Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa adalah suatu keadaan dimana seseorang merasa sehat dan
bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima orang lain
sebagaimana seharusnya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan
orang lain. Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (Kementrian
Kesehatan Respublik Indonesia, 2014). Kesehatan jiwa mencakup segala aspek
kehidupan manusia mulai dari kondisi sehat, resiko maupun gangguan. Stres
adalah salah satu gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh
perubahan dan tuntutan kehidupan (Donsu, 2017). Stres juga bisa diartikan
sebagai tekanan, ketegangan, gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal
dari luar diri seseorang (Donsu, 2017).
Kejadian stres masih tinggi dan sangat bervariasi pada berbagai kelompok
di Indonesia. Hasil Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan
bahwa 11,6% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan
mental emosional. Pada Riskesdas tahun 2013, angka tersebut menunjukkan
penurunan menjadi 6%. Hasil penelitian pada anggota majelis taklim di Jakarta
Selatan menunjukkan bahwa prevalensi stres mencapai 13,3% (Besral &
Widiantini, 2015). Hasil penelitian stres pada kelompok pekerja lebih tinggi
daripada populasi umum, contohnya di Jakarta pada eksekutif muda kejadian stres
mencapai 25%. Sedangkan pada penderita penyakit kronis, kejadian stres lebih
tinggi lagi, contohnya kejadian stres pada penderita stroke di Semarang mencapai
79% (Besral & Widiantini, 2015).
Stres merupakan bagian yang normal dari kehidupan kita sehari-hari dan
dibutuhkan sebagai dorongan agar kita dapat menjalankan kegiatan-kegiatan.
Contoh stres dalam kehidupan sehari-hari misalnya orang dewasa dituntut untuk
bekerja dan menghidupi diri dan keluarganya, orangtua dituntut untuk mengasuh
dan memelihara anaknya, anak-anak dituntut untuk mengerjakan tugasnya, dan
sebagainya (Palang Merah Indonesia, 2015). Segala sesuatu yang dapat
menghasilkan stres disebut sebagai stressor. Stres bisa menganggu kesehatan
fisik maupun mental jika melebihi kemampuan seseorang dalam menghadapinya.
Kondisi di mana beban stres sudah terlampau besar disebut sebagai distress.
Seseorang bisa mengalami distress secara bertahap atau tiba-tiba. Distress
bertahap terjadi akibat beban-beban yang menumpuk tanpa diimbangi dengan
bertambahnya kekuatan seseorang untuk menghadapi atau menyelesaikan
masalah. Sementara Distress tiba-tiba terjadi karena adanya suatu peristiwa luar
biasa yang melebihi batas kemampuan seseorang untuk menghadapinya (Palang
Merah Indonesia, 2015). Masalah kesehatan ini perlu menjadi perhatian utama
dalam setiap upaya peningkatan sumber daya manusia, tidak hanya pada orang
dewasa tetapi yang perlu juga mendapatkan perhatian yaitu anak dan remaja,
dimana anak dan remaja merupakan generasi yang perlu disiapkan sebagai aset
kekuatan bangsa.
Beberapa orang belum mengetahui bagaimana cara melakukan teknik
manajemen stres dengan benar. Perawat memiliki peranan penting dalam
mengedukasi klien terkait stres dan cara mengatasinya. Melihat pentingnya
penanganan stres yang tepat, oleh karena itu diperlukan pembahasan mengenai
konsep stres dan bagaimana cara melakukan manajemen stres dengan tepat.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang ada di atas, maka rumusan masalah yang
ditemukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep klasifikasi, bentuk dan penyebab stres?
2. Bagaimanakah teknik manajemen stres yang tepat?

1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini terbagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus, dengan penjabaran sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan dan menganalisis klasifikasi, bentuk dan penyebab stres
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan proses terjadinya stres
2. Menjelaskan teknik manajemen stres yang tepat

1.4. Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah manajemen stres
adalah:
1. Mahasiswa mampu memahami tentang klasifikasi, bentuk dan
penyebab stres, sehingga makalah ini dapat menjadi penunjang
pembelajaran perkuliahan pada mata kuliah Manajemen Stres.
2. Mahasiswa mampu memahami kelebihan dan kekurangan penerapan
digital pain management pada klien dengan nyeri kronis, sehingga
dapat menjadi bekal saat melakukan proses asuhan keperawatan secara
langsung kepada klien.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Stres dan Adaptasi


2.1.1. Pengertian
Stres adalah reaksi non-spesifik manusia terhadap rangsangan
atau tekanan. Stres adalah suatu reaksi adaptif, bersifat sangat
individual, sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama
tanggapannya bagi orang lain. Hal ini sangat dipengauhi oleh tingkat
kematangan berpikir, tingkat pendidikan, dan kemampuan adaptasi
seseorang terhadap lingkungannya (Hartono, 2011). Stres adalah
perasaan tegang yang disebabkan adanya stresor. Bila seseorang
mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh, maka bisa
disebut juga dia mengalami stres. Stres tidak dapat dipisahkan dari
distresss, kecemasan, dan depresi, karena satu sama lainnya saling
terkait (Hawari, 2008).
Stres merupakan reaksi terhadap permasalahan kehidupan yang
dialami seseorang, apabila ada masalah atau fungsi organ tubuh
sampai terganggu dinamakan distresss. Sedangkan kecemasan dan
depresi merupakan reaksi kejiwaan terhadap stressor yang dialaminya.
Dalam banyak hal, manusia akan cukup cepat untuk kembali pulih
dari pengaruh-pengaruh berdasarkan pengalaman stres yang telah
dialami dan diresponsnya dengan baik. Manusia mempunyai
kemampuan penyesuaian diri karena memiliki energi yang dapat
dipakai dan diisi kembali bilamana perlu (Yusuf, 2004). Berdasarkan
penjelasan-penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa stres adalah
suatu peristiwa atau pengalaman yang berasal dari situasi bersumber
pada sistem biologis, psikologis, maupun sosial, dan dapat
memberikan tekanan emosi pada seseorang sebagai sesuatu yang
mengancam ataupun membahayakan, sehingga membuat individu
tersebut menjadi positif atau negatif tergantung sikap dalam
menghadapinya.
2.1.2. Sumber stresor
Sumber stresor terdapat dua macam, yaitu (Hartono, 2011):
1. Stresor internal
Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang. Misalnya
terkena penyakit, hamil, menopause, rasa bersalah yang
berlebihan, dan keadaan-keadaan lainnya yang dapat
menimbulkan perubahan emosi menjadi buruk.
2. Stresor eksternal
Stresor yang berasal dari luar diri seseorang. Misalnya perubahan
bermakna pada suhu lingkungan, perubahan peran dalam
keluarga atau sosial, tekanan dari pasangan, dan tekanan-tekanan
lain yang berasal dari luar tubuh seseorang.
2.1.3. Klasifikasi stressor
Klasifikasi stresor terdapat tiga macam, yaitu (Hartono, 2011):
1. Catacysmic Event
Fenomena besar atau tiba–tiba terjadi, seperti kejadian-kejadian
penting yang mempengaruhi banyak orang seperti bencana
alam.
2. Personal Stressor
Kejadian–kejadian penting mempengaruhi sedikit orang atau
sejumlah orang tertentu, seperti kritis keluarga.
3. Background stressor
Permasalahan yang bisa terjadi setiap hari, seperti masalah
dalam pekerjaan dan rutinitas pekerjaan.
2.1.4. Sumber-Sumber Stres
Terdapat beberapa sumber-sumber stress yang dapat
mengganggu kesehatan psikis manusia. Sarafino & Smith (2010)
membagi tiga jenis sumber stres yang dapat terjadi pada kehidupan
individu :
1. Sumber yang berasal dari individu
Ada dua cara stres berasal dari individu. Pertama adalah
melalui adanya penyakit. Penyakit yang diderita individu
menyebabkan tekanan biologis dan psikologis sehingga
menimbulkan stres. Sejauh mana tingkat stres yang dialami
individu dengan penyakitnya dipengaruhi faktor usia dan
keparahan penyakit yang dialaminya. Cara kedua adalah melalui
terjadinya konflik. Konflik merupakan sumber yang paling
utama. Didalam konflik individu memiliki dua kecenderungan
yang berlawanan: menjauh dan mendekat.
Individu harus memiliki dua atau lebih alternatif pilihan
yang masing–masing memiliki kelebihan dan kekurangannya se
ndiri. Keadaan seperti ini banyak dijumpai saat individu
dihadapkan pada keputusan–keputusan mengenai kesehatannya.
2. Sumber yang berasal dari keluarga
Stres dalam keluarga dihasilkan melalui adanya perilaku,
kebutuhan – kebutuhan dan kepribadian dari masing – masing
anggota keluarga yang berdampak kepada anggota keluarga
lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari adanya
masalah finansial, perilaku yang tidak sesuai, adanya tujuan
yang berbeda antar anggota keluarga, perceraian orang tua,
penyakit dan kecacatan yang dialami anggota keluarga dan
kematian anggota keluarga.
3. Sumber stres yang berasal dari komunitas dan masyarakat
Adanya hubungan manusia dengan lingkungan luar
menyebabkan banyak kemungkinan munculnya sumber -
sumber stres. Di sisi lain, stres yang dialami oleh orang dewasa
banyak diperoleh melalui pekerjaannya dan berbagai situasi
lingkungan. Stres yang diperoleh melalui pekerjaan contohnya
dikarenakan : diluar sisi kerja, kontrol yang rendah terhadap
pekerjaan yang diemban, kurangnya hubungan interpersonal
dengan sesama rekan kerja, promosi jabatan, kehilangan
pekerjaan lainnya. Stres yang diperoleh dari lingkungan juga
dapat diakibatkan oleh lingkungan yang berisik dan padat serta
lingkungan yang tercemar (Sarafino & Smith, 2010)

2.1.5 Bentuk-Bentuk Stres


Berikut ini adalah beberapa jenis stres yang perlu anda
kenali, antara lain (Hawari, 2008):
1. Stres Biasa
Stres tidak hanya dipicu sepenuhnya oleh pengalaman negatif.
Bahkan, pengalaman positif juga dapat membawa stres, seperti
upacara kelulusan atau pernikahan. Namun, tipe stres seperti ini
dalam dosis kecil sebenarnya baik untuk sistem imun kita.
Selain itu, tipe stres ini juga dapat membuat banyak orang lebih
mudah untuk menciptakan tujuan dan menikmati proses
mencapainya dengan penuh energi.
2. Distres Internal
Ini adalah tipe stres yang buruk. Distres merupakan tipe stres
negatif hasil dari pengalaman buruk, ancaman, atau perubahan
situasi yang tidak terduga dan tidak nyaman. Pada dasarnya,
tubuh kita menginginkan rasa aman sehingga apabila rasa
tersebut terusik, tubuh pun mengalami distres.
3. Distres Akut
Distres akut terjadi ketika seseorang mengalami distres yang
dipicu oleh peristiwa buruk yang berlalu dengan cepat.
Sementara stres kronik terjadi ketika seseorang harus menahan
stres dalam waktu yang lama. Kedua tipe stres tadi akan memicu
timbulnya hiperstres.
4. Hipostres
Ternyata hari-hari tanpa kekhawatiran dan tantangan juga dapat
memicu tipe stres lainnya, yaitu hipostres. Hipostres merupakan
"ketidakadaan" stres, tetapi bisa juga diartikan kebosanan yang
ekstrem. Seseorang yang mengalami hipostres mungkin merasa
tidak tertantang, tidak memiliki motivasi untuk melakukan apa
pun. Hipostres dapat memicu perasaan depresi dan kesia-siaan.
5. Eustres
Eustres merupakan stres yang sangat berguna lantaran dapat
membuat tubuh menjadi lebih waspada. Eustres membuat tubuh
dan pikiran menjadi siap untuk menghadapi banyak tantangan,
bahkan bisa tanpa disadari. Tipe stres ini dapat membantu
memberi kekuatan dan menentukan keputusan, contohnya
menemukan solusi untuk masalah.

2.1.6 Tahapan stres


Gejala stres yang terjadi pada seseorang sering kali tidak
disadari karena gejala tersebut muncul berdasarkan tahapan stres
yang terjadi dan jika sudah mencapai tahapan stres lanjut, maka
gejala-gejala akan dirasakan oleh seseorang karena mengganggu
fungsi kehidupannya sehari-hari, baik di rumah, di lingkungan
sekitar, maupun tempat kerjanya. Menurut Dr. Robert J. Van
Amberg, (1979 dalam Sunaryo, 2004) membagi tahapan stres
sebagai berikut:
1. Stres tahap pertama (paling ringan)
Stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan
berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa
memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan
menjadi tajam. Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih
dari biasanya, namun tanpa disadari cadangan energinya
semakin menipis.
2. Stres tahap kedua
Stres yang awalnya menyenangkan kemudian menjadi
menghilang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar
atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah
sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak
nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk,
dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan energi
tidak memadai.
3. Stres tahap ketiga
Tahapan stres dengan keluhan lebih parah dari tahap kedua,
seperti gangguan lambung dan usus semakin nyata seperti
defekasi tidak teratur (kadang- kadang diare), otot semakin
tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur
kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur
kembali (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau
jatuh pingsan. Pada tahapan ini seharusnya berkonsultasi pada
dokter atau tenaga kesehatan untuk memperoleh terapi,
sehingga menambah suplai energi yang mengalami defisit.
4. Stres tahap keempat
Tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja
sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan
menjenuhkan, responss tidak adekuat, kegiatan rutin
terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan,
konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan
dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan secara jelas apa
penyebabnya.
5. Stres tahap kelima
Tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental
yang mendalam (physical and psychological exhaustion),
ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana
dan ringan, gangguan pencernaan berat (gastrointestinal
disorder), meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung, dan
panik.
6. Stres tahap keenam (paling berat)
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks atau akhir. Tahapan
stres dengan tanda-tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak
nafas, badan gemetar, kedinginan, banyak keluar keringat,
loyo, pingsan atau collaps, serangan panik, dan perasaan takut
mati yang berlebihan..
Selain itu, ada juga tahapan stres menurut Selye dalam Hawari
(2008), dibagi menjadi 3 tahap yang biasa disebut General
Adaptation Syndrome (GAS), yaitu:
1. Tahap Waspada (Alarm Reaction)
Tahapan dimana melibatkan pengerahan mekanisme
pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stresor.
Mengakibatkan munculnya reaksi psikologis fight or flight
(reaksi berjuang atau melarikan diri) dan reaksi fisiologis.
Reaksi psikologis yaitu seperti reaksi waspada ingin melawan
atau mempertahankan diri atau ingin melarikan diri. Reaksi
fisiologis diantaranya yaitu curah jantung meningkat,
peredaran darah cepat, darah di perifer dan gastrointestinal
mengalir ke kepala dan ekstremitas. Banyak organ tubuh
terpengaruh seperti denyut nadi, ketegangan otot, dan daya
tahan tubuh menurun. Pada fase ini mengakibatkan
pengaktifan hormon sebagai reaksi dari stresor. Hormon
diaktifkan berfungsi untuk meningkatkan kadar gula darah
yang bertujuan menyiapkan energi supaya bisa beradaptasi.
Teraktifasinya epineperin dan norepineprin mengakibatkan
denyut jantung meningkat dan peningkatan aliran darah ke
otot, serta peningkatan penghirupan oksigen. Aktifitas
hormonal yang luas ini berfungsi menyiapkan individu untuk
merespons stresor baik melawan atau menghindarinya.
Respons ini berlangsung dari menit sampai jam. Apabila
stresor masih tidak bisa diatasi maka akan masuk ke dalam
fase selanjutnya.
2. Tahap Resistensi (Resistance Stage)
Tahapan dimana stressor sudah mencapai atau melampaui
kemampuan tubuh. Pada keadaan ini sudah dapat timbul
gejala-gejala psikis dan somatis. Respons ini disebut juga
mekanisme koping. Koping berarti kegiatan menghadapi
masalah, misalnya kecewa diatasi dengan humor, rasa tidak
senang dihadapi dengan ramah dan sebagainya. Bila teratasi
gejala stres akan menurun bahkan normal kembali, tubuh
kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, cardiac
output. Apabila gagal mengatasi stres, maka akan jatuh pada
tahapan akhir dari GAS yaitu tahap kelelahan.
3. Tahap Kelelahan (Exhaustion Stage)
Pada tahap ini cadangan energi sudah sangat menipis atau
habis, akibatnya tubuh tidak lagi mampu menghadapi stres.
Gejala-gejala psikosomatik tampak dengan jelas, antara lain
gangguan penceranaan, mual, diare, gatal- gatal, impotensi,
exim, dan berbagai bentuk gangguan lainnya. Kadang muncul
gangguan tidak mau makan atau terlalu banyak makan.
Apabila usaha untuk melawan tidak dilakukan atau diusahakan
lagi, maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian.

2.1.7 Tingkatan stres


Tingkatan stres tedapat lima macam, yaitu (Crawford &
Henry, 2013):
1. Stres normal
Stres normal merupakan bagian alamiah dari kehidupan.
Misalnya merasakan detak jantung yang lebih keras setelah
beraktivitas, kelelahan setelah mengerjakan tugas, takut tidak
lulus ujian.
2. Stres ringan
Stres yang dihadapi bisa berlangsung beberapa menit atau jam.
Contohnya adalah dimarahi dosen, kemacetan. Stressor ini
dapat menimbulkan gejala, antara lain kesulitan bernafas, bibir
kering, lemas, keringat berlebihan ketika temperatur tidak
panas, takut tanpa ada alasan yang jelas, merasa lega jika
situasi berakhir.
3. Stres sedang
Stres yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.
Misalnya perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan
seseorang. Stressor ini dapat menimbulkan gejala yaitu, mudah
merasa letih, mudah marah, sulit untuk beristirahat, mudah
tersinggung, gelisah.
4. Stres berat
Stres dengan situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa
minggu, seperti perselisihan dengan dosen atau teman secara
terus menerus, penyakit fisik jangka panjang dan kesulitan
finansial. Stres ini dapat menimbulkan gejala yaitu, merasa
tidak kuat lagi untuk melakukan kegiatan, mudah putus asa,
kehilangan minat akan segala hal, merasa tidak dihargai,
merasa tidak ada hal yang bisa diharapkan di masa depan.
5. Stres sangat berat
Stres paling parah dengan situasi kronis yang dapat terjadi
dalam beberapa bulan dan dalam kurun waktu yang tidak dapat
ditentukan. Biasanya seseorang cenderung tidak memiliki
motivasi untuk hidup. Seseorang dalam tingkatan stres ini
biasanya teridentifikasi mengalami depresi berat kedepannya.
2.1.8 Faktor – faktor penyebab stres
Menurut Yusuf (2004), faktor-faktor penyebab stres itu
dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berikut:
1. Stressor fisik-biologik, seperti: penyakit yang sulit
disembuhkan, cacat fisik atau kurang berfungsinya salah satu
anggota tubuh, wajah yang tidak cantik atau tampan, dan
postur tubuh yang dipersepsi tidak ideal (seperti : terlalu kecil,
kurus, pendek, atau gemuk).
2. Stressor psikologik, seperti: negative thinking atau berburuk
sangka, frustrasi (kekecewaan karena gagal memperoleh
sesuatu yang diinginkan), hasud (iri hati atau dendam), sikap
permusuhan, perasaan cemburu, konflik pribadi, dan keinginan
yang di luar kemampuan.
3. Stressor Sosial, seperti: iklim kehidupan keluarga, hubungan
antar anggota keluarga yang tidak harmonis (broken home),
perceraian, suami atau istri selingkuh, suami atau istri
meninggal, anak yang nakal (suka melawan kepada orang tua,
sering membolos dari sekolah, mengkonsumsi minuman keras,
dan menyalahgunakan obat-obatan terlarang) sikap dan
perlakuan orang tua yang keras, salah seorang anggota
mengidap gangguan jiwa dan tingkat ekonomi keluarga yang
rendah. Kemudian ada faktor pekerjaan, kesulitan mencari
pekerjaan, pengangguran, kena PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja), perselisihan dengan atasan, jenis pekerjaan yang tidak
sesuai dengan minat dan kemampuan dan penghasilan tidak
sesuai dengan tuntutan kebutuhan sehari-hari. Kemudian yang
terakhir ada iklim lingkungan, maraknya kriminalitas
(pencurian, perampokan dan pembunuhan), tawuran antar
kelompok (pelajar, mahasiswa, atau warga masyarakat), harga
kebutuhan pokok yang mahal, kurang tersedia fasilitas air
bersih yang memadai, kemarau panjang, udara yang sangat
panas atau dingin, suara bising, polusi udara, lingkungan yang
kotor (bau sampah dimana- mana), atau kondisi perumahan
yang buruk, kemacetan lalu lintas bertempat tinggal di daerah
banjir atau rentan longsor, dan kehidupan politik serta
ekonomi yang tidak stabil.

2.1.9 Respon stres


Respon stres melibatkan semua fungsi tubuh, sehingga stres
yang menghabiskan sumber-sumber adaptif kita dapat
menyebabkan kelelahan, beragam masalah kesehatan, dan bahkan
akibat yang fatal.
1. Respon Fisik
a. Rambut
Warna rambut yang semula hitam pekat, lambat laun
mengalami perubahan warna menjadi kecoklat-coklatan
serta kusam. Ubanan (rambut memutih) terjadi sebelum
waktunya, demikian pula dengan kerontokan rambut.
b. Mata
Ketajaman mata seringkali terganggu misalnya kalau
membaca tidak jelas karena kabur. Hal ini disebabkan
karena otot-otot bola mata mengalami kekenduran atau
sebaliknya sehingga mempengaruhi fokus lensa mata.
c. Telinga 
Pendengaran seringkali terganggu dengan suara
berdenging (tinitus).
d. Ekspresi wajah
Wajah seseorang yang stres nampak tegang, dahi berkerut,
mimik nampak serius, tidak santai, bicara berat, sukar
untuk senyum/tertawa
e. Mulut
Mulut dan bibir terasa kering sehingga seseorang sering
minum. Selain daripada itu pada tenggorokan seolah-olah
ada ganjalan sehingga ia sukar menelan, hal ini
disebabkan karena otot-otot lingkar di tenggorokan
mengalami spasme (muscle cramps) sehingga serasa
“tercekik”.
f. Kulit
Pada orang yang mengalami stres reaksi kulit bermacam-
macam; pada kulit dari sebahagian tubuh terasa panas atau
dingin atau keringat berlebihan. Reaksi lain kelembaban
kulit yang berubah, kulit menjadi lebih kering, gatal-gatal
dan pada kulit muka seringkali timbul jerawat (acne)
berlebihan; juga sering dijumpai kedua belah tapak tangan
dan kaki berkeringat (basah).
g. Sistem Pernafasan
Pernafasan seseorang yang sedang mengalami stres dapat
terganggu misalnya nafas terasa berat dan sesak
disebabkan terjadi penyempitan pada saluran pernafasan
mulai dari hidung, tenggorokan dan otot-otot rongga dada.
Nafas terasa sesak dan berat dikarenakan otot-otot rongga
dada (otot otot antar tulang iga) mengalami spasme dan
tidak atau kurang elastis sebagaimana biasanya. Sehingga
ia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menarik nafas.
Stres juga dapat memicu timbulnya penyakit asma
(asthma bronchiale) disebabkan karena otot-otot pada
saluran nafas paru - paru juga mengalami spasme.
h. Sistem Kardiovaskuler
Sistem jantung dan pembuluh darah atau kardiovaskuler
dapat terganggu karena stres. Misalnya, jantung berdebar-
debar, pembuluh darah melebar (dilatation) atau
menyempit (constriction) sehingga yang bersangkutan
nampak mukanya merah atau pucat. Pembuluh darah tepi
(perifer) terutama di bagian ujung jari-jari tangan atau kaki
juga menyempit sehingga terasa dingin dan kesemutan.
Selain daripada itu sebagian atau seluruh tubuh terasa
“panas” (subfebril) atau sebaliknya terasa “dingin”.
i. Sistem Pencernaan
Orang yang mengalami stres seringkali mengalami
gangguan pada sistem pencernaannya. Misalnya, pada
lambung terasa kembung, mual dan pedih; hal ini
disebabkan karena asam lambung yang berlebihan
(hiperacidity). Dalam istilah kedokteran disebut gastritis
atau dalam istilah awam dikenal dengan sebutan penyakit
maag. Selain gangguan pada lambung tadi, gangguan juga
dapat terjadi pada usus, sehingga yang bersangkutan
merasakan perutnya mulas, sukar buang air besar atau
sebaliknya sering diare.
j. Sistem Perkemihan.
Orang yang sedang menderita stres perkemihan (air seni)
dapat juga terganggu. Yang sering dikeluhkan orang
adalah frekuensi untuk buang air kecil lebih sering dari
biasanya, meskipun ia bukan penderita kencing manis
(diabetes mellitus)
k. Sistem Otot dan tulang
Stres dapat pula menjelma dalam bentuk keluhan-keluhan
pada otot dan tulang (musculoskeletal). Yang
bersangkutan sering mengeluh otot terasa sakit seperti
ditusuk-tusuk, pegal dan tegang. Selain daripada itu
keluhan-keluhan pada tulang persendian sering pula
dialami, misalnya rasa ngilu atau rasa kaku bila
menggerakan anggota tubuhnya. Masyarakat awam sering
mengenal gejala ini sebagai keluhan ”pegal-linu”.
l. Sistem Endokrin
Gangguan pada sistem endokrin (hormonal) pada mereka
yang mengalami stres adalah kadar gula yang meninggi,
dan bila hal ini berkepanjangan bisa mengakibatkan yang
bersangkutan menderita penyakit kencing manis (diabetes
mellitus); gangguan hormonal lain misalnya pada wanita
adalah gangguan menstruasi yang tidak teratur dan rasa
sakit (dysmenorrhoe).
2. Respon Psikologis
Faktor-faktor Psikologis dapat mempengaruhi fungsi fisik,
faktor-faktor fisik juga dapat mempengaruhi fungsi mental.
Gangguan fisik yang diyakini disebabkan atau dipengaruhi
faktor psikologis pada masa lalu yang disebut psikosomatis
(psychosomatic). Pada seseorang yang mengalami stres,
kemampuan berpikir dan mengingat serta konsentrasi menurun.
Orang menjadi pelupa dan seringkali mengeluh sakit kepala
serta pusing.

2.2 Manajemen Stres


Adaptasi merupakan suatu cara untuk mengatasi tekanan dari
lingkungan sekitar untuk tetap menjaga keseimbangan tubuhnya. Sehingga
terjadi perubahan anatomi, fisiologis dan psikologis di dalam diri seseorang
sebagai reaksi terhadap stress. Adaptasi pada stress dapat meliputi:
1. Secara Frontal: cara menyesuaikan diri terhadap stress dengan
menghadapi rintangan secara sadar realistik, obyektif, dan rasional.
2. Menggunakan Mekanisme Defensif yaitu :
1) Proyeksi : Menyalahkan orang lain
2) Introversi : Menarik diri
3) Kegembiraan dan kesibukan
Dengan demikian adaptasi adalah suatu upaya untuk
mempertahankan fungsi yang optimal. Adaptasi melibatkan refleks,
mekanisme otomatis untuk perlindungan, mekanisme koping dan
idealnya dapat mengarah pada penyesuaian atau penguasaan situasi.
Stresor yang menstimulasi adaptasi mungkin berjangka pendek, seperti
demam atau berjangka panjang seperti paralysis dari anggota gerak
tubuh. Agar dapat berfungsi optimal, seseorang harus mampu
berespons terhadap stressor dan beradaptasi terhadap tuntutan atau
perubahan yang dibutuhkan. Sehingga adaptasi membutuhkan respons
aktif dari seluruh individu.

2.2.1 Manajemen stres


Mengelola stress memerlukan pemeliharan dan penguatan diri
secara optimal dengan memperhatikan lima prinsip dasar berikut (Palang
Merah Indonesia, 2015):
1. Kenali diri sendiri
Mengenali diri sendiri merupakan langkah dasar dan pertama dalam
melakukan pengelolaan stres yang efektif. Tiap individu unik,
memiliki kekurangan, kelebihan dan batas masing-masing.
Bagaimana cara mengelola dan menghadapi stress bersifat sangat
individual dan bisa berbedabeda antar tiap individu. Seseorang yang
tidak atau kurang mengenal batasan-batasan dirinya bisa diibaratkan
seperti kendaraan tanpa penunjuk isi bahan bakar atau penunjuk
kecepatan, dapat berfungsi namun rawan mengalami kecelakaan dan
kehabisan tenaga tanpa disadari.

2. Peduli diri sendiri


Setelah sudah mengenali diri sendiri, langkah selanjutnya adalah
memenuhi kebutuhan-kebutuhan diri sendiri atau peduli terhadap
diri sendiri. Peduli diri sendiri berarti menghargai dan menjaga
keselamatan dan kesehatan diri, juga memenuhi
kebutuhankebutuhan yang kita miliki agar dapat berfungsi dengan
baik dan optimal.
3. Perhatikan keseimbangan
Kebutuhan-kebutuhan yang kita miliki tidak terdiri dari satu jenis
saja, melainkan terdiri dari beragam. Oleh karena itu dalam
melakukan pemeliharaan dan penguatan diri tidak cukup memenuhi
satu aspek kebutuhan saja namun harus memperhatikan
keseimbangan.
4. Bersikap proaktif dalam mencegah stres
Proaktif dapat diartikan memulai mengambil tindakan terlebih
dahulu atas dasar kesadaran dan kemauan diri sendiri, dalam hal ini
berarti rutin dan berkelanjutan melakukan kegiatan-kegiatan
merawat diri sendiri
5. Sinergi
Sinergi berarti menyatukan dan bekerja sama. Pemeliharaan dan
penguatan diri terbaik dapat dicapai apabila dilakukan secara
bersama-sama oleh kumpulan individu yang memiliki kesadaran
dan kemauan bersama untuk melakukan pemeliharaan dan
penguatan diri sehingga bisa saling mendukung dan mengingatkan

2.2.2 Aspek pemeliharaan diri


Aspek pemeliharaan diri terdiri dari 5 macam, yaitu (Palang Merah
Indonesia, 2015):
1. Aspek mental dan emosional
Seseorang yang cukup terpenuhi kebutuhan mental emosionalnya
akan terlihat senang, percaya diri dan tenang dalam menjalani
kehidupan sehari-harinya. Aspek mental emosional dapat dipenuhi
antara lain dengan memiliki hubungan sosial yang baik, teman
berbagi atau tempat untuk menyalurkan emosinya secara sehat
(misalnya mampu menangis ataupun tertawa secara lepas tanpa
merasa dinilai/dihakimi).
2. Aspek intelektual
Terkait kebutuhan kita untuk berpikir, belajar hal-hal baru,
berkembang dan berkarya. Seseorang yang kurang terpenuhi aspek
intelektualnya akan mudah merasa jenuh dan bosan, dalam jangka
tertentu bisa menyebabkan rasa frustasi dan meningkatnya stres.
Aspek intelektual dapat dipenuhi antara lain dengan membaca,
berdiskusi dengan orang lain, menonton berita, belajar ketrampilan
baru dan sebagainya.
3. Aspek fisik
Terkait kesehatan dan kebugaran fisik. Fisik dan mental sangat
terkait satu sama lain. Tubuh yang sehat akan mendukung
terbentuknya jiwa sehat yang memiliki daya tahan yang kuat
terhadap stress. Aspek fisik dapat terpenuhi antara lain dengan
beragam kegiatan olahraga, makan makanan yang sehat dan
berimbang dan sertaistirahat yang cukup.
4. Aspek spiritual
Terkait bagaimana hubungan kita dengan Tuhan dan juga alam
semesta, bagaimana kita menyikapi hal-hal di luar batas pemikiran
manusia dan mencapai kedamaian jiwa. Seseorang yang terpenuhi
kebutuhan spiritualnya akan dapat lebih mudah bersyukur, pasrah,
tabah, dan juga sabar. Aspek spiritual dapat dipenuhi antara lain
dengan melakukan kegiatan ibadah, meditasi, perenungan,
menikmati dan mensyukuri keindahan alam dan sebagainya.
5. Aspek rekreasional
Terkait dengan aspek hiburan dan pemenuhan kebutuhan untuk
bersenang-senang. Seseorang yang cukup terpenuhi aspek
rekreasionalnya akan lebih bersemangat, ceria dan relaks dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Aspek ini dapat dipenuhi antara
lain dengan mengambil liburan, melakukan hobi, melakukan
permainan dan sebagainya.

2.2.3 Teknik manajemen stres


Beberapa contoh yang bisa dilakukan dalam mengurangi
ketegangan adalah sebagai berikut:
1. Latihan napas dalam
Latihan napas dalam dengan mengatur napas akan membuat tubuh
lebih nyaman dan relaksasi (Palang Merah Indonesia, 2015).
2. Latihan peregangan
Seseorang yang memiliki kondisi tertekan, akan membuat tubuh
memberikan respon terhadap apa yang kita pikirkan. Reaksi fisik
dapat muncul berupa sakit dibagian punggung, kaku pada leher, dan
sakit persendian, dan lain-lain. Untuk mengatasi hal ini kita dapat
melakukan teknik peregangan otot yang sederhana (Palang Merah
Indonesia, 2015).
3. Behavioral Techniques
Behavioral therapy merupakan metode psikoterapi yang
menggunakan prinsip metode belajar. Beberapa teknik perilaku
yang telah digunakan untuk membantu orang mengendalikan
respons fisiologisnya terhadap situasi stres adalah sebagai berikut
(Rubiyanti, 2008):
1) Biofeedback training
Biofeedback training merupakan prosedur yang memungkinkan
individu memantau proses fisiologisnya sendiri (seperti tekanan
jantung, tekanan darah) yang dalam keadaan normal tidak
disadari, untuk belajar mengendalikannya. Individu menerima
informasi tentang suatu aspek keadaan fisiologis mereka dan
kemudian berupaya mengubah keadaan itu.
2) Relaxation training
Latihan berbagai teknik untuk merelaksasi ketegangan otot.
Prosedur didasarkan pada metoda relaksasi progresif Jacobson,
dimana individu belajar merelaksasikan kelompok otot satu per
satu, dengan asumsi bahwa relaksasi otot efektif menimbulkan
relaksasi emosional.
3) Aerobic exercise
Faktor lain yang penting dalam mengendalikan stres adalah
kebugaran fisik. Individu yang secara teratur melakukan latihan
aerobik menunjukkan kecepatan denyut jantung dan tekanan
darah yang lebih rendah secara bermakna sebagai respons
terhadap situasi stres dibandingkan dengan individu yang tidak
berolahraga secara teratur. Aerobic exercise merupakan
aktivitas yang dilakukan secara cepat untuk meningkatkan
kecepatan denyut jantung sehingga meningkatkan konsumsi
oksigen, seperti joging, berenang, bersepeda, atau jalan cepat.
4. Cognitive Techniques
Terapi perilaku kognitif berupaya membantu orang
mengidentifikasi situasi stres yang menghasilkan gejala fisiologis
atau emosional dan mengubah cara mereka menghadapi situasi
tersebut. Langkah-langkahnya sebagai berikut (Rubiyanti, 2008):
1) Subjek diminta untuk membuat catatan tentang timbulnya nyeri
kepala dan memberikan nilai keparahan nyeri kepala serta
situasi dimana nyeri tersebut terjadi.
2) Memantau responnya terhadap perilaku stres dan diminta
mencatat perasaan dan perilaku sebelum, selama, dan setelah
peristiwa nyeri kepala.
3) Mencoba mengidentifikasi harapan atau keyakinan yang
mungkin menjelaskan reaksi nyeri kepala.
4) Langkah terakhir dan paling sulit adalah mencoba untuk
mengubah sesuatu tentang situasi stres, cara pemikiran subjek
tentang hal itu, atau perilaku individual. Misalnya menemukan
pekerjaan yang kurang menimbulkan stres atau belajar
bertindak secara lebih tegas dalam interaksi, bukannya menarik
diri
BAB 3
KASUS
3.1 Kasus
An. Z usia 16 tahun. pola asuh orang tua demokratis, tidak mengalami
kehilangan orang terdekat, tidak dianiaya dalam keluarga, tidak pernah putus
sekolah, dapat menceritakan penggalaman. saat ini anak bersekolah melalui online
karena pandemic covid-19. semenjak sekolah online anak jarang berinteraksi dan
keluar kamar, anak Z lebih sering berdiam diri dikamar bermain gadget. An. Z
menjadi malas berinteraksi dengan orang lain. Perawat melakukan pengkajian
untuk menghindari permasalahan tumbuh kembang emosional serta menghindari
potensial masalah krisis identitas diri remaja.
3.2 Pengkajian
1. Identitas klien
Nama : An. Z
Usia : 16 tahun
2. Faktor Predisposisi
a) Neurologi: tidak ada masalah neuropatologis maupun faktor genetic.
b) Biologis: tidak ada riwayat kelainan selama kehamilan dan
melahirkan, tidak pernah sakit fisik berat, tidak ada alergi, tidak ada
cacat fisik, tidak ada riwayat gangguan jiwa pada keluarga, tidak
pernah merokok, tidak pernah konsumsi narkoba/alkohol
c) Psikologi: pola asuh orang tua demokratis, tidak mengalami
kehilangan orang terdekat, tidak dianiaya dalam keluarga, tidak
pernah putus sekolah, dapat menceritakan penggalaman
d) Sosiokultural:. status anak kandung, dapat berperan sesuai jenis
kelamin, mudah bergaul, melakukan kegiatan keagamaan, memiliki
teman dan bermain dengan sebaya, mengerti nilai dan norma, diterima
sebagai keluarga, mau menerima tugas dan tanggung jawab, tidakada
labelling. saat ini anak bersekolah melalui online karena pandemic
covid-19. semenjak sekolah online anak jarang berinteraksi dan keluar
kamar, anak lebih sering berdiam diri dikamar bermain gadget.
3. Faktor Presipitasi
a) Sifat
1. Biologis: memiliki tubuh ideal, sehat fisik, tidak pernah merokok,
tidak pernah konsumsi narkoba/alkohol, menyenangi kegiatan
olahraga, melakukan perawatan tubuh
2. Psikologis: menerima arahan akan rencana kedepan, menerima
perubahan fisik, diberi kesempatan untuk memiliki tugas dan
tanggung jawab, kesempatan berpendapat serta dilibatkan dalam
mengambil keputusan
3. Sosiokultural: diberi kesempatan untuk menjalankan hobi, berteman,
dan bebas dalam menentukan pilihan
b) Asal
1. Internal: tidak ada konflik dengan diri sendiri, dapat mengungkapkan
dan menceritakan apa yang disukai dan tidak disukai
2. Eksternal: Pola asuh orang tua demokratis
c) Waktu dan Frekuensi
1. Onset: tidak ada masalah
2. Lama: tidak ada masalah
3. Frekuensi: tidak ada masalah
4. Penilaian terhadap stressor
a) Fisik dan Psikoseksual: muncul tanda-tanda pubertas, penambahan BB
dan TB, mulai tertarik pada lawan jenis, perhatian pada penampilan
meningkat
b) Kognitif dan Bahasa: mampu berpikir sebab dan akibat, mampu
membuat keputusan, mampu menggabungkan ide, pikiran dan konsep,
mampu menganalisis, mampu memahami orang lain, mampu berpikir
sistimatis, mampu berpikir logis, idealistic, menyelesaikan masalah,
optimis menjalankan peran, prubahan persepsi diri tentang peran, puas
terhadap peran, pengetahuan yang baik tentang peranny, kemampuan
berbahasa meningkat, menggunakan istilah-istilah khusus (bahasa
gaul)
c) Moral dan Spiritual: mengerti nilai-nilai etika, norma agama,
memperhatikan kebutuhan orang lain, bersikap santun, menghormati
orang tua dan guru, bersikap baik terhadap teman, mulai taat pada
aturan dan tata tertib di masyarakat, mulai rajin beribadah sesuai
agama yang dianut,
d) Emosi dan Psikososial: tidak menuntut orang tua secara paksa untuk
memenuhi keinginannya, mampu mengontrol diri, emosi lebih stabil,
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, perhatian terhadap
orang lain, memiliki prestasi
e) Bakat dan Kreativitas: memiliki bakat khusus yang terus berkembang,
mengikuti kegiatan tambaha, kritis terhadap orang lain, selalu ingin
tahu, berani menyatakan pendapat dan keyakinan, senang mencari
pengalaman baru, senang mengerjakan sesuatu yang sulit
5. Sumber Koping
a) Aset Ekonomi: memiliki jaminan kesehatan, memiliki tabungan,
penghasilan keluarga mencukupi, Dapat biaya pendidikan dari
pemerintah
b) Kemampuan dan Keterampilan: mengetahui tentang perkembangan
remaja, cara stimulasi tumbuh kembang, sumber informasi, dapat
identifikasi masalah sendiri, menemukan cara tepat untuk
menyelesaikan masalah, mengetahui kemampuan diri
c) Keyakinan positif: percaya dengan pelayanan kesehatan, persepsi
yang baik terhadap tenaga kesehatan, selalu menggunakan pelayanan
kesehatan, keyakinan agama yang berhubungan dengan kesehatan,
keyakinan budaya klien dan keluarga yang berhubungan dengan
kesehatan
d) Dukungan Sosial: keluarga tahu tumbuh kembang remaja, keluarga
tahu cara stimulasi tumbang remaja, keluarga memotivasi remaja ikut
kegiatan, keluarga memberi pujian yang realistis, keluarga menjadi
role model yang baik, keluarga dapat menjadi sumber informas,
keluarga dan lingkungan memberi rasa nyaman
e) Perbandingan Sosial: keterjangkauan pada faskes
3.3 Mekanisme Koping
a. Mampu menilai dirinya secara objektif
b. Merencanakan masa depannya
c. Dapat mengambil keputusan
d. Menyukai dirinya
e. Dapat berinteraksi dengan lingkungannya
f. Bertanggung jawab
g. Mulai memperlihatkan kemandirian dalam keluarga
h. Menyelesaikan masalah dengan meminta bantuan orang lain yang
menurutnya mampu
3.4 Diagnose keperawatan
Potensial pembentukan identitas diri remaja
3.5 Rencana tindakan Keperawatan
Diberikan perpaduan terapi kelompok terapeutik (untuk menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan remaja yang dilakukan secara berkelompok)
dengan terapi latihan asertif. Dan dilanjutkan dengan terapi psikoedukasi keluarga
3.6 Rencana tindak lanjut
1. Remaja melakukan dan meneruskan kemampuan untuk melakukan
stimulasi untuk pencapaian identitas dirinya serta latihan
2. Membudayakan latihan yang telah didapat sehingga mencapai identitas
diri yang optimal
3. Setelah diberi terapi diharapkan dapat menjadi peer conselor bagi remaja
lain dengan pendamingan perawat
DAFTAR PUSTAKA
Besral, & Widiantini, W. (2015). Determinan Stres pada Pegawai Kementerian
Kesehatan Indonesia Determinants of Stress among Civil Servants at Health
Ministry of Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 9(3), 222–
228. https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjKqqeSjoryAhX
F73MBHXbbAAwQFjACegQIAxAD&url=https%3A%2F
%2Fmedia.neliti.com%2Fmedia%2Fpublications%2F39899-ID-determinan-
stres-pada-pegawai-kementerian-kesehatan-republik-indonesia.pd
Crawford, J. R., & Henry, J. (2013). The Depression Anxiety Stress Scale
(DASS): Normative data and latent structure in a large non-clinical sample.
British Journal of Clinical Psychology.
Donsu, J. D. T. (2017). Psikologi Keperawatan. Pustaka Baru Press.
Hartono, L. (2011). Stres dan Stroke. Kanisius.
Hawari, D. (2008). Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Balai Penerbit FKUI.
Kementrian Kesehatan Respublik Indonesia. (2014). Undang Undang No 18
Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. http://binfar.kemkes.go.id/?
wpdact=process&did=MjAxl%0AmhvdGxpbms
Palang Merah Indonesia. (2015). Panduan Pelatihan Manajemen Stres (Palang
Merah Indonesia (ed.)). PMI.
Rubiyanti, Y. (2008). Motivasi dan manajemen stress. 1–316.
http://terbitan.litbang.depkes.go.id/penerbitan/index.php/blp/catalog/book/11
2
Sarafino, E. P., & Smith, T. W. (2010). Health Psychology Biopsychosocial
Interactions (Seventh Ed). John Wiley & Sons, Inc.
Yusuf, S. (2004). Mental Hygiene: Perkembangan Kesehatan Mental dalam
Kajian Psikologi dan Agama. Pustaka Bani Quraisy.

Anda mungkin juga menyukai