Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM


( DINASTI BANI UMAYYAH DI DAMASKUS )

DI

KELOMPOK 4

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-
Nya jualah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “DINASTI BANI UMAYYAH
DI DAMASKUS (Rintisan Sistem Monarci Dalam Islam)” tepat pada waktunya.
Sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kesalahan, begitu juga halnya
dengan kami. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, baik dari segi penulisan maupun isi. Kamipun menerima dengan lapang dada
kritikan maupun saran yang sifatnya membangun dari pembaca agar kami dapat
membenahi diri.
Walaupun demikian, kami berharap dengan disusunya makalah ini dapat membantu
dalam proses belajar maupun mengajar serta dapat bermanfaat bagi pembaca.

Terimakasih.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb

Gowa, 15 september 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

Sampul............................................................................................................................. 1

Kata pengantar.................................................................................................................. 2

Daftar isi............................................................................................................................. 3

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................................................ 4


B. Rumusan Masalah................................................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Berdirinya Dinasti Bani Umayyah.......................................................................... 6


B. Ekspansi dan Politik .............................................................................................. 10
C. Pemerintahan dan Administrasi............................................................................ 12
D. Prestasi di Bidang Sains dan Kebudayaan............................................................. 13
E. Analisis Kemunduran dan Kejatuhan.................................................................... 15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................................ 18
B. Saran...................................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan
yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang
masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan
proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-
dinasti yang berkembang sesudahnya.

Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan


foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur
otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan
hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan
gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah
merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan
dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi
Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali
dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.

Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij
(kelompok yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk
kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi
politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan.
Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan
perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat
Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am jama’ah
karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu kepemimpinan, namun
secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi kerajaan.

4
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam
kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam
perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.

B.     Rumusan Masalah


1.      Bagaimana awal berdirinya Dinasti bani Umayyah ?
2.      Apa saja ekspansi dan politik pada Dinasti Bani Umayyah ?
3.      Bagaimanakah sistem pemerintahan dan Administrasi pada Dinasti Bani Umayyah ?
4.      Apakah prestasi yang diraih pada bidang sains dan kebudayaan ?
5.      Bagaimanakah analisis kemunduran dan kejatuhannya ?

C.     Tujuan Penulisan


1.      Untuk mengetahui awal berdirinya Dinasti Bani Umayyah
2.      Untuk mengetahui ekspansi-ekspansi dan system politik pada Dinasti Bani Umayyah
3.      Untuk mengetahui sistem pemerintahan dan administrasi pada Dinasti bani Umayyah
4.      Untuk mengetahui prestasi-prestasi yang diraih dibidang sains dan kebudayaan
5.      Untuk menganalisis kemunduran dan kejatuhan Dinasti Bani Umayyah

5
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Berdirinya Dinasti Bani Umayyah

1.   Asal Mula Dinasti Bani Umayyah


Pengertian kata Bani menurut bahasa berarti anak, anak cucu atau keturunan.
Dengan demikian yang dimaksud Bani Umayah adalah anak, anak cucu atau keturunan Bani
Umayah bin Abdu Syams dari satu keluarga. Kata Dinasti berarti keturunan raja-raja yang
memerintah dan semuanya berasal dari satu keturunan. Dengan demikian, Dinasti Umayyah
adalah keturunan raja-raja yang memerintah yang berasal dari Bani Umayah.
Adapun istilah lain yang sering digunakan adalah kata Daulah, yang berarti
kekuasaan, pemerintahan, atau negara. Dengan kata lain, Daulah Bani Umayah adalah
negara yang diperintah oleh Dinasti Umayah yang raja-rajanya berasal dari Bani Umayah.
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin
Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M.
Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum
kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan
Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah
dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi
khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan
pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia
tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para
shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at)
kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan
pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib
merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan
khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah
dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata ditentang oleh sekelompok
orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria,

6
dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai
sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke
Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah
khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib
menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada
pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara
dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi
Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657
M. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang
baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik
yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan
lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya.
Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan
mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin
Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib
sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan
menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah
Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil
menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil
individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan
ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah
mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti
Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan,

7
dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah
Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu
bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis
untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi
Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu
Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha
dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari
serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan
pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini
tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan
mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak
menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu
gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur
Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir.
Ketidakpuasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka
menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak
ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat
resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir
untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir,
Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad
yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh
khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat.
Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah
Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat
sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah
dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.

8
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit
dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang
mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam
rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain
Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif.
Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam.
Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini
berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di
sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-
wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.
2.   Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M,
karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh
kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang
cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh
karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan
sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali
bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan
sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran
pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad,
kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja
tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya.
Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga
menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah
sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak
ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat.

9
Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan
bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk
pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh
karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan
kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun
kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum
muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan
tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan
pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang
berisi pesan perdamaian.
B.  Ekspansi Dan Politik
1.    Ekspansi
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh
dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah
dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul.
Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium,
Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh
khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil
menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan
sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke
Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik.
Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat
Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh
tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya,
benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq
bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko
dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama
Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol
menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai.

10
Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol
yang baru setelah jatuhnya Kordova1[1][15]. Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh
kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak
lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan
dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman
ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang
Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya
mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat
di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat,
wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil,
Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di
Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
2.      Politik
Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb
sebagai khalifah adalah sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Pergantian
kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke putera mahkota (dari ayah ke anak atau
saudara) dan dilakukan dengan mekanisme penunjukan, bukan lagi Syuro. Khalifah lebih
berfungsi sebagai Raja, berbeda dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin. Sistem monarki
yang terbangun juga menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum bangsawan dan lingkaran
kekuasaan.
Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya yang
menempatkan Khalifah sebagai pemegang amanah umat. Sehingga, seorang Khalifah pada
saat itu merupakan sebuah konsensus dari umat Islam yang dipilih dengan mekanisme yang
syar’i. Seorang Khalifah ketika era Khulafaur Rasyidin menempatkan kesederhanaan dan
kezuhudan sebagai bagian tak terpisahkan dari seorang Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi
khalifah, paradigma ini secara otomatis berubah. Terdapat beberapa implikasi yang
menyertai Sistem Monarki ini, yaitu :
  Berubahnya pola kekuasaan.

11
  Sentralisasi dan absolutisme kekuasaan yang begitu kental.
  Berkurangnya peran ulama dari lingkaran kekuasaan.
  Kekuasaan ada pada sekeliling istana saja.
Implikasi inilah yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Umayyah.
C.     Pemerintahan Dan Administrasi
“Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak
akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut
sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat
mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka
mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).”
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan
cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun
peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu
bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin
yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh
muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi
kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda
dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan
kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah
diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem
Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun.
Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak
dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun
dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap
anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia
memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari
kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah”
dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.

12
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara
demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara
yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M)
akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat
mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah
dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara
mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan
dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-
681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan
kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan
sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan
kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan,
agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah
terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi
musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para
penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk
melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan
para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran
permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani
Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat,
dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi
sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi
harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin
Abdul Aziz (717-729 M).
D.    Prestasi di Bidang Sains Dan Kebudayaan

1.      Pada Bidang Sains

13
Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan immaterial.
a). Bidang Material :
1.   Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan
menyediakan kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha
menertibkan angkatan bersenjata.
2.      Mu’awiyah merupakan khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan
”anjung” dalam masjid tempat sembahyang. Ia sangat khwatir akan keselamatan
dirinya,    karena khalifah Umar dan Ali, terbunuh ketika sedang melaksanakan
shalat.
3.      Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat
lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai
lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
4.      Mu’awiyah sudah merancang pola pengiriman surat (post), kemudian
dimatangkan lagi pada masa Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini, semakin
ditata dengan baik, sehingga menjadi alat pengiriman yang baik pada waktu itu.
5.      Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-
Malik membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal
dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).
b.)   Bidang Immaterial
1.      Mendirikan pusat kegiatan ilmiah di Kufah dan Bashrah yang akhirnya
memunculkan nama- nama besar seperti Hasan al-Basri, Ibn Shihab al-Zuhri dan
kalam. Washil bin Atha. Bidang yang menjadi perhatian adalah tafsir, hadits,  fikih.
2.     Penyair-penyair Arab baru bermunculan setelah perhatian mereka terhadap
syair     Arab Jahiliyah dibangkitkan. Mereka itu adalah Umar Ibn Abi Rabiah (w. 719
m.), Jamil al-Udhri (w. 701 M.),  Qays Ibn al-Mulawwah (w. 699 M.) yang lebih
dikenal dengan nama Majnun Laila, al-Farazdaq (w 732M.), Jarir (w. 792 M) dan al-
Akhtal (w. 710 M.).
3.      Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Sastra-Seni
4.      Gerakan Penerjemahan dan Arabisasi
Gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), juga dilakukan,
terutama pada masa khalifah Marwan. Pada saat itu, ia memerintahkan

14
penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Aaron, seorang dokter dari
iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani, kemudian diterjemahkan lagi ke dalam
bahasa Arab. Demikian pula, Khalifah memerintahkan menerjemahkan buku
dongeng dalam bahasa sansakerta        yang dikenal dengan Kalilah wa Dimnah,
karya Bidpai. Buku ini diterjemahkan oleh      Abdullah ibnu Al-Muqaffa. Ia juga
telah banyak menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat dan logika,
termasuk karya Aristoteles :Categoris, Hermeneutica,        Analityca Posterior
serta karya Porphyrius :Isagoge.
C). Bidang kebudayaan

Dalam lapangan sosial budaya, bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak
antara bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki
tradisi yang luhur seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hubungan itu lalu melahirkan
kreatifitas baru yang menakjubkan di bidang seni dan ilmu pengetahuan. Di lapangan seni,
terutama seni arsitektur, Bani Umayyah mencatat prestasi puncak, seperti Qubah as-
Shakhra di Yerusalem menjadi monument terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya di
kagumi orang.

E.     Analisis Kemunduran Dan Kejatuhan

1.      Kemunduran Dinasti Bani Umayyah

Sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan oleh Yazid
bin Abdul-Malik (720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman
dan kedamaian, pada masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan
kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid
bin Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan
rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam
bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian
hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari
kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam
bin Abdul-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena
gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.

15
Setelah Hisyam bin Abdul-Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil
berikutnya bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat
golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan oleh Bani
Abbasiyah yang merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, dimana Marwan bin
Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke Mesir,
namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian Marwan bin
Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus) yang
digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani Umayyah di Al-Andalus.

2.      Kejatuhan Dinasti Bani Umayyah

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan jatuhnya Dinsti Bani Umayyah, yakni :

  Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang  menempati Irak dan Arab Selatan
( Himyariyah ) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Umaiyah persaingan antar etnis itu
mencapai puncaknya, karena para  khalifah cenderung kepada satu fihak dan menafikan
yang lainnya.

  Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang
baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “ Mawali “, suatu
status yang menggambarkan inferioritas di  tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab
yang mendapat fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami
beratnya peperangan dan bahkan  beberapa orang di antara mereka mencapai tingkatan
yang jauh di atas rata-rata orang Arab , tetapi harapan mereka untuk mendapatkan
kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan yang di berikan
kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil di banding tunjangan yang di bayarkan kepada
orang Arab.

  Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari
konflik-konflik politik. Kaum syiah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi
yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan umayyah. Disamping
menguatnya kaum Abbasiyah pada masa-masa akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula
tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani
Umayyah dalam memimpin umat.

16
  Persaingan di kalangan anggota Dinasti Bani Umayyah membawa kelemahan kedudukan
mereka.

  Hidup mewah di istana memperlemah jiwa dan vitalitas anak-anak khalifah yang
membuat mereka tidak sanggup memikul beban pemerintahan yang sedemikian besar.

17
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari penjelasan–penjelasan yang telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa
kesimpulan. Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman
bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M.
Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum
kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya Utsman bin Afan maka masyarakat Madinah
mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan masyrakat
melakukan sumpah setia ( bai’at ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35
H.

Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf,
Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin
Affan namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan
kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang
diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah
melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu
kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H
(661 M).

Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan


Persia dan Bizantium, dimana ia menghapus sistem tradisional yang cenderung pada
kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini
dimulai oleh Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan
yang dipimpinnya pada tahun 679 M.

Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai banyak
kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara,
India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi,
kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan,
organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat

18
dan angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan sastra,
bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.

Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor,
dinataranya adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan
dengan golongan oposisi Syi’ah dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku
Arab Selatan, ketidak cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan
kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang didukung
penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.

B.     Saran

Berbicara mengenai sejarah, maka sejarah merupakan ilmu yang tidak akan pernah
ada habisnya. Ingatlah, orang yang cerdas adalah orang yang belajar dari sejarah.

bagi pembaca, kami sangat berharap adanya kritik dan saran yang sifatnya
membangun agar kami dapat memperbaiki makalah kami yang berikutnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

K. Hitti,Piilip. 2008. The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The
Earliest Times to The Present , Cet. Ke-1 Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi.
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Aby Bakar, Istian. 2008. Sejarah Peradaban Islam untuk perguruan tinggi islam dan umum,
Cet-1. UIN malang.
Aminuddin, dkk. 2004. Pendidikan Agama Islam. Jakarta : PT Bumi Aksara
Nasution, syamruddin. 2010. Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik. Pekanbaru : Pusaka Riau

20

Anda mungkin juga menyukai