Anda di halaman 1dari 15

Makalah Perpajakan II

“Tax Planing PPN”

Disusun Oleh:
AM-3A (Kelas Karyawan)
Nama Kelompok IV
 Alif Rizki Ananda (4111911005)
 Thalia Afifah (4111911008)
 Yustika Pratiwi (4111911011)
 Ahava Yehuda (4111911016)
 Yulia Sartika (4111911020)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas


mata kuliah Perpajakan yang dibina oleh;
Wika Arsanti Putri,S.ST.,M.A.
1. Pendahuluan
Sejak diterbitkan UU PPN yang baru, ada beberapa peraturan dari Dirjen Pajak
yan dikeluarkan dan telah mengalami revisi seperti terlihat di bawah ini yang mengubah
ketentuan mengenai pembuatan kode faktur pajak keluaran,saat terutang pajak, dan saat
pembuatan faktur pajak, pelaporan PPN secara manual atau melalui data elektronik (e-
SPT) dan yang disampaikan lewat e-filing,adanya kewajiban untuk menyampaikan aurat
pemberitahuan kode cabang atau penandatangan faktur pajak. Banyak faktor yang dapat
mengakibatkan faktur pajak dianggap catat, diantaranya:
 PER-146./2006 yang telah direvisi dengan PER 142/PJ./2007 dan PER-
14/PJ.2010 tentang bentuk, isi dan tata cara penyampaian SPT masa PPN
 PER-15/PJ./2006, mengenai saat pembuatan,bentuk, ukuran,pengadaan,tata cara
pembetulan faktur pajak standard
 PER-29/PJ/2008 yang telah direvisi dengan PER 15/PJ./2010, mengenai
berlakunya formulir 1108 SEPERTI PPN khusus bagi PKP dengan faktur pajak
yang jumlahnya baik sebagai pajak keluaran maupu sebagai pajak masukan
masing masing tidak lebih dari 30 dalam 1 masa pajak. SPT Masa PPN bentuk
formulir 1102 wajib digunakan bagi PKP yang menyampaikan SPT dalam bentuk
formulir kertas. Sedangkan apabila penyerahannya melebihi 30 penyerahan
(ekspor+ penyerahan salak negeri) dalam satu masa pajak, maka wajib
menyampaikan SPT secara elektronik.

PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang/jasa kena
pajak dialam daerah pabean. Setiap pembelian dan penjualan barang jasa dari penguasaha
kena pajak dikenai PPN. Sesuai legal karakter dan PPN ini yang bersifat non
komulatif,maka dalam perlakuan pajak PPN tidak memperbolehkan terjadinya pajak
berganda karna konsumen terakhirlah yang harus menanggung PPN ini. Kalau pajak
penjualan memegang bisa terjadi pajak berganda karna pengenaannya bukan bersifat
“multy stage levy”. Beda halnya jika pembeli barang adalah pengusaha yang
mengolahnya lebih lanjut atau untuk dijual kembali, maka beban PPN yang dibayarkan
dapat digeser kepala pembeli berikutnya. PPN memiliki karakteristik sebagai pajak tidak
langsung yang beban pajaknya bisa digeser ke konsumen akhir.
PPN juga memiliki karakteristik sebagai pajak objektif yang mengandung
pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak dibidang PPN sangat ditentukan oleh
adanya objek pajak.

Secara umum mekanisme pemungutannya PPN menggunakan mekanisme


Indirect Subtraction Method/ Invoice Method, sebagai mana tercermin dalam pasal 9 ayat
2 ayat 8 huruf b ayat 4, ayat 10, ayat 11 dan ayat 12, dan metode inilah yang terbaik dan
metode lainnya dengan alasan:

1. Adanya kewajiban mengnuat faktur pajak setiap transaksi, mengingat faktur pajak
merupakan bukti terpenting.
2. Memudahkan melakukan pemeriksaan, baik oleh pemeriksaan internal maupun
fokus.
3. Tidak perlu menentukan besarnya keuntungan untuk setiap barang yang dijual.
4. Kewajiban perpajakannya dapat dihitung setiap saat.

Perencanaan PPN
Pembahasan tentang perencanaan PPN ini difokuskan pada beberapa upaya berikut ini:

1. Memaksimalkan mekanisme pembersihan PPN


2. Memaksimalkan fasilitas di bidang PPN
3. Sentralisasi pengenaan PPN
4. Memaksimalkan restitusi PPN
5. Membangun sendiri dalam kegiatan usaha
6. PPN atas barang gratis untuk keperluan promosi
7. Penjagaan Cash Flow
8. Pengendalian PPN
9. Tanggung jawab renteng
2. Memaksimalkan Memanisme Pengkreditan PPN
Perusahaan sebaiknya memperoleh barang kena pajak atau jasa kena pajak dari
pengusaha kena pajak, supaya pajak masukannya dapat dikreditkan. Perasaan perlu
mengamati dengan cermat jangan sampar terdapat pajak masukan yang belum
dikreditkan.
PPN dikenakan atas:
1. Penyerahan barang kena pajak atau kena pajak yanh dilakukan oleh pengusaha
kena pajak
2. Impor BKP
3. Pemanfaatan BKP berwujud atau JKP luar darah di dalam daerah pabean
4. Ekspor BKP oleh PKP

Pajak masukan ya didapat dikreditkan adalah:


Pajak masukan yang berhubungan langsung dengan produksi, distribusi,
pemasaran dan manajemen atas BKP/JKP dan faktur pajaknya adalah faktur pajak
standar atau dokumen yang disamakan dengan faktur pajak standar.

Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan


1. Sebelum dikukuhkan menjadi PKP
2. Faktur pajak sederhana
3. Faktur pajak cacat
4. Pajak masukan atas pembelian mobil sedan, jeep,station wagon, van, dan combi
5. Pajak masukan berkaitan dengan produksi BKP/JKP
6. Pajak masukan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan usaha
atas BKP
7. Pajak masukan yang dilaporkan pasa SPT masa PPN, yang ditemukan pasa saat
pemeriksaan atau yang ditagih melalui SKP
Pajak masukan yang belum dikreditkan dengan paja kekaisaran pada masa pajak
yang sama, dapat dikreditkan pasa masa pajak berikutnya, selembat lambatnya pada
bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan. Sepanjang belum
dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Mekanisme pengkreditan dan pelaporan PPN

Mekanisme pengkreditan PPN dilakukan melalui pemungutan kembali PPN dari


pembeli berikutnya. Jika jumlah PPN yanh dipungutnya lebih besar dan PPN yang telah
dibayar pada saat perolehannya, maka kelebihannya harus disetorkan. Mekanisme ini
serin disebut dengan Indirect Substraction Method (PKPM).

Pajak keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh pengusaha kena
pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak, ekspor
jasa kena pajak. Barang kena pajak tidak berwujud dan atau ekspor jasa kena pajak.

Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayar
oleh pengusaha kena pajak karna perolehannya barang kena pajak dan atau perolehan jasa
kenap pajak dan atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan atau impor
barang kena pajak.

Jika PK> PM maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar.


Jika PK<PM maka selisihnya merupakan kelebihan bayar PPN yang bisa
dikompensasi dengan masa pajak berikutnya atau dimintakan kembali.
Secara umum mekanisme pengkreditan pajak masukan diatur dalam Pasal 9 UU nomor
42 2009 itu adalah:

a. Pajak masukan dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa pajak yang sama.
b. Apabila terdapat pajak masukan yang dapat dikreditkan teratai belum dikreditkan
dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa
pajak berikutnya paling lambat 3 bulan setelahnya berakhirnya masa pajak yang
bersangkutan, sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.
c. Jika dalam suatu ama apaa belum ada pajak keluaran, maka panak masukan tetap
sapat dikreditkan.
Pajak Masukan dapat dikereditkan apabila :
a. Memenuhi ketentuan formal, yatu secara formal harus berbentuk faktur pajak atau
dokumen yang diperlukan sebagai faktur pajak, diisi selengkapnya dan tidak cacat.
b. Memenui ketentuan material, yaitu Pajak Masukan yag dibayar atas perolehan
BKP/JKP yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yang meliputi kegiatan
produksi, manajemen, distribusi, dan pemasaran.

3. Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat PKP yang melakukan
penyerahan BKP atau JKP, atau bukti pungutan pajak karena impor BKP yang
digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Dari definisi di atas, beberapa poin penting yang dapat dicatat adalah:
a. Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak.
b. Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP atau karena
impor BKP yang digunakan oleh DJBC.
c. PPN yang dipungut berfungsi sebagai Pajak Keluaran bagi penjual dan Pajak
Masukan bagi pembeli.
PKP perlu memperhatikan tata cara pembuatan pembuatan Faktur Pajak agar tidak
dikenai sanksi perpajakan. Keterlambatan atau kekeliruan dalam pembuatan Faktur Pajak
dapat dikenakan sanksi 2% dari DPP sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) UU KUP.
Saat Pembuatan Faktur Pajak
a. Untuk meringankan beban administrasi wajib pajak, saat yang tepat untuk
membuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat
penyerahan atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur
Pajak dibuat pada saat pembayaran. Dengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak
perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.
b. Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT
Masa PPN diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
c. Faktur Pajak Gabungan merupakan Faktur Pajak yang harus dibuat paling lambat
pada akhir bulan penyerahan BKP dan atau JKP. Untuk meringankan beban
administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak
gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi
pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pengusaha B pada tanggal 2, 7,9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada
tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September
2010 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan
Oktober 2010 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur
Paiak gabungan, Faktur Pajak gabungan itu sebaiknya dibuat pada tangal 30 September
2010 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada
bulan September.Saat pembuatan Faktur Pajak Standar ini sangat terkait dengan saat
terutangnya PPN dan penting untuk dimengerti, karena saat pembuatan Faktur Pajak ini
akan menentukan kapan Pajak Keluaran ini dilaporkan di SPT Masa PPN. Pajak Keluaran
dilaporkan di SPT Masa PPN pada Masa Pajak dibuatnya Faktur Pajak. Faktur Pajak
yang dibuat lebih dari 3 (tiga) bulan sejak batas akhir pembuatan Faktur Pajak Standar
akan berakibat hilangnya hak pengkreditan Pajak Masukan bagi pembeli BKP dan atau
penerima JKP (lihat PER-159/PJ/2006).
Penundaan Pembuatan Faktur Pajak
 Dalam hal penjualan BKP/JKP yang pembayarannya belum diketahui, pembuatan
faktur pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah penyerahan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Dalam kaitan dengan saat pembuatan Faktur
Pajak, makin lambat PKP membuat Faktur Pajak, maka akan lebih baik karena PKP
tidak perlu menalangi pembayaran PPN.
 Berkaitan dengan hal ini, sebaiknya PKP penjual dalam menentukan syarat
pembayaran yang ideal, yaitu tidak lebih 45 hari setelah penyerahan BKP atau JKP
(penerbitan invoice). Jika pembayaran baru diterima PKP setelah lewat waktu 45
hari berarti bahwa PKP penjual akan menalangi pembayaran PPN ke Kas Negara.
4. Saat Terutangnya PPN
Sesuai Peraturan Menkeu No. 240/PMK.03/2009, saat terutangnya PPN ditetapkan
sebagai berikut:
 Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan.Barang Mewah
menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak atau Jasa Kena terjadi pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut
belum diterima .belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena
Pajak Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui eletronic
commerce tunduk pada ketentuan ini.
 Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan
sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat
pembayaran.

Dalam melakukan perencanaan pajak, penerntuan saat terutangnya pajak sangat


penting diperhatikan mengingat pengaruhnya terhadap cash flow perusahaan. PPN dan
PPn BM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhimya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan.

Contoh

PT ABx mengikat kontrak penjualan BKP dengan customernya PT Dex pada


tanggal 20 Maret 2012, dengan nilai kontrak sebesar Rp 500Juta Penyerahan barang
dilakukan lima hari setelah kontrak ditanda tangan dengan pembayaran tunai. Tingkat
bunga umum di pasar uang atau bank komersial adalah 12% per tahun atau 1% per bulan.

Pertanyaannya: Keputusan apa yang harus dilakukan oleh PT ABx untuk menegosiasikan
penyerahan barangnya kepada PT DEx:

 Apakah penyerahannya dilakukan pada 25 Maret 2012 dengan konsekuensi Faktur


Pajak harus terbit tanggal 25 Maret 2012 dan harus menyetorkannya ke Kas Negara
pada tanggal 30 Maret 2012 atau
 Menegosiasikannya dengan pihak PT Dex agar penyerahan barangnya dilakukan pada
awal bulan berikutnya, yakni 1 April 4 2012 dengan keuntungan pembayaran faktur
pajak dapat ditunda hampir sebulan lamanya (dilakukan penyetoran ke Kas Negara
pada tgl. 29 April 2012)

Dari perhitungan berikut ini, kita dapat menghitung berapa besar penghematan
pajak yang bisa diperoleh perusahaan dari penundaan penyetoran PPN tersebut, yang
semula atas penyerahan barang pada 25 Maret 2012 harus dilakukan setoran PPN ke Kas
Negara pada 29 April 2012, tetapi ditunda penyerahan barangnya pada awal April 2012
sehinga setoran PPN nya ke Kas Negara bisa ditunda hingga akhir bulan yang
bersangkutan.

PPN terutang = 10% x Rp 500 juta = Rp. 50 juta


Nilai sekarang (present value) dari uang sebesar Rp 50 juta yang harus disetor ke Kas
Negara atas PPN yang terutang

Rp 50 juta: (1+0.01) = Rp .49,5 juta-

Penghematan Pajak Rp. 0,5 juta

5. Batas Waktu Penyetoran PPN dan Pelaporan


Sesuai PER Dirjen Pajak No. 14/PJ./2010, batas waktu penyetoran PPN dan
pelaporan SPT Masa PPN ditetapkan sebagai berikut:
 PPN dan PPn BM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama
akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN
disampaikan. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
 SPT Masa PPN harus disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak. Dalam hal akhir bulan adalah hari libur termasuk hari Sabtu
atau hari libur nasional, maka SPT Masa PPN dapat disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
Penjagaan terhadap batas waktu penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN
ini sangat penting, karena keterlambatan pelaporan SPT masa PPN tersebut akan dikenai
denda Rp 500.000, sedangkan untuk keterlambatan penyetoran PPN dikenai denda
bunga 2% per bulan dari PPN yang terutang.

6. Memaksimalkan Fasilitas di Bidang PPN


Sejak diberlakukannya UU Nomor 36 Tahun 2008, fasilitas di bidang PPN yang
dikenal dalam ketentuan PPN adalah PPN Tidak Dipungut, PPN Dibebaskan, dan PPN
ditanggung pemerintah. Bagi PKP yang mendapatkan fasilitas PPN Tidak Dipungut, PPN
Masukan yang berhu bungan dengan perolehan BKP/JKP tetap dapat dikreditkan,
sedangkan bagi PKP yang mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan, PPN Masukan yang
berhubungan dengan perolehan BKP/JKP tidak dapat dikreditkan.
Dalam perencanaan pajak, memaksimalkan pemanfaatan fasilitas tersebut akan
memberi dampak pada berkurangnya jumlah yang harus dibayar oleh pembeli terhadap
barang yang dibeli dari penjual minimal 10% dari harga jual, dan sebaliknya pemanfaatan
tersebut akan mendorong penjual untuk menurunkan harga jualnya secara proporsional
sehingga terjadi suatu keseimbangan pasar yang baru dari produk yang bersangkutan
akibat dari efisiensi harga yang diperoleh.

7. Sentralisasi Tempat PPN Terutang


Sentralisasi Tempat PPN Terutang adalah, melakukan pemusatan tempat
penerbitan dan pengkreditan faktur pajak. Sebelum mengambil keputusan untuk memilih
pemusatan tempat terutang, sebaiknya perusahaan melakukan penelitian dan
mempertimbangkan mana cara yang lebih menguntungkan, apakah dalam laporan
pajaknya perusahaan memakai sistem sentralisasi atau desent ralisasi.
Dalam Pasal 1A ayat f UU PPN disebutkan bahwa penyerahan Barang Kena
Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar
cabang, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
Pengecualian dari ketentuan tersebut dengan tujuan untuk mempermudah
administrasi perpajakan, wajib pajak dengan kriteria, tertentu yang memliki lebih dari
satu tempat untuk melakukan penyerahan BKP/JKP dapat mengajukan pemohonan
Pemusatan/Sentralisasi Tempat PPN Terutang kepada Kanwil DJP setempat dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Pengusaha kena pajak (PKP) yang terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar dapat
melakukan sentralisasi otomatis sesuai dengan KEP-335 PJ./2002. Dalam hal PKP
tersebut mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha, tempat terutang pajak
untuk seluruh tempat kegiatan usaha tersebut ditetapkan hanya di tempat PKP
dikukuhkan oleh KPP Wajib Pajak Besar.
b. PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang (selain butir a) dapat
memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang.
Dalam hal PKP memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan PPN
Terutang, PKP dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Kepala PKP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat PPN terutang
yang akan dipusatkan (PER-19/PJ/2010).
Sentralisasi tempat terutangnya PPN tersebut pada dasarnya merupakan fasilitas
yang bisa dimanfaatkan oleh PKP. Dengan izin sentralisasi, maka akan terdapat
penghematan biaya administrasi dan pengaturan cash flow perusahaan yang lebih baik
dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN.

8. Memaksimalkan Restitusi PPN


Sebagai subjek PPN, salah satu hak bagi PKP adalah mengkreditkan Pajak
Masukan sesuai dengan ketentuan. Dalam mekanisme indirect substraction method, PKP
hanya membayarkan PPN ke Kas Negara sebesar selisih antara Pajak Keluaran (PK)
dikurangi dengan Pajak Masukan (PM). Penghitungan tersebut dilakukan setiap bulan.
Restitusi PPN adalah pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) yang diberikan oleh negara, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada
Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Apabila dalan suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak (PM lebih besar dari
PK) maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan
dapat direstui pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara
mekanisme PPN akan mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur atau
pemasok pemerintah, diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak. Pemeriksaan
dapat dilakukan kemudian bila diperlukan. Sanksi yang dikenakan lebihbl rendah dari
Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) per bulan, kecuali terdapat indikasi tindak
pidana perpajakan, maka sanksi yang berlaku sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam
UU KUP.
Pemilihan restitusi atau kompensasi sangat bergantung pada kondisi masing-
masing WP atau Pengusaha Kena Pajak. Pertimbangan utama dalam menentukan pilihan
tersebut berkaitan dengan biaya pemeriksaan dan opportunity cost yang timbul dari
kelebihan pajak yang ada di negara (time value of money).
Kriteria umum bagi manajemen dalam memutuskan perlu tidaknya mengajukan
permohonan restitusi PPN:
1. Bila besarnya PPN yang lebih bayar tersebut cukup signifikan/material
Jumlahnya.
2. Bila kondisi keuangan perusahaan mengalami gangguan cash flow.
3. Bila sudah diyakini kesiapan perusahaan untuk diperiksa oleh fiskus.
4. Bila prediksi masa depan pembayaran PPN menunjukkan lebih bayar PPN.

9. PPN Atas Barang Gratis untuk Kepentingan Promosi


Contoh, perusahaan PT ABC yang bergeralk dibidang penerbitan Surat kabar.
Dalam rangka penetrasi pasar, karena perusahaan ini masih baru, manajemennya
mengambil kebijakan -dalam rangka sales promotion memberikan surat kabar secara
gratis kepada pelanggan dan calon pelanggan, katakanlah sebulan lamanya. Dalam
Undang-Undang pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 9(1) e, pemberian ini
dikategorikan sebagai pemberian dalam natura dan oleh sebab itu tidak bisa dibiayakan.
Kebijakan ini diharapkan akan memberikan feedback, bahwa bulan bekutnya akan
mendapat tanggapan positit dari pelanggan dan calon pelanggan berupa order atau repeat
oTder untuk bulan-bulan berikuitnya. Masalahnya, memberikan surat kabar secara cuma-
cuma adalah suatu transaksi penyerahan barang yang menjadi objek PPN. Jadi PPNnya
harus dibayarkan oleh perusahaaan surat kabar tersebut dari harga pokoknya (bukan dari
harga jualnya) sebagai tambahan pengeluaran biaya perusahaan karena tidak mungkin
dapat ditagih dari pelanggan/calon pelanggan yang sudah menerima surat kabar yang
gratisan itu.
Bagaimana tax planningnya, mana yang lebih menguntungkan, apakah langsung
membayar PPN atas pemberian cuma-cuma tersebut atau pemberian cuma-cuma tersebut
diperlakukan sebagai potongan harga?
Sebagai ilustrasi, PT ABC menjual surat kabar ke pelanggannya dalam bulan Oktober
2008:

Cara – I:
Penjualan 2.000 Eksemplar @Rp 4.000 = Rp. 8.000.000
PPN 10% Rp. 800.000
Harga yang di faktur: Harga Jual + PPN Rp. 8.800.000

Bila dalam bulan tersebut terdapat pemberian cuma-cuma sebanyak 200


eksemplar, maka akan dikenakan PPN 10% dari harga pokoknya (misalkan harga
pokoknya @Rp 2.500/eks). Tambahan beban PPN atas pemberian cuma-cuma: 10% x
200 eks x Rp 2.500 Rp 50.000.
Bila cara l ini yang ditempuh, maka dalam bulan Oktober 2008 tersebut sebesar
PT ABCh harus menyetorkan pembayaran PPN ke Kas Negara sebesar Rp 850.000.

Tax planing nya:


Bila PT ABC mau menghemat pajak atas pemberian cuma-cuma tersebut, maka hal ini
dapat dilakukan dengan cara mengubah invoicing atau pemfakturan dalam faktur
pajaknya sebagai berikut:

Cara ll:
Penjualan 2.200 Eksemplar @Rp 4.000 = Rp. 8.800.000
Diskon Rp. 800.000
Dasar Pengenaan Pajak Rp. 8.000.000
PPN 10% Rp. 800.000
Harga yang di faktur: Harga Jual + PPN Rp. 8.800.000
10.Pengendalian Pajak Melalui Tax Review
Setelah Perencanaan Pajak selesai disusun dan diimplementasikan, masih ada satu
tahap lagi yang harus dilakukan, yaitu pengendalian pajak, Pengendalian pajak perlu
dilakukan untuk mengetahui apakah semua perencanaan pajak telah dilaksanakan sesuai
dengan rencana. Pengendalian pajak dapat dilakukan melalui penelaahan pajak (tax
review).
Tax review merupakan pelayanan yang bertujuan untuk menelaah dan meneliti
tingkat kepatuhan wajib pajak secara umum dan memberikan rekomendasi untuk
meminimalkan pajak yang belum diketahui perusahaan. Tax review meliputi seluruh
kewajiban perpajakan waib termasuk PPN dan PPnBM.
Tax Review memiliki tujuan sebagai berikut :
 Untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan implementasi kewajiban dan
prosedural perpajakan dan kemudian dilakukan perbaikan dan penyesuaian
dengan ketentuan peraturan perpajakan.
 Hasil Tax Review dapat digunakan sebagai bahan acuan dasar untuk menysun
SPT Tahunan dan PPh Badan.
 Hasil Tax Review dapat dimanfaatkan sebagai upaya antisipasi apabila sewaktu-
waktu dilakukan pemeriksaan pajak

11.Tanggung Jawab renteng


Dalam dunia perpajakan, tanggung jawab renteng mengacu pada tanggung jawab
pembayaran atas PPN terutang terhadap penjualan Barang/ penyerahan Jasa Kena Pajak
(BKP/JKP), serta penjualan barang yang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM). Pembeli bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak yang
terutang apabila pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagihkan kepada penjual atau
misalnya ketika pembeli/penerima BKP/JKP tidak mampu menunjukkan bukti
pembayaran pajak kepada penjual/pemberi BKP/JKP.
Pada awalnya ketentuan tanggung jawab renteng ini diatur dalam pasal 33 UU
KUP No. 16 thun 2000, kemudian ketentuan ini dihapus dalam UU KUP No. 28 tahun
2007, kemudian dihidupkan kembali dengan penambahan Pasal 16F kedalam UU PPN
No. 42 taun 2009, yakni: “Pembelian Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat
menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar”.
Pada tahun 2006 pemeriksaan pajak dari KPP A melakukan pemeriksaan SPT
Masa PPN untuk masa pajak Januari sampai Desember 2004 dari PKP D, ditemukan
fakta bahwa PKP D dalam suatu masa pajak membeli BKP dengan harga jual Rp 300
juta, ternyata tidak membayar PPN dan tidak bisa menunjukkan faktur pajak.
Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, KPP A menerbitkan SKPKB terhadap PKP D disertai
sanksi bunga sebesar 2% perbulan, dan pokok pajak.
Ketentuan tanggung jawab renteng ini berlaku bagi pihak pembeli atau pejual.
Dalam KUP dijelaskan “sesuai dengan prinsip beban pembayaran PPN Barang dan Jasa
dan PPnBM ada pada pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung
jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang
terutang tersebut ridak dapt ditaguh kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau
penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti pembayaran pajak kepada penjual atau
pemberi jasa.”
Ketika ada aktivitas penyerahan BKP/JKP, pihak penjual seharusnya menerbitkan
faktur pajak keluaran yang berisi bukti pungutan PPN yang dibebankan ke pembeli. Nah,
ketika penjual lalai menerbitkan faktur pajak keluaran, dalam arti terlambat atau ada
kesalahan dalam pencatatan, maka yang akan dikejar oleh Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) adalah pihak pembeli.
Namun, DJP juga tidak serta merta langsung mengejar PKP pembeli. DJP pasti
akan berusaha memeriksa terlebih dahulu PKP penjual. Ketika PKP penjual tidak bisa
ditagih atas pajak terutang, entah karena alasan apapun (bisa jadi PKP lari dari tanggung
jawab), maka tanggung jawab pembayaran pajak terutang tersebut akan jatuh ke PKP
pembeli, meski PKP pembeli tersebut belum menerima faktur pajak yang seharusnya
diterbitkan PKP penjual.

Anda mungkin juga menyukai