Anda di halaman 1dari 298

Filsafat

ILMU
Drs. H.MohammadAdib, MA.
Filsafat
ILMU Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan
Kata Pengantar: Prof. Dr. Suhartono Taat
Putra, dr., MS.

PERPUSTAKAAN UIN
SUNAN KALIJAGA
APBN: _/ DEC 2011

PUSTAKA PELAJAK
Katalog dalam Terbitan (KDT)
Drs. H. Mohammad Adib, MA.
FILSAFAT ILMU Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Edisi ke 2,
Cetakan I Yogyakarta: Pustaka Pelajar xxv + 280 hal.; 21 cm

FILSAFAT ILMU
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan
Edisi ke-2
Cetakan I Februari 2010 Cetakan II Februari 2011
Penulis
Drs. H. Mohammad Adib, MA.
Desain Cover
Digi Art Yogya
Tata Aksara
Dimaswids
Penerbit
PUSTAKA PELAJAR Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167 Telp. (0274) 381542; Fax
(0274) 383083 E-mail: pustakapelajar@telkom.ne
ISBN: 978-602-8479-93-6
Pengantar Penulis

Telah lebih dari dua dekade terakhir, bergulat dalam pembelajaran sebagai pengajar dan penanggung
jawab mata kuliah Filsafat Ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, dan
sejumlah perguruan tinggi lainnya. Sesungguhnya, kajian- kajian tentang Filsafat Ilmu yang penulis
lakukan dalam kurun waktu tersebut, terasa semakin bermakna apabila disusun dalam uraian tulisan dan
penjelasan yang detail.
Uraian buku ini merupakan sejumlah materi yang telah dikembangkan, diluaskan, dan
didalamkan pada mata kuliah tersebut, yang sebelumnya telah diterbitkan (2007 dan 2008) dengan judul
Filsafat Ilmu dan Logika. Pada penerbitan ini, judul diubah sesuai dengan isi yang terdapat di dalamnya,
sehingga judul yang dipilih adalah Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Judul ini terasa lengkap sebagai landasan utama dalam membahas filsafat ilmu, melalui
empat pilar

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


utamanya.
Buku di hadapan pembaca ini dipilahkan dalam empat belas bab yang masing- masingnya terdapat
sub-bab yang kesemuanya menjelaskan judul buku yakni Filsafat Ilmu. Pada masing-masing bab diuraikan
tentang deskripsi pokok bahasan, tujuan pembelajaran, bagian isi dan diakhiri dengan ringkasan.
Pencantuman sumber pustaka yang dijadikan rujukan dalam pembahasan, disajikan dalam bagian akhir
buku ini yakni setelah bab yang ke- 14. Pencantuman daftar pustaka, diharapkan dapat dilakukan
penelusuran lebih lanjut. Pada bab pertama buku ini, menjelaskan tentang sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan, dilanjutkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan setelah abad ke- 17,
aspek-aspek positif semangat renaissance, pandangan David Hume tentang sains is power.
Bab kedua buku ini menjelaskan tentang objek studi filsafat dan ilmu pengetahuan yang dijelaskan
objek dan sudut pandang filsafat, kegunaan filsafat bagi manusia, pengertian ilmu pengetahuan, objek dan
sudut pandang pengetahuan, pengertian dan asal filsafat, arti filsafat, sejarah filsafat, perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan, corak- corak pemikiran filsafat zaman Yunani kuno, karakteristik pemikiran zaman
patristik, sumbangan pemikiran Filsafat Islam pada abad pertengahan, dan perbedaan pemikiran zaman
modern dan kontemporer.
Pada bab ketiga, dijelaskan tentang filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu yang dijabarkan dalam pengertian
dan kegunaan filsafat baik secara etimologi maupun secara terminologi,
Pengantar Penulis
vi
dilanjutkan dengan kegunaan filsafat, cabang-cabang filsafat, ruang lingkup filsafat, karakteristik
pemikiran kefilsafatan, pengertian ilmu dan filsafat ilmu, definisi ilmu, cabang-cabang ilmu, macam-
macam ilmu pengetahuan, objek material dan objek formal ilmu, filsafat ilmu, sejarah filsafat ilmu, ruang
lingkup filsafat ilmu, serta perbedaan filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu. Uraian pada bab ini diakhiri dengan
menjelaskan tujuan pendidikan filsafat dan filsafat ilmu.
Bab keempat, dijelaskan tentang landasan penelaahan ilmu yang dibahas: ontologi, epistemologi,
dan aksiologi, yang diakhiri pada signifikansi ilmu pengetahuan kembali ke filsafat.
Bab kelima, menjelaskan tentang struktur atau bangunan ilmu pengetahuan yang terdiri atas: metode
ilmiah; teori, hipotesis, logika, data-informasi, pembuktian, evaluasi, dan paradigma.
Bab keenam, menjelaskan tentang teori kebenaran ilmu pengetahuan dengan membahas teori
kebenaran: koherensi, korespondensi, positivisme, pragmatism, esensial- isme, konstruktivisme, dan
religiusisme.
Bab ketujuh dibahas tentang logika ilmu dan metode berpikir ilmiah yang diuraikan tentang hakikat
berpikir dan medote berpikir ilmiah, pengertian metode berpikir ilmiah logika, pengertian logika dan
penalaran ilmiah, macam-macam logika, kegunaan logika, bahasa keilmuan, model dan kriteria metode
berpikir ilmiah, kelemahan- kelemahan metode berpikir ilmiah, metode berpikir rasional: asas dalam
berpikir, serta hal-hal yang harus diper-
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
hatikan dalam penggunaan metode rasional.
Bab kedelapan dijelaskan tentang logika yang secara spesifik dibahas pola penalaran langsung dan
tidak langsung dengan menguraikan implisit dan eksplisit suatu term dalam proposisi, jenis pola penalaran
tidak langsung terdiri dari: converse, obverse, kontraposisi, dan inverse.
Bab kesembilan menjelaskan tentang pola penalaran induksi yang dibahas pengertian penalaran
induksi, prinsip-prinsip penalaran induksi, generalisasi induksi dan analogi induksi, generalisasi induksi,
analogi induksi, faktor probabilitas, dalam penalaran induksi, jumlah fakta sebagai faktor probabilitas,
faktor analogi sebagai faktor probabilitas, faktor dis-analogi sebagai faktor probabilitas, luas dan
sempitnya kesimpulan sebagai faktor probabilitas, dan diakhiri dengan bahasan sejumlah studi kasus.
Bab kesepuluh, dijelaskan tentang kesesatan dalam berpikir ilmiah yang diuraikan klasifikasi kesesatan
berpikir formal dan material, kesesatan bahasa, kesesatan relevansi, dan relevansi kesesatan berpikir
dengan ilmu pengetahuan.
Bab kesebelas diuraikan tentang etika ilmu, hubungan antara ilmu dan etika, membangun
masyarakat ilmiah, jalan menuju sains yang normal, sifat dan perlunya revolusi sains, revolusi sebagai
perubahan pandangan atas dunia, kemajuan melalui revolusi, menuju masyarakat berbudaya ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan pendidikan, ilmu pengetahuan dan pengembangan kebudayaan, nilai ilmiah
dan pengembangan kebudayaan nasional, dampak intelektual, dampak sosial praktis, watak intelektual,
dan kecenderungan pragmatis.
Pengantar Penulis
Bab kedua belas, dijelaskan tentang filsafat ilmu dan teknologi, pengertian filsafat teknologi, teori
kuda liar teknologi, hakikat efisiensi, hakikat kualitas produk, dan hubungan teknologi dan civility.
Bab ketiga belas menjelaskan tentang moralitas ilmu pengetahuan tanggung jawab
ilmuwan, problem etika ilmu pengetahuan, ilmu apakah bebas nilai atau tidak bebas nilai, sikap ilmiah
yang harus dimiliki ilmuwan, moralitas ilmu pengetahuan, pengingkaran dan perlawanan etika, dan
masalah kejahatan sempurna.
Bab keempat belas menjelaskan tentang filsafat, iptek, dan budaya dengan menguraikan tentang
pengertian ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan, hubungan antara kebudayaan dengan teknologi,
hubungan antara ilmu dengan teknologi, hubungan antara ilmu dengan kebudayaan.
Pada Cetakan kedua ini, dilakukan perbaikan-perbaikan antara lain penataan atau penempatan
kembali beberapa sub-bab yang relevan, terutama pada bagian pembahasan Logika. Perbaikan juga
dilakukan berupa koreksi redaksional, juga penambahan sejumlah daftar pustaka. Yang juga baru adalah
Kata Pengantar dari Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr., MS. Seorang dosen senior di FK Unair yang juga
mengajar Filsafat Ilmu di berbagai perguruan tinggi termasuk di Universitas Airlangga.
Buku ini bermanfaat bagi para pembelajar, dosen, mahasiswa, dan para pemerhati di bidang sosial,
budaya, dan politik.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Tiada gading yang tak retak, materi inilah yang dapat disajikan dalam pembelajaran
ini.
Akhirnya, perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih yang seagung-agungnya
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyediaan buku ini. Terutama kepada teman dosen
di Universitas Airlangga antara lain Drs. I Nyoman Naya Sujana, MA., Drs. Budi Setiawan, MA.,
Listiyono Santoso, S.S., M.Hum., juga segenap mahasiswa yang berapresiasi dalam pelaksanaan
pembelajaran filsafat ilmu. Terima kasih pula kepada Penerbit Pustaka Pelajar yang berkenan menerbitkan
buku ini. Manfaat yang signifikan semoga dapat ditumbuhkembangkan melalui buku ini.
Surabaya, April 2009 Mohammad Adib

Pengantar Penulis
x
Kata Pengantar

Mengapa manusia itu berfilsafat? Ini pertanyaan mendasar yang melandasi manusia memikirkan
filsafat. Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu rasa kagum, keraguan, dan
kesadaran akan keterbatasan diri. Bila pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, dan kepastian dimulai dari
rasa ragu maka filsafat dimulai dari keduanya. Jelas kiranya bahwa filsafat merupakan kebutuhan manusia
untuk memenuhi rasa ingin tahu dan mendapatkan manfaat dari hidup dan kehidupannya.
Setelah lama rasa ingin tahu manusia dipenuhi dengan jawaban yang tidak rasional, berupa tahayul
dan mitos maka mulai timbul dalam diri manusia rasa tidak puas dengan jawaban demikian. Selanjutnya
manusia mulai memberdayakan akalnya untuk mencari tahu dan memperoleh manfaat lebih.
Pemberdayaan akal tersebut dilakukan dengan cara melakukan perenungan reflektif- intuitif yang
mengarah ke rasional sebagai upaya mencari

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


kebenaran atas jawaban rasa ingin tahunya. Perkembangan filsafat bergerak dari dongeng yang penuh
dengan tahayul dan mistik menuju ke arah hasil pemikiran rasional. Selanjutnya perkembangan ini terus
bergerak ke penalaran rasional ilmiah yang memunculkan pemahaman sciense is power. Apakah
perkembangan filsafat akan berakhir pada puncak hasil penalaran ilmiah, yang berupa ilmu pengetahuan
dan teknologi dan filsafat sudah tidak diperlukan lagi?
Alam semesta ini selalu berubah dalam keteraturan, keberadaannya tentu ada yang menciptakan dan
mengatur. Siapa yang mengadakan dan mengatur dan kemanakah alam semesta yang selalu berubah ini
akan berakhir? Jawaban atas pertanyaan demikian dimulai dari dongeng, tahayul atau mitos. Pertama
kali Filsuf Yunani yang keluar dari mitos adalah Thales (624-548 SM) dengan pemikiran falsafahnya
bahwa arche is water. Filsuf ini melihat dan memahami bahwa semua makhluk hidup, baik manusia,
hewan maupun tumbuhan memerlukan air. Anaxi- mandros (610-540) mulai mengembangkan intuisinya
sampai pada tataran ilahi yang kekal tak terubahkan. Hasil perenungan Anaximandros mendapatkan
pemahaman bahwa arche atau azas alam semesta ini adalah to apeiron, sesuatu yang paling awal dan abadi,
yang tidak terbatas, bersifat ilahi, yang abadi dan tidak terubahkan. Pemahaman demikian semakin
dicerahkan oleh filsuf Xenopanes (580-470 SM) bahwa semua ini berasal dari satu, yang satu itu lebih
tinggi dari apeiron, yaitu Tuhan yang satu, yang memeluk makhluk sekalian alam semesta.
Pengantar Penulis

xii
Penjelajahan manusia dalam mencari kebenaran hidup dan kehidupan ini sampailah pada
kesepahaman tentang suatu kebenaran. Pada tataran menyatakan kebenaran maka terjadi kesepakatan untuk
tidak sepakat, karena muncul beberapa mashab, yaitu mashab rasionalis, emperis, dan kritisis. Mashab
rasionalis menyatakan bahwa sesuatu dianggap benar manakala logis. Mashab ini dipelopori oleh Thales
dan mencapai puncak ketenaran pada zaman Socrates-Plato dan Aristoteles. Hal demikian berbada dengan
mashab Emperis, yang menyatakan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar manakala
diperoleh lewat indera. Mashab yang dipelopori oleh Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locke dan
David Hume (1561-1776) ini sepakat bahwa pengetahuan yang benar adalah yang indrawi. Menurut John
Locke semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Akal ibarat kertas putih yang ditulisi pengalaman
melalui proses kerjasama antara refleksi (pengenalan intuitif dari jiwa) dan sensasi (pengenalan dari luar)
sehingga lahir ide. Immanuel Kant (1724-1804) sepakat mengakui peran akal dan empiri. Bila keduanya
dipadukan dan difungsikan secara benar, empiri berfungsi menangkap objek dan akal berfungsi mengelola
tangkapan objek tersebut secara benar maka akan diperoleh pengetahuan yang benar dan akurat. Mashab
tersebut telah banyak membantu manusia dalam mengembangkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, apa, bagaimana dan untuk apa ilmu pengetahuan ada dalam kehidupan manusia,
pembaca saya persilahkan untuk membaca lanjut dalam buku Filsafat
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Ilmu yang ditulis oleh Saudara H Mohammad Adib, Drs, MA. Penulisan buku tersebut telah menguraikan
ontologi, epistemologi, aksiologi dan logika ilmu pengetahuan secara rinci dan jelas. Selamat mencerahkan
pikiran dan penalaran, terutama bagi pemula yang mulai menyenangi Filsafat Ilmu.
Surabaya, 20 Oktober 2009
Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr, MS. Ketua
Grha Masyarakat Ilmiah (Gramik) Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga

xiv
Pengantar Penulis
Daftar Isi

Pengantar Penulis — v Kata Pengantar

Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr, MS. —xi

Daftar Isi—xv

Bab I Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif Semangat

Renaisans — 1
1.1. Deskripsi — 1
1.2. Tujuan Pembelajaran — 2
1.3. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan —2
1.4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Setelah Abad ke-17 — 4
1.5. Aspek-Aspek Positif Semangat Renaissance — 6
1.6. David Hume: "Science is Power" — 11
1.7. Relevansinya Dengan Ilmu Antropologi — 13
1.8. Ringkaksan — 14

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Bab II
Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan — 15
2.1. Deskripsi — 15
2.2. Tujuan Pembelajaran — 16
2.2.1. Objek dan Sudut Pandang Filsafat — 16
2.2.2. Kegunaan Filsafat bagi Manusia — 17
2.2.3. Pengertian Ilmu Pengetahuan — 17
2.2.4. Objek dan Sudut Pandang Pengetahuan — 17
2.3. Pengertian dan Asal Filsafat — 18
2.3.1 Arti Filsafat — 18
2.3.2. Asal Filsafat — 18
2.4. Sejarah Filsafat — 19
2.5. Perkembangan Filsafat — 21
2.6. Perkembangan Ilmu Pegetahuan — 23
2.7- Corak-Corak Pemikiran Filsafat Zaman Yunani Kuno
— 26
2.7.1. Parmenides pada Abad ke-5 (+ 515 - 450 SM) - 27
2.7.2. Xenophanes pada Abad ke-6 (± 560 - 478 SM) - 27
2.7.3. Thales pada Abad ke-7 (±625 - 547 SM) — 27
2.7.4. Aristoteles pada Abad ke-4 (384-322 SM) —
28
2.7.5. Heraklitus (± 515 - 450) — 28
2.7.6. Phytagoras (± 581 - 507) - 29
2.8. Karasteristik Pemikiran Zaman Patristik — 29
2.9. Sumbangan Pemikiran Filsafat Islam Pada Abad
Pertengahan — 30

Daftar Isi
2.10. Perbedaan Pemikiran Zaman Modern dan Kontemporer — 31

2.11- Hubungan Antropologi dengan Filsafat Ilmu dan Ilmu Pengetahuan


— 33

2.13. Ringkasan — 33
Bab III
Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu — 35
3.1. Deskripsi — 35
3.2. Tujuan Pembelajaran — 36
3.3. Pengertian dan Kegunaan Filsafat — 36
3.3.1. Pengertian Secara Etimologi — 36
3.3.2. Pengertian Secara Terminologi — 37
3.3.3. Kegunaan Filsafat — 39
3.3.4. Cabang-Cabang Filsafat — 40
3.3.5. Ruang Lingkup Filsafat — 42
3.3.6. Karakteristik Pemikiran Kefilsafatan — 44
3.4. Pengertian Ilmu dan Filsafat Ilmu — 45
3.4.1. Definisi Ilmu — 49
3.4.2. Cabang-Cabang Ilmu — 50
3.4.3. Macam-macam Ilmu Pengetahuan — 52
3.4.4. Objek Material dan Objek Formal Ilmu — 53
3.5. Filsafat Ilmu — 54
2.5.1. Sejarah Filsafat Ilmu — 55
3.5.2. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu — 55
3.5.3. Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu — 56
3.5.4. Tujuan Pendidikan Filsafat dan Filsafat Ilmu — 58

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi


3.5.5. Hubungan Filsafat, Ilmu, Filsafat Ilmu dengan Antropologi
— 59
3.5.6. Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu dengan Ilmu Politik
— 60
3.5.7. Hubungan Antara Ilmu Alam, Sosial, dan Humaniora — 62
3.6. Ringkasan — 64

Bab IV Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan


Aksiologi —67
4.1. Deskripsi — 67
4.2. Tujuan Pembelajaran — 68
4.3. Landasan Penelaahan Ilmu — 68
4.3.1. Ontologi Ilmu — 69
4.3.2. Epistemologi Ilmu — 74
4.3.3. Aksiologi Ilmu — 78
4.4. Ilmu Pengetahuan Kembali ke Filsafat — 80
4.5. Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dengan Ilmu Politik —
81
4.6. Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dengan Ilmu
Antropologi — 85
4.7. Ringkasan — 89
Bab V Struktur Ilmu Pengetahuan — 91
5.1. Deskripsi — 91
5.2. Tujuan Pembelajaran — 92
5.3. Bangunan Ilmu Pengetahuan — 92

5.4. 5.3.1. Metode Ilmiah — 93


Daftar Isi
5.3.2. Metode Ilmiah yang Bersifat Umum — 94
5.3.3. Metode Penyelidikan Ilmiah - 96
5.3.4. Teori — 97
5.3.5. Hipotesis —100
5.3.6. Logika — 101
5.3.7. Data-informasi — 104

5.3.8. Pembuktian —105


5.3.9. Evaluasi — 108
5.3.10. Paradigma — 112

5.4. Ringkasan — 114

Bab VI
Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan — 7 77
6.1. Deskripsi — 117
6.2. Tujuan Pembelajaran — 117
6.3. Teori Kebenaran — 118
6.3.1. Koherensi — 121
6.3.2. Korespondensi — 121
6.3.3. Postivisme — 122
6.3.4. Pragmatisme — 123
6.3.5. Esensialisme — 122
6.3.6. Konstruktivisme — 124
6.3.7. Religiusisme — 124
6.4. Relevansinya dengan Antropologi — 126
6.5. Ringkasan — 127
Bab VII Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah — 729
7.1. Deskripsi — 129
7.2. Tujuan Pembelajajran — 130

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


7.3. Hakekat Berpikir dan Medote Berpikir Ilmiah — 130
7.3.1. Hakekat Berpikir — 130
7.3.2. Pengertian Metode Berpikir Ilmiah — 132
7.4. Bahasa Keilmuan — 135
7.5. Model dan Kriteria Metode Berpikir Ilmiah — 137
7.6. Kelemahan-kelemahan Metode Berpikir Ilmiah — 138
7.7. Metode Berpikir Rasional: Asas dalam Berpikir — 140
7.8. Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Dalam Penggunaan Metode Rasional
— 141
7.9. Ringkasan — 142

Bab VIII
Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung — 745
8.1. Deskripsi — 145
8.2. Tujuan Pembelajaran — 145
8.3. Pengertian Logika — 145
8.3.1. Pengertian Logika dan Penalaran Ilmiah —146
8.3.2. Macam-macam Logika — 148
8.3.3. Kegunaan Logika — 148
8.4. Penalaran Langsung — 149
8.5. Penalaran Tidak Langsung — 150
8.6. Implisit dan Eksplisit suatu Term dalam Proposisi — 150
8.7. Jenis Pola Penalaran Tidak Langsung — 151
8.7.1. Conversi — 152
8.7.2. Obversi — 155
8.7.3. Kontraposisi — 157
8.7.4. Inversi — 158

Daftar Isi
8.8. Ringkasan — 162

Bab IX
Pola Penalaran Induksi — 165
9.1. Deskripsi — 165
9.2. Tujuan Pembelajaran — 166
9.3. Pengertian Penalaran Induksi — 166
9.4. Prinsip-prinsip Penalaran Induksi — 166
9.5. Generalisasi Induksi dan Analogi Induksi — 168
9.5.1. Generalisasi Induksi — 168
9.5.2. Analogi Induksi — 169
9.5.3. Faktor Probabilitas dalam Penalaran Induksi — 171
9.5.3.1. Jumlah Fakta sebagai Faktor Probabilitas — 171
9.5.3.2. Faktor Analogi sebagai Faktor Probabilitas —
171
9.5.3.3. Faktor Dis-analogi sebagai Faktor Probabilitas — 172
9.5.3.4. Luas dan Sempitnya kesimpulan sebagai Faktor
Probabilitas — 172
9.6. Studi Kasus — 173
9.7. Ringkasan — 175

Bab X Kesesatan Dalam Berpikir Ilmiah — 777


10.1. Deskripsi — 177
10.2. Tujuan Pembelajaran — 177
10.3. Sesat Pikir — 178
10.3.1. Klasifikasi Kesesatan Berpikir — 181
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
10.3.1.1. Kesesatan Formal — 182
10.3.1.2. Kesesatan Material — 182
10.4 Kesesatan Bahasa — 182
10.4.1. Kesesatan Aksentuasi — 183
10.4.2. Kesesatan Aksentuasi Verbal — 183
10.4.3. Kesesatan Aksentuasi non-verbal — 183
10.4.4. Kesesatan Ekuivokasi — 184
10.4.4.1. Kesesatan Ekuivokasi Verbal - 184
10.4.4.2. Kesesatan Ekuivokasi Non-Verbal — 185
10.4.4.3. Kesesatan Amfiboli — 185
10.4.4.4. Kesesatan Metaforis — 186
10.5. Kesesatan Relevansi — 187
10.5.1. Argumentum ad Hominem 1 — 188
10.5.2. Argumentum ad Hominem 2 — 189
10.5.3. Argumentum ad Baculum — 190
10.5.4. Argumentum ad Misericordiam — 192
10.5.5. Argumentum ad Populum — 192
10.5.6. Argumentum Auctoritatis — 193
10.5.7. Argumentum ad Verecundiam — 194
10.5.8. Ignoratio Elenchi — 194
10.5.9. Argumentum ad Ignoratiam — 195
10.5.10. Petitio Principii — 195
10.5.11. Kesesatan non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc/False Cause)
— 196
10.5.12. Kesesatan Aksidensi — 297
10.5.13. Kesesatan karena Komposisidan Divisi — 197

Daftar Isi
10.5.14. Kesesatan karena Pertanyaan yang Kompleks — 198
10.6. Relevansi Kesesatan Berpikir dengan Ilmu Pengetahuan — 199
10.6.1. Relevansi dengan Ilmu Politik — 199
10.6.2. Relevansi dengan Antropologi — 200
10.7. Ringkasan — 200
Bab XI
Etika Ilmu —203
11.1. Deskripsi — 203
11.2. Tujuan Pembelajaaran — 205
11.3. Pengertian Etika — 205
11.4. Hubungan antara Ilmu dan Etika — 208
11.5. Membangun Masyarakat Ilmiah — 209
11.6. Menuju Mayarakat Berbudaya Ilmu Pengetahuan — 211
11.6.1. Kebudayaan dan Pendidikan — 211
11.6.2. Ilmu Pengetahuan dan Pengembang Kebudayaan — 213
11.6.3. Nilai Ilmiah dan Pengembangan Kebudayaan Nasional —
214
11.6.4. Dampak Intelektual — 216
11.6.5. Dampak Sosial Praktis — 218
11.6.6. Watak Intelektual — 218
11.6.7. Kecenderungan Pragmatis — 219
11.7. Relevansi Etika Ilmu
dengan Ilmu Antropologi — 219
11.8. Ringkasan — 221

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Bab XII Filsafat Ilmu dan Teknologi—223
12.1. Deskripsi — 223
12.2. Tujuan Pembelajaran — 223
12.3. Pengertian Filsafat Teknologi — 224
12.4. Teori Kuda Liar Teknologi — 224
12.4.1. Hakikat Efisiensi — 225
12.4.2. Hakikat Kualitas Produk — 225
12.5. Hubungan Teknologi dan Civility 1 — 226
12.6. Ringkasan — 227
Bab XIII
Moralitas Ilmu Pengetahuan — 229
13.1. Deskripsi — 229
13.2. Tujuan Pembelajaran — 229
13.3. Tanggung Jawab Ilmuwan — 230
13.4. Problem Etika Ilmu Pengetahuan — 236
13.5. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai — 237
13.6. Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan — 240
13.7. Moralitas Ilmu Pengetahuan — 243
13.8. Pengingkaran dan Perlawanan Etika — 245
13.9. Masalah Kejahatan Sempurna — 248
13.10. Ringkasan — 249

Bab XIV Filsafat, Ipteks, dan Budaya — 251


14.1. Deskripsi — 251
14.2. Tujuan Pembelajaran — 251
14.3. Pengertian Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Kebudayaan — 251
Daftar Isi
14.4. Hubungan antara Kebudayaan dengan Teknologi — 253
14.5. Hubungan antara Ilmu dengan Teknologi — 1
14.6. Hubungan antara Ilmu dengan Kebudayaan — 255
14.7. Ringkasan — 255
Daftar Pustaka — 259
Indeks — 265
Lampiran — 269
Biodata Penulis — 279

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Bab 1

Sejarah Perkembangan Ilmu


Pengetahuan dan Makna
Positif Semangat Renaisans

1.1. Deskripsi
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat ekstensial
artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari.
Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor penggerak
kehidupan kita sehari-hari sebagai manusia pribadi maupun sebagai
manusia kolektif dalam bentuk suatu masyarakat atau bangsa.
Dalam konteks filsafat hidup, orang selalu memper- timbangkan
hal-hal yang penting dan terpenting sebelum menetapkan keputusan
untuk berperilaku. Hal-hal yang terpenting tersebut tergolong yang
esensial. Dalam pengertian ini hal-hal yang esensial terliput dalam
pengertian filsafat.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu ..


1.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang
(i) sejarah perkembangan ilmu pengetahuan;
(ii) perkembangan ilmu pengetahuan setelah abad 17; dan
(iii) aspek-aspek positif semangat renaissance.

1.3. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Dari sekilas data yang telah kami temukan pada sejumlah media, antara
lain internet, diperoleh penjelasan bahwa dalam buku History and Philosophy of
Science karangan L.W.H. Hull (1950), diterangkan bahwa setidak nya sejarah
filsafat dan ilmu pengetahuan dapat dibagi dalam tiga periode atau masa yakni
periode (i) filsafat Yunani; (ii) Kelahiran Nabi Isa; dan Periode Kebangkitan
Islam, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada masa itu.
Pertama, masa yang paling dasar atau pertama adalah periode filsafat
Yunani (Abad 6 SM-0 M). Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales yang ahli
filsafat, astronomi dan geometri. Dalam pengembaraan intelektualnya
menggunakan pola deduktif serta dalam masa transisi inilah, kemunculan ilmu
sangat berkembang di kalangan para masyarakat.
Kedua, adalah periode kelahiran Nabi Isa (Abad 0-6 M). Pada masa ini
pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro
kepada gereja. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja
membatasi kebebasan berpikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri. Ilmu
menjadi beku, kebenaran

SejarahPerkembanganIlmu Pengetahuan dan Makna Positif SemangatRenaisans


hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan
menjadi sumber kebenaran, Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini
sempat mengalami keterpurukan, karena, terjadi pembatasan kebebasan
seseorang dalam berpikir dan berkarya.
Ketiga, adalah periode kebangkitan Islam (Abad 6-13 M), pada masa ini
dunia Kristen Eropa mengalami kegelapan, ada juga yang menyatakan periode
ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan atau kebangkitan Islam ditandai
dengan banyaknya ilmuwan- ilmuwan Islam yang ahli dibidang masing-masing,
berbagai buku ilmiah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut
adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hukum Islam, Al-
farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku
terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat, Al-ghazali intelek
yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan kesinambungan dan
mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme.
Ibnu Khaldun ahli sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, sosial dan
kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah
perang salib terjadi umat Islam mengalami kemunduran, umat Islam dalam
keadaan porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Keempat, adalah periode kebangkitan Eropa (Abadl4- 20). Pada masa ini
Kristen yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami
kehancuran, abad kemunduran umat Islam berbagai pemikiran Yunani muncul,
alur pemikiran yang mereka anut adalah
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 3
Ilmu
empirisme dan rasionalitas. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia Islam.
Masa ini juga muncul intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu
Sina The Canon of Medicine, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran
pemikiran empirisme danrealisme berusaha menentang berbagai kebijakan
gereja dan penguasa pada waktu itu. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan
seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan
perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas
untuk berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk
merdeka, hak berpikir. Hal serupa juga dilakukan oleh J.J. Rousseau mengecam
penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contrak.
Hal berbeda terjadi di dunia Islam, pada masa ini umat Islam terlatih untuk
bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat
Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis.

1.4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Setelah Abad ke-17


Sebenarnya pada abad ke 17 seorang filsuf Skotlandia bernama David
Hume pernah mengungkapkan Problem of Induction, problem yang terkandung
dalam metode induksi atau disebut juga metode generalisasi. Hume me- nyatakan
bahwa data representatif, seberapapun persen- tasenya, tidak dapat secara logis
dipakai untuk mengambil kesimpulan terhadap seluruh populasi.
Misal, ada sepuluh apel. Anda makan satu, terasa

Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif


Semangat Renaisans

4
masam. Anda ambil lagi dan mencicipi, terasa masam juga, anda ambil satu lagi
dan setelah dicicipi maka terasa masam juga. Anda lakukan terus hal tersebut
hingga apel kesembilan dan semuanya terasa masam. Tinggal satu apel, Anda
cenderung akan meyakini bahwa apel terakhir itu juga akan terasa masam.
Apakah ini logis? Jelas tidak. Apel terakhir dapat masam, tetapi dapat juga
manis. Bahwa apel sebelumnya terasa masam tidak berarti bahwa apel terakhir
terasa masam juga.
Meski demikian dalam kondisi tersebut tentu kita akan cenderung
berpendapat bahwa apel terakhir terasa masam, walau kita belum mencicipinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari induksi.
Pengembangan teori juga tidak pernah lepas dari induksi. Artinya ilmu
pengetahuan dan teori juga mengandung problem.
Sewaktu Hume mengungkapkan Problem of Induction tersebut, dunia ilmu
pengetahuan geger... untuk sementara... kemudian tenang lagi. Mengapa? Karena
meskipun Problem of Induction itu secara nalar nyata adanya, namun dianggap
tidak memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi meskipun
berproblem, ilmu penge- tahuan tetap dapat berkembang dan menghasilkan
teknologi yang berguna untuk kehidupan manusia.
Artinya, ilmu pengetahuan memang mempunyai banyak celah untuk
kesalahan. Karena sesungguhnya ilmu pengetahuan dapat mencapai kebenaran
pada tataran probabilitas (kemungkinan).
Kesimpulannya, mencari kebenaran adalah hal yang
5
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu
tidak mudah dan dapat berbahaya, namun lebih berbahaya lagi jika kita
berasumsi bahwa kebenaran mutlak sudah ada di tangan kita.
1.5. Aspek-Aspek Positif Semangat Renaissance
Renaisans adalah suatu periode sejarah yang mencapai titik puncaknya
kurang lebih pada tahun 1500. Perkataan "renaisans" berasal dari bahasa Prancis
Renaissance yang artinya adalah "lahir kembali" atau "kelahiran kembali". Yang
dimaksudkan adalah kelahiran kembali budaya klasik terutama budaya Yunani
kuno dan budaya Romawi Kuno yang dapat melakukan kegiatan pemikiran
secara bebas tentang segala kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
termasuk kehidupan bertuhan.
Masa ini ditandai oleh kehidupan yang cemerlang di bidang seni, pemikiran
maupun kesusastraan yang menge-

luarkan Eropa dari kegelapan intelektual abad pertengahan. Masa renaissance


bukan suatu perpanjangan yang berkembang secara alami dari abad pertengahan,
melainkan sebuah revolusi budaya, suatu reaksi terhadap kakunya pemikiran
serta tradisi Abad pertengahan.
Dilihat dari definisinya, kata "renaissance" menyiratkan sebuah
pembangunan kembali atau kebangkitan. Periode yang dikenal sebagai
renaissance dipandang sebagai penemuan kembali cerahnya peradaban Yunani
dan Romawi (yang dianggap sebagai "klasik") ketika keduanya mengalami masa
keemasan. Faktanya, sekalipun semasa Renaissance banyak orang membaca
kesusastraan klasik dan mempertimbangkan kembali pemikiran klasik, esensi

6 Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif Semangat


Renaisans
yang sebenarnya dari renaissance adalah lahirnya banyak pembaruan maupun
penciptaan. Universitas tumbuh menjamur di seantero Eropa, dan penyebaran
gagasan tiba- tiba muncul serempak.
Abad Renaisans (Bahasa Prancis/Bahasa Inggris: Renaissance; Bahasa
Italia: Rinascimento; arti harfiah: kelahiran kembali) adalah sebuah gerakan
kebudayaan antara abad ke-14 hingga abad ke-17, bermula di Italia pada akhir
Abad Pertengahan dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Gerakan ini
mencakup kebangkitan pengetahuan berdasarkan sumber-sumber klasik,
tumbuhnya panutan pada Sri Paus dan segala sesuatu yang anggun, perkem-
bangan gaya perspektif dalam seni lukis, dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Gerakan Masa Pencerahan memberikan efek yang luar biasa pada semua usaha
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, tapi mungkin yang paling terkenal
adalah kemajuan dari segi kesenian dan kontribusi dari para polymath (orang
yang memiliki ilmu yang tinggi dalam berbagai macam hal) seperti Leonardo da
Vinci dan Michelangelo, yang menyebabkan munculnya sebutan Renaissance
Men.
Renaisans pertama kali diperkenalkan di Eropa Barat, di kawasan Italia.
Hal ini dipicu kekalahan tentara salib dalam perang suci. Kekalahan tersebut
membuat para pemikir dan seniman menyingkir dari Romawi Timur menuju
Eropa Barat.
Mereka menyadari telah dimulainya masa mesiu peledak dan untuk
menguasai teknologi tersebut mereka harus melepaskan diri dari pengaruh
mistisisme zaman
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
pertengahan dengan kembali kepada sains zaman klasik yang sebelumnya
dilarang karena dianggap pelanggaran terhadap misi ketuhanan.
Potret keluarga Medici oleh Ghirlandaio. Perkembangan pertama renaisans
terjadi di kota Firenze. Keluarga Medici yang memiliki masalah dengan sistem
pemerintahan kepausan menjadi penyokong keuangan dengan usaha perdagangan
di wilayah Mediterania. Hal ini membuat para intelektual dan seniman memiliki
kebebasan besar karena tidak lagi perlu memikirkan masalah ke- uangan dan
mendapatkan perlindungan dari kutukan pihak gereja. Keleluasaan ini didukung
oleh tidak adanya kekuasaan dominan di Firenze. Kota ini dipengaruhi secara
bersama oleh bangsawan dan pedagang.
Dengan kebebasan besar itu, seniman dapat berkumpul dan mendirikan
gilda-gilda seni yang mengangkat nama banyak seniman terkenal. Melalui gilda
ini seniman mendelegasikan pekerjaan, bekerja sama, hingga mendidik bakat-
bakat baru.
Abad Renaisans memiliki sebuah sejarah yang panjang dan rumit, dan
selalu muncul perdebatan di antara para sejarawan mengenai kegunaan kata
'Masa Pencerahan' sebagai sebuah kata rujukan dan sebagai sebuah masa sejarah.
Beberapa di antara mereka mempertanyakan apakah Masa Pencerahan benar-
benar sebuah kemajuan kebudayaan dari Abad Pertengahan, atau hanya
melihatnya sebagai suatu periode pesimisme dan nostalgia atas era klasik.

Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif Semangat


Renaisans
Walau sejarawan abad ke-19 lebih suka untuk menekankan bahwa Abad
Renaisans merupakan perubahan yang jelas dari pola pemikiran dan kelakuan
Abad Pertengahan, beberapa sejarawan modern belakangan lebih memerhatikan
nilai kesinambungan antara kedua era tersebut. Saat ini sudah lumrah untuk
menganggap bahwa penilaian akan satu era lebih baik atau lebih buruk dari era
yang lain merupakan hal yang salah. Hal ini menyebabkan beberapa sejarawan
untuk menyerukan agar mengakhiri penggunaan kata 'Masa Pencerahan' tersebut
yang dianggap sebagai sebuah hasil pemikiran presentisme.
Zaman renaissance adalah zaman kelahiran kembali. Dalam zaman
renaissance kebudayaan klasik dihidupkan kembali. Kasusastraan, seni dan
filsafat mencari inspirasi mereka dalam warisan Yunani-Romawi. Pembaruan
terpenting yang kelihatan dalam filsafat renaissance itu adalah "antropo-
sentrisme"nya. Pusat perhatian pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti dalam
zaman kuno, atau tuhan, seperti dalam abad pertengahan, melainkan manusia.
Mulai zaman renaisance, manusialah yang dianggap sebagai titik fokus dari
kenyataan.
Pada zaman renaissance manusia dipandang sebagai pusat sejarah, pusat
pemikiran, pusat kehendak, kebebasan dan dunia. Zaman renaissance juga
memperlihatkan dalam seni dan dalam berbagai ilmu yang lahir yang
mempunyai kenyataan manusiawi, sebagai objeknya: Ekonomi, sosiologi,
psikologi, psikoanalisis, dan sebagainya.
Pada masa renaisance terdapat metode yang efektif dalam cara berpikir
yaitu dengan melalui pendekatan ilmu
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 9
secara sistematis. Satu-satunya metode yang efektif dalam cara berpikir secara
sistematis dalam zaman Yunani dan Romawi ini disebut metode pendekatan
silogistik.
Bangsa Yunani dianggap sebagai perintis pertama dalam mendekati
perkembangan ilmu secara sistematis. Keberhasilan tersebut kemudian diikuti
oleh bangsa Babylonia dan Hindu yang memberikan sumbangan yang berharga
meskipun tidak seintensif kegiatan bangsa Mesir. Setelah ini muncul bangsa
Yunani yang menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu di mana mereka bukan
saja menyumbangkan perkembangan ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan
sistem klasifikasi Aristoteles, namun juga silogisme yang menjadi dasar bagi
penjabaran secara deduktif pengalaman- pengalaman manusia. Terlepas dari
tendensi mereka untuk menitikberatkan teori —dengan sering melupakan
pengalaman empiris —dan kurang memerhatikan percobaan sebagai sumber
bukti keilmuan, bangsa Yunani dapat dianggap sebagai perintis dalam mendekati
perkembangan ilmu secara sistenetis.
Aspek positif semangat renaisance adalah; (i) bermakna kebangkitan; (ii)
kembali percaya akan kekuatan akal; (iii) tokohnya Rene Descartes yang
menyatakan manusia makhluk berpikir (Cogito ergo Sum); (iv) Ilmu pengetahuan
dengan metode skeptik; (v) bangkitnya paham rasionalisme; (vi) perlawanan
pemikiran bebas terhadap agama; (vii) Penelitian filsafat alam yang meragukan
konsep geosentris; (viii) mazhab Itali dan temuan heliosentris; (ix) perkembangan
empirisme dan positivism; (x) lahirnya ilmu pengetahuan; (xi) filsafat vs. ilmu

Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif


Semangat Renaisans

10
pengetahuan; (xii) bercerainya filsafat dengan ilmu pengetahuan (abad ke-17
hingga abad ke-20).
1.6. David Hume dan Saince Is Power
David Hume, seorang skeptis tulen dari Inggris memakai penemuan angsa
hitam ini untuk menjelaskan sikap skeptisnya terhadap kebenaran absolut, "No
amount of observations of white swans can allow the inference that all swans are
white, but the observations of a single black swan is sufficient to refute that
conclusion."
Bagi seorang skeptis tulen seperti Hume, di dunia ini tidak ada kebenaran
mutlak, meski yang diperoleh dari metode deduksi sekalipun. Menurut Hume,
semua deduk- si sebenarnya adalah induksi yang belum menemukan 'angsa
hitam'nya. Bahkan, premis yang selama ini diterima sebagai kebenaran, seperti
"Semua manusia pasti akan mati" dapat saja terbukti salah. Siapa yang dapat
memastikan tidak ada manusia-manusia baka seperti dalam kisah Highlander
yang hidup di antara kita? Walau peradaban manusia sudah melahirkan puluhan
miliar anak manusia, cukup satu orang manusia baka saja yang dibutuhkan untuk
membalikkan kebenaran premis bersangkutan.
Hukum-hukum alam yang diperoleh dari sains juga tidak dapat dianggap
memiliki kebenaran kekal. Kita melihat bagaimana Hukum Newton ternyata
tidak dapat dipakai pada skala makrokosmos (digantikan oleh teori relativitas
Einstein) dan pada skala mikrokosmos (digantikan oleh teori mekanika
kuantum). Teori geosentris yang sempat dianut ribuan tahun akhirnya terbukti
salah dan

11
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
digantikan oleh teori heliocentris berkat jasa Nicolaus Copernicus dan Galileo
Galilei. Siapa di antara kita yang dapat menjamin baik teori relativitas, mekanika
kuantum, dan heliocentris sebenarnya hanya merupakan hipotesis sementara
sampai ditemukan lagi teori-teori baru yang lebih mendekati kebenaran absolut?
Inti pandangan David Hume, dan Berkeley adalah "ia berkeyakinan bahwa
kekuatan ilmu yang akan mengubah dan mengontrol alam dan kehidupan
manusia. Yang mengubah dan mengontrol alam dan dunia ini bukan agama atau
lembaga agama!"
Sejak revolusi industri abad ke 17, kepercayaan manusia akan science is
power semakin kuat, dan membuat umat manusia lebih meyakini bahwa IPTEKS
yang mengubah peradaban umat manusia.
Agama diyakini hanya sebagai kekuatan pendamping "hati manusia" saja.
Agama dianggap tidak mampu melakukan perubahan- perubahan besar
kehidupan manusia, terutama yang bersifat fisik seperti pembangunan dan
perubahan berdasarkan teknologi.
Dalam mencari kebenaran, kita tentu tidak perlu sampai skeptis Hume.
Skeptisme membutuhkan energi yang besar dan bila kita skeptis terhadap segala
sesuatu, kita tidak akan mampu menyisihkan waktu untuk menikmati keindahan
hidup. Induksi, dengan segala kekurangannya tetap diperlukan. Tetapi berbekal
pengetahuan tentang kelemahan induksi, kita dapat mengurangi risiko yang
ditimbulkannya. Misalnya saja, bila Anda percaya bahwa kemarau bulan Juli
tidak akan menurunkan hujan,
Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif
Semangat Renaisans
Anda dapat merencanakan piknik kebun pada bulan tersebut. Namun, dengan
menyadari bahwa kesimpulan tersebut adalah kesimpulan induksi, Anda dapat
bersiap- siap bila hujan ternyata turun, misalnya dengan mempersiapkan payung
besar atau mencari lokasi yang berdekatan dengan ruang tertutup. Dalam
permainan saham, Anda dapat memakai strategi hedging atau metode stop loss
untuk mengurangi kerugian bila analisis Anda ternyata salah.

1.7. Relevansinya Dengan Ilmu Antropologi


Di dalam Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan yang telah dipaparkan
sebelumnya, konteks seluruh ilmu pengetahuan sebenarnya tercipta dari tahapan-
tahapan yang sangat panjang, semua ilmu pengetahuan yang tersedia sampai saat
ini, adalah suatu proses pembelajaran bagi manusia agar tetap selalu berpikir
rasional, karena bukan tidak mungkin, pemikiran yang rasional itu, dapat
menciptakan ilmu pengetahuan baru, yang belum ada sebelumnya. Dalam hal ini
khususnya pada ilmu Antropologi, ilmu antropologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang manusia beserta kehidupannya, ilmu antropologi pada
dasarnya dapat tercipta, karena perkembangan penemuan ilmu pengetahuan yang
tersebar dalam berbagai bidang, ilmu filsafat adalah rujukan pertama dari
segala ilmu yang ada di dunia ini, maka tidak salah bila ilmu filsafat dijuluki
"Mother of Science “ atau ibu ilmu pengetahuan, maka tidak dapat dipungkiri
bahwa sedikit banyaknya ilmu antropologi juga bersumber pada ilmu filsafat,
ilmu sosiologi, ilmu biologi, dan ilmu-ilmu yang mem-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

13
pelajari manusia adalah dasar penerapan ilmu antropologi, sehingga terjadi
hubungan yang sinergis antara ditemukannya ilmu-ilmu pengetahuan dengan
munculnya ilmu antropologi sampai saat ini.

1.8.Ringkasan
Dari berbagai sumber yang telah didapatkan ternyata dapat diketahui
bahwa sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menarik sekali untuk dikaji, hal
ini dapat di buktikan dengan adanya fakta yang salah satunya berisi hukum-
hukum alam yang diperoleh dari sains juga tidak bisa dianggap memiliki
kebenaran kekal. Kita melihat bagaimana Hukum Newton ternyata tidak bisa
dipakai pada skala makrokosmos (digantikan oleh teori relativitas Einstein) dan
pada skala mikrokosmos (digantikan oleh teori mekanika kuantum). Teori
geosentris yang sempat dianut ribuan tahun akhirnya terbukti salah dan
digantikan oleh teori heliocentris berkat jasa Nicolaus Copernicus dan Galileo
Galilei. Siapa di antara kita yang bisa menjamin baik teori relativitas, mekanika
kuantum, dan heliocentric, hal ini menggambarkan bahwa segala aspek tentang
perkembangan ilmu pengetahuan sangat beragam untuk dicerna.

Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif


Semangat Renaisans

14
Bab II

Objek Studi Filsafat dan


Ilmu Pengetahuan

2.1. Deskripsi
Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak dalam suatu daerah tidak
bertuan. Daerah ini diserang baik oleh teologi maupun ilmu pengetahuan. Daerah
tidak bertuan ini disebut "Filsafat" (Bertrand Russell). Makin banyak manusia
tahu, makin banyak pula pertanyaan yang timbul. Manusia ingin tahu tentang
asal-usul dan tujuan, tentang dia sendiri tentang nasibnya, tentang kebebasan dan
kemungkinan-kemungkinannya. Namun, dengan ke- majuan Ilmu pengetahuan
yang luas, sejumlah pertanyaan manusia masih tetap terbuka dan sama aktualnya
seperti pada ribuan tahun yang lalu. Seperti diungkapkan dalam sajak kuno:
Aku datang — entah dari mana Aku ini — entah
siapa Aku pergi — entah kemana Aku akan mati
—entah kemana

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


15
Aku heran bahwa aku bergembira
Pertanyaan tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan mati, tentang hakikat
manusia tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan dan mungkin juga tidak akan
pernah akan terjawab oleh filsafat. Namun, filsafat adalah tempat di mana
pertanyaan-pertanyaan dikumpulkan, diterangkan dan diteruskan. Filsafat adalah
suatu ilmu tanpa batas. Filsafat tidak menyelidiki salah satu dari kenyataan saja
melainkan apa-apa yang menarik perhatian manusia.
Perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan antara lain dapat
digambarkan sebagai berikut, (i) Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis
dan koheren tentang seluruh kenyataan; sedangkan (ii) Ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan metodis, sistematis dan koheren ("bertalian") tentang suatu
bidang tertentu
dari kenyataan.
2.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada bagian ini adalah menjelaskan tentang: (i)
perbedaan objek studi dan sudut pandang antara filsafat dan ilmu pengetahuan;
(ii) pengertian, sejarah, dan perkembangan filsafat; (iii) serta dasar-dasar
pemahaman ilmu pengetahuan; (iv) aspek-aspek positif semangat renaisans bagi
perkembangan ilmu; (v)
perbedaan pemikiran zaman modem dan kontemporer.
2.2.1. Objek dan Sudut Pandang Filsafat
Filsafat memiliki 2 objek yang disebut, objek formal (lapangannya) dan
objek material (sudut pandang) dan objek material filsafat adalah segala sesuatu
yang dipermasalahkan oleh filsafat. Menurut DR. Oemar Amien
16Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Hosein, objek material filsafat adalah segala bentuk pemikiran manusia tentang
sesuatu yang ada dan mungkin ada. Sedangkan menurut DR. Mr. D.C. Mulder,
objek material filsafat adalah segala persoalan pokok yang dihadapi manusia saat
dia berpikir tentang dirinya dan tempatnya di dunia. Menurut Louis Kattsoff
(1992) objek material filsafat adalah segala pengetahuan manusia serta apa
yang
ingin diketahui manusia.
2.2.2. Kegunaan Filsafat bagi Manusia

Dengan adanya filsafat, manusia dimungkinkan dapat melihat kebenaran


tentang sesuatu di antara kebenaran yang lain. Hal ini membuat manusia
mencoba mengambil pilihan, di antara alternatif yang ada saat itu, sehingga
manusia mampu menghadapi masalah- masalah yang ada dan belajar untuk
menjadi bijaksana.
Di samping itu filsafat memberikan petunjuk dengan metode pemikiran
reflektif agar kita dapat menyerasikan antara logika, rasa, rasio, pengalaman dan
agama untuk pemenuhan kebutuhan hidup
yang sejahtera.
2.23. Pengertian Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan adalah suatu pengetahuan tentang objek tertentu yang


disusun secara sistematis sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode
tertentu.
2.2.4. Objek dan Sudut Pandang Ilmu Pengetahuan
Seperti halnya dengan filsafat, ilmu pengetahuan juga memiliki objek
penelitian, tetapi objek yang diteliti dalam ilmu pengetahuan lebih bersifat
khusus tentang alam dan

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


manusia. Kedua objek tersebut disebut objek formal.
2.3. Pengertian dan Asal Filsafat
2.3.1. Arti Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani dan berarti "cinta akan hikmat"
atau "cinta akan pengetahuan" seorang "filsuf" adalah seorang "pecinta",
"pencari" ("philos") hikmat atau pengetahuan ("sophia”). Kata "philosophos"
diciptakan untuk menekankan sesuatu pemikiran Yunani seperti Pythagoras
(582-496 SM) dan Plato (428-
328 SM) yang mengkritik para "sofis" (sophists) yang berpendapat bahwa mereka
tahu jawaban untuk semua pertanyaan. Kata Pythagoras "hanya Tuhan yang
mempunyai hikmah yang sungguh- sungguh". Manusia harus puas dengan
tugasnya di dunia ini yaitu
"mencari hikmat", "mencintai pengetahuan".
2.3.2. Asal Filsafat
Terdapat tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat antara lain
didorong oleh rasa keheranan, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan.
Pertama, Keheranan. Sejumlah Filsuf menunjukkan rasa heran misalnya:
(i). Plato yang menyatakan "maka kita melakukan pengamatan pada bintang-
bintang, matahari dan langit"; (ii). Immanuel Kant (1742-1804) yang pada batu
nisan di kuburannya tertulis "coelum stellatum supra me lex moralis inkra me",
kedua gejala yang paling mengherankan menurut Kant adalah "Langit
berbintang- bintang di atasnya." dan "hukum moral dalam hatinya"

Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


18
Kedua, kesangsian. Filsuf-filsuf lain seperti Augustinus (354-430) dan
Descartes (1596-1650) menunjukkan kesangsian sebagai sumber utama
pemikiran. Sikap ini disebut sikap Skeptis (penyelidikan) berguna untuk suatu
titik pangkal yang berfungsi sebagai dasar untuk semua ilmu pengetahuan lebih
lanjut.
Ketiga, kesadaran akan keterbatasan. Filsuf-Filsuf lain lagi mengatakan
bahwa manusia mulai berfilsafat kalau ia menyadari betapa kecil dan lemah ia,
dibandingkan dengan alam semesta sekelilingnya.
Ketiga jenis abstraksi tersebut sebagaimana dibedakan oleh Aristoteles
masih tetap berguna untuk menerangkan hubungan antara filsafat dan ilmu
pengetahuan.
Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan. Sebelum, dalam
pengertian bahwa semua ilmu khusus telah mulai sebagai bagian dari filsafat
yang kemudian menjadi dewasa, seperti masih kelihatan pada Aristoteles.
Sedangkan filsafat datang sesudahnya, dalam pengertian bahwa semua ilmu
menghadapi pertanyaan- pertanyaan yang mengatasi batas-batas spesialisasi
mereka.
2.4. Sejarah Filsafat
Dalam sejarah filsafat biasa dibedakan menjadi tiga area besar, yakni (i)
Filsafat India, (ii) Filsafat Cina, dan (iii) Filsafat Barat.
Pertama, Filsafat India. Cara berpikir India diuraikan dengan baik oleh
Filsuf dan sastrawan Rabindranath Tagore (1816-1941). Menurut Tagore filsafat
India berpangkal pada keyakinan bahwa terdapat kesatuan fundamental

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 19


antara manusia dan alam, harmoni antara individu dan kosmos. Filsafat India
dapat dipilahkan dalam lima periode besar: (a) Zaman Weda (2000-600 SM),
masa terbentuknya Literus suci, Masa rite korban dan spekulasi mengenai
korban, dan masa refleksi filsafat dalam Upanisad; (b) Zaman Skeptisisme (200
SM-300 M) terdiri dari reaksi terhadap ritualisme dan spekulasi; Buddhisme dan
jainisme; dan "kontrareformasi" dalam bentuk enam sekolah ortodoks
"Saddaharsana"; (c) Zaman Puranis (300-1200) terdiri dari perkembangan karya-
mitologi, terutama berhubungan dengan Shiwa dan Wisnu; (d) Zaman Muslim
(1200-1757); (e) Zaman Modern terdiri dari renaisance dari nilai-nilai India
sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh dari luar.
Kedua, Tema pokok dari filsafat dan kebudayaan Cina itu
"perikemanusiaan" pemikiran Cina yang lebih antroposentris daripada filsafat
India dan filsafat Barat. Filsafat Cina juga lebih pragmatis: selalu diajarkan
bagaimana manusia harus bertindak supaya keseimbangan antara surga dan dunia
tercapai. Filsafat Cina dibagi menjadi atas empat periode, yakni (a) Zaman
Klasik (600-200 SM) terdiri dari Zaman seratus sekolah filsafat, dengan-sebagai
sekolah-sekolah terpenting-konfusianisme. Taoisme, Yin- Yang moisme,
dialektik, dan legalisme; (b) Zaman Neo- taoisme dan budhisme (200-1000 SM);
(c) Zaman Neo- Konfusianisme (1000-1900); dan (d) Zaman Modern (setelah
1900) berisi tentang pengaruh filsafat Barat, renaisance dari filsafat klasik Cina,
Marxisme dan Maoisme.
Ketiga, Filsafat Barat. Dalam sejarah filsafat Barat
20 Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
dibedakan menjadi empat (4) periode terdiri dari: (i) Zaman kuno, (ii) Zaman
Patristik dan skolastik, (iii) Zaman modern, dan (iv) Zaman sekarang.
Filsafat Barat Zaman kuno (600-400 SM), terdiri dari Filsafat pra Socrates
di Yunani; Zaman keemasan Yunani: Socrates, Plato, Aristoteles; dan Zaman
Hellenisme.
Filsafat Barat Zaman Patristik dan Skolastik (400- 1500), terdiri dari
pemikiran Bapa Gereja; dan puncak filsafat abad pertengahan dalam Skolastik.
Filsafat Barat Zaman Modem (1500-1800) terdiri dari Zaman modern
(renaisance), Zaman Barak, Zaman Fajarbudi, dan Zaman Romantik.
Filsafat Barat Zaman sekarang (setelah ±1800) yaitu Filsafat abad
kesembilan belas dan dua puluh.
Satu hal yang menonjol ialah baik di India, Cina, maupun dalam dunia
Barat hidup intelektual menjadi dewasa, (dengan melepaskan diri dari corak
berpikir "mistis") dalam periode antara 800 dan 200 SM. Itu antara lain kelihatan
dalam seni dan dalam berbagai ilmu yang lahir sejak zaman renaisance yang
mempunyai kenyataan manusiawi sebagai objeknya: ekonomi, sosiologi,
psikologi, psikoanalisis, dan seterusnya. Semua ini telah menghasilkan ilmu
pengetahuan yang luas tentang manusia.
2.5. Perkembangan Filsafat
Filsafat adalah mencintai kebijaksanaan, konsep Plato memberi istilah
dialektika yang berarti seni berdiskusi, konsep Cicero menyebutnya sebagai ibu
dari semua seni, konsep Al Farabi adalah menyelidiki hakikat sebenarnya

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 21


dari segala yang ada, konsep Rene Descartes menyatakan kumpulan segala
pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
Dari keragaman pengertian filsafat tersebut. Penulis memberikan suatu konsep
bahwa filsafat mempunyai pengertian yang multidimensi.
Filsafat dikatakan sebagai ilmu karena filsafat mengandung empat
pertanyaan ilmiah yaitu: bagaimana, mengapa, kemana dan apa. Pertanyaan
bagaimana mengandung sifat yang dapat ditangkap atau tampak oleh indra,
jawaban yang diperoleh bersifat deskriptif. Pertanyaan mengapa mengandung
sebab (asal mula) suatu objek, jawaban yang diperoleh bersifat kausalitas.
Pertanyaan kemana menanyakan tentang apa yang terjadi di masa lampau,
sekarang dan yang akan datang, pengetahuan yang diperoleh adalah: pengetahuan
yang timbul dari hal yang selalu berulang dapat dijadikan sebagai pedoman,
pengetahuan yang terkandung dalam adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat dan pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai
(hukum) sebagai suatu hal yang dijadikan pegangan. Pertanyaan apakah
menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu hal, jawaban yang
diperoleh mengetahui hal-hal yang sifatnya sangat umum, universal dan abstrak.
Pada dasarnya filsafat merupakan sebuah cara berpikir yang radikal dan
menyeluruh, yaitu suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.
Tidak ada satu hal pun yang bagaimanapun kecilnya terlupa dari pengamatan
kefilsafatan. Tidak ada suatu pernyataan yang
22 Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
bagaimanapun sederhananya yang kita terima begitu saja tanpa pengkajian yang
saksama. Filsafat menanyakan segala sesuatu dari kegiatan berpikir kita dari awal
sampai akhir seperti dinyatakan oleh Socrates. Dalam perkembangannya
kemajuan manusia dalam berfilsafat bukan saja diukur dari jawaban yang di
berikan, namun juga dari pertanyaan yang diajukannya. Yaitu membahas tentang
apa yang ingin kita ketahui seberapa jauh kita ingin tahu atau dengan perkataan
lain suatu pengkajian mengenai teori tentang "ada". Hingga saat ini
perkembangan filsafat masih terus berlanjut demi untuk kesempurnaannya
sehingga melahirkan berbagai cabang baru dalam kajiannya yaitu dengan dasar-
dasar pengajian yang meliputi hal- hal berikut, yakni ontologi, epistemologi, dan
aksiologi (Sumantri: 2003).
2.6. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu objek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu. Ilmu merupakan
bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai
pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Pengetahuan merupakan khazanah
kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya
kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia
seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber
jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Apa yang
harus kita lakukan sekiranya anak kita demam panas

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 23


dan menderita kejang? Lagu "nina bobo" apa yang harus kita nyanyikan agar dia
tertidur lelap?
Pada masyarakat yang masih sederhana (primitif), pembedaan antara
berbagai organisasi masyarakat belum tampak, seorang ketua suku umpamanya,
dapat merangkap hakim, penghulu, atau bahkan seorang guru besar. Pada kurun
waktu tersebut tidak terdapat pembedaan antara berbagai pengetahuan. Pokoknya
segala apa yang kita ketahui adalah pengetahuan. Apakah itu cara mengobati
sakit gigi, menentukan kapan mulai bercocok tanam atau biografi para dewa di
kahyangan. Pokoknya semua adalah satu apakah itu objeknya, metode atau
kegunaannya.
Dalam berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari
kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara
berbagai pengetahuan yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan*
dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan
mulai dibeda-bedakan tidak berdasarkan pada apa yang diketahui, bagaimana
cara mengetahui, dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.
Setiap jenis ilmu pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai
apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan
tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; jadi ontologi ilmu terkait
dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengn aksiologi ilmu dan
seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini
harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi seperti
24 Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
itu maka bagaimana sebaiknya, kita mengembangkan landasan epistemologi yang
cocok? Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada
dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan
memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Demikian halnya
dengan masalah yang dihadapi epistemologi keilmuan yakni bagaimana
menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai
dunia empiris yang digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol
gejala alam.
Enam sumber-sumber pengetahuan yakni: (i) pengalaman indra;
(ii) nalar, (iii) otoritas, (iv) intuisi; (v) wahyu, dan (vi) keyakinan.
Pengalaman indra. Pengindraan adalah alat yang paling vital dalam
memperoleh pengetahuan. Karena memang dalam hidup manusia, pengindraan
adalah satu- satunya alat untuk menyerap segala objek yang ada di luar diri
manusia.
Nalar adalah salah satu corak berpikir untuk menggabungkan dua pemikiran
atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru dengan
memperhatikan asas-asas pemikiran, yaitu:
(i) principium identitas, (ii) principium contradictionis, (iii) principiumtertii exclusi,
dan (iv) principium kompromi.
Otoritas adalah kekuasaan sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh
kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan karena
kelompoknya memiliki pengetahuan. Karena seseorang yang mempunyai
kewibawaan dalam pengetahuan. Jadi kesimpulannya
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

MILIK PERPUSTAKAAN UIN


SUNAN KALIJAGA
adalah bahwa pengetahuan karena adanya otoritas terjadi melalui wibawa
seseorang sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.
Intuisi berperan sebagai sumber pengetahuan karena adanya kemampuan
dalam diri manusia yang dapat melahirkan pernyataan- pernyataan berupa
pengetahuan.
Wahyu, merupakan salah satu sumber pengetahuan karena kita mengenal
atau tahu sesuatu misalnya akhirat, surga dan neraka, melalui ajaran wahyu
Tuhan.
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh
melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan berupa wahyu
dan keyakinan ini sangat sukar untuk dibedakan. Adapun keyakinan melalui
kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan dari kepercayaan.

2.7. Corak-Corak Pemikiran Filsafat Zaman Yunani Kuno


Periode Yunani kuno disebut periode filsafat alam, karena pada periode ini
ditandai dengan munculnya ahli pikir alam di mana arah dan perhatian
pemikirannya pada alam sekitarnya. Pernyataan- pernyataan yang dibuat bersifat
filsafati (berdasar akal pikir) dan tidak berdasar pada mitos. Ahli pikir alam
antara lain, adalah Thales, Anaximandros, dan Pythagoras.
Filsafat Yunani muncul dari pengaruh mitologi, mistisisme, matematika,
dan persepsi yang kental begitu rupa sehingga segalanya nyaris tidak jelas dan
seakan mengacaukan pandangan dunia. Para Filsuf Yunani awal menemukan
dirinya dalam kenyataan yang patut ditiru.

26
Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Kebudayaan mereka kaya dan kreatif, namun dikelilingi oleh orang- orang yang
sportif dan kompetitif. Muncul beberapa pemikiran filosofis pada masa Yunani
kuno antara lain, Parmenides, Xenophanes, Thales, Aristoteles, Heraklitus, dan
Phytagoras.
2.7.1. Parmenides pada Abad ke-5 (± 515 - 450 SM)
Usaha-usaha yang dilakukannya sebagai suatu cara berpikir baru mengenai
hakikat "pengada" (being as such). Klaim-klaim dan argumen Parmenides ini
bersifat abstrak dalam cara yang berbeda sama sekali. Misalnya "yang kita dapat
bicarakan dan pikirkan pastilah yang ada, sementara yang tiada tidak dapat.
Pikirkanlah
itu".
2.7.2. Xenophanes pada Abad ke-6 (± 560 - 478 SM)
"Jika banteng, kuda, dan singa mempunyai tangan dan dapat melukis
seperti manusia, kuda akan melukis para dewa berupa kuda, dan banteng akan
melukis wujud para dewa seperti sapi jantan, masing-masing melukis tubuh para
dewa seperti tubuhnya sendiri." Ia menganjurkan kira-kira sama dengan apa yang
tertulis dalam kitab pertama Alkitab Ibrani (atau Perjanjian Lama), kepercayaan
pada "satu dewa, yang terbesar di antara para dewa dan manusia, yang tak
serupa dengan hal-hal fana terdapat pada tubuh dan pikiran".
2.7.3. Thales pada Abad ke-7 (±625 - 547 SM)
Bahwa dunia dikelilingi oleh air pada akhirnya, berasal dari air. Ide yang
sangat mungkin berasal dari Kosmogoni purba Yunani dan kebudayaan-
kebudayaan lainnya. Tetapi

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


tidak beranggapan bahwa segala sesuatu terbuat dari air.
2.7.4. Aristoteles pada Abad ke-4 (384-322 SM)
Aristoteles adalah seorang ilmuwan dan filsuf terbesar di dunia kuno.
Adalah seorang animis dan salah satu dari sekian idenya yang menarik adalah
bahwa dunia sebagai suatu keseluruhan, kosmos, pada dasarnya hidup dan
bersifat illahi. Thales dan Aristoteles bergerak di antara tiga klaim animis secara
berbeda. Ketiga hal tersebut adalah; (i) Segala sesuatu hidup (bahkan batuan,
binatang, dan air); (ii) segala yang hidup terkait hukum sebab akibat (kausalitas);
dan (iii) Kosmos sebagai keseluruhan adalah hidup.

2.7.5. Heraklitus (±515 — 450)


Heraklitus terkenal karena pengamatannya yang jelas pada pemikiran
kedua menjadi teka-teki mendalam dan dapat jadi kabur yang menyatakan "alam
mencintai keter- sembunyiannya (concealment)". Ia sendiri mencintai teka- teki,
paradoks-paradoks dan permainan kata yang dapat mengundang pemikiran yang
mendalam untuk mengungkapkan maknanya. Pada pemikiran kedua menjadi
teka- teki yang mendalam dan kabur semisal, "jalan naik dan jalan belakang
adalah sama". Untuk kehidupan sesudah mati, "segala yang kita lihat di saat
bangun adalah kemati- an", dan "orang jangan berharap atau membayangkan apa
yang menantikan mereka dalam kematian". Untuk sebuah peradaban yang putus
asa dan mendambakan perdamaian karena perang yang berkepanjangan, ia
menegaskan "perang adalah bapa dan raja dari segalanya".
Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

28
2.7.6. Phythagoras (± 581 - 507)
Di antara banyak hal, rancangan dan pembuktian suatu teorema
Phythagoras, salah satu dari basis geometri, dalam bangun segitiga yang benar, ia
menghasilkan kuadrat sisi miring (sisi miring yang sering anda lupakan) sama
panjangnya dengan jumlah kuadrat kedua sisinya. Penemuan penting yang lain
dalam matematika, termasuk pengertian "bilangan-bilangan irasional" bilangan-
bilangan yang tidak dapat dibagi rata dengan satu bilangan bulat menjadi
bilangan bulat lainnya. Filsuf yang mempesona, yang mempunyai berbagai teori
tentang hakikat alam semesta dan yang membuat musik, yang mempunyai
keyakinan eksotis tentang hakikat roh dan cara terbaik menjalani kehidupan
(banyak di antaranya di datangkan dari Mesir, bersama banyak konsep
geometris). Selanjutnya, Phythagoras memakai teori mengenai perimbangan
(proportion) untuk menjelaskan, di antara hal-hal lain, hakikat musik dan gerakan
bintang-bintang.
2.8. Karakteristik Pemikiran Zaman Patristik
Patristik (dari kata Latin "patres", Bapa-bapa Gereja) dipilahkan atas
Patristik Yunani (Patristik Timur) dan Patristik Latin (Patristik Barat). Ajaran
filsafi-teologi dari bapa-bapa Gereja menunjukkan pengaruh Platinos. Mereka
berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling
dalam dari manusia. Mereka berhasil membela ajaran kristiani terhadap tuduhan
dari pemikir-pemikir kafir. Tulisan Bapa-bapa Gereja merupakan suatu sumber
yang kaya dan luas yang

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


sekarang masih memberi inspirasi baru.
Masa Patristik, para ahli pikir beragam pemikirannya: ada yang menolak
filsafat Yunani dan ada yang menerimanya. Yang menolak adalah karena mereka
sudah mempunyai sumber kebenaran yaitu firman Tuhan dan tidak dibenarkan
mencari kebenaran lain seperti filsafat Yunani. Sedang yang menerima
beranggapan bahwa walau telah ada sumber kebenaran, tetapi tidak ada salahnya
menggunakan filsafat Yunani, yang diambil tata cara berpikirnya, ahli pikir
Patristik antara lain: Justinus Martir, Klemens, Tertullianus, dan Augustinus.
2.9. Sumbangan Pemikiran Filsafat Islam pada Abad
Pertengahan
Filsafat Islam dibagi dalam beberapa periode (a) Periode Mutazilah yaitu
periode yang mendahulukan pemakaian akal pikiran, kemudian diselaraskan
dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Menurut mereka, Al-Quran dan Al-Hadits tidak
mungkin bertentangan dengan akal pikiran; (b). Periode Filsafat Pertama. Upaya
pendahuluannya adalah dilakukan pengumpulan naskah-naskah filsafat Yunani,
kemudian diterjemahkan; (c). Periode Kalam Asy'ari adalah periode
memperkokoh akidah Islam; (d) Periode filsafat kedua merupakan prestasi besar
dan sebagai mata rantai hubungan Islam dari Timur ke Eropa. Inilah sumbangan
Islam terhadap Eropa yang dapat membawa kebebasan berpikir.
Sumbangan pemikiran umat Islam yaitu pola berpikir secara empiris yang
berasal dari sarjana-sarjana Islam dan

30 Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


kemudian terkenal di dunia Barat lewat tulisan Francis Bacon (1561-1626)
dalam bukunya (Nouum Organum) yang terbit tahun 1620. Pola berpikir
Barat rasional sebenarnya dikenal oleh ahli- ahli pikir filsafat Barat lewat
pembahasan ahli-ahli filsafat Islam terhadap filsafat Yunani yang dilakukan
antara lain oleh Al-Kindi (809-873), Al-Farabi (881-961), Ibnu Sina (980-
1037) dan Ibnu Rusyd (1126- 1198) di samping ahli Filsafat mereka ini juga
ahli dalam bidang keilmuan dan filsafat, Ibnu Rusyd mempunyai pengarah
besar dalam dunia pemikiran filsafat di Barat yang terkenal sebagai
Averroisme. Sarjana Islam juga menyumbangkan kemajuan ilmu dengan
pengembangan Aljabar oleh Al- Khowarizmi, Geometri oleh Al-Battani serta
penggunaan angka desimal yang digunakan sampai sekarang.
2.10. Perbedaan Pemikiran Zaman Modern
dan Kontemporer
Pemikiran zaman modem yaitu dengan cara metode pendekatan
Induktif-Deduktif yaitu menggabungkan metode Induktif dari Bacon dart
deduksi Aristoteles, metode gabungan ini merupakan kegiatan beranting
antara induksi dan deduksi yang mula-mula seorang penyelidik
mempergunakan metode induksi dalam menghubungkan antara pengamatan
dengan hipotesis. Kemudian secara deduktif hipotesis ini dihubungkan
dengan pengetahuan yang ada untuk melihat kecocokan dan implikasinya.
Setelah lewat berbagai perubahan yang dirasa perlu maka hipotesis ini
kemudian diuji melalui serangkaian data yang

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


dikumpulkan untuk mengetahui sah atau tidaknya (benar atau tidaknya) hipotesis
tersebut secara empiris.
Pendekatan ini merupakan esensi dari metode keilmuan modern dan
menandai kemajuan terakhir dari manusia dalam menjabarkan ilmu yang bersifat
empiris. Dalam perjalanan ke arah ini manusia telah mengembangkan cerita-
cerita rakyat dan mistik, dogma dan tradisi, pengamatan yang tidak sistematis dan
akhirnya sampai pada pengamatan yang sistematis. Meskipun pada dasarnya
proses metode keilmuan ini merupakan kegiatan beranting antara induksi dan
deduksi, namun secara sederhana biasanya seseorang secara induktif langsung
mengembangkan hipotesis dari pengalaman dan hipotesis ini kemudian dikaji
lebih lanjut secara terperinci untuk mengetahui aspek-aspeknya yang dapat diuji.
Ilmuwan modern tidaklah semata-mata menggantungkan diri kepada
metode induksi, namun juga mempergunakan secara deduktif pengetahuan yang
telah ada dalam mengkaji hipotesis. Dia mempergunakan fakta dan teori sebagai
alat untuk memperkuat satu sama lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih
jelas dari masalah yang dihadapinya. Pendekatan yang bersifat ganda ini adalah
perlu sebab meskipun seorang ilmuwan ingin suatu ke- simpulan yang bersifat
umum, namun dalam penyelidikannya dia tidak mungkin untuk mengamati
secara keseluruhan. Hal ini mengharuskan dia untuk mengamati hanya jumlah
yang terbatas dari sini dia mengambil kesimpulan yang bersifat umum.

Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


2.11. Hubungan Antropologi dengan Filsafat Ilmu
dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu antropologi merupakan bagian dari ilmu pengetahuan metafisika
khusus yang merupakan bagian dari filsafat tentang keseluruhan kenyataan
yang merupakan cabang-cabang dari filsafat ilmu yang menjelaskan tentang
kisi-kisi manusia secara umum dan luas.
Setiap filsafat mengandung secara eksplisit dan implisit suatu
pandangan tentang manusia, tentang tempatnya dalam kosmos, tentang
hubungannya dengan dunia. Dengan sesama dan dengan transendensi.
Menurut Immanuel Kant pertanyaan "manusia siapa dia itu?". Merupakan
pertanyaan satu-satunya dari filsafat.
Manusia hidup dalam banyak dimensi sekaligus. Manusia adalah
sekaligus materi dan hidup, badan dan jiwa. Ia mempunyai kehendak dan
pengertian, manusia merupakan seorang individu, tetapi ia tidak dapat hidup
lepas dari orang lain. Dalam manusia terdapat pertemuan antara kebebasan
dan keharusan, antara masa lampau yang tetap dan masa depan yang masih
terbuka.
Pertanyaan tentang manusia tentu saja mempunyai sejarah yang
panjang. Tetapi baru saja sejak zaman renaissance sekitar tahun 1500,
manusia betul-betul menjadi titik pusat dari filsafat, pusat sejarah, pusat
pemikiran, pusat kehendak, kebebasan dan dunia.
2.12. Ringkasan
Sejarah perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan terdiri dari
berbagai periode, antara lain periode atau masa

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Aristoteles, Phythagoras, Heraklitus, Thales, Xenophanes, dan Parmenides yang
keseluruhannya merupakan periode dari masa lalu. Selanjutnya, deskripsi tentang
ilmu pengetahuan dan filsafat mengalami perkembangan, terutama dalam segi
pandangan dan cara pemikiran. Aspek positif dari Renaisance dan sumbangan
pemikiran filsafat Islam (pada abad pertengahan). Yang kesemuanya sebagai satu
kesatuan dalam kajian ilmu sehingga terbentuklah suatu badan dari filsafat itu
sendiri sampai masa sekarang ini.
Berbagai perbedaan pemikiran antara zaman modern dan zaman
kontemporer menjadi wujud dari perubahan itu sendiri, di mana pada zaman
modern corak pemikiran yang berlandaskan pada metode pendekatan induktif-
deduktif (menggabungkan metode induktif dari Bacon dan metode induksi dari
Aristoteles). Sehingga terwujud sinkro- nisasi dalam pohon ilmu pengetahuan
yang dihubungkan dengan pengamatan dan hipotesis. Kemudian secara deduktif
hipotetis ini dihubungkan dengan perkembangan pengetahuan yang ada untuk
melihat signifikansi dan implikasinya.

Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

34
Bab III

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu

3.1. Deskripsi
Untuk mengetahui perbedaan antara filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu, ada
baiknya kita terlebih dahulu mengetahui definisi-definisi filsafat, ilmu, dan
filsafat ilmu.
Filsafat adalah suatu pengetahuan yang bersifat eksistensial artinya sangat
erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan
filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan kita sehari-hari baik sebagai
manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam suatu masyarakat atau
bangsa.
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata " science" artinya "to know".
Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu
pengetahuan alam yang bersifat kuantitatif dan objektif. Ilmu dikatakan rasional,
karena ilmu merupakan hasil dari proses berpikir dengan menggunakan akal, atau
hasil berpikir secara rasional.
Filsafat ilmu merupakan bagian epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
(pengetahuan ilmiah) atau dengan kata lain filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan- persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan
manusia.

3.2. Tujuan Pembelajaran


Tujuan pembelajaran pada bab ini menjelaskan tentang pengertian filsafat
dan cabang-cabangnya, ilmu, filsafat ilmu yang selalu melakukan pencarian dan
penemuan hakikat dari seluruh kenyataan (reality). Pembahasan dari uraian ini
diharapkan dapat berguna sebagai kerangka dalam mengenal dan memahami
filsafat, ilmu, filsafat ilmu.

3.3. Pengertian dan Kegunaan Filsafat


Dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu ahli filsafat
dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan hampir sama. Pengertian filsafat
dapat dipilahkan ke dalam dua garis besar, yaitu secara etimologi dan secara
terminologi.

3.3.1. Pengertian Secara Etimologi


Kata filsafat, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah falsafah dan
dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Philosophy adalah berasal dari
bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri atas kata philein yang berarti
cinta (love) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Sehingga pengertian
etimologis dari istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau love of wisdom
dalam arti yang sedalam-dalamnya.

36 Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


3.3.2. Pengertian Secara Terminologi
Pengertian terminologis merupakan uraian yang menjelaskan
berdasarkan batasan-batasan definisi yang disusun oleh sejumlah filsuf dan
ahli filsafat. Pengertian terminologis tentang filsafat adalah (i) upaya
spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik dan lengkap tentang
seluruh realitas; (ii) upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar
secara nyata; (iii) upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan
pengeta- huannya: sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya;
(iv) penyelidikan kritis atas pengandaian-peng- andaian dan pernyataan-
pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan; (v)
disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita
katakan dan untuk mengatakan apa yang yang kita lihat.
Adapun pengertian terminologis filsafat yang diuraikan lebih lanjut
adalah definisi filsafat menurut Plato, Aristoteles, Rene Descartes, Immanuel
Kant, Ali Mudhofir, dan Notonagoro, Harold H Titus, Ibnu sina dan
Driyarkara
Para filsuf dan ahli filsafat itu mendefinisikan tentang.
Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba
untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli. Menurut
Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang
di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan). Menurut Rene Descartes
filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan
manusia menjadi pokok penyelidikan; Immanuel Kant, filsafat

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


adalah ilmu atau pengetahuan yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan
yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui; Menurut Notonagoro, Guru
Besar UGM, filsafat menelaah hal-hal yang menjadi objeknya dari sudut intinya
yang mutlak dan yang terdalam, yang tetap, dan yang tidak berubah yang disebut
hakikat; Sedangkan menurut Ali Mudhofir, seorang ahli filsafat yang juga dosen
UGM, filsafat diartikan sebagai: (i) suatu sikap; (ii) suatu metode; (iii) kelompok
persoalan; (iv) kelompok teori atau sistem pemikiran; (v) analis logis tentang
bahasa dan penjelasan makna istilah; dan (vi) usaha untuk mendapatkan
pandangan yang menyeluruh.
Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi
terhadap apa yang penting atau yang berarti bagi hidup. Di pihak lainnya ada
yang beranggapan, bahwa filsafat merupakan cara berpikir yang kompleks, suatu
pandangan atau teori yang tidak memiliki kegunaan praktis, tetapi mendasar bagi
lmu pengetahuan.
Harold H. Titus, mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit dan
dalam arti luas. Dalam arti sempit, filsafat diartikan sebagai ilmu yang
berhubungan dengan metode logis atau analisis logika bahasa dan makna-makna.
Filsafat diartikan sebagai "science of science", dengan tugas utamanya
memberikan analisis kritis terhadap asumsi- asumsi dan konsep-konsep ilmu, dan
mensistematisasikan pengetahuan. Dalam arti luas, filsafat mencoba
mengintegrasikan pengetahuan manusia dari berbagai pengalaman manusia yang
berbeda-beda dan menjadikan suatu
Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu
pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan makna hidup.
Ibnu Sina, mengemukakan bahwa filsafat adalah pengetahuan otonom
yang perlu ditimba oleh manusia sebab ia dikaruniai akal oleh Allah.
Prof. Dr. N. Driyarkara S.J., seorang filsuf besar dan ulung Indonesia
yang dalam bukunya Percikan Filsafat yang menyatakan bahwa, filsafat adalah
pikiran manusia yang radikal, artinya dengan mengesampingkan pendirian dan
pendapat "yang diterima saja" mencoba memperlihatkan pandangan yang
merupakan akar dari lain- lain pandangan dan sikap praktis.
Oleh karena itu, kami cenderung untuk memberikan definisi filsafat itu
sebagai berikut: "Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengenai segala sesuatu
dengan memandang sebab-sebab terdalam, tercapai dengan budi murni"
(philosophy is the science which by the natural light of reason studies the first
causes or hightest principles of all
things).
3.3.3. Kegunaan Filsafat
Kegunaan belajar filsafat pada peradaban dunia mutakhir ini adalah karena
dunia sedang dilanda krisis peradaban dan ilmu pengetahuan dengan indikator
sebagaimana dinyatakan oleh para ahli: (i) The End of Ideology (Daniel Bell
1971); (ii) The End of History and The Last Man (F. Fukuyama, 1997); (iii) The
Death of Education (Neil Postman, 2000); (iv) The Death of Science (John Horgan,
1997).

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 39


Krisis ilmu pengetahuan ditandai oleh: (i) tidak ada temuan baru setelah
temuan C. Darwin dan A. Einstein. Semua temuan dan teori baru merupakan
turunan teori- teori Evolusi Darwin dan teori Relativitas Einstein; (ii) Ilmu
dengan teori-teorinya gagal atau tidak mampu menjelaskan gejala alam dan non-
alam (gagal menjelaskan krisis-krisis kemanusiaan); (iii) terjadi krisis moralitas
dan kejahatan dalam dunia ilmu yang terus meluas.
Dengan belajar filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam
wewenang metode-metode ilmu khusus. Jadi, filsafat membantu manusia
mendalami pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas dan ruang
lingkupnya. Kemampuan itu dipelajari melalui dua jalur, yaitu secara sistematik
dan secara historis.
Kegunaan filsafat dapat dibagi dua, yakni kegunaan secara umum dan
secara khusus. Kegunaan secara umum dimaksudkan manfaat yang dapat diambil
oleh orang yang belajar filsafat dengan mendalam sehingga mampu memecahkan
masalah-masalah secara kritis tentang segala sesuatu. Kegunaan secara khusus
dimaksudkan untuk memecahkan suatu objek di Indonesia. Jadi, khusus diartikan
terikat oleh ruang dan waktu, umum dimaksudkan tidak terikat oleh
ruang dan waktu.
3.3.4. Cabang-Cabang Filsafat
Cabang filsafat yang diuraikan pada bagian ini adalah: (i) Epistemologi;
(ii) Metafisika; (iii) Logika; (iv) Etika; dan (v). Estetika.

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


40
Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang ber sangkut paut dengan
teori pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri
dari kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, pendapat,
percakapan, atau ilmu). Jadi, Epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan
tentang ilmu pengetahuan.
Metafisika berasal dari bahasa Yunani meta physhika (sesudah fisika). Kata
metafisika ini juga memiliki berbagai arti. Metafisika dapat berarti upaya untuk
mengkarakteris- tikkan eksistensi atau realita sebagai suatu keseluruhan. Namun
secara umum metafisika adalah suatu pembahasan filsafat yang komprehensif
mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.
Logika. Secara etimologi, logika adalah suatu pertimbangan akal atau
pikiran yang dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut juga logike
episteme atau logica scientica yang berarti ilmu logika, namun sekarang
hanya disebut logika saja.
Etika. Etika sering kali disebut sebagai filsafat moral. Istilah etika berasal
dari dua kata dalam bahasa Yunani — ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat,
watak, kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, atau
kelakuan dan perbuatan yang baik.
Estetika adalah cabang filsafat yang membahas tentang seni dan
keindahan. Istilah estetika berasal Yunani- aisthesis, yang berarti pencerapan
indrawi, pemahaman intelektual, atau pengamatan spiritual. Adapun istilah art
(seni) berasal dari bahasa Latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, dan
kecakapan.
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
41
3.3.5. Ruang Lingkup Filsafat
Seperti halnya pengetahuan, maka filsafat pun dapat ditentukan ruang
lingkupnya yang dipilahkan dalam dua objek yaitu, objek material (lapangan) dan
objek formalnya (sudut pandangnya). Objek material filsafat ialah segala sesuatu
yang dipermasalahkan oleh filsafat.
Menurut Prof. DR. M.J. Langeveld: " bahwa hakikat filsafat
itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan sarwa sekalian secara radikal dan
menurut sistem". Maka keseluruhan sarwa itu ada. Ia adalah pokok dari yang
dipikirkan orang dalam filsafat; Ada juga pemikiran itu sendiri yang terdapat
dalam filsafat sebagai alat untuk memikirkan pokoknya; Pemikiran itu pun adalah
bagian dari kese- luruhan, terdapat dalam filsafat sebagai alat dan sebagai
keseluruhan sarwa sekalian.
DR. Oemar Amin Hoesin menulis tentang lapangan penyelidikan filsafat
sebagai berikut: "Oleh karena manusia mempunyai pikiran atau akal yang aktif
maka ia mempunyai kecenderungan hendak berpikir tentang segala sesuatu
dalam alam semesta, terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada. Objek
seperti ini disebut sebagai objek material filsafat".
DR.Mr. D.C. Mukler menulis, "Tiap-tiap manusia yang mulai berpikir
tentang diri sendiri dan tentang tempatnya dalam dunia, akan menghadapi
beberapa persoalan yang begitu penting".
Louis Kattsoff menulis bahwa "Lapangan kerja filsafat itu bukan main
luasnya, yaitu meliputi segala sesuatu apa

42 Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


saja yang ingin diketahui manusia".
DR. A.C. Ewing dalam bukunya, the Fundamental Questions of Philosophy,
tentang pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat ialah truth (kebenaran), matter
(materi), mind (budi), the relation of matter and mind (hubungan materi dan budi),
space and time (ruang dan waktu), cause (sebab), freedom (kemerdekaan), monism
versus pluralism (monisme lawan Pluralisme) dan god (Tuhan).
AL-Kindi ahli pikir pertama dalam filsafat Islam yang memberikan
pengertian filsafat di kalangan umat Islam dan membaginya menjadi tiga,yaitu:
(i) Ilmu fisika sebagai tingkatan rendah; (ii) Ilmu matematika sebagai tingkatan
menengah; dan (iii) Ilmu Ke-Tuhanan sebagai tingkatan tertinggi.
Setelah menguraikan tentang ruang lingkup kajian filsafat dari para ahli,
maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa objek material dari filsafat itu adalah
segala sesuatu (realita).
Adapun mengenai objek formal filsafat, adalah bersifat non- fragmentaris,
karena filsafat mencari pengertian realita secara luas dan mendalam. Sebagai
konsekuensi pemikiran ini, maka seluruh pengalaman manusia antara lain: etika,
estetika, teknik, ekonomi, sosial, budaya, religius dan lain-lain. Dalam hal ini
pemikiran filsafat menuntut bahwa seorang ahli filsafat adalah seorang pribadi
yang berkembang secara harmonis dan memiliki pengalaman secara
authentik yang diperoleh dari dunia realita.
Jadi objek formal filsafat itu bersifat mengasaskan atau

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 43


berprinsip dan oleh karena mengasas, maka filsafat itu
mengkonstatir prinsip-prinsip kebenaran dan ketidakbenaran.
3.3.6. Karakteristik Pemikiran Kefilsafatan
Karakteristik atau ciri-ciri pemikiran kefilsafatan antara lain: (i) pemikiran
yang bebas dan sebebas bebasnya; (ii) pemikiran yang rasional dan kritis; (iii)
pemikiran yang esensial; (iv) pemikiran yang abstrak; (v) pemikiran yang
radikal; (vi) pemikiran yang holistic, (vii) pemikiran yang kontinu; (viii)
pemikiran yang "inquiry"; (ix) pemikiran yang questioning; (x) pemikiran yang
analisis dan diskon- struksi; (xi) pemikiran spekulatif; (xii) pemikiran yang
inventif; dan
(xiii) pemikiran yang sistematik.
Berfilsafat berarti melakukan suatu pemikiran bebas dan sebebas-bebasnya
sebagai lawan dari otoriterisme, ke- percayaan, agama ideologi, dan pemikiran
yang tertutup. Ilmu pengetahuan membutuhkan kebebasan berpikir yang sangat
luas baik dalam kelas maupun di luar kelas, dalam rangka mencari hakikat
pengetahuan dan kebenaran. Kebebasan akademis harus menjadi kebebasan
berpikir yang luas.
Pendidikan dan proses pembelajaran dalam lembaga pendidikan di
Indonesia belum menjamin dan memberikan kesempatan adanya kebebasan
berpikir kepada peserta didik atau mahasiswa. Dengan filsafat, kita memiliki
peluang (probability) untuk mengembangkan kebebasan berpikir yang seluas-
luasnya.

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


44
3.4. Pengertian Ilmu dan Filsafat Ilmu
Perkembangan ilmu mencapai puncak kejayaannya pada masa Newton.
Ilmuwan Inggris melalui, antara lain, teori gaya berat dan kaidah-kaidah
mekanika dalam karya tulisnya berjudul Philosophiae Naturalis Principia Mathe-
matica (asas-asas matematik dari filsafat alam) terbit tahun 1687.
Pengetahuan sebagai produk berpikir merupakan obor dan semen
peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan
lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan
kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya.
Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman
dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran
manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah
pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya. Meskipun
kelihatannya betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu, namun
pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan di- dasarkan
pada tiga masalah pokok yakni: Apakah yang ingin kita ketahui? (Ontologi)
Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? (Epistemologi) Dan apakah
nilai pengetahuan tersebut bagi kita? (Aksiologi)

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Diagram 3.1. Hubungan Pengetahuan dan Berpikir

Bagan 1 Hubungan Pengetahuan dan Berpikir,


Pengetahuan yang diperoleh selalu
bersinggungan dengan cara kita berpikir
atau pikiran kita.

Pertanyaan tersebut kelihatannya sederhana, tetapi mencakup


sebuah permasalahan besar yang menyangkut hak asasi. Berbagai buah pemikiran besar
sebenarnya banyak dihasilkan dari serangkaian tiga pertanyaan tadi. Ilmu merupakan
salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan ini. Ilmu merupakan
salah satu dari pengetahuan manusia. Sehingga ilmu pengeta-
huan dapat diartikan sebagai keseluruhan dari pengetahuan yang
terkoordinasi mengenai pokok pemikiran tertentu. Hubungan pengetahuan
dan berpikir tersebut dapat dilihat pada diagram (Diagram 3.1.)
Pengertian ilmu juga dapat dirujukkan pada kata 'ilm (Arab), science
(Inggris), watenschap (Belanda), dan wissenschaf (Jerman). R. Harre
menulis ilmu adalah a collection of well-tested theories which explain the
patterns regularities and irregularities among carefully studied phenomena,
atau kumpulan teori yang sudah diuji coba yang menjelaskan tentang
pola-pola yang teratur atau pun tidak teratur di antara fenomena yang
dipelajari secara hati- hati.

46Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


Secara umum (science in general) berarti segenap pengetahuan ilmiah yang
dipandang sebagai suatu kebulatan atau ilmu merupakan bidang pengetahuan ilmiah yang
mempelajari pada bidang-bidang kajian tertentu seperti cabang ilmu antropologi, biologi,
geografi, atau sosiologi. Lebih lanjut, Harre menjelaskan bahwa ada dua komponen
utama yang dapat digunakan untuk menginvestigasi ilmu. Kita bertanya tentang
fenomena sesuatu yang mana dianjurkan untuk mengetahuinya, dan bertanya tentang
subject matter dan content dari pengetahuan teorinya.
Dalam pengertian yang lain, ilmu merupakan perkataan yang memiliki makna
ganda, artinya mengandung lebih dari satu arti. Sering kali ilmu diartikan sebagai
pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat dinamakan sebagai ilmu, melainkan
pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu berdasarkan kesepakatan para
ilmuwan.
Pengetahuan yang dapat disepakati sehingga menjadi suatu "ilmu", menurut Archie
J. Bahm dapat diuji dengan enam komponen utama yang disebut dengan six kind of
science, yang meliputi: (i)problems, (ii) attitude, (iii) method, (iv) activity, (v)conclusions,
dan (vi) effects.
Dari pendapat Bahm tersebut dapat diartikan bahwa ilmu lahir dari pengembangan
suatu permasalahan-per- masalahan (problems) yang dapat dijadikan sebagai kegelisahan
akademik (kasus ilmiah atau objek ilmu). Atas dasar problem, para kreator akan
melakukan suatu sikap (attitude) untuk membangun suatu metode-metode dan
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
47
kegiatan-kegiatan (method and activity) yang bertujuan untuk melahirkan suatu
penyelesaian-penyelesaian kasus (conclusions) dalam bentuk teori-teori. Konklusi-
konklusi dapat diuji (diterima) dengan mempertimbangkan dari akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh teori (effects). Setiap individu yang berpotensi ilmiah dapat diketahui
dari pengkayaan attitude yang meliputi curiosity (keingintahuan), speculativeness (berani
bereksperimen), serta willingness to be objective, suatu sikap untuk selalu objektif.
Objek ilmu meliputi objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu
yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu
kedokteran. Adapun objek formal adalah cara pandang tertentu tentang objek material
tersebut, seperti pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran.
Jika sudah menjadi ilmu pengetahuan, maka klasifikasi ilmu berkembang secara
umum menjadi beragam cabang: (i) natural sciences, seperti ilmu fisika, kimia, astronomi,
biologi, botani; (ii) social sciences seperti ilmu sosiologi, ekonomi, politik, antropologi;
serta humanity science seperti ilmu bahasa, agama, kesusastraan, kesenian, dan filsafat.
Dari beberapa penjelasan di atas, ilmu merupakan suatu perangkat fundamental
dalam penciptaan peradaban. Dalam ilmu termuat pengetahuan manusia yang bersifat
alamiah (natural) kemudian dikonstruksi menjadi teori-teori yang dapat memberikan
konklusi bagi setiap persoalan-persoalan kehidupan.

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


3.4.1. Definisi Ilmu
Istilah ilmu atau science merupakan suatu kata yang sering diartikan dengan
berbagai makna, atau mengandung lebih dari satu arti. Science dalam arti sebagai natural
science, biasanya dimaksud dalam ungkapan "sains dan teknologi". Dalam kamus istilah
ilmiah dirumuskan pengertian sciences and technology sebagai "the study of the natural
sciences and the application of the knowledge for practical purpose", yang artinya adalah
penelaahan dari ilmu alam dan penerapan dari pengetahuan ini untuk maksud praktis.
Seorang filsuf John G. Kemeny juga menggunakan ilmu dalam arti semua
pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah (all knowledge collecled by
means of the scientific method).
Charles Singer merumuskan bahwa ilmu adalah proses yang membuat
pengetahuan (science is the process which makes knowledge).
Prof. Harold H. Titus, banyak orang telah mempergunakan istilah ilmu untuk
menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Pada zaman Yunani kuno episteme atau pengetahuan rasional mencakup filsafat
maupun ilmu. Thales sebagai seorang filsuf juga mempelajari astronomi dan topik-topik
pengetahuan yang termasuk fisika. Fisika adalah pengetahuan teoretis yang mempelajari
alam. Pengetahuan ini juga disebut filsafat alam.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Menurut Jujun S. Suriasumantri, pengertian ilmu adalah salah satu dari buah
pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ilmu merupakan salah satu
dari pengetahuan manusia. Untuk dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya
sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya. Seperti kata
peribahasa Prancis, "Mengerti berarti memanfaatkan segalanya", maka pengertian yang
mendalam terhadap hakikat ilmu, bukan akan mengikat apresiasi kita terhadap ilmu
namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangannya.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang
disusun secara sistematis, konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris.
3.4:2 Cabang-Cabang Ilmu
Ilmu berkembang pesat, demikian juga dengan cabang-cabangnya. Pada dasarnya
cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni, filsafat alam yang
kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural science) dan filsafat moral yang
kemudian berkembang ke dalam cabang-cabang ilmu sosial (the social science).
Ilmu alam membagi diri menjadi dua kelompok lagi yakni ilmu alam (the physical
sciences) dan ilmu hayat (the biologycal sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat
yang membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi Fisika
(mempelajari massa dan energi), Kimia (mempelajari substansi zat), Astronomi
(mempelajari benda-benda langit), dan Ilmu bumi atau

Filsafat, llmu, dan Filsafat Ilmu


50
the earth science (mempelajari bumi kita ini).
Tiap-tiap cabang kemudian membuat ranting-ranting baru seperti fisika
berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan, dan
magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik. Sampai tahap ini maka kelompok ilmu ini
termasuk ke dalam ilmu-ilmu murni. Ilmu murni berkembang menjadi ilmu terapan.
Pada ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan ilmu alam. Pada intinya
ilmu sosial meliputi Antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan
tempat), Psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), Ekonomi
(mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya lewat proses pertukaran),
Sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia), Ilmu politik (mempelajari
sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
Cabang utama ilmu sosial ini mempunyai cabang- cabang lagi seperti: antropologi
fisik, linguistik, etnologi, dan antropologi sosial atau kultural. Dari ilmu tersebut di atas
yang dapat digolongkan seperti ilmu murni meski- pun tidak sepenuhnya. Perkembangan
ilmu sosial merupakan aplikasi berbagai konsep dari ilmu-ilmu sosial murni kepada suatu
bidang telaahan sosial tertentu. Demikian manajemen menerapkan konsep psikologi,
ekonomi, antropologi, dan sosiologi.
Di samping ilmu alam dan ilmu sosial pengetahuan mencakup humaniora dan
matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama, sejarah, dan bahasa. Matematika
mencakup tentang aritmatika, geometri, teori bilangan,
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
aljabar, trigonometri, geometri analitik, persamaan diferensial, kalkulus, topologi,
geometri non euclid, teori fungsi, probabilitas dan statik logika dan logika matematis.
3.4.3. Macam-macam llmu Pengetahuan
Sehubungan dengan adanya berbagai sumber, sifat- sifat, karakter, dan susunan
ilmu pengetahuan, maka dalam pandangan tentang ilmu pengetahuan itu orang
mengutarakan pembagian ilmu pengetahuan (classification).
Pembagian ilmu pengetahuan tergantung kepada cara dan tempat para ahli itu
meninjaunya. Pada Zaman Purba dan Abad Pertengahan pembagian ilmu pengetahuan
berdasarkan kesenian yang merdeka, yang terdiri dari dua bagian yaitu: (i) trivium, dan
(ii) oudrivium.
Trivium atau tiga bagian ialah: (a) gramatika, bertujuan agar manusia dapat
menyusun pembicaraan dengan baik; (b) dialektika, bertujuan agar manusia dapat
berpikir dengan baik, formal, dan logis; (c) retorika, bertujuan agar manusia dapat
berbicara dengan baik.
Qudrivium atau empat bagian terdiri dari: (a) aritma- tika, adalah ilmu hitung; (b)
geometrika, adalah ilmu ukur; (iii) musika, adalah ilmu musik; dan (iv) astronomia,
adalah ilmu perbintangan.
Menurut pembagian klasik, maka ilmu pengetahuan dibedakan atas natural sciences
(kelompok-kelompok ilmu alam) dan social sciences (kelompok- kelompok ilmu sosial).
Sedang C.A. Van Peurson membedakan ilmu pengetahuan atas: (i) ilmu
pengetahuan kemanusiaan; (ii) ilmu pengetahuan alam; (iii) ilmu pengetahuan hayat; dan
(iv)

Filsafat, llmu, dan Filsafat Ilmu


Ilmu pengetahuan logika-deduktif.
Di dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan tentang Perguruan Tinggi Nomor 22
Tahun 1961 di Indonesia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan atas empat kelompok
ilmu sebagai berikut: (i) ilmu agama/kerohanian, (ii) ilmu kebudayaan, (iii) ilmu sosial,
dan (iv) ilmu eksakta.
Ilmu agama/kerohanian, meliputi ilmu agama dan ilmu jiwa; Ilmu kebudayaan,
yang meliputi: (a) ilmu sastra; (b) ilmu sejarah; (c) ilmu pendidikan; dan (d) ilmu filsafat,
ilmu sosial, yang meliputi: (a) ilmu hukum;
(b) ilmu ekonomi; (c) ilmu sosial politik; (d) ilmu ketatanegaraan dan ketataniagaan. Ilmu
eksakta dan teknik, meliputi: (a) ilmu hayat; (b) ilmu kedokteran; (c) ilmu farmasi; (d)
ilmu kedokteran hewan; (e) ilmu pertanian;
(f) ilmu pasti alam; (g) ilmu teknik; (h) ilmu geologi; dan (i) ilmu oceanografi.
3.4.4. Objek Material dan Objek Formal llmu
Metode ilmiah yang digunakan dalam ilmu tertentu tergantung dari objek formal
bagi ilmu yang bersangkutan. Sebaliknya sesuai dengan metode yang dipergunakan, juga
tampaklah objek formal yang selaras dengan metode itu. Misalnya, adanya Tuhan tidak
pernah akan ditemukan dengan alat indra, atau dengan perpanjangan seperti mikroskop.
Tetapi dengan begitu, apakah manusia sudah dapat dipertanggungjawabkan, bahwa ia
tidak percaya atas kebenaran Tuhan? Kenyataan ini menunjukkan bahwa
pendekatan yang tepat untuk setiap ilmu adalah berbeda tarafnya.
Sesungguhnya cara dan mencari kebenaran itu ber-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


53
beda-beda, bahkan dalam banyak hal tertentu harus berbeda. Justru itulah merupakan
penghampiran menurut objek formal. Sebaliknya tentang objek materiil, objeknya jelas
sehingga metode yang digunakanpun jelas dan tidak banyak mengalami ketimpangan.
Apa yang merupakan objek dan ruang lingkup ilmu? Ilmu membatasi lingkup pada
batasan pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam
menyusun kebenaran yang secara empiris. Secara ontologis ilmu membatasi diri pada
pengkajian yang berada dalam lingkup pengalaman manusia.
Objek dari ilmu itu sendiri adalah ilmu merupakan suatu berkah penyelamat bagi
umat manusia. Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal baik buruk, dan si
pemilik pengetahuan itulah yang mempunyai sikap. Atau dengan kata lain, netralitas ilmu
terletak pada epistemologinya, jika hitam katakan hitam, jika putih katakan putih; tanpa
berpihak pada siapa
pun selain kebenaran.
3.5. Filsafat llmu
Filsafat dan ilmu yang dikenal di dunia Barat berasal dari zaman Yunani Kuno.
Pada zaman itu keduanya termasuk dalam pengertian episteme. Kata philosophia
merupakan suatu kata padanan dari episteme.
Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory of science (teori ilmu), meta science (adi-
ilmu), science of science (ilmu tentang ilmu).
The Liang Gie mendefinisikan bahwa filsafat ilmu

Filsafat, llmu, dan Filsafat Ilmu


adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan- persoalan mengenai segala hal
yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan
manusia.
Filsafat ilmu dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (i) Filsafat ilmu dalam arti luas,
yaitu menampung permasalahan yang menyangkut berbagai hubungan luar dari kegiatan
ilmiah; dan (ii) Filsafat ilmu dalam arti sempit yaitu menampung permasalahan yang
bersangkutan dengan hubungan ke dalam yang terdapat dalam ilmu yaitu pengetahuan
ilmiah dan cara-cara
mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah.
3.5.1. Sejarah Filsafat llmu
Lahir pada abad ke-18 cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan di
mana logika, filsafat bahasa, matematika, metodologi, merupakan komponen-kompo- nen
pendukungnya. Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta tata cara
untuk menggunakan pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula syarat-syarat yang harus
dipenuhi bagi
apa yang disebut kebenaran ilmiah dan batas validitasnya.
3.5.2. Ruang Lingkup Filsafat llmu
Filsafat ilmu sampai tahun sembilan puluhan telah berkembang pesat sehingga
menjadi bidang pengetahuan yang amat luas dan sangat mendalam. Ruang lingkup
sebagaimana yang dibahas para filsuf dapat dikemukakan secara ringkas oleh sejumlah
ahli antara lain (i). Peter
Angeles; (ii) A. Cornelius Benjamin; (iii) Israel Scheffler;
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
dan (iv) J.J.C.Smart.
Pertama, menurut Peter Angeles, ilmu mempunyai empat bidang konsentrasi
yang utama: (i) Telah mengenai berbagai konsep, pranggapan dan metode ilmu
berikut analisis, perluasan, dan penyusunannya dalam memperoleh yang lebih baik
dan cermat; (ii) Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu
berikut strukturnya; (iii) Telaah mengenai saling kaitan di antara berbagai ilmu; dan
(iv) Telaah mengenai akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang berkaitan dengan
penerapan dan pemahaman manusia.
Kedua, A. Cornelius Benjamin. Filsuf ini membagi pokok soal filsafat ilmu
dalam 3 bidang: (i) Logika ilmu yang berlawanan dengan epistemologi ilmu; (ii)
Filsafat ilmu kealaman yang berlawanan dengan filsafat ilmu kemanusiaan; (iii)
Filsafat ilmu yang berlawanan dengan telaah masalah filsafati dari sesuatu ilmu
khusus; dan (iv) Filsafat ilmu yang berlawanan dengan sejarah ilmu.
Ketiga, Israel Scheffler. Lingkupannya dibagi menjadi tiga bidang yaitu: (i)
Peranan ilmu dalam masyarakat; (ii) Dunia sebagaimana digambarkan oleh ilmu; dan
(iii) Landasan-landasan ilmu.
Keempat, J.J.C. Smart. Filsuf ini mengganggap filsafat ilmu mempunyai dua
komponen utama yaitu, (i) Bahasan analitis dan metodologis tentang ilmu; (ii)
Penggunaan ilmu untuk membantu
pemecahan problem.
3.5.3. Perbedaan Filsafat, llmu, dan Filsafat llmu
Filsafat merupakan cara berpikir yang kompleks,

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat llmu


suatu pandangan atau teori yang sering tidak bertujuan praktis, tetapi teoretis. Filsafat
selalu memandang sebab- sebab terdalam, tercapai dengan akal budi murni. Filsafat
membantu untuk mendalami pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas dan ruang
lingkupnya yang dapat dipelajari secara sistematik dan historis.
Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Ilmu membuka mata kita
terhadap berbagai kekurangan. Ilmu tidak mengikat apresiasi kita terhadap ilmu itu
sendiri. Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan
kebenarannya telah teruji secara empiris. Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas
manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas
metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan dari interaksi di antara
aktivitas, metode, dan pengetahuan dapat digambarkan sebagai bagan segitiga penyusun
menjadi ilmu.
Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran yang reflektif terhadap persoalan-persoalan
mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan
segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu telaah kritis terhadap
metode yang digunakan oleh ilmu tertentu terhadap lambang-lambang dan struktur
penalaran tentang sistem lambang yang digunakan. Filsafat ilmu adalah upaya untuk
mencari kejelasan mengenai dasar-dasar konsep, sangka wacana dan postulat mengenai
ilmu. Filsafat ilmu merupakan studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang
beraneka macam yang ditunjukkan untuk menetapkan batas yang
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

57
tegas mengenai ilmu tertentu.

3.5.4. Tujuan Pendidikan Filsafat dan Filsafat llmu


Pendidikan filsafat diharapkan dapat mencapai kompetensi sebagai berikut: (i)
menghargai kedudukan akal (pikiran manusia); (ii) filsafat merupakan sumber
perenungan yang dalam dan kontinu; (iii) meyakini hasil pemikiran sebagai sumber
kebenaran; (iv) pemikiran bebas dan sebebas-bebasnya; (v) pemikiran rasional kritis;
(vi) tidak dibelenggu ideologi; (vii) tidak dibelenggu oleh kepercayaan/agama; (viii)
mewaspadai atau menolak kebenaran hegemonik; (ix) menolak gagasan kebenaran
absolut; (x) konstruktivisme bebas dalam pikiran; (xi) rekonstruksi konsep dan teori;
(xii) merespons adanya krisis ilmu; (xiii) menumbuhkembangkan moralitas ilmu
pengetahuan; (xiv) membangun kreativitas inventif ilmu; (xv) Tuhan dan wahyu;
(xvi) pengetahuan filsafat bersifat abstrak; (xvii) filsafat memiliki konsep dan teori-
teori filosofis tentang segala sesuatu; dan (xviii) filsafat memiliki paradigma dan
metode-metode tersendiri.
Adapun tujuan dilaksanakan pembelajaran filsafat ilmu adalah: (i)
kembali kepada kesadaran berpikir kefilsafatan; (ii) merespons isu krisis ilmu
pengetahuan; (iii) mengoreksi Paham Positivisme dan Pragmatisme; (iv). memberi
dasar-dasar filosofis bagi ilmu yang baru; (v) melakukan falsifikasi terhadap ilmu;
(vi) membangun paradigma baru; (vii) mengoreksi konsep dan teori lama; dan (viii)
menumbuhkembangkan moralitas dan integritas manusia mendasarkan pada ilmu
pengetahuan yang

Filsafat, llmu, dan Filsafat llmu


dikuasainya.
3.5.5. Hubungan Filsafat, llmu, Filsafat llmu
dengan Antropologi

Antropologi membahas segala aspek hubungan manusia. Filsafat menelaah


segala yang mungkin dipikirkan oleh manusia. Manusia adalah homo oeconomicus
bagi manajemen yang tujuannya menelaah kerja sama antar manusia.
Ilmu hanya dapat maju apabila masyarakat dan peradaban berkembang.
Antropologi membahas manusia dan kebudayaan dari suatu masyarakat yang pada
masa lalu hingga masa kini. Kebudayaan didefinisikan untuk pertama kali oleh E.B.
Taylor pada tahun 1871, di dalam kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan
kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak. Adanya
kehidupan inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Menurut Ashley Montagu, kebudayaan
mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya.
Menurut Maslow mengidentifikasikan lima kelompok kebutuhan manusia
yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri, dan pengembangan potensi.
Pada hakikatnya, menurut Mavies dan John Biesanz, kebudayaan merupakan alat
penyelamat kemanusiaan di

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


muka bumi. Manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang di dalamnya
terkandung "dorongan- dorongan hidup" yang dasar, insting, perasaan, dengan pikiran,
kemauan, dan fantasi. Budi inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan suatu
hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian
terhadap objek dan kelebihan.
Nilai-nilai budaya ini adalah dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap
wujud kebudayaan. Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan
kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang terkandung. Kebudayaan sangat
erat hubungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam suatu
kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Dari kegiatan belajar itu
diteruskan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya, dari waktu
ke waktu. Kebudayaan yang lalu bereksistensi pada masa kini
dan disampaikan pada masa yang akan datang.
3.5.6. Hubungan Filsafat, llmu, dan Filsafat llmu dengan
llmu Politik
Politik dapat dikatakan sebagai filsafat karena dalam mempelajari politik
diperlukan cara berpikir yang kompleks sistematis serta politik adalah sebuah ilmu yang
menyangkut salah satu aspek kehidupan manusia berkaitan dengan kemenangan yang
perlu di analisis secara kritis.
Politik juga dapat dikatakan sebagai suatu ilmu karena politik memenuhi syarat
sebagai sebuah ilmu. Van Dyke

60 Filsafat, llmu, dan Filsafat llmu


menyatakan politik sebagai ilmu dengan mengemukakan tiga syarat yakni (i)
variability, (ii) sistematis, dan (iii) generality.
Pertama, variability. Politik dapat diuji oleh banyak spesialis dalam bidang ilmu
yang bersangkutan sehingga menimbulkan keyakinan yang mantap, baik bobot maupun
pengakuan dan dapat menjadi dasar bagi prediksi.
Kedua, sistematis. Pengetahuan dikatakan sistematis jika diorganisir ke dalam
pola/struktur dengan hubungan yang jelas, kepedulian terhadap sistem berarti para ahli
ingin meneruskan dari fakta-fakta yang khusus ke yang umum, dari pengetahuan fakta-
fakta yang terpisah menuju pengetahuan hubungan antara fakta-fakta tersebut. Hal ini
sesuai dengan tujuan ilmu yaitu mencapai suatu hubungan antarfakta yang sistematis.
Ketiga, generality. Alasan untuk menekankan pada generality ini berkaitan dengan
tujuan utama karya ilmiah yaitu memberikan eksplanasi dan prediksi. Eksplanasi dan
prediksi membutuhkan penggunaan generalisasi yang implisit (misalnya, acuan pada
peraturan, hukum, atau teori). Objek dalam ilmu adalah untuk mengembangkan
generalisasi sehingga eksplanasi dan prediksi dapat terjadi dengan tingkat kemungkinan
yang maksimal.
Politik adalah sebuah ilmu yang memerlukan segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Selain itu politik suatu bidang
pengetahuan campuran yang eksistensi pemekarannya bergantung pada hubungan
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu sehingga terjadi relevansi antara
politik dan filsafat ilmu.
3.5.7. Hubungan Antara llmu Alam, Sosial, dan Humaniora
Selama bertahun-tahun, ilmu-ilmu sosial telah menjadi arena bagi sejumlah kritik,
di mana kritik yang dilontarkan bermacam-macam, mulai dari keraguan tentang kegiatan
ahli ilmu sosial karena "tidak mungkin" sampai pada kebenaran pasti. Pembahasan ini
mencoba memberikan gambaran terhadap pokok permasalahan penting yang disuarakan
oleh para kritikus yang ragu terhadap status keilmuan dari ilmu-ilmu sosial.
Argumentasi mereka yang berpendapat bahwa gejala sosial adalah terlalu rumit
untuk diselidiki secara keilmuan, suatu kritik yang kadang- kadang dimulai dengan suatu
pendapat bahwa hukum ilmu-ilmu sosial, jika memang ada, paling jauh hanya berupa
"semata-mata kemungkinan". Kadang orang menganggap bahwa kegagalan ilmu dalam
menerapkan hukum yang non-probabilitas adalah disebabkan oleh rumitnya gejala yang
harus dihadapi, suatu hal yang kontras sekali bila dibandingkan dengan bidang keilmuan
dari disiplin-disiplin lain yang lebih beruntung. Adakah dasar bagi kritik ini?
Sebenarnya kritik ini agak sukar untuk dinilai karena beberapa kritikus yang
melontarkannya mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Sebagai contoh, beberapa
kritikus tidak saja menyerang rumitnya gejala sosial sebagai dasar untuk menyimpulkan
bahwa ilmu-ilmu sosial adalah tidak mungkin, namun juga menyerang ilmu yang me-

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


nurut mereka tidak mungkin karena rumitnya suatu gejala. Dalam hal ini maka bukan
hanya perilaku manusia yang terlalu kompleks, namun di dalamnya juga termasuk ilmu
yang bukan sosial, seperti liku-liku dari pola sehelai daun, permainan cahaya dan bayang-
bayang. Ada baiknya untuk meninggalkan thesis tersebut sebelum mempelajari tuduhan
serupa yang hanya menempatkan ilmu-ilmu sosial dalam suatu kedudukan yang kurang
menguntungkan ini. Sedangkan untuk ilmu humaniora, Elwood mendefinisi- kan
'humaniora' sebagai seperangkat perilaku moral manusia terhadap sesamanya. Ia juga
percaya bahwa definisi ini juga mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk yang
mempunyai kedudukan di dalam ekosistem, namun sekaligus juga amat tergantung pada
ekosistem itu dan dia sendiri merupakan bagiannya. Oleh karena itu, pengertian
humaniora menjadi hubungan trisula atau bercabang tiga, yakni: (i) Hubungan manusia
dengan sang Khalik; (ii) Hubungan manusia dengan sesamanya, dan dengan alam;
(iii) Hubungan manusia dengan alam baik makhluk yang jasad-jasad hidup, maupun
benda-benda mati.
Argumentasi mengenai ketidakmungkinan semua ilmu maupun ilmu sosial ditinjau
dari segi deskripsi yang kasar, keunikan maupun objek, abstraksi, pemutarbalikan
penelaah keilmuan dan ketidakmampuan untuk menangkap kenyataan, semua didasarkan
untuk menangkap kenyataan, yang umumnya didasarkan pada anggapan salah tentang
hakikat ilmu.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu

63
3.6. Ringkasan
Filsafat, secara etimologi berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam
pengertian yang sedalam-dalamnya. Secara terminologi, filsafat adalah ilmu pengetahuan
mengenai segala sesuatu dengan memandang sebab-sebab terdalam tercapai dengan budi
murni.
Ruang lingkup filsafat dipilahkan dalam dua objek yaitu: (i) objek formal, dan (ii)
objek material.
Filsafat adalah segala sesuatu yang nyata. Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang
disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris.
Objek dan ruang lingkup ilmu membatasi pada pengkajian. Cabang- cabang ilmu
berkembang dari dua cabang utama yaitu (i) filsafat alam, dan
(ii) filsafat moral.
Filsafat alam yang kemudian menjadi kumpulan ilmu- ilmu alam (the natural
science). Sedangkan filsafat moral yang kemudian berkembang dalam cabang-cabang
ilmu sosial (the social science).
Filsafat ilmu adalah teory of science (teori ilmu), meta science (adi-ilmu),
science of science (ilmu tentang ilmu).
Filsafat ilmu menampung permasalahan yang menyangkut berbagai hubungan
keluar dan kedalam yang terdapat dalam kegiatan ilmiah.
Ruang lingkup filsafat ilmu menurut para filsuf antara lain: (i) ilmu mempunyai
empat bidang konsentiasi yang utama (Peter Angeles); (ii) ilmu mempunyai beberapa
bidang yaitu logika ilmu, ilmu kealaman (A. Coenelius Benjamin); (iii) ada tiga bidang
filsafat ilmu (Israel

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


64
Scheffler); dan (iv) filsafat ilmu dianggap mempunyai dua komponen utama (U.C Smart).
Perbedaan filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu antara lain adalah: (i) Filsafat itu
membahas akal budi murni dan memandang sebab tersebut secara mendalam; (ii) Ilmu
merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten, sistematis, dan
empiris; (iii) Filsafat ilmu membahas segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala kehidupan manusia.
Hubungan filsafat, ilmu, filsafat ilmu dengan antropologi dan ilmu politik antara
lain: (i) antropologi membahas segala aspek tentang manusia sedangkan filsafat menelaah
tentang segala yang mungkin dipikirkan manusia. Ilmu hanya dapat maju apabila
masyarakat berkembang dan berperadaban; dan (ii) dalam antropologi dibahas tentang
manusia dan kebudayaannya dalam suatu masyarakat. Filsafat ilmu merupakan metode
penalaran dari suatu lambang atau struktur penalaran dari suatu bidang studi, misalnya
studi antropologi.
Ilmu politik mempelajari salah satu aspek kehidupan manusia antara manusia
tentang kewenagan sehingga diperlukan analisis yang jelas dalam menelaahnya dan
menurut van Dyike politik memenuhi syarat sebagai suatu ilmu karena memiliki
variability, systematic, dan generality.
Selain itu, ilmu politik merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang
pengembangannya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara
filsafat dan ilmu, sehingga terjadi relevansi antara politik dan filsafat ilmu.
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
65
BAB IV

Landasan Penelaahan Ilmu:


Ontologi, Epistemologi , dan
Aksiologi

4.1. Deskripsi
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakikat
ilmu. Filsafat ilmu hendak menjawab pertanyaan- pertanyaan mengenai hakikat ilmu
tersebut, antara lain: (i) objek apa yang ditelaah ilmu; (ii) bagaimana memperoleh
ilmu; dan (iii) untuk apa ilmu digunakan.
Pertama, sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan objek yang ditelaah
ilmu antara lain: bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan
objek dengan daya tangkap manusia (misalnya berpikir, merasa, dan mengindra)?
Kedua, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang
berupa ilmu antara lain dengan pertanyaan: bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa
yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang
disebut kebenaran itu sendiri? Apa
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
kriterianya? Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?
Ketiga, untuk apa ilmu itu dipergunakan antara lain diperkaya dengan pertanyaan-
peranyaan: bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berda- sarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode
ilmiah dan norma- norma moral/profesional?
Keempat, kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan-landasan ilmu, yakni
kelompok pertama merupakan landasan ontologi, kelompok kedua merupakan landasan
epistemologi, dan kelompok yang terakhir merupakan landasan aksiologi ilmu
pengetahuan.
4.2. Tujuan Pembelajaran

Pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang landasan penelaahan ilmu
terdiri dari ontologi ilmu, epistemologi ilmu, dan aksiologi ilmu. Ketiga hal tersebut
diuraikan dalam upaya untuk menggambarkan hakikat keberadaan ilmu.

4.3. Landasan Penelaahan llmu


Secara singkat uraian landasan ilmu itu adalah sebagai berikut: (i) Landasan
ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu harus
mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena diversivikasi ilmu terjadi atas dasar
spesifikasi objek telaahannya maka tiap disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang
berbeda; (ii) Landasan epistemologi adalah cara yang digunakan
68 Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Secara umum,
metode ilmiah pada dasarnya untuk semua disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan
induksi-deduksi-verifikasi seperti telah diuraikan di atas; dan (iii) Landasan aksiologi
adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi
kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu
terhadap pengembangan ilmu itu
dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
4.3.1. Ontologi llmu
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni o ntos dan logos. Ontos berarti sesuatu
yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau
teori tentang wujud hakikat yang ada. Menyoal tentang wujud hakiki objek ilmu dan
keilmuan (setiap bidang ilmu dalam jurusan dan program studi) itu apa? Objek ilmu atau
keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindra. Jadi objek
ilmu adalah pengalaman indrawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada
logika semata.
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda
bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan "apa sebenarnya realitas benda itu?
apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?" "Apakah kedudukan ilmu
dalam ruang yang-ada ini?". "Benarkah ilmu itu ada?" "Apakah konsep ilmu sebagai
kajian tentang kausalitas itu bermakna di tengah ruang

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

69
yang-ada yang tidak terbatas itu?" "Kausalitas (ilmiah) yang terlalu terbatas!" IPTEK
baru mampu mengeksplorasi alam semesta ini sekitar 1% saja, dan 99% alam semesta ini
masih misteri (Feyerebend).
Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam
filsafat, antara lain: (i) Filsafat Materialisme; (ii) Filsafat Idealisme;
(iii) Filsafat Dualisme; (iv) Filsafat Skeptisisme; dan (v) Filsafat Agnostisisme.
Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa pokok permasalahan yang menjadi
objek kajian filsafat mencakup tiga segi, yakni (a) logika (benar- salah), (b) etika (baik-
buruk), dan (c) estetika (indah-jelek). Ketiga cabang utama filsafat ini lanjut
Suriasumantri, kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang
hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya
terangkum dalam metafisika; kedua, kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan
yang ideal, terangkum dalam politik. Kelima cabang filsafat ini-logika, etika, estetika,
metafisika dan politik-menurut Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi
cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang disebut
filsafat ilmu.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan
teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea
yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato
mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal
yang berlaku untuk
tiap-tiap kuda yang ada di

70Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup
ataupun yang sudah mati. Idea kuda itu adalah paham, gambaran atau konsep universal
yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua mana pun di dunia ini.
Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato adalah badan
hidup yang kita kenal dan dapat berpikir. Dengan kata lain, idea manusia adalah
"binatang berpikir". Konsep binatang berpikir ini bersifat universal, berlaku untuk seluruh
manusia besar-kecil, tua- muda, lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia, India, Cina, dan
sebagainya. Tiap- tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang merupakan
hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-idea itu berada di balik yang
nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang kita lihat atau yang dapat ditangkap
dengan pancaindra senantiasa berubah. Karena itu, ia bukanlah hakikat, tetapi hanya
bayangan, kopi atau gambaran dari idea-idea- nya. Dengan kata lain, benda-benda yang
dapat ditangkap dengan panca-indra ini hanyalah khayal dan ilusi belaka.
Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354-430 M). Menurut
Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini ada
kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui apa yang benar,
tetapi terkadang pula merasa ragu- ragu bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu
kebenaran. Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu
kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah), dan itulah yang
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

71
menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui apa yang benar.
Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak. Kebenaran mutlak inilah oleh
Augustine disebut Tuhan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato,
dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara
penampakan (apreance) dengan kenyataan (reality). Thales terkenal sebagai filsuf yang
pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya
bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga
sesuatu itu tidak dapat dianggap ada berdiri sendiri).
Hakikat kenyataan atau realitas memang dapat didekati ontologi dengan dua
macam sudut pandang: (i) kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan
itu tunggal atau jamak? (ii) Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan
(realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna
kehijauan, bunga mawar yang beraroma harum.
Ontologi, secara sederhana dapat dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Aspek ontologi dari ilmu pengetahuan
tertentu hendaknya diuraikan antara lain secara: (a)
Metodis; menggunakan cara ilmiah; (b) Sistematis; saling berkaitan satu

72Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan; (c) Koheren; unsur- unsurnya tidak
boleh mengandung uraian yang bertentangan; (d) Rasional; harus berdasar pada kaidah
berpikir yang benar (logis); (e) Komprehensif; melihat objek tidak hanya dari satu
sisi/sudut pandang, melainkan secara multidimensional-atau secara keseluruhan (holistik);
(f) Radikal; diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya; (g) Universal; muatan
kebe- narannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.
Beberapa aliran dalam ontologi, yakni realisme, naturalisme, dan empirisme.
Istilah-istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah: (i) yang-ada (being); (ii)
kenyataan/ realitas (reality); (iii) eksistensi (existence);
(iv) esensi (essence); (v) substansi (substance); (vi) perubahan (change); (vii) tunggal
(singular, one); dan (viii); jamak (plural/many).
Adapun karakteristik (ontologi) ilmu pengetahuan antara lain adalah:
(i) ilmu berasal dari riset (penelitian); (ii) tidak ada konsep wahyu; (iii) adanya konsep
pengetahuan empiris; (iv) pengetahuan rasional, bukan keyakinan; (v) pengetahuan
objektif; (vi) pengetahuan sistematik; (vii) pengetahuan metodologis; (viii) pengetahuan
observatif (observable); (ix) menghargai asas verifikasi (pembuktian); (x) menghargai
asas eksplanatif (penjelasan); (xi) menghargai asas keterbukaan dan dapat diulang
kembali;
(xii) menghargai asas skeptikisme yang radikal; (xiii) melakukan pembuktian bentuk
kausalitas (causality); (xiv) mengakui pengetahuan dan konsep yang relatif (bukan
absolut); (xv) mengakui adanya logika-logika ilmiah; (xvi)
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
memiliki berbagai hipotesis dan teori-teori ilmiah; (xvii) memiliki konsep tentang
hukum-hukum alam yang telah dibuktikan; (xviii) pengetahuan bersifat netral atau tidak
memihak; (xix) menghargai berbagai metode eksperimen, dan (xx) melakukan terapan
ilmu menjadi teknologi.
Ontologi ilmu, layak dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara
menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya
antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu
teknik dan sebagainya).
4.3.2. Epistemologi llmu
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara
memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang
membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber
pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti
atau membahas tentang tata-cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.
Tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan adalah dengan metode
non-ilmiah, metode ilmiah dan metode problem solving. Pengetahuan yang diperoleh
melalui pendekatan/metode non-ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara
penemuan secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal sehat (common
sense); prasangka; otoritas (kewibawaan); dan pengalaman biasa.

Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

74
Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif
dan induktif. Sedangkan metode problem solving adalah memecahkan masalah dengan
cara mengidentifikasi permasalahan; merumuskan hipotesis; mengumpulkan data;
mengorganisasikan dan menganalisis data; menyimpulkan dan conlusion; melakukan
verifikasi, yakni pengujian hipotesis. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-
teori, prinsip-prinsip, generalisasi dan hukum-hukum. Temuan itu dapat dipakai sebagai
basis, bingkai atau kerangka pemikiran untuk menerangkan, mendeskripsikan,
mengontrol, mengantisipasi atau meramalkan sesuatu kejadian secara lebih tepat.
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, teori.
Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menjelaskan masalah-masalah filosofis
yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep- konsep ilmu, ragam ilmu yang
bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (objek).
Dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal usul, asumsi
dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting
dalam menanyakan apa yang dapat kita ketahui sebelum menjelaskannya. Pertanyakan
dulu secara kritis, baru diyakini. Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti ada,
baru dijelaskan. Berpikir dulu, baru yakini atau tidak. Ragukan dulu, baru yakini atau
tidak.
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

75
Pertanyaan utama epistemologi jenis ini adalah, apa yang benar-benar sudah kita
ketahui dan bagaimana cara kita mengetahuinya? Epistemologi ini tidak peduli apakah
batu di depan mata kita adalah penampakan atau bukan. Yang ia urus adalah bahwa
ada batu di depan mata kita dan kita teliti secara sainstifik, kemudian menentukan
sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan
karakter pengetahuan, bahkan menentukan "kebenaran" macam yang dianggap patut
diterima dan apa yang patut ditolak. Menurut Keith Lehrer secara historis terdapat tiga
perspektif dalam epistemologi yang berkembang di Barat, yaitu: (i) dogmatic
epistemology; (ii) critical epistemology; dan (iii) scientific epistemology.
Pertama, dogmatic epistemology adalah pendekatan tradisional terhadap
epistemologi, terutama Plato. Dalam perspektif epistemologi dogmatik, metaphysics
(ontologi) diasumsikan dulu ada, baru kemudian ditambahkan epistemologi. Setelah
realitas dasar diasumsikan ada, baru kemudian ditambahkan epistemologi untuk
menjelaskan bagaimana kita mengetahui realitas tersebut. Pertanyaan utama epsitemologi
jenis ini: Apa yang kita ketahui? Lalu bagaimana cara kita mengetahuinya? Singkatnya,
epistemologi dogmatik menetapkan ontologi sebelum epistemologi.
Untuk melihat contoh cara kerja epistemologi jenis ini, silakan lihat karya Plato,
Theaetetus, terutama ketika ia menganalisis pengetahuan sebagai opini yang benar, forms
sebagai the ultimate reality yang bermuara pada definisi bahwa pengetahuan adalah
sebagai kesadaran intuitif
Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
76
terhadap forms.
Kedua, critical epistemology. Revolusi dari epistemologi dogmatik ke epistemologi
kritis diperkenalkan oleh Rene Descartes. Descartes membalik epistemologi dogmatik
dengan menanyakan apa yang dapat kita ketahui sebelum menjelaskannya. Pertanyakan
dulu secara kritis, baru diyakini. Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti ada,
baru dijelaskan. Berpikir dulu, baru yakini atau tidak. Ragukan dulu, baru yakini atau
tidak. Descartes menganut the immediacy theses, bahwa apa yang kita ketahui adalah
terbatas pada ide-ide yang adalah jiwa kita ( our own minds). Metode Descartes disebut
juga metode skeptis. Yakni, skeptis bahwa kita dapat mengetahui secara langsung objek
di luar diri kita tanpa melalui jiwa kita. Tesis ini dikembangkan oleh David Hume dengan
teori primary qualities dan secondary qualities. Pertanyaan utama epistemologi jenis ini:
Apa yang dapat kita ketahui? Dapatkah kita mengetahuinya? Mungkinkah kita dapat
mengetahui sesuatu di luar diri kita? Singkatnya, epistemologi kritis menetapkan ontologi
setelah epistemologi.
Reid menolak tesis ini dengan berargumen bahwa kita mempunyai pengetahuan
langsung tentang dunia luar (the external world). Menurut Reid, kita tidak melihat
penampakan objek, tapi objek itu sendiri.
Contoh karya Descartes, Meditations, dan karya Hume, Inquiry Into the Human
Understanding (terutama "The Sections on Perception and Scepticism”). Karya Reid, Inquiry
and Essays (Selected Sections on Perception).
Ketiga, scientific epistemology. I argue that there is a third

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


approach to epistemology where theories about what we can know and theories about what is
real are given equal status, that is, neither is assumed to be prior to the other. Consequently, a
theory of knowledge should explain how we know those things which we most clearly do know
and at the same time provide a critical standard of evaluation for knowledge claims.
Pertanyaan utama epistemologi
jenis ini adalah, apa yang benar-benar sudah kita ketahui dan
bagaimana cara kita mengetahuinya? Epistemologi ini tidak peduli apakah batu di
depan mata kita adalah penampakan atau bukan. Yang ia urus adalah bahwa ada
batu di depan mata kita dan kita teliti secara sainstifik.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang justifikasi
kebenaran pengetahuan atau kepercayaan. Untuk menemukan kebenaran dilakukan
sebagai berikut (AR Lacey): (i) Menemukan kebenaran dari masalah; (ii)
Pengamatan dan teori untuk menemukan kebenaran; (iii) Pengamatan dan
eksperimen untuk mene- mukan kebenaran; (iv) Falsification atau operasionalism
(experimental operation, operation research); (v) Konfirmasi kemungkinan untuk
menemukan kebenaran; (vi) Metode hipotetico-deduktif; (vii) Induksi dan
presuposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta.
4.3.3. Aksiologi llmu
Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau
nilai suatu kehidupan. Aksiologi disebut juga teori nilai, karena ia dapat menjadi
sarana orientasi manusia dalam usaha
menjawab suatu pertanyaan

78Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


yang amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak? Teori nilai
atau aksiologi ini kemudian melahirkan etika dan estetika. Dengan kata lain, aksiologi
adalah ilmu yang menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan itu. Secara
moral dapat dilihat apakah nilai dan kegunaan ilmu itu berguna untuk peningkatan
kualitas kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia atau tidak. Nilai-nilai (values)
bertalian dengan apa yang memuaskan keinginan atau kebutuhan seseorang, kualitas dan
harga sesuatu, atau appreciative responses.
Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam
rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat
disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu dalam meningkatkan kualitas hidup
manusia.
Ilmu pengetahuan itu hanya alat (means) dan bukan tujuan (ends). Substansi ilmu itu
bebas nilai (value-free), tergantung pada pemakaiannya. Karena itu, sangat dikhawatirkan
dan berbahaya jika ilmu dan pengetahuan yang sarat muatan negatif dikendalikan atau
jatuhnya ke orang- orang yang berakal picik, sempit, dan sektarian; berjiwa kerdil, kumuh
dan jahat, bertangan besi dan kotor. Sekarang coba kita lihat, di berbagai bidang terjadi
krisis: ketidakberdayaan, kemerosotan, kebodohan, keresahan, kemiskinan, kesakitan,
keterbelakangan, ketidakpercayaan, dan lainnya sebagai dampak missmanagement,
missdirec- tion, missmanipulation, dan lain sebagainya.
Tujuan dasarnya adalah menemukan kebenaran atas fakta "yang ada" atau sedapat
mungkin ada kepastian ke-
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
benaran ilmiah.
Contoh: pada Ilmu Mekanika Tanah dikatakan bahwa kadar air tanah memengaruhi
tingkat kepadatan tanah tersebut. Setelah dilakukan pengujian laboratorium dengan
simulasi berbagai variasi kadar air ternyata terbukti bahwa teori tersebut benar. Ilmu ini
bermanfaat meningkatkan kesejahteraan dalam bidang pertanian
4.4. llmu Pengetahuan Kembali ke Filsafat
Mengapa disarankan kembali menyinergikan lagi kepada induk ilmu pengetahuan
yakni filsafat? (i) Ilmu pengetahuan pada zaman modern telah berkembang begitu
pesatnya sampai terperangkap pada krisis ilmu pengetahuan (John Horgan), sehingga
terdapat banyak saran untuk mendorong ilmu kembali bersatu dengan filsafat; (ii) Setelah
adanya perseteruan yang panjang antara Ilmu dengan Agama, terutama pada zaman abad
pertengahan dan membias sampai sekarang, disarankan ilmu kembali ke filsafat; (iii)
positivisme gagal menjelaskan gejala alam dan non-alam, diusulkan ilmu kembali
menyatu dengan filsafat, ilmu-ilmu humaniora sangat keberatan dengan konsep dan teori-
teori dari paradigma positivisme (Bertrand Russell, dan Thomas Kuns). (iv) keharusan
melakukan revolusi ilmu dengan melakukan peninjauan terhadap paradigma; keharusan
mengkritisi positifisme; (v) peninjauan verifikasi kausalitas; (vi) berkembangnya teori
clonning dalam biologi; (vii) spesialisasi ilmu dan integrasi ilmu; (viii) ilmu terapan dan
teknologi; (ix) terus berkembang peradaban baru dan iptek; (x) teknologi dunia maya

Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

80
atau komputer atau internet.

4.5. Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dengan llmu


Politik
Ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang segala sesuatu yang berada.
Ontologi memiliki banyak pembagian baik itu berdasarkan jumlah, sifat, maupun
berdasarkan proses. Epistemologi adalah merupakan salah satu cabang filsafat yang
mempelajari secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur,
metode, dan validitas pengetahuan. Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Atau dapat juga diartikan ilmu yang
menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan.
Relevansi Ilmu Politik dengan ketiganya (ontologi, epistemologi, dan aksiologi)
adalah sama-sama mempelajari tentang hakikat manusia dalam masyarakat politik. Ilmu
politik berelevansi dengan ontologi karena ontologi mempelajari sesuatu yang berada,
misalnya Ilmu Politik mempelajari tentang semua teori politik pada masa yang lalu,
sekarang, dan yang akan datang. Dalam ontologi membahas segala sesuatu ada
berdasarkan beberapa aliran, ada yang mengemukakan bahwa segalanya berasal dari satu
sumber. Thales mengungkapkan kenyataan yang terdalam adalah substansi, yaitu air.
Anaximander berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyatan terdalam adalah apeiron
yaitu sesuatu yang tidak batas, tidak dapat ditentukan dan tidak memiliki persamaan
dengan salah satu benda yang ada dalam dunia. Filsuf modern yang meng-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

81
anut aliran ini adalah B. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu
Tuhan. Aliran yang demikian disebut aliran Monisme.
Aliran yang menyatakan bahwa ada dua substansi disebut Dualisme, tokoh-
tokohnya adalah Plato, Rene Descrates, Leibinz, Imanuel Kant yang memilahkan bahwa
ada dua dunia, yaitu dunia sesungguhnya dengan dunia mungkin. Aliran yang ketiga
adalah Pluralisme yang menyatakan bahwa ada banyak substansi. Para filsuf yang
termasuk pluralisme adalah Empedokles, Anaxagoras. Sedangkan yang mempelajari
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan religi adalah aliran spiritualisme.
Spiritualisme di sini memiliki banyak arti, di antaranya bahwa kenyataan yang terdalam
adalah roh. Dapat juga digunakan untuk istilah keagamaan.
Mempelajari Ilmu Politik diperlukan suatu ilmu pengetahuan, informasi, penalaran,
maka di sinilah peran Epistemologi. Pengetahuan didapat dari pengamatan. Di dalam
pengamatan indrawi tidak dapat ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif.
Dikatakan bahwa sifat pengamatan adalah konkret seperti halnya Ilmu Politik yang
mempelajari sesuatu yang konkret artinya isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-
benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia.
Dasar ontologis ilmu. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu politik.
Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu politik melalui pengalaman
pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara em- piris. Objek materiil ilmu politik
ialah manusia seutuh-
82Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
nya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak
mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk
sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good
citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya). Agar ilmu politik dalam praktek
terbebas dari keragu- raguan, maka objek formal ilmu tersebut dibatasi pada manusia
seutuhnya di dalam fenomena atau situasi manusia dan politik.
Di dalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi
makhluk berperilaku individual dan atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal
itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro
yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem
nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan
inter dan antarpribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi
terlaksananya kegiatan politik dan manusia, yaitu kegiatan yang berskala mikro.
Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh
memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terlepas dari
faktor umum, jenis kelamin ataupun pembawaannya. Jika pendidik tidak bersikap afektif
utuh demikian maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang
(the missing link) atas faktor hubungan tersebut. Dengan begitu manusia dan politik hanya
akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal.
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu

83
Dasar epistemologis ilmu politik dan antropologi. Dasar epistemologis diperlukan
oleh para politisi untuk mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung
jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagian dapat dilakukan oleh tenaga
pemula, namun telaah atas objek formil ilmu politik memerlukan pendekatan
fenomenologis yang menjalin studi empirik dengan studi kuali- tatif-fenomenologis.
Pendekatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri
peneliti sebagai instrumen pengumpul data secara pascapositivis- me. Karena itu,
penelaah dan pengumpulan data diarahkan oleh politisi atau ilmuwan sebagai pakar yang
jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman
dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan
(kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomena pendidikan maka validitas internal harus
dijaga betul dalam berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi
eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian expost facto.
Inti dasar epistemologi ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan
objek formalnya, telaah ilmu politik dan antropologi tidak hanya mengembangkan ilmu
terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu politik dan sebagai ilmu otonom
yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat
hanya menggunakan pendekatan kuantitatif ataupun eksperimental (Campbell & Stanley,
1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diper-
Landasan Penelaahan llmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
lukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau
pragmatis (Randall &Buchler,1942).
Dasar aksiologis ilmu politik. Kemanfaatan teori politik tidak hanya perlu sebagai
ilmu yang otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya
bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu,
nilai ilmu politik tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni,
melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan
bertindak dalam praktik melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan me-
ningkatkan pengaruh yang positif dalam politik. Dengan demikian ilmu-ilmu tersebut
tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis. Dalam hal ini relevan
sekali untuk memerhatikan politik sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh
Phenix (1966). Namun, harus diakui bahwa ilmu politik belum jauh pertumbuhannya
dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku, khususnya di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmu politik lebih dekat kepada ilmu perilaku kepada ilmu-ilmu
sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat
unifikasi satu-satunya metode ilmiah (Karl Pearson, 1990).
4.6. Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi
dengan llmu Antropologi
Relevansi Antropologi dengan ketiganya adalah sama- sama mempelajari tentang
manusia. Antropologi berele- vansi dengan ontologi karena ontologi mempelajari sesuatu

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu


yang berada. Misalnya Antropologi mempelajari tentang semua kebudayaan manusia
dulu, sekarang, dan yang akan datang. Dalam Ontologi membahas segala sesuatu ada
berdasarkan beberapa aliran, ada yang mengemukakan bahwa segalanya berasal dari satu
sumber. Thales mengungkapkan kenyataan yang terdalam adalah substansi, yaitu air.
Anaximander berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan terdalam adalah Apeiron
yaitu sesuatu yang tidak terbatas, tidak dapat ditentukan dan tidak memiliki persamaan
dengan salah satu benda yang ada dalam dunia. Filsuf modern yang menganut aliran ini
adalah B. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Aliran yang
demikian disebut aliran monisme.
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian
mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan
mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita.
Misalnya, ia melihat manusia, kemudian menga- takan itu adalah manusia. Ini berarti ia
telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut
mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana
susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih
terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan
tubuh manusia, jawabannya berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya
atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya,
jawabannya berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau
Landasan Penelaahan llmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

86
antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya, jawabannya berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya
atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas tampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau
disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu.
Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau
apa hakikat manusia itu, maka jawabannya berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang
dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan
sesama manusia, tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan
hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada
menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat
ini. Jawaban yang dikemukan antara lain: (i) monisme; (ii) dualisme; (iii) triadisme, dan
(iv) pluralisme.
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga
bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan
aliran spiritualisme, materialisme, atomisme. Dualisme, yang mengajarkan bahwa
manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain,
misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan. Triadisme, yang
mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas,

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 87


misalnya api, udara, air dan tanah.
Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat
digolongkan sebagai bernilai filsafati, antara lain: (i) Aristoteles; dan
(ii) Ernest Cassirer.
Aristoteles. Menurutnya Manusia adalah animal rationale. Karena, menurutnya, terdapat
beberapa tahap perkembangan:
1. Benda mati (—> tumbuhan -> binatang -> manusia).
2. Tumbuhan = benda mati + hidup (—> tumbuhan memiliki jiwa hidup).
3. Binatang = benda mati + hidup + perasaan (—> binatang memiliki jiwa perasaan).
4. Manusia = benda mati + hidup + akal (—> manusia memiliki jiwa rasional).
Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial. Manusia adalah "makhluk
hylemorfik", terdiri atas materi dan bentuk-bentuk.
Ernest Cassirer. Manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang yang
mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia
jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat
mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda
dan bukan simbol.
Telah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat.
Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (hasil pengkajian
filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal
manusia. Dengan akalnya
Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
ia tidak dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan
akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini
sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam kritiknya terhadap rasio yang mumi,
yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia
tidak tahu.
Mempelajari Antropologi diperlukan suatu ilmu pengetahuan, informasi,
penalaran, maka disinilah peran Epistemologi. Pengetahuan didapat dari pengamatan. Di
dalam pengamatan indrawi tidak dapat ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang
objektif. Dikatakan bahwa sifat pengamatan adalah konkret seperti halnya Ilmu Politik
dan Antropologi yang mempelajari sesuatu yang konkret artinya isi yang diamati adalah
sesuatu yang benar-benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan
manusia.
4.7. Ringkasan
Landasan ilmu adalah sebagai berikut, pertama, landasan ontologis adalah tentang
objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan
yang jelas. Karena diversivikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya
maka tiap disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang berbeda.
Kedua, landasan epistemologi adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau
menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Secara umum, metode ilmiah pada
dasarnya untuk semua disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan induksi-deduksi-
verifikasi.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


89
Ketiga, landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut
dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat
disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu serta dalam meningkatkan kualitas
hidup manusia.
Keempat, landasan logika ilmu. Ilmu pengetahuan diciptakan dan diperuntukkan
bagi dapat diterima oleh penalaran manusia (logis), rasional, atau masuk akal. Prinsip-
prinsip umum logika dipilahkan dalam logika deduksi (silogisme), dan logika induksi.
Relevansi Ilmu Politik dan Antropologi dengan ketiganya adalah sama- sama
mempelajari tentang hakikat manusia. Ilmu politik dan Antropologi mempunyai relevansi
dengan ontologi karena ontologi mempelajari sesuatu yang- ada. Mempelajari Ilmu
Politik dan Antropologi diperlukan suatu llmu pengetahuan, informasi, dan penalaran. Di
sinilah peran epistemologi. Pengetahuan didapat dari pengamatan. Di dalam pengamatan
indrawi tidak dapat ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Sifat pengamatan
adalah konkret seperti halnya Ilmu Politik dan Antropologi yang mempelajari sesuatu
yang konkret artinya isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-benar dapat diamati dan
terjadi dalam kehidupan manusia.

Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


Bab V

Struktur Ilmu Pengetahuan

5.1. Deskripsi
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak
langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar dibayangkan bagaimana kehidupan
manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber
jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan kita.
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan
manusia untuk memahami objek yang dihadapinya, hasil usaha manusia untuk memahami
suatu objek tertentu. Ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Inggris science, yang berasal
dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari,
mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga
menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik.
The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan
yang mencari penjelasan

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 91


secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan
pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.
Pengetahuan ilmiah mempunyai 5 (lima) ciri pokok sebagai berikut: (i) empiris; (ii)
sistematis; (iii) objektif; (iv) analitis; (v) verifikatif.

5.2. Tujuan Pembelajaran


Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang: (i) bangunan
(konstruksi) struktur ilmu pengetahuan; (ii) cara memperoleh ilmu pengetahuan melalui
metode ilmiah.

5.3. Bangunan llmu Pengetahuan


Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode
induktif-empiris dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Memang terdapat beberapa alasan
untuk mendukung penilaian yang populer ini, karena ilmuwan mengumpulkan fakta-fakta
yang tertentu, melakukan pengamatan, dan mempergunakan data indrawi. Walaupun
begitu, analisis yang mendalam terhadap metode keilmuwan akan menyingkapkan
kenyata- an, bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuwan dalam usahanya mencari
pengetahuan lebih tepat digambarkan sebagai suatu kombinasi antara prosedur empiris
dan rasional. Epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi, namun akan
diusahakan di sini, untuk memberikan analisis filosofis yang singkat dari metode
keilmuan, sebagai suatu teori pengetahuan.
Struktur Ilmu Pengetahuan

92
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah suatu cara dalam
memperoleh pengetahuan. Suatu rangkaian prosedur tertentu harus diikuti untuk
mendapatkan jawaban tertentu dari pertanyaan yang tertentu pula. Mungkin epistemologi
dari metode keilmuan akan lebih mudah dibicarakan, jika kita mengarahkan perhatian kita
kepada sebuah rumus yang mengatur langkah- langkah proses berpikir sekaligus menjadi
unsur-unsur dalam ilmu pengetahuan, yang diatur dalam suatu urutan tertentu.
Kerangka dasar prosedur ini dapat diurutkan dalam delapan langkah
sebagai berikut: (a) metode ilmiah; (b) teori; (c) hipotesis; (d) logika; (e) data- informasi;
(f) pembuktian; (g) evaluasi; dan (h) paradigma.
5.3.1. Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut
ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak
semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang
dinamakan metode ilmiah. Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui
sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi
metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

93
peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk
dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan
mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan; Apakah sumber-sumber
pengetahuan? Apa hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia
dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahapan mana pengetahuan
yang mungkin untuk ditangkap manusia?
Seperti diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan.
Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan cara bekerja
ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik tertentu yang
diminta oleh ilmu pengetahuan, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan. tubuh
pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal
ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara
berpikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.
Secara garis besar metode ilmiah ada dua macam, yaitu yang bersifat umum dan
metode penelitian ilmiah.

5.3.2. Metode ilmiah yang Bersifat Umum


Metode ilmiah yang bersifat umum dibagi dua, yaitu metode analitiko- sintesis dan
metode nondeduksi. Metode analitiko-sintesis merupakan gabungan dari metode analisis
dan metode sintesis. Metode nondeduksi merupakan gabungan dari metode deduksi dan
metode induksi.

Struktur Ilmu Pengetahuan


94
Apabila kita menggunakan metode analisis, dalam babak terakhir kita akan
mendapatkan pengetahuan analitis. Pengetahuan analitis itu ada dua macam, yaitu
pengetahuan analitik apriori dan pengetahuan analitik apos- teriori. Metode analisis
adalah cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan cara memilah-milah-
kan pengertian yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan analitis apriori misalnya,
definisi segitiga mengatakan bahwa segitiga itu merupakan suatu bidang yang dibatasi
oleh tiga garis lurus saling beririsan yang membentuk sudut berjumlah 180 derajat.
Pengetahuan analitis aposteriori berarti bahwa kita dengan menerapkan metode analisis
terhadap sesuatu bahan yang terdapat di alam empiris atau dalam pengalaman sehari-hari
memperoleh sesuatu pengetahuan tertentu. Misalnya, setelah kita mengamati sejumlah
kursi yang ada, kemudian kita berusaha untuk menentukan apakah yang dinamakan kursi
itu? Definisinya misalnya, kursi adalah perabot kantor atau rumah tangga yang khusus
disediakan untuk tempat duduk.
Pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode sintesis dapat berupa
pengetahuan sintesis apriori dan pengetahuan sintesis aposteriori. Metode sintesis adalah
cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan cara menggabungkan pengertian
yang satu dengan yang lainnya sehingga menghasilkan suatu pengetahuan yang baru.
Pengetahuan sintesis apriori misalnya, pengetahuan bahwa satu ditambah satu sama
dengan dua. Aposteriori menunjuk kepada hal-hal yang adanya berdasarkan atau terdapat
melalui pengalaman atau dapat dibuktikan de-
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

95
ngan melakukan sesuatu tangkapan indrawi. Pengetahuan aposteriori itu merupakan
pengetahuan yang diperoleh dengan cara menggabung- gabungkan pengertian yang satu
dengan yang lainnya menyangkut hal-hal yang terdapat dalam alam tangkapan indrawi
atau yang adanya dalam pengalaman empiris.
Metode deduksi adalah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan
jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan atas
ketentuan hal-hal yang bersifat umum. Metode induksi adalah cara penanganan terhadap
suatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan yang bersifat lebih umum
berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang lebih khusus.

5.3.3. Metode Penyelidikan Ilmiah


Metode penyelidikan ilmiah dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode penyelidikan
yang berbentuk daur/ metode siklus empiris dan metode vertikal atau yang berbentuk
garis lempang/metode linier.
Yang dinamakan metode siklus-empiris adalah suatu cara penanganan terhadap
suatu objek ilmiah tertentu yang biasanya bersifat empiris- kealaman dan penerapannya
terjadi di tempat yang tertutup, seperti di dalam laboratorium, dan sebagainya.
Metode vertikal/berbentuk garis tegak lurus atau metode linier/berbentuk garis
lempang digunakan dalam penyelidikan yang pada umumnya mempunyai objek
materialnya hal-hal yang pada dasarnya bersifat kejiwaan,

96 Struktur llmu Pengetahuan


yaitu yang lazimnya berupa atau terjelma dalam tingkah laku manusia dalam berbagai
bidang kehidupan seperti dalam biang politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Penerapan metode seperti ini apabila dikatakan mengambil bentuk bentuk garis tegak
lurus berarti suatu proses yang bertahap dan apabila dikatakan mengambil bentuk garis
lempang berarti proses yang bersifat setapak demi setapak. Penerapan metode ini diawali
dengan pengumpulan bahan penyelidikan secukupnya, kemudian bahan itu
dikelompokkan menurut suatu pola atau suatu bagan tertentu. Dalam babak terakhir kita
menarik kesimpulan yang umum berdasarkan atas pengelompokan bahan semacam itu
dan apabila dipandang perlu kita dapat pula mengadakan peramalan/prediksi yang
menyangkut objek penyelidikan yang bersangkutan. Penyelidikan semacam ini biasanya
dilakukan di alam
bebas atau di alam terbuka, yaitu kelompok manusia tertentu.
5.3.4. Teori
Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apa pun juga
teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang dimaksudkan di sini adalah
penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut. Teori merupakan
suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan
pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang
berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun
meyakinkannya, tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

97
dapat dinyatakan dengan benar.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu
faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Sebenarnya tujuan akhir dari tiap disiplin
keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan
konsisten, namun hal ini baru dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan saja seperti
umpamanya fisika. Bila dalam fisika saja keadaannya sudah seperti ini maka dapat
dibayangkan bagaimana situasi perkembangan penjelasan teoretis pada disiplin-disiplin
keilmuan dalam bidang sosial. Ilmu sosial pada kenyataannya terdiri dari berbagai teori
yang tergabung dalam suatu disiplin keilmuan yang satu sama lain belum membentuk
suatu perspektif teoretis yang bersifat umum. Teori-teori ini sering mempergunakan
postulat dan asumsi yang berbeda satu sama lain.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada hakikatnya
merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam
suatu kaitan sebab akibat. Pernyataan yang mencakup hubungan sebab akibat ini, atau
dengan perkataan lain hubungan kasualitas, memungkinkan kita untuk meramalkan apa
yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab. Secara mudah maka dapat kita
katakan bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang
"mengapa" suatu gejala-gejala terjadi. Sedangkan hukum memberikan kemampuan
kepada kita untuk meramalkan tentang "apa" yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah
yang berbentuk teori dan hukum ini harus mempunyai
Struktur Ilmu Pengetahuan

98
tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat universal. Dalam
usaha mengembangkan tingkat keumuman yang lebih tinggi ini maka dalam sejarah
perkembangan ilmu kita melihat berbagai contoh di mana teori-teori yang mempunya
tingkat keumuman yang lebih rendah disatukan dalam suatu teori umum yang mampu
mengikat keseluruhan teori tersebut. Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep,
maka makin "teoretis" konsep tersebut. Pengertian teoretis di sini dikaitkan gejala fisik
yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud. Artinya makin teoritis sebuah konsep maka
makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak
nyata.
Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam
langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dengan yang tidak. Secara
sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat
utama yaitu 1) Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak
terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan: dan 2) Harus cocok
dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak
didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

99
5.3.5. Hipotesis
Fakta tidak berbicara untuk diri mereka sendiri. Dalam dunia yang
ditelaah ilmu, sekelompok molekul atau sel tidak meloncat-loncat,
melambaikan tangan, bersuit- suit, dan mengatakan, "Hai, lihat saya! Di
sini! Saya adalah batu, atau pohon, atau kuda." Apanya suatu benda
tergantung kepada merek yang diberikan manusia kepada benda tersebut.
Bagaimana suatu benda dapat dijelaskan tergantung kepada hubungan
konseptual yang dipakai menyorot benda tersebut. Kenyataan ini
membawa kita kepada salah satu segi yang paling sulit dari metodologi
keilmuan yakni peranan dari hipotesis.
Hipotesis adalah pernyataan sementara tentang hubungan antar
variabel. Hubungan hipotesis ini diajukan dalam bentuk dugaan kerja, atau
teori, yang merupakan dasar dalam menjelaskan kemungkinan hubungan
tersebut. Hipotesis diajukan secara khas dengan dasar coba- coba (trial-
and-error). Hipotesis hanya merupakan dugaan yang beralasan, atau
mungkin merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu yang telah teruji
kebenarannya, yang kemudian diterapkan pada data yang baru. Dalam
kedua hal di atas, hipotesis berfungsi untuk mengikat data sedemikian
rupa, sehingga hubungan yang diduga dapat kita gambarkan, dan
penjelasan yang mungkin dapat kita ajukan. Sebuah hipotesis biasanya
diajukan dalam bentuk pernyataan "jika X, maka Y". Jika kulit manusia
kekurangan pigmen, maka kulit itu mudah terbakar saat disinari matahari.
Hipotesis ini memberikan penjelasan sementara paling tidak tentang
beberapa hubungan antara pigmentasi

100 Struktur Ilmu Pengetahuan

MILIK PERPUSTAKAAN
UIN SUNAN KAUJAGA
dengan sinar matahari. Hipotesis ini juga mengungkapkan kepada kita
syarat mana yang harus dipenuhi dan pengamatan apa yang diperlukan jika
kita ingin menguji kebenaran dari dugaan kerja tersebut.
Oleh karena itu, maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris
semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat
sementara. Sekiranya kita menghadapi suatu masalah tersebut, kita dapat
mengajukan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari
permasalahan tersebut. Secara teoretis maka sebenarnya kita dapat
mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakikat
rasionalisme yang bersifat pluralistik. Hanya di sini dari sekian hipotesis
yang diajukan itu hanya satu yang diterima berdasarkan kriteria kebenaran
keorespondensi yakni hipotesis
yang didukung oleh fakta- fakta empiris.
5.3.6. Logika
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan
pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai
dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan suatu
cara tertentu. Suatu
penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses
penarikan kesimpulan itu dilakukan menurut cara tertentu. Cara penarikan
kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat
didefinisikan sebagai "pengkajian untuk berpikir secara sahih". Lapangan
dalam logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus,
tepat, dan sehat. Agar dapat berpikir

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 101


lurus, tepat, dan teratur, logika menyelidiki, merumuskan serta
menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati. Berpikir adalah objek
material logika. Berpikir di sini adalah kegiatan pikiran, akal budi
manusia. Dengan berpikir, manusia 'mengolah', 'mengerjakan'
pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan mengolah dan
mengerjakannya, ini terjadi dengan mempertimbangkannya,
menguraikan, membandingkan, serta menghubungkan pengertian yang
satu dengan pengertian lainnya. Dalam logika berpikir dipandang dari
sudut kelurusan dan ketepatannya. Karena berpikir lurus dan tepat,
merupakan objek formal logika.
Logika menurut The Liang Gie (1980) dapat digolongkan menjadi
lima macam, yaitu (i) logika dalam pengertian luas dan sempit; (ii) logika
deduktif dan logika induktif; (iii) logika formal dan logika material; (iv)
logika mumi dan logika terapan; dan (v) logika filsafati dan logika
matematik.
Pertama, logika makna luas dan logika makna sempit. Dalam arti
sempit istilah tersebut dipakai searti dengan logika deduktif atau logika
formal. Sedangkan dalam arti yang lebih luas, pemakaiannya mencakup
kesimpulan- kesimpulan dari berbagai bukti dan tentang bagaimana sistem
penjelasan disusun dalam ilmu alam serta meliputi pula pembahasan
mengenai logika itu sendiri.
Kedua, logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif adalah
suatu ragam logika yang mempelajari asas- asas penalaran yang bersifat
deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan
sebagai kemestian
Struktur llmu Pengetahuan

102
dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuknya saja.
Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-
asas penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada
kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi (probabiliti).
Ketiga, logika formal dan logika material. Logika formal
mempelajari asas, aturan atau hukum-hukum berpikir yang harus ditaati,
agar orang dapat berpikir dengan benar dan mencapai kebenaran. Logika
material mempelajari langsung pekerjaan akal, serta menilai hasil-hasil
logika formal dan mengujinya dengan kenyataan praktis yang
sesungguhnya. Logika material mempelajari sumber- sumber dan asalnya
pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, dan
akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Logika formal
dinamakan juga logika minor, sedangkan logika material dinamakan
logika mayor. Yang disebut logika formal adalah ilmu yang mengandung
kumpulan kaidah cara berpikir untuk mencapai kebenaran.
Keempat, logika murni dan logika terapan. Logika mumi merupakan
suatu pengetahuan mengenai asas dan aturan logika yang berlaku umum
pada semua segi dan bagian dari pernyataan-pernyataan dengan tanpa
mempersoalkan arti khusus dalam sesuatu cabang ilmu dari istilah yang
dipakai dalam pernyataan dimaksud. Logika terapan adalah pengetahuan
logika yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu, bidang-bidang filsafat,
dan juga dalam pembicaraan yang mempergunakan bahasa sehari-hari.
Kelima, logika filsafati dan logika matematik.
Logika 103
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
filsafati dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau bagian logika yang
masih berhubungan sangat erat dengan pembahasan dalam bidang filsafat,
seperti logika kewajiban dengan etika atau logika arti dengan metafisika.
Adapun logika matematik merupakan suatu ragam logika yang menelaah
penalaran yang benar dengan menggunakan metode matematik serta
bentuk lambang yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna
ganda atau kekaburan yang terdapat
dalam bahasa biasa.
5.3.7. Data-informasi
Tahap ini merupakan sesuatu yang paling dikenal dalam metode
keilmuan. Disebabkan oleh banyaknya kegiatan keilmuan yang diarahkan
kepada pengumpulan data, maka banyak orang yang menyamakan
ilmuwan dengan pengumpulan fakta. Hasil observasi ini kemudian
dituangkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Pengamatan yang teliti
yang dimungkinkan oleh terdapatnya berbagai alat, yang dibuat manusia
dengan penuh akal, memberikan dukungan yang dramatis terhadap konsep
keilmuan sebagai suatu prosedur yang pada dasarnya adalah empiris dan
induktif. Tumpuan terhadap persepsi indra secara langsung atau tidak
langsung, dan keharusan untuk melakukan pengamatan secara teliti seakan
menyita perhatian kita terhadap segi empiris dari penyelidikan keilmuan
tersebut.
Penyusunan dan klasifikasi data. Tahap metode keilmuan ini
menekankan kepada penyusunan fakta dalam kelompok- kelompok, jenis-
jenis, dan kelas-kelas. Dalam

Struktur llmu Pengetahuan

104
semua cabang ilmu, usaha untuk mengidentifikasi, meng- analisis,
membandingkan, dan membedakan fakta-fakta yang relevan tergantung
kepada adanya sistem klasifikasi disebut taksonomi, dan ilmuwan modern
terus berusaha untuk menyempurnakan taksonomi khusus bidang keilmuan
mereka.
Deskripsi dan klasifikasi memang suatu hal yang pokok dalam ilmu,
tetapi adalah menyesatkan bila kita mengacaukan deskripsi dan
penyusunan ini dengan seluruh urutan kegiatan
yang merupakan metode keilmuan.
5.3.8. Pembuktian
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji
hipotesis tersebut dengan mengonfron- tasikannya dengan dunia fisik yang
nyata. Sering sekali dalam hal ini kita harus melakukan langkah perantara
yakni menentukan faktor- faktor apa yang dapat kita uji dalam rangka
melakukan verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis tersebut. Proses
pengujian ini seperti yang telah kita singgung sebelumnya merupakan
pengumpulan fakta- fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan.
Fakta- fakta ini kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita tangkap
secara langsung dengan pancaindra kita. Kadang- kadang kita memerlukan
instrumen yang membantu pancaindra kita umpamanya teleskop atau
mikroskop. Tidak jarang pula beberapa pembuktian ilmiah memerlukan
alat yang rumit sekali, sehingga sering terjadi bahwa hipotesis baru dapat
dibuktikan berapa lama kemudian setelah ditemukan alat yang dapat
membantu mengum-

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 105


pulkan fakta yang dibutuhkan. Hal ini pulalah yang me- nyebabkan
penelitian ilmiah menjadi berharga mahal, yang disebabkan bukan oleh
penyusunan teorinya, melainkan dalam pembuktiannya. Pembuktian inilah
sebenarnya yang memberi vonis terhadap teori ilmiah apakah pernyataan-
pernyataan yang dikandungnya dapat diterima kebenarannya atau ditolak
secara ilmiah.
Seorang ilmuwan pada mulanya selalu bersifat skeptis. Dia selalu
meragukan segala sesuatu. Jika kita mengemukakan kepadanya suatu teori
tertentu maka keraguan itu akan tercermin dalam sebuah pertanyaan:
Jelaskan kepada saya lalu berikan buktinya. Jadi pertama-tama dia
memerlukan penjelasan yang masuk akal dan tidak bersifat kontradiktif
dengan pengetahuan ilmiah yang telah diketahuinya. Setelah itu dia minta
pembuktian sebab konsistensi secara logis saja baginya tidak cukup, dia
menghendaki verifikasi secara empiris. Baru setelah penjelasan itu
ternyata didukung oleh fakta-fakta dalam dunia fisik yang nyata maka dia
akan percaya. Jadi secara sederhana proses berpikir seorang ilmuwan
dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang dimulai dengan ragu-ragu dan
diakhiri dengan percaya atau tidak percaya.
Hal ini berbeda dengan penelaahan pada bidang lain, umpamanya
agama, di mana pengkajian agama tidak dimulai dengan ragu-ragu
melainkan dimulai dengan percaya dan diakhiri dengan makin percaya atau
malah menjadi ragu. Mengapa agama mesti dimulai dengan rasa percaya
sedangkan ilmu dengan ragu-ragu? Kunci jawabannya terletak pada
daerah penjelajahan agama yang menjangkau
106Struktur llmu Pengetahuan
ke luar daerah pengalaman manusia. Dalam keadaan seperti ini maka
pengetahuan agama yang diwahyukan Tuhan harus diterima dulu sebagai
"hipotesis" yang kebenarannya kemudian diuji oleh kita. Proses pengujian
ini adalah tidak sama dengan pengujian ilmiah yang berdasarkan kepada
tangkapan pancaindra sebab pengujian kebenaran agama harus dilakukan
oleh seluruh aspek kemanusiaan kita seperti penalaran, perasaan, intuisi,
imajinasi di samping pengalaman. Demikian juga tidak semua pernyataan
keagamaan dapat diverifikasi seperti adanya malaikat dan hari kemudian
sebab hal ini berada di luar jangkauan pengalaman. Dengan demikian
maka kepercayaan keagamaan sangat bersifat personal dan subjektif,
berbeda dengan ilmiah yang bersifat impersonal dan objektif. Kedua
pengetahuan ini bersifat saling melengkapi dan memperkaya kehidupan
kita sesuai dengan hakikat dan kegunaannya masing-masing.
Pengujian kebenaran dalam ilmu berarti mengetes alternatif-
alternatif hipotesis dengan pengamatan kenyataan yang sebenarnya atau
lewat percobaan. Dalam hubungan ini maka keputusan terakhir terletak
pada fakta. Jika fakta tidak mendukung satu hipotesis, maka hipotesis yang
lain dipilih dan diproses ulang kembali. Hakim yang terakhir dalam hal ini
adalah data empiris: kaidah yang bersifat umum, atau hukum, haruslah
memenuhi persyaratan pengujian empiris. Tetapi kaum rasionalis tidak
menyerah dalam tahap pengujian kebenaran ini. Mereka mengemukakan
bahwa suatu hipotesis hanya baru dapat diterima secara keilmuan bila dia
konsisten dengan
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
107
hipotesis-hipotesis yang sebelumnya telah disusun dan teruji
kebenarannya.
5.3.9.Evaluasi
Evaluasi dalam hal ini yaitu penarikan kesimpulan yang merupakan
penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima.
Sekiranya dalam proses pengujian hipotesis terdapat fakta yang
mendukung maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam
proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung maka
hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi
bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan
keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.
Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya
bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Evaluasi juga dapat berupa penjelasan dari seluruh rangkaian
metode ilmiah. Setelah ilmuwan melakukan pengamatan, membuat
deskripsi dan mencatat data yang menurut dia adalah relevan dengan
masalahnya, dia menghadapi salah satu segi yang terpenting dari
usahanya, yakni memberikan penjelasan. Seperti kita lihat, keragaman
manusia dalam alam menyebabkan timbulnya beragam masalah.
Keragaman masalah ini menyebabkan kebutuhan untuk mengembangkan
berbagai alat untuk bermacam pengamatan dan deskripsi, juga di samping
itu, cara pe- ngumpulan data yang berbeda akan menghasilkan pen-

108
Struktur Ilmu Pengetahuan
jelasan yang berbeda pula yang dapat diterima dalam sistem ilmu.
Penjelasan dalam ilmu pada dasarnya adalah menjawab pertanyaan
"mengapa". Terdapat empat cara berbeda yang digunakan dalam ilmu
untuk menjawab pertanyaan ini, yakni penjelasan (i) deduktif, (ii) pro-
babilistik, (iii) genetis, dan (iv) fungsional. Tiap-tipe penjelasan ini
menjawab mengenai mengapa namun untuk pertanyaan yang berbeda-
beda.
Pertama, penjelasan deduktif adalah sebuah penjelasan
yang terdiri dari serangkaian pertanyaan di mana kesimpulan tertentu
disimpulkan setelah menetapkan aksioma atau postulat. Contoh yang
klasik adalah sebagai berikut: Semua manusia adalah fana. Socrates adalah
manusia. Oleh sebab itu, Socrates adalah fana. Fakta bahwa Socrates
adalah fana merupakan konsekuensi langsung karena dia adalah manusia.
Jadi pertanyaan "Mengapa Socrates fana?" dalam cara penjelasan ini
adalah karena dia manusia. Ilmuwan, jika menerima fakta semua manusia
fana, dan dia menemukan fakta bahwa Socrates adalah manusia, maka dia
dapat melakukan deduktif bahwa Socrates adalah fana. Walaupun begitu,
seorang ilmuwan tidak akan berhenti sampai di sini, dia akan berusaha
untuk mengembangkan beberapa tes untuk melihat apakah Socrates secara
fakta adalah fana. Penjelasan deduktif, meskipun merupakan alat yang
sangat berguna dalam beberapa cabang ilmu, dapat menyesatkan kita
karena cara itu hanya memperhatikan beberapa karakteristik dari gejala.
Terlebih lagi, hubungan logika belum tentu berlaku untuk hubungan
antarmanusia. Ahli ilmu sosial tidak
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
109
pernah menerima argumentasi deduktif tanpa pertama- tama memeriksa
benar tidaknya premis yang dipergunakan, umpamanya, bahwa semua
orang, faktanya memang fana- sebelum menguji bahwa Socrates secara
fakta adalah seorang manusia. Akhirnya, dia akan melakukan pengujian
tersendiri untuk melihat apakah Socrates memang benar- benar fana.
Penjelasan deduktif menjawab pertanyaan "mengapa" dengan
melakukan abstraksi dari karakteristik tertentu dan secara jelas
merumuskan hubungan antara tiap karakteristik tersebut. Penyusunan
model adalah usaha untuk meng- abstraksikan beberapa sifat semua gejala
yang terdapat dan kebanyakan model dalam ilmu mempergunakan metode
deduksi.
Kedua, penjelasan probabilistik (kemungkinan). Terdapat semacam
pertanyaan dalam ilmu yang tidak dapat dijawab secara pasti seperti yang
dilakukan dalam metode deduktif. Pertanyaan semacam ini hanya mungkin
dijawab dengan kata- kata seperti "mungkin", "hampir pasti", atau "dalam
batas 5%" dan jawaban ini disebut probabilistik. Hal ini terjadi bila kita
berurusan dengan sejumlah besar manusia, atau individu dengan
bermacam tingkah lakunya, di mana kita tidak tahu semua faktor yang
memengaruhi tindakan mereka.
Ketiga, penjelasan genetis. Penjelasan genetis menjawab pertanyaan
"mengapa" dengan apa yang telah terjadi sebelumnya. Umpamanya jika
kita ingin menerangkan mengapa seorang anak mempunyai tipe rambut
tertentu maka cara penjelasan genetis dapat dipakai di sini, yakni
Struktur Ilmu Pengetahuan

110
dengan memakai faktor keturunan yang dihubungkan dengan karakteristik
orang tua si anak tersebut. Ahli ilmu jiwa sering sekali memergunakan
penjelasan genetis ini. Mengapa manusia melakukan tindakan tertentu?
Jawaban yang baik terhadap pertanyaan ini mungkin didasarkan pada apa
yang terjadi padanya semasa kecil. Mengapa manusia melihat warna?
Mengapa manusia melihat? Pertanyaan semacam ini dapat dijawab dengan
penjelasan genetis dengan berusaha menerangkan hal-hal yang terjadi
sebelumnya. Karena hal inilah maka penjelasan genetis ini sering disebut
penjelasan historis.
Keempat, penjelasan fungsional. Bentuk penjelasan lain yang sering
dijumpai dalam ilmu, adalah penjelasan fungsional, yang memberikan
jawaban terhadap pertanyaan "mengapa" dengan jalan menyelidiki tempat
dari objek yang sedang diteliti dalam keseluruhan sistem di mana objek
tersebut berada. Jadi jika kita bertanya mengapa anak-anak sekolah
menghormati bendera, penjelasan fungsional antara lain memberikan
jawaban bahwa penghormatan tersebut akan menjadikan anak- anak itu
lebih patriotik, dan sifat lebih patriotik akan menjamin kelangsungan
bangsa dan cita-citanya. Patut ditandaskan di sini bahwa dari semua cara
penjelasan yang telah disebutkan di atas, tidak satu pun yang dapat
menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh ilmu. Oleh sebab itu,
maka para ilmuwan mempergunakan cara yang berbeda pula untuk
menjelaskan masalah yang berbeda. Kadang-kadang penelaahan keilmuan
telah selesai sebelum kita sempat menjelajahi semua bagian dari sistem
yang telah kita kem-
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
111
bangkan. Suatu masalah yang relatif sederhana, dengan suatu pengamatan
yang baik, mungkin dapat dijelaskan secara sederhana pula, di mana
secara langsung hipotesis dapat
ditolak atau diterima kebenarannya.
5.3.10. Paradigma
Secara umum pengertian paradigma adalah seperangkat kepercayaan
atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Guba, paradigma dalam ilmu
pengetahuan mempunyai definisi bahwa seperangkat keyakinan mendasar
yang memandu tindakan-tindakan manusia dalam keseharian maupun
dalam penyelidikan ilmiah. Paradigma dalam hal ini dibatasi pada
paradigma pencarian ilmu pengetahuan (discipline inquiry paradigm), yaitu
suatu keyakinan dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari
kebenaran realitas menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan.
Dalam mengembangkan suatu paradigma ilmu kita harus dapat melihat
cara pandang yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam
menemukan ilmu pengetahuan, yaitu: dimensi ontologis, dimensi
epistemologis, dimensi aksiologis, dimensi retorik dan dimensi
metodologis.
Ada empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikem- bangkan
dalam menemukan hakikat realitas atau ilmu pengetahuan yaitu:
Positivisme, Postpositivisme (Classical Paradigm, Conventionalism
Paradigm), Critical Theory (Realism) dan Constructivism. Dalam ilmu
sosial perubahan terjadi secara cepat dan dinamis, tergantung pada bukti

112
Struktur llmu Pengetahuan
empiris yang diyakini. Berikut dipaparkan berbagai unsur yang dilihat
sebagai indikator adanya perubahan dalam pengembangan ilmu.
Keragaman paradigmatik dapat terjadi karena perbedaan pandangan
filosofis, konsekuensi logis dari perbedaan teori yang digunakan dan sifat
metodologi yang digunakan untuk mencapai kebenaran.
Ada empat cara berpikir berdasarkan dikotomi pengaruh antar
individu dan masyarakat: (i) dikotomi muncul akibat asumsi umum bahwa
individu dapat membentuk atau mengubah masyarakat; (ii) dikotomi
muncul akibat asumsi umum bahwa "individu merupakan produk dari
masyarakat" (individual is created society); (iii) Dikotomi dari kedua
pendapat itu disintesiskan oleh Peter Berger, dalam model yang memiliki
perspektif yang tersangkut paut dengan hubungan antara anggota

UIN SUNANN SUNAN


masyarakat; (iv) model terakhir itu akan mneghasilkan gambaran yang
menyambung. Di satu sisi berlangsung proses socialization yang terjadi
ketika individu mendapat pengaruh kuat dari lingkungan sosial, individu
akan menyesuaikan diri dengan pola-pola yang berlaku di masyarakatnya.
Pandangan tentang paradigma ilmu pengetahuan tampaknya berubah
antarwaktu. Perkembangan substansi paradigmatik dalam tulisan ini akan
dikupas lengkap, berawal dari paradigma positivisme, postpositivisme,
critical theory dan konstruktivisme. Perubahan paradigma dalam ilmu
pengetahuan mencakup seluruh aspek paradigma. Dari beberapa kasus
perubahan paradigma ilmu pengetahuan yang telah dipaparkan, arah yang
dicapai memang diutamakan berupa perkembangan. Kemapanan dan
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
munculnya spesialisasi ilmu menjadi harapan dari perubahan tersebut.
Perubahan tersebut berhubungan timbal balik dengan perubahan
kehidupan manusia yang menjadi pendukungnya, termasuk terutama
perkembangan di kalangan ilmuwan.

5.4. Ringkasan
Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap
demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru
berdasarkan pengetahuan yang sudah ada. Dengan demikian maka ilmu
merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan
baik. Penemuan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai "rumah atau
batu bata yang bercerai-berai".
Secara singkat dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah sebuah
teori pengetahuan yang dipergunakan manusia dalam memberikan
jawaban tertentu terhadap suatu pernyataan. Metode ini menitikberatkan
kepada suatu urutan prosedur yang saksama di mana diperoleh
sekumpulan pengetahuan yang diperluas secara terus menerus serta
bersifat mengoreksi diri sendiri. Metode keilmuan mendasarkan diri pada
anggapan bahwa, terdapat keteraturan yang dapat ditemukan dalam
hubungan antara gejala-gejala, dan bahwa alat pancaindra manusia, (atau
alat yang dibuat secara teliti), pada dasarnya dapat berfungsi secara layak.
Lewat pengorganisasian yang sistematis dan pengujian pengamatan,
manusia telah mampu mengumpulkan pengetahuan secara kumulatif,
walaupun

Struktur Ilmu Pengetahuan

114
yang terus-menerus bertumbuh dan mempunyai peluang besar untuk
benar. Walaupun begitu, metode keilmuan tidak mengajukan diri
sebagai metode yang membawa manusia kepada suatu kebenaran akhir
yang takkan pernah berubah.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan
pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebe- narannya telah
teruji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses
pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Sekiranya sekarang
kita dapat mengum- pulkan fakta-fakta yang mendukung hipotesis kita
maka bukan berarti bahwa untuk selamanya kita akan men- dapatkan
hal yang sama. Mungkin saja sewaktu-waktu, baik secara kebetulan
maupun karena disebabkan kemajuan dalam peralatan pengujian, maka
kita akan mendapatkan fakta yang menolak hipotesis yang selama ini
kita anggap benar. Jadi pada hakikatnya suatu hipotesis dapat kita
terima kebenarannya selama tidak didapatkan fakta yang menolak
hipotesis tersebut. Hal ini membawa dimensi baru kepada hakikat ilmu
yakni sifat pragmatis dari ilmu. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari
kebenaran melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam
tahap perkembangan tertentu. Hipotesis-hipotesis yang sampai saat ini
tidak ditolak kebenarannya, dan mempunyai manfaat bagi kehidupan
kita, kita anggap sebagai pengetahuan yang sahih. Dalam proses
keilmuan bahwa hipotesis ini kemudian hari ternyata tidak benar, bagi
kita hal itu tidaklah terlalu penting selama hipotesis ini mempunyai
kegunaan. Seperti ucapan Santayana,
maka 115
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
dalam ilmu sekiranya kita menemukan kebenaran baru, kita tidak lalu
"menyalahkan pendahulu itu, kita cuma mengucapkan
selamat jalan".

116Struktur llmu Pengetahuan


Bab VI

Teori Kebenaran
Ilmu Pengetahuan

6.1. Deskripsi
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya
akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan,
dan filsafat. Agama mengantarkan pada kebenaran, dan filsafat membuka
jalan untuk mencari kebenaran.
Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan
menggunakan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran
yang ada dalam objek yang menjadi sasaran. Kebenaran itu sendiri belum
pasti melekat dalam objek. Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh per-
sepsi-persepsi belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal
dalam
filsafat.
6.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang teori
kebenaran dalam ilmu pengetahuan terdiri atas:
(i) koherensi; (ii) korespondensi; (iii) positivistik; (iv) pragmatik;
(v) esensialisme; (vi) konstruktivisme; dan
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 117
(vii) religiusisme.
6.3. Teori Kebenaran
Pertanyaan-pertanyaan berikut tentu membuka wawasan kita, bisa
jadi selama ini hanya merupakan kesan- kesan yang kita biarkan berlalu.
Untuk keperluan pembelajaran filsafat ilmu, sengaja diangkat lagi agar
memperoleh wacana yang memadai dalam konteks untuk menemukan
kebenaran. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah; (i) Apakah kebenaran itu
ada?; (ii) Apakah kebenaran ada atau tidak ada? (iii) Kebenaran itu apakah
kecil atau kebenaran besar; (iv) Bagaimana kebenaran yang terdapat di
dalam filsafat, agama, ilmu, dan seni; (v) Bagaimana pandangan kaum
skeptis, relatif, dan subjektif, dan kaum nihilis tentang kebenaran; (vi)
Bagaimana paham diterminis dan inditerminis (konseptual, atau konseptual
yang kacau) tentang kebenaran; dan (vii) Bagaimana teori- teori ontologi
kebenaran.
Sejumlah teori yang telah dikemukakan oleh para filsuf dengan
senyatanya membuka mata kita antara lain yang dikemukakan: (i) teori
idealisme Plato yang berpusat pada "idea"; (ii) teori Rasionalisme
R.Decartes, yang berpusat pada rasio dan kesadaran; (iii) teori Immanuel
Kant yang berpusat pada akal atau rasio mumi (Reinen Vernunft, Praktisen
Vernunft).
(iv) teori-teori wahyu/revalasi dari kalangan teolog (dari Tuhan YME)
yang menyatakan bahwa the truth is created by the God yang dilawan oleh
teori evolusi; (v) teori coherence (coherence theory) yang menyatakan
bahwa kebenaran itu suatu nilai inter-

Teori Kebenaran llmu Pengetahuan


118
subjektif, ada nilai disepakati bersama antara subjek dengan subjek yang
lain. Bahkan, Kebenaran yang bermakna humanistik; (vi) Correspondence
theory yang menyatakan bahwa kebenaran itu adalah sesuatu sesuai hukum
alam (natural laws). Oleh sebab itu ilmu harus mencari atau menemukan
hukum alam; (vii) teori pragmatisme yang menyatakan bahwa kebenaran
adalah sesuatu yang berguna atau bermanfaat bagi manusia di dunia ini.
Atau paham teori utilitiarisme, yang benar itu yang memberikan faedah
atau keuntungan bagi manusia; (viii) Teori Esensialisme yang menyatakan
bahwa kebenaran itu sesuatu yang abstrak dan yang bermakna sebagai hal
yang esensial atau yang terdalam dari pikiran manusia; (ix) teori
eksistensialisme yang menyatakan bahwa kebenaran itu suatu yang sangat
kontektual, sesuai dengan ruang dan waktu. Oleh sebab itu kebenaran yang
absolut tidak pernah ada; (x) teori metafisisontology yang menyatakan
bahwa kebenaran itu suatu hal yang ontologis, diketahui atau tidak,
kebenaran itu ada dalam ruang yang-ada. Kebenaran ada di dunia metafisis
dan bukan dalam dunia empiris; (xi) teori ilmu pengetahuan/teori ilmiah
yang menyatakan bahwa kebenaran itu sesuai dengan asas-asas yang ada
dalam ilmu pengetahuan (merupakan kebenaran dari pembuktian
terhadap hipotesis).
(xii) teori perenial- isme yang menyatakan bahwa kebenaran
merupakan sesuatu yang muncul dari hati nurani manusia, yang sifatnya
abstrak; (xiii) teori penomenologi (E.Husserl) yang menyatakan bahwa
kebenaran itu adalah sesuatu yang tetap dan abstrak bernama "neumenon"
jauh dibalik
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

119
penomenon (gejala); (xiv) teori konstruktivisme yang menyatakan bahwa
kebenaran itu suatu hasil konstruksi pikiran manusia yang bebas, dan
selalu berubah, dan sangat subjektif; (xvi) teori post-modernisme
menyatakan bahwa kebenaran itu bukan suatu yang tetap, selalu berubah,
dan akal manusia menciptakan secara bebas dan tidak pernah sama dengan
yang lalu, terdapat kecenderungan bahwa kebenaran tidak dapat
diungkapkan dalam bahasa; (xvii) teori progresivisme menyatakan bahwa
kebenaran yang tidak pernah statik, melainkan selalu berubah ke depan (ke
masa yang akan datang) sesuai perkembangan manusia dan zaman. Paham
ini menolak paham-paham warisan tradisi dan konservatif; (xviii) teori
kritik (Critical theory of truth) menyatakan kebenaran itu suatu hasil
pemikiran manusia yang terbuka dan kritis sepanjang zaman, dan
kebenaran lahir dari dialog, diskusi, dan diskursus yang kontinu (Jurgen
Hebernas); (xix) teori nihilism menyatakan bahwa sesungguhnya tidak
pernah ada kebenaran di dunia ini, yang ada hanya power, who holds the
power, he is able to creat the truth and jaustice (F. Nietzsche).
Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam tulisannya yang berjudul
Hakikat Dasar Keilmuan, ilmu merupakan suatu pengetahuan yang
menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi
merupakan misteri. Ilmu membatasi ruang jelajah kegiatan pada daerah
pengalaman manusia. Artinya, objek penjelajahan keilmuan meliputi
segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat
pancaindranya.
Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan

120
Secara epistemologi, ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia
dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indra. Epistemologi keilmuan
pada hakikatnya merupakan gabungan antara pikiran secara rasional dan
berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungkan dalam
mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran.
Ilmu, dalam menemukan kebenaran, menyandarkan dirinya kepada
kriteria atau teori kebenaran antara lain: (i) koherensi; (ii) korespondensi;
(iii) positivistik; (iv) pragmatik; (v)
esensialisme; (vi) konstruktivisme; dan (vii) religiusisme.
6.3.1. Koherensi
Koherensi merupakan teori kebenaran yang menegaskan bahwa
suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian, atau
informasi) akan diakui sahih/ dianggap benar apabila memiliki hubungan
dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga sahih dan
dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan- kebutuhan logika.
Teori ini juga mendasarkan diri kepada kriteria konsistensi suatu
argumentasi. Teori ini melihat sesuatu itu dengan benar ketika terdapat
adanya konsistensi yang ditangkap subjek yang satu dengan subjek lainnya
tentang suatu realita yang sama. Makin konsisten ide-ide atau kesan yang
ditangkap beberapa subjek tentang sesuatu objek yang sama, makin
benarlah ide-ide atau
kesan itu.
6.3.2. Korespondensi
Korespondensi merupakan teori kebenaran yang

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 121


mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih apabila proporsi
bersesuaian dengan realitas menjadi objek pengetahuan itu. Kesahihan
korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan
kepastian indrawi. Dengan demikian, kesahiahan pengetahuan itu dapat
dibuktikan secara langsung. Teori ini juga mendasarkan diri kepada
kriteria tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh suatu
pernyataan dengan objek yang dikenai pernyataan tersebut. Sesuatu
dianggap benar apabila apa yang diungkapkan (pendapat, kejadian,
informasi) sesuai dengan
fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.
6.3.3. Positivisme
Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap
sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme adalah cara pandang
dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Positivisme sebagai
perkembangan Empirisme yang ekstrem, adalah pandangan yang
menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah "data-
data yang nyata/empirik", atau yang mereka namakan positif. Nilai- nilai
politik dan sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan
fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan
masyarakat itu sendiri. Nilai- nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan
secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara
berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam
suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri. Penganut paham
positivisme meyakini bahwa

122
Teori Kebenaran llmu Pengetahuan
hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam,
karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-
aturan, demikian juga alam.
6.3.4. Pragmatisme
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang men- dasarkan diri
kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam
lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori Pragmatisme berbeda dengan teori
koherensi dan korespondensi yang keduanya berhubungan langsung
dengan realita objektif, pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide- ide
melalui konsekuensi-konsekuensi daripada praktik atau pelaksanaannya.
Artinya, ide-ide itu belum dikatakan benar atau salah sebelum diuji.

6.3.5. Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang
berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam
memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di
mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterikatan
dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan
harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama
yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata
yang jelas. Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata
yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 123


Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mem- punyai
pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia
berada. Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang
berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit
dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual.
6.3.6. Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pem- belajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa
yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan
gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini
merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.
Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi
lebih dinamis.
Konstruktivisme dianggap berusaha menghilangkan aspek power
dalam memahami nilai. Nilai dianggap sebagai sesuatu yang netral dan
tidak punya bias ataupun basis kekuasaan. Dalam artian ini,
konstruktivisme kehilangan tujuan utama pemikiran kritis, yakni
emansipasi. Jadi, sekalipun memahami realitas bukan sebagai sesuatu
yang beku, alamiah dan abadi melainkan sebagai produk dari interaksi,
konstruktivisme tidak memaknai interaksi antar nilai ini sebagai
sebuah proses politik yang sangat berpe- ngaruh pada aspek keadilan,
kesederajatan dan kebebasan.
6.3.7. Religiusisme
Teori Religiusisme memaparkan bahwa manusia
bukanlah semata-mata makhluk jasmaniah, tetapi juga

124Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan


makhluk rohaniah. Oleh karena itu, muncullah teori religius ini yang
kebenarannya secara ontologis dan aksiologis bersumber dari sabda
Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Secara pasti, kita tidak akan mendapatkan kebenaran mutlak, dan
untuk mengukur kebenaran dalam filsafat sesungguhnya tergantung
kepada kita oleh metode-metode untuk memperoleh pengetahuan itu.
Jika apa yang kita ketahui ialah ide-ide kita, maka pengetahuan hanya
dapat terdiri dari ide-ide yang dihubungkan secara tepat, dan
kebenaran merupakan keadaan saling berhubungan di antara ide-ide
tersebut.
Bertrand Russell dalam bukunya The Problems of Philosophy,
menulis "Kebenaran dan Kesesatan". Dualisme ini sepanjang sejarah
kehidupan tidak akan pernah terpisahkan, karena anggapan kebenaran
berkaitan dengan adanya kesesatan. Suatu kebenaran muncul saat
asumsi kesesatan itu mengiringinya. Keyakinan-keyakinan yang keliru
sering kali dipegang teguh sebagaimana keyakinan- keyakinan yang
benar, sehingga menjadi suatu pertanyaan yang sulit bagaimana
keyakinan-keyakinan itu dibedakan dari keyakinan-keyakinan yang
benar.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, manusia sebagai
makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan
tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat.
Agama mengantarkan pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan
untuk mencari ke- benaran. Sedangkan ilmu pengetahuan pada
hakikatnya adalah kebenaran itu sendiri, karena manusia menuntut
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
ilmu dengan tujuan mencari tahu rahasia alam agar gejala alamiah
tersebut tidak lagi menjadi misteri.
6.4. Relevansinya dengan Antropologi
Filsafat dikatakan sebagai mater scientiarum, yakni induk semua ilmu
pengetahuan. Setiap orang yang ingin belajar pengertian hidup dan
kehidupan harus mengetahui ilmu filsafat. Dalam bukunya, Ilmu Filsafat
Suatu Pengantar, (Dr. Surajiyo, 2005) menyatakan berfilsafat tidak lain
adalah hidup berpikir dan pemikiran sedalam-dalamnya tentang hidup dan
kehidupan itu (living thought and thoughtfull living).
Filsafat ilmu bukanlah sekadar metodologi ataupun tata cara
penulisan karya ilmiah. Filsafat ilmu merupakan refleksi secara filsafati
akan hakikat ilmu yang tidak akan mengenal titik henti dalam menuju
sasaran yang akan dicapai, yaitu kebenaran dan kenyataan. Memahami
filsafat ilmu berarti memahami seluk-beluk ilmu pengetahuan sehingga
segi-segi dan sendi-sendinya yang paling mendasar, untuk dipahami pula
perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, serta keterjalinan antar
cabang ilmu yang satu dengan yang lain.
Jadi, dalam mempelajari antropologi kita juga tidak dapat lepas dari
filsafat, khususnya teori kebenaran dan kesesatan pengetahuan.
Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang manusia secara
keseluruhan, baik dari segi fisik maupun budaya, memiliki teori-teori yang
dicetuskan berdasarkan kriteria kebenaran. Kita tidak dapat mencetuskan
teori-teori baru begitu saja tanpa

126 Teori Kebenaran llmu Pengetahuan


didasari oleh salah satu dari ketujuh kriteria kebenaran tersebut, sebab
dapat jadi teori kita dapat menyesatkan publik.
6.5. Ringkasan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa
manusia sebagai makhluk pencari kebenaran akan menemukan tiga
bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama
mengantarkan pada kebenaran dan filsafat membuka jalan untuk mencari
kebenaran. Sedangkan ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah
kebenaran itu sendiri, karena manusia menuntut ilmu dengan tujuan
mencari tahu rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi menjadi
misteri.
Secara pasti, tidak ada kebenaran yang absolut di dunia ini.
Kebenaran dan kesesatan ilmu pengetahuan itu sendiri tergantung kepada
kita yang berusaha mencari tahu dengan menggunakan metode kriteria
kebenaran yang terdiri dari: koherensi, korespondensi, positivisme,
pragmatisme, esensialisme, konstruktivisme, dan religiusisme.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Bab VII

Logika Ilmu dan Metode


Berpikir Ilmiah

7.1. Deskripsi
Di era postmodern saat ini telah begitu banyak dite- mukan
inovator baru dalam ilmu pengetahuan. Penemuan- penemuan tersebut
dapat kita rasakan hampir dalam segala bidang dan lingkungan di
mana kita berada. Misalnya, keberadaan teknologi informasi yang
semakin hari semakin canggih.
Hasil penemuan baru tersebut tentunya melalui se- jumlah proses
yang memakan waktu cukup relatif panjang. Hal ini (semakin pesatnya
penemuan-penemuan baru) merupakan suatu yang tidak dapat
dielakkan lagi, karena ia merupakan tuntutan dari keberadaan manusia
itu sendiri, yakni keberadaan kebutuhan dan keinginan manusia yang
semakin tinggi dan beragam.
Di dalam proses penemuan sains tersebut kita menge- nal yang
namanya metode ilmiah sebagai jalan untuk meraih hasil yang sesuai
"standar" keilmuan. Sains yang
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
terus berkembang dapat dikatakan merupakan dampak dari revolusi industri
yang terjadi di Eropa. Revolusi industri membawa perubahan besar dalam
berbagai aspek. Corak-corak metodologis yang dikembangkan menyebabkan
ilmu pengetahuan bersifat positivistik, deterministik, dan evolusionistik.
Sehingga segala sesuatu harus dijelaskan dengan metode kuantitatif dan
eksperimental melalui observasi.
Dewasa ini, ada kecenderungan-kalau tidak mau dikatakan sepenuhnya
—yang dilakukan oleh para pemikir atau ilmuwan yang berpersepsi bahwa
metode ilmiah merupakan satu-satunya metode yang diterapkan dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Bahkan, ia juga dijadikan
landasan atau sebagai asas dalam berpikir. Lebih dari itu, terjadi pensakralan
terhadapnya.
7.2, Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada bagian ini menjelaskan logika ilmu terdiri
atas; (i) hakikat berpikir; (ii) pengertian dan kriteria metode berpikir ilmiah;
logika ilmiah; bahasa keilmuan; model metode berpikir ilmiah; hal-hal yang
harus diperhatikan dalam penggunaan Metode Rasional.

7.3. Hakikat Berpikir dan Medote Berpikir Ilmiah

7.3.1. Hakikat Berpikir


Dalam aktivitas keseharian kita, ketika beraktivitas dalam lingkungan
masing-masing, dapat dipastikan bahwa kita tidak dapat lepas dari yang
namanya berpikir. Hanya saja memang, tingkat daya pikir tersebut masing-
masing

Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah


berbeda pada setiap orang. Berpikir dapat dikatakan me- rupakan suatu
aktivitas yang sangat penting. Karena tanpa- nya, manusia berada dalam
suasana yang gelap dan hampa. Manusia tidak mampu mengenal
lingkungan tempat dia tinggal, siapa pencipta alam jagat raya ini, bahkan
ia pun tidak mampu mengenal dirinya dan hakikat keberadaannya di dunia
tanpa melalui sebuah aktivitas berpikir.
Berpikir juga dapat dikatakan suatu hal yang alamiah (fitrah atau
natural) bagi setiap manusia-yang sehat atau tidak gila-dikarenakan
adanya "unsur-unsur" ciptaan yang telah diciptakan oleh Allah SWT.
Dalam proses berpikir, sejatinya melibatkan unsur-unsur tertentu, yakni:
(i) otak yang sehat; (ii) pancaindra; (iii) informasi sebelumnya; dan (iv)
adanya fakta.
Dari empat unsur di atas dapat kita rangkai sebuah definisi sebagai
berikut: "pemindahan pengindraan terhadap fakta melalui pancaindra ke
dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi terdahulu yang
digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut". Definisi ini sekaligus juga
merupakan definisi bagi akal, pemikiran, proses berpikir.
Apakah sebenarnya berpikir? Secara umum maka tiap proses dalam
idea, konsep dan sebagainya dapat disebut berpikir. Umpamanya, jika
seseorang bertanya kepada saya, "apakah yang sedang kamu pikirkan?"
mungkin saya menjawab, "Saya sedang memikirkan keluarga saya." Hal
ini berarti bayangan, kenangan dan sebagainya hadir dan ikut- mengikuti
dalam kesadaran saya. Karena itu, maka definisi yang paling umum dari
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
berpikir adalah proses idea dan konsep.
7.3.2. Pengertian Metode Berpikir Ilmiah
Pemikiran ilmiah bukanlah pemikiran biasa. Pemikiran ilmiah
adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara yang
berdisiplin, di mana seseorang yang tidak akan membiarkan idea dan
konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun
kesemuanya itu diarahkan pada satu tujuan tertentu. Tujuan tertentu
dalam hal ini adalah pengetahuan. Berpikir keilmuan, atau berpikir
sungguh- sungguh adalah cara berpikir yang disiplinkan dan diarahkan
kepada pengetahuan.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan, bahwa
metode adalah cara yang teratur dan
terpikir. baik-baik untuk
mencapai maksud (dalam ilmu
pengetahuan)atau cara kerja
yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan.

Gambar 7.1. Simbol Berpikir

Peter R. Senn mengatakan, metode merupakan suatu prosedur atau


cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis.
Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-
peraturan dalam

132 Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah


metode tersebut. Dari dua macam pendapat di atas dapat kita padukan
menjadi: metode adalah suatu cara yang sistematis untuk mencapai dan
mengetahui maksud atau tujuan yang telah ditentukan secara efektif,
efisien, dan optimal.
Istilah metode berpikir ilmiah ini juga dibahas oleh Taqiyuddin an-
Nabhani (2001) dalam bukunya at-Tafkir. Ia menyebut metode ilmiah
dengan metode berpikir ilmiah. Penelitian sebagai suatu rangkaian
aktivitas mengandung prosedur tertentu, yakni serangkaian cara dan
langkah tertib yang mewujudkan pola tetap. Rangkaian cara dan langkah
ini dalam dunia keilmuan disebut metode untuk menegaskan bidang
keilmuan itu seringkali dipakai istilah metode ilmiah (scientific method).
Dictionary of Behavioral Science memberikan definisi metode
ilmiah dengan "teknik-teknik dan prosedur- prosedur pengamatan dan
percobaan yang menyelidiki alam yang dipergunakan oleh ilmuwan-
ilmuwan untuk mengolah fakta- fakta, data, dan penafsirannya sesuai
dengan asas-asas dan aturan-aturan tertentu.
Arturo Rosenblueth mengatakan "metode ilmiah adalah suatu
prosedur dan ukuran yang dipakai oleh ilmuwan- ilmuwan dalam
penyusunan dan pengembangan cabang pengetahuan khusus mereka".
Selanjutnya, James B. Conant memberikan rumusan metode ilmiah
menjadi delapan langkah, yakni sebagai berikut:
(i) kenali bahwa suatu situasi yang tidak menentu ada. Ini merupakan
suatu situasi bertentangan atau kabur yang mengharuskan penyelidikan;
(ii) nyatakan
masalah 133
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
itu dalam istilah spesifik; (iii) rumuskan suatu hipotesis kerja; (iv) rancang
suatu metode penyelidikan yang ter- kendalikan dengan jalan pengamatan
atau dengan jalan percobaan ataupun kedua- duanya; (v) kumpulkan dan catat
bahan pembuktian atau data 'kasar'; (vi) olah data kasar ini menjadi suatu
pernyataan yang mempunyai makna; (vii) tibalah pada suatu penegasan yang
dapat dipertanggungjawabkan. Kalau penegasan itu betul, ramalan- ramalan
dapat dibuat darinya; (viii) satu padukan penegasan yang dapat
dipertanggungjawabkan itu, kalau terbukti merupakan pengetahuan baru
dalam ilmu, dengan kumpulan pengetahuan yang telah mapan.
Makna penelitian ini secara sederhana ialah bagaimanakah mengetahui
sesuatu yang dilakukan melalui cara tertentu dengan prosedur yang sistematis
(Gama, 2000:1). Proses sistematis ini tidak lain adalah langkah-langkah
metode ilmiah. Jadi pengertian dari metodologi penelitian itu dapat diartikan
sebagai pengkajian atau pemahaman tentang cara berpikir dan cara
melaksanakan hasil berpikir menurut langkah-langkah ilmiah.
Terhadap cara untuk mengetahui dan memahami sesuatu, Babbie
(1992) berpendapat:" ... science is a method of inquiry-away of learning-and
knowing things about the world around us". Dengan demikian untuk memahami
dan mempelajari sesuatu yang terjadi di sekeliling kita terdapat banyak cara.
Walaupun demikian ilmu tetap memiliki ciri tertentu, yang sesungguhnya ciri
tersebut berada dalam berbagai aktivitas yang dilakukan sehari-hari.
Menurut Pierce (dalam Kerlinger, 1973) terdapat
Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah

134
empat metode untuk memahami sesuatu (methods of knowing) yaitu: (i) the
method of tenacity (wahyu), (ii) the method of authority (otoritas), (iii) the a
priory method (intuisi) dan (iv) the method of science (metode ilmiah).
Penelitian termasuk ke dalam metode ilmiah, sebagai metode memahami
yang paling baik guna memperoleh kebenaran ilmiah.
7.4. Bahasa Keilmuan
Bahasa keilmuan adalah suatu sarana yang digunakan dalam
komunikasi keilmuan. Terdapat unsur-unsur yang terlibat dalam
komunikasi keilmuan, seperti juga unsur- unsur dari kebanyakan bentuk
komunikasi antara lain adalah: (i) lambang (termasuk kata-kata dan tanda-
tanda); (ii) definisi; dan (iii) pernyataan dan logika.
Analisis singkat dari peranan unsur-unsur ini meng- gambarkan
pada kita hakikat masing-masing unsur tersebut.
Terdapat berbagai tujuan dan bentuk bahasa komunikasi mulai dari
bahasa estetik, bahasa sehari-hari, bahasa hukum sampai bahasa keilmuan.
Sebagai contoh "dibandingkan dengan negara-negara lain, semasa periode
1965- 1973 laju tumbuh perekonomian Indonesia termasuk yang tinggi
(7,6%) rata-rata pertahun. Tingkat tersebut hanya dilampaui oleh Brazil
dengan (9,1%) rata-rata pertahun. Apakah terdapat keraguan dalam
pikiran orang yang membaca atau mendengar berita ini? Apakah terdapat
konflik penafsiran dalam komunikasi tersebut? Mungkin sekali tidak.
Pernyataan ini adalah tepat.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Contoh yang kontras ini bukanlah dikemukakan dengan tujuan untuk
memuji yang satu dan mengutuk yang lain. Maksud kita hanyalah
memperlihatkan dua aspek dari komunikasi: yang satu estetik dan yang lain
bersifat mengemukakan kenyataan. Bahasa sebagai alat kenikmatan, untuk
tujuan-tujuan estetik, berfungsi sebagai alat kegiatan dengan membawa
pembaca untuk membangun gambaran yang dapat dinikmati oleh dirinya
sendiri.
Dalam ilmu, benar dan salah merupakan nilai yang bersifat relatif.
Pernyataan hanyalah kita terima atau kita tolak. Ilmu yang mempelajari
hubungan pernyataan-per- nyataan ini kapan dianggap benar, atau kapan
dianggap salah, dan menetapkan secara deduktif apakah suatu hubungan
adalah benar atau salah. Komunikasi keilmuan adalah komunikasi logis. Tiap
teori keilmuan adalah suatu sistem kalimat yang dianggap benar dan biasa
disebut hukum atau pernyataan.
Bahasa keilmuan juga merupakan bahasa yang digunakan dalam
penulisan-penulisan ilmiah atau dalam penulisan dalam ilmu pengetahuan.
Tujuh ciri ragam bahasa keilmuan adalah: (i) cendekia; (ii) lugas; (iii)
jelas (iv) formal; (v) objektif; (vi) konsisten; (vii) bertolak dari gagasan; serta
(viii) ringkas dan padat.
Pertama, cendekia. Bahasa yang cendekia mampu membentuk
pernyataan yang tepat dan saksama, sehingga gagasan yang disampaikan
penulis dapat diterima pembaca.
Kedua, lugas. Paparan bahasa yang lugas dapat menghindari
kesalahpahaman dan kesalahtafsiran isi kalimat
Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah

136
dapat dihindari. Penulisan bernada sastra perlu dihindari.
Ketiga, jelas. Gagasan akan mudah dipahami apabila bahasa yang
dituangkan secara jelas dan hubungan antara gagasan yang satu dengan yang
lainnya juga jelas.
Keempat, formal. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi ilmiah
bersifat formal. Tingkat keformalan dapat dilihat pada kosa kata, bentukan
kata, dan kalimatnya.
Kelima, objektif. Sifat objektif tidak cukup dengan hanya menempatkan
gagasan sebagai pangkal tolak, tetapi juga diwujudkan dalam penggunaan
kata.
Keenam, konsisten. Unsur bahasa, tanda baca, dan istilah, sekali
digunakan sesuai dengan kaidah maka untuk selanjutnya digunakan secara
konsisten.
Ketujuh, bertolak dari gagasan. Bahasa keilmuan digunakan dengan
orientasi gagasan. Pilihan kalimat yang lebih cocok adalah kalimat pasif,
sehingga kalimat aktif perlu dihindari.
Kedelapan, ringkas dan padat. Ciri padat merujuk pada kandungan
gagasan yang diungkapkan dengan unsur- unsur bahasa. Karena itu, jika
gagasan yang terungkap sudah memadai dengan unsur bahasa yang terbatas
tanpa pemborosan, ciri kepadatan sudah terpenuhi.
7.5. Model dan Kriteria Metode Berpikir Ilmiah
Pada dasarnya, ditinjau dari sejarah berpikir manusia, terdapat dua pola
berpikir ilmiah. Yang pertama adalah berpikir secara rasional, di mana
berdasarkan paham rasionalisme ini, idea tentang kebenaran sebenarnya
sudah ada. Pikiran manusia dapat mengetahui idea tersebut,

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


namun tidak menciptakannya, dan tidak pula mempelajarinya lewat
pengalaman. Dengan kata lain, idea tentang kebenaran, yang menjadi dasar
bagi pengetahuan, diperoleh lewat berpikir rasional, terlepas dari pengalaman
manusia.
Cara berpikir ilmiah yang kedua adalah empirisme. Berbeda dengan
orang-orang yang berpikir secara rasional. Menurut orang- orang yang
berpaham empirisme ini, pengetahuan ini tidak ada secara apriori di benak
kita, melainkan harus diperoleh lewat pengalaman.
Adapun kriteria metode berpikir ilmiah antara lain: (i) berdasarkan
fakta; (ii) bebas dari prasangka; (iii) menggunakan prinsip-prinsip analisis;
(iv) menggunakan hipotesis; (v) menggunakan ukuran objektif; dan (vi)
menggunakan teknik
kuantifikasi.
7.6. Kelemahan-kelemahan Metode Berpikir Ilmiah
Kelemahan metode ilmiah dapat kita lihat dari segi (i) cakupan atau
jangkauan dari kajiannya, (ii) asumsi yang melandasinya, dan (iii)
kesimpulannya bersifat relatif.
Pertama, metode ilmiah tidak dapat digunakan kecuali pada pengkajian
objek-objek material yang dapat di indra. Metode ini khusus untuk ilmu-ilmu
eksperimental. Ia dilakukan dengan cara memperlakukan materi (objek)
dalam kondisi-kondisi dan faktor- faktor baru yang bukan kondisi dari faktor
yang asli. Melakukan pengamatan terhadap materi tersebut serta berbagai
kondisi dan faktornya yang ada, baik yang alami maupun yang telah
mengalami perlakuan. Dari proses terhadap materi ini, kemudian

Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah


ditarik suatu kesimpulan berupa fakta material yang dapat diindra.
Kedua, metode ilmiah mengasumsikan adanya penghapusan seluruh
informasi sebelumnya tentang objek yang dikaji, dan mengabaikan
keberadaannya. Kemudian memulai pengamatan dan percobaan atas materi.
Ini dikarenakan metode ini mengharuskan kita untuk menghapuskan diri dari
setiap opini dan keyakinan si peneliti mengenai subjek kajian. Setelah
melakukan pengamatan dan percobaan, maka selanjutnya adalah melakukan
komparasi dan pemeriksaan yang teliti, dan akhirnya me- rumuskan
kesimpulan berdasarkan sejumlah premis ilmiah.
Ketiga, kesimpulan yang didapat ini adalah bersifat spekulatif atau tidak
pasti (dugaan). Kelemahan-kelemahan yang ada pada metode ilmiah ini juga
diungkapkan dalam literatur lain. Misalnya, "...Pertama-tama ilmu menyadari
bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat konkret yang
terdapat dalam dunia fisik yang nyata. Secara ontologi, ilmu membatasi
dirinya pada pengkajian yang berada pada ruang lingkup pengalaman
manusia. Hal inilah yang membedakan antara ilmu dan agama...perbedaan
antara lingkup permasalahan yang dihadapinya juga menyebabkan perbedaan
metode dalam memecahkan masalah tersebut".
Dinyatakan pula, "...proses pengujian ini tidak sama dengan pengujian
ilmiah yang berdasarkan kepada tangkapan pancaindra, sebab pengujian
kebenaran agama harus dilakukan oleh seluruh aspek kemanusiaan kita
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
seperti penalaran, perasaan, intuisi, imajinasi di samping pengalaman".
"Metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak
termasuk ke dalam kelompok ilmu...demikian juga halnya dengan bidang
sastra yang termasuk dalam humaniora yang jelas tidak mempergunakan
metode ilmiah dalam penyusunan tubuh pengetahuannya".
Muhammad Abdurrahman dalam bukunya at-Tafkeer juga menyatakan
hal senada dengan yang telah disebutkan di atas. Ia menyatakan, bahwa
metode ilmiah tidak dapat diterapkan pada ilmu yang termasuk dalam
humaniora, hal ini dikarenakan bidang-bidang yang termasuk ke dalam
humaniora tidak membahas perkara-perkara fisik yang dapat diukur dan
diujicobakan. Meskipun demikian, beberapa aspek pengetahuan tersebut
dapat menerapkan metode ilmiah dalam pengkajiannya, misalnya saja aspek
pengajaran bahasa sastra dan matematika. Dalam hal ini masalah tersebut
dapat dimasukkan ke dalam disiplin ilmu pendidikan yang mengkaji secara
ilmiah berbagai aspek proses belajar-mengajar.
7.7. Metode Berpikir Rasional: Asas dalam Berpikir
Metode rasional adalah metode tertentu dalam pengkajian yang
ditempuh untuk mengetahui realitas suatu yang dikaji, dengan jalan
memindahkan pengindran terhadap fakta melalui pancaindra ke dalam otak,
disertai dengan adanya sejumlah informasi terdahulu yang digunakan untuk
menafsirkan fakta tersebut. Selanjutnya, otak memberikan penilaian terhadap
fakta tersebut. Penilaian

Logika llmu dan Metode Berpikir Ilmiah

140
ini adalah pemikiran atau kesadaran rasional.
Tidak sebagaimana halnya metode ilmiah, metode rasional dapat
diterapkan pada objek-objek material yang dapat diindra, namun, juga dapat
diterapkan pada objek non-material atau yang dikenal dengan namanya
humaniora dan pemikiran-pemikiran. Metode berpikir rasional adalah suatu
proses berpikir tentang realitas atau masalah yang dihadapi sebagaimana
adanya.
Metode rasional identik dengan definisi dari akal itu sendiri. Dengan
menggunakan metode ini, manusia akan mencapai sebuah kesadaran tentang
hal apa pun. Metode ini merupakan satu- satunya metode berpikir. Adapun
metode ilmiah (scientific method) dan yang disebut dengan metode logika
(logical method) adalah merupakan cabang dari metode rasional atau
merupakan salah satu cara yang dituntut dalam pengkajian sesuatu.
7.8. Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam
Penggunaan Metode Rasional
Dalam menggunakan metode berpikir rasional ada beberapa hal yang
patut untuk kita perhatikan, yakni: (i) Dalam pendefinisian metode rasional:
dan (ii) dalam melakukan penyimpulan.
Pertama, dalam pendefinisian metode rasional harus membedakan
antara opini (pendapat) terdahulu tentang sesuatu dengan informasi terdahulu
tentang sesuatu atau tentang apa yang berkaitan dengan sesuatu itu. Yang ada
pada metode rasional haruslah informasi terdahulu bukan opini terdahulu atau
pendapat. Opini terdahulu tidak boleh

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan 141


Logika llmu
masuk dalam aktivitas berpikir, apabila ini terjadi-yakni adanya informasi
terdahulu dalam berpikir-maka mengakibatkan kekeliruan dalam memahami
sesuatu.
Kedua, dalam penyimpulan (konklusi). Penyimpulan yang telah
dihasilkan dari metode berpikir rasional harus dilihat terlebih dahulu
berkenaan dengan penilaian terhadap objek yang menjadi penilaian. Jika
kesimpulan tersebut adalah hasil dari penilaian atas keberadaan (eksistensi)
sesuatu, maka kesimpulannya adalah bersifat pasti (definite).
Adapun, jika kesimpulan tersebut adalah hasil dari penilaian atas
realitas (al-Haqiqah) dari sesuatu, atau sifat (karakteristik) dari sesuatu, maka
kesimpulan tersebut bersifat dugaan, yang mengandung kemungkinan salah.
Akan tetapi, kesimpulan yang ada tetap merupakan pemikiran yang tepat
hingga terbukti kesalahannya.
7.9: Ringkasan
Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik- baik untuk
mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan) atau cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan secara efektif, efisien, dan hasil yang optimal.
Metode berpikir ilmiah, layak untuk dijadikan sebagai asas bagi metode
berpikir. Hal ini disebabkan, ia dapat diterapkan pada objek-objek material
yang dapat diindra, dan kesimpulan yang dihasilkan darinya tidaklah bersifat
(probability) pasti. Dengan kata lain, metode ilmiah hanya dapat diterapkan
pada ilmu yang sifatnya adalah eksperi-

Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah


mental atau non-humaniora. Metode ilmiah tidak dapat digunakan kecuali
pada pengkajian objek material yang dapat diindra, khususnya untuk ilmu
eksperimental.
Kriteria metode berpikir ilmiah adalah cara yang teratur dan terpikir
baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan, dan sebagainya) atau
cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan
guna mencapai tujuan yang ditentukan. Kriteria metode berpikir ilmiah antara
lain: berdasarkan fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip analisis,
menggunakan hipotesis, menggunakan ukuran objektif dan menggunakan
teknik kuantifikasi.
Pemikiran ilmiah adalah pemikiran yang sungguh- sungguh. Artinya,
suatu cara yang berdisiplin, di mana seseorang yang takkan membiarkan idea
dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun
kesemuanya itu diarahkan pada satu tujuan tertentu. Model berpikir ilmiah
pada dasarnya, ditinjau dari sejarah berpikir manusia, terdapat dua pola
berpikir ilmiah. Yang pertama adalah berpikir secara rasional, dan yang kedua
secara empirisme.
Bahasa keilmuan adalah bahasa yang digunakan dalam penulisan-
penulisan ilmiah atau dalam penulisan dalam ilmu pengetahuan. Ciri ragam
bahasa keilmuan adalah: cendekia, lugas, formal, objektif, konsisten, bertolak
dari gagasan, ringkas dan padat.

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan


Logika llmu 143
Bab VIII

Logika: Pola Penalaran


Langsung dan Tidak
Langsung

8.1. Deskripsi
Logika dapat diartikan sebagai pengetahuan yang membahas tentang
simpul-menyimpulkan penalaran yang diperoleh dari sejumlah premis atau
pangkal pikir secara tepat atau valid. Unsur- unsur utama dalam simpul-
menyimpulkan suatu penalaran itu adalah term atau konsep, proposisi
(kalimat pernyataan), dan penyimpulan (inter- versi). Dalam simpul
menyimpulkan suatu penalaran dapat dilakukan secara langsung dari
proposisi sebagai pangkal pikirnya, namun dapat juga dilakukan secara tidak
lang- sung yang harus melalui premis-premis dalam proposisi yang tersedia.
Pada bagian ini dijelaskan tentang pola penalaran yang langsung disimpulkan
dari proposisi yang tersedia.
8.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran dalam topik ini menjelaskan

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


145
tentang (i) pengertian logika (ii) pengertian penalaran langsung dan penalaran
tidak langsung; (iii) term dan proposisi; (iv) pola penalaran tidak langsung
(a), konversi; (b) obvers; (c), inversi; dan
(d) kontraposisi. Bagian-bagian tersebut merupakan uraian dasar tentang
logika.

8.3. Logika
8.3.1. Pengertian Logika dan Penalaran Ilmiah
Logika berasal dari kata Yunani kuno (logos) yang berarti hasil
pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam
bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica
scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan
untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan
kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan
pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut dapat
juga diartikan dengan masuk akal.
Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana objek materialnya
adalah berpikir (khususnya penalaran/ proses penalaran) dan objek formal
logika adalah berpikir/ penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.
Sebagai cabang filsafat, logika merupakan cabang filsafat yang praktis.
Praktis di sini berarti logika dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam
usaha untuk memperkenalkan pemikiran dan pendapat-pendapatnya, para
filsuf Yunani kuno tidak

Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan
penalarannya.
Logika dapat didefinisikan sebagai: pengkajian untuk berpikir secara
sahih. Logika dipakai untuk menarik kesimpulan dari suatu proses berpikir
berdasar cara tertentu, yang mana proses berpikir di sini merupakan suatu
penalaran untuk menghasilkan suatu pengetahuan.
Logika secara garis besar dapat dipilahkan dalam dua bagian, yaitu:
induksi dan deduksi. Induksi merupakan suatu cara berpikir di mana ditarik
suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat
individual. Deduksi adalah suatu cara berpikir di mana dari pernyataan yang
bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Contoh suatu pemikiran induksi: fakta memperlihatkan, kambing
mempunyai mata, gajah mempunyai mata, begitu pula singa, kucing dan
binatang-binatang lainnya. Secara induksi dapat disimpulkan secara umum
bahwa: semua binatang mempunyai mata.
Contoh suatu pemikiran deduksi: contoh berikut memakai pola berpikir
yang dinamakan silogismus, suatu pola berpikir yang sering dipakai dalam
menarik kesimpulan secara deduksi.
Semua makhluk mempunyai mata (Premis mayor)
Si Polan adalah seorang makhluk (Premis minor)
Jadi si Polan mempunyai mata (Kesimpulan)
Penarikan kesimpulan secara deduksi harus memenuhi syarat: Premis
mayor harus benar. Premis minor harus benar. Kesimpulan harus sahih
(mempunyai keabsahan).
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 147
Selain dua macam logika seperti di atas, masih terdapat jenis- jenis
logika lainnya yaitu: (i) logika deontik; (ii) logika dialektis;
(iii) logika formal; (iv) logika informal; (v) logika kategoris tradisional; (vi)
logika kombinatoral; (vii) logika matematis atau simbolis; (viii) logika
modal; (ix) logika probabilitas; dan (x) logika
simbolik.
8.3.2. Macam-macam Logika
Logika dipilahkan dalam logika alamiah dan logika ilmiah. Logika
alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus
sebelum dipengaruhi oleh keinginan- keinginan dan kecenderungan-kecende-
rungan yang subjektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir.
Sedangkan logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal
budi.Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan asas- asas yang
harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah
akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih
aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau,
paling tidak,
mengurangi kesesatan.
8.3.3. Kegunaan Logika
Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan
yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika
dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga dapat dianggap sebagai cabang
matematika.
Adapun kegunaan logika secara terperinci antara lain: (i) Membantu
setiap orang yang mempelajari logika untuk
Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung

148
berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren; (ii)
Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif; (iii)
Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam
dan mandiri; (iv) Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri
dengan menggunakan asas- asas sistematis; (v) Meningkatkan cinta akan
kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpikir, kekeliruan serta
kesesatan; dan (vi) Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian.

8.4. Penalaran Langsung


Penalaran langsung merupakan penalaran yang premisnya hanya sebuah
proposisi dan langsung disusul dengan proposisi lain sebagai kesimpulannya.
Penalaran langsung ditarik hanya dari satu premis saja. Penarikan konklusi
secara langsung dapat memberikan keterangan yang lengkap tentang
proposisi yang diberikan, yaitu dengan menyatakan secara eksplisit apa-apa
yang telah dinyatakan secara implisit di dalam premis.
Contoh : semua bintang film memakai sabun Lux (S=P) jadi,
sebagian pemakai sabun Lux adalah bintang film.
Istilah "penalaran langsung" berasal dari Aristoteles untuk menunjukkan
penalaran, yang premisnya hanya terdiri dari sebuah proposisi saja.
Konklusinya ditarik langsung dari proposisi yang satu itu dengan
membandingkan subjek dan predikatnya.
Sistem logika yang mengenai penalaran langsung itu didasarkan atas
proposisi kategorik bentuk S=P seperti

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


149
dijelaskan di atas. Dalam bentuk proposisi kategorik yang demikian itu baik
term untuk subjek maupun untuk predikatnya menunjuk kepada sesuatu
substantif, dan dalam bahasa berupa kata benda. Kaitan antara subjek dan
predikat berdiri sendiri dan disebut kopula.
Contoh : Kerbau itu binatang
Kerbau (subjek)
Itu (kopula)
Binatang (kata benda)

8.5. Penalaran Tidak Langsung


Pada penalaran tidak langsung dapat diuraikan per- bedaannya dengan
penalaran langsung. Di dalam penalaran tidak langsung, penarikan
konklusinya atas lebih dari satu proposisi. Apabila konklusinya ditarik dari
dua proposisi yang diletakkan sekaligus, maka bentuknya dinamakan
silogisme. Oleh karena silogisme, merupakan penarikan konklusi secara
tidak langsung, konklusi ditarik dari dua premis, tidak dari satu premis
seperti di dalam penalaran langsung.
Contoh : Semua mahasiswa adalah anak pintar.
Dina adalah mahasiswa. Dina
adalah anak pintar.

8.6. Implisit dan Eksplisit suatu Term dalam Proposisi


Proposisi adalah pernyataan tentang hubungan yang terdapat di antara
dua term. Suatu proposisi mempunyai tiga bagian, yaitu subjek, predikat dan
satu bagian lagi yang merupakan suatu tanda yang menyatakan hubungan di
antara subjek dan predikat yang disebut kopula.

150 Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


Penarikan konklusi adalah proses mendapatkan suatu proposisi yang
ditarik dari satu atau lebih proposisi, sedangkan proposisi yang diperoleh
mestilah dibenarkan oleh proposisi atau proposisi-proposisi tempat
menariknya, proposisi yang diperoleh ini disebut konklusi. Proposisi-
proposisi yang diberikan disebut premis dan proposisi yang ditarik dari
premis itu disebut konklusi.
Penarikan suatu konklusi dapat bersifat induktif dan deduktif. Pada
deduktif, konklusi tidak mungkin lebih umum sifatnya daripada premis atau
premis-premisnya.
Ada ahli logika yang berpendapat bahwa penarikan konklusi secara
langsung adalah suatu penarikan konklusi karena fungsi penarikan konklusi
secara langsung adalah memberikan keterangan yang lengkap tentang
proposisi yang diberikan, yaitu dengan menyatakan secara eksplisit apa-apa
yang dinyatakan secara implisit di dalam premis. Proposisi asli mungkin
diketahui, tetapi keterangannya mungkin tidak. Inilah hal yang dinyatakan
dalam penarikan konklusi secara langsung. Karena itu, penarikan konklusi
secara langsung baru merupakan penarikan konklusi bila menyatakan secara
eksplisit apa-apa yang dinyatakan secara implisit dalam premisnya hingga
dengan demikian kita dapat mengetahui apa-apa yang tidak kita ketahui
sebelumnya.
8.7. Jenis Pola Penalaran Langsung

Dalam proposisi kategorik standar kopula itu lambangnya dalam bahasa


berupa kata-kata adalah itu, ialah, sama dengan, dan sebagainya. Ada kalimat-
kalimat

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


yang tidak memakai kopula, akan tetapi menggunakan term yang menunjuk
suatu aktivitas.
Misalnya: "Tidak semua burung berkicau" "Ia
sedang makan"
Aktivitas itu mesti ada yang melakukan dan karena yang melakukannya
itu sama dengan subjek proposisi, maka tanpa menimbulkan kesalahpahaman
subjek yang melakukan aktivitas itu tidak diulangi. Untuk mengembalikan
proposisi semacam itu menjadi berbentuk standar, subjek yang melakukan
aktivitas itu harus dinyatakan secara eksplisit. Proposisinya yang standar
menjadi: "Tidak semua burung adalah burung yang berkicau" dan "Ia adalah
orang yang sedang makan".
Penalaran langsung dilakukan dengan (i) conversi, (ii)
obyersi, (iii) kontraposisi, (iv) inversi.
8.7.1. Conversi
Conversi adalah sejenis penarikan konklusi secara langsung dalam
mana terjadi transposisi antara subjek dan predikat proposisi itu.
Proposisi yang diberikan disebut CONVERTEND dan konklusi yang
diambil dari proposisi yang diberikan itu disebut CONVERSE.
Konklusi yang diperoleh dengan conversi harus berdasarkan atas prinsip-
prinsip:
 Subjek convertend menjadi predikat converse
 Predikat convertend menjadi subjek converse
 Kualitas converse sama dengan kualitas convertend, artinya kalau
convertend afirmatif converse juga afirmatif

Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


dan kalau convertend negatif, converse juga negatif
 Term yang tidak tersebar dalam convertend, tidak dapat pula tersebar
dalam converse
Penggunaan prinsip ini pada keempat jenis proposisi:
Conversi "A": conversi "A" memberikan “I”
Menurut prinsip conversi dari ' A" harus afirmatif, artinya salah satu
"A" atau “I". Conversi 'A" tidak mungkin “A" pula, sebab bila demikian,
subjek conversi yang merupakan predikat converse akan tersebar dalam
convertend tidak dapat pula tersebar dalam
converse. Dengan demikian conversi "A" haruslah “I".
Convertend: Semua S adalah P
Converse: Sebagian P adalah S
Semua orang adalah rasional. Sebagian
yang rasional adalah orang.
Conversi "E": Conversi "E" adalah "E" pula
Proposisi "E" adalah negatif dan karena itu converse- nya haruslah
negative pula. Kalau kita tarik proposisi "e" dari proposisi "E" dengan jalan
conversi, tidak akan terjadi pelanggaran penyebaran term sebab baik subjek
maupun predikat dalam convertend tersebar dan karena itu dapat pula tersebar
dalam converse.
Convertend : Tidak satu pun S adalah P
Converse : Tidak satu pun P adalah S
Tidak seorang pun manusia adalah kuda. Tidak seekor
pun kuda adalah manusia. Conversi "I": Conversi “I" adalah “I" pula
Karena proposisi “I" adalah afirmatif, conversenya harus
afirmartif pula. Conversenya tidak mungkin "A"

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu


153
karena subjek dalam proposisi “A" tersebar. Jadi kalau kita tarik proposisi "A"
dari proposisi "I" dengan conversi akan terjadi pelanggaran terhadap prinsip
keempat. Karena itu conversi dari “I" menghasilkan "I" pula.
Convertend : Sebagian S adalah P
Converse : Sebagian P adalah S
Conversi "O" : Conversi tidak dapat dilakukan pada
proposisi "O"
Karena proposisi "O" negatif, maka conversenya harus negatif pula.
Subjek proposisi “O" tidak tersebar. Kalau proposisi “O" diconversikan
subjek akan jadi predikat converse dan dengan demikian akan menjadi
tersebar oleh karena conversenya negatif.
Jadi dengan conversi "A" menjadi "I", "E" menjadi “E", "I"
menjadi "I" , dan "O" tidak dapat diconversikan.
Ada dua macam conversi, yaitu conversi biasa dan conversi dengan
pembatasan.
Dalam conversi biasa, kuantitas converse sama dengan kuantitas
convertend, sedangkan dalam conversi dengan pembatasan kuantitasnya
berubah. Jadi proposisinya diconversikan peraksiden.
Converse proposisi "O” dengan negasi, artinya dengan mengubah
predikat menjadi negatif, dan dengan demikian berarti pula mengubah "O"
menjadi "I", tidak dapat disebut conversi oleh karena kualitas proposisi yang
diperoleh berbeda dari kualitas proposisi yang diberikan. Lagi pula subjek
proposisi itu bukanlah predikat premis, tetapi kontadiktori.
Socrates adalah suami Eksantippe.
Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung

154
Eksantippe adalah istri Socrates.
8.7.2. Obversi
Obversi adalah sejenis penarikan konklusi secara langsung dalam mana
terjadi perubahan kualitas proposisi, sedangkan artinya tetap sama. Dengan
kata lain, obversi memberikan persamaan dalam bentuk negatif bagi proposisi
afirmatif, atau persamaan dalam bentuk afirmatif bagi proposisi negatif.
Prinsip-prinsip obversi:
 Subjek obvertend sama dengan subjek obverse
 Predikat obverse adalah kontradiktori dari predikat obvertend
 Kualitas obverse kebalikan dari kualitas obvertend
 Kuantitas obverse sama dengan kuantitas obvertend
Obversi "A": Obversi “A" adalah "E"
Obvertend : Semua S adalah P
Obverse : Tidak satu pun S adalah bukan P Semua manusia adalah
mortal.
Tidak seorang pun manusia adalah tidak mortal. Obversi
Obversi "E" "E" adalah "A"
Obvertend Tidak satu pun S adalah P
Obverse Semua S adalah tidak P
Tidak seorang pun manusia adalah kuda.
Semua manusia adalah tidak kuda.
Obversi "I" : Obversi "I" adalah "O"
Obvertend Sebagian S adalah P Sebagian
Obverse S adalah tidak P

155
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
Sebagian manusia adalah bijaksana. Sebagian
manusia tidaklah tidak bijaksana.
Obversi "O": Obversi "O" adalah "I"
Obvertend: Sebagian S tidaklah P
Obverse : Sebagian S adalah P
Jadi dengan obversi A memberikan E, E memberikan A, I
memberikan O dan O memberikan I.
8.7.3. Kontraposisi
Kontraposisi adalah sejenis penarikan konklusi secara langsung dalam
mana kita menarik konklusi dari satu proposisi dengan subjek yang
kontradiktoris dari predikat yang diberikan. Konklusi dalam kontraposisi
disebut kontrapositif, sedangkan untuk proposisi yang diberikan tidak ada
nama yang tertentu.
Prinsip-prinsip yang berlaku dalam menarik konklusi dengan
kontraposisi adalah sebagai berikut:
Subjek konklusi adalah kontradiktori predikat yang diberikan
• Predikat konklusi adalah subjek proposisi yang diberikan
• Kualitasnya berubah
• Tidak ada term yang tersebar dalam konklusi jika tidak tersebar pula
dalam premis. Kalau penyebaran yang salah tidak terjadi, kuantitas
konklusi sama dengan kuantitas premis, sedangkan bila ada kemungkinan
untuk penyebaran yang salah, konklusi menjadi khusus meskipun premis
universal.
Kontraposisi adalah bentuk majemuk dari penarikan

156 Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


konklusi secara langsung yang mencakup obversi dan conversi.
Dengan singkat prinsip kontraposisi adalah sebagai berikut: mula- mula
obversikan, kemudian conversikan.
Kontraposisi "A"
Proposisi "A" jika obversikan menjadi "E". Dan "E" jika diconversikan
menjadi "E" pula. Karena itu kontraposisi "A" adalah "E".
A-Semua S adalah P
E- Tidak satu pun S adalah tidak P E-
Tidak satu pun tidak P adalah S
Kontraposisi "E"
Proposisi "E" jika diobversikan menjadi "A", dan “A" kalau
diconversikan menjadi "I".
E- Tidak satu pun S adalah P A-
Semua S adalah tidak P
I- Sebagian tidak P adalah S
Dalam hal ini proposisi yang diberikan adalah universal, sedangkan
kontrapositifnya adalah khusus, karena itu kalau kita berusaha menarik
konklusi dalam bentuk proposisi universal maka subjek tidak P akan tersebar,
sedangkan dalam premis yang kedua tidak tersebar. Proposisi "I" jika

diobversikan menjadi "O” dan proposisi "O" tidak dapat diconversikan.

Proposisi "O" jika diobversikan menjadi “I", dan "I" jika dikonversikan

menjadi "I"
lagi, jadi kontraposisi "O" adalah "I".
0- Sebagian S tidaklah P
1- Sebagian S adalah tidak P I-
Sebagian tidak P adalah S
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Ringkasnya: dengan kontraposisi A menjadi E, E menjadi I, O menjadi I dan I
tidak ada kontraposisinya.
8.7.4. Inversi
Inverse adalah sejenis penarikan konklusi secara langsung di mana
subjek pada konklusi kontradiktori dari subjek proposisi yang diberikan.
Proposisi yang diberikan disebut invertend dan konklusi disebut inverse.
Ada dua jenis yaitu inverse, yaitu inversi penuh dan inversi sebagian.
Inversi penuh adalah inversi yang predikat inversenya adalah kontradiktori
dari predikat proposisi yang diberikan, dan inverse sebagian adalah
inversi yang predikat inversenya sama dengan predikat inver- tendnya.
Peraturan-peraturan yang berlaku dalam inverse adalah sebagai
berikut :
1. Subjek inverse adalah kontradiktori dari subjek invertendnya
2. Dalam inversi sebagian predikat inverse sama dengan predikat
invertendnya, sedangkan dalam inversi penuh predikat inverse
adalah kontradiktori dari predikat invertendnya.
3. Kuantitas invertend universal dan kuantitas inverse khusus. Jadi
hanya proposisi-proposisi universal saja yang dapat diinversikan.
4. Dalam inverse penuh kualitas inverse sama dengan kualitas
invertend, sedangkan dalam inversi sebagian kualitas inverse
berbeda dari kualitas invertend. Inversi, sebagaimana kontraposisi
adalah bentuk

158 Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


majemuk daripada penarikan konklusi secara langsung yang mencangkup obverse dan
conversi. Tetapi berbeda dengan kontraposisi, dalam inversi tidak ada urutan tertentu
tentang penggunaan obverse dan inversi. Tujuannya hanyalah untuk mendapatkan
konklusi yang merupakan kontradiktori daripada subjek proposisi yang diberikan. Dengan
tujuan ini terus menerus kita menarik konklusi dengan conversi dan obversi berganti-
ganti, sampai kita menemukan konklusi yang dikehendaki. Akan tetapi kalau kita mulai
dengan obverse ternyata kita tidak dapat terus, maka kita harus
menghentikannya dan mulai lagi dengan conversi. Demikian pula sebaliknya.
Inversi "A":
Inventend A : semua S adalah P
Obverse ( 1 ) E : Tidak satu pun S adalah tidak P
Converse ( 2 ) E : Tidak satu pun tidak P adalah S
Obverse ( 3 ) A : Semua tidak P adalah tidak S
Converse (4 )1 : Sebagian tidak S adalah tidak P (Inversi lengkap ) Obverse ( 5
) O : Sebagian tidak S adalah tidak P (Inversi sebagian)
Kalau kita telah mulai dengan konversi maka kita akan terhenti sebelum
sampai kepada hasilnya.
Invertend A : Semua S adalah P
Inverse I : Sebagian P adalah S
Obverse O : Sebagian P tidaklah tidak S
Karena O tidak dapat diconversikan, maka proses inversi itu terhenti sebelum kita
sampai pada hasilnya. Jadi

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


A menjadi I dengan inverse penuh dan menjadi O dengan Inversi sebagian. Akan tetapi,
haruskah diperhatikan bahwa dalam inverse sebagian P tersebar, sedangkan dalam
invertend tidak tersebar, tetapi karena tidak ada kesalahan dalam proses obversi dan
conversi sewaktu kita menarik konklusi,
maka konklusi benar.
Inversi "E" :
Invertend E : Tidak satu pun S adalah P Converse
(1) E : Tidak satu pun P adalah S Obverse (2) A:
Semua P adalah tidak S
Converse (3) I : Sebagian tidak S adalah P (Inversi bagian) Obverse (4) O :
Sebagian tidak S tidaklah tidak P. (inverse penuh).
Karena itu, E memberikan O dengan inverse penuh dan memberikan I dengan inversi
sebagian. Dalam hal ini, bila untuk pertama kali kita mulai dengan obversi, maka proses
inversi ini tidak akan dapat kita lanjutkan.
Invertend E : Tidak satu pun S adalah P Obverse (1) A :
Semua S adalah tidak P Converse (2) I: Sebagian tidak
P adalah S Obverse (3) O: Sebagian tidak P tidaklah
tidak S
Karena O tidak dapat diconversikan maka inverse ini tidak dapat
dilanjutkan.
Inversi “I" :
Invertend I : Sebagian S adalah P Converse (1 )I :
Sebagian P adalah S Obverse (2) O: Sebagian P
tidaklah tidak S
O tidak dapat diconversikan, inverse ini harus kita
Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung
160
hentikan dulu dan kita coba lagi mulai dengan obversi. Invertend I :
Sebagian S adalah P
Obverse (1) O: Sebagian S tidaklah tidak P
Disini pun tidak dapat pula kita conversikan, dan akibatnya kita tidak dapat
menginversikan I.
Inversi "O" :
Invertend O : Sebagian S tidaklah P Obverse (1 ) I
: Sebagian S adalah tidak P Converse (2) I:
Sebagian tidak P adalah S Observe (3) O:
Sebagian tidak P adalah -S
Akan tetapi proposisi kita O tidak dapat kita conversikan dan karena itu sebaiknya
kita coba mula-mula dengan converse
Invertend : Sebagian S adalah tidak P
Proposisi O ini pun tidak dapat pula diconversikan, dan karena itu proses deduksi
ini harus kita hentikan saja dan dengan demikian proposisi O ini tidak dapat
diinversikan.
Dapatlah sekarang kita ringkas, bahwa dengan inverse penuh, A memberikan I dan
E memberikan O, dengan inverse sebagian, A memberikan O dan E memberikan I, dan O
tidak dapat diinversikan.
Tabel 8.1. di bawah ini dapat memberikan gambaran tentang hasil-hasil penarikan
konklusi secara langsung:

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Tabel 8.1.
Rangkuman Pola Penyimpulan Langsung Berdasarkan atas
Kuantitas, Kualitas, dan Posisi S (Subjek) dan P (Predikat) dalam
Suatu Proposisi
Proposisi Conver Obversi Kontra Inversi Inversi
si posisi Penuh sebagian
yang
diberikan
A Semua S I E E I O
adalah P
E Tidak E A I O I
satupun S
adalah P
I Sebagian S I O - - -
adalah P
- I I -
-
O Sebagian S
tidaklah P

8.8. Ringkasan
Penalaran langsung merupakan pola penyimpulan yang langsung dapat ditentukan
dari proposisi atau kalimat yang tersedia. Kalimat terdiri dari term S (subjek) dan P
(predikat). Melalui kalimat yang dinyatakan dalam bahasa tersebut maka penyimpulan
langsung dapat dilakukan dan dapat dibuktikan kebenarannya.
Para ahli pikir menggolongkan proposisi dalam empat jenis yaitu proposisi: (i) A
(universal afirmatif); (ii) E (universal negatif); (iii) I (particular afirmatif); dan O
(particular negatif). Penyimpulan langsung dilakukan dengan cara mempertukarkan
proposisi berdasarkan kualitas afirmatif dan negative, letak S (subjek) dan P (prediket),
dan menyimpulkan langsung melalui kuantitas proposisi.
Empat jenis proposisi dapat dilakukan penyimpulan

Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


langsung dengan teknik atau cara converse, obverse, kontraposisi, dan inversi. Oleh sebab
itu, terdapat 20 jenis penyimpulan langsung atas suatu proposisi. Dari 20 proposisi itu,
sejumlah 15 proposisi yang penyimpulannya valid. Lima penyimpulan langsung lainnya
dinyatakan tidak valid atau tidak ditemui kesimpulannya, atau tidak dapat disimpulkan
dalam pemahaman dan penalaran logika.

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

163
Bab IX

Pola Penalaran Induksi

9.1. Deskripsi
Pada topik ontologi ilmu telah dijelaskan bahwa pada dasarnya
hakikat ilmu adalah objek bahasannya yang empiris terdapat dalam
kegiatan keseharian, dapat diamati (dipotret, dividco) yang karenanya
lingkup ilmu pengetahuan adalah hal- hal yang dapat diukur (measurable),
dan dapat diamati (observable). Objek empiris dari ilmu adalah
mengandung gejala yang memiliki keserupaan yang satu dengan yang lain,
karenanya pula dapat diidentifikasi kecenderungan- kecenderungan dari
gejala yang diamati. Melalui metode penelaahan yang cermat, maka
dapatlah disusun teori yang tingkat kebenaran (logika)nya yang memiliki
probabilitas kebenaran yang tinggi, sejauh tidak terdapat bukti baru yang
membantahnya.
Uraian berikut merupakan penjabaran dari logika induktif dengan
menempatkan asumsi dasar objek empiris dalam ilmu pengetahuan.

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan 165


Logika Ilmu
9.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang: (i)
pengertian induksi; (ii) prinsip dalam penalaran induksi; (iii) generalisasi
dan analogi induksi; dan (iv) faktor- faktor probabilitas.

9.3. Pengertian Penalaran Induksi


Filsuf pada zaman keemasan Yunani, Aristoteles me- nyatakan
bahwa proses peningkatan dari hal-hal yang bersifat individual kepada
yang bersifat universal, disebut sebagai pola penalaran induksi. Di situ
premisnya berupa proposisi-proposisi singular, sedangkan konklusinya
sebuah proposisi universal, yang berlaku secara umum.
Menurut John Stuart Mill (1806-1873), induksi sebagai kegiatan
budi, di mana kita menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui benar untuk
kasus atau kasus-kasus khusus, juga akan benar untuk semua kasus yang
serupa dengan yang tersebut tadi dalam hal-hal tertentu.
(“... that operation of the mind, by which we infer that we know to be
true in particular case or cases, will be true in all cases which resemble
the former in certain assignable respects")

9.4. Prinsip-prinsip Penalaran Induksi


Misalnya, terdapat penalaran sebagai berikut: Apel 1
keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam. Apel
3 adalah keras dan hijau.
Apel 4 adalah masam.

166 Pola Penalaran Induksi


Premis-premis dari induksi ialah proposisi empiris yang langsung
kembali kepada suatu observasi indra atau proposisi dasar (basic
statement). Proposisi dasar menunjuk kepada fakta, yaitu observasi yang
dapat diuji kecocokannya dengan tangkapan indra. Pikiran tidak dapat
mempersoalkan benar- tidaknya fakta, akan tetapi hanya dapat
menerimanya. Bahwa apel itu keras, hijau, dan masam, hanya indralah
yang dapat menangkapnya. Sekali indra mengatakan demikian, pikiran
tinggal menerimanya.
Konklusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang
dinyatakan di dalam premis-premisnya. Premis- premisnya hanya
mengarahkan bahwa apel yang keras, hijau dan masam itu hanya dua, apel
1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan itulah yang dirumuskan di dalam
premis- premis itu. Kalau dikatakan, bahwa juga apel 3 itu masam, hal itu
tidak didukung oleh premis-premis penalaran. Menurut kaidah-kaidah
logika, penalaran itu tidak sahih. Pikiran tidak terikat untuk menerima
kebenaran konklusinya.
Meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia
yang normal akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk
menolaknya. Jadi konklusi penalaran induktif itu oleh pikiran dapat
dipercaya kebenarannya atau dengan perkataan lain: konklusi induksi itu
memiliki kredibilitas rasional. Kredibilitas rasional disebut probabilitas.
Probabilitas itu didukung oleh pengalaman, artinya konklusi induksi itu
menurut pengalaman biasanya cocok dengan observasi indra, tidak mesti
harus cocok.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Contoh:
Premis umum : Mata kuliah Filsafat Ilmu adalah mata kuliah
wajib mahasiswa UNAIR semester II. Premis
khusus : Diana, Tyas, dan Tania adalah mahasiswa
UNAIR semester II.
Kesimpulan : Diana, Tyas dan Tania harus mengambil mata
kuliah Filsafat Ilmu.

9.5. Generalisasi Induksi dan Analogi Induksi

9.5.1. Generalisasi Induksi


Telah dapat diketahui bahwa, penalaran yang menyim- pulkan suatu
konklusi yang bersifat umum dari premis- premis yang berupa proposisi
empirik itu disebut generalisasi.
Prinsip yang menjadi dasar penalaran generalisasi itu dapat
dirumuskan demikian: "apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi
tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama
terpenuhi
Hasil penalaran Generalisasi induktif itu sendiri juga disebut
generalisasi, generalisasi dalam arti ini berupa suatu proposisi universal,
seperti; semua apel yang keras dan hijau, rasanya masam. Semua logam
yang dipanasi memuai.
Generalisasi yang sebenarnya harus memenuhi tiga syarat antara
lain;
1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik artinya
generalisasi tidak boleh terikat kepada jumlah tertentu.

2. Generalisasi harus tidak boleh terbatas secara spasio – 168 Pola


Penalaran Induksi
temporal. Artinya, tidak boleh terbatas dalam ruang dan waktu, jadi
harus berlaku di mana saja dan kapan saja.
3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian Yang
dimaksud dengan "pengandaian" di sini ialah dasar dari yang
disebut 'contary to-facts conditionals' atau 'unfulfilled conditional'.
Generalisasi yang dapat dijadikan dasar untuk pengan- daian itu
yang memenuhi syarat.
Contoh:
Diana adalah mahasiswa UNAIR, rajin dan pandai. Maka setelah
kita melihat karakter Diana yang ketiga memenuhi keadaan pintar dan
rajin, dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa diharapkan
Diana adalah mahasiswa UNAIR.
Kesimpulan tadi hanya suatu yang diharapkan, suatu kepercayaan,
karena seperti yang dikatakan tentang perumusan penalaran Generalisasi
yang diterangkan di atas, bahwa konklusi penalaran induktif tidak
mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya berupa suatu
probabilitas, suatu
peluang.
9.5.2. Analogi Induksi
Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang
berlainan, yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu
dibandingkan yang satu dengan yang lain, dengan mengidentifikasi
mencari persamaan. Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau
sebagai dasar penalaran. Sebagai penjelasan biasanya

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan 169


Logika Ilmu
disebut perumpamaan atau persamaan.
Pada dasarnya bentuk penalaran analogi induksi itu baik faktor-
faktor probabilitasnya maupun kaidah-kaidahnya adalah sama dengan
generalisasi induksi. Tetapi dalam metode keilmuan analogi induktif itu
dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu objek atau fakta itu, dan
sifat-sifat apakah yang dapat diharapkan padanya, sedangkan generalisasi
induksi terutama digunakan untuk menemukan hukum, menyusun teori,
atau hipotesis. Contoh:
Calista mahasiswa UNAIR adalah anak yang rajin dan pandai
• Michelle mahasiswa UNAIR adalah anak yang rajin dan pandai
• Tyas mahasiswa UNAIR adalah anak yang rajin dan pandai
• Diana mahasiswa UNAIR
• Jadi: Diana mahasiswa UNAIR adalah anak yang rajin dan
pandai.
Jadi analogi induksi tidak hanya menunjukkan persamaan di antara
dua hal yang berbeda, akan tetapi menarik kesimpulan atas dasar
persamaan itu. Dapat dilihat dari contoh diatas bahwa Calista, Michele,
Tyas, adalah mahasiswa UNAIR yang pintar dan rajin, akan tetapi karena
Diana dikumpulkan sebagai mahasiswa UNAIR maka diambil kesimpulan
bahwa ia adalah anak yang pintar dan rajin sesuai dengan kelompoknya
pembanding tersebut.

Pola Penalaran Induksi


9.5.3. Faktor Probabilitas dalam Penalaran Induksi
9.5.3.1. Jumlah Fakta sebagai Faktor Probabilitas
Jumlah fakta dijadikan dasar penalaran induktif, kaidahnya dapat
dirumuskan sebagai berikut: makin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar
penalaran induktif makin tinggi probabilitas konklusinya, dan sebaliknya.
Kaidah inilah yang menjadi dasar maka dalam usaha untuk
menambah pengetahuan ilmiah, yaitu dalam penelitian, harus digunakan
sebanyak mungkin fakta sebagai dasar penalarannya. Yang ideal ialah
kalau semua fakta dapat dirumuskan sebagai premis. Jumlah dari semua
subjek yang ditunjuk oleh konklusi yang berupa generalisasi dan
berbentuk proposisi universal itu dalam rangka penelitian disebut
populasi. Penelitian yang menggunakan penalaran yang menggunakan
jumlah fakta yang dijadikan dasar premis- premisnya sama besarnya
dengan populasi subjek yang diteliti ialah penelitian metode sensus.
Berlainan dengan metode sampling, yang menggunakan penalaran yang
premis- premisnya menunjuk kepada sebagian saja dari populasi yang
bersangkutan.
9.5.3.2. Faktor Analogi sebagai Faktor Probabilitas
Jika premis-premis kedua penalaran dibandingkan,
maka di antara premis penalaran ada faktor yang sama yang disebut faktor
analogi. Konklusi menunjuk kepada suatu populasi yang lebih besar
daripada yang ditunjuk oleh premis- premisnya. Dengan adanya tambahan
dua faktor analogi itu probabilitas menurun.
Jadi jumlah faktor analogi itu adalah faktor probabilitas.
Kaidahnya dapat dirumuskan: makin besar jumlah

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 171


faktor analogi di dalam premis, makin rendah probabilitas konklusinya dan
sebaliknya. Jadi setiap generalisasi induktif hanya berlaku untuk populasi
yang dimaksud oleh premis- premisnya.
9.5.3.3. Faktor Dis-analogi sebagai Faktor Probabilitas
Makin besar jumlah faktor disanalogi di dalam suatu premis, makin
tinggi probabilitas konklusinya dan sebaliknya. Perbedaan masing-masing
faktor dalam premis penalaran disebut faktor dis analogi. Probabilitas
dalam suatu premis penalaran dapat dikatakan lebih tinggi atau lebih
rendah tergantung dari banyak sedikitnya kesamaan dan perbedaan
konklusi penalaran.
Hubungan antara faktor analogi dan dis-analogi itu secara umum
dapat dikatakan demikian: populasi yang ditunjuk oleh generalisasi tidak
boleh memiliki anggota yang tidak sesuai dengan adanya faktor analogi
dan dis- analogi di dalam premis.
9.5.3.4. Luas dan Sempitnya kesimpulan sebagai Faktor
Probabilitas
Semakin luas konklusi sebuah premis, semakin rendah
probabilitasnya dan sebaliknya. Apabila faktor analogi di dalam
generalisasi sedikit, semakin besar kemungkinan generalisasi atau proporsi
itu tidak sesuai lagi kalau anggotanya ada yang memiliki faktor analogi
lebih daripada yang disebut di dalam generalisasi atau proporsi itu.
Untuk membuktikan bahwa sebuah rumusan memiliki probabilitas
yang diharapkan, harus dicari fakta- fakta yang mengandung faktor-faktor
analogi yang sesuai

172 Pola Penalaran Induksi


dengan faktor-faktor yang terdapat di dalam rumusan tujuan. Usaha
pengumpulan fakta ini dapat dilakukan dengan cara menyebar angket. Di
dalam angket yang digunakan, harus disebutkan faktor-faktor analogi yang
dicari itu. Tanpa memahami fungsi faktor analogi ini, pengumpulan data
mengenai ketentuan dari fakta yang dicari merupakan suatu usaha yang
tidak mengarah. Faktor analogi jumlahnya tidak terbatas dan yang dicari
adalah yang terpenting dan relevan. Kumpulan fakta tidak selalu dapat
digunakan untuk menyimpulkan suatu generalisasi. Berapa pun fakta yang
cocok yang telah terkumpul, karena penalarannya itu suatu induksi,
kesimpulannya hanya mengandung probabilitas, sebaliknya bila ada satu
fakta saja yang tidak cocok, kesimpulannya pasti salah. Ini yang disebut
asimetri dalam induksi.

9.6. Studi Kasus


Pak Sastro seorang pegawai negeri yang dipindah- pindahkan dari
tempat satu ke tempat yang lain. Ia baru saja dipindahkan ke Bogor dan
ingin menyekolahkan anaknya yang keempat di SMA Negeri di kota itu.
Ditanya mengapa ia memilih sekolah negeri, jawabannya "anak saya
yang pertama di SMA Negeri Surabaya dan ia dapat meneruskan ke
Universitas tanpa kesulitan. Anak saya yang kedua di SMA Negeri Jakarta
dan yang ketiga di SMA Negeri di Bandung, kedua-duanya dapat
meneruskan ke Universitas tanpa kesulitan. Jadi yang keempat saya
sekolahkan di SMA Negeri supaya dapat meneruskan ke Universitas
dengan lancar."

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Apakah probabilitasnya naik atau turun?, kalau
diadakan perubahan sebagai berikut:
a. Ketiga anak Pak Sastro yang terdahulu itu semua di SMA Negeri
Surabaya.
Pada konklusi penalaran di atas probabilitasnya akan turun. Hal ini
dikarenakan jumlah faktor dis-analogi semakin sedikit. Terdapat
pernyataan bahwa makin besar jumlah faktor dis-analoginya di
dalam premis, makin tinggi probabilitas konklusinya dan sebaliknya.
Faktor dis- analogi yang rendah pada kasus di atas terjadi karena
ketiga anak Pak Sastro semuanya bersekolah di SMA Negeri di
Surabaya.
b. Anak Pak Sastro tidak empat tetapi sepuluh orang, yang sembilan
sudah di universitas, semuanya dari SMA Negeri di berbagai tempat.
Yang kesepuluh
hendak dimasukkan SMA Negeri di Bogor.
Pada konklusi penalaran di atas probabilitasnya akan naik. Hal ini
didasari atas faktor probabilitas yang pertama yaitu makin besar
jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, makin tinggi
probabilitas konklusinya. Jumlah fakta yang sebelumnya empat
bertambah hingga sembilan mengakibatkan naiknya probabilitas.
c. SMA Negeri di Surabaya, Jakarta, dan Bandung itu gedungnya
mentereng, peralatannya lengkap, murid- muridnya dari golongan
orang kaya atau dari masyarakat golongan atas. Sedangkan di Bogor
gedungnya sederhana, peralatannya lengkap, guru-gurunya
berpengalaman, akan tetapi karena Bogor kota kecil maka
Pola Penalaran Induksi
murid yang kaya atau yang dari kelas atas masyarakat tidak banyak.
Kebanyakan muridnya dari kelas menengah.
Pada konklusi penalaran di atas probabilitasnya akan turun. Karena
seperti yang telah kita ketahui, makin besar jumlah faktor analogi di dalam
premis, maka makin rendah probabilitas konklusinya. Pada contoh ini,
faktor analoginya terletak pada persamaan karakteristik antara SMA
Negeri di Surabaya, Jakarta, dan Bandung yaitu gedungnya yang
mentereng, peralatannya lengkap, murid- muridnya dari golongan orang
kaya atau dari masyarakat golongan atas.

9.7. Ringkasan
Induksi merupakan pola penalaran untuk melakukan penyimpulan
dalam logika dari kasus-kasus individual atau partikular menuju kepada
kasus-kasus umum/ universal. Pola penalaran induksi seperti ini disebut
sebagai generalisasi induksi, kesimpulannya berupa pernyataan umum.
Dalam penelitian melalui metode tertentu dilengkapi dengan sejumlah
bukti maka pernyataan umum itu disebut tesis, dan teori, disebut hukum
(law) apabila tingkat bukti kebenarannya tidak dapat dibantah lagi.
Dalam pola penalaran induksi juga terdapat analogi induksi, yang
kesimpulannya bukan berupa pernyataan umum seperti generalisasi
induksi, namun berupa pernya- taan- pemyataan yang pembuktiannya
mendasarkan pada unsur- unsur yang sama dengan mengabaikan
perbedaan. Pola penalaran seperti ini disebut sebagai analogi induksi.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan


Logika Ilmu 175
Analogi atau kias, serupa dengan kasus-kasus tersebut maka hal-hal yang
dinyatakan itu umumnya mendekati ketepatan atau kebenaran.
Prinsip dasar dalam penyimpulan dalam penalaran induksi adalah
objek empiris, tidak perlu mencapai kebenaran yang mutlak atau
permanen, cukup dengan memiliki peluang (probabilitas) untuk benar atau
tepat. Tingkat-tingkat kebenaran dalam pola penalaran induksi ditentukan
oleh sejumlah faktor probabilitas yang terdiri dari jumlah fakta, jumlah
faktor analogi, jumlah faktor dis analogi, dan luas sempitnya kesimpulan.

Pola Penalaran Induksi


Bab X

Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah

10.1. Deskripsi
Upaya-upaya untuk dapat menemukan kesimpulan yang tepat
atau benar dilakukan dengan menyusun pola penalaran sesuai dengan
prinsip-prinsip panalaran yang tepat. Di sisi lain terdapat cara juga
untuk menemukan kesimpulan yang tepat itu dengan cara menghidari
pola penalaran yang sesat. Inilah yang disebut dengan kesesatan
(fallacy) dalam penalaran ilmiah sebagai bagian dalam pembahasan
tentang logika.
Dalam konteks tersebut maka pada bagian ini diuraikan tentang:
(i) pengertian, (ii) klasifikasi; (iii) kesesatan bahasa;
(iv) kesesatan relevansi; (v) relevansi kesesatan berpikir dengan ilmu
pengetahuan.
10.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada bagian ini adalah men- jelaskan
kesesatan berpikir ini meliputi: (i) pengertian, (ii) klasifikasi; (iii)
kesesatan bahasa; (iv) kesesatan relevansi;
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
(v) relevansi kesesatan berpikir dengan ilmu pengetahuan.

10.3. Sesat Pikir


Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berpikir
dikarenakan penyalahgunaan bahasa dan atau penyalahan relevansi.
Kesesatan merupakan bagian dari logika, dikenal juga sebagai
fallacia/falacy, di mana beberapa jenis kesesatan penalaran dipelajari
sebagai lawan dari argumentasi logis. Kesesatan terjadi karena dua hal:
(i) ketidaktepatan bahasa: pemilihan terminologi yang salah.
(ii)ketidaktepatan relevansi: pemilihan premis yang tidak tepat; yaitu
membuat premis dari proposisi yang salah. Proses kesimpulan premis
yang caranya tidak tepat; premisnya tidak berhubungan dengan
kesimpulan yang dicari. Mengikuti John Locke, psikolog dan ahli
filsafat pendidikan
John Dewey yang mengidentifikasi beberapa kesesatan berpikir yang pada
akhirnya termanifestasi dalam perilaku yang juga sesat (Dewey, 1933:
131-134).
Pertama, kesesatan yang terjadi karena subjek sesung- guhnya jarang
berpikir sendiri dan berpikir atau bertindak sesuai dengan apa yang
dipikirkan dan dilakukan orang lain. Ini dilakukan terutama untuk mencari
aman bagi diri sendiri. Subjek didik yang terbiasa dengan kultur
pendidikan seperti ini tumbuh menjadi manusia bermoralitas heteronom
layaknya sebuah robot berjalan.
Kedua, kesesatan di mana subjek bertindak seakan sangat
menghargai rasio, tetapi kenyataannya tidak menggunakan rasionya sendiri
dengan baik. Rasionalitas hanya

178 Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


muncul sebagai retorika tanpa pernah menjadi nyata secara substansial
dalam cara berpikir dan bertindak. Subjek seperti ini juga tidak
mendengarkan sungguh-sungguh alasan orang lain, kecuali mengikuti rasa
humor, kepentingan, atau kelompoknya sendiri.
Ketiga adalah kesesatan yang terjadi akibat subjek tidak terbuka
untuk melihat persoalan secara komprehensif; terpaku hanya pada
pendapat atau pendekatan tertentu, orang tertentu, atau sumber tertentu.
Kelompok orang seperti ini menggunakan rasionya dengan baik, tetapi
karena perspektifnya sempit maka cara menjawab persoalan pun tidak
tepat. Sikap mengejar tujuan dengan bertumpu pada sebuah pola tunggal
mengindikasikan betapa subjek terpasung oleh keyakinan- keyakinan sesat
akibat ketidakmampuan membuka diri dan melihat berbagai perspektif dan
kemungkinan-kemungkinan berbeda dalam mengejar sebuah tujuan.
Dalam bahasa Francis Bacon, kesesatan berpikir yang pada
gilirannya berimbas pada perilaku yang sesat sesungguhnya adalah buah
dari keterperangkapan subjek dalam idols — pengetahuan dan kebenaran
yang sejatinya semu, tetapi digunakan begitu saja sebagai stand point
karena luput dari sikap kritis subjek. Kecenderungan menegakkan disiplin
dengan cara-cara kekerasan dan bukan lewat persuasi rasional
mengindikasikan betapa mereka yang mem- praktikkannya terkolonisasi
oleh keyakinan-keyakinan semu seperti itu.
Kemalasan berpikir. Kesesatan yang pada akhirnya berbuah
kekerasan, entah fisik atau psikis, pada dasarnya

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 179


bertumpu pada akar yang sama: kemalasan berpikir. Perilaku dogmatis,
kecenderungan memutlakkan sebuah pendekatan, ketidakmampuan
membuka diri pada kemungkinan kebenaran lain, serta sikap fragmentaris
dan meremehkan atau bahkan mengabaikan keberagaman perspektif dalam
mencari dan menemukan kebenaran adalah anak-anak kandung yang baik
dari kemalasan berpikir. Pemaksaan kehendak dan cara berpikir yang
dapat berbuntut pada kekerasan adalah akibat dari ketidakmampuan subjek
untuk bersikap kritis terhadap keyakinan-keyakinannya sendiri.
Imbas negatif seperti itu mudah dipahami ketika keyakinan-
keyakinan sesat pada tingkat tertentu berubah menjadi, meminjam istilah
Dewey, kekuatan tidak kelihatan (invisible power) yang secara konstan
mengendalikan (govern) subjek dan memaksanya tunduk tanpa memberi
ruang berkembangnya sikap rasional. Subjek yang terkolonisasi oleh
keyakinan-keyakinan sesat pada akhirnya kehilangan kemampuan distansi,
kemampuan yang memungkinkan subjek tidak begitu saja tunduk pada
dorongan-dorongan instingtual irasional.
Karena itu perlu latihan berpikir, dengan sasaran utama membantu
subjek menyadari kemungkinan adanya keyakinan- keyakinan semu (idols)
dalam pikirannya. Dengan kata lain, proses pendidikan seharusnya
membantu subjek didik melepaskan diri dari inner ideas- gagasan-gagasan
yang diterima begitu saja tanpa dilihat manfaatnya, tanpa diuji secara
kritis, atau yang hanya diramu dalam kemasan menarik, namun tanpa
unsur baru
Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah

180
yang memperkaya cara berpikir dan karenanya mencerahkan (Whitehead,
1967:1-14).
Untuk menghilangkan sikap itu proses pendidikan harus mampu
membangkitkan kesadaran dalam diri subjek didik bahwa penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai pendekatan ilmiah yang
mendasarinya bukanlah tujuan akhir (final ends) pendidikan.
Penguasaan pengetahuan dan teori atau pendekatan ilmiah hanyalah
tujuan antara (instrumental ends) yang hanya bermakna sejauh
berkontribusi pada kesejahteraan manusia.
Itu sebabnya yang menjadi satu-satunya persoalan pokok dalam
pendidikan, demikian Whitehead, adalah kehidupan dengan segala
manifestasinya. Itu berarti, pendidikan seharusnya diarahkan dan bermuara
pada pengembangan kemampuan subjek didik untuk menerapkan
pengetahuannya secara bijak dan tepat. "Education is the acquisition of
the art of the utilization of knowledge", kata Whitehead, sebuah seni yang
pasti tidak mudah untuk ditanamkan tetapi kalau diusahakan secara sadar
dan sistemik berbuah dalam bentuk perilaku yang
beradab.
10.3.1. Klasifikasi Kesesatan Berpikir
Dalam sejarah perkembangan logika terdapat berbagai macam tipe
kesesatan dalam penalaran. Walaupun model klasifikasi kesesatan yang
dianggap baku hingga saat ini belum disepakati para ahli, mengingat cara
bagaimana penalaran manusia mengalami kesesatan, sangat bervariasi,
namun secara sederhana kesesatan dapat dibedakan dalam

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


181
dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material.
10.3.1.1. Kesesatan Formal
Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk
(forma) penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi
karena pelanggaran terhadap prinsip- prinsip logika mengenai term dan
proposisi dalam suatu argumen (lihat hukum-hukum silogisme).
10.3.1.2. Kesesatan Material
Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi
(materi) penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa
(kesesatan bahasa) yang menyebabkan kekeliruan dalam menarik
kesimpulan, dan juga dapat terjadi karena memang tidak adanya hubungan
logis atau relevansi antara premis dan kesimpulannya (kesesatan
relevansi). Setiap kata dalam bahasa memiliki arti tersendiri, dan masing-
masing kata itu dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai dengan
arti kalimat yang bersangkutan. Maka, meskipun kata yang digunakan itu
sama, namun dalam kalimat yang berbeda, kata tersebut dapat bervariasi
artinya. Ketidakcermatan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat itu
dapat menimbulkan kesesatan penalaran.
10.4. Kesesatan Bahasa
Setiap kata dalam bahasa memiliki arti tersendiri, dan masing-
masing kata dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai dengan
keseluruhan arti kalimatnya.
Maka, meskipun kata yang digunakan itu sama, namun dalam kalimat
yang berbeda, kata tersebut dapat

Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah

182
bervariasi artinya. Ketidakcermatan dalam menentukan arti kata atau arti
kalimat itu dapat menimbulkan kesesatan penalaran. Berikut ini adalah
beberapa bentuk kesesatan
karena penggunaan bahasa.
10.4.1. Kesesatan Aksentuasi
Pengucapan terhadap kata-kata tertentu perlu diwaspadai karena ada
suku kata yang harus diberi tekanan. Pengubahan dalam tekanan terhadap
suku kata dapat menyebabkan pengubahan arti. Karena itu, kurangnya
perhatian terhadap tekanan ucapan dapat menimbulkan perbedaan arti
sehingga penalaran mengalami kesesatan.
10.4.2. Kesesatan Aksentuasi Verbal
Contoh:
• Serang (kota) dan serang (tindakan menyerang dalam
pertempuran).
• Apel (buah) dan apel bendera (menghadiri upacara
bendera).
• Mental (kejiwaan) dan mental (terpelanting).
• Tahu (masakan, makanan) dan tahu (mengetahui sesuatu).
10.4.3. Kesesatan Aksentuasi non-verbal
Contoh sebuah iklan: "Dengan 2,5 juta dapat membawa motor".
Mengapa bahasa dalam iklan ini termasuk kesesatan aksentuasi non-verbal
(contoh kasus):
Karena motor ternyata baru dapat dibawa (pulang) tidak hanya
dengan uang 2,5 juta, tetapi juga dengan menyertakan syarat-syarat lainnya
seperti slip gaji, KTP,

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 183


rekening listrik terakhir dan keterangan surat kepemilikan rumah.
Contoh ungkapan: "...Apa" dan "Ha..."
Memiliki arti yang berbeda-beda bila:
• diucapkan dalamkeadaan marah
• diucapkan dalamkeadaan bertanya
• diucapkan untukmenjawab panggilan.
10.4.4. Kesesatan Ekuivokasi
Kesesatan ekuivokasi adalah kesesatan yang disebabkan karena
satu kata mempunyai lebih dari satu arti. Bila dalam suatu penalaran
terjadi pergantian arti dari sebuah kata yang sama, maka terjadilah
kesesatan penalaran.
10.4.4.1. Kesesatan Ekuivokasi Verbal
Adalah kesesatan ekuivokasi yang terjadi pada pem- bicaraan di
mana bunyi yang sama, disalahartikan menjadi dua maksud yang berbeda.
Contoh: bisa (dapat) dan bisa (racun ular).
Seorang pasien berkebangsaan Malaysia berjumpa dengan seorang
dokter Indonesia. Setelah diperiksa, dokter memberi nasihat, "Ibu perlu
menjaga makanannya."
Sang pasien bertanya, "Boleh saya makan ayam?". Sang dokter
menjawab "Bisa."
Sang pasien bertanya, "Boleh saya makan ikan?". Sang dokter
menjawab "Bisa."
Sang pasien bertanya, "Boleh saya makan sayur?". Sang dokter
menjawab "Bisa."
Sang pasien marah lalu membentak "Kalau semua bisa (beracun),
apa yang saya hendak makan ?"

184 Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah


• teh (tumbuhan, jenis minuman) dan teh (bahasa Sunda, kata
imbuhan).
• buntut (ekor) dan buntut (anak kecil yang mengikuti ke mana pun
seorang dewasa pergi).
• menjilat (es krim) dan menjilat (ungkapan yang dikenakan pada
seseorang yang memuji berlebihan dengan tujuan tertentu).
10.4.4.2. Kesesatan Ekuivokasi Non-Verbal
Kesesatan ekuivokasi non-verbal melalui contoh berikut: (i)
menggunakan kain atau pakaian putih-putih berarti orang suci. Di India
wanita yang menggunakan kain sari putih- putih umumnya adalah janda;
(ii) bergandengan sesama jenis pasti homo; (iii) menggelengkan kepala
(berarti tidak setuju), namun di India menggelengkan kepala dari satu sisi
ke sisi yang lain menunjukkan kejujuran.
10.4.4.3. Kesesatan Amfiboli
Kesesatan Amfiboli (gramatikal) adalah kesesatan yang dikarenakan
konstruksi kalimat sedemikian rupa sehingga artinya menjadi bercabang.
Ini dikarenakan letak sebuah kata atau term tertentu dalam konteks
kalimatnya. Akibatnya timbul lebih dari satu penafsiran mengenai
maknanya, padahal hanya satu saja makna yang benar sementara makna
yang lain pasti salah.
Contoh: "Dijual kursi bayi tanpa lengan".
Arti 1: Dijual sebuah kursi untuk seorang bayi tanpa lengan.
Arti 2: Dijual sebuah kursi tanpa dudukan lengan khusus untuk bayi.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Penulisan yang benar adalah: Dijual kursi bayi, tanpa lengan kursi.
Contoh lain: "Kucing makan tikus mati". Arti
1: Kucing makan, lalu tikus mati
Arti 2: Kucing makan tikus lalu kucing tersebut mati Arti 3:
Kucing sedang memakan seekor tikus yang sudah mati.
"(en) Panda eat shoots and leaves"
Arti 1: Panda makan, lalu menembak, kemudian pergi.
Arti 2: Seekor panda memakan pucuk bambu dan dedaunan. "Ali
mencintai kekasihnya, dan demikian pula saya!"
Arti 1: Ali mencintai kekasihnya, dan saya juga mencintai kekasih Ali.
Arti 2: Ali mencintai kekasihnya dan saya juga mencintai kekasih saya.
10.4.4.4. Kesesatan Metaforis
Disebut juga (fallacy of metaphorization) adalah kesesatan
yang terjadi karena pencampuradukan arti kiasan dan arti sebenarnya.
Artinya, terdapat unsur persamaan dan sekaligus perbedaan antara
kedua arti tersebut. Tetapi bila dalam suatu penalaran arti kiasan
disamakan dengan arti sebenarnya maka terjadilah kesesatan metaforis,
yang dikenal juga kesesatan karena analogi palsu. Contoh: "Pemuda
adalah tulang punggung negara"
Penjelasan kesesatan: Pemuda di sini adalah arti se- benarnya
dari orang-orang yang berusia muda, sedangkan tulang punggung
adalah arti kiasan karena negara tidak memiliki tubuh biologis dan
tidak memiliki tulang
186 Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah
punggung layaknya makhluk vertebrata.
Pencampuradukan arti sebenarnya dan arti kiasan dari suatu kata
atau ungkapan ini sering kali disengaja seperti yang terjadi dalam dunia
lawak. Kesesatan metaforis ini dikenal pula dengan nama kesesatan karena
analogi palsu.
Lelucon di bawah ini adalah contoh dari kesesatan metaforis:
Pembicara 1: Binatang apa yang haram?
Pembicara 2: Babi
P 1 : Binatang apa yang lebih haram dari binatang yang haram? P 2 :?
P 1 : Babi hamil! Karena mengandung babi. Nah, sekarang binatang
apa yang paling haram? Lebih haram daripada babi hamil?
P2 :?
P 1 : Babi hamil diluar nikah! Karena anak babinya anak haram..
10.5. Kesesatan Relevansi
Kesesatan relevansi adalah sesat pikir yang terjadi karena
argumentasi yang diberikan tidak tertuju kepada persoalan yang
sesungguhnya, tetapi terarah kepada kondisi pribadi dan karakteristik
personal seseorang (lawan bicara) yang sebenarnya tidak relevan untuk
kebenaran atau kekeliruan isi argumennya.
Kesesatan ini timbul apabila orang menarik kesimpulan yang tidak
relevan dengan premis nya. Artinya secara

187
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
logis kesimpulan tersebut tidak terkandung dalam/ atau tidak merupakan
implikasi dari premisnya.
Jadi penalaran yang mengandung kesesatan relevansi tidak
menampakkan adanya hubungan logis antara premis
dan kesimpulan, walaupun secara psikologis menampakkan adanya
hubungan, namun kesan adanya hubungan secara psikologis ini sering
kali membuat orang terkecoh.
Kesesatan relevansi ini terdiri dari: (i)Argumentum ad Hominem,
(ii) Argumentum ad Baculum, (iii) Argumentum ad Populum, (iv)
Argumentum Auctoritatis, (v) Argumentum ad Verecundiam,
(vi)Ignoratio Elenchi, (vii) Argumentum ad Ignoratiam, (viii) Petitio
Principii, (ix) Kesesatan non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter
Hoc/False Cause) (x) Kesesatan Aksidensi (xi) Kesesatan karena
Komposisi dan Divisi (xii)
Kesesatan karena Pertanyaan yang Kompleks.
10.5.1. Argumentum ad Hominem 1

Argumentum ad hominem adalah argumen diarahkan untuk


menyerang manusianya secara langsung. Penerapan argumen ini dapat
menggambarkan tindak pelecehan terhadap pribadi individu yang
menyatakan sebuah argumen.
Hal ini keliru karena ukuran logika dihubungkan dengan kondisi
pribadi dan karakteristik personal seseorang yang sebenarnya tidak
relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi argumennya. Argumen ini
juga dapat menggambarkan aspek penilaian psikologis terhadap pribadi
seseorang. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan

Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah


pandangan.
Ukuran logika (pembenaran) pada sesat pikir argumentum ad
hominem 1 adalah kondisi pribadi dan karakteristik personal yang
melibatkan: gender, fisik, sifat, dan psikologi.
Contoh 1:
"Tidak diminta mengganti bohlam (bola lampu) karena seseorang itu
pendek".
Kesesatan: tingkat keberhasilan pergantian sebuah bola lampu
dengan menggunakan alat bantu tangga tidak tergantung dari tinggi/
pendeknya seseorang.
Contoh 2:
"Seorang juri lomba menyanyi memilih kandidat yang cantik sebagai
pemenang, bukan karena suaranya yang bagus tapi karena parasnya
yang lebih cantik dibandingkan dengan kandidat lainnya, walaupun
suara
kandidat lain ada yang lebih bagus".
10.5.2. Argumentum ad Hominem 2
Berbeda dari argumentum ad hominem 1, argumentum ad hominem 2
menitikberatkan pada hubungan yang ada diantara keyakinan seseorang
dan lingkungan hidupnya. Pada umumnya argumentum ad hominem 2 ini
menunjukkan pola pikir yang diarahkan pada pengutamaan kepentingan
pribadi; yaitu: suka- tidak suka, kepentingan kelompok-bukan kelompok,
dan hal-hal
yang berkaitan dengan SARA.
Contoh 3:

Pembicara G: Saya tidak setuju dengan apa yang

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Pembicara S katakan karena ia bukan orang X.
Kesesatan: ketidaksetujuan bukan karena hasil penalaran dari
argumentasi, tetapi karena lawan bicara berbeda agama atau kelompok.
Bila ada dua orang yang terlibat dalam sebuah konflik atau
perdebatan, ada kemungkinan masing-masing pihak tidak dapat
menemukan titik temu dikarenakan mereka tidak mengetahui apakah
argumen masing-masing itu benar atau keliru. Hal ini terjadi ketika
masing-masing pihak berargumen atas dasar titik tolak dari ruang lingkup
yang berbeda satu sama lain.
Contoh 4:
"Argumentasi apakah Isa adalah Tuhan Yesus (Kristen) ataukah
seorang nabi (Islam)."
Ini adalah sebuah contoh argumentasi yang tidak me- nemukan
titik temu karena berangkat dari keyakin- an dan ilmu agama yang
berbeda
Contoh 5:
"Dosen yang tidak meluluskan mahasiswanya karena mahasiswanya
berasal dari suku yang ia tidak suka dan sering protes di kelas, bukan
karena prestasi akademiknya yang buruk."
Argumentum ad hominem 1 dan argumentum ad hominem
2 adalah argumentasi-argumentasi yang mengarah kepada hal-hal
negatif dan biasanya melibatkan emosi.
10.5.3. Argumentum ad Baculum
Argumentum ad baculum (latin: baculus berarti tongkat

Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah


atau pentungan) adalah argumen ancaman mendesak orang untuk
menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan bahwa jika ia menolak
untuk membawa akibat yang tidak diinginkan.
Argumentum ad baculum banyak digunakan oleh orang tua agar
anaknya menurut pada apa yang diperintahkan, contoh menakut-nakuti
anak kecil:
"Bila tidak mau mandi nanti didatangi oleh wewe gombel
(sejenis hantu yang mengerikan)."
Argumen ini dikenal juga dengan argumen ancaman yang merupakan
pernyataan atau keadaan yang mendesak orang untuk menerima suatu
konklusi tertentu dengan alasan jika menolak membawa akibat yang tidak
diinginkan.
Contoh argumentum ad baculum:
1. Seorang anak yang belajar bukan karena ia ingin lebih pintar tapi
karena kalau ia tidak terlihat sedang belajar, ibunya akan datang dan
mencubitnya.
2. Pengendara motor yang berhenti pada lampu merah bukan karena ia
menaati peraturan tetapi karena ada polisi yang mengawasi dan ia
takut ditilang.
3. Pegawai bagian penawaran yang berbohong kepada pembeli agar
produk yang ia jual laku, karena ia takut dipecat bila ia tidak
melakukan penjualan.
Jenis argumentum ad baculum yang juga dapat terjadi adalah
mengajukan gagasan (yang sering kali bersifat tuntutan) agar didengar dan
dipenuhi oleh pihak penguasa, namun gagasan itu didasari oleh penalaran
yang sama sekali irasional dan argumen yag dikemukakan tidak memper-
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
lihatkan hubungan logis antara premis dan kesimpulannya. "Penolakan
mahasiswa akan skripsi sebagai syarat
kelulusan dengan alasan skripsi mahal dan menjadi akal-
akalan dosen."
10.5.4, Argumentum ad Misericordiam
Misericordiam berasal dari bahasa Latin misericordia artinya belas
kasihan merupakan sesat pikir yang sengaja diarahkan untuk
membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan untuk
memperoleh pengampunan/ keinginan.
Contoh:
1. Pengemis yang membawa anak bayi tanpa celana dan
digeletakkan tidur di trotoar.
2. Pencuri motor yang beralasan bahwa ia miskin dan tidak
dapat membeli sandang dan pangan.
10.5..5. Argumentum ad Populum
Populum berasal dari bahasa Latin: populus berarti rakyat atau massa.
Argumentum ad populum adalah argumen yang dibuat untuk menghasut
massa, rakyat, kelompok untuk membakar emosi mereka dengan alasan
bahwa pemikiran yang melatarbelakangi suatu usul atau program adalah
demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri. Argumen ini bertujuan
untuk memperoleh dukungan atau membenarkan tindakan si pembicara.
Di sini pembuktian logis tidak diperlukan atau tidak digunakan.
Yang dipentingkan ialah menggugah perasaan massa pendengar,
membangkitkan semangat dan membakar emosi orang banyak agar
menerima suatu pernyata-
Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah
an tertentu.
10.5.6. Argumentum Auctoritatis
Auctoritatis dari bahasa Latin: auctoritas berarti ke- wibawaan adalah
sesat pikir di mana nilai penalaran ditentukan oleh keahlian atau
kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi suatu gagasan diterima
sebagai gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan
oleh seorang yang sudah terkenal karena keahliannya.
Sikap semacam ini mengandaikan bahwa kebenaran bukan sesuatu
yang berdiri sendiri (otonom), dan bukan berdasarkan penalaran
sebagaimana mestinya, melainkan tergantung dari siapa yang
mengatakannya (kewibawaan seseorang). Argumentasi ini sangat mirip
dengan argumentum ad hominem, bedanya dalam argumentum ad hominem
yang menjadi acuan adalah pribadi orang yang menyampaikan gagasan
(dilihat dari disenangi atau tidak disenangi), maka dalam argumentum
auctoritatis ini dilihat dari siapa (posisinya dalam
masyarakat/keahliannya/kewibawaannya) yang
mengemukakan.
Contoh:
 Apa yang dikatakan ulama A pada kampanye itu pasti benar.
 Apa yang dikatakan pastor B dalam iklan itu pasti benar.
 Apa yang dikatakan Rhoma Irama pasti benar.
 Apa yang dikatakan pak dokter pasti benar.
 "Saya yakin apa yang dikatakan beliau adalah baik dan benar
karena beliau adalah seorang pemimpin

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


yang brilian, seorang tokoh yang sangat dihormati, dan seorang dokter
yang jenius"
10.5.7. Argumentum ad Verecundiam
Argumentum ad verecundiam adalah argumentasi yang diberikan
dengan sengaja tidak terarah kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi
dibuat sedemikian rupa untuk membangkitkan perasaan malu si lawan
bicara.
Contoh 1:
Pembicara G: "Saya merasa aneh mengapa Pembicara S tidak setuju dengan
pernyataan saya."
Pembicara S: "Memang kamu orang aneh.."
Argumentum ad verecundiam juga digunakan sebagai pembenaran, dan
sering dipakai dalam iklan:
Contoh 2: "Orang pintar pasti minum jamu tolak angin!"
Contoh 3: "Bila anda benar-benar seorang pembela kebenaran maka
anda pasti akan membenarkan apa yang saya katakan karena yang saya
katakan ini adalah benar"
10.5.8. Ignoratio Elenchi
Ignoratio elenchi adalah kesesatan yang terjadi saat seseorang
menarik kesimpulan yang sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan
premisnya. Loncatan sembarangan dari premis ke kesimpulan yang
memiliki hubungan semu (tidak benar- benar berhubungan) biasanya
dilatarbelakangi oleh prasangka, emosi, dan perasaan subjektif. Igno-
ration elenchi juga dikenal sebagai kesesatan penggambaran seseorang
(image), "halo impact", atau stereotyping.
Contoh:
1. Orang yang baru keluar dari penjara pasti jahat.
Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah
194
2. Orang Madiun pasti komunis.
3. Si Ucup kalau datang pasti hendak berutang.
4. Orang Sagitarius pasti playboy.
5. Anak bungsu pasti manja.
6. Seorang wanita terlihat di lokalisasi pasti pelacur
(padahal ia pedagang nasi bungkus).
Ignoratio elenchi mirip dengan generalisasi, namun
pernyataan yang dapat digolongkan ke dalam kesesatan ini
lompatan kesimpulannya sangat jauh.
10.5.9. Argumentum ad Ignoratiam
Argumentum ad ignoratiam adalah kesesatan yang terjadi dalam suatu
pernyataan yang dinyatakan benar karena kesalahannya tidak terbukti
salah, atau mengatakan sesuatu itu salah karena kebenarannya tidak
terbukti ada.
Contoh 1: "Tuhan, setan, dan hantu itu tidak ada karena... belum
pernah lihat."
Contoh 2: "Seorang tersangka pencuri didakwa bersalah karena pada saat
kejadian ia sedang tidur sendirian di rumahnya dan tidak
memiliki alibi atau orang yang bersaksi yang melihat
bahwa ia benar sedang tidur."
Contoh 3: "Dinosaurus itu tidak ada karena...dinosaurus itu apa sih?"
Pernyataan di atas merupakan sesat pikir karena belum tentu bila
seseorang tidak mengetahui sesuatu itu ada atau tidak bukan berarti
sesuatu itu benar-benar tidak ada.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


195
10.5.10. Petitio Principii
Petitio principii adalah kesesatan yang terjadi dalam kesimpulan atau
pernyataan pembenaran di mana di dalamnya premis digunakan sebagai
kesimpulan dan sebaliknya, kesimpulan dijadikan premis. Sehingga
meskipun rumusan (teks/kalimat) yang digunakan berbeda, sebetulnya
sama maknanya.
Contoh: "Belajar logika berarti mempelajari cara berpikir tepat, karena di
dalam berpikir tepat ada logika."
"Guru: "Kelas dimulai jam 7:30 kenapa kamu datang jam 8:30?" Murid:
"Ya, karena saya terlambat.."
Kesesatan petitio principii juga dikenal karena pernyataan
berupa pengulangan prinsip dengan prinsip.
10.5.11. Kesesatan non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo
Propter Hoc/False Cause)
Kesesatan yang dilakukan karena penarikan penyimpulan sebab-
akibat dari apa yang terjadi sebelumnya adalah penyebab sesungguhnya
suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan.
Orang lalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan
penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari
peristiwa pertama —padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya
menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Kesesatan ini dikenal pula dengan nama kesesatan post- hoc ergo
propter hoc (sesudahnya maka karenanya).
Contoh: "Seorangpemuda setelah diketahui baru putus

Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah


cinta dengan pacarnya, esoknya sakit. Tetang- ganya
menyimpulkan bahwa sang pemuda sakit karena baru putus
cinta."
Kesesatan: Padahal diagnosis dokter adalah si pemuda terkena radang
paru-paru karena kebiasaannya merokok tanpa henti sejak
sepuluh tahun yang lalu.

10.5.12. Kesesatan Aksidensi


Adalah kesesatan penalaran yang dilakukan oleh seseorang bila ia
memaksakan aturan-aturan atau cara-cara yang bersifat umum pada suatu
keadaan atau situasi yang bersifat aksidental; yaitu situasi yang bersifat
kebetulan, tidak seharusnya ada atau tidak mutlak.
Contoh:
1. Gula baik karena gula adalah sumber energi, maka gula juga baik
untuk penderita diabetes.
2. Orang yang makan banyak daging akan menjadi kuat dan sehat,
karena itu vegetarian juga seharusnya makan banyak daging supaya
sehat.
10.5.13. Kesesatan karena Komposisi dan Divisi
Kesesatan karena komposisi terjadi bila seseorang berpijak pada
anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu atau beberapa
individu dari suatu kelompok tertentu pasti juga benar (berlaku) bagi
seluruh kelompok secara kolektif.
Contoh:
1. Badu ditilang oleh polisi lalu lintas di sekitar jalan Sudirman dan
Thamrin dan polisi itu meminta uang
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 197
sebesar Rp. 100.000 bila Badu tidak ingin ditilang, maka semua polisi lalu lintas di sekitar
jalan Sudirman dan Thamrin adalah pasti pelaku pemalakan.
2. Maulana W. Kusuma anggota KPU sekaligus dosen kriminologi di UI melakukan
korupsi, maka seluruh anggota KPU yang juga dosen di UI pasti koruptor. Kesesatan karena
divisi terjadi bila seseorang beranggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi seluruh
kelompok secara kolektif pasti juga benar (berlaku) bagi individu-individu dalam kelompok
tersebut.
Contoh 1: "Banyak pejabat pemerintahan korupsi. Yahya Zaini adalah anggota DPR, maka
Yahya Zaini juga korupsi."
Contoh 2: Umumnya pasangan artis-artis yang baru menikah pasti lalu bercerai.
Dona Agnesia dan Darius adalah pasangan artis
yang baru menikah, pasti sebentar lagi mereka bercerai.
10.5.14. Kesesatan karena Pertanyaan yang Kompleks
Kesesatan karena pertanyaan yang kompleks ini bersumber pada pertanyaan yang sering
kali disusun sedemikian rupa sehingga sepintas tampak sebagai pertanyaan yang sederhana,
namun sebetulnya bersifat kompleks. Oleh karena itu pertanyaan tersebut sulit untuk
dijawab dengan sekedar mengatakan ya atau tidak.
Contoh:
 "Bagaimana, masih senang begituan?"
 "Kamu sedang itu ya?"

198 Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah


10.6. Relevansi Kesesatan Berpikir dengan ilmu
Pengetahuan
10.6.1. Relevansi dengan llmu Politik
Sama halnya dengan ilmu sosial lainnya, metode ilmiah yang digunakan dalam ilmu
politik menggunakan model deduksi, yaitu melihat hal-hal yang bersifat umum dahulu
kemudian baru melihat hal-hal yang bersifat khusus (deduksi). Ruang lingkup yang
dipelajari ilmu politik sangat luas. Tidak hanya masalah-masalah mengenai negara saja,
tetapi juga banyak mempelajari tentang kekuasaan, cara mengelolanya, kebaikan bersama
dan
masalah lainnya yang saling berkaitan. Oleh karena itu para
ahli ilmu politik melihat sebuah permasalahan dari hal- hal yang bersifat umum atau
cakupan yang luas, baru kemudian mengambil beberapa masalah yang dibahas lebih
spesifik.

Pada ilmu politik terdapat sejumlah perdebatan mengenai pendekatan-


pendekatan yang digunakan. Ada yang berpendapat tentang pendekatan normatif yang
membahas baik buruk dan pendekatan perilaku yang memusatkan pada tingkah laku
perilaku manusia pada perilaku politiknya.
Namun kebanyakan ahli menggunakan pendekatan perilaku dalam metode
pengamatannya. Dengan pendekatan tersebut para ahli dapat memprediksi gejala-gejala
politik yang akan terjadi melalui tingkah laku aktor politik dan masyarakat.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


10.6.2. Relevansi dengan Antropologi
Sama halnya dengan ilmu politik, antropologi juga menggunakan
model deduksi dalam melihat permasalahan. Perbedaannya hanya pada
ruang lingkup pembahasannya. Antropologi lebih banyak mempelajari
budaya- budaya di masyarakat baik itu yang bersifat materiil ataupun
yang bersifat non-materiil.
Perbedaan yang lain adalah adanya metode observasi dengan
melakukan penggalian. Penggalian tersebut dimaksudkan untuk
memperoleh benda-benda yang dapat dijadikan sumber pengetahuan
tentang budaya dan perkembangannya.
Antropologi juga lebih banyak menggunakan metode empiris.
Alasan digunakannya metode tersebut adalah karena banyak pengetahuan
dalam Antropologi yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman dan
pengamatan- pengamatan.
10.7. Ringkasan
Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berpikir
dikarenakan penyalahgunaan bahasa dan atau penyalahan relevansi.
Kesesatan merupakan bagian dari logika, dikenal juga sebagai
fallacia/falaccy, di mana beberapa jenis kesesatan penalaran dipelajari
sebagai lawan dari argumentasi logis. Kesesatan terjadi karena dua hal: (i)
ketidaktepatan bahasa: pemilihan terminologi yang salah; dan (ii)
ketidaktepatan relevansi.
Macam-macam atau klasifikasi kesesatan disebabkan oleh bahasa
adalah (i) kesesatan aksentuasi terdiri dari (a)
Kesesatan aksentuasi verbal dan (b) kesesatan aksentuasi non-verbal; (ii) kesesatan
ekuivokasi yang terdiri dari (a) kesesatan ekuivokasi verbal dan (b) kesesatan Ekuivokasi
non-verbal; (iii) kesesatan amfiboli; dan (iv) kesesatan metaforis.
Macam-macam atau klasifikasi kesesatan disebabkan oleh Relevansi adalah (i)
argumentum ad Hominem 1; (ii) argumentum ad Hominem 2; (iii) argumentum ad baculum;
(iv) argumentum ad misericordiam; (v) argumentum ad populum; (vi) argumentum auctoritatis;
(vii) argumentum ad verecundiam; (viii) ignoratio elenchi; (ix) argumentum ad ignoratiam; (x)
petitio principii; (xi) kesesatan non causa pro causa (post hoc ergo propter hoc/ false cause);
(xii) kesesatan aksidensi; (xiii) kesesatan karena komposisi dan divisi; dan (xiv) kesesatan
karena pertanyaan yang kompleks.
Kesesatan, menurut John Locke terjadi karena subjek sesungguhnya jarang berpikir
sendiri atau bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan orang lain.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu



Bab XI

Etika Ilmu

11.1. Deskripsi

Pembahasan tentang hubungan antara ilmu dan etika, membangun


masyarakat ilmiah, dan menuju masyarakat berbudaya ilmu pengetahuan
semuanya berhubungan pada cabang filsafat ilmu. Ilmu merupakan
pengetahuan yang kita kenal sejak bangku sekolah dasar sampai
pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti
kita berterus terang kepada diri kita sendiri. Dari sub-sub pokok bahasan
itulah maka kita perlu membahas secara lebih dalam tentang unsur-unsur
ilmu dan etika seperti kehendak manusia yang bebas, tujuan dari suatu
perilaku cara atau jalan yang digunakan untuk mencapai tujuan, akibat
yang ditimbulkan oleh masyarakat, tentang adanya pilihan bebas atau
tidak, pemahaman tentang ada batas atau tidak ada batas nilai baik dan
buruk itu, konsep tentang kesadaran moralitas adanya hakikat manusia,
adanya hakikat Tuhan, perlawanan etis terhadap nilai baik dan buruk,
dinamika diri manusia, yang mana

203
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, danLogikaIlmu
mencari keseimbangan moral, sifat keras kepala dan hilangnya rasa malu
dan dosa dari perilaku manusia.
Yang penting adalah bahwa prosesnya, baik dalam analisis maupun
pembuktiannya, kita dapat memisahkan spekulasi mana yang dapat
diandalkan dan mana yang tidak. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat
memilih buah pikiran yang dapat diandalkan sebagai titik awal dari
penjelajahan pengetahuan tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang
disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas
kebenaran, tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita
tidak mungkin berbicara tentang moral.
Untuk membangun masyarakat ilmiah menuju masyarakat
berbudaya ilmu pengetahuan dan hubungan antara ilmu dan etika yang
merupakan bagian dari ilmu humaniora belum memperoleh perhatian dari
masyarakat atau para peneliti (sarjana). Dari sisilah masyarakat luas
sangat membutuhkan terbentuknya konsep etika dan ilmu yang dapat
mengembangkan sikap dan perilaku yang baik di satu pihak dan
menghilangkan, melenyapkan sikap dan perilaku buruk seperti perilaku
penyimpangan dan kejahatan.
Suatu ilmu dan etika adalah suatu sumber pengetahuan yang
diharapkan dapat meminimalakan dan menghentikan perilaku
menyimpang di kalangan masyarakat. Untuk itu, pengkajian kita
difokuskan pada usaha meningkatkan peranan ilmu sebagai sumber
moralitas dalam mendukung pengembangan kebudayaan.

204
Etika Ilmu
11.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang
(i) pengertian etika ilmu; (ii) hubungan ilmu dan etika;
(iii) membangun masyarakat ilmiah; (iv) menuju masyarakat
berbudaya ilmu pengetahuan; dan (v) relevansi etika ilmu.
11.3. Pengertian Etika
Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a
sistem of moral principles or rules of behaviour, atau suatu sistem, prinsip
moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan
tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka
ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu
cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics
dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or
influence a person's behaviour, prinsip- prinsip moral yang dipengaruhi
oleh perilaku pribadi.
Dalam bahasa Yunani, etika berarti ethikos mengandung arti
penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang
mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah,
mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan
moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam
bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, adat, akhlak,

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu |


watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya
adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal usul kata
ini, maka "etika" berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi
terbentuknya istilah "etika" yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika secara lebih detail
merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia
sejauh berkaitan dengan moralitas. Penyelidikan tingkah laku moral
dapat diklasifikasikan dalam
(i) etika deskriptif; (ii) etika normatif; (iii) metaetika.
Pertama, etika deskriptif yang mendeskripsikan tingkah laku moral
dalam arti luas, seperti adat kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk,
tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Objek
penyelidi- kannya adalah individu-individu, kebudayaan- kebudayaan.
Kedua, etika normatif. Dalam hal ini, seseorang dapat dikatakan
sebagai participation approach karena yang bersangkutan telah melibatkan
diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia, la tidak
netral karena berhak untuk mengatakan atau menolak suatu etika tertentu.
Ketiga, metaetika. Awalan meta (Yunani) berarti "melebihi",
"melampaui". Metaetika bergerak seolah-olah bergerak pada taraf lebih
tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf "bahasa etis" atau bahasa
yang digunakan di bidang moral.
206Etika Ilmu
Dari beberapa definisi di atas, tampak jelas bahwa kajian tentang
etika sangat dekat dengan kajian moral. Etika merupakan sistem moral
dan prinsip-prinsip dari suatu perilaku manusia yang kemudian dijadikan
sebagai standardisasi baik-buruk, salah-benar, serta sesuatu yang
bermoral atau tidak bermoral. Merujuk pada hubungan yang dekat antara
etika dengan moral, berikut sedikit dibahas tentang ragam pengertian
moral.
Moral berarti concerned with principles of right and wrong behaviour,
or standard of behaviour, sesuatu yang menyangkut prinsip benar dan
salah dari suatu perilaku dan menjadi standar perilaku manusia.
Moral berasal dari bahasa Latin moralis (kata dasar mos, moris) yang
berarti adat istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku. Bila dijabarkan
lebih lanjut moral mengandung empat pengertian; (i) baik-buruk, benar-
salah, tepat- tidak tepat dalam aktivitas manusia, (ii) tindakan benar,
adil, dan wajar,
(iii) kapasitas untuk diarahkan pada kesadaran benar-salah, dan
kepastian untuk mengarahkan kepada orang lain sesuai dengan kaidah
tingkah laku yang dinilai benar-salah, dan (iv) sikap seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain.
Etika juga berarti "timbul dari kebiasaan" adalah cabang utama dari
filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas. Etika mencakup analisis dan
penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggung jawab.
Etika sering kali disebut filsafat moral. Etika dan moral sama
artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral
atau moralitas dipakai untuk perbuatan
yang sedang dinilai. Adapun etika dapat dipakai untuk pengkajian sistem
nilai yang ada. Istilah moral berasal dari kata Latin mores, yang
merupakan bentuk jamak dari mos yang berarti adat istiadat atau
kebiasaan.

11.4. Hubungan antara llmu dan Etika


Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan
ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan
bagaimana bila harus hidup, bukanlah etika melainkan ajaran moral.
Ilmu dan etika sebagai suatu pengetahuan yang diharapkan dapat
meminimalkan dan menghentikan perilaku penyimpangan dan kejahatan
di kalangan masyarakat. Di samping itu, ilmu dan etika diharapkan
mampu mengembangkan kesadaran moral di lingkungan
masyarakat sekitar agar dapat menjadi
cendekiawan yang memiliki moral dan akhlak yang baik/mulia. Sebagai
suatu subjek, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu
ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah
dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Dengan begitu
dalam proses penilaiannya ilmu sangat berguna dalam menentukan arah
dan tujuan masing-masing orang.
Etika sebagai ilmu ketertiban di mana pokok masalah moralitas
dipelajari. Singkatnya, ilmu tata susila adalah ilmu moralitas. Ilmu secara
moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan
martabat seseorang. Masalah moral tidak dapat dilepaskan dengan tekad
manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk

Etika Ilmu
menemukan kebenaran dan juga mempertahankan kebenaran diperlukan
keberanian moral.
Etika memberikan semacam batasan maupun standar yang
mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Etika ini
kemudian dirupakan ke dalam bentuk aturan tertulis yang secara
sistematik sengaja dibuat ber- dasarkan prinsip-prinsip moral yang ada
dan pada saat dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk
menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum
(common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.
Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai kegunaan khusus yakni
kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat
kemanusiaan.

11.5. Membangun Masyarakat Ilmiah

Dalam membangun masyarakat yang ilmiah, kita memerlukan sifat


ilmiah karena sikap ilmiah itu adalah sikap kritis yang tidak hanya
mencari verifikasi atas teori- nya, melainkan juga tes-tes yang
merefleksikan, meski tidak akan pernah mengukuhkannya.
Di dalam membangun masyarakat ilmiah juga diperlukan suatu tujuan agar tercipta
masyarakat yang memiliki kemampuan berpikir kritis dan rasional sehingga kehidupan
masyarakat semakin maju dengan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan dapat mengangkat manusia justru karena dengan ilmu pengetahuan
manusia dapat berbuat banyak. Dampak ilmu pengetahuan terhadap cara berpikir manusia
dan masyarakat dewasa ini sungguh dahsyat.
Rasionalitas ilmu pengetahuan itu tidak hanya mengubah
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 209
cara pandang tradisional kita tetapi juga teologi yang sering terlalu teosentris.
Manfaat ilmu pengetahuan bagi kemajuan umat manusia seperti mengurangi hal-hal
buruk. Setiap orang mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan masyarakat ilmiah pada
umumnya, yaitu taat pada adanya rasio. Inilah watak intelektual nomor satu dan satu-
satunya. Salah satu ciri yaitu adanya keinginan untuk mengetahui fakta-fakta penting dan
keengganan untuk terlibat ilusi-ilusi yang menyenangkan (yang disajikan oleh obat bius).
Setiap orang harus memiliki keingintahuan untuk memahami fakta-fakta penting bagi
kehidupan manusia dan siap membuka diri bagi kebenaran- kebenaran penting lainnya.
Membangun masyarakat ilmiah dengan berilmu pengetahuan adalah hal terpenting
yang harus dilakukan. Maka dari itu ilmu pengetahuan akhirnya berguna bagi kehidupan
manusia, yakni bahwa ilmu pengetahuan berguna bagi manusia untuk memecahkan berbagai
persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Jadi, ilmu pengetahuan bukan dikembangkan
demi ilmu pengetahuan semata, melainkan juga demi menjawab berbagai persoalan hidup
manusia.
Kebenaran ilmiah itu tidak hanya bersifat logis- rasional dan empiris, melainkan juga
bersifat pragmatis, yaitu bahwa kebenaran itu berguna untuk menjawab berbagai persoalan
hidup manusia. Berkaitan dengan itu, harus dikatakan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai
daya tarik luar biasa besar sekarang ini, tidak hanya karena kecenderungan empiris dalam
ilmu pengetahuan modern
Etika Ilmu
210
sekarang ini. Melainkan juga karena sifat pragmatis dari ilmu pengetahuan itu sendiri,
yaitu karena ternyata ilmu pengetahuan berhasil menjawab berbagai persoalan hidupnya.
Oleh karena itu, manusia modern sedemikian bergairah mengembangkan terus ilmu
pengetahuan sekarang ini.

11.6. Menuju Masyarakat Berbudaya ilmu Pengetahuan


Salah satu ciri mayarakat berbudaya ilmu pengetahuan adalah adanya tradisi
berpikir atau merenung yang sangat luas dan dalam masyarakat dianjurkan untuk dapat
mengembangkan kemampuan berpikir yang bebas dan kritis. Masyarakat sendirilah
yang harus mengembangkan kemampuan berlogika, juga harus memiliki kemampuan
yang mendalam dan reflektif. Salah satu cara untuk mengembangkan masyarakat
berbudaya ilmu pengetahuan adalah dengan dibiasakannya masyarakat tersebut dengan
membaca buku, sebab dengan membaca masyarakat dapat memperluas pengetahuan dan
mendorong masyarakat untuk melakukan suatu perenungan.
Untuk membahas ini berikut diuraikan tentang: (i) kebudayaan dan pendidikan; (ii)
ilmu pengetahuan dan pengembangan kebudayaan; (iii) nilai ilmiah dan pengembangan
kebudayaan nasional; (iv) dampak intelektual;
(v) dampak sosial praktis; (vi) watak intelektual; dan (vii) kecenderungan pragmatis.

11.6.1. Kebudayaan dan Pendidikan

Suatu masyarakat dapat berbudaya ilmu pengetahu-

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 211


an apabila masyarakat telah menempuh dan menerapkan pendidikan. Nilai kebudayaan dan
pendidikan berpengaruh erat. Setiap kebudayaan mempunyai skala hierarki mengenai mana
yang lebih penting dan mana yang kurang penting dari nilai-nilai tersebut di atas serta
mempunyai penilaian tersendiri dari tiap-tiap kategori. Permasalahan dari pendidikan adalah
menetapkan nilai-nilai budaya apa saja yang harus dikembangkan. Hal tersebut harus
dilakukan, karena disebabkan oleh dua hal. Pertama, nilai-nilai budaya yang harus
dikembangkan. Kedua, usaha pendidikan yang sadar dan sistematis mengharuskan kita untuk
lebih eksplisit dan definitif tentang hakikat nilai- nilai budaya tersebut.
Untuk menentukan nilai-nilai mana yang patut men- dapatkan perhatian kita sekarang
ini, maka pertama sekali kita harus memperkirakan skenario dari masyarakat kita di masa
yang akan datang. Skenario masyarakat Indonesia di masa akan datang tersebut
memerhatikan indikator dan perkembangan yang sekarang ada, yang mempunyai
karakteristik sebagai berikut: (i) memerhatikan tujuan dan strategi pembangunan nasional
kita maka masyarakat akan beralih dari masyarakat tradisional yang rural agraris menjadi
masyarakat urban yang bersifat industri; (ii) pengembangan kebudayaan kita dituju ke arah
perwujudan peradaban yang bersifat khas berdasarkan filsafat dan pandangan hidup bangsa
Indonesia.
Karakteristik pertama, mengharuskan kita untuk memusatkan perhatian kepada nilai-
nilai yang relevan dengan masyarakat modern yang sedang dikembangkan diban-
Etika Ilmu
dingkan dengan masyarakat tradisional, maka masyarakat modern mempunyai indikator-
indikator, seperti lebih bersifat analitik dan lebih bersifat individual daripada komunal,
terutama ditinjau dari segi pengembangan manusiawi yang survival.
Suatu masyarakat modern yang berasaskan efisiensi bertumpu kepada ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai landasan utamanya. Semua aspek kehidupan
bermasyarakat ditata secara rasional berdasarkan analisis kekuat- an berpikir bersifat
dominan dan mendesak kebelakang cara penarikan kesimpulan. Dalam masyarakat sekarang
ini bersifat terbalik secara bertahap. Masyarakat tradisional yang berorientasi kepada status
akan beralih menjadi masyarakat modern yang berorientasi pada prestasi yang didasarkan
pada ilmu pengetahuan. Persaingan akan lebih tampak, umpamanya saja dalam mencari
tempat dan sistem pendidikan yang berorientasi pada ilmu pengetahuan
Teknologi.
11.6.2. llmu Pengetahuan dan Pengembangan Kebudayaan
Ilmu merupakan pengetahuan dan pengetahuan merupakan suatu unsur dari
kebudayaan. Sehingga ilmu pengetahuan merupakan bagian dari kebudayaan. Ilmu
pengetahuan dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling bergantung dan saling
memengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu pengetahuan dalam suatu masyarakat
tergantung dari kondisi kebudayaannya, sedangkan di pihak lain pengembangan ilmu
pengetahuan

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


memengaruhi jalannya kebudayaan.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu pengetahuan mempunyai
peranan ganda yakni: (i) ilmu pengetahuan merupakan sumber nilai yang mendukung
terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional; dan (ii) ilmu pengetahuan
merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu bangsa.
Pada kenyataannya kedua fungsi ini terpadu satu dengan yang lainnya sehingga sukar
untuk dibedakan. Pengkajian pengembangan kebudayaan nasional tidak dapat dilepaskan
dari pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam kurun dewasa ini yang dikenal sebagai kurun
ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan kita pun tidak terlepas dari pengaruh ilmu
pengetahuan dan teknologi dan mau tidak mau harus memperhitungkan faktor ini. Untuk itu
maka pengkajian kita difokuskan pada usaha untuk meningkatkan peranan ilmu
pengetahuan sebagai sumber nilai yang mendukung pengembangan kebudayaan nasional,
sehingga menciptakan masyarakat berbudaya ilmu
pengetahuan.
11.6.3. Nilai Ilmiah dan Pengembangan Kebudayaan Nasional
Dalam pembentukan karakter bangsa sekiranya bangsa Indonesia bertujuan untuk
menjadi suatu bangsa yang modern, dalam artian bangsa yang telah memiliki kemajuan
dalam ilmu pengetahuan. Permasalahan dalam bidang kemasyarakatan, teknologi dan
pendidikan yang membutuhkan cara pemecahan masalah secara kritis, rasional, logis,
objektif dan terbuka. Sedangkan sifat men-
214 Etika Ilmu
junjung kebenaran dan pengabdian universal merupakan faktor yang penting dalam
pembinaan suatu bangsa terlebih lagi masyarakat.
Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari
kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih
mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengembangan kebudayaan
nasional ini pada dasarnya adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai konvensional agar
lebih sesuai dengan tuntutan zaman serta penumbuhan nilai-nilai baru yang fungsional.
Sekiranya dapat diterima bahwa ilmu pengetahuan bersifat mendukung pengembangan
kebudayaan nasional. Harus disadari bahwa keadaan masyarakat sekarang ini masih
jauh dari tahap masyarakat yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan. Bahkan, dalam
masyarakat yang terdidik sekalipun ilmu pengetahuan masih merupakan koleksi teori-
teori yang bersifat akademik yang sama sekali tidak fungsional terhadap kehidupan
sehari-hari.
Ilmu pengetahuan merupakan bagian dari kebudayaan dan oleh sebab itu
langkah-langkah ke arah peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus
memerhatikan situs kebudayaan masyarakat kita. Hakikat ilmu pengetahuan sendiri
adalah bersifat universal namun peranannya dalam kehidupan tidaklah terlepas dari
matriks kebudayaan secara keseluruhan. Pada hakikatnya semua unsur kebudayaan
harus diberi otonomi dalam menciptakan paradigma mereka sendiri. Suatu paradigma
agar dapat berkembang dengan baik membutuhkan dua syarat yakni
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 215
kondisi rasional dan kondisi psikososial kelompok.
11.6.4. Dampak Intelektual
Persoalan mengenai dampak ilmu pengetahuan atas life-world merupakan suatu
persoalan lama. Dunia ilmu pengetahuan merupakan dunia fakta, sedangkan life-world
mencakup pengalaman subjektif yang praktis. Apakah dengan munculnya ilmu pengetahuan
manusia modern dengan sendirinya menggunakan simbol-simbol ilmu pengetahuan
menggantikan simbol-simbol yang sudah lama berakar kuat dalam tradisi. Ilmu pengetahuan
merupakan produk dari kebudayaan enlightement (pencerahan).
Penelitian antropologi membuat kita sadar banyaknya kepercayaan tidak berdasar
yang memengaruhi kehidupan masyarakat tradisional. Hal tersebut menandakan bahwa
manusia membutuhkan waktu sangat lama untuk mencapai atau mengubah cara pandang
tersebut. Ilmu pengetahuan dilihat sebagai salah satu faktor yang paling menentukan. Satu
persatu gejala alam diterangkan dalam ilmu pengetahuan. Maka sebagai sistem berpikir
rasional, ilmu pengetahuan menjadi sebab terdalam dari lenyapnya banyak kepercayaan
tradisional. Secara umum dapat dikatakan 4 hal baru dari ilmu pengetahuan yang
menyebabkan lenyapnya kepercayaan tradisional, yakni sebagai berikut:
(i) pengamatan lawan otoritas; (ii) otonomi dunia fisik; (iii) disingkatnya konsep tujuan; dan
(iv) tempat manusia dalam alam.
Pertama, pengamatan lawan otoritas. Ilmu pengetahuan tidak didasarkan pada otoritas
melainkan pada peng-

Etika Ilmu
amatan. Ilmu pengetahuan merintis jalan kepada kemandirian dalam berpikir berdasarkan
pada pengamatan terhadap gejala-gejala alam atau sosial. Tentu harus diakui di sini bahwa
sikap menghargai pengamatan, sebagai lawan tradisi dan otoritas, adalah sesuatu yang sulit.
Ilmu pengetahuan menuntut agar orang tidak mudah percaya begitu saja pada tradisi atau
otoritas tetapi percaya pada pengamatan dengan teknik-teknik yang rasional.
Kedua, otonomi dunia fisik. Bahwa ilmu pengetahuan berangkat dari suatu filosofi
alam sebagai sesuatu yang otonom, yang memiliki hukum sendiri. Dunia fisik mengikuti
hukum-hukum fisika, tidak ada pengaruh roh-roh halus. Peranan dewa-dewi sebagaimana
dianut oleh banyak agama tradisional lenyap dengan sendirinya jika ilmu pengetahuan
diterima secara konsekuen.
Ketiga, disingkatnya konsep tujuan. Bahwa ilmu pengetahuan hanya mengenal sebab
efisien dari suatu peristiwa. Bagi ilmu pengetahuan masa lampau lebih penting dari masa
depan. Sebab final tidak diberi tempat dalam pandangan ilmiah tentang dunia. Oleh karena
itu, ilmu pengetahuan lebih memerhatikan konsep kausalitas dibandingkan dengan konsep
formalitas. Masyarakat yang dicerahi ilmu pengetahuan lebih percaya pada Darwinisme.
Keempat, tempat manusia dalam alam. Dari segi kontemplasi tampaknya ilmu
pengetahuan merendahkan manusia. Namun, dari segi praktis ilmu pengetahuan dapat
mengangkat manusia, justru karena dengan i lmu pengetahuan manusia dapat memeroleh
kekuasaan dan dapat berbuat banyak. Kekuasaan dapat diperoleh manusia
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
dengan memahami hukum-hukum alam.
Ilmu pengetahuan membantu proses emansipasi manusia terhadap dewa-dewi
tradisional dan Tuhan Allah. Ilmu pengetahuan membangun suatu rasionalitas yang
berbeda dari rasionalitas kepercayaan-kepercayaan tradisional dan agama.
11.6.5. Dampak Sosial Praktis
Dalam konteks yang sama kita juga dapat berbicara tentang manfaat ilmu
pengetahuan adalah dalam memperbesar kekuasaan manusia. Maka teori-teori ilmiah,
melalui tehnik, dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk memperbesar kekuasaan
manusia atas alam dan atas masyarakat. Kekuatan-kekuatan teknik ilmiah itu semakin
menjadi nyata ketika dikembangkan dalam interaksi komunitas manusia.
Kemampuan untuk mengontrol atau kemampuan untuk berkuasa tidak sama dengan
kekuatan untuk hidup dan bertindak sebagaimana diharapkan orang-orang yang dididik
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkem- bangan teknologi mengandaikan
kepentingan sosial yang berkembang dalam masyarakat, dan itu berarti hal tersebut
membutuhkan komunikasi antara
kepentingan dalam masyarakat.
11.6.6. Watak Intelektual
Ilmu pengetahuan, sampai sekarang selalu didasarkan pada pengamatan dan tidak
pernah pasti benar, melainkan hanya mengklaim probabilitas berdasarkan bukti yang ada.
Efektivitas dari ilmu pengetahuan untuk memberikan
218 Etika Ilmu
harapan itu tidak diragukan lagi. Ilmu pengetahuan dapat menawarkan kemungkinan
kesejahteraan hidup yang jauh lebih baik bagi umat manusia sehingga dapat disimpulkan
bahwa ilmu pengetahuan dapat menciptakan suatu masyarakat yang enlightened, hanya bila
masyarakat itu mengikuti rasionalitas ilmu pengetahuan yang taat pada rasio.
11.6.7. Kecenderungan Pragmatis
Kecenderungan pragmatis beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dikembangkan demi
mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan dalam alam semesta ini.
Ilmu pengetahuan memang bertujuan me- nemukan kebenaran, tetapi bagi mereka ilmu
pengetahuan tidak berhenti sampai di situ saja, yang terpenting adalah bahwa ilmu
pengetahuan pada
akhirnya berguna bagi kehidupan manusia.
11.7. Relevansi Etika ilmu dengan llmu Antropologi
Hubungan antara antropologi dan etika ilmu bersifat timbal balik. Antropologi pun
perlu bantuan ilmu-ilmu lain dan sebaliknya ilmu-ilmu lain juga memerlukan bantuan
antropologi. Perkembangan ilmu antropologi sejak fase- fase perkembangan yang dahulu
juga mengumpulkan beratus-ratus suku bangsa yang tersebar di muka bumi ini. Etika yang
sering kali berupa daftar kata-kata, catatan tentang tata bahasa, bahkan seringkali juga
pelukisan lengkap tentang mengembangkan teori-teori tentang berbagai asas, oleh suatu
etika ilmu bagian dari antropologi.
Etika pun seringkali disebut dengan filsafat moral di
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 219
mana di setiap masyarakat pastilah terdapat etika-etika keilmuan yang sudah tertanam,
contoh yang kecil saja, seperti yang terjadi di kalangan masyarakat misalnya tata cara
pergaulan di kalangan anak muda perkotaan menjadi lebih bebas. Di mana tradisi, adat
istiadat, budaya luhur dan nilai-nilai kesopanan dalam pergaulan mulai ditinggalkan dengan
seiring perkembangan teknologi. Kehidupan modem dan gaya hidup di negara-negara Barat
atau negara maju lebih permisif dan bebas. Timbulnya anak- anak "punk" di daerah
perkotaan lebih cenderung disebabkan oleh tayangan televisi. Tentunya kita mudah
mengerti bagaimana baik buruknya suatu metode-metode dan teori-teori dalam etika ilmu
yang berhubungan langsung dengan antropologi.
Latar belakang etika ilmu dengan peristiwa-peristiwa yang sukar diketahui hanya dari
sumber-sumber, konsep- konsep tentang kehidupan masyarakat yang dikembangkan oleh
antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, memberi pengertian banyak kepada seorang ahli
sejarah. Dalam hal mengumpulkan keterangan komparatif antropologi sangat berguna, dari
ilmu itu telah menyadari kepentingan antropologi sebagai ilmu bantu dalam penelitian.
Metode-metode antropologi untuk menyelami latar belakang kehidupan di dalam
masyarakat yang mana pada zaman krisis dunia sekarang ini. Pengertian tentang yang
sangat diperlukan dalam perilaku dan tindakan manusia yang diteliti oleh antropologi. Oleh
karena itu, ilmu dan etika adalah sebagai suatu pengetahuan yang diharapkan dapat
menghambat dan menghentikan perilaku penyim-
Etika llmu
pangan dari kejahatan di kalangan masyarakat, maka antara ilmu antropologi dan etika ilmu
saling berhubungan erat yang mana ilmu antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
aspek kehidupan manusia.
11.8. Ringkasan
Ilmu pengetahuan sesungguhnya merupakan alat bagi manusia. Ilmu diciptakan
dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Dengan ilmu dapat
diciptakan suasana yang lebih baik dan dengan demikian melalui ilmulah manusia dapat
lebih mudah mencapai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Sebagai suatu subjek, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu
ataupun kelompok-kelompok yang menilai apa tindakan-tindakan yang telah dikerjakan. Di
mana etika memberikan semacam batasan maupun standar yang mengatur manusia di dalam
kelompok sosial lainnya. Dalam etika ilmu ini dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh manusia.
Dalam hal ini paradigma merupakan istilah yang sangat erat dengan sains yang normal.
Suatu paradigma bersama telah membebaskan masyarakat sains dari kebutuhan penelitian
ulang secara konstan. Masyarakat sains tahu benar masalah-masalah mana yang telah
dipecahkan beberapa ilmuwan akan mudah dipersuasi untuk menerima pandangan baru.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu pengetahuan mempunyai
peranan ganda. Pengkajian

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 221


pengembangan kebudayaan nasional ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu
pengetahuan. Maka etika ilmu yang ada pada masyarakat jauh lebih luas di mana mencakup
segala sesuatu yang diketahui manusia tanpa perlu dibakukan secara sistematis.
Dalam mempelajari etika ilmu diharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat kita. Pentingnya kita mempelajari etika ilmu ini adalah supaya kita mampu
memahami dan menelaah segala fenomena yang terjadi di dunia ini yang berlandaskan etika
dan ilmu. Selain itu dapat juga ditujukan untuk kebaikan manusia mengenai segala tingkah
laku dan perbuatan agar dapat diatur sesuai dengan moral dan berilmu pengetahuan.
Setiap individu diharapkan dapat berpikir kritis dan rasional dengan berbekal ilmu
pengetahuan yang luas. Dengan begitu setiap individu memiliki wawasan yang luas
sehingga dapat mengontrol segala yang diperbuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk
itu ilmu ini sangat berguna bagi masyarakat kita, khususnya dalam rangka mempertinggi
kualitas SDM masyarakat.

Etika Ilmu
222
Bab XII
Filsafat Ilmu dan Teknologi

12.1. Deskripsi
Seiring perkembangan filsafat yang begitu pesat, maka munculnya berbagai
pertanyaan berkaitan dengan hakikat filsafat ilmu dan filsafat teknologi. Hal itu dikarenakan
perkembangan sebuah ilmu yang begitu besar pastilah membuat lahirnya teknologi-
teknologi dalam masyarakat menjadi begitu pesat. Namun, perkembangan itu tidak diiringi
dengan dasar pemahaman dari filsafat ilmu dan filsafat teknologi itu sendiri yang membuat
manusia menjadi tidak paham hakikat yang sebenarnya dari ilmu dan teknologi yang
sesungguhnya, sehingga tidak dapat mendudukan keduanya sesuai dengan yang seharusnya.

12.2. Tujuan Pembelajaran


Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang filsafat dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), perkembangan teknologi ini sangat berpengaruh
bagi perkembangan suatu masyarakat.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


223
12.3. Pengertian Filsafat Teknologi
Teknologi atau sering disebut sebagai pertukangan memiliki lebih dari satu definisi.
Salah satunya adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang
menolong manusia menyelesaikan masalah- nya. Sebagai aktivitas manusia, teknologi
mulai sebelum sains dan teknik.
Kata teknologi sering menggambarkan penemuan dan alat yang menggunakan
prinsip dan proses penemuan saintifik yang baru ditemukan. Akan tetapi, penemuan
yang sangat lama seperti roda dapat disebut teknologi. Definisi lainnya (digunakan dalam
ekonomi) adalah teknologi dilihat dari status pengetahuan kita yang sekarang dalam
bagaimana menggabungkan sumber daya Untuk memproduksi produk yang diinginkan
(dan penge- tahuan kita tentang apa yang bisa diproduksi). Oleh karena itu, kita dapat
melihat
perubahan teknologi pada saat pengetahuan teknik kita meningkat.
Teknologi juga didefinisikan sebagai penerapan sistematis dari pengetahuan-
pengetahuan ilmiah untuk memudahkan kehidupan manusia.
Definisi filasafat teknologi: adalah analisis kritis tentang suatu hasil ciptaan manusia
melalui proses berpikir untuk menciptakan suatu artefak yang berguna bagi kehidupan
manusia.

12.4. Teori Kuda Liar Teknologi


Substansi dari Teori Kuda Liar IPTEK adalah rasa keingintahuan manusia yang tidak
ada habisnya dengan kata

224 Filsafat Ilmu dan Teknologi


lain, selalu ingin tahu dan selalu mencari kebenaran yang lebih konkret kebenarannya
daripada kebenaran yang ada sebelumnya. Seperti sifat dasar dari manusia yaitu curiousity
yaitu selalu memiliki rasa/kebutuhan untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sifat keingintahuan
dalam mencari hakikat ilmu dan teknologi ini diibaratkan dengan kuda liar.
12.4.1. Hakikat Efisiensi
Efisiensi dalam istilah ekonomi didefinisikan sebagai pengeluaran terbesar dibanding
dengan ongkos yang serendah-rendahnya. Dalam mengukur efisiensi dapat memasukkan
standar-standar kualitatif bagi apa yang telah dihasilkan dalam proses produksi. Misalnya,
kita dapat memasukkan fungsi manusiawi dalam penilaian biaya-biaya. Artinya apa
pengaruh terhadap pria, wanita, air, udara, dan sistem sosial bila kita memproduksi barang-
barang tersebut.
Efisiensi menurut kamus bahasa Indonesia adalah suatu proses/kegiatan dalam rangka
mendayagunakan semua potensi yang ada. Maksudnya jika dihubungkan dengan kondisi
suatu masyarakat adalah apabila masyarakat tersebut menyediakan modal, memanajemen
adanya pihak-pihak yang mendesain, merencanakan, berproduksi, mendistribusi,
memasarkan suatu
barang atau jasa berupa hasil teknologi dalam rangkaian kegiatan ekonomi.
12.4.2. Hakikat Kualitas Produk
Kualitas produk jika didefinisikan secara harfiah ekonomi adalah suatu penilaian baik
ataupun buruk terhadap hasil produksi baik barang ataupun jasa yang
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
dibutuhkan manusia yang mempunyai nilai (value) tertentu.
12.5. Hubungan Teknologi dan Civility
Kehidupan sosial di masyarakat senantiasa tidak terlepas dari perkembangan
teknologi. Masyarakat yang maju senantiasa dinilai dari banyaknya teknologi yang
dihasilkan karena pada dasarnya teknologi senantiasa mencerminkan kualitas sumber daya
manusia di dalamnya. Teknologi tidaklah senantiasa membawa kebaikan semata dalam
masyarakat, meski tujuan teknologi sendiri lahir untuk memecahkan/mempermudah masalah
masyarakat. Misalkan saja lahirnya teknologi komunikasi (hand phone) yang bertujuan
untuk mempermudah komunikasi jarak jauh dengan lebih cepat. Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa masyarakat yang tidak siap dengan perkembangan teknologi yang begitu
cepat justru akan semakin merasakan dampak negatif dari teknologi itu sendiri. Misal:
teknologi internet yang menjadi prioritas bagi masyarakat yang selama ini diharapkan dapat
memecahkan problem informasi justru membawa masyarakat yang kurang siap menerima
dampak negatifnya seperti kemudahan akses pornografi dan lengkapnya informasi yang
dimuat membuat sebagian masyarakat justru menjadi masyarakat yang hedonis, tingkat
kekerasan/pemerkosaan meningkat serta masyarakat lebih memilih praktis internet daripada
membaca buku, bahkan tidak jarang masyarakat yang tidak menyaring lagi info yang
didapat dari internet sehingga mengakibatkan degradasi nilai pada masyarakat

Filsafat llmu dan Teknologi

226
itu sendiri.
Masyarakat sekarang sangat menggantungkan hidupnya pada teknologi,
ketergantungan yang terus menerus menjadikan dirinya terlena dari eksistensi diri manusia
sendiri sebagai makhluk bebas dan kreatif. Masyarakat kemudian menjadi tidak sadar bahwa
mereka dipenjarakan oleh teknologi (tidak kreatif dan reflektif lagi) itu sendiri bila tidak
memahami hakikat teknologi yang sesungguhnya. Pada dasarnya teknologi hadir di
masyarakat semata- mata untuk sarana memudahkan urusan bukan sebagai tujuan.

12.6. Ringkasan
Filsafat ilmu berisi tentang analisis atau metodologi tentang ilmu sedangkan filsafat
teknologi analisis tentang suatu hasil ciptaan manusia melalui proses berpikir untuk
menciptakan suatu barang dan atau jasa yang berguna bagi kehidupan manusia. Dengan kata
lain antara filsafat ilmu dengan filsafat teknologi amat berkaitan, dilihat dalam proses
pencarian suatu teknologi atau hasil karya tertentu.
Ketika kita memahami filsafat dari ilmu dan teknologi maka kita dapat mendudukkan
hakikat sebenarnya dari ilmu dan teknologi itu sendiri.
Pada dasarnya manfaat lain bagi kehidupan kita bila kita memahami filasafat ilmu dan
teknologi adalah kita dapat memanfaatkan teknologi itu sendiri secara efisien, serta dalam
mengembangkannya kita dapat seimbang sehingga tidak menjadi bumerang bagi
masyarakat.

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 227


Bab XIII
Moralitas Ilmu Pengetahuan

13.1. Deskripsi
Penerapan dari ilmu pengetahuan membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan
dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan ilmu pengetahuan.
Tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengemban ilmu pengetahuan harus
memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung
jawab kepada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena
pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh
eksistensi manusia bukan untuk menghan- curkan eksistensi manusia.
13.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang: (i) tanggung jawab
ilmu ilmuwan; (ii) prinsip ilmu pengetahuan itu; (iii) pengingkaran dan perlawanan

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


etika; dan (iv) kejahatan yang sempurna yang dilakukan oleh ilmuwan.

13.3. Tanggung Jawab Ilmuwan


llmu menghasilkan teknologi yang diterapkan pada masyarakat. Teknologi dan ilmu
pengetahuan dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia,
tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Di sinilah pemanfaatan pengetahuan dan
teknologi perlu diperhatikan sebaik- baiknya.
Dihadapkan dengan masalah moral dan ekses ilmu dan teknologi yang bersifat
merusak, para ilmuwan dapat dipilahkan ke dalam dua golongan pendapat, yaitu: (i)
golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu
secara ontologis maupun aksiologi. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan
pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan
digunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin
melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo, dan (ii)
golongan yang berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada metafisika
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan nilai-nilai moral.
Golongan yang kedua ini mendasarkan pendapatnya pada tiga hal, yakni:
(i) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destraktif oleh manusia, yang dibuktikan
dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi keilmuan yaitu terjadi
Bom Atom; (ii) ilmu telah

Moralitas llmu Pengetahuan


berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui
tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan; dan (iii) ilmu telah
berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah
manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan
teknik pembuatan sosial.
Proses transformasi ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan oleh masyarakat tidak
terlepas dari ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan- kepentingan
pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta
masalah bebas nilai. Fungsi ilmuwan tidak berhenti pada penelaah dan keilmuan secara
individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat
dimanfaatkan masyarakat (Suriasumantri, 1984).
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Jika hasil karya itu memenuhi syarat keilmuan maka ia diterima
sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat. Dengan
kata lain, pen- ciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu
adalah bersifat sosial. Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu, yang
dapat saja mengubah wajah peradaban. Jelas bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung
jawab sosial yang terpikul di bahunya.
Implikasi penting dari tanggung jawab sosial seorang ilmuwan, adalah bahwa setiap
pencarian dan penemuan

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 231


kebenaran secara ilmiah harus disertai dengan landasan etis yang kukuh.
Menurut Suriasumantri (1984), proses pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah
yang dilandasi etika, merupakan kategori moral yang menjadi dasar sikap etis seorang
ilmuwan. Ilmuwan bukan saja berfungsi sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut,
tetapi juga harus menjadi prototipe moral yang baik. Aspek etika dari hakikat keilmuan ini
kurang mendapat perhatian dari para ilmuwan itu sendiri.
Contoh kecil dalam pengembangan ilmu kedokteran. Sekelompok kecil orang
membutuhkan organ tertentu, kelompok orang lainnya menjadi korban, dan ilmuwan serta
praktisinya menjadi perantara aktif dalam transaksi itu. Hakikatnya, ilmuwan itu telah
mengabaikan prinsip moral dan agama yang dianut masyarakat. Fenomena ini, yang
cenderung menjadi faktor paling fundamental yang mendorong berdirinya berbagai
lembaga yang mengkaji dan berupaya menegakkan etika biomedis.
Tanggung jawab ilmuwan tidaklah ringan. Dapatkah seorang ilmuwan memikul
tanggung jawab sedemikian itu, jika batas moral yang berlaku tidak bersifat universal? Hal
etis, yang diharapkan menjadi landasan utama tegaknya tanggungjawab moral para
ilmuwan, memang tidak pernah memiliki sifat umum dan universal. Artinya, etika tidak
dapat memberikan aturan universal yang konkret untuk setiap masa, kebudayaan, dan
situasi (Peursen dkk, 1990).
Hal ini yang mendorong, setiap kebudayaan atau suatu negara mengembangkan etika
profesi dan aturan
232 Moralitas llmu Pengetahuan
hukum yang dapat dikatakan sebagai pedoman dari perwujudan tanggung jawab sosial para
ilmuwan dan juga praktisi.
Di Indonesia, dengan diberlakukannya Undang- undang No. 23 tahun 1992, tentang
Kesehatan, maka pedoman bagi pengembangan tanggung jawab sosial ilmuwan kedokteran
dan praktisinya sudah semakin jelas.
Undang-undang No. 23 tahun 1992, tentang Kesehatan, merupakan norma yang
menjadi pedoman perilaku, yang mengharuskan bagi setiap orang mematuhinya dan apabila
tidak mematuhi, undang-undang tersebut juga sudah mengatur akibat hukum atau sanksi
(Koeswadji, 1996).
Khusus untuk kalangan profesi medik di Indonesia, telah pula dilengkapi dengan Kode
Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI telah menjadi dasar pengembangan
tanggung jawab para ilmuwan dan praktisi kedokteran di Indonesia, baik secara spesifik
untuk tanggung jawab pengembangan ilmu kedokteran maupun pemanfaatan ilmu
kedokteran bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Berdasar mukadimah Kodeki, dapat diketahui bahwa landasan utama proses pencarian
dan penemuan kebenaran ilmiah (pengembangan ilmu kedokteran) oleh para ilmuwan
Indonesia adalah etika yang bersumber ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Etika yang bersumber
dari ajaran agama, merupakan kategori moral yang menjadi dasar sikap etis seorang
ilmuwan dan praktisi kedokteran di Indonesia.
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

233
Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi adalah segala-
galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia
yang baik. Demikian juga masih terdapat ke- benaran-kebenaran lain di samping kebenaran
keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki. Jika kaum ilmuwan konsekuen
dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral, maka salah satu
penyangga masyarakat modem ini, yaitu ilmu pengetahuan, akan berdiri dengan kukuh.
Berdirinya pilar penyangga keilmuan ini merupakan tanggung jawab sosial kaum ilmuwan
(Suryasumantri, 1984).
Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat
dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah
memberikan perspektif yang benar, untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga
penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat memengaruhi
opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogianya mereka sadari. Dalam hal ini,
berbeda dengan saat menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoterik, dia harus
berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan
saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas
kepribadiannya.
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur
dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima
sesuatu secara begitu
Moralitas llmu Pengetahuan

234
saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan
dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur
dan cermat. Inilah yang menyebabkan dia mem- punyai tanggung jawab sosial.
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi hanya memberi
informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat
objektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian
yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus
menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis
yang tepat.
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau
penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan
bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap
politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas- asas kemanusiaan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk
kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah tanggung
jawab ilmuwan haruslah "dipupuk" dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab
akademis dan tanggung jawab moral.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah dihipotesis- kan, jika ilmuwan telah dapat
memenuhi tanggung jawab

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 235


sosialnya, maka ilmu pengetahuan itu akan berkembang pesat, ilmu pengetahuan itu akan
dapat memberi manfaat besar bagi kehidupan manusia, dan ilmu pengetahuan itu tidak akan
menimbulkan konflik di masyarakatnya. Dapatkah hipotesis di atas terbukti? Jawaban atas
pertanyaan ini juga merupakan bagian dari tanggung jawab sosial ilmuwan. Menurut
Suriasumatri (1984) kita tidak bisa lari daripadanya (tanggung jawab sosial) sebab hal ini
merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun kita tidak akan pernah
bisa melarikan diri dari diri kita sendiri.

13.4. Problem Etika llmu Pengetahuan


Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan
maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam
mengemban ilmu pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat
manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab kepada kepentingan umum,
dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk
menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut upaya penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara tepat

Moralitas Ilmu Pengetahuan

236
dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau
tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia, baik dalam
hubungan sebagai pribadi, dengan lingkungan- nya maupun sebagai makhluk yang
bertanggung jawab terhadap khalik-Nya.
Jadi, sesuai dengan pendapat van Melsen (1985) bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia
tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan
oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang
teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni
kedewasaan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, yang buruk dan yang
baik.
Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar
manusia dapat sungguh- sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu
pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia. Tetapi
juga merupakan hasil perkembangan
dan kreatifitas manusia itu sendiri.
13.5. llmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Rasionalitas ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes bersikap skeptik sebagai
metode yang meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo
sum). Sikap ini berlanjut pada masa aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia
untuk mencapai

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 237


pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adalah ilmu-ilmu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau
justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang
(1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar
didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur
tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Minimal terdapat tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai,
yaitu: (i) ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, agama,
budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya; (ii) perlunya kebebasan ilmiah, yang mendorong
terjadinya otonomi ilmu pengetahuan. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan untuk
menentukan diri sendiri; (iii) penelitian, ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis (yang
sering dituding menghambat kemajuan ilmu), karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Sosiolog, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi ia juga
mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin
ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai
bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai- nilai itu
harus diimplikasi ke dalam bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung
tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan orang, budaya, maka ilmu
sosial tidak beralasan untuk diajarkan.
Moralitas Ilmu Pengetahuan

238
Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah
(Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2001).
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, bisa
dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan,
sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang
ikut menentukan pilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.
Tokoh lain Habermas sebagaimana yang ditulis oleh Rizal Mustansyir (2001)
berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi
Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu
pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau objek itu sebenarnya sudah
tersusun secara spontan dan primordial dalam pengalaman sehari-hari, dalam Lebenswelt
atau dunia sebagaimana dihayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt itu
sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan praktis.
Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk
berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak
lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan hermeneutika juga ditentukan
oleh kepentingan praktis kendati dengan cara yang berbeda. Kepentingan ialah memelihara
serta memperluas bidang aling pengertian antarmanusia dan perbaikan komunikasi. Setiap
ke- giatan teoretis yang melibatkan pola subjek selalu

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 239


mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu
pekerjaan, bahasa, dan otoritas. Pekerjaan merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam,
bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika, sedangkan otoritas
merupakan kepentingan ilmu sosial.

13.6. Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan


Ilmu bukanlah pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah
jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi, ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang
suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa sistem dan struktur
ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Oleh karena itu, ia terbuka untuk diuji
oleh siapa pun.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik
kritis rasional, logis, objektif dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang
ilmuwan untuk melakukannya. Namun, juga menjadi masalah mendasar yang dihadapi
ilmuwan setelah ia membangun suatu yang kokoh dan kuat, yakni masalah kegunaan ilmu
bagi kehidupan manusia. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa
manusia ke arah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kokoh, kuat,
mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Di sini letak tanggung jawab
seorang ilmuwan, masalah

Moralitas Ilmu Pengetahuan

240
moral dan akhlak amat diperlukan.
Manusia sebagai makhluk Tuhan bersama-sama dengan alam berada di dalam alam
itu. Manusia akan menemukan pribadi dan membudayakan dirinya bila mana manusia
hidup dalam hubungan dengan alamnya. Manusia yang merupakan bagian alam tidak hanya
bagian yang terlepas darinya. Manusia senantiasa berintegrasi dengan alamnya. Sesuai
dengan martabatnya, manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa menjadi pusat
dari alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa di antara manusia dengan alam ada
hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu, manusia harus senantiasa
menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya yang bersifat mutlak pula. Kewajiban ini
merupakan kewajiban moral tidak juga sebagai manusia biasa lebih- lebih seorang ilmuwan
dengan senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam yang bersifat mutlak.
Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan tentu perlu
memiliki visi moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut
sikap ilmiah (Abbas Hamami M., dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM,
1996).
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Karena sikap ilmiah adalah suatu
sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap
ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan
bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi. Di samping
itu, ilmu tersebut dapat dipertanggungjawab-
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu241
kan kepada Tuhan. Artinya, selaras antara kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami M., (1996)
terdapat enam hal sebagai berikut: (i) tidak ada rasa pamrih (disinterestedness), artinya suatu
sikap yang diarahkan untuk mencapai penge- tahuan ilmiah yang objektif dengan
menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi; (ii) Bersikap selektif, yaitu suatu sikap
yang bertujuan agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal
yang dihadapi. Misalnya, hipotesis yang beragam, metodologi yang menunjukkan
kekuatannya masing-masing, atau cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun
masing-masing menunjukkan akurasinya; (iii) ada rasanya percaya yang layak baik terhadap
kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi (mind);
(iv) adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti
(conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian; (v)
adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap
penelitian yang telah dilakukan sehingga selalu ada dorongan untuk riset dan riset sebagai
aktifitas yang menonjol dalam kehidupannya; (vi) seorang ilmuwan harus memiliki sikap
etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kebahagiaan
manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.
Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan secara
normatif tersebut berlaku bagi semua sistem. Hal ini karena pada dasarnya seorang
Moralitas llmu Pengetahuan

242
ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau
apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah
objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal. Di samping sikap ilmiah berlaku
secara umum tersebut, pada kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik
berlaku bagi kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya etika kedokteran, etika bisnis, etika
politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh
kelompoknya itu. Taat asas dan patuh terhadap norma etis yang berlaku bagi para ilmuwan
diharapkan akan menghilangkan kegelisahan serta ketakutan manusia terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan, diharapkan manusia akan semakin percaya
pada ilmu yang membawanya pada suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai
manusia. Hal ini sudah tentu jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap lain kecuali
pencapaian
objektivitas demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.
13.7. Moralitas llmu Pengetahuan
Manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu
pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dan Freud menyebut sebagai "id", "ego"
dan "super-ego". "Id" adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan
biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido
(konstruktif) dan thanatos (destruktif

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu

243
dan agresif). "Ego" adalah penyelaras antara "id" dan realitas dunia luar. "Super-ego" adalah
polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (Jalaluddin Rakhmat, 1985). Dalam
agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat
saja hanya memfungsikan "id"-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan
mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dalam pertarungan antara id dan
ego, di mana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga
nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam
memanfaatkan ilmu pengetahuan —amatlah nihil kebaikan yang diperoleh manusia, atau
malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan
lapisan ozon, adalah pilihan "id" dari kepribadian manusia yang mengalahkan "ego"
maupun " super-ego" -nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal
yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan
manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif
dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi "id"
(libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu
pengetahuan. Di sinilah etika
Moralitas Ilmu Pengetahuan

244
menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well- supporting bagi pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuwan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to),
benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan
teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di
bawah filsafat moral (Herman Soewardi 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang
melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti
akan men- datangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada
dasarnya adalah seperangkat kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya
(executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subjek berhadap opsi baik
atau buruk—yang baik itulah materi kewajiban exekutor dalam situasi ini.
13.8. Pengingkaran dan Perlawanan Etika
Etika sebagai modal dasar dalam pembentuk pengembangan ilmu pengetahuan yang
lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan, tentunya tidak terlepas dari beberapa
pengingkaran dan perlawanan etika sendiri. Atau yang biasa disebut dengan pelanggaran
etika.
Prinsip etika keilmuan yang berdasarkan kepada prinsip bebas nilai yang
mengharuskan ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal, sudah tidak

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu245


menjadi prinsip yang dinomorsatukan.
Berikut merupakan empat hal pengingkaran dan perlawanan terhadap etika yakni (i)
kejujuran; (ii) taksonomi ketidakjujuran; (iii) penyalahgunaan dalam penggunaan data; (iv)
permasalahan dalam publikasi.
Pertama, kejujuran dalam etika. Kejujuran merupakan hal yang sangat mendasar dari
manusia yang akan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Kejujuran pasti
diajarkan oleh seluruh agama melalui kitab- kitabnya. Kejujuran dan keadilan merupakan
kunci pokok dalam berbuat, bekerja dan berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini sangat
disadari mengingat suatu hasil kerja bila tidak dilandasi dengan kejujuran, harus diwaspadai
sebagai suatu awal yang buruk dan malapetaka.
Kedua, taksonomi ketidakjujuran yakni (i) bohong; (ii) kecurangan sengaja;
(iii) mempergunakan data orang lain; (iv) menahan informasi; dan (v) tidak menyebarkan
informasi.
Bohong. Seseorang dikatakan berbohong apabila dia mengetahui informasi
sebagaimana mestinya, tetapi tidak mengatakan demikian. Atau bila terjadi suatu kesalahan
yang dia ketahui, tetapi dia tidak mau melakukan upaya untuk menyampaikan koreksi.
Kecurangan sengaja. Hal ini terjadi, misalnya bila pada kondisi melamar pekerjaan,
dan dia menyampaikan sesuatu yang tidak mempunyai pengalaman. Namun masih saja
dilakukan agar dapat memperoleh pekerjaan.
Mempergunakan data orang lain/klien. Sering kali seorang ahli dengan sengaja
mempergunakan data/infor-

246 Moralitas Ilmu Pengetahuan


masi yang nyata-nyata bukan hasil karyanya, meskipun mungkin data/informasi tersebut
didapat dari mantan kliennya.
Menahan informasi. Informasi yang sebenarnya harus disampaikan malah disimpan
atau tidak disampaikan. Misalnya seorang atasan tidak memberi informasi pada bawahan
dan sebaliknya.
Tidak menyebarkan Informasi. Tujuan pokok seorang ahli berada di tengah-tengah
masyarakat adalah untuk melindungi dan menjaga keamanan serta kesejahteraan
masyarakat. Untuk itu diperlukan penyebaran informasi kepada masyarakat yang memang
membutuhkan informasi tersebut, bukan malah tidak menyebarkannya, apalagi bila
informasi itu sangat berharga dan mendesak bagi masyarakat.
Ketiga, penyalahgunaan penggunaan data. Dalam istilah keilmuan penyalahgunaan ini
dibagi menjadi empat macam: (i) trimming; (ii) cooking; (iii) forging; dan (iv) plagiat.
Trimming, juga dikenal dengan sebutan smoothing, yakni memperhalus data sehingga
tampilannya tampak lebih akurat dan baik.
Cooking, merupakan usaha untuk membuat atau merekayasa data sedemikian rupa
sehingga menjadi "fit- cook" (sesuai) dengan suatu theorem atau teori yang sudah ada.
Sehingga nyaris terlihat keasliannya.
Forging, pengertian sederhana forging adalah merekayasa data seolah- olah telah
melakukan eksperimen. Data yang ada sebagian atau seluruhnya dibuat seolah-olah didapat
dari hasil eksperimen.
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
247
Plagiat, kasus inilah yang sering mucul di kalangan masyarakat, di mana seseorang
mengambil, memakai data/ hasil karya orang lain tanpa seizin orang yang membuatnya.
Keempat, permasalahan dalam publikasi. Dalam publikasi hasil karya biasanya terjadi
pelanggaran-pelanggaran yang tidak mengindahkan etika, misalnya: (i) plagiat; (ii)
referencing; serta (iii) authorship dan kontribusi.
Plagiat. Sudah dijelaskan di atas. Referencing, merupakan bentuk kecurangan berupa
penukilan dalam penulisan karya ilmiah tetapi tidak mencantumkan nama pengarang atau
sumber penukilan itu diambil. Hal tersebut sangat bertentangan dengan etika. Authorship
dan kontribusi, permasalahan muncul pada saat menetapkan siapa yang akan dicantumkan
dalam penulis hasil penelitian baik dalam report ataupun paper-paper. Problem ini makin
tampak sewaktu penelitian dikerjakan oleh grup dan di antara mereka ada yang tidak aktif,
pertanyaan yang muncul apakah orang tersebut pantas untuk dicantumkan namanya dalam
karya itu.
13.9. Masalah Kejahatan Sempurna
Istilah kejahatan sempurna atau bisa disebut The Perfect Crime, mungkin memang
jarang sekali dipakai atau didengar dalam istilah-istilah fenomen kejahatan.
Jean Baudrilland, dalam bukunya The Perfect Crime (1992), yang menjelaskan
kejahatan menjadi hyper ketika ia melampaui berbagai realitas (hukum, moralitas, akal
sehat, dan budaya). Ketika ia telah berkembang sedemikian

Moralitas llmu Pengetahuan


rupa menuju tingkatannya yang sempurna (hyper criminality). Artinya, kejahatan telah
menjadi satu wacana yang direncanakan diorganisir dan dikontrol secara sempurna melalui
teknologi tinggi, manajemen tinggi dan politik tinggi, sehingga ia melangkahi otoritas
hukum, melewati kemampuan akal sehat, dan melompati jangkauan nilai-nilai budaya dan
moralitas.
Terdapat minimal tiga cara menuju kekerasan atau kejahatan sempurna:
(i) ketika kejahatan (negara) atau pengadilan begitu kolosal dan masif, sehingga melampuai
kemampuan perangkat hukum untuk mengusutnya; (ii) ketika kejahatan ditutupi oleh
simulacra of crime yaitu ketika kejahatan begitu rapi direncanakan, diorganisir, dan
dikontrol, sehingga ia melampuai jangkauan perangkat hukum, seolah-olah tidak ada barang
bukti, tidak ada pelaku, tidak ada korban; (iii) Ketika kejahatan kekerasan berlangsung
dengan tingkat ketidakterlihatan (invisibility) yang sangat tinggi
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan sempurna adalah: kejahatan
yang dengan sistematis membunuh realitas, yang menikam kebenaran, yang menusuk
keadilan, kejahatan yang begitu rapi direncanakan, diorganisir, dan dikontrol.
13.10. Ringkasan
Proses pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah yang dilandasi etika, merupakan
kategori moral yang menjadi dasar sikap etis seorang ilmuwan. Ilmuwan bukan saja
berfungsi sebagai penganalisis materi kebenaran

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


249
tersebut, tetapi juga harus menjadi prototipe moral yang baik. Fungsi ilmuwan tidak berhenti
pada penelaah dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar
produk keilmuannya sampai dan bermanfaat bagi masyarakat.
Setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki
menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pengingkaran atau perlawanan etika dalam ilmu pengetahuan adalah pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip etika keilmuan. Seperti sikap-sikap buruk yang dilakukan oleh
peneliti atau adanya campur tangan faktor eksternal yang mengakibatkan ilmu sendiri
diragukan validitasnya.
- Kejahatan sempurna adalah : kejahatan yang dengan sistematis membunuh realitas,
yang menikam kebenaran, yang menusuk keadilan, kejahatan yang begitu rapi direncanakan,
diorganisir, dan dikontrol.

Moralitas Ilmu Pengetahuan


250
Bab XIV

Filsafat, Iptek, dan Budaya

14.1. Deskripsi
Pada bab ini diuraikan tentang pengertian ilmu pengetahuan, teknologi dan
kebudayaan serta relevansinya terhadap ilmu Politik. Topik-topik tersebut telah menjadi
pembicaraan dan tidak henti-hentinya diperbincangkan. Baik politik maupun ilmu
pengetahuan, Teknologi dan Kebudayaan, keduanya mempunyai hubungan yang saling
mendasari perkembangan satu dan lainnya. Dapat dikatakan bahwa ilmu, teknologi dan
kebudayaan dipengaruhi dari pemikiran politik saat ini.
14.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada bagian ini adalah (i) pengertian ilmu pengetahuan,
teknologi dan kebudayaan; dan (ii) hubungan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kebudayaan.

14.3. Pengertian llmu Pengetahuan,Teknologi, dan


Kebudayaan
Ilmu pengetahuan pada dasarnya bersumber pada rasio dan fakta.
Mereka yang berpendapat bahwa rasio
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 251
adalah sumber kebenaran, telah mengembangkan paham yang disebut rasionalisme. Sedang
mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia
merupakan sumber kebenaran, telah mengem- bangkan paham empirisme.
Kaum rasionalisme menyatakan alam nyata dan gaib adalah ilmu pengetahuan,
sedang kaum empirisme menganggap bahwa yang nyata saja yang termasuk ilmu
pengetahuan sedang yang gaib bukan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berdasar objeknya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (i) objek
vertikal (trancendental) menyangkut sang pencipta dan sifat- sifatnya, "kata-kata" sang
pencipta; (ii) objek horisontal menyangkut ciptaan nya seperti manusia, alam binatang, alam
tumbuh-tumbuhan, alam benda materi, dan alam jagat raya; dan (iii) objek "alam rekayasa"
merupakan buatan manusia.
Dari objek-objek di atas dapat dikaji tiga hal sebagai berikut: (i) religious studies; (ii)
(2) science; dan (iii) engineering and technology.
Pengertian teknologi yang tertua, sangat sederhana dan paling umum dikenal orang
ialah barang buatan manusia, konsep kedua pengertian teknologi adalah kegiatan manusia
yang efisien dan bertujuan jelas.
Efisiensi sendiri adalah konsep yang menunjukkan perbandingan lurus antara suatu
kerja dengan hasilnya. Bertujuan berarti kegiatan manusia itu dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan, memecahkan masalah atau mengatasi kesulitan tertentu. Konsep ketiga tentang
teknologi adalah kumpulan pengetahuan.
Filsafat Ipteks dan Budaya
Sifat dasar teknologi merupakan persoalan filsafati kedua. Harvey Brooks menegaskan
tugas pokok teknologi dalam masyarakat manusia ialah perluasan dunia kemungkinan
manusia yang bersifat praktis. Jadi teknologi mempunyai peranan memperluas dan
memperbesar potensi manusia untuk memenuhi kebutuhan praktisnya.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta
menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan.
Dalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai "mekanisme kontrol" bagi kelakuan dan
tindakan-tindakan manusia (Geertz, 1973a), atau sebagai "pola-pola bagi kelakuan manusia"
(Keesing & Keesing, 1971).
Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan, petunjuk- petunjuk,
resep, rencana, dan strategi, yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang digunakan
secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya
(Spradley, 1972). Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini
kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-
perasaan dan emosi- emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang
baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan
sebagainya.
14.4. Hubungan antara Kebudayaan dengan Teknologi
Kebudayan adalah dasar dari teknologi. Kebudayaan

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 253


menentukan jenis teknologi yang berkembang di suatu daerah. Semakin maju
kebudayaannya, semakin berkembang teknologinya. Teknologi sendiri merupakan
perkembangan dari kebudayaan yang maju dengan pesat. Hal inilah yang menjadi kunci
hubungan antara teknologi dan kebudayaan.
Dengan sedikit penjelasan dapat diartikan bahwa teknologi dapat memengaruhi
tingkah laku sekelompok orang, apakah mereka lebih suka berkumpul bersama, atau lebih
senang menyendiri tanpa terganggu.

14.5. Hubungan antara llmu dengan Teknologi


Dilihat dari perkembangan ilmu pengetahuan sendiri, diandaikan bahwa ilmu
pengetahuan yang mampu menerjemahkan produk pengetahuannya menjadi teknologi lebih
maju taraf perkembangannya dari ilmu pengetahuan tanpa teknologi. Teknologi sangat
membantu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, sambil memberi lebih banyak waktu
luang kepada manusia, yang sudah dibebaskan dari kerja fisik. Teknologi dari dirinya
dianggap mempunyai suatu watak yang liberal.
Dari perkembangan rasionalitas, maka diandaikan bahwa masyarakat yang telah
dimasuki oleh teknologi, akan semakin menyesuaikan dirinya dengan tuntutan dari
rasionalitas tersebut. Di sini sering dilupakan kemungkinan lain bahwa kebudayaan suatu
masyarakat yang belum cukup disiapkan untuk menerima teknologi, justru menyerap
teknologi itu tidak sesuai dengan tuntutan rasionalitas teknologi tetapi sesuai dengan
kebiasaan- kebiasaan

Filsafat Ipteks dan Budaya


254
yang ada dalam kebudayaan itu, yang menyebabkan teknologi itu tidak berfungsi
optimal atau mengalami disfungsi.

14.6. Hubungan antara Ilmu dengan Kebudayaan


Dilihat dalam sejarah perkembangan umat manusia diandaikan bahwa
kebudayaan dengan perkembangan ilmu, adalah kebudayaan yang lebih tinggi taraf
perkembangannya dari kebudayaan tanpa ilmu, karena dengan adanya perkembangan
ilmu alam raya semakin dapat dikuasai.
Kebudayaan yang memakai pesawat terbang, komputer, dan telepon dianggap
lebih maju dari masyarakat yang hanya memakai kuda, pena dan tinta atau berbicara
dari mulut ke mulut. Hal ini menyebabkan distingsi yang kadang-kadang dibuat antara
kebudayaan tinggi dan ke- budayaan rendah, atau antara kebudayaan dan peradaban.
Dalam suatu masyarakat, bukan saja kehidupan alam dapat diatur dengan
bantuan teknologi, tetapi juga dengan bantuan perkembangan ilmu. Engineering dalam
dunia fisika dianggap dapat diterjemahkan ke dalam dunia sosial dalam bentuk sosial
engineering. Demikian pula kontrol terhadap masyarakat dapat dilakukan dengan cara-
cara yang meniru kontrol dalam perkembangan ilmu.

14.7. Ringkasan
Penerapan teknologi tidak cukup hanya mengandalkan technical know-how, tetapi
selayaknya dan semestinya didukung oleh pengetahuan mengenai keadaan sosial-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu ,


budaya yang cukup mengenai tempat di mana teknologi itu diterapkan. Penerapan teknologi
tanpa pengetahuan sosial-budaya dapat mempunyai dua akibat. Kemungkinan satu,
penerapan itu tidak berhasil. Kemungkinan lainnya, sekali pun penerapannya berhasil,
akibat sampingan begitu tinggi, sehingga efek sosial yang muncul mungkin jauh lebih besar
daripada manfaat yang dibawa oleh teknologi itu.
Teknologi menjadi tempat di mana dipertaruhkan dua kepentingan ilmu pengetahuan
yaitu unsur kebenaran pengetahuan dan manfaat pengetahuan. Hubungan di antara keduanya
penuh dengan dilema sehingga menganggap bahwa pengembangan ilmu selalu harus
dihubungkan kegunaannya, mungkin akan membuat perkembangan ilmu justru tidak
produktif.
Untuk teknologi tinggi, keahlian teknis para teknolog hendaknya disertai suatu etos profesi
yang tinggi. Kontrol sosial terhadap para ahli sendiri dan rekan-rekan mereka sendirilah
yang harus mengontrol diri mereka sendiri, karena kontrol sosial oleh masyarakat tidak
mungkin dilakukan karena mengandaikan suatu tingkat pengetahuan teknis yang tinggi,
yang justru tidak dipunyai oleh anggota masyarakat yang bukan ahli.
Kemampuan menerima suatu teknologi, tidak hanya mengandalkan tingkat
kecerdasan, tetapi juga tingkat disiplin. Kekeliruan dalam menjalankan teknologi tidak
selalu disebabkan karena seorang kurang tahu, tetapi juga karena dia kurang perhatian dan
belum mempunyai kebiasaan (habit) untuk mengikuti disiplin dan bukan me-
Filsafat Ipteks dan Budaya
256
langgarnya.
Pengandaian bahwa teknologi hanya mengubah dunia materiil, pada taraf sekarang
tidak benar seluruhnya, karena teknologi langsung mengubah alam pikiran dan tanggapan.
Dunia materiil diubah dengan memproduksi benda- benda, dunia tanggapan diubah dengan
memproduksi tanda-tanda.
Semakin besarnya peranan para ahli dalam politik, dapat membawa kita kepada
oligarki para ahli, yang dapat menggeser partisipasi masyarakat luas dalam suatu sistem
politik yang demokratis.
Berfungsinya teknologi tidak saja tergantung kepada sifat teknologi itu sendiri, tetapi
juga sangat tergantung kepada wacana tentang teknologi. Penyelidikan tentang wacana ini
besar manfaatnya untuk melihat peraturan- per- aturan yang dianut dalam kalangan
teknologi untuk menjalankan fungsinya, dan apa yang terdapat di balik peraturan-peraturan
itu, yang sering kali memperlihatkan dirinya dalam topeng-topeng ilmiah dan filosofis, yang
memerlukan kritik untuk mengungkapkannya dan meninjau atau kalau perlu
mendekonstruksinya sekalian.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Daftar Pustaka

Abdurrahman, M. 2005. At-Tafkeer. Alih bahasa oleh Abu Faiz, Cet. I Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, Hal. 34.
Adib, Mohammad. 2009. Jatidiri Unair Telah Berhasil Disusun dalam
http://madib.blog.unair.ac.id/ethics/ jatidiri-ua-telah-berhasil-disusun/
Adib, Mohammad. 2007. Bahan Ajar Filsafat Ilmu dan Logika. Surabaya: Laboratorium
Humaniora Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Universitas Airlangga.
Adib, Mohammad. 2007. Filsafat Ilmu: Diskursus tentang Filsafat, Ilmu dan Agama dalam
Ilmu Keperawatan, Kedokteran Gigi, serta Psikologi. Surabaya: Laboratorium
Humaniora Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Universitas Airlangga.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Asmadi, AsmoroDrs. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Athiyat, Ahmad. 2004 At-Thariq, Alih Bahasa oleh Dede Koswara, Cet. I. Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah. Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu.
Jakarta: Rajawali Pers. Bakker, Anton. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Beerling, Kwee, Mooij Van Peursen. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu.
Jogjakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
1997. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu. Yogyakarta: PUBIB.
1998. Lintasan Sejarah Ilmu. Yogyakarta: PUBIB.
Brower, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu. 2001 Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Hal. 129.
Budiardjo, Miriam. 2006 Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Chalmers, A.F. 1983 Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?.
Jakarta: Hasta Mitra.
Dato, A. dan S. Morgenbesser. 1960 Philosophy of Science.
New York: Meridian Books.
Gie, The Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Gie. The Liang. 2004. Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi II (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2004), Hal. 110. Departemen Pendidikaan dan Kebudayaan. 1977. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Cet IX (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hal. 652. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Universitas Terbuka. 1985 Materi
Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V, 1985.
Hamami M., Abbas. 1976. Filsafat (Suatu Pengantar Logika Formal - Filsafat
Pengetahuan). Yogyakarta: Yayasan
Daftar Pustaka
Pembinaan Fakultas Filasafat UGM.
Hamersa, Harry, 1992. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat.
Yogyakarta: Kanisus.
Horgan, John. 2001. Matinya Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia.
Ismail, Muhammad. 2003. Al-fikru al- Islamy, alih bahasa oleh A. Haidar, Cet. I
(Bangil: Al- Izzah, 2004), Hal, 95. Lihat Juga Muhammad Husain Abdullah. Mafahim
Islamiyah; Menajamkan Peahaman Islam, Cet. I (Bangil: Al-Izzah, 2003), Hal. 29-33
Kattsoff, Louis O.1992 Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan
Filisofis. Yogyakarta:Kanisius. Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik
Kebudayaan.
Jakarta: LP3ES.
Koentjaraningrat.1990. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Aksara Baru.
Kuhn, Thomas. 1976. The Structure Of Scientific Revolution.
Chicago: University Of Chicago Press.
Kuhn, Thomas S. 2002. The Structure Of Scientific Revolutions: Peran Paradigma
Dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mangunwijaya,J.B. 1987. Teknologi dan Kebudayaan.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1987

Mehra, Partap Sing dan Burhan, Jazir. 1988. Pengantar Logika Tradisional.
Bandung: Bina Cipta.
Filsafat Ilmu: Ontologi. Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2001. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Naya Sujana, I Nyoman. 2004. Pengetahuan Dasar Bagi Mahasiswa Baru Memasuki
Perguruan Tinggi. Surabaya:PT. Bina Ilmu.
Rapar, Jan Hedrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Salam,
Burhanudin. 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Santoso, Heri dan Listiyono Santoso. 2003. Filsafat Ilmu Sosial, Ikhtiar Awal Pribumisasi Ilmu-
Ilmu Sosial. Yogyakarta: Gama Media.
Siswomihardjo, Koento Wibisono, dkk,. 1997. Filsafat Ilmu.
Klaten: Intan Pariwara.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soekadijo, R.G. 1983. Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif. Jakarta: Gramedia.
Solomon, Robert C. 2002. Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Bentang. Subechi,
Achmad. The Soul and Spirit of Mankind Makna Kebenaran:
http://bechipersda.blogspot.com Suppe, Frederick, (ed.). 1977. The Structure of Scientific
Theories. Chicago: University of Illinois Press. Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.
Jakarta: Bumi Aksara.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar

Daftar Pustaka

262
Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Suriasumantri, Jujuri S. 2003. Ilmu Dalam Perspektif.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Dimensi Etik dan Asketik illmu Pengetahuan Manusia:
Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI) 1985.
Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar
Filsafat Ilmu. Jakarta: Gramedia.
Suseno dan Magnis, Franz. 1992. Filsafat sebagai llmu Kritis.
Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI)
Taryadi, Alfons. 1989. Epistemologi Pemecahan Masalah: Menurut Karl Popper.
Jakarta: Gramedia.
Taqiyuddin an-Nabhani. 2003. At-Tafkir, alih bahasa oleh Taqiyuddin as-Siba'I, Cet. I (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2003), Hal. 31
Van Melsen, A.G.M. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Terjemahan K.
Bertens, Judul Asli Wetenschap en Verantwoordelijkheid. Jakarta: Gramedia
Verhaak, C. dan R. Haryono, Imam. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Kerja
Ilmu. Jakarta: Gramedia.
Wallace, Walter L. 1984. Metoda Logika Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Wiener. P.P. 1953.
Reading in Philosophy of Science. New York: Charles Scribner's Sons.

http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic Thought and


Civilization Powered
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
by Mambo Generated www.wikipedia.com/Aspek-Aspek positif semangat
Renaisance bagi perkembangan ilmu. http://id.google.com/ teknologi sebagai produk
budaya. http://amronroy.blogspot.com/2007/09/ humanismekemanusiaan.html

264 Daftar Pustaka


Indek

A antropologi 13, 59
Aksiologi 78 Anzahel 3
A.C. Ewing 43 AR Lacey 78 Argumentum
Abbas Hamami M 242 ad baculum
activity 47 190
aksiologi 23, 81 Argumentum ad hominem
Al-Battani 31 188
Al-farabi 3, 21, 31 argumentum ad hominem 2 189
Al-ghazali 3 Argumentum ad ignoratiam 195
Al-Khowarizmi 31 Argumentum ad
Al-kindi 3, 31, 41 verecundiam 194
Ali Mudhofir 38 Aristoteles 19, 27, 31, 34, 37,
aliran monisme 86 72, 88, 149, 166, 206
Amfiboli 185 attitude 47
Anaxagoras 82 Augustinus 19, 30
Anaximander 81, 86 Averroisme 31
Anaximandros 26
Angeles, Peter 55
Anton Bakker 87
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
B E.B. Taylor 59
effects 47
B. Spinoza 82, 86 Einstein 97
Babbie 134 Bacon eksistensialisme 119
Elwood 63
31 Empedokles 82
empirisme 73
Bacon, Francis 31, 179 epistemologi 23, 41, 74, 75, 81
Baudrilland, Jean 248
Esensialisme 123
Benjamin, A, Cornelius 55
F
Berger, Peter 113
filsafat ilmu 70 Fransiscan
Berkeley 12
Roger Bacon 4
Biesanz, John 59
Freud 243
Brooks, Harvey 253 G
C
G. Kemeny, John 49 Galilei,
CA. Van Peurson 52
Galileo 12
Cassirer, Ernest 88
H. Gerard Van Cromona 4
Cicero 21
Gordon 83
Comte, August 122 Conant,
Guba 112
James B. 133 conclusions 47 H
Copernicus 12 H. Titus, Harold 38, 49
D
Habermas 239
Darwinisme 217
Hanafi 3
David Hume 4
Descartes, Rene 10, 19, 22, 37, Hanbali 3

77, 82118, 237 Hebernas, Jurgen 120

Dewey, John 178 E Heraklitus 27, 28, 34


homo oeconomicus 59
266 Daftar Pustaka
Horgan, John 80 L
Hume 5, 11, 12, 77 Lehrer, Keith 76
Husserl 239 Leibinz 82
I Leonardo da Vinci 7
Ibnu Khaldun 3
Locke, John 178, 201
Ibnu Rusyd 31 M
Ibnu Sina 3, 4, 31, 39 M.J. Langeveld 42
Ignoratio elenchi 194 Maliki 3
Induksi 145, 147 Martir, Justinus 30
J Maslow 59
J. Bahm, Archie 47 Mavies 59
J.J. Rousseau 4 Metafisika 41
J.J.C.Smart 56 metafisisontology 119
John Locke 4 method 47
Josep Situmorang 238 Jujun Michelangelo 7
S. Suriasumantri 50, Mill, John Stuart 166
70, 120 monisme 82
K
Montagu, Ashley 59
Kant, Immanuel 18, 33, 37,
Mr. D.C. Mukler 42
82, 89, 118
Muhammad Abdurrahman
Kattsoff, Louis 17, 42
140
Kebudayaan 253 N
Klemens 30 N. Driyarkara S.J., 39
Koherensi 121 naturalisme 73 Newton 4,
Konstruktivisme 124 45 Notonagoro 38
Korespondensi 121
Kuns, Thomas 80

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 267


O Singer, Charles 49
Skeptisme 12
Oemar Amin Hoesin 42
ontologi 23, 69, 72, 81 St. Augustine 71
P Surajiyo 126
Parmenides 27 34 Suriasumantri 232
penomenologi 119 Syafii 3
perenialisme 119 T
Petitio principii 196
Tagore, Rabindranath 19
Phenix 85 Phytagoras 27, 34
Taqiyuddin an-Nabhani 133
Pierce 134
teori Evolusi Darwin 40
Plato 18, 21, 37, 70, 72, 76, 82,
118 teori Relativitas Einstein 40
Positivisme 122 Tertullianus 30
Pragrmatisme 123
Thales 2, 26, 27, 28, 34, 49,
Pyhtagoras 26, 29
72, 81, 86
R
R. Harre 46 The Liang Gie 54, 91, 102
rasionalisme 252 V
realisme 73
van Dyike 60,65
Reid 77
Religiusisme 124 Van Melsen 237

Rizal Mustansyir 239 W


Rosenblueth, Arturo 133 Weber 238
Russell, Bertrand 80, 125
S Whitehead, 181

Scheffler, Israel 55 X
Senn, Peter R. 132 Xenophanes 27, 34
silogistik 10

268
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran

Lampiran 1: Islam, Renaissance, dan llmu Pengetahuan


Oleh: Hamdan Maghribi http://kotasantri.com/mimbar.php?
aksi=Detail&sid=419

KotaSantri.com: Teknologi dan segala kemajuan yang dicapainya tidak akan


terlepas dari ilmu pengetahuan dan kemajuannya. Maka amatlah penting bila kita
melihat peran ajaran Islam bagi perkembangan ilmu pengetahuan, karena para
ilmuwan Barat melihat bahwasanya segala kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu
pengetahuan tidak ada kaitannya dengan Agama -di Barat maupun Timur- dengan
argumen bahwasanya agama yang absolut ajarannya bersifat statis, sedangkan ilmu
pengetahuan bersifat dinamis dan progresif, dengan perbedaan tersebut - menurut
ilmuwan Barat- agama tidak dapat mengikuti kemajuan yang dicapai ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Seperti yang telah diketahui, Yunani adalah tempat di mana lahir filsafat dan
ilmu pengetahuan, sekitar 600
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
tahun sebelum masehi. Dalam pemikiran alam sekitar mereka, para filosof Yunani
seperti Thales, Anaximenes, Anaximandros, Heraklitus, Demokritus yang diikuti oleh
Phytagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles banyak memakai akal dalam melahirkan
dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Selanjutnya, ditangan para filosof Yunani
ilmu pengetahuan berkembang demikian pesatnya. Perlu ditegaskan di sini, pada
waktu itu ilmu dan filsafat merupakan satu kesatuan dan belum terpisahkan
sebagaimana hari ini. Maka akal dalam ilmu pengetahuan, sama dengan filsafat,
mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting sekali.
Selama ini ada asumsi bahwa antara agama (yang mempunyai ajaran absolut
dan dogma yang diwahyukan dari Tuhan) dan ilmu pengetahuan yang banyak
bergantung pada akal yang kebenarannya relatif dan dinamis, terdapat pertentangan
keras. Lembaran-lembaran sejarah menunjukkan bahwa di Barat pada era medieval
terjadi pertentangan yang sangat sengit antara ilmu pengetahuan dan agama; di Timur
juga kita jumpai hal serupa pada masa antara abad 13 dan 20.
Di sini timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya sikap agama (baca: Islam)
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan serta perkembangan tekhnologi? Jawaban
pertanyaan ini terletak pada hakikat kedudukan akal dalam agama yang bersangkutan.
Agama yang menjunjung tinggi akal tidak akan kesulitan dalam menjawab segala
perubahan dan modernisasi karena ia tidak akan berbenturan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Keduanya akan
Lampiran-lampiran
270
mempunyai hubungan yang harmonis dan akur.
Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia
Apa relevansi antropologi untuk Indonesia saat ini? Pertanyaan ini seolah
smash bola voli dari umpan tarik tidak terduga. Adalah dosen senior antropologi
Amri Marzali yang melontarkannya. Tampil sebagai keynote speaker dalam 4th
International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia di Universitas Indonesia,
12-15 Juli 2005, Amri merasa gelisah dan prihatin terhadap krisis relevansi yang
sedang menerpa disiplin antropologi, khususnya di Indonesia.
Menurutnya, krisis relevansi itu mencakup tiga hal. Pertama, berkaitan dengan
konsep utilitas dalam ilmu ekonomi atau kurang lebih asas manfaat seperti dalam
ilmu ekonomi. Hal ini berhubungan dengan keadaan bahwa saat ini antropologi
berkembang dalam masyarakat yang berorientasi pasar. Kedua, berkaitan dengan
kekuatan explanatory, sampai seberapa jauh antropologi dapat menjelaskan masalah-
masalah sosial di lingkungannya secara ilmiah. Ketiga, berhubungan dengan moral
significance yang menyangkut cara dan tujuan penggunaan antropologi. Tentu saja ini
berhubungan dengan etika keilmuan, yang menyangkut untuk apa dan siapa kegiatan
keilmuan dilakukan, untuk kejahatan kemanusiaan atau kemaslahatan.
Tulisan ini hendak memberikan beberapa catatan mengenai krisis relevansi
seperti yang telah diungkapkan. Pertama, kenyataan di lapangan menunjukkan,
belakangan

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu


kajian-kajian yang menggunakan antropologi sebagai alat analisis semakin banyak.
Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya buku-buku kajian keislaman di Indonesia
yang ditulis baik oleh sarjana Barat ataupun Timur, termasuk Indonesia. Beberapa
proyek departemen, seperti Depdiknas, sebagian penelitiannya menggunakan
pendekatan antropologi untuk memperoleh penjelasan terhadap beberapa masalah
pendidikan di Indonesia. Sebagian LSM juga menggunakan jasa ilmu ini dalam
riset- riset yang mereka lakukan.
Sayangnya, pada saat yang sama, secara institusional dan akademik,
antropologi tidak menjadi jurusan atau program studi yang marketable. Banyak
perguruan tinggi negeri yang tersebar di seluruh Indonesia tapi tidak punya jurusan
antropologi. Apalagi untuk swasta, penulis belum mendengar ada yang berani
membuka jurusan antropologi. Ini memperlihatkan adanya kekhawatiran, membuka
jurusan ini tidak akan memberikan keuntungan apa-apa karena tidak ada
peminatnya. Bandingkan dengan jurusan akuntansi, manajemen, psikologi, atau
yang sedang menjadi tren sekarang ilmu komunikasi.
Alasan yang mudah diduga mengapa hanya sedikit mahasiswa yang memilih
jurusan antropologi adalah karena lulusan jurusan ini tidak mudah dalam
memperoleh pekerjaan. Faktor prospek masa depan adalah pertimbangan yang
sangat wajar dan realistis.
Banyak mahasiswa antropologi yang penulis jumpai mengaku memilih
jurusan antropologi sebagai pilihan kedua atau ketiga ketika mengikuti ujian masuk
perguruan

272Lampiran-lampiran
tinggi. Artinya, selain dianggap tidak terlalu menjanjikan di satu sisi, juga
bahwa antropologi belum bisa mempromosikan dirinya sendiri sebagai
pilihan favorit.
Kedua, selama ini antropologi masih menjadi disiplin yang lebih
berorientasi pada keilmuan an sich, dalam hal ini sebagai ilmu humaniora
atau sosial, yang basis utamanya penelitian lapangan. Sudah saatnya
untuk dipikirkan, selain berorientasi keilmuan, antropologi juga
mengembangkan diri dengan berorientasi antropolog sebagai profesi.
Istilah seperti antropolog, sosiolog, bahkan juga geolog dan beberapa
yang lain pengertiannya bukanlah profesi, tetapi secara lazim berkonotasi
pada kepakaran atau keahlian.
Mereka biasanya berprofesi sebagai dosen dan atau peneliti.
Bandingkan dengan disiplin psikologi yang selain berorientasi keilmuan
dengan melahirkan para sarjana psikologi, juga mencetak profesi
psikolog. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mengada-ada bagi
antropologi untuk memperluas orientasi akademisnya.
Tentu saja ini tidak semudah membalik telapak tangan. Yang
dibutuhkan adalah kerja keras, sehingga pada saatnya masyarakat akan
melihat antropologi sebagai pilihan yang menjanjikan. Hal ini kiranya
tidak jauh dari harapan Amri Marzali agar antropologi tidak mengenyam-
pingkan applied anthropology, yang menurutnya sebagian ahli antropologi
mengkhawatirkan akan menurunkan gengsi disiplin ini.
Catatan lain, bahwa para sarjana antropologi juga mempunyai
pekerjaan rumah untuk menggeser citra yang
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
telanjur melekat pada benak masyarakat awam bahwa disiplin ini adalah ilmu yang
hanya mempelajari masyarakat primitif.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa antropologi memang belum dipromosikan
secara maksimal. Bahwa cakupan kajian antropologi kini telah sedemikian luasnya
sehingga merambah pada kehidupan komunitas perkotaan yang kosmopolit, hal ini
merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Poin ini juga mempunyai
hubungan dengan antropologi terapan yang semestinya mempunyai sensitivitas
terhadap berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat sebagai dampak
globalisasi.
Akhir kata, penulis berharap catatan ini bisa menyambung lidah kelu Amri
Marzali, salah satu mursyid antropologi di Indonesia saat ini, yang telah
memperjuangkan kemajuan disiplin antropologi agar bisa memberi kontribusi lebih
besar kepada bangsa ini.
(Mohammad Rozi, Alumnus Program Studi
Antropologi pada Pascasarjana UGM).

Lampiran-lampiran
Lampiran 2. Slank Sindir DPR dengan Lagu Gossip Jalanan
April 10, 2008, Slank Sindir DPR dengan Lagu Gossip Jalanan Posted by hipmala under
Politik I Tag: Politik & Hukum I

Dewan perwakilan rakyat hari-hari ini disibukkan dengan Lagu yang dirilis
oleh Slank.Mereka menganggap lagu tersebut. Senin ini (7/4), Wakil Ketua Badan
Kehormatan (BK) DPR, Gayus Lumbuun, usai rapat konsultasi tertutup antara BK
DPR dengan Ketua DPR, Agung Laksono, mewakili lembaganya menyatakan bahwa
lirik lagu itu menyakiti DPR dan DPR tengah mengkajinya, apakah lirik tersebut
termasuk penistaan terhadap lembaga dan layak ditindaklanjuti secara hukum.

Gosip Jalanan (Oleh: Slank)


Pernah kah lo denger mafia judi Katanya banyak uang suap
polisi tentara jadi pengawal pribadi Apa lo tau mafia
narkoba keluar masuk jadi bandar di penjara terhukum mati
tapi bisa ditunda

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 275


Siapa yang tau mafia selangkangan Tempatnya lendir2 berceceran
Uang jutaan bisa dapat perawan Kacau balau ... 2x negaraku ini ...
Ada yang tau mafia peradilan tangan
kanan hukum di kiri pidana dikasih uang
habis perkara
Apa bener ada mafia pemilu entah
gaptek apa manipulasi data ujungnya
beli suara rakyat
Mau tau gak mafia di senayan
kerjanya tukang buat peraturan
bikin UUD ujung2nya duit
Pernahkah gak denger triakan Allahu Akbar
pake peci tapi kelakuan bar bar
ngerusakin bar orang ditampat2
Jadi pantaskah anggota DPR menggugat ? Bukankah selama ini DPR tidak ada
yang mengawasi ? Adakah lembaga formal yang mengawasi DPR ? sekali lagi tidak
ada. Yang mengawasi adalah Rakyat ...sudah pasti, rakyat kecil, wong cilik,
mahasiswa, LSM, seniman, dan Slank adalah seniman bagian dari rakyat. Apa yang
disampaikan Kaka dkk adalah cuma gosip semata...sesuai judulnya bukan? Gosip
artinya "masih katanya", "mungkin", "barangkali" yang masih bisa ditepis dengan
bukti- bukti yang bisa ditunjukkan. Kenapa musti repot ? anggap saja Slank ini anak-
anak yang iseng bin jahil...Kenapa musti ditanggapi dengan sewot...benar-benar
kurang kerja- ankah?
Lampiran-lampiran
Apa bedanya dengan lirik lagu "wakil rakyat" dari Iwan Fals ? bukankah
sama ? Dan kalau anggota DPR yang terhormat tidak merasa seperti yang
DIGOSIPKAN (bukan yang dituduhkan), kan bisa cuek saja...
Sebenarnya reaksi anggota DPR ini sangat berlebihan, mereka menganggap
bahwa dirinya orang yang paling berkuasa di negeri ini. Memang, jika kita lihat dari
tugas dan wewenangnya mereka mengawasi pemerintah, membuat undang undang,
menentukan gubernur BI, memang akhir akhir ini porsi mereka cukup banyak di
dunia perpolitikan, tetapi ketika giliran digosipin (bukan dikritik, bukan diawasi),
mereka sudah kebakaran jenggot. Padahal bisa kita lihat di media televisi, tidak
sedikit dari mereka yang tidur ketika rapat. Padahal mereka DIGAJI oleh rakyat. Apa
ga punya malu....
Tapi memang tidak semua..dan bagi anggota DPR yang bekerja dengan benar
pasti gossip dari SLANK akan dianggap sebagai pemicu untuk menjadi lebih baik
lagi. Mestinya gosip dari slank dianggap saja sebagai semacam kritikan yang
membangun saja, itu kalo mereka mau berpikir positif Coba deh kalau mereka mau
jujur, mau melihat dengan
hati nurani, mau merenung dalam dalam, apakah mereka sudah berbuat banyak untuk
rakyat ? sudah memberi yang terbaik ? kita bisa menilai sendiri.
jadi wajar jika rakyat mengkritik dan memberi saran, orang mereka yang milih
kita ko', apa mungkin saking banyaknya pekerjaan sehingga mereka lupa akan
dirinya sendiri. MJR ( Mak Jelas Remang-Remang). dari berbagai sumber
FiIsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
Biodata Penulis

Drs. H. Mohammad Adib,


MA. Lahir di Jombang, pada 28 November 1960,
adalah Lulusan Filsafat Barat Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pendidikan S-2 dan
gelar MA nya diperoleh di Departemen
Antropologi Universitas Indonesia Kampus Salemba Jakarta. Ia adalah
dosen pada Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Airlangga sejak tahun 1987. Jabatan fungsionalnya
adalah Lektor Kepala; Ketua Komisi Kependudukan LPPM UNAIR
(2008-2010); Pengurus LLI (Lembaga Lansia Indonesia) Provinsi Jawa
Timur (2003- sekarang); Pengurus Komda (Komisi Daerah) Lansia
Provinsi Jawa Timur (2007-2010); Pemimpin Redaksi Jurnal Berkala
Ilmiah Kependudukan (Scientific Population Journal ISSN: 979-9471-10-9.
Terakreditasi: Dirjen Dikti No. 49/ Dikti/Kep/2003) di LPPM Universitas
Airlangga (2003-2007 dan 2008-sekarang).

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Tulisan-tulisannya tentang filsafat antara lain. Bahan Ajar Filsafat Ilmu dan
Logika (2007), Filsafat Ilmu: Diskursus tentang Filsafat, Ilmu dan Agama dalam
llmu Keperawatan, Kedokteran Gigi, serta Psikologi (2007), Etika Sosial Politik
(2009), Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Editor, 2009), dan Kebangsaan
Indonesia: Mengurai Jatidiri dan Menemukan Solusi (Editor, 2009)., Etnografi
Timor Tengah (2009) dan Etnografi Madura (2009).
Tulisan lainnya adalah Syahwat (Meningkatkan Kesejahteraan) Lansia
(2009), Optimalisasi Fungsi Komisi Lansia (Editor, 2008), dan Isu-isu
Kontemporer dan Kesaksian Lansia Aktif (Editor, 2009). Revitalisasi Program
Keluarga Berencana Nasional (Editor, 2009), Studi Daya Dukung dan Daya
Tampung Penduduk Jawa Timur (1993); Faktor Sosial- Ekonomi Lansia di Panti
Wredha di Jawa Timur (1994), Studi Eksplanatif terhadap Panti Wredha yang
Berbudaya Indonesia (1996). Tahun 2009 ini sedang melakukan Penelitian Strategis
Nasional tentang Meningkatkan Well Being Lansia Melalui Dukungan Sosial
Berbasis Komunitas.
Tulisan-tulisan tersebut umumnya merupakan pe- redaksian kemabali dari
sejumlah tulisan yang pernah dimuat di berbagai media massa seperti Jawa Pos,
Surya, Surabaya Post, Pelita, Berita Buana, Republika,
dan Kompas.
Penulis ini beralamat tempat tinggal di Jl. Gebang Putih (Puskesmas) 64
Surabaya 60117. Email: hmadib@unair.ac.id. Tulisan dan diskusi dapat diakses di
WebBlog: http://madib.blog.unair.ac.id. Phone cell yang dapat dihubungi di GSM:
081-551-M-ADIB (6-2342), dan CDMA: 031-60-7676-70.
Lampiran-lampiran

MILIK PERPUSTAKAAN UIN


SUNAN KALIJAGA

Anda mungkin juga menyukai