ILMU
Drs. H.MohammadAdib, MA.
Filsafat
ILMU Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan
Kata Pengantar: Prof. Dr. Suhartono Taat
Putra, dr., MS.
PERPUSTAKAAN UIN
SUNAN KALIJAGA
APBN: _/ DEC 2011
PUSTAKA PELAJAK
Katalog dalam Terbitan (KDT)
Drs. H. Mohammad Adib, MA.
FILSAFAT ILMU Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Edisi ke 2,
Cetakan I Yogyakarta: Pustaka Pelajar xxv + 280 hal.; 21 cm
FILSAFAT ILMU
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan
Edisi ke-2
Cetakan I Februari 2010 Cetakan II Februari 2011
Penulis
Drs. H. Mohammad Adib, MA.
Desain Cover
Digi Art Yogya
Tata Aksara
Dimaswids
Penerbit
PUSTAKA PELAJAR Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167 Telp. (0274) 381542; Fax
(0274) 383083 E-mail: pustakapelajar@telkom.ne
ISBN: 978-602-8479-93-6
Pengantar Penulis
Telah lebih dari dua dekade terakhir, bergulat dalam pembelajaran sebagai pengajar dan penanggung
jawab mata kuliah Filsafat Ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, dan
sejumlah perguruan tinggi lainnya. Sesungguhnya, kajian- kajian tentang Filsafat Ilmu yang penulis
lakukan dalam kurun waktu tersebut, terasa semakin bermakna apabila disusun dalam uraian tulisan dan
penjelasan yang detail.
Uraian buku ini merupakan sejumlah materi yang telah dikembangkan, diluaskan, dan
didalamkan pada mata kuliah tersebut, yang sebelumnya telah diterbitkan (2007 dan 2008) dengan judul
Filsafat Ilmu dan Logika. Pada penerbitan ini, judul diubah sesuai dengan isi yang terdapat di dalamnya,
sehingga judul yang dipilih adalah Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Judul ini terasa lengkap sebagai landasan utama dalam membahas filsafat ilmu, melalui
empat pilar
Pengantar Penulis
x
Kata Pengantar
Mengapa manusia itu berfilsafat? Ini pertanyaan mendasar yang melandasi manusia memikirkan
filsafat. Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu rasa kagum, keraguan, dan
kesadaran akan keterbatasan diri. Bila pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, dan kepastian dimulai dari
rasa ragu maka filsafat dimulai dari keduanya. Jelas kiranya bahwa filsafat merupakan kebutuhan manusia
untuk memenuhi rasa ingin tahu dan mendapatkan manfaat dari hidup dan kehidupannya.
Setelah lama rasa ingin tahu manusia dipenuhi dengan jawaban yang tidak rasional, berupa tahayul
dan mitos maka mulai timbul dalam diri manusia rasa tidak puas dengan jawaban demikian. Selanjutnya
manusia mulai memberdayakan akalnya untuk mencari tahu dan memperoleh manfaat lebih.
Pemberdayaan akal tersebut dilakukan dengan cara melakukan perenungan reflektif- intuitif yang
mengarah ke rasional sebagai upaya mencari
xii
Penjelajahan manusia dalam mencari kebenaran hidup dan kehidupan ini sampailah pada
kesepahaman tentang suatu kebenaran. Pada tataran menyatakan kebenaran maka terjadi kesepakatan untuk
tidak sepakat, karena muncul beberapa mashab, yaitu mashab rasionalis, emperis, dan kritisis. Mashab
rasionalis menyatakan bahwa sesuatu dianggap benar manakala logis. Mashab ini dipelopori oleh Thales
dan mencapai puncak ketenaran pada zaman Socrates-Plato dan Aristoteles. Hal demikian berbada dengan
mashab Emperis, yang menyatakan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar manakala
diperoleh lewat indera. Mashab yang dipelopori oleh Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locke dan
David Hume (1561-1776) ini sepakat bahwa pengetahuan yang benar adalah yang indrawi. Menurut John
Locke semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Akal ibarat kertas putih yang ditulisi pengalaman
melalui proses kerjasama antara refleksi (pengenalan intuitif dari jiwa) dan sensasi (pengenalan dari luar)
sehingga lahir ide. Immanuel Kant (1724-1804) sepakat mengakui peran akal dan empiri. Bila keduanya
dipadukan dan difungsikan secara benar, empiri berfungsi menangkap objek dan akal berfungsi mengelola
tangkapan objek tersebut secara benar maka akan diperoleh pengetahuan yang benar dan akurat. Mashab
tersebut telah banyak membantu manusia dalam mengembangkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, apa, bagaimana dan untuk apa ilmu pengetahuan ada dalam kehidupan manusia,
pembaca saya persilahkan untuk membaca lanjut dalam buku Filsafat
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Ilmu yang ditulis oleh Saudara H Mohammad Adib, Drs, MA. Penulisan buku tersebut telah menguraikan
ontologi, epistemologi, aksiologi dan logika ilmu pengetahuan secara rinci dan jelas. Selamat mencerahkan
pikiran dan penalaran, terutama bagi pemula yang mulai menyenangi Filsafat Ilmu.
Surabaya, 20 Oktober 2009
Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr, MS. Ketua
Grha Masyarakat Ilmiah (Gramik) Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga
xiv
Pengantar Penulis
Daftar Isi
Daftar Isi—xv
Renaisans — 1
1.1. Deskripsi — 1
1.2. Tujuan Pembelajaran — 2
1.3. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan —2
1.4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Setelah Abad ke-17 — 4
1.5. Aspek-Aspek Positif Semangat Renaissance — 6
1.6. David Hume: "Science is Power" — 11
1.7. Relevansinya Dengan Ilmu Antropologi — 13
1.8. Ringkaksan — 14
Daftar Isi
2.10. Perbedaan Pemikiran Zaman Modern dan Kontemporer — 31
2.13. Ringkasan — 33
Bab III
Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu — 35
3.1. Deskripsi — 35
3.2. Tujuan Pembelajaran — 36
3.3. Pengertian dan Kegunaan Filsafat — 36
3.3.1. Pengertian Secara Etimologi — 36
3.3.2. Pengertian Secara Terminologi — 37
3.3.3. Kegunaan Filsafat — 39
3.3.4. Cabang-Cabang Filsafat — 40
3.3.5. Ruang Lingkup Filsafat — 42
3.3.6. Karakteristik Pemikiran Kefilsafatan — 44
3.4. Pengertian Ilmu dan Filsafat Ilmu — 45
3.4.1. Definisi Ilmu — 49
3.4.2. Cabang-Cabang Ilmu — 50
3.4.3. Macam-macam Ilmu Pengetahuan — 52
3.4.4. Objek Material dan Objek Formal Ilmu — 53
3.5. Filsafat Ilmu — 54
2.5.1. Sejarah Filsafat Ilmu — 55
3.5.2. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu — 55
3.5.3. Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu — 56
3.5.4. Tujuan Pendidikan Filsafat dan Filsafat Ilmu — 58
Bab VI
Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan — 7 77
6.1. Deskripsi — 117
6.2. Tujuan Pembelajaran — 117
6.3. Teori Kebenaran — 118
6.3.1. Koherensi — 121
6.3.2. Korespondensi — 121
6.3.3. Postivisme — 122
6.3.4. Pragmatisme — 123
6.3.5. Esensialisme — 122
6.3.6. Konstruktivisme — 124
6.3.7. Religiusisme — 124
6.4. Relevansinya dengan Antropologi — 126
6.5. Ringkasan — 127
Bab VII Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah — 729
7.1. Deskripsi — 129
7.2. Tujuan Pembelajajran — 130
Bab VIII
Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung — 745
8.1. Deskripsi — 145
8.2. Tujuan Pembelajaran — 145
8.3. Pengertian Logika — 145
8.3.1. Pengertian Logika dan Penalaran Ilmiah —146
8.3.2. Macam-macam Logika — 148
8.3.3. Kegunaan Logika — 148
8.4. Penalaran Langsung — 149
8.5. Penalaran Tidak Langsung — 150
8.6. Implisit dan Eksplisit suatu Term dalam Proposisi — 150
8.7. Jenis Pola Penalaran Tidak Langsung — 151
8.7.1. Conversi — 152
8.7.2. Obversi — 155
8.7.3. Kontraposisi — 157
8.7.4. Inversi — 158
Daftar Isi
8.8. Ringkasan — 162
Bab IX
Pola Penalaran Induksi — 165
9.1. Deskripsi — 165
9.2. Tujuan Pembelajaran — 166
9.3. Pengertian Penalaran Induksi — 166
9.4. Prinsip-prinsip Penalaran Induksi — 166
9.5. Generalisasi Induksi dan Analogi Induksi — 168
9.5.1. Generalisasi Induksi — 168
9.5.2. Analogi Induksi — 169
9.5.3. Faktor Probabilitas dalam Penalaran Induksi — 171
9.5.3.1. Jumlah Fakta sebagai Faktor Probabilitas — 171
9.5.3.2. Faktor Analogi sebagai Faktor Probabilitas —
171
9.5.3.3. Faktor Dis-analogi sebagai Faktor Probabilitas — 172
9.5.3.4. Luas dan Sempitnya kesimpulan sebagai Faktor
Probabilitas — 172
9.6. Studi Kasus — 173
9.7. Ringkasan — 175
Daftar Isi
10.5.14. Kesesatan karena Pertanyaan yang Kompleks — 198
10.6. Relevansi Kesesatan Berpikir dengan Ilmu Pengetahuan — 199
10.6.1. Relevansi dengan Ilmu Politik — 199
10.6.2. Relevansi dengan Antropologi — 200
10.7. Ringkasan — 200
Bab XI
Etika Ilmu —203
11.1. Deskripsi — 203
11.2. Tujuan Pembelajaaran — 205
11.3. Pengertian Etika — 205
11.4. Hubungan antara Ilmu dan Etika — 208
11.5. Membangun Masyarakat Ilmiah — 209
11.6. Menuju Mayarakat Berbudaya Ilmu Pengetahuan — 211
11.6.1. Kebudayaan dan Pendidikan — 211
11.6.2. Ilmu Pengetahuan dan Pengembang Kebudayaan — 213
11.6.3. Nilai Ilmiah dan Pengembangan Kebudayaan Nasional —
214
11.6.4. Dampak Intelektual — 216
11.6.5. Dampak Sosial Praktis — 218
11.6.6. Watak Intelektual — 218
11.6.7. Kecenderungan Pragmatis — 219
11.7. Relevansi Etika Ilmu
dengan Ilmu Antropologi — 219
11.8. Ringkasan — 221
1.1. Deskripsi
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat ekstensial
artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari.
Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor penggerak
kehidupan kita sehari-hari sebagai manusia pribadi maupun sebagai
manusia kolektif dalam bentuk suatu masyarakat atau bangsa.
Dalam konteks filsafat hidup, orang selalu memper- timbangkan
hal-hal yang penting dan terpenting sebelum menetapkan keputusan
untuk berperilaku. Hal-hal yang terpenting tersebut tergolong yang
esensial. Dalam pengertian ini hal-hal yang esensial terliput dalam
pengertian filsafat.
4
masam. Anda ambil lagi dan mencicipi, terasa masam juga, anda ambil satu lagi
dan setelah dicicipi maka terasa masam juga. Anda lakukan terus hal tersebut
hingga apel kesembilan dan semuanya terasa masam. Tinggal satu apel, Anda
cenderung akan meyakini bahwa apel terakhir itu juga akan terasa masam.
Apakah ini logis? Jelas tidak. Apel terakhir dapat masam, tetapi dapat juga
manis. Bahwa apel sebelumnya terasa masam tidak berarti bahwa apel terakhir
terasa masam juga.
Meski demikian dalam kondisi tersebut tentu kita akan cenderung
berpendapat bahwa apel terakhir terasa masam, walau kita belum mencicipinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari induksi.
Pengembangan teori juga tidak pernah lepas dari induksi. Artinya ilmu
pengetahuan dan teori juga mengandung problem.
Sewaktu Hume mengungkapkan Problem of Induction tersebut, dunia ilmu
pengetahuan geger... untuk sementara... kemudian tenang lagi. Mengapa? Karena
meskipun Problem of Induction itu secara nalar nyata adanya, namun dianggap
tidak memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi meskipun
berproblem, ilmu penge- tahuan tetap dapat berkembang dan menghasilkan
teknologi yang berguna untuk kehidupan manusia.
Artinya, ilmu pengetahuan memang mempunyai banyak celah untuk
kesalahan. Karena sesungguhnya ilmu pengetahuan dapat mencapai kebenaran
pada tataran probabilitas (kemungkinan).
Kesimpulannya, mencari kebenaran adalah hal yang
5
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu
tidak mudah dan dapat berbahaya, namun lebih berbahaya lagi jika kita
berasumsi bahwa kebenaran mutlak sudah ada di tangan kita.
1.5. Aspek-Aspek Positif Semangat Renaissance
Renaisans adalah suatu periode sejarah yang mencapai titik puncaknya
kurang lebih pada tahun 1500. Perkataan "renaisans" berasal dari bahasa Prancis
Renaissance yang artinya adalah "lahir kembali" atau "kelahiran kembali". Yang
dimaksudkan adalah kelahiran kembali budaya klasik terutama budaya Yunani
kuno dan budaya Romawi Kuno yang dapat melakukan kegiatan pemikiran
secara bebas tentang segala kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
termasuk kehidupan bertuhan.
Masa ini ditandai oleh kehidupan yang cemerlang di bidang seni, pemikiran
maupun kesusastraan yang menge-
10
pengetahuan; (xii) bercerainya filsafat dengan ilmu pengetahuan (abad ke-17
hingga abad ke-20).
1.6. David Hume dan Saince Is Power
David Hume, seorang skeptis tulen dari Inggris memakai penemuan angsa
hitam ini untuk menjelaskan sikap skeptisnya terhadap kebenaran absolut, "No
amount of observations of white swans can allow the inference that all swans are
white, but the observations of a single black swan is sufficient to refute that
conclusion."
Bagi seorang skeptis tulen seperti Hume, di dunia ini tidak ada kebenaran
mutlak, meski yang diperoleh dari metode deduksi sekalipun. Menurut Hume,
semua deduk- si sebenarnya adalah induksi yang belum menemukan 'angsa
hitam'nya. Bahkan, premis yang selama ini diterima sebagai kebenaran, seperti
"Semua manusia pasti akan mati" dapat saja terbukti salah. Siapa yang dapat
memastikan tidak ada manusia-manusia baka seperti dalam kisah Highlander
yang hidup di antara kita? Walau peradaban manusia sudah melahirkan puluhan
miliar anak manusia, cukup satu orang manusia baka saja yang dibutuhkan untuk
membalikkan kebenaran premis bersangkutan.
Hukum-hukum alam yang diperoleh dari sains juga tidak dapat dianggap
memiliki kebenaran kekal. Kita melihat bagaimana Hukum Newton ternyata
tidak dapat dipakai pada skala makrokosmos (digantikan oleh teori relativitas
Einstein) dan pada skala mikrokosmos (digantikan oleh teori mekanika
kuantum). Teori geosentris yang sempat dianut ribuan tahun akhirnya terbukti
salah dan
11
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
digantikan oleh teori heliocentris berkat jasa Nicolaus Copernicus dan Galileo
Galilei. Siapa di antara kita yang dapat menjamin baik teori relativitas, mekanika
kuantum, dan heliocentris sebenarnya hanya merupakan hipotesis sementara
sampai ditemukan lagi teori-teori baru yang lebih mendekati kebenaran absolut?
Inti pandangan David Hume, dan Berkeley adalah "ia berkeyakinan bahwa
kekuatan ilmu yang akan mengubah dan mengontrol alam dan kehidupan
manusia. Yang mengubah dan mengontrol alam dan dunia ini bukan agama atau
lembaga agama!"
Sejak revolusi industri abad ke 17, kepercayaan manusia akan science is
power semakin kuat, dan membuat umat manusia lebih meyakini bahwa IPTEKS
yang mengubah peradaban umat manusia.
Agama diyakini hanya sebagai kekuatan pendamping "hati manusia" saja.
Agama dianggap tidak mampu melakukan perubahan- perubahan besar
kehidupan manusia, terutama yang bersifat fisik seperti pembangunan dan
perubahan berdasarkan teknologi.
Dalam mencari kebenaran, kita tentu tidak perlu sampai skeptis Hume.
Skeptisme membutuhkan energi yang besar dan bila kita skeptis terhadap segala
sesuatu, kita tidak akan mampu menyisihkan waktu untuk menikmati keindahan
hidup. Induksi, dengan segala kekurangannya tetap diperlukan. Tetapi berbekal
pengetahuan tentang kelemahan induksi, kita dapat mengurangi risiko yang
ditimbulkannya. Misalnya saja, bila Anda percaya bahwa kemarau bulan Juli
tidak akan menurunkan hujan,
Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif
Semangat Renaisans
Anda dapat merencanakan piknik kebun pada bulan tersebut. Namun, dengan
menyadari bahwa kesimpulan tersebut adalah kesimpulan induksi, Anda dapat
bersiap- siap bila hujan ternyata turun, misalnya dengan mempersiapkan payung
besar atau mencari lokasi yang berdekatan dengan ruang tertutup. Dalam
permainan saham, Anda dapat memakai strategi hedging atau metode stop loss
untuk mengurangi kerugian bila analisis Anda ternyata salah.
13
pelajari manusia adalah dasar penerapan ilmu antropologi, sehingga terjadi
hubungan yang sinergis antara ditemukannya ilmu-ilmu pengetahuan dengan
munculnya ilmu antropologi sampai saat ini.
1.8.Ringkasan
Dari berbagai sumber yang telah didapatkan ternyata dapat diketahui
bahwa sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menarik sekali untuk dikaji, hal
ini dapat di buktikan dengan adanya fakta yang salah satunya berisi hukum-
hukum alam yang diperoleh dari sains juga tidak bisa dianggap memiliki
kebenaran kekal. Kita melihat bagaimana Hukum Newton ternyata tidak bisa
dipakai pada skala makrokosmos (digantikan oleh teori relativitas Einstein) dan
pada skala mikrokosmos (digantikan oleh teori mekanika kuantum). Teori
geosentris yang sempat dianut ribuan tahun akhirnya terbukti salah dan
digantikan oleh teori heliocentris berkat jasa Nicolaus Copernicus dan Galileo
Galilei. Siapa di antara kita yang bisa menjamin baik teori relativitas, mekanika
kuantum, dan heliocentric, hal ini menggambarkan bahwa segala aspek tentang
perkembangan ilmu pengetahuan sangat beragam untuk dicerna.
14
Bab II
2.1. Deskripsi
Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak dalam suatu daerah tidak
bertuan. Daerah ini diserang baik oleh teologi maupun ilmu pengetahuan. Daerah
tidak bertuan ini disebut "Filsafat" (Bertrand Russell). Makin banyak manusia
tahu, makin banyak pula pertanyaan yang timbul. Manusia ingin tahu tentang
asal-usul dan tujuan, tentang dia sendiri tentang nasibnya, tentang kebebasan dan
kemungkinan-kemungkinannya. Namun, dengan ke- majuan Ilmu pengetahuan
yang luas, sejumlah pertanyaan manusia masih tetap terbuka dan sama aktualnya
seperti pada ribuan tahun yang lalu. Seperti diungkapkan dalam sajak kuno:
Aku datang — entah dari mana Aku ini — entah
siapa Aku pergi — entah kemana Aku akan mati
—entah kemana
26
Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Kebudayaan mereka kaya dan kreatif, namun dikelilingi oleh orang- orang yang
sportif dan kompetitif. Muncul beberapa pemikiran filosofis pada masa Yunani
kuno antara lain, Parmenides, Xenophanes, Thales, Aristoteles, Heraklitus, dan
Phytagoras.
2.7.1. Parmenides pada Abad ke-5 (± 515 - 450 SM)
Usaha-usaha yang dilakukannya sebagai suatu cara berpikir baru mengenai
hakikat "pengada" (being as such). Klaim-klaim dan argumen Parmenides ini
bersifat abstrak dalam cara yang berbeda sama sekali. Misalnya "yang kita dapat
bicarakan dan pikirkan pastilah yang ada, sementara yang tiada tidak dapat.
Pikirkanlah
itu".
2.7.2. Xenophanes pada Abad ke-6 (± 560 - 478 SM)
"Jika banteng, kuda, dan singa mempunyai tangan dan dapat melukis
seperti manusia, kuda akan melukis para dewa berupa kuda, dan banteng akan
melukis wujud para dewa seperti sapi jantan, masing-masing melukis tubuh para
dewa seperti tubuhnya sendiri." Ia menganjurkan kira-kira sama dengan apa yang
tertulis dalam kitab pertama Alkitab Ibrani (atau Perjanjian Lama), kepercayaan
pada "satu dewa, yang terbesar di antara para dewa dan manusia, yang tak
serupa dengan hal-hal fana terdapat pada tubuh dan pikiran".
2.7.3. Thales pada Abad ke-7 (±625 - 547 SM)
Bahwa dunia dikelilingi oleh air pada akhirnya, berasal dari air. Ide yang
sangat mungkin berasal dari Kosmogoni purba Yunani dan kebudayaan-
kebudayaan lainnya. Tetapi
28
2.7.6. Phythagoras (± 581 - 507)
Di antara banyak hal, rancangan dan pembuktian suatu teorema
Phythagoras, salah satu dari basis geometri, dalam bangun segitiga yang benar, ia
menghasilkan kuadrat sisi miring (sisi miring yang sering anda lupakan) sama
panjangnya dengan jumlah kuadrat kedua sisinya. Penemuan penting yang lain
dalam matematika, termasuk pengertian "bilangan-bilangan irasional" bilangan-
bilangan yang tidak dapat dibagi rata dengan satu bilangan bulat menjadi
bilangan bulat lainnya. Filsuf yang mempesona, yang mempunyai berbagai teori
tentang hakikat alam semesta dan yang membuat musik, yang mempunyai
keyakinan eksotis tentang hakikat roh dan cara terbaik menjalani kehidupan
(banyak di antaranya di datangkan dari Mesir, bersama banyak konsep
geometris). Selanjutnya, Phythagoras memakai teori mengenai perimbangan
(proportion) untuk menjelaskan, di antara hal-hal lain, hakikat musik dan gerakan
bintang-bintang.
2.8. Karakteristik Pemikiran Zaman Patristik
Patristik (dari kata Latin "patres", Bapa-bapa Gereja) dipilahkan atas
Patristik Yunani (Patristik Timur) dan Patristik Latin (Patristik Barat). Ajaran
filsafi-teologi dari bapa-bapa Gereja menunjukkan pengaruh Platinos. Mereka
berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling
dalam dari manusia. Mereka berhasil membela ajaran kristiani terhadap tuduhan
dari pemikir-pemikir kafir. Tulisan Bapa-bapa Gereja merupakan suatu sumber
yang kaya dan luas yang
34
Bab III
3.1. Deskripsi
Untuk mengetahui perbedaan antara filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu, ada
baiknya kita terlebih dahulu mengetahui definisi-definisi filsafat, ilmu, dan
filsafat ilmu.
Filsafat adalah suatu pengetahuan yang bersifat eksistensial artinya sangat
erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan
filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan kita sehari-hari baik sebagai
manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam suatu masyarakat atau
bangsa.
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata " science" artinya "to know".
Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu
pengetahuan alam yang bersifat kuantitatif dan objektif. Ilmu dikatakan rasional,
karena ilmu merupakan hasil dari proses berpikir dengan menggunakan akal, atau
hasil berpikir secara rasional.
Filsafat ilmu merupakan bagian epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
(pengetahuan ilmiah) atau dengan kata lain filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan- persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan
manusia.
57
tegas mengenai ilmu tertentu.
63
3.6. Ringkasan
Filsafat, secara etimologi berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam
pengertian yang sedalam-dalamnya. Secara terminologi, filsafat adalah ilmu pengetahuan
mengenai segala sesuatu dengan memandang sebab-sebab terdalam tercapai dengan budi
murni.
Ruang lingkup filsafat dipilahkan dalam dua objek yaitu: (i) objek formal, dan (ii)
objek material.
Filsafat adalah segala sesuatu yang nyata. Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang
disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris.
Objek dan ruang lingkup ilmu membatasi pada pengkajian. Cabang- cabang ilmu
berkembang dari dua cabang utama yaitu (i) filsafat alam, dan
(ii) filsafat moral.
Filsafat alam yang kemudian menjadi kumpulan ilmu- ilmu alam (the natural
science). Sedangkan filsafat moral yang kemudian berkembang dalam cabang-cabang
ilmu sosial (the social science).
Filsafat ilmu adalah teory of science (teori ilmu), meta science (adi-ilmu),
science of science (ilmu tentang ilmu).
Filsafat ilmu menampung permasalahan yang menyangkut berbagai hubungan
keluar dan kedalam yang terdapat dalam kegiatan ilmiah.
Ruang lingkup filsafat ilmu menurut para filsuf antara lain: (i) ilmu mempunyai
empat bidang konsentiasi yang utama (Peter Angeles); (ii) ilmu mempunyai beberapa
bidang yaitu logika ilmu, ilmu kealaman (A. Coenelius Benjamin); (iii) ada tiga bidang
filsafat ilmu (Israel
4.1. Deskripsi
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakikat
ilmu. Filsafat ilmu hendak menjawab pertanyaan- pertanyaan mengenai hakikat ilmu
tersebut, antara lain: (i) objek apa yang ditelaah ilmu; (ii) bagaimana memperoleh
ilmu; dan (iii) untuk apa ilmu digunakan.
Pertama, sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan objek yang ditelaah
ilmu antara lain: bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan
objek dengan daya tangkap manusia (misalnya berpikir, merasa, dan mengindra)?
Kedua, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang
berupa ilmu antara lain dengan pertanyaan: bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa
yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang
disebut kebenaran itu sendiri? Apa
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
kriterianya? Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?
Ketiga, untuk apa ilmu itu dipergunakan antara lain diperkaya dengan pertanyaan-
peranyaan: bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berda- sarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode
ilmiah dan norma- norma moral/profesional?
Keempat, kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan-landasan ilmu, yakni
kelompok pertama merupakan landasan ontologi, kelompok kedua merupakan landasan
epistemologi, dan kelompok yang terakhir merupakan landasan aksiologi ilmu
pengetahuan.
4.2. Tujuan Pembelajaran
Pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang landasan penelaahan ilmu
terdiri dari ontologi ilmu, epistemologi ilmu, dan aksiologi ilmu. Ketiga hal tersebut
diuraikan dalam upaya untuk menggambarkan hakikat keberadaan ilmu.
69
yang-ada yang tidak terbatas itu?" "Kausalitas (ilmiah) yang terlalu terbatas!" IPTEK
baru mampu mengeksplorasi alam semesta ini sekitar 1% saja, dan 99% alam semesta ini
masih misteri (Feyerebend).
Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam
filsafat, antara lain: (i) Filsafat Materialisme; (ii) Filsafat Idealisme;
(iii) Filsafat Dualisme; (iv) Filsafat Skeptisisme; dan (v) Filsafat Agnostisisme.
Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa pokok permasalahan yang menjadi
objek kajian filsafat mencakup tiga segi, yakni (a) logika (benar- salah), (b) etika (baik-
buruk), dan (c) estetika (indah-jelek). Ketiga cabang utama filsafat ini lanjut
Suriasumantri, kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang
hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya
terangkum dalam metafisika; kedua, kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan
yang ideal, terangkum dalam politik. Kelima cabang filsafat ini-logika, etika, estetika,
metafisika dan politik-menurut Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi
cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang disebut
filsafat ilmu.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan
teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea
yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato
mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal
yang berlaku untuk
tiap-tiap kuda yang ada di
71
menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui apa yang benar.
Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak. Kebenaran mutlak inilah oleh
Augustine disebut Tuhan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato,
dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara
penampakan (apreance) dengan kenyataan (reality). Thales terkenal sebagai filsuf yang
pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya
bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga
sesuatu itu tidak dapat dianggap ada berdiri sendiri).
Hakikat kenyataan atau realitas memang dapat didekati ontologi dengan dua
macam sudut pandang: (i) kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan
itu tunggal atau jamak? (ii) Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan
(realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna
kehijauan, bunga mawar yang beraroma harum.
Ontologi, secara sederhana dapat dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Aspek ontologi dari ilmu pengetahuan
tertentu hendaknya diuraikan antara lain secara: (a)
Metodis; menggunakan cara ilmiah; (b) Sistematis; saling berkaitan satu
74
Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif
dan induktif. Sedangkan metode problem solving adalah memecahkan masalah dengan
cara mengidentifikasi permasalahan; merumuskan hipotesis; mengumpulkan data;
mengorganisasikan dan menganalisis data; menyimpulkan dan conlusion; melakukan
verifikasi, yakni pengujian hipotesis. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-
teori, prinsip-prinsip, generalisasi dan hukum-hukum. Temuan itu dapat dipakai sebagai
basis, bingkai atau kerangka pemikiran untuk menerangkan, mendeskripsikan,
mengontrol, mengantisipasi atau meramalkan sesuatu kejadian secara lebih tepat.
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, teori.
Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menjelaskan masalah-masalah filosofis
yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep- konsep ilmu, ragam ilmu yang
bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (objek).
Dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal usul, asumsi
dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting
dalam menanyakan apa yang dapat kita ketahui sebelum menjelaskannya. Pertanyakan
dulu secara kritis, baru diyakini. Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti ada,
baru dijelaskan. Berpikir dulu, baru yakini atau tidak. Ragukan dulu, baru yakini atau
tidak.
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
75
Pertanyaan utama epistemologi jenis ini adalah, apa yang benar-benar sudah kita
ketahui dan bagaimana cara kita mengetahuinya? Epistemologi ini tidak peduli apakah
batu di depan mata kita adalah penampakan atau bukan. Yang ia urus adalah bahwa
ada batu di depan mata kita dan kita teliti secara sainstifik, kemudian menentukan
sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan
karakter pengetahuan, bahkan menentukan "kebenaran" macam yang dianggap patut
diterima dan apa yang patut ditolak. Menurut Keith Lehrer secara historis terdapat tiga
perspektif dalam epistemologi yang berkembang di Barat, yaitu: (i) dogmatic
epistemology; (ii) critical epistemology; dan (iii) scientific epistemology.
Pertama, dogmatic epistemology adalah pendekatan tradisional terhadap
epistemologi, terutama Plato. Dalam perspektif epistemologi dogmatik, metaphysics
(ontologi) diasumsikan dulu ada, baru kemudian ditambahkan epistemologi. Setelah
realitas dasar diasumsikan ada, baru kemudian ditambahkan epistemologi untuk
menjelaskan bagaimana kita mengetahui realitas tersebut. Pertanyaan utama epsitemologi
jenis ini: Apa yang kita ketahui? Lalu bagaimana cara kita mengetahuinya? Singkatnya,
epistemologi dogmatik menetapkan ontologi sebelum epistemologi.
Untuk melihat contoh cara kerja epistemologi jenis ini, silakan lihat karya Plato,
Theaetetus, terutama ketika ia menganalisis pengetahuan sebagai opini yang benar, forms
sebagai the ultimate reality yang bermuara pada definisi bahwa pengetahuan adalah
sebagai kesadaran intuitif
Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
76
terhadap forms.
Kedua, critical epistemology. Revolusi dari epistemologi dogmatik ke epistemologi
kritis diperkenalkan oleh Rene Descartes. Descartes membalik epistemologi dogmatik
dengan menanyakan apa yang dapat kita ketahui sebelum menjelaskannya. Pertanyakan
dulu secara kritis, baru diyakini. Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti ada,
baru dijelaskan. Berpikir dulu, baru yakini atau tidak. Ragukan dulu, baru yakini atau
tidak. Descartes menganut the immediacy theses, bahwa apa yang kita ketahui adalah
terbatas pada ide-ide yang adalah jiwa kita ( our own minds). Metode Descartes disebut
juga metode skeptis. Yakni, skeptis bahwa kita dapat mengetahui secara langsung objek
di luar diri kita tanpa melalui jiwa kita. Tesis ini dikembangkan oleh David Hume dengan
teori primary qualities dan secondary qualities. Pertanyaan utama epistemologi jenis ini:
Apa yang dapat kita ketahui? Dapatkah kita mengetahuinya? Mungkinkah kita dapat
mengetahui sesuatu di luar diri kita? Singkatnya, epistemologi kritis menetapkan ontologi
setelah epistemologi.
Reid menolak tesis ini dengan berargumen bahwa kita mempunyai pengetahuan
langsung tentang dunia luar (the external world). Menurut Reid, kita tidak melihat
penampakan objek, tapi objek itu sendiri.
Contoh karya Descartes, Meditations, dan karya Hume, Inquiry Into the Human
Understanding (terutama "The Sections on Perception and Scepticism”). Karya Reid, Inquiry
and Essays (Selected Sections on Perception).
Ketiga, scientific epistemology. I argue that there is a third
80
atau komputer atau internet.
81
anut aliran ini adalah B. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu
Tuhan. Aliran yang demikian disebut aliran Monisme.
Aliran yang menyatakan bahwa ada dua substansi disebut Dualisme, tokoh-
tokohnya adalah Plato, Rene Descrates, Leibinz, Imanuel Kant yang memilahkan bahwa
ada dua dunia, yaitu dunia sesungguhnya dengan dunia mungkin. Aliran yang ketiga
adalah Pluralisme yang menyatakan bahwa ada banyak substansi. Para filsuf yang
termasuk pluralisme adalah Empedokles, Anaxagoras. Sedangkan yang mempelajari
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan religi adalah aliran spiritualisme.
Spiritualisme di sini memiliki banyak arti, di antaranya bahwa kenyataan yang terdalam
adalah roh. Dapat juga digunakan untuk istilah keagamaan.
Mempelajari Ilmu Politik diperlukan suatu ilmu pengetahuan, informasi, penalaran,
maka di sinilah peran Epistemologi. Pengetahuan didapat dari pengamatan. Di dalam
pengamatan indrawi tidak dapat ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif.
Dikatakan bahwa sifat pengamatan adalah konkret seperti halnya Ilmu Politik yang
mempelajari sesuatu yang konkret artinya isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-
benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia.
Dasar ontologis ilmu. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu politik.
Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu politik melalui pengalaman
pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara em- piris. Objek materiil ilmu politik
ialah manusia seutuh-
82Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
nya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak
mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk
sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good
citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya). Agar ilmu politik dalam praktek
terbebas dari keragu- raguan, maka objek formal ilmu tersebut dibatasi pada manusia
seutuhnya di dalam fenomena atau situasi manusia dan politik.
Di dalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi
makhluk berperilaku individual dan atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal
itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro
yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem
nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan
inter dan antarpribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi
terlaksananya kegiatan politik dan manusia, yaitu kegiatan yang berskala mikro.
Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh
memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terlepas dari
faktor umum, jenis kelamin ataupun pembawaannya. Jika pendidik tidak bersikap afektif
utuh demikian maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang
(the missing link) atas faktor hubungan tersebut. Dengan begitu manusia dan politik hanya
akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal.
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
83
Dasar epistemologis ilmu politik dan antropologi. Dasar epistemologis diperlukan
oleh para politisi untuk mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung
jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagian dapat dilakukan oleh tenaga
pemula, namun telaah atas objek formil ilmu politik memerlukan pendekatan
fenomenologis yang menjalin studi empirik dengan studi kuali- tatif-fenomenologis.
Pendekatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri
peneliti sebagai instrumen pengumpul data secara pascapositivis- me. Karena itu,
penelaah dan pengumpulan data diarahkan oleh politisi atau ilmuwan sebagai pakar yang
jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman
dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan
(kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomena pendidikan maka validitas internal harus
dijaga betul dalam berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi
eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian expost facto.
Inti dasar epistemologi ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan
objek formalnya, telaah ilmu politik dan antropologi tidak hanya mengembangkan ilmu
terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu politik dan sebagai ilmu otonom
yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat
hanya menggunakan pendekatan kuantitatif ataupun eksperimental (Campbell & Stanley,
1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diper-
Landasan Penelaahan llmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
lukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau
pragmatis (Randall &Buchler,1942).
Dasar aksiologis ilmu politik. Kemanfaatan teori politik tidak hanya perlu sebagai
ilmu yang otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya
bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu,
nilai ilmu politik tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni,
melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan
bertindak dalam praktik melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan me-
ningkatkan pengaruh yang positif dalam politik. Dengan demikian ilmu-ilmu tersebut
tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis. Dalam hal ini relevan
sekali untuk memerhatikan politik sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh
Phenix (1966). Namun, harus diakui bahwa ilmu politik belum jauh pertumbuhannya
dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku, khususnya di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmu politik lebih dekat kepada ilmu perilaku kepada ilmu-ilmu
sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat
unifikasi satu-satunya metode ilmiah (Karl Pearson, 1990).
4.6. Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi
dengan llmu Antropologi
Relevansi Antropologi dengan ketiganya adalah sama- sama mempelajari tentang
manusia. Antropologi berele- vansi dengan ontologi karena ontologi mempelajari sesuatu
86
antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya, jawabannya berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya
atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas tampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau
disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu.
Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau
apa hakikat manusia itu, maka jawabannya berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang
dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan
sesama manusia, tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan
hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada
menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat
ini. Jawaban yang dikemukan antara lain: (i) monisme; (ii) dualisme; (iii) triadisme, dan
(iv) pluralisme.
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga
bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan
aliran spiritualisme, materialisme, atomisme. Dualisme, yang mengajarkan bahwa
manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain,
misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan. Triadisme, yang
mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas,
5.1. Deskripsi
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak
langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar dibayangkan bagaimana kehidupan
manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber
jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan kita.
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan
manusia untuk memahami objek yang dihadapinya, hasil usaha manusia untuk memahami
suatu objek tertentu. Ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Inggris science, yang berasal
dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari,
mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga
menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik.
The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan
yang mencari penjelasan
92
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah suatu cara dalam
memperoleh pengetahuan. Suatu rangkaian prosedur tertentu harus diikuti untuk
mendapatkan jawaban tertentu dari pertanyaan yang tertentu pula. Mungkin epistemologi
dari metode keilmuan akan lebih mudah dibicarakan, jika kita mengarahkan perhatian kita
kepada sebuah rumus yang mengatur langkah- langkah proses berpikir sekaligus menjadi
unsur-unsur dalam ilmu pengetahuan, yang diatur dalam suatu urutan tertentu.
Kerangka dasar prosedur ini dapat diurutkan dalam delapan langkah
sebagai berikut: (a) metode ilmiah; (b) teori; (c) hipotesis; (d) logika; (e) data- informasi;
(f) pembuktian; (g) evaluasi; dan (h) paradigma.
5.3.1. Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut
ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak
semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang
dinamakan metode ilmiah. Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui
sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi
metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-
93
peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk
dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan
mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan; Apakah sumber-sumber
pengetahuan? Apa hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia
dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahapan mana pengetahuan
yang mungkin untuk ditangkap manusia?
Seperti diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan.
Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan cara bekerja
ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik tertentu yang
diminta oleh ilmu pengetahuan, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan. tubuh
pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal
ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara
berpikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.
Secara garis besar metode ilmiah ada dua macam, yaitu yang bersifat umum dan
metode penelitian ilmiah.
95
ngan melakukan sesuatu tangkapan indrawi. Pengetahuan aposteriori itu merupakan
pengetahuan yang diperoleh dengan cara menggabung- gabungkan pengertian yang satu
dengan yang lainnya menyangkut hal-hal yang terdapat dalam alam tangkapan indrawi
atau yang adanya dalam pengalaman empiris.
Metode deduksi adalah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan
jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan atas
ketentuan hal-hal yang bersifat umum. Metode induksi adalah cara penanganan terhadap
suatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan yang bersifat lebih umum
berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang lebih khusus.
97
dapat dinyatakan dengan benar.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu
faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Sebenarnya tujuan akhir dari tiap disiplin
keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan
konsisten, namun hal ini baru dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan saja seperti
umpamanya fisika. Bila dalam fisika saja keadaannya sudah seperti ini maka dapat
dibayangkan bagaimana situasi perkembangan penjelasan teoretis pada disiplin-disiplin
keilmuan dalam bidang sosial. Ilmu sosial pada kenyataannya terdiri dari berbagai teori
yang tergabung dalam suatu disiplin keilmuan yang satu sama lain belum membentuk
suatu perspektif teoretis yang bersifat umum. Teori-teori ini sering mempergunakan
postulat dan asumsi yang berbeda satu sama lain.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada hakikatnya
merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam
suatu kaitan sebab akibat. Pernyataan yang mencakup hubungan sebab akibat ini, atau
dengan perkataan lain hubungan kasualitas, memungkinkan kita untuk meramalkan apa
yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab. Secara mudah maka dapat kita
katakan bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang
"mengapa" suatu gejala-gejala terjadi. Sedangkan hukum memberikan kemampuan
kepada kita untuk meramalkan tentang "apa" yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah
yang berbentuk teori dan hukum ini harus mempunyai
Struktur Ilmu Pengetahuan
98
tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat universal. Dalam
usaha mengembangkan tingkat keumuman yang lebih tinggi ini maka dalam sejarah
perkembangan ilmu kita melihat berbagai contoh di mana teori-teori yang mempunya
tingkat keumuman yang lebih rendah disatukan dalam suatu teori umum yang mampu
mengikat keseluruhan teori tersebut. Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep,
maka makin "teoretis" konsep tersebut. Pengertian teoretis di sini dikaitkan gejala fisik
yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud. Artinya makin teoritis sebuah konsep maka
makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak
nyata.
Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam
langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dengan yang tidak. Secara
sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat
utama yaitu 1) Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak
terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan: dan 2) Harus cocok
dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak
didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
99
5.3.5. Hipotesis
Fakta tidak berbicara untuk diri mereka sendiri. Dalam dunia yang
ditelaah ilmu, sekelompok molekul atau sel tidak meloncat-loncat,
melambaikan tangan, bersuit- suit, dan mengatakan, "Hai, lihat saya! Di
sini! Saya adalah batu, atau pohon, atau kuda." Apanya suatu benda
tergantung kepada merek yang diberikan manusia kepada benda tersebut.
Bagaimana suatu benda dapat dijelaskan tergantung kepada hubungan
konseptual yang dipakai menyorot benda tersebut. Kenyataan ini
membawa kita kepada salah satu segi yang paling sulit dari metodologi
keilmuan yakni peranan dari hipotesis.
Hipotesis adalah pernyataan sementara tentang hubungan antar
variabel. Hubungan hipotesis ini diajukan dalam bentuk dugaan kerja, atau
teori, yang merupakan dasar dalam menjelaskan kemungkinan hubungan
tersebut. Hipotesis diajukan secara khas dengan dasar coba- coba (trial-
and-error). Hipotesis hanya merupakan dugaan yang beralasan, atau
mungkin merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu yang telah teruji
kebenarannya, yang kemudian diterapkan pada data yang baru. Dalam
kedua hal di atas, hipotesis berfungsi untuk mengikat data sedemikian
rupa, sehingga hubungan yang diduga dapat kita gambarkan, dan
penjelasan yang mungkin dapat kita ajukan. Sebuah hipotesis biasanya
diajukan dalam bentuk pernyataan "jika X, maka Y". Jika kulit manusia
kekurangan pigmen, maka kulit itu mudah terbakar saat disinari matahari.
Hipotesis ini memberikan penjelasan sementara paling tidak tentang
beberapa hubungan antara pigmentasi
MILIK PERPUSTAKAAN
UIN SUNAN KAUJAGA
dengan sinar matahari. Hipotesis ini juga mengungkapkan kepada kita
syarat mana yang harus dipenuhi dan pengamatan apa yang diperlukan jika
kita ingin menguji kebenaran dari dugaan kerja tersebut.
Oleh karena itu, maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris
semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat
sementara. Sekiranya kita menghadapi suatu masalah tersebut, kita dapat
mengajukan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari
permasalahan tersebut. Secara teoretis maka sebenarnya kita dapat
mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakikat
rasionalisme yang bersifat pluralistik. Hanya di sini dari sekian hipotesis
yang diajukan itu hanya satu yang diterima berdasarkan kriteria kebenaran
keorespondensi yakni hipotesis
yang didukung oleh fakta- fakta empiris.
5.3.6. Logika
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan
pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai
dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan suatu
cara tertentu. Suatu
penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses
penarikan kesimpulan itu dilakukan menurut cara tertentu. Cara penarikan
kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat
didefinisikan sebagai "pengkajian untuk berpikir secara sahih". Lapangan
dalam logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus,
tepat, dan sehat. Agar dapat berpikir
102
dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuknya saja.
Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-
asas penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada
kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi (probabiliti).
Ketiga, logika formal dan logika material. Logika formal
mempelajari asas, aturan atau hukum-hukum berpikir yang harus ditaati,
agar orang dapat berpikir dengan benar dan mencapai kebenaran. Logika
material mempelajari langsung pekerjaan akal, serta menilai hasil-hasil
logika formal dan mengujinya dengan kenyataan praktis yang
sesungguhnya. Logika material mempelajari sumber- sumber dan asalnya
pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, dan
akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Logika formal
dinamakan juga logika minor, sedangkan logika material dinamakan
logika mayor. Yang disebut logika formal adalah ilmu yang mengandung
kumpulan kaidah cara berpikir untuk mencapai kebenaran.
Keempat, logika murni dan logika terapan. Logika mumi merupakan
suatu pengetahuan mengenai asas dan aturan logika yang berlaku umum
pada semua segi dan bagian dari pernyataan-pernyataan dengan tanpa
mempersoalkan arti khusus dalam sesuatu cabang ilmu dari istilah yang
dipakai dalam pernyataan dimaksud. Logika terapan adalah pengetahuan
logika yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu, bidang-bidang filsafat,
dan juga dalam pembicaraan yang mempergunakan bahasa sehari-hari.
Kelima, logika filsafati dan logika matematik.
Logika 103
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
filsafati dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau bagian logika yang
masih berhubungan sangat erat dengan pembahasan dalam bidang filsafat,
seperti logika kewajiban dengan etika atau logika arti dengan metafisika.
Adapun logika matematik merupakan suatu ragam logika yang menelaah
penalaran yang benar dengan menggunakan metode matematik serta
bentuk lambang yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna
ganda atau kekaburan yang terdapat
dalam bahasa biasa.
5.3.7. Data-informasi
Tahap ini merupakan sesuatu yang paling dikenal dalam metode
keilmuan. Disebabkan oleh banyaknya kegiatan keilmuan yang diarahkan
kepada pengumpulan data, maka banyak orang yang menyamakan
ilmuwan dengan pengumpulan fakta. Hasil observasi ini kemudian
dituangkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Pengamatan yang teliti
yang dimungkinkan oleh terdapatnya berbagai alat, yang dibuat manusia
dengan penuh akal, memberikan dukungan yang dramatis terhadap konsep
keilmuan sebagai suatu prosedur yang pada dasarnya adalah empiris dan
induktif. Tumpuan terhadap persepsi indra secara langsung atau tidak
langsung, dan keharusan untuk melakukan pengamatan secara teliti seakan
menyita perhatian kita terhadap segi empiris dari penyelidikan keilmuan
tersebut.
Penyusunan dan klasifikasi data. Tahap metode keilmuan ini
menekankan kepada penyusunan fakta dalam kelompok- kelompok, jenis-
jenis, dan kelas-kelas. Dalam
104
semua cabang ilmu, usaha untuk mengidentifikasi, meng- analisis,
membandingkan, dan membedakan fakta-fakta yang relevan tergantung
kepada adanya sistem klasifikasi disebut taksonomi, dan ilmuwan modern
terus berusaha untuk menyempurnakan taksonomi khusus bidang keilmuan
mereka.
Deskripsi dan klasifikasi memang suatu hal yang pokok dalam ilmu,
tetapi adalah menyesatkan bila kita mengacaukan deskripsi dan
penyusunan ini dengan seluruh urutan kegiatan
yang merupakan metode keilmuan.
5.3.8. Pembuktian
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji
hipotesis tersebut dengan mengonfron- tasikannya dengan dunia fisik yang
nyata. Sering sekali dalam hal ini kita harus melakukan langkah perantara
yakni menentukan faktor- faktor apa yang dapat kita uji dalam rangka
melakukan verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis tersebut. Proses
pengujian ini seperti yang telah kita singgung sebelumnya merupakan
pengumpulan fakta- fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan.
Fakta- fakta ini kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita tangkap
secara langsung dengan pancaindra kita. Kadang- kadang kita memerlukan
instrumen yang membantu pancaindra kita umpamanya teleskop atau
mikroskop. Tidak jarang pula beberapa pembuktian ilmiah memerlukan
alat yang rumit sekali, sehingga sering terjadi bahwa hipotesis baru dapat
dibuktikan berapa lama kemudian setelah ditemukan alat yang dapat
membantu mengum-
108
Struktur Ilmu Pengetahuan
jelasan yang berbeda pula yang dapat diterima dalam sistem ilmu.
Penjelasan dalam ilmu pada dasarnya adalah menjawab pertanyaan
"mengapa". Terdapat empat cara berbeda yang digunakan dalam ilmu
untuk menjawab pertanyaan ini, yakni penjelasan (i) deduktif, (ii) pro-
babilistik, (iii) genetis, dan (iv) fungsional. Tiap-tipe penjelasan ini
menjawab mengenai mengapa namun untuk pertanyaan yang berbeda-
beda.
Pertama, penjelasan deduktif adalah sebuah penjelasan
yang terdiri dari serangkaian pertanyaan di mana kesimpulan tertentu
disimpulkan setelah menetapkan aksioma atau postulat. Contoh yang
klasik adalah sebagai berikut: Semua manusia adalah fana. Socrates adalah
manusia. Oleh sebab itu, Socrates adalah fana. Fakta bahwa Socrates
adalah fana merupakan konsekuensi langsung karena dia adalah manusia.
Jadi pertanyaan "Mengapa Socrates fana?" dalam cara penjelasan ini
adalah karena dia manusia. Ilmuwan, jika menerima fakta semua manusia
fana, dan dia menemukan fakta bahwa Socrates adalah manusia, maka dia
dapat melakukan deduktif bahwa Socrates adalah fana. Walaupun begitu,
seorang ilmuwan tidak akan berhenti sampai di sini, dia akan berusaha
untuk mengembangkan beberapa tes untuk melihat apakah Socrates secara
fakta adalah fana. Penjelasan deduktif, meskipun merupakan alat yang
sangat berguna dalam beberapa cabang ilmu, dapat menyesatkan kita
karena cara itu hanya memperhatikan beberapa karakteristik dari gejala.
Terlebih lagi, hubungan logika belum tentu berlaku untuk hubungan
antarmanusia. Ahli ilmu sosial tidak
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
109
pernah menerima argumentasi deduktif tanpa pertama- tama memeriksa
benar tidaknya premis yang dipergunakan, umpamanya, bahwa semua
orang, faktanya memang fana- sebelum menguji bahwa Socrates secara
fakta adalah seorang manusia. Akhirnya, dia akan melakukan pengujian
tersendiri untuk melihat apakah Socrates memang benar- benar fana.
Penjelasan deduktif menjawab pertanyaan "mengapa" dengan
melakukan abstraksi dari karakteristik tertentu dan secara jelas
merumuskan hubungan antara tiap karakteristik tersebut. Penyusunan
model adalah usaha untuk meng- abstraksikan beberapa sifat semua gejala
yang terdapat dan kebanyakan model dalam ilmu mempergunakan metode
deduksi.
Kedua, penjelasan probabilistik (kemungkinan). Terdapat semacam
pertanyaan dalam ilmu yang tidak dapat dijawab secara pasti seperti yang
dilakukan dalam metode deduktif. Pertanyaan semacam ini hanya mungkin
dijawab dengan kata- kata seperti "mungkin", "hampir pasti", atau "dalam
batas 5%" dan jawaban ini disebut probabilistik. Hal ini terjadi bila kita
berurusan dengan sejumlah besar manusia, atau individu dengan
bermacam tingkah lakunya, di mana kita tidak tahu semua faktor yang
memengaruhi tindakan mereka.
Ketiga, penjelasan genetis. Penjelasan genetis menjawab pertanyaan
"mengapa" dengan apa yang telah terjadi sebelumnya. Umpamanya jika
kita ingin menerangkan mengapa seorang anak mempunyai tipe rambut
tertentu maka cara penjelasan genetis dapat dipakai di sini, yakni
Struktur Ilmu Pengetahuan
110
dengan memakai faktor keturunan yang dihubungkan dengan karakteristik
orang tua si anak tersebut. Ahli ilmu jiwa sering sekali memergunakan
penjelasan genetis ini. Mengapa manusia melakukan tindakan tertentu?
Jawaban yang baik terhadap pertanyaan ini mungkin didasarkan pada apa
yang terjadi padanya semasa kecil. Mengapa manusia melihat warna?
Mengapa manusia melihat? Pertanyaan semacam ini dapat dijawab dengan
penjelasan genetis dengan berusaha menerangkan hal-hal yang terjadi
sebelumnya. Karena hal inilah maka penjelasan genetis ini sering disebut
penjelasan historis.
Keempat, penjelasan fungsional. Bentuk penjelasan lain yang sering
dijumpai dalam ilmu, adalah penjelasan fungsional, yang memberikan
jawaban terhadap pertanyaan "mengapa" dengan jalan menyelidiki tempat
dari objek yang sedang diteliti dalam keseluruhan sistem di mana objek
tersebut berada. Jadi jika kita bertanya mengapa anak-anak sekolah
menghormati bendera, penjelasan fungsional antara lain memberikan
jawaban bahwa penghormatan tersebut akan menjadikan anak- anak itu
lebih patriotik, dan sifat lebih patriotik akan menjamin kelangsungan
bangsa dan cita-citanya. Patut ditandaskan di sini bahwa dari semua cara
penjelasan yang telah disebutkan di atas, tidak satu pun yang dapat
menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh ilmu. Oleh sebab itu,
maka para ilmuwan mempergunakan cara yang berbeda pula untuk
menjelaskan masalah yang berbeda. Kadang-kadang penelaahan keilmuan
telah selesai sebelum kita sempat menjelajahi semua bagian dari sistem
yang telah kita kem-
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
111
bangkan. Suatu masalah yang relatif sederhana, dengan suatu pengamatan
yang baik, mungkin dapat dijelaskan secara sederhana pula, di mana
secara langsung hipotesis dapat
ditolak atau diterima kebenarannya.
5.3.10. Paradigma
Secara umum pengertian paradigma adalah seperangkat kepercayaan
atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Guba, paradigma dalam ilmu
pengetahuan mempunyai definisi bahwa seperangkat keyakinan mendasar
yang memandu tindakan-tindakan manusia dalam keseharian maupun
dalam penyelidikan ilmiah. Paradigma dalam hal ini dibatasi pada
paradigma pencarian ilmu pengetahuan (discipline inquiry paradigm), yaitu
suatu keyakinan dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari
kebenaran realitas menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan.
Dalam mengembangkan suatu paradigma ilmu kita harus dapat melihat
cara pandang yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam
menemukan ilmu pengetahuan, yaitu: dimensi ontologis, dimensi
epistemologis, dimensi aksiologis, dimensi retorik dan dimensi
metodologis.
Ada empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikem- bangkan
dalam menemukan hakikat realitas atau ilmu pengetahuan yaitu:
Positivisme, Postpositivisme (Classical Paradigm, Conventionalism
Paradigm), Critical Theory (Realism) dan Constructivism. Dalam ilmu
sosial perubahan terjadi secara cepat dan dinamis, tergantung pada bukti
112
Struktur llmu Pengetahuan
empiris yang diyakini. Berikut dipaparkan berbagai unsur yang dilihat
sebagai indikator adanya perubahan dalam pengembangan ilmu.
Keragaman paradigmatik dapat terjadi karena perbedaan pandangan
filosofis, konsekuensi logis dari perbedaan teori yang digunakan dan sifat
metodologi yang digunakan untuk mencapai kebenaran.
Ada empat cara berpikir berdasarkan dikotomi pengaruh antar
individu dan masyarakat: (i) dikotomi muncul akibat asumsi umum bahwa
individu dapat membentuk atau mengubah masyarakat; (ii) dikotomi
muncul akibat asumsi umum bahwa "individu merupakan produk dari
masyarakat" (individual is created society); (iii) Dikotomi dari kedua
pendapat itu disintesiskan oleh Peter Berger, dalam model yang memiliki
perspektif yang tersangkut paut dengan hubungan antara anggota
5.4. Ringkasan
Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap
demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru
berdasarkan pengetahuan yang sudah ada. Dengan demikian maka ilmu
merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan
baik. Penemuan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai "rumah atau
batu bata yang bercerai-berai".
Secara singkat dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah sebuah
teori pengetahuan yang dipergunakan manusia dalam memberikan
jawaban tertentu terhadap suatu pernyataan. Metode ini menitikberatkan
kepada suatu urutan prosedur yang saksama di mana diperoleh
sekumpulan pengetahuan yang diperluas secara terus menerus serta
bersifat mengoreksi diri sendiri. Metode keilmuan mendasarkan diri pada
anggapan bahwa, terdapat keteraturan yang dapat ditemukan dalam
hubungan antara gejala-gejala, dan bahwa alat pancaindra manusia, (atau
alat yang dibuat secara teliti), pada dasarnya dapat berfungsi secara layak.
Lewat pengorganisasian yang sistematis dan pengujian pengamatan,
manusia telah mampu mengumpulkan pengetahuan secara kumulatif,
walaupun
114
yang terus-menerus bertumbuh dan mempunyai peluang besar untuk
benar. Walaupun begitu, metode keilmuan tidak mengajukan diri
sebagai metode yang membawa manusia kepada suatu kebenaran akhir
yang takkan pernah berubah.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan
pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebe- narannya telah
teruji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses
pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Sekiranya sekarang
kita dapat mengum- pulkan fakta-fakta yang mendukung hipotesis kita
maka bukan berarti bahwa untuk selamanya kita akan men- dapatkan
hal yang sama. Mungkin saja sewaktu-waktu, baik secara kebetulan
maupun karena disebabkan kemajuan dalam peralatan pengujian, maka
kita akan mendapatkan fakta yang menolak hipotesis yang selama ini
kita anggap benar. Jadi pada hakikatnya suatu hipotesis dapat kita
terima kebenarannya selama tidak didapatkan fakta yang menolak
hipotesis tersebut. Hal ini membawa dimensi baru kepada hakikat ilmu
yakni sifat pragmatis dari ilmu. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari
kebenaran melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam
tahap perkembangan tertentu. Hipotesis-hipotesis yang sampai saat ini
tidak ditolak kebenarannya, dan mempunyai manfaat bagi kehidupan
kita, kita anggap sebagai pengetahuan yang sahih. Dalam proses
keilmuan bahwa hipotesis ini kemudian hari ternyata tidak benar, bagi
kita hal itu tidaklah terlalu penting selama hipotesis ini mempunyai
kegunaan. Seperti ucapan Santayana,
maka 115
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
dalam ilmu sekiranya kita menemukan kebenaran baru, kita tidak lalu
"menyalahkan pendahulu itu, kita cuma mengucapkan
selamat jalan".
Teori Kebenaran
Ilmu Pengetahuan
6.1. Deskripsi
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya
akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan,
dan filsafat. Agama mengantarkan pada kebenaran, dan filsafat membuka
jalan untuk mencari kebenaran.
Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan
menggunakan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran
yang ada dalam objek yang menjadi sasaran. Kebenaran itu sendiri belum
pasti melekat dalam objek. Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh per-
sepsi-persepsi belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal
dalam
filsafat.
6.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang teori
kebenaran dalam ilmu pengetahuan terdiri atas:
(i) koherensi; (ii) korespondensi; (iii) positivistik; (iv) pragmatik;
(v) esensialisme; (vi) konstruktivisme; dan
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 117
(vii) religiusisme.
6.3. Teori Kebenaran
Pertanyaan-pertanyaan berikut tentu membuka wawasan kita, bisa
jadi selama ini hanya merupakan kesan- kesan yang kita biarkan berlalu.
Untuk keperluan pembelajaran filsafat ilmu, sengaja diangkat lagi agar
memperoleh wacana yang memadai dalam konteks untuk menemukan
kebenaran. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah; (i) Apakah kebenaran itu
ada?; (ii) Apakah kebenaran ada atau tidak ada? (iii) Kebenaran itu apakah
kecil atau kebenaran besar; (iv) Bagaimana kebenaran yang terdapat di
dalam filsafat, agama, ilmu, dan seni; (v) Bagaimana pandangan kaum
skeptis, relatif, dan subjektif, dan kaum nihilis tentang kebenaran; (vi)
Bagaimana paham diterminis dan inditerminis (konseptual, atau konseptual
yang kacau) tentang kebenaran; dan (vii) Bagaimana teori- teori ontologi
kebenaran.
Sejumlah teori yang telah dikemukakan oleh para filsuf dengan
senyatanya membuka mata kita antara lain yang dikemukakan: (i) teori
idealisme Plato yang berpusat pada "idea"; (ii) teori Rasionalisme
R.Decartes, yang berpusat pada rasio dan kesadaran; (iii) teori Immanuel
Kant yang berpusat pada akal atau rasio mumi (Reinen Vernunft, Praktisen
Vernunft).
(iv) teori-teori wahyu/revalasi dari kalangan teolog (dari Tuhan YME)
yang menyatakan bahwa the truth is created by the God yang dilawan oleh
teori evolusi; (v) teori coherence (coherence theory) yang menyatakan
bahwa kebenaran itu suatu nilai inter-
119
penomenon (gejala); (xiv) teori konstruktivisme yang menyatakan bahwa
kebenaran itu suatu hasil konstruksi pikiran manusia yang bebas, dan
selalu berubah, dan sangat subjektif; (xvi) teori post-modernisme
menyatakan bahwa kebenaran itu bukan suatu yang tetap, selalu berubah,
dan akal manusia menciptakan secara bebas dan tidak pernah sama dengan
yang lalu, terdapat kecenderungan bahwa kebenaran tidak dapat
diungkapkan dalam bahasa; (xvii) teori progresivisme menyatakan bahwa
kebenaran yang tidak pernah statik, melainkan selalu berubah ke depan (ke
masa yang akan datang) sesuai perkembangan manusia dan zaman. Paham
ini menolak paham-paham warisan tradisi dan konservatif; (xviii) teori
kritik (Critical theory of truth) menyatakan kebenaran itu suatu hasil
pemikiran manusia yang terbuka dan kritis sepanjang zaman, dan
kebenaran lahir dari dialog, diskusi, dan diskursus yang kontinu (Jurgen
Hebernas); (xix) teori nihilism menyatakan bahwa sesungguhnya tidak
pernah ada kebenaran di dunia ini, yang ada hanya power, who holds the
power, he is able to creat the truth and jaustice (F. Nietzsche).
Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam tulisannya yang berjudul
Hakikat Dasar Keilmuan, ilmu merupakan suatu pengetahuan yang
menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi
merupakan misteri. Ilmu membatasi ruang jelajah kegiatan pada daerah
pengalaman manusia. Artinya, objek penjelajahan keilmuan meliputi
segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat
pancaindranya.
Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan
120
Secara epistemologi, ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia
dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indra. Epistemologi keilmuan
pada hakikatnya merupakan gabungan antara pikiran secara rasional dan
berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungkan dalam
mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran.
Ilmu, dalam menemukan kebenaran, menyandarkan dirinya kepada
kriteria atau teori kebenaran antara lain: (i) koherensi; (ii) korespondensi;
(iii) positivistik; (iv) pragmatik; (v)
esensialisme; (vi) konstruktivisme; dan (vii) religiusisme.
6.3.1. Koherensi
Koherensi merupakan teori kebenaran yang menegaskan bahwa
suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian, atau
informasi) akan diakui sahih/ dianggap benar apabila memiliki hubungan
dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga sahih dan
dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan- kebutuhan logika.
Teori ini juga mendasarkan diri kepada kriteria konsistensi suatu
argumentasi. Teori ini melihat sesuatu itu dengan benar ketika terdapat
adanya konsistensi yang ditangkap subjek yang satu dengan subjek lainnya
tentang suatu realita yang sama. Makin konsisten ide-ide atau kesan yang
ditangkap beberapa subjek tentang sesuatu objek yang sama, makin
benarlah ide-ide atau
kesan itu.
6.3.2. Korespondensi
Korespondensi merupakan teori kebenaran yang
122
Teori Kebenaran llmu Pengetahuan
hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam,
karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-
aturan, demikian juga alam.
6.3.4. Pragmatisme
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang men- dasarkan diri
kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam
lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori Pragmatisme berbeda dengan teori
koherensi dan korespondensi yang keduanya berhubungan langsung
dengan realita objektif, pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide- ide
melalui konsekuensi-konsekuensi daripada praktik atau pelaksanaannya.
Artinya, ide-ide itu belum dikatakan benar atau salah sebelum diuji.
6.3.5. Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang
berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam
memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di
mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterikatan
dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan
harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama
yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata
yang jelas. Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata
yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula.
7.1. Deskripsi
Di era postmodern saat ini telah begitu banyak dite- mukan
inovator baru dalam ilmu pengetahuan. Penemuan- penemuan tersebut
dapat kita rasakan hampir dalam segala bidang dan lingkungan di
mana kita berada. Misalnya, keberadaan teknologi informasi yang
semakin hari semakin canggih.
Hasil penemuan baru tersebut tentunya melalui se- jumlah proses
yang memakan waktu cukup relatif panjang. Hal ini (semakin pesatnya
penemuan-penemuan baru) merupakan suatu yang tidak dapat
dielakkan lagi, karena ia merupakan tuntutan dari keberadaan manusia
itu sendiri, yakni keberadaan kebutuhan dan keinginan manusia yang
semakin tinggi dan beragam.
Di dalam proses penemuan sains tersebut kita menge- nal yang
namanya metode ilmiah sebagai jalan untuk meraih hasil yang sesuai
"standar" keilmuan. Sains yang
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
terus berkembang dapat dikatakan merupakan dampak dari revolusi industri
yang terjadi di Eropa. Revolusi industri membawa perubahan besar dalam
berbagai aspek. Corak-corak metodologis yang dikembangkan menyebabkan
ilmu pengetahuan bersifat positivistik, deterministik, dan evolusionistik.
Sehingga segala sesuatu harus dijelaskan dengan metode kuantitatif dan
eksperimental melalui observasi.
Dewasa ini, ada kecenderungan-kalau tidak mau dikatakan sepenuhnya
—yang dilakukan oleh para pemikir atau ilmuwan yang berpersepsi bahwa
metode ilmiah merupakan satu-satunya metode yang diterapkan dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Bahkan, ia juga dijadikan
landasan atau sebagai asas dalam berpikir. Lebih dari itu, terjadi pensakralan
terhadapnya.
7.2, Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada bagian ini menjelaskan logika ilmu terdiri
atas; (i) hakikat berpikir; (ii) pengertian dan kriteria metode berpikir ilmiah;
logika ilmiah; bahasa keilmuan; model metode berpikir ilmiah; hal-hal yang
harus diperhatikan dalam penggunaan Metode Rasional.
134
empat metode untuk memahami sesuatu (methods of knowing) yaitu: (i) the
method of tenacity (wahyu), (ii) the method of authority (otoritas), (iii) the a
priory method (intuisi) dan (iv) the method of science (metode ilmiah).
Penelitian termasuk ke dalam metode ilmiah, sebagai metode memahami
yang paling baik guna memperoleh kebenaran ilmiah.
7.4. Bahasa Keilmuan
Bahasa keilmuan adalah suatu sarana yang digunakan dalam
komunikasi keilmuan. Terdapat unsur-unsur yang terlibat dalam
komunikasi keilmuan, seperti juga unsur- unsur dari kebanyakan bentuk
komunikasi antara lain adalah: (i) lambang (termasuk kata-kata dan tanda-
tanda); (ii) definisi; dan (iii) pernyataan dan logika.
Analisis singkat dari peranan unsur-unsur ini meng- gambarkan
pada kita hakikat masing-masing unsur tersebut.
Terdapat berbagai tujuan dan bentuk bahasa komunikasi mulai dari
bahasa estetik, bahasa sehari-hari, bahasa hukum sampai bahasa keilmuan.
Sebagai contoh "dibandingkan dengan negara-negara lain, semasa periode
1965- 1973 laju tumbuh perekonomian Indonesia termasuk yang tinggi
(7,6%) rata-rata pertahun. Tingkat tersebut hanya dilampaui oleh Brazil
dengan (9,1%) rata-rata pertahun. Apakah terdapat keraguan dalam
pikiran orang yang membaca atau mendengar berita ini? Apakah terdapat
konflik penafsiran dalam komunikasi tersebut? Mungkin sekali tidak.
Pernyataan ini adalah tepat.
136
dapat dihindari. Penulisan bernada sastra perlu dihindari.
Ketiga, jelas. Gagasan akan mudah dipahami apabila bahasa yang
dituangkan secara jelas dan hubungan antara gagasan yang satu dengan yang
lainnya juga jelas.
Keempat, formal. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi ilmiah
bersifat formal. Tingkat keformalan dapat dilihat pada kosa kata, bentukan
kata, dan kalimatnya.
Kelima, objektif. Sifat objektif tidak cukup dengan hanya menempatkan
gagasan sebagai pangkal tolak, tetapi juga diwujudkan dalam penggunaan
kata.
Keenam, konsisten. Unsur bahasa, tanda baca, dan istilah, sekali
digunakan sesuai dengan kaidah maka untuk selanjutnya digunakan secara
konsisten.
Ketujuh, bertolak dari gagasan. Bahasa keilmuan digunakan dengan
orientasi gagasan. Pilihan kalimat yang lebih cocok adalah kalimat pasif,
sehingga kalimat aktif perlu dihindari.
Kedelapan, ringkas dan padat. Ciri padat merujuk pada kandungan
gagasan yang diungkapkan dengan unsur- unsur bahasa. Karena itu, jika
gagasan yang terungkap sudah memadai dengan unsur bahasa yang terbatas
tanpa pemborosan, ciri kepadatan sudah terpenuhi.
7.5. Model dan Kriteria Metode Berpikir Ilmiah
Pada dasarnya, ditinjau dari sejarah berpikir manusia, terdapat dua pola
berpikir ilmiah. Yang pertama adalah berpikir secara rasional, di mana
berdasarkan paham rasionalisme ini, idea tentang kebenaran sebenarnya
sudah ada. Pikiran manusia dapat mengetahui idea tersebut,
140
ini adalah pemikiran atau kesadaran rasional.
Tidak sebagaimana halnya metode ilmiah, metode rasional dapat
diterapkan pada objek-objek material yang dapat diindra, namun, juga dapat
diterapkan pada objek non-material atau yang dikenal dengan namanya
humaniora dan pemikiran-pemikiran. Metode berpikir rasional adalah suatu
proses berpikir tentang realitas atau masalah yang dihadapi sebagaimana
adanya.
Metode rasional identik dengan definisi dari akal itu sendiri. Dengan
menggunakan metode ini, manusia akan mencapai sebuah kesadaran tentang
hal apa pun. Metode ini merupakan satu- satunya metode berpikir. Adapun
metode ilmiah (scientific method) dan yang disebut dengan metode logika
(logical method) adalah merupakan cabang dari metode rasional atau
merupakan salah satu cara yang dituntut dalam pengkajian sesuatu.
7.8. Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam
Penggunaan Metode Rasional
Dalam menggunakan metode berpikir rasional ada beberapa hal yang
patut untuk kita perhatikan, yakni: (i) Dalam pendefinisian metode rasional:
dan (ii) dalam melakukan penyimpulan.
Pertama, dalam pendefinisian metode rasional harus membedakan
antara opini (pendapat) terdahulu tentang sesuatu dengan informasi terdahulu
tentang sesuatu atau tentang apa yang berkaitan dengan sesuatu itu. Yang ada
pada metode rasional haruslah informasi terdahulu bukan opini terdahulu atau
pendapat. Opini terdahulu tidak boleh
8.1. Deskripsi
Logika dapat diartikan sebagai pengetahuan yang membahas tentang
simpul-menyimpulkan penalaran yang diperoleh dari sejumlah premis atau
pangkal pikir secara tepat atau valid. Unsur- unsur utama dalam simpul-
menyimpulkan suatu penalaran itu adalah term atau konsep, proposisi
(kalimat pernyataan), dan penyimpulan (inter- versi). Dalam simpul
menyimpulkan suatu penalaran dapat dilakukan secara langsung dari
proposisi sebagai pangkal pikirnya, namun dapat juga dilakukan secara tidak
lang- sung yang harus melalui premis-premis dalam proposisi yang tersedia.
Pada bagian ini dijelaskan tentang pola penalaran yang langsung disimpulkan
dari proposisi yang tersedia.
8.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran dalam topik ini menjelaskan
8.3. Logika
8.3.1. Pengertian Logika dan Penalaran Ilmiah
Logika berasal dari kata Yunani kuno (logos) yang berarti hasil
pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam
bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica
scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan
untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan
kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan
pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut dapat
juga diartikan dengan masuk akal.
Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana objek materialnya
adalah berpikir (khususnya penalaran/ proses penalaran) dan objek formal
logika adalah berpikir/ penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.
Sebagai cabang filsafat, logika merupakan cabang filsafat yang praktis.
Praktis di sini berarti logika dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam
usaha untuk memperkenalkan pemikiran dan pendapat-pendapatnya, para
filsuf Yunani kuno tidak
148
berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren; (ii)
Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif; (iii)
Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam
dan mandiri; (iv) Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri
dengan menggunakan asas- asas sistematis; (v) Meningkatkan cinta akan
kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpikir, kekeliruan serta
kesesatan; dan (vi) Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian.
154
Eksantippe adalah istri Socrates.
8.7.2. Obversi
Obversi adalah sejenis penarikan konklusi secara langsung dalam mana
terjadi perubahan kualitas proposisi, sedangkan artinya tetap sama. Dengan
kata lain, obversi memberikan persamaan dalam bentuk negatif bagi proposisi
afirmatif, atau persamaan dalam bentuk afirmatif bagi proposisi negatif.
Prinsip-prinsip obversi:
Subjek obvertend sama dengan subjek obverse
Predikat obverse adalah kontradiktori dari predikat obvertend
Kualitas obverse kebalikan dari kualitas obvertend
Kuantitas obverse sama dengan kuantitas obvertend
Obversi "A": Obversi “A" adalah "E"
Obvertend : Semua S adalah P
Obverse : Tidak satu pun S adalah bukan P Semua manusia adalah
mortal.
Tidak seorang pun manusia adalah tidak mortal. Obversi
Obversi "E" "E" adalah "A"
Obvertend Tidak satu pun S adalah P
Obverse Semua S adalah tidak P
Tidak seorang pun manusia adalah kuda.
Semua manusia adalah tidak kuda.
Obversi "I" : Obversi "I" adalah "O"
Obvertend Sebagian S adalah P Sebagian
Obverse S adalah tidak P
155
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
Sebagian manusia adalah bijaksana. Sebagian
manusia tidaklah tidak bijaksana.
Obversi "O": Obversi "O" adalah "I"
Obvertend: Sebagian S tidaklah P
Obverse : Sebagian S adalah P
Jadi dengan obversi A memberikan E, E memberikan A, I
memberikan O dan O memberikan I.
8.7.3. Kontraposisi
Kontraposisi adalah sejenis penarikan konklusi secara langsung dalam
mana kita menarik konklusi dari satu proposisi dengan subjek yang
kontradiktoris dari predikat yang diberikan. Konklusi dalam kontraposisi
disebut kontrapositif, sedangkan untuk proposisi yang diberikan tidak ada
nama yang tertentu.
Prinsip-prinsip yang berlaku dalam menarik konklusi dengan
kontraposisi adalah sebagai berikut:
Subjek konklusi adalah kontradiktori predikat yang diberikan
• Predikat konklusi adalah subjek proposisi yang diberikan
• Kualitasnya berubah
• Tidak ada term yang tersebar dalam konklusi jika tidak tersebar pula
dalam premis. Kalau penyebaran yang salah tidak terjadi, kuantitas
konklusi sama dengan kuantitas premis, sedangkan bila ada kemungkinan
untuk penyebaran yang salah, konklusi menjadi khusus meskipun premis
universal.
Kontraposisi adalah bentuk majemuk dari penarikan
Proposisi "O" jika diobversikan menjadi “I", dan "I" jika dikonversikan
menjadi "I"
lagi, jadi kontraposisi "O" adalah "I".
0- Sebagian S tidaklah P
1- Sebagian S adalah tidak P I-
Sebagian tidak P adalah S
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Ringkasnya: dengan kontraposisi A menjadi E, E menjadi I, O menjadi I dan I
tidak ada kontraposisinya.
8.7.4. Inversi
Inverse adalah sejenis penarikan konklusi secara langsung di mana
subjek pada konklusi kontradiktori dari subjek proposisi yang diberikan.
Proposisi yang diberikan disebut invertend dan konklusi disebut inverse.
Ada dua jenis yaitu inverse, yaitu inversi penuh dan inversi sebagian.
Inversi penuh adalah inversi yang predikat inversenya adalah kontradiktori
dari predikat proposisi yang diberikan, dan inverse sebagian adalah
inversi yang predikat inversenya sama dengan predikat inver- tendnya.
Peraturan-peraturan yang berlaku dalam inverse adalah sebagai
berikut :
1. Subjek inverse adalah kontradiktori dari subjek invertendnya
2. Dalam inversi sebagian predikat inverse sama dengan predikat
invertendnya, sedangkan dalam inversi penuh predikat inverse
adalah kontradiktori dari predikat invertendnya.
3. Kuantitas invertend universal dan kuantitas inverse khusus. Jadi
hanya proposisi-proposisi universal saja yang dapat diinversikan.
4. Dalam inverse penuh kualitas inverse sama dengan kualitas
invertend, sedangkan dalam inversi sebagian kualitas inverse
berbeda dari kualitas invertend. Inversi, sebagaimana kontraposisi
adalah bentuk
8.8. Ringkasan
Penalaran langsung merupakan pola penyimpulan yang langsung dapat ditentukan
dari proposisi atau kalimat yang tersedia. Kalimat terdiri dari term S (subjek) dan P
(predikat). Melalui kalimat yang dinyatakan dalam bahasa tersebut maka penyimpulan
langsung dapat dilakukan dan dapat dibuktikan kebenarannya.
Para ahli pikir menggolongkan proposisi dalam empat jenis yaitu proposisi: (i) A
(universal afirmatif); (ii) E (universal negatif); (iii) I (particular afirmatif); dan O
(particular negatif). Penyimpulan langsung dilakukan dengan cara mempertukarkan
proposisi berdasarkan kualitas afirmatif dan negative, letak S (subjek) dan P (prediket),
dan menyimpulkan langsung melalui kuantitas proposisi.
Empat jenis proposisi dapat dilakukan penyimpulan
163
Bab IX
9.1. Deskripsi
Pada topik ontologi ilmu telah dijelaskan bahwa pada dasarnya
hakikat ilmu adalah objek bahasannya yang empiris terdapat dalam
kegiatan keseharian, dapat diamati (dipotret, dividco) yang karenanya
lingkup ilmu pengetahuan adalah hal- hal yang dapat diukur (measurable),
dan dapat diamati (observable). Objek empiris dari ilmu adalah
mengandung gejala yang memiliki keserupaan yang satu dengan yang lain,
karenanya pula dapat diidentifikasi kecenderungan- kecenderungan dari
gejala yang diamati. Melalui metode penelaahan yang cermat, maka
dapatlah disusun teori yang tingkat kebenaran (logika)nya yang memiliki
probabilitas kebenaran yang tinggi, sejauh tidak terdapat bukti baru yang
membantahnya.
Uraian berikut merupakan penjabaran dari logika induktif dengan
menempatkan asumsi dasar objek empiris dalam ilmu pengetahuan.
9.7. Ringkasan
Induksi merupakan pola penalaran untuk melakukan penyimpulan
dalam logika dari kasus-kasus individual atau partikular menuju kepada
kasus-kasus umum/ universal. Pola penalaran induksi seperti ini disebut
sebagai generalisasi induksi, kesimpulannya berupa pernyataan umum.
Dalam penelitian melalui metode tertentu dilengkapi dengan sejumlah
bukti maka pernyataan umum itu disebut tesis, dan teori, disebut hukum
(law) apabila tingkat bukti kebenarannya tidak dapat dibantah lagi.
Dalam pola penalaran induksi juga terdapat analogi induksi, yang
kesimpulannya bukan berupa pernyataan umum seperti generalisasi
induksi, namun berupa pernya- taan- pemyataan yang pembuktiannya
mendasarkan pada unsur- unsur yang sama dengan mengabaikan
perbedaan. Pola penalaran seperti ini disebut sebagai analogi induksi.
10.1. Deskripsi
Upaya-upaya untuk dapat menemukan kesimpulan yang tepat
atau benar dilakukan dengan menyusun pola penalaran sesuai dengan
prinsip-prinsip panalaran yang tepat. Di sisi lain terdapat cara juga
untuk menemukan kesimpulan yang tepat itu dengan cara menghidari
pola penalaran yang sesat. Inilah yang disebut dengan kesesatan
(fallacy) dalam penalaran ilmiah sebagai bagian dalam pembahasan
tentang logika.
Dalam konteks tersebut maka pada bagian ini diuraikan tentang:
(i) pengertian, (ii) klasifikasi; (iii) kesesatan bahasa;
(iv) kesesatan relevansi; (v) relevansi kesesatan berpikir dengan ilmu
pengetahuan.
10.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada bagian ini adalah men- jelaskan
kesesatan berpikir ini meliputi: (i) pengertian, (ii) klasifikasi; (iii)
kesesatan bahasa; (iv) kesesatan relevansi;
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
(v) relevansi kesesatan berpikir dengan ilmu pengetahuan.
180
yang memperkaya cara berpikir dan karenanya mencerahkan (Whitehead,
1967:1-14).
Untuk menghilangkan sikap itu proses pendidikan harus mampu
membangkitkan kesadaran dalam diri subjek didik bahwa penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai pendekatan ilmiah yang
mendasarinya bukanlah tujuan akhir (final ends) pendidikan.
Penguasaan pengetahuan dan teori atau pendekatan ilmiah hanyalah
tujuan antara (instrumental ends) yang hanya bermakna sejauh
berkontribusi pada kesejahteraan manusia.
Itu sebabnya yang menjadi satu-satunya persoalan pokok dalam
pendidikan, demikian Whitehead, adalah kehidupan dengan segala
manifestasinya. Itu berarti, pendidikan seharusnya diarahkan dan bermuara
pada pengembangan kemampuan subjek didik untuk menerapkan
pengetahuannya secara bijak dan tepat. "Education is the acquisition of
the art of the utilization of knowledge", kata Whitehead, sebuah seni yang
pasti tidak mudah untuk ditanamkan tetapi kalau diusahakan secara sadar
dan sistemik berbuah dalam bentuk perilaku yang
beradab.
10.3.1. Klasifikasi Kesesatan Berpikir
Dalam sejarah perkembangan logika terdapat berbagai macam tipe
kesesatan dalam penalaran. Walaupun model klasifikasi kesesatan yang
dianggap baku hingga saat ini belum disepakati para ahli, mengingat cara
bagaimana penalaran manusia mengalami kesesatan, sangat bervariasi,
namun secara sederhana kesesatan dapat dibedakan dalam
182
bervariasi artinya. Ketidakcermatan dalam menentukan arti kata atau arti
kalimat itu dapat menimbulkan kesesatan penalaran. Berikut ini adalah
beberapa bentuk kesesatan
karena penggunaan bahasa.
10.4.1. Kesesatan Aksentuasi
Pengucapan terhadap kata-kata tertentu perlu diwaspadai karena ada
suku kata yang harus diberi tekanan. Pengubahan dalam tekanan terhadap
suku kata dapat menyebabkan pengubahan arti. Karena itu, kurangnya
perhatian terhadap tekanan ucapan dapat menimbulkan perbedaan arti
sehingga penalaran mengalami kesesatan.
10.4.2. Kesesatan Aksentuasi Verbal
Contoh:
• Serang (kota) dan serang (tindakan menyerang dalam
pertempuran).
• Apel (buah) dan apel bendera (menghadiri upacara
bendera).
• Mental (kejiwaan) dan mental (terpelanting).
• Tahu (masakan, makanan) dan tahu (mengetahui sesuatu).
10.4.3. Kesesatan Aksentuasi non-verbal
Contoh sebuah iklan: "Dengan 2,5 juta dapat membawa motor".
Mengapa bahasa dalam iklan ini termasuk kesesatan aksentuasi non-verbal
(contoh kasus):
Karena motor ternyata baru dapat dibawa (pulang) tidak hanya
dengan uang 2,5 juta, tetapi juga dengan menyertakan syarat-syarat lainnya
seperti slip gaji, KTP,
187
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
logis kesimpulan tersebut tidak terkandung dalam/ atau tidak merupakan
implikasi dari premisnya.
Jadi penalaran yang mengandung kesesatan relevansi tidak
menampakkan adanya hubungan logis antara premis
dan kesimpulan, walaupun secara psikologis menampakkan adanya
hubungan, namun kesan adanya hubungan secara psikologis ini sering
kali membuat orang terkecoh.
Kesesatan relevansi ini terdiri dari: (i)Argumentum ad Hominem,
(ii) Argumentum ad Baculum, (iii) Argumentum ad Populum, (iv)
Argumentum Auctoritatis, (v) Argumentum ad Verecundiam,
(vi)Ignoratio Elenchi, (vii) Argumentum ad Ignoratiam, (viii) Petitio
Principii, (ix) Kesesatan non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter
Hoc/False Cause) (x) Kesesatan Aksidensi (xi) Kesesatan karena
Komposisi dan Divisi (xii)
Kesesatan karena Pertanyaan yang Kompleks.
10.5.1. Argumentum ad Hominem 1
Etika Ilmu
11.1. Deskripsi
203
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, danLogikaIlmu
mencari keseimbangan moral, sifat keras kepala dan hilangnya rasa malu
dan dosa dari perilaku manusia.
Yang penting adalah bahwa prosesnya, baik dalam analisis maupun
pembuktiannya, kita dapat memisahkan spekulasi mana yang dapat
diandalkan dan mana yang tidak. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat
memilih buah pikiran yang dapat diandalkan sebagai titik awal dari
penjelajahan pengetahuan tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang
disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas
kebenaran, tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita
tidak mungkin berbicara tentang moral.
Untuk membangun masyarakat ilmiah menuju masyarakat
berbudaya ilmu pengetahuan dan hubungan antara ilmu dan etika yang
merupakan bagian dari ilmu humaniora belum memperoleh perhatian dari
masyarakat atau para peneliti (sarjana). Dari sisilah masyarakat luas
sangat membutuhkan terbentuknya konsep etika dan ilmu yang dapat
mengembangkan sikap dan perilaku yang baik di satu pihak dan
menghilangkan, melenyapkan sikap dan perilaku buruk seperti perilaku
penyimpangan dan kejahatan.
Suatu ilmu dan etika adalah suatu sumber pengetahuan yang
diharapkan dapat meminimalakan dan menghentikan perilaku
menyimpang di kalangan masyarakat. Untuk itu, pengkajian kita
difokuskan pada usaha meningkatkan peranan ilmu sebagai sumber
moralitas dalam mendukung pengembangan kebudayaan.
204
Etika Ilmu
11.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang
(i) pengertian etika ilmu; (ii) hubungan ilmu dan etika;
(iii) membangun masyarakat ilmiah; (iv) menuju masyarakat
berbudaya ilmu pengetahuan; dan (v) relevansi etika ilmu.
11.3. Pengertian Etika
Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a
sistem of moral principles or rules of behaviour, atau suatu sistem, prinsip
moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan
tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka
ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu
cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics
dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or
influence a person's behaviour, prinsip- prinsip moral yang dipengaruhi
oleh perilaku pribadi.
Dalam bahasa Yunani, etika berarti ethikos mengandung arti
penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang
mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah,
mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan
moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam
bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, adat, akhlak,
Etika Ilmu
menemukan kebenaran dan juga mempertahankan kebenaran diperlukan
keberanian moral.
Etika memberikan semacam batasan maupun standar yang
mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Etika ini
kemudian dirupakan ke dalam bentuk aturan tertulis yang secara
sistematik sengaja dibuat ber- dasarkan prinsip-prinsip moral yang ada
dan pada saat dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk
menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum
(common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.
Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai kegunaan khusus yakni
kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat
kemanusiaan.
Etika Ilmu
amatan. Ilmu pengetahuan merintis jalan kepada kemandirian dalam berpikir berdasarkan
pada pengamatan terhadap gejala-gejala alam atau sosial. Tentu harus diakui di sini bahwa
sikap menghargai pengamatan, sebagai lawan tradisi dan otoritas, adalah sesuatu yang sulit.
Ilmu pengetahuan menuntut agar orang tidak mudah percaya begitu saja pada tradisi atau
otoritas tetapi percaya pada pengamatan dengan teknik-teknik yang rasional.
Kedua, otonomi dunia fisik. Bahwa ilmu pengetahuan berangkat dari suatu filosofi
alam sebagai sesuatu yang otonom, yang memiliki hukum sendiri. Dunia fisik mengikuti
hukum-hukum fisika, tidak ada pengaruh roh-roh halus. Peranan dewa-dewi sebagaimana
dianut oleh banyak agama tradisional lenyap dengan sendirinya jika ilmu pengetahuan
diterima secara konsekuen.
Ketiga, disingkatnya konsep tujuan. Bahwa ilmu pengetahuan hanya mengenal sebab
efisien dari suatu peristiwa. Bagi ilmu pengetahuan masa lampau lebih penting dari masa
depan. Sebab final tidak diberi tempat dalam pandangan ilmiah tentang dunia. Oleh karena
itu, ilmu pengetahuan lebih memerhatikan konsep kausalitas dibandingkan dengan konsep
formalitas. Masyarakat yang dicerahi ilmu pengetahuan lebih percaya pada Darwinisme.
Keempat, tempat manusia dalam alam. Dari segi kontemplasi tampaknya ilmu
pengetahuan merendahkan manusia. Namun, dari segi praktis ilmu pengetahuan dapat
mengangkat manusia, justru karena dengan i lmu pengetahuan manusia dapat memeroleh
kekuasaan dan dapat berbuat banyak. Kekuasaan dapat diperoleh manusia
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
dengan memahami hukum-hukum alam.
Ilmu pengetahuan membantu proses emansipasi manusia terhadap dewa-dewi
tradisional dan Tuhan Allah. Ilmu pengetahuan membangun suatu rasionalitas yang
berbeda dari rasionalitas kepercayaan-kepercayaan tradisional dan agama.
11.6.5. Dampak Sosial Praktis
Dalam konteks yang sama kita juga dapat berbicara tentang manfaat ilmu
pengetahuan adalah dalam memperbesar kekuasaan manusia. Maka teori-teori ilmiah,
melalui tehnik, dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk memperbesar kekuasaan
manusia atas alam dan atas masyarakat. Kekuatan-kekuatan teknik ilmiah itu semakin
menjadi nyata ketika dikembangkan dalam interaksi komunitas manusia.
Kemampuan untuk mengontrol atau kemampuan untuk berkuasa tidak sama dengan
kekuatan untuk hidup dan bertindak sebagaimana diharapkan orang-orang yang dididik
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkem- bangan teknologi mengandaikan
kepentingan sosial yang berkembang dalam masyarakat, dan itu berarti hal tersebut
membutuhkan komunikasi antara
kepentingan dalam masyarakat.
11.6.6. Watak Intelektual
Ilmu pengetahuan, sampai sekarang selalu didasarkan pada pengamatan dan tidak
pernah pasti benar, melainkan hanya mengklaim probabilitas berdasarkan bukti yang ada.
Efektivitas dari ilmu pengetahuan untuk memberikan
218 Etika Ilmu
harapan itu tidak diragukan lagi. Ilmu pengetahuan dapat menawarkan kemungkinan
kesejahteraan hidup yang jauh lebih baik bagi umat manusia sehingga dapat disimpulkan
bahwa ilmu pengetahuan dapat menciptakan suatu masyarakat yang enlightened, hanya bila
masyarakat itu mengikuti rasionalitas ilmu pengetahuan yang taat pada rasio.
11.6.7. Kecenderungan Pragmatis
Kecenderungan pragmatis beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dikembangkan demi
mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan dalam alam semesta ini.
Ilmu pengetahuan memang bertujuan me- nemukan kebenaran, tetapi bagi mereka ilmu
pengetahuan tidak berhenti sampai di situ saja, yang terpenting adalah bahwa ilmu
pengetahuan pada
akhirnya berguna bagi kehidupan manusia.
11.7. Relevansi Etika ilmu dengan llmu Antropologi
Hubungan antara antropologi dan etika ilmu bersifat timbal balik. Antropologi pun
perlu bantuan ilmu-ilmu lain dan sebaliknya ilmu-ilmu lain juga memerlukan bantuan
antropologi. Perkembangan ilmu antropologi sejak fase- fase perkembangan yang dahulu
juga mengumpulkan beratus-ratus suku bangsa yang tersebar di muka bumi ini. Etika yang
sering kali berupa daftar kata-kata, catatan tentang tata bahasa, bahkan seringkali juga
pelukisan lengkap tentang mengembangkan teori-teori tentang berbagai asas, oleh suatu
etika ilmu bagian dari antropologi.
Etika pun seringkali disebut dengan filsafat moral di
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 219
mana di setiap masyarakat pastilah terdapat etika-etika keilmuan yang sudah tertanam,
contoh yang kecil saja, seperti yang terjadi di kalangan masyarakat misalnya tata cara
pergaulan di kalangan anak muda perkotaan menjadi lebih bebas. Di mana tradisi, adat
istiadat, budaya luhur dan nilai-nilai kesopanan dalam pergaulan mulai ditinggalkan dengan
seiring perkembangan teknologi. Kehidupan modem dan gaya hidup di negara-negara Barat
atau negara maju lebih permisif dan bebas. Timbulnya anak- anak "punk" di daerah
perkotaan lebih cenderung disebabkan oleh tayangan televisi. Tentunya kita mudah
mengerti bagaimana baik buruknya suatu metode-metode dan teori-teori dalam etika ilmu
yang berhubungan langsung dengan antropologi.
Latar belakang etika ilmu dengan peristiwa-peristiwa yang sukar diketahui hanya dari
sumber-sumber, konsep- konsep tentang kehidupan masyarakat yang dikembangkan oleh
antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, memberi pengertian banyak kepada seorang ahli
sejarah. Dalam hal mengumpulkan keterangan komparatif antropologi sangat berguna, dari
ilmu itu telah menyadari kepentingan antropologi sebagai ilmu bantu dalam penelitian.
Metode-metode antropologi untuk menyelami latar belakang kehidupan di dalam
masyarakat yang mana pada zaman krisis dunia sekarang ini. Pengertian tentang yang
sangat diperlukan dalam perilaku dan tindakan manusia yang diteliti oleh antropologi. Oleh
karena itu, ilmu dan etika adalah sebagai suatu pengetahuan yang diharapkan dapat
menghambat dan menghentikan perilaku penyim-
Etika llmu
pangan dari kejahatan di kalangan masyarakat, maka antara ilmu antropologi dan etika ilmu
saling berhubungan erat yang mana ilmu antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
aspek kehidupan manusia.
11.8. Ringkasan
Ilmu pengetahuan sesungguhnya merupakan alat bagi manusia. Ilmu diciptakan
dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Dengan ilmu dapat
diciptakan suasana yang lebih baik dan dengan demikian melalui ilmulah manusia dapat
lebih mudah mencapai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Sebagai suatu subjek, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu
ataupun kelompok-kelompok yang menilai apa tindakan-tindakan yang telah dikerjakan. Di
mana etika memberikan semacam batasan maupun standar yang mengatur manusia di dalam
kelompok sosial lainnya. Dalam etika ilmu ini dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh manusia.
Dalam hal ini paradigma merupakan istilah yang sangat erat dengan sains yang normal.
Suatu paradigma bersama telah membebaskan masyarakat sains dari kebutuhan penelitian
ulang secara konstan. Masyarakat sains tahu benar masalah-masalah mana yang telah
dipecahkan beberapa ilmuwan akan mudah dipersuasi untuk menerima pandangan baru.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu pengetahuan mempunyai
peranan ganda. Pengkajian
Etika Ilmu
222
Bab XII
Filsafat Ilmu dan Teknologi
12.1. Deskripsi
Seiring perkembangan filsafat yang begitu pesat, maka munculnya berbagai
pertanyaan berkaitan dengan hakikat filsafat ilmu dan filsafat teknologi. Hal itu dikarenakan
perkembangan sebuah ilmu yang begitu besar pastilah membuat lahirnya teknologi-
teknologi dalam masyarakat menjadi begitu pesat. Namun, perkembangan itu tidak diiringi
dengan dasar pemahaman dari filsafat ilmu dan filsafat teknologi itu sendiri yang membuat
manusia menjadi tidak paham hakikat yang sebenarnya dari ilmu dan teknologi yang
sesungguhnya, sehingga tidak dapat mendudukan keduanya sesuai dengan yang seharusnya.
226
itu sendiri.
Masyarakat sekarang sangat menggantungkan hidupnya pada teknologi,
ketergantungan yang terus menerus menjadikan dirinya terlena dari eksistensi diri manusia
sendiri sebagai makhluk bebas dan kreatif. Masyarakat kemudian menjadi tidak sadar bahwa
mereka dipenjarakan oleh teknologi (tidak kreatif dan reflektif lagi) itu sendiri bila tidak
memahami hakikat teknologi yang sesungguhnya. Pada dasarnya teknologi hadir di
masyarakat semata- mata untuk sarana memudahkan urusan bukan sebagai tujuan.
12.6. Ringkasan
Filsafat ilmu berisi tentang analisis atau metodologi tentang ilmu sedangkan filsafat
teknologi analisis tentang suatu hasil ciptaan manusia melalui proses berpikir untuk
menciptakan suatu barang dan atau jasa yang berguna bagi kehidupan manusia. Dengan kata
lain antara filsafat ilmu dengan filsafat teknologi amat berkaitan, dilihat dalam proses
pencarian suatu teknologi atau hasil karya tertentu.
Ketika kita memahami filsafat dari ilmu dan teknologi maka kita dapat mendudukkan
hakikat sebenarnya dari ilmu dan teknologi itu sendiri.
Pada dasarnya manfaat lain bagi kehidupan kita bila kita memahami filasafat ilmu dan
teknologi adalah kita dapat memanfaatkan teknologi itu sendiri secara efisien, serta dalam
mengembangkannya kita dapat seimbang sehingga tidak menjadi bumerang bagi
masyarakat.
13.1. Deskripsi
Penerapan dari ilmu pengetahuan membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan
dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan ilmu pengetahuan.
Tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengemban ilmu pengetahuan harus
memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung
jawab kepada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena
pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh
eksistensi manusia bukan untuk menghan- curkan eksistensi manusia.
13.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang: (i) tanggung jawab
ilmu ilmuwan; (ii) prinsip ilmu pengetahuan itu; (iii) pengingkaran dan perlawanan
233
Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi adalah segala-
galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia
yang baik. Demikian juga masih terdapat ke- benaran-kebenaran lain di samping kebenaran
keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki. Jika kaum ilmuwan konsekuen
dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral, maka salah satu
penyangga masyarakat modem ini, yaitu ilmu pengetahuan, akan berdiri dengan kukuh.
Berdirinya pilar penyangga keilmuan ini merupakan tanggung jawab sosial kaum ilmuwan
(Suryasumantri, 1984).
Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat
dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah
memberikan perspektif yang benar, untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga
penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat memengaruhi
opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogianya mereka sadari. Dalam hal ini,
berbeda dengan saat menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoterik, dia harus
berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan
saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas
kepribadiannya.
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur
dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima
sesuatu secara begitu
Moralitas llmu Pengetahuan
234
saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan
dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur
dan cermat. Inilah yang menyebabkan dia mem- punyai tanggung jawab sosial.
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi hanya memberi
informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat
objektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian
yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus
menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis
yang tepat.
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau
penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan
bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap
politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas- asas kemanusiaan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk
kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah tanggung
jawab ilmuwan haruslah "dipupuk" dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab
akademis dan tanggung jawab moral.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah dihipotesis- kan, jika ilmuwan telah dapat
memenuhi tanggung jawab
236
dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau
tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia, baik dalam
hubungan sebagai pribadi, dengan lingkungan- nya maupun sebagai makhluk yang
bertanggung jawab terhadap khalik-Nya.
Jadi, sesuai dengan pendapat van Melsen (1985) bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia
tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan
oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang
teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni
kedewasaan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, yang buruk dan yang
baik.
Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar
manusia dapat sungguh- sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu
pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia. Tetapi
juga merupakan hasil perkembangan
dan kreatifitas manusia itu sendiri.
13.5. llmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Rasionalitas ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes bersikap skeptik sebagai
metode yang meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo
sum). Sikap ini berlanjut pada masa aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia
untuk mencapai
238
Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah
(Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2001).
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, bisa
dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan,
sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang
ikut menentukan pilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.
Tokoh lain Habermas sebagaimana yang ditulis oleh Rizal Mustansyir (2001)
berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi
Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu
pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau objek itu sebenarnya sudah
tersusun secara spontan dan primordial dalam pengalaman sehari-hari, dalam Lebenswelt
atau dunia sebagaimana dihayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt itu
sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan praktis.
Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk
berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak
lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan hermeneutika juga ditentukan
oleh kepentingan praktis kendati dengan cara yang berbeda. Kepentingan ialah memelihara
serta memperluas bidang aling pengertian antarmanusia dan perbaikan komunikasi. Setiap
ke- giatan teoretis yang melibatkan pola subjek selalu
240
moral dan akhlak amat diperlukan.
Manusia sebagai makhluk Tuhan bersama-sama dengan alam berada di dalam alam
itu. Manusia akan menemukan pribadi dan membudayakan dirinya bila mana manusia
hidup dalam hubungan dengan alamnya. Manusia yang merupakan bagian alam tidak hanya
bagian yang terlepas darinya. Manusia senantiasa berintegrasi dengan alamnya. Sesuai
dengan martabatnya, manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa menjadi pusat
dari alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa di antara manusia dengan alam ada
hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu, manusia harus senantiasa
menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya yang bersifat mutlak pula. Kewajiban ini
merupakan kewajiban moral tidak juga sebagai manusia biasa lebih- lebih seorang ilmuwan
dengan senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam yang bersifat mutlak.
Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan tentu perlu
memiliki visi moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut
sikap ilmiah (Abbas Hamami M., dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM,
1996).
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Karena sikap ilmiah adalah suatu
sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap
ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan
bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi. Di samping
itu, ilmu tersebut dapat dipertanggungjawab-
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu241
kan kepada Tuhan. Artinya, selaras antara kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami M., (1996)
terdapat enam hal sebagai berikut: (i) tidak ada rasa pamrih (disinterestedness), artinya suatu
sikap yang diarahkan untuk mencapai penge- tahuan ilmiah yang objektif dengan
menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi; (ii) Bersikap selektif, yaitu suatu sikap
yang bertujuan agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal
yang dihadapi. Misalnya, hipotesis yang beragam, metodologi yang menunjukkan
kekuatannya masing-masing, atau cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun
masing-masing menunjukkan akurasinya; (iii) ada rasanya percaya yang layak baik terhadap
kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi (mind);
(iv) adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti
(conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian; (v)
adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap
penelitian yang telah dilakukan sehingga selalu ada dorongan untuk riset dan riset sebagai
aktifitas yang menonjol dalam kehidupannya; (vi) seorang ilmuwan harus memiliki sikap
etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kebahagiaan
manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.
Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan secara
normatif tersebut berlaku bagi semua sistem. Hal ini karena pada dasarnya seorang
Moralitas llmu Pengetahuan
242
ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau
apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah
objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal. Di samping sikap ilmiah berlaku
secara umum tersebut, pada kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik
berlaku bagi kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya etika kedokteran, etika bisnis, etika
politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh
kelompoknya itu. Taat asas dan patuh terhadap norma etis yang berlaku bagi para ilmuwan
diharapkan akan menghilangkan kegelisahan serta ketakutan manusia terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan, diharapkan manusia akan semakin percaya
pada ilmu yang membawanya pada suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai
manusia. Hal ini sudah tentu jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap lain kecuali
pencapaian
objektivitas demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.
13.7. Moralitas llmu Pengetahuan
Manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu
pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dan Freud menyebut sebagai "id", "ego"
dan "super-ego". "Id" adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan
biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido
(konstruktif) dan thanatos (destruktif
243
dan agresif). "Ego" adalah penyelaras antara "id" dan realitas dunia luar. "Super-ego" adalah
polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (Jalaluddin Rakhmat, 1985). Dalam
agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat
saja hanya memfungsikan "id"-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan
mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dalam pertarungan antara id dan
ego, di mana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga
nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam
memanfaatkan ilmu pengetahuan —amatlah nihil kebaikan yang diperoleh manusia, atau
malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan
lapisan ozon, adalah pilihan "id" dari kepribadian manusia yang mengalahkan "ego"
maupun " super-ego" -nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal
yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan
manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif
dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi "id"
(libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu
pengetahuan. Di sinilah etika
Moralitas Ilmu Pengetahuan
244
menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well- supporting bagi pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuwan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to),
benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan
teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di
bawah filsafat moral (Herman Soewardi 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang
melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti
akan men- datangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada
dasarnya adalah seperangkat kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya
(executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subjek berhadap opsi baik
atau buruk—yang baik itulah materi kewajiban exekutor dalam situasi ini.
13.8. Pengingkaran dan Perlawanan Etika
Etika sebagai modal dasar dalam pembentuk pengembangan ilmu pengetahuan yang
lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan, tentunya tidak terlepas dari beberapa
pengingkaran dan perlawanan etika sendiri. Atau yang biasa disebut dengan pelanggaran
etika.
Prinsip etika keilmuan yang berdasarkan kepada prinsip bebas nilai yang
mengharuskan ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal, sudah tidak
14.1. Deskripsi
Pada bab ini diuraikan tentang pengertian ilmu pengetahuan, teknologi dan
kebudayaan serta relevansinya terhadap ilmu Politik. Topik-topik tersebut telah menjadi
pembicaraan dan tidak henti-hentinya diperbincangkan. Baik politik maupun ilmu
pengetahuan, Teknologi dan Kebudayaan, keduanya mempunyai hubungan yang saling
mendasari perkembangan satu dan lainnya. Dapat dikatakan bahwa ilmu, teknologi dan
kebudayaan dipengaruhi dari pemikiran politik saat ini.
14.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada bagian ini adalah (i) pengertian ilmu pengetahuan,
teknologi dan kebudayaan; dan (ii) hubungan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kebudayaan.
14.7. Ringkasan
Penerapan teknologi tidak cukup hanya mengandalkan technical know-how, tetapi
selayaknya dan semestinya didukung oleh pengetahuan mengenai keadaan sosial-
Abdurrahman, M. 2005. At-Tafkeer. Alih bahasa oleh Abu Faiz, Cet. I Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, Hal. 34.
Adib, Mohammad. 2009. Jatidiri Unair Telah Berhasil Disusun dalam
http://madib.blog.unair.ac.id/ethics/ jatidiri-ua-telah-berhasil-disusun/
Adib, Mohammad. 2007. Bahan Ajar Filsafat Ilmu dan Logika. Surabaya: Laboratorium
Humaniora Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Universitas Airlangga.
Adib, Mohammad. 2007. Filsafat Ilmu: Diskursus tentang Filsafat, Ilmu dan Agama dalam
Ilmu Keperawatan, Kedokteran Gigi, serta Psikologi. Surabaya: Laboratorium
Humaniora Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Universitas Airlangga.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Asmadi, AsmoroDrs. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mehra, Partap Sing dan Burhan, Jazir. 1988. Pengantar Logika Tradisional.
Bandung: Bina Cipta.
Filsafat Ilmu: Ontologi. Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2001. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Naya Sujana, I Nyoman. 2004. Pengetahuan Dasar Bagi Mahasiswa Baru Memasuki
Perguruan Tinggi. Surabaya:PT. Bina Ilmu.
Rapar, Jan Hedrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Salam,
Burhanudin. 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Santoso, Heri dan Listiyono Santoso. 2003. Filsafat Ilmu Sosial, Ikhtiar Awal Pribumisasi Ilmu-
Ilmu Sosial. Yogyakarta: Gama Media.
Siswomihardjo, Koento Wibisono, dkk,. 1997. Filsafat Ilmu.
Klaten: Intan Pariwara.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soekadijo, R.G. 1983. Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif. Jakarta: Gramedia.
Solomon, Robert C. 2002. Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Bentang. Subechi,
Achmad. The Soul and Spirit of Mankind Makna Kebenaran:
http://bechipersda.blogspot.com Suppe, Frederick, (ed.). 1977. The Structure of Scientific
Theories. Chicago: University of Illinois Press. Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.
Jakarta: Bumi Aksara.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Daftar Pustaka
262
Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Suriasumantri, Jujuri S. 2003. Ilmu Dalam Perspektif.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Dimensi Etik dan Asketik illmu Pengetahuan Manusia:
Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI) 1985.
Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar
Filsafat Ilmu. Jakarta: Gramedia.
Suseno dan Magnis, Franz. 1992. Filsafat sebagai llmu Kritis.
Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI)
Taryadi, Alfons. 1989. Epistemologi Pemecahan Masalah: Menurut Karl Popper.
Jakarta: Gramedia.
Taqiyuddin an-Nabhani. 2003. At-Tafkir, alih bahasa oleh Taqiyuddin as-Siba'I, Cet. I (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2003), Hal. 31
Van Melsen, A.G.M. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Terjemahan K.
Bertens, Judul Asli Wetenschap en Verantwoordelijkheid. Jakarta: Gramedia
Verhaak, C. dan R. Haryono, Imam. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Kerja
Ilmu. Jakarta: Gramedia.
Wallace, Walter L. 1984. Metoda Logika Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Wiener. P.P. 1953.
Reading in Philosophy of Science. New York: Charles Scribner's Sons.
A antropologi 13, 59
Aksiologi 78 Anzahel 3
A.C. Ewing 43 AR Lacey 78 Argumentum
Abbas Hamami M 242 ad baculum
activity 47 190
aksiologi 23, 81 Argumentum ad hominem
Al-Battani 31 188
Al-farabi 3, 21, 31 argumentum ad hominem 2 189
Al-ghazali 3 Argumentum ad ignoratiam 195
Al-Khowarizmi 31 Argumentum ad
Al-kindi 3, 31, 41 verecundiam 194
Ali Mudhofir 38 Aristoteles 19, 27, 31, 34, 37,
aliran monisme 86 72, 88, 149, 166, 206
Amfiboli 185 attitude 47
Anaxagoras 82 Augustinus 19, 30
Anaximander 81, 86 Averroisme 31
Anaximandros 26
Angeles, Peter 55
Anton Bakker 87
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
B E.B. Taylor 59
effects 47
B. Spinoza 82, 86 Einstein 97
Babbie 134 Bacon eksistensialisme 119
Elwood 63
31 Empedokles 82
empirisme 73
Bacon, Francis 31, 179 epistemologi 23, 41, 74, 75, 81
Baudrilland, Jean 248
Esensialisme 123
Benjamin, A, Cornelius 55
F
Berger, Peter 113
filsafat ilmu 70 Fransiscan
Berkeley 12
Roger Bacon 4
Biesanz, John 59
Freud 243
Brooks, Harvey 253 G
C
G. Kemeny, John 49 Galilei,
CA. Van Peurson 52
Galileo 12
Cassirer, Ernest 88
H. Gerard Van Cromona 4
Cicero 21
Gordon 83
Comte, August 122 Conant,
Guba 112
James B. 133 conclusions 47 H
Copernicus 12 H. Titus, Harold 38, 49
D
Habermas 239
Darwinisme 217
Hanafi 3
David Hume 4
Descartes, Rene 10, 19, 22, 37, Hanbali 3
Scheffler, Israel 55 X
Senn, Peter R. 132 Xenophanes 27, 34
silogistik 10
268
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
272Lampiran-lampiran
tinggi. Artinya, selain dianggap tidak terlalu menjanjikan di satu sisi, juga
bahwa antropologi belum bisa mempromosikan dirinya sendiri sebagai
pilihan favorit.
Kedua, selama ini antropologi masih menjadi disiplin yang lebih
berorientasi pada keilmuan an sich, dalam hal ini sebagai ilmu humaniora
atau sosial, yang basis utamanya penelitian lapangan. Sudah saatnya
untuk dipikirkan, selain berorientasi keilmuan, antropologi juga
mengembangkan diri dengan berorientasi antropolog sebagai profesi.
Istilah seperti antropolog, sosiolog, bahkan juga geolog dan beberapa
yang lain pengertiannya bukanlah profesi, tetapi secara lazim berkonotasi
pada kepakaran atau keahlian.
Mereka biasanya berprofesi sebagai dosen dan atau peneliti.
Bandingkan dengan disiplin psikologi yang selain berorientasi keilmuan
dengan melahirkan para sarjana psikologi, juga mencetak profesi
psikolog. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mengada-ada bagi
antropologi untuk memperluas orientasi akademisnya.
Tentu saja ini tidak semudah membalik telapak tangan. Yang
dibutuhkan adalah kerja keras, sehingga pada saatnya masyarakat akan
melihat antropologi sebagai pilihan yang menjanjikan. Hal ini kiranya
tidak jauh dari harapan Amri Marzali agar antropologi tidak mengenyam-
pingkan applied anthropology, yang menurutnya sebagian ahli antropologi
mengkhawatirkan akan menurunkan gengsi disiplin ini.
Catatan lain, bahwa para sarjana antropologi juga mempunyai
pekerjaan rumah untuk menggeser citra yang
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
telanjur melekat pada benak masyarakat awam bahwa disiplin ini adalah ilmu yang
hanya mempelajari masyarakat primitif.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa antropologi memang belum dipromosikan
secara maksimal. Bahwa cakupan kajian antropologi kini telah sedemikian luasnya
sehingga merambah pada kehidupan komunitas perkotaan yang kosmopolit, hal ini
merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Poin ini juga mempunyai
hubungan dengan antropologi terapan yang semestinya mempunyai sensitivitas
terhadap berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat sebagai dampak
globalisasi.
Akhir kata, penulis berharap catatan ini bisa menyambung lidah kelu Amri
Marzali, salah satu mursyid antropologi di Indonesia saat ini, yang telah
memperjuangkan kemajuan disiplin antropologi agar bisa memberi kontribusi lebih
besar kepada bangsa ini.
(Mohammad Rozi, Alumnus Program Studi
Antropologi pada Pascasarjana UGM).
Lampiran-lampiran
Lampiran 2. Slank Sindir DPR dengan Lagu Gossip Jalanan
April 10, 2008, Slank Sindir DPR dengan Lagu Gossip Jalanan Posted by hipmala under
Politik I Tag: Politik & Hukum I
Dewan perwakilan rakyat hari-hari ini disibukkan dengan Lagu yang dirilis
oleh Slank.Mereka menganggap lagu tersebut. Senin ini (7/4), Wakil Ketua Badan
Kehormatan (BK) DPR, Gayus Lumbuun, usai rapat konsultasi tertutup antara BK
DPR dengan Ketua DPR, Agung Laksono, mewakili lembaganya menyatakan bahwa
lirik lagu itu menyakiti DPR dan DPR tengah mengkajinya, apakah lirik tersebut
termasuk penistaan terhadap lembaga dan layak ditindaklanjuti secara hukum.