpikir bahwa hanya
dengan perdagangan dan investasi kita bisa mengentaskan kemis-
kinan di semua tempat. Dalam kenyataannya, untuk tempat-tempat
dengan geografi yang buruk, liberalisasi perdagangan kalah penting
dibandingkan pembangunan sistem pelayanan kesehatan atau me-
nyediakan infrastruktur dasar—atau membiarkan pendu-duknya
pindah ke daerah lain.

Migrasi dari lokasi yang buruk geografinya adalah faktor yang


hilang dalam gelombang globalisasi belakangan ini yang bisa punya
andil besar dalam mengurangi kemiskinan. Setiap tahun, populasi
dunia bertambah sebanyak 83 juta orang, 82 juta di antaranya berada
di negara-negara berkembang. Di Jepang dan Eropa, populasinya
malah menua dan angkatan kerja menyusut. Migrasi pekerja yang
relatif kurang terlatih dari Selatan ke Utara dengan demikian akan
menawarkan keuntungan ekonomi nyata bagi keduanya. Sebagian
besar migrasi dari Selatan ke Utara bermotif ekonomi, dan hal ini
menaikkan taraf hidup para migran dan juga menguntungkan nega-
ra pengirim dalam tiga hal. Pertama, tenaga kerja di daerah Selatan
berkurang sehingga upah tenaga kerja yang tetap tinggal di sana
meningkat. Kedua, migran mengirim uang dalam bentuk valuta

248
Menyebarluaskan Kemakmuran

asing ke daerah asalnya. Akhirnya, migrasi menyokong jaringan per-


dagangan dan investasi transnasional. Dalam kasus Meksiko, misal-
nya, 10 persen penduduknya tinggal dan bekerja di Amerika Serikat,
sehingga tekanan pasar tenaga kerjanya sendiri berkurang dan me-
naikkan upah di sana. India mendapat kiriman uang dari para pe-
kerjanya di luar negeri enam kali lipat lebih besar daripada yang
didapatkannya dari bantuan asing.
Tidak seperti perdagangan, migrasi tetap sangat terbatas dan kon-
troversial. Sebagian pengamat menilai adanya dampak yang mere-
sahkan pada masyarakat dan kebudayaan, serta ketakutan akan te-
kanan terhadap upah dan meningkatnya pengangguran di negara-
negara yang lebih kaya. Tetapi kelompok lobi antimigrasi menga-
baikan kenyataan bahwa perbedaan ekonomi geografis begitu kuat-
nya hingga imigrasi gelap tetap berkembang pesat, terlepas dari ke-
bijakan yang ketat. Dalam ironi yang ganjil, beberapa penyalahgu-
naan terburuk globalisasi terjadi karena tidak mencukupinya sesuatu
di wilayah ekonomi penting seperti halnya tenaga kerja. Penyelun-
dupan manusia, misalnya, menjadi bisnis tanpa pengawasan yang
sangat menguntungkan di mana migran gelap menjadi mangsa em-
puk untuk dikerjai.
Secara realistis, tak satu pun negara industri yang akan menerap-
kan kebijakan migrasi terbuka. Tetapi mereka harus memperhatikan
kembali kebijakan migrasinya. Misalnya, beberapa di antaranya me-
miliki bias kuat dalam peraturan imigrasi mereka bagi para pekerja
yang sangat terampil, yang pada kenyataannya "memicu terjadinya
"brain drain (perpindahan orang-orang pintar) negara-negara ber-
kembang. Kebijakan yang seperti ini tidak banyak membantu meng-
hentikan arus pekerja yang tidak terampil dan sebaliknya malah
mendorong orang-orang ini ke dalam kategori ilegal. Jika negara-
negara kaya bersedia secara hukum menerima lebih banyak tenaga
kerja yang kurang terampil, mereka dapat mengatasi kelangkaan
tenaga kerja mereka sendiri, memperbaiki standar kehidupan di ne-
gara berkembang, dan mengurangi arus ilegal perpindahan manusia
dan penyalahgunaannya.

249
David Dollar dan Aart Kraay

Kesimpulannya, penyatuan kelompok ekonomi miskin dan kaya


selama dua dekade terakhir telah menyediakan banyak kesempatan
bagi rakyat miskin untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Con-
toh-contoh pihak yang diuntungkan dari globalisasi bisa ditemukan
di antara imigran Meksiko, pekerja pabrik di Cina, petani miskin
Vietnam, dan petani Uganda. Banyak negara setengah maju dan kaya
yang juga memperoleh keuntungan. Setelah semua retorika tentang
globalisasi dipereteli, banyak persoalan kebijakan akan mengarah
kepada apakah negara-negara kaya akan membuat mudah penya-
tuan dengan ekonomi dunia bagi komunitas-komunitas miskin yang
ingin melakukannya. Nasib kaum miskin dunia sangat tergantung
pada bagaimana negara-negara kaya menjawabnya.

250
11

Kehidupan Setelah Pax Amerikana

Charles A. Kupchan*

strategi Amerika, dekade ini merupakan suatu dekade


B A C I PARA AHLI

yang relatif mudah. Ekonomi dan militer Amerika yang begitu kuat
telah menghasilkan sebuah struktur internasional satu-kutub (unipo-
lar), yang pada gilirannya memberikan fondasi siap pakai bagi sta-
bilitas global. Hierarki dan tatanan telah berkembang secara alamiah
karena perbedaan kekuatan sehingga membuat pemetaan lanskap
internasional yang baru dan formulasi strategi besar yang baru jadi
kurang penting. Pemerintahan Bush dan Clinton sungguh layak
mendapat banyak pujian karena memimpin akhir Perang Dingin
dan dengan peka menanggapi krisis-krisis di daerah terpencil di
seluruh dunia. Namun hegemoni Amerika yang tak tertandingi telah
membebaskan mereka dari tugas menjaga perdamaian serta meng-
atur persaingan dan perimbangan di antara kutub-kutub kekuatan—
sebuah tantangan yang terus-menerus memusingkan para negara-
wan sepanjang sejarah.

4 C H A R L E S A . K L T C H A N adalah profesor hubungan internasional pada


Georgetown University dan Senior Fellow pada Council on Foreign Relations, la
adalah seorang penulis, salah satu bukunya adalah The Vulnerability of Empire.
Artikel ini pertama kali muncul dalam World Policy- Journal, Fall 1999. Hak cipta
© 1999 oleh World Policy Institute.

251
Charles A. Kupchan

Dekade yang akan datang akan merupakan satu dekade yang


sangat tidak mudah bagi para arsitek kebijakan luar negeri Amerika
Serikat. Sekalipun Amerika Serikat masih akan berada di puncak
hierarki internasional dalam waktu dekat, namun lanskap global di
mana kekuatan dan pengaruh akan terdistribusi secara lebih merata
telah terbayang di depan mata. Dengan distribusi kekuatan yang lebih
imbang ini, akan datang lebih banyak geopolitik tradisional dan
kembalinya perimbangan yang kompetitif yang sebelumnya terganjal
kebesaran Amerika. Globalisasi ekonomi, senjata nuklir, teknologi
informasi yang baru, dan penyebaran demokrasi boleh jadi akan men-
jinakkan geopolitik dan menyingkirkan persaingan yang mungkin me-
nyertai distribusi kekuatan yang lebih menyebar. Namun, sejarah telah
memberikan pelajaran yang lebih dingin dalam hal ini. Berulangkah,
ketenangan pascaperang dalam kompetisi internasional dan pernyataan
bahwa perang sudah ketinggalan zaman telah memberi jalan bagi
kembalinya perimbangan kekuatan dan akhirnya konflik negara besar.
Dengan demikian, tim kebijakan luar negeri yang mulai menjabat
pada 2001 menghadapi tugas berat menyatukan sebuah strategi be-
sar untuk mengatur langkah kembali ke multipolaritas. Tantangan
ini akan sama beratnya secara politik maupun intelektual. Mengakui
bahwa pusat-pusat kekuatan baru telah muncul dan menyesuaikan
diri dengan kebangkitan mereka akan mengakibatkan perlawanan
politik setelah 50 tahun keunggulan Amerika. Para politisi dan juga
para ahli strategi mesti terlibat dalam perencanaan jangka panjang
dan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih menyikapi kecende-
rungan yang mendasar ketimbang tantangan jangka pendek. Tetapi
kaum elite Amerika harus bangkit untuk kesempatan ini. Dekade
yang akan datang menghadirkan sebuah kesempatan yang unik;
Amerika Serikat harus merencanakan masa depan di saat ia masih
menikmati kemelimpah-ruahan, dan tidak menunggu sampai pe-
nyebaran kekuatan telah membuat politik internasional makin kom-
petitif dan tak bisa diperkirakan.

Dalam bagian berikutnya saya akan menjelaskan bagaimana dan


mengapa sebuah transisi menuju sebuah dunia multipolar sepertinya

252
Kehidupan Setelah Pax Amerikana

akan muncul dalam waktu dekat. Amerika Serikat tidak akan terba-
yang-bayangi oleh penantang yang muncul yang biasanya menjadi
kelaziman selama transisi dalam hierarki internasional Sebaliknya,
menurunnya kesanggupan Amerika untuk menjadi pelindung glo-
bal terakhir akan menjadi pemicu utama perubahan lanskap global.
Menurut saya, tantangan penting bukan terletak dalam persiapan pe-
rang melawan penantang terdekat demi hegemoni melainkan dalam
menyapih Eropa dan Asia Timur dari ketergantungan mereka yang
berlebihan pada penguasa tertinggi saat ini, Amerika Serikat. Eropa
dan juga Asia Timur telah mendapati betapa nyaman dan murahnya
bergantung pada kekuatan dan diplomasi Amerika untuk menjamin
keamanan mereka. Amerika menjalani kesepakatan ini selama ber-
puluh tahun karena punya kepentingan menghadang Uni Soviet dan
menangguk keuntungan menjadi pusat politik global.
Namun sekarang ketika rezim-rezim komunis sekarat dan Perang
Dingin tertelan masa lalu, payung perlindungan Amerika akan de-
ngan pelan-pelan ditarik. Jika pengurangan dalam lingkup keterli-
batan Amerika di luar negeri ini tidak berakibat pada perimbangan
kekuatan yang merusak di Eropa dan Asia Timur, Amerika Serikat
dan mitra regional utamanya harus mulai menyiapkan kehidupan
setelah Pax Amerikana.

K E K U A T A N Y A N G TAK BERBAHAYA

internasional melacak perubahan dalam


K E B A N Y A K A N P E N G A M A T POLITIK

distribusi kekuatan ini pada dua sumber: penyebaran kemampuan


produktif dan sumber materi selama berabad-abad sepanjang waktu
dan tempat; dan penyeimbangan terhadap pemusatan kekuatan
yang dimotivasi oleh pencarian keamanan dan gengsi. Kekuatan-
kekuatan besar dewasa ini akan berkurang tajinya di hari esok ketika
titik pertumbuhan inovasi dan efisiensi berpindah dari pusat ke
pinggiran sistem internasional. Selain itu, pemegang hegemoni yang
terus berkuasa mengancam negara-negara lapis kedua yang

253
Charles A. Kupchan

menanjak dan dengan demikian memancing pembentukan koalisi


tandingan. Secara bersamaan, dinamika ini menggerakkan pola sik-
lus kebangkitan dan keruntuhan negara-negara besar/
Berbeda dari pola historis ini, baik penyebaran maupun perim-
bangan kekuatan terhadap Amerika Serikat tidak akan menjadi fak-
tor-faktor penting yang menggerakkan transisi dalam sistem inter-
nasional yang akan terjadi. Perlu waktu berpuluh tahun bagi sebuah
negara untuk bisa menandingi Amerika Serikat dalam kemampuan
ekonomi dan militer. Ketidakseimbangan kekuatan yang terjadi saat
ini berada pada titik yang ekstrem menurut standar-standar sejarah.
Belanja pertahanan Amerika Serikat lebih banyak daripada semua
negara besar digabungkan, ia juga mengeluarkan uang lebih banyak
untuk riset dan pengembangan pertahanan daripada seluruh negara
dunia digabungkan. Produk ekonomi brutonya terlalu besar diban-
dingkan kebanyakan negara dan pengeluarannya dalam riset dan
pengembangan merupakan ujung tombak pertumbuhan kualitatif
dalam sebuah ekonomi global yang kian didominasi oleh sektor-
sektor teknologi tinggi. 2 Perimbangan terhadap kekuatan Amerika
sepertinya juga tidak akan memancing sebuah koalisi tandingan.
Amerika Serikat terpisahkan baik dari Eropa maupun Asia oleh laut-
an luas, sehingga membuat kekuatan Amerika kurang mengancam.
Selain itu, sulit membayangkan bahwa Amerika Serikat akan mela-
kukan suatu tindakan yang cukup agresif sehingga memancing sua-
tu persekutuan untuk menentangnya. Bahkan tak lama setelah serang-
an udara NATO terhadap Yugoslavia, pasukan Amerika Serikat
sebagian besar disambut hangat oleh oleh kekuasaan setempat di Eropa
dan Asia Timur. Terlepas komentar sporadis dari pejabat Prancis, Rusia,

1 Lihat Robert G i l p i n , War and Change in World Politics (Cambridge:


Cambridge University Press, 1981); Paul M. Kennedy, The Rise and Fall of the
Great Powers (New York: Random House, 1987); dan Christopher Layne, " T h e
Unipolar Illusion: W h y New Great Powers Will R i s e / International Security, vol.
17 (Musim Semi 1993)'
2 William C. Wohlforth, " T h e Stability of a Unipolar W o r l d / International
Security, vol.24 (Musim Panas 1999).

254
Kehidupan Setelah Pax Amerikana

dan Cina mengenai perilaku Amerika yang berlebihan, Amerika Serikat


biasanya dipandang sebagai kekuatan yang tak membahayakan, dan
bukannya sebagai pemegang hegemoni yang gemar memangsa/

K E B A N G K I T A N EROPA

sepertinya berasal dari


D E N G A N DEMIKIAN,MEMUDARNYA KESATU-KUTUBAN

dua sumber baru: penggabungan regional di Eropa dan internasio-


nalisme yang menurun di Amerika Serikat. Eropa sedang berada di
tengah proses jangka panjang penyatuan ekonomi dan politik yang
secara bertahap menghapuskan makna perbatasan dan memusatkan
otoritas dan sumber daya. Tentu saja, Uni Eropa belum merupakan
pemerintahan yang padu dengan sebuah pusat otoritas tunggal. Ero-
pa juga tidak memiliki kemam-puan militer yang sepadan dengan
sumber daya ekonominya.
Namun jalur kecenderungan memang mengindikasikan bahwa
Eropa bergerak menjadi sebuah kutub kekuatan baru. Dengan pasar
tunggalnya yang sekarang disertai mata uang tunggal, Eropa mem-
punyai bobot kolektif dalam perdagangan dan keuangan untuk me-
nyaingi Amerika Serikat. Kekayaan rata-rata 15 anggota Uni Eropa
sudah hampir setara dengan Amerika, dan melihat negara-negara
demokrasi baru di Eropa Tengah yang segera bergabung, keseim-
bangan akan condong ke arah yang menguntungkan Eropa.
Eropa baru-baru ini juga memulai upaya-upaya pembuatan se-
buah kebijakan pertahanan bersama dan membangun kemampuan
militer yang dapat beroperasi secara mandiri dari pasukan Amerika
Serikat. Uni Eropa, yang telah menunjuk seorang ketua majelis untuk
mengawasi kebijakan keamanan, sedang memantapkan sebuah unit
perencanaan kebijakan, dan mulai meletakkan dasar-dasar politik

* Tentang konsep kekuatan yang tak membahayakan, lihat Charles Kupchan,


"After Pax Americana: Benign Power, Regional Integration, and the Source of a
Stable Multipolarity," International Security r vol. 23 (Musim Gugur 1998)

255
Charles A. Kupchan

untuk mengubah kekuatannya. Butuh waktu berpuluh tahun, jika


terjadi, sebelum Uni Eropa menjadi sebuah negara terpadu, terutama
dengan adanya perluasan ke timur sebentar lagi. Namun, ketika
sumber dayanya bertambah dan pengambilan keputusannya men-
jadi lebih terpusat, kekuatan dan pengaruh akan terdistribusi lebih
merata antara dua sisi Atlantik.

KEENGGANAN AMERIKA

dan dampak perimbangannya atas distribusi


K E B A N G K I T A N EROPA

kekuatan global akan terjadi secara bertahap. Dampaknya yang lebih


langsung akan berupa berkurangnya kecenderungan internasional-
isme yang kuat di Amerika Serikat. Lanskap satu-kutub saat ini
berfungsi bukan hanya karena sumber kekayaan melimpah Amerika
melainkan juga karena kesediaannya untuk menggunakan kekayaan
ini untuk menjamin tatanan internasional. Dengan demikian, sean-
dainya keinginan politik untuk menanggung biaya dan risiko kepe-
mimpinan internasional menurun, menurun pula posisi Amerika
dalam keunggulan global.
Sepintas lalu, kecenderungan pemerintah Amerika akan inter-
nasionalisme tidak banyak menurun, jika penurunan itu memang
ada, sejak runtuhnya Uni Soviet. Baik pemerintahan Bush maupun
Clinton mengejar kebijakan luar negeri yang ambisius dan aktivis.
Amerika Serikat telah menjadi yang terdepan dalam pembangunan
ekonomi internasional yang terbuka dan mempromosikan stabilitas
keuangan, dan ia berulang kali mengirimkan pasukannya ke ka-
wasan bermasalah di seluruh dunia. Internasionalisme Amerika se-
karang berada di titik tertinggi dan, karena tiga alasan yang memak-
sanya, ia akan mulai menyurut di tahun-tahun mendatang.
Pertama, internasionalisme pada 1990-an ditopang oleh sebuah
periode pertumbuhan ekonomi yang belum pernah ada sebelumnya
di Amerika Serikat. Pasar saham yang meledak, ekonomi yang mem-
besar, dan surplus anggaran yang substansial telah menciptakan at-

256
Kehidupan Setelah Pax Amerikana

mosfer politik yang kondusif untuk liberalisasi perdagangan, belanja


militer, dan keterlibatan dalam pemecahan masalah-masalah di ba-
gian dunia lain yang kurang beruntung.
Namun, bahkan dalam kondidi-kondisi yang menguntungkan
ini, agenda intcrnasionalis telah menunjukkan tanda-tanda menu-
run. Kongres, misalnya, memperlihatkan antusiasme yang berubah-
ubah terhadap perdagangan bebas, dengan menyetujui NAFTA pada
1993 dan Putaran Uruguay pada 1994, namun kemudian menolak
otoritas negosiasi jalur cepat Presiden Clinton pada 1997. Kongres
juga telah bersikap skeptis terhadap campur tangan Amerika di Bos-
nia dan Kosovo, menoleransinya, tetapi tak lebih dari itu. Ketika
pasar saham tersendat dan pertumbuhan mandek (dan ini masalah
kapan, bukan seandainya) arus orientasi ke dalam negeri sendiri
akan tumbuh semakin kuat. Dukungan kecil untuk perdagangan
bebas yang masih ada akan makin berkurang. Dan penghematan
semacam ini sepertinya akan menyebar dalam wilayah keamanan.
Debat intens akan tersulut di dalam negeri mengenai pembagian
beban dan akan meminta Kongres menuntut mitra regional Amerika
untuk ikut lebih memikul tanggung jawab pertahanan.

Kedua, meskipun Amerika Serikat telah menggelar kebijakan per-


tahanan yang sangat aktivis selama 199ü-an, ia melakukan hal ter-
sebut dengan biaya yang terhitung murah. Clinton berulang kali
mengizinkan penggunaan kekuatan di Balkan dan Timur Tengah.
Namun, ia hampir sepenuhnya mengandalkan kekuatan udara, dan
berhasil menghindari jatuhnya korban yang biasanya mengiringi
penggunaan pasukan darat dalam pertempuran. Di Somalia, sebuah
kasus yang membuat pasukan darat Amerika Serikat menderita ke-
rugian besar telah memaksa Clinton memberi perintah penarikan
pasukan Amerika Serikat dari operasi. Dalam serangan NATO ter-
hadap Yugoslavia, minggu demi minggu pengeboman hanya mem-
perburuk krisis kemanusiaan dan meningkatkan penyebaran konflik
serupa ke arah selatan. Meskipun demikian, Amerika Serikat tak
mau menggunakan pasukan darat dan berkeras menggunakan bom
udara dari ketinggian 15 ribu kaki untuk menghindari tembakan.

257
Charles A. Kupchan

Kongres tetap menentangnya sekalipun batasan-batasan operasio-


nal ini telah membuat risiko jadi minimal bagi personel Amerika Serikat.
Sebulan serangan berjalan, Dewan Perwakilan Rakyat memberi suara
249 banding 180 untuk menolak pendanaan bagi pengiriman pasukan
darat Amerika Serikat ke Yugoslavia tanpa izin dari Kongres. Bahkan
sebuah resolusi yang semata-mata mendukung serangan pengeboman
pun gagal mendapatkan persetujuan (suara yang didapat 213 banding
213). Pendeknya, pemerintah Amerika tampaknya tak pimva toleransi
untuk korban sekecil apa pun. Ilusi bahwa internasionalisme bisa
dipelihara dengan korban jiwa yang minimal atau sama sekali tak-ada
sepertinya akan kembali menghantui Amerika Serikat di tahun-tahun
mendatang, dan membatasi kemampuannya untuk menggunakan
kekuatan dalam cara yang tepat saat dibutuhkan.
Ketiga, perubahan generasi sepertinya akan membawa kerugian
pada karakter dan cakupan keterlibatan Amerika Serikat di luar ne-
geri. Warga Amerika yang lebih muda yang sudah naik ke posisi-
posisi yang berpengaruh dalam sektor publik dan swasta tidak
mengalami hidup di masa Perang Dunia II dan pembangunan kem-
bali Eropa yang berfungsi sebagai jangkar sejarah internasionalisme.
Orang-orang yang bersekolah pada 1990-an dan sekarang memasuki
duna kerja bahkan tidak punya pengalaman langsung Perang Di-
ngin. Orang-orang Amerika ini tidak lantas jadi isolasionis, namun
sudah pasti mereka tak begitu tertarik dan kurang paham tentang
masalah luar negeri daripada kolega mereka yang lebih tua—sebuah
pola yang telah terlihat jelas di Kongres. Dengan tidak-adanya an-
caman nyata terhadap keamanan nasional Amerika, makin lama ma-
kin sulit mencari alasan bagi keterlibatan dan pengorbanan di luar
negeri. Garis kecenderungan jelas mengarah ke dalam negeri, ke
sebuah negara vang lelah membawa beban kepemimpinan global.

K A B A R BURUK D A N BAIK

bahwa stabilitas global yang telah dihasilkan


K A B A R BURUKNYA ADALAH

oleh kesatu-kutuban tampaknya akan berada dalam bahaya saat keku-

258
Kehidupan Setelah Pax Amerikana

atan terdistribusikan secara lebih setara dalam sistem internasional.


Kabar baiknya adalah bahwa perubahan struktural ini akan berlangsung
melalui berbagai mekanisme yang berbeda dari masa lalu, dan dengan
demikian mungkin lebih mudah untuk ditangani secara damai
Penantang yang muncul adalah Eropa, bukan sebuah negara se-
rikat dengan ambisi hegemonik, Aspirasi Eropa akan terlunakkan
oleh mekanisme swaperiksa (self-checking) yang lekat di dalam Uni
Eropa dan oleh kendala budaya dan bahasa untuk sentralisasi. Selain
itu, Amerika Serikat sepertinya akan bereaksi dengan mundur dan
memberi ruang kepada Uni Eropa yang lebih independen yang
tampaknya siap untuk lebih mandiri dan lebih bertenaga. Tidak se-
perti pemegang hegemoni di masa silam, Amerika Serikat tidak akan
bertempur sampai penghabisan untuk mempertahankan keunggul-
annya dan mencegah kemerosotannya karena penantang yang mun-
cul, Sebaliknya, Amerika Serikat akan menyerahkan kepemimpinan
dengan senang hati karena ekonominya melambat dan makin letih
menjadi penjamin pamungkas keamanan.
Dengan demikian, prospeknya bukanlah sebuah pertempuran pa-
ra titan, melainkan tidak ada titan sama sekali. Wilayah-wilayah yang
terbiasa bersandar pada sumber daya dan kepemimpinan Amerika
untuk menjaga perdamaian mungkin akan dibiarkan untuk mem-
pertahankan diri mereka sendiri. Inilah alasan-alasan utama menga-
pa tantangan untuk strategi besar saat abad berikutnya menjelang
adalah menyapih Eropa dan Asia Timur dari ketergantungan mereka
terhadap Amerika Serikat dan menempatkan pengaturan-pengatur-
an yang akan mencegah kembalinya perimbangan yang kompetitif
dan persaingan regional usai pemangkasan yang dilakukan Amerika.

EROPA

tantangan dalam waktu dekat bagi


S U N G G U H M E N G U N T U N G K A N BAHWA

keunggulan Amerika Serikat datang dari Eropa. Setelah bekerjasama


erat puluhan tahun, Eropa dan Amerika menikmati tingkat keper-
cayaan dan hubungan timbal-balik yang belum pernah terjadi se-

259
Charles A. Kupchan

belumnya. Negara-negara Eropa berjalan seiring di bawah kepemim-


pinan Amerika Serikat bukan karena mereka tak punya kekuatan
dan pegaruh untuk melakukan hal yang sebaliknya. Terlepas per-
tengkaran-pertengkaran kecil, mereka menyambut baik label khusus
tatanan internasional yang dijaga oleh Amerika Serikat. Distribusi
kekuatan yang lebih merata sepanjang Atlatik tak diragukan lagi
akan menghasilkan peningkatan kompetisi antara Eropa yang ber-
satu dan Amerika Serikat. Namun konflik semacam ini sepertinya
akan terbatas pada persoalan ekonomi dan terlingkupi oleh manfaat
bersama yang akan dipetik dari perdagangan dan investasi tingkat
tinggi. Selain itu, nilai-nilai yang kebetulan mendasari Amerika Uta-
ra dan Eropa punya makna bahwa ketika terdapat kepentingan yang
berbeda sekalipun, hal ini sepertinya tak akan diikuti oleh persaingan
geopolitik. Upaya-upaya untuk menjaga konsensus Atlantik sangat
mungkin membawa ke pertautan yang paling rendah dan mengha-
silkan ketiadaan tindakan (seperti yang terjadi berkali-kali di Bal-
kan). Namun sulit membayangkan Amerika Serikat dan Eropa terli-
bat dalam konflik bersenjata.

Dalam pengertian ini, perhatian utama untuk dekade yang akan


datang bukanlah munculnya perimbangan antara Eropa dan Ame-
rika Serikat, melainkan munculnya kembali perimbangan dan per-
saingan di dalam sebuah Eropa yang tak lagi berada di bawah perlin-
dungan Amerika. Uni Eropa semakin mantap dalam mengukuhkan
sebuah tatanan regional yang tak terpengaruh oleh penarikan kem-
bali kekuatan Amerika. Melalui sebuah proses kedaulatan bersama
yang mantap, Eropa telah menumbuhkan sebuah karakter dan iden-
titas supra-nasional yang membuat integrasi tak bisa dibalikkan lagi.
Meskipun begitu, sebuah pemerintah Eropa yang mandiri dan padu
yang memberi rasa aman mensyaratkan bahwa Eropa dan Amerika
Serikat mesti bekerja sama menggelar tiga inisiatif.

CELAH KESEMPATAN

meneruskan langkah awal yang telah di-


P E R T A M A - T A M A , EROPA HARUS

jalankannya untuk menciptakan suatu kemapanan militer yang

260
Kehidupan Setelah Pax Amerikana

mampu memikul misi besar tanpa bantuan pasukan Amerika Seri-


kat. Amerika Serikat harus jauh lebih siap dalam menyambut inisiatif
ini, dan berhenti mencemaskan bahwa militer Eropa yang mandiri
akan melemahkan jalinan keamanan transatlantic Caranya, menye-
ru orang-orang di Kongres untuk penarikan pasukan Amerika Seri-
kat. NATO akan jauh lebih perkasa dalam waktu lima tahun dari
sekarang sekiranya Eropa memikul beban yang seimbang ketimbang
jika Kongres terus memperbolehkan sebuah Eropa yang membon-
ceng pasukan Amerika. Sebuah militer Eropa yang kuat tidak berarti
penendangan Amerika Serikat dari benua tersebut. Sebaliknya, hal
ini malah akan meningkatkan peluang munculnya kemitraan trans-
atlantik yang dewasa dan berimbang, sementara Amerika tetap
mempertahankan kehadirannya di Eropa.
Eropa sekarang mempunyai sebuah celah kesempatan untuk
membuat kemajuan serius pada sektor pertahanan. Sejumlah faktor
memungkinkan terbukanya kesempatan ini: Kesanggupan Inggris
untuk memimpin pembentukan sebuah kebijakan pertahanan ko-
lektif; pengakuan di dalam tubuh Uni Eropa akan ketergantungan
berlebihan pada kemampuan Amerika Serikat (yang terlihat jelas
lewat serangan terhadap Yugoslavia); dan pengangkatan sebuah Ko-
misi Eropa yang baru, dengan Romani Prodi sebagai presidennya
dan Javier Solana sebagai ketua majelis kebijakan keamanan.
Prioritas-prioritas utama bagi anggota Uni Eropa mencakup per-
geseran ke arah pasukan yang sepenuhnya-sukarela sehingga be-
lanja pertahanan bisa digunakan untuk membeli alat-alat dan aset
proyeksi-kekuatan, dan bukannya untuk membiayai para wajib mili-
ter yang tidak cakap. Industri pertahanan Eropa mesti dikonsolida-
sikan untuk meningkatkan neraca ekonominya, dan lebih banyak
uang yang seharusnya dipakai untuk riset dan pengembangan serta
peningkatan kecanggihan teknologi senjata dan sistem intelijen. Ero-
pa juga harus membuat keputusan sulit mengenai tugas yang tepat
bagi negara-negara anggotanya jika ingin membangun sebuah struk-
tur kekuatan yang imbang dan cakap.
Mempromosikan perdamaian yang stabil di Eropa tenggara ada-
lah hal penting kedua dari urusan yang belum selesai bagi Eropa
dan Amerika Serikat. Tugas penghentian konflik etnik di Balkan ber-

261
Charles A. Kupchan

ulangkah telah melumpuhkan NATO dan Uni Eropa sepanjang de-


kade ini, Eropa yang bersatu akan mengalami kemunduran yang
menyedihkan seandainya NATO gagal bertindak di Bosnia dan Ko-
sovo. Sekarang saat pertempuran sudah berhenti, komunitas inter-
nasional mesti memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun
perdamaian abadi. Tujuan ini pada akhirnya bermakna penarikan
negara-negara Balkan ke dalam Uni Eropa. Yang tak kalah penting-
nya adalah pemulihan hubungan baik antara Yunani dan Turki dan
resolusi mengenai masalah Siprus. Hal ini penting sekira-nya Eropa
ingin terhindar dari krisis terus-menerus di wilayah tenggaranya.
Karena Amerika Serikat bertanggung jawab untuk membantu me-
mastikan Eropa tak lagi menjadi korban tak berdaya dalam persa-
ingan antarnegara, Amerika harus menjadikan Eropa tenggara se-
bagai prioritas regional tertingginya.
Merangkul Rusia dalam sebuah Eropa yang lebih luas adalah
langkah ketiga yang diperlukan untuk mencegah kembalinya per-
saingan dan pergeseran keseimbangan kekuatan di benua ini. Rusia
dalam tahun-tahun mendatang akan secara bertahap memulihkan
kembali posisinya sebagai salah satu kekuatan utama Eropa. Jika
Rusia disertakan ke dalam Eropa yang bersatu, sumber daya dan
pengaruhnya sepertinya akan membuat benua ini makin menyatu.
Jika Rusia dikeluarkan dari proyek Eropa, Rusia sepertinya akan
membentuk sebuah koalisi untuk mengimbangi Eropa. Tak bisa ti-
dak, perluasan NATO telah meningkatkan kemungkinan penyeim-
bangan semacam itu karena adanya prospek bahwa seluruh wila-
yah tepi barat Rusia akan berbatasan dengan Aliansi Atlantik.
Ketimbang menggunakan NATO untuk melindungi diri dari se-
buah ancaman yang tak lagi ada, para anggotanya seharusnya meng-
gunakan organisasi ini sebagai kendaraan untuk menambatkan Ru-
sia ke Eropa. 4 Uni Eropa adalah kendaraan yang lebih tepat untuk
tugas ini, namun pertambahan anggotanya sangat tertinggal bila

4Lihat Charles Kupchan, "Rethinking E u r o p e / The National Interest, no.56


(Musim Panas 1999)

262
Kehidupan Setelah Pax Amerikana

dibandingkan dengan NATO karena perubahan kelembagaan dan


biaya finansial yang mengikuti pertambahan anggota-anggota baru.
Lebih lanjut integrasi Rusia ke dalam komunitas Atlantik, sebagian
karena perlawanan Eropa dalam hal budaya, akan banyak memer-
lukan pengaruh dan kepemimpinan Amerika—aset-aset yang bisa
disediakan NATO. Meski masih menjadi juru-damai dan pelindung
Eropa, Amerika Serikat perlu memastikan bahwa Rusia disertakan
ke dalam proses bersejarah Eropa yang berkenaan dengan kerukun-
an dan integrasi.

ASIA TIMUR TERASING

untuk mengurangi ketergantungannya pada


M E N Y I A P K A N ASIA TIMUR

kekuatan Amerika merupakan tugas yang jauh lebih rumit dan


berbahaya daripada tugas serupa di Eropa. Perbedaan utamanya,
negara-negara Eropa memanfaatkan payung perlindungan Amerika
untuk mengejar rekonsiliasi, pemulihan hubungan baik, dan sebuah
agenda ambisius mengenai kerja sama dan integrasi regional. Ne-
gara-negara Eropa secara bersamaan telah berhasil dalam menata
sebuah tatanan regional yang sepertinya bisa bertahan kalau keku-
atan Amerika ditarik. Sebaliknya, negara-negara Asia Timur telah
bersembunyi di balik kehadiran Amerika, tak mengejar rekonsiliasi
maupun integrasi regional. Negara-negara besar Asia Timur masih
terasing satu sama lain.
Dengan demikian Amerika Serikat dihadapkan pada situasi per-
tukaran yang berat di Asia Timur, antara perimbangan yang dise-
babkan oleh perannya yang sangat dominan di wilayah itu dan per-
imbangan intraregional yang pasti akan muncul tak lama setelah
Amerika menarik diri. Kehadiran militer Amerika yang cukup besar
di Asia Timur telah menjaga perdamaian dan mengawasi persaingan
regional. Namun hal ini juga telah mengasingkan Cina dan memper-
tahankan sebuah lanskap politik yang terpolarisasi.
Saat kemampuan ekonomi dan militer Cina tumbuh, upayanya

263
Charles A. Kupchan

untuk membuat perimbangan terhadap Amerika Serikat bisa makin


lantang. Seandainya Amerika Serikat mundur dari perannya sebagai
wasit dan pelindung regional, hubungan Amerika dengan Cina akan
meningkat, namun ongkosnya adalah stabilitas regional. Jepang dan
Korea dapat dipastikan akan meningkatkan kemampuan militer me-
reka, dan risikonya adalah perlombaan senjata dan penyebaran kete-
gangan di seluruh wilayah ini.
jika Amerika Serikat ingin melepaskan diri dari dilema ini, ia
harus membantu memperbaiki perpecahan utama wilayah ini dan
memfasilitasi hubungan baik antara dua besar Asia Timur: Jepang
dan Cina. Seperti halnya rekonsiliasi antara Prancis dan Jerman me-
rupakan unsur penting dalam pembangunan zona damai yang stabil
di Eropa, pemulihan hubungan baik Cina-Jepang adalah kemutlakan
dalam tatanan regional yang mandiri di Asia Timur.
Tanggung jawab utama untuk memperbaiki hubungan Cina-Je-
pang berada di tangan Jepang. Dengan sistem ekonomi dan politik
yang jauh lebih maju daripada Cina, Jepang punya jauh lebih ba-
nyak ruang dalam menjajaki kemungkinan pembukaan hubungan.
Jepang juga bisa mengambil langkah besar ke depan dengan akhir-
nya mengakui dan secara resmi meminta maaf atas perilakunya sela-
ma Perang Dunia II. Amerika Serikat bisa meneruskan proses ini
dengan menyambut dan membantu memfasilitasi tawaran antara
Tokyo dan Beijing,
Washington juga harus membantu menghilangkan kelambanan
yang merembesi politik di Tokyo dengan menyadarkan Jepang bah-
wa mereka tak bisa selamanya mengandalkan Amerika untuk men-
jamin keamanan mereka. Dengan demikian Jepang perlu meman-
faatkan payung perlindungan Amerika selagi masih ada, dengan
menggelar kebijakan rekonsiliasi dan integrasi yang penting untuk
membangun sebuah tatanan keamanan regional yang bersandar pa-
da kerjasama dan bukannya penghadangan.
Jika tawaran dari Tokyo berhasil mengurangi ketegangan antara
Cina dan Jepang, Amerika Serikat akan bisa memainkan peran yang
lebih kecil di wilayah itu, dan hal ini memungkinkannya untuk bisa

264
Kehidupan Setelah Pax Amerikana

meningkatkan hubungan dengan Cina. Ketika pemulihan hubungan


baik Cina-Jepang berjalan dan memerlukan waktu, Washington ha-
rus menghindari retorika dan kebijakan yang mungkin menyulut
Cina menambah upayanya mengimbangi Jepang dan Amerika Seri-
kat. Bicara tentang ancaman militer Cina berikutnya akan kontra
produktif sekaligus salah arah; militer Cina masih jauh dari kelas
dunia. 5 Amerika Serikat juga harus menghindari tindakan-tindakan
provokatif, seperti menyebarkan pertahanan anti-peluru kendali di
medan Pasifik Barat atau mendukung kebijakan Taiwan yang ber-
gerak menuju kemerdekaan resmi. Cina dapat memainkan perannya
dalam memperkuat hubungannya dengan Amerika Serikat dengan
mengerem ancaman untuk menyerang Taiwan, menghentikan
ekspor senjata ke negara-negara bermasalah, dan menghindari tin-
dakan dan retorika yang bisa menyulut pertengkaran teritorial di
wilayah tersebut.

SEBUAH DEWAN GLOBAL

betul, konsekuensi paling berbahaya dari kembali-


JIKA ANALISIS SAYA
nya multipolaritas bukanlah perimbangan antara Amerika Utara,
Eropa, dan Asia Timur, melainkan munculnya kembali persaingan
nasional dan perimbangan persaingan di dalam Eropa dan Asia Ti-
mur saat penarikan diri Amerika berlanjut. Untuk alasan inilah stra-
tegi besar Amerika harus berfokus pada pemfasilitasan integrasi re-
gional di Eropa dan Asia Timur sebagai cara-cara untuk menyiapkan
kedua wilayah itu menerima tanggung jawab yang lebih banyak
dalam menangani masalah-masalah mereka sendiri.
Visi utama yang harus memandu strategi besar Amerika Serikat
adalah pembentukan sebuah dewan yang terdiri dari negara-negara

1 Lihat Bates Gill dan Michael O 'Hanlom. " C h i n a ' s Hollow Military." The
National Interest no. 56 (Musim Panas 1999); dan Gerad Segal, " D o e s China
Matter?" Foreign Affairs, vol. 78 (September/Oktober 1999)

265
Charles A. Kupchan

besar Amerika Utara, Eropa, dan Asia Timur. Negara-negara besar


ini secara bersama-sama menangani perkembangan dan mengatur
hubungan baik di dalam dan di antara wilayah-wilayah yang ber-
sangkutan.
Mengerahkan keinginan politik dan pandangan ke depan untuk
mengejar visi ini akan menjadi sebuah tugas vang luar biasa. Ame-
rika Serikat nantinya perlu mulai menyerahkan pengaruh dan oto-
nomi kepada wilayah-wilayah yang telah menjadi terlalu enak ka-
rena keunggulan Amerika. Baik negarawan Amerika, yang terbiasa
memerintah dan bertanggung jawab, maupun negarawan di Eropa
dan Asia, yang terbiasa melempar tanggung jawab, akan mendapati
bahwa transisi ini bukan sesuatu yang mudah.
Namun jauh lebih bijak dan aman untuk mendahului kurva ter-
sebut dan membentuk perubahan struktural yang disengaja, dari-
pada menyaksikan unipolaritas berubah dengan begitu saja menjadi
multipolaritas yang kacau-balau. Diperlukan satu dekade, atau ma-
lah mungkin dua dekade, bagi sebuah sistem internasional baru un-
tuk berkembang. Namun keputusan yang diambil oleh pemerin-
tahan Amerika pertama dalam abad keduapuluh satu akan memain-
kan peran penting dalam menentukan apakah multipo-laritas muncul
kembali dengan damai atau membawa pacuan kom-petitif yang di masa
silam telah begitu sering mengantarkan kita ke perang besar.

266
11

Keunggulan Amerika dalam Tinjauan

Stephen G Brooks dan William C Wohlforth*

DARI SATU K E K U A T A N K E KEKUATAN LAIN

LEBIH DARI dekade yang lalu, k o l u m n i s politik C h a r l e s


SATU

Krauthammer menyatakan dalam tulisannya kehadiran sesuatu


yang disebutnya "momen unipolar/' sebuah periode di mana ada
satu negara adidaya, Amerika Serikat, yang jelas-jelas berdiri di atas
seluruh komunitas internasional ("The Unipolar Moment/' Amerika
dan Dunia 1990/91). Tahun-tahun berikutnya Uni Soviet runtuh,
ekonomi dan militer Rusia merosot tajam, dan Jepang mandek, se-
mentara Amerika Serikat mengalami perluasan ekonomi yang
terlama dan merupakan salah satu yang terkuat sepanjang sejarah.
Namun, menjelang berakhirnya abad ini para pembaca menjumpai
ilmuwan politik Samuel Huntington berpendapat bahwa unipolari-
tas telah membuka jalan bagi struktur "uni-multipolar", yang pada
gilirannya akan segera menjadi multipolar yang sesungguhnya
("The Lonely Superpower/' Maret/April 1999). Terlepasdari retorika

4S T E P H E N G. B R O O K S adalah Assistant Professor dan W I L L I A M C. W O H L T O R T H

adalah Associate Professor pada Department of Government, Dartmouth College.


Dicetak kembali atas izin Foreign Affairs, July / A u g u s t 2002. Hak cipta © 2002
Council on Foreign Relations, Inc.

267
Stephen G. Brooks dan William C. Wbhl forth

yang berlebihan para pejabat Amerika, Huntington tidak sendirian


dengan pendapatnya ini. Jajak pendapat menunjukkan bahwa lebih
dari 40 persen penduduk Amerika setuju dengan anggapan bahwa
Amerika sekarang ini hanya satu dari beberapa kekuatan yang me-
mimpin—jumlahnya terus meningkat dalam beberapa tahun ini.
Mengapa argumen unipolaritas tampak kurang memikat bagi ba-
nyak orang bahkan ketika kekuatan Amerika Serikat terlihat sedang
membesar? Secara umum, karena tujuan telah bergeser Definisi
Krauthammer tentang unipolaritas, sebagai sebuah sistem dengan
satu kutub, masuk akal dalam waktu-waktu awal berakhir-nya Pe-
rang Dingin yang jelas-jelas terbentuk oleh keberadaan dua kutub.
Secara naluriah, masyarakat merasa bahwa sebuah dunia akan men-
jadi sangat berbeda dalam pelbagai hal penting tanpa adanya negara
besar yang sanggup mempertahankan persaingan kuatnya terhadap
Amerika Serikat.
Namun, sepuluh tahun kemudian yang semakin jelas terlihat bu-
kanlah tidak-adanya pesaing sebanding melainkan sejumlah masa-
lah di dunia yang terus berlangsung yang tak mampu diselesaikan
sendiri oleh Washington. Ini adalah konteks bagi definisi baru Hun-
tington tentang unipolaritas, sebagai sebuah sistem dengan "satu
adidaya, tanpa kekuatan-kekuatan besar yang signi-fikan, dan ba-
nyak kekuatan kecil." Menurut Huntington, kekuatan dominan da-
lam sistem yang seperti itu akan mampu "secara efektif menyele-
saikan sendiri persoalan-persoalan internasional, dan tidak ada ga-
bungan kekuatan dari negara-negara lain yang dapat mencegahnya
melakukan hal tersebut." Amerika Serikat tidak memiliki kemam-
puan itu sehingga dengan demikian tidak memenuhi syarat jadi adi-
daya dalam konteks ini.
Serangan teroris pada musim gugur lalu bagi sebagian pihak
nampak memperkuat pandangan ini, dan menyingkap tidak hanya
betapa rentannya Amerika, melainkan juga kebencian global anti-
Amerika yang begitu kuat. Tiba-tiba saja dunia terlihat lebih menge-
rikan, dengan bahaya yang mengintai di setiap sudut dan kewas-
padaan abadi menjadi harga yang harus dibayar untuk kebebasan.

268
Keunggulan Amerika dalam Tinjauan

Namun, seperti yang ditunjukkan oleh keberhasilan serangan mili-


ter di Afganistan, kerapuhan terhadap teror tidak banyak pengaruh-
nya pada kekuatan Amerika Serikat dalam urusan antarnegara yang
lebih biasa. Bahkan sebaliknya, reaksi Amerika terhadap berbagai
serangan tersebut—yang memperlihatkan kemampuannya untuk
menggelar kekuatan di beberapa wilayah dunia secara bersamaan,
dan pada dasarnya bersifat unilateral, meski dengan demikian men-
dongkrak belanja pertahanan sampai hampir $50 miliar—hanya
mempertegas keunikan posisinya.
Bila keunggulan Amerika saat ini tidak merupakan unipolaritas,
tidak akan ada yang bisa. Satu-satunya hal yang tersisa untuk diper-
debatkan adalah berapa lama ini hal ini akan berlangsung dan apa
implikasinya bagi kebijakan luar negeri Amerika.

PILIH S A T U C A R A , A P A P U N ITU

U N T U K MEMAHAMI SEBERAPAdominan Amerika sekarang ini, kita perlu


melihat setiap komponen standar kekuatan nasional secara berurut-
an. Di bidang militer, pada 2003 Amerika Serikat dengan enteng me-
ngucurkan belanja pertahanan yang jumlahnya lebih besar daripada
gabungan 15-20 negara pembelanja terbesar. Amerika Serikat me-
miliki keunggulan nuklir yang luar biasa, angkatan udara paling
dominan di dunia, angkatan laut paling tangguh, dan kemampuan
unik untuk menebar kekuasaan ke Seantero dunia. Keunggulan mi-
liternya bahkan lebih terlihat lagi dalam perkara kualitas daripada
kuantitas. Amerika Serikat memimpin dunia dalam memanfaatkan
penerapan militer dari teknologi komunikasi dan informasi yang
canggih, dan memperlihatkan kemampuan tak tertandingi dalam
mengordinasi dan memproses informasi tentang medan peperangan,
dan menghancurkan sasaran jarak jauh dengan ketepatan yang
sangat menakjubkan. Washington tidak akan gampang disaingi ne-
gara-negara lain, mengingat adanya jurang yang sangat lebar dalam
anggaran riset dan pengembangan militer, di mana Amerika Serikat

269
Stephen G. Brooks dan William C. Wbhl forth

mengeluarkan dana tiga kali lipat lebih besar daripada gabungan


enam negara. Dari sisi lain, baru-baru ini Amerika Serikat mengu-
curkan dana untuk riset dan pengembangan militer yang jumlahnya
lebih besar daripada yang dikeluarkan Jerman dan Inggris untuk
pertahanan secara keseluruhan.
Tidak ada negara dalam sejarah politik internasional modem yang
mampu mendekati dominasi militer yang ditunjukkan angka-angka
ini. Dan biaya yang dikeluarkan Amerika Serikat untuk mendapat-
kan keunggulan ini hanyalah 3,5 persen dari PDB-nya. Seperti yang
dicatat sejarawan Paul Kennedy/ "Menjadi Nomor Satu dengan biaya
yang besar adalah satu hal; menjadi satu-satunya adidaya dengan
murah merupakan hal yang sangat mencengangkan."
Sementara itu, dominasi ekonomi Amerika—kurang lebih sama
dengan gabungan beberapa negara terkaya berikutnya atau seluruh
sisa dunia disatukan—melampaui negara besar mana pun dalam
sejarah modem, dengan satu-satunya perkecualian adalah keada-
annya sendiri setelah 1945 (ketika Perang Dunia II sesaat memukul
negara-negara ekonomi besar lainnya). Belakangan ini ekonomi Ame-
rika Serikat dua kali lebih besar daripada pesaing utamanya, Jepang.
Ekonomi California saja telah meningkat menjadi yang kelima terbesar
di dunia (menggunakan perkiraan nilai tukar pasar), lebih tinggi
dibandingkan Prancis dan hanya satu langkah di belakang Inggris.
Memang benar bahwa ekspansi lama pada 199Ü-an telah lewat,
tetapi Amerika Serikat tak mungkin lagi kembali ke posisi ekono-
minya pada 1991 kecuali ada kejadian luar biasa seperti yang dialami
Jepang dalam dekade 1990-an: resesi domestik yang sangat dalam
dan berkepanjangan sementara pertumbuhan pesat di mana-mana.
Maka, peluang untuk penurunan relatif semacam itu kecil, sebagian
karena Amerika Serikat adalah negara dengan posisi terbaik untuk
mengambil keuntungan dari globalisasi. Status-nya sebagai tujuan
utama pekerja asing yang terlatih secara ilmiah menguat selama
1990-an, dan ia merupakan tujuan paling lazim bagi perusahaan-
perusahaan asing. Pada 1999 ia menarik lebih dari sepertiga aliran
investasi langsung asing di dunia.

270
Keunggulan Amerika dalam Tinjauan

Akhirnya, dominasi militer dan ekonomi Amerika Serikat ber-


akar pada posisi negara ini sebagai negara teknologi termaju dunia.
Sekalipun makin sulit mengukur belanja riset dan pengembangan
nasional di era ketika begitu banyak kegiatan ekonomi yang melin-
tasi tapal batas, upaya-upaya untuk melakukannya mengisyaratkan
masih berlanjutnya keunggulan Amerika. Angka-angka dari akhir
1990-an memperlihatkan bahwa pengeluaran Amerika Serikat untuk
riset dan pengembangan hampir sama dengan gabungan tujuh ne-
gara terkaya.
Pengukuran tingkat dominansi Amerika di setiap kategori mulai
membuat banyak hal terlihat lebih jelas. Tetapi vang sesungguhnya
membedakan sistem internasional saat ini adalah terus bertahannya
dominasi Amerika di semua lini. Negara-negara besar sebelumnya
di era modern biasanya kuat dalam bidang perdagangan dan ang-
katan laut atau angkatan darat, tidak pernah semuanya. Kerajaan
Inggris pada masa jayanya dan Amerika Serikat selama Perang Di-
ngin, misalnya, masing-masing berbagi dunia dengan negara-negara
lain yang menyamai atau atau bahkan melebihi mereka di beberapa
bidang. Seusai perang dengan Napoleon, Kerajaan Inggris tak pelak
merupakan pemimpin dunia di bidang perdagangan dan angkatan
laut. Tetapi bahkan pada puncak Pax Britannica, Inggris Raya masih
kalah dalam hal perbelanjaan, jumlah tentara, dan persenjataan baik
oleh Prancis maupun Rusia. Dan PDB Inggris yang jumlahnya sebe-
sar 24 persen dari PDB keseluruhan enam negara besar pada awal
1870-an bisa disamai oleh Amerika Serikat, dengan Rusia dan Jerman
di belakangnya. Hal yang serupa terjadi di awal Perang Dingin, Ame-
rika Serikat jelas dominan dalam ekonomi, kekuatan udara, dan juga
kekuatan laut. Tetapi, Uni Soviet masih unggul dalam jumlah kesa-
tuan militer secara keseluruhan, dan berkat geografi dan investasi-
nya di angkatan darat, ia memiliki kemampuan yang lebih unggul
untuk mencaplok wilayah di Eurasia

Sebaliknya, Amerika Serikat sekarang ini tidak memiliki lagi pe-


saing dalam semua dimensi kekuatan yang penting. Tidak pernah
ada sebuah sistem negara-negara berdaulat yang memiliki satu nega-

271
Stephen G. Brooks dan William C. Wbhl forth

ra dengan derajat dominasi sebesar ini. Kecenderungan akhir-akhir


ini untuk mempersamakan unipolaritas dengan kemampuan untuk
mencapai hasil yang diinginkannya dalam semua hal tanpa bantuan
luar hanya makin memperkuat poin ini; tak ada sistem internasional
sebelum ini yang bisa ditandingkan dengan keadaan ini.

D A P A T K A H IA B E R T A H A N ?

banyak pihak yang mengakui besarnya kekuatan


M E S K I P U N DEMIKIAN,

Amerika memandang hal ini sebagai sesuatu yang pada dasarnya


menyangkal diri-sendiri. Menurut mereka, negara-negara lain bia-
sanya akan bergabung untuk membendung calon pemegang kekua-
saan tertinggi, dan kali ini tidak akan ada bedanya. Sebagaimana
kata pengamat politik Jerman Josef Joffe, "Buku-buku sejarah me-
nyebutkan bahwa Tuan Besar selalu mengundang keruntuhannya
sendiri. No. 2 , 3 , 4 akan bergabung melawannya, membangun aliansi
tandingan dan merencanakan kejatuhannya. Hal itu terjadi pada
Napoleon, sama seperti yang menimpa Louis XIV dan Hapsburgs
yang sangat kuat, juga Hitler serta Stalin. Kekuasaan selalu memicu
kekuasaan tandingan yang kuat; inilah aturan tertua politik dunia."
Namun, apa yang diabaikan oleh argumen-argumen di atas ada-
lah keistimewaan posisi Amerika pasca-Perang Dingin yang membu-
atnya condong melawan kecenderungan sejarah. Dibatasi oleh sa-
mudra di bagian barat dan timur, negara-negara lemah dan bersa-
habat di utara dan selatan, Amerika Serikat tidaklah seteran-cam
calon-calon penguasa tertinggi sebelumnya, sekaligus tidak begitu
mengancam bagi yang lain. Calon penantang utama terhadap unipo-
laritas Amerika sementara ini—Cina, Rusia, Jepang, dan Jerman—
berada di posisi yang berlawanan. Mereka tidak dapat memperkuat
kemampuan militer mereka untuk mengimbangi Amerika Serikat
tanpa serentak menjadi sebuah ancaman nyata bagi tetangga mereka.
Politik, pun politik internasional, adalah bersifat lokal. Walaupun
kekuatan Amerika menarik banyak perhatian secara global, negara-

272
Keunggulan Amerika dalam Tinjauan

negara biasanya lebih memperhatikan kawasan mereka sendiri da-


ripada keseimbangan global. Sekiranya ada penantang potensial
berusaha sungguh-sungguh mengejar Amerika, upaya-upaya
penycimbangan regional sudah hampir pasti akan membantu memben-
dung mereka, sementara kekuatan laten Amerika yang masif juga bisa
dimobilisasi seperlunya untuk memangkas ancaman yang muncul.
Ketika para analis merujuk pola sejarah dari upaya perimbangan
terhadap kekuatan-kekuatan yang berpotensi mendominasi, mereka
jarang mencatat bahwa kasus-kasus yang dipermasalahkan—kekua-
saan Hapsburg, Prancis era Napoleon, Uni Soviet semasa Perang
Dingin, dan seterusnya—menampilkan bakal hegemon yang rapuh,
mengancam, terletak di tengah-tengah, dan dominan hanya pada
satu atau dua komponen kekuatan. Selain itu, spesialisasi para bakal
hegemon ini mengambil bentuk kekuatan yang sama persis, yaitu
kemampuan untuk merebut teritori, yang sangat mungkin mence-
maskan negara-negara lain sehingga mereka masuk ke dalam koalisi
anti-hegemoni. Sebaliknya, kemampuan Amerika relatif lebih besar
dan komprehensif daripada para pemegang hegemoni tempo dulu,
karena hegemon masa silam ini tinggal jauh di seberang lautan, dan
mereka memiliki bakal penyeimbang sendiri yang berupa tetangga
satu kawasan. Kekuatan Amerika Serikat juga berada dalam koman-
do satu pemerintahan, sehingga calon penyeimbang akan mengha-
dapi tantangan besar dalam bertindak secara kolektif untuk me-
ngumpulkan dan mengoordinasi kemampuan militer mereka.

Di samping itu, pengalaman sejarah sebelumnya dalam ihwal


penyeimbangan melibatkan kelompok-kelompok dari berbagai ke-
kuatan status quo yang ingin membendung sebuah negara revisionis
yang sedang muncul. Para penyeimbang tersebut merasa terancam
jika calon pemegang hegemoni leluasa bergerak. Namun, saat ini
dominasi Amerika Serikat adalah status quo itu sendiri. Beberapa
negara besar dalam sistem tersebut telah bersekutu erat dengan
A m e r i k a S e r i k a t s e l a m a b e r p u l u h tahun dan m e m p e r o l e h
keuntungan yang besar dari posisi mereka. Jika ingin mengimbangi,
mereka bukan saja harus melepas keuntungan-keuntungan tersebut,

273
Stephen G. Brooks dan William C. Wbhl forth

tetapi juga harus mencari semacam cara untuk menyatukan aliansi


yang padu dan tahan lama sementara Amerika mengawasinya. Ini
merupakan poin yang sangat penting, karena walaupun ada bebe-
rapa preseden bagi sebuah koalisi penyeimbang untuk mencegah
munculnya satu hegemon, kelompok negara subordinat ini tak akan
bisa melakukan apa-apa untuk menggulingkan hegemon begitu ia
sudah muncul, dan hal ini yang bakal terjadi pada saat ini.
Akhirnya, sifat kekuatan Amerika Serikat yang komprehensif juga
menyisihkan peluang adanya upaya besar penyeimbangan, apalagi
menggantikannya. Amerika Serikat besar sekaligus kaya, sedangkan
para penantang potensialnya cuma punya salah satu kekuatan. Perlu
waktu setidaknya satu generasi bagi negara-negara besar lain yang
ada sekarang ini (seperti Cina dan India) untuk menjadi kaya, dan
mengingat angka kelahiran yang terus menurun di negara-negara
kaya lainnya, mereka tidak akan menjadi besar, paling tidak dalam
pengertian relatif. Selama tahn 1990-an, populasi Amerika Serikat
meningkat 32,7 juta—jumlah yang setara dengan setengah lebih
populasi Prancis atau Inggris saat ini.
Beberapa orang mungkin akan berpendapat bahwa Uni Eropa me-
rupakan sebuah perkecualian bagi kaidah besar-atau-kaya. Benar bahwa
sekiranya Brussel ingin mengembangkan kemampuan militer serta
menggunakan kekuatan kolektif latennya seperti sebuah negara, Uni
Eropa jelas merupakan satu kutub lain. Tetapi pendirian sebuah
pertahanan yang otonom dan padu serta kapasitas industri pertahanan
yang dapat bersaing dengan apa yang dimiliki Amerika Serikat akan
menjadi tugas raksasa. Uni Eropa sedang berusaha untuk membentuk
pasukan reaksi cepat berkekuatan 60 000 orang yang dirancang untuk
operasi yang lebih kecil seperti bantuan kemanusiaan, penjaga per-
damaian, dan manajemen krisis, namun pasukan ini tidak mempunyai
unsur-unsur penting kemiliteran seperti kemampuan pengumpulan
intelijen, pengangkutan udara, serangan terhadap pertahanan udara,
pengisian bahan bakar di udara, transportasi laut, perawatan kesehatan,
dan operasi pencarian dan penyelamatan dalam pertempuran—dan
balikan bila ia memiliki semua kemampuan itu, mungkin pada akhir

274
Keunggulan Amerika dalam Tinjauan

dekade ini, ia masih akan bergantung pada komando dan pengawasan


NATO serta aset-aset lainnya.
Selain itu, kemampuan apa pun yang akhirnya dicapai Uni Eropa
akan bermakna hanya sampai tingkat di mana kemampuan itu ber-
ada di bawah pengawasan badan pembuat keputusan yang bertin-
dak seperti negara dengan otoritas untuk bertindak dengan segera
dan tegas atas nama Eropa. Otoritas semacam ini, yang belum ter-
bentuk bahkan untuk masalah keuangan internasional, hanya bisa
didapatkan dengan melakukan guncangan langsung ke inti kedau-
latan negara-negara Eropa. Dan semua ini baru akan terjadi apabila
Uni Eropa menambah sepuluh atau lebih negara anggota baru, sebu-
ah proses yang akan merumitkan upaya pendalaman lebih jauh.
Mengingat kendala-kendala ini, sepertinya Eropa tidak akan muncul
sebagai aktor dominan dalam bidang militer untuk waktu yang lama,
bahkan mungkin untuk selamanya.
Oleh sebab itu, kebanyakan analis yang mencari pesaing masa
depan yang sepadan bagi Amerika Serikat memusatkan perhatian
ke Cina, karena Cinalah satu-satunya negara yang berpotensi me-
nandingi ukuran ekonomi Amerika Serikat selama beberapa dekade
mendatang. Namun, sekalipun Cina akhirnya dapat mengejar Ame-
rika Serikat dalam angka pendapatan per kapita secara keseluruhan,
masih ada jurang yang menganga di antara dua negara ini dalam
masalah kemampuan teknologi, militer, dan geografis.
Sejak pertengahan 1990-an, para ahli strategi Cina sendiri makin
mengurangi sesumbar ihwal kemampuan negara mereka untuk me-
nutup jurang perbedaan itu dalam waktu singkat dengan apa yang
mereka sebut "kekuatan nasional yang komprehensif". Perkiraan
terbaru dari badan intelijen Cina menyebutkan bahwa pada 2020
negara ini akan memiliki kekayaan sepertiga lebih sedikit dan sedikit
lebih dari setengah kemampuan Amerika Serikat. Limapuluh persen
tenaga kerja Cina bekerja di bidang pertanian, dan sedikit saja dari
ekonominya yang berderak menuju teknologi tinggi. Pada 1990-an,
belanja Amerika Serikat untuk pengembangan teknologi 20 kali lipat
dibandingkan Cina. Kebanyakan persenjataan Cina sudah keting-

275
Stephen G. Brooks dan William C. Wbhl forth

galan satu dekade. Dan tak ada yang bisa Cina lakukan untuk meng-
hindar dari kondisi geografisnya. Cina dikelilingi oleh negara-negara
yang memiliki motivasi dan kemampuan untuk bergabung mem-
perkuat diri bila sewaktu-waktu Cina mulai membangun kekuatan
militer besar-besaran.
Semua ini bukan hanya fakta-fakta tentang sistem saat ini; me-
reka diakui sebagai sistem yang berlaku oleh pemain-pemain besar
yang terlibat. Hasilnya, tidak ada tantangan global bagi Amerika
Serikat yang akan muncul dalam waktu dekat. Tidak ada negara,
atau kelompok negara, yang ingin menceburkan dirinya ke dalam
sebuah situasi di mana ia akan berhadapan dengan permusuhan
langsung dari Amerika Serikat.
Dua sebab utama dari konflik negara besar di masa lalu—persa-
ingan hegemonik dan salah-pengertian—tidak berlaku di politik du-
nia dewasa ini. Di awal abad ke-20, Jerman yang kuat secara militer
menantang kepemimpinan Inggris. Hasilnya adalah Perang Dunia I.
Di pertengahan abad ke-20, kepemimpinan Amerika seperti ditan-
tang oleh Uni Soviet yang kuat secara militer dan ideologi. Hasilnya
adalah Perang Dingin. Namun, dominasi Amerika Serikat saat ini
menghalangi munculnya tantangan yang sepadan, dan oleh sebab
itu juga menghalangi munculnya konflik global yang setimpal. Selain
itu, karena Amerika Serikat terlalu kuat untuk diimbangi, makin
berkurang bahaya perang yang timbul dari salah-pengertian, salah
perhitungan, perlombaan senjata, dan seterusnya yang lazimnya me-
warnai upaya-upaya penyeimbangan. Para pengamat sering menye-
sali tidak-adanya seorang Bismarck di masa pasca-Perang Dingin. Un-
tungnya, selama unipolaritas bertahan, kita tidak memerlukannya.

POLITIK UNIPOLAR

bahwa tidak ada proses penyeimbang-


K E S I M P U L A N YANG MENYATAKAN

an yang berjalan mungkin mengundang pertanyaan banyak pihak


di saat maraknya parade kombinasi diplomasi yang sepertinya anti-

276
Keunggulan Amerika dalam Tinjauan

Amerika Serikat dalam tahun-tahun terakhir ini: "Troika Eropa" yang


terdiri dari Prancis, Jerman, dan Rusia; "hubungan khusus" antara
Jerman dan Rusia; "segitiga strategis" Rusia, Cina dan India; "kemitraan
strategis" antara Cina dan Rusia; dan seterusnya. Namun, pengamatan
yang mendalam pada kemitraan yang mana saja akan memperlihatkan
bahwa retorika mereka berlawanan dengan karakter substantifnya.
Penyeimbangan yang nyata melibatkan biaya perekonomian dan politik
yang nyata, yang baik Rusia, Cina, ataupun negara besar lainnya belum
menunjukkan kesanggupan untuk menanggungnya.
Cara yang paling bisa dipercaya untuk menyeimbangkan kekuatan
adalah dengan meningkatkan biaya pertahanan. Namun, sejak 1995,
belanja militer sebagian besar negara-negara kuat menurun relatif
terhadap PDB, dan di kebanyakan kasus anggaran pertahanan ini juga
menurun dalam pengertian absolut. Paling-paling, koalisi perlawanan
ini kadang kala berhasil membuat frustrasi inisiatif kebijakan Amerika
Serikat karena semula mem-perkirakan biaya yang diperlukan untuk
pelaksanaan kebijakan rendah saja. Pada saat yang sama, Beijing, Mos-
kow, dan yang lainnya telah menunjukkan keinginan untuk bekerja
sama dengan Amerika Serikat secara berkala pada masalah-masalah
strategis, terutama dalam bidang ekonomi. Kecenderungan mendom-
pleng yang umum ini adalah kelaziman sebelum peristiwa 11 Septem-
ber, dan kecenderungan ini semakin kuat sejak itu.
Simak "kemitraan strategis" Cina-Rusia, contoh paling mencolok
dari upaya penyeimbangan yang tampak saat ini. Retorika yang ber-
lebihan mengenai "poros" Moskow-Beijing ini gampang saja ditang-
kis dengan tudingan bagaimana poros ini gagal memperlambat,
apalagi menghentikan, laju cepat langkah geopolitik Presiden Vla-
dimir Putin mendekati Washington setelah serangan 11 September.
Lebih-lebih, kesatuan ini begitu lemah, bahkan sebelum ia terdepak
dari jalurnya. Dalam banyak hal kemitraan ini tidak mengandung
komitmen yang kuat atau koordinasi kebijakan melawan Washing-
ton yang mungkin mengakibatkan risiko konfrontasi nyata. Unsur
terpenting kemitraan ini, penjualan senjata Rusia ke Cina, mencer-
minkan sebuah simetri kelemahan, dan bukannya potensi kekuatan

277
Stephen G. Brooks dan William C. Wbhl forth

gabungan. Penjualan ini di satu sisi punya andil menyusutkan keter-


tinggalan teknologi militer Cina sembari di sisi lain membantu mem-
perlambat laju penurunan industri pertahanan Rusia. Sebagian besar
senjata tersebut adalah warisan kerja divisi riset dan pengembangan
kompleks industri-militer Soviet, dan mengingat minimnya anggar-
an riset dan pengembangan Moskow saat ini, tak banyak dari sis-
tem-sistem ini yang masih sanggup bersaing dengan senjata sejenis
produk Amerika Serikat dan NATO.
Di samping itu, bahkan ketika dua tetangga ini menandatangani
kesepakatan kerja sama, kecurigaan yang dalam masih berlanjut
membayangi hubungan mereka, jalinan ekonomi antara mereka te-
tap lesu dan tidak mungkin tumbuh secara dramatis, dan keduanya
sangat bergantung pada pasokan modal dan teknologi yang hanya
mungkin datang dari Barat. Para pemimpin Rusia dan Cina menon-
jolkan keinginan mereka atas sebuah dunia yang tidak terlalu dipe-
ngaruhi Amerika Serikat, bukan karena hal ini adalah tujuan yang
sudah mulai mereka usahakan, tetapi karena ini adalah suatu prinsip
umum yang sama-sama mereka setujui.
Retorika penyeimbangan sebagian jelas merupakan cerminan sen-
timen yang murni. Dunia merasa tidak adil, tidak demokratis, meng-
ganggu, dan kadang sungguh-sungguh menakutkan saat melihat
begitu besarnya kekuatan yang terkumpul dalam genggaman satu
negara, terutama ketika Amerika Serikat berjalan sendiri dengan
agresif. Namun, mengingat bobot dan menonjolnya kekuatan Ame-
rika Serikat di panggung dunia, apa pun yang dilakukan Washing-
ton, negara-negara lain dapat dipastikan akan merasa tak nyaman.
Pemerintah asing seringkali mencerca apa yang mereka anggap se-
bagai keterlibatan Amerika Serikat yang berlebihan dalam masalah-
masalah mereka. Tetapi harapan yang melambung tentang apa yang
dapat dilakukan Amerika Serikat untuk memecahkan masalah glo-
bal (seperti konflik lsrael-Palestina) juga dapat membawa frustrasi
karena keterlibatan Amerika Serikat dianggap terlalu kecil. Besar
atau kecil penggunaan kekuasaan Amerika Serikat, hal itu tetap tak
dapat menyelesaikan masalah sepenuhnya.

278
Keunggulan Amerika dalam Tinjauan

Politik lokal dan regional juga punya andil dalam retorika pe-
nyeimbangan, walaupun tidak substantif. Bahkan para pemimpin
yang bukan juru-hasut pun tergoda untuk memainkan kebencian
anti-Amerika bagi khalayak domestik. Dari hitung-hitungan yang
sederhana, sekarang ini terlihat makin perlunya kerjasama regional
dibanding waktu-waktu sebelumnya, dan banyak dari kerja sama
ini yang dapat memainkan nada anti-Amerika. Sistem internasional
di abad ke-19 menyodorkan enam sampai delapan kutub di antara
kurang-lebih 30 negara. Di awal Perang Dingin, ada dua kutub, tetapi
jumlah negaranya sudah menjadi berlipat ganda sampai lebih dari
70. Sekarang ada satu kutub di dalam sebuah sistem dengan jumlah
negara di dalamnya berlipat tiga mendekati 200. Oleh sebab itu, da-
pat dipastikan bahwa banyak kegiatan yang akan dilakukan di ting-
kat regional, dan seringkali demi kepentingan partai-partai yang
terlibat dalam penggunaan retorika penyeimbangan sebagai bahan
penggerak untuk merangsang terjadinya kerja sama, sekalipun hal
itu bukan merupakan pemicu utama tindakan mereka.

Namun, manuver semacam ini punya potensi untuk jadi bume-


rang, karena akan menguatkan persepsi bahwa negara-negara ter-
sebut terlalu lemah untuk bertindak sendiri. Hal ini bisa menda-
tangkan dampak yang membahayakan di dalam maupun luar ne-
geri. Maka, negara-negara lain harus mencari cara untuk mengi-
ngatkan Washington bahwa mereka memiliki tempat lain yang bisa
dimintai tolong, tetapi tanpa perlu merendahkan kemampuan me-
reka sendiri atau menutup kemungkinan bilateral yang menjanjikan
dengan Amerika Serikat. Hasilnya, penyeimbangan yang besar seca-
ra retorik namun lemah secara substantif adalah politik umum di
sebuah dunia unipolar.

LANTAS?

dan terpenting dari unipolaritas bagi


D A M P A K PRAKTIS YANG PERTAMA

Amerika Serikat adalah ketiadaan sesuatu yang penting: kurangnya

279
Stephen G. Brooks dan William C. Wbhl forth

persaingan hegemonik. Selama Perang Dingin Amerika Serikat di-


hadapkan pada sebuah kekuatan adidaya militer dengan potensi
penaklukan semua pusat kekuatan industri Eropa dan Asia. Untuk
mencegah terjadinya malapetaka, selama puluhan tahun Amerika
Serikat menyisihkan antara 5 sampai 14 persen PDB-nya untuk be-
lanja pertahanan dan mempertahankan penangkal senjata nuklir
yang besar yang membuat kredibilitasnya sebagai pemegang ko-
mitmen tak perlu diragukan. Sebagian besar untuk menjaga reputasi
dalam penyelesaian masalah, 85.000 orang Amerika kehilangan nya-
wa dalam dua perang di Asia sementara para presiden Amerika ber-
ulang kali terlibat dalam kebijakan luar negeri berbahaya yang mem-
perbesar risiko kiamat termonuklir global.
Saat ini biaya dan bahaya Perang Dingin telah menghilang ke
dalam sejarah, tetapi mereka wajib terus diingat agar kita bisa me-
nilai unipolaritas secara akurat. Karena untuk beberapa puluh tahun
ke depan, tampaknya tidak ada negara yang bisa mengga-bungkan
sumber daya, geografi, dan angka pertumbuhan yang diperlukan
untuk menghadirkan tantangan hegemoni pada skala yang besar.
Hal ini sungguh merupakan sebuah perkembangan yang menak-
jubkan. Para pemimpin dunia mungkin merasa tidak nyaman de-
ngan keadaan ini, tetapi tidak demikian halnya dengan Amerika.
Beberapa pihak mungkin mempertanyakan manfaat berada di
posisi puncak sebuah sistem unipolar bila hal itu itu sama artinya
dengan memicu amarah orang-orang yang tidak puas di dunia. Ba-
gaimanapun, ketika Uni Soviet masih ada, negara inilah yang me-
nanggung kemarahan Usamah bin Ladin, dan hanya setelah kerun-
tuhan Soviet ia mengalihkan perhatiannya kepada Amerika Serikat
(sebuah indikasi padamnya bipolaritas yang terabaikan pada saat
itu, namun terlihat lebih besar saat ditinjau ulang). Tetapi, terorisme
telah menjadi masalah abadi dalam sejarah, dan multipolaritas tidak
menyelamatkan para pemimpin beberapa negara besar dari tindakan
pembunuhan yang dilakukan oleh anarkis di pergantian abad ke-
20. Nyatanya, bila dunia meluncur balik menuju multipolaritas, yang
paling kena getahnya justru Amerika Serikat. Dalam skenario
semacam itu, Amerika akan terus memimpin kelompoknya dan

280
Keunggulan Amerika dalam Tinjauan

menjadi sasaran utama perlawanan dan kebencian oleh para pemain


dengan sosok yang jelas maupun yang tidak jelas. Tetapi, dalam
situasi seperti itu, iming-iming dan sanksi yang ia perlukan lebih
sedikit. Ancaman akan tetap ada, tapi kemungkinan tindakan yang
efektif dan terkoordinasi terhadap mereka akan berkurang.
Dampak besar kedua dari unipolaritas adalah kebebasan unik
yang ia tawarkan kepada para pembuat kebijakan Amerika. Banyak
pembuat kebijakan bekerja di bawah rasa terbelenggu, dan semua
peserta dalam debat kebijakan berusaha mempertahankan arah
kebijakan yang mereka inginkan dengan menunjukkan dampak
mengerikan apabila nasihat mereka tidak diikuti. Tetapi sumber-
sumber kekuatan Amerika begitu beragam dan tahan uji sehingga
kebijakan luar negeri Amerika Serikat saat ini beroperasi dengan
banyak pilihan, dan bukan sekadar karena kebutuhan. Begitu
banyaknya pilihan ini sehingga posisi Amerika melampaui negara
mana pun dalam sejarah modern. Disadari atau tidak oleh para
peserta perdebatan, kebebasan baru untuk memilih ini telah
mengubah debat mengenai peran apa yang seharusnya dimainkan
Amerika Serikat di dunia.
Menurut sejarah, kekuatan utama yang mendorong negara-
negara besar mengendalikan diri dan bermurah hati adalah
pemahaman akan batas-batas kekuatan mereka, kecemasan akan
perluasan vang berlebihan dan penyeimbangan. Negara-negara
besar biasanya mengendalikan ambisi mereka dan mengalah pada
yang lain bukan karena mereka ingin mengalah, melainkan karena
mereka harus melakukannya demi mendapatkan kerja sama yang
mereka butuhkan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi makmur.
Maka, tak mengherankan sekiranya saat ini penganjur sikap mo-
derat Amerika dan pentingnya dunia internasional lebih mene-
kankan pembatasan atas kekuatan Amerika dan bukan kurang
banyaknya kekuatan Amerika hadir di panggung dunia. Ilmuwan
politik Joseph Nye, misalnya, berkeras bahwa "(istilah) unipolaritas
menyesatkan karena melebih-lebihkan derajat kapasitas Amerika
Serikat mendapatkan hasil yang ia inginkan dalam sejumlah dimensi
politik dunia ... Kekuatan Amerika tidaklah seefektif yang terlihat

281
Stephen G. Brooks dan William C. Wbhl forth

pada awalnya." Dan ia memperingatkan bahwa bila Amerika Serikat


"menggunakan kekuatan besarnya secara tak terkendali dan unila-
teral," maka yang lain bisa terpancing untuk membentuk koalisi
penyeimbang.
Meskipun demikian, argumen semacam ini tidaklah meyakinkan
karena tidak menyadari sifat sesungguhnya dari sistem internasional
yang berlaku saat ini. Amerika Serikat tidak akan pucat-pasi oleh
peringatan yang lembek ataupun munculnya calon kekuatan penye-
imbang. Kelompok isolasionis dan unilateralis yang agresif meman-
dang situasi ini secara jernih, dan begitu juga seharusnya dengan
lawan-lawan domestik mereka. Sekarang dan tak lama lagi, Amerika
Serikat akan memiliki sumber-sumber kekuatan luar biasa yang da-
pat digunakan untuk memaksa kekuatan lain mematuhi kehendak-
nya dalam kasus demi kasus.
Namun, hanya karena Amerika Serikat cukup kuat untuk bertin-
dak tanpa mengindahkan yang lain, bukan berarti ia harus demikian.
Mengapa? Karena Amerika Serikat dapat meraup hasil yang lebih
besar dari perilaku yang bijak dan santun. Terlepas dari beberapa
kasus di sejumlah kecil area, mengabaikan keprihatinan pihak lain
berarti terhindar dari perkara hari ini, namun dengan imbalan da-
tangnya kesulitan yang lebih serius di hari esok. Unilateralisme bisa
memberi hasil dalam jangka pendek, tapi ia juga cenderung mengu-
rangi bantuan sukarela dari negara-negara lain yang bisa digandeng
Amerika Serikat, sehingga pada akhirnya malah menyulitkan. Uni-
polaritas memungkinkan Amerika menjadi jagoan global, tetapi hal
ini juga memberi Amerika Serikat kemewahan untuk mampu meli-
hat melampaui kepentingan jangka pendek demi kepentingan jang-
ka panjang dirinya dan dunia.

MENAHAN GODAAN

menyibukkan banyak pengamat sebelum 11


S I M A K PERTANYAAN YANG

September: bagaimanakah sebaiknya, melibatkan atau membendung

282
Keunggulan Amerika dalam Tinjauan

negara-negara besar yang berpotensi sebagai penantang seperti


halnya Cina? Para pendukung pelibatan berpendapat bahwa cara
terbaik untuk melunakkan perilaku Cina (baik di dalam maupun di
luar) adalah mengikat negara itu ke dalam sistem politik dan eko-
nomi internasional semaksimal mungkin. Sementara itu, para pen-
dukung pembendungan berpendapat bahwa jalur ini terlalu berisi-
ko, karena dapat mempercepat munculnya suatu kekuatan besar
yang masih bersifat tirani. Namun, sekiranya analisis di atas menge-
nai unipolaritas benar, risiko yang mengiringi pelibatan tidak begitu
besar, karena selisih keunggulan Amerika Serikat sangat besar se-
hingga Cina sepertinya tidak akan bisa menghadirkan sebuah tan-
tangan yang signifikan terhadap dominasi Amerika Serikat selama
berpuluh tahun, apa pun kebijakan yang diambilnya. Oleh sebab
itu, walaupun pelibatan tidak berhasil, peluang yang ada layak untuk
dicoba, dan ada banyak waktu untuk beralih jalur jika cara ini gagal.
Hal yang sama bisa diterapkan terhadap Rusia dengan penekanan
yang lebih besar. Petaka serangan 11 September memperlihatkan
manfaat memiliki teman yang stabil di jantung daratan Erurasia,
dan tiga abad sebelumnya bisa dilihat betapa besarnya ancaman
yang mungkin muncul dari sebuah Rusia yang otokratis yang mem-
peroleh kemampuan militernya dari teritorinya yang sangat luas
itu. Memasukkan Rusia secara penuh ke dalam tatanan internasional
yang ada akan mewakili sebuah langkah besar menuju penyingkiran
"masalah Rusia" yang abadi. Tentu saja, lembaga politik dan ekono-
mi Rusia harus menempuh jalan yang panjang sebelum integrasi
tersebut layak dilakukan, tetapi berkat unipolaritas ada banyak wak-
tu untuk menunggu, dan ada banyak sumber daya yang bisa di-
manfaatkan untuk membantu.
Washington juga perlu diingatkan tentang tingkat kegusaran di
antara sekutu-sekutu utamanya yang dapat muncul karena tindakan
unilateral yang agresif. Bagaimanapun juga, pengaruh, dan bukan-
nya kekuasaan, yang akhirnya paling berharga. Semakin jauh
orang bisa melihat melampaui kepentingan jangka pendek, banyak
persoalan menjadi semakin jelas—lingkungan, penyakit, migrasi,

283
Stephen G. Brooks dan William C. Wbhl forth

dan stabilitas ekonomi global, untuk menyebut sebagian—yang tak


bisa dipecahkan sendiri oleh Amerika Serikat. Isu-isu semacam ini
memerlukan perundingan berulang kali dengan banyak mitra sela-
ma bertahun-tahun. Hubungan yang tegang saat ini hanya akan
mengarah pada lingkungan kebijakan yang semakin menyulitkan
di kemudian hari.
Menyangkut negara berkembang, bila Amerika Serikat dapat
membantu memperbaiki kondisi politik, sosial, dan ekonomi di sana,
secara umum setiap orang akan memperoleh manfaat—masyarakat
lokal secara langsung, dan seluruh dunia secara tidak langsung. Ti-
dak ada tongkat sulap yang dapat mengubah situasi tersebut dalam
semalam, tetapi paling tidak Amerika Serikat dapat menggunakan
beragam cara untuk membantu mengatasinya. Hal paling penting
untuk dilakukan adalah penurunan hambatan dagang proteksionis
yang cukup tinggi yang dipertahankan Washington untuk produk
pertanian, busana, dan tekstil—yang semuanya penting bagi prospek
ekonomi kebanyakan negara berkembang. Pembukaan pasar Ame-
rika Serikat untuk ekspor negara berkembang dalam area-area ini
tidak menjamin pertumbuhan ekonomi yang cepat di luar negeri,
dan bahkan sekiranya demikian, pertumbuhan yang cepat bukanlah
obat mujarab untuk semua penyakit. Namun tak diragukan bahwa
cara ini akan membantu ekonomi dan masyarakat dari negara-ne-
gara pengekspor, dan juga mendongkrak citra Amerika.

Presiden George W. Bush baru-baru ini berkata, "Untuk meme-


rangi kemiskinan secara serius, kita harus sungguh-sungguh mem-
perluas perdagangan... Akses yang lebih besar pada pasar negara-
negara kaya mempunyai dampak langsung dan cepat pada ekonomi
negara-negara berkembang." Tetapi tindakan lebih penting daripada
kata-kata. Mengurangi hambatan perdagangan dalam negeri bisa
benar-benar menjadi jenis kebijakan Amerika Serikat yang dapat
mengurangi friksi dan dendam yang ditimbulkan oleh unipolaritas.
Artinya, Amerika perlu bertindak lebih dari sekadar bereaksi terha-
dap ancaman keamanan begitu mereka menjadi genting dan menco-
ba mencegah kemunculan mereka terlebih dahulu. Jika dilaksanakan

284
Keunggulan Amerika dalam Tinjauan

sepenuhnya dan diperluas ke hal-hal lain, pendekatan ini dapat di-


gunakan sebagai sarung tangan beludru yang menutupi tangan besi
kekuatan Amerika, menunjukkan bahwa Amerika Serikat tertarik
bukan hanya pada kepentingannya sendiri tetapi juga pada kepen-
tingan pihak lain.
Bermurah hati dan mengendalikan diri di depan godaan adalah
prinsip-prinsip pengelolaan negara yang berhasil yang telah terbukti
keluhurannya sejak masa Yunani kuno sampai sekarang. Posisi Ame-
rika Serikat yang lebih tinggi ketimbang negara-negara besar di masa
lalu membuatnya memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja
yang tak pernah ada presedennya. Ia dapat menggunakan kebebasan
ini untuk dirinya sendiri atau untuk keseluruhan sistem; ia dapat
memfokuskan diri pada hasil kecil sekarang atau hasil yang lebih
besar esok. Jika sebuah pemerintahan benar-benar ingin dicintai se-
kaligus disegani, kebijakan yang diperlukan tidaklah sulit dicari.

285
11

Mengapa Mereka Membenci Kita?

Farced Zakaria4

TERHADAP PERTANYAAN " M e n g a p a para teroris membenci kita?"


orang Amerika bisa dimaklumi sekiranya menjawab, "Mengapa kita
mesti peduli?" Reaksi seketika terhadap pembunuhan 5.ÜÜÜ orang
tak bersalah adalah amarah, bukan analisis. Tetapi amarah saja tak
cukup untuk membawa kita bertahan melalui apa yang pasti meru-
pakan perjuangan panjang. Untuk itulah kita memerlukan jawaban.
Sejumlah jawaban yang kita dengar sejauh ini sudah memuaskan
tetapi masih umum sifatnya. Kita memperjuangkan kebebasan dan
mereka membencinya. Kita kaya dan mereka iri. Kita kuat dan me-
reka membenci kondisi ini. Semuanya benar belaka. Tetapi ada mili-
aran orang miskin yang lemah dan tertindas di dunia. Mereka tidak
mengubah pesawat menjadi bom. Mereka tidak meledakkan diri
untuk membunuh ribuan penduduk sipil. Bila iri hati adalah pe-
nyebab terorisme, Beverly Hills, Fifth Avenue, dan Mayfair sudah
menjadi rumah duka sejak dulu. Ada sesuatu yang lebih kuat yang
bekerja di sini ketimbang rasa rendah diri dan iri hati. Sesuatu yang
dapat menggerakkan orang untuk membunuh sekaligus mati.

"FAREED ZAKARIA adalah Redaktur majalah Newsweek edisi luar negeri. Hak
cipta © 2 0 0 1 oleh Newsweek, Inc. Dicetak kembali dengan izin.

287
Fareed Zakaria

Usamah bin Ladin punya jawaban: agama. Bagi Usamah dan para
pengikutnya, ini adalah perang suci antara Islam dan dunia Barat.
Sebagian besar kaum Muslim tidak setuju. Setiap negara Islam di
dunia mengutuk serangan 11 September tersebut. Bagi banyak or-
ang, bin Ikadin masuk daftar panjang ekstremis yang mengatasna-
makan agama untuk membenarkan pembunuhan massal dan
membujuk orang untuk bunuh diri. Kata-kata bajingan "(thug)", ka-
um fanatik "(zealot)", dan pembunuh "(assassin)" semuanya ber-
sumber dari sekte teror kuno-Hindu, Yahudi, dan Muslim-yang per-
caya mereka melakukan pekerjaan Tuhan. Isi kepala para teroris ha-
nyalah dunia mereka sendiri, dan seperti tokoh Satan dalam karya
Milton, ia dapat membuat surga menjadi neraka dan neraka menjadi
surga. Apakah itu Unabomber, Aum Shinrikyo atau Baruch Gold-
stein (yang membunuh banyak orang Muslim tak bersenjata di
Hebron), para teroris hampir selalu merupakan orang ganjil yang
menempatkan moralitas menyimpang mereka di atas umat manusia.

Kekaguman terhadap bin Ladin


Namun bin Ladin dan pengikutnya bukanlah sekte terasing se-
perti Aum Shinrikyo atau kelompok Ranting Daud, atau penyendiri
gila seperti Timothy McVeigh dan Unabomber. Mereka berasal dari
sebuah budaya yang memperkuat rasa permusuhan, rasa tidak per-
caya, dan kebencian mereka kepada Barat, khususnya Amerika. Bu-
daya ini tidak mendewakan terorisme tetapi menyalakan fanatisme
yang sudah ada dalam hati mereka. Mengatakan bahwa al-Qaeda
adalah sebuah kelompok pinggiran mungkin bisa menentramkan,
tetapi ini keliru. Bacalah berita-berita di media Arab seusai serangan
11 September dan Anda akan merasakan adanya kekaguman terha-
dap bin Ladin yang tak begitu disembunyikan. Atau simaklah berita
dari surat kabar Pakistan The Nation ini: "11 September bukanlah
terorisme ngawur demi terorisme itu sendiri. Ini adalah reaksi dan
pembalasan dendam, bahkan sebuah ganti rugi." Apa sebab selain
hal ini yang membuat pembalasan Amerika terhadap serangan teror
tersebut sangat diliputi kecemasan akan adanya "serangan balik

288
Mengapa Mereka Membenci Kita?

Islam" di jalan-jalan? Pakistan akan nekat tak mengizinkan Wash-


ington menggunakan pangkalannya. Arab Saudi gemetar dengan
keharusan untuk membantu kita secara terbuka. Mesir memohon
agar serangan yang kita lakukan sedapat mungkin dibatasi. Masa-
lahnya bukanlah bahwa Usamah bin Ladin yakin kalau ini adalah
perang suci melawan Amerika. Masalahnya adalah jutaan orang di
negara-negara Islam kelihatannya setuju.
Kenyataan janggal ini telah menggiring beberapa pihak di Barat
untuk membongkar esai-esai lama serta prasangka-prasangka kuno
yang meramalkan sebuah "benturan peradaban" antara Barat dan
Islam. Sejarawan Paul Johnson mengatakan bahwa pada dasarnya
Islam adalah agama yang tidak toleran dan penuh kekejaman. Cen-
dekia lain tidak setuju, dan menunjukkan bahwa Islam mengutuk
pembunuhan kaum tak bersalah dan melarang tindakan bunuh diri.
Tidak ada yang akan terselesaikan lewat pencarian "Islam yang be-
nar" atau mengutip Quran. Quran adalah kitab yang amat luas dan
taksa, penuh dengan puisi dan kontradiksi-kontradiksi (hampir sa-
ma dengan Alkitab). Di dalamnya Anda dapat membaca kutukan
atas perang dan anjuran untuk berperang, ekspresi yang sangat in-
dah tentang toleransi dan batasan yang amat keras terhadap yang
tidak percaya. Kutipan-kutipan dari Quran biasanya lebih menun-
jukkan pada kita tentang orang yang memilih ayat-ayat tertentu ke-
timbang tentang Islam itu sendiri. Setiap agama pasti punya hal yang
terbaik dan terburuk dari umat manusia. Melalui sejarah panjang-
nya, agama Kristen pernah mendukung Inkuisisi* dan anti-Semit,
tetapi juga hak asasi dan kesejahteraan sosial.

Menyusuri buku-buku sejarah juga hanya mempunyai nilai yang


terbatas. Dari Perang Salib abad ke-11 sampai ekspansi Turki abad
ke-I5 dan era kolonialisme awal abad ke-20, Islam dan Barat telah
sering berperang secara militer. Ketegangan ini telah ada sejak ra-
tusan tahun, dan selama itu terdapat banyak periode damai dan

4Pengadilan untuk orang yang dianggap menyimpang dari gereja Katolik


Roma, dari abad ke-13 hingga 1820.

289
Fareed Zakaria

bahkan kerukunan. Sampai 1950-an, misalnya, kaum Yahudi dan


umat Kristen hidup secara damai di bawah undang-undang Mus-
lim. Malah, Bernard Lewis, sejarawan Islam terkemuka, menyatakan
bahwa dalam sebagian besar sejarah, kaum agama minoritas hidup
lebih baik di bawah undang-undang Muslim dibandingkan di bawah
undang-undang Kristen. Semua itu telah berubah dalam beberapa de-
kade terakhir. Jadi pertanyaan yang paling relevan yang harus kita
ajukan adalah, mengapa kita mengalami masa-masa yang sangat sulit
sekarang ini? Apa yang salah dalam dunia Islam yang dapat menje-
laskan bukannya penyerbuan terhadap Istanbul pada 1453, atau pe-
ngepungan Wina pada 1683, melainkan tentang 11 September 2001?
Pertama kali marilah kita melihat kc dalam dunia Islam vang
luas itu. Banyak negara-negara terbesar Islam di dunia ini yang ku-
rang menunjukkan kemarahan anti-Amerika. Negara terbesar, Indo-
nesia, sampai krisis ekonomi Asia baru-baru ini, telah mengikuti
dengan saksama nasihat Washington atas ekonomi, dengan hasil
yang mengesankan. Negara dengan penduduk Muslim terbesar ke-
dua dan ketiga, Pakistan dan Bangladesh, telah memadukan Islam
dan modernisasi dengan beberapa keberhasilan. Sekalipun kedua
negara ini miskin, keduanya mengangkat perempuan ke tampuk
perdana menteri, jauh sebelum negara-negara Barat melakukan hal
yang sama. Berikutnya adalah Turki, negara Muslim terbesar ke-
enam, sebuah negara demokrasi sekular yang meskipun mengan-
dung cacat namun berfungsi, dan merupakan sekutu dekat Barat
(dengan menjadi anggota NATO).
Hanya ketika kita sampai ke Timur Tengah barulah kita melihat
dalam warna-warna seram semua cacat yang orang bayangkan ke-
tika berpikir tentang Islam sekarang ini. Di Iran, Mesir, Suriah, Irak,
Yordania, wilayah pendudukan, dan Teluk Persia, kebangkitan fun-
damentalisme Islam terasa ganas, dan sentimen anti-Amerika terli-
hat di mana-mana. Ini adalah tanah tempat para pelaku bom bunuh
diri, pembakar bendera, dan para mullah yang marah. Ketika kita
menyerang Afganistan, perlu diingat bahwa tidak ada seorang Afgan
pun yang terkait dengan serangan teroris terhadap Amerika Serikat.
Afghanistan adalah tempat latihan perang dari mana tentara Arab

290
Mengapa Mereka Membenci Kita?

memerangi Amerika.
Namun, bahkan kemarahan Arab pada Amerika pun tergolong
relatif baru. Pada 1950-an dan 1960-an rasanya tak tcrbayangkan
bahwa Amerika Serikat dan dunia Arab akan terperangkap dalam
benturan budaya. Jurnalis Mesir paling terkemuka, Mohamed Hei-
kal, menggambarkan perasaan yang muncul pada saat itu: "Semua
gambaran tentang Amerika Serikat ... sangat glamor Inggris dan
Perancis adalah kerajaan-kerajaan yangdibenci dan kian tenggelam.
Uni Soviet terletak 5.000 mil dan ideologi komunisme adalah sebuah
hal yang amat dibenci Muslim. Tetapi Amerika muncul dari Perang
Dunia II sebagai negara yang lebih kaya, lebih kuat, dan lebih menarik
daripada sebelumnya/'Saya pertama kali bepergian kc Timur Tengah
pada awal 1970-an, dan bahkan saat itu citra Amerika adalah modernitas
yang berkilau dan mudah dijangkau: mobil-mobil balap, hotel Hilton,
dan Coca-Cola. Sesuatu telah terjadi di tanah ini. Untuk memahami
akar dari kemarahan anti-Amerika di Timur Tengah, kita perlu melacak
bukan 300 tahun terakhir sejarah, melainkan 30 tahun terakhir.

PARA P E N G U A S A

SULIT UNTUK MENGUNGKAPKAN kegairahan yang muncul di dunia Arab


pada akhir 1950-an ketika Gamal Abdel Nasser melakukan konsoli-
dasi kekuatan di Mesir. Selama puluhan tahun negara-negara Arab
diperintah oleh para gubernur kolonial dan para raja yang bobrok.
Sekarang mereka meraih impian mereka akan kemerdekaan, dan
Nasser adalah juru selamat baru mereka, pria modern untuk era
pasca-perang. la lahir di masa penjajahan Inggris, di Iskandariya,
kota kosmopolitan yang lebih bernuansa Mediterania dibandingkan
Arab. Tahun-tahun pertumbuhannya ia habiskan di ketentaraan, seg-
men masyarakat yang paling ter-Barat-kan. Dengan seragamnya
yang gagah dan kacamata hitamnya yang gaya, ia muncul sebagai
sosok yang bernas di panggung dunia. "Singa Mesir," ia bicara atas
nama dunia Arab.
Nasser yakin politik Arab perlu dibakar dengan ide-ide modern

291
Fareed Zakaria

seperti penentuan-nasib sendiri, sosialisme, dan kesatuan Arab. Dan


sebelum uang hasil penjualan minyak bumi mengubah negara-ne-
gara Teluk menjadi angsa emas, Mesir jelas merupakan pemimpin
Timur Tengah. Alhasil, visi Nasser menjadi visi regional. Setiap re-
zim, mulai dari kelompok Baath di Suriah dan Irak hingga monar-
ki-monarki konservatif di Teluk, bicara dalam istilah dan nada yang
sama. Ini bukan karena mereka semata-mata meniru Nasser. Timur
Tengah ingin sekali menjadi modern. Mereka gagal. Dengan segenap
tenaga rezim-rezim ini memilih ide-ide yang buruk dan menerap-
kannya dengan cara-cara yang lebih buruk. Sosialisme menghasil-
kan birokrasi dan kemandekan. Alih-alih membenahi kegagalan agar
sesuai rencana utama, perekonomian malah tak pernah benar-benar
bergerak. Republik-republik tersebut mengeras menjadi kediktator-
an. Dunia Ketiga yang "tidak berpihak" menjadi ajang propaganda
pro-Soviet. Kesatuan Arab retak dan tercerai-berai ketika negara-
negara mendapati kepentingan dan peluang nasional mereka ma-
sing-masing. Yang paling parah, Israel mempermalukan bangsa Arab
dalam perang 1967 dan 1973. Ketika Saddam Hussein menginvasi
Kuwait pada 1990, ia menghancurkan sisa-sisa terakhir ide Arab.

Mimpi Buruk Mesir


Lihatlah Mesir saat ini. Janji Nasserisme telah berubah menjadi
mimpi buruk. Pemerintah hanya efisien dalam satu wilayah: mem-
bungkam para pembangkang dan menindas masyarakat sipil. Sela-
ma 30 tahun terakhir ekonomi Mesir tak banyak bergerak sementara
populasinya meningkat dua kali lipat. Angka pengangguran sebesar
25 persen, dan 90 persen dari yang mencari pekerjaan adalah lulusan
perguruan tinggi. Negara yang pemah menjadi jantung kehidupan
intelektual Arab, sekarang hanya menghasilkan 375 buku setiap ta-
hun (bandingkan dengan Israel yang dapat menghasilkan 4.000 bu-
ku). Terlepas dari semua protes yang mereka lemparkan pada or-
ang asing, orang Mesir tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Yang mengejutkan, Mesir mengalami nasib yang lebih baik dari-
pada negara-negara Arab lainnya. Suriah telah menjadi salah satu
negara polisi paling menindas di dunia, sebuah negara di mana 25.000

292
Mengapa Mereka Membenci Kita?

orang dapat dikumpulkan dan dibunuh oleh rezim tanpa ada konse-
kuensi apa pun. (Ini terjadi di negara yang ibukotanya, Damaskus,
adalah kota tertua di dunia yang tak pernah putus dihuni.) Dalam 30
tahun Irak telah berubah dari negara yang paling modern dan sekular
di negara-negara Arab—dengan kaum perempuan yang bekerja, seni-
man bebas berkarya, jurnalis bebas menulis—menjadi lahan kotor
bagi nafsu megalomania Saddam Hussein. Libanon, sebuah masya-
rakat yang kosmopolitan dan beragam dengan sebuah ibukota, Beirut,
yang pernah disebut sebagai Paris dari Timur, telah berubah menjadi
lubang neraka karena perang dan teror. Di dalam sebuah perubahan
pola global yang hampir tak terbayangkan, hampir semua negara Arab
sekarang ini tidak sebebas 30 tahun yang lalu. Tak banyak negara di
dunia yang keadaannya seperti ini.
Kita menganggap para diktator Afrika sebagai diktator-diktator
yang rakus, namun mereka yang di Timur Tengah tak kalah serakah-
nya. Dan ketika dikontraskan dengan keberhasilan Israel, kegagalan
Arab makin memalukan lagi. Dengan semua kekurangannya, dari
padang pasir yang sama Israel telah menciptakan demokrasi yang
berfungsi, masyarakat modern dengan ekonomi teknologi tinggi
yang makin meningkat serta kehidupan artistik dan budaya yang
semarak. Israel sekarang memiliki PDB (Produk Domestik Bruto)
per kapita yang setara dengan negara-negara Barat.
Jika kemiskinan menghasilkan kegagalan di sebagian besar wilayah
Arab, kesejahteraan menghasilkan kegagalan di tempat-tempat lain-
nya. Bangkitnya kekuatan minyak bumi pada 1970-an memberi angin
baru bagi harapan-harapan Arab. Di mana Nasserisme gagal, minyak
bumi akan berhasil. Nyatanya tidak demikian. Semua kenaikan harga
minyak selama lebih dari tiga dekade ini telah menghasilkan sebuah
kelas orang kaya baru, orang-orang Arab teluk yang bergaya kebarat-
baratan, yang keliling dunia dalam kemewahan dan dipandang ren-
dah oleh dunia Arab lainnya. Lihat saja karikatur tentang para syekh
Teluk di surat kabar Mesir, Yordania atau Suriah. Mereka digambarkan
dengan cara yang paling menghinakan, hampir-hampir rasis: gemuk,
korup, dan lembek. Sebagian besar orang Amerika berpikir bahwa
orang Arab seharusnya berterima kasih atas peran kita di Perang Te-

293
Mengapa Mereka Membenci Kita?

orang dapat dikumpulkan dan dibunuh oleh rezim tanpa ada konse-
kuensi apa pun. (Ini terjadi di negara yang ibukotanya, Damaskus,
adalah kota tertua di dunia yang tak pernah putus dihuni.) Dalam 30
tahun Irak telah berubah dari negara yang paling modern dan sekular
di negara-negara Arab—dengan kaum perempuan yang bekerja, seni-
man bebas berkarya, jurnalis bebas menulis—menjadi lahan kotor
bagi nafsu megalomania Saddam Hussein. Libanon, sebuah masya-
rakat yang kosmopolitan dan beragam dengan sebuah ibukota, Beirut,
yang pernah disebut sebagai Paris dari Timur, telah berubah menjadi
lubang neraka karena perang dan teror. Di dalam sebuah perubahan
pola global yang hampir tak terbayangkan, hampir semua negara Arab
sekarang ini tidak sebebas 30 tahun yang lalu. Tak banyak negara di
dunia yang keadaannya seperti ini.
Kita menganggap para diktator Afrika sebagai diktator-diktator
yang rakus, namun mereka yang di Timur Tengah tak kalah serakah-
nya. Dan ketika dikontraskan dengan keberhasilan Israel, kegagalan
Arab makin memalukan lagi. Dengan semua kekurangannya, dari
padang pasir yang sama Israel telah menciptakan demokrasi yang
berfungsi, masyarakat modern dengan ekonomi teknologi tinggi
yang makin meningkat serta kehidupan artistik dan budaya yang
semarak. Israel sekarang memiliki PDB (Produk Domestik Bruto)
per kapita yang setara dengan negara-negara Barat.
Jika kemiskinan menghasilkan kegagalan di sebagian besar wilayah
Arab, kesejahteraan menghasilkan kegagalan di tempat-tempat lain-
nya. Bangkitnya kekuatan minyak bumi pada 1970-an memberi angin
baru bagi harapan-harapan Arab. Di mana Nasserisme gagal, minyak
bumi akan berhasil Nyatanya tidak demikian. Semua kenaikan harga
minyak selama lebih dari tiga dekade ini telah menghasilkan sebuah
kelas orang kaya baru, orang-orang Arab teluk yang bergaya kebarat-
baratan, yang keliling dunia dalam kemewahan dan dipandang ren-
dah oleh dunia Arab lainnya. Lihat saja karikatur tentang para syekh
Teluk di surat kabar Mesir, Yordania atau Suriah. Mereka digambarkan
dengan cara yang paling menghinakan, hampir-hampir rasis: gemuk,
korup, dan lembek. Sebagian besar orang Amerika berpikir bahwa
orang Arab seharusnya berterima kasih atas peran kita di Perang Te-

293
Fareed Zakaria

luk, karena kita menyelamatkan Kuwait dan Arabi Saudi. Sebagian


besar orang Arab berpikir bahwa kita menyelamatkan keluarga kera-
jaan Kuwait dan Saudi. Besar sekali bedanya.

Efek Negatif Kekayaan


Uang yang dihambur-hamburkan oleh para syekh Teluk menca-
pai skala yang hampir tak bisa dipercaya. Satu contoh saja: seorang
pangeran Arab Saudi yang disenangi, pada usia 25 tahun, memba-
ngun sebuah Istana di Riyadh seharga $300 juta dan, sebagai bonus,
ia diberi komisi $1 miliar atas kontrak telepon kerajaan dengan
AT&T. Bukannya menghasilkan kemajuan politik, kekayaan malah
mendatangkan sejumlah dampak negatif. Ia telah memperkaya dan
memperkuat pemerintah-pemerintah teluk sehingga, seperti pengu-
asa Arab lainnya, mereka menjadi lebih menindas dari waktu ke
waktu. Masyarakat Badui yang pernah mereka pimpin sekarang
menjadi sangkar emas, penuh dengan anak-anak muda yang frus-
trasi, kecewa, dan tidak bahagia—beberapa dari mereka sekarang
tinggal di Afghanistan dan bekerja dengan Usamah bin Ladin. (Bin
Ladin dan beberapa pembantu dekatnya berasal dari keluarga kaya
di Arab Saudi.)
Pada akhir 1980-an, ketika sebagian besar dunia menyaksikan re-
zim-rezim lama dari Moskow, Praha, Seoul, sampai Johannesburg pe-
cah, bangsa Arab masih terpuruk dengan para diktator lama dan raja-
raja korup mereka. Rezim-rezim yang kelihatan menjanjikan pada
1%0-an sekarang terungkap sebagai kleptokrasi yang memuakkan
dan korup, sangat tidak populer dan sepenuhnya tidak sah. Kita harus
menambahkan bahwa banyak dari mereka yang merupakan sekutu
dekat Amerika.

IIHHIW. YANG C A C A l

yang pernah merindukan modernisasi kini


B A G A I M A N A S E B U A H WILAYAH

menolaknya habis-habisan?
Sekitar sepuluh tahun lalu, dalam percakapan santai dengan inte-
294
Mengapa Mereka Membenci Kita?

lektual Arab senior, saya mengungkapkan rasa frustrasi bahwa pe-


merintah Timur Tengah tidak mampu meliberalisasi ekonomi dan
masyarakat mereka seperti halnya yang dilakukan Asia Timur. "Lihat
Singapura, Hongkong, dan Seoul," ujar saya, menunjuk pada penca-
paian ekonomi yang luar biasa dari negara-negara tersebut.
Pria itu, seorang intelektual yang gagah dan simpatik, menegakkan
duduknya dan menjawab dengan tegas, "Lihat mereka. Mereka jelas-
jelas meniru Barat. Kota-kota mereka adalah tiruan murahan dari
Houston dan Dallas. Hal itu mungkin tidak jadi masalah bagi desa-
desa nelayan. Tapi kita adalah pewaris salah satu peradaban besar
dunia. Kita tidak boleh menjadi daerah kumuhnya Barat."
Kekecewaan terhadap Barat semacam ini merupakan inti persoalan
Arab. Hal ini membuat peningkatan ekonomi menjadi mustahil dan
perkembangan politik penuh dengan kesulitan. Sekarang ini mo-
dernisasi niscaya diartikan sebagai Westernisasi dan, lebih buruk lagi,
Amerikanisasi. Ketakutan ini telah melumpuhkan peradaban Arab.
Dalam beberapa hal, dunia Arab kelihatannya tidak siap menghadapi
era globalisasi bahkan jika dibandingkan dengan Afrika, terlepas dari
kerusakan yang dialami benua tersebut karena AIDS serta disfungsi
ekonomi dan politik. Setidaknya penduduk Afrika ingin menyesu-
aikan diri dengan ekonomi global yang baru. Sementara dunia Arab
bahkan belum melakukan langkah pertama.

Masa Lalu atau Masa Depan?


Pertanyaannya adalah bagaimana sebuah wilayah yang pernah
menginginkan modernisasi dapat menolaknya habis-habisan. Di
Abad Pertengahan bangsa Arab mempelajari Aristoteles (ketika ia
lama dilupakan di Barat) dan menemukan aljabar. Pada abad ke-19,
ketika Barat menapakkan kaki di tanah Arab, dalam bentuk
penaklukan Napoleon terhadap Mesir, penduduk lokal terkagum-
kagum dengan peradaban yang amat kuat ini. Dalam kenyataannya,
seperti yang dicatat oleh sejarawan Albert Hourani, di abad ke-19
kita menyaksikan berkembang pesatnya pemikiran politik dan sosial
liberal yang terinspirasi oleh Eropa di Timur Tengah.
Semasa era kolonial pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20

295
Fareed Zakaria

sempat timbul harapan terhadap persahabatan Inggris yang kemu-


dian jatuh menjadi kekecewaan, namun kaum elite Arab masih terpu-
kau pada Barat. Para calon raja dan jenderal mendaftar ke Victoria
College di Iskandariyah, mempelajari cara bicara dan perilaku kaum
terpelajar Inggris. Banyak juga yang melanjutkan ke Oxford, Cambridge
dan Sandhurst—sebuah tradisi yang masih dipertahankan oleh keluarga
kerajaan Yordania, walaupun sekarang mereka lebih memilih Hotchkiss
atau Lawrenceville. Setelah Perang Dunia I, sebuah masa liberal baru
muncul sebentar di dunia Arab, ketika ide-ide tentang keterbukaan politik
dan masyarakat disambut hangat di tempat-tempat seperti Mesir,
Libanon, Irak, dan Suriah. Namun mengingat mereka menjadi bagian
dari dunia para raja dan aristokrat, ide-ide ini mati bersama rezim lama.
Namun, ide-ide yang baru, ternyata persis seperti Barat
Nasser menganggap ide-idenya untuk Mesir dan dunia Arab ada-
lah modern. Namun ide-ide ini juga Barat. "Piagam nasional" yang
dicetuskan Nasser pada 1962 terbaca seperti karya tulis kaum inte-
lektual sayap kiri di Paris atau London. (Seperti banyak pemimpin
Dunia Ketiga di masa itu, Nasser adalah seorang pembaca setia Le
Monde dari Prancis dan New Statesmen dari Inggris.) Bahkan proyek
yang paling ia sukai, Pan-Arabisme, sangat Eropa. Ini adalah versi
lain dari nasionalisme yang telah menyatukan Italia dan Jerman pada
1870-an—bahwa mereka yang bicara dalam satu bahasa haruslah
menjadi satu bangsa.

Kegagalan Demi Kegagalan


Amerika melihat modernitas sebagai hal yang semuanya bagus—
dan hampir semuanya memang bagus bagi Amerika. Tapi bagi dunia
Arab, modernitas merupakan satu kegagalan setelah kegagalan-ke-
gagalan lain. Setiap jalan yang ditempuh—sosialisme, sekularisme,
nasionalisme—berubah menjadi jalan buntu. Ketika negara-negara
lain memperbaiki kegagalan mereka, rezim-rezim Arab justru macet.
Dan mereka yang mereformasi secara ekonomi tidak bisa lepas dari
deraan politik. Shah Iran, penguasa Timur Tengah yang mencoba
menggerakkan negaranya menuju modernitas secepatnya, menuai

310
Mengapa Mereka Membenci Kita?

reaksi yang paling brutal dalam revolusi Iran pada 1979. Namun
bahkan modernisasi Shah—dibandingkan, misalnya, dengan cara
Asia Timur yang melakukan kerja keras, investasi, dan berhemat—
adalah upaya untuk membeli modernisasi lewat kekayaan minyak.
Ternyata modernisasi membutuhkan lebih dari sekadar orang kuat
dan uang minyak. Mengimpor barang-barang luar negeri seperti Cadillac,
Gulfstreams, dan McDonald's adalah hal mudah. Mengimpor semangat
masyarakat modern—pasar bebas, partai politik, pertanggungjawaban,
dan undang-undang—merupakan hal yang sulit dan berbahaya. Negara-
negara Teluk, misalnya, telah mendapatkan sejumput modernisasi,
dengan barang-barang dan bahkan pekerja yang diimpor dari luar negeri.
Tidak ada yang dihasilkan dari dalam negeri; balikan sampai sekarang
ini. Dalam urusan politik, pemerintah-pemerintah Teluk memberi
tawaran kepada rakyat mereka: kami akan menyogokmu dengan ke-
kayaan, tapi sebagai imbalannya biarkan kami terus berkuasa. Itu adalah
semboyan yang bertolak belakang dengan revolusi Amerika—tanpa
pungutan pajak, tetapi tanpa perwakilan juga.
Era baru globalisasi telah menghantam dunia Arab dalam cara yang
sangat ganjil. Masyarakatnya cukup terbuka untuk terusik oleh mo-
dernitas, tetapi tidak terlalu terbuka sehingga mereka bisa mengen-
dalikan gelombang itu. Mereka menyaksikan tayangan televisi, menik-
mati makanan siap saji dan minuman soda. Tapi mereka tidak melihat
liberalisasi yang nyata dalam masyarakat mereka, dengan kesempatan
yang meningkat dan keterbukaan yang lebih luas. Globalisasi di dunia
Arab adalah sebuah karikatur globalisasi para kritikus—melimpahnya
produk Barat dan papan iklan dan sedikit hal-hal lain. Untuk sebagian
orang di masyarakat, hal ini berarti lebih banyak barang yang bisa
dibeli. Bagi rezim-rezim yang berkuasa, hal ini adalah suatu fenomena
yang menggelisahkan dan berbahaya. Hasilnya, masyarakat yang me-
reka perintah dapat melihat globalisasi tapi tidak boleh menyentuhnya.

Globalisasi yang Tak terhentikan


Amerika berada di pusat globalisasi dunia. Amerika tampaknya
tak dapat dihentikan. Bila perbatasan ditutup, Amerika datang lewat

297
Fareed Zakaria

surat. Bila surat disensor, Amerika muncul dalam makanan siap saji
dan jins bulukan. Bila produk tersebut dilarang, Amerika meresap
melalui televisi satelit. Orang Amerika sangat nyaman dengan kapi-
talisme global dan budaya konsumen sehingga kita tak dapat meng-
ukur betapa revolusionernya kekuatan ini.
Kaum muda yang kebingungan, dengan satu kaki di dunia lama
dan kaki yang lain di dunia baru, sekarang ini mencari alternatif
yang lebih mumi dan sederhana. Fundamentalisme memangsa or-
ang-orang seperti ini di mana-mana; fundamentalisme juga telah
mengglobal. Sekarang seseorang bisa mendapati orang-orang di In-
donesia yang menganggap perjuangan orang Palestina adalah per-
juangan mereka juga. (Dua puluh tahun yang lalu seorang Muslim
Indonesia mungkin samar-samar saja tahu di mana letak Palestina.)
Seringkali mereka belajar tentang jalan hidup yang sangat berbeda
dari Barat ini ketika mereka hidup di Barat. Hal Inilah yang dilaku-
kan oleh Mohammad Atta, insinyur lulusan Hamburg yang mena-
brakkan pesawat pertama ke World Trade Center.
Dunia Arab memiliki masalah dengan Atta-Atta yang lain dalam
banyak hal. Globalisasi telah memerangkapnya pada momen demo-
grafis yang buruk. Masyarakat Arab sedang mengalami ledakan ka-
um muda, dengan lebih dari separuh populasinya berusia di bawah
25 tahun. Kaum muda, seringkah lebih terpelajar dibandingkan or-
ang tua mereka, meninggalkan desa tradisional mereka untuk men-
cari kerja. Mereka tiba di kota-kota yang bising dan padat seperti
Kairo, Beirut dan Damaskus atau bekerja di negara-negara minyak.
(Hampir 10 persen tenaga kerja Mesir bekerja di Teluk pada satu
saat.) Di dunia baru ini, mereka melihat perbedaan yang sangat besar
dalam hal kekayaan dan pengaruh modernitas yang membingung-
kan; yang paling menggelisahkan, mereka melihat perempuan, tanpa
cadar dan berada di tempat-tempat umum, naik bus, makan di kafe,
dan bekerja bersama mereka.
Ledakan anak-anak muda yang gelisah di sebuah negara adalah
berita buruk. Ketika disertai dengan perubahan ekonomi dan sosial,
bahkan yang kecil sekalipun, biasanya akan menghasilkan politik

298
Mengapa Mereka Membenci Kita?

protes baru. Di masa lalu, masyarakat dalam kondisi seperti ini akan
terperosok ke dalam pencarian akan pemecahan-pemecahan revo-
lusioner. (Prancis mengalami ledakan jumlah anak muda persis sebe-
lum Revolusi Prancis, seperti halnya di Iran sebelum revolusi 1979.)
Dalam kasus dunia Arab, revolusi ini mengambil bentuk kelahiran
baru Islam.

M A S U K L A H AC.AMA

ASAL USUL "FUNDAMENTALISME I S L A M "

Muslim yang taat, tetapi ia tidak tertarik


N A S S E R TERGOLONG SEORANG

untuk mencampurkan agama dengan politik. Baginya itu sama saja


dengan kemunduran. Hal ini nampak sangat jelas pada beberapa
partai-partai Islam kecil yang mendukung naiknya Nasser ke tam-
puk kekuasaan. Partai yang paling penting, Ikhwanul Muslim, mulai
menentangnya secara terang-terangan, bahkan tak jarang dengan
kekerasan. Nasser melumatnya pada 1954, memenjarakan lebih dari
seribu pemimpin dan mengeksekusi enam orang. Salah seorang yang
dipenjarakan, Sayyid Qutub, seorang pria lemah dengan pena tajam,
menulis sebuah buku di penjara dengan judul "Signposts on the
Road" ("Rambu-Rambu di Jalan"), yang dalam sejumlah hal me-
nandai awal Islam politik modern atau lebih sering disebut sebagai
"fundamentalisme Islam."
Dalam bukunya, Qutb mengutuk Nasser sebagai Muslim yang
kufur dan rezimnya tidak Islami. Memang, lanjut Qutb, hampir
semua rezim modem Arab sama bobroknya. Qutb membayangkan
sebuah pemerintahan yang lebih baik, lebih saleh, yang berdasarkan
prinsip-prinsip Islam yang keras, sebuah tujuan utama Muslim orto-
doks sejak 1880-an. Ketika rezim-rezim di Tirmir Tengah menjadi
semakin berjarak, menindas, dan hampa selama berpuluh tahun ke-
mudian sejak matinya Nasser, daya tarik fundamentalisme mem-
besar. Fundamentalisme tumbuh subur karena Ikhwanul Muslim
dan organisasi sejenisnya setidaknya berusaha memberi masyarakat

299
Fareed Zakaria

suatu perasaan akan makna dan tujuan dalam sebuah dunia yang
sedang berubah, sesuatu yang tidak pernah dicoba oleh satu pun
pemimpin Timur Tengah.
Dalam karyanya yang kemudian jadi terkenal, "The Arab Predica-
ment" (Kesulitan Arab), Fouad Ajami menjelaskan, "Seruan funda-
mentalis bergema karena hal ini mengundang orang-orang untuk
untuk berpartisipasi ...Berbeda dengan budaya politik yang menyi-
sihkan warga menjadi penonton semata, dan meminta mereka me-
nyerahkan segalanya kepada penguasa mereka. Pada suatu masa
ketika masa depan tak pasti, fundamentalisme menghubungkan me-
reka dengan sebuah tradisi yang mengurangi kebingungan." Fun-
damentalisme memberi orang-orang Arab yang tidak puas dengan
keadaan mereka sebuah bahasa perlawanan yang kuat.

Hampir Tak Ada Tempat untuk Berbeda Pendapat


Atas alasan itulah. Islam tak punya saingan kuat. Dunia Arab
adalah sebuah padang pasir politik yang tidak mempunyai partai-
partai politik yang nyata, tak ada pers bebas, hampir tak ada tempat
untuk berbeda pendapat. Akibatnya, mesjid berubah menjadi tempat
diskusi politik. Dan organisasi-organisasi fundamentalis telah lebih
banyak bertindak ketimbang sekadar bicara. Dari Ikhwanul Mus-
lim, Hamas, sampai Hizbullah, mereka secara aktif memberikan la-
yanan sosial, bantuan medis, bimbingan, dan perumahan sementara.
Mereka yang mendambakan masyarakat sipil akan terganggu jika
melihat bahwa di Timur Tengah kelompok-kelompok yang tak lib-
eral inilah masyarakat sipil.
Saya bertanya kepada Sheri Berman, seorang akademisi dari
Princeton yang meneliti kebangkitan partai-partai fasis di Eropa,
apakah ia melihat adanya kesamaan. "Kaum fasis seringkali sangat
efektif dalam memberikan layanan sosial," ujarnya. "Ketika negara
atau partai politik gagal menyediakan legitimasi, tujuan, atau pela-
yanan dasar, organisasi-organisasi lain seringkali dapat melangkah
mengisi kekosongan itu. Di negara-negara Islam terdapat sumber
legitimasi yang siap digunakan, yaitu agama. Jadi tidaklah meng-

300
Mengapa Mereka Membenci Kita?

herankan bila inilah dasar di mana kelompok-kelompok tersebut


berkembang subur. Bentuk tersebut—fundamentalisme Islam—me-
mang khas untuk wilayah ini, tetapi dinamika dasarnya serupa de-
ngan kebangkitan Nazisme, fasisme, dan bahkan populisme di Ame-
rika Serikat."
Fundamentalisme Islam memperoleh dorongan yang sangat besar
pada 1979 ketika Ayatullah Ruhullah Khomeini menggulingkan
Shah Iran. Revolusi Iran menunjukkan bahwa penguasa vang kuat
pun dapat diturunkan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Hal ini juga mengungkapkan bagaimana dalam sebuah masyarakat
yang berantakan, bahkan suatu hal yang nampak sebagai kekuatan
kemajuan yang tak berbahaya—pendidikan dan teknologi—bisa me-
nambah kekacauan. Sampai 1970-an sebagian besar kaum Muslim
di Timur Tengah buta huruf dan hidup di desa dan kota kecil. Mereka
mempraktekkan sejenis Islam-jalanan yang telah beradaptasi dengan
budaya lokal. Majemuk dan toleran, masyarakat ini seringkali me-
muja para wali, pergi ke tempat keramat, melantunkan salawat, dan
menyukai seni religius, semua hal yang secara teknis tidak diizinkan
oleh Islam. (Terutama sekali di Iran). Meskipun demikian, pada 1970-
an, orang-orang mulai bergerak keluar dari desa-desa dan penga-
laman beragama mereka tidak berakar di sebuah tempat tertentu.
Pada saat yang sama mereka belajar membaca dan menjumpai bah-
wa Islam baru sedang digembar-gemborkan oleh kaum fundamen-
talis, sebuah iman yang abstrak dan tidak berakar dalam pengalaman
sejarah melainkan bersifat harfiah, puritan, dan dangkal. Inilah Is-
lam yang menekankan kekuasaan dan ajaran yang berlawanan de-
ngan Islam dari pasar pedesaan.

Melawan 'Racun Bara P


Di Iran, Ayatollah Khomeini menggunakan teknologi yang kuat,
kaset audio. Khotbah-khotbahnya disebarkan ke seluruh negara dan
menjadi sarana perlawanan terhadap rezim Shah yang menindas.
Tetapi Khomeini tidak sendirian dalam menggunakan bahasa Is-
lam sebagai alat politik. Kaum intelektual, yang kecewa dengan mo-

301
Fareed Zakaria

dernisasi setengah-matang atau terlalu cepat yang memurukkan


dunia mereka ke dalam kekacauan, menulis buku-buku melawan
"Peracunan Barat" dan menjuluki orang-orang Iran modern—se-
paruh Barat, separuh Timur—tak punya akar. Kaum intelektual yang
bernas, seringkali menulis dari tempat tinggalnya yang nyaman di
London atau Paris, mengecam sekularisme dan konsumerisme Ame-
rika serta mendukung alternatif Islam. Ketika teori-teori sejenis me-
nyebar di dunia Arab, mereka menarik bukan bagi kaum miskin
yang paling papa, yang bagi mereka Westernisasi adalah keajaiban
(artinya makanan dan obat-obatan). Teori-teori ini menarik bagi ke-
lompok setengah-terdidik yang memasuki kota-kota di Timur Te-
ngah atau yang mencari pendidikan dan pekerjaan di Barat.
Kenyataan bahwa Islam adalah agama yang sangat egaliter dalam
sebagian besar ajarannya juga terbukti manjur sebagai seruan pem-
berdayaan bagi orang-orang yang merasa tidak punya kekuatan.
Pada saat yang sama hal ini juga berarti bahwa tidak ada Muslim
yang sungguh-sungguh punya otoritas untuk mempersoalkan apa-
kah seseorang yang menganggap dirinya Muslim yang taat adalah
benar demikian adanya. Kaum fundamentalis, mulai dari Sayyid
Qutb dan setelahnya, melompat mengisi kekosongan tersebut. Mere-
ka bertanya apakah masyarakat adalah "Muslim yang baik." Ini ada-
lah pertanyaan yang telah membuat dunia Muslim gemetar. Dan di
sini kita melihat bukan hanya kegagalan pemerintah melainkan juga
kaum intelektual dan elite sosial. Muslim moderat segan mengritik
atau membungkam fanatisme kaum fundamentalis. Sama seperti
kaum moderat di Irlandia Utara, mereka takut dengan apa yang
bakal menimpa bila mereka mengutarakan pikirannya.
Tawar-menawar yang paling menakutkan dilakukan oleh kaum
monarki moderat di Teluk Persia, khususnya Arab Saudi. Rezim Sau-
di melakukan permainan vang sangat berbahaya. Karena reputasi-
nya yang buruk di dalam negeri, mereka mengalihkan perhatian
dengan mendanai sekolah-sekolah agama (madrasah) dan pusat-
pusat yang menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang kaku dan puri-
tan—Wahabi. Selama 30 tahun terakhir sekolah-sekolah yang

302
Mengapa Mereka Membenci Kita?

dibiayai oleh Arab Saudi telah meluluskan puluhan ribu Muslim


yang fanatik dan setengah-terpelajar yang melihat dunia modern
dan non-Muslim dengan kecurigaan yang amat besar. Amerika bagi
mereka hampir selalu dianggap setan.

Bersekutu dengan Fundamentalisme


Fundamentalisme yang diekspor ini pada gilirannya menular
bukan hanya pada masyarakat Arab lain tetapi juga negara-negara
di luar dunia Arab, seperti Pakistan. Selama 11 tahun masa peme-
rintahan Jenderal Zia ul-Haq, diktator ini memutuskan bahwa ketika
ia menindas para pembangkang politik, ia butuh sekutu. Ia menda-
patkannya dari kaum fundamentalis. Dengan bantuan pendana dan
pengurus dari Saudi, ia mendirikan banyak madrasah di seluruh
negeri. Mereka memberinya legitimasi sementara, tetapi merusak
tatanan sosial Pakistan.
Bila ada satu penyebab utama dari bangkitnya fundamentalisme
Islam, itu adalah kegagalan total dari lembaga-lembaga politik di
dunia Arab. Kaum elite Muslim telah memalingkan wajahnya dari
kenyataan ini. Serangkaian konferensi yang digelar di pusat-pusat
Islam lebih suka mendiskusikan "Islam dan Lingkungan" ketimbang
mengkaji penyelewengan rezim yang berkuasa. Namun ketika kaum
mayoritas moderat memalingkan muka, Islam diambil alih oleh ele-
men kecil yang beracun, yakni orang-orang yang mendukung peri-
laku kejam terhadap perempuan, pendidikan, ekonomi, dan kehi-
dupan modern secara umum. Saya pernah melihat hal ini terjadi di
India, tempat saya dibesarkan. Islam yang kaya, penuh warna-warni,
majemuk, dan lentur yang saya kenal ketika muda, telah berubah
menjadi kejam, puritan, dan berada di bawah pengawasan kaum
teokrat dan mubaligh yang picik. Bagian berikutnya berkaitan de-
ngan apa yang dapat dilakukan Amerika Serikat untuk membantu
dunia Islam. Tetapi bila kaum Muslim tidak menolong dirinya sen-
diri untuk menghentikan agamanya masuk dalam genggaman kaum
fundamentalis, tidak ada satu pun orang luar Islam yang dapat me-
nyelamatkan mereka.

303
Fareed Zakaria

APA Y A N G HARUS D I L A K U K A N

terhadap dunia Arab adalah dosa atas kelalaian.


D O S A TERBESAR A M E R I K A

Jika orang Arab membaca esai ini sampai sejauh ini, dengan se-
gera mereka pasti akan sangat keberatan. "Boleh-boleh saja membi-
carakan kegagalan dunia Arab," kata mereka, "tapi bagaimana de-
ngan kegagalan Barat? Anda bicara tentang kemerosotan jangka pan-
jang, tapi masalah kita adalah dengan kebijakan-kebijakan Amerika
yang kejam." Bagi sebagian besar orang Arab, hubungan dengan
Amerika Serikat penuh dengan kekecewaan.
Sementara dunia Arab telah lama merasa dikhianati oleh kekua-
saan kolonial Eropa, kekecewaan terhadap Amerika dimulai teruta-
ma dengan diciptakannya negara Israel pada 1948. Bagi orang Arab,
pada masa ketika daerah-daerah koloni memperoleh kemerdeka-
annya dari Barat, Israel adalah sebuah negara di mana sebagian besar
penduduknya terdiri dari orang asing yang dipaksakan untuk ting-
gal di wilayah itu dengan dukungan Barat. Kemarahan makin men-
dalam begitu Amerika mendukung Israel selama perang 1967 dan
1973, dan karena hubungannya dengan kaum Palestina. Pemberitaan
sehari-hari tentang pemerintahan tangan besi Israel terhadap wila-
yah yang didudukinya telah mengubah hal ini menjadi perjuangan
utama dunia Arab, dan dunia Islam yang lebih luas. Di tempat-tem-
pat lain, secara sinis mereka melihat kebijakan Amerika di wilayah
tersebut sebagai kebijakan demi kepentingan minyak Amerika Se-
rikat, yang terang-terangan mendukung para penjahat dan tiran.
Akhirnya, pengeboman dan isolasi terhadap Irak menjadi bahan bagi
serangan harian terhadap Amerika Serikat. Sementara banyak or-
ang di dunia Arab tidak menyukai Saddam Hussein, mereka percaya
bahwa Amerika Serikat telah memilih metode yang sangat tidak
manusiawi untuk memeranginya—sebuah metode yang membuat
seluruh negara kelaparan.

Ada yang benar dari tuduhan-tuduhan ini. Dan dari sudut pan-
dang seorang Arab, tindakan-tindakan Amerika tidak akan pernah
terlihat adil. Seperti negara lain, Amerika juga memiliki kepen-

304
Mengapa Mereka Membenci Kita?

tingannya sendiri. Dalam pandangan saya, dosa terbesar Amerika


terhadap dunia Arab adalah dosa-dosa kelalaian. Kita telah lalai un-
tuk menekan rezim-rezim di sana agar membuka masyarakatnya.
Pengabaian ini jadi sangat mematikan akibatnya dalam kasus Af-
ganistan. Dengan melenggang keluar dari negara yang porak-po-
randa setelah 1989 ternyata menghasilkan kebangkitan bin Ladin
dan kaum Taliban. Ini bukanlah kesalahan paling fatal yang bisa
dilakukan oleh sebuah negara besar, tetapi ini adalah kesalahan yang
biasa dilakukan oleh orang Amerika. Seperti yang dipaparkan oleh
F. Scott Fitzgerald lewat tokoh-tokohnya dalam The Great Gatsby,
"Mereka orang-orang ceroboh, Tom dan Daisy—mereka menghan-
curkan segala sesuatu termasuk makhluk hidup lalu menenggelam-
kan diri dalam kekayaan mereka, atau dalam kecerobohan mereka
yang begitu besar. ..lalu membiarkan orang lain membersihkan ke-
kacauan tersebut." Amerika tidak mementingkan diri sendiri di du-
nia Arab. Tetapi ia telah bertindak ccroboh.

Menjelaskan Kemarahan Arab


Namun kecerobohan tidaklah cukup untuk menjelaskan kema-
rahan Arab. Bagaimanapun juga, bila keprihatinan terhadap bangsa
Palestina merupakan inti permasalahan, mengapa saudara-saudara
Arab mereka tidak melakukan apa pun bagi mereka? (Mereka tidak
bisa pindah ke negara Arab lainnya kecuali Yordania, dan bantuan
yang mereka terima dari negara-negara Teluk sangat kecil.) Israel
memperlakukan penduduk Arabnya yang berjumlah 1 juta sebagai
warga kelas dua, dan ini sungguh mencoreng demokrasi. Tetapi yang
merupakan tragedi bagi dunia Arab adalah bahwa Israel memberi
mereka hak-hak politik dan harga diri yang lebih besar daripada
yang diberikan oleh sebagian besar negara Arab terhadap rakyatnya
sendiri. Mengapa fokus kemarahan Arab tertuju kepada Israel dan
bukannya pada rezim-rezim tersebut?
Perasaan gusar yang tidak proporsional yang ditujukan kepada
Amerika hams ditempatkan dalam konteks keseluruhan dari perasaan
terhina, kemunduran, dan putus asa yang melanda dunia Arab.

305
Fareed Zakaria

Bagaimanapun, Cina secara terang-terangan tidak setuju dengan


sebagian besar kebijakan luar negeri Amerika dan melawan habis-
habisan para utusan Amerika Serikat. Negara-negara Afrika merasa-
kan kekecewaan dan ketidakadilan yang sama. Tetapi mereka tidak
menjadikannya kemarahan terhadap Amerika. Bangsa Arab, bagaima-
napun juga, merasa bahwa mereka berada dalam kepungan dunia
modem dan bahwa Amerika Serikat adalah simbol dunia ini. Alhasil,
setiap tindakan yang dilakukan Amerika dibesar-besarkan ribuan kali.
Dan bahkan ketika kita tidak bertindak apa pun, gosip tentang ke-
kuatan raksasa dan perbuatan mahajahat kita masih saja tersebar. Se-
bagian besar orang Amerika tak akan percaya betapa lazimnya desas-
desus ini beredar di seluruh penjuru dunia Arab: bahwa CIA atau
Mossad Israel yang meledakkan World Trade Centre untuk membe-
narkan serangan terhadap kaum Arab dan Muslim. Inilah budaya
dari mana para pelaku bom bunuh diri berasal.
Saat ini Amerika pasti sudah merencanakan strategi untuk mengha-
dapi terorisme berkedok agama ini. Seperti yang dipahami banyak
orang, ini akan menjadi perang yang sangat panjang, dengan banyak
medan pertempuran besar dan kecil. Strategi kita harus dibagi tiga:
militer, politik, dan budaya. Di sektor militer—yang saya maksudkan
adalah perang, operasi bawah tanah, dan bentuk-bentuk lain dari
penggunaan kekerasan—tujuannya sederhana: penghancuran total
al-Qaeda. Bahkan bila kita tidak pernah mengerti semua penyebab
dari teror apokaliptis tersebut, kita wajib memeranginya. Setiap or-
ang yang merencanakan dan membantu operasi teroris harus mengerti
bahwa ia akan diburu dan dihukum. Operasi mereka akan diganggu,
keuangan mereka akan dikeringkan, tempat persembunyian mereka
akan dihancurkan. Akan ada biaya yang harus dikeluarkan untuk
menjalankan strategi tersebut, namun mereka akan lenyap semuanya
jika kita berhasil. Tak ada lagi yang jadi masalah di sektor militer

Tatanan Dunia Baru yang Baru


Strategi politik lebih rumit dan lebih ambisius. Di tataran terluas,
saat ini kita memiliki kesempatan untuk menata ulang sistem inter-

306
Mengapa Mereka Membenci Kita?

nasional dalam kaitannya dengan bahaya baru yang mengancam


ini. Belum pernah ada tingkat kerja sama dari seluruh dunia seperti
ini. Kita tidak perlu curiga melihat kecenderungan ini. Banyak peme-
rintah yang merasa terancam dengan bangkitnya kekuatan subna-
sional seperti al-Qaeda. Bahkan beberapa negara yang di masa lalu
jelas-jelas mendukung terorisme, seperti Iran, kelihatannya tertarik
untuk masuk kembali ke dalam komunitas dunia dan memperbarui
cara-cara mereka.
Kita dapat menetapkan sebuah strategi untuk era pasca-Perang
Dingin yang mewadahi kebutuhan utama keamanan-nasional Ame-
rika, namun yang didukung oleh konsensus internasional yang luas.
Untuk melakukan hal ini kita harus rela melepas kesigapan masa
Perang Dingin, seperti alergi terhadap multilateralisme, dan berhenti
bersikeras bahwa Cina ingin menyaingi kita secara militer, atau Rusia
sangat mungkin akan muncul kembali sebagai ancaman militer baru.
(Selama 10 tahun ini, kekuatan pertahanan kita dikaitkan dengan
segala sesuatu kecuali bahaya sesungguhnya yang kita hadapi. Hal
ini mau tak mau akan berubah.)
Tujuan dari koalisi internasonal ini praktis dan strategis. Meng-
ingat sifat peperangan ini, kita membutuhkan kerjasama yang terjaga
dengan pemerintah lain—untuk melakukan penahanan, membasmi
tempat persembunyian, menutup rekening bank, dan berbagi data
intelijen. Aliansi politik telah menjadi masalah penting keamanan
nasional. Tetapi ada lagi keharusan yang lebih luas. Amerika Serikat
mendominasi dunia dalam suatu cara yang tak bisa tidak membang-
kitkan rasa iri, kemarahan, atau perlawanan. Itu semua buah dari
kekuasaan, tetapi kita masih perlu menyelesaikan tugas. Bila kita
dapat menyelubungi kekuatan kita dengan—maaf, maksud saya
bekerjasama dengan—lembaga seperti Dewan Keamanan PBB, du-
nia mungkin tak akan terlalu cemas terhadap Amerika Serikat. Ayah
Bush memahami hal ini, itulah sebabnya ia memastikan bahwa PBB
juga memberi sanksi pada Perang Teluk. Di sini intinya adalah ke-
berhasilan, dan legitimasi internasional dapat membantu kita me-
lakukan hal itu.

307
Fareed Zakaria

Sekarang kita berpindah ke Israel. Israel jelas-jelas merupakan


salah satu masalah yang paling utama dan paling menuntut per-
hatian di wilayah tersebut. Tetapi inilah masalah di mana kita tidak
dapat menawarkan dukungan kepada dunia Arab untuk jalan ke-
luarnya—yaitu pemusnahan negara Israel. Dengan cara apa pun kita
tidak dapat melemahkan komitmen kita terhadap keberadaan dan
keselamatan Israel. Demikian juga, kita tidak dapat meninggalkan
kebijakan kita untuk menangkal Saddam Hussein. Ia membangun
senjata pemusnah massal.

Kebijakan yang Salah di Irak


Meskipun demikian, kita tidak perlu meneruskan kebijakan yang
keliru hanya karena sakit hati. Kebijakan kita terhadap Saddam salah
besar. Kita tidak memiliki pengawas di Irak, sehingga sanksi yang
dijatuhkan—dengan alasan apa pun—membuat lapar rakyat Irak,
sementara ia terus membangun persenjataan kimia dan biologi. Ada
cara yang dapat dilakukan untuk membentuk kembali kebijakan
kita dengan memusatkan tekanan pada Saddam dan bukan rakyat-
nya, memasungnya secara militer tanpa membahayakan rakyat Irak
secara ekonomi. Colin Powell telah mencoba melakukan hal ini; seha-
rusnya ia diberi keleluasaan untuk mencoba lagi. Pada waktunya
kita mesti mengajukan pertanyaan yang lebih luas tentang apa yang
harus dilakukan terhadap Saddam, sebuah pertanyaan yang sayang-
nya tidak punya jawaban yang mudah. (Menduduki Irak, bahkan
bila kita bisa melakukannya, nampak bukan merupakan suatu ga-
gasan yang bagus dalam keadaan seperti ini.)
Terhadap Israel, kita harus membuat pembedaan yang jelas antara
haknya untuk hidup dan pendudukannya atas Tepi Barat dan Gaza.
Untuk yang pertama kita harus tetap tak boleh mengalah seperti
sebelumnya; untuk yang kedua kita harus terus mencoba mem-
bangun sebuah kesepakatan final sepanjang garis yang telah diran-
cang oleh Bill Clinton dan Ehud Barak. Saya menyarankannya bukan
karena hal ini akan menurunkan suhu ketegangan di dunia Arab—
siapa yang bakal tahu bahwa hasilnya akan seperti itu?—melainkan

308
Mengapa Mereka Membenci Kita?

lebih karena inilah yang seharusnya dilakukan. Israel tidak bisa di-
sebut sebuah negara demokrasi jika ia terus menduduki dan meme-
rintah secara militer tiga juta orang yang bertentangan dengan ke-
hendak mereka. Ini akan buruk bagi Israel, buruk bagi kaum Pales-
tina, dan buruk bagi Amerika Serikat.
Tetapi perubahan kebijakan, besar atau kecil, bukanlah inti per-
juangan vang kita hadapi. Unsur penting ketiga dari pertempuran
ini adalah strategi budaya. Amerika Serikat wajib membantu Islam
memasuki dunia modem. Sepertinya ini tantangan yang mustahil,
dan pastilah bukan yang akan kita pilih. Tetapi Amerika—dan selu-
ruh dunia—menghadapi ancaman keamanan yang mengerikan yang
tidak akan terselesaikan kecuali kita dapat menghentikan kerun-
tuhan politik, ekonomi, dan budaya yang merupakan akar dari ke-
marahan Arab. Selama Perang Dingin dunia Barat menerapkan ba-
nyak sekali strategi ideologi untuk mendiskreditkan daya tarik ko-
munisme, membuat demokrasi kelihatan menarik dan mempromo-
sikan masyarakat terbuka. Kita harus melakukan sesuatu dalam ska-
la tersebut untuk dapat memenangkan perjuangan budaya ini.

Pemikiran Segar dalam Dunia Arab


Pertama-tama, kita harus membantu negara-negara Arab yang
moderat, tetapi dengan syarat bahwa mereka mau bersikap moderat.
Sudah terlalu lama rezim-rezim seperti Arab Saudi melakukan kerja-
sama yang mengerikan dengan ekstremisme agama. Bahkan Mesir,
yang selalu mengutuk fundamentalisme, mengizinkan medianya
yang terkekang untuk mengutuk Amerika dan Israel. (Dengan begitu
mereka tidak memaki kediktatoran yang menindas mereka.) Tetapi
lebih luas lagi, kita harus membujuk kaum moderat Arab untuk me-
yakinkan masyarakatnya bahwa Islam juga dapat berdampingan
dengan masyarakat modern, bahwa Lslam mengizinkan perempuan
untuk bekerja, bahwa Islam mendorong pendidikan, dan bahwa Is-
lam membuka diri terhadap orang dari kepercayaan dan keyakinan
lain. Beberapa dari hal ini akan mereka lakukan—peristiwa 11 Sep-
tember merupakan alarm yang membangunkan banyak orang. Re-

309
Fareed Zakaria

zim Saudi mencela dan memutuskan ikatan mereka dengan Taliban


(sebuah rezim yang pernah dipuja sebagai pencerminan kemurnian
Islam.) Media Mesir sekarang meminta adanya operasi militer Ame-
rika Serikat dan Barat juga harus melakukan perannya. Kita dapat men-
danai berbagai kelompok dan ulama-ulama moderat Muslim serta
menyiarkan pemikiran segar ke Seantero dunia Arab, yang semuanya
ditujukan untuk menghancurkan kekuatan kaum fundamentalis.
Tentu saja kita wajib membantu membangun sebuah tatanan po-
litik baru di Afghanistan setelah kita menyingkirkan rezim Taliban.
Tetapi selanjutnya kita harus menekan negara-negara dunia Arab—
dan yang lainnya, seperti Pakistan, di mana virus fundamentalisme
telah menyebar—untuk melakukan reformasi, membuka diri, dan
meraih legitimasi. Kita perlu bicara serius dengan rezim-rezim ini;
karena tepat seperti yang kita lakukan dengan Korea Selatan dan
Taiwan selama Perang Dingin, kita dapat bersekutu dengan peme-
rintah diktator ini dan tetap bisa mendorong mereka ke arah peru-
bahan. Bagi mereka yang berpendapat bahwa kita tidak perlu terlibat
dalam pembangunan-bangsa {nation-building), saya akan berkata
kebijakan luar negeri bukanlah teologi. Saya sendiri merasa skeptis
tentang pembangunan-bangsa di tempat-tempat di mana kepenting-
an kita tidak jelas dan kelihatannya kita tidak bisa menjalankan pilih-
an itu. Dalam kasus ini, perkembangan politik yang stabil adalah
kunci untuk mengurangi ancaman keamanan tunggal terbesar kita.
Kita tidak punya pilihan selain harus kembali pada urusan pemba-
ngunan bangsa.

Hal ini memang terdengar seperti tantangan yang amat sulit, tapi
ada banyak isyarat baik. Al-Qaeda tidak lebih kuat daripada keku-
atan gabungan dari pemerintah-pemerintah yang keras kepala. Tak
diragukan lagi bahwa dunia bersatu di bawah kepemimpinan Ame-
rika, dan barangkali kita dalam waktu yang tak terlalu lama akan
melihat munculnya sebuah komunitas dan konsensus global baru,
yang dapat membawa kemajuan dalam banyak bidang lain kehi-
dupan internasional. Barangkali yang paling penting, fundamen-
talisme Islam masih belum menarik bagi mayoritas kaum Muslim.

310
Mengapa Mereka Membenci Kita?

Di Pakistan, partai-partai fundamentalis belum bisa mendapatkan


suara lebih dari 10 persen . Di Iran, setelah mengalami puritanisme
yang brutal dari para mullah, rakyatnya merindukan kehidupan nor-
mal. Di Mesir, dengan semua penindasan yang ada, kaum funda-
mentalis adalah kekuatan yang kukuh tapi sejauh ini tidak dominan.
Bila Barat dapat membantu Islam memasuki kehidupan modern de-
ngan penuh martabat dan kedamaian, hasilnya akan lebih besar dari-
pada pencapaian rasa aman. Hal ini akan mengubah dunia.

311
14

Perang Saudara Orang Lain

Michael Scott Doran*

Sebutlah ia kota berkaki empat


beranjak menyongsong bahaya...
New York ada fa h seorang wanita
memegang, menu n? t sejarah,
selembar kain lusuh bernama kebebasan di satu tangan
dan mencekik bumi dengan tangan yang lain.
-Adonis [Ali Ahmed Said),
"Pemakaman New Y o r k / 1971

DALAM MINGCU-MINOGU setelah serangan 1 1 September, orang Amerika


berulang kali bertanya, "Mengapa mereka membenci kita?" Namun,
untuk memahami apa yang terjadi, sebuah pertanyaan lain mungkin
lebih menohok: "Mengapa mereka ingin memprovokasi kita?"
David Fromkin menyodorkan jawabannya di Foreign Affairs pa-
da 1975. "Terorisme," tulisnya, "adalah kekerasan yang digunakan
untuk menciptakan ketakutan; namun tujuannya dalam mencipta-
kan ketakutan adalah supaya ketakutan, pada gilirannya, akan

4 M I C H A E L S c o n D O R A N mengajar selama tiga tahun di University of Central


Florida dan sekarang adalah Professor of Near Eastern Studies p a d a Princeton
University. Ia adalah penulis Pan Arabism Before Nasser: Egyptian Power Politics
and Palestine Question. Dicetak kembali atas izin Foreign Affairs, J a n u a r y / F e b -
ruary 2002. Hak cipta © 2 0 0 2 oleh Council on Foreign Relations, Inc.

313
Michael Scott Doran

menggiring orang lain—bukan si teroris—untuk memulai sejumlah


program tindakan yang agak berbeda yang akan memenuhi apa pun
yang sebetulnya diinginkan sang teroris/' Ketika seorang teroris
membunuh, tujuannya bukanlah pembunuhan itu sendiri melainkan
sesuatu yang lain—misalnya, penggerebekan polisi yang akan men-
ciptakan keretakan antara pemerintah dan masyarakat, yang selan-
jutnya bisa dimanfaatkan teroris untuk tujuan-tujuan revolusioner.
Usamah bin Ladin memancing—dan telah menerima—penggere-
bekan militer internasional, satu hal yang ingin ia manfaatkan untuk
suatu jenis revolusi.
Bin Ladin menghasilkan sebentuk teater politik tingkat tinggi
yang ia harap akan menjangkau khalayak yang paling ia prihatinkan:
umat, atau komunitas Islam universal. Naskahnya sudah jelas: Ame-
rika, yang dapat peran sebagai penjahat, diperkirakan menggunakan
kekuatan militernya seperti tokoh kartun yang mencoba membunuh
seekor lalat dengan meriam. Media akan menyorotinya sehingga
setiap penggunaan kekuatan militer terhadap penduduk sipil Af-
ganistan disiarkan ke seluruh dunia, dan umat akan terkejut men-
dapati orang Amerika dengan semena-mena menyebabkan kaum
Muslim menderita dan mati. Kemarahan yang diakibatkannya akan
membuka perbedaan sikap antara negara dan masyarakat di Timur
Tengah, dan pemerintahan-pemerintah yang bersekutu dengan Ba-
rat—banyak di antaranya menindas, korup, dan tidak sah—akan
mendapati diri mereka terombang-ambing. Untuk memancing hal
semacam itulah maka bin Ladin menyiarkan pernyataannya me-
nyusul awal serangan militer pada 7 Oktober, di mana ia berkata
bahwa Amerika dan Inggris "telah membagi seluruh dunia menjadi
dua wilayah—yang satu adalah wilayah iman, di mana tak ada ke-
munafikan, dan yang lainnya adalah kekufuran, yang semoga kita
terlindung darinya/'

Dengan memecah-belah dunia Islam antara umat dan rezim-re-


2im yang bersekutu dengan Amerika Serikat, bin Ladin akan terban-
tu meraih tujuan utamanya: memajukan perjuangan revolusi Islam
di dalam dunia Muslim itu sendiri, di daratan Arab pada khususnya,

314
Perang Saudara Orang Lain

dan di Arab Saudi. Ia tak punya maksud untuk mengalahkan Ame-


rika. Perang dengan Amerika Serikat bukan tujuan itu sendiri mela-
inkan lebih merupakan sebuah alat yang dirancang untuk membantu
jenis Islam ekstremisnya terus hidup dan tumbuh subur di antara
para penganutnya. Pendeknya, orang Amerika telah ditarik ke dalam
perang saudara orang lain.
Washington tak punya pilihan lain kecuali menyambut tantangan
itu, namun belum jelas apakah orang Amerika memahami sepenuh-
nya dimensi sebenarnya dari perang ini. Tanggapan terhadap bin
Ladin tak bisa diserahkan hanya kepada tentara dan polisi. Ia telah
melibatkan Amerika Serikat dalam pertempuran ideologis antar-
Muslim, sebuah perjuangan untuk merebut hati dan pikiran di mana
al-Qaeda telah meraih sejumlah kemenangan—seperti yang terlihat
pada keengganan sekutu-sekutu Timur Tengah Amerika untuk me-
nawarkan dukungan terbuka bagi serangan balasan. Oleh sebab itu,
langkah pertama untuk memperlemah dasar ideologi bin Ladin tak
lain adalah memahami semesta simbolis, yang ke dalamnya kita te-
lah diseret masuk.

A M E R I K A , H U B A I . Z A M A N 1N)

pada 7 Oktober memperlihatkan sebuah celah


P E R T A N Y A A N BIN LADIN

penting ke dalam dunia konseptualnya dan menuntut perhatian cer-


mat. Di dalamnya ia menyatakan, "Kemunafikan berdiri di belakang
pemimpin pemberhalaan global, di belakang Hubal zaman ini—yak-
ni, Amerika dan para pendukungnya." Mengingat simbolisme ini
gelap bagi sebagian besar orang Amerika, kalimat ini banyak diter-
jemahkan secara salah dalam pers, namun khalayak Muslim bin La-
din langsung memahaminya.
Di awal abad ke-7, ketika Nabi Muhammad mulai mengajarkan
Islam kepada suku-suku Arab penyembah berhala di Mekkah, Hubal
adalah sebuah patung batu yang berdiri di dalam Kakbah—sebuah
bangunan yang menurut ajaran Islam awalnya dibangun Ibrahim

315
Michael Scott Doran

atas perintah Tuhan sebagai tempat perlindungan Islam. Di tahun-


tahun antara Ibrahim dan Muhammad, tradisi tersebut berjalan.
Bangsa Arab menjauhi agama yang benar dan mulai menyembah
berhala, dan Hubal dianggap sebagai berhala terkuat. Ketika bin
Ladin menyebut Amerika adalah "Hubal zaman ini/' ia memberi
kesan bahwa Amerika adalah pusat utama penyembahan berhala
dan ia mencemarkan Kakbah, simbol kemurnian Islam. Penggam-
barannya memiliki dua gaung: memotret budaya Amerika sebagai
tempat pemberhalaan sembari menolak kehadiran militer Amerika
di jazirah Arab (yang, menurut definisinya, tanah suci Islam, tempat
yang terlarang bagi kaum kafir).
Kerasulan Muhammad menyeru kaum Arab Mekkah untuk kem-
bali ke keyakinan monoteis mereka. Namun, kembali ke keyakinan
yang benar bukanlah suatu hal yang mudah, karena oligarki vang
menguasai Mekkah menganiaya orang-orang Muslim awal. Dengan
menyeru penghancuran Hubal, pesan sang Rasul mengancam me-
lemahkan posisi istimewa yang Mekkah nikmati di tanah Arab seba-
gai kota pemujaan berhala. Karena nafkah hidup mereka terancam,
para penguasa kota menghukum para pengikut Muhammad dan
bersekongkol untuk membunuhnya. Oleh karenanya kaum Mus-
lim lari dari Mekkah ke Medinah, di mana mereka membentuk umat
sebagai komunitas politik dan keagamaan. Mereka bertempur dan
memenangkan peperangan melawan Mekkah yang berakhir dengan
penghancuran Hubal dan penyebaran Islam sejati ke seluruh dunia.
Namun, sebelum sang Rasul bisa meraih keberhasilan ini, ia ber-
hadapan dengan Munafiqun, kaum Munafik Medinah. Penerimaan
kepemimpinan Muhammad atas Medinah telah mengurangi kekua-
saan sejumlah pemimpin suku setempat. Di permukaan orang-or-
ang ini menerima Islam untuk melindungi status duniawi mereka,
namun di dalam hati mereka menyimpan kedengkian baik terhadap
Rasul maupun pesan-pesannya. Perbuatan-perbuatan busuknya an-
tara lain: kaum munafik yang khianat meninggalkan Muhammad
di medan perang pada saat ia telah kehilangan banyak orang. Kaum
munafik adalah orang mungkar vang menerima agama yang benar

316
Perang Saudara Orang Lain

kemudian menolaknya, dan dengan demikian mereka dipandang


lebih rendah daripada kaum kafir yang tak pernah memeluk Islam
sama sekali. Islam bisa mengerti bagaimana sulitnya bagi seorang
penyembah berhala untuk meninggalkan semua kepercayaan dan
hubungan pribadinya yang pernah begitu ia kasihi; Islam tak sepe-
maaf itu terhadap mereka yang percaya kebenaran dan kemudian
mengingkarinya.
Dalam bayangan bin Ladin, para pemimpin Arab dan dunia Mus-
lim sekarang ini adalah kaum Munafik, para penyembah berhala
yang gemetar ketakutan di belakang Amerika, Hubal 2aman ini. Pe-
dangnya menusuk sekaligus Amerika Serikat dan pemerintah-peme-
rintah yang bersekutu dengannya. Serangannya dirancang untuk
memaksa pemerintah-pemerintah tersebut memilih: Kalian bersama
musuh-musuh Tuhan yang menyembah berhala atau kalian bersama
pemeluk agama yang benar.
Organisasi al-Qaeda tumbuh dari gerakan keagamaan Islam di-
sebut Salafiyya—sebuah nama yang diambil dari al-Salaf al-Salih,
"leluhur yang layak dimuliakan," yang merujuk kepada generasi
Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kaum Salafi mengang-
gap Islam yang dipraktekkan sebagian besar Muslim saat ini terce-
mar oleh pemberhalaan; mereka ingin mereformasi agama tersebut
dengan berusaha menyamai generasi pertama Muslim, yang ma-
syarakat murninya mereka nilai sebagai pencerminan terbaik dari
apa yang diinginkan Tuhan untuk manusia. Salafiyya bukanlah se-
buah gerakan yang seragam, dan ia menyatakan diri dalam banyak
bentuk, yang sebagian besar darinya tidak melakukan pendekatan
ekstemisme ala Usamah bin Ladin atau Taliban. Mazhab Wahabi
negara Saudi, misalnya, dan doktrin keagamaan Ikhwanul Muslim
di Mesir serta kelompok besar dari organisasi keagamaan sukarela
di seluruh dunia Islam semuanya adalah Salafi. Gerakan-gerakan
ini sama-sama meyakini bahwa kaum Muslim telah menyimpang
dari ajaran Tuhan dan keadaan ini bisa dikembalikan ke keadaan
mereka yang sejati dengan mengikuti sunnah Rasul.

Seperti tokoh besar keagamaan lainnya, Muhammad meninggal-

317
Michael Scott Doran

kan warisan yang dijalankan oleh para pengikutnya dalam cara yang
berbeda-beda. Gerakan ekstremis dalam Salafiyya sangat menekankan
jihad, atau perang suci. Nabi Muhammad bertempur mati-matian me-
merangi penyembahan berhala, dan sebagian pengikutnya sekarang
ini memberi makna-penting pada bagian dari perjalanan hidupnya
ini. Para anggota al-Qaeda yang taat memperlihatkan sebuah kesang-
gupan yang tak tergoyahkan untuk memartirkan diri sendiri karena
mereka merasa bahwa, seperti Rasul, mereka terikat dalam perjuangan
hidup-mati melawan kekuatan kafir yang mengancam dari segala sisi.
Mereka menganggap diri mereka sebuah pulau para pemeluk sejati
yang dikelilingi oleh lautan ketidakadilan dan berpikir bahwa masa
depan agama itu sendiri, dan dengan demikian dunia, tergantung pada
mereka dan pertempuran mereka melawan penyembahan berhala.
Di hampir semua negara Muslim Sunni, Salafiyya menelurkan
gerakan politik fundamentalis Islam yang bekerja menekan negara
untuk menerapkan syariah, atau hukum Islam. Kaum Salafi eks-
tremis meyakini bahwa penerapan syariah secara apa adanya adalah
keharusan untuk memastikan kaum Muslim berjalan di jalur sang
Rasul. Makin ekstremis partainya, semakin tegas dan brutal tuntutan
agar negara wajib menerapkan syariah secara eksklusif. Dalam pan-
dangan kaum Salafi ekstremis, syariah adalah perintah tak terban-
tahkan Tuhan bagi kaum Muslim, dan kegagalan untuk menerap-
kannya merupakan penyembahan berhala. Dengan menyingkirkan
Tuhan dari wilayah hukum, sebuah bidang yang telah dengan jelas
Ia nyatakan untuk diriNya sendiri, hukum manusia sama saja de-
ngan penyembahan berhala. Maka, atas dasar kegagalan menerap-
kan syariahlah kaum ekstremis mencap Presiden Mesir Anwar al-
Sadat sebagai orang mungkar dan kemudian membunuhnya. Para
pembunuhnya datang dari sebuah kelompok yang sering dikenal
sebagai Jihad Islam Mesir, yang sisa-sisa pengikutnya di tahun-tahun
terakhir ini telah bersatu dengan al-Qaeda. Bahkan, para penyidik
menyakini bahwa para pemimpin Jihad Islam Mesir, Ayman al-Za-
wahiri dan Muhammad Atef (yang terbunuh dalam serangan udara
Amerika Serikat), mendalangi serangan 11 September. Dalam "Dek-

318
Perang Saudara Orang Lain

larasi Perang terhadap Amerika" pada 1996, bin Ladin memperli-


hatkan bahwa ia dan rekan-rekan Mesirnya mempunyai keyakinan
yang sama. Seperti halnya Zawahiri dan Atef yang menganggap
rezim Hosni Mubarak yang berkuasa saat ini adalah sarang orang
mungkar, begitu pula bin Ladin menganggap monarki Saudi (meski
menganut doktrin Wahabi) telah mencemarkan Islam. Menututbin
Ladin, rajanya telah mengadopsi "politeisme", yang oleh bin Ladin
didefinisikan sebagai penerimaan "hukum-hukum yang dibuat oleh
manusia...membolehkan yang sudah dilarang oleh Tuhan." Ini me-
rupakan puncak kesombongan manusia dan puncak ketidakbera-
gamaan karena berani "berbagi dengan Tuhan dalam hak tunggal-
Nya untuk berkuasa dan membuat hukum."
Dengan demikian, kaum Salafi ekstremis menganggap peradaban
Barat modern sebagai seperangkat kejahatan, yang menyebarkan
penyembahan berhala ke seluruh dunia dalam bentuk sekularisme.
Mengingat Amerika Serikat adalah negara Barat terkuat, pemasok uta-
ma budaya pop, dan negara yang paling terlibat dalam masalah politik
dan ekonomi dunia Islam, ia menerima kecaman paling keras. Hanya
rezim-rezim murtad Timur Tengah sendiri yang dikutuk lebih keras.
Dalam hal ini, perlu diingat bahwa bangkitnya Islam menggam-
barkan suatu kasus luar biasa kemenangan semangat manusia. De-
ngan tak lebih dari keimanan mereka untuk menyiapkan diri, Nabi
Muhammad dan sejumlah kecil pengikut setia memulai sebuah ge-
rakan yang berhasil menjungkalkan kerajaan-kerajaan paling kuat di
zaman mereka. Pada 11 September, para penyerang dapat dipastikan
membayangkan diri mereka mengikuti sunnah sang Rasul. Saat me-
reka naik pesawat dengan niatan untuk menghancurkan Pentagon
dan World Trade Center, mereka melantunkan doa-doa maju perang
yang berisi kata-kata "Semua peralatan, gerbang, dan teknologi me-
reka tidak akan mencegah [dirimu mencapai tujuanmu), ataupun me-
lukai [dirimu) kecuali atas kehendak Tuhan." Tak ada hal lain yang
dibutuhkan dalam imajinasi para pembajak kecuali kata-kata singkat
ini untuk mengingatkan mereka bahwa, saat mereka menyerang
Amerika, mereka berkendara tepat di belakang Muhammad, yang

319
Michael Scott Doran

pada masanya telah melepaskan pasukan yang, tak lama setelah


wafatnya, menghancurkan Kekaisaran Persia dan Byzantium (Roma-
wi Timur) yang sudah goyah—dua negara adidaya pada masa itu.

A M E R I K A , TANAH PRAJURRT P E R A N G S A U B

dunia saat ini dan tempat mereka di dalamnya,


K E T I K A BERPIKIR TENTANG

kaum Salafi ekstremis tidak hanya berkaca pada kisah berdirinya Is-
lam. Mereka juga menjelajah sampai ribuan tahun sejarah Islam untuk
mencari kesamaan-kesamaan bagi sengkarut keadaan dewasa ini. Da-
lam "Deklarasi Perang" yang dibuatnya, misalnya, bin Ladin menya-
takan bahwa penempatan pasukan Amerika di jazirah Arab adalah
agresi terbesar yang ditujukan kepada kaum Muslim sejak wafatnya
Nabi Muhammad pada 632 Masehi.
Untuk meninjau pernyataan ini secara lebih jelas, perlu diingat
bahwa dalam 1.300 tahun terakhir kaum Muslim telah menderita
sejumlah kekalahan besar, termasuk—namun bukan terbatas pada—
penghancuran kekalifahan Abbasiyah oleh orang-orang Mongol,
sebuah episode yang tertanam kuat di benak bin Ladin. Pada 1258
pemimpin Mongol yang kejam Hulegu merangsek Baghdad, mem-
bunuh sang kalifah, membantai ratusan ribu penduduk dan, seperti
kata legenda, memajang tengkorak mereka di sebuah piramid di luar
dinding kota. Apa pun yang orang pikirkan tentang kebijakan Ameri-
ka Serikat terhadap Irak, sedikit saja orang di Amerika yang akan
berpendapat bahwa penggunaan basis Saudi untuk memaksakan
sanksi terhadap rezim Saddam Hussein merupakan sebuah peristiwa
dunia yang setara dengan invasi Mongol ke Timur Tengah. Sebelum
11 September, orang mungkin bisa mengabaikan kata-kata bin Ladin
yang menganggap kebijakan Amerika Serikat mewakili puncak keja-
hatan manusia sebagai hiperbola nasionalis. Sekarang kita tahu bahwa
ia sangat serius.

Besarnya serangan atas New York dan Washington memperjelas


bahwa al-Qaeda memang sungguh-sungguh memercayai dirinya

320
Perang Saudara Orang Lain

menjalani peperangan untuk menyelamatkan umat dari Iblis, yang


diwakili oleh budaya Barat yang sekular. Pandangan ini mungkin sa-
ja ekstrem, namun pandangan ini menyebar jauh melampaui para
pengikut langsung al-Qacda di Afganistan. Bahkan pandangan sekilas
pada pers Islamisdi negara-negara Arab menunjukkan bahwa banyak
Muslim yang tidak masuk dalam jaringan teroris bin Ladin meng-
anggap moral Amerika Serikat sama saja dengan Genghis Khan. Ambil
contoh Muhammad Abbas, seorang fundamentalis Lslam Mesir yang
menulis di surat kabar AlShaab pada 21 September:

Lihat! A d a n e g a r a y a n g b e g i t u m e n j u n j u n g tinggi d e m o k r a s i n a m u n
ia j u g a l a h b i a n g p e n i n d a s a n j a h a t , b a r b a r , d a n b e r d a r a h y a n g m e l e -
b i h i k e k e j a m a n k e r a j a a n - k e r a j a a n y a n g p a l i n g liar s e k a l i p u n d a l a m
s e j a r a h . D a l a m k o l o m terakhir, s a y a m e n u l i s u n t u k p e m b a c a m e -
n g e n a i lima juta o r a n g y a n g t e r b u n u h { s e m o g a T u h a n m e n e r i m a
m e r e k a s e b a g a i s y u h a d a ) karena kejahatan vang d i l a k u k a n oleh per-
a d a b a n A m e r i k a y a n g d i p i m p i n o l e h A m e r i k a . L i m a juta o r a n g ini
terbunuh dalam beberapa dekade terakhir saja.

Perasaan yang sama membuat kolumnis Al Shaab yang lain hari


itu, Khalid al-Sharif, untuk menggambarkan rasa terkejut dan gem-
bira yang ia rasakan ketika menyaksikan World Trade Center runtuh:

Lihat! A m e r i k a , p e n g u a s a d u n i a , h a n c u r lebur. L i h a t ! Iblis y a n g m e -


n g u a s a i d u n i a , t i m u r d a n b a r a t , terbakar. Lihat! S p o n s o r t e r o r i s m e
sekarang terbakar apinya sendiri.

al-Qaeda melihat dunia secara hitam-putih dan me-


K A U M FANATIK

ngedepankan pandangan Islam yang sangat sempit. Hal ini menja-


dikan mereka mayoritas kecil di antara kaum Muslim. Namun kate-
J
gori-kategori dasar pemikiran mereka langsung bersumber dari aliran
utama Salafiyya, sebuah aliran yang mempunyai banyak pengikut
selama 50 tahun terakhir. Kesamaan inilah yang kemudian memastikan
penyambutan hangat ide-ide bin Ladin di berbagai belahan dunia.

321
Michael Scott Doran

Dalam ajaran Salafi, Amerika Serikat muncul sebagai anggota


senior "persekutuan Zionis-Salibis" yang bertujuan menaklukkan
kaum Muslim, membunuh mereka dan, yang paling penting, meng-
hancurkan Islam. Pembacaan yang cermat memperlihatkan bahwa
aliansi ini mencakup lebih dari sekadar hubungan erat antara Ame-
rika Serikat dan Israel saat ini. Kerja sama internasional antara Wash-
ington dan Yerusalem tak lain adalah manifestasi keji dari kejahatan
besar yang berskala kosmik. Maka dalam "Deklarasi Perang" yang
dibuatnya, bin Ladin mendaftar 10 sampai 12 titik rawan di dunia
di mana kaum Muslim baru-baru ini tewas (termasuk Bosnia, Chech-
nya, dan Libanon) dan menyebutkan semua kematian ini disebabkan
persekongkolan yang dipimpin oleh Amerika Serikat, sekalipun
Amerika sebenarnya tak memainkan peranan dalam memicu per-
selisihan. Di dalam sebuah dokumen lain, "Jihad against Jews and
Crusdares" ("Jihad melawan Yahudi dan Salibis"), bin Ladin meng-
gambarkan kebijakan Amerika Serikat terhadap Timur Tengah seba-
gai "pernyataan perang yang jelas kepada Tuhan, utusanNya, dan
kaum Muslim."

Sekalipun hal ini mungkin terdengar ganjil bagi khalayak Ame-


rika, ide bahwa Amerika Serikat telah bersumpah untuk memusuhi
Tuhan berurat-akar dalam ajaran Salafi. Ide ini telah beredar lebih
dari 50 tahun dan menjangkau banyak orang antara lain berkat karya
Sayyid Qutb, pemikir Salafi terpenting selama setengah abad ter-
akhir dan seorang penulis yang masih populer di negara-negara
Muslim bahkan sampai hari ini, hampir 40 tahun setelah kematian-
nya. Nukilan dari buku yang ditulis pada 1950-an menggambarkan
poin ini. Saat mengemukakan alasan-alasan mengapa negara Barat
gagal mendukung kaum Muslim melawan musuh mereka di Pakis-
tan, Palestina, dan di tempat lain, Qutb menorehkan sejumlah pen-
jelasan umum seperti pengaruh keuangan Yahudi dan tipu daya Ke-
rajaan Inggris, namun ia juga menyimpulkan,

S e m u a o p i n i ini m e n g a b a i k a n s a t u u n s u r p e n t i n g d a l a m p e r s o a l a n
i n i . . . s e m a n g a t S a l i b i s y a n g m e n g a l i r di d a r a h o r a n g Barat. Inilah

322
Perang Saudara Orang Lain

y a n g mewarnai s e m u a pemikiran mereka, yang menjadi sebab ke-


t a k u t a n imperialistik m e r e k a a k a n s e m a n g a t I s l a m , d a n u s a h a - u s a h a
m e r e k a u n t u k m e n g h a n c u r k a n k e k u a t a n Islam. K a r e n a n a l u r i d a n
k e p e n t i n g a n dari s e m u a o r a n g B a r a t b e r p a d u d a l a m u p a y a p e n g -
h a n c u r a n k e k u a t a n ini. Inilah f a k t o r u m u m y a n g m e n y a t u k a n Rusia
k o m u n i s d a n A m e r i k a kapitalis. Kita t i d a k m e l u p a k a n p e r a n Z i o n -
i s m e i n t e r n a s i o n a l d a l a m p e r e n c a n a a n m e l a w a n Islam d a n j u g a da-
lam p e n g u m p u l a n kekuatan kaum imperialis Salibis dan materialis
k o m u n i s . Hal ini tak l a i n a d a l a h l a n j u t a n p e r a n y a n g d i m a i n k a n
k a u m Y a h u d i s e j a k h i j r a h n y a N a b i M u h a m m a d ke M e d i n a h d a n
bangkitnya negara Islam.

Sayyid Qutb, Usamah bin Ladin, dan seluruh Salafiyya ekstremis


melihat peradaban Barat, dalam semua periode dan semua bentuk,
sebagai sebuah peradaban yang pada dasarnya memusuhi kaum
Muslim dan Islam itu sendiri. Barat dan Islam terbelenggu dalam
konflik yang berkepanjangan. Islam akhirnya akan menang hanya
setelah menjalani kesulitan yang luar biasa. Sejarah dewasa ini, yang
terdefinisikan oleh dominasi Barat, membentuk era tergelap dalam
keseluruhan sejarah Islam.

AMERIKA DAN A N C A M A N MONGOL

sifat ancaman yang dihadirkan Barat mo-


K E T I K A M E N C O B A MENGATASI

dern, kaum Salafi ekstremis berpaling ke ajaran Ibnu Taimiyyah un-


tuk mencari panduan. Ia adalah tokoh besar dalam sejarah pemikiran
Islam, lahir di Damaskus di abad ke-13, ketika Suriah berada di ba-
wah ancaman invasi orang-orang Mongol. Kaum radikal modern
menganggapnya menarik karena ia juga menghadapi ancaman dari
peradaban pesaing. Ibnu Taimiyyah sang pengobar semangat men-
dorong kaum Muslim untuk berperang melawan Mongol sang mu-
suh, sementara Ibnu Taimiyyah sang intelektual membimbing komu-
nitasnya melalui masalah yang dihadapi kaum Muslim ketika ta-

323
Michael Scott Doran

tanan sosial mereka ambruk di bawah bayang-bayang kekuatan non-


Muslim. Wajar sekiranya bin Ladin sendiri bersandar pada sosok
terkemuka ini untuk melegitimasi kebijakan-kebijakannya. Namun,
menggunakan Ibnu Taimiyyah untuk membidik Amerika menandai
perubahan yang menarik dalam sejarah Salafiyyah radikal.
"Deklarasi Perang" bin Ladin menggunakan jalan pikiran Ibnu
Taimiyyah guna membujuk kelompok lain dalam Salafivya untuk
meninggalkan taktik lama dan menggantinya dengan yang baru.
Rujukan pertama kepadanya muncul dalam diskusi mengenai
"aliansi Zionis-Salibis/' yang menurut bin Ladin telah memenjara-
kan dan membunuh para mubaligh radikal—orang-orang seperti
Syekh Omar Abdul Rahman, yang dipenjara karena merencanakan
serangkaian pengeboman di Kota New York menyusul pengeboman
World Trade Center pada 1993. Bin Ladin berpendapat bahwa "ge-
rakan Salibis yang keji di bawah kepemimpinan Amerika Serikat"
takut kepada para mubaligh ini karena mereka akan berhasil me-
ngerahkan komunitas Islam melawan Barat, seperti yang dilakukan
Ibnu Taimiyyah melakukannya terhadap orang Mongol pada ma-
sanya. Setelah mengindentifikasi ancaman Amerika Serikat kepada
Islam setara dengan orang Mongol, bin Ladin lantas mendiskusikan
apa yang harus dilakukan. Ibnu Taimiyyah memberikan jawaban-
nya: "Berperang membela agama dan iman adalah sebuah tugas
bersama; tak ada tugas lain demi keyakinan kecuali memerangi mu-
suh yang telah merusak kehidupan dan agama." Dengan kata lain,
hal terpenting berikutnya setelah menerima firman Tuhan adalah
berperang untuknya.

Dengan menyeru umat untuk memerangi orang Amerika seakan-


akan mereka adalah orang Mongol, bin Ladin dan para pembantu
dekatnya yang berasal dari Mesir telah membawa kelompok Sa-
lafiyyah ekstremis menyusuri jalan radikal baru. Para militan sudah
lama menganggap Barat sebagai setan perusak yang sama dengan
orang Mongol, namun yang sedari dulu mereka bidik adalah musuh
dalam negeri, kaum Munafik dan orang-orang murtad, daripada
Hubal itu sendiri. Sadar bahwa ia telah berpindah sasaran, bin Ladin

324
Perang Saudara Orang Lain

mengutip Ibnu Taimiyyah panjang lebar untuk membentuk pijakan


dasar bahwa "orang-orang Islam harus menggabungkan kekuatan
dan saling mendukung untuk menyingkirkan kafir besar," sekalipun
hal ini berarti bahwa kaum fanatik akan dipaksa untuk bertempur
bersama kaum Muslim yang ketaatannya diragukan. Di dalam ske-
ma besar ini, menurutnya, Tuhan sering menggunakan motif-motif
dasar dari kaum Muslim yang tidak taat sebagai cara untuk mema-
jukan perjuangan agama. Akibatnya, bin Ladin menyeru kepada re-
kan-rekan fundamentalis radikalnya untuk menunda revolusi Is-
lam, untuk berhenti memerangi kaum Munafik dan murtad: "Sebuah
perang internal adalah kesalahan besar, tak peduli alasannya," ka-
rena pertengkaran sesama Muslim hanya membantu Amerika Seri-
kat meraih tujuannya menghancurkan Islam.
Pergeseran fokus dari musuh dalam negeri ke kekuatan asing ma-
kin dahsyat setelah bergabungnya al-Qaeda dan Jihad Islam Mesir.
Keputusan Jihad Islam Mesir untuk membunuh Sadat pada 1981 ber-
sumber langsung dari prinsip bahwa perjuangan Islam akan tercapai
dengan membidik pemimpin-pemimpin Muslim yang lemah da-
ripada memerangi orang asing, dan dalam hal ini ajaran Ibnu Tai-
miyyah memainkan peran penting. Di masanya kaum Muslim sering
mendapati diri mereka di bawah para penguasa Mongol yang telah
menyerap Islam dalam satu dan lain bentuk. Ibnu Taimiyyah berpen-
dapat bahwa para penguasa ini—yang di luarnya berpura-pura men-
jadi Muslim namun secara diam-diam tetap menganut kepercayaan
Mongol yang tidak islami—harus dianggap kafir. Selain itu, menu-
rutnya, dengan menerima Islam tetapi gagal menjalankan ajaran pen-
ting dari agama ini, mereka sebenarnya telah murtad dan dengan
demikian menulis hukuman mati mereka sendiri. Secara umum, Is-
lam melarang memerangi sesama Muslim dan dengan tegas melarang
hak untuk memberontak penguasa; dengan demikian, ajaran-ajaran
Ibnu Taimiyyah penting dalam perkembangan teori revolusioner Is-
lam Sunn i modem.

Jihad Islam Mesir memandang para pemimpin seperti Sadat se-


bagai orang murtad. Sekalipun mereka mungkin menunjukkan tanda-

325
Michael Scott Doran

tanda kepatuhan di luar, mereka tidak benar-benar memiliki Islam di


hatinya, sebagaimana dibuktikan dengan kegagalan mereka mene-
rapkan syariah. Perilaku non-Islami ini memperlihatkan bahwa para
pemimpin semacam itu sebenarnya mengabdi kepada Barat yang
sekular, tepat seperti para penguasa dari generasi sebelumnya yang
seolah-olah Muslim tetapi sebetulnya mengabdi pada Mongol, dan
sebagaimana halnya kaum Munafik mengabdi pada penyembahan
berhala. Jihad Islam menjelaskan dirinya pada pertengahan 1980-an
dalam sebuah pernyataan yang panjang dan jernih yang berjudul "Tu-
gas yang Terabaikan." Ini bukanlah sebuah manifesto politik seperti
halnya traktat bin Ladin, melainkan suatu argumen yang tenang dan
jelas yang membidik para penganut yang serius, dan bukannya ke-
rumunan orang banyak yang marah namun lemah. Tidak seperti pe-
rang suci bin Ladin, doktrin Jihad Islam, sekalipun kejam, sangat se-
suai dengan kesadaran umum Salafi, yang secara sejarah lebih prihatin
dengan keadaan kaum Muslim itu sendiri daripada hubungan antara
Islam dan dunia luar. Dengan demikian, keputusan untuk membidik
Amerika menimbulkan pertanyaan apakah, selama 1990-an, Jihad
Islam Mesir telah mengganti ideologi mereka sepenuhnya? Apakah
para pemimpinnya memutuskan bahwa musuh asinglah yang sebe-
narnya musuh sejati? Ataukah pengeboman pada 1993 di New York
lebih taktis ketimbang strategis?

Jawabannya tampaknya adalah yang terakhir. "Deklarasi Perang"


bin Ladin sendiri menyatakan sifat taktis serangannya terhadap Ame-
rika. Tidak seperti "Tugas yang Terabaikan", yang menghadirkan
sebuah argumen yang terarah, "Deklarasi Perang" bergeser dari satu
topik ke topik yang lain, yang saling bertentangan di sana-sini. Di
satu sisi, ia menyeru persatuan untuk menghadapi agresi dari luar
dan menuntut diakhirinya perang yang menghancurkan kedua belah
pihak; di sisi lain, ia pada dasarnya menyeru munculnya sebuah revo-
lusi di Arab Saudi. Dengan menghadirkan sebuah serangkaian per-
nyataan menentang keluarga penguasa Saudi dan dengan membahas
politik Arab Saudi secara panjang lebar dan rinci, bin Ladin memprotes
terlalu banyak: ia menyatakan bahwa sebenarnya ia belum menying-

326
Perang Saudara Orang Lain

kirkan perang internal di antara sesama umat. Selain itu, ia juga me-
nyatakan bahwa basis ideologi untuk perang internal belum berubah.
*Anggota elite Saudi, seperti Sadat, telah melakukan kemurtadan. Se-
perti kaum Munafik Medinah, mereka mengabdi pada kekuatan tak
beragama dengan tujuan melukai para pengikut sang Rasul dan
pesan-pesannya:

Kalian lebih tahu daripada orang lain tentang jumlah, niat, dan ba-
haya kehadiran pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah ini.
Rezim [Saudil telah mengkhianati umat dan bergabung dengan ka-
um kafir, membantu mereka...melawan Muslim. Umum diketahui
bahwa hal Ini adalah salah satu dari sepuluh "pendusta" Islam, tin-
dakan de-Islamisasi. Dengan membuka Jazirah Arab untuk para Sali-
bis, rezim itu telah mengingkari dan bertindak menentang apa yang
yang sudah disatukan oleh utusan Tuhan.

USAMAH BIN LADENpercaya bahwa orang Amerika adalah Salibis-


Zionis, bahwa mereka mengancam orang-orangnya lebih hebat dari-
pada orang Mongol—pendeknya, mereka adalah musuh Tuhan itu
sendiri. Namun ia juga melihat mereka sebagai penghalang bagi
rencananya untuk kampung halamannya. "Deklarasi Perang" sekali
lagi membuktikan pepatah lama bahwa akhirnya semua politik ada-
lah lokal.

K E G A G A L A N ISLAM P O L I T I K

JIKA SERANGAN-SERANGAN ke Amerika Serikat memperlihatkan sebuah


perubahan di dalam taktik Salafi radikal, maka seseorang pasti berta-
nya-tanya apa yang mendorong bin Ladin dan Zawahiri melakukan
perubahan tersebut. Jawabannya adalah bahwa serangan tersebut
merupakan tanggapan terhadap kegagalan berbagai gerakan eks-
tremis di negara-negara Muslim dalam beberapa tahun terakhir,
yang secara umum terbukti tak mampu mengambil alih kekuasaan

327
Michael Scott Doran

(dengan pengecualian adalah Sudan dan Afganistan). Dalam dua


dekade terakhir, beberapa kelompok keras telah menentang rezim-
rezim di Mesir, Suriah, dan Aljazair, namun dalam semua kasus pe-
merintah berhasil menghancurkan, menunggangi, atau meming-
girkan kelompok radikal. Dalam kata-kata "Deklarasi Perang",

aliansi Zionis-Salibi.s bergerak begitu cepat membendung dan


menggagalkan setiap "gerakan korektif yang muncul di negara-
negara Islam. Cara dan metode yang berbeda digunakan untuk
meraih sasaran mereka. Kadang kala para pejabat dari Departemen
Dalam Negeri, yang juga lulusan dari perguruan tinggi syariah,
[dibiarkan] untuk menyesatkan dan membingungkan negara dan
umat.. .dan untuk menyebarkan informasi palsu mengenai gerakan
ini, menghabiskan energi bangsa untuk mendiskusikan persoalan-
persoalan kecil dan mengabaikan persoalan utama yaitu penyatuan
orang-orang di bawah hukum ilahiah dari Tuhan.

di Mesir, Aljazair, dan tempat-tempat lain rezim-


M E N G I N G A T BAHWA

rezim yang berkuasa telah menggunakan kekerasan yang hebat un-


tuk melindungi diri mereka, merupakan suatu hal yang mengejutkan
bahwa di sini bin Ladin menekankan bukan pada kebrutalan mela-
inkan lebih pada propaganda tandingan yang dirancang untuk me-
mecah-belah dan berkuasa. Sadar atau tidak, ia telah memperli-
hatkan sebuah masalah serius yang dimiliki kaum Salafi ekstremis:
keterbatasan teori politik dan ekonomi mereka.
Selain keinginan kuat untuk menerapkan syariah, menuntut ke-
adilan sosial, dan menjadikan umat satu-satunya komunitas politik
yang sah, kaum Salafi radikal nyaris tak menawarkan apa-apa untuk
menanggapi masalah duniawi yang dihadapi masyarakat dan pe-
merintahan dalam dunia modern ini. Islam ekstremis sangat efektif
dalam menumbuhkan gerakan protes: ia bisa menghasilkan kader
aktivis yang setia tanpa batas terhadap perjuangan, ia bisa membakar
orang-orang untuk berjuang melawan penindasan. Namun ia punya
masalah serius dalam hal penciptaan lembaga-lembaga dan pro-

328
Perang Saudara Orang Lain

gram-program yang bisa menarik perhatian dari kelompok-ke-


lompok yang berbeda dalam jangka panjang. Keberhasilannya sa-
ngat bersandar pada dukungan para penganut fanatiknya, namun
mereka cenderung untuk terpecah-pecah karena perselisihan me-
nyangkut doktrin, kepemimpinan, dan agenda.
Keterbatasan teori politik Salafi ekstremis dan kecenderungannya
untuk terpecah-pecah jadi terlihat jelas ketika orang membandingkan
tujuan al-Qaeda dengan kelompok teroris Palestina, Hamas, yang para
pelaku bom bunuh dirinya juga menjadi berita utama baru-baru ini.
Ideologi Hamas juga bersumber dari lingkungan Salafiyya ekstremis
Mesir, dan seperti al-Qaeda ia juga mempunyai sebuah pandangan
yang paranoid tentang dunia: umat dan Islam sejati terancam kepu-
nahan karena penyebaran sekularisme Barat, kebijakan Barat yang
Salibis, dan penindasan oleh Zionis. Baik Hamas maupun al-Qaeda
percaya bahwa pemeluk yang taat harus melenyapkan Israel. Namun
jika Hamas dan agendanya dilihat lebih dekat, orang akan bisa melihat
banyaknya perbedaan penting dengan al-Qaeda. Hal ini karena
Hamas beroperasi di tengah-tengah bangsa Palestina yang nasionalis,
sebuah mayoritas yang sangat mendambakan akhir pendudukan Is-
rael dan pembentukan sebuah negara Palestina sebagai bagian Pales-
tina yang bersejarah.

Pandangan nasionalis dari publik Hamas menghadapkan organi-


sasi tersebut pada sejumlah masalah pelik. Nasionalisme, menurut
Salafiyya ekstremis, membangun syirik—penyekutuan Tuhan atau
pemberhalaan. Jika politik dan agama bukanlah kategori yang berbe-
da, seperti pendapat Salafi ekstremis, kehidupan politik harusnya ber-
pusat pada Tuhan dan hukum Tuhan. Kedaulatan bukan menjadi mi-
lik negara melainkan milik Tuhan semata, dan satu-satunya komunitas
politik yang sah adalah umat. Kebanggaan di dalam sebuah kelompok
etnik bisa ditoleransi hanya sepanjang ia tidak memecah komunitas
pemeluk, yang telah menjadi sebuah unit yang tak terbagi-bagi berkat
syariah. Suatu ketika, demikian keyakinan kaum ekstremis Salafi, ta-
pal batas politik akan terhapus dan semua Muslim akan hidup di
dalam satu pemerintahan yang membaktikan diri pada kehendak Tu-

329
Michael Scott Doran

han. Namun, pada saat ini, prioritasnya bukanlah menghapuskan per-


batasan melainkan menegakkan syariah dan menghapus hukum se-
kular, Nasionalisme adalah pemberhalaan karena ia membagi umat
dan menggantikan kesadaran yang berpusat pada syariah dengan
kebanggaan etnik.
Namun, jika Hamas benar-benar mengutuk kaum nasionalis Pa-
lestina sekular sebagai orang-orang murtad, ia akan segera menjadi-
kan dirinya sendiri tak relevan secara politik. Untuk mengatasi ma-
salah ini, organisasi ini mengembangkan pandangan rumit tentang
sejarah Islam yang tujuannya mengangkat perjuangan nasional or-
ang-orang Palestina ke sebuah posisi yang mahapenting bagi umat
secara keseluruhan. Hal ini memungkinkan aktivis Hamas ikut serta
dalam dunia politik sehari-hari sebagai kawan seperjuangan kaum
nasionalis. Dengan demikian, salah satu aspek menarik dari Salafiyya
ekstremis Palestina adalah anjing yang tidak menggonggong: berbeda
dengan gerakan serupa di negara-negara tetangga, Hamas telah mena-
han diri untuk tidak mencap para pemimpin sekular di Otoritas Pales-
tina sebagai orang murtad. Bahkan ketika Yaser Arafat sedang sengit-
sengitnya menumpas Hamas, gerakan ini tidak pernah secara terbuka
mencapnya sebagai penyembah berhala.

Seperti al-Qaeda, Hamas berpendapat bahwa sebuah persekong-


kolan antara Zionisme dan Barat telah dibentuk untuk menghan-
curkan Islam, namun untuk alasan yang jelas ia membesarkan peran
Zionisme dalam aliansi ini. Sumpah Hamas, misalnya, melihat Zi-
onisme sebagai sebuah kekuatan yang menentukan banyak perkem-
bangan sejarah terbesar dalam masa modern:

[Zionis] berada di balik Revolusi Prancis, revolusi komunis...Mereka


berada di balik Perang Dunia 1, ketika mereka mampu menghan-
curkan kekalifahan Islam (Kekaisaran Ottoman]...Mereka men-
dapatkan Deklarasi Balfour Iyang memihak pendirian tanah air Ya-
hudi di Palestina], [dan] membentuk Liga Bangsa-Bangsa, yang me-
laluinya mereka bisa menguasai dunia. Mereka berada di balik Pe-
rang Dunia II, yang darinya mereka mendapatkan keuntungan finan-

330
Perang Saudara Orang Lain

sial sangat besar dengan jual beli peralatan perang, dan merintis
jalan untuk pendirian negara mereka. Merekalah yang menghasut
digantinya Liga Bangsa-Bangsa dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan Dewan Keamanan...Tak ada perang di mana pun, tanpa adanya
campur tangan (mereka).

APAKAH para cendekiawan dan orang-orang terpelajar benar-benar


memercayai hal ini? Ya, karena mereka harus; pemahaman diri me-
reka bergantung padanya. Mengingat perjuangan politik mereka ha-
rus untuk kepentingan yang lebih besar bagi umat dan Islam secara
keseluruhan, musuh mereka harus jauh lebih banyak daripada se-
kelompok orang Yahudi yang menduduki secuil wilayah Muslim.
Musuh tersebut harus merupakan perwujudan iblis yang mengatasi
ruang dan waktu.
Sekalipun kesucian Yerusalem dijunjung tinggi Hamas, di dalam
Islam Yerusalem tidak menikmati status seperti Mekkah dan Medi-
nah, dan Yerusalem hanyalah sebuah kota, bukan seluruh negeri.
Oleh karena itu, untuk menjumbuhkan perhatian politik dan ke-
agamaannya, Hamas harus memercikkan nilai penting Palestina da-
lam sejarah Islam: "Serangan gencar Zionis baru-baru ini," bunyi
sumpah itu, "juga telah didorong oleh serangan Salibis dari Barat
dan serangan kaum Barbar lain dari timur [Mongol)." Rujukannya
di sini adalah Saladin, pemimpin Muslim yang mengalahkan Salibis
di Palestina pada pertempuran Hattin pada 1187, dan tentara Mus-
lim yang mengalahkan Mongol di wilayah lain Palestina yang ber-
nama Ayn Jalut pada 1260. Atas dasar inilah Hamas berpendapat
bahwa Palestina selalu menjadi benteng pertahanan terhadap mu-
suh-musuh Islam; dengan demikian, umat harus bergerak di be-
lakang orang Palestina untuk menghancurkan Israel, yang melam-
bangkan serangan besar ketiga terhadap agama sejati sejak wafatnya
Nabi Muhammad.

Dengan demikian, terlepas dari persamaan sudut pandang me-


reka, al-Qaeda dan Hamas memiliki agenda yang agak berbeda. Al-
Qaeda membenarkan tujuan politiknya atas dasar kesucian Mekkah

331
Michael Scott Doran

dan Medinah dan atas pernyataan bahwa kehadiran pasukan Ame-


rika Serikat di Arabia melahirkan agresi terbesar yang belum pernah
dialami Muslim. Hamas melihat perjuangannya sendiri melawan
Israel sebagai tugas pertama umat. Dua organisasi ini tak diragukan
lagi mempunyai cukup persamaan untuk memudahkan kerja sama
politik menyangkut mengenai banyak persoalan, namun pada titik
tertentu agenda mereka berbeda secara radikal, sebuah perbedaan
yang bersumber dari prioritas mereka yang berlainan yang terkait
dengan latar belakang Saudi dan Palestina mereka masing-masing.
Perbedaan antara al-Qaeda dan Hamas menunjukkan bagaimana
kondisi lokal bisa membentuk unsur-unsur universal kesadaran Sa-
lafi menjadi pandangan dunia yang berbeda. Mereka memperlihat-
kan kreativitas kaum fundamentalis Islam radikal dalam mengatasi
suatu masalah praktis yang mirip dengan persoalan yang dihadapi
kaum komunis di awal abad ke-20: bagaimana membangun sebuah
gerakan politik universal yang juga bisa berfungsi efektif di tingkat
lokal. Hal ini menjelaskan mengapa, ketika orang melihat peta politik
Salafiyya ekstremis, orang mendapati banyak organisasi yang se-
muanya menegaskan bahwa mereka memperjuangkan prinsip yang
sama. Dalam kenyataannya, mereka semua menuntut diterapkannya
syariah, namun kekuatan sosial dan politik tertentu yang mengge-
rakkan tuntutan ini sangat berbeda dari satu tempat ke tempat lain-
nya. Mereka semuanya berbaris untuk mengikuti pemain genderang
Tuhan, namun orang-orang yang berbaris ini cenderung untuk ber-
gerak ke arah yang berlainan.

Taktik baru dalam membidik Amerika tersebut dirancang untuk


mengatasi kelemahan Islam politik ini. Bin Ladin sukses dalam me-
nyerang Hubal, musuh universal: ia mengenali satu-satunya sasaran
yang bisa dinyatakan sebagai sasaran bersama oleh semua anak ca-
bang gerakan Salafiyya di seluruh dunia, dan dengan demikian men-
cerminkan dan memperkuat keyakinan kolektif bahwa umat sebe-
narnya merupakan sebuah komunitas politik. Ia dan rekan-rekannya
mengadopsi strategi ini bukan karena pilihan, namun karena kepu-
tusasaan, suatu keputusasaan yang lahir dari fakta bahwa dalam

332
Perang Saudara Orang Lain

tahun-tahun terakhir Salafi ekstrem telah kalah secara politik hampir


di semua tempat di negara Arab dan Muslim. Taktik baru ini, dengan
mengetuk ke dalam emosi terdalam komunitas politik, begitu meng-
hentak dan—sangat sial bagi Amerika—tak diragukan lagi akan
memberi Islam politik ledakan energi baru.

MENJELASKAN GEMA

KEPUTUSAN UNTUK membidik Amerika Serikat memungkinkan al-


Qaeda bisa memainkan peran "Internasional Salafi" radikal. Hal ini
bergema melampaui komunitas kecil para ekstremis fanatik, men-
jangkau bukan saja kaum Salaf» moderat melainkan juga banyak
penduduk yang bukan pengikut yang mengalami kemiskinan, pe-
nindasan, dan ketidakberdayaan di seluruh negara-negara Muslim.
Gema yang lebih luas dari apa yang bagi kita tampak sebagai pesan
brutal dan penuh kebencian ini adalah dimensi persoalan yang pa-
ling susah dipahami rakyat Amerika.
Satu alasan untuk sambutan hangat tersebut adalah derajat di
mana gerakan politik Salafi, meskipun gagal meraih kekuasaan ne-
gara, berhasil dalam mendapatkan pijakan budaya di negara-negara
Muslim. Banyak rezim otoriter (seperti Mubarak di Mesir) telah
membuat kesepakatan dengan kelompok ekstremis: sebagai imbalan
penghentian pembunuhan-pembunuhan, rezim ini diam-diam me-
nyetujui beberapa tuntutan yang berkaitan dengan penerapan
syariah. Selain itu, ia memperbolehkan kelompok ekstremis untuk
menjalankan organisasi kesejahteraan sosial yang sering memberi-
kan layanan secara lebih efisien ketimbang yang dilakukan oleh sek-
tor pemerintah yang penuh dengan korupsi dan kebusukan. Kehadiran
budaya Salafi yang kuat di seluruh negara Lslam ini tidak hanya berarti
makin meningkatnya pamor mereka tetapi juga bahwa simbolisme
mereka jadi kian diakrabi publik ketimbang waktu-waktu sebelumnya.
Namun serangan terhadap Amerika juga bergema sangat dalam
di antara kelompok-kelompok sekular di banyak negara. Reaksi se-

333
Michael Scott Doran

ketika dalam pers Arab sekular, misalnya, terbagi dalam tiga kate-
gori. Yang minoritas mengecam keras serangan itu tanpa syarat, mi-
noritas lain menyebut serangan itu dilakukan oleh Israel atau eks-
tremis Amerika seperti Timothy McVeigh, dan mayoritas besar me-
nanggapi dengan sebuah versi dari "Ya, tetapi"—ya, serangan teroris
terhadap kalian adalah salah, tetapi kalian mesti mengerti bahwa
kebijakan kalian sendirilah selama bertahun-tahun di Timur Tengah
yang menyebarkan benih kekerasan semacam ini.
Rasionalisasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah protes politik
terhadap peran yang dianggap dimainkan Amerika Serikat di Timur
Tengah. Komentator Arab dan Islam, dan sejumlah analis terkemuka
tentang Timur Tengah di negara ini, menunjuk secara khusus pene-
rapan sanksi Amerika Serikat atas Irak dan dukungan Amerika Seri-
kat bagi Israel dalam upayanya melawan nasionalisme rakyat Pales-
tina. Kedua isu ini jelas mendatangkan kemarahan, dan sekiranya
Amerika Serikat melaksanakan pemindahan pemukiman warga Is-
rael dari Tepi Barat dan mengangkat penderitaan yang membebani
rakyat Irak, sebagian dari kemarahan ini pasti akan mereda. Namun
sekalipun perubahan dalam kebijakan-kebijakan tersebut akan me-
lemahkan daya tarik bin Ladin, hal ini tak akan memecahkan masa-
lah kemarahan dan keputusasaan yang lebih luas yang ia ketuk,
karena sumber dari perasaan-perasaan ini berada di luar wilayah
diplomasi pada umumnya.

Memang, wacana politik sekular dalam dunia Islam pada umum-


nya dan dunia Arab pada khususnya mempunyai kesamaan yang
menyolok dengan tafsir Salafi terhadap persoalan internasional, ter-
utama sejauh keduanya bicara mengenai persekongkolan Barat. Pers
sekular tidak membuat rujukan sampai kaum Salibis dan Mongol
namun lebih pada serangkaian "janji vang diingkari" yang dimulai
sejak Perang Dunia I, ketika negara-negara Eropa membagi-bagi Ke-
kaisaran Ottoman untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Me-
nurut analisis ini, mereka menaruh Israel di tengah-tengah Timur
Tengah untuk memecah negara Arab, dan Amerika Serikat berlanjut
mendukung Istael untuk tujuan yang sama. Bin Ladin memainkan

334
Perang Saudara Orang Lain

sentimen ini dalam pernyataannya pada tanggal 7 Oktober ketika


ia berkata.

Apa yang Amerika Serikat rasakan hari ini adalah sangat kecil di-
bandingkan dengan apa yang kita rasakan selama berpuluh tahun.
Bangsa kita telah merasakan penganiayaan dan penghinaan ini sela-
ma lebih dari delapanpuluh tahun. Anak-anaknya terbunuh, da-
rahnya tersembur, dan tempat-tempat sucinya diserang, dan tidak
diperintah sesuai perintah Tuhan.

Selama 80 tahun—artinya, sejak hancurnya Kekaisaran Ottoman—


kaum Arab dan Muslim telah direndahkan. Sekalipun mereka tidak
mempunyai agenda masa depan penuh kedamaian dan kemakmur-
an bagi setiap orang ala bin Ladin, ketika komentator sekular me-
nunjuk Palestina dan Irak saat ini mereka hanya tak melihat dua
masalah politik yang sulit; mereka melihat apa yang mereka anggap
sebagai terbongkarnya niat sebenarnya dari Barat.
Komentator Arab sering menjelaskan, misalnya, bahwa Saddam
Hussein dan Washington sebenarnya adalah sekutu. Mereka men-
cemooh pemikiran bahwa Amerika Serikat berupaya untuk men-
dongkel sang diktator. Bagaimanapun, menurut para komentator
ini, pemerintahan Bush senior memiliki kekuatan di tangan untuk
menyingkirkan Partai Baath dan telah menyeru rakyat Irak untuk
bangkit melawan sang tiran. Namun, ketika rakyat akhirnya bangkit,
Amerika membiarkan saja ketika rezim ini dengan brutal menginjak-
injak mereka. Maka, sudah jelas bahwa apa yang sesungguhnya
Amerika Serikat inginkan adalah memecah-belah dan menguasai
Arab untuk mengamankan akses mudah ke minyak Teluk Persia—
sebuah tugas yang juga mencakup penyanggaan monarki korup di
Kuawit dan Arab Saudi. Menjaga Saddam tetap bebas berkeliaran
adalah jalan termudah untuk memastikan bahwa Iran tak dapat
menghadang proyek tersebut.

Tak perlu dikatakan, pandangan dunia ini problematis. Sejak Pe-


rang Dunia I, masyarakat Arab telah sangat terbagi-bagi di antara

335
Michael Scott Doran

mereka sendiri sepanjang garis etnik, sosial, agama, dan politik. Ter-
lepas dari apa yang dianggap wacana Arab dominan mengenai janji-
janji yang diingkari, sebagian besar pemilah-milahan ini tidak dicip-
takan oleh Barat. Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat kadang
kala bekerja untuk memecah Arab, kadang untuk menyatukan me-
reka. Kebanyakan mereka mengejar kepentingan sendiri, seperti hal-
nya semua pemain lain yang terlibat. Bin Ladin adalah seorang peser-
ta dalam sebuah perang saudara yang sangat serius untuk mempe-
rebutkan identitas Arab dan Muslim di dunia modern. Amerika Seri-
kat juga peserta dalam perang tersebut, karena apakah ia menya-
darinya atau tidak, kebijakan-kebijakannya mempengaruhi nasib pi-
hak-pihak yang berperang. Namun Washington bukanlah aktor uta-
ma, karena ia merupakan orang luar dalam masalah budaya dan
hanya punya kemampuan terbatas untuk mendefinisikan peran Is-
lam dalam kehidupan publik bagi para penganut Islam.
Perang antara Salafi ekstremis dan populasi yang lebih luas di
sekitar mereka hanyalah puncak gunung es. Perang demi agama di
antara sesama Muslim tak lain adalah serangkaian pertempuran re-
gional yang dalam dan lama yang awalnya tak ada kaitannya dengan
Amerika Serikat dan bahkan saat ini pun hanya melibatkannya se-
cara tidak langsung. Namun, kebijakan-kebijakan Amerika Serikat
bisa mempengaruhi perimbangan kekuatan di antara pihak-pihak yang
terlibat dalam perang ini, kadang sampai tingkatan yang menentukan.
Sampai negara-negara Arab dan Muslim menghasilkan tatanan
politik yang tidak menyingkirkan segmen besar penduduk mereka
sendiri, perang saudara akan berlanjut dan akan terus berlanjut me-
libatkan Amerika Serikat. Washington dapat memainkan peran pen-
ting dalam pembentukan pemerintahan-pemerintahan yang otentik
dan inklusif, namun pada akhirnya orang-orang Arab dan umat
Muslim secara umum harus lebih belajar untuk hidup rukun dengan
yang lain sekaligus dengan orang luar. Apakah mereka akan mela-
kukannya, inilah yang jadi pertanyaan semua orang.
Merupakan suatu fakta politik yang nyata adalah bahwa di ne-
gara-negara Arab dan Muslim sekarang ini, baik globalisasi ekonomi

336
Perang Saudara Orang Lain

maupun perimbangan kekuatan internasional datang dengan wajah


Amerika, dan hal ini tak banyak mendatangkan optimisme. Retorika
Usamah bin Ladin, yang membagi dunia ke dalam dua kubu—umat
versus Amerika Serikat dan rezim-rezim boneka—memiliki gema
yang kuat karena di beberapa tingkatan hal ini sesuai, jika bukan
dengan realitas, setidaknya dengan apa yang tampak di permukaan.
Hal inilah mengapa, untuk pertama kalinya dalam sejarah modem,
Salafi ekstremis berhasil memobilisasi opini popular yang besar.
Perkembangan ini menyulitkan, namun Amerika Serikat masih
memiliki sejumkah kartu untuk dimainkan. Kebijakannya, misalnya,
baik untuk pemukiman Tepi Barat dan Irak, betul-betul perlu dikaji
ulang—namun hanya setelah bin Ladin dilenyapkan. Perubahan kebi-
jakan ini mungkin membantu, namun akar permasalahannya ini ter-
hampar lebih dalam. Begitu al-Qaeda ditumpas tanpa memercikkan
revolusi-revolusi anti-Amerika di dunia Islam, Amerika Serikat harus
mengadopsi serangkaian kebijakan yang menjamin Muslim dalam
jumlah yang signifikan—bukan rezim Muslim melainkan kaum Mus-
lim—menganggap kepentingan mereka sendiri tak beda dengan
kepentingan Amerika Serikat, sehingga para penghasut seperti bin
Ladin tak punya ruang gerak untuk bicara atas nama seluruh umat.
Pada 1991, jutaan rakyat Irak membentuk wadah pendukung poten-
sial semacam itu, namun Amerika memalingkan muka. Washington
punya alasan, namun alasan ini bukanlah alasan yang bisa dibenarkan
menurut nilai-nilai Amerika yang kita kumandangkan kepada dunia.
Hari ini kita membavar untuk kemunafikan semacam itu. Hal ini bu-
kan berarti mengatakan bahwa kita menyebabkan atau layak mene-
rima serangan 11 September. Hal ini berarti mengatakan bahwa kita
sampai tingkatan tertentu bertanggung jawab terhadap fakta begitu
sedikitnya orang di negara-negara Arab dan Muslim yang menyua-
rakan dukungan lantang dan tegas terhadap paham kita, bahkan keti-
ka paham tersebut seringkali merupakan paham mereka juga.

Sejak peristiwa 11 September, banyak sekali artikel yang muncul


di pers yang membahas hilangnya nyawa warga Amerika yang tak
bersalah. Bagi orang asing, pandangan bangsa Amerika sebagai

337
Michael Scott Doran

orang udik yang bodoh ini, sekelompok Forrest Gump yang baru tiba
di kota, sulit dimengerti. Apakah generasi MTV mengetahuinya atau
tidak, Amerika Serikat telah jauh terlibat dalam perang-perang sau-
dara orang lain untuk waktu yang lama. Satu generasi yang lalu, mi-
salnya kita menganggap telah kehilangan orang-orang yang tak ber-
salah di Vietnam. Dulu, Adonis, pujangga dunia Arab, merenung-
kan ambivalensi yang kaum Arab rasakan pada Amerika. Seusai pe-
taka 11 September, puisinya seperti terlihat membawa ilapat:

New York, kau akan menjumpai di tanahku


...batuan Mekkah dan air Tigris.
Terlepas semua ini.
Kau terengah-engah di Palestina dan Hanoi
Barat dan timur kau menantang orang-orang
Yang sejarah satu-satunya adalah api
Orang-orang teraniaya ini mengenal kita sebelum kita tak bernoda

338
14

Teror, Islam, dan Demokrasi

Ladan Boroumanddan Roy a Boroumand*

yang masih terus diajukan oleh ma-


" M E N G A P A ? " ITULAH PERTANYAAN

syarakat Barat sejak peristiwa 11 September yang sangat mengerikan


itu. Pendirian, kepercayaan, dan motif macam apa yang dimiliki
teroris yang membuat mereka bergerak? Apa yang membuat kaum
muda dari negara-negara Muslim bersedia, bahkan bersemangat,
menjadikan diri mereka pelaku bom bunuh diri? Bagaimana orang-
orang ini sampai memendam kebencian begitu hebat kepada Barat,
dan terutama sekali kepada Amerika Serikat? Apa pula akar—moral,
intelektual, politik, dan spiritual—fanatisme kejam yang kita saksi-
kan pada hari itu?
Ketika para ahli dan komentator Barat bergumul dengan perta-
nyaan-pertanyaan ini, terlihat sangat jelas kekacauan dan keterce-
ngangan intelektual mereka di hadapan terorisme kaum funda-
mentalis Islam radikal (perhatikan, kami tidak menyebut "Islam").

4 LADAN BOROIJMAND adalah mantan peneliti tamu International Forum for


Democratic Studies dan seorang sejarawan dari Iran. Saudara perempuannya, R O Y A
B O R O U M A N D , seorang konsultan Human Rights Watch dan sejarawan dari Iran
dengan spesialisasi sejarah Iran kontemporer. Hak cipta © 2002 oleh National
Endowment for Democracy dan The J o h n s Hopkins University Press. Dicetak
kembali dengan irin The Johns Hopkins University Press.

339
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

Hal ini mencemaskan, karena betapapun perlunya sebuah balasan


serangan bersenjata yang mungkin terjadi dalam waktu dekat, tidak
dapat dimungkiri bahwa sebuah keberhasilan strategi jangka pan-
jang untuk memerangi Islamisme dan para terorisnya akan menun-
tut suatu pemahaman yang lebih jelas tentang siapa sesungguhnya
musuh-musuh ini, apa yang mereka pikirkan, dan bagaimana mere-
ka memahami motif-motif mereka sendiri. Karena terorisme pada
dasarnya adalah sebuah tantangan ideologi dan moral bagi demo-
krasi liberal. Lebih cepat para pembela demokrasi menyadari hal
ini dan memahami implikasinya, kian cepat pula demokrasi dapat
menyiapkan diri untuk memenangi perang panjang gagasan dan
nilai-nilai yang meletus menjadi amuk besar pada 11 September lalu.
Kebingungan demokrasi liberal di hadapan terorisme kaum fun-
damentalis tampak ganjil. Betapapun, sejak 1793, tatkala kata "teror"
untuk pertama kalinya dipakai dalam pengertian politik modern
melalui peristiwa yang dijuluki Teror Revolusi Prancis, hampir se-
mua negara di Barat memiliki pengalaman dengan gerakan atau
rezim teroris. Dengan demikian, mengapa fenomena semacam ini,
yang juga merupakan produk zaman modern seperti halnya demo-
krasi liberal itu sendiri, tampak begitu membingungkan bagi para
analis Barat?
Teror fundamentalis Islam pertama kali meletup ke panggung
dunia melalui Revolusi Iran pada 1979 dan pendudukan Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Teheran pada bulan November tahun itu.
Sejak itu. Islamisme menyebar, dan sarana politik dan ideologi yang
membantu menahan terorisme di sebagian besar Dunia Barat terbuk-
ti tidak efektif untuk menghentikannya. Kehadirannya mengglobal,
dan pengaruhnya dirasakan tidak cuma di negara-negara Islam bu-
lan sabit yang memanjang dari Maroko dan Nigeria di sebelah barat,
serta Malaysia dan Mindanao di sebelah timur, tapi juga di banyak
sudut benua Eropa, India, bekas Uni Soviet, benua Amerika, dan
bahkan di kawasan bagian barat Cina.
Sebelum Revolusi Iran, terorisme secara khas dilihat sebagai per-
kembangan langsung ideologi-ideologi modern. Namun, kaum te-

340
Teror, Islam, dan Demokrasi

roris fundamentalis Islam menyatakan berjuang atas dasar teologis:


beberapa ayat Alquran dan beberapa rujukan dari sunah ("perbuatan
Rasul") memberikan label Islam pada setiap operasi. Keseluruhan
struktur ideologis tersebut tampak seperti dijalin dari pendekatan
terhadap tradisi, etnisitas, dan kedukaan sejarah lama dan baru, serta
serangkaian rujukan bernada religius seperti "kafir", "kaum mu-
syrik", "perang salib", "syuhada", "jihad", "tanah suci", "musuh-
musuh Islam", "golongan agama Allah", dan "Dajjal".
Namun, kosakata keagamaan tersebut menyembunyikan sifat se-
benarnya dari Islamisme vang garang sebagai sebuah tantangan to-
taliter modem baik terhadap Islam tradisional maupun demokrasi
modern. Jika terorisme sungguh-sungguh dekat dengan inti ke-
percayaan Islam sebagaimana pengakuan kaum fundamentalis Is-
lam dan juga para musuh mereka, mengapa terorisme internasional
yang dilakukan kelompok fundamentalis Islam baru dimulai pada
1979? Pertanyaan ini bergaung kuat dalam pernyataan-pernyataan
banyak sarjana dan ulama terkemuka Islam yang secara konsisten
mengutuk aksi-aksi jaringan kelompok fundamentalis Islam.
Hal ini tidak berarti mengatakan bahwa filosofi dan yurispru-
densi Islam mengedepankan sebuah visi demokratis tentang ma-
syarakat atau dengan mudah mengakomodasi prinsip-prinsip demo-
krasi dan hak-hak azasi manusia. Tetapi hal ini menyingkap keke-
liruan acuan para teroris terhadap ajaran Islam. Dalam sejarah Is-
lam tak ada preseden untuk kekerasan tak terkendali seperti yang
dilakukan kelompok al-Qaida ataupun Hizbullah. Bahkan, kelom-
pok Syiah sekte Ismaili yang dikenal sebagai "Pembunuh", sekalipun
menggunakan orang-orang yang siap mati demi membunuh musuh-
musuhnya, tak pemah ngawur melakukan pembunuhan massal acak
yang dijadikan andalan Hizbullah, Usamah bin Ladin, dan para ka-
ki-tangannya J Bunuh diri sembari secara serampangan membunuh
perempuan, anak-anak, dan orang-orang dari semua agama dan se-

1Bernard Lewis, The Assassins: A Radical Sect in Islam (New York: Oxford
University Press, 1987), him. 133-34.

341
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

mua lapisan itu—jangan lupakan bahwa kaum Muslim juga beker-


ja di World Trade Center—jauh dari ajaran Islam, dan orang tak per-
lu menjadi seorang ulama terpelajar terlebih dahulu untuk me-
mahami ini. Sejatinyalah, teror kaum fundamentalis Islam dewasa
ini merupakan sebuah praktek modern yang secara nyata berlawan-
an dengan etika dan tradisi Islam. 2
Sebuah ilustrasi menyolok ihwal ketegangan antara Islam dan
terorisme terlihat lewat sebuah pertengkaran yang terjadi antara dua
orang Muslim di ruang pengadilan Prancis di mana Fuad Ali Saleh
diadili karena perannya dalam sebuah gelombang pengeboman yang
mengguncang Paris pada 1985-1986. Seorang dari korbannya, seo-
rang lelaki yang mengalami luka bakar parah dalam salah satu se-
rangan ini, berujar kepada Saleh: "Saya seorang muslim yang taat..,
Apakah Tuhan menyuruhmu mengebom bayi-bayi dan perempuan-
perempuan hamil?" Saleh menjawab, "Kau seorang keturunan Alja-
zair. Ingatlah apa yang dilakukan (orang-orang Prancis) terhadap
leluhurmu." 3 Ketika diminta menjelaskan alasan-alasan keagamaan
untuk aksi-aksinya, sang teroris tidak menjawab dengan ayat-ayat Al-
quran melainkan dengan keluhan-keluhan kaum nasionalis sekular.
Rekaman pengadilan Saleh merupakan kisah yang menarik. Ia
seorang Muslim Sunni, berasal dari Tunisia, yang pada periode awal
1980-an "belajar" di Qom, sebuah kota suci pusat studi teologi Syiah
di Iran. Dia menerima latihan penggunaan senjata di Libia dan Alja-
zair. Dia mendapatkan bahan peledak dari kelompok militan Hiz-
bullah yang pro-Iran. Dalam pembelaannya, ia tak hanya menyebut
Alquran dan Ayatullah Khomeini tapi juga Joan de Arc—seorang
pahlawan perempuan ultra-kanan Prancis—sebagai sebuah contoh

2 Tentang rujukan bid 'ah kaum Islamis ke ahli fikih IbnuTaimiyah (1263-1328),
lihat Olivier Carre, Mystique et politique; Lecture révolutionnaire du Coran par
SayyidQutb, Frère musuiman radical (Pans. Cerf, 1984), him. 16-17. Tentang teologi
dan kehidupan Ibnu Taimiyah, lihat Henri Laoust, Pluralisme danslTslam (Paris:
Librairie Orientaliste Paul Geuthner, 1983)
1 Cerita tentang kasus Saleh ini berdasarkan laporan dalam Le Monde (Paris),
edisi 8 dan 10 April 1992.

342
Teror, Islam, dan Demokrasi

sosok "yang mempertahankan tanah airnya melawan para agresor".


Setelah itu ia membaca dengan suara keras halaman demi halaman
buku Revolt Against the Modern World karya Julius Evola (1898-
1974), seorang pengarang Italia yang kerap dikutip oleh kelompok
ekstrem kanan Eropa. Adukan ideologi yang ganjil ini memberi tahu
kita pentingnya menggali akar intelektual terorisme kelompok
Islamis. 4

ASAL-USUL ISLAMISME

"Pan Islamisme" 5 muncul di akhir abad ke-19 dan


G A G A S A N GERAKAN

awal abad ke-20 secara bersamaan dengan perubahan cepat bentuk


masyarakat Muslim tradisional ke bentuk negara-bangsa. Orang
yang paling menonjol dalam memberi landasan Islam pada ideologi
totaliter adalah seorang guru sekolah berkebangsaan Mesir bernama
Hassan al-Banna (1906-1949). Banna bukanlah seorang ulama yang

4 Untuk tinjauan tentang perkembangan jaringan-jaringan teror penganut


Islamisme, lihat Xavier Raufer, La Nebuleuse; Le terrorisme du Moy en-Orient
(Paris: Fayard, 1987); Roland Jaquard, Au nom d'Oussama Ben Laden: Dossier
secret sur Ie terrvriste le plus recherché du monde (Paris: Jean Picollec 2001); Yossef
Bodansky, Bin Laden: The Man Who Declared War on America (Rocklin, Califor-
nia: Prima, 1999); Giles Kepel, Jihad: Expansion et déclin de I'islamisme (Paris:
Gallimard, 2000); dan Yonah Alexander dan Michael S. Sivetnam, Usama Bin
Laden s al-Qaida: Profile of a Terrorist Network ( N e w York: Transnational Pub-
lishers, 2001).
5 Untuk menghadapi kolonialisme Barat, para intelektual dan ulama Muslim

seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani dari Iran dan Muhammad Abduh dari Mesir
menyimpulkan bahwa sebuah pembaruan dan interpretasi baru Islam diperlukan
dalam masyarakat Muslim. Perubahan yang mereka sarankan dimaksudkan untuk
m e n j u m b u h k a n Islam dan m o d e r n i t a s . Mereka b e r u p a y a m e n g e m b a n g k a n
kemerdekaan individual, keadilan sosial, dan kebebasan politik. Namun, setelah
Perang Dunia I gerakan ini digantikan oleh gerakan yang memusuhi kebebasan
politik. Tentang Afghani, lihat Nikki K. Keddie, An Islamic Response to Imperial-
ism: Political and Religious Writing of Sayyid Jamal al-Din ah Afghani (Berkeley:
University of California Press, 1983). Tentang Abduh, lihat Yvonne Haddad,
" M u h a m m a d Abduh: Pioneer o f Islamic Reform" dalam Ali Rahnema, ed., Pio-
neers of Islamic Revival (London: Zed, 1994), him. 31-63.

343
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

betul-betul terlatih dalam ilmu agama. Karena terpengaruh secara


mendalam oleh nasionalisme Mesir, dia mendirikan organisasi Ikh-
wanul Muslimin pada 1928 dengan tujuan tegas menepis pengaruh-
pengaruh Barat/
Pada akhir 1930-an, Nazi Jerman membangun kontak dengan per-
wira-perwira yunior revolusioner di tubuh militer Mesir, termasuk
beberapa orang yang dekat dengan kelompok Ikhwanul Muslimin.
Dalam waktu singkat Ikhwanul Muslim, yang telah melakukan ke-
giatan amal, pengajian, dan kultural, juga memiliki sebuah sayap
generasi muda, sebuah keyakinan akan kesetiaan tanpa syarat ke-
pada pemimpin, dan sebuah organisasi paramiliter yang memiliki
slogan "aksi, patuh, tutup mulut" yang mirip-mirip moto "yakin,
patuh, perang" kaum Fasis Italia. Gagasan-gagasan al-Banna ber-
tentangan dengan gagasan-gagasan para ulama tradisional, dan dia
sudah memperingatkan para pengikutnya sejak 1943 akan muncul-
nya "perlawanan keras" dari kaum mapan keagamaan tradisional. 7
Dari kaum Fasis—dan selain itu, dari tradisi kekerasan revolusi-
oner "transformatif" atau "pemurnian" Eropa yang dimulai dengan
kelompok Jacobin—al-Banna juga meminjam gagasan tentang ke-
matian heroik sebagai sebuah bentuk seni berpolitik. Kendati sedikit
saja orang di Barat yang mungkin mengingatnya hari ini, rasanya
sulit untuk mengganggap pemasyhuran kematian, pengagungan ke-
kuatan bersenjata, pemujaan terhadap kesyahidan, dan kepercayaan
pada "propaganda amal" telah membentuk etos antili-beral baik di
kalangan ultrakanan maupun unsur-unsur ultrakiri di awal abad
kedua puluh. Mengikuti al-Banna, kelompok militan fundamentalis
Islam dewasa ini memegang teguh pemujaan atas kesyahidan ala
teroris yang lebih banyak berkaitan dengan buku Reflexions sur la

n Bagian ini tergambar dalam tulisan David Dean Commins, "Hassan al-Banna
(1906-49)", dalam kumpulan artikel Pioneers of Islamic Revival, AU Rahmena, ed.,
him. 146-47, demikian pula dalam Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim
Brothers (London: Oxford University Press, 1969). Lihat juga Gilles Kepel, Muslim
Extremism in Egypt (Berkeley: University of California Press, 1993).
7 Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers, him. 29.

344
Teror, Islam, dan Demokrasi

violence karya George Sorel daripada dengan ajaran Islam Sunni atau-
pun Syiah Islam/
Setelah kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia II, pembunuh-
an al-Banna pada awal 1949, dan Revolusi Mesir pada kurun 1952-
1954, Ikhwanul Muslim mendapati dirinya berhadapan dengan si-
kap bermusuhan pemerintahan militer sekular dan persaingan
ideologi yang tajam dari kaum komunis Mesir. Sayyid Qutb (1906-
66), juru bicara utama Ikhwanul yang sekaligus penghubung mereka
dengan kaum komunis, menyusun sebuah tanggapan ideologis yang
kelak menjadi pedoman kerja Islamisme dewasa ini.
Qutb bukan hanya menjadi pengikut al-Banna, tetapi juga pengi-
kut pengarang dan aktivis Pakistan bernama Sayyid Abu'l-A'la
Mawdudi (1903-1979), yang pada 1941 mendirikan Jamaah Islamiyah
Pakistan (Majelis Islam Pakistan), yang tetap merupakan sebuah ke-
kuatan politik penting di Pakistan, kendati ia tidak meraih dukungan
yang meyakinkan dalam pemilihan u m u m / Penolakan Mawdudi
terhadap nasionalisme, yang pada masa-masa awal dipeluknya,
mengarahkan minatnya pada peran politik Islam, la mencela semua

M Kesan yang menyebar luas tetapi keliru yang mengatakan bahwa pemujaan
kaum Syiah atas kesyahidan berfungsi sebagai sebuah inspirasi keagamaan untuk
serangan bunuh diri, merupakan salah satu pandangan menyesatkan tentang diri
mereka sendiri yang justru dipupuk dengan sangat mahir oleh para teroris.
Benarlah bahwa kaum Syiah memuja-muja Hussein (wafat 680 Masehi), Imam
ketiga dan cucu Nabi Muhammad SAW, sebagai seorang syuhada suci. Namun
ajaran kaum Syiah juga memerintahkan penghindaran diri dari kesyahidan, bahkan
merekomendasi teqieh (menyembunyikan iman seseorang) sebagai sebuah cara
untuk menyelamatkan kehidupan seseorang dari pembunuh kejam. Lebih jauh
lagi, kaum Sunni dikenal tidak memuja Hussein, n a m u n ketika melakukan
serangan bunuh diri, sedikit saja perbedaan antara kader ai-Qaeda yang Sunni
dan sebagian besar kader Hizbullah yang Syiah. Ada persamaan-persamaan yang
mengejutkan antara pembenaran kekerasan dan kesyahidan kaum Islamis dengan
wacana teroris Marxis Jerman dan Italia dari tahun 1970-an. Ihwal masalah ini
lihat Phillipe Raynaud, "l-esorigines intellectuellesdu terrorisme",dalam Francois
Furet et al, eds., Terrorisme et démocratie (Paris: Fayard, 1985), him. 65 dst.
9 Ihwal Mawdudi, lihat Seyyed Vali Reza Nasr, The Vanguard of the Islamic
Revolution: The Jama'at-i Islami of Pakistan (Berkeley: University of California
Press, 1994); dan Seyyed Vali Reza Nasr, M a w d u d i and the Making of Islamic
Revivalism (New York: Oxford University Press, 1996).

345
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

nasionalisme, mencapnya sebagai kufur. Dengan menggunakan ter-


minologi Marxis, ia menganjurkan sebuah perjuangan lewat sebuah
"barisan depan revolusioner" Islam melawan Barat dan Islam tradi-
sional, dan melekatkan kata sifat "Islami" pada istilah-istilah yang
jelas-jelas Barat seperti "revolusi", "negara", dan "ideologi". Kendati
ditentang keras oleh otoritas keagamaan Muslim, gagasan-gagasan-
nya mempengaruhi seluruh generasi modem penganut Islamisme.
Seperti kedua gurunya, Qutb juga kurang memiliki pengetahuan
tentang teologi tradisional. Selaku lulusan sekolah guru negara, pada
1948 dia bertolak ke Amerika Serikat untuk memperdalam bidang
pendidikan. Sebagai seorang yang pernah jadi nasionalis Mesir, dia
bergabung dengan Ikhwanul Muslim segera setelah pulang ke tanah
airnya pada 1952. Jenis Islamisme Qutb diduga dibentuk dengan
pengetahuannya tentang kritik Marxis dan fasis terhadap kapitalis-
me modern dan demokrasi perwakilan. Kl Ia menganjurkan sebuah
negara monolitik yang diatur oleh sebuah partai tunggal kelahiran
kembali Islam. Seperti Mawdudi dan berbagai pemimpin totaliter
Barat, ia mengidentifikasi masyarakatnya sendiri (dalam kasusnya,
negara-negara Muslim modern) sebagai salah satu musuh yang ha-
rus dilawan oleh barisan depan minoritas yang saleh dan sadar diri
secara ideologis. Segala cara diperlukan, termasuk revolusi dengan
kekerasan, sehingga dengan demikian sebuah masyarakat baru dan
betul-betul adil bisa muncul. Masyarakat idealnya adalah sebuah
masyarakat tanpa kelas di mana demokrasi liberal yang "individual
egois" akan diberangus dan "penghisapan manusia oleh manusia"
akan dihapuskan. Tuhan sendiri akan mengaturnya melalui pene-
rapan hukum Islam (syari'ah). Ini adalah Leninisme berbaju funda-
mentalisme Islam.

Tatkala rezim otoriter Presiden Gamal Abdul Nasser menindas


Ikhwanul Muslimin pada 1954 (penindasan ini akhirnya berlanjut
sampai penggantungan Qutb pada 1966), banyak anggotanya meng-

Olivier Carre, Mystique et politique, him. 206-7.

346
Teror, Islam, dan Demokrasi

asingkan diri ke Aljazair, Arab Saudi, 11 Irak, Suriah, dan Maroko.


Dari sana, mereka menyebarkan gagasan-gagasan fundamentalis
Islam revolusioner mereka—termasuk sarana organi-sasional dan
ideologis yang dipinjam dari totaliterisme Eropa—lewat suatu
jaringan yang menjangkau sejumlah besar sekolah dan universitas
keagamaan. Sebagian besar kader muda penganut Islamisme dewasa
ini adalah para ahli waris intelektual dan spiritual sayap Qutb dari
Ikhwanul Muslimin.

KONEKSI I R A N

Muslim menganjurkan pembentukan jaringan


B A N N A DAN IKHWANUL

solidaritas yang akan menjangkau berbagai mazhab Islam. 12 Mung-


kin sebagian karena upaya penyatuan dan penghimpunan ini, kita
bisa melacak pengaruh Ikhwanul sejak 1945 di Iran, tanah air seba-
gian besar kaum Syiah dunia.
Sepulangnya dari Irak pada tahun itu, seorang ulama muda ber-
nama Navab Safavi mulai membangun kelompok teroris yang mem-
bunuh sejumlah intelektual dan politikus sekular Iran. Pada 1953, Sa-

11 Muhammad Qutb, saudara laki-laki Sayyid Qutb, adalah salah seorang di antara
anggota Ikhwanul Muslimin yang diterima di Arab Saudi.Dia diperkenankan
m e n g a w a s i p e n e r b i t a n d a n p e n y e b a r a n k a r y a - k a r y a s a u d a r a n y a itu, d a n
menyebarkan pengaruh ideologis sendiri: Justifikasi resmi untuk hukum pidana
Saudi menggunakan definisinya tentang masyarakat liberal dan sekular sebagai
sebuah "era baru ketidaktahuan". Anggota Ikhwanul Muslim yang diasingkan
ini jadi berpengaruh di Arab Saudi. Wahabi, aliran Islam fanatik dan intoleran
yang berlaku di Arab Saudi, awalnya bukanlah sebuah ideologi totaliter modern,
tapi aliran ini memberikan lahan subur untuk penyebaran ideologi teroris dan
memfasilitasi ketertarikan kaum muda Saudi kepada kelompok-kelompok teroris.
Lihat Olivier Carre, L'utopie islamique dans TOrient arabe (Paris: Presses de la
Fondation Nationale des Sciences Politiques, 1991) him. 112-14; dan Gilles Kepel,
Jihad, him. 72-75.
Para pengikut Banna ingat bahwa ia sering mengatakan, " E m p a t aliran (dalam
12

Islam) ini masing-masing cukup b a i k / dan menekankan, "Marilah kita bekerja


sama dalam hal-hal yang dapat kita setujui dan toleran dalam hal-hal yang tidak
dapat kita setujui." Richard P. Mitchell, The Society of Muslim Brothers, him. 217.

347
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

favi berkunjung ke Mesir atas undangan Ikhwanul Muslimin dan di-


perkirakan bertemu dengan Qutb. Kendati kelompok Safavi hancur
dan ia dihukum mati setelah gagal dalam upaya membunuh perdana
menteri pada 1955, beberapa bekas anggotanya menjadi tokoh terke-
muka yang bergabung dengan Ayatullah Khomeini (1900-1989) untuk
mendalangi Revolusi Islam 1979.
Khomeini sendiri pertama kali mengambil posisi politik pada 1962,
dengan bergabung bersama para ayatullah lainnya menentang ren-
cana Shah mereformasi pertanahan dan memberi hak pilih kaum
perempuan. Pada saat itu, Khomeini bukanlah seorang revolusioner
melainkan seorang tradisionalis yang gelisah karena modernisasi dan
ingin mempertahankan hak-hak istimewa kelompok ulamanya. Keti-
ka para pengikutnya melancarkan pemberontakan di perkotaan pada
Juni 1963, dia ditangkap dan kemudian diasingkan, pertama ke Turki,
kemudian ke Irak. Titik balik terjadi pada 1970, saat Khomeini, yang
masih berada di Irak, menjadi salah seorang dari sangat sedikit pemu-
ka keagamaan Syiah yang beralih dari tradisionalisme ke totaliterisme.
Seperti halnya Mawdudi, 13 dia mengobarkan revolusi untuk mem-
bentuk negara Islam, dan terilhami oleh Qutb, dia mengutuk semua
rezim nonteokratik sebagai musyrik. Para pengikutnya di Iran aktif
dalam pengajian-pengajian kaum fundamentalis Islam yang antara
lain menyebarkan gagasan-gagasan Qutb dan Mawdudi. Ideologi
Qutb dipakai oleh murid-murid Khomeini untuk menyerap ulang
pergerakan kaum Islamisme seluruh generasi yang dipengaruhi oleh
kultur revolusioner yang menguasai dunia—Marxisme-Leninisme.

Khomeini adalah tokoh utama dalam sejarah terorisme fundamen-


talis Islam karena ialah tokoh religius terkemuka pertama yang benar-
benar memegang kekuasaan. Terlepas dari semua pengaruhnya kepa-
da kaum muda, Islamisme sebelum Revolusi Iran adalah heterodoksi
pinggiran. Qutb dan Mawdudi adalah ulama amatir yang dianggap
menyimpang dan dilecehkan oleh para ulama Sunni. Malah Ikhwanul
Muslimin secara resmi menolak gagasan-gagasan Qutb. Sebagai seo-

13 Mawdudi, The Process of Islamic Revolution (Lahore, 1955).

348
Teror, Islam, dan Demokrasi

rang ulama mapan, Khomeini memberi totalitarianisme fundamen-


talis Islam modern martabat keagamaan yang tidak dipunyai paham
ini sebelumnya.
Ketika berkuasa, orang yang dulunya penentang reformasi perta-
nahan dan hak pilih kaum perempuan menjadi seorang "progresif",
dengan meluncurkan program besar nasionalisasi, pengambilalihan,
dan merekrut para perempuan untuk menyebarkan propaganda dan
mobilisasi revolusioner. Ciri Leninis dari kekuasaannya—kebijakan
teror, pengadilan dan milisi revolusioner, pembersihan pemerintahan,
revolusi kebudayaan, dan sikap akomodatifnya terhadap Uni Soviet—
membuat para ulama seperjuangannya menjauh, namun hal ini juga
memberinya dukungan aktif dari Partai Komunis Iran sekutu Mos-
kow, yang dari 1979 hingga 1983 menempatkan dirinya untuk meng-
abdi pada teokrasi baru ini.
Revolusi Khomeini bukanlah sebuah fenomena eksklusif kaum
Syiah. Bukan sccara kebetulan, salah seorang tamu asing pertama yang
hadir untuk memberi selamat kepadanya adalah seorang fundamen-
talis Islam Sunni, Mawdudi; tak lama pula wajah Qutb muncul dalam
perangko pos Iran. Penerus Khomeini, Ali Khamenei, menerjemahkan
karya-karya Qutb dalam bahasa Persia.14 Minat Khomeini sendiri un-
tuk membentuk sebuah jaringan "Islamis Internasional"—vang kemu-
dian dikenal dengan istilah yang diambil dari Alquran, yakni Hiz-
bullah (Partai Allah)—sudah muncul sejak Agustus 1979.

" K O M I N T E R N " KELOMPOK FUNDAMENTALIS ISLAM

oleh hubungan-hubungan ini, Islam-


S E B A G A I M A N A YANG DIPERLIHATKAN

isme adalah sebuah fenomena Muslim Raya (pan-Muslim) yang sadar-


diri. Buang-buang waktu dan sia-sialah mencoba membedakan satu
kelompok teror fundamentalis Islam dari yang lainnya berdasarkan

14Lihat Baqer Moin, Khomeini: Life of the Ayatullah (London: I.B. Tauris, 1999),
him. 246.

349
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

perbedaan mereka yang berkaitan dengan unsur keagamaan tradi-


sional, etnis, atau politiknya (Syiah versus Sunni, orang Persia versus
Arab, dan seterusnya). Alasannya sederhana saja: Dalam pandangan
kelompok-kelompok fundamentalis Islam, upaya bersama mereka un-
tuk menyerang Barat sembari memperkuat kendali atas dunia Islam
jauh lebih penting daripada apa pun yang mungkin tampak sebagai
"memecah-belah"mereka satu dengan lainnya.
Kelompok Hizbullah yang berbasis di Libanon yang didukung Iran
adalah sebuah contoh menarik. Orang Iran pendirinya adalah seorang
pembantu terdekat Khomeini yang mendapat ilham dari seorang pe-
muda Mesir fundamentalis —seorang insinyur terlatih, bukan seorang
ahli agama—yang pertama kali memolitisasi apa yang dulunya murni
istilah agama. Sebuah pengamatan lebih teliti terhadap organisasi ini
mengungkapkan pengaruh Marxisme-Leninisme terhadap ideologi
para pendiri dan kepemimpinannya. Pemimpin kelompok itu
sekarang, Muhammad Huscin Fadlallah, yang terpengaruh oleh teori-
teori Marx dan Nietzsche tentang ke k e r a s a n , s e c a r a terbuka meng-
anjurkan metode-metode teroris dan aliansi taktis dengan organisasi-
organisasi kiri. 16 Hizbullah adalah sebuah penciptaan "Komintern"
kaum fundamentalis Islam yang berhasil. "Kita mesti bersumpah,"
ujar Syekh Fadlallah, "setia kepada pemimpin revolusi (Iran) dan
kepada kaum revolusioner seperti sumpah kepada Tuhan sendiri,"
karena, "Revolusi ini adalah kehendak Tuhan." 17 Sebuah indikasi me-
luasnya kesetiaan ini adalah fakta bahwa semua perundingan tentang
nasib para sandera di Libanon akhirnya diselesaikan oleh Teheran.
Dengan cara serupa, Garda Revolusioner Iran membanggakan du-
kungannya pada serangan terhadap pasukan penjaga perdamaian
Prancis dan Amerika di Libanon. 1 * Kepala perancang militer Hiz-

Disebutkan dalam Olivier Carré, L'utopie islamique dans 1'Orientarabe, him.


197.
,A Disebutkan dalam Olivier Carré, L'utopie islamique dans 1'Orientarabe, him.
231-32.
17 Olivier Carré, L'utopie Islamique dans l'Orient arabe, him. 232.

" Pemimpin Garda Revolusioner Iran saat itu, Muhsin Rafiqdoust, bertutur

350
Teror, Islam, dan Demokrasi

builah, Imad Mughaniyyah, adalah seorang Arab yang beroperasi dari


Iran. Dinas-dinas intelijen Barat mencurigai bahwa Hizbullah bekerja-
sama dengan bin Ladin dalam operasi-operasi internasional sejak awal
1990-an.19 Jaringan teroris Hizbullah di Libanon terdiri atas kelompok
Sunni dan Syiah, dan ada pula sebuah sayap Arab Saudi yang terlibat
dalam pengeboman Menara Khobar yang menewaskan 19 anggota
pasukan Amerika Serikat pada 1996.
Yang juga terilhami oleh Revolusi Iran adalah jaringan teroris Sunni
independen yang kemudian menjadi basis al-Qaeda. Rezim Teheran
mulai membentuk badan-badan propaganda untuk memengaruhi
opini di kalangan pemuka agama Sunni sejak 1982™ Di antara
lembaga-lembaga supranasional vangdibentuk adalah Kongres Dunia
Imam Salat Jumat, yang pernah hadir di sedikitnya 40 negara. Lingkup
tujuan upaya-upaya ini adalah pengerahan "Islam rakyat" melawan
"Islam reaksioner penguasa." 21
Karena beragam alasan, jaringan ini masih kurang terorganisasi,
namun semua cabangnya tumbuh dan berkembang dengan akar ide-
ologi yang sama.
Pengaruh revolusi Islam Iran juga disebut-sebut oleh para anggota
Jihad Islam Mesir yang menembak mati Presiden Anwar Sadat pada
Oktober 1981- Otak mereka adalah seorang insinyur, Abdussalam
Faraj, yang juga gemar mengutip Qutb untuk membenarkan teror.22

bahwa, "Baik T N T maupun ideologi yang dalam satu ledakan mengirim ke neraka
400 perwira, bintara, dan tamtama di pangkalan Marinir disediakan oleh I r a n / '
Resalat (Teheran), 2 0 Juli 1987.
,v Pada 2 2 Maret 1998, Times of London melaporkan bahwa bin Ladin d a n
Garda Revolusioner Iran telah menandatangani sebuah pakta pada 16 Februari
untuk mengonsolidasikan operasi mereka di Albania dan Kosovo. Roland Jacquard
m e n a m b a h k a n bahwa pada S e p t e m b e r 1999, Dinas Intelijen Turki mengetahui
bahwa sebuah kelompok Islamis dibiayai oleh bin Ladin di kota Tabriz di wilayah
Iran. Lihat Roland Jacquard, Au Nom d'Oussama Ben Ladeni, him. 287-88.
20 Konferensi p e r t a m a t e n t a n g p e n g g a b u n g a n g e r a k a n - g e r a k a n Islamis
diselenggarakan pada Januari 1982 dengan bantuan o r a n g - o r a n g Iran. S i m a k
pidato-pidato Khamenei dan M o h a m m a d Khatami (yang kini menjadi presiden
terpilih Republik Islam itu) dalam Etela'at (Teheran), 9 Januari 1982.
21 Xavier Rauffer, La Nebuleuse, him. 175.

351
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

Komplotannya—termasuk para opsir muda tentara yang melakukan


penembakan—terilhami oleh model Iran, dan mengharapkan
kematian Sadat memicu sebuah perlawanan massa di Kairo, seperti
halnya yang terjadi di Teheran dua tahun sebelumnya. 23 (pemerintah
Teheran setelah penembakan itu menamai sebuah jalan dengan nama
pembunuh Sadat). Di antara mereka yang dipenjarakan dalam
kaitannya dengan rencana pembunuhan ini adalah seorang dokter
asal Kairo bernama Ayman al-Zawahiri. Ia menjadi pemimpin Jihad
Islam Mesir setelah menjalani masa hukuman penjaranya selama
tiga tahun, bertemu bin Ladin pada 1985, dan kemudian bergabung
dengannya di Sudan pada awal 1990-an. Menurut kabar, Al-
Zawahiri, yang kelak menjadi perancang tertinggi operasi al-Qaeda,
menyatakan secara terbuka bahwa Usamah adalah "Che Guevara
baru". 2 4
Islamisasi masalah Palestina sebagian juga disebabkan pengaruh
Khomeini terhadap Jihad Islam cabang Palestina. Cabang ini juga
didirikan oleh seorang dokter, bernama Fathi Shqaqi. Bukunya pada
1979 yang berisi puja-puji, Khomeini: The Islamic Alternative,
didedikasikan baik bagi penguasa Iran itu maupun Hassan al-Banna
("dua tokoh abad ini"). Cetakan pertama buku ini, yang berjumlah
10.000 eksemplar, terjual habis hanya dalam beberapa hari. 23 Shqaqi,
yang jelas menganut aliran Sunni, berbagi mimbar khotbah Jumat
dengan Ali Khamenei, mencela proses damai Timur Tengah dan
mencap Yasser Arafat melakukan pengkhianatan. 2 *

22 Charles Tripp, "Sayyid Qutb: The Political Vision," dalam Ali Rahnema, ed..
Pioneers of Islamic Revival, him. 178-179.
23 Gilles Kepel, Jihad, him. 122-23.
24 Roland Jacquard, Au Norn d'Oussama Ben Laden, 76.
25 Gilles Kepel, Jihad, 187 dan 579.
* Sebagaimana dilaporkan dalam Jomhuri-e /s/arw/(Teheran}, 5 Maret 1994,14
dan 2.

352
Teror, Islam, dan Demokrasi

MENYIMPANGKAN SEJARAH DAN AJARAN ISLAM

contoh-contoh tersebut, perbedaan-per-


S E B A G A I M A N A TERLIHAT DALAM

bedaan yang mungkin ada di antara kelompok-kelompok teroris


tertutupi oleh kesiapan mereka untuk bersatu dan bekerjasama se-
suai dengan seperangkat kepercayaan ideologis bersama. Keper-
cayaan-kepercayaan ini lebih tepat disebut "funda-mentalis Islam"
ketimbang "Islam" karena mereka sesungguhnya berkonflik dengan
Islam—sebuah konflik yang mestinya tidak boleh kita biarkan disa-
markan oleh kebiasaan para teroris menggunakan istilah keagamaan
Islam dan memasukkan ajaran mereka sendiri yang menyimpang.
Salah satu ilustrasinya adalah penafsiran kaum fundamentalis Is-
lam tentang hijrah—perjalanan Nabi Muhammad pada September
622 dari Mekah ke Madinah untuk membentuk komunitas Islam
yang benar-benar sadar dan otonom (umat). Walaupun sangat ba-
nyak bukti berkenaan dengan doktrin dan sejarah yang mengatakan
sebaliknya, demi visi utopis radikal mereka sendiri kaum fundamen-
talis Islam yang setengah terdidik berkeras menggambarkan perja-
lanan ini sebagai sebuah pemutusan hubungan secara revolusioner
dengan masyarakat yang berniat mengucilkan masyarakat Muslim
dewasa ini.

Republik Islam Iran juga bersandar pada heterodoksi, dalam hal


ini adalah teori Khomeini yang menyimpang tentang kekuasaan ab-
solut ahli hukum Islam (fakih) yang tertinggi dan tunggal. Bukan
merupakan suatu kebetulan bahwa salah satu pemberontakan
pertama melawan rezim Khomeini berlangsung karena inspirasi
seorang ayatullah terkemuka, Shariat Madati. 27 Para pejabat rezim
itu mengakui bahwa sebagian besar imam Iran selalu mengambil
pandangan hati-hati terhadap Khomeinisme. Penting disadari
bahwa rujukan-rujukan agama yang dipakai Khomeini untuk
membenarkan kekuasaannya secara harafiah sama dengan yang
dimunculkan seabad yang lalu oleh seorang ayatullah terkemuka

77 Dilaporkan di harian Khalq-e Mosalman, 4 dan 9 Desember 1979.

353
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

yang membela legitimasi parlementarisme dan kedaulatan rakyat


berlandaskan Islam.2* Ayat-ayat Alquran sangat mungkin untuk di-
tafsirkan secara berbeda dan bahkan saling bertentangan. Jadi ada
hal lain dari sumber-sumber agama Islam yang mesti kita tengok
guna memahami Islamisme dan perang yang mereka kobarkan ke-
pada masyarakatnya sendiri, sebuah perang di mana terorisme in-
ternasional hanyalah satu sektor
Dalam artikel ringkasnya tentang deklarasi jihad bin Ladin terha-
dap Amerika Serikat pada 1998, Bernard Lewis memperlihatkan de-
ngan cemerlang bagaimana bin Ladin melecehkan berbagai hal, mulai
dari fakta (sebagai contoh, dengan mencap kehadiran militer Amerika
Serikat yang diundang ke Arab Saudi sebagai invasi para pengikut
"perang salib") sampai doktrin Islam, dengan menyerukan penjagalan
tanpa pandang bulu untuk semua warga Amerika Serikat, di mana
pun mereka dapat ditemukan. Dengan mengingatkan para pemba-
canya bahwa hukum Islam (syari'ah) menganggap jihad sebagai pe-
rang biasa dan dan tunduk pada peraturan-peraturan yang membatasi
konflik semacam ini, Lewis menyimpulkan, 'Tak ada satu pun butir
dalam teks dasar Islam yang memerintahkan terorisme dan pembu-
nuhan. Bahkan tak ada satu butir pun yang merujuk pada pemban-
taian acak orang-orang yang tak terlibat/' 29
Yang memberi kekuatan kepada gagasan jihad kaum teroris yang
diciptakan oleh orang-orang Iran dan kemudian dianut oleh bin Ladin
bukanlah akar-akar Alqurannya—karena sama sekali tak ada—tetapi
lebih pada keberhasilan aksi-aksi brutal teroris. Bin Ladin menaruh
penghormatan istimewa terhadap aksi bom bunuh diri dengan truk

M.H. Naïni, Tanbih at-Omma va Tanzih a 1-mella, edisi ke-5 (Teheran, 1979),
211

him. 75-85.
* Bernard Lewis, "License to Kill: Usama bin Ladin's Declaration of J i h a d " .
Foreign Affairs ( N o v e m b e r / D e s e m b e r 1998) r him. 19. Pernyataan jihad bin Ladin
menyebut otoritas Ibnu Taimiyyah, namun secara jelas gagasan bin Ladin tentang
jihad berlawanan dengan Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah secara tersurat melarang
pembunuhan warga sipil dan mendudukkan jihad di bawah aturan dan hukum
yang ketat. Lihat Henri I.aoust, Le traité de droit public d'Ibn Taimiya (terjemahan
dengan tambahan catatan dari Siyasa shar'iya) (Beirut, 1948) him. 122-35

354
Teror, Islam, dan Demokrasi

yang disponsori orang-orang Iran yang menewaskan 242 anggota


Marinir Amerika Serikat dan orang-orang lainnya di Beirut pada 23
Oktober 1983, yang mempercepat penarikan mundur Amerika Serikat
dari Libanon. 10 Bin Ladin juga bukan orang pertama yang berpikir
tentang pembangunan kamp latihan untuk terorisme internasional—
otoritas Teheran telah melakukan sebelumnya. 31
Sebuah khotbah Jumat pada 1989 yang diberikan oleh salah seorang
dari otoritas ini, Ali-Akbar Hashemi Rafsanjani, saat itu ketua Parle-
men Islam, paling gamblang mengungkap logika terorisme kaum
fundamentalis Islam. Dengan menyerang keberadaan Israel sebagai
front lain dalam perang yang berurat akar antara kaum kafir melawan
Islam, Rafsanjani menambahkan:

" J i k a u n t u k s e t i a p o r a n g Palestina y a n g t e r b u n u h hari ini di Palestina


lima orang A m e r i k a , Inggris, atau Prancis dieksekusi, mereka tidak
a k a n m e l a k u k a n a k s i itu l a g i . . . A d a o r a n g A m e r i k a di m a n a p u n di
d u n i a i n i . . . ( M e r e k a ) m e l i n d u n g i Israel. A p a k a h d a r a h m e r e k a b e r -
nilai? Buat m e r e k a takut di luar Palestina, s e h i n g g a m e r e k a tak mera-
s a a m a n . . . A d a s e r a t u s ribu o r a n g P a l e s t i n a d a l a m s e b u a h n e g e r i .
M e r e k a terdidik, d a n m e r e k a b e k e r j a . . . P a b r i k - p a b r i k y a n g m e l a y a n i
m u s u h - m u s u h Palestina b e r t e r i m a k a s i h a t a s k a r y a o r a n g - o r a n g P a -
lestina. L e d a k k a n p a b r i k - p a b r i k itu. Di m a n a k a u b e k e r j a , kau d a p a t
b e r a k s i . . . B i a r k a n m e r e k a m e n y e b u t d i r i m u teroris. M e r e k a ( " i m -
perialisme informasi dan p r o p a g a n d a " ) melakukan kejahatan-ke-
j a h a t a n d a n m e n y e b u t n y a d e n g a n h a k - h a k a s a s i m a n u s i a . Kita m e -
nyebutnya pembelaan terhadap hak-hak dan orang-orang

* Lihat "Declaration of war against the Americans occupying the land of the
two holy places: A Message from Usama bin Muhammad bin Laden unto his
Muslim Brethen all over the world generally and in Arab Peninsula specifically"
(23 Agustus 1996), dalam Yonah Alexander dan Michael S. Swetnam, Usama Bin
Laden's ai-Qaida, 13
11 Pada 1989, Wakil Ketua Parlemen. Hujatul Islam Karuubi, mengusulkan

pembangunan kamp-kamp latihan untuk perjuangan "antiimperialis di kawasan


ini." Dikutip dalam harian Jomhori-e Islami (Teheran), 9 Mei 1989, him. 9.

355
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

tertindas... M e r e k a a k a n m e n g a t a k a n ketua P a r l e m e n s e c a r a resmi


menghasut ke arah teror,,. Biarkan mereka mengatakan begitu,"32

T A K ADA RUJUKAN agama di sini; pendekatan Rafsanjani mumi politis.


Terhadap serangan Barat vang disebutnya hak-hak asasi manusia, ia
mendesak kaum Muslim melawannya dengan menggunakan teror
sebagai senjata terbaik untuk membela hak-hak masyarakat tertindas.
Selain itu, Rafsanjani dengan bangga memuji sebutan "teror",
menggunakan kata Inggris dan bukan padanannya dalam bahasa Per-
sia ataupun Arab. Dengan demikian ia menggunakan istilah yang
dipinjam Lenin dari Ia Terreur Revolusi Prancis. Jalur dari guillotine
dan Cheka sampai bom bunuh diri menjadi jelas.
Dengan mengingat hal ini, marilah kita tengok sejenak Revolusi
Prancis, di mana konsep modem tentang teror politik ditemukan, un-
tuk menemukan penjelasan yang tidak dapat diberikan oleh tradisi
Islam. Ketika revolusi itu mengumumkan kebijakan terornya pada
September 1793, "minoritas berbudi luhur" yang saat itu menjalankan
pemerintahan revolusioner Prancis menyatakan perang kepada
masyarakatnya sendiri. Di jantung peperangan ini terdapat sebuah
benturan antara dua pemahaman tentang "rakyat" yang atas namanya
pemerintahan ini mengklaim kekuasaan. Yang satu adalah sebuah
kelompok yang terdiri dari 25 juta individu yang benar-benar ada,
yang masing-masing memiliki hak-hak asasi. Yang lainnya adalah
sebuah badan mistis dan tak kasat mata, sebuah abstraksi, yang pada
dasarnya ideologis yang membangun kekuasaan absolutnya. Teror
Revolusi Prancis bukanlah sebuah kekeliruan dan bukan pula sebuah
kecelakaan; ia dimaksudkan untuk membersihkan badan mistis ini
dari apa yang dianggap oleh elite teroris sebagai pengaruh-pengaruh
yang merusak, di antaranya mereka menyebut gagasan bahwa in-
dividu manusia memiliki hak yang tidak dapat dirampas orang lain.33

* Jomhori-e Islami (Teheran), 7 Mei 1989, 11.


10 Dalam kaitan ini, layak dicatat bahwa setelah berakhirnya teror. Deklarasi

Hak-Kak Asasi Manusia dan Warga Negara tidak secara resmi dipulihkan ke sta-
tus konsitusional di Prancis sampai tahun 1946.

356
Teror, Islam, dan Demokrasi

Para juru bicara revolusi fundamentalis Islam menggemakan


teroris-teroris Jacobin Prancis. Pencemaran hak-hak asasi manusia me-
nandai tempat di mana perang internal dalam masyarakat Muslim
bertemu dengan perang teroris melawan Barat. Cukuplah kita dengar
komentar-komentar bin Ladin ihwal penghancuran World Trade Cen-
ter: "Menara-menara simbolik mengagumkan yang berbicara tentang
kebebasan, hak-hak asasi manusia, dan kemanusiaan telah dilumat-
kan. Keduanya lenyap menjadi abu." M Setiap serangan teror kaum
Islamis melawan Barat selama 20 tahun terakhir memiliki asal-usul
yang sama dengan upaya kaum fundamentalis Islam untuk melalimi
populasi Muslim di mana pun di dunia. Ingat cobaan berat yang di-
timpakan Taliban dan al-Qaeda kepada masyarakat Afganistan, atau
penderitaan yang dialami warga biasa Aljazair selama perang saudara
fundamentalis Islam pada 1990-an. Atau tengoklah teror negara yang
sehari-hari bekerja keras memberangus harapan apa pun untuk
pengakuan hak-hak asasi di Iran. Untuk menggali sepenuhnya kore-
lasi antara teror terhadap Dunia Barat dan tirani terhadap kaum Mus-
lim ini diperlukan esai tersendiri. Namun kita bisa memahami sifatnya
dengan menyimak kejadian pertama terorisme fundamentalis Islam
terhadap Amerika Serikat, yakni peristiwa penyanderaan di Teheran
pada 1979.

MENAHAN SANDERA DEMOKRASI MENUJU TEROR

BEGITU MEREKA MEMBEBASKAN para sandera pada Januari 1981, otoritas


Teheran membangga-banggakan kemenangan mereka, yang disebut
oleh Perdana Menteri Mohammad Ali Rajai sebagai "pencapaian poli-
tik terbesar dalam sejarah sosial dunia" dan sebuah aksi yang "telah
memaksa kekuatan setan bertekuk lutut". Kesan pertama pengakuan

M Howard Kurtz, "Interview Sheds Light on Bin Laden's View", Washington


Post, 7 Februari 2002, A12. Bin Laden memberi wawancara ini kepada Tayseer
Alouni dari jaringan televisi satelit berbahasa Arab, al-Jazeera, pada Oktober 2001.

357
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

ini mungkin terlihat bodoh, karena Amerika Serikat menolak tuntutan


pemerintahan revolusioner itu untuk menyerahkan Shah dan men-
cairkan aset-aset Iran. Tetapi, pandangan yang lebih teliti memperli-
hatkan bahwa kaum fundamentalis Islam Iran sesungguhnya telah
mencetak kemenangan besar secara politis dan ideologis atas Amerika
Serikat dan lawan-lawan domestik mereka, dan dengan demikian me-
miliki banyak alasan untuk sorak-sorai kegirangan.
Perampasan kedutaan besar Amerika Serikat berlangsung pada
masa ketika Khomeini dan sekutu-sekutunya belum mengonsolida-
sikan rezim tiranis mereka. Sebuah Dewan Para Pakar membuat ran-
cangan undang-undang dasar Republik Islam. Oposisi kelompok aga-
ma dan juga lingkaran sekular moderat makin kuat setiap harinya.
Kaum kiri Marxis-Leninis, yang berang karena pemberangusan me-
dia cetaknya, semakin menjadi gelisah. Pemberontakan terbuka pecah
di wilayah-wilayah perbatasan yang sensitif yang dihuni suku Kurdi
dan Azeri. Dengan mengirim kadernya yang terdiri atas mahasiswa-
mahasiswa radikal untuk mengambil alih kedutaan besar Amerika
Serikat dan menyandera stafnya, rezim ini memutuskan jerat Gordian*
dari tantangan-tantangan ini dengan sekali pukul. Bahkan, rezim ini
menempatkan dirinya sendiri dalam sebuah posisi yang bisa mende-
sakkan Konstitusinya yang mendapat kritik luas. Pernyataan
Rafsanjani tentang arti aksi ini memberi petunjuk:

D a l a m b u l a n - b u l a n p e r t a m a r e v o l u s i ini, G e d u n g P u t i h W a s h i n g -
ton m e m u t u s k a n m e m i h a k p a d a k u d e t a di Iran. G a g a s a n n y a a d a l a h
m e n y u s u p ke k e l o m p o k - k e l o m p o k Iran dan melancarkan gerakan
u n t u k m e m b a s m i r e v o l u s i . Tetapi p e n d u d u k a n k e d u t a a n b e s a r d a n
serangan rakyat terhadap Amerika menetralkan rencana ini,
m e n d e s a k A m e r i k a S e r i k a t ke posisi b e r t a h a n . " * 5

* Problem yang rak bisa dipecahkan dengan cara biasa; diambil dari cerita
tentang jerat yang dibuat Gordius, Raja Phrygia, yang hanya bisa diputus dengan
pedang oleh calon pemimpin Asia, Iskandar Agung.
76 Ali-Akbar Hashemi Rafsanjani, fm/e/abe va defa'e Moqadass (Revolusi dan

Pertahanan Sucinya) (Teheran, Press of the Foundation of 15 Khordad, 1989), him.


63-64.

358
Teror, Islam, dan Demokrasi

menguraikan versi fakta-fakta ini sebagai sebuah parodi:


O R A N G BISA

Pemerintah Amerika Serikat pada 1979 jelas tak mempunyai kei-


nginan maupun kemampuan melakukan sebuah kudeta terhadap
Republik Islam. Tetapi, kaum totaliter secara khas berbicara dalam
bahasa rahasia yang mereka ciptakan sendiri. Mereka yang menge-
lola Teror di Prancis yang revolusioner menggambarkan beberapa
republiken negeri mereka yang paling kesohor dengan label "kaum
monarki" sebelum mengirim mereka untuk dipenggal kepalanya. Ka-
um Bolshevik menyebut buruh-buruh dan para pelaut Kronstadt yang
mogok sebagai '"bandit" dan "kontrarevolusioner" sebelum membantai
mereka. Pada 1979, penyebaran hak-hak azasi manusia merupakan
aspek utama dari cara Amerika Serikat menjabarkan kebijakan luar ne-
gerinya. Dengan logika Rafsanjani, maka, kelompok orang Iran mana
pun yang berbicara tentang hak-hak asasi manusia dengan sendirinya
menyatakan diri sebagai alat Amerika Serikat.
Dan memang, begitu perundingan rumit tentang para sandera ber-
larut-larut, pemerintahan Presiden Jimmy Carter pun menghentikan
pembicaraan tentang dukungan demokrasi di Iran 36 —penyebab uta-
ma mengapa Carter menempuh risiko mengakhiri dukungan Amerika
Serikat terhadap Shah. Sementara itu, rezim revolusioner mulai meng-
gunakan taktik Stalinis dengan menuduh bahwa siapa pun yang ber-
bicara tentang pemerintahan yang lebih representatif adalah antek
sejati Amerika Serikat. 37 Dengan krisis penyanderaan, rezim funda-
mentalis Islam sanggup membual anti-Amerikanisme menjadi tema
utama yang membuat kaum Marxis Iran tertarik mendukungnya, se-
dangkan Moskow diam-diam memperluas perlindungan bagi peme-
rintahan teokrasi baru ini.

* Russell Leigh Moses, Freeing the Hostages: Reexamining U.S.-Iranian Nego-


tiation and Soviet Policy, 1979-1981 (Pittsburgh/ University of Pittsburgh Press,
19%), him. 174-75.
;<? Dalam sebuah wawancara yang berlangsung di Teheran harian Jomhori-e
Islami pada 4 November 1981 untuk menandai perayaan dua tahun penguasaan
kedutaan besar, pemimpin mahasiswa radikal Musavi Khoeiniha menandaskan
kembali bahwa netralisasi kaum liberal dan d e m o k r a t Iran merupakan hasil
terpenting dari penyanderaan ini.

359
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

Setelah kegagalan upaya penyelamatan "Desert One" oleh militer


Amerika Serikat pada 25 April 1980, dan melalui perundingan selama
delapan bulan lebih, pada akhirnya Amerika Serikat berhasil mem-
bebaskan para sandera itu. Untuk melakukan hal itu, Amerika Serikat
harus setuju mengakui keabsahan rezim revolusioner Iran, dan Wash-
ington harus pula berjanji untuk tidak membawa keluhan-keluhan
terhadap Iran ke hadapan otoritas internasional, kendati terjadi ba-
nyak pelanggaran berat hak-hak azasi manusia dan hukum interna-
sional. Meskipun konsesi-konsensi ini pada masa itu mungkin tampak
perlu, dalam peninjauan kembali kita dapat melihat bahwa semua
itu mendorong kaum fundamentalis Islam untuk tenggelam ke dalam
tingkat kebencian baru dan melecehkan Barat dan ucapan-ucapannya
tentang hak-hak asasi. Sebab, bukankah para mahasiswa dan imam
revolusioner di Teheran menekan "Setan Terbesar" agar mengabaikan
prinsip-prinsipnya dan membuatnya bertekuk lutut?
Para teroris ini secara tepat menilai tingkat kemenangan mereka
dan menarik kesimpulan dari situ. Mereka memakai teror untuk men-
capai tujuan mereka, dan kelangsungan hidup mereka bergantung
pada keberlanjutan penggunaan teror ini. "(Amerika) pada posisi ber-
tahan. Jika hari esok ia merasa aman, ia akan berpikir untuk melak-
sanakan proyek-proyek imperialismenya." 38 Di antara proyek-proyek
ini adalah hak-hak azasi manusia, yang oleh seorang wakil Republik
Islam Iran dicela di depan Komite Hak-hak Asasi Manusia PBB sebagai
sebuah "mitos imperialis". 39
Sejak peristiwa penyanderaan pada 1979 hingga serangan teroris
pada September 2001 lalu, para pembuat kebijakan Barat terlalu sering
secara tersirat merendahkan klaim-klaim keadilan dan melalaikan tu-
gas mereka baik terhadap warga negara mereka sendiri maupun ter-
hadap perjuangan hak-hak azasi manusia dengan menolak memburu
para teroris dengan kegigihan yang nyata. Pertimbangan "pragma-

* Ali-Akbar Hashemi Rafsanjani. Enqelabe va defa'e Moqadass, him. 64.


Amnesty International Newsletter, September 1982. Wakil ini adalah Hadi
Khosroshahi, penerjemah lainnya ihwal Sayyid Qutb.

360
Teror, Islam, dan Demokrasi

tisme" dan "kehati-hatian" dijadikan alasan untuk membenarkan ter-


kikisnya keadilan yang, dalam salah satu ironi terkejam yang terungkap
melalui peristiwa 11 September, terbukti tidak hati-hati sama sekali.
Semenjak pembebasan dari hukuman diberikan kepada para pe-
nyandera di Teheran, kekejaman-kekejaman teroris meningkat baik
dalam frekuensi maupun dalam skalanya. Selain semua pertanyaan
yang muncul menyangkut tingkat keamanan, kegagalan intelijen,
keterbukaan dalam pembuatan keputusan kebijakan luar negeri, dan
yang semacamnya, kekejaman peristiwa 11 September juga mendo-
rong warga dari negara-negara demokratis bertanya kepada dirinya
sendiri seberapa kuatkah mereka menjunjung nilai-nilai demokrasi.
Musuh-musuh mereka mungkin meyakini suatu khayalan, tetapi
musuh ini telah memperlihatkan diri siap untuk mati. Di hadapan
pengorbanan diri para teroris, warga dari dunia bebas diseru untuk
menguji suara hati mereka; mereka mesti mengevaluasi kembali sifat-
sifat loyalitas mereka kepada demokrasi yang rapuh dan tidak sem-
purna. Lebih penting lagi, jaringan solidaristik kuat yang dibangun
para penganut Islamis totaliter seharusnya membuat para warga da-
lam masyarakat demokratis mempertanyakan seberapa banyak yang
telah mereka dan pemerintah mereka lakukan untuk membantu ak-
tivis-aktivis prodemokrasi di Iran, Aljazair, Afganistan, di Sudan, dan
di mana saja yang selama bertahun-tahun terus dianiaya. Tanpa senja-
ta, mereka berdiri di garis depan perjuangan melawan teror dan tirani,
dan mereka layak mendapat dukungan. Inilah tantangan moral, po-
litis, dan bahkan filosofis yang padanya hati dan pikiran Dunia Barat
harus terarahkan.

KE M A N A K A H DUNIA I S L A M ?

T E R O R KAUM fundamentalis Islam mencuatkan sebuah masalah yang


berbeda tapi tak kurang pentingnya bagi kita semua (termasuk penga-
rang esai ini) yang berasal dari negeri-negeri Islam. Teror itu membawa
sebuah tantangan tersendiri bagi para intelektual Muslim. Opini pub-

361
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

lik dalam masyarakat Muslim umumnya—walaupun barangkali


terlalu lirih—mengutuk pembantaian 11 September Di Iran, kalangan
pemuda secara spontan tumpah-ruah ke jalan-jalan, menghadapi de-
ngan berani penangkapan dan kekerasan polisi untuk membawa lilin-
lilin bagi para korban. Tapi di beberapa negeri Muslim lainnya juga
ada ledakan perayaan, dan unjuk rasa anti-Amerika yang cukup besar
di Pakistan. Barangkali yang lebih mengganggu adalah desas-desus
yang menyebar luas dan begitu kuat beredar di seputar masyarakat
Muslim bahwa bagaimanapun juga terdapat persekongkolan orang-
orang Israel di balik serangan itu. Kekuatan dan penyebaran desas-
desus ini merupakan gejala-gejala sebuah pelarian kolektif dari ke-
nyataan yang tak dapat dikontrol. Benar bahwa masalah bangsa Pales-
tina sungguh-sungguh menyakitkan dan rumit sehingga membutuh-
kan pemecahan yang layak. Tetapi sama benarnya bahwa menuduh
adanya persekongkolan-persekongkolan asing telah menjadi sebuah
cara yang mudah untuk menghindari tanggung jawab bagi sebagian
besar kita yang berasal dari negeri Muslim.

Selama beberapa abad terakhir, dunia Islam mengalami trauma


terus-menerus saat berjumpa dengan Dunia Barat. Sejak perjumpaan
ini dimulai, sejarah kita sudah merupakan sebuah cerita modernisasi
yang tak dapat dibalikkan lagi. Namun, cerita ini juga tentang domi-
nasi sepenuhnya pada satu sisi, dan penghinaan serta kemarahan di
sisi lainnya. Bagi pikiran kaum Muslim, Barat dan segala tata caranya
telah menjadi mitos-mitos yang sungguh kuat—jahat, tak dapat di-
tembus, dan tak dapat dipahami. Apa pun bentuk ketidakadilan dunia
Barat terhadap kaum Muslim, tetap merupakan sesuatu yang benar
bahwa para sarjana Barat sekurang-kurangnya telah berupaya mem-
pelajari dan memahami seluk-beluk dunia Islam. Tetapi, yang me-
nyedihkan, karya-karya besar dan cemerlang para "Orientalis" Barat
tak bergaung di kalangan aliran "OksidentalLsme" Muslim.
Kita kurang mempunyai kemampuan atau keinginan untuk terbu-
ka kepada yang lain. Kita memilih sebuah pemecahan yang gampang,
yakni berlindung dalam jubah Islam yang diimpor dari konsep dan
kategori cendekiawan Barat. Dengan melakukan hal ini, kita tidak

362
Teror, Islam, dan Demokrasi

hanya gagal menggenggam peluang untuk memahami Barat, tapi juga


kita kehilangan kunci untuk kebudayaan kita sendiri. Bila tidak, ba-
gaimana mungkin cita-cita Leninisme yang sudah merosot dewasa
ini bisa lolos sebagai ekspresi nyata dari sebuah agama besar m o n o
teistik? Kaum fundamentalis Islam menganggap diri mereka sebagai
pejuang berani yang menentang modernitas dan Barat, tetapi se-
sungguhnya merekalah yang telah mengimpor beberapa gagasan pa-
ling meragukan yang pernah muncul dari Dunia Barat modem. Me-
reka mendandaninya dalam ungkapan yang seolah-olah Islam. Pa-
dahal, gagasan-gagasan Barat tersebut, setelah mendatangkan sede-
mikian banyak kematian dan penderitaan, sekarang ini telah ditolak
mentah-mentah oleh Barat sendiri. Tidakkah kita menjadi begitu asing
dengan warisan kebudayaan kita sendiri, para intelektual dan ulama
kita bisa melakukan kerja yang lebih baik dalam membeberkan antino-
mi antara apa yang dituturkan kaum fundamentalis Islam dan apa
yang sesungguhnya diajarkan Islam. Mereka bisa secara lebih efektif
memangkas klaim para teroris sebagai satu-satunya wakil langsung
Tuhan di bumi, bahkan ketika mereka mengkhotbahkan sebuah dok-
trin yang tak berisi hal lain kecuali terus-menerus mengorbankan umat
manusia, seakan-akan Tuhan tak pernah mengutus malaikat untuk
menyuruh Ibrahim membatalkan penyembelihan anaknya.

Ketidakmampuan kita memahami kenyataan terletak pada akar


paranoia kita sendiri. Kalau saja kita mengambil pandangan yang
jernih dan hati-hati terhadap Barat, kita akan paham bahwa Barat
mendapatkan kekuatannya dari kemampuan introspeksi dan sikap
mereka yang tak henti mengkritik diri sendiri. Kita akan tahu bahwa
kebudayaan Barat tak pernah berhenti menyeru kita, sosok orang
asing, untuk membantunya memahami dirinya sendiri dan menge-
nyahkan sifat buruknya. Tatkala dia tak menjumpai vang lain, ia mem-
buatnya: Thomas More membayangkan sebuah pulau sangat jauh
yang disebut Utopia untuk memberi cerminan masalah-masalah sosial
pada zamannya; Michel de Montaigne menyatakan kritiknya terhadap
politik Prancis dalam bentuk perbincangan dengan seorang kepala
suku Indian di Brazil; dan Montesquieu mengarang surat-surat dari

363
Ladan Boroumand dan Roya Boroumand

seorang turis Persia untuk menuding keburukan-keburukan Eropa.


Andaikan kita sudah memiliki pakar-pakar terkemuka di bidang
peradaban Barat, kita mungkin tahu bahwa Barat merupakan sebuah
entitas yang beragam, majemuk, dan rumit. Budaya politiknya telah
membuahkan kengerian-kengerian, tapi budaya ini juga melahirkan
lembaga-lembaga yang melindungi harkat manusia. Salah satu
kengerian itu adalah imperialisme yang dipaksakan pada wilayah-
wilayah Muslim dan lainnya, tetapi bahkan tindakan ini membuat
kerusakan vang sama beratnya bagi orang Eropa sendiri seperti halnya
bagi kita, sekiranya orang tahu jumlah korban dalam Perang Dunia I.
Para pakar kita bisa membantu kita memahami bahwa kutukan Qutb
dan Khomeini terhadap hak-hak azasi manusia sungguh mirip dengan
pernyataan Paus Pius VI tentang Deklarasi Hak-hak Azasi Manusia
Prancis pada 1789. Kita bisa berpegang bahwa, belum lama berselang,
orang-orang Barat menghadapi rintangan yang sama yang kita hadapi
hari ini dalam perjalanan menuju demokrasi. Para warga di Barat
berjuang demi kebebasan mereka; namun dalam pergulatan ini
mereka tak kehilangan jiwa maupun agama mereka. Kita juga mesti
menyingsingkan lengan baju demi kebebasan, mengingat bahwa kita
tak lain adalah manusia bebas dan bertanggung jawab yang diberkahi
Tuhan dengan martabat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami berterima kasih kepada Hormoz Hekmat untuk komentar dan kritiknya yang
berguna dan Laith Kubba untuk pasokan sejumlah informasinya yang bermanfaat.

364
16

Setelah bin Ladin:


Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri
Amerika Serikat

Stephen M . Walt*

SERANGAN menghancurkan World Trade Center dan


TERORIS YANG

merusakkan Pentagon telah memicu perubahan paling cepat dan


dramatis dalam sejarah kebijakan luar negeri Amerika Serikat J Pada
10 September 2001, tak ada pertanda sedikit pun bahwa Amerika
Serikat akan memulai perang habis-habisan melawan "terorisme

* STEPHEN M . WALT adalah Robert and Renee Belfer Professor of International


Affairs pada John F. Kennedy School of Government, Harvard University. Hak
cipta © 2001 oleh The President and Fellow of Harvard College dan The Massa-
chusetts Institute of Technology.
1 Keputusan Jerman untuk melanjutkan kembali penggunaan tanpa batas kapal

selam perang pada Januari 1917 m e m b a w a Amerika Serikat masuk ke dalam


Perang Dunia I, namun Amerika Serikat sudah bersiap untuk perang setahun
sebelumnya, dan serangan kapal selam tak lebih hanya pemicu terakhir. Serangan
Jepang terhadap Pearl Harbor pada tahun 1941 sama mengejutkannya dengan
peristiwa 11 September, namun Amerika Serikat dan Jepang sudah berbenturan
s e b e l u m n y a , dan serangan ini malah memfasilitasi upaya Presiden Franklin
Roosevelt untuk memasuki perang. Uji bom atom Soviet pada tahun 1949 dan
invasi Korea Utara terhadap Korea Selatan pada tahun 1950 secara bersamaan
memicu pengerahan tentara Amerika Serikat, namun rancangan dasar pencegahan
perluasan kekuatan politik musuh sudah berjalan ketika Perang Korea pecah, dan
reaksi Amerika Serikat tidak melibatkan sebuah kebijakan yang berubah 180
derajat. Peristiwa yang paling bisa dibandingkan adalah reaksi Amerika Serikat
atas jatuhnya Prancis pada tahun 1940, yang membalikkan arus isolasionisme dan
mengawali gerakan untuk masuk ke dalam Perang Dunia II.

365
Stephen M. Walt

global". Memang, terlepas dari pengabaian terang-terangan ter-


hadap kesepakatan multilateral tertentu dan kegemaran akan
pertahanan peluru kendali, prioritas kebijakan luar negeri George
W. Bush dan pemerintahannya tidak berbeda secara radikal dari para
pendahulunya. Bush telah menyetujui perluasan NATO, penempat-
an pasukan Amerika Serikat di Balkan, menegaskan kembali ke-
bijakan mengenai hubungan yang hati-hati dengan Rusia dan Cina,
dan menyerukan usaha yang lebih cepat untuk meliberalkan pasar
global. Perhatian awal pemerintahan ini terutama dipusatkan pada
masalah-masalah dalam negeri, dan tak tercatat ada inisiatif in-
ternasional baru.
Pendekatan kebijakan luar negeri yang biasa-biasa saja ini tak
lagi kelihatan pada 11 September. Alih-alih reformasi dan pemo-
tongan pajak, perang melawan terorisme mendominasi agenda pe-
merintahan. Amerika Serikat dengan cepat melacak serangan ini ke
al-Qaeda—jaringan ekstremis Islam yang dipimpin oleh orang bu-
angan Saudi, Usamah bin Ladin—yang para pemimpinnya telah ber-
operasi dari Afganistan sejak 19%. Ketika pemerintahan Taliban me-
nolak ultimatum Amerika Serikat untuk menyerahkan bin Ladin,
Amerika Serikat memulai upaya militer untuk melenyapkan al-Qae-
da dan menjungkalkan pemerintahan Taliban. 2 Amerika Serikat juga
memulai kampanye diplomatik yang berkesinambungan untuk
mendaftar bantuan luar negeri agar bersama "dunia" ia bisa men-
dongkel organisasi teroris yang masih tersisa. Para pejabat Amerika
Serikat menekankan bahwa serangan ini mungkin akan lama dan
memperingatkan bahwa tindakan militer terhadap jaringan teroris
yang dicurigai mungkin berlanjut setelah gempuran pertama atas

2 Dalam sebuah upaya nyata untuk m e n g o y a k Taliban dan m e n g a k o m o d a s i


k e i n g i n a n Pakistan b a h w a rezim p a s c a p e r a n g Afgani y a n g m a n a p u n mesti
bersahabat d e n g a n Pakistan, para pejabat Amerika Serikat telah mengindikasikan
b a h w a anggota-anggota " m o d e r a t " dari rezim saat ini m u n g k i n disertakan ke
d a l a m sebuah pemerintahan koalisi pascaperang. Lihat "U.S. and Pakistan 'Share
A f g h a n G o a l / " BBC News Online/South Asia, 1 6 O k t o b e r 2 0 0 1 , h t t p : / /
w w w . n e w s . b b c . c o . u k / e n g l i s h / w o r l d / s o u t h _ a s i a ; dan " A f g h a n King Said to Agree
to Role in Kabul for T a l i b a n ? New York Times, 19 O k t o b e r 2001, him. B4.

366
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

al-Qaeda dan tuan rumah mereka, Taliban/


Artikel ini menganalisis bagaimana kampanye melawan teroris-
me global mengubah keseluruhan agenda kebijakan luar negeri
Amerika Serikat. Saya memusatkan perhatian terutama pada aspek-
aspek diplomatik dan tidak mengulas secara rinci strategi militer,
pertahanan dalam negeri, atau perlunya peningkatan intelijen. Isu-
isu ini sudah pasti penting, namun berada di luar kerangka esai ini.
Saya akan membahasnya dalam tiga bagian. Bagian pertama
membahas tentang apa yang disampaikan oleh peristiwa 11 Septem-
ber kepada kita mengenai posisi Amerika Serikat di dunia, dan me-
ngenali empat pelajaran yang seharusnya dipetik untuk kebijakan
Amerika Serikat di masa depan. Bagian kedua mengkaji bagaimana
kampanye melawan terorisme mengharuskan perubahan agenda
kebijakan luar negeri jangka pendek sampai menengah: Kebijakan-
kebijakan baru apa yang seharusnya dijalankan Amerika Serikat,
dan tujuan-tujuan apa saja yang seharusnya diturunkan derajatnya
atau ditinggalkan? Bagian ketiga membahas implikasi jangka pan-
jang, dan memusatkan perhatian pada persoalan apakah Amerika
Serikat bersedia menanggung tingginya biaya kebijakan terbarunya
mengenai keterlibatan global. Saya berpendapat bahwa keputusan-
keputusan ini sebagian akan tergantung pada keberhasilan serangan
saat ini. Selain itu, juga pada apakah Amerika Serikat bisa membuat
posisi globalnya yang dominan lebih dapat diterima oleh negara-
negara lain.

3 Dalam sebuah surat kepada Dewan Keamanan PBB, Duta Besar Amerika Seri-
kat John Negroponte berkata bahwa penyidikan Amerika Serikat untuk serangan
11 September masih "dalam tahapan a w a l " dan menyatakan bahwa "kami mung-
kin mendapati bahwa tindakan bela diri kami memerlukan langkah-langkah lebih
jauh dengan memandang organisasi dan negara lain." Lihat Christopher S. Wren,
"VS. Advises U.N. Council More Strikes Could C o m e / ' New York Times, 9 Oktober
2001, him. B5

367
Stephen M. Walt

APA Y A N G KITA P E L A J A R I P A D A 11 S E P T E M B E R ?

Serikat tidak mengubah setiap aspek


S E R A N G A N TERHADAP AMERIKA

politik dunia, namun ia menggarisbawahi beberapa aspek kebijakan


luar negeri Amerika Serikat yang kurang mendapat perhatian me-
madai dalam tahun-tahun terakhir ini. Memahami pelajaran-pe-
lajaran ini akan sangat penting artinya baik untuk kampanye me-
lawan al-Qaeda maupun upaya susulan untuk mengurangi bahaya
keseluruhan terorisme global.

P E L A J A R A N # 1 : K E B I J A K A N L U A R N E G E R I A M E R I K A SERIKAT

T I D A K L A H B E B A S BIAYA

1990-an, para pemimpin Amerika Serikat bersikap seolah-


S E J A K AWAL

olah Amerika Serikat bisa mengejar sasaran-sasaran kebijakan luar


negeri yang ambisius tanpa harus membuat pengorbanan yang
signifikan/ Publik pada umumnya mempunyai pandangan yang
sama, seperti terlihat dalam menurunnya perhatian mereka terhadap
masalah-masalah internasional sejak 1980-an. 5 Dengan ekonomi
yang menghasilkan seperempat produk dunia bruto dan belanja per-

4 Antara lain, Amerika Serikat telah melakukan tindakan-tindakan berikut: (1)


meluaskan aliansi inti yangdiciptakan selama Perang Dingin; (2) menggelar perang
singkat namun intens untuk membebaskan Kuwait setelah invasi Irak pada
Agustus 1990; (3) memaksa Irak mau bekerja sama dengan pengawas senjata PBB
dengan cara gabungan sanksi ekonomi dan pengeboman; (4) campur tangan dalam
perang saudara di Haiti, Bosnia, Kosovo, dan Somalia; (5) mencoba menjadi pene-
ngah kesepakatan perdamaian final antara Israel dan Palestina; dan (6) mencoba
membangun sebuah ekonomi dunia yang lebih liberal dengan pembentukan Orga-
nisasi Dagang Dunia dan perundingan Asosiasi Perdagangan Bebas Amerika Utara.
5 Menurut sebuah survei pada 1998 yang dilakukan Chicago Council on For-

eign Relations, rakyat Amerika tidak menempatkan isu kebijakan luar negeri yang
mana pun di antara tujuh teratas "masalah-masalah terbesar yang dihadapi negara
ini/' Ketika rakyat Amerika diminta untuk mengenali " d u a atau tiga masalah
kebijakan luar negeri terbesar yang dihadapi Amerika Serikat saat ini/' jawaban
paling umum (21 persen) adalah "tidak tahu." Lihat John E. Rielly, ed., American
Public Opinion and U.S. Foreign Policy, 1999 (Chicago: Chicago Council on For-

368
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

tahanan yang setara dengan gabungan tujuh negara di bawahnya,


dan terlindungi oleh dua lautan yang mahaluas, tak mengejutkan
sekiranya orang Amerika berpikir bahwa mereka relatif bisa bertin-
dak tanpa terkena balasan.
Perasaan congkak ini tumbuh bersama kemenangan Amerika Se-
rikat dalam Perang Dingin dan kian diperkuat oleh pengalaman da-
lam sepuluh tahun terakhir. Sekalipun pasukan militer Amerika Se-
rikat sangat sibuk, ongkos manusia dan ekonomi dari kegiatan-ke-
giatan ini ternyata sangat rendah. Korban jiwa dalam Perang Teluk
Persia pada 1991 jauh lebih sedikit daripada yang diperkirakan, dan
Angkatan Udara Amerika Serikat telah berpatroli di zona larangan
terbang di Irak dan melakukan serangan bom sporadis di sana se-
lama hampir sepuluh tahun tanpa kehilangan satu pesawat pun.
Campur-tangan Amerika Serikat berikutnya di Haiti, Somalia, Bos-
nia, dan Kosovo mendatangkan korban jiwa tak lebih dari 50 orang
Amerika Serikat (jumlah terbesar jatuh saat kegagalan penangkapan
panglima perang Somalia Mohammed Farah Aideed). Catatan ini
merupakan pencapaian militer yang mengesankan, namun hal ini
memperkuat keyakinan bahwa Amerika Serikat bisa memerintah
dunia tanpa terlalu banyak membahayakan darah dan hartanya sen-
diri. Para teroris anti-Amerika memang berhasil melakukan bebe-
rapa serangan yang memakan banyak korban pasukan Amerika Seri-
kat di luar negeri (yang paling akhir adalah pengeboman USS Cole
pada bulan Oktober 2000), namun usaha-usaha sebelumnya di da-
ratan Amerika Serikat gagal menghasilkan kerusakan besar, dan hal
ini mungkin turut menyebabkan munculnya sikap berpuas diri. 6 De-

eign Relations, 1999), him. 2-8. Ole Holsti baru-baru menganalisis beragam hasil
survei dan menyimpulkan bahwa masih ada dukungan luas publik untuk peran
aktif Amerika Serikat di dunia, namun ia juga menjumpai "bukti kuat bahwa
kebijakan luar negeri dan pertahanan telah dianggap tak begitu penting lagi bagi
masyarakat l u a s / Lihat liolsti, "Public Opinion and Foreign Policy," dalam Rob-
e r t J. L i e b e r , e d . , Eagle Rules? Foreign Policy and American Primacy in the Twenty-
first Century {Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall 2001).
é Upaya untuk meledakkan World Trade Center pada Febuari 1993 menewaskan

enam orang namun tak meruntuhkan bangunan. Kesalahan besar y a n g e l e m e n t e r

369
Stephen M. Walt

kade 1990-an juga merupakan sebuah periode pertumbuhan eko-


nomi yang berkesinambungan, yang memperkuat kepercayaan diri
Amerika Serikat dan membuatnya bisa dengan mudah menanggung
beban internasional tanpa merasa berat secara keuangan. 7

P E L A J A R A N # 2 : A M E R I K A S E R I K A T T A K S E P O P U L E R YANG M E R E K A K I R A

RAKYAT AMERIKA CENDERUNG melihat negara mereka sebagai sebuah


"kota yang bersinar gemilang di atas bukit" (seperti yang sering
dikatakan Presiden Ronald Reagan) dan sering menganggap bahwa
negara-negara yang lain menghormati dan menghargai peran
globalnya. Namun baik serangan 11 September maupun reaksi
internasional terhadap serangan ini telah memperjelas tingkat di
mana banyak orang di luar Amerika Serikat sebenarnya bersikap
ambivalen mengenai posisi Amerika Serikat di dunia. Di satu
ekstrem, organisasi teroris seperti al-Qaeda terilhami oleh antipati
yang demikian besar terhadap Amerika Serikat dan dominasi
globalnya. Sebagian dari antipati ini bukan hanya bersumber dari
sebuah visi tentang Amerika Serikat sebagai masyarakat yang korup

segera mengamar pada penangkapan beberapa penyerang dalam waktu singkat,


yang mungkin telah menyebabkan Amerika Serikat meremehkan kemampuan
kelompok serupa untuk menggelar serangan yang lebih canggih.
7 Bahkan para akademisi terkemuka dalam bidang politik internasional terseret

ke visi optimistik dari dominasi global Amerika Serikat. Maka William C. Wohlforth
b e r p e n d a p a t b a h w a d o m i n a s i Amerika Serikat adalah (1) p e n y e b a b u t a m a
perdamaian negara-negara besar; (2) sepertinya tidak memprovokasi oposisi yang
signifikan; (3) relatif mudah untuk dipertahankan. Lihat Wohlforth, " T h e Stabil-
ity of a Unipolar World," International Security, Vol. 24, No.l (Musim Panas 1999),
him. 5-41. Serupa dengan itu, Joseph S. Nye menekankan "kekuatan yang tak
membahayakan" yang dimiliki Amerika telah mengisyaratkan bahwa kemampuan
A m e r i k a Serikat untuk m e m b e n t u k d u n i a jauh lebih b e s a r daripada y a n g
dikesankan kekayaan materinya yang melimpah. Lihat Nye, Bound to Lead: The
Chasing Nature of American Power (New York: Basic Books, 1990). Pertumbuhan
terbaru s i k a p a n t i - A m e r i k a S e r i k a t telah m e m b u a t N y e sedikit m e n g u b a h
pandangannya; lihat khususnya Nye, The Paradox of American Power (New York:
Oxford University Press, segera terbit).

370
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

dan tak bertuhan, melainkan juga dipicu oleh hubungan erat Ame-
rika dengan Israel, dukungannya terhadap beberapa rezim konser-
vatif Arab, dan konfliknya yang sepertinya tanpa akhir dengan Irak.
Di mata para ekstremis radikal anti-Amerika Serikat ini, Amerika
Serikat adalah seorang preman global yang campur-tangannya di
dunia Islam harus dibendung dengan segala cara yang diperlukan. 8
Meskipun mayoritas besar bangsa Arab dan umat Islam menolak
metode-metode al-Qaeda, permusuhan terhadap Amerika Serikat
tersebar luas di negara-negara Arab dan Muslim. Fenomena ini men-
jelaskan mengapa dukungan Arab terhadap perang melawan teror-
isme relatif terbatas dan mengapa para tetangga Afganistan enggan
memberi akses total kepada pasukan militer Amerika Serikat untuk
wilayah mereka.
Namun, keprihatinan terhadap peran Amerika Serikat tidak
terbatas pada dunia Arab dan Muslim. Sepanjang 1990-an, Rusia,
Cina, dan India menuduh Amerika Serikat mengabaikan kepenting-
an mereka dan berupaya memaksakan kepentingannya sendiri ter-
hadap dunia? Kekhawatiran semacam inilah yang membawa Rusia
dan Cina merundingkan sebuah traktat persahabatan pada bulan
Juli 2001, yang oleh salah satu komentator Rusia digambarkan se-
bagai sebuah "langkah persahabatan menentang Amerika? 1 0 Bahkan

8 Lihai Fa reed Zakaria, " W h y Do They Hate U s ? " Newsweek, 15 Oktober 2001,
him. 22-40; Martin Davis, " B i n Laden, the Believer," National Journal 29 Septem-
ber 2001, him. 2982-2983; Roula Khalaf, " W h y They Hate," Financial Times, 5
Oktober 2001, him. 20; dan David Gardner, " A n Eye for an Eye f o r . . . " Financial
Times, 13 Oktober 2001, him. 1.
M Misalnya, "Cetak Biru Keamanan Nasional," dari Federasi Rusia, yang terbit

pada Januari 2000, memperingatkan akan " u p a y a penciptaan sebuah struktur


hubungan internasional yang didasarkan pada dominasi negara-negara Barat maju
dalam komunitas internasional, di bawah kepemimpinan Amerika Serikat, dan
d i r a n c a n g untuk p e m e c a h a n - p e m e c a h a n unilateral ( t e r m a s u k p e n g g u n a a n
kekuatan militer) untuk masalah-masalah penting dalam politik dunia." Lihat
"Russia's National Security C o n c e p t ? Arms Control Today, Vol. 30 No-1 (Januari/
Februari 2002), hal. 15 dan Sergey M. Rogov, The New Russian Security Concept
(Alexandria, Va: Center for Naval Analyses, 2000).
10 Lihat Patrick E. Tyler, "Russia and China Sign 'Friendship Pact'", New York
Times, 17 Juli 2001, him. A l . Untuk tambahan latar belakang tentang persepsi

371
Stephen M. Walt

sekutu-sekutu tradisional Amerika Serikat merasa prihatin dengan


pemusatan kekuasaan di tangan Amerika Serikat dan kecenderung-
an Washington akan unilateralisme, dan mereka telah mencari ber-
bagai cara untuk membatasi kebebasan Amerika Serikat dalam ber-
tindak. 11 Sekalipun banyak dari negara ini yang menghargai kesta-
bilan yang muncul dari kehadiran gobal Amerika Serikat, mereka
tak menyukai kecenderungan Washington untuk memaksakan ke-
mauannva sendiri terhadap negara-negara lain dan kahvvatir seki-
ranya negara besar ini akan menggunakan kekuatannya secara tidak
bijak. 12
Keprihatinan-keprihatinan ini tak menghilang ketika menara
kembar runtuh. Sekalipun Amerika Serikat mendapatkan simpati
internasional yang besar segera setelah serangan September, du-
kungan internasional ini bukannya tanpa syarat, dan sekutu-sekutu
utama Amerika Serikat telah dengan jelas mengatakan bahwa mere-

Rusia dan Cina mengenai Amerika Serikat sebelum 11 September, lihat Celeste A
Wallander, "Wary of the West: Russian Security Policy at the Millenium, Arms
Control Today, Vol. 30 No.2 (Maret 2000), him. 7-12; dan David Shambaugh, "Chi-
na's Military View the World: Ambivalent Security/' International Security, Vol.24,
No.3 (Musim Dingin 1999/2000), him. 52-79; dan Lanxin Xiang, "Washington's
Misguided China P o l i c y / Survival. Vol. 43, No.3 (Musim Gugur 2001), him. 7-23.
11 Menteri Luar Negeri Prancis Hubert Véndrine dikenal suka menggambarkan

Amerika Serikat sebagai sebuah "kekuatan yang berlebih-lebihan ( h y p e r p o w e r ) "


dan menyatakan bahwa "seluruh kebijakan luar negeri Prancis -. .ditujukan untuk
membuat dunia esok hari yang terdiri dari beberapa kutub, bukan hanya s a t u / '
Kanselir Jerman Gerhard Schroder juga memperingatkan akan bahaya "unilate-
ralisme'' oleh Amerika Serikat yang "tak dapat disangkal ". Dikutip dalam Craig
R. W h i t n e y " N A T O at Fifty: Is It a Misalliance?" New York Times, 15 Februari
1999, him. A7. Lihat juga Suzanne Daley, "Europe's Dim View of U.S. Is Evolving
into Frank Hostility," New York Times, 9 April 2000, him. A l , A8.
12 Lihat Hubert Véndrine dengan Dominique Moisi, France in an Age of Glo-
balization, terjemahan Philip H. Gordon (Washington, D.C.; Brookings Institute,
2001); Martin Walker, " W h a t Europeans Think of America," World Policy, Vol.17,
No.2 (Musim Panas 2000), him. 26-38; Francois Heisbourg, "American Hegemony?
Perceptions of U.S. A b r o a d / ' Survival, Vol.41, No.4 (Musim Dingin 1999-2000),
him. 5-19; Peter W. Rodman, Drifting Apart? Trends in U.S.-European Relations
(Washington, D.C.: Nixon Center, Juni 1999); dan Peter W. Rodman, Uneasy Gi-
ant: The Challenges to American Predominance (Washington, D.C.: Nixon Center,
Juni 2000)

372
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

ka ingin reaksi Amerika Serikat dibatasi. Sekutu-sekutu Amerika


Serikat terutama prihatin bahwa Amerika Serikat akan mengguna-
kan kesempatan ini untuk menyerang Irak, sehingga sebuah kelom-
pok yang terdiri dari kepala negara dari Uni Eropa menekankan
bahwa balasan Amerika Serikat harus "proporsional." Demikian
juga, NATO memutuskan untuk memberlakukan Pasal 5 traktat
NATO, dengan demikian peristiwa 11 September dianggap sebagai
sebuah serangan terhadap semua anggota NATO. Eropa juga sangat
gigih menyatakan bahwa Amerika Serikat harus berkonsultasi
dengan sekutu-sekutunya sebelum mengambil tin-dakan. 13
Pelajaran ini juga memperingatkan kita untuk tidak membesar-
besarkan dukungan internasional yang sekarang ini didapatkan
Amerika Serikat. Negara-negara lain mendukung Amerika Serikat
bukan hanya karena mereka setuju bahwa terorisme adalah sebuah
ancaman dan karena Washington dengan jelas mengatakan bahwa
netralitas bukanlah pilihan, melainkan juga karena mereka melihat
krisis ini sebagai kesempatan untuk memajukan kepentingan mereka
sendiri. Demikianlah, Rusia ingin mengegolkan kesepakatan atas
pertahanan peluru kendali dan mendapatkan persetujuan diam-
diam Amerika Serikat mengenai serangan Rusia sendiri terhadap
"teroris" Islam di Chechnya, Pakistan mendapatkan konsesi ekono-
mi yang penting, dan Uzbekistan menuntut jaminan keamanan. Na-
mun dukungan untuk kebijakan Amerika Serikat di Afganistan tidak
berarti bahwa negara-negara lain nyaman dengan kekuatan Amerika
Serikat atau bahwa mereka sepakat dengan Amerika Serikat untuk

13 Lihat Steven Erlanger, "So Far, Europe Breathe Easier over Free Hand Given
the United S t a t e s / ' New York Times, 29 September 2001, him. B I , B6. Kecemasan
bahwa keikutsertaan sekutu bisa membatasi kebebasan tindakannya membuat
pemerintahan Bush m e n g u m u m k a n b a h w a ia menyambut dukungan sekutu
namun berniat menggelar operasi militer hanya dengan Inggris. Seperti kata
seorang pejabat senior, "Makin sedikit orang yang mesti Anda andalkan, makin
sedikit izin yang mesti didapatkan." Dikutip dalam Elaine Sriolino dan Steven
Lee Meyers, "Bush Says 'Time Is Running Out'; U.S. Plans to Act Largerly A l o n e / '
iVew York Times, 7 Oktober 2001, hal. A1; dan Rebecca Johnson dan Micah Zenko,
" All Dressed Up and No Place to Go: Why NATO Should be at the Front Lines of
the War against Terrorism," November 2001, him. 3.

373
Stephen M. Walt

isu-isu lain.14 Jika para pemimpin Amerika Serikat menganggap bahwa


gelombang dukungan internasional sekarang ini memungkinkan
mereka untuk mengabaikan kepentingan negara-negara lain di masa
mendatang, mereka akan menyia-nyiakan modal diplomatik yang
sekarang dinikmati .Amerika dan meningkatkan risiko reaksi yang tidak
menguntungkan ketika tantangan di depan mata menyurut.

PELAJARAN # 3 : NEGARA-NEGARA GAGAL (FAILED STATE)

MERUPAKAN SUATU MASALAH KEAMANAN NASIONAL

KETIKA PEMERINTAHAN-PEMERINTAHAN, anarki yang ditimbulkannya


sering memicu migrasi besar-besaran, kekacauan ekonomi, dan
kekerasan massal. Sekalipun dampak-dampak ini sering menyebar
ke negara-negara tetangga, masalah "negara-negara gagal" seperti
Somalia, Sierra Leone, Liberia, Rwanda, dan Afganistan pada umum-
nya dilihat hanya sebagai isu kemanusiaan. Akibatnya, reaksi inter-
nasional biasanya setengah hati dan hanya berhasil sebagian. 13
Serangan 11 September memperlihatkan bahwa negara-negara
gagal bukan sekadar tragedi kemanusiaan; mereka juga bisa menjadi
sebuah masalah keamanan nasional yang besar.1* Pemerintahan
Taliban dan gerakan al-Qaeda muncul dari perang saudara berlarut-
larut di dalam Afganistan, dan bin Ladin telah menggunakan negara-
negara gagal untuk tempat pengungsian sejak pertengahan 1990-

M Satu contoh misalnya, Cina masih tak bersedia untuk menandatangani sebuah
kesepakatan yang melarang ekspor suku cadang peluru kendali dan teknologi
pembuatan peluru kendali, terlepas apa yang disebut seorang pejabat Amerika
Serikat "tekanan sepenuhnya" sebelum pertemuan tingkat tinggi Konferensi
Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Shanghai pada bulan Oktober 2001. Lihat Craig
S. Smith, "Frustating U. S., China Balaks at Pact to Stem Missile Sales," jVew York
Times, 20 Oktober 2001, him. B4.
13 Tentang masalah-masalah negara gagal, lihat Robert I. Rotberg, ed., " W h y

States Fail (and How to Resuscitate T h e m ) / ' 2001, naskah yang belum diterbitkan;
dan I. William Zartman, Collapsed States: The Disintegration and Restoration of
Legitimate Authority (Boulder, Colo.: Lynne Rienner, 1995).
,A Mengenali masalah ini tak menghilangkan pentingnya membuat penilaian

tentang negara-negara gagal mana yang merupakan ancaman potensial bagi

374
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

an. Memang, bila Afganistan diperintah oleh sebuah rezim yang le-
bih cakap dan moderat selama satu dekade terakhir, bin Ladin tak
akan mendapatkan perlindungan di sana, dan serangan ke Amerika
Serikat mungkin tak pernah terjadi.
Bahaya yang dihadirkan beberapa negara gagal juga meng-
ingatkan kita bahwa konflik-konflik yang tak terselesaikan selalu
merupakan bahaya potensial. Konflik yang berkepanjangan mendo-
rong timbulnya kebencian dan keinginan untuk balas dendam, mem-
bantu munculnya kelompok-kelompok yang tujuan utamanya ada-
lah mengobarkan perang, dan memperkuat para pemimpin vang
bertindak semena-mena karena adanya suasana ketakutan. Kondisi-
kondisi ini menyediakan tanah penyemaian yang ideal bagi jenis
orang yang bersedia terlibat dalam teror massal. Jaringan teroris
yang sekarang ingin disingkirkan Amerika Serikat adalah produk
dari konflik berlarut-larut di Afganistan, Kashmir, Tepi Barat, dan
Jalur Gaza. Serangan 11 September terhadap Amerika Serikat mung-
kin tak akan pernah terjadi seandainya pertempuran penuh keke-
rasan di tempat-tempat itu terselesaikan. Dengan demikian,
membantu penyelesaian konflik sipil yang berlarut-larut bukan
hanya bagus untuk dunia secara umum: hal ini juga bisa membuat
Amerika Serikat lebih aman. 17

P E L A J A R A N # 4 : A M E R I K A S E R I K A T T I D A K BISA " J A L A N S E N D I R I "

Serikat terhadap serangan teroris ada-


A K H I R N Y A , TANGGAPAN AMERIKA

lah pengingat kuat bahwa bahkan sebuah negara adidaya memer-

k e p e n t i n g a n A m e r i k a S e r i k a t , d a n y a n g t i d a k . A m e r i k a S e r i k a t tak bisa
membangun semua negara yang gagal, namun serangan 11 September memberi
tahu bahwa tak melakukan apa-apa kadang bisa sangat mahal bayarannya.
17 N a m u n , ada juga semacam pertukaran di sini. Mencoba menyelesaikan

perang saudara vang sengit tidak pernah m u d a h , dan terlibat di sana bisa
membangkitkan kebencian hebat dan panjang. Untuk kehati-hatian, sebaiknya
kita tidak terlibat kecuali (1) kepentingan vital Amerikat Serikat terlibat; dan (2)
para p e m i m p i n A m e r i k a S e r i k a t m e m p u n y a i c e t a k biru y a n g j e l a s untuk
menyelesaikan konflik dan membentuk sebuah pemerintahan yang bisa bekerja.

375
Stephen M. Walt

lukan dukungan dari negara-negara lain. Selama bulan-bulan perta-


ma, pemerintahan Bush sering bertindak seolah-olah opini dari nega-
ra-negara lain tidak berarti banyak, sebuah sikap yang terlihat dari
kerasnya keinginan untuk menggelar pertahanan peluru kendali dan
penolakan kasar terhadap sejumlah konvensi internasional vang
penting. 18 Sekalipun kebijakan-kebijakan ini menimbulkan kecaman
luas di dalam maupun luar negeri, tak ada tanda-tanda bahwa peme-
rintahan Bush memikirkan ulang pendekatan dasarnya sebelum 11
September
Namun, begitu Amerika Serikat diserang, pemerintahan Bush ti-
ba-tiba mendapati bahwa dukungan internasional tak terhindarkan.
Upaya militer terhadap al-Qaeda memerlukan akses ke wilayah
asing dan izin untuk menggunakan wilayah udara negara lain, dan
seperti dibahas di bawah, serangan untuk melenyapkan jaringan
teroris yang bersembunyi di pelosok dunia tak bisa berhasil tanpa
dukungan besar dan terus-menerus dari banyak negara lain. Du-
kungan internasional yang luas juga melegitimasi penggunaan ke-
kuatan terhadap al-Qaeda dan Taliban serta mengurangi kecende-
rungan negara lain untuk melihat Amerika Serikat sebagai kekuatan
yang senang menjalankan kebijakan imperial
Ironi tersebut begitu jelas: seorang presiden yang pendekatan awal-
nya terhadap kebijakan luar negeri bersifat unilateral sekarang akan
banyak dinilai berdasarkan kemampuannya untuk mengerahkan
kerjasama internasional 19 Patut dipuji, tim Bush dengan cepat berubah
haluan, dan telah melakukan pekerjaan mengagumkan dalam me-

18 Dalam bulan-bulan pertama berkuasa, pemerintahan Bush menolak Protokol


Kyoto tentang pemanasan global dan protokol pengawasan untuk Konvensi
Senjata Biologi, dan memaksa partisipan lain untuk mencairkan kesepakatan PBB
yang membatasi perdagangan global dalam senjata-senjata kecil. Pemerintahan
ini juga menyatakan bahwa ia tak akan berusaha untuk meratifikasi Traktat
Pelarangan Uji Komprehensif atau traktat yang akan membentuk pengadilan
kriminal internasional, dan berulang kali melontarkan penolakan Amerika Serikat
untuk pelarangan ranjau darat.
Seperti kata Menteri Luar Negeri Colin Powell, ' T a k ada satu pun yang
m e n y e b u t kita unilateral lagi. Hal itu telah pergi sementara ini; kita begitu

376
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

ngumpulkan dukungan dari berbagai negara asing. Namun dukungan


tersebut sangat mungkin akan memudar sekiranya pertempuran di
Afganistan berlarut-larut dan seandalnya Amerika Serikat tak bisa
mengganti Taliban dengan sebuah pemerintahan koalisi yang mantap.
Sesungguhnyalah, mempertahankan koalisi bisa tetap utuh melawan
terorisme akan merupakan tantangan yang menggentarkan.

M E N G O B A R K A N P E R A N G MELAWAN T E R O R I S M E : IMPLIKASI BAGI KEBIJAKAN

I.UAR NEGERI AMERIKA SERIKAT

kemanusiaan tragis, kehilangan yang diderita


S E K A L I P U N D A L A M IHWAL

Amerika Serikat sampai hari ini tidak mempengaruhi posisi utama-


nya ataupun inti kepentingan nasionalnya. Amerika Serikat masih
merupakan kekuatan terdepan dalam ekonomi dan militer di dunia,
dan konsensus global bahwa terorisme adalah masalah serius mung-
kin bisa meningkatkan pengaruh Amerika Serikat dalam jangka pen-
dek. Tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negeri Amerika Serikat juga
tak terpengaruh: Amerika Serikat tetap ingin menekan persaingan
keamanan di Eropa dan Asia, mencegah munculnya negara-negara
besar yang bermusuhan, mendorong ekonomi dunia yang lebih ter-
buka, melarang penyebaran senjata pemusnah massal (SPM), dan
menyebar-Iuaskan demokrasi dan menghormati hak azasi manusia.*

multilateralnya sehingga membuat saya terjaga selama 24 jam setiap harinya untuk
mengecek setiap orang." Dikutip dalam Patrick E. Tyler, "Russia and U S. Opti-
mistic on Defense Issues," New York Times, 19 Oktober 21)01, him. A l . B4. Masih
perlu dilihat apakah memang sudah ada pergeseran yang sebenarnya dalam
pendekatan atau hanya sekadar penyesuaian taktis bagi perkiraan yang skeptis,
lihat Steven E. Miller, " T h e End of Unilateralism? Or Unilateralism Redux?" Wash-
ington Quarterly, Vol. 25, N o . l (Musim Dingin 2001-2002).
^Tujuan-tujuan ini dinyatakan dalam banyak pernyataan resmi maupun tak
resmi, termasuk William J. Clinton, A National Security Strategy fora New Cen-
tury (Washington, D.C.: The White House, Mei 1997); America's National Inter-
ests (Cambridge, Mass.: Commisission on America's National Interests); dan
George W. Bush. " A Distinctly American Intemasionalism," pidato di Perpustakaan
Kepresidenan Ronald Reagan, 19 November 1999, http://www.georgewbush.com.

377
Stephen M. Walt

Bahkan perang baru melawan terorisme bukanlah tujuan yang sepe-


nuhnya baru, mengingat Amerika Serikat dan al-Qaeda telah saling
serang dalam beberapa kesempatan di masa silam. 21
Apa yang berubah, tentu saja, adalah prioritas yang dilekatkan
pada tujuan-tujuan yang berbeda ini. Kampanye melawan terorisme
global sekarang merupakan tujuan utama kebijakan luar negeri dan
pertahanan Amerika Serikat, dan tujuan-tujuan internasional lain
akan berada di bawah tujuan besar ini.
Untuk jangka pendek, kampanye tersebut memiliki dua sasaran
utama. Sasaran pertama adalah melenyapkan al-Qaeda, baik dengan
menyerangnya di Afganistan dan menyingkirkan sel-selnya di
negara-negara lain. Sasaran kedua adalah mengganti pemerintahan
Taliban, baik untuk mencegah al-Qaeda memiliki tempat perlin-
dungan maupun untuk menunjukkan kepada pemerintahan lain apa
yang bakal menimpa mereka jika mereka mengizinkan serangan atas
Amerika Serikat dirancang dari wilayah mereka. 22
Dalam jangka panjang, Amerika Serikat juga harus mengambil
langkah-langkah untuk memastikan bahwa berbagai al-Qaeda baru
tidak muncul dan mempersulit kemungkinan bagi musuh untuk
mendapatkan senjata-senjata yang lebih mematikan (seperti senjata
nuklir). Untuk meraih tujuan ini, kebijakan luar negeri Amerika
Serikat harus memusatkan perhatian pada (1) pengaturan koalisi
antiteroris; (2) meningkatkan pengawasan atas senjata pemusnah

21 Al-Qaeda sudah dikaitkan dengan pengeboman World Trade Center pada


Februari 1993, pengeboman sebuah barak Amerika Serikat di Arab Saudi pada
bulan Juni 19%, serangan ke kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan Tan-
zania pada bulan Agustus 1998, dan gempuran ke USS Cole pada bulan Oktober
2000. Amerika Serikat mengebom pangkalan-pangkalan al-Oaeda di Afganistan
pada bulan Agustus 1998 dan telah melakukan serangkaian serangan lain terhadap
al-Qaeda selama lima tahun terakhir. Lihat Kenneth Katzman, Terrorism: Near
Eastern Croups and State Sponsors, 2001 (Washington, D.C.: Congressional Re-
search Service, 2001).
23 Sampai tulisan ini dibuat, tak ada bukti meyakinkan yang mengaitkan

pemerintahan lain dengan serangan 11 September atau serangan antraks susulan


di beberapa kota Amerika Serikat. Sudah jelas, jika ada negara lain yang diketahui
terlibat dalam operasi ini, fokus serangan Amerika Serikat akan bergeser

378
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

massal; (3) membangun kembali Afganistan; dan (4) membangun


kembali hubungan dengan negara-negara Arab dan Islam.

M E N G A T U R KOALISI

kunci kemenangan melawan terorisme


S E P E R T I D I S A R A N K A N DI ATAS,

global terletak pada kemampuan Amerika Serikat untuk mencipta-


kan dan menjaga koalisi internasional yang luas. Dukungan interna-
sional merupakan prasyarat untuk tindakan militer terhadap al-
Qaeda dan Taliban, namun kerjasama dari negara-negara lain ini
lebih penting lagi dalam upaya pembubaran jaringan sel teroris al-
Qaeda di mana-mana. Negara-negara lain harus mau membagi infor-
masi intelijen dengan Amerika Serikat, bekerjasama dalam membuka
aliran uang rahasia yang menyuburkan jaringan teroris; dan meng-
investasikan waktu, sumber daya, dan modal politik untuk menekan
ekstremis anti-Amerika di dalam masyarakat sendiri.
Sayangnya, menjaga koalisi ini tetap utuh bukan pekerjaan mu-
dah. Sebagian negara Arab dan Muslim sudah enggan untuk beker-
jasama dengan Washington, karena kecemasan mereka akan insta-
bilitas dalam negeri dan keyakinan yang sudah meluas bahwa Ame-
rika Serikat tidak peka terhadap keprihatinan Arab dan Muslim.
Ada pula perselisihan serius antara beberapa calon sekutu Amerika
Serikat (yang paling terlihat jelas adalah konflik membara antara
India dan Pakistan), dan konflik-konflik ini sudah pasti menyeruak
lagi seiring dengan berjalannya waktu. Sejarah juga memperingatkan
bahwa dukungan untuk kampanye melawan terorisme sepertinya
akan menyurut dengan berjalannya waktu, begitu kejutan atas se-
rangan pertama berkurang dan saat biaya kampanye tersebut men-
jadi makin nyata. Bahkan sekutu-sekutu dekat Amerika Serikat
mungkin tergoda untuk mengalihkan tanggung jawab dalam bulan-
bulan berikutnya, terutama jika permintaan Amerika Serikat yang
dituruti sepenuhnya akan mendatangkan pengorbanan nyata. 23

23 Misalnya, sejumlah negara tak akan m a m p u atau mau memenuhi permintaan

379
Stephen M. Walt

Mengingat pentingnya menjaga dukungan internasional yang


luas, Amerika Serikat mesti menomorduakan tujuan-tujuan kebi-
jakan luar negeri lainnya dan memusatkan perhatian pada tugas
yang lebih besar untuk menjaga koalisi tetap utuh. Dengan demikian,
dalam jangka pendek sampai menengah, beberapa penyesuaian per-
lu dilakukan.
Pertama, Amerika fieri kat harus meneruskan upayanya untuk men-
dukung Pervez Musharraf dan rezimnya di Pakistan. Kebijakan ini di-
perlukan untuk memudahkan serangan militer di Afganistan, menyi-
apkan jalan untuk rezim pengganti di Kabul, dan memastikan bahwa
kaum ekstremis Islam tidak menggulingkan Musharraf dan menda-
patkan akses pada senjata nuklir Pakistan. Mencabut sanksi dan menjan-
jikan bantuan ekonomi (termasuk penghapusan utang) adalah langkah
awal yang bagus, namun Amerika Serikat juga harus mengambil
tindakan segera untuk membuka pasar Amerika Serikat terhadap
ekspor Pakistan.24 Menekan India untuk memulai perun-dingan yang
serius atas Kashmir juga akan memberi Musharraf tam-bahan kekuatan
politik dan mengurangi minat Pakistan untuk mem-pertahankan
hubungan eratnya dengan berbagai kelompok ekstre-mis Islam.25

A m e r i k a S e r i k a t untuk m e m b o n g k a r rekening b a n k rahasia d a n aliran uang


tertutup y a n g m e m u p u k jaringan teroris g l o b a l terutama jika hal ini melibatkan
biaya e k o n o m i y a n g signifikan. Tentang sulitnya mengawasi aliran uang ini, lihat
Tim Weiner d a n David C a y Johnston, " R o a d b l o c k s Cited in Effort to Trace Bin
L a d e n ' * Money," New York Times, 2 0 S e p t e m b e r 2001 r him. A l r B2; Robert M.
M o r g e n t h a u , " C u t t i n g Off the Funds for Terror," New York Times, 22 O k t o b e r
2001, him. A21; J i m m y Burns, William Halt, Harvey Morris,dan Richard Wolffe,
" H u g e Obstacles in Global Search for Terrorist Paper Trail," Financial Times, 24
S e p t e m b e r 2001, hal.6; dan Hugh Williamson, " G l o b a l Financial Taskforce Needs
Overhaul to Fight Terrorism," Financial Times, 3 O k t o b e r 2001, him. 4.
24 Lihat Helene Cooper, " P a k i s t a n ' s Textile Bind Presents Bush Team with a
Tough C h o i c e , " Wall Street Journal 29 O k t o b e r 2001, him. A l . A8.
* Pakistan telah menggunakan gerilyawan Islam (termasuk sejumlah mujahidin
A f g a n ) untuk m e l a k u k a n p e m b e r o n t a k a n t e r h a d a p p e n g a w a s a n India a t a s
Kashmir, Untuk latar belakang konflik ini, lihat S u m i t Ganguly, " E x p l a i n i n g the
Kashmir Insurgency: Political Mobilization and Institutional Decay," International
Security, Vol. 2 1 , No.2 ( M u s i m G u g u r 1996), him. 76-107; dan Raju C . C . T h o m a s ,
e d . . Perspectives on Kashmir: Roots of Conflict in South Asia (Boulder, Colo.:
Westview, 1992).

380
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

Kedua, mengingat Amerika Serikat membutuhkan bantuan dari se-


jumlah negara dan kelompok yang mempunyai catatan buruk hak asasi
manusia, termasuk Uzbekistan dan aliansi Utara Afgan, perang mela-
wan terorisme mengharuskan Amerika menurunkan kadar kepriha-
tinannya dalam masalah hak asasi manusia untuk sementara waktu.
Namun Washington harus menegaskan kepada mitra-mitra barunya
bahwa ia tidak memaklumi perilaku mereka di masa silam dan mendo-
rong mereka untuk selanjutnya meningkatkan kebijakan ini.
Ketiga, krisis ini juga menghadirkan kesempatan ideal untuk me-
ningkatkan hubungan dengan Rusia. Amerika Serikat telah berpe-
rilaku seenaknya terhadap hal-hal yang menjadi keprihatinan Rusia
selama satu dekade terakhir, sementara saat ini ia membutuhkan
dukungan Rusia di beragam sektor. Untuk mendapatkan dukungan
ini, pemerintahan Bush harus meninggalkan proses perluasan NATO
atau menjalankannya dalam suatu cara yang bisa diterima Rusia.
Presiden Vladimir Putin baru-baru ini meng-indikasikan bahwa per-
luasan bisa diterima dengan syarat-syarat tertentu, namun hal ini
tetap dilihat sebagai sesuatu yang mem-bahayakan bagi banyak
orang Rusia dan tak banyak andilnya untuk memajukan kampanye
antiteroris. Paling tidak, perluasan harus dilakukan dalam sebuah
cara yang mempertimbangkan kepekaan Rusia, barangkali dengan
membuka pintu bagi masuknya Rusia ke dalam NATO secepatnya.
Amerika Serikat juga harus mengikuti kebijakan yang serupa ter-
hadap pertahanan peluru kendali dan bergerak maju hanya dalam
konteks revisi Traktat Peluru Kendali Antibalistik 1972 yang saling
bisa diterima. Hubungan yang membaik dengan Moskow juga akan
semakin meningkat dengan upaya terus-menerus untuk menstabil-
kan ekonomi Rusia dan dukungan yang lebih besar bagi program
kerjasama penghapusan nuklir di Rusia. Amerika Serikat juga harus
paham bahwa Rusia sangat mungkin melihat kehadiran militer Ame-
rika Serikat di Asia Tengah dengan perasaan was-was, dan mene-
gaskan kepada Moskow bahwa ia tak mencari pengaruh baru di
lingkungan Rusia.

Empat, krisis ini mengharuskan Amerika Serikat menjaga

381
Stephen M. Walt

ketenangan hubungan dengan negara-negara besar lain. Cina diam-


diam mendukung kampanye antiteroris (sebagian karena ia meng-
hadapi ancaman pemberontakan kelompok Islam di provinsi-pro-
vinsi bagian barat) dan tidak mencoba memanfaatkan situasi ini de-
ngan mengangkat isu-isu lain (seperti Taiwan). Di sini langkah yang
tepat bagi Amerika Serikat adalah melakukan diplomasi yang tenang
di Beijing dan Taiwan, dengan menjadikan dua pihak tahu bahwa
provokasi apa pun akan membahayakan hubungan masa depan de-
ngan Amerika Serikat
Akhirnya, Amerika Serikat akan bertindak bijak dengan mem-
balas dukungan luar negeri yang baru-baru ini didapatkan dengan
memberikan konsesi. Memusatkan diri pada sebuah upaya serius
untuk menegosisasikan penggantian Protokol Kyoto tentang pema-
nasan global akan merupakan sebuah langkah awal ideal dan akan
berjalan mulus seiring dengan mencairnya ketakutan yang melekat
terhadap unilateralisme Amerika Serikat. Demikian juga, Amerika
Serikat bisa mempercepat persiapan untuk sebuah putaran perda-
gangan global baru dan menyatakan bahwa ia secara khusus tertarik
untuk menurunkan pajak masuknya terhadap ekspor-ekspor dari
negara berkembang, bahkan jika ini mengganggu sejumlah ke-
pentingan dalam negeri. Langkah semacam ini mungkin sulit dila-
kukan di tengah-tengah resesi global, namun justru pengurangan
halangan-halangan inilah yang paling diperlukan.

PENGAWASAN SENJATA P E M U S N A H M A S S A L

PERISTIWA U SEPTEMBER m e m p e r l i h a t k a n b a h w a para teroris


internasional lebih lihai dan keji dari yang diyakini banyak pakar.
Mengingat kesanggupan mereka untuk mengorbankan diri dan keti-
dakpedulian mereka untuk membunuh orang-orang yang tak
bersalah, maka bahaya paling besar adalah kemungkinan al-Qaeda
atau kelompok sejenis mungkin mendapatkan senjata pemusnah
massal dan menggunakannya untuk mendatangkan kerusakan

382
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

maksimal.* Semua orang yakin bahwa bin Ladin akan sangat girang
bisa mendapatkan senjata semacam ini, atau bahwa ia akan meng-
gunakannya sekiranya ia memilikinya? 27
Untuk mengurangi ancaman ini diperlukan sebuah upaya baru
pengawasan yang ketat terhadap pasokan senjata nuklir, kimia, dan
biologi yang ada. 28 Risiko paling langsung dan nyata ada di Rusia,
yang persediaan besar SPM-nya masih berada di bawah pengawasan
longgar yang tak bisa dibiarkan. Di banyak negara lain juga terdapat
tumpukan bahan-bahan nuklir, kimia, dan biologi yang bisa mem-
bahayakan, dan sebagian persediaan ini sangat buruk pemantauan
ataupun perlindungannya. Dengan demikian, upaya untuk meng-
awasi "nuklir lepas" di Rusia harus disertai dengan sebuah kam-
panye global untuk mencegah teroris mendapatkan senjata pe-
musnah massal dari sumber-sumber lain.
Untuk menyelesaikan tugas penting ini, pemerintahan Bush harus
bergerak cepat untuk menerapkan rekomendasi laporan Baker-Cut-

* D e n g a n m e n e g a s k a n b a h w a s e j u m l a h k e l o m p o k s a n g g u p d a n bisa
menggunakan senjata biologi, serangkaian serangan antraks di beberapa kota di
Amerika Serikat yang mulai pada bulan Oktober 2001 m e m p e r j e l a s bahaya
potensial bentuk baru terorisme ini. Untuk latar belakang, lihat Jonathan B. Tucker,
Toxic Terror: Assessing the Tcrrrorist Use of Chemical and Biological Weapons
(Cambridge, Mass.: MIT Press. 2000).
27 Dalam sebuah wawancara pada 1999, bin Ladin menyatakan bahwa "Akan

berdosa kaum Muslim jika mereka tidak mencoba memiliki senjata-senjata yang
dapat mencegah kaum kafir mencelakai Muslim. Permusuhan terhadap orang
Amerika adalah tugas agama dan kami berharap akan mendapat pahala dari
Tuhan." Lihat "Interview with Bin I-aden," 7ïme, 11 Januari 1999. Ada kesaksian
yang belum dibuktikan kebenarannya dari bekas rekan bin l ^ d i n mengenai
upayanya untuk mendapatkan bahan baku nuklir. Lihat Kimberly McCoud dan
M a t t h e w O s b o r n e , " O s a m a Bin Laden and W M D T e r r o r i s m , " CNS Reports
(Monterey, Calif.: Center for Non-proliferation Studies, Monterey Institute for
International Studies, 2001), h t t p : / / w w w . c n s . m i i s . e d u / p u b / r e p o r t s /
binladen.htm.
* Menurut mantan Senator Sam Nunn, "Prioritas keamanan nasional nomor
satu kita adalah mencegah senjata pemusnah massal jatuh ke tangan kelompok
teroris." Dikutip dalam Albert R, Hunt, "An Accelerated Agenda for the Terrorism
Threat," Wail Street Journal, 25 Oktober 2001, him. A21. Lihat juga Graham T.
Allison. "Could Worse Be Yet to C o m e ? " Economist, 1 November 2001. him. 19-21.

383
Stephen M. Walt

Ier 2001 mengenai program pemusnahan senjata nuklir di Rusia,


dan mendorong Kongres untuk memberi dana jauh lebih besar dari-
pada sebelumnya terhadap program-program yang dibutuhkan. 29
Upaya-upaya sebelumnya untuk membuat republik-republik pasca-
Soviet bebas nuklir dan memantapkan pengawasan ketat atas nuklir
lepas di Rusia memang menghasilkan kemajuan nyata, namun upa-
ya keseluruhan telah terganggu oleh manajemen yang salah, perti-
kaian di dalam tubuh birokrasi sendiri, politik akal-akalan, dan keti-
dakefektifan kepresidenan serta parlemen. Mengingat bahaya po-
tensial yang bisa dihadirkan senjata-senjata ini, upaya setengah-se-
tengah ini malah mendatangkan kegagalan politik yang dramatis.* 1
Namun baik pemerintahan Bush maupun Kongres Amerika Serikat
belum memperlihatkan bahwa mereka memandang serius masalah
ini, terlepas dari janji-janji yang dibuat selama kampanye kepresi-

29 Laporan tersebut antara lain merekomendasikan bahwa Amerika Serikat dan


Rusia mengembangkan sebuah rencana strategis untuk "mengamankan d a n / a t a u
menetralkan dalam waktu delapan sampai sepuluh tahun ke depan semua senjata
dan materi vang bisa digunakan untuk senjata nuklir di Rusia "; mengangkat
seorang pejabat senior untuk menangani beragam program; dan mempercepat
upaya gabungan untuk mengatur, mengawasi, dan memeriksa materi nuklir. Lihat
Howard Baker dan Llvod Culer, co-chairs, A Report Card on the Department of
Energy's Nonprvliferation Programs with Russia{Washington, D.C.: U.S. Depart-
ment o f Energy, Secretary of Energy Advisory Board, 10 Januari 2001), h t t p : / /
www.hr.doe.gov/seab/rusrpt.pdf. Untuk rekomendasi tambahan, lihat Matthew
Bunn, The Next W a ve: Urgently Needed New Steps to Control Warheads and Fis-
sile Materia/ (Washington, D.C., and Cambridge, Mass.: Carnegie Endowment for
International Peace and Managing to Atom Project, Belfer Center for Science and In-
ternational Affairs, John F. Kennedy School of Government, Harvard University, 2000).
Penilaian terhadap berbagai upaya kerjasama pengurangan ancaman di
dalam bekas Uni Soviet mencakup Matthew Bunn, Cleg Bukharin, dan Kenneth
Luongo, Renewing (he Partnership: Recommendations for Accelerated Action to
Secure Nuclear Material in the Former Soviet Union (Princeton, N.J.: Russian-Ame-
rican Nuclear Security Advisory Council, 2000); "Special Report: Assessing U.S.
Non-Proliferatioan Assisstance to the NIS," Nonprvliferafion Review, Vol.7, N o . l
(Musim Semi 2000), hal. 55-124; Jason D. Ellis, Defense by Other Means: The Poli-
tics of U . S . - M S Threat Reduction and Nuclear Security Cooperation (Westport,
Conn.: Prague, 2001); dan Sam Nunn, chairman. Managing the Global Nuclear
Materials Threat: Policy Recommendations (Washington, D.C.: Center for Strate-
gic and International Studies, 2000).

384
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

denan dan seruan untuk bangkit yang diterima Amerika Serikat pada
11 September. 31 Pemerintah juga harus membantu Pakistan menga-
mankan senjata nuklir secara lebih meyakinkan, barangkali dengan
memasok mereka rumus tindakan yang diperbolehkan dan cara-
cara teknis lain untuk mencegah penggunaan yang keliru. 32
Pada saat yang sama, Amerika Serikat harus mencurahkan diri
kembali ke tugas yang sulit namun sangat penting berkenaan dengan
pengawasan senjata multilateral. Negara-negara lain tak akan me-
nerima berbagai pembatasan baru terhadap perilaku mereka dan
prosedur pemantauan baru terhadap persediaan senjata mereka seki-
ranya Amerika Serikat sendiri menolak untuk membatasi perilaku-
nya sendiri. Dengan demikian pemerintahan Bush harus menimbang
ulang penolakannya terhadap Traktat Pelarangan Uji Komprehensif
dan protokol pemeriksaan Konvensi Senjata Biologi, dan segera me-
nyatakan keinginannya untuk merundingkan kesepakatan baru un-
tuk meniadakan akses teroris potensial kepada SPM.
Tak perlu dikatakan, pendekatan ini akan mengharuskan peme-
rintahan Bush meninggalkan penolakannya terhadap pengawasan
senjata. Namun pemerintahan ini telah menunjukkan kemampuan
yang bagus untuk berganti haluan dalam bidang-bidang lain, dan
serangan langsung ke wilayah Amerika Serikat merupakan sejenis
peristiwa yang memunculkan berbagai pemikiran baru. Serangan
al-Qaeda memperlihatkan bahwa ancaman terorisme yang menda-
tangkan malapetaka lebih serius daripada yang dipercayai sebelum-
nya, sehingga menjadikan saat Ini sebagai waktu yang ideal untuk
melakukan sebuah upaya besar dalam membatasi bahaya senjata
pemusnah massal. Jika Amerika Serikat serius mengurangi ancaman

M Awalnya, daftar prioritas pemerintahan Bush untuk pengeluaran dana


darurat sebesar $40 miliar yang disetujui Kongres setelah serangan 11 September
tidak termasuk uang untuk upaya pengawasan SPM di luar negeri. Lihat Supple-
mental Appropriations: How the Money is Allocated (Washington, D.C.; Council
fur a Livable World, 2001), http://www.clw.org/sept11/suuanalysis.html.
Lihat Bruce C . Blair, " T h e Ultimate Hatred Is Nuclear," New York Times, 22
Oktober 2001, him. A21.

385
Stephen M. Walt

terorisme global, upaya berkesinambungan untuk meniadakan akses


kelompok semacam itu ke senjata-senjata yang mengerikan seha-
rusnya menjadi unsur penting dalam strateginya.

MEMPERBAIKI NEGARA YANG G A G A L

George VV. Bush berulang kali mengkritik


S E B A G A I KANDIDAT PRESIDEN,

pemerintahan Clinton karena upaya-upayanya dalam "pembangun-


an negara". Namun, dalam waktu satu bulan setelah serangan atas
Amerika Serikat, pemerintahan Bush secara terbuka mengakui bah-
wa serangannya untuk menggulingkan Taliban akan disertai upaya
serius untuk membentuk sebuah pemerintahan Afganistan yang ku-
kuh dan membangun kembali negara yang terkoyak-moyak oleh
perang ini/ 3 Tampaknya, pembangunan negara sama sekali bukan-
lah ide yang buruk.
Seperti dibahas di atas, pergeseran dalam kebijakan ini men-
cerminkan dua pelajaran: pertama, negara-negara gagal seperti Af-
ganistan telah menjadi tempat penyemaian dan perlindungan yang
aman bagi kaum ekstremis anti-Amerika; kedua, pengakuan bahwa
Amerika Serikat ikut bertanggung jawab terhadap kondisi yang di-
alami Afganistan saat ini. Kegagalan Amerika Serikat untuk mem-
bangun kembali Afganistan setelah penarikan Uni Soviet pada 1989
menyebabkan munculnya radikalisasi progresif masyarakat Afgan
dan kemenangan gemilang Taliban. 34 Jika Amerika Serikat mengu-
langi kesalahan ini sekali lagi begitu Taliban dikalahkan, bin Ladin-

v Lihat Robert Cotterell, Stephen Fidler, Richard McGregor, dan Andrew Parker,
"U.S. Expects Long-Term Role in A f g h a n i s t a n / Financial Times, 11 Oktober 2001,
hal.l; dan David E. Sanger, " A New, Uneasy Burden," New York Times, 12 Oktober
2001, him. A l , B2.
34 Seperti yang ditulis Ahmed Rashid jauh sebelum serangan 11 September:

"Dengan meninggalkan Afganistan sedini itu, Amerika Serikat dalam beberapa


tahun saja mendapatkan diplomat yang meninggal, kedutaan yang rusak, bom di
New York, dan heroin murah di jalanannya ... Pada 1980-an Amerika Serikat
bersiap 'untuk bertempur habis-habisan bersama orang Afgan' untuk mengalahkan
Uni Soviet, namun ketika Soviet pergi, Washington tak siap untuk membantu

386
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

bin Ladin baru sepertinya akan muncul. Pendeknya, untuk mengu-


rangi ancaman jangka panjang terorisme, pembangunan negara di
Afganistan adalah tanggung jawab yang tak terhindarkan.

MEMBANGUN KEMBAU HUBUNGAN

D E N G A N N E G A R A - N E G A R A A R A B D A N ISLAM

REAKSI NEGARA-NEGARA ARAB dan Islam terhadap serangan al Qaeda


dan balasan militer awal Amerika Serikat memperlihatkan derajat
di mana Amerika Serikat terasing dari negara-negara ini. Sekalipun
banyak pemimpin Arab dan Islam yang dengan cepat mengutuk
serangan dan menolak seruan bin Ladin untuk jihad (perang suci)
baru, opini dunia Arab dan Islam tetap sangat kritis terhadap kebi-
jakan Amerika Serikat di Timur Tengah/ 5 Sikap-sikap ini makin me-
nyulitkan pemerintahan Arab moderat untuk mendukung perang
melawan terorisme dan sepertinya serangan Amerika Serikat ter-
hadap al-Qacda malah akan menciptakan simpatisan baru.
Agar risiko bagi pemerintah negara Arab dan Islam yang men-
dukung upaya Amerika Serikat dan mengisolasi kaum ekstremis
anti-Amerika di negara-negara Islam berkurang, Amerika Serikat
harus membangun kembali hubungannya dengan negara-negara ini.
Untuk jangka panjang, Amerika Serikat tak bisa semata-mata meng-
andalkan pertemanan dengan pemerintahan Arab; ia juga harus
memperbaiki Citranya di mata publik yang lebih luas.

mendatangkan perdamaian atau memberi makan rakyat yang lapar/' Lihat Rashid,
Taliban: Militant Islam, OiL and Fundamentalism in Centra/ Asia (New Haven,
Conn.: Yale University Press, 2000), him. 209 dan Bab 13.
** Bertemu di Q a t a r pada 10 O k t o b e r 2001, Organisasi Konferensi Islam
"mengutuk keras teror brutal dan menyampaikan bela sungkawa kepada rakyat
Amerika Serikat dan keluarga k o r b a n . " N a m u n ia juga m e n y a t a k a n bahwa
"inisiatif internasional untuk menghasilkan keamanan dan stabilitas . . . harus
menyertakan tercapainya keamanan dan keadilan untuk rakyat Palestina."Lihat
"Final Communiqué of the Ninth Extraordinary Session of the Islamic Conference
and Foreign Ministers," Doha, Qatar, 10 Oktober 2001, http://www.oic-oci.org.

387
Stephen M. Walt

Langkah nyata pertama—yang tampaknya mulai dilakukan pe-


merintahan Bush—adalah melakukan pendekatan yang tak sepihak
lagi untuk konflik antara Israel dan Palestina. Amerika Serikat tidak
serta-merta selalu pro-Israel seperti yang diyakini banyak orang
Arab, namun kebijakan-kebijakannya di masa lalu belum tertebus.
Di saat menegaskan komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap
keamanan Israel di dalam tapal batas pra-1967, Amerika Serikat
harus jelas-jelas menyatakan bahwa tapal inilah batasan final ter-
hadap kebijakan pemukiman Lsrael yang ekspansionis dan tak meng-
anggap bahwa kebijakan ini masuk ke dalam kepentingan jangka
panjang Amerika Serikat atau Israel. 36 Amerika Serikat juga harus
menjernihkan posisinya menyangkut persyaratan-persyaratan bagi
sebuah negara Palestina dan mengegoskan bahwa sebuah negara
yang kukuh mengharuskan Israel menawarkan syarat-syarat yang
lebih lunak daripada yang diusulkan di Camp David pada bulan

* Israel jauh lebih aman saat ini daripada ketika ia masih menduduki Tepi
Barat dan Jalur Gaza mulai Juni 1967, dan pendudukan yang berkelanjutan atas
wilayah-wilayah ini merupakan sumber utama bahaya yang senantiasa dihadapi
Israel. Pada 1967, b e l a n j a p e r t a h a n a n Israel k u r a n g dari s e t e n g a h b e l a n j a
pertahanan gabungan Mesir, Irak, Yordania, dan Suriah; saat ini belanja pertahanan
Israel 30 persen lebih besar daripada belanja pertahanan gabungan empat negara
Arab tersebut. Sejumlah musuh Israel mendapatkan dukungan kuat dari Uni So-
viet pada 1967, namun Uni Soviet sekarang tak ada lagi, dan ikatan Israel dengan
Amerika Serikat sekarang juga jauh lebih ekstensif. Israel tak punya senjata nuklir
pada tahun 1967, namun sekarang memilikinya (sekalipun tak dinyatakan secara
terbuka). Pendeknya, di dalam tapal batasnya sendiri sebelum 1967, Israel lebih
aman daripada kapan pun. Dengan meneruskan menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza,
dan situs suci Islam di Yerusalem, Israel malah menyulut kemarahanArab dan
memaksa rakyat Israel dan rakyat Palestina hidup bersama, hal inilah yang justru
memfasilitasi kekerasan tingkat rendah yang telah berlangsung sejak ambruknya
proses perdamaian Oslo. Pendeknya, kehadiran Israel di luar Garis Hijau sekarang
mengurangi keamanannya, dan ongkos untuk menolak, kehadiran j>egara Palestina
untuk rakyat Palestina ternyata sangat mahal. Angka-angka belanja pertahanan
di atas diambil dari World Military Expenditures and Arms Transfers, 1966-1975
(Washington, D.C.: U.S. Arms Control and Disarmament Agency, 1976); dan The
Military Balance, 2000-2001 (London: International Institute for Strategic Studies,
2001). Lihat juga Shai Feldman, "Middle East Strategic Assesment," dalam F d d m a n
dan Yitfah Shapir, ed., The Middle East Military Balance, 2000-2001 (Cambridge,
Mass.: MIT Press, 2001), hal .15-79, terutama him. 63-71.

388
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

Juli 2000. Secara khusus, Israel harus menawarkan penarikan diri hampir
dari semua wilayah yang didudukinya sejak bulan Juni 1967 sebagai
ongkos perdamaian sepenuhnya;17 Perundingan Israel-Palestina di Taba
pada bulan Januari 2001 yang dibatalkan memperlihatkan bahwa masih
ada sejumlah perubahan untuk kesepakatan akhir, namun kemajuan
yang dicapai di sana membuktikan hal ini sudah terlambat/*
Penyesuaian posisi Amerika Serikat memerlukan diplomasi yang
hati-hati dan tangkas, sehingga Washington tak terlihat terdesak ka-
rena tekanan teroris sekaligus tak mengorbankan nilai-nilai nasional
yang penting. Amerika Serikat antara lain harus menunjukkan bah-
wa para pemimpin Amerika Serikat mendorong pembentukan sebu-
ah negara Palestina jauh sebelum serangan 11 September dan mene-
kankan bahwa pemerintahan Clinton melakukan banyak upaya agar
negara semacam itu lahir. Untuk memulai lagi proses perdamaian
itu sendiri, Amerika Serikat harus menekan Israel untuk menerima
rekomendasi dari Komisi Mitchell (termasuk penghentian total pe-

37 Israel m e m a n g m e l a k u k a n konsesi p e n t i n g di C a m p D a v i d , n a m u n
signifikansi sesungguhnya tergantung pada perbandingan mereka dengan garis
awal. Tawaran final Israel adalah membagi 8-9 persen daerah yang dicaploknya
(sebagian besar untuk mengakomodasi pemukiman tidak sahnya), dan rakyat
Palestina akhirnya akan mendapatkan sekitar 2 2 % dari wilayah Palestina sebelum
tahun 1947—ini jelas bukan hasil yang menggembirakan. Lebih lanjut, proposal
Israel akan menciptakan sebuah negara Palestina yang nantinya akan terpisah-
pisah oleh koridor-koridor yang diawasi Israel. Pengaturan ini akan membuat
negara baru ini d a l a m kondisi yang selamanya rentan dan m e m a k s a orang
Palestina mengalami penghinaan saat melewati pos pemeriksaan Israel untuk bisa
bepergian di dalam negeri mereka sendiri. Namun, kegagalan proses perdamaian
pasca-Oslo bukan disebabkan oleh kekerasan pendirian Israel saja; untuk analisis
yang seimbang oleh seorang partisipan Israel, lihat Ron Pundak, "From Oslo to
Taba: What Went Wrong?" Survival, Vo-43, No.3 (Musim Semi 20U1), him. 31-45.
Untuk ringkasan perundingan-perundingan ini, lihat "Deconstructing the
Taba Talks," Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Vol.11, No.2
(Maret/April2001), him. 4 , 7 , diterbitkan oleh Foundation for Middle East Peace,
Washington, D C. Seperti pengamatan Pundak, " F r o m Oslo to Taba," him. 44-45,
" P e r u n d i n g a n - p e r u n d i n g a n Taba m e m b u k t i k a n b a h w a K e s e p a k a t a n Status
Permanen antara Israel dan Palestina berada dalam jangkauan. Jarak antara dua
p i h a k m e n y e m p i t s e l a m a p e k a n t e r a k h i r di T a b a , d a n s u a s a n a d i s k u s i
mengingatkan pada pendekatan yang dipakai selama perundingan Oslo. Hal ini
membawa kemajuan yang dramatis untuk hampir semua isu paling penting."

389
Stephen M. Walt

mukiman tambahan warga Israel), dan mendorong kedua pihak un-


tuk memulai lagi perundingan pada titik di mana mereka berdua
tak-bersepakat di bulan Januari 2001 Z9
Mengingat kekerasan yang terjadi baru-baru inir terutama terbu-
nuhnya para pemimpin Israel dan Palestina secara bergantian di
musim gugur 2001, langkah-langkah ini sepertinya tidak akan meng-
hasilkan kesepakatan segera dari keduanya. Namun langkah-lang-
kah ini akan menghilangkan penghalang utama antara Amerika Se-
rikat dan dunia Arab dan memperlemah salah satu tuduhan utama
ekstremis terhadap Amerika Serikat 4 0 Dan karena akan perlu waktu
untuk menyingkirkan citra negatif yang kini berurat akar di benak
orang Arab dan Muslim, Amerika Serikat tak bisa sekadar menge-
luarkan beberapa pernyatan kepresidenan dan kemudian kembali
ke kebijakan-kebijakan sebelumnya. Sebaliknya, Amerika harus
mengambil posisi tegas dan tak lari dari proses yang sepertinya akan
panjang dan penuh perdebatan.
Penyesuaian pendirian Amerika Serikat di Timur Tengah juga
harus menyertakan sebuah pengkajian ulang hubungan Amerika
Serikat dengan pemerintahan-pemerintahan Arab tertentu. Agar
akses terhadap minyak terjaga dengan harga yang bisa dijangkau,
Amerika Serikat telah sekian lama mendukung monarki tradisional

Israel dan Palestina juga harus mencapai kesepakatan mengenai hak orang
Palestina yang terusir untuk kembali ke rumah mereka. Mengizinkan hak ini
diterapkan sepenuhnya akan mengancam kelangsungan hidup Israel dan sudah
jelas rak bisa dilakukan, namun Palestina telah menyatakan dengan jelas bahwa
prinsip dasarnya adalah isu keadilan yang mendasar. Sebuah solusi yang mungkin
bisa dilaksanakan adalah kedua pihak m e n g a k u i " H a k " untuk kembali ini,
sementara Palestina setuju untuk tidak jadi melaksanakan hak inidengan imbalan
ganti rugi. Amerika Serikat lantas bisa mengatur dan membantu mendanai sebuah
program bantuan rekonstruksi yang banyak dananya, yang akan dipahami sebagai
langkah untuk mengakhiri semua tuntutan susulan untuk kembalinya rakyat
Palestina secara fisik ke tempat yang sekarang menjadi wilayah Israel.
Pergeseran semacam ini tak diragukan lagi akan membuat pendukung Israel
di Amerika Serikat gelisah. Namun sudah waktunya untuk mengakui bahwa
tidaklah bagus buat Israel maupun Amerika sekiranya Amerika Serikat terasing
dari dunia Arab dan Islam. Orang Amerika dan Israel juga harus mengakui bahwa
menyangkal hak sah rakyat Palestina tak membuat Israel lebih nyaman.

390
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

seperti Arab Saudi, terlepas dukungan keuangan mereka kepada


kelompok Islam radikal kerapuhan dalam negeri mereka, dan ke-
engganan mereka untuk mendukung upaya-upaya diplomatik Ame-
rika Serikat secara terbuka. Perhatian terhadap pasokan minyak juga
telah membuat Amerika Serikat enggan mendorong kemajemukan
yang lebih besar di dalam negara-negara ini, sehingga meningkatkan
bahaya bahwa negara-negara ini akan berbalik melawan Amerika
Serikat seandainya tatanan yang ada ambruk. Seiring waktu, Ame-
rika Serikat harus berusaha keras untuk mengurangi kehadiran mi-
liternya di Teluk Persia dan mendorong re2im-rezim ini untuk mem-
buka pintu bagi partisipasi politik yang lebih besar. Amerika Serikat
juga harus berhenti memandang dunia Islam sebagai "zona bebas
demokrasi" di mana gerakan-gerakan fundamentalis Islam secara
konsisten dihalangi dari partispasi politik yang berarti. Jika ke-
lompok-kelompok fundamentalis Islam tak bisa ikut serta secara
terbuka dalam politik, mereka akan tergerak untuk memakai metode
radikal dan kekerasan. Namun, jika diperbolehkan untuk berparti-
sipasi bersama kelompok sosial lainnya, sepertinya mereka akan
menjadi kekuatan konstruktif di dalam negara-negara ini.41 Tentu
saja, kebijakan semacam ini mengandung risiko, namun begitu pula
ketergantungan tunggal Amerika Serikat pada sejumlah otokrat yang
rapuh dan tak bisa diandalkan.

Akhirnya, Amerika Serikat perlu meningkatkan kemampuannya


dalam berkomunikasi langsung dengan komunitas Arab dan Mus-
lim di seluruh dunia. Kebencian Arab dan Islam sebagian merupakan
reaksi atas tindakan-tindakan Amerika Serikat tertentu, namun hal
ini juga dikobarkan oleh kombinasi mitos dan tuduhan yang dise-
barkan oleh kelompok dan pemerintahan yang anti-Amerika. 42 Mi-

41 Tentang poin ini, lihat Glenn E. Robinson, "Can Islamists Be Democrats? The
Case of Jordan/' Middle East Journal Vol.51, No.3 (musim Panas 1997), him. 373-
387; dan Yaroslav Trofimov, "Bahrain's Bold Rebuff to Its Islamic Rebels: Democ-
racy and Rights," Wall Street Journal, 25 Oktober 2001, him. A l , A10.
42 Lihat Roula Khalaf dan Gerard Baker, " A Different Script," Financial Times,
13-14 Oktober 2001, him. 9.

391
Stephen M. Walt

salnya, banyak orang Arab yang percaya bahwa sanksi Amerika Seri-
kat terhadap Irak menjadi sebab kematian ribuan warga Irak (banyak
di antaranya anak-anak), mereka tak sadar bahwa kematian ini sebe-
narnya karena penolakan keji Saddam Hussein untuk menggunakan
program PBB minyak-untuk-makanan dari 1991 sampai 1996 dan
penyalahgunaan yang kemudian ia lakukan terhadap program itu.
Demikian juga, Amerika Serikat sedikit saja dihargai atas upayanya
menolong penduduk Muslim Bosnia, Kosovo, Somalia, dan Irak uta-
ra, atau bantuannya dalam proses perdamaian antara Israel, Mesir,
Yordania, dan Palestina. Penyesuaian kebijakan Amerika Serikat tak
akan banyak artinya di wilayah ini sekiranya perubahan ini diabai-
kan atau disalahpahami oleh hati dan pikiran orang-orang yang
ingin dijangkau Amerika Serikat.
Untuk mengatasi masalah ini, Amerika Serikat harus meluncur-
kan sebuah kampanye informasi publik yang luas, menggunakan
setiap instrumen dan saluran komunikasi yang dimilikinya. 43 Ia ha-
rus melatih kader diplomat dan juru bicara yang bisa bicara kepada
masyarakat-masyarakat ini secara efektif, dan mengharuskan
mereka siap sedia untuk jaringan media seperti al-Jazeera (jaringan
berita yang berbasis di Qatar yang menjangkau 35 juta pemirsa di
dunia Arab). 44 Amerika Serikat juga harus meluaskan kegiatan pe-
nyiarannya dalam bahasa Arab di wilayah ini, sehingga penduduk
lokal tidak tergantung pada sumber resmi, dan mengembangkan

43 Seperti kata mantan Utusan PBB Richard Holbrooke, " M e m a n g luar biasa ...
seorang pembunuh massal tampaknya berhasil merebut hati dan pikiran dunia
M u s l i m . " Jika ini berlanjut, katanya m e m p e r i n g a t k a n , Amerika Serikat bisa
" m e m e n a n g k a n pertempuran namun kalah perang," Lihat Hunt, " A n Acceler-
ated Agenda for the Terrorism T h r e a t ?
44 Dalam bulan-bulan pertama setelah serangan 11 September, hanya dua

pejabat Amerika Serikat (Menteri L u a r Negeri Colin Powell dan Penasihat


Keamanan Nasional Condoleezza Rice) yang memberi wawancara untuk al-
Jazeera. Mengingat pentingnya meyakinkan dunia Arab bahwa langkah Amerika
Serikat adalah langkah yang adil, upaya yang minimal ini membuktikan rendahnya
prioritas yang Amerika Serikat berikan untuk diplomasi publik di wilayah ini.
Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini meningkatkan upayanya dalam bidang
ini, namun masalahnya sudah terlalu lama terabaikan untuk bisa diatasi.

392
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

situs web berbahasa Arab untuk menjangkau penduduk di negara-


negara ini yang kian mengenal internet. Hal ini tidak lantas berarti
pemasokan propaganda pro-Amerika Serikat (karena mungkin ma-
lah akan diabaikan); ini berarti memantau apa yang mulai dikatakan
kepada penduduk luar negeri dan memberi mereka informasi yang
mereka butuhkan untuk membangun penilaian yang akurat bagi
diri mereka sendiri.

RESIKO TERAKHIR

di atas sudah jelas ambisius. Untuk men-


A G E N D A YANG DIPAPARKAN

dukung operasi militernya di Afganistan (dan mungkin di lain tem-


pat), Amerika Serikat mesti menjalin perjanjian keamanan baru de-
ngan Pakistan dan Uzbekistan. Untuk menjaga koalisi utuh dan
membangun hubungan dengan dunia Arab, Amerika Serikat perlu
meyakinkan baik Israel maupun Palestina untuk membuat konsesi-
konsesi tambahan setelah setahun penuh kekerasan berdarah. Untuk
menstabilkan pemerintahan Musharraf dan mendorongnya untuk
memutuskan ikatan dengan kaum ekstremis Islam, Washington ha-
rus memberinya bantuan ekonomi dan tekanan untuk melakukan
perundingan yang sungguh-sungguh menyangkut Kashmir, sebuah
perselisihan yang belum kunjung selesai selama lebih dari setengah
abad. Begitu upayanya untuk menggulingkan Taliban berhasil, se-
lanjutnya Amerika Serikat harus memenuhi tugas pembangunan ne-
gara di wilayah miskin di mana ia tak banyak mengenali latar bela-
kang atau pengalaman sebelumnya. Upaya-upaya untuk memotong
aliran keuangan yang menopang terorisme membutuhkan tekanan
terus-menerus terhadap pemerintahan-pemerintahan lain dan lem-
baga keuangan luar negeri. Mencegah senjata pemusnah massal ja-
tuh ke tangan teroris memerlukan kampanye diplomatik panjang
dan kompromi-kompromi yang sulit Setiap sasaran ini sulit dicapai,
dan sepertinya terlihat utopis untuk menyokong seluruh agenda
tersebut. Namun langkah-langkah ini semuanya konsisten dengan

393
Stephen M. Walt

tujuan yang diserukan untuk mengurangi bahaya terorisme global,


dan itu semua memberikan serangkaian patokan yang bisa diguna-
kan untuk menilai kinerja Amerika Serikat di masa depan.
Namun, ada bahaya terakhir. Dengan meminta Amerika Serikat
untuk terlibat lebih jauh di seluruh dunia, terutama di Timur Tengah
dan Asia Tengah, upaya untuk memerangi terorisme global seperti-
nya akan memperkuat ketakutan dan kebencian yang semula telah
membuat al Qaeda bangkit. Semakin lama upaya ini berlangsung
dan semakin besar campur tangan Amerika Serikat dalam persoalan
negara lain, semakin besar peluang terjadinya serangan balik di ke-
mudian hari. 45 Risiko ini membawa isu terakhir: Bisakah kebijakan-
kebijakan dipertahankan untuk jangka panjang?

DEBAT BERIKUTNYA:

KETERLIBATAN ATAU PENARIKAN M U N D U R ?

prinsip-prinsip utama kebijakan luar negeri


D E B A T PUBLIK TENTANG

Amerika Serikat telah menghilang sejak 11 September. Telah muncul


ketidaksepakatan mengenai cara terbaik untuk menanggapi ancam-
an langsung. Namun, beberapa orang Amerika juga telah memper-
tanyakan perlunya serangan balasan besar-besaran atau menyerukan
penilaian ulang peran Amerika Serikat yang lebih jauh jangkauannya
di dunia. Saat kampanye ini berjalan, isu-isu yang lebih mendasar
ini sepertinya akan muncul lagi dan bisa menyalakan kembali debat
mengenai strategi besar Amerika Serikat yang sudah lama menghilang.
Isu utamanya adalah apakah Amerika Serikat harus terus mem-
pertahankan komitmen militer globalnya saat ini—dan terutama ke-
hadiran militernya yang besar—atau mundur ke posisi sebelumnya

Untuk analisis yang mendalam dan provokatif dari fenomena ini, lihat
C h a l m e r s A . J o h n s o n , Blowback: The Cost and Consequences of American Empire
(New York: Metropolitan, 2000)

394
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

sebagai "penyeimbang dari luar/' 4 * Selama lima puluh tahun terak-


hir, Amerika Serikat telah mempertahankan pasukan militer dalam
jumlah besar di Eropa dan Asia, dan terlibat aktif di hampir semua
sudut dunia. Kebijakan ini berawal dari pertarungan perang dingin
melawan Uni Soviet, dan kebijakan ini dipertahankan karena keya-
kinan bahwa keterlibatan Amerika Serikat membantu perdamaian
di Eropa dan Asia, mendorong penyebaran nilai-nilai liberal, dan
memudahkan pemeliharaan sebuah ekonomi dunia yang terbuka.
Keyakinan ini menjelaskan mengapa Amerika Serikat tidak meli-
kuidasi aliansi Perang Dingin setelah Uni Soviet runtuh, dan bahkan
menjalankan komitmen tambahan di Eropa Tengah, Balkan, dan
Teluk Persia.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, sudah makin jelas bahwa
kebijakan ini akan meminta biaya yang secara signifikan lebih besar
daripada yang dipikirkan orang Amerika. Selain nyawa yang sudah
melayang dan perlunya mencurahkan sumber daya yang lebih besar
untuk pertahanan dalam negeri, kampanye internasional melawan
terorisme global akan memaksa Amerika Serikat memikul serang-
kaian beban internasional yang sedemikian beratnya. Saat kampanye
melawan terorisme dimulai, rakyat Amerika sepertinya akan mem-
pertanyakan apakah semua upaya ini betul-betul layak dilakukan.
Jika ancaman terorisme global sebagian merupakan sebuah reaksi
terhadap kehadiran global Amerika Serikat yang mengancam, maka
sebagian orang Amerika sepertinya akan mempertanyakan juga apa-
kah bahaya ini mungkin bisa dikurangi jika Amerika Serikat tidak
begitu terang-terangan dan tidak terlibat aktif dalam usaha meme-

* Untuk pernyataan yang merupakan wakil dari dua posisi ini, lihat Robert J.
Art, Selective Engagement: American Grand Strategy and World Politics (Ithaca,
N.Y.; Cornell University Press, akan terbit); Nye, Bound to Lead; Nye, Paradox of
American Power, John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics(New
York: VV.W. Norton, 2001); Christopher Layne, "From Preponderance to Offshore
Balancing: America's Future Grand Strategy," International Security, Vol.22, No.l
(Musim Panas 1997). him. 86-124; dan Eugene Gholz, Daryl G. Press, dan Harvey
M. Sapolsky, " C o m e Home, America: T h e Strategy of Restraint in the Face of
Temptation/' International Security, Vol.21, No.4 (Musim Semi 1997), him. 5-48.

395
Stephen M. Walt

rintah dunia. Suara-suara ini akan terbungkam jika serangan saat


ini berjalan lancar, dan jika biaya jangka pendek tidak terlalu besar.
Namun jika serangan berjalan buruk, dan jika kelompok semacam
al-Qaeda terbukti lebih tangguh daripada yang diperkirakan, tekan-
an untuk penarikan mundur sepertinya akan meningkat.
Apa makna semua ini bagi kebijakan luar negeri Amerika Serikat?
Semua ini berarti bahwa kemampuan Amerika Serikat untuk tetap
terlibat aktif dengan biaya yang bisa diterima sebagian besar akan
tergantung pada bisa tidaknya ia mengurangi biaya-biaya ini dengan
membuat posisinya yang dominan bisa lebih diterima oleh seluruh
dunia. Untuk jangka panjang, perubahan apa dalam kebijakan dan
sikap yang tersirat dalam hal ini?
Pertama, Amerika Serikat harus lebih mengandalkan lembaga-
lembaga multilateral, bahkan jika kebijakan ini mengurangi kebe-
basannya bertindak dalam jangka pendek. Lembaga-lembaga ini ber-
guna bukan karena mereka kekuatan yang mengendalikan perilaku
negara (malah bukan demikian), namun karena mereka berbagi tang-
gung jawab terhadap serangan balik internasional. Para pengamat
Amerika Serikat telah melakukan kesalahan saat menilai PBB dan
lembaga-lembaga multilateral lain dengan hanya memperhatikan
rintangan-rintangan mungkin dimunculkan oleh lembaga-lembaga
ini, dan mereka mengabaikan betapa lembaga-lembaga ini memu-
dahkan Amerika Serikat meraih sasaran tanpa memancing kebencian
luar negeri yang tak perlu.
Kedua, Amerika Serikat harus bertindak dengan kesabaran tinggi
dan sikap murah hati saat berunding dengan negara-negara lain.
Amerika Serikat menikmati kemakmuran dan kekuatan yang luar
biasa besar serta posisi geopolitik yang menguntungkan. Sudah wa-
jar jika negara-negara lain mencemburui nasib baiknya, dan terutama
ketika ia terlihat terlalu kuat, gila hormat, atau egois. Ketika Presiden
Bush menjelaskan penolakannya terhadap Protokol Kyoto dengan
mengatakan ia tak akan melakukan apa pun yang bisa melukai para
pekerja Amerika, atau ketika Amerika Serikat menolak traktat penga-
wasan senjata demi kepentingan tertentu di dalam negeri, Amerika

396
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

Serikat tampak picik dan mau menang sendiri. Ketika Washington


menyerah kepada lobi-lobi domestik dan mengingkari janji-janji
awalnya untuk menghentikan secara bertahap pembatasan impor
tekstil (yang membuat negara-negara miskin makin sulit berkem-
bang), ia bertindak plin-plan dan tak bertanggung jawab. Pendeknya,
jika Amerika Serikat ingin agar keunggulan posisinya lebih nyaman
di mata yang lain, ia harus menggunakan kekayaan dan kekuatannya
dalam cara-cara yang bisa memenuhi kepentingan pihak lain serta
kepentingannya sendiri. 47
Yang terakhir, Amerika Serikat harus memulai mengalihkan tang-
gung jawab keamanan regional kepada negara-negara lain atau per-
kumpulan regional dan secara bertahap mengurangi kehadiran mili-
ternya yang mencolok. Ada beberapa indikasi bahwa pemerintahan
Bush berniat bergerak ke arah ini sebelum 11 September, dan ada
beberapa isyarat bahwa ia akan memulai lagi langkah ini begitu
krisis terbaru berakhir. 48 Misalnya, tuntutan perang di Afganistan
mungkin bisa memberi dalih bagi pemindahan pasukan Amerika
Serikat dari Balkan, dan mereka sepertinya tak akan kembali ke sana
lagi ketika krisis sudah selesai. Alhasil, langkah ini berarti bahwa
Amerika Serikat akan mengalihkan tanggung jawab keamanan Ero-
pa kembali kepada orang Eropa. 49 Amerika Serikat tak akan kembali

47Preseden nyata adalah perilaku Amerika Serikat setelah Perang Dunia II,
ketika Amerika Serikat membantu membangun kembali Eropa dan Asia (termasuk
bekas-bekas musuhnya) dan bekerja untuk menghasilkan sejumlah lembaga
internasional yang terus b e r t a h a n . L a n g k a h - l a n g k a h ini jelas berada d a l a m
kepentingan nasional Amerika Serikat, namun mereka juga berpandangan jauh
ke depan dan tindakan yang dermawan. Tentang preseden sejarah, lihat John
G e r a r d R u g g i e , Winning the Peace: America and World Order in the New Era
(New York: Columbia University Press, 1 9 % ) , terutama Bab 2.
w Lihat Greg Jaffe, "Rumsfeld Aides Seek Deep Personnel Cuts in Armed Forces

to Pay for New Weaponry," Wall Street Journal 8 Agustus 2001, him. A3; Lisa
Burgess, "Review Suggest Making Military Leaner, More Mobile to Face Changing
Threats," Stars and Stripes, 24 Juni 2001; dan James Dao, "American Plead to
Remain in B o s n i a ? New York Times, 22 Oktober 2001, him. B3.
* Sesungguhnyalah, keputusan pemerintah untuk meminimalkan peran NATO
dalam perang di Afganistan memberi kesan bahwa NATO terus berubah dari
sebuah aliansi militer menjadi perkumpulan politik yang longgar. Proses ini juga

397
Stephen M. Walt

ke isolasionisme namun akan mencoba mengurangi kebencian glo-


bal dengan mengecilkan kehadiran militernya yang mencolok dan
memberikan negara-negara lain kebebasan yang lebih besar untuk
menjalankan urusan mereka sendiri. Proses ini akan berjalan berta-
hap, namun inilah reaksi jangka panjang yang masuk akal untuk
struktur baru politik dunia.

KESIMPULAN

dalam cara yang baru dijabarkan di atas akan


M E N G H A D A P I DUNIA

memerlukan pandangan ke depan, sikap mawas diri, dan kema-


tangan yang jarang terlihat dalam perilaku kebijakan luar negeri
Amerika Serikat saat ini.50 Jika Amerika Serikat ingin membuat posisi
istimewanya dapat diterima pihak lain, politik Amerika Serikat harus
mempunyai sikap yang lebih serius dan lebih disiplin dalam pena-
nganan masalah-masalah internasional. Di masa lalu, berkat rasa
aman yang disebabkan senjata nuklir penangkal, lautan luas, serta
kekuatan ekonomi dan militer yang tak tertandingi, Amerika Serikat
telah membiarkan kebijakan luar negerinya disimpangkan oleh pan-
dangan yang berat sebelah, dibajak oleh para pelobi luar negeri dan
kepentingan dalam negeri yang sempit, dan disandera oleh anggota-
anggota Kongres yang tidak bertanggung jawab dan curiga terhadap
orang asing. Terlepas pretensinya sebagai satu-satunya negara adida-
ya di dunia, Amerika Serikat telah menyebabkan dinas intelejennya
menderita, memangkas anggaran untuk urusan internasionalnya,
tak melakukan banyak hal untuk menarik anggota masyarakatnya

akan m e m u d a h k a n p e n g a k o m o d a s i a n Rusia di masa d e p a n , yang mungkin


menjelaskan mengapa Presiden Putin tak lagi berkeras menentang ekspansi NATO.
Lihat James Kurth, " T h e Next NATO: Building an American Commonwealth of
Nations," National Interest, No. 65 (Musim Gugur 2001), him. 5-16.
Untuk argumen panjang vang bicara dengan nada serupa, lihat Henry A.
K i s s i n g e r , Does America Need a Foreign Policy? Toward a Diplomacy for the
Twenty-first Century (blew York: Simon dan Schuster, 2001).

398
Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

yang paling cakap menjadi orang pemerintahan, mengabaikan studi


bahasa dan budaya asing, dan pada dasarnya bertingkah seakan-
akan tidak jadi masalah apakah kebijakan luar negeri Amerika Seri-
kat berjalan baik atau tidak. 51 Jika tindakan mengerikan al-Qaeda
bisa meyakinkan Amerika Serikat bahwa telah tiba saatnya untuk
dewasa dan bersikap sebagai negara besar secara lebih serius, or-
ang-orang yang terbunuh secara keji oleh Bin Ladin tidak akan mati
sia-sia.

Lewat penggambaran, terlihat pengeluaran nonmiliter untuk hubungan


internasional (Departemen Luar Negeri, bantuan luar negeri, PBB, program-pro-
gram informasi, dsb.) telah menurun 20% dalam pengertian yang sebenarnya sejak
tahun 1986. Amerika Serikat menghabiskan 1,0% produk domestik bruto (PDB)
pada program-program ini pada tahun 1962, tetapi hanya 0,2% dari PDB pada
tahun 2000. Ini bukanlah proritas anggaran dari negara besar yang betul-betul
serius mengenai bagaimana ia menjalankan diplomasi. Lihat Robert J. Lieber, "Three
Propositions About America 's World Role," dalam Lieber, Eagle Rules, him. 10.

399
16

Ancaman Baru Penghancuran Massal

Richard K. Betts*

APA JADINYA KALAU MECVEIGH M E N G G U N A K A N A N T R A K S ?

senjata pemusnah massal merupakan pusat


S E L A M A PERANG D I N G I N ,

perhatian kebijakan luar negeri. Senjata nuklir menghantui setiap


isu besar persaingan dan hubungan kerjasama Timur-BaraL Priori-
tas-prioritas tertinggi kebijakan Amerika Serikat hampir semuanya
bisa dikaitkan dengan bahaya Perang Dunia III dan ketakutan akan
jatuhnya jutaan korban jiwa di daratan Amerika.
Setelah Perang Dingin usai, masalah-masalah lain telah meng-
gantikan perhatian strategis dalam agenda kebijakan luar negeri,
dan agenda itu sendiri kini hampir-hampir tak terlihat di layar ra-
dar publik. Selain para ahli kebijakan pertahanan, sedikit saja orang
Amerika yang peduli dengan senjata pemusnah massal (SPM). Apa
kelegaan terbesar yang dirasakan orang normal dengan berakhirnya
Perang Dingin? Bahaya perang nuklir sudah tidak ada lagi.

* R I C H A R D K. Bcrrs adalah Direktur National Security Studies pada Council on


Foreign Relations dan Leo A. Shifrin Professor of War and Peace Studies Director,
Direktur Program in International Security Policy, Insitute of War and Peace Stud-
ies di Columbia University. Dicetak kembali atas izin Foreign Affairs, J a n u a r y /
February 1998. Hak cipta €> 1998 oleh Council on Foreign Relations, Inc.

401
Richard K. Bette

Namun sekarang ini, SPM menghadirkan lebih banyak hal lain


yang layak dicemaskan daripada selama Perang Dingin. Misalnya
saja, bahaya nuklir bukanlah satu-satunya keprihatinan karena sen-
jata kimia dan biologi telah tampil ke depan. Yang lain, bahaya pe-
musnahan total berkurang, namun bahaya penghancuran massal
semakin besar. Sejak Perang Dingin usai dan persediaan nuklir Ame-
rika dan Rusia semakin menipis, makin kecil pula peluang terjadinya
kiamat karena saling serang ribuan senjata. Namun kemungkinan
bahwa sejumlah SPM dalam jumlah yang lebih kecil akan digunakan
justru makin bertambah. Kebanyakan strategi dan ide baku untuk
mengatasi ancaman SPM tak lagi relevan seperti sebelumnya ketika
Moskow adalah musuh utama. Namun, belum ada pemikiran baru
yang mengkristal dalam sebuah bentuk yang jelas seperti halnya
teori penghadangan nuklir dalam Perang Dingin.
Bahaya-bahaya baru ini bukannya diabaikan di dalam Beltway.
"Kontra pengembangbiakan senjata" telah menjadi makanan sehari-
hari di Pentagon dan komunitas intelijen, dan sedang ada penggo-
dokan beberapa inisiatif yang layak dipertimbangkan untuk menga-
tasi ancaman-ancaman itu. Namun, beberapa implikasi terpenting
dari era ini belum dimasukkan dalam agenda publik. Hal ini pada
gilirannya akan membatasi kemauan para politikus untuk mende-
sakkan beberapa program yang tepat. Bahkan para petinggi perta-
hanan pun masih mengarahkan perhatian utamanya untuk meng-
hadapi ancaman SPM yang tertuju pada pasukan militer Amerika
Serikat yang beroperasi di luar negeri dan bukannya bahaya yang
lebih mencemaskan bahwa penghancuran massal akan terjadi di
Amerika Serikat dan menewaskan banyak warga sipil.
Poin-poin yang harus diingat tentang dunia baru penghancuran
massal adalah sebagai berikut. Pertama, peran yang dimainkan sen-
jata jenis ini dalam konflik internasional telah berubah. Mereka tak
lagi mewakili garda terdepan teknologi peralatan perang. Mereka
makin menjadi senjata kaum yang lemah—negara atau kelompok
yang secara militer berada di lapis kedua. Pembobotan tipe-tipe
senjata yang berbeda juga sudah bergeser. Senjata biologi sekarang

402
Ancaman Baru Penghancuran Massal

ini seharusnya menjadi perhatian paling serius, disusul senjata nuklir


di urutan kedua, dan senjata kimia di urutan ketiga.
Kedua, sandaran utama kebijakan keamanan Perang Dingin—
penghadangan dan pengawasan senjata—tidaklah seperti sebelum-
nya. Beberapa ancaman baru mungkin tak bisa dihadang, dan peran
pengawasan senjata telah terpinggirkan saat berurusan dengan SPM.
Dalam sejumlah hal, terus-menerus mencurahkan perhatian pada
penghadangan dan pengawasan senjata mungkin akan mendatang-
kan akibat samping ketimbang manfaat.
Ketiga, sebagian tanggapan yang mungkin paling tepat untuk
mengatasi ancaman dalam cara-cara baru tersebut dipastikan tidak
akan mendapatkan sambutan hangat. Sekarang ini, tanggapan yang
semestinya menjadi prioritas tertinggi adalah sesuatu yang telah
lama diabaikan, ditentang, atau diolok-olok: sebuah program perta-
hanan sipil yang serius untuk menumpulkan akibat SPM sekiranya
senjata ini dilepaskan di dalam negeri Amerika Serikat. Jika dijalan-
kan sampai tingkat yang maksimum, beberapa cara yang paling efek-
tif untuk mencegah serangan di dalam Amerika Serikat mungkin
juga berlawanan dengan kebebasan sipil yang sudah lazim. Dan
kesimpulan yang paling mengganggu bagi kebijakan luar negeri
secara keseluruhan adalah bahwa untuk mengurangi kemungkinan
timbulnya serangan di Amerika Serikat, kita mungkin perlu menarik
diri dari keterlibatan di sejumlah konflik luar negeri. Aktivisme
Amerika untuk menjamin stabilitas internasional secara paradoksal
malah merupakan sumber utama kerentanan rakyat Amerika.

Hal ini ada benarnya semasa Perang Dingin, ketika bahaya utama
senjata nuklir yang mungkin diledakkan di daratan Amerika Serikat
bersumber dari keterlibatan strategis untuk menghadang serangan
terhadap sekutu-sekutunya di Eropa, Asia, dan Timur Tengah. Na-
mun keterlibatan saat itu mengandaikan sebuah hubungan langsung
antara stabilitas regional dan kelangsungan hidup Amerika Serikat.
Hubungan ini sekarang ini kurang begitu kuat, ketika tak ada negara
adidaya yang mengancam secara global atau ideologi transnasional
yang perlu dibendung—yang ada hanyalah serangkaian ancaman

403
Richard K. Bette

yang serius namun sepenuhnya bersifat lokal. Saat ini, sebagai satu-
satunya negara yang bertindak selaku polisi dunia, Amerika Serikat
menjadikan dirinya sasaran bagi negara-negara atau kelompok yang
aspirasinya terhalang oleh kekuatan Amerika.

DARI M O D E R N KE PRIMITIF

lahir, mereka mewakili penerapan militer pal-


K E T I K A SENJATA N U K L I R

ing maju dari sains, teknologi, dan rekayasa. Selain negara besar
tak ada yang bisa berharap memperolehnya. Namun, sekarang ini
senjata nuklir telah berusia setengah abad lebih, dan senjata kimia
serta biologi bahkan lebih lama lagi. Mereka tidak cuma menjadi
tua. Dalam pengertian strategis yang paling relevan bagi keamanan
Amerika, mereka telah menjadi primitif. Senjata yang pernah men-
jadi ujung tombak militer dari pihak yang kuat, kini menjadi satu-
satunya harapan negara-negara "merah" atau teroris yang ingin me-
nandingi kekuatan Amerika. Mengapa? Karena Amerika Serikat te-
lah mengembangkan superioritas yang luar biasa dalam kekuatan
militer konvensional—sesuatu yang tak pernah terpikirkan saat
menghadapi Uni Soviet.
Perang Teluk Persia 1991 memperlihatkan keunggulan Amerika
dalam suatu cara yang mengejutkan banyak pihak di luar negeri.
Sekalipun anggaran pertahanan Amerika Serikat turun tajam, ne-
gara-negara lain masih belum bisa menutup jurang perbedaan ini.
Belanja militer Amerika Serikat masih tiga kali lipat lebih banyak
daripada setiap negara yang berpotensi bermusuhan, dan lebih ting-
gi daripada belanja gabungan Rusia, Cina, Iran, Irak, Korea Utara,
dan Kuba.
Selain itu, tak ada bukti bahwa tingkat profesionalisme negara-
negara tersebut naik pada tingkatan yang membuat mereka
kompetitif, bahkan sekiranya mereka akan membelanjakan uang lebih
banyak lagi untuk kekuatan mereka. Seiring dengan itu, dari apa yang
dilihat sebagai sebuah revolusi dalam hal militer, pasukan Amerika

404
Ancaman Baru Penghancuran Massal

terus membuat senjata-senjata canggih yang tak tertandingi, sistem


pengintaian dan informasi, serta fleksibilitas kelembagaan dan doktrin
untuk menangani penyatuan berbagai inovasi yang kompleks ini ke
dalam "sistemnya sistem" yang merupakan kunci dari keefektifan
militer modern. Lebih dari sebelumnya dalam sejarah militer, otak
adalah kekuatan. Bahkan sekiranya negara-negara yang bermusuhan
ini dengan satu dan lain cara bisa mengejar keter-tinggalan dalam
perlombaan senjata, organisasi dan budaya militer mereka sepertinya
tak akan sejajar dalam hal perlombaan kecakapan manajemen, asi-
milasi teknologi, dan komando tempur.
Jika negara yang bermusuhan saja tak bisa menghadapi Amerika
Serikat dalam perang konvensional, kelompok-kelompok kecil seperti
teroris tentu makin ciut nyalinya untuk berhadapan langsung. Jika
Amerika Serikat beruntung, berbagai kelompok kejam yang punya
kemarahan yang terhadap pemerintah dan masyarakat Amerika akan
terus memikirkan skema penggunaan peledak konvensional.
Beberapa kelompok teroris telah menunjukkan minat dalam menim-
bulkan penghancuran massal yang sesungguhnya. Pengeboman atau
penyanderaan biasanya mengancam tak lebih dari beberapa ratus or-
ang. Marilah kita berharap bahwa keterbatasan ini dikarenakan oleh ala-
san kuat yang mendasarinya, dan bukan karena kurangnya kemampuan,
dan semoga perkecualian yang sedikit ini tidak menjadi kelaziman.
Tidak ada alasan pasti untuk bertaruh menyangkut keterbatasan
tersebut. Memang, beberapa kelompok telah mencoba menggu-
nakan SPM, namun gagal. Sekte Aum Shinrikyo di Jepang melepas-
kan gas syaraf sarin di Tokyo pada 1995, namun yang terbunuh ha-
nya beberapa orang. Beberapa analis yakin bahwa mereka yang me-
nyerang World Trade Center pada 1993 mengikat bom mereka
dengan sianida, yang terbakar habis dalam ledakan (ini belum dikon-
firmasi, namun sianida dalam jumlah besar ditemukan di benda-
benda milik penyerang). Pada akhirnya, kelompok tersebut akan
membuktikan bahwa mereka sudah kompeten. Jika para teroris me-
mutuskan bahwa mereka ingin me-ngejutkan para pembuat kebi-
jakan Amerika dengan menimbulkan kerusakan besar-besaran, SPM

405
Richard K. Betts

menjadi lebih memikat di saat senjata itu lebih mudah didapatkan.


Akhirnya, superioritas militer yang tak tertandingi telah meng-
geser perhatian para petinggi militer Amerika Serikat dari SPM, Sela-
ma Perang Dingin, senjata nuklir merupakan basis kemampuan pe-
rang Amerika. Nuklir merupakan unsur penting dalam debat perta-
hanan, program procurement (procurementprograms), dan penga-
wasan senjata karena Amerika Serikat menghadapi adidaya yang
lain—sebuah pemikiran yang wajar mengingat rasa cemas bahwa
senjata perang konvensional tak bisa memberikan yang terbaik. Se-
karang ini, tak ada yang peduli dengan peluru kendali MX atau pe-
ngebom B - l , dan nyaris tak ada orang yang benar-benar peduli ten-
tang Traktat Pegurangan Senjata Strategis. Dalam sebuah cara yang
hanya akan terlihat menggelikan selama Perang Dingin, ada usulan
untuk merasionalisasi B-2 senilai $2 miliar sebagai sebuah senjata
untuk perang konvensional. Nyaris tak ada seorang pun di Penta-
gon yang masih tertarik dengan bagai-mana Amerika Serikat bisa
menggunakan SPM untuk kepentingan strategisnya sendiri.
Apa yang menarik bagi para perencana militer adalah bagaimana
mencegah musuh menggunakan SPM sebagai sarana "asimetris"
untuk melawan kekuatan konvensional Amerika Serikat, dan ba-
gaimana melindungi daratan Amerika Serikat dan pasukan angkatan
laut di luar negeri dari serangan SPM. Perhatian ini baik dan bagus,
namun ia malah mengalihkan perhatian kita dari bahaya utama.
Risiko utama bukanlah bahwa musuh mungkin menghan-tamkan
senjata nuklir atau kimia ke batalion lapis baja atau kapal Amerika
Serikat dengan hasil yang mengerikan. Yang lebih mungkin, mereka
akan berusaha untuk menghukum Amerika Serikat dengan memicu
bencana besar di kota-kota Amerika.

PILIH BAIK-BAIK SENJATAMU

lalu, isunya adalah senjata nuklir, titik. Senjata


S A M P A I DEKADE YANG

kimia mendapatkan sejumlah perhatian dari para spesialis, namun

41)6
Ancaman Baru Penghancuran Massal

tidak pernah menjadi daftar prioritas para presiden dan kabinet.


Senjata biologi hampir terlupakan setelah mereka dilarang oleh
Konvensi Senjata Biologi pada 1972. Pada 1990-an, senjata kimia dan
biologi mendapatkan perhatian lebih. Namun isu-isu yang dihadir-
kan trio senat ini berada di bawah payung penghancuran massal
yang berbeda. Yang paling signifikan, senjata biologi kurang menda-
patkan perhatian dibandingkan yang lain. Padahal, senjata biologi
mungkin mewakili bahaya terbesar
Senjata kimia sudah lebih diperhatikan pada dekade terakhir,
terutama sejak mereka digunakan oleh Irak terhadap pasukan Iran
dalam Perang Iran-Irak pada 1980-1988 dan terhadap warga sipil
Kurdi pada 1988. Senjata ini jauh lebih mudah diperoleh daripada
senjata nuklir karena teknologi yang dibutuhkan untuk mempro-
duksinya jauh lebih sederhana, dan banyak negara telah menjalan-
kan program senjata kimia. Namun senjata kimia tidak benar-benar
berada di kelas yang sama seperti senjata pemusnah massal lain da-
lam hal kemampuan untuk mengakibatkan korban jiwa besar dalam
satu serangan. Untuk korban puluhan ribu jiwa di wilayah yang
luas, katakanlah seperti serangan bom strategis terbesar Perang Du-
nia II, sangat sulit secara logistik dan operasional untuk mengirim
senjata kimia dalam jumlah yang dibutuhkan.
Meskipun demikian, banyak perhatian dan upaya tercurah untuk
kampanye penghapusan senjata kimia. Ini mungkin sesuatu yang
bagus, namun akibat sampingnya tidak sepenuhnya tak berbahaya.
Misalnya saja, karena senjata kimia diberangus, maka untuk
penghadangan, senjata nuklir menjadi kian penting daripada sebe-
lumnya. Hal ini karena sebuah traktat tidak bisa sepenuhnya men-
cegah negara-negara yang bermusuhan menyebarkan senjata kimia,
sementara Amerika Serikat telah bersumpah untuk menghentikan
pembalasan dengan cara yang sama.
Di masa silam, Amerika Serikat memiliki kebijakan untuk tak
menjadi pihak pertama yang menggunakan senjata kimia namun
akan membalas serangan dengan senjata yang sama jika musuh
menggunakannya terlebih dahulu. Konvensi Senjata Kimia (KSK)

41)7
Richard K. B e t t e

1993, yang berlaku hingga April lalu, mengharuskan Amerika Serikat


menghancurkan persediaannya, sehingga dengan demikian meng-
akhiri opsi ini. Amerika Serikat melakukan hal yang sama dalam
hal senjata biologi jauh hari sebelumnya, pada masa pemerintahan
Nixon. Menyingkirkan senjata kimia dan biologi miliknya sendiri
praktis membuat Amerika terhindar dari kebijakan tidak meng-
gunakan terlebih dahulu untuk senjata nuklir, karena mereka men-
jadi satu-satunya SPM yang tersedia untuk pembalasan.
Apakah Amerika Serikat akan mengikuti pemikiran ini dan meng-
gunakan senjata nuklir terhadap sebuah negara atau kelompok yang
telah membunuh ribuan warga Amerika dengan bahan kimia yang
mematikan? Sulit sekali membayangkan pelanggaran tabu pasca-
Nagasaki dalam situasi tersebut. Namun skema pembalasan militer
yang konvensional tidak akan memadai bila tak dibarengi upaya
pengurangan kekuatan ancaman yang menghadang Amerika. Akan
ada sebuah risiko bagi Amerika Serikat, yaitu terbentuknya sebuah
preseden bahwa seseorang bisa menggunakan SPM terhadap warga
Amerika tanpa menderita kerusakan yang sama sebagai balasannya.
Membatasi pilihan senjata penghadangan yang tersedia bagi strategi
Amerika Serikat tidak niscaya menyebabkan penghadangan gagal,
namun hal ini jelas tidak memperkuatnya.
Manfaat nyata dari KSK adalah bahwa senjata kimia menjadi ma-
kin sulit didapatkan dan setiap tindakan akan dianggap pelanggaran
hukum dan diberi stigma seperti halnya senjata biologi selama se-
perempat abad terakhir. Jika ada manfaat seperti ini, apa akibat pe-
larangan ini terhadap pilihan-pilihan yang akan diambil negara atau
kelompok yang menginginkan sejenis SPM untuk sembarang kasus,
baik untuk tujuan penghadangan, agresi, ataupun balas dendam?
Yang paling celaka, pelarangan ini akan mendorong orang untuk
mendapatkan senjata biologi, karena mereka tidak kurang ilegalnya,
mudah untuk diperoleh atau disembunyikan, dan lebih meng-
hancurkan daripada senjata kimia. Jika ancaman senjata kimia ba-
nyak berkurang, namun ancaman senjata biologi meningkat seka-
lipun sedikit, ini merupakan tukar-menukar yang buruk.

408
Ancaman Baru Penghancuran Massal

Satu fakta sederhana seharusnya membuat rakyat Amerika lebih


mencemaskan senjata biologi ketimbang nuklir atau kimia: tak
seperti dua senjata yang lain, senjata biologi memadukan daya rusak
yang maksimum dan kemudahan diperoleh. Senjata nuklir punya
kemampuan membunuh yang besar namun sulit diperoleh; senjata
kimia mudah namun kurang memiliki kemampuan membunuh; sen-
jata biologi memiliki dua kualitas tersebut Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Kantor Penilai Teknologi (Office of Technology Asses-
ment) pada 1993 menyimpulkan bahwa sebuah pesawat terbang
yang menjatuhkan 100 kilogram spora antraks—fase tidur dari sebu-
ah kuman yang akan berlipat ganda dengan cepat di dalam tubuh
manusia dan menghasilkan racun dan pendarahan—lewat penyem-
prot udara di atas malam yang tenang dan bersih di atas area Wash-
ington, D.C., bisa membunuh antara satu sampai tiga juta orang,
300 kali lebih banyak daripada korban yang ditimbulkan seandainya
pesawat menjatuhkan gas sarin dalam jumlah sepuluh kali lebih besar/
Seperti halnya senjata kimia namun berbeda dari senjata nuklir,
senjata biologi relatif mudah dibuat. Inovasi dalam bioteknologi telah
banyak menyingkirkan problem lama dalam penanganan dan pe-
nyimpanan sarana biologi, dan banyak sarana yang sudah bisa di-
peroleh secara bebas untuk riset ilmiah. Senjata nuklir sepertinya
tidak akan menjadi pilihan SPM kelompok teroris non-negara.
Nuklir memerlukan investasi yang sangat besar dan infrastruktur
yang bisa dijadikan sasaran. Memiliki nuklir juga berarti berhada-
pan dengan ancaman yang serius dari Amerika Serikat. Maka, sebu-
ah kelompok musuh yang telah memutuskan ingin membunuh rak-
yat Amerika dalam jumlah besar akan mendapati misi ini lebih mu-
dah dicapai dengan antraks ketimbang sebuah ledakan nuklir.
Di P e n t a g o n , p e r h a t i a n t e r h a d a p s e n j a t a b i o l o g i m e n i n g k a t t a j a m
d a l a m b e b e r a p a t a h u n terakhir, n a m u n di t e m p a t lain p e r h a t i a n u n -

1Kantor Penilai Teknologi, Kongres Amerika Serikat. Proliferation of Weapon


of Mass Destruction: Assesing the Risks, Washington: Government Printing Office,
1993, him. 54.

409
Richard K. B e t t e

tuk masalah ini masih kecil. Ini bisa jadi hal yang baik jika tak ada
banyak yang bisa dikerjakan, karena publikasi mungkin malah akan
memberikan ide kepada musuh. Namun ini bukan hal yang baik
jika menghalangi upaya untuk mengambil langkah—seperti perta-
hanan sipil—yang bisa menumpulkan serangan nuklir, kimia,
ataupun biologi.

M E N U R U N N Y A P E N G H A D A N G A N D A N P E N G A W A S A N SENJATA

masih mendominasi diskusi kebijakan menge-


S E B U A H KOSAKATA L A M A

nai SPM. Retorika di kalangan para petinggi pertahanan akhirnya


balik lagi ke mantra strategis Perang Dingin yang bisa dipakai untuk
semua keperluan: penghadangan. Namun, ancaman yang dicakup
penghadangan senjata pada saat ini lebih sedikit jumlahnya ketim-
bang yang dihadapi Amerika Serikat semasa Perang Dingin.
Ix)gika penghadangan paling jelas terlihat ketika isu yang muncul
adalah mencegah agresi yang pasti dan tidak diprovokasi sebelum-
nya, ketika sang agresor mengakui bahwa dirinyalah sang agresor
dan bukannya pihak yang mempertahankan diri. Penghadangan ku-
rang bisa diandalkan ketika dua pihak yang bekonflik saling melihat
lawannya sebagai agresor. Ketika Amerika Serikat campur tangan
dalam carut-marut konflik di Dunia Ketiga, hal yang terakhirlah
yang sering terjadi. Di dalam kasus-kasus semacam ini, pihak yang
ingin dihadang Amerika Serikat mungkin melihat dirinya mencoba
menghadang Amerika Serikat. Situasi semacam ini seringkali
memunculkan salah perhitungan.
Bagi negara yang dulu menjadi objek penghadangan Amerika
Serikat—Rusia—beban strategis telah berbalik. Berdasarkan asumsi
superioritas militer konvensional Soviet, strategi Amerika Serikat
biasanya bertumpu pada ancaman yang akan meningkat, sehingga
Amerka menjadi yang pertama menggunakan senjata nuklir dalam
suatu perang, untuk menghadang serangan divisi lapis baja Soviet.
Sekarang ini polanya telah berubah. Tak ada lagi Pakta Warsawa,

410
Ancaman Baru Penghancuran Massal

Rusia memiliki setengah atau kurang dari potensi militer Uni So-
v i e t dan pasukan konvensionalnya saat ini sedang berantakan, se-
mentara NATO bertambah luas ke timur. Saat ini justru Moskow
yang punya dorongan untuk mengompensasi kelemahan konven-
sionalnya dengan lebih mengandalkan kemampuan nuklir. Rusia
mengadopsi kebijkan tak menggunakan nuklir terlebih dahulu pada
awal 1980-an, namun membatalkannya setelah ia mengalami keme-
rosotan yang cepat pasca-Perang Dingin.
Sekarang ini Rusia perlu diyakinkan, bukan dihadang. Bahaya
besar dari SPM Rusia adalah persediaan yang bocor ke kelompok-
kelompok anti-Amerika di tempat lain—problem "nuklir lepas". Se-
panjang Amerika Serikat tak punya maksud untuk menyerang Rusia,
ketergantungan mereka yang membesar terhadap senjata nuklir bu-
kanlah sebuah masalah. Namun, jika Amerika Serikat memiliki ke-
pentingan dalam pengurangan persediaan nuklir, ini adalah suatu
masalah. Pendekatan tradisional Amerika—berpikir dalam termi-
nologi strategi penghadangannya sendiri—tak memberikan pandu-
an. Tak diragukan lagi, perdebatan vang masih dilakukan sejumlah
orang Amerika tentang penghadangan terhadap Rusia malah me-
nambah masalah karena membuat Moskow tambah berjaga-jaga.
Dengan juga, superioritas militer konvensional Amerika Serikat
mendorong Cina untuk lebih condong bergantung pada strategi es-
kalasi. Cina mempunyai kebijakan lama untuk tak menggunakan
terlebih dahulu senjata nuklir, tetapi mereka mengadopsinya saat
doktrin strategis mereka adalah "perang rakyat", yang bersandar
pada mobilisasi massa dan persenjataan berteknologi-rendah. Ke-
yakinan terhadap doktrin ini menjadi sangat goyah melihat kekuatan
Amerika di Perang Teluk Persia. Sekali lagi, Amerika Serikat bisa
menganggap bahwa tak ada masalah selama Beijing hanya ingin
menghadang dan Amerika Serikat tak ingin menyerang. Namun ba-
gaimana kalau anggapan ini dikaitkan dengan kemungkinan perang
terhadap Taiwan? Ini adalah sebuah konflik yang tak diinginkan
siapa pun, namun hampir tak bisa disingkirkan dalam suasana ke-
tegangan yang kian bertambah. Jika Amerika Serikat memutuskan

411
Richard K. Bette

secara terbuka untuk menghadang Beijing menyerang Taiwan, tata


cara lama dari Perang Dingin ini mungkin relevan. Namun jika
Washington terus membiarkan kebijakannya ambigu, siapa yang ta-
hu siapa menghadang siapa? Ambiguitas adalah sebuah resep untuk
kebingungan dan salah perhitungan di waktu krisis. Karena mes-
kipun perhatian pejabat tinggi keamanan nasional kian meningkat
terhadap kemungkinan konflik dengan Cina, tak banyak diskusi
mengenai peran senjata nuklir dalam benturan Cina-Amerika.
Namun, masalah utama penghadangan adalah bahwa ia masih
bertumpu pada serangkaian teori yang menunjang kebijakan Perang
Dingin, yang didominasi oleh ketergantungan pada ancaman se-
rangan kedua yang disebabkan oleh pembalasan. Padahal, pemba-
lasan memerlukan pengetahuan mengenai siapa yang melancarkan
serangan dan membalas ke tempat mereka berada. Persyaratan ini
tidak jadi masalah ketika ancaman datang dari sebuah pemerintahan,
namun akan jadi masalah jika musuhnya anonim. Sekarang ini be-
berapa kelompok ingin menghukum Amerika Serikat tanpa menya-
takan diri bertanggung jawab atas tindakannya—suatu pembunuh-
an massal yang setara dengan pengeboman Pan Am Penerbangan
103 di atas Lockerbie, Skotlandia. Selai itu, pilihan yang disukai para
pejabat pertahanan telah bergeser sepenuhnya dari penghadangan
ke tindakan pencegahan. Mayoritas dari mereka yang berurusan de-
ngan kebijakan senjata nuklir selama Perang Dingin berkeras menolak
mengembangkan pilihan menyerang terlebih dahulu. Saat ini, hampir
tak ada orang yang menengok logika lama ini ketika berpikir tentang
negara merah atau teroris; dan sebagian besar berharap bisa melakukan
aksi pciucutan terhadap setiap kelompok yang memiliki SPM.

Akhirnya, penghapusan senjata kimia malah memangkas pilihan-


pilihan yang ada untuk penghadangan. Batasan-batasan pengawas-
an senjata atas instrumen yang bisa digunakan untuk menghadang
ancaman pada dasarnya bukan kebijakan vang salah, namun batasan
ini memang membuat penghadangan tak bisa maksimal. Namun,
secara keseluruhan, masalah dengan pengawasan senjata adalah
bukan karena ia melakukan terlalu banyak, melainkan terlalu sedikit.

412
Ancaman Baru Penghancuran Massal

Dari negosiasi-negosiasi Pelarangan Uji Terbatas (Limited Test Ban)


pada 1960-an sampai Pembicaraan Pembatasan Senjata Strategis
(START - Straregic Arms Reduction Talks), dan negosiasi Senjata
Nuklir Jarak Sedang pada 1970-andan 1980-an, traktat-traktat penga-
wasan senjata merupakan hal penting untuk menangani ancaman
SPM. Debat sengit terjadi tentang apakah kesepakatan tertentu de-
ngan Moskow menguntungkan Amerika Serikat atau tidak, karena
semua orang meyakini bahwa hasilnya mempunyai pengaruh yang
penting. Saat ini tak ada konsensus bahwa traktat yang mengatur
persenjataan mesti dipatuhi. Di antara pakar keamanan nasional,
korps yang sangat memerhatikan START dan Kekuatan Konven-
sional di perundingan-perundingan Eropa telah menyusut. Dengan
perkecualian Konvensi Senjata Kimia, upaya untuk mengawasi SPM
dengan traktat telah menjadi hal vang tidak populer. Berita besar
terbaru dalam pengawasan senjata bukanlah perundingan untuk
mengatur SPM, melainkan kampanye untuk melarang ranjau darat.
Mitra Perang Dingin Amerika Serikat dalam pengawasan senjata,
Rusia, telah banyak melucuti senjatanya secara sukarela. Namun
terlepas retorika baku, Amerika Serikat belum menempatkan prio-
ritas tinggi guna meyakinkan Moskow untuk lebih melucuti senjata
nuklirnya; pemerintahan Clinton memilih untuk lebih memperluas
NATO, yang mendorong Rusia ke arah yang berlawanan.
Traktat Antipenambahan Nuklir (TAN) pada 1968 tetap menjadi
sebuah lembaga yang dikeramatkan, namun lembaga ini tak berge-
rak ke arah yang baru. Traktat ini tidak akan memasukkan masalah
tentang negara-negara yang ingin mendapatkan SPM—kecuali jika,
seperti Irak dan Korea Utara pada 1980-an, mereka menandatangani
kesepakatan dan menerima kewajiban hukum dan kemudian de-
ngan enak melanggarnya. Rezim TAN akan terus menghalangi akses
terhadap materi rakitan di pasar terbuka, namun ia tidak akan me-
lakukannya dengan cara yang baru atau lebih efektif. Dan traktat
ini tidak lebih baik dalam mengatasi problem "nuklir lepas" milik
Rusia daripada yang dilakukan sendiri oleh pemerintah Rusia dan
Amerika.

413
Richard K. Bette

PERTAHANAN SIPIL

pembatasan baru, penghadangan masih me-


T E R L E P A S DARI S E M U A

rupakan aspek strategi yang penting. Meskipun demikian, Amerika


Serikat tak perlu terlalu banyak melakukan sesuatu untuk menjaga
kemampuan penghadangannya, mengingat begitu besarnya jumlah
senjata nuklir dan superioritas militer konvensional yang dimiliki-
nya. Namun, ada wilayah yang benar-benar tidak dikembangkan
kemampuannya, yaitu tanggapan yang mesti dilakukan sekiranya
penghadangan gagal
Orang-orang yang antusias pada kemampuan pertahanan,
terutama pendukung Inisiatif Pertahanan Strategis dari masa pe-
merintahan Reagan, masih tetap punya perasaan mendalam ter-
hadap bentuk yang paling tidak relevan dari strategi ini: pertahanan
aktif teknologi tinggi untuk mencegat peluru kendali balistik. Se-
baliknya, kecil saja minat terhadap apa yang sekarang ini seharusnya
menjadi prioritas pertama: persiapan pertahanan sipil untuk me-
nanggulangi penggunaan SPM di dalam wilayah Amerika Serikat.
Pertahanan aktif terhadap peluru kendali akan merupakan investasi
yang mahal, la barangkali bisa bekerja, barangkali tidak, untuk
mengatasi ancaman yang mungkin tidak akan mendatangi Amerika
Serikat selama bertahun-tahun. Namun, pertahanan ini tak bisa ber-
buat apa-apa untuk ancaman yang sudah ada di depan mata. Cara-
cara pertahanan sipil sangat murah dan bisa terbukti jauh lebih efek-
tif daripada cara yang yang mesti dilakukan untuk melawan serang-
an Soviet dalam skala besar

Selama perang dingin, debat tentang pertahanan antipeluru ken-


dali berkisar pada apakah hal ini layak secara teknologi atau efektif
secara biaya, serta apakah hal ini akan mengancam Soviet dan me-
nyulut perlombaan senjata tanpa henti antara senjata ofensif dan
defensif. Seseorang tak perlu berkeras mengajukan Inisiatif Perta-
hanan Strategis untuk melihat bahwa relevansinya terhadap an-
caman SPM saat ini sangat kecil. Irak, Iran, Korea Utara tak akan
mampu mengirim peluru kendali antarbenua selama bertahun-

414
Ancaman Baru Penghancuran Massal

tahun. Pun jika mereka secara strategis cerdas, mereka tak meng-
inginkannya. Hal ini karena negara-negara ini hanya punya kepala
nuklir dalam jumlah terbatas, dan cara pengiriman lain lebih gam-
pang tersedia, terutama senjata biologi. Alternatif-alternatif terhadap
peluru kendali balistik mencakup pengiriman peluru kendali dari
pesawat udara atau kapal laut, dan cara-cara yang tidak konvensio-
nal seperti penyelundupan, yang telah dikuasai dengan baik oleh
agen-agen intelijen negara-negara ini. Para penyerang non-negara
seperti mereka yang mengebom World Trade Center akan memilih
cara-cara klandestin.
Sistem pertahanan peluru kendali balistik, terlepas biayanya yang
kurang-lebih $60 miliar seperti yang baru-baru ini diperkirakan Kan-
tor Anggaran Kongres, hanya bisa dipakai untuk satu pilihan. Sistem
pertahanan ini tidak akan bisa menahan mode-mode serangan ala
klandestin. Memang, jika kecemasan terbesar akan SPM sekarang
ini adalah mengenai penggunaan mereka oleh negara atau kelompok
teroris, makin besar kemungkinan bahwa suatu waktu di suatu
tempat di negara ini, sejumlah senjata ini akan meledak, terlepas
upaya terbaik untuk menghentikan mereka. Jika itu terjadi, Amerika
Serikat harus menyiapkan cara-cara apa pun yang dapat dilakukan
untuk mengurangi konsekuensinya.
Pada tahap-tahap akhir Perang Dingin sulit untuk membuat or-
ang tertarik dengan pertahanan sipil untuk menghadapi serangan
habis-habisan Uni Soviet yang bisa meledakkan ribuan senjata nuklir
berkekuatan tinggi di pusat-pusat populasi Amerika Serikat. Bagi
banyak orang, nyawa yang berhasil diselamatkan tampaknya kurang
penting dibandingkan jutaan orang yang mungkin akan kehilangan
nyawa. Namun, nilai pertahanan sipil akan lebih mudah terlihat
dalam konteks serangan yang lebih terbatas, seperti serangan senjata
ringan yang berdampak kecil. Negara yang terkena serangan ringan
malah bisa meningkatkan perlindungan atau pemulihan dari dam-
pak senjata biologi, nuklir, atau kimia. Misalnya dengan menyimpan
atau membagikan masker pelindung; peralatan dan latihan untuk
dekontaminasi; program untuk vaksinasi massal dan perawatan

415
Richard K. Bette

darurat dengan antibiotik; perencanaan yang lebih dalam dan lebih


luas mengenai prosedur reaksi darurat; dan pendidikan publik me-
ngenai tindakan mencari perlindungan secepat mungkin dan tin-
dakan darurat untuk mengurangi kerentanan setiap orang.
Program-program ini bukan berarti menoleransi serangan SPM.
Namun ketidakcakapan tidak bisa dijadikan alasan untuk menga-
baikan tindakan yang bisa mengurangi kematian dan penderitaan,
bahkan sekiranya perbedaan korban jiwa kecil. Pertahanan sipil sa-
ngat bermanfaat mengingat bahwa mereka sangat murah dibanding-
kan program reguler militer atau sistem pertahanan aktif. Namun
sampai sekarang, hanya setengah miliar dolar—kurang dari 0,002
persen dari anggaran pertahanan dan kurang dari $2 untuk setiap
penduduk Amerika—yang dialirkan ke pertahanan terhadap senjata
kimia dan biologi, sementara hampir $4 miliar dibelanjakan setiap
tahunnya untuk pertahanan peluru kendali balistik. 2 Mengapa para
pembuat kebijakan tak melakukan langkah ini terlebih dahulu—
program-program murah yang bisa melindungi kita dari akibat ben-
cana—sebelum menjalankan program-program mahal yang tak
memberi jaminan mereka akan bisa mencegahnya?
Masalahnya adalah kekakuan konseptual. Para ahli strategi yang
terbiasa dengan Perang Dingin biasa mencemaskan satu musuh
dengan ribuan SPM, dan bukannya musuh-musuh dengan senjata
yang tak begitu beswar. Selama berpuluh tahun, persoalan perta-
hanan strategis juga berfungsi sebagai ajang debat antara mereka
yang melihat bahwa tak ada alternatif selain mengandalkan peng-
hadangan dan mereka yang berharap senjata luar angkasa di atas
Amerika Serikat bisa menggantikan penghadangan dengan keke-
balan. Tak ada satu pun dari fiksasi ini yang memperhatikan ancam-
an SPM yang paling mungkin terjadi di dunia pasca-Perang Dingin.
Penentang program pertahanan sipil Perang Dingin sekarang
mendasarkan tindakan mereka pada keengganan psikologis. Para
penentang biasa berpendapat bahwa pertahanan sipil adalah kha-

2John F. Sopko, " T h e Changing Proliferation T h r e a t / Foreign Policy, Musim


Semi 1997, him 3-20.

416
Ancaman Baru Penghancuran Massal

yalan yang berbahaya karena ia tak mampu berbuat sesuatu yang


signifikan untuk mengurangi kengerian akan serangan yang bisa
melenyapkan ratusan kota, karena ia akan memunculkan rasa kea-
manan yang palsu, dan karena ia bahkan bisa membuat tidak stabil
dan memancing serangan dalam sebuah krisis. Pada waktu itu, argu-
men semacam itu bisa valid, bisa pula tidak. Yang jelas, argumen
itu tak valid sekarang. Namun baik dulu maupun sekarang, ada
alasan kuat mengapa upaya pertahanan sipil tak popular: mereka
membuat rakyat was-was. Program ini mengingatkan rakyat bahwa
kerentanan mereka terhadap penghancuran massal bukanlah mimpi
buruk, bukan sesuatu yang bisa dipecahkan dengan pasti oleh skema
strategis untuk penghadangan, tindakan pencegahan, atau pencegatan.
Pertahanan sipil bisa membatasi kehancuran namun tidak memi-
nimalkannya. Misalnya, sejumlah musuh mungkin bisa mengem-
bangkan senjata biologi yang tahan terhadap vaksin dan antibiotik
yang sudah ada. (Namun, mereka yang kemampuan teknisnya dang-
kal, bisa dihentikan dengan menutup berbagai pilihan yang lebih
mudah.) Mana yang lebih buruk—pembatasan pertahanan, atau ha-
rus bertanggung jawab karena gagal mencoba? Momen ketika SPM
digunakan di suatu tempat dengan satu cara yang menghasilkan
puluhan ribu korban, adalah momen yang pasti akan menimbulkan
segala macam jeritan histeris. Salah satunya pasti akan seperti ini,
"Mengapa pemerintah tidak menyiapkan kita untuk ini?" Seharus-
nya, untuk kepentingan jangka panjang, pemimpin politik tak boleh
menuruti keengganan rakyat. Jika penolakan publik dalam situasi
terkini mencegah distribusi, penyimpanan, dan instruksi dalam
penggunaan peralatan pertahanan atau bantuan medis dalam skala
luas, paling tidak pemerintah harus melakukan tindakan untuk
mengoptimalkan rencana dan persiapan agar penerapan kegiatan-
kegiatan semacam ini bisa dipercepat ketika krisis pertama menyulut
permintaan akan hal-hal ini.
Ketika ancaman terorisme yang menggunakan SPM diperlakukan
lebih serius, minat dalam cara-cara pertahanan preemptif akan sema-
kin besar—yang paling nyata darinya adalah memperbanyak pe-
ngumpulan data intelijen. Di saat ada pembidikan terhadap kelom-

417
Richard K. Bette

pok-kelompok di dalam Amerika Serikat, yang tampaknya menjadi


lahan subur pembibitan para teroris (misalnya, pendukung militan
Palestina, milisi atau sekte dalam negeri, atau kelompok radikal yang
punya ikatan dengan Iran, Irak, atau Libia), maka akan muncul kon-
troversi mengenai batas konstitusional yang berkaitan dengan pe-
langgaran privasi, penggeledahan, dan penyitaan. Sepanjang bahaya
SPM masih bersifat hipotetis, kontroversi semacam ini tidak akan
mudah dipecahkan. Bahaya ini belum merebak sejauh ini karena
penegak hukum Amerika Serikat telah sangat beruntung dalam me-
nangkap kaum teroris. Kelompok yang tertangkap pada 1993 karena
berencana mengebom Terowongan Lincoln kebetulan tengah disu-
supi seorang informan, dan Timothy McVeigh kebetulan ditangkap
pada 1995 karena mengemudi mobil tanpa pelat nomor. Mereka yang
takut membahayakan kebebasan sipil dengan pemberian hak kepada
pemerintah untuk mengendus-endus harus memikirkan apa yang
bakal terjadi begitu keberuntungan habis dan sudah mustahil untuk
mengenali para penyerang. Bayangkan ada sebuah kelompok Is-
lam radikal rahasia yang melancarkan serangan biologi, menewas-
kan 100 ribu orang, dan mereka mengumumkan akan melakukan
hal yang sama lagi seandainya tuntutannya tidak dipenuhi, (Ke-
mungkinan skenario semacam ini mungkin tidak besar, namun hal
ini tak bisa lagi di-anggap sebagai fiksi ilmiah). Di dalam kasus terse-
but, hampir tak terbayangkan seandainya sebuah sistem hukum
yang panik akan kelimpungan dan memperlakukan orang Arab-
Amerika seperti halnya mereka memperlakukan orang Jepang-Ame-
rika yang digiring ke kamp konsentrasi setelah Pearl Harbor. Mem-
perlebar batas pengawasan di dalam negeri untuk mengurangi pe-
luang munculnya pilihan-pilihan semacam ini bukanlah sesuatu
yang terlalu jahat.

APAKAH M U N D U R A D A L A H P E R T A H A N A N T E R B A I K ?

program yang ditujukan untuk mengontrol kemam-


T A K SATU PUN

puan musuh bisa menyingkirkan bahaya yang ada. Salah satu risiko

418
Ancaman Baru Penghancuran Massal

adalah bahwa di dalam politik dunia pasca-Perang Dingin yang lebih


cair, Amerika Serikat bisa tersuruk ke dalam krisis dengan Rusia
atau Cina yang tak diantisipasi sebelumnya. Tak ada aturan main
yang kuat yang bisa dipakai untuk menghentikan konflik berpilin
atas negara-negara Baltik atau Taiwan. Hal ini berbeda dengan masa
persaingan antara dua negara adidaya setelah krisis peluru kendali
Kuba. Bahaya kedua, sejumlah kelompok yang marah yang menya-
lahkan Amerika Serikat karena masalah yang dialaminya, atau sema-
ta karena ingin membalas dendam, mungkin memutuskan untuk
menghantam rakyat Amerika dengan menimbulkan kehancuran di
tempat mereka tinggal,
jika kita tak cukup punya langkah-langkah untuk mengatasi pro-
blem ini, adakah yang bisa dilakukan untuk mengatasi niatan ini—
dorongan yang dimiliki kekuatan atau kelompok luar negeri mana
pun untuk menghantam Amerika? Untuk pertanyaan ini, ada se-
jumlah jawaban yang tak akan membahayakan aktivisme strategis
mendasar dan arah internasionalis kebijakan luar negeri Amerika
Serikat selama setengah abad lebih. Hal itu karena jalan terbaik untuk
mencegah masyarakat meyakini bahwa Amerika Serikatlah yang
bertanggung jawab terhadap masalah-masalah mereka adalah meng-
hindari keterlibatan dalam konflik mereka.
Sejak kesepakatan Munich dan Pearl Harbor, hanya dengan inte-
rupsi singkat selama satu dekade setelah penyerangan Tet, ada se-
buah konsensus yang menyatakan bahwa jika rakyat Amerika tidak
menarik garis perimeter pertahanan mereka begitu jauh serta me-
nangani kekacauan luar negeri dalam tahapan awal mereka, masa-
lah-masalah tersebut akan mendatangi mereka di dalam negeri. Na-
mun karena Amerika sekarang adalah satu-satunya adidaya dan sen-
jata pemusnah massal semakin mudah didapatkan, intervensi Ame-
rika di kawasan yang bermasalah bukanlah jalan terbaik untuk me-
nyingkirkan ancaman. Alih-alih, langkah ini malah bisa membang-
kitkan ancaman.
Apakah keterlibatan Amerika Serikat dalam situasi yang tak stabil
di sekitar wilayah bekas Republik Sosialis Uni Soviet akan menghi-
langkan konflik dengan Moskow atau malah membesarkannya?

419
Richard K. Bette

Apakah membuat NATO makin besar dan menggesernya ke pintu


depan Rusia akan menghadang Rusia menekan Ukraina dan negara-
negara Baltik atau malah memprovokasinya? Perihal Rusia dan Cina,
kecil peluang bahwa salah satu dari mereka akan bergerak untuk
menjajah Eropa atau Asia. Mereka akan cenderung memulihkan ke-
daulatan dan zona keamanan yag lama. Rusia akan memasukkan
negara-negara baru dari bekas Uni Soviet, sementara Cina akan me-
masukkan provinsi Taiwan. Tak satu pun dari hal ini yang bermakna
bahwa perluasan NATO atau dukungan terhadap otonomi Taiwan
akan menyebabkan perang nuklir. Namun, hal ini sungguh punya
arti bahwa aktivisme Amerika dalam tingkat apa pun akan makin
mendorong negara-negara itu untuk bertumpu pada SPM, sekalipun
hal ini akan menajamkan friksi politik antara mereka dan Washing-
ton, ini kontra- produktif.
Bahaya besar lain adalah kemarahan dari negara-negara yang
lebih kecil atau kelompok agama dan budaya yang melihat Amerika
Serikat sebagai kekuatan iblis yang menghalangi asprirasi sah me-
reka. Hampir merupakan suatu hal yang tidak mungkin bahwa ke-
lompok radikal Timur Tengah merencanakan beragam skema seperti
penghancuran World Trade Center, jika Amerika Serikat tidak sekian
lama dianggap sebagai pendukung utama Israel, Shah Iran, rezim-
rezim konservatif Arab, serta sumber gempuran budaya terhadap
Islam. Kemenangan Perang Dingin membesarkan problem ini. He-
gemoni militer dan budaya Amerika Serikat—ancaman dasar bagi
kaum radikal yang ingin menentang status quo—secara langsung
berkaitan dengan tuduhan yang dialamatkan kepada Amerika karena
tindakannya menjaga keamanan dunia. Memainkan peran Polisi Dunia
seperti memberi umpan kelompok yang gusar untuk balas menyerang.
Apakah ini seruan untuk isolasionisme? Bukan. Sudah terlambat
untuk membalikkan kebencian luar negeri dengan cara menarik diri,
bahkan jika itu merupakan jalan yang bisa diterima. Kelompok dan
pemerintahan yang teralienasi tak akan berhenti menyalahkan Wash-
ington untuk masalah mereka. Selain itu, ada hal yang bisa dilakukan
dalam kebijakan luar negeri di samping upaya penepisan dorongan

420
Ancaman Baru Penghancuran Massal

untuk melukai Amerika Serikat. Namun, tak bijak untuk serta-merta


menghentikan pengejaran kepentingan lain demi pengurangan yang
tak menentu jumlahnya dari sebuah ancaman yang kemungkinan-
nya juga tidak menentu. Keamanan tidak terdiri dari satu kepingan,
dan kelangsungan hidup hanyalah satu bagian dari keamanan.
Namun sudah tak lagi bijaksana untuk menganggap bahwa ke-
pentingan-kepentingan keamanan yang penting saling melengkapi
satu sama lain seperti halnya yang terjadi pada masa Perang Dingin.
Kepentingan yang paling mendasar—melindungi daratan Amerika
dari serangan—saat ini mungkin sering berkonflik dengan keaman-
an yang dipahami orang banyak, dan juga dengan kepentingan yang
memerintahkan promosi nilai-nilai politik Amerika, saling ketergan-
tungan ekonomi, Westernisasi sosial dan stabilitas di wilayah-wila-
yah di luar Eropa Barat dan Amerika. Amerika Serikat tidak boleh
melepas semua kepentingan politiknya yang lebih besar. Namun,
kepentingan ini harus ditangani dengan hati-hati, terutama di ka-
wasan seperti Timur Tengah, karena kepentingan yang lebih luas
ini berlawanan dengan tugas pokok untuk mencegah penghancuran
massal di dalam tapal batas Amerika.

421
16

Pidato Sambutan West Point

Presiden George W. Bush*

PRESIDEN:Terima kasih banyak, Jenderal Lennox. Bapak Menteri, Gu-


bernur Pataki, anggota-anggota Kongres Amerika Serikat, staf dan
pengajar Akademi, hadirin yang mulia, anggota keluarga yang ber-
bahagia, dan para lulusan: saya menyampaikan terima kasih atas
sambutan Anda. Saya dan Laura merasa sangat terhormat mengun-
jungi lembaga besar ini dalam usianya yang ke-200 tahun.
Di setiap penjuru Amerika, kata "West Point" langsung menda-
tangkan rasa hormat. Tempat di mana Sungai Hudson berbelok ini
lebih dari sekadar akademi yang bagus. Akademi Militer Amerika
Serikat adalah penjaga nilai-nilai yang telah menggembleng para
prajurit yang membentuk sejarah dunia.
Beberapa di antara kalian lulus dari West Point, seperti halnya
Robert E. Lee, yang tanpa cela, tak pernah menerima satu teguran
pun dalam empat tahun. Beberapa dari kalian lulus seperti halnya
Ulysses S. Grant, yang menerima cukup banyak teguran, dan berkata
bahwa hari paling bahagia dalam hidupnya adalah "hari ketika aku
meninggalkan West Point." Selama saya kuliah, rasanya saya lebih
condong seperti Grant.

* GEORGE W . BUSH adalah Presiden Amerika Serikat ke-43

423
Presiden George W. Bush

Kalian menjalani tradisi Eisenhower dan MacArthur, Patton dan


Bradley—para komandan yang menyelamatkan sebuah peradaban.
Dan kalian juga menjalani tradisi letnan-letnan dua yang melakukan
hal yang sama, dengan bertempur dan meregang nyawa di medan
pertempuran yang jauh.
Lulusan-lulusan akademi ini telah mendatangkan kreativitas dan
keberanian ke setiap medan perjuangan. West Point menghasilkan
insinyur kepala Terusan Panama, otak di balik Proyek Manhattan,
dan orang Amerika pertama yang berjalan di luar angkasa. Akademi
ini juga yang menghasilkan orang yang katanya menciptakan
permainan bisbol, dan para pemuda lain yang dari tahun ke tahun
menyempurnakan permainan sepakbola.
Kalian tahu ini, tapi banyak orang di Amerika yang tidak. George
C. Marshall, seorang lulusan VMI, pernah memberikan perintah ini:
"Aku menginginkan seorang perwira untuk sebuah misi rahasia dan
berbahaya. Aku menginginkan seorang pemain sepakbola West Point."
Hari ini, saat kalian meninggalkan tempat ini, saya tahu ada satu
hal yang tak akan pernah kalian rindukan dari tempat ini: menjadi
kadet. Namun bahkan seorang kadet di West Point pun ditempa
untuk menyadari bahwa dirinya memiliki posisi tersendiri di dunia.
Saya diberitahu bahwa para kadet, ketika ditanyai siapa yang mereka
nilai pangkatnya lebih rendah dari mereka, diwajibkan menjawab
seperti ini: "Anjing Kepala Sekolah, kucing Komandan, dan semua
laksamana di seluruh Angkatan Laut sialan, Pak." Rasanya, saya
tak akan menceritakan hal ini kepada Menteri Angkatan L a u t
West Point dipandu oleh tradisi, dan untuk menghormati "Anak-
Anak Emas Korps," saya akan mematuhi salah satu tradisi vang
kalian junjung paling tinggi. Sebagai Panglima Tertinggi, saya di
sini memberikan amnesti kepada semua kadet yang sedang dihu-
kum karena pelanggaran ringan. Kalian yang duduk di bagian be-
lakang mungkin terlalu cepat bergembira. Karena, seperti kalian li-
hat, saya akan mempersilakan Jenderal Lennox mendefinisikan se-
perti apa tepatnya arti "ringan" itu.
Setiap mata pelajaran West Point disiapkan untuk penugasan di

424
Pidato Sambutan West Point

Angkatan Bersenjata. Beberapa mata pelajaran West Point juga lahir


karena sejarah, agar lulusannya bisa mengambil bagian dalam pang-
gilan tugas besar baru untuk negara mereka. Saat berpidato di sini
di hadapan angkatan 1942, enam bulan setelah Pearl Harbor, Jenderal
Marshall berkata, "Kita harus bertekad, sebelum peperangan yang
mengerikan ini selesai, bendera kita akan diakui di seluruh dunia
sebagai simbol kemerdekaan di satu sisi, dan kekuatan yang luar
biasa di sisi yang lain."
Para perwira yang lulus tahun itu membantu mewujudkan misi
tersebut, mengalahkan Jepang dan Jerman, dan kemudian memba-
ngun kembali negara-negara itu dan menjadikannya sekutu. Lulusan
West Point pada 1940-an menghadapi bangkitnya tantangan besar
baru, tantangan komunisme imperial dan melawannya dari Korea,
Berlin, sampai Vietnam, dan dalam Perang Dingin, dari awal sampai
akhir. Dan ketika mereka memasuki masa pensiun, banyak dari per-
wira West Point tersebut menyaksikan sebuah dunia yang berubah.
Sejarah juga telah menyerukan panggilan kepada generasi kalian.
Pada tahun terakhir kalian di sini, Amerika diserang oleh musuh
yang keji dan kuat. Kalian lulus dari Akademi ini di zaman perang,
sehingga tempat kalian di militer Amerika kokoh dan terhormat.
Perang kita melawan teror baru saja mulai, namun di Afganistan
perang ini berjalan baik.
Saya bangga terhadap laki-laki dan perempuan yang telah ber-
tempur di bawah komando saya. Amerika sangat berterima kasih
kepada semua yang memanggul tugas perjuangan kemerdekaan,
dan kepada semuanya yang telah gugur membelanya. Negara ini
menghormati dan mempercayai militernya, dan kami yakin keme-
nangan kalian akan datang.
Perang ini akan sulit diramalkan. Namun, saya yakin akan hal
ini: ke mana pun kita membawanya, bendera Amerika akan berkibar
gagah bukan hanya demi kekuatan kita, namun demi kebebasan.
Perjuangan negara kita selalu lebih besar daripada pertahanan kita.
Kita bertempur, seperti yang selama ini kita lakukan, demi sebuah
perdamaian yang adil, sebuah perdamaian yang memihak kebebas-

425
Presiden George W. Bush

an manusia. Kita akan membela perdamaian dari ancaman teroris


dan tiran. Kita akan menjaga perdamaian dengan membangun hu-
bungan baik di antara negara-negara besar Dan kita akan meluaskan
perdamaian dengan mendorong munculnya masyarakat-masya-
rakat bebas dan terbuka di setiap benua.
Membangun perdamaian yang adil ini adalah kesempatan Ame-
rika, dan tugas Amerika. Mulai hari ini, hal ini juga merupakan tan-
tangan kalian, dan kita akan menghadapi tantangan ini bersama.
Kalian akan mengenakan seragam sebuah negara yang besar dan
unik. Amerika tak punya kerajaan untuk diluaskan ataupun utopia
untuk didirikan. Yang kita inginkan bagi orang lain tak berbeda de-
ngan yang kita inginkan bagi diri kita sendiri, aman dari kekerasan,
berkah kebebasan, dan harapan untuk hidup yang lebih baik.
Dalam mempertahankan perdamaian tersebut, kita menghadapi
ancaman yang belum pernah ada sebelumnya. Musuh-musuh di ma-
sa silam membutuhkan militer yang besar dan kapasitas industri
yang besar untuk mengancam rakyat Amerika dan negara kita.
Serangan 11 September hanya membutuhkan uang ratusan ribu do-
lar dan belasan orang jahat dan gila. Semua kekacauan dan pende-
ritaan yang mereka sebabkan datang dari uang yang nilainya tak
lebih dari harga sebuah tank. Bahaya belumlah berlalu. Pemerintah
ini dan rakyat Amerika sedang berjaga, kita siap, karena kita tahu
teroris punya uang lebih banyak, orang lebih banyak, dan rencana
lebih banyak.
Kebebasan menemui ancaman bahaya paling besar saat radikal-
isme berpadu dengan teknologi. Saat ini senjata kimia, biologi, dan
nuklir begitu menyebar, begitu pula dengan teknologi peluru kendali
balistik, sehingga negara-negara dan kelompok yang lemah sekali-
pun bisa memiliki kekuatan mengerikan untuk menyerang negara-
negara besar. Musuh-musuh kita telah mendeklarasikan maksud ini,
dan mereka telah kepergok mencari senjata-senjata mengerikan ini.
Mereka ingin punya kemampuan untuk memeras kita, merusak kita,
atau merusak teman-teman kita. Namun kita akan melawan mereka
dengan segala kekuatan kita.

426
Pidato Sambutan West Point

Selama abad terakhir, pertahanan Amerika sebagian besar ber-


sandar pada doktrin-doktrin Perang Dingin mengenai penghadang-
an dan pencegahan meluasnya pengaruh musuh. Dalam sejumlah
kasus, strategi-strategi ini masih berlaku. Namun ancaman baru juga
memerlukan pemikiran baru. Penghadangan, upaya pembalasan be-
sar-besaran terhadap negara-negara, tak ada artinya bagi jaringan
teroris misterius yang tak mempunyai negara atau warga untuk
membela. Pencegahan meluasnya pengaruh tidak mungkin dilaku-
kan ketika seorang diktator sinting yang memiliki senjata pemusnah
massal bisa mengirimkan senjata-senjata itu dengan peluru kendali
atau secara diam-diam memasok teroris sekutunya.
Kita tidak bisa membela Amerika dan teman-teman kita dengan
cuma berharap semoga malapetaka tak datang. Kita tak boleh men-
yakini kata-kata para tiran, yang menandatangani traktat pemus-
nahan senjata, dan kemudian secara sistematis melanggarnya. Jika
kita menunggu ancaman-ancaman itu betul-betul terwujud, kita
akan terlambat.
Pertahanan dalam negeri dan pertahanan peluru kendali adalah
bagian dari keamanan yang lebih kuat, dan mereka adalah prioritas
penting bagi Amerika. Kita menggempur musuh, merusak renca-
nanya, dan menghadapi ancaman terburuk sebelum mereka muncul.
Di dunia yang telah kita masuki, satu-satunya jalan menuju kesela-
matan adalah tindakan. Dan negara ini akan bertindak.
Keamanan kita membutuhkan intelijen terbaik, untuk menying-kap
ancaman yang tersembunyi di gua-gua dan tumbuh di laboratorium-
laboratorium. Keamanan kita akan memerlukan modernisasi agen-agen
dalam negeri seperti FBI, sehingga mereka akan siap bertindak, dan
bertindak dengan cepat, melawan bahaya. Keamanan kita akan mem-
butuhkan perubahan militer yang akan kalian pimpin, militer yang
harus siap untuk menyerang kapan pun saat diperintahkan, bahkan di
sudut-sudut gelap dunia. Dan keamanan kita akan mengharuskan se-
mua warga Amerika berpandangan ke depan dan bersikap tegas, dan
siap dengan tindakan preemptif (mendahului musuh) yang dibutuhkan
untuk mempertahankan kebebasan dan hidup kita.

427
Presiden George W. Bush

Tugas di depan sangat sulit. Pilihan-pilihan yang kita hadapi ru-


mit. Kita harus menyingkap sel-sel teror di 60 negara lebih, meng-
gunakan semua sarana keuangan, intelijen, dan penegakan hukum.
Bersama dengan teman dan sekutu, kita harus menentang pengem-
bangbiakan teror dan melawan rezim yang menyokongnya, sesuai
kebutuhan setiap kasus. Sejumlah negara memerlukan latihan militer
untuk melawan teror, dan kita akan menyediakannya. Negara-ne-
gara lain menentang teror, namun menoleransi kebencian yang me-
nyebabkan munculnya teror—dan semua itu harus berubah. Kita
akan mengirim diplomat-diplomat ke mana pun mereka dibutuh-
kan, dan kita akan mengirim kalian, prajurit kita, ke mana pun kalian
dibutuhkan.
Semua negara yang memutuskan untuk melakukan agresi dan
teror akan menanggung akibatnya. Kami tidak akan menyerahkan
keselamatan Amerika dan kedamaian planet ini ke tangan beberapa
teroris dan tiran gila. Kita akan menyingkirkan ancaman gelap ini
dari negara kita dan dunia.
Perang melawan teror membutuhkan tekad dan kesabaran, oleh
sebab itu perang ini juga memerlukan tujuan moral yang tegas. Ma-
ka, dalam hal ini, perjuangan kita tak berbeda dengan masa-masa
Perang Dingin. Seperti halnya saat itu, saat ini musuh-musuh kita
adalah orang-orang totaliter, punya keyakinan kuat yang tak meng-
hargai martabat manusia. Seperti halnya saat itu, saat ini pun mereka
ingin memaksakan tatanan yang muram, untuk mengontrol semua
manusia dan cara hidupnya.
Amerika menghadapi komunisme imperial dengan mengguna-
kan beragam cara—diplomatik, ekonomi, dan militer. Namun
kejelasan moral adalah hal penting bagi kemenangan kita dalam
Perang Dingin. Ketika para pemimpin seperti John F. Kennedy dan
Ronald Reagan menolak untuk tunduk pada brutalitas para tiran,
mereka memberi harapan bagi tahanan, pembangkang, dan orang-
orang yang diasingkan. Mereka juga berhasil mengerahkan negara-
negara bebas untuk ikut serta dalam perjuangan besar.
Sebagian pihak khawatir bahwa bagaimanapun juga tidak-diplo-

428
Pidato Sambutan West Point

matis atau tak-sopan untuk bicara dengan menggunakan kata-kata


benar dan salah. Saya tak setuju. Situasi-situasi yang berbeda me-
mang membutuhkan metode yang berbeda, namun tidak moralitas
yang berbeda. Kebenaran moral sama di semua budaya, setiap wak-
tu, dan di semua tempat. Kebrutalan terhadap wanita selalu salah,
kapan pun dan di mana pun. Netralitas tak mungkin hadir di antara
keadilan dan kekejaman, antara yang tak bersalah dan yang bersalah.
Kita sedang dalam konflik antara yang baik dan buruk, dan Amerika
akan menyebut si jahat dengan namanya. Saat menghadapi orang
jahat dan rezim-rezim tanpa hukum, kita tidak menciptakan masa-
lah, kita menyingkap sebuah masalah. Dan kita akan memimpin
dunia untuk melawannya.
Saat kita membela perdamaian, kita juga punya kesempatan ber-
sejarah untuk menjaga perdamaian. Kita memiliki peluang terbaik
sejak bangkitnya negara bangsa di abad ke-17 untuk membangun
sebuah dunia di mana negara-negara besar bersaing dengan damai,
dan bukannya bersiap untuk perang. Sejarah abad terakhir, secara
khusus, didominasi oleh serangkaian persaingan nasional yang ke-
jam yang menyebabkan munculnya medan pertempuran dan pusara
di sepanjang Bumi. Jerman memerangi Prancis, Poros melawan Se-
kutu, dan Timur melawan Barat, di dalam perang bayangan dan
ketegangan yang lahir karena perimbangan kekuatan, dan melawan
bayang-bayang Kiamat nuklir.
Persaingan di antara negara-negara besar adalah sesuatu yang
tak terhindarkan, namun tidak demikian halnya dengan konflik ber-
senjata. Sudah makin banyak negara beradab yang memihak kita,
disatukan oleh bahaya bersama kekerasan teroris dan kekacauan.
Amerika telah memiliki, dan berniat untuk terus menjaga, kekuatan
militer yang melebihi tantangan yang ada hingga membuat per-
lombaan senjata yang meresahkan jadi tak berarti, untuk membatasi
persaingan dagang, dan untuk mengejar perdamaian dengan cara-
cara lain.
Saat ini negara-negara besar juga kian disatukan oleh nilai-nilai
bersama, dan tidak terpecah-pecah oleh ideologi-ideologi yang ber-

429
Presiden George W. Bush

tentangan. Amerika Serikat, Jepang, dan teman-teman kita di Pasifik,


dan sekarang semua Eropa, berbagi sebuah komitmen yang dalam
untuk kebebasan manusia, yang menyatu dalam persekutuan yang
kuat seperti NATO. Dan gelombang pasang kebebasan muncul di
banyak negara lain.
Selama beberapa generasi, para perwira West Point berencana
dan berlatih untuk bertempur melawan Uni Soviet. Saya baru saja
kembali dari sebuah Rusia vang baru, yang sekarang merupakan
sebuah negara yang bergerak menuju demokrasi, dan menjadi mitra
kita dalam perang melawan teror. Bahkan di Cina, para pemimpin
menemukan bahwa kebebasan ekonomi adalah satu-satunya sumber
yang ada bagi kekayaan nasional. Pada waktunya, mereka akan men-
dapati bahwa kebebasan sosial dan politik adalah satu-satunya sum-
ber kebenaran nyata dari kebesaran nasional.
Ketika negara-negara besar meyakini nilai-nilai yang sama, kita
menjadi lebih mampu menghadapi konflik wilayah yang serius
secara bersama-sama. Kita juga menjadi lebih mampu bekerjasama
mencegah penyebaran kekerasan atau kekacauan ekonomi. Di masa
silam, negara-negara besar berseberangan dalam konflik wilayah
yang ruwet, sehingga perpecahan makin dalam dan rumit. Sekarang,
dari Timur Tengah sampai Asia Selatan, kita telah berhasil merangkul
koalisi internasional yang luas untuk meningkatkan tekanan bagi
perdamaian. Kita harus membangun hubungan negara yang kuat
dan bagus di waktu yang baik; membantu menangani krisis di waktu
yang buruk. Amerika membutuhkan mitra-mitra untuk menjaga per-
damaian, dan kita akan bekerja dengan setiap negara yang sama-
sama meyakini tujuan mulia ini.
Dan akhirnya, tak ada yang lebih diinginkan Amerika kecuali
hilangnya perang. Kita memiliki kesempatan besar untuk meluaskan
sebuah perdamaian yang adil, dengan mengganti kemiskinan, pe-
nindasan, dan kebencian di seluruh dunia dengan harapan hari esok
yang lebih baik. Nyaris sepanjang sejarah, kemiskinan bertahan, tak
terhindarkan, dan hampir universal. Dalam beberapa dekade ter-
akhir, kita telah melihat negara-negara mulai dari Cile hingga Ko-

430
Pidato Sambutan West Point

rea Selatan membangun ekonomi modern dan masyarakat yang


lebih bebas, mengangkat jutaan orang dari lembah kemiskinan. Dan
tak ada misteri dalam pencapaian ini.
Abad ke-20 berakhir dengan satu-satunya model kemajuan
manusia yang mampu bertahan, yang didasarkan pada tuntutan
mutlak terhadap martabat manusia, aturan hukum, batas-batas ke-
kuasaan negara, penghormatan terhadap wanita, pemilikan pribadi,
kebebasan berbicara, hukum yang setara, dan toleransi kehidupan
beragama. Amerika tak bisa memaksakan visi ini, namun kita bisa
mendukung dan memberi ganjaran pemerintahan-pemerintahan
yang membuat keputusan yang benar untuk rakyat mereka sendiri.
Dalam bantuan pembangunan kita, dalam upaya diplomatik kita,
dalam siaran internasional kita, dan dalam bantuan pendidikan kita,
Amerika Serikat akan mendorong sikap moderat, toleransi, dan hak-
hak azasi manusia. Dan kita akan membela perdamaian yang me-
mungkinkan semua kemajuan.
Ketika menyangkut hak-hak bersama dan kebutuhan semua or-
ang, tak ada yang namanya benturan peradaban. Syarat-syarat ke-
bebasan bisa diaplikasi sepenuhnya untuk Afrika, Amerika Latin,
dan seluruh dunia Islam. Rakyat dari negara-negara Islam ingin dan
berhak mendapatkan kebebasan dan kesempatan yang sama seperti
rakyat negara-negara lain. Dan pemerintah mereka harus mende-
ngarkan harapan mereka.
Sebuah negara yang benar-benar kuat akan mengizinkan orang
yang berbeda pendapat dari semua kelompok untuk mengejar
aspirasi mereka dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan. Negara
yang bergerak maju akan menggelar reformasi ekonomi, untuk me-
lepas energi kewirausahaan yang besar dari rakyatnya. Negara yang
maju pesat akan menghormati hak kaum wanita, karena tak ada
satu masyarakat pun yang bisa makmur di saat ia meniadakan ke-
sempatan bagi separuh warga negaranya. Para ibu, ayah, dan anak-
anak di seluruh dunia Islam, dan di seluruh dunia, memiliki rasa
takut dan aspirasi yang sama. Di dalam kemiskinan, mereka berju-
ang. Di dalam tirani, mereka menderita. Dan seperti yang kita lihat

431
Presiden George W. Bush

di Afganistan, di dalam pembebasan, mereka bersuka ria.


Amerika memiliki tujuan yang lebih besar dari pengendalian an-
caman dan pembendungan kebencian. Demi dunia yang adil dan
damai, kita akan bekerja keras melebihi perang melawan teror.
Perwira yang lulus saat West Point berusia dua ratus tahun ini
sekarang memasuki drama ini. Dengan semua personel Angkatan
Darat Amerika Serikat, kalian akan bertempur melindungi sesama
warga walaupun bahaya kematian ada di depan mata. Kalian akan
membantu membangun sebuah perdamaian yang menjadikan jutaan
orang di seluruh dunia bisa hidup dalam kebebasan dan tumbuh
dalam kemakmuran. Kalian akan menghadapi saat-saat tenang, dan
saat-saat krisis. Dan setiap ujian akan membuktikan bahwa kalian
telah siap—karena kalian adalah perwira West Point. Kalian me-
ninggalkan tempat ini dengan membawa watak Akademi ini, kalian
membawa cita-cita tertinggi negara kita.
Menjelang akhir hidupnya, Dwight Eisenhower mengenang hari
pertama ia berdiri di kompleks West Point. "Perasaan itu menda-
tangiku," katanya, "kata-kata 'Amerika Serikat', mulai sekarang dan
seterusnya akan punya makna yang berbeda daripada sebelumnya.
Mulai saat ini, ungkapan itu berarti bangsa ini yang akan aku abdi,
bukan diriku sendiri."
Hari ini, hari terakhir kalian di West Point. Kalian akan memulai
sebuah kehidupan dinas militer yang berbeda dengan orang lain.
Kalian telah menjawab panggilan untuk menempuh kesukaran demi
cita-cita, kalian bersedia mengambil risiko demi kehormatan. Ketika
setiap hari berakhir, kalian tahu bahwa kalian telah dengan sepenuh
hati menjalankan tugas. Semoga kalian senantiasa menjalankan tu-
gas dengan standar tinggi lembaga besar Amerika ini. Semoga kalian
selalu sepadan dengan tradisi panjang vang telah membentang dua
abad ini.
Atas nama bangsa, saya menyatakan selamat kepada semuanya
untuk pangkat yang kalian dapatkan dan untuk hal berharga yang
kalian berikan untuk Amerika Serikat. Semoga Tuhan memberkati
kalian semua.

432
16

Ambisi Imperial Amerika

G. John Ikcnbcrry*

PESONA TINDAKAN PENCEGAHAN

DALAM perang melawan terorisme pemerintahan


BAYANG-BAYANG

Bush, beredar ide-ide baru yang dahsyat mengenai strategi besar


Amerika Serikat dan penataan ulang dunia unipolar saat ini. Ide-
ide ini menyerukan penggunaan kekuatan Amerika yang unilateral
dan bersifat mencegah lebih dahulu {preemptive), bahkan preventif,
yang bila mungkin difasilitasi oleh koalisi negara-negara yang punya
kehendak sama—namun betul-betul tidak dikekang oleh aturan dan
norma komunitas internasional. Pada tataran ekstrem, ide-ide ini
membentuk sebuah visi neoimperial di mana Amerika Serikat me-
lekatkan pada dirinya sendiri sebuah peran global untuk menetap-
kan standar, menentukan ancaman, menggunakan kekuatan, dan
menegakkan keadilan. Ini adalah sebuah visi di mana kedaulatan

4 G J O H N I K C N B C R R Y adalah Peter R Krogh Professor of Geopolitics and Global


Justice, dengan afiliasi bersama dalam Departement of Government, di Edmund
A. Walsh School of Foreign Service, Georgetown University. Dicetak kembali atas
izin Foreign Affairs, S e p t e m b e r / O c t o b e r 2002. Hak cipta © 2002 oleh Council on
Foreign Relations, Inc.

433
G . John Ikenberry

Amerika menjadi makin absolut justru ketika ia menjadi makin ber-


syarat bagi negara-negara yang menentang standar perilaku inter-
nal dan eksternal Washington. Ini adalah visi yang menjadi perlu—
setidaknya di mata pendukungnya—dengan adanya ancaman te-
roris dewasa ini yang punya karakter baru dan apokaliptis, dan oleh
dominasi global Amerika yang belum pernah ada sebelumnya. Ide-
ide strategis dan kehendak yang radikal ini dapat mengubah tatanan
dunia dewasa ini dalam sebuah cara, yang herannya, tak bisa dila-
kukan oleh akhir Perang Dingin.
Kebutuhan mendesak untuk memerangi terorisme di Afganistan
dan perdebatan tentang langkah eampur-tangan di Irak telah menga-
burkan kedalaman tantangan geopolitik ini. Cetak biru belum diha-
silkan, dan pertemuan tingkat tinggi ala Yalta belum digelar, namun
berbagai tindakan sedang dalam proses untuk secara dramatis meng-
ubah tata tan politik yang telah dibangun Amerika Serikat dan mitra-
nya sejak 1940-an. Realitas kembar baru dari zaman kita—terorisme
yang membawa malapetaka hebat dan kekuatan unipolar Amerika—
benar-benar mengharuskan adanya sebuah pemikiran ulang menge-
nai prinsip-prinsip yang mengatur tatanan internasional. Amerika
dan negara-negara besar lain sungguh memerlukan sebuah konsen-
sus baru atas ancaman teroris, senjata pemusnah massal (SPM),
penggunaan kekuatan, dan aturan main global. Keharusan ini mem-
butuhkan apresiasi yang lebih baik terhadap ide-ide yang datang
dari pemerintah. Namun sebagai balasannya, pemerintah harus me-
ngerti kebaikan-kebaikan tatanan lama yang ingin ia gantikan.

Kelahiran strategi besar neoimperial Amerika mengancam ter-


koyaknya tatanan komunitas internasional dan kemitraan politik
tepat pada saat komunitas dan kemitraan tersebut sangat diperlukan.
Ini adalah sebuah pendekatan yang penuh dengan bahaya dan se-
pertinya akan gagal. Ini bukan saja tidak bisa dipertahankan secara
politik, namun juga merusak secara diplomatis. Dan sekiranya seja-
rah adalah sebuah panduan, hal ini akan memicu antagonisme dan
perlawanan yang malah akan membuat Amerika berada dalam
dunia yang lebih bermusuhan dan terbelah-belah.

434
Ambisi Imperial Amerika

W A R I S A N Y A N G TERBUKTI

luar negeri Amerika sejak 1940-an telah dibentuk


C I R I UTAMA KEBIJAKAN

dengan dua strategi besar yang telah membangun tatanan internasional


modem. Salah satunya adalah orientasi realis, yang berkisar seputar
pencegahan perluasan kekuatan politik musuh, penghadangan, dan
pemeliharaan keseimbangan kekuatan global. Menghadapi Uni Soviet
yang berbahaya dan ekspansif sejak 1945, Amerika Serikat melangkah
maju mengisi kekosongan yang ditinggalkan Kerajaan Inggris yang
melemah dan tatanan Eropa yang runtuh untuk memberikan perim-
bangan kekuatan terhadap Stalin dan Tentara Merahnya.
Tolok ukur dari strategi ini adalah pencegahan perluasan keku-
atan musuh, yang bertujuan meniadakan kemampuan Uni Soviet
untuk mengembangkan lingkup pengaruhnya. Tatanan terjaga de-
ngan mengatur keseimbangan bipolar antara kubu Amerika dan So-
viet. Stabilitas tercapai melalui penghadangan nuklir. Untuk pertama
kalinya, senjata nuklir dan doktrin yang saling memastikan kehan-
curan membuat perang antara negara-negara besar menjadi tidak
rasional. Namun pencegahan perluasan kekuatan musuh dan kese-
imbangan kekuatan global berakhir dengan ambruknya Uni Soviet
pada 1991. Penghadangan nuklir tak lagi menjadi logika utama dari
tatanan yang ada, sekalipun hal ini masih menjadi sisa masalah yang
berlanjut menggoyang stabilitas hubungan Cina, Rusia, dan Barat.
Strategi ini telah menghasilkan berkah kelembagaan dan kemitra-
an untuk Amerika. Yang paling penting adalah NATO dan aliansi
Amerika Serikat-Jepang, dua kemitraan yang dipimpin Amerika
Serikat yang telah berhasil bertahan hingga akhir Perang Dingin de-
ngan menghadirkan benteng stabilitas melalui komitmen dan ja-
minan. Amerika Serikat mempertahankan kehadiran yang mencolok
di Eropa dan Asia Timur; mitra-mitra aliansinya mendapatkan per-
lindungan keamanan dan juga hubungan yang terjaga dengan ke-
kuatan militer terdepan di dunia. Namun perimbangan Perang Di-
ngin telah menghasilkan lebih dari sekadar struktur aliansi utilitari-
an; ia juga membentuk sebuah tatanan politik yang memiliki nilai

435
G . John Ikenberry

di dalam dirinya sendiri.


Strategi besar ini mengandaikan suatu sebuah kerangka pembi-
caraan dan kesepakatan yang longgar untuk menyelesaikan perbe-
daan-perbedaan: negara-negara besar semakin saling menghormati,
dan mereka saling menerima hingga berbagai kepentingan yang be-
tul-betul vital muncul. Urusan-urusan dalam negeri dari negara-
negara ini akan tepat seperti sebelumnya—dalam negeri. Negara-
negara besar saling bersaing, dan sekalipun perang tak terpikirkan,
kepiawaian negarawan yang tenang dan keseimbangan kekuatan
menawarkan harapan terbaik untuk stabilitas dan perdamaian.
George W. Bush dalam kampanye menuju kursi kepresidenan
menekankan beberapa tema ini. Ia menjabarkan pendekatannya
terhadap kebijakan luar negeri sebagai "realisme-baru": fokus upaya
Amerika bergeser dari tugas-tugas era Clinton seperti pembangunan
bangsa, kerja sosial internasional, dan penggunaan kekuatan yang
tidak pilih-pilih. Upaya Bush untuk mengintegrasikan Rusia kc da-
lam tatanan keamanan Barat merupakan manifestasi paling penting
dari jalannya strategi besar realis ini. Melunaknya retorika konfron-
tasional Washington terhadap Cina juga mencerminkan penekanan
ini. Jika negara-negara besar Eropa dan Asia berjalan menurut aturan
ini, tatanan kekuatan besar akan tetap stabil. (Karena Eropa sungguh-
sungguh bukan sebuah kekuatan besar—atau setidaknya tampak
tidak tepat untuk logika politik negara-negara besar—sekarang ia
punya banyak ketidakcocokan dengan Amerika Serikat.)
Strategi besar lain, yang ditempa selama Perang Dunia II ketika
Amerika Serikat merencanakan rekonstruksi ekonomi dunia, adalah
pemberian arah liberal. Strategi ini ingin membangun tatanan di
seputar hubungan politik yang sudah dilembagakan di antara pasar-
pasar negara demokrasi, yang didukung oleh pembukaan ekonomi.
Namun, agenda ini tidak semata merupakan inspirasi dari pelaku
bisnis dan ekonom Amerika. Selalu ada tujuan geopolitiknya juga.
Bila strategi besar realis Amerika ditujukan untuk mengimbangi ke-
kuatan Soviet, strategi besar liberalnya ditujukan untuk menghindari
langkah balik ke 1930-an, sebuah era blok-blok regional, konflik

436
Ambisi Imperial Amerika

dagang, dan persaingan strategis. Perdagangan terbuka, demokrasi,


dan hubungan kelembagaan multilateral berjalan seiringan. Apa
yang mendasari strategi ini adalah pandangan bahwa tatanan
internasional yang berbasis aturan, terutama yang di dalamnya
Amerika Serikat m e n g g u n a k a n k e k u a t a n p o l i t i k n y a untuk
mendapatkan aturan-aturan yang cocok, akan sangat melindungi
kepentingan, memaksakan kekuatan, dan memperluas pengaruh
Amerika.
Strategi besar ini digelar melalui serangkaian inisiatif pascaperang
yang nampak seperti "politik-politik rendahan": lembaga-lembaga
Bretton Woods, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi. Secara
bersamaan, mereka membentuk lapis demi lapis inisiatif penyatuan
yang mengikat erat negara-negara demokrasi industri. Selama 1990-
an, Amerika Serikat terus-menerus menjalankan strategi besar lib-
eral ini. Baik pemerintahan Bush yang pertama maupun Clinton
mencoba untuk menyampaikan sebuah visi tatanan dunia yang tak
tergantung pada ancaman luar atau pada kebijakan yang eksplisit
mengenai perimbangan kekuatan. Bush senior bicara mengenai
pentingnya komunitas transatlantik dan menyampaikan gagasan
tentang wilayah Asia-Pasifik yang lebih terintegrasi secara penuh.
Dalam kedua kasus, strategi ini menawarkan sebuah visi positif
aliansi dan kemitraan yang dibangun di seputar nilai-nilai bersama,
tradisi, timbal-balik kepentingan diri, dan pemeliharaan stabilitas.
Pemerintahan Clinton juga berusaha menjabarkan tatanan pasca-
Perang Dingin dalam pengertian ekspansi demokrasi dan pasar
terbuka. Dalam visi ini, demokrasi memberikan landasan untuk
komunitas global dan regional, serta perdagangan dan arus modal
adalah kekuatan pendorong reformasi politik dan integrasi.

P e m e r i n t a h a n Bush yang s e k a r a n g tak begitu b e r h a s r a t


menjalankan strategi besar pandangan-Clinton ini, namun ia masih
memasukkan ide-ide strategi ini dalam berbagai cara. Dukungan
terhadap masuknya Cina ke dalam WTO didasarkan pada sebuah
antisipasi liberal bahwa pasar bebas dan integrasi ke dalam tatanan

437
G . John Ikenberry

ekonomi Barat akan menghasilkan tekanan kepada reformasi politik


Cina dan menyurutkan kebijakan luar negerinya yang agresif. Du-
kungan pemerintah untuk putaran negosiasi dagang multilateral
tahun lalu di Doha, Qatar, juga diberikan dengan alasan keuntungan
ekonomi dan politik dari perdagangan yang lebih bebas. Setelah 11
September, Perwakilan Dagang Amerika Serikat, Robert Zoellick,
bahkan mengaitkan otoritas perluasan perdagangan dengan perang
melawan terorisme: perdagangan, pertumbuhan, integrasi, dan sta-
bilitas politik berjalan bersama. Richard Haass, direktur perencanaan
kebijakan di Departemen Luar Negeri, baru-baru ini berpendapat
bahwa "tujuan utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat adalah
mengintegrasikan negara dan organisasi lain ke dalam kesepakatan
yang akan menjaga sebuah dunia yang konsisten dengan kepen-
tingan dan nilai-nilai Amerika Serikat"—sekali lagi, ini adalah sebu-
ah gaung strategi besar liberal. Tindakan perdagangan proteksionis
terbaru dari pemerintah dalam komoditi baja dan pertanian telah
memicu jeritan kencang dari seluruh dunia justru karena pemerin-
tah-pemerintah lain khawatir Amerika Serikat mungkin mundur da-
ri strategi liberal pascaperang ini.

TAWAR-MENAWAR BERSEJARAH AMERIKA

D U A STRATEGI BESARini berakar dalam tradisi intelektual yang ber-


lainan, bahkan berlawanan. Namun, selama 50 tahun terakhir me-
reka telah bekerja bersama dengan sangat baik. Strategi besar realis
menciptakan sebuah alasan politik untuk membentuk komitmen ke-
amanan besar di seluruh dunia. Strategi liberal menghasilkan agenda
positif untuk kepemimpinan Amerika. Amerika Serikat dapat menja-
lankan kekuasaannya dan mendapatkan kepentingan nasionalnya,
namun ia melakukannya dalam cara yang sedemikian rupa sehingga
membantu memperkuat tatanan komunitas internasional. Kekuatan
Amerika tidak menjadikan tatanan dunia tidak stabil; ia malah yang
membuatnya stabil. Perkembangan dari kesepakatan berdasarkan

438
Ambisi Imperial Amerika

aturan dan kemitraan keamanan-politik ini bagus untuk Amerika


Serikat dan sebagian besar dunia. Pada akhir 1990-an, hasilnya ada-
lah tatanan politik internasional yang besar dan sukses serta belum
pernah ada sebelumnya: sebuah koalisi global dari negara-negara
demokrasi yang diikat bersama melalui pasar, lembaga, dan ke-
mitraan keamanan.
Tatanan internasional ini dibangun berdasarkan dua tawar-
menawar bersejarah. Yang pertama adalah komitmen Amerika Se-
rikat untuk memberi mitra Eropa dan Asianya perlindungan kea-
manan dan akses ke pasar, teknologi, dan pasokan barang-barang
Amerika di dalam sebuah ekonomi dunia yang terbuka. Imbalannya,
negara-negara ini setuju untuk menjadi mitra yang bisa diandalkan
dengan memberikan dukungan diplomatik, ekonomi, dan logistik
kepada Amerika Serikat saat negara ini menjalankan kepemimpinan
tatanan pascaperang Barat yang lebih luas. Yang lainnya adalah ta-
war-menawar liberal yang berkaitan dengan keraguan akan kekua-
saan Amerika. Negara-negara Asia Timur dan Eropa setuju untuk
menerima kepemimpinan Amerika dan beroperasi di dalam sistem
ekonomi dan politik yang telah disepakati. Amerika Serikat, sebagai
balasannya, membuka dan mengikatkan dirinya untuk mitra-mitra-
nya. Dalam kenyataannya, Amerika Serikat membangun sebuah
koalisi mitra yang terlembagakan dan memperkuat stabilitas hu-
bungan yang saling menguntungkan ini dengan membuat dirinya
"userfriendl/'—yaitu, dengan bermain sesuai aturan dan mencip-
takan proses politik yang terus berjalan yang memfasilitasi konsul-
tasi dan pembuatan keputusan bersama. Amerika Serikat membuat
kekuatannya aman bagi dunia, dan sebagai balasannya dunia setuju
untuk hidup di dalam sistem Amerika Serikat. Tawar-menawar ini
dimulai sejak 1940-an, namun mereka terus menggelinding sampai
tatanan pasca-Perang Dingin. Hasilnya adalah sistem internasional
yang paling stabil dan makmur dalam sejarah dunia. Namun ide-
ide baru di dalam pemerintahan Bush—yang terkristalkan oleh pe-
ristiwa 11 September dan dominasi Amerika Serikat—mengacaukan
tatanan ini dan tawar-menawar politik yang menyertainya.

439
G . John Ikenberry

S E B L ' A H S T R A T E G I BESAR BARU

sejak awal Perang Dingin, sebuah strategi


U N T U K PERTAMA KALINYA

besar baru muncul di Washington. Strategi ini muncul terutama seba-


gai tanggapan terhadap terorisme, namun ia juga merupakan pan-
dangan yang lebih luas mengenai bagaimana Amerika Serikat seha-
rusnya menggunakan kekuatan dan mengatur tatanan dunia. Menu-
rut paradigma baru ini, Amerika tidak lagi seterikat dulu kepada
mitra-mitranya dan aturan-aturan dan lembaga-lembaga global di
saat ia menjalankan peran yang lebih unilateral dan antisipatif dalam
melawan ancaman teroris dan menghadapi negara-negara merah
yang mencari SPM (senjata pemusnah massal). Amerika Serikat akan
menggunakan kekuatan militernya yang tak tertandingi untuk
mengatur tatanan global.
Strategi besar baru ini memiliki tujuh unsur. Pertama, sebuah ko-
mitmen mendasar untuk mempertahankan sebuah dunia unipolar
di mana Amerika Serikat tak memiliki pesaing yang seimbang. Tak
boleh ada koalisi negara-negara besar tanpa Amerika Serikat yang
meraih hegemoni. Bush membuat poin ini sebagai bagian terpenting
kebijakan keamanan Amerika dalam pidato sambutannya di West
Point pada Juni lalu: "Amerika memiliki, dan berniat untuk terus
menjaga, kekuatan militer yang melebihi tantangan yang ada—dan
dengan demikian membuat perlombaan senjata yang meresahkan
jadi tak berarti, membatasi persaingan dagang, dan mengejar per-
damaian dengan cara-cara lain." Amerika Serikat tidak akan mencari
keamanan melalui strategi realis yang lebih rendah hati yang ber-
operasi di dalam sebuah sistem global perimbangan kekuatan atau-
pun mengelar sebuah strategi liberal di mana lembaga, negara de-
mokrasi, dan pasar terpadu secara bersamaan mengurangi nilai pen-
ting politik kekuatan. Amerika akan menjadi sedemikian kuatnya
dibanding negara-negara besar lain sehingga rivalitas strategis dan
persaingan di antara negara-negara besar akan menghilang, dan
m e m b u a t s e m u a n y a — b u k a n cuma Amerika S e r i k a t — d a l a m
keadaan lebih baik.

440
Ambisi Imperial Amerika

Tujuan ini muncul terlalu awal di akhir pemerintahan Bush se-


nior dalam sebuah memorandum Pentagon yang bocor yang ditulis
oleh Asisten Menteri Pertahanan saat itu, Paul Wolfowitz. Dengan
runtuhnya Uni Soviet, tulisnya, Amerika Serikat harus bertindak
untuk mencegah bangkitnya pesaing-pesaing yang seimbang di
Eropa dan Asia. Namun dekade 1990-an membuat tujuan strategis
ini dapat diperdebatkan. Amerika Serikat tumbuh lebih cepat dari-
pada negara-negara besar lain selama dekade itu, ia tak banyak me-
ngurangi belanja militer, dan ia mendominasi investasi dalam ke-
majuan teknologi. Namun, saat ini, tujuan baru tersebut adalah mem-
buat keunggulan-keunggulan ini permanen—sebuah fait accompli
yang menganjurkan negara-negara lain tidak usah repot-repot
mencoba mengejar. Beberapa pemikir telah menjabarkan strategi ini
sebagai "terobosan", di mana Amerika Serikat bergerak sedemikian
cepat untuk mengembangkan keunggulan tekologi (dalam bidang
robot, laser, satelit, senjata tepat sasaran, dll) hingga tak ada negara
atau koalisi yang akan bisa menantangnya sebagai pemimpin, pelin-
dung, dan penegak hukum global.

Unsur kedua adalah analisis baru yang dramatis mengenai an-


caman global dan bagaimana mereka harus diserang. Realitas baru
yang suram ini adalah bahwa sekelompok kecil teroris—barangkali
dibantu oleh negara jahat—dalam waktu singkat mungkin menda-
patkan senjata nuklir, kimia, dan biologi yang sangat berbahaya dan
bisa menyulut kerusakan mahabesar. Pemerintah meyakini kelom-
pok-kelompok ini tak bisa dipenuhi tuntutannya atau dihadang se-
hingga mereka harus dilenyapkan. Menteri Pertahanan Donald
Rumsfeld telah menyatakan dengan elegan pandangan yang mena-
kutkan ini: berkaitan dengan berbagai ancaman yang menghadang
Amerika Serikat, katanya, "Ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita
tahu ... ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu. Namun
ada juga hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu. Setiap
tahun, kita menjumpai sedikit lagi ketidaktahuan-ketidaktahuan
ini." Dengan kata lain, bisa ada kelompok teroris vang tak seorang
pun tahu. Mereka mungkin punya senjata nuklir, kimia, atau biologi

441
G . John Ikenberry

yang mana Amerika Serikat tidak tahu mereka bisa mendapatkan-


nya, dan mungkin sanggup dan akan melepaskan serangan tanpa
peringatan. Di zaman teror, tak ada ruang bagi kesalahan. Jaringan
kecil dari orang-orang yang marah bisa menyulut kerusakan yang
tak terbayangkan bagi seluruh dunia. Mereka bukanlah negara-
bangsa, dan mereka tidak bertindak menurut aturan main bersama.
Unsur ketiga dari strategi baru ini menyatakan bahwa konsep
penghadangan Perang Dingin sudah ketinggalan zaman. Pengha-
dangan, kedaulatan, dan keseimbangan kekuatan berjalan bersama.
Jika penghadangan tak lagi bisa dipertahankan, bangunan besar
realis mulai ambruk. Ancaman hari ini bukanlah negara besar lain
yang harus dihadapi melalui serangan senjata nuklir balasan, mela-
inkan jaringan teroris transatlantik yang tak punya alamat. Mereka
tak bisa dihadang karena mereka sanggup untuk mati demi paham
mereka ataupun bisa menghindar dari serangan balasan. Strategi
bertahan lama yang membangun peluru-peluru kendali yang bisa
menangkal serangan pertama dan bisa digunakan untuk serangan
balasan guna menghukum si penyerang tak lagi menjamin keaman-
an. Maka, satu-satunya pilihan adalah menyerang.
Menurut kubu ini, penggunaan kekuatan dengan demikian perlu
dilakukan dengan cara pencegahan dan mungkin bahkan preven-
tif—menghantam ancaman potensial sebelum mereka bisa meng-
hadirkan persoalan besar. Namun premis ini merusak aturan inter-
nasional yang lama mengenai pembelaan diri dan norma Perseri-
katan Bangsa-Bangsa mengenai penggunaan kekuatan yang sesuai.
Rumsfeld telah melakukan pembenaran untuk tindakan mendahului
musuh ini dengan menyatakan bahwa "ketiadaan bukti bukanlah
bukti ketiadaan senjata pemusnah massal." Namun pendekatan se-
macam ini membuat norma-norma internasional mengenai pem-
belaan diri—yang diabadikan dalam Pasal 51 Piagam PBB—menjadi
hampir tak bermakna lagi. Pemerintah harus mengingat bahwa ke-
tika jet-jet Israel mengebom reaktor nuklir Irak di Osirak pada 1981,
dalam apa yang Israel gambarkan sebagai tindakan pembelaan diri,
dunia mengutuknya sebagai tindak agresi. Bahkan Perdana Menteri

442
Ambisi Imperial Amerika

Margaret Thatcher dan duta besar Amerika untuk PBB, Jeane


Kirkpatrik, mengecam tindakan ini, dan Amerika Serikat ikut me-
loloskan sebuah resolusi PBB yang mengutuknya.
Doktrin keamanan pemerintahan Bush membawa negara ini
menyusuri turunan licin yang sama. Bahkan tanpa sebuah ancaman
nyata, Amerika Serikat kini menyatakan memiliki sebuah hak untuk
menggunakan kekuatan militer terlebih dahulu atau preventif. Di
West Point, Bush dengan ringkas menyatakan bahwa, "Militer harus
siap untuk menyerang kapan pun saat diperintahkan, di sudut gelap
mana pun di dunia. Semua negara yang memutuskan untuk mela-
kukan agresi dan teror akan membayar mahal." Pemerintah tersebut
mempertahankan doktrin baru ini sebagai sebuah penyesuaian yang
dibutuhkan untuk keadaan yang lebih tidak menentu dan ancaman
yang lebih bergeser. Kebijakan keras ini salah dari segi tindakan—
namun hal ini juga bisa dengan mudah dimaknai bahwa masalah
keamanan nasional bisa muncul karena prasangka atau kesimpulan
semata, dan kita membiarkan dunia tanpa norma-norma yang jelas
demi pembenaran penggunaan kekuatan.
Hasilnya, unsur keempat dari strategi besar yang muncul ini men-
cakup pendefinisian kembali pengertian kedaulatan. Karena kelom-
pok-kelompok teroris ini tak bisa dihadang, Amerika Serikat harus
siap untuk campur tangan di mana pun dan kapan pun untuk meng-
hancurkan ancaman. Teroris tak menghormati perbatasan negara,
sehingga Amerika Serikat pun tak perlu menghormatinya. Selain
itu, negara-negara yang menjadi sarang teroris, baik karena perse-
tujuan atau karena mereka tak bisa menjalankan hukum mereka di
dalam wilayah mereka, secara efektif telah mengorbankan hak ke-
daulatan mereka. Haass baru-baru ini menguraikan pemikiran ini
dalam The New Yorker:

A p a y a n g A n d a lihat d a l a m p e m e r i n t a h a n ini a d a l a h m u n c u l n y a
sebuah prinsip atau sejumlah gagasan baru...tentang apa yang
m u n g k i n Anda sebut batas-batas kedaulatan. Kedaulatan menuntut
adanya kewajiban. Salah satunya adalah tidak membantai rakyat

443
G. John Ikenberry

s e n d i r i . Yang lain a d a l a h t i d a k m e n d u k u n g t e r o r i s m e d a l a m cara


apa pun. Jika sebuah pemerintahan gagal m e m e n u h i kewajiban-
k e w a j i b a n ini, m a k a ia m e n g o r b a n k a n s e b a g i a n k e u n t u n g a n lazim
d a r i k e d a u l a t a n , t e r m a s u k h a k u n t u k d i b i a r k a n s e n d i r i di d a l a m
w i l a y a h s e n d i r i . P e m e r i n t a h a n - p e m e r i n t a h a n y a n g lain, t e m a s u k
Amerika Serikat, mendapatkan hak untuk c a m p u r tangan. Dalam
k a s u s t e r o r i s m e , hal ini b a h k a n b i s a m e n g a r a h k e h a k p r e v e n -
t i f . . . p e r t a h a n a n diri. A n d a p a d a d a s a r n y a b i s a b e r t i n d a k s e b a g a i
l a n g k a h antisipasi jika A n d a p u n y a d a s a r u n t u k b e r p i k i r ini a d a l a h
masalah kapan, dan bukan seandainya, Anda akan diserang.

Di sini perang melawan terorisme dan masalah pengembangan SPM


saling terkait. Apa yang dikhawatirkan adalah bahwa sejumlah
negara despotik—Irak terutama, dan juga Iran dan Korea Utara—
akan mengembangkan kemampuan untuk menghasilkan senjata
pemusnah massal dan memberikan senjata-senjata ini ke tangan para
teroris. Rezim-rezim ini sendiri bisa dihadang untuk tidak meng-
gunakan kemampuan ini, namun mereka mungkin mengoperkan
senjata-senjata ini ke jaringan teroris yang tak terhadang. Dengan
demikian ada prinsip lain yang muncul di dalam pemerintahan
Bush: pemilikan SPM oleh pemerintahan yang tak bertanggung ja-
wab, tak bersahabat, dan despotik itu sendiri adalah sebuah ancaman
yang mesti ditangkis. Di era lama, rezim-rezim despotik dikeluhkan
tetapi pada akhirnya ditoleransi. Dengan bangkitnya terorisme dan
senjata pemusnah massal, mereka kini merupakan ancaman yang
tak bisa diterima. Dengan demikian negara-negara yang secara tek-
nis tidak melanggar hukum internasional yang berlaku, bisa juga
menjadi sasaran kekuatan Amerika—jika Washington menentukan
bahwa mereka mempunyai kemampuan prospektif untuk merusak.

Pendefinisian kembali kedaulautan adalah sesuatu yang para-


doksal. Di satu sisi, strategi besar baru menegaskan kembali pen-
tingnya negara-bangsa teritorial. Bagaimanapun, jika semua peme-
rintahan bertanggung jawab dan mampu memaksakan aturan hu-
kum di dalam wilayah kedaulatan mereka, para teroris akan

444
Ambisi Imperial Amerika

kesulitan beroperasi. Doktrin Bush yang muncul mengukuhkan ide


ini: pemerintah-pemerintah akan memikul tanggung-jawab untuk
apa yang terjadi di dalam tapal batas mereka. Di sisi lain, kedaulatan
telah secara baru dibuat bersyarat: pemerintahan yang gagal ber-
tindak sebagai negara yang mematuhi hukum dan terhormat akan
kehilangan kedaulatan mereka.
Dalam sebuah pengertian, kedaulatan bersyarat semacam itu bu-
kanlah sesuatu yang baru. Negara-negara besar telah dengan sengaja
melampaui norma-norma kedaulatan negara sejauh norma itu ber-
laku, terutama di dalam lingkup pengaruh tradisional mereka, ketika
ada kepentingan nasional. Amerika Serikat sendiri telah melakukan
ini di belahan bumi barat sejak abad kesembilan belas. Namun yang
baru dan provokatif dalam pemikiran tersebut sekarang ini adalah
kecenderungan pemerintahan Bush untuk menerapkannya pada
basis global, memberi dirinya sendiri kewenangan untuk menen-
tukan kapan hak kedaulatan diserahkan, dan melakukannya atas
dasar tindakan antisipasi.
Unsur kelima dari strategi besar baru ini adalah berkurangnya
penghargaan secara umum terhadap aturan internasional, traktat,
dan kemitraan keamanan. Poin ini berkaitan dengan ancaman baru
itu sendiri; jika taruhannya meningkat dan ruang untuk kesalahan
menyusut dalam perang melawan terorisme, norma dan kesepa-
katan multilateral yang memberi sanksi dan membatasi penggunaan
kekuatan malah menjadi pengalih perhatian yang menjengkelkan.
Tugas penting adalah menghilangkan ancaman. Namun strategi
unilateral yang muncul ini juga dipengaruhi oleh kecurigaan yang
lebih mendalam terhadap nilai-nilai mencurigakan dari kesepakatan
internasional itu sendiri. Sebagian dari pandangan ini muncul dari
perasaan terdalam dan keyakinan rakyat Amerika bahwa Amerika
Serikat seharusnya tak terjerat dalam dunia yang korup dan dalam
lembaga multilateral yang aturannya membatasi. Bagi sebagian rak-
yat Amerika, keyakinan bahwa kedaulatan Amerika adalah sesuatu
yang keramat secara politik menyebabkan munculnya kecende-
rungan isolasionisme. Namun pandangan yang lebih berpengaruh—

445
G . John Ikenberry

terutama setelah 11 September—bukanlah bahwa Amerika Serikat


harus menarik diri dari dunia. Sebaliknya, ia harus beroperasi di
dunia dengan prinsip-prinsipnya sendiri. Penyangkalan pemerin-
tahan Bush terhadap begitu banyak rangkaian traktat dan lembaga—
mulai Protokol Kyoto mengenai pemanasan global, Pengadilan Kri-
minal Internasional, sampai Konvensi Senjata Biologi—mencer-
minkan bias baru ini. Hal yang serupa, Amerika Serikat menanda-
tangani kesepakatan resmi dengan Rusia dalam hal pengurangan
hulu ledak nuklir yang tersebar hanya setelah desakan Moskow;
pemerintahan Bush hanya menginginkan sebuah "kesepakatan in-
formal." Dengan kata lain, Amerika Serikat telah memutuskan bah-
wa dirinya cukup besar, cukup kuat, dan cukup unggul untuk ber-
tindak sendirian.
Keenam, strategi besar baru menyatakan bahwa Amerika Serikat
akan perlu memainkan peran langsung dan tak terbatas dalam
menghadapi ancaman. Pendirian ini sebagian didasarkan sebuah
penilaian bahwa tak ada negara atau koalisi—bahkan Uni Eropa—
yang memiliki kemampuan untuk mengerahkan kekuatan meng-
hadapi teroris atau negara-negara merah di seluruh dunia. Sepuluh
tahun belanja pertahanan dan modernisasi telah membuat sekutu-
sekutu Amerika Serikat jauh ketinggalan. Dalam operasi tempur,
mitra aliansi semakin sulit mengimbangi pasukan Amerika Serikat.
Pandangan ini juga didasarkan pada penilaian bahwa operasi ga-
bungan dan penggunaan kekuatan melalui koalisi cenderung meng-
halangi operasi yang efektif. Bagi beberapa pegamat, pelajaran ini
menjadi semakin jelas dalam serangan bom gabungan atas Kosovo.
Sentimen ini juga muncul dalam aksi militer Amerika Serikat dan
aksi gabungan di Afganistan. Rumsfeld sudah menjelaskan hal ini
sebelumnya pada tahun lalu, ketika ia berkata, "Misi harus menen-
tukan koalisi; koalisi tak bisa menentukan misi. Jika ini dilakukan,
misi akan berantakan sampai titik hancur terendah, dan kita tak bisa
menerima hal tersebut."

Tak ada seorang pun di dalam pemerintahan Bush yang berpen-


dapat bahwa NATO atau aliansi Amerika Serikat-Jepang harus di-

446
Ambisi Imperial Amerika

bubarkan.Yang terjadi adalah aliansi-aliansi ini sekarang dilihat


kurang bermanfaat bagi Amerika Serikat saat ia menghadapi an-
caman terkini. Beberapa pejabat menyatakan bahwa bukan Amerika
Serikat yang memilih untuk mengecilkan arti kemitraan aliansi, na-
mun negara-negara Eropalah yang tak bersedia mengejar keterting-
galan. Apakah hal tersebut benar, pembaruan militer Amerika, bersa-
maan dengan perbedaan ukurannya yang tipis saja dengan militer
seluruh dunia, membuat Amerika Serikat berada dalam kelas ter-
sendiri. Dalam situasi-situasi seperti ini, makin sulit rasanya untuk
mempertahankan gambaran kemitraan aliansi yang sebenarnya.
Sekutu-sekutu Amerika hanya menjadi aset strategis yang berguna
tergantung pada situasinya. Amerika Serikat masih mengganggap
penting jangkauan logistik yang disediakan sistem aliansi global,
namun pakta-pakta dengan negara-negara di Asia dan Eropa men-
jadi lebih bersifat ketergantungan dan kurang alasan dalam hal visi
komunitas keamanan bersama.
Akhirnya, strategi besar baru tersebut memberikan sedikit nilai
pada stabilitas internasional. Ada pandangan yang tidak sentimentil
dalam kubu unilateralis bahwa tradisi masa lalu harus ditanggalkan.
Apakah ini penarikan dari Traktat Peluru Kendali Anti-Balistik (PAB)
atau keengganan untuk meneken traktat resmi lain tentang penga-
wasan senjata, para pembuat kebijakan yakin bahwa Amerika Serikat
perlu bergerak melampaui pemikiran Perang Dingin yang sudah
ketinggalan zaman. Para pejabat pemerintah telah menyatakan puas
bahwa penarikan Amerika dari Traktat PAB tidak menggiring ke
sebuah pclombaan senjata global namun malah merintis jalan untuk
sebuah kesepakatan pengurangan senjata yang bersejarah antara
Amerika Serikat dan Rusia. Gerakan ini dilihat sebagai pengabsahan
bahwa bertindak melampaui paradigma lama tentang hubungan
negara-negara besar tidak akan meruntuhkan bangunan interna-
sional. Dunia bisa tahan terhadap pendekatan keamanan baru yang
radikal, dan dunia juga akan mengakomodasi unilateralisme Ame-
rika. Namun stabilitas bukanlah tujuan akhir itu sendiri. Kebijakan
baru pemerintah dengan pendekatan militer kepada Korea Utara,

447
G . John Ikenberry

misalnya, bisa membuat wilayah di sana tidak stabil, namun


ketidakstabilan semacam itu mungkin merupakan harga yang pantas
untuk mendongkel rezim berbahaya dan jahat di Pyongyang.
Di dunia baru yang menantang ini, para pemikir neoimperial me-
nyatakan bahwa strategi besar realis dan liberal yang lama tak ba-
nyak membantu. Keamanan Amerika tidak akan terjamin, seperti
anggapan strategi besar realis, dengan terus melakukan pengha-
dangan dan menjaga hubungan stabil di antara negara-negara besar.
Di dalam sebuah dunia dengan ancaman yang tidak seimbang, kese-
imbangan kekuatan global bukanlah hal penting dari perang dan
perdamaian. Serupa dengan itu, strategi liberal yang membangun
tatanan seputar perdagangan terbuka dan lembaga demokratis
mungkin bisa memiliki dampak jangka panjang atas terorisme, na-
mun mereka tidak menanggapi ancaman di depan mata. Kekerasan
yang membawa kehancuran besar ada di depan pintu kita, sehingga
upaya-upaya untuk memperkuat aturan dan lembaga komunitas
internasional hanya memiliki sedikit nilai praktis. Jika kita menerima
bayangan kasus terburuk dari "kita tidak tahu bahwa kita tidak ta-
hu," hal lain menjadi kurang penting: aturan internasional, tradisi
kemitraan, dan standar keabsahan. Ini adalah sebuah perang. Dan
seperti komentar terkenal Clausewitz, "Perang adalah masalah yang
berbahaya sehingga kesalahan yang datang dari kebaikan adalah
yang paling buruk."

BAHAYA-BAHAYA I M P E R I A L

jebakan menyertai strategi besar neo-impe-


N A M U N , LUBANG-LUBANG

rial ini. Kekuatan Amerika Serikat yang tak-terawasi, ketiadaan


legitimasi, dan penyimpangan dari norma-norma pascaperang dan
lembaga-lembaga tatanan internasional, akan mengantar kepada
sistem internasional yang lebih bermusuhan, yang membuat ke-
pentingan Amerika akan makin sulit diraih. Rahasia keberhasilan
panjang gemilang Amerika Serikat sebagai negara pemimpin dunia

448
Ambisi Imperial Amerika

adalah kemampuan dan kesediaannya untuk menerapkan kekuatan


di dalam kerangka kerja aliansi dan multinasional, yang membuat
kekuatan dan agendanya lebih bisa diterima para sekutu dan negara-
negara penting lain di seluruh dunia. Pencapaian ini sekarang
terancam karena pemikiran baru pemerintah.
Persoalan yang paling menyolek adalah bahwa pendekatan neo-
imperialis tersebut tak bisa dipertahankan. Dengan jalan sendirian,
Amerika mungkin sukses dalam menggulingkan Saddam Hussein
dari kekuasaan. Namun merupakan suatu hal yang kurang begitu
pasti bahwa sebuah strategi penangkalan pengembangbiakan sen-
jata, yang didasarkan pada kemauan Amerika untuk menggunakan
kekuatan unilateral guna menghadapi diktator yang berbahaya, bisa
berjalan untuk jangka waktu yang lama. Sebuah kebijakan Amerika
yang menjadikan Amerika Serikat sendirian dalam memutuskan
negara-negara mana yang merupakan ancaman dan bagaimana
mencegah mereka mendapatkan senjata pemusnah massal akan
menyebabkan surutnya mekanisme multilateral—yang paling
penting dari ini adalah rezim yang tak mengembangkan senjata
pemusnah massal.
Pemerintahan Bush telah mengangkat ancaman SPM ke agenda
keamanannya yang tertinggi tanpa menanamkan kekuatan atau
prestisenya di dalam komitmen anti-pengembangbiakan senjata
yang tertata, terpantau, dan berdaya guna. Tragedi 11 September
telah memberi pemerintahan Bush otoritas dan keinginan untuk
menggempur lrak-Iraknya dunia. Namun hal tersebut tidak akan
cukup ketika kasus yang rumit ikut menyertai—ketika bukan peng-
gunaan kekuatan yang dibutuhkan namun tindakan multilateral
bersama untuk memberikan sanksi dan inspeksi. Tidak pasti juga
apakah campur tangan militer preemptif atau preventif akan berjalan
baik; hal ini mungkin malah memicu serangan balik politik dalam
negeri terhadap campur tangan yang dipimpin Amerika dan berfo-
kus militer. Strategi imperial Amerika yang bermaksud baik bisa
melemahkan kesepakatan multilateral yang penting, infrastruktur
kelembagaan, dan semangat kerjasama yang dibutuhkan untuk

449
G. John Ikenberry

keberhasilan jangka panjang tujuan-tujuan antipengembangan-


biakan senjata.
Doktrin spesifik dari tindakan pencegahan menghadirkan sebuah
masalah yang berkaitan: begitu Amerika Serikat merasa ia bisa mela-
kukan tindakan semacam ini, tak ada yang bisa mencegah negara
lain melakukan hal yang sama. Apakah Amerika Serikat ingin dok-
trin ini berada di tangan Pakistan, atau bahkan Cina atau Rusia?
Bagaimanapun, tindakan ini tidak mengharuskan negara yang
mengintervensi untuk memberi bukti bagi tindakannya. Amerika
Serikat berpendapat bahwa menunggu sampai semua bukti datang,
atau sampai badan-badan internasional yang berwenang membe-
rikan dukungan, adalah terlalu lama. Namun pendekatan itulah sa-
tu-satunya dasar yang bisa digunakan Amerika jika ia ingin me-
nyerukan pengekangan tindakan negara lain. Lebih lanjut, dan cu-
kup paradoksal, kekuatan militer konvensional Amerika yang luar
biasa, digabungkan dengan sebuah kebijakan mengenai serangan
preemptif, bisa membawa negara-negara yang bermusuhan memper-
cepat program-program untuk mendapatkan satu-satunya kemung-
kinan penghadangan mereka terhadap Amerika Serikat: SPM. Ini ada-
lah versi lain dari dilema keamanan, namun dilema ini diperburuk
oleh sebuah strategi besar neoimperial.

Masalah-masalah lain juga menyusul. Penggunaan kekuatan un-


tuk menghapuskan kemampuan SPM atau menjungkalkan rezm-
rezim yang berbahaya tak pernah sederhana, baik itu dilakukan se-
cara unilateral ataupun lewat gabungan negara-negara besar. Setelah
campur tangan militer selesai, negara sasaran harus ditata ulang.
Penjagaan perdamaian dan pembangunan negara adalah hal yang
mau tak mau mesti dilakukan, demikian juga strategi-strategi jangka
panjang yang membutuhkan PBB, Bank Dunia, dan negara-negara
besar bersama-sama mengatur bantuan dan bentuk pertolongan lain.
Ini bukan pekerjaan heroik, namun mutlak dibutuhkan. Pasukan
penjaga perdamaian mungkin dibutuhkan untuk beberapa tahun,
bahkan setelah rezim baru terbentuk. Konflik regional yang tersulut
oleh campur tangan militer luar juga harus diredakan. Inilah "buntut

450
Ambisi Imperial Amerika

panjang" beban dan komitmen yang menyertai setiap tindakan


militer besar
Ketika biaya dan kewajiban ini ditambahkan untuk peran militer
imperial Amerika, menjadi makin meragukan bahwa strategi neo-
imperial bisa dipertahankan di dalam negeri untuk waktu yang
lama—masalah klasik perluasan imperial yang berlebihan. Amerika
Serikat dapat menjaga keunggulan militernya selama berpuluh
tahun jika ia didukung oleh ekonomi yang tumbuh dan semakin
produktif. Namun beban tak langsung untuk membereskan keka-
cauan politik dalam negara gagal yang cenderung mendukung te-
roris ini meminta ongkos lain. Penjagaan keamanan dan pemba-
ngunan negara akan membutuhkan koalisi negara-negara dan agen-
agen multilateral yang bisa dibawa masuk ke dalam proses hanya
bila keputusan awal mengenai campur tangan militer dilancarkan
setelah konsultasi dengan negara-negara besar lain. Tiba-tiba strategi
realis dan liberal Amerika menjadi relevan lagi.
Masalah ketiga dengan strategi besar imperial adalah bahwa ia
tidak bisa menimbulkan kerjasama yang dibutuhkan untuk me-
mecahkan masalah-masalah praktis di jantung agenda kebijakan luar
negeri Amerika Serikat. Dalam perang melawan terorisme, Amerika
Serikat memerlukan kerja sama dari negara-negara Eropa dan Asia
dalam bidang intelijen, penegakan hukum, dan logistik. Di luar
lingkup keamanan, merealisasi tujuan-tujuan Amerika Serikat
bahkan lebih bergantung lagi pada berkesinambungannya hubung-
an kerja yang menyenangkan dengan negara-negara besar di seluruh
dunia. Ia membutuhkan mitra untuk liberalisasi dagang, stabilisasi
keuangan global, perlindungan lingkungan, penghadangan kejahat-
an terorganisasi lintas negara, penanganan kebangkitan Cina, dan
berbagai tantangan sulit lainnya. Namun mustahil mengharapkan
para calon mitra menyetujui Amerika yang menunjuk dirinya sendiri
sebagai protektorat keamanan global dan kemudian berperilaku
seperti semula di semua wilayah lain.

Sarana kebijakan penting yang perlu diterapkan terhadap negara-


negara yang menentang Amerika yang unipolar dan unilateral ada-

451
G . John Ikenberry

lah menjaga kerja sama dalam hubungan dari hari ke hari dengan
Amerika Serikat. Sebuah cara nyata adalah kebijakan dagang; reaksi
Eropa terhadap keputusan terbaru Amerika yang menerapkan pajak
masuk atas baja impor dapat diterangkan dalam pengertian ini. Ini
merupakan upaya khusus yang berkaitan dengan isu perdagangan
tertentu, namun ini juga merupakan upaya yang berkaitan dengan
bagaimana Washington menjalankan kekuasaannya. Amerika Seri-
kat mungkin merupakan kekuatan militer yang unipolar, tetapi ke-
kuatan ekonomi dan politik terdisribusi lebih merata di seluruh du-
nia. Negara-negara besar mungkin tak punya banyak pengaruh da-
lam membatasi secara langsung kebijakan militer Amerika, namun
mereka bisa membuat Amerika Serikat membayar dalam bidang-
bidang lain.
Akhirnya, strategi besar neoimperial menghadirkan sebuah masa-
lah yang lebih luas untuk mempertahankan kekuatan unipolar Ame-
rika. Ia masuk ke dalam jebakan tertua negara-negara imperial yang
kuat: pengepungan diri sendiri. Ketika negara yang paling kuat di
dunia menekan di sana-sini, tak terkekang oleh aturan atau norma
legitimasi, ia berisiko menerima serangan balik. Negara-negara lain
akan menahan diri di tatanan internasional di mana Amerika Serikat
bermain menurut aturannya sendiri. Para pendukung strategi besar
baru ini mengasumsikan bahwa Amerika Serikat dapat sendirian
mengirimkan kekuatan militer ke luar negeri dan tak menderita kon-
sekuensi yang tak menguntungkan; mereka percaya hubungan de-
ngan sahabat dan sekutu akan menjadi lebih buruk, namun inilah
harga kepemimpinan. Namun sejarah menunjukkan bahwa negara-
negara kuat cenderung untuk memicu pengepungan diri sendiri di-
karenakan perkiraan mereka yang berlebihan terhadap kekuatan
sendiri. Charles V, Louis XIV, Napoleon, dan para pemimpin Jerman
pasca-Bismarck ingin mengembangkan wilayah imperial mereka
dan menerapkan tatanan paksaan kepada yang lain. Tatanan imperi-
al mereka semuanya ambruk ketika negara-negara lain memutuskan
mereka tak siap untuk hidup dalam sebuah dunia yang didominasi
oleh sebuah negara yang terlalu mengekang. Tujuan dan modus

452
Ambisi Imperial Amerika

operandi imperial Amerika jauh lebih terbatas dan jinak dibanding-


kan kaisar-kaisar masa lalu. Namun strategi besar imperial garis
keras membawa risiko terulangnya sejarah.

BAWA YANG L A M A

PEPERANGAN MENGUBAH POLITIK dunia, dan demikian juga perang


Amerika melawan terorisme. Bagaimana negara-negara besar mela-
kukan peperangan, bagaimana mereka menentukan taruhannya, ba-
gaimana mereka berdamai setelah perang usai—semua itu memberi
bentuk kokoh bagi sistem internasional yang muncul setelah senjata-
senjata tak menyalak lagi. Saat memobilisasi masyarakat mereka
untuk pertempuran, para pemimpin masa perang cenderung men-
jabarkan upaya militer sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar me-
ngalahkan musuh. Woodrow Wilson mengirimkan pasukan Amerika
Serikat ke Eropa bukan hanya untuk menghentikan tentara Jerman
namun juga untuk menghancurkan militerisme dan mengantar re-
volusi demokratis ke seluruh dunia. Franklin Roosevelt menilai pe-
rang dengan Jerman dan Jepang sebagai upaya untuk mengamankan
"empat kebebasan besar." Piagam Atlantik adalah sebuah pernya-
taan tentang tujuan-tujuan perang yang menyerukan bukan saja pe-
numbangan fasisme melainkan juga sebuah dedikasi baru untuk
kesejahteraaan sosial dan hak-hak azasi di dalam sistem dunia yang
terbuka dan stabil. Untuk memajukan visi-visi ini, Wilson dan
Roosevelt mengajukan aturan dan mekanisme kerja sama interna-
sional baru. Pesan mereka jelas: Jika kau menanggung beban perang,
kami, pemimpinmu, akan menggunakan konflik yang menyengsara-
kan ini untuk membawa masuk tatanan yang lebih damai dan lebih
baik di antara negara-negara. Melakoni peperangan tak hanya berka-
it dengan melenyapkan musuh, ia juga berkait dengan membangun
hubungan global.

Bush tidak sepenuhnya menyatakan sebuah visi tatanan interna-


sional pascaperang, selain menentukan pertempuran ini adalah an-

453
G . John Ikenberry

tara kebebasan dan kejahatan. Dunia telah melihat Washington


mengambil langkah-langkah pasti untuk memerangi terorisme, na-
mun dunia belum mengendus agenda positif Bush yang lebih besar
untuk memperkuat tatanan internasional yang lebih baik.
Kegagalan ini menjelaskan mengapa simpati dan itikad baik yang
terbangkitkan di seluruh dunia untuk Amerika Serikat setelah 11
September dengan cepat menghilang. Koran-koran yang pernah me-
nyatakan, "Kita semua adalah orang Amerika," sekarang mengeks-
presikan ketidakpercayaan terhadap Amerika. Pandangan yang
umum berlaku adalah bahwa Amerika Serikat tampak siap menggu-
nakan kekuatannya untuk mengejar teroris dan rezim jahat, namun
tak siap menggunakannya untuk membangun tatanan dunia yang
lebih stabil dan damai. Amerika Serikat terlihat menyepelekan atur-
an dan lembaga komunitas internasional, dan bukannya mening-
katkan mereka. Bagi dunia, pemikiran neo-imperial lebih berkaitan
dengan penggelaran kekuatan ketimbang penerapan kepemimpinan.
Sebaliknya, orientasi strategis Amerika yang lebih lama—realisme
perimbangan kekuatan dan multilateralisme liberal—mengesankan
sebuah kekuatan dunia yang matang yang menginginkan stabilitas
dan mengejar kepentingannya dalam cara-cara yang secara menda-
sar tidak mengancam posisi negara-negara lain. Mereka adalah stra-
tegi kerja sama dan penjaminan. Strategi besar imperial yang baru
menampilkan Amerika Serikat dalam cara yang sangat berbeda: se-
buah negara revisionis yang berhasrat untuk menggunakan keung-
gulan kekuatannya saat ini ke dalam sebuah tatanan dunia di mana
ia mengatur segala sesuatunya. Tidak seperti negara-negara hege-
monik di masa silam, Amerika Serikat tak menginginkan dominasi
teritori atau politik langsung di Eropa atau Asia; "Amerika tak punya
kerajaan untuk diluaskan atau utopia utuk dibangun/' ujar Bush
dalam pidatonya di West Point. Namun keunggulan kekuatan yang
dimiliki Amerika Serikat dan doktrin tindakan pencegahan dan kon-
traterorisme yang dikoarkannya betul-betul mengelisahkan peme-
rintahan dan orang-orang di seluruh dunia. Ongkosnya bisa mahal.
Hal terakhir yang Amerika Serikat inginkan untuk ditanyakan oleh

454
Ambisi Imperial Amerika

para diplomat dan pemimpin pemerintahan asing adalah, "Bagai-


mana kami bisa mengepung, melemahkan, mengurung, dan memba-
las kekuatan Amerika Serikat?"
Ketimbang mengembangkan sebuah strategi besar baru, Amerika
Serikat seharusnya menyegarkan kembali strategi-strategi lamanya,
strategi-strategi yang didasarkan pada pandangan bahwa kemitraan
keamanan Amerika bukanlah semata-mata merupakan sarana in-
strumental, namun merupakan unsur penting dari tatatan politik
dunia yang dipimpin Amerika yang harus dijaga. Kekuatan Amerika
Serikat jadi lebih berpengaruh, lebih sah, dan lebih ramah dengan
kemitraan-kemitraan ini. Para pemikir neoimperial dihantui bayang-
bayang terorisme yang mendatangkan kehancuran hebat dan meng-
inginkan sebuah penataan ulang yang radikal terhadap peran Ame-
rika di dunia. Kekuatan unipolar Amerika yang perkasa dan muncul-
nya ancaman baru teroris yang menakutkan merangsang godaan
imperial ini. Namun ini adalah sebuah visi strategi besar yang, pada
tingkat ekstrem, akan membuat dunia jadi lebih berbahaya dan ter-
pecah-pecah—dan Amerika Serikat menjadi kurang aman.

455

Anda mungkin juga menyukai