Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

Ontologi dan Epistemologi Pendidikan

“Disusun dan di ajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur dalam mata kuliah filsafat
pendidikan”

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Anjli Bisna Sari (2010205011)
Annisa Diana Salsabila (2010205025)
Maharani Athenia (2010205034)
Ulfa Fadillah (2010205033)

DOSEN PEMBIMBING :
Dharma Fery, M.Pd

MAHASISWA JURUSAN TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) KERINCI
TAHUN AJARAN 1442 H / 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT. Yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal. Dan berkat
rahmat dan hidayah-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan makalah ”Filsafat
Pendidikan” dengan materi “Ontologi dan Epistemologi Filsafat Pendidikan” dan
Alhamdulillah selesai tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun slalu kami harapkan
demi kesempurnaan bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya serta
semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dan meningkatkan prestasi dimasa yang akan
datang. Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga dari makalah ini,
kita dapat menambah pengetahuan dan member manfaat bagi semua.

Sungai Penuh, September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii


DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1


A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 1
C. Tujuan Pembelajaran ................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 2


A. Ontologi .................................................................................... 2
B. Epistemologi .............................................................................. 4

BAB III PENUTUP .................................................................................... 11


A. Kesimpulan .............................................................................. 11
B. Saran ........................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan genealogi termuda dalam gen agama-agama mapan di muka
bumi ini. Walaupun pada kenyataannya Islam adalah genealogi termuda bukan berarti
Islam1 adalah agama terakhir yang berbicara tentang pendidikan dan maknanya bagi
kehidupan manusia. Dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya Islam
merupakan agama terdepan yang menganjurkan manusia untuk menjadi manusia yang
berilmu. Di samping itu, untuk lebih jelasnya, bahwa Alquran telah memandang bahwa
pendidikan merupakan persoalan pertama dan utama dalam membangun dan
memperbaiki kondisi umat manusia di muka bumi ini.
Pendidikan Islam yang memiliki titik tekan berbeda dengan pendidikan pada
umumnya kemudian harus melihat dengan cara berbeda pula agar konsepnya kemudian
benar-benar dipahami secara utuh oleh semua orang, terutama bagi pendidik dan peserta
didik. Jika dalam pendidikan pada umumnya dasar logikanya bertumpu pada rasionalitas
dan pragmatisme. Tentu di sini pendidikan Islam adalah berbeda dengan pendidikan pada
umumnya. Perbedaan itulah yang pada pelaksanaannya juga berbeda.
Tentu di sini penanaman sikap yang bersumber dari iman dan takwa adalah hal
pertama dan utama. Dalam hal ini, maka kita harus mengetahui dasar dari konsep
pendidikan Islam yang merupakan konsep yang berbeda dengan konsep pendidikan pada
umumnya. Perbedaan konsep itulah yang perlu kita pahami bersama.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ontologi Filsafat Pendidikan?
2. Bagaimana Epistemologi Filsafat Pendidikan?

C. Tujuan
1. Mengetahui Ontologi Filsafat Pendidikan
2. Mengetahui Epistemologi Filsafat Pendidikan

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ontologi

1. Pengertian Ontologi

Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani, yaitu Ontos: being, dan Logos: Logic.
Jadi, ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan) atau ilmu tentang yang ada. Ontologi diartikan sebagai suatu cabang
metafisika yang berhubungan dengan kajian mengenai eksistensi itu sendiri. Ontologi
mengkaji sesuai yang ada, sepanjang sesuatu itu ada.

Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum, atau merupakan bagian dari
metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Obyek telaah ontologi
adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang
yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang
meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.

Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat empiris.
Untuk mengkaji lebih mendalam hakikat obyek empiris, maka ilmu membuat beberapa
asumsi (andaian) mengenai objek itu. Asumsi yang sudah dianggap benardan tidak
diragukan lagi adalah asumsi yang merupakan dasar dan titik tolak segala pandang
kegiatan.

Asumsi itu perlu sebab pernyataan asumtif itulah yang memberikan arah dan landasan
bagi kegiatan penelaahan. Ada beberapa asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh
ilmu, yaitu:
a. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan antara yang satu dengan
yang lainnya, misalnya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya.
b. Kedua, menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka
waktu tertentu.
c. Determinisme yakni menganggap segala gejala bukan merupakan suatu kejadian yang
bersifat kebetulan.

2
Pertanyaaan mendasar yang muncul dalam tataran ontologi adalah untuk apa
penggunaan pengetahuan itu?
Artinya untuk apa orang mempunyai ilmu apabilakecerdasannya digunakan untuk
menghancurkan orang lain, misalnya seorang ahli ekonomi yang memakmurkan
saudaranya tetapi menyengsarakan orang lain, seorangilmuan politik yang memiliki
strategi perebutan kekuasaan secara licik.

2. Dasar ontologis ilmu pendidikan

Hal yang melatarbelakangi filsafat, yaitu diperlukan dasar ontologis dari ilmu
pendidikan. Aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman
pancaindra, yaitu dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu
pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya,
yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui
manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri
warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu
pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan.
Di dalam situasi sosial, manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi
makhluk berperilaku individual danatau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu
dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar
mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu.

Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan
antarpribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya
mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi
mengingat pihak pendidik yang berkepribadian secara utuh memperlakukan peserta
didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terlepas dari faktor umum, jenis kelamin
ataupun pembawaannya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh, maka menurut Gordon
(1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan
peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru.

3
Dengan demikian, pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat
optimal, misalnya hasil tes hasil belajar (THB) summatif, NEM atau pemerataan
pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi.

B. Epistimologi
1. Pengertian Epistimologi

Epistemologi adalah studi tentang sifat dan ruang lingkup pengetahuan dan keyakinan
yang dibenarkan, sehingga rumusan masalahnya mengkaji tentang problem yang
berkaitan dengan penciptaan dan penyebaran pengetahuan di bidang penyelidikan
tertentu.

Bersama dengan metafisika, logika, dan etika, ini adalah salah satu dari empat cabang
utama filsafat, dan hampir setiap filsuf besar telah berkontribusi padanya.

2. Pengertian Epistemologi Menurut Para Ahli

Adapun definisi epistemologi menurut para ahli, antara lain:

a. Dagobert D. Runes

Pengertian epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang mengkaji tentang
sumber pengetahuan. Struktur sosial pengetahuan, dan metode-metode, serta validasi
pengetahuan.

b. Jujun S. Sumantri

Arti epistemologi adalah cara berpikir manusia dalam menentukan dan


mendapatkan ilmu dengan menggunakan berbagai kemampuan yang tertanam dalam
diri seorang seperti kemampuan rasio, indera, dan intuisi.

c. Mujamil Qomar

Makna epistemologi adalah sebagai salah satu bagian filsafat yang mempelajari
secara mendalam tentang pengetahuan manusia.

4
3. Metode-metode Epistimologi

Metode epsitemologi atau metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan


pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat
metode ilmiah. Metode, menurut Senn, merupakan prosedur atau cara mengetahui
sesuatu, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis.

Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan


dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-
peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.

Proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia mengamati
sesuatu. Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang diamati dan dikaji hanya pada
masalah yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengetahuan manusia.Jadi ilmu
tidak mempermasalahkan tentang hal-hal di luar jangkauan manusia. Karena yang
dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata
pula.Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta,
apapun juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya.

Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam
dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan
secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan
suatu penjelasan rasional yang berkesusaian dengan obyek yang dijelaskannya.Suatu
penjelasan biar bagaimanapun meyakinkannya, harus didukung oleh fakta empiris untuk
dinyatakan benar.

Pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah


yang disebut metode ilmiah .Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara
konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang
sesuai dengan fakta dari yang tidak.

Berkembangnya metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan


teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris.
Metode ini dikembangkan lebih lanjut oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan

5
Islam.Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh para pemikir Yunani
dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Perjalanan sejarah, lewat orang-orang
Muslimlah, dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan kekuatannya.

Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai pengaruh
penting terhadap cara berpikir manusia. Sebab dengan berbagai penjelasan teoritis dapat
diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.

4. Persyaratan Epistemologi

Suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat memenuhi


persyaratan-persyaratan, sebagai berikut.

a. Ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti, baik yang berhubungan dengan
alam (kosmologi) maupun tentang manusia (biopsikososial). Ilmu mensyaratkan
adanya obyek yang diteliti. Lorens Bagus (1996) menjelaskan bahwa dalam teori
skolastik terdapat pembedaan antara obyek material dan obyek formal. Obyek
material merupakan obyek konkrit yang disimak ilmu. Sedangkan obyek formal
merupakan aspek khusus atau sudut pandang terhadap ilmu. Yang mencirikan
setiap ilmu adalah obyek formalnya. Sementara obyek material yang sama dapat
dikaji oleh banyak ilmu lain.

b. Ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di dalamnya berisi pendekatan


dan teknik tertentu. Metode ini dikenal dengan istilah metode ilmiah. Dalam hal
ini, Moh. Nazir mengungkapkan bahwa metode ilmiah boleh dikatakan suatu
pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan
logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis
dari fakta-fakta, maka metode ilimiah berkehendak untuk mencari jawaban
tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis.

Almack (1939) mengatakan bahwa metode ilmiah adalah cara menerapkan


prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan, dan penjelasan kebenaran.

6
Sedangkan Ostle (1975) berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pengejaran
terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interrelasi.

Selanjutnya pada bagian lain Moh. Nazir mengemukakan beberapa kriteria


metode ilmiah dalam perspektif penelitian kuantitatif, di antaranya:
a. Berdasarkan fakta.
b. Bebas dari prasangka.
c. Menggunakan prinsip-prinsip analisa.
d. Menggunakan hipotesa.
e. Menggunakan ukuran obyektif dan menggunakan teknik kuantifikasi.

Belakangan ini berkembang pula metode ilmiah dengan pendekatan kualitatif.


Nasution (1996:9-12) mengemukakan ciri-ciri metode ilmiah dalam penelitian
kualitatif, di antaranya:
a. Sumber data ialah situasi yang wajar atau natural setting.
b. Peneliti sebagai instrumen penelitian.
c. Sangat deskriptif.
d. Mementingkan proses maupun produk.
e. Mencari makna.
f. Mengutamakan data langsung.
g. Triangulasi
h. Menonjolkan rincian kontekstual
i. Subyek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti.
j. Mengutamakan perspektif emik.
k. Verifikasi.
l. Smpling yang purposive.
m. Menggunakan audit trail.
n. Partisipatif tanpa mengganggu.
o. Mengadakan analisis sejak awal penelitian.
p. Desain penelitian tampil dalam proses penelitian.

7
c. Pokok permasalahan (subject matter atau focus of interest). Ilmu mensyaratkan
adanya pokok permasalahan yang akan dikaji. Ketika masalah-masalah itu
diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka masalah-masalah yang sederhana
tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu
yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi
sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke
dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan
diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara
memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan
ideologi.

5. Aliran Epistemologi
a. Empirisme
Empirisme adalah sebuah orientasi filsafat yang berhubungan dengan
kemunculan ilmu pengetahuan modern dan metode ilmiah. Empirisme
menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang
dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu, aliran empirisme memiliki sifat kritis
terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu.
Strategi utama pemerolehan ilmu dilakukan dengan penerapan metode ilmiah.
Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahua.
modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu,
tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu
pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan
sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat
yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial.
b. Realisme
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah
terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang terbangun dari dalam.
Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap
gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan,
realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari

8
realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan
didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari
observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa
kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat
diobservasi secara langsung. Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang
bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan simbol-simbol
linguistik dan kesadaran manusia.
c. Idealisme
Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin
tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran
manusia. Dengan kata lain kategori dan gagasan eksis di dalam ruang kesadaran
manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalamanpengalaman inderawi.
Pandangan Plato bahwa semua konsep eksis terpisah dari entitas materinya, hal
ini dapat dikatakan sebagai sumber dari pandangan idealisme radikal. Karya dan
pandangan Plato memberikan garis demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran
idealis dengan pandangan materialis.
Sumbangan idealisme terhadap ilmu pengetahuan modern sangatlah jelas.
Ilmu pengetahuan modern diniscayakan oleh kohesi antara bukti-bukti empiris
dan formasi teori. Kaum materialis mendasarkan pemikirannya pada bukti-bukti
empiris, sedangkan kaum idealis pada formasi teori.
d. Positivisme
Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang
menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu
pengetahuan dan penelitian. Salah satu bagian dari tradisi positivisme adalah
sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini
dikembangkan oleh para filsuf yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’
(Calhoun, 2002) pada awal abad ke dua puluh. Sebagai salah satu bagian dari
positivisme, positivisme logis ingin membangun kepastian ilmu pengetahuan
yang disandarkan lebih pada deduksi logis daripada induksi empiris.
Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi
positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul Karl Foyerabend, W.V.O. Quine, dan

9
filsuf lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan
berbagai metodologi.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum, atau merupakan bagian dari
metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Obyek telaah ontologi
adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang
yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang
meliputi segala realitas dalam semua bentuknya
Hal yang melatarbelakangi filsafat, yaitu diperlukan dasar ontologis dari ilmu
pendidikan. Aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman
pancaindra, yaitu dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu
pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya,
yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui
manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri
warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Epistemologi adalah studi tentang sifat dan ruang lingkup pengetahuan dan keyakinan
yang dibenarkan, sehingga rumusan masalahnya mengkaji tentang problem yang
berkaitan dengan penciptaan dan penyebaran pengetahuan di bidang penyelidikan
tertentu.
B. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas
masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan
segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari
beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muis Thabrani, 2015, Filsafat Dalam Pendidikan. Jember, IAIN Jember Press

Amka, 2019, Filsafat Pendidikan, sidoarjo: Nizamia Learning Center

2018.Jurnal Studi Keislaman Volume 4. Cendikia

Ibid. 2020, Konsepsi Umum Epistemologi. hlm. 33-34

Kristiawan, Muhammad. 2016. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Valia Pustaka

Barnadib. 1987. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: IKIP

12

Anda mungkin juga menyukai