Anda di halaman 1dari 40

Case Report

ABSES HEPAR DAN KOLESISTITIS

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020
Case Report

KOLESISTITIS

1Penulis untuk korespondensi: Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau


2Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Riau

ABSTRAK
Pendahuluan: Radang kandung empedu (kolesistitis akut) adalah reaksi
inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai dengan keluhan nyeri
perut kanan atas, nyeri tekan dan demam
Laporan kasus: Tn. A, usia 49 tahun, datang ke RSUD AA dengan perut semakin
membesar 1 hari SMRS disertai nyeri ulu hati sebelah kanan dan seluruh lapang
perut, dan kulit menjadi kuning
Kesimpulan: Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis
dapat dibagi menjadi yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang
berada di duktus sistikus. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu
empedu. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien di diagnosis
kolesistitis dan abses hepar penatalaksanaan pada pasien pemberian obat metronidazole,
ranitidine, kapsul garam, albumin, dan furosemide

Keywords: Abses Hepar, Kolesistitis

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 1


Case Report

PENDAHULUAN
Radang kandung empedu (kolesistitis akut) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung
empedu yang disertai dengan keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Umumnya
kolesistitis akut disebabkan oleh adanya batu kandung empedu. 1 Hingga kini patogenesis
penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas. Walaupun belum ada data
epidemiologi penduduk, insiden kolesistitis dan batu empedu (kolelitiasis) di Negara kita relatif
lebih rendah dibandingkan negara-negara barat.

Kolesistitis akalkulus akut adalah inflamasi akut dari kandung empedu namun bukan akibat dari
adanya batu kandung empedu.1,2 Angka kejadian kolesistitis tipe ini adalah 10% dari seluruh
kejadian kolesistitis akut.2,3,4 Pada kepustakaan lain disebutkan bahwa pada 5%-10% pasien
dengan kolesistitis akut yang menjalani terapi operasi, batu penyebab penyumbatan kandung
empedu tidak ditemukan. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh kolesistitis akut akalkulus dapat
menyerupai kolesistitis akut dengan penyebab batu, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang
untuk memastikannya. Kolesistitis akut akalkulus sering dikaitkan dengan peningkatan risiko
mortalitas dan morbiditas, oleh sebab itu, diagnosis dan tatalaksana.3

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang berada
di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistitis tanpa adanya batu empedu.3

Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis


kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut
dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan
gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul
secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang
ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.1,3
A. Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis


cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama
kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus
(10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) (Huffman JL, et
al, 2009).

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 2


Case Report

Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan


empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan
aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding
kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus
sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas.
Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan respon peradangan pada
kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin
yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi
inflamasi dan supurasi.
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85
persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung
empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies
Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme –
organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan,
perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding
kandung empedu.

B. Tanda dan Gejala Klinis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh.
Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit
menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa
reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 3


Case Report

inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar
60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan.
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran
atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering
mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi
volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen
hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba
kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu
palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan
inspirasi terhenti (tanda Murphy) (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan
nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga
distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda
rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan,
asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan
(bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya
batu di saluran empedu ekstra hepatic

C. Diagnosis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas dan adanya demam .
Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada 45 %
pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum.
Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan
kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis
diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah
berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi
empiema dan perforasi kandung empedu dipertimbangkan.
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat memberikan
konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung empedu
tanpa visualisasi kandung empedu. Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 4


Case Report

gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu
tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup.
Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada
obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran
adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya
keganasan pada kandung empedu.
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan
sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung
empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG
mencapai 90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya
adalah cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan
tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu penegakkan diagnosis
Berdasarkan Tokyo Guidelines  (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis
adalah:6
 Gejala dan tanda lokal
 Tanda Murphy
 Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
 Massa di kuadran kanan atas abdomen

 Gejala dan tanda sistemik


 Demam
 Leukositosis
 Peningkatan kadar CRP
 Pemeriksaan pencitraan
 Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG atau
skintigrafi yang mendukung.6
D. Tatalaksana
1. Terapi konservatif

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 5


Case Report

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut
dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum
kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi
pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa
nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat
penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia.
Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan
kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep.
faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang
memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik
kombinasi.
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan
dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis
awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut
dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat
diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara
intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah
statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa
komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda –
tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium
dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti
Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan
analgesik yang sesuai .

2. Terapi bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah
sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi
konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik
tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren
dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di
rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 6


Case Report

menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum


dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan
mengaburkan anatomi (Wilson E, et al, 2010).
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan
pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut,
misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut
nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan
perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini
dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat
pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda.
Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang
kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan
(2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien
kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk
kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi
elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja,
resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia
dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung
empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat
dilakukan kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi
elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu.

E. Komplikasi
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:

 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang tersumbat.
Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan ditandai dengan
lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah
metode pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 7


Case Report

 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu berukuran
besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum terminal atau di
duodenum dan atau di pilorus.
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya
udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas seperti
Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih
sering terjadi pada pasien dengan diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada
kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan
perforasi, diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari
15% pasien.
 Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis. 5

F. Prognosis

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu menjadi
tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang menjadi gangren,
empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum secara
cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal
serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis
yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.1

Definisi Abses Hati


Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh bakteri, parasit,
jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari gastrointestinal yang ditandai dengan adanya
proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati. Dan sering timbul sebagai
komplikasi dari peradangan akut saluran empedu. 7

Etiologi Abses Hati


Abses hati dapat disebabkan infeksi dapat berasal dari sistem porta dan hematogen
melalui arteri hepatika. Infeksi yang berasal dari abdomen dapat mencapai hati melalui
embolisasi melalui vena porta. Infeksi intra-abdomen ini biasanya berasal dari appendisitis,

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 8


Case Report

divertikulitis, inflammatory bowel disease dan pylephlebitis. Sementara itu infeksi secara
hematogen biasanya disebabkan oleh bakteremia dari endokarditis, sepsis urinarius, dan
intravenous drug abuse.
Berikut merupakan etiologi abses hepar berdasarkan bakteri penyebab antara lain:
Tabel 2. Etiologi Hepar berdasarkan Bakteri Penyebab
Bakteri Gram Negatif %
Escherichia coli 20,5
Klebsiella pneumonia 16,0
Pseudomonas aeruginosa. 6,1
Proteus spp. 1,3
Others 7,4
Bakteri Gram Positif
S. milleri 12,2
Enterococcus sp. 9,3
S. aureus / S. Epidermidis 7,7
Streptococcus sp. 1,1
Organisme Anaerob
Bacteroides sp 11,2
Anaeorobic / Microaerophilic Streptococci 6,1
Fusobaterium 4,2
Anaerob lainnya 1,9
Lainnya
Actinomyces 0,3
C. albicans 0,3

Abses piogenik disebabkan oleh Enterobactericeae, Microaerophilic streptococci,


Anaerobic streptococci, Klebsiella pneumoniae, Bacteriodes, Fusobacterium, Staphilococcus
aereus, Staphilococcus milleri, Candida albicans, Aspergillus, Eikenella corrodens, Yersinis
enterolitica, Salmonella thypii, Brucella melitensis dan fungal.
Dilaporkan 21-30% dari abses hepar berasal dari penyakit biliaris yaitu obstruksi
ekstrahepatik, kolangitis, koledolitiasis, tumor jinak atau ganas biliaris. Anastomosis
anterobiliaris (choledochoduodenostomy atau choledochojejunostomy) juga dilaporkan sebagai
penyebab abses hepar di samping komplikasi biliaris dan transplantasi hati.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 9


Case Report

Trauma tumpul dan nekrosis hati yang berasal dari vascular injury selama laparaskopi
cholecystectomy juga merupakan penyebab abses hepar.

Tabel 3. Penyebab Tersering Abses Hati Pyogenik


Hepatobiliary Portal
1. Benign 1. Benign
 Lithiasis  Diverculitis
 Colecystitis  Anorectal suppuration
 Billiary enteric anastomosis  Pelvic suppuration
 Endoscopic billiary  Postoperative sepsis
procedures  Intestinal perforation
 Percutaneous billiary  Pancreatic abscess
procedures  Appendicitis
2. Malignant  Inflamatory bowel disease
 Common bile dust 2. Malignant
 Gall blader  Colonic cancer
 Ampulla  Gastric cancer
 Head of pancreas
Arterial Traumatic
1. Endocarditis 1. Benign
2. Vascular sepsis  Open/closed abdominal trauma
3. ENT infection 2. Malignant
4. Dental infection  Chemoembolization
 Percutaneous ethanol injection
or radiofrequency
Cryptogenic

Klasifikasi Abses Hati


Abses hepar dibagi atas dua secara umum, yaitu abses
hepar amoeba dan abses hepar pyogenik.
1. Abses amebik
Abses hati amebik disebabkan oleh
strain virulen Entamoeba hystolitica yang

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 10


Case Report

tinggi. Sebagai host definitif, individu-individu yang asimptomatis mengeluarkan


tropozoit dan kista bersama kotoran mereka. Infeksi biasanya terjadi setelah meminum
air atau memakan makanan yang terkontaminasi kotoran yang mengandung tropozoit
atau kista tersebut.

Dinding kista akan dicerna oleh usus halus, keluarlah tropozoit imatur. Tropozoit
dewasa tinggal di usus besar terutama sekum. Strain Entamoeba hystolitica tertentu dapat
menginvasi dinding kolon. Strain ini berbentuk tropozoit besar yang mana di bawah
mikroskop tampak menelan sel darah merah dan sel PMN. Pertahanan tubuh penderita
juga berperan dalam terjadinya amubiasis invasif.
Amubiasis invasif dapat disebabkan perdarahan usus besar, perforasi, dan
pembentukan fistula. Bila terjadi perforasi biasanya dari daerah sekum infeksi amuba
invasif pada tempat-tempat yang jauh meliputi paru, otak dan terutama hepar. Abses
pada hepar diduga berasal dari invasi sistem vena porta, pembuluh limfe mesenterium,
atau penjalaran melalui intraperitoneal. Dalam parenkim hepar terbentuk tempat-tempat
mikroskopis terutama terjadi trombosis, sitolisis, dan pencairan, suatu proses yang
disebut hepatitis amuba. Bila tempat-tempat tersebut bergabung maka terjadilah abses
amuba.

2. Abses pyogenik
Abses hati pyogenik dapat disebabkan infeksi dapat berasal dari sistem porta dan
hematogen melalui arteri hepatika. Infeksi yang berasal dari abdomen dapat mencapai
hati melalui embolisasi melalui vena porta. Infeksi intraabdomen ini biasanya berasal
dari appendisitis, divertikulitis, inflammatory bowel disease dan pylephlebitis.
Sementara itu infeksi secara hematogen biasanya disebabkan oleh bakteremia dari
endokarditis, sepsis urinarius, dan intravenous drug abuse.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 11


Case Report

Gambar 7. Klasifikasi Abses Hati

Epidemiologi Abses Hati


Hampir 10% penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi E. Hystolitica
tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati di rumah sakit seperti
Thailand berkisar 0,17% sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15
pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1
sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati
adalah pria dengan rasio 3-4-8,5 kali lebih sering dari wanita.
Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih
jarang pada anak. Infeksi E. Hystolitica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal
dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk.

Faktor Risiko Abses Hati

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 12


Case Report

Berikut dibawah ini merupakan faktor risiko yang menyebabkan perkembangan dan
peningkatan mortalitas abses hati, antara lain:

Tabel 4. Faktor Risiko Abses Hati


Faktor Risiko yang Menyebabkan Faktor Risiko yang Menyebabkan
Perkembangan Abses Hati Peningkatan Mortalitas Abses Hati
1. Diabetes Mellitus*  Keganasan
2. Sirosis hepatis*  Diabetes Mellitus*
3. Status imuno-compromised  Sirosis Hepatis*
4. Penggunaan PPI  Jenis kelamin laki-laki*
5. Usia  Infeksi mikroorganisme campuran
6. Jenis kelamin laki-laki*  Abses hati yang ruptur
 Abses ukuran > 5 cm
 Distress pernapasan
 Jaundice
 Hipotensi
 Keterlibatan ekstra-hepatik

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 13


Case Report

Patofisiologi Abses Hati

Gambar 8. Rute Infeksi Abses Hati

a. Abses Hati Amebik


Amebiasis hati penyebab utamanya adalah entamoeba hystolitica. Hanya
sebagian kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala amebiasis
invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica yaitu strain patogen dan non
patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain E.hystolitica ini berbeda berdasarkan
kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. Patogenesis amebiasis hati belum dapat
diketahi secara pasti. Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain :
faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor
resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan
penurunan imunitas cell-mediated. (Arief Mansjoer, 2001)

Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme : (Arief Mansjoer, 2001)


1. Strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen.
2. Secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung pada
interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama
pada flora bakteri.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 14


Case Report

Mekanisme terjadinya amebiasis hati:


1. Penempelan E.hystolitica pada mukus usus.
2. Pengerusakan sawar intestinal.
3. Lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cell-
mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit 
tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll.
4. Penyebaran amoeba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian besar 
melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai
nekrosis  dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma
diganti dengan  jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis
seperti jaringan fibrosa.

Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya amebiasis
intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri
amebiasis. (Aru W Sudoyo, 2006)

Gambar 9. Skema Patofisiologi Abses Hati Amebik

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 15


Case Report

b. Abses Hati Pyogenik


Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari:
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan
pielflebitis porta atau emboli septik.
2. Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis septik
dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu empedu,
kanker, striktura saluran empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital.
3. Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti abses
perinefrik, kecelakaan lau lintas.
4. Septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.
5. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ lanjut usia.
(Aru W Sudoyo, 2006).

Gambar 10. Pathway Abses Hati

Penjelasan :

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 16


Case Report

1. Amuba yang masuk menyebabkan peradangan hepar sehingga mengakibatkan infeksi


2. Kerusakan jaringan hepar menimbulkan perasaan nyeri
3. Infeksi pada hepar menimbulkan rasa nyeri sehingga mengalami gangguan tidur atas pola
tidur.
4. Abses menyebabkan metabolisme dihati menurun sehingga menimbulkan perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan.
5. Metabolisme nutrisi di hati menurun menyebabkan produksi energi menurun sehingga
dapat terjadi intoleransi aktifitas fisik.

Manifestasi Klinis Abses Hati


Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan proses yang
disebut peradangan. Awalnya, seperti bakteri mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, beberapa
kejadian terjadi:
a. Darah mengalir ke daerah hepar dengan abses meningkat.
b. Suhu daerah hepar dengan abses meningkat karena meningkatnya pasokan darah.
c. Wilayah membengkak akibat akumulasi air, darah, dan cairan lainnya.
d. Kemerahan setempat daerah hepar dengan abses.
e. Rasanya sakit, karena iritasi dari pembengkakan dan aktivitas kimia.
f. Tanda peradangan : panas, bengkak, kemerahan, dan sakit

Manifestasi sistemik abses hati pyogenik biasanya lebih berat daripada abses hati
amubik. Sindrom klinis abses hati pyogenik berupa:
a. Nyeri spontan perut kanan atas, ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan
kedua tangan ditaruh diatasnya,
b. Demam tinggi disertai keadaan syok
Sedangkan pada abses hati amubik berupa:
a. Malaise
b. Demam tidak terlalu tinggi
c. Nyeri tumpul pada abdomen memberat jika terdapat pergerakan.
d. Iritasi diafragma muncul gejala seperti nyeri bahu kanan, batuk, ataupun atelektasis
e. Gejala sitemik lainnya seperti mual, muntah, anoreksia, berat badan yang turun
untentional, badan lemah, ikterus, BAB seperti kapur, dan urine berwarna gelap.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 17


Case Report

Diagnosis Abses Hati


Penegakan diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium, serta pemeriksaan penunjang. Terkadang diagnosis abses hepar sulit ditegakkan
karena gejalanya yang kurang spesifik. Diagnosis dini memberikan arti yang sangat penting
dalam pengelolaannya karena penyakit ini sebenarnya dapat disembuhkan. Diagnosis yang
terlambat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitasnya.

Anamnesis Abses Hati


Keluhan awal abses hati dapat berupa:
1. Demam/menggigil T > 38oC,
2. Nyeri abdomen seperti tertusuk dan ditekan kadang didapatkan penjalaran ke bahu dan
lengan kanan,
3. Anokresia/malaise,
4. Batuk disertai rasa sakit pada diafragma,
5. Mual/muntah,
6. Penurunan berat badan,
7. Keringat malam,
8. Diare maupun riwayat disentri beberapa bulan sebelumnya.

Dicurigai adanya abses hati pyogenik apabila ditemukan sindrom klinis klisik berupa
nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua
tangan diletakan di atasnya. Demam/panas tinggi merupakan keluhan yang paling utama,
keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, dan disertai dengan keadaan syok.
Apabila abses hati pyogenik letaknya dekat digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma
sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis, rasa mual dan
muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan.
Hal lainnya yang perlu dinilai dalam anamnesis abses hati adalah riwayat hepatitis
sebelumnya dan riwayat keluarnya proglottid (lembaran putih di pakaian dalam) dengan tujuan
menyingkirkan diagnosa banding.

Pemeriksaan Fisik Abses Hati


Tabel 5. Pemeriksan Fisik pada Abses Hati

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 18


Case Report

Inspeksi  Pada beberapa pasien mungkin ditemukan abses yang telah


menembus kulit.
 Anemis dan ikterus (jarang) 25% kasus
Palpasi  Ludwig sign (+)
 Nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
 Nyeri tekan regio epigastrium bila abses di lobus kiri, hati-hati
efusi perikardium
 Nyeri tekan menjalar ke lumbal kanan abses di postoinferior lobus
kanan hati
 Nyeri pada bahu sebelah kanan
 Hepatomegali teraba sebesar 3 jari sampai 6 jari di bawah arcus-
costa, permukaan hepar licin dan tidak jarang teraba fluktuasi
Perkusi  Peningkatan batas paru-hati relatif/absolut tanpa peranjakan
Auskultasi  Friction rub bila ruptur abses ke perikardium
 Bising usus menghilang kemungkinan perforasi ke peritoneum

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti foto toraks dan foto polos abdomen digunakan untuk
mendeteksi kelainan atau komplikasi yang ditimbulkan oleh amebiasis hati. Diagnosa pasti
adalah melalui USG dan CT Scan yang sensitivitasnya sekitar 85-95%.
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium yang diperiksa adalah darah rutin yaitu kadar Hb darah,
jumlah leukosit darah, kecepatan endap darah dan percobaan fungsi hati, termasuk kadar
bilirubin total, total protein dan kadar albumin dan glubulin dalam darah. Banyak
penderita abses hepar tidak mengalami perubahan bermakna pada tes laboratoriumnya.
Pada penderita akut anemia tidak terlalu tampak tetapi menunjukkan leukositosis yang
bermakna sementara penderita abses hepar kronis justru sebaliknya.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran
ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, peningkatan alkalin fosfatase, peningkatan
enzim transaminase dan serum bilirubin, berkurangnya kadar albumin serum dan waktu
protrombin yang memanjang menunjukan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati yang
disebabkan abses hati.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 19


Case Report

Tabel 6. Kelainan Laboratorium pada Abses Hati

2. Pemeriksaan Fungsi Hati


Abnormalitas tes fungsi hati lebih jarang terjadi dan lebih ringan pada abses hati amebik
dibanding abses hati piogenik. Hiperbilirubinemia didapatkan hanya pada 10 % penderita
abses hepar. Karena pada abses hepar amebik terjadi proses destruksi parenkim hati,
maka PPT (plasma protrombin time) meningkat.

3. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan meliputi IHA (Indirect Hemagglutination),
GDP (Gel Diffusion Precipitin), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay),
counterimmunelectrophoresis, indirect immunofluorescence, dan complement fixation.
IHA dan GDP merupakan prosedur yang paling sering digunakan.
a. IHA dianggap positif jika pengenceran melampaui 1 : 128. Sensitivitasnya
mencapai 95%. Bila tes tersebut diulang, sensitivitasnya dapat mencapai 100%.
IHA sangat spesifik untuk amubiasis invasif. Tetapi, hasil yang positif bisa
didapatkan sampai 20 tahun setelah infeksi mereda.
b. GDP meskipun dapat mendeteksi 95% abses hepar karena amuba. Juga
mendeteksi colitis karena amuba yang non-invasif. Jadi, tes ini sensitif, tetapi
tidak spesifik untuk abses amuba hepar. Namun demikian, GDP mudah

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 20


Case Report

dilaksanakan, dan jarang sekali tetap positif sampai 6 bulan setelah sembuhnya
abses. Karena itu, bila pada pemeriksaan radiologi ditemukan lesi "space
occupying" di hepar, GDP sangat membantu untuk memastikan apakah kelainan
tersebut disebabkan amuba.

4. Pemeriksaan radiologis
USG memiliki sensitivitas yang sama dengan CT scan dalam mengidentifikasi abses
hepar. Rendahnya biaya dan sifat non-radiasi membuat USG menjadi pilihan untuk
mendiagnosis abses hepar. Abses hepar amebik biasanya besar dan multipel. Menurut
Middlemiss (I964) gambaran radiologis dari abses hati adalah sebagai berikut :
 Peninggian dome dari diafragma kanan.
 Berkurangnya gerak dari dome diafragma kanan.
 Pleural efusion.
 Kolaps paru.
 Abses paru.

a. CT scan:

Gambar 11. Hasil CT Scan pasien dengan Abses Hati

 Hipoekoik
 Massa oval dengan batas tegas
 Non-homogen
b. USG

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 21


Case Report

Gambar 12. Hasil USG pasien dengan Abses Hati

 Bentuk bulat atau oval


 Tidak ada gema dinding yang berarti
 Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
 Bersentuhan dengan kapsul hati
 Peninggian sonik distal (distal enhancement)

c. MRI

Gambar 13. Hasil MRI Pasien dengan Abses Hati

 Hiperintens pada bagian abses

Kriteria diagnostik untuk hepatic amoebiasis menurut Lamont dan Pooler :


 Pembesaran hati yang nyeri tekan pada orang dewasa.
 Respons yang baik terhadap obat anti amoeba.
 Hasil pemeriksaan hematologis yang menyokong : leukositosis.
 Pemeriksaan Rontgen (PA Lateral) yang menyokong.
 Trophozoit E. histolytica positif dalam pus hasil aspirasi.
 "Scintiscanning" hati adanya "filling defect".
 "Amoeba Hemaglutination" test positif

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 22


Case Report

Kriteria Diagnosis Abses Hati


Berikut dibawah ini merupakan kriteria diagnosis abses hati, antara lain:
Tabel 7. Kriteria Diagnosis Abses Hati
Kriteria Sherlock Kriteria Ramachandran Kriteria Lamont & Pooler
1. Hepatomegali dengan 1. Hepatomegali disertai 1. Hepatomegali disertai
nyeri tekan dengan nyeri dengan nyeri
2. Respon yang baik 2. Riwayat disentri 2. Kelainan hematologis
terhadap obat 3. Leukositosis 3. Kelainan radiologis
amebisid 4. Kelainan radiologis 4. Pus amebic
3. Leukositosis 5. Respon terhadap obat 5. Tes serologis (+)
4. Peninggian diafragma amebisid 6. Respon terhadap obat
kanan amebisid (+)
5. Pada USG didapatkan
rongga di dalam hati
6. Tes hemaglutinasi (+)

Bila terdapat 3 atau lebih dari Bila terdapat 3 atau lebih dari
gejala di atas. Bila terdapat 3 atau lebih dari gejala di atas.
gejala di atas.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 23


Case Report

Differential Diagnosis Abses Hati


Tabel 8. Differential Diagnosis Abses Hati
Differential Diagnosis Manifestasi Klinis
Hepatoma Anamnesis :
Merupakan tumor ganas hati primer 1. Penurunan berat badan,
2. Nyeri perut kanan atas
3. Anoreksia
4. Malaise
5. Benjolan perut kanan atas
Pemeriksaan fisik :
1. Hepatomegali berbenjol-benjol
2. Stigmata penyakit hati kronik
Laboratorium :
1. Peningkatan AFP
2. PIVKA II
3. Alkali fosfatase
USG : lesi lokal/difus di hati
Kolesistitis Akut Anamnesis :
Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu 1. Nyeri epigastrium atau perut kanan
akibat infeksi bakterial akut yang disertai atas yang dapat menjalar ke daerah
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, skapula kanan
dan rasa panas. 2. Demam
Pemeriksaan fisik :
1. Teraba massa kandung empedu
2. Nyeri tekan disertai tanda-tanda
peritotis lokal
3. Murphy sign (+)
4. Ikterik biasanya menunjukkan adanya
batu di saluran empedu ekstrahepatik
Laboratorium : leukositosis
USG : penebalan dinding kandung empedu,
sering pula ditemukan sludge atau batu.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 24


Case Report

Penatalaksanaan Abses Hati


Penatalaksanaan secara konvensional adalah dengan drainase terbuka secara operasi dan
antibiotika spektrum luas oleh karena bakteri penyebab abses terdapat di dalam cairan abses
yang sulit dicapai dengan antibiotika tunggal tanpa aspirasi cairan abses. Penatalaksanaan saat
ini adalah dengan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntutan abdomen
ultrasound atau tomografi komputer, komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, perforasi
organ intra abdominal dan infeksi, atau malah terjadi kesalahan dalam penempatan kateter
drainase. Kadang pada abses hati piogenik multipel diperlukan reseksi hati.

Gambar 14. Algoritma Penatalaksanaan Abses Hati

Terapi Non-Farmakologi
1. Makan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Karbohidrat 40-50 kkal/kgBB
 Protein 1-1,5 g/kgBB
2. Makanan dalam bentuk lunak
3. Bed rest
4. Menghindari faktor risiko yang dapat memperberat, misalnya konsumsi alkohol.

Terapi Farmakologi
Terapi pada pasien dengan abses hati, dapat diberikan:
1. Pemberian antibiotik

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 25


Case Report

Tabel 9. Farmakoterapi Abses Hati pada Dewasa dan Anak


Jenis Obat Dosis Dewasa Dosis Anak-anak Efek Samping
Agen amoebisid
Metronidazole PO 750 mg 3x1 PO 30-50 mg/kg/hari Psikosis, kejang,
selama 5-10 hari 3x1 selama 5-10 hari neuropati perifer

IV 500 mg 4x1 IV 15 mg/kg diikuti


selama 5-10 hari dengan 7,5 mg/kg
4x1 (dosis
maksimum 2250
mg/hari)
Chloroquine (terapi PO 600 mg/hari 10 mg/kg Diare, kram abdomen
adjuvan) selama 2 hari, 300 cardiotoxicity,
mg/hari selama 14 kejang, dan hipotensi
hari
Tinidazole 2 mg/hari selama 3-5
hari
Agen luminal
Paromomycin PO 25-30 mg/kg/hari PO 25 mg/kg/hari Diare
3x1 selama 7 hari 3x1 selama 7 hari
(dosis maksimum 2
gr/hari)
Iodoquinol PO 650 mg 3x1 PO 30-40 mg/kg/hari Kontraindikasi pada
selama 20 hari 3x1 (dosis pasien dengan
maksimum 2 gr/hari) insufisiensi hepatik
atau hipersensitif
terhadap iodine
Diloxanide furoate PO 500 mg 3x1 PO 20 mg/kg/hari
(indikasi mutlak pada selama 10 hari 3x1
pasien yang tidak
respon iodoquinol
dan paromomycin)

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 26


Case Report

Antibiotik
Meropenem IV 500-1000 mg 3 x IV 10-40 mg/kg 3x1 Nyeri lokasi injeksi,
(Merrem) 1 pada keadaan berat gangguan
dosis dapat gastrointestinal,
ditingkatkan hingga gangguan liver,
2000 mg pusing, kejang
Iminipenem dan IV 500-1000 mg 3-4 IV 15-25 mg/kg 2-4 Nyeri lokasi injeksi,
cilastatin na x1 x1 gangguan
(Primaxin) (dosis maksimum 4 gastrointestinal,
gr/hari) gangguan liver,
gangguan renal,
gangguan hematologi
Cefuroxime (Ceftin) PO 250-500 mg/hari IV/IM 50-100 Gangguan
pada keadaan berat mg/kg/hari 3x1 hematologi,
dapat ditingkatkan gangguan
hingga 1000 mg 2x1 gastrointestinal,
IV/IM 750 mg 3x1 reaksi lokal injeksi
Cefaclor (Ceclor) PO 750 mg/hari PO 10-15 mg/kg/ 2-3 Gangguan
x1 gastrointestinal,
gangguan hematologi
Klindamisin PO 150-300 mg 4x1 PO 8-16 mg/kg/hari Gangguan
(Cleocin) pada infeksi serius 3-4 x1 pada infeksi gastrointestinal,
PO 300-450 mg 4x1 serius gangguan liver,
PO 16-20 mg/kg/hari gangguan renal,
3-4 x1 gangguan hematologi
Agen Anti-jamur
Amfoterisin B PO 0,3-0,5 mg/kg Demam, menggigil,
(AmBisome) selama 6 minggu toksik pada ginjal
atau dapat
dilanjutkan hingga 3-
4 bulan
Flukonazol PO 150 mg dosis IV 3-12 mg/kg/hari Hepatotoksisitas,
(Diflucan) tunggal (dosis maksimum gangguan
(dosis maksimum 600 mg/hari) gastrointestinal,
600 mg/hari) gangguan hematologi

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 27


Case Report

2. Pemberian antibiotik dengan kombinasi:


a. Aspirasi tertutup, dengan indikasi:
 Abses dikhawatirkan akan pecah (bila diameter > 5 cm untuk abses
tunggal, dan > 3 cm untuk abses multipel)
 Respon terhadap medikamentosa setelah 7 hari tidak ada
 Abses di lobus kiri, warning pecah dan menyebar ke rongga perikardium
maupun peritoneum

Aspirasi berguna untuk mengurangi gejala-gejala penekanan dan menyingkirkan


adanya infeksi bakteri sekunder. Aspirasi juga mengurangi risiko ruptur pada
abses yang volumenya lebih dari 250 ml, atau lesi yang disertai rasa nyeri hebat
dan elevasi diafragma. Aspirasi juga bermanfaat bila terapi dengan metronidazol
merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan. Aspirasi bisa dilakukan secara
buta, tetapi sebaiknya dilakukan dengan tuntunan ultrasonografi sehingga dapat
mencapai ssaran yang tepat. Aspirasi dapat dilakukan secara berulang-ulang
secara tertutup atau dilanjutkan dengan pemasangan kateter penyalir. Pada semua
tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik untuk mencegah
infeksi sekunder.

b. Drainase kateter perkutan


Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial. Tingginya viskositas cairan abses amuba memerlukan kateter dengan
diameter yang besar untuk drainase yang adekuat. Infeksi sekunder pada rongga
abses setelah dilakukan drainase perkutan dapat terjadi.

c. Drainase pembedahan – laparoskopi, dengan indikasi:


 Abses disertai komplikasi infeksi sekunder
 Abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang interkostal
 Bila terapi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil
 Ruptur abses ke dalam rongga intra-peritoneal/pleural/perikardial
Kontraindikasi operasi pada abses hepar antara lain:

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 28


Case Report

 Abses multipel
 Infeksi poli-mikrobakteri
 Immunocompromise disease

d. Hepatektomi
Dewasa ini dilakukan hepatektomi yaitu pengangkatan lobus hati yang terkena
abses. Hepatektomi dapat dilakukan pada abses tunggal atau multipel, lobus
kanan atau kiri, juga pada pasien dengan penyakit saluran empedu. Tipe reseksi
hepatektomi tergantung dari luas daerah hati yang terkena abses juga disesuaikan
dengan perdarahan lobus hati.

Komplikasi Abses Hati


Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar 5-15,6%, perforasi
abses ke berbagai organ tubuh seperti ke pleura, paru, pericardium, usus, intraperitoneal atau
kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase.
(Menurut  Julius, Ilmu penyakit dalam, jilid I, 1998). Dapat juga komplikasi seperti:
1. Infeksi sekunder
Merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus. Kuman penyebab
terserung staphylococcus dan streptococcus.
2. Ruptur akut dengan penjalaran langsung
Rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak abses. Perforasi paling sering ke
pleuropulmonal, kemudian kerongga intraperitoneum (terutama amubiasis hati di lobus
kiri), selanjutnya pericardium dan amubiasis kutis maupun organ-organ lain.
3. Komplikasi vaskuler
Ruptur ke dalam v. porta (trombosis vena porta), saluran empedu (trombosis vena
hepatica) atau traktus gastrointestinal jarang terjadi.
4. Parasitemia, amoebiasis serebral
E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya
otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.
5. Ileus obstruktif
6. Koma hepatikum.
Prognosis Abses Hati

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 29


Case Report

Prognosis dari abses hepar tergantung:


1. Virulensi parasit
2. Status imunitas dan keadaan nutrisi penderita
3. Usia penderita, lebih buruk pada usia tua
4. Cara timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosa lebih buruk letak dan jumlah
abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau multiple. Sejak digunakan
pemberian obat seperti emetine, metronidazole, dan kloroquin, mortalitas menurun
secara tajam.Sebab kematian biasanya karena sepsis atau sindrom hepatorenal.
Prognosis yang buruk, apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan, jika hasil
kultur darah yang memperlihatkan penyebab bakterial organisme multipel, tidak dilakukan
drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleura atau adanya penyakit
lain.

LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 49 tahun
MR : 01043088
Tgl MRS : 23/06/2020

Anamnesis Keluhan Utama


Nyeri perut kanan atas 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


1 Hari SMRS, Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan atas, nyeri dirasakan hilang timbul
dan perutnya semakin membesar dan sangat menyesak. Pasien merasa perutnya seperti mau
meledak sehinggga pasien datang ke Rumah Sakit Awal Bros. Karena perutnya yang sangat
besar lalu pasien di rujuk ke IGD RSUD AA.
1 Minggu SMRS, pasien di rawat di awal bros dengan diagnosis gastritis karena pasien
mengeluhkan nyeri perut pada ulu hati sebelah kanan dan nyeri pada seluruh lapang perut.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 30


Case Report

Setelah keluhan berkurang, pasien di berikan obat gastritis dan mual muntah dan di lakukan
rawat jalan
2 Minggu SMRS, pasien mengeluhkan perutnya membesar dan menyesak. Perut terasa
membesar secara tiba-tiba dan semakin lama semakin membesar. Pembesaran perut di sertai
dengan nyeri ulu hati di sebelah kanan dan di seluruh lapang perut. Mual muntah dan demam
di sangkal. Pasien mengeluhkan kulitnya mulai kuning dan kaki mulai membengkak. BAK 3
kali keluar sedikit-sedikit, berwarna seperti teh. BAB padat berwarna dempul, darah(-).
4 Bulan SMRS, pasien mengalami mual muntah yang di rasakan setiap setelah pasien
makan. Muntah berisi makanan yang di makan berjumlah -+ 50 cc, darah(-). Pasien juga
mengalami nyeri yang berawal dari nyeri ulu hati hinggga seluruh lapang perut. Pasien hanya
bisa makan sedikit-sedikit karena pasien mudah merasa kenyang dan menyesak.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat hipertensi (-)
- penyakit jantung (-)
- Riwayat hiperlipidemia (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat penyakit ginjal (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat Ayah pasien menderita hipertensi
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat hiperlipidemia (-)
- Riwayat penyakit ginjal (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan


- Pasien suka mengosumsi makanan berminyak dan bersantan.
- Pasien merokok selama -+ 30 tahun dengan 12 batang/hari, namun sudah berhenti 9 bulan
yang lalu.
- Pasien suka minum kopi dan alcohol sudah berhenti sejak 4 bulan yang lalu.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 31


Case Report

- Pasien jarang berolahraga


- Pasien bekerja sebagai freelancer, sebelumnya bekerja sebagai pegawai dan sudah berhenti
selama 6 tahun

Pemeriksaan Fisik Umum


- Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : composmentis
- TD : 100/90 mmHg
- Nadi : 82 x/menit
- Suhu : 37,1°C
- Pernafasan : 20 x/menit
- Keadaan gizi
- BB : 65 kg
- TB : 168 cm
- IMT : normoweight (23,3 kg/m2)

Pemeriksaan Fisik
Kepala Leher
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), reflex pupil (+/+)
- Hidung : Napas cuping hidung (-) keluar cairan (-) epistaksis (-)
- Telinga : Keluar cairan (-) darah (-)
- Mulut : bibir pucat (-), bibir kering (-), sianosis (-)
- Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

Thoraks Depan :
Paru
- Inspeksi : bentuk normochest, pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, retraksi iga
(-), penggunaan otot bantu pernafasan (-)
- Palpasi : jejas (-), vocal fremitus simetris kiri dan kanan
- Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : suara pernafasan vesikuler (+/+), suara tambahan wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 32


Case Report

Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba
- Perkusi :
Batas kanan jantung : linea parasternalis dextra SIK V
Batas kiri jantung : linea midclavicula sinistra SIK VI
- Auskultasi : S1S2 reguler, suara tambahan: murmur (-), gallop (-)

Thoraks Belakang:
- Inspeksi : gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
- Palpasi : vocal fremitus simetris kiri dan kanan
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing(-/-)

Abdomen
- Inspeksi : perut membuncit(+), luka bekas drainase cairan di perut kanan bawah
- Auskultasi : bising usus (+) 8x/menit
- Perkusi : shifting dullnes (+)
- Palpasi : nyeri tekan (+) seluruh region abdomen, hepar dan lien tidak di lakukan karena
pasien sudah pulang
- Nyeri ketok : CVA (-/-)

Ektremitas
- Ekstremitas Atas : Akral dingin, CRT>2 detik, edema (-)
- Ekstremitas Bawah : Akral dingin, CRT >2 detik, edema (+)

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium


1. Hematologi
- Hb : 11,7 g/dL (L)
- Leukosit : 15,50 x 10^3/ul (HH)
- Trombosit : 282 x 10^3/ul

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 33


Case Report

- Eritrosit : 4,09 x 10^6/ul (L)


- Hematokrit : 35,1 % (L)
- MCV : 84 fl
- MCH : 28,3 pg (H)
- MCHC : 33,8 g/dl (H)
- Basofil : 0,5 %
- Eosinophil : 0,6 % (L)
- Neutrofil : 81,3 % (H)
- Limfosit : 11,7 % (L)
- Monosit : 5,9 %
2. Kimia Klinik
- Albumin : 2,2 g/dL (L) N: 3,5-5,9 g/dl
- AST : 123 U/L N: 0-50 U/L
- ALT : 169 U/L N: 0-50 U/L
- Bilirubin direk : 2,22 mg/dl N: 0,1-0,4 mg/dl
- Bilirubin indirek : 1,03 mg/dl N: 0,3-1,1 mg/dl
USG Abdomen
- Kesimpulan : kolesistitis, abses hepar, asites
Resume Anamnesis
- Perut membesar (asites) dan menyesak
- Nyeri ulu hati
- Nyeri seluruh lapang perut
- Jaundice
- Kaki bengkak
- Urine berwarna seperti teh
- BAB berwarna dempul

Pemeriksaan fisik
- Skelera ikterik
- Abdomen (asites)
- Nyeri tekan abdomen

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 34


Case Report

- Ekstremitas Atas : Akral dingin, CRT>2 detik


- Ekstremitas Bawah : Akral dingin, CRT >2 detik, edema

Pemeriksaan penunjang
- Hipoalbumin
- ALT dan AST meningkat
- Bilirubin direk meningkat
- Kolesistitis, abses hepar dan asites
Daftar Masalah
1. Kolesistitis
2. Abses Hepar
3. Asites et causa hipoalbumin
4. liver transaminase meningkat

Diagnosis Banding
- pankreatitis
- kolangitis
- peritonitis
Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
- O2 3 liter/menit
- Tirah baring
- Makan rendah lemak

Terapi farmakologis:
- IV Ampisilin dosis 3 gram / 6 jam
- IVFD 3 Fial . Albumin 20% 100 cc
- IV furosemide 10 mg 1x1
- IV Ranitidine 50 mg /6 jam

PEMBAHASAN

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 35


Case Report

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan
atas, nyeri tekan, Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis
cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama
kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%)
timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus), Peradangan yang disebabkan
oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme
yang paling sering dibiak dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies
Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin
yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan
mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya
nekrosis dinding kandung empedu dari anamnesis di dapatkan nyeri perut kanan atas hilang
timbul, nyeri di seluruh lapangan perut. Dari pemeriksaan fisik di dapatkan pada pasien di
temukan demam(+), pemeriksaan penunjang pada pasien di temukan ALT dan AST
meningkat, bilirubin direk meningkat, kesan USG pada pasien kesimpulan kolesistitis, abses
hepar dan asites. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai dengan
keluhan pasien berkesimpulan pasien didiagnosis dengan kolesistitis dengan penatalaksanaan
pada pasien di berikan obat ampisilin dosis 3 gr/6 jam pada fase awal karena untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut.

Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri,
parasit, maupun jamur yang bersumber dari system gastrointestinal yang di tandai dengan
adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati dan etiologi abses
hepar bisa di karenakan abses hati amebic oleh strain virulen entamoeba hystolitica yang
tinggi dan abses piogenik yang disebabkan oleh enterobactericeae, microaerophilic
streptococci, klesiella pneumonia, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aereus,
staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus, eikenella corrodens, yersinis
enterolitica, salmonella thypii, brucella melitensis dan fungal. dari anamnesis pasien di
dapatkan keluhan perut membesar, nyeri perut kanan atas, kulit menguning, nyeri di seluruh
lapang perut, dari pemeriksaan fisik di dapatkan skelera ikterik(+), Shiffting dulnes(+), dari
pemeriksaan penunjang didapatkan hipoalbumin, AST dan ALT meningkat, bilirubin indirek
meningkat dari hasil USG kolesistitis, abses hepar, asites. Dapat kita simpulkan dari tanda-
tanda pada pasien adanya gangguan di hati di diagnosis dengan abses hepar. Penatalaksanaan

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 36


Case Report

pada pasien asites, untuk mengurangi cairan di jaringan interstisial di beri obat IV furosemide
10 mg, pada pasien hipoalbumin untuk memulihkan fungsi hati dapat diberikan IV 3 fial
albumin 20% 100cc dengan rumus: 0,8 x berat badan pasien (3,5-2,2)=67%. Di butuhkan 3 fial
albumin

KESIMPULAN
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan
atas, nyeri tekan dan demam dan abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan
karena infeksi bakteri, parasit, maupun jamur yang bersumber dari system gastrointestinal
yang di tandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim
hati. Berdasarkan yang di temukan dari anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pasien di diagnosis kolesistitis dan abses hepar. Pentalaksanaan pada pasien di
berikan obat ampisilin dosis 3 gr/6 jam pada fase awal karena untuk mencegah komplikasi
lebih lanjut, untuk mengurangi cairan di jaringan interstisial di beri obat IV furosemide 10 mg,
pada pasien hipoalbumin untuk memulihkan fungsi hati dapat diberikan IV 3 fial albumin 20%
100cc dengan rumus: 0,8 x berat badan pasien (3,5-2,2)=67%. Di butuhkan 3 fial albumin.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 37


Case Report

DAFTAR PUSTAKA

1. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati


S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
2. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in
Emergency Medicine. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.
3. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1. Edisi
keempat. Jakarta: EGC, 1994.
5. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni
2011]. http://emedicine.medscape.com/article/187645-overview.
6. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al.
Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.

7. Aru, W. Sudoyo, dkk.(2006). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1 Edisi Empat.Jakarta
:  Balai Penerbitan FK-UI.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 38


Case Report

8. Sylvia a. Price.(2006). Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku


Patofiologi.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteranm EGC. Halaman 472-474.
9. Wenas, Nelly Tandean. Wa;e;eng, B.J. Abses hati piogenik. Dalam : Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461
10. Sherwood, Lauralee. Sistem Pencernaan. Dalam: Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem
edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.

Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI, Juni 2020 39

Anda mungkin juga menyukai