DISUSUN OLEH
KELOMPOK 6A:
SEMESTER/KELAS : 3/A
1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta
karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul “Apendisitis” dapat selesai.
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas dari Bapak Leo Yosdimyati
R.,S.Kep.,Ns.,M.Kep pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 2. Selain itu,
penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca tentang”
Apendesitis”
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu Kami memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Kami juga mengharap adanya kritik serta saran dari
pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.
Penyusun
2
Daftar Isi
Kata pengantar....................................................................................................
Daftar isi…..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang........................................................................................
1. 2 Perumusan Masalah................................................................................
1. 3 Tujuan ....................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Penyakit Apendisitis…………………..................................
2.1.1 Definisi Apendisitis………………….....................................
2.1.2 Anatomi………………….......................................................
2.1.3 Fisiologi……………………...................................................
2.1.4 Etiologi……………………….................................................
2.1.5 Patofisiologi............................................................................
2.1.6 Klasifikasi Apendisitis………………………………….........
2.1.7 Manifestasi Klinis Apendisitis.…………………...................
2.1.8 Pathway....................................................................................
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang…………………...............................
2.1.10 Penatalaksaan…………………..............................................
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan…………………..............................................
2.2.1 Pengkajian Keperawatan…………………..............................
2.2.2 Diagnosa Keperawatan………………….................................
2.2.3 Intervensi…………………......................................................
2.2.4 Implementasi………………….................................................
2.2.5 Evaluasi………………….........................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………...........
3.2 Saran……………………………………………………………….............
Daftar Pustaka…………………………………………………………............
3
BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi infeksi di umbai cacing. Dalam kasus
ringan dapat segera sembuh tanpa melakukan perawatan , tetapi banyak kasus memerlukan
laparatomi dengan melakukan penyingkiran umbai cacing yang telah terinfeksi, Sehingga
penyakit ini yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan.
Apendisitis yang tidak ditangani dengan segera maka akan meningkatkan risiko
terjadinya ferforasi. Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren
yang menyebabkan pus masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding apendiks tampak daerah perforasi di kelilingi oleh jaringan nekrotik ( Burkitt et
al.,2013 ).
Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus
yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun
sektorik di saluran pencernaan. Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek
fungsi system imun yang jelas (syamsyuhidayat, 2005). Peradangan pada apendiks selain
mendapat intervensi farmakologik juga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi dan memberikan implikasi pada perawat dalam bentuk asuhan keperawatan.
Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang. Namun,
dalm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini di duga
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat pada diit harian
(Santacroce,2009).
4
Tindakan untuk mengatasi individu yang mengalami apenditisis adalah pembedahan
apendiktomi. Pembedahan apendiktomi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat
apendiks bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Hal ini harus dilakukan untuk
menurunkan resiko perforasi (Lusianah & Suratun, 2010). Tindakan operasi pada pasien
apendisitis banyak menimbulkan dampak biopsikososial spiritual, salah satunya kecemasan.
Respon pasien yang cemas ditunjukan melalui ekspresi marah, bingung, apatis atau
mengajukan pertanyaan (Soewito, 2017). Kecemasan biasanya berhubungan dengan segala
macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap keselamatan
jiwa akibat prosedur pembedahan dan tindakan operasi (Nugraheni dkk, 2016).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Apendisitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa latinnya appendiks
vermivormis, yaitu suatu organ yang berbentuk memanjang dengan panjang 6-9 cm
dengan pangkal terletak pada bagian pangkal usus besar bernama sekum yang terletak
pada perut kanan bawah (Handaya, 2017).
Apendisitis merupakan Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu
atau umbai cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum). Infeksi ini
bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Nurarif dan Kusuma, 2015).
Radang usus buntu atau dalam bahasa medisnya disebut apendisitis adalah
peradangan pada apendiks vermiformis (umbai cacing/usus buntu).
2.1.2 Anatomi
Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendiks merupakan suatu organ berbentuk
tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm dan
berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian distal.
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit ke arah ujung,
keadaan ini menjadi sebab rendahnya kejadian apendisitis pada usia tersebut
(Sjamsuhidayat & de Jong, 2012 ).
Apendiks, disebut juga apendiks vermiformis merupakan organ yang sempit dan
berbentuk tabung yang mempunyai otot serta terdapat jaringan limfoid pada dindingnya.
Letak apendiks sekitar satu inci (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis dan melekat pada
permukaan posteromedial caecum.
6
Apendiks terletak di fossa iliaca dextra, dan dalam hubungannya dengan dinding
anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas di garis yang menghubungkan
spina iliaka anterior superior dan umbilikus. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan
diri secara teratur ke dalam sekum.
2.1.3 Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut secara normal
dicurahkan ke lumen dan selanjtnya mengalir menuju sekum. Adanya hambatan pada
aliran lendir di muara apendiks dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya apendisitis.
2.1.4 Etiologi
Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lamen apendikeal oleh
apendikolit, tumor apendiks, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material
garam kalsium, debris fekal), atau parasit EHistolytica. (Katz 2009 dalam muttaqin, &
kumala sari, 2011).
Selain itu apendisitis juga bisa disebabkan oleh kebiasaan makan makanan rendah
serat sehingga dapat terjadi konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal
yang mengakibatkan terjadinya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon.
2.1.5 Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh
feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi
bahwa appendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah
(Burkitt, 2007).
7
Pada stadium awal dari appendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan
serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan
berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding
abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, 2007).
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang
menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi
bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren.
Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang
terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Burkitt, 2007).
Klasifikasi apendicitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik (Sjamsuhidayat, 2005).
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat.
2. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya :
Riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
8
2.1.7 Manifestasi Klinis Apendisitis
1. Nyeri.
Mual dan muntah terjadi pada 50-60% kasus, tetapi muntah biasanya self-
limited.
b. Abdominal tenderness.
Khususnya pada regio apendiks. Sebanyak 96% terdapat pada kuadran
kanan bawah akan tetapi ini merupakan gejala nonspesifik. Nyeri pada
kuadran kiri bawah ditemukan pada pasien dengan situs inversus atau yang
memiliki apendiks panjang. Gejala ini tidak ditemukan apabila terdapat
apendiks retrosekal atau apendiks pelvis, dimana pada pemeriksaan fisiknya
ditemukan tenderness pada panggul atau rectal atau pelvis. Kekakuan dan
tenderness dapat menjadi tanda adanya perforasi dan peritonitis terlokasir atau
difusi.
c. Demam ringan.
Dimana temperatur tubuh berkisar antara 37,2 – 380C (99 – 1000F), tetapi
suhu > 38,30C (1010F) menandakan adanya perforasi.
9
d. Peningkatan jumlah leukosit perifer.
2.1.8 Pathway
Sumbatan fungsional
appendix
Appendiksitis
10
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Kenaikan sel darah putih (Leukosit) hingga 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi
peningkatan yang lebih, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit
b. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dilakukan untuk menilai inflamasi dari apendiks
c. CT – Scan
C – Reactive Protein (CRP) adalah sintesis dari reaksi fase akut oleh hati
sebagai respon dari infeksi atau inflamasi. Pada apendisitis didapatkan
peningkatan kadar CRP (Mutaqqin, Arif & Kumala Sari 2011)
2.1.10 Penatalaksanaan
1. Pengertian Apendiktomi
11
a. Laparoskopi apendiktomi
Adalah tindakan bedah invasive minimal yang paling banyak digunakan pada
apendisitis akut. Tindakan ini cukup dengan memasukkan laparoskopi pada pipa
kecil (trokar) yang dipasang melalui umbilikus dan dipantau melalui layar
monitor.
b. Apendiktomi terbuka
Adalah tindakan dengan cara membuat sayatan pada perut sisi kanan bawah
atau pada daerah Mc Burney sampai menembus peritoneum.
b. Tindakan Operasi
1) Perawat dan dokter menyiapkan pasien untuk tindakan anastesi sebelum
dilakukan pembedahan
1) Observasi TTV
12
2) Sehari pasca operasi, posisikan pasien semi fowler, posisi ini dapat
mengurangi tegangan pada luka insisi sehingga membantu mengurangi
rasa nyeri
3) Sehari pasca operasi, pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur
selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri tegak dan
duduk diluar kamar
4) Pasien yang mengalami dehidrasi sebelum pembedahan diberikan cairan
melalui intravena. Cairan peroral biasanya diberikan bila pasien dapat
mentoleransi
5) Dua hari pasca operasi, diberikan makanan saring dan pada hari
berikutnya dapat diberikan makanan lunak.
a. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah yang
menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami demam
tinggi
3) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya pada colon.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis penyakit yang
sama.
b. Pemeriksaan fisik ROS (review of system)
1) Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai,
konjungtiva anemis.
13
2) Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD
>110/70mmHg; hipertermi.
3) Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada
simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping
hidung, tidak terpasang O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor.
4) Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan
tanda adanya infeksi dan pendarahan.
5) Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancer.
6) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena
proses perjalanan penyakit.
7) Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis,
pucat.
8) Abdomen : terdapat nyeri lepas, peristaltik pada usus ditandai dengan
distensi abdomen.
c. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon.
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol
dan kebiasaan olahraga (lama frekwensinya), karena dapat
mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
2) Pola nutrisi dan metabolism.
Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi
akibat pembatasan intake makanan atau minuman sampai peristaltik
usus kembali normal.
3) Pola Eliminasi.
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi
kandung kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur
akan mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan
mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh
anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi.
4) Pola aktifitas.
Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa
nyeri, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu
lamanya setelah pembedahan.
14
5) Pola sensorik dan kognitif.
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta
pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi
terhadap orang tua, waktu dan tempat.
6) Pola Tidur dan Istirahat.
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga
dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
7) Pola Persepsi dan konsep diri.
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak
segala kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang
keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
8) Pola hubungan.
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa
melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
d. Pemeriksaan diagnostic.
1) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut.
2) Foto polos abdomen : dapat memperlihatkan distensi sekum, kelainan
non spesifik seperti fekalit dan pola gas dan cairan abnormal atau
untuk mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan.
3) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan
leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.
e. Pemeriksaan Laboratorium.
1) Darah
Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000 µ/ml.
2) Urine
Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pada semua data pengkajian diagnosa keperawatan utama yang dapat
muncul pada kl appendicitis, antara lain :
15
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (inflamasi
appendicitis).(D.0077)
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik(Prosedur oprasi).
(D.0077)
c. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (Infeksi pada
appendicitis). (D.0130)
d. Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara
aktif (muntah). (D.0034)
e. Resiko hipovolemia ditandai dengan efek agen farmakologis
(D.0034)
f. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0080)
g. Resiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur infasive (D.0142).
2.2.3 Intervensi
Suatu tindakan yang termasuk dibuat untuk membantu individu (klien) dalam beralih
dari tingkat kesehatan saat ini ke tingkat yang diinginkan dalam hasil yang diharapkan.
intervensi tersebut bisa dikatakan sebagai semua tindakan asuhan yang dilakukan perawat
atas nama klien. Tindakan tersebut termasuk intervensi yang diprakarsai oleh
perawat.Intervensi (perencanaan) ialah kegiatan dalam keperawatan yang meliputi, pusat
tujuan pada klien, menetapkan hasil apa yang ingin dicapai serta memilih intervensi
keperawatan agar dengan mudah mencapai tujuan.
16
b. Intervensi keperawatan kolaboratif, intervensi yang dilakukan oleh
perawat pada pasien atau klien dalam bentuk kerja sama dengan tenaga
kesehatan lainnya.
c. Intervensi keperawatan berlangsung dalam tiga tahap, antara lain :
1) Fase pertama ialah fase persiapan, yaitu persiapa pengetahuan
tentang validasi rencana, implementasi pada rencana, persiapan
klien dan juga keluarganya
2) Fase kedua, puncak pada implementasi keperawatan yang
berorintasi kepada tujuan tersebut. Pada tahap ini, perawat
menyimpulkan data yang dihubungkan terkait dengan reaksi klien.
3) Fase ketiga, terminasi perawat dank lien setelah fase implementasi
keperawatan selesai dilakukan.
2.2.4 Implementasi
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan penulis meliputi evaluasi proses dan hasil, sehingga tindakan
keperawatan yang dilakukan apabila belum berhasil sesuai tujuan tindakan diulang pada
waktu yang sama atau modifikasi sesuai perencanaan dari diagnose yang muncul.Daftar
pustaka
17
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
19