Anda di halaman 1dari 5

Pemahaman Mahasiswa terhadap Pemeriksaan Kesadaran

Glasgow Coma Scale


Ellen Josephine Handoko
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
josephine.ellen@student.uns.ac.id

Abstract. Head injury commonly occurred in accident for example in car crash. The
number of accidents occurred from 2007 until 2016 is 64 with 698 numbers of death. Based
on a research in Surabaya, there were 2126 people that experienced head injury. The
longer it takes for head injury victims to get help, the higher the risks of death and
permanent defect it cause. Therefore it is a need to detect head injury as soon as possible.
One way to detect lesions in the neurological system is by using Glasgow Coma Scale.
Glasgow Coma Scale scores patient’s consciousness from three categories which are
eyes, verbal and motor.

Keywords : Glasgow Coma Scale, accident, head injury

I. PENDAHULUAN

Di masa kini, semua hal serba mudah dan cepat. Tak terkecuali dalam hal transportasi. Pada
masa lalu, manusia mengalami kesulitan untuk berpindah tempat sehingga manusia mulai
menciptakan alat transportasi, yang awalnya hanya memanfaatkan binatang seperti kuda/keledai,
manusia mulai berinovasi dan menciptakan alat transportasi seperti lokomotif, mobil, sepeda
motor, balon udara hingga pesawat. Semua alat transportasi ini bertujuan untuk mempermudah
manusia berpindah tempat. Perkembangan dalam dunia transportasi juga selaras dengan
perkembangan teknologi, contoh konkretnya ialah kemunculan transportasi daring.
Kemudahan dalam transportasi, meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas. Secara
definitif, kecelakaan lalu lintas merupakan sebuah kejadian yang melibatkan sebuah kendaraan
bermotor yang bertabrakan dengan benda atau kendaraan bermotor lainnya. Tak jarang,
kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan luka-luka bahkan kematian pada manusia atau
binatang. Berdasarkan data yang dihimpun dan diinvestigasi oleh Komite Nasional Keselamatan
Transportasi Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, selama kurun waktu 10 tahun dari
tahun 2007 sampai dengan tahun 2016 telah terjadi 64 kali kecelakaan transportasi lalu lintas.
Dari 64 kasus tersebut, 698 korban meninggal dunia dan 1171 korban mengalami luka-luka.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSU dr. Soetomo Surabaya, sebanyak 2126 orang
mengalami cedera kepala dan 66,7% di antaranya terjadi karena kecelakaan lalu lintas.
Kecelakaan lalu lintas dapat menyebabkan cedera kepala. Pasien dengan cedera kepala yang
tidak tertangani dengan baik sangat rentan dengan kecacatan permanen atau bahkan kematian.
Untuk mengetahui apakah seorang korban kecelakaan mengalami cedera kepala atau tidak harus
dilakukan evaluasi. Evaluasi awal dan termudah yang dapat dilakukan ialah Primary Survey yang
terdiri dari pemeriksaan ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure).
Pemeriksaan Primary Survey merupakan salah satu penanganan pertama terhadap trauma
berdasarkan pedoman Advanced Trauma Life Support (ATLS). Setelah Primary Survey,
dilakukan Secondary Survey yang memeriksa keadaan pasien dari ujung kepala hingga ujung
kaki. Setelah dilakukan Primary Survey dan Secondary Survey, pasien dipindai baik CT Scan
maupun rontgen untuk mengecek apakah ada trauma atau pendarahan internal yang tidak dapat
dideteksi saat Secondary Survey.
Pada saat pemeriksaan Disability, pemeriksa mengecek tingkat kesadaran pasien dengan
AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unconscious) atau GCS (Glasgow Coma Scale). AVPU lebih mudah
dilakukan saat di lapangan namun GCS lebih akurat untuk mendeteksi trauma kepala. Trauma
kepala akan menimbulkan cedera jaringan otak yang dapat menyebabkan fragmentasi jaringan
dan kontusio serta kerusakan sawar darah otak.
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan skala yang diciptakan pada tahun 1974 oleh Graham
Teasdale dan Bryan Jennet. GCS bertujuan untuk mengetahui level kesadaran pasien yang
mengimplementasikan ada tidaknya cedera otak akut. Pemeriksaan GCS ini terdiri dari tiga
komponen pemeriksaan yaitu mata, verbal dan gerakan/motorik (eyes, verbal and motor). Pada
setiap kondisi, memiliki skor tertentu dan skor tersebut menggambarkan bagaimana tingkat
kesadaran pasien.

Aspek Kondisi yang Dialami Pasien Skor


Pemeriksaan
MATA (EYES) Mata terbuka spontan 4
Pasien membuka mata terhadap suara 3
Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri (penekanan 2
pada supraorbita : area di atas kelopak mata)
Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak 1
membuka mata)
VERBAL Baik dan tidak disorientasi (dapat menjawab dengan kalimat 5
yang baik dan tahu dimana ia berada)
Pasien bingung (tidak ada korelasi antara pertanyaan 4
pemeriksa dengan jawaban pasien, meski pasien mampu
menjawab dengan kalimat)
Pasien hanya menjawab dengan kata-kata (contoh : aduh, ibu, 3
rumah)
Pasien mengerang 2
Tidak ada jawaban 1
MOTORIK Pasien mampu mengikuti perintah pemeriksa (contoh : 6
mengangkat lengan)
Pasien mampu melokalisasi nyeri (saat pasien dirangsang 5
nyeri pada area supraorbita : area di atas kelopak mata, pasien
mengangkat lengan melebihi dagu, artinya pasien mengetahui
lokasi nyeri)
Pasien menghindar saat dirangsang nyeri (saat pemeriksa 4
memberi rangsang nyeri, pasien hanya membuang muka untuk
menghindari nyeri)
Reaksi fleksi abnormal (saat dirangsang nyeri, pasien memberi 3
respon berupa menekuk/fleksi siku dan pergelangan tangan)
Reaksi ekstensi abnormal (saat dirangsang nyeri, pasien 2
memberi respon berupa meluruskan/ekstensi siku dan
menekuk pergelangan tangan ke arah dalam)
Tidak ada reaksi 1

Tingkat kesadaran pasien dibagi menjadi 4 keadaan berdasarkan skor GCS totalnya :
Tingkat Kesadaran Pasien Skor GCS
Composmentis 15
Somnolen/Letargis 13-14
Soporokomatus 8-12
Koma 3-7
Contoh pelaporan kondisi pasien ialah E2, V3, M5 artinya pasien membuka mata saat diberi
rangsang nyeri, respon verbal pasien hanya berupa kata-kata dan respon motorik pasien ialah
mampu melokalisasi nyeri. Dengan demikian tingkat kesadaran pasien ialah soporokomatus. Pada
kondisi ini ada beberapa kemungkinan cedera yang dialami pasien seperti meningitis, pendarahan
pada otak (pendarahan spatium subarachnoid), dan stroke emboli.
Berdasarkan salah satu wawancara peneliti dengan salah seorang responden yang pernah
terlibat dalam suatu kecelakaan lalu lintas, GCS adalah salah satu upaya vital dalam penanganan
pertama dan hasil GCS yang diperoleh korban akan berpengaruh terhadap tindakan lanjutan yang
akan dilakukan kepada probandus. Menurut pengalaman responden, saat korban dilarikan ke
rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan lanjutan, tenaga medis yang ada di rumah sakit akan
menanyakan bagaimana kondisi pasien saat dievaluasi pertama kali (hasil primary survey) dan
berapakah skor GCS pasien tersebut. Penurunan skor GCS sebesar 1 atau 2 poin saja dapat
mengimplentasikan adanya penurunan fungsi neurologis dan memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut seperti Computerized Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI).
Maka dari itu, sangat penting pemahaman akan GCS karena kecelakaan lalu lintas dapat
terjadi dimana saja dan kapan saja dan GCS berperan dalam mengurangi risiko cedera otak
permanen karena melalui GCS, tenaga medis dapat mengetahui tindakan medis apa yang tepat
dan sesuai dengan kondisi korban.
Pada praktiknya, GCS hanyalah salah satu pemeriksaan neurologis. Untuk bisa mendapatkan
diagnosis pasti mengenai lokasi kelainan neurologis, harus dilakukan pula pemeriksaan lain
seperti refleks pupil, refleks batang otak, pemeriksaan tanda meningeal dan pemeriksaan lainnya.
Meski pemeriksaan GCS mudah dilakukan dan dapat memberikan gambaran tentang keadaan
neurologis pasien, pemeriksaan GCS tetap memiliki kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah
pemeriksaan GCS sangat mengandalkan kemampuan pemeriksa. Mungkin saja, skor GCS antara
pemeriksa satu dengan lainnya berbeda. Dalam kondisi tertentu bahkan aspek-aspek dalam
pemeriksaan GCS tidak dapat diperiksa. Contohnya seorang pasien mengalami kecelakaan lalu
lintas dan mengalami cedera pada mata. Cedera tersebut sangat parah sehingga menyebabkan
terjadinya pembengkakan pada wajah pasien yang menyebabkan mata pasien tidak dapat dibuka.
Dalam kejadian seperti ini, GCS mata pasien tidak bisa diperiksa dan skor GCS mata pasien
dilambangkan dengan tanda setrip. Artinya pasien tidak dapat membuka mata namun hal ini
bukan disebabkan karena cedera neurologis namun karena cedera pada wajah pasien yang
menyebabkan mata pasien tidak dapat dibuka.
Berdasarkan uraian masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai “Pemahaman Mahasiswa terhadap Pemeriksaan Kesadaran Glasgow Coma Scale” dan
dirumuskan masalah penelitian yaitu “Bagaimana Pemahaman Mahasiswa terhadap
Pemeriksaan Kesadaran Glasgow Coma Scale serta interpretasi dan tidak lanjut terhadap hasil
pemeriksaan GCS?”

II. METODE PENELITIAN


Konsep penelitian yang dilakukan ialah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
mendapatkan gambaran yang utuh mengenai pemahaman mahasiswa terhadap pemeriksaan GCS
dan kemampuan mahasiswa untuk menginterpretasikan kondisi pasien dengan skor GCS.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Juni-20 Juli 2019 dengan cara menyebar kuisioner
daring menggunakan aplikasi Google Forms.
Populasi dalam penelitian ini kurang lebih 20% dari jumlah total mahasiswa kedokteran
Universitas Sebelas Maret angkatan 2018 sebanyak 221 mahasiswa. Jumlah responden yang
mengisi kuisioner ialah 46 responden. Mahasiswa yang dapat menjadi responden ialah mahasiswa
yang memenuhi kriteria yaitu responden bersedia untuk mengisi kuisioner dan responden terdaftar
sebagai mahasiswa Program Studi Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Selain kuisioner, dilakukan juga wawancara kepada dua responden untuk menunjang validitas
kuisioner.
Kuisioner dalam penelitian ini menggunakan skala Guttman. Skala ini merupakan skala yang
bersifat definit karena memberikan jawaban yang konsisten dan tegas karena jawaban berupa
pernyataan benar atau salah, ya atau tidak. Apabila responden berhasil menjawab kuisioner
dengan benar, responden akan mendapat nilai 1 untuk setiap nomor soal dengan nilai maksimal
sebesar 11 dan nilai 0 untuk setiap nomor yang dijawab oleh responden.
Setelah data terkumpul, peneliti memeriksa kelengkapan kuisioner yang telah dijawab oleh
responden dan mengolah data tersebut. Jika responden mampu menjawab 75% dari soal kuisioner
dengan tepat maka responden dinyatakan memiliki pemahaman yang baik terhadap Glasgow
Coma Scale. Namun apabila jawaban benar responden kurang dari 75%, responden dinyatakan
belum memahami Glasgow Coma Scale.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Pekerjaan Responden Usia Frekuensi


Mahasiswa Kedokteran 17 tahun 2 orang
Universitas Sebelas Maret 18 tahun 16 orang
Angkatan 2018 19 tahun 24 orang
20 tahun 4 orang
TOTAL 46 orang

B. Tingkat Pemahaman Responden terhadap GCS

Tingkat Pemahaman Responden Frekuensi


Responden memahami Glasgow Coma Scale 42 orang
Responden belum memahami Glasgow Coma Scale 4 orang
TOTAL 46 orang

Keterangan : Responden dinyatakan memahami Glasgow Coma Scale apabila setelah mengisi
kuisioner, responden mendapat nilai 8 atau lebih dan responden dinyatakan belum memahami
Glasgow Coma Scale apabila mendapat nilai kurang dari 8.

IV. SIMPULAN
Berdasarkan pengambilan data melalui kuisioner, didapatkan hasil bahwa sebanyak 91,3%
responden memahami Glasgow Coma Scale dan sebanyak 8,7% responden belum memahami
Glasgow Coma Scale. Kuisioner ini ditunjang dengan wawancara dengan dua responden yang
memahami Glasgow Coma Scale meskipun belum pernah memraktikkan secara langsung kepada
pasien.

V. SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapat bahwa sebagian besar mahasiswa
Program Studi Kedokteran Universitas Sebelas Maret telah memiliki pemahaman terhadap
Glasgow Coma Scale. Oleh karena itu, mahasiswa Universitas Sebelas Maret yang telah
memahami Glasgow Coma Scale memiliki kemampuan untuk mengedukasi baik mengedukasi
mahasiswa Universitas Sebelas Maret lainnya yang belum memahami Glasgow Coma Scale
maupun mengedukasi masyarakat sekitar tentang Glasgow Coma Scale. Hal ini penting karena
kecelakaan lalu lintas masih kerap terjadi di Indonesia dan Glasgow Coma Scale merupakan salah
satu faktor yang memegang peranan penting dalam meningkatkan jumlah korban selamat
kecelakaan lalu lintas terutama korban yang mengalami trauma kepala.

VI. DAFTAR PUSTAKA


Antara, H., Demografi, K., Status, D., Cedera, K., Lalu, A. K., & Mariana, A. T. (2017).
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/. 1–9.
Bhaskar S. (2017). Glasgow Coma Scale: Technique and Intepretation OPEN ACCESS Surgical
Technique. 2, 1575. Retrieved from http://clinicsinsurgery.com/
Campbell, W. M. (2013). DeJong’s The Neurologic Examination 7th ed. Philadelphia: Lippincott,
Williams & Wilkins.
Kelley, S. D. (2007). Level-of-consciousness monitoring. Anesthesia in Cosmetic Surgery, (Ii),
23–38. https://doi.org/10.1017/CBO9780511547218.006
Kool, D. R., & Blickman, J. G. (2007). Advanced trauma life support®. ABCDE from a
radiological point of view. Emergency Radiology, 14(3), 135–141.
https://doi.org/10.1007/s10140-007-0633-x
Mehta, R., & Chinthapalli, K. (2019). Glasgow Coma Scale Explained.
https://doi.org/https://doi.org/10.1136/bmj.l1296
Middleton, P. M. (2012). Practical use of the Glasgow Coma Scale; a comprehensive narrative
review of GCS methodology. Australasian Emergency Nursing Journal, 15(3), 170–183.
https://doi.org/10.1016/j.aenj.2012.06.002
Saputra, A. D. (2018). Studi Tingkat Kecelakaan Lalu Lintas Jalan di Indonesia Berdasarkan Data
KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) dari Tahun 2007-2016. Warta
Penelitian Perhubungan, 29(2), 179. https://doi.org/10.25104/warlit.v29i2.557
Sumarno, Hidajat, M., & Rini, I. S. (2016). Glasgow Coma Scale (Gcs), Tekanan Darah Dan
Kadar Hemoglobin Sebagai Prediktor Kematianpada Pasien Cedera Kepala. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Keperawatan, 12(3), 154–164.

Anda mungkin juga menyukai