Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

INFEKSI NEONATORUM

Oleh:

Alfiyyah Hastari Syaf, S.Ked


K1B1 21 015

Pembimbing
dr. Miniartiningsih Sam, Sp.A., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021

1
2

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Alfiyyah Hastari Syaf

Stambuk : K1B1 21 015

Judul Referat : Infeksi Neonatorum

Telah menyelesaikan tugas Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian

Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.

Kendari, Agustus 2021

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Miniartiningsih Sam, Sp.A., M.Kes


3

INFEKSI NEONATORUM
Alfiyyah Hastari Syaf, Miniartiningsih Sam

A. PENDAHULUAN
Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator derajat

kesehatan masyarakat yang dapat mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat

ataupun tingkat kemiskinan di Indonesia. Sustainable Development Goals (SDGs)

bidang kesehatan dan kesejahteraan (SDGs ke-3), memiliki target yang akan

dicapai pada tahun 2030. Target tersebut diantaranya mengakhiri kematian bayi

dan balita yang dapat dicegah dengan menurunkan angka kematian neonatal

hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan angka kematian balita 25 per 1.000

kelahiran hidup.1

Data global pada tahun 2018 menunjukkan bahwa 2,5 juta anak meninggal

pada bulan pertama kehidupan mereka, dimana sekitar 7000 kematian neonatal

setiap hari. Indonesia mencatat angka kematian neonatal yang cukup tinggi. 2

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2017 melaporkan bahwa Angka

Kematian Neonatal di Indonesia mencapai 15 neonatus per 1000 kelahiran hidup.

Pencapaian ini lebih tinggi dari pencapaian yang dicatat oleh negara-negara di

kawasan.3

Infeksi neonatorum atau infeksi pada bayi baru lahir merupakan salah satu

penyebab penting tingginya angka kesakitan dan kematian bayi baru lahir di

seluruh dunia. Kasus infeksi menunjukkan gejala yang kurang jelas dan seringkali
4

tidak diketahui sampai keadaannya sudah sangat terlambat. Jika faktor penyebab

risiko infeksi yang paling dominan dapat diketahui, maka hal tersebut akan

membantu untuk menurunkan kasus infeksi. Selain itu, diagnosa yang tepat dari

tenaga kesehatan untuk menetapkan status risiko infeksi pada bayi baru lahir

merupakan hal yang penting, sehingga bayi yang berisiko infeksi dapat diberikan

perawatan intensif dan beberapa antibiotik untuk melawan bakteri yang

menyebabkan infeksi.4

B. DEFINISI
Infeksi neonatorum adalah invasi jaringan oleh suatu organisme infeksius

selama usia neonatal. Infeksi pada neonatus dapat terjadi pada masa antenatal,

intranatal, dan postnatal.5 Infeksi neonatorum dapat menjadi salah satu faktor

terjadinya kematian perinatal dikarenakan pada masa neonatal kekebalan tubuh

yang dimiliki belum sempurna, infeksi menyerang pembuluh darah.6

Periode neonatal merupakan periode yang berlangsung selama 28 hari

pertama kehidupan dan selanjutnya dapat dibagi lagi menjadi neonatal awal yaitu

7 hari pertama dan neonatal akhir yaitu pada hari ke 8-28. 7

C. EPIDEMIOLOGI
Infeksi merupakan penyebab utama kematian dan morbiditas di unit

perawatan intensif neonatal (NICU), dimana tingkat yang dilaporkan berkisar dari

6% - 33% dan hingga 40% pada neonatus yang lahir sebelum usia kehamilan 28

minggu atau dengan berat lahir <1.000 g (lahir sangat rendah berat, ELBW).5
5

Di seluruh dunia, diperkirakan lebih dari 1.4 juta kematian neonatal per

tahun disebabkan oleh infeksi.8 Pada 36% kematian neonatal disebabkan oleh

penyakit infeksi, di antaranya sepsis, pneumonia, tetanus, dan diare, sebanyak

23% disebabkan asfiksia, 7% kelainan bawaan, 27% bayi kurang bulan dan berat

lahir rendah, serta 7% sebab lain. Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk

penyakit infeksi pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama yang

belum terpecahkan sampai saat ini. Insiden sepsis neonatus bervariasi 1 sampai 4

dari 1.000 kelahiran hidup di negara maju dan 10 sampai 50 dari 1.000 kelahiran

hidup di negara berkembang. World Health Organization juga melaporkan case

fatality rate yang tinggi (40%) pada kasus sepsis neonatorum.9

D. ETIOLOGI
Etiologi dari infeksi neonatorum dapat terjadi secara intrauterin melalui

transplasental, intrapartum saat melalui jalan lahir selama proses persalinan, atau

postnatal akibat sumber infeksi dari luar setelah lahir yaitu dari ibu, lingkungan

rumah sakit, atau petugas rumah sakit. 10

Sejumlah agen bakteri dan non bakteri dapat menginfeksi bayi baru lahir.

Bakteri yang paling umum menjadi agen penyebab infeksi adalah grup B

streptococcus (GBS), Escherichia coli, dan Klebsiella spp. Salmonella spp. adalah

penyebab umum sepsis gram negatif di negara berkembang. Infeksi bakteri

lainnya termasuk Citrobacter, enterococci, gonococci, Listeria monocytogenes,

Streptococcus pneumoniae, dan Haemophilus influenzae. Infeksi virus umum


6

disebabkan cytomegalovirus (CMV), HSV, enterovirus, dan HIV dan untuk

infeksi jamur biasanya Candida spp. Malassezia spp.7

E. KLASIFIKASI
Infeksi neonatorum dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu awitan dini (early
onset) dan awitan lambat (late onset).
1. Awitan Dini (Early Onset)
Infeksi awitan dini atau early onset adalah penyakit multiorgan sistemik

yang muncul diminggu pertama kehidupan dan biasanya dalam 72 jam

pertama kehidupan, biasanya disebabkan oleh mikroorganisme dari saluran

genitourinari ibu. 4

Infeksi paling sering didapat sebelum melahirkan. Faktor perinatal

berkontribusi pada perkembangan infeksi dan termasuk pecah ketuban

sebelum waktunya (sebelum persalinan) atau jangka waktu lama (> 18 jam)

sebelum melahirkan, korioamnionitis, demam ibu, infeksi saluran kemih ibu,

dan bayi prematur atau berat lahir rendah.4

Bayi-bayi ini memiliki gejala pernapasan yang tiba-tiba, biasanya

karena untuk pneumonia, perfusi buruk, ketidakstabilan suhu, dan asidosis.4

Mikroorganisme oleh transplasenta atau infeksi asendens ini paling sering

disebabkan oleh grup B Streptococci dan Escherichia coli.8

2. Awitan Lambat (Late Onset)

Infeksi awitan lambat atau late onset adalah infeksi yang terjadi

setelah 72 jam pertama kehidupan, biasanya disebabkan oleh nosocomial


7

organisme yang ditularkan atau lingkungan Nosokomial, hal ini dapat

terjadi melampaui minggu pertama kehidupan tetapi sebelum 30 hari

kehidupan. 8

Infeksi awitan lambat lebih sering disebabkan oleh infeksi organisme

gram positif yang didapat: koagulase-negatif staphylococci,

Staphylococcus aureus, enterococci, atau bakteri gram negative.

Kandidiasis juga merupakan penyebab penyakit yang muncul terlambat.8

Infeksi pada neonatus juga dapat dibagi menurut berat ringannya dalam dua

golongan besar, yaitu infeksi berat dan infeksi ringan :7

1. Infeksi Berat (Major Infections) : Sepsis neonatal, meningitis, pneumonia,

diare epidemik, pyelonefritis, osteitis akut, tetanus neonatoum.

2. Infeksi Ringan (Minor Infections) : infeksi pada kulit, oftalmia

neonaturum, infeksi umbilikus (omfalitis), moniliasis.

F. Faktor Risiko
Faktor resiko infeksi dapat bervariasi tergantung awitan infeksi yang diderita

pasien. Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama kehamilan,

persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk melakukan

elaborasi lebih lanjut infeksi neonatorum. Berlainan dengan awitan dini, pada

pasien awitan lambat, infeksi terjadi karna sumber infeksi yang terdapat dalam

lingkungan pasien.10

Faktor risiko terjadinya infeksi pada neonatus dikelompokkan menjadi :7

1. Faktor Ibu
8

a. Persalinan dan kelahiran kurang bulan

b. Ketuban pecah dini

c. Persalinan dengan tindakan

d. Infeksi dan demam pada ibu (>38,4o C)

e. Kehamilan multiple

f. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.

2. Faktor Bayi

a. Prematuritas dan berat lahir rendah

b. Asfiksia perinatal

c. Prosedur invasive

d. Bayi yang dilahirkan dengan cacat bawaan

G. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pada neonatus seringkali tidak kentara dan non spesifik.

Ketidak stabilan suhu, takipnea, kelesuan, dan pola makan yang buruk tanda awal

yang umum dan harus menimbulkan kecurigaan terhadap infeksi sistemik atau

fokal.7

Neonatus dengan sepsis bakterial mungkin memiliki manifestasi non spesifik

atau tanda-tanda fokal infeksi, termasuk ketidak stabilan suhu, hipotensi, perfusi

buruk dengan kulit pucat dan berbintik-bintik, asidosis metabolik, takikardia atau

bradikardia, apnea, gangguan pernapasan, mendengus, sianosis, lekas marah, lesu,

kejang, intoleransi makan, perut kembung, penyakit kuning, petechiae, purpura,

dan perdarahan. Manifestasi awal mungkin hanya melibatkan gejala terbatas dan
9

hanya satu sistem, seperti apnea sendirian atau takipnea dengan retraksi, atau

takikardia, atau mungkin ada bayi dengan manifestasi katastropik akut dengan

disfungsi multiorgan dan syok. Bayi harus dievaluasi ulang dari waktu ke waktu

untuk mengetahui apakah gejalanya telah berkembang dari ringan menjadi parah.

Komplikasi sepsis selanjutnya termasuk gagal pernafasan, hipertensi pulmonal,

gagal jantung, syok, gagal ginjal, disfungsi hati, edema atau trombosis serebral,

perdarahan adrenal dan / atau insufisiensi, disfungsi sumsum tulang (neutropenia,

trombositopenia, anemia), dan koagulopati intravaskular diseminata (DIC).7

H. DIAGNOSIS
Diagnosis infeksi harus segera ditegakkan setelah timbulnya tanda klinis dari

infeksi untuk memulai terapi yang efektif sesegera mungkin. Menunda

pengobatan antibiotik dapat menyebabkan kematian. Diagnosis pasti infeksi dapat

dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologi, tapi pemeriksaan hematologi dan

biokimia juga dapat memberi informasi tambahan untuk menentukan terapi.5

Isolasi mikroorganisme dari cairan tubuh (darah, cairan serebrospinal, urine)

merupakan Gold Standard untuk mendiagnosis infeksi. Sensitivitas kultur darah

pada neonatus berkisar dari 8 hingga 73%. Tes hematologi (darah total dan

diferensial hitung) IL-6, IL-8, C-reactive protein (CRP), procalcitonin (PCT), dan

serum A amiloid. Jumlah total sel darah putih (abnormal jika <5.000 / mL atau

>20.000/μL) dan diferensial jumlah sel darah putih sangat bervariasi derajat

sensitivitas (17-90%) dan spesifisitas (31–100%). Pengukuran neutrofil yang

belum matang dan neutrofil total diperoleh lebih dari 24 jam setelah memulai
10

evaluasi untuk EOS (early onset sepsis) telah terbukti memiliki spesifisitas yang

tinggi. 5

Trombositopenia (<100.000/μL), morfologi sel darah putih, dan

pengukuran tunggal dari total neutrofil dan neutrofil yang belum matang atau

total neutrophil rasio memiliki nilai prediksi yang buruk. Konsentrasi IL-6

dan IL-8 darah yang meningkat pada 12-24 jam sebelum timbulnya gejala

klinis dapat memprediksi infeksi dengan kuat. Namun, hal tersebut tidak rutin

digunakan oleh semua laboratorium karena penurunan cepat dalam

konsentrasi darah setelah timbulnya infeksi dan biayanya.5

CRP memiliki peningkatan 1.000 kali lipat dalam darah selama

respons fase akut. Pemeriksaan CRP memiliki nilai prediksi terbaik selama

penyaringan sepsis, yaitu sensitivitas pengukuran CRP tunggal sekitar 48-

63%, meningkat menjadi 90% ketika tes diulang 24-48 jam setelah onset

gejala. Pengukuran CRP normal mungkin berguna untuk menyingkirkan

infeksi pada neonatus dengan gejala non-spesifik dan dalam memandu durasi

terapi antibiotik. PCT (prekursor polipeptida kalsitonin) diproduksi oleh

hepatosit dan monosit, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (87–

100%), dan meningkat selama EOS, LOS, dan NEC. Namun, ini umumnya

tidak tersedia sebagai tes diagnostik yang darurat dan dianggap lebih akurat

pada LOS daripada EOS.5

Akurasi diagnostik SAA telah dievaluasi baru-baru ini. Ini adalah

protein fase akut yang diinduksi oleh IL-6 dan IL-8, dan akurasi
11

diagnostiknya lebih tinggi dari CRP dalam mendiagnosis EOS dan LOS.

Biomarker tambahan tidak digunakan secara rutin, tetapi dapat menjadi alat

yang berharga di masa depan untuk keduanya stratifikasi pasien menurut

risiko infeksi atau untuk diagnosis dini. Ini termasuk protein dan sitokin.8

Gambar 1. Tes diagnostik pada bayi dengan suspek Infeksi. 8

Jumlah sel darah putih total, neutrofil absolut hitung, kadar protein C-

reaktif, kadar prokalsitonin, dan kadar berbagai sitokin inflamasi, diambil

secara individual. Tes ini tidak spesifik dan tidak cukup sensitive untuk

mengkonfirmasi atau menyingkirkan infeksi sistemik. Pada bayi dengan

dugaan EOS, kultur darah harus dilakukan ditarik, dan, jika bayi dalam

kondisi hemodinamik stabil, cairan tulang belakang harus dilakukan, dan bayi
12

harus dimulai dengan antibiotik intravena. Kebutuhan lumbal pungsi dalam 24

hingga 72 jam pertama kehidupan telah menjadi topic dari beberapa

kontroversi. Data menunjukkan bahwa pungsi lumbal tidak diperlukan pada

bayi ini terutama pada bayi tanpa gejala. Korelasi yang buruk antara hasil

kultur darah neonatal dan CSF mengindikasikan untuk pungsi lumbal.

Beberapa studi melaporkan bahwa meningitis bakterial akan terlewatkan

sekitar sepertiga dari neonatus dengan berat lahir sangat rendah berdasarkan

hasil kultur darah saja. 8

I. TATALAKSANA
Pengobatan antibiotik empiris harus dimulai pada setiap neonatus (terutama

neonatus prematur) yang di curigai infeksi. Spektrum antibiotik dipersempit

setelah mikroorganisme penyebab telah diidentifikasi dan antibiotic tersedia.

Kombinasi harus digunakan untuk pengobatan empiris. Ampisilin ditambah

gentamisin masih menjadi pilihan terbaik kombinasi antibiotik untuk EOS.

Ampisilin efektif melawan Enterococci, dan beberapa bakteri Gram-negatif

(E.coli,Proteus,Klebsiella), GBS, dan L. monocytogenes. Aminoglikosida

memperluas spektrum antimikroba, sehingga menjadi lebih efektif melawan

beberapa Enterobacteriaceae yang tahan ampisilin (E. coli, Proteus, Klebsiella)

dan beberapa Enterococci yang tahan ampisilin. Gentamisin adalah golongan

aminoglikosida yang paling sering digunakan dan dapat diberikan satu kali sehari.

Penting untuk diperhatikan efek sinergis dari ampisilin dan gentamisin pada

beberapa organisme.8
13

Sefalosporin generasi ketiga efektif melawan banyak bakteri patogen dan

mencapai konsentrasi bakterisidal tinggi di CSF, tapi tidak boleh digunakan jika

tidak ada bukti sepsis bakteri untuk mengurangi munculnya organisme resisten

dan infeksi jamur. Penisilin antistafilokokus (oksasilin atau nafcillin atau

flucloxacillin) ditambah aminoglikosida adalah kombinasi yang efektif untuk

LOS.8

Ketika infeksi stafilokokus oleh Staphylococcus yang resisten methicillin

dicurigai atau terbukti, vankomisin atau teikoplanin harus digunakan dalam

kombinasi dengan aminoglikosida. Teicoplanin memiliki lebih sedikit efek

samping (oto- dan nefrotoksisitas) dan waktu paruh lebih lama dari vankomisin,

tetapi munculnya organisme resisten telah dijelaskan lebih jarang dengan

pemberian vankomisin. Karbapenem dapat menjadi pilihan untuk infeksi berat

oleh organisme multiresisten. Karbapenem memiliki spektrum antimikroba yang

sangat besar (hamper semua patogen Gram-negatif dan Gram-positif) dan resisten

terhadap beta-laktamase yang diketahui. Meropenem digunakan karena efektivitas

yang lebih besar terhadap Haemophilus influenzae, Enterobacteriaceae, dan

Pseudomonas. Insiden kejang lebih rendah dibandingkan dengan imipenem dan

cilastatin, dll. Durasi terapi berbeda untuk infeksi Grampositif dan Gram-negatif. 8

Imunoglobulin intravena (Ig), untuk pengobatan terbukti sepsis pada

neonatus saat ini tidak direkomendasikan, dengan mempertimbangkan sembilan

studi, yang secara pasti menunjukkan tidak ada efek pada hasil utama baik IgG

intravena atau IgG intravena yang diperkaya IgM. Transfusi tukar dapat
14

mengurangi keparahan dari sepsis; volume yang akan ditransfusikan adalah 160–

180 mL / kg, kira-kira dua kali lipat dari darah neonatal volume. Manfaatnya

tergantung pada penghilangan endotoksin, sitokin, dan molekul yang

meningkatkan permeabilitas endotel vaskular; lebih lanjut keuntungannya

tergantung pada adanya faktor komplemen, antibodi dalam darah yang

ditransfusikan dan faktor koagulasi, dan perbaikan perfusi paru dan jaringan.

Namun, ada masih sedikit bukti efektivitasnya dalam mereduksi morbiditas dan

mortalitas pada pasien dengan sepsis, dan penggunaannya harus dibatasi untuk

penderita sepsis berat dengan syok septik dan menyebar koagulasi intravaskular.

Memiliki plasma beku segar (10-20 mL / kg / hari) digunakan di masa lalu

dengan alasan menyediakan neonatus septik dengan komplemen dan faktor

koagulasi, tetapi tidak ada bukti manfaatnya. Penggunaannya pada bayi dengan

sepsis dan tidak direkomendasikan dalam pengobatan sepsis neonatal.5

J. PENYAKIT INFKESI PADA NEONATUS


1. Sepsis Neonatorum
Sepsis neonatorum, sepsis neonatus dan septikemia neonatus

merupakan istilah yang telah digunakan untuk menggambarkan respon

sistemik terhadap infeksi pada bayi baru lahir. Penyebab paling seringa

dalah streptococcus group B (SGB) dan bakteri enterik yang didapat dari

saluran kelamin ibu.

Tanda dan Gejala :11

a. Suhu tubuh tidak normal (sering hipotermia)


15

b. Letargi atau lunglai, mengantuk atau aktivitas berkurang

c. Malas minum setelah sebelumnya minum dengan baik

d. Iritabel atau rewel

e. Gastrointestinal : muntah, diare, perut kembung, hepatomegali

f. Kulit : Perfusi kulit kurang, sianosis, petekie, ruam, sklerema, ikterik

g. Kardiopulmonal: Takipneu, distress respirasi ( napas cuping hidung,

merintih, retraksi) takikardi, hipotensi

h. Neurologis : Irritabilitas, penurunan kesadaran, kejang, ubun-ubun

menonjol, kaku kuduk sesuai dengan meningitis.

Tatalaksana :12

Dasar melakukan pengobatan adalah tertera pada Gambar 3. yang

berhubungan dengan sepsis.

Gambar 2. Manifestasi Klinis Infeksi Neonatal

a. Antibiotik : awal diberikan ampisilin dan gentamisin. Bila organisme

tidak dapat ditemukan dan bayi tetap menunjukkan tanda infeksi


16

sesudah 48 jam, ganti ampisilin dan beri sefotaksim, sedangkan

gentamisin tetap dilanjutkan.

b. Respirasi : Menjaga patensi jalan napas dan pemberian oksigen untuk

mencegah hipoksia

c. Kardiovaskular : Pasang jalur IV dan diberi cairan dengan dosis

rumatan serta lakukan pemantauan tekanan darah dan perfusi jaringan

untuk mendeteksi dini adanya syok. Pada gangguan perfusis diberikan

volume ekspander (NaCl fisiologis, darah atau albumin, tergantung

kebutuhan) sebnayak 10 ml/kgBB dalam waktu setengah jam , dapat

diulang 1-2 kali. Jangan lupa untuk melakukan monitor keseimbangan

cairan.

d. Hematologi : transfuse komponen jika diperlukan, atasi kelainan

mendasari

e. Tunjungan nutrisi adekuat

f. Bedah : Pada kasus tertentu, seperti hidrosefalus dengan akumulasi

progresif dan enterokolitis nekrotikan.

2. Meningitis pada Neonatus

Suatu peradangan selaput jaringan otak dan medula spinalis yang

disebabkan oleh bakteri patogen. Peradangan tersebut mengenai

arachnoid, piamater dan cairan serebrospinal. Peradangan ini meluas

melalui ruang subarachnoid sekitar otak, medula spinalis dan ventrikel.

Biasanya didahului oleh sepsis.


17

Meningitis pada neonatus merupakan salah satu manifestasi infeksi

awitan lambat, yaitu sepsis yang timbul antara umur 7-90 hari dan

biasanya ada hubungannya dengan faktor lingkungan.

Tanda dan Gejala :13

a. Seringkali didahului infeksi pada saluran napas atau saluran cerna

b. Demam, iritable, letargie, iritabilitas, malas minum dan high pitched

cry

c. Ubun- ubun besar membonjol, kaku kuduk, kejang

Tatalaksana : 12

a. Beri ampisilin dan gentamisin. Bila dalam 24 jam tidak

memperlihatkan perbaikan, ganti antibiotika dengan sefalosporin

generasi ke-3, misal sefotaksim

b. Jika obat di atas tidak tersedia, gunakan pensilin dan gentamisin.

Pilihan lainnya adalah kloramfenikoxyl tetapi jangan digunakan untuk

bayi prematur atau BBLR

c. Jika terdapat tanda hipoksemia, beri oksigen

d. Atasi kejang

3. Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada

neonatus (bayi berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh


18

Clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan

menyerang sistem saraf pusat.

Tanda dan Gejala :12

a. Bayi umumnya sadar, sering mengalami kekakuan (spasme)

b. Bayi malas minum

c. Mulut mencucu seperti mulut ikan (carper mouth)

d. Trismus (mulut sukar dibuka)

e. Perut teraba keras (perut papan)

f. Opistotonus (ada sela antara punggung bayi dengan alas, saat bayi

ditidurkan)

g. Tali pusat biasanya kotor dan berbau

h. Anggota gerak spastik (boxing position)

Tatalaksana :12

a. Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan.

b. Berikan diazepam10mg/kgBB/hari IV dalam24 jamatau bolus IV

setiap 3 jam (0.5 mL per kali pemberian), maksimum 40

mg/kgBB/hari.

c. Jika jalur IV tidak terpasang, berikan diazepam melalui rektum.

d. Jika frekuensi napas < 20 kali/menit, obat dihentikan, meskipun bayi

masih mengalami spasme.

e. Jika bayi mengalami henti napas selama spasme atau sianosis sentral

setelah spasme, berikan oksigen dengan kecepatan aliran sedang.


19

f. Jika belum bernapas spontan lakukan resusitasi dan jika belum berhasil

dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas NICU.

g. Jika ada, beri human tetanus immunoglobulin 500 IU IM atau tetanus

antitoksin 5 000 IU IM

h. Tetanus toksoid 0.5 mL IM diberikan pada tempat yang berbeda

dengan tempat pemberian antitoksin

i. Penisilin prokain 50 000 IU/kgBB/hari IM dosis tunggal atau

Metronidazol IV selama 10 hari

j. Jika terjadi kemerahan dan/atau pembengkakan pada kulit sekitar

pangkal tali pusat, atau keluar nanah dari permukaan tali pusat, atau

bau busuk dari area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal

tali pusat.

4. Pneumonia pada Neonatus

Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus

dan jaringan interstitial. Pneumonia sebagai akibat infeksi mungkin didapat

secara transplasenta, perinatal, atau pascalahir.

Tanda dan Gejala :13

a. Nafsu makan buruk, lesu, iritabilitas, warna kulit yang tidak sehat,

suhu tidak stabil, perut kembung, dan secara keseluruhan keadaan

umum bayi terkesan lebih kurang baik daripada sebelumnya


20

b. Terdapat gangguan respirasi meningkat, dapat terjadi takipnea,

takikardia, napas cuping hidung, mendengkur, retraksi, sianosis, apnea,

dan kegagalan respirasi progresif.

c. Pada bayi premature : tanda-tanda distress respirasi progresif dapat

ditumpangi penyakit membrane hialin atau dysplasia bronkopulmonar.

Tatalaksana :13

a. Pada infeksi yang terjadi pada usia 7-10 hari pertama, kombinasi

ampisilin dan aminoglikosida sudah cukup.

b. Pemberian oksigen dan atau bantuan ventilator dapat diperlukan jika

ada manifestasi hipoksia atau apnea.

c. Neonatus dengan pneumonitis berat → oksigenasi membrane

ekstrakorporal

5. Omphalitis

Merupakan infeksi pada pangkal umbilikus yang disebabkan oleh

infeksi Staphylococcus aureus.

Tanda dan Gejala :14

a. Kemerahan, pembengkakan, hangat, nyeri tekan, eksudat, dan bau busuk

pada tali pusat

b. Bayi dapat mengalami demam, lesu, dan tidak mau menyusu

c. Omphalitis terbagi menjadi beberapa derajat mulai dari infeksi lokal

hingga keterlibatan sistemik.

Tatalaksana :15
21

a. Antibiotik parenteral spektrum luas diperlukan untuk mengobati

omphalitis. Cakupan antibiotik harus diarahkan pada organisme gram

positif dan gram negatif. 

b. Pengobatan empiris awal dengan penisilin antistaphylococcal dan

aminoglikosida direkomendasikan. Jika terdapat prevalensi tinggi

Staphylococcus aureus yang resisten terhadap  methicillin, vankomisin

harus diberikan sambil menunggu hasil kultur.

c. Jika ada kecurigaan untuk korioamnionitis maternal atau pasien

mengeluarkan cairan berbau busuk dari tunggul, klindamisin atau

metronidazol diindikasikan untuk melindungi anaerob. 

d. Durasi terapi antibiotik tergantung pada respon klinis pasien dan

komplikasi yang mungkin timbul selama masuk rumah sakit. Untuk

kasus omphalitis yang tidak rumit, terapi parenteral yang

direkomendasikan adalah sepuluh hari, diikuti dengan peralihan ke

terapi oral tergantung pada hasil kultur.


22

DAFTAR PUSTAKA

1. Statistik BP. Profil Anak Indonesia 2018. Jakarta: Kementerian


Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA); 2019
2. Wulandari, R. D., Laksono, A. D., Paramita, A., Andarwati, P., & Izza, N.
(2021). Risk Factors for Neonatal Death in Female Workers Mothers in
Indonesia. Medico Legal Update, 21(1), 822-827.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Profil Kesehatan
Indonesia.
4. Safitri, A.R., Wulandari, S.P. 2016. Klasifikasi Risiko Infeksi pada Bayi Baru
Lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo Menggunakan Metode
Classification Trees. Jurnal Sains Dan Seni ITS 5(1): 26-31.
5. Buonocore, G., Bracci, R., Weindling M. 2018. Neonatology. Springer
International Publishing AG (2) : 1661-1793.
6. Meisuri, N. P., Irianto, M. G., & Ungu, B. 2018. Faktor determinan yang
mempengaruhi kejadian kematian perinatal. Jurnal Majority, 7(3), 121-127.
7. Kliegman, R.M., St Geme, J.W., Blum, N.J., Dkk. 2019. Nelson Textbook of
Pediatrics. 21st Edition. Elsevier.
23

8. Fanaroff, A.A., Fanaroff, J.M. 2019. Klaus And Fanaroff’s Care Of The High-
Risk Neonate. Elsevier (7) : 275-295
9. Putra, P. J. 2016. Insiden dan faktor-faktor yang berhubungan dengan sepsis
neonatus di RSUP Sanglah Denpasar. Sari pediatri, 14(3), 205-10.
10. Kosim, M. S. (2016). Infeksi neonatal akibat air ketuban keruh. Sari
Pediatri, 11(3), 212-8.
11. Buku Ajar Infeksi Dan Penyakit Tropis Edisi 4. 2018. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia;.
12. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Indonesia. Edisi 1. Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.
13. Gomella, L., Tricia. 2020. Gomella’s Neonatology. Mc graw hill : California

14. Painter, K., Gossman W. 2020. Omphalitis. StatPearls Publisshing. Creighton


University. (Omphalitis)
15. Purnamasari, L. 2016. Perawatan Topikal Tali Pusat untuk Mencegah Infeksi
pada Bayi Baru Lahir. CDK-240 43(5) : 395-398.

Anda mungkin juga menyukai