Anda di halaman 1dari 228

n Seri Buku Daras

FIQH
n
MAWARIS
Dra. Firdaweri, M.H.I.
Hak cipta pada penulis
Hak penerbitan pada penerbit
Tidak boleh diproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun
Tanpa izin tertulis dari pengarang dan/atau penerbit

Kutipan Pasal 72 :
Sanksi pelanggaran Undang-undang Hak Cipta (UU No. 10 Tahun 2012)

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal (49) ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp. 1. 000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5. 000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual


kepada umum suatu Ciptaan atau hasil barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)
PANDUAN PRAKTIS

MANAJEMEN
Seri Buku Daras &
KURIKULUM
FIQH
MAJELIS TA'LIM
MAWARIS
Muryadi, S.Pd.I., SH., M.Pd.

Dra. Firdaweri, M.H.I.


Perpustakaan Nasional RI:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Seri Buku Daras


FIQH MAWARIS

Penulis
Dra. Firdaweri, M.H.I.

Desain Cover & Layout


PAI Creative

x + 217 hal : 14 x 20 cm
Cetakan Februari 2020

ISBN:

Penerbit
Pustaka Ali Imron

Jl. Endro Suratmin, Pandawa Raya


Korpri Jaya Sukarame Bandarlampung
HP. 0822 8003 5489
email : pustakaaliimron@gmail.com

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian


atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, puja dan puji bagi Allah SWT yang telah


menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik di bumi, dan
telah mewariskan bumi seisinya kepada manusia semua.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai pelaksana dan pembina syariat Islam
diatas bumi ini, dan telah mewariskan syari’at Islam tersebut
kepada umat manusia. Untuk pendidikan tinggi, mata kuliah
Fiqh Mawaris yang diberikan sudah lebih mendalam. Literatur
asli Fiqh Mawaris berbahasa Arab, dan tidak semua mahasiswa
dapat memahaminya dengan baik. Menurut hemat penulis untuk
mempermudah mahasiswa, maka penulis berusaha menulis
buku refrensi Fiqh Mawaris ini.
Buku refrensi Fiqh Mawaris ini ditulis juga merupakan
bagian dari kegiatan dosen untuk pengembangan ilmu
pengetahuan. Buku ini merupakan kumpulan materi kuliah Fiqh
Mawaris yang penulis sampaikan kepada para mahasiswa
Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampun, khususnya
sebagai literatur wajib dalam mata kuliah Fiqh Mawaris, karena
materi kuliah tersebut akan semakin besar mamfaatnya jika
dihimpun dalam satu buku dan disusun dengan bahasa yang
mudah, sederhana, dan dengan sistematika sebagaimana yang
akan diuraikan nanti. Hal ini adalah untuk membantu
mahasiswa memahami masalah Fiqh Mawaris secara cepat
sesuai dengan mata kuliah yang diasuh, dan kepada bangsa
Indonesia yang berminat untuk mempelajari dan memperdalam
hukum warisan Islam, sebagai salah satu koleksi literatur yang
dapat memberikan sumbangan yang positif.
i
i
Berbicara warisan menyalurkan fikiran orang kearah
kejadian penting dalam suatu masyarakat, yaitu ada seorang
anggota dari masyarakat itu yang meninggal dunia. Oleh sebab
itu pengertian “warisan” yaitu suatu cara penyelesaian
perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat, yang
melahirkan kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang
manusia. Justru itu ditegaskan bahwa soal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada ahliwaris yang masih hidup.
Kepada para Fuqahak dan para sarjana yang telah lebih
dahulu menulis ilmu fiqh mawaris ini disampaikan terima kasih
banyak, karena dari karya beliau banyak memberikan aspirasi
kepada penulis untuk menulis buku Fiqh Mawaris ini. Disadari
bahwa penulisan buku ini masih terdapat kekurangan, namun
penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar buku ini dapat
difahami oleh mahasiswa dengan sebaik -baiknya.
Sebagai karya ilmiah yang dirancang sebagai buku refrensi,
buku ini banyak kelemahan dan kekurangannya, kiranya akan
lebih sempurna jika mendapat koreksi dari pembaca yang
budiman. Atas koreksinya, penulis mengucapkan banyak terima
kasih. Kepada Allah SWT juga penulis memohon taufik dan
hidayah-Nya. Semoga buku ini bermamfaat adanya.

Bandar Lampung, Januari 2020

Penulis,
Dra. Firdaweri, M.H.I.

ii
ii
DATAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................ i

DAFTAR ISI .............................................................................. iii

BAB I PENGERTIAN, HUKUM BELAJAR DAN


MENGAJARKAN FIQH MAWARIS, SERTA
HUKUM MEMBAGI HARTA WARISAN ...... 1

A. Pengertian Fiqh Mawarits ............................... 1


B. Hukum Belajar dan Mengajarkan Fiqh
Mawaris .......................................................... 5
C. Hukum Membagi Harta Warisan .................... 6

BAB II DASAR DAN ASAS FIQH MAWARIS


(HUKUM KEWARISAN ISLAM)...................... 11

A. Dasar Atau Sumber Fiqh Mawaris ..................... 13


1. Ayat-Ayat Al-Qur aan Tentang Fiqh
Mawaris ......................................................... 13
a. Ayat-ayat Yang Menerangkan Pokok-
Pokok Fiqh Mawaris ............................. 13
b. Ayat-Ayat Yang Menerangkan Fiqh
Mawaris Secara Golbal ......................... 17
c. Asbabun Nuzul Ayat-Ayat Mawaris ..... 22
d. Makna Kata-Kata Penting ..................... 25
e. Kandungan Hukum................................ 26
2. Hadis-Hadis Tentang Fiqh Mawaris ............. 35

B. Asas-Asas Fiqh Mawaris .................................... 37


1. Pengertian Asas............................................ 37
2. Macam-Macam Asas Fiqh Mawaris ............ 38

iii
iii
BAB III KEWAJIBAN YANG HARUS DISELESAIKAN
TERHADAP HARTA PENINGGALAN ............... 50

A. Membayar Biaya Penyelenggaraan Jenazah ........ 50


B. Membayar Hutang-Hutang Pewaris ..................... 52
C. Melaksanakan Wasiat Pewaris ............................. 56
D. Perbedaan harta peninggalan dan Harta Warisan. 58

BAB IV RUKUN DAN SYARAT MEWARISI ................... 60

A. Rukun – Rukun Mewarisi................................... 60


B. Syarat – Syarat Mewarisi.................................... 68

BAB V SEBAB-SEBAB MEWARISI ................................. 74

A. Sebab - Sebab Mewarisi Pada Zaman Jahiliyah . 74


B. Sebab - Sebab Mewarisi Pada Awal Islam ......... 78
C. Sebab - Sebab Mewarisi Dalam Islam................ 88

BAB VI. CARA PERHITUNGAN PEMBAGIAN


HARTA WARISAN ............................................... 93

A. Itsbatul Furudh ................................................... 93


B. Hijab dan Mahjub ............................................... 93
C. Asal Masalah dan Cara Menghitungnya ............. 101
D. Tashhih Masalah................................................. 105
E. Contoh-Contoh Tashhih Masalah ....................... 108

BAB VII ASHHABUL FURUDH DAN BAGIANNYA ....... 111

A. Pengertian Ashhabul Furudh ............................... 111


B. Ahli Waris Yang Menjadi Ashhabul furudh ....... 111
C. Bagian atau Hak Ahli Waris Ashhabul Furudh ... 112
1. Bagian Suami, Dalil dan Contohnya ........... 112
2. Bagian Isteri, Dalil dan Contohnya ............ 114
3. Bagian Ayah, Dalil dan Contohnya............. 117

iv
iv
4.
Bagian Kakek, Dalil dan Contohnya ........... 119
5.
Bagian Ibu, Dalil dan Contohnya ................ 121
6.
Bagian Nenek, Dalil dan Contohnya ........... 123
7.
Bagian Anak Perempuan, Dalil dan
Contohnya ................................................... 125
8. Bagian Anak Perempuan dari Anak Laki-
Laki (cucu perempuan), Dalil dan
Contohnya ................................................... 127
9. Bagian Saudara Perempuan Kandung,
Dalil dan Contohnya ................................... 131
10. Bagian Saudara Perempuan se Ayah, Dalil
dan Contohnya ........................................... 134
11. dan 12. Bagian Saudara Perempuan dan
Saudara laki-laki se Ibu, Dalil dan
Contohnya ................................................... 137
A. Klasifikasi Bagian Ashhabul furudh .................. 139

BAB VIII AHLI WARIS ASHABAH DAN MACAM-


MACAMNYA ......................................................... 144

A. Pengertian Ashabah ............................................ 144


B. Ashabah Bin Nafsi, Dalil dan Contohnya .......... 144
C. Ashabah Bil Ghairi, Dalil dan Contohnya .......... 148
D. Ashabah Ma’al Ghairi, Dalil dan Contohnya ..... 151

BAB IX MASALAH ‘AUL ................................................... 154

A. Pengertian ‘Aul................................................... 154


B. Contoh Masalah ‘Aul ......................................... 154
C. Dasar Hukum ‘Aul ............................................. 159

BAB X MASALAH RADD .................................................. 160

A. Pengertian Radd ................................................. 160


B. Contoh Masalah Radd ........................................ 160
C. Dasar Hukum Radd ............................................ 161

vv
D. Para Ahli Waris yang Berhak dan yang Tidak
berhak Mendapat Radd, .................................... 163
E. Cara menentukan Asal Masalah Radd ................ 164

BAB XI DZAWIL ARHAM .................................................. 171

A. Pengertian Dzawil Arham ................................. 171


B. Dasar Hukum Dzawil Arham ............................. 171
C. Macam-Macam Dzawil Arham .......................... 172
D. Cara Pembagian Warisan Dzawil Arham ........... 173

BAB XII. HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA .............. 177

A. Bentuk Adat dan Kekeluargaan di Indonesia ........ 177


B. Lembaga Yang Berwenang Menyelesaikan
Perkara Kewarisan di Indonesia ............................ 179
C. Langkah-Langkah Yang Harus Diperhatikan
Sebelum Harta Warisan Dibagi ............................. 186
D. Praktik ................................................................... 188

BAB XIII KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UPAYA


MENJADIKANNYA SEBAGAI UNDANG-
UNDANG ................................................................ 190

A. Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam ................... 191


B. Usaha Menjadikan Kompilasi Hukum Islam
Sebagai Undang-Undang .................................... 193
C. Kompilasi Hukum Islam Buku II Hukum
Kewarisan ........................................................... 194

CONTOH SOAL ........................................................................ 207

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 211

BIODATA PENULIS ................................................................. 215

vi
vi
1
BAB I
PENGERTIAN, HUKUM BELAJAR DAN
MENGAJARKAN FIQH MAWARIS, SERTA HUKUM
MEMBAGI HARTA WARISAN

A. Pengertian Fiqh Mawaris.

Fiqh Mawaris ‫ث‬ ِ ْ‫ فِ ْقهُ الْموا ِري‬adalah kata yang berasal dari
ََ
bahasa Arab, fiqh dan mawaris. Syafi’i Karim menjelaskan
bahwa Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami,
yakni mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil
usaha mempergunakan fikiran yang sungguh-sungguh.1

Daud Ali juga mengemukakan dengan redaksi yang


berbeda, bahwa fiqh adalah memahami dan mengetahui wahyu
(Al-Qur aan dan Al-Hadis) dengan menggunakan penalaran
akal dan metode tertentu, sehingga diketahui ketentuan
hukumnya dengan dalil secara rinci.2

Disamping demikian Imam Syafi’i mengemukakan


bahwa fiqh ialah suatu ilmu yang menerangkan segala hukum
syara’ yang berhubungan dengan amaliyah, dipetik dari dalil-
dalilnya yang jelas (tafshili). Maka dia melengkapi hukum-
hukum yang difahami para mujtahid dengan jalan ijtihad dan
hukum yang tidak diperlukan ijtihad, seperti hukum yang
dinashkan dalam Al-Qur aan, As-Sunnah.3

1 Syafi’i Karim, Fiqh, Ushulul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia,


2001), h.11
2 Daud Ali, Hukum Islam, Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo, 1998), h. 43.


3
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Al-Um, Juz III, (Kairo : Kitab
Al-Sya’bi, 1968), h 39.
2 2

Banyak para ulama yang mengemukakan pendapatnya


mengenai pengertian fiqh. Antara lain Ahmad Hanafi
menjelaskan bahwa fiqh menurut bahasa (lughah) ialah
memahami pembicaraan seseorang yang berbicara. Menurut
Istilah yaitu ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang
amaliyah yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili. Yaitu
ilmu yang diistimbathkan (diambil) dengan jalan pemikiran dan
ijtihad. Dia memerlukan pemikiran dan renungan. Oleh sebab
itu, tidak boleh dinamakan Allah dengan faqih, karena tidak ada
sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.4

Menurut Hazairin dalam bukunya Hukum Kewarisan


Bilateral Menurut Qur aan dan Hadis, beliau menulis fiqh
adalah hasil pemikiran manusia yang dapat melahirkan suatu
norma dengan berdasarkan kepada Al-Qur aan dan As-Sunnah.
Namun karena fiqh sebagai hasil pemikiran manusia, tentunya
mengenal batas-batas tertentu sebagaimana ilmu-ilmu yang lain.
Pemikiran itu berada dalam batas-batas disiplinnya, yaitu
dengan metode dan sumber diatas maka tidak setiap hasil
pemikiran manusia dapat difahami sebagai fiqh.5

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan diatas,


dapat disimpulkan bahwa fiqh itu dipakai dalam dua arti, yaitu:

1. Sebagai nama Ilmu.


2. Sebagai hukum-hukum yang diperoleh dengan jalan
ijtihad dalam menghasilkannya.

4 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1961), h. 7.


5
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur aan dan
Hadis, (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 10.
3 3

Kata mawaris juga berasal dari bahasa Arab, ‫ث‬ ِ ‫ا ْل َم َو ِار ْي‬
adalah bentuk jamak dari ‫ ميراث‬, yang berarti harta peninggalan
yang diwarisi oleh ahli warisnya. Jadi fiqh mawaris adalah
suatu disiplin ilmu tentang harta peninggalan, tentang
bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak
menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-
masing. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy
menjelaskan bahwa fiqh mawaris yaitu:

‫ِع ْلم ي ْع َرف ِب ِه َم ْن يَ ِرث َو َم ْن لَ يَ ِرث َو ِم ْق َدار ك ِل َو ِارث َو َك ْي ِفي ِة الت ْو ِز ْي ِع‬

Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang


yang mewarisi, orang-orang yang tidak mewarisi,
kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris
serta cara pengambilannya.6

Fiqh mawaris kadang-kadang disebut dengan istilah Al-


Faraidh bentuk jamak dari kata fardh, artinya kewajiban atau
bagian tertentu. Apabila dihubungkan dengan ilmu, maka
menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah:

ْ ‫علَي م‬
‫ست َ ِح ِق َها‬ ْ ِ‫ِع ْلم ي ْع َرف بِ ِه َك ْي ِفي ِة ق‬
َ ‫س َم ِة التِ ْر َك ِة‬
Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta
peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang berhak menerimanya.7

Faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan kepada


suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya

6 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris,

(Jakarta : Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 5.


7
Ibnu Rusyd, Analisa Fiqh Para Mujtahid, Juz III, ( Jakarta :
Pustaka Imami, 2002), h.379.
4 4

oleh syara’. Sedangkan ilmu faraidh oleh sebagian faradhiyun


(ahli faraidh) di jelaskan adalah:

َ‫ب اْلم ْو ِص ِل اِلَى َم ْع ِرفَ ِة ذَ ِلك‬


ِ ‫سا‬ ِ ْ‫ث َو َم ْع ِرفَ ِة ا‬
َ ‫لح‬ ِ ‫اَ ْل ِف ْقه اْلمت َعَ ِلق ِبا ْ ِل ْر‬
‫ب ِمنَ التِ ْر َك ِة ِلك ِل ِذ ْى َحق‬ِ ‫لوا ِج‬ َ ْ‫َو َم ْع ِرفَ ِة قَ ْدر ا‬
Ilmu yang berpautan dengan pembagian harta pusaka,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat
menyampaikan kepada pembagian harta pusaka, dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari
harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.8

Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah


untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam seperti faraidh, fiqh
mawaris, hukm al-waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi
karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam
pembahasan.

Didalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat


dalam Al-Qur aan lebih banyak yang ditentukan dibandingkan
dengan yang tidak ditentukan bagiannya, oleh karena itu,
hukum ini dinamai dengan faraidh. Adapun penggunaan kata
mawaris lebih melihat kepada yang menjadi objek dari hukum
ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih
hidup.9

Dalam literatur hukum di Indonesia digunakan pula


beberapa nama yang keseluruhan mengambil dari bahasa Arab,

8 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Maarif, 1981),


h.32.
9 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2008), h. 5.


5 5

yaitu waris, warisan, pusaka dan hukum kewarisan. Yang


menggunakan nama hukum waris, memandang kepada orang
yang berhak menerima harta warisan, yaitu yang menjadi
subjek dari hukum tersebut. Adapun yang menggunakan nama
warisan memandang kepada harta warisan yang menjadi objek
dari hukum tersebut. Karena ada beberapa istilah yang
digunakan, pembahasan selanjutnya akan memakai kata fiqh
mawaris sesuai dengan judul mata kuliah yang menjadi mata
kuliah pokok di Fakultas Syari’ah.

B. Hukum Belajar dan Mengajarkan Fiqh Mawaris

Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-


laki atau perempuan yang tidak memahami fiqh mawaris
(hukum waris Islam), maka wajib hukumnya (dilaksanakan
berpahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya mempelajari
hukum waris Islam. Dan bagi siapa yang telah memahami fiqh
mawaris tersebut, maka ia berkewajiban untuk mengajarkannya
kepada orang lain.

Kewajiban belajar dan mengajarkan fiqh mawaris


dimaksudkan agar dikalangan kaum muslimin khususnya dalam
keluarga sendiri tidak terjadi perselisihan disebabkan masalah
pembagian harta warisan yang mengakibatkan perpecahan
dalam hubungan kekeluargaan kaum muslimin lantaran
ketiadaan ulama ahli faraidh. Ini berdasarkan Hadis:

َ � ‫ع َْن أ َ ِبي ه َري َْرةَ َقا َل َقا َل َرسول �ِ صَلى‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬
: ‫سل َم‬
10 ‫اس َف ِإنِي َم ْقبوض والعلم مرفوع‬ َ ِ‫تَعَلموا ا ْلق ْرآنَ َوا ْل َف َرائ‬
َ ‫ض َوع َِلموا الن‬

10 Maktabah syamilah, sunan tirmizi, Juz 7, hadis No. 2017, hlm. 435.
6 6

Dari Abi Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW


bersabda: Pelajarilah Al-Qur aan dan Faraaidh (Fiqh
Mawaris), dan ajarkanlah kepada manusia. Maka
sesungguhnya aku seorang yang akan mati. Dan ilmu
bakal diangkat. (HR Tirmizi).

Hadis tersebut dapat difahami bahwa betapa pentingnya


mempelajari fiqh mawaris. Dan yang dimaksud “ilmu akan
terangkat” adalah bahwa ilmu yang didapat oleh Rasul dari
wahyu akan hilang, jika Rasul meninggal dunia. Oleh sebab itu
sangat dianjurkan untuk mempelajari fiqh mawaris dan
mengajarkannya kepada orang-orang.

Para Ulama menetapkan bahwa mempelajari fiqh


mawaris hukumnya adalah fardhu kifayah, artinya kalau dalam
suatu masyarakat tidak ada yang mempelajarinya, maka
berdosalah orang-orang dalam masyarakat itu. Akan tetapi, jika
ada yang mempelajari, walau satu dan dua orang saja, maka
terlepaslah semuanya dari dosa.11

Adapun tujuan mempelajari fiqh mawaris ialah agar


masyarakat dapat menyelesaikan masalah harta peninggalan
sesuai dengan ketentuan agama, jangan sampai ada yang
dirugikan dan memakan hak orang lain. Hal ini akan
bermamfaat untuk dirinya dan masyarakat pada umumnya.

C. Hukum Membagi Harta Warisan.

Setiap muslim berkewajiban melaksanakan peraturan-


peraturan hukum Islam yang ditunjuk oleh peraturan-peraturan

Moh.Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai


11

Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 10.


7 7

yang jelas (nash-nash yang sharih) selama peraturan tersebut


tidak ditunjuk oleh dalil nash yang lain yang menunjukkan
ketidak- wajibannya.

Demikian pula hal nya dengan hukum membagi harta


warisan, tidak ada suatu ketentuanpun (nash) yang menyatakan
bahwa membagi harta warisan menurut ketentuannya (faraidh)
itu tidak wajib. Bahkan Allah SWT jelas menetapkan dalam
firman-Nya QS An-Nisaa’(4) ayat 13 dan 14:
َۡ ۡ َۡ َۡ َّٰ َ َ ُ ۡ ۡ ُ ُ َ ُ َ َ َ َ ُ ََ َ ُ ُ ُ َ ۡ
‫ت َترِي مِن َتت َِها ٱۡلن َه َّٰ ُر‬
ٖ ‫ت ِلك حدود ٱّللِِۚ ومن يطِعِ ٱّلل ورسول يدخِله جن‬
َ ُ ُ َ ََََ َ ُ َ َ ََ ُ ‫ِيها ِۚ َو َذَّٰل َِك ۡٱل َف ۡو ُز ٱلۡ َعظ‬ َ ‫َخ َّٰ ِِل‬
ُ‫وده‬ ‫ َو َمن َي ۡع ِص ٱّلل ورسول ويتعد حد‬١٣ ‫ِيم‬ َ ‫ِين ف‬
ٞ ‫ِيها َو َ ُل َع َذ‬
ٞ ‫اب ُّمه‬ ً َ ‫يُ ۡدخِلۡ ُه ن‬
َ ‫ارا َخ َّٰ ِ ِٗلا ف‬
١٤ ‫ني‬ ِ

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-


ketentuan dari Allah. Barang siapa ta’at kepada Allah
dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam
syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah
kemenangan yang besar (Ayat 13). Dan Barang siapa
yang mendurhakai Allah dan Rasulnya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Ny niscaya Allah memasukkannya
kedalam api neraka sedang ia kekal didalamnya, dan
baginya siksa yang menghinakan (Ayat 14). 12

Ketentuan kedua ayat diatas jelas menunjukkan agar


kaum muslimin dalam melaksanakan pembagian harta warisan

Departemen Agama RI, Al-Qur aan dan Terjemahnya,(Jakarta :


12

Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsir Al-Qur aan , 1978), h. 118.


8 8

mesti berdasarkan ketentuan Al-Qur aan. Dan dalam hal ini


Rasulullah SAW lebih memperjelas lagi dalam sabda :

َ � ‫ع َْن اب ِْن عَباس َقال َقا َل َرسول �ِ صَلى‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬
‫سل َم‬
13 � ‫علَى كتَاب‬
ِ ِ ِ َ ‫ض‬ ِ ِ‫ا ْقسِموا ا ْل َما َل بَ ْينَ أَ ْه ِل ا ْلفَ َرائ‬
Bagilah harta pusaka antara ahli-ahli waris menurut
Kitabullah (Al-Qur aan). (HR Muslim)

Namun demikian ada sebagian pendapat yang


mengatakan bahwa pembagian harta warisan boleh tidak
dilaksanakan sebagaimana ketentuan pembagian yang terdapat
dalam Al-Qur aan, yang mana pembagiannya dapat
dilaksanakan dengan jalan musyawarah diantara keluarga.
Pendapat diatas sebenarnya didasarkan kepada pemahaman
tentang sifat-sifat hukum, yang terdiri dari: 1. Hukum yang
memaksa. 2. Hukum yang mengatur.

Disebut sebagai hukum yang memaksa apabila


ketentuan hukum yang ada tidak dapat dikesampingkan.
Maksudnya perintah atau larangan hukum tersebut harus
dilaksanakan, jika tidak dilakukan maka dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melanggar hukum.

Adapun hukum yang mengatur, yaitu teks hukum yang


ada dapat dikesampingkan (tidak dipedomani), seandainya para
pihak berkeinginan lain (sesuai kesepakatan diantara mereka),
dan kalaupun tidak dilaksanakan ketentuan hukum yang ada,
perbuatan tersebut tidak dikategorikan sebagai perbuatan

13
Maktabah Syamilah, Shahih muslim, Juz 8, hadis no. 3030, h.
338.
9 9

melanggar hukum, sebab sifatnya hanya mengatur.14 Bagi yang


berpendapat bahwa pembagian harta warisan itu boleh
menyimpang dari ketentuan Al-Qur aan dan Hadis, disebabkan
menurut pendapat mereka ketentuan pembagian harta warisan
(hukum waris) yang ada dalam teks Al-Qur aan dan hadits
tersebut bersifat sebagai hukum yang mengatur, oleh karena itu
dapat tidak dipedomani atau dapat dikesampingkan apabila para
ahli waris menghendaki lain.

Menurut hemat penulis, bahwa ketentuan tentang


pembagian harta warisan yang terdapat dalam Al-Qur aan dan
hadis adalah ketentuan hukum yang bersifat memaksa, oleh
sebab itu wajib bagi setiap pribadi muslim melaksanakannya.
Jika tidak dilaksanakan maka perbuatan tersebut sudah dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Dalam hal
ini penulis beralasan karena sesuai dengan petunjuk firman
Allah QS An-Nisaa’ (4) ayat 13 dan 14 dan hadis Rasulullah
SAW yang telah dikemukakan diatas. Disamping itu juga
didasari dengan ketentuan Allah SWT dalam QS An-Nisaa’ (4)
ayat 29:
ۡ ُ ُ َ َ ْ ُ ُ ۡ َ َ ْ َ َ َ َ َ ُّ َ َٰٓ َ
٢٩ … ‫امنُوا َل تأكل ٓوا أ ۡم َوَّٰلكم ب َيۡنَكم بِٱل َب َّٰ ِط ِل‬ ‫يأيها ٱَّلِين ء‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…15

Tetapi kalau kita kembali dimana manusia hidup,


mereka telah memakai adat istiadat yang turun temurun dari

14 Suhrawardi K.Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 4.


15 Departemen Agama RI, Op-cit, h. 122.
10 10

nenek moyang, yang melekat didiri masyarakat tersebut, maka


ketika hukum kewarisan yang bersifat memaksa susah untuk
dilaksanakan, pada waktu itu dia bisa berubah menjadi bersifat
mengatur, teks hukum yang ada dapat dikesampingkan, jika
para ahli waris berkeinginan lain, sesuai dengan kesepakatan
diantara mereka untuk mencapai kemashlahatan, karena tujuan
utama dari hukum adalah untuk kemaslahatan umat. Jika tidak
dilaksanakan ketentuan hukum yang ada, perbuatan tersebut
tidak dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum.
Karena fiqh itu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
zaman, tempat, dan keadaan sewaktu hukum itu dilaksanakan.
Hal ini berdasarkan kaidah fiqhiyah:

‫ــودًا َوعَــــــ َد ًم‬


ْ ‫الحكْم يـَــد ْور َم َع ِعلتِه ِوجـ‬
Hukum itu berkisar pada illahnya tentang ada dan
tidaknya.16

‫تَغَيُّر اْألَحْ ك َِام ِبتَغَ ُّي ِر اْأل َ ْز ِمنَ ِة َو اْأل َ ْم ِكنَ ِة َواْأل َحْ َوال‬

Hukum itu bisa berubah disebabkan karena perubahan


zaman, tempat dan keadaan.17

Hukum kewarisan Islam atau Fiqh Mawaris hanya satu


didunia, namun dalam penerapannya dapat beragam sesuai
dengan dimana hukum itu diberlakukan.

16 Asjmuni A.Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqh, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1976), h. 71.


17
Fathi Ridwan, Min Falsafah At-Tasyri’ Al-Islami, (Kairo: Darul
Katib Al-Arabi, 1996), h 177.
11
BAB II
DASAR DAN ASAS FIQH MAWARIS
(HUKUM KEWARISAN ISLAM)

Hukum Islam merupakan hukum Allah. Hukum Allah


menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk melaksanakannya.
Dari segi kehidupan manusia yang diatur Allah tersebut dapat
dikelompokkan kepada dua kelompok. Pertama: Hal-hal yang
berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah
Penciptanya. Aturan tentang ini disebut “hukum ibadat”.
Tujuannya untuk menjaga hubungan antara Allah dengan
hamba-Nya yang disebut juga hablun min Allah. Kedua:
berkaitan dengan hubungan antar manusia dan alam sekitarnya.
Aturan tentang hal ini disebut “hukum mu’amalat”. Tujuannya
menjaga hubungan antara manusia dan alamnya atau yang
disebut hablun min al-nas. Kedua hubungan itu harus tetap
terpelihara agar manusia terlepas dari kehinaan, kemiskinan dan
kemarahan Allah. Allah menegaskan dalam surah Ali Imran (3)
ayat 112 yaitu :

  
 ...        
     
     
    
  

Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada,


kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama)
Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia,…1

Departemen Agama RI, Al-Qur aan dan Terjemahnya, (Jakarta:


1

Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsir Al-Qur aan, 1971), h. 94.


12 12

Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama


manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta
warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat
dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang
yang tentang siapa yang berhak menerimanya, berupa
jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya.
Aturan tentang warisan tersebut ditetapkan Allah
melalui firman-Nya yang terdapat dalam al-quran. Pada
dasarnya ketentuan Allah berkenaan dengan kewarisan jelas
maksud dan arahnya. Berbagai hal yang masih memerlukan
penjelasan, baik yang bersifat menegaskan ataupun yang
bersifat merinci, disampaikan Rasulullah SAW melalui
haditsnya. Walaupun demikian, penerapannya masih
menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasan di kalangan
pakar hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam bentuk
ajaran yang bersifat normatif. Aturan tersebut yang kemudian
ditulis dan diabadikan dalam lembaran kitab fikih serta menjadi
pedoman bagi umat muslim dalam menyelesaikan permasalahan
yang berkenaan dengan warisan.
Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan
syari’at yang ditunjuk oleh nash-nash yang sharih adalah suatu
keharusan. Selama tidak ada nash yang menunjukkan tentang
ketidakwajibannya. Allah menempatkan surga selama-lamanya
untuk orang-orang yang mentaati ketentuan-ketentuan-Nya
termasuk pembagian harta warisan, dan memasukkan ke neraka
untuk selama-lamanya untuk orang-orang yang tidak
mengindahkannya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman Q.S.
An-Nisa’(4) ayat 13 dan 14 sebagai telah tertera sebelum ini.
Dalam ayat-ayat tersebut Allah merinci ketentuan
hukum kewarisan dalam Al-Quran. Ayat-ayat mawaris tersebut
di tutup dengan ancaman keras bagi orang yang melawan Allah
13 13

dan Rasul-Nya dengan melanggar ketentuan yang telah


digariskan-Nya. Ironisnya justru ayat ini sering diabaikan oleh
umat Islam itu sendiri. Pada pasal ini dikemukakan khusus
tentang kajian ayat-ayat Al-Qur aan tentang fiqh mawaris dan
beberapa hadis yang menjelaskan fiqh mawaris tersebut.

A. Dasar Atau Sumber Fiqh Mawaris.


1. Ayat-Ayat Al-Qur aan Tentang Fiqh Mawaris.

Sumber utama dari hukum Islam adalah nash atau teks


yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Adapun ayat-
ayat Al-Quran yang menerangkan fiqh mawaris dapat
diklasifikasikan kepada dua macam yaitu:
a. Ayat-ayat yang menerangkan pokok-pokok fiqh mawaris.
b. Ayat-ayat yang menerangkan fiqh mawaris secara global.

a. Ayat-ayat yang menerangkan pokok-pokok fiqh mawaris


antara lain:

1). Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 11:

    


      
    
   
  

          


     

              
      

           


        
       

     


   
           

 
14 14

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian


pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu: bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.

Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena


kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti
kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (lihat
surat An Nisaa ayat 34).2

2 Ibid, h 117.
15 15

2). Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 12:

  
         
     

  
        
   
     
  

 
   
    
           

  
      
    
     
    

         


       

 
         
   
     
  
   

  
    
          
  

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai
anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu
mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-
16 16

masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.


tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.

Yang dimaksud memberi mudharat kepada waris itu ialah


tindakan-tindakan seperti: a. mewasiatkan lebih dari sepertiga
harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud mengurangi harta
warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat
mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.3

3). Q.S. An-Nisa’ ayat 176 :

     


  
         
     
  

 
                 

  
     
              

    


       
  

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).


Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara

3 Ibid.
17 17

perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan


itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak;
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan
perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.4

Yang dimaksud dengan kalalah ialah: seseorang mati yang tidak


meninggalkan ayah dan anak.

Di dalam ayat-ayat Al-Quran di atas, Allah Swt


memberikan ketentuan-ketentuan tentang nashib (bagian) setiap
ahli waris yang berhak memperoleh harta warisan, dan syarat-
syaratnya. Sebagaimana Dia juga memberikan penjelasan
tentang keadaan dimana seorang berhak mendapat pembagian
harta warisan, dan keadaan dimana ia tidak mendapatkannya,
kapan ia memperoleh bagian secara al-fardh (sesuai yang telah
ditentukan), kapan ia memperoleh bagian secara ‘ashabah
(seluruh harta warisan atau sisanya), atau kedua-duanya. Dan
kapan pula ia menjadi Mahjub (terhalang) untuk memperoleh
harta warisan, baik secara keseluruhan atau sebagiannya
(terkurangi jumlah bagiannya).

4 Ibid, h 153.
18 18

b. Ayat-ayat yang menerangkan fiqh mawaris secara


global.

Ayat-ayat ini menunjukkan tentang hak-hak ahli waris


tanpa rincian bagiannya. Ayat-ayat tersebut antara lain adalah:

1). Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 7 :

 
     
      

         


   
 

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta


peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang Telah ditetapkan.5

2). Q.S. An-Nisa’ ayat 8:

    


  
  
       

  
  

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat,


anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka
dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik.

5 Ibid, h. 116.
19 19

Yang dimaksud kerabat di sini adalah kerabat yang tidak


mendapat harta warisan. Dan yang dimaksud pemberian
sekedarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan.6

3). Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 9 :

      


      
  

    
      
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-
anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.7

4). Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 10 :

  
       
    

  


Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala (neraka).8

5). Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 13 dan ayat 14.

Kedua ayat ini telah dijelaskan pada Bab I diatas.

6 Ibid.
7
Ibid.
8 Ibid.
20 20

6). Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 19 :

 …            


  
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa ...9

Ayat Ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak


dengan jalan paksa dibolehkan. menurut adat sebahagian Arab
Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang
tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu.
janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan
orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak
dibolehkan kawin lagi.

7). Q.S. Al-Anfal (8) ayat 72 :

  
            
  

     


    
   
    
    

   
   
   
  
       

  
       
   
 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan


berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya
pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-
orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-
melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman,

9 Ibid, h.119
21 21

tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban


sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka
berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta
pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan)
agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan
kecuali terhadap kaum yang Telah ada perjanjian
antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.

Yang dimaksud lindung melindungi ialah: di antara


muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang amat teguh,
untuk membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan
dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada
pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka
bersaudara kandung.10

8). Q.S. Al-Anfaal (8) ayat 75:

   
   
         

    


    
       
   

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian


berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang
itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.

10 Ibid, h. 273.
22 22

Maksudnya: yang jadi dasar waris mewarisi dalam Islam ialah


hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan
sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada
permulaan Islam.

9). Q.S. Al-Ahzab (33) ayat 6 :

 
  
    
  
  
  
   …

   
       
     
  

 

... dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah


satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam
Kitab Allah dari pada orang-orang mukmim dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat
baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah
yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).

Yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah berwasiat yang


tidak lebih dari sepertiga harta.11 Ayat-ayat ini bersifat mujmal
atau global yang rinciannya dipaparkan Allah Swt pada ayat-
ayat yang menerangkan pokok-pokok fiqh mawaris di atas.

c. Asbabun Nuzul Ayat-Ayat Mawaris.

Ibnu Taimiyah mengemukakan, bahwa mengetahui


Asbabun Nuzul (sebab-sebab turun) suatu ayat Al-Quran dapat
membantu dalam memahami pesan-pesan yang dikandung ayat
tersebut. Karena pengetahuan tentang Asbabun Nuzul suatu ayat

11 Ibid, h. 667
23 23

dapat memberikan dasar yang kokoh dalam menyelami


kandungan ayat tersebut.12 Pandangan Ibnu Taimiyah tersebut
disadari oleh kaum muslimin yang ingin memahami pesan-
pesan yang dikandung oleh setiap ayat Al-Quran. Disini
dikemukakan sebab-sebab turun ayat-ayat kewarisan. Tidak
semua ayat kewarisan ada sebab turunnya tertulis dalam
riwayat, sebagiannya adalah berdasarkan peristiwa, situasi,
kondisi, di saat ayat itu turun, tetapi susah ditemukan di dalam
literatur. Diantara asbabun nuzul ayat-ayat kewarisan yang ada
riwayatnya:

1). Asbabun Nuzul QS. An-Nisaa’(4) ayat 11-12 adalah :

a). Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah


Saw disertai Abu Bakar berjalan kaki menengok Jabir bin
Abdillah sewaktu sakit keras di kampung Bani Salamah,
ketika di dapatkannya tidak sadarkan diri, beliau minta air
untuk berwudhu dan memercikkan air kepadanya, sehingga
sadar lalu berkatalah Jabir : “Apa yang tuan perintahkan
kepadaku tentang harta bendaku ?” maka turunlah ayat
tersebut di atas sebagai pedoman pembagian harta waris.
(Diriwayatkan oleh Imam yang enam, yang bersumber dari
Jabir bin Abdullah). 13
b) Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa orang jahiliah
tidak membagikan harta waris kepada wanita dan anak
laki-laki yang belum dewasa atau yang belum mampu
berperang. ketika Abdurrahman (Saudara Hassan bin
Tsabit, ahli syair yang mashur) wafat, ia meninggalkan

12 H.A.A. Dahlan, M.Zaka Al-Farisi (Editor Edisi Kedua), Asbabun

Nuzul, (Bandung : CV Diponegoro, 2000), h.1


13 Ibid, h.130
24 24

seorang istri bernama Ummu Kuhhah dan lima orang putri.


Maka datanglah keluarga suaminya mengambil harta
bendanya, berkatalah Ummu Kuhhah kepada Nabi Saw
mengadukan halnya. Maka turunlah ayat 11 QS. An-Nisaa’
diatas yang mengaskan hak waris bagi anak-anak wanita,
dan ayat 12 QS. An-Nisaa’ yang menegaskan hak waris
bagi istri. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber
dari As-Suddi)14

2). Asbabun Nuzul QS. An-Nisa’ ayat 176 adalah :

Dalam riwayat dikemukakan bahwa Umar pernah


bertanya kepada Nabi Saw tentang pembagian waris
Kalalah, maka Allah menurunkan ayat ini (QS. An-
Nisaa’(4) ayat 176) sebagai pedoman pembagian waris.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari
Umar ).15

3). Asbabun Nuzul QS. An-Nisa’ ayat 7 adalah :

Asbabun Nuzul ayat ini adalah dalam suatu riwayat


dikemukakan bahwa kebiasaan kaum jahiliah tidak
memberikan harta waris kepada anak wanita dan anak laki-
laki yang belum dewasa. Ketika seorang Ansar bernama
Aus bin Tsabit wafat dan meninggalkan dua orang putri
serta seorang anak laki-laki yang masih kecil, datanglah
dua anak pamannya, yaitu Khalid dan Arfathah yang
menjadi Ashabah (Ahli waris yang hanya mendapat sisa
warisan setelah dibagikan kepada ahli waris yang
mendapat bagian tertentu). Mereka semua mengambil

14
Ibid, h.131
15 Ibid.
25 25

semua harta peninggalannya. Maka datanglah istri Aus bin


Tsabit kepada Rasulullah untuk menerangkan kejadian itu,
Rasulullah Saw bersabda : “Saya tidak tahu apa yang
harus saya katakan”, maka turunlah ayat 7 QS. An-Nisa’
sebagai penjelasan tentag hukum waris dalam Islam.
(Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan Ibnu Hibban di
dalam Kitab Al-faraidl (Ilmu waris), dari Al-Kalbi, dari
Abu Shalih, yang bersumber dari Ibnu Abbas.)16

d. Makna Kata-Kata Penting.

ِّ ِ ‫كر مِ ثْ ُل ح‬
1) ‫َظ األ ْنثَيَي ِْن‬ ِ َّ‫( لِلذ‬QS. An-Nisaa’(4) ayat 11)
Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah
karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan,
seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi
nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
2) ‫( فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن‬Q.S. An-Nisa’ : 11)
Lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai
dengan yang diamalkan Nabi.
3) ‫َار‬
ِّ ‫غي َْر ُمض‬ َ - (Q.S. An-Nisa’ : 12)
Memberi mudharat kepada waris, ialah tindakan-
tindakan seperti:
a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka.
b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta
warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada
niat mengurangi hak waris, juga tidak
diperbolehkan.
َ ْ
4) ‫ الكَالل ِة‬- (Q.S. An-Nisa’ : 176)

16 Ibid, h.128
26 26

Kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan


ayah dan anak.
5) ‫ أُولُو ا ْلقُ ْربَى‬- (Q.S. An-Nisa’ : 8)
Kerabat di sini maksudnya: kerabat yang tidak
mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka.
6) ُ‫ فَ ْارزُ قُو ُه ْم مِ ْنه‬- (Q.S. An-Nisa’ : 8)
Pemberian sekedarnya itu tidak boleh lebih dari
sepertiga harta warisan.
7) ‫ َم َوال َِي‬- (Q.S. An-Nisa’ : 33)
Lihat orang-orang yang termasuk ahli waris dalam surat
An Nisaa' ayat 11 dan 12.
8) ‫ أ َ ْولَى بِبَ ْعض فِي‬- (Q.S. Al-Anfal : 75)
Maksudnya: yang jadi dasar waris mewarisi dalam
Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan
persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi
antara Muhajirin dan Anshar pada permulaan Islam.
9) َ‫ النَّ ِب ُّي أ َ ْولَى ِبا ْل ُمؤْ مِ نِين‬- (Q.S. Al-Ahzab : 6)
Maksudnya: orang-orang mukmin itu mencintai nabi
mereka lebih dari mencintai diri mereka sendiri dalam
segala urusan.
10) ‫ َم ْع ُروفًا‬- (Q.S. Al-Ahzab: 6)
Yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah
berwasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta.17

e. Kandungan Hukum.

Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya berkata,


“Ayat-ayat mawaris tersebut merupakan salah satu tiang agama,
17
Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat Al-Ahkam, (Kairo :
Muhammad Ali Shabih, tt), Juz II, h. 42
27 27

tonggak hukum Islam, serta induk ayat-ayat Al-Qur’an.


Karena, faraidh merupakan ilmu yang sangat tinggi derajatnya
dan bahkan merupakan separoh dari ilmu keislaman.
Sebagaimana telah disabdakan Rasulullah saw :

“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah ia kepada umat


manusia, pelajarilah ilmu Faraidh dan ajarkanlah ia
kepada umat manusia karena aku (sebagai manusia) akan
wafat dan sesungguhnya ilmu Faraidh ini akan dicabut
[dengan wafatnya para ahli ilmu ini]. Kemudian, akan
timbul fitnah karena ketika terjadi pertentangan antara dua
orang dalam masalah bagian harta waris, mereka tidak
menemukan orang yang mampu memutuskan perkara
itu.”18

Selanjutnya Al-Qurthubi berkata, “Jika hal ini sudah


jelas, maka ketahuilah bahwa ilmu Faraidh merupakan ilmu
yang banyak ditekuni para sahabat serta menjadi perhatian
utama mereka. Namun sayang, kebanyakan manusia kini telah
menyia-nyiakannya.19

Adapun kandungan hukum ayat-ayat mawaris antara lain :

1). Firman Allah SWT Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 11.

ِّ ِ ‫كر ِمثْ ُل ح‬
... ‫َظ األ ْنثَيَي ِْن‬ ِ َّ‫ لِلذ‬...

Ayat tersebut menunjukkan hukum kewarisan untuk anak laki-


laki dan anak perempuan, sebagaimana berikut ini :

18 Muhammad Ali As-Shabuni.Prof, Hukum Kewarisan Menurut

Al-Quran Dan Sunnah, (Jakarta : Darul Kutub, 2005), h. 18


19
Abu Abdillah Muhammad Al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam
Al-Quran (Kairo :Darul Kutub, tt), Juz V, h.56
28 28

a). Jika pewaris (mayit) hanya meninggalkan ahli waris seorang


anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka seluruh
harta warisan dibagikan untuk keduanya, dimana anak laki-
laki mendapatkan dua bagian dan anak perempuan satu
bagian.

b). Jika ahli waris terdiri dari beberapa orang anak laki-laki
dan beberapa orang anak perempuan maka bagian laki-laki
dua kali bagian perempuan.

c). Jika bersama anak laki-laki dan perempuan tersebut


terdapat ahli waris lain yang berhak memperoleh bagian
secara pasti (ashhabul furudh) seperti suami-istri atau ibu-
bapak, maka berikan terlebih dahulu bagian ashhabul
furudh, baru kemudian sisanya dibagikan kepada anak-
anak dimana anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak
perempuan.

d). Jika pewaris hanya meninggalkan ahli waris seorang anak


laki-laki saja, maka ia berhak memperoleh seluruh harta
warisan. Walaupun hal ini tidak dijelaskan di dalam ayat
mawaris secara sharih, tetapi dapat dipahami dari firman
Allah SWT “Anak laki-laki mendapat bagian dua anak
perempuan”, dan dalam firman Allah SWT, “Jika anak
perempuan hanya seorang, maka ia berhak mendapat
separoh.” Berdasarkan kedua ayat ini dapat disimpulkan
bahwa jika ahli waris hanya seorang anak laki-laki saja,
maka ia berhak mendapat seluruh harta warisan.

e). Anak dari anak laki-laki (cucu) pewaris, dapat menempati


kedudukan anak kandung pewaris dalam hal memperoleh
harta warisan, jika anak kandung tidak ada. Karena firman
29 29

Allah SWT, “Allah mensyariatkan kepadamu tentang


(pembagian warisan untuk) anak-anakmu.” Meliputi anak
kandung dan anak-anak dari anak laki-laki (cucu) hingga
keturunannya. Hal ini telah menjadi ijma’ ulama.

Syari’at Islam membedakan pembagian harta warisan


kepada perempuan dan laki-laki, karena terdapat hikmah yang
banyak sekali, di antaranya ialah :

a). Segala kebutuhan dan biaya hidup perempuan menjadi


tanggung jawab laki-laki.
b). Perempuan tidak dibebani kewajiban memberikan nafkah
kepada siapapun, berbeda dengan laki-laki.
c). Biaya hidup yang dikeluarkan oleh laki-laki, demikian juga
kewajiban-kewajiban finansial mereka jauh lebih besar.
d). Laki-laki, ketika akan menikah harus membayar mahar
(maskawin) kepada calon istrinya, dan sesudah berkeluarga
dibebani kewajiban memberikan nafkah kepada istri dan
anak-anaknya.
e). Laki-laki juga wajib membiayai pendidikan anak-anaknya,
dan pengobatan istri serta anak-anaknya, dimana hal ini
tidak dibebankan kepada perempuan.
Semakin banyak biaya yang dipikul seseorang, maka
semakin besar tanggung jawabnya, sesuai dengan keadilan
ssemakin berhak ia mendapatkan bagian yang lebih banyak.
Meskipun Islam memberikan bagian kepada laki-laki dua kali
bagian perempuan namun pada hakikatnya Islam telah
melimpahkan karunianya kepada perempuan lebih banyak
memperoleh kesejahteraan dari pada laki-laki, karena
perempuan turut menikmati harta warisan laki-laki tanpa
dibebani tanggung jawab sedikitpun. Mereka hanya mengambil
30 30

bagian tanpa harus mengeluarkan. Mereka dapat menyimpan


hartanya tanpa ada keharusan nafkah, serta tanpa harus
menanggung beban kehidupan.

2). Firman Allah SWT Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 11.

ِ ‫الس ُد‬ ٍِِ ِِ


ْ‫س مما تَ َر َك إِ ْن َكا َن لَهُ َولَ ٌد فَِإ ْن ََل‬ُ ُّ ‫وألبَ َويْه ل ُك ِِّل َواحد م ْن ُه َما‬... َ
ِ َ‫ث فَِإ ْن َكا َن لَه إِ ْخوةٌ ف‬
ِ‫ألمه‬ ِ ِ
ُ ُ‫ألمه الثُّل‬ ِ
ِّ َ ُ ِّ َ‫يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َوَورثَهُ أَبَ َواهُ ف‬
....‫س‬
ُ ‫الس ُد‬
ُّ
Ayat tersebut menunjukkan hukum kewarisan untuk kedua
orang tua, sebagaimana berikut :

a). Ibu dan bapak, masing-masing berhak memperoleh bagian


seperenam (1/6) jika pewaris mempunyai keturunan yang
berhak memperoleh pembagian harta warisan.
b). Jika pewaris tidak mempunyai anak atau cucu, maka ibu
berhak memperoleh sepertiga (1/3) dari harta yang
ditinggalkan, sedangkan sisanya yakni dua pertiga (2/3)
diberikan kepada ayah. Hal ini didasarkan pemahaman
ayat di atas, karena Allah SWT menyebutkan bagian ibu
sepertiga (1/3) tanpa menyebutkan bagian ayah. Dengan
demikian dipahami bahwa ayah berhak memperoleh sisa
bagian yakni dua pertiga (2/3).
c). Jika pewaris juga mempunyai beberapa orang saudara
(laki-laki atau perempuan, dua orang atau lebih), maka ibu
memperoleh bagian seperenam (1/6), sedangkan sisanya
yakni lima perenam (5/6) diberikan kepada ayah.
Sementara, para saudara pewaris tidak berhak memperoleh
pembagian harta waris karena mereka terhalang oleh ayah.
31 31

3). Firman Allah SWT Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 11.

…‫ني ِِبَا أ َْو َديْ ٍن‬ ِ ٍِ ِ ِ


َ ‫…م ْن بَ ْعد َوصيمة يُوص‬
Ayat tersebut diatas, secara tekstual menunjukkan
bahwa wasiat didahulukan atas hutang-piutang mayit, padahal
yang harus dilakukan justru kebalikannya, yakni hutang
didahulukan atas wasiat. Dengan demikian hutang-hutang
mayit dilunasi terlebih dahulu, baru kemudian wasiatnya
dilaksanakan. Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah
saw.

Diriwayatkan, bahwa Ali bin Abi Thalib berkata,


“Kalian membaca firman Allah SWT, dan Rasulullah SAW
telah memutuskan bahwa hutang dibayar terlebih dahulu
sebelum wasiat dilaksanakan.” Hikmah mendahulukan
pembayaran hutang daripada melaksanakan wasiat adalah
karena hutang itu selamanya menjadi tanggungan orang yang
berhutang baik sebelum wafat maupun sesudahnya. Agar orang
tidak meremehkan masalah wasiat dan ahli waris tidak
berkeberatan untuk melaksanakannya, maka Allah
mendahulukan penyebutan wasiat daripada hutang.

4). Firman Allah SWT Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 11.

…‫ب لَ ُك ْم نَ ْف ًعا‬ َ…
ُ ‫آَب ُؤُك ْم َوأَبْ نَا ُؤُك ْم ال تَ ْد ُرو َن أَيُّ ُه ْم أَقْ َر‬
Allah SWT menegaskan bahwa Dialah Zat yang
menetapkan pembagian harta warisan dan tidak menyerahkan
kepada manusia. Karena manusia tidak mampu mewujudkan
keadilan secara sempurna walaupun mereka menginginkannya.
Mereka tidak dapat melakukan pembagian secara adil seperti
32 32

yang dilakukan Allah SWT karena mereka tidak mengetahui


keadaan orang tua dan anaknya, siapa diantara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya kepada simayat.

5). Firman Allah SWT Q.S. An-Nisaa’(4) ayat 12.

‫اج ُك ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن ََلُ من َولَ ٌد فَِإ ْن َكا َن ََلُ من َولَ ٌد‬


ُ ‫ف َما تَ َر َك أَ ْزَو‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫َولَ ُك ْم ن‬
‫الربُ ُع ِمما‬
ُّ ‫ني ِِبَا أ َْو َديْ ٍن َوََلُ من‬ ِ ٍِ ِ ِ ِ ُّ ‫فَ لَ ُكم‬
َ ‫الربُ ُع مما تَ َرْك َن م ْن بَ ْعد َوصيمة يُوص‬ ُ
‫تَ َرْكتُ ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَِإ ْن َكا َن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَ لَ ُه من الث ُُّم ُن ِمما تَ َرْكتُ ْم‬
... ‫وصو َن ِِبَا أ َْو َديْ ٍن‬ ٍِ ِ ِ
ُ ُ‫م ْن بَ ْعد َوصيمة ت‬
Ayat ini menerangkan hukum kewarisan suami-istri, masing-
masing dari keduanya berada dalam dua keadaan yaitu:

Bagian Suami :

a). Jika istri wafat dan tidak meninggalkan anak atau cucu yang
berhak memperoleh bagian harta warisan, maka bagian
suami adalah separoh (1/2).

b). Jika istri wafat dan meninggalkan anak atau cucu yang
berhak memperoleh bagian harta warisan, maka suami
adalah seperempat (1/4).

Bagian Istri :

a) Jika suami wafat dan tidak meninggalkan anak atau cucu


yang berhak memperoleh bagian harta warisan, maka
bagian seorang / beberapa orang istri seperempat (1/4).
33 33

b). Jika suami wafat dan meninggalkan anak atau cucu yang
berhak memperoleh bagian harta warisan, maka bagian
seorang / beberapa orang istri adalah seperdelapan (1/8).

c). Dengan membandingkan bagian suami dan istri dalam


berbagai keadaan, dapat diketahui bahwa Allah SWT
dalam kitab suci Al-Qur’an selalu memberikan bagian
lelaki dua kali bagian perempuan karena alasan atau
hikmah yang telah dijelaskan sebelum ini.

6). Firman Allah SWT Q.S. An-Nisaa’ (4), ayat 12.

ِ ‫ت فَلِ ُك ِل و‬
‫اح ٍد‬ َ ِّ ٌ َ‫ث َكاللَةً أَ ِو ْام َرأَةٌ َولَهُ أ‬
ٌ ‫خ أ َْو أُ ْخ‬ َ ُ‫َوإِ ْن َكا َن َر ُج ٌل ي‬
ُ ‫ور‬
‫ث‬ِ ُ‫ك فَ ُهم ُشرَكاء ِِف الثُّل‬ ِ ِ ِ ‫الس ُد‬ ِ
ُ َ ْ َ ‫س فَإ ْن َكانُوا أَ ْكثَ َر م ْن َذل‬ ُ ُّ ‫م ْن ُه َما‬
Yang dimaksud dengan saudara di sini adalah saudara
lelaki dan saudara perempuan seibu, bukan saudara sekandung
dan juga bukan saudara seayah. Hal ini didasarkan pada
sebagian qiraat tsabitah, yaitu qiraat Sa’ad bin Abi Waqqas,

“Tetapi mempunyai seorang saudara lelaki atau


saudara perempuan seibu”

Bagian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibut :

a). Jika ahli waris seorang saudara lelaki atau perempuan


seibu, maka ia dapat bagian seperenam (1/6).

b). Jika ada dua orang atau lebih saudara seibu laki-laki atau
perempuan, maka mereka berhak memperoleh sepertiga
(1/3) harta warisan yang dibagi secara merata (sama)
antara laki-laki dan perempuan berdasarkan firman Allah
34 34

SWT “Maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu.”


Bersekutu menuntut adanya persamaan. Karena itu,
berdasarkan ayat ini, laki-laki mendapatkan bagian yang
sama dengan perempuan, bukan dua kali lipat darinya.

7). Firman Allah SWT Q.S. An-Nisaa’ (4), ayat 12

Ayat ini menunjukkan bahwa wasiat atau hutang yang


dapat menimbulkan mudharat bagi ahli waris tidak wajib
dilaksanakan. Yang dimaksud mudharat dalam wasiat adalah
jika mayit berwasiat lebih dari sepertiga (1/3) hartanya.
Sedangkan yang dimaksud mudharat dalam hutang-piutang
adalah jika pewaris membuat pengakuan bahwa ia mempunyai
hutang kepada seseorang, kenyataannya tidak. Hal ini hanya
dimaksudkan untuk mengurangkan bagian pada ahli waris.

8). Firman Allah SWT Q.S. An-Nisaa’ : 176.

Bagian saudara laki-laki dan perempuan sekandung


atau seayah :
a). Jika seorang wafat dan meninggalkan seorang saudara
perempuan sekandung atau seayah serta tidak mempunyai
anak atau orang tua, maka ia berhak memperoleh separoh
(1/2) harta warisan.
b). Jika seorang wafat dan meninggalkan dua orang atau lebih
saudara perempuan sekandung atau seayah serta tidak
mempunyai anak atau orang tua, maka mereka berhak
memperoleh dua pertiga (2/3) harta warisan.
c). Jika seorang wafat dan meninggalkan lebih dari dua
saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung atau
seayah (serta tidak mempunyai anak atau orang tua), maka
35 35

mereka berhak memperoleh seluruh harta warisan, dengan


pembagian laki-laki dua kali pembagian perempuan.
d). Jika seorang saudara perempuan sekandung wafat dan
tidak meninggalkan anak dan orang tua, maka saudara laki-
lakinya sekandung berhak memperoleh seluruh harta
warisan. Jika saudara laki-laki sekandung lebih dari satu
orang, mereka berhak memperoleh seluruh harta warisan
yang dibagi secara merata sesuai dengan jumlah orangnya.
Demikian pula hukum saudara lelaki dan perempuan seayah
ketika tidak terdapat saudara lelaki atau saudara perempuan
sekandung.

2. Hadis-Hadis Tentang Fiqh Mawaris.

Diantara hadis Rasul SAW yang mengatur masalah fiqh


mawaris, selain yang telah tertera pada bab I diatas, antara lain:

20 ‫ُود ُوِِّرث‬
ُ ‫استَ َه مل ال َْم ْول‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلم َم ق‬
ْ ‫ال إِ َذا‬ ‫صلمى م‬ ِِّ ِ‫َع ْن أَِِب ُه َريْ َرة َع ْن الن‬
َ ‫مب‬
Dari Abu Hurairah r a, Nabi SAW bersabda : Bila
menangis (hidup) bayi yang dilahirkan, dia menjadi
ahli waris.

‫ث ال ُْم ْسلِ ُم الْ َكافِ َر‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلم َم ق‬


ُ ‫ال َال يَ ِر‬ ‫صلمى م‬ ‫ُس َامةَ بْ ِن َزيْ ٍدأَ من النِ م‬
َ ‫مب‬ َ ‫َع ْن أ‬
21 ‫رث الْكافِر الْمسلِم‬
َ ْ ُ ُ َ ُ ِ َ‫َوَال ي‬
Dari Usamah bin zaid, Nabi Muhammad SAW
bersabda : Orang Islam tidak dapat mewarisi harta

20 Maktabah Syamilah, Sunan Abu Daud, Juz 8, Hadis No. 2531, h.


132.
21
Maktabah Syamilah, Shahih Muslim, Juz 8, Hadis No. 3027, h.
334.
36 36

orang kafir dan orang kafirpun tidak dapat mewarisi


harta Islam. (HR Muslim).

ُ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلم َم يَ ُق‬


‫صلمى م‬ ِ‫ول م‬ ُ ‫َّن ََِس ْع‬ ِ ‫ال عُمر ر‬
‫س‬
َ ‫ول ل َْي‬ َ ‫اَّلل‬ َ ‫ت َر ُس‬ ِِّ‫اَّللُ َع ْنهُ أ‬
‫ض َي م‬ َ ُ َ َ َ‫ق‬
َ ُ ْ‫لِ َقاتِ ٍ َ ْ ٌ َ م‬
22 ‫ل شيء لَورث تك‬

Umar r a berkata : Aku Mendengar Rasulullah SAW


bersabda : Tidak ada warisan bagi orang yang
membunuh.

َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلم َم ق‬


‫ال أَ ْْلُِقوا‬ ‫صلمى م‬ َ ‫مب‬ ِِّ ِ‫اَّللُ َع ْن ُه َما َع ْن الن‬
‫ض َي م‬ ِ ‫اس ر‬
َ ٍ ‫َع ْن ابْ ِن َعبم‬
ٍ ‫ض ِِب َْهلِ َها فَ َما بَِقي فَ ُه َو ِأل َْو ََل َر ُج ٍل ذَ َك‬
23‫ر‬ ِ
َ ‫الْ َف َرائ‬
َ
Dari Ibnu Abbas r a, Nabi SAW bersabda : Berikanlah
bagian-bagian tertentu kepada orang yang berhak,
maka yang tinggal (sisanya) berikanlah untuk waris
laki-laki yang paling dekat.

ِ ‫ت ِم ْنهُ َعلَى الْمو‬


‫ت فَأ َََتِّن‬ ً ‫ت ِِبَ مكةَ َم َر‬
ُ ‫ضا فَأَ ْش َف ْي‬ ُ‫ض‬ْ ‫ال َم ِر‬ َ َ‫اص ق‬ ٍ ‫َس ْع ِد بْ ِن أَِِب َوقم‬
َْ
ِ ِ ِ‫ول م‬ ُ ‫ودِّن فَ ُقل‬ُ ُ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلم َم يَع‬
‫صلمى م‬
‫س‬ ً ‫اَّلل إ من ِِل َم ًاال َكث‬
َ ‫ريا َول َْي‬ َ ‫ْت ََي َر ُس‬ َ ‫مب‬ ُّ ِ‫الن‬
‫ْت‬
ُ ‫ال َال قُ ل‬ ‫ْت فَال م‬
َ َ‫شط ُْر ق‬ ُ ‫ال قُل‬ َ َ‫ال َال ق‬َ َ‫ص مد ُق بِثُلُثَ ْي َم ِاِل ق‬
َ َ‫يَ ِرثُِِن إِمال ابْ نَ ِِت أَفَأَت‬

22
Maktabah Syamilah, Musnad Ahmad, Juz I, Hadis No. 329,
h. 333.
Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, Juz 20, Hadis No.
23

6235, h. 454.
37 37

ِ ‫ت ولَ َد َك أَ ْغنِياء َخ‬ ِ ُ ُ‫ال الثُّل‬


ً‫ْتَك ُه ْم َعالَة‬
ُ ْ َ‫ري م ْن أَ ْن ت‬
ٌْ َ َ َ َ ‫ك إِ ْن تَ َرْك‬
َ ‫ري إِنم‬
ٌ ‫ث َكب‬ ُ ُ‫الثُّل‬
َ َ‫ث ق‬
24 ... ‫ي تك مففون النماس‬
َ َ ُ َ ََ
Sa’id bin Abi Waqas berkata : Saya pernah sakit di
Mekkah, sakit yang membawa kematian, Saya
dikunjungi oleh Nabi SAW, Saya ber tanya kepada Nabi
: Ya Rasulullah, saya memiliki harta yang banyak, tidak
ada yang akan mewarisiku kecuali seorang anak
perempuan, bolehkah saya sedekahkan dua
pertiganya?, Nabi menjawab : Tidak, saya bertanya
lagi : Seperduanya?, Nabi menjawab : Tidak. Saya
bertanya lagi : Sepertiganya ?, Nabi menjawab :
Sepertiga sudah besar (banyak), sesungguhnya jika
kamu meninggalkan keluargamu berkecukupan itu
lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam
keadaan berkekurangan sampai meminta-minta kepada
orang lain.

B. Asas-Asas Fiqh Mawaris.

1. Pengertian Asas.

Perkataan asas berasal dari bahasa Arab, asasun.


Artinya dasar,basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem
berfikir, yang dimaksud asas adalah landasan berfikir yang
sangat mendasar. Dalam bahasa Indonesia asas mempunyai arti:
pokok, esensi, dasar, fondamen, basis, prinsip.25 Jika kata asas

24 Maktabah Syamilah, Shahiah Bukhari, Juz 20, Hadis No. 6236, h.


456.
M.D.J. Al-Barry, dkk, Kamus Peristilahan Modern dan Populer,
25

(Surabaya : Indah, 1996), h. 34.


38 38

dihubungkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas


adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir
dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan
pelaksanaan hukum yang berfungsi sebagai rujukan untuk
mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.
Dengan demikian asas hukum Islam adalah berasal dari sumber
hukum Islam terutama Al-Qur aan dan Hadis yang
dikembangkan oleh akal fikiran orang yang memenuhi syarat
untuk berijtihad.26

Asas-asas Fiqh Mawaris disebut juga dengan asas-asas


Hukum Kewarisan Islam atau yang lazim disebut Faraid dalam
literatur hukum Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan
Hukum Islam yang mengatur peralihan harta dari orang yang
telah meninggal kepada orang yang masih hidup. Hukum
Kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang
memperlihatkan bentuk karakteristik tersendiri, disamping
mempunyai corak yang berbeda dengan hukum kewarisan lain.

2. Macam-Macam Asas Fiqh Mawaris.

Dalam pembahasan ini dikemukakan lima asas yang


berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara
pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang
diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas
tersebut adalah :
a). Asas Ijbari,
b). Asas bilateral,
c). Asas individual,
26 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan

Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), h


126.
39 39

d). Asas keadilan berimbang,


e). Asas semata akibat kematian.

a). Asas Ijbari.

Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang


telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan
sendirinya tanpa usaha dari orang yang akan meninggal atau
kehendak yang akan menerima. Cara peralihan seperti ini
disebut secara ijbari.

Kata ijbari secara bahasa mengandung arti paksaan,


yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Asas ijbari
dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa
peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah
SWT tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau
permintaan dari ahli warisnya. Unsur paksaan sesuai dengan arti
terminologis tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris
terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya
sesuai dengan yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan
kewarisan menurut Hukum Perdata (BW) yang peralihan hak
kewarisan tergantung kepada kemauan pewaris serta kehendak
dan kerelaan ahli waris yang akan menerima. Jadi tidak berlaku
dengan sendirinya.

Adanya unsur ijbari dalam sistem kewarisan Islam


tidak memberatkan orang yang menerima waris (ahli waris),
karena menurut ketentuan hukum Islam ahli waris hanya berhak
menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban
memikul hutang yang ditinggalkan oleh pewaris. Kewajiban
40 40

hanya sekedar menolong membayarkan hutang pewaris dengan


harta yang ditinggalkannya, dan tidak berkewajiban melunasi
hutang tersebut dengan harta nya sendiri. Hal ini berbeda
dengan Hukum Kewarisan menurut Hukum Perdata (BW),
Menurut BW diberikan kemungkinan untuk tidak menerima hak
kewarisan, karena jika menerima akan membawa akibat
menanggung risiko untuk melunasi hutang pewaris.27

Adanya asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam


dapat dilihat dari beberapa segi :
(1). Dari segi pewaris,
(2). Dari segi peralihan harta,
(3). Dari segi jumlah harta yang beralih,
(4). Dari segi penerima peralihan harta itu (ahli waris).

(1). Dari segi pewaris,

Ijbari dari segi pewaris mengandung arti bahwa


sebelum meninggal ia tidak dapat menolak peralihan harta
tersebut. Apapun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka
kemauannya itu dibatasi oleh ketentuan yang telah ditetapkan
Allah SWT. Oleh karena itu sebelum meninggal ia tidak perlu
memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya,
karena dengan kematian itu secara otomatis hartanya beralih
kepada ahli warisnya, baik ahli waris itu suka atau tidak.

(2). Dari segi peralihan harta.

Unsur ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa


harta orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan

27
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa,
1977), h 84.
41 41

dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Oleh sebab itu


kewarisan dalam Islam diartikan dengan “peralihan harta”,
bukan “pengalihan harta”, karena pada peralihan berarti beralih
dengan sendirinya sedangkan pada “pengalihan” tampak ada
usaha seseorang. Asas ijbari dalam peralihan ini pewaris tidak
perlu menjanjikan sesuatu sebelum ia meninggal, begitu pula
ahli waris tidak perlu meminta haknya. Harta warisan akan
beralih dengan sendirinya.

(3). Dari segi jumlah harta yang beralih.

Bentuk ijbari dari segi jumlah harta berarti bahwa


bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas
ditentukan oleh Allah SWT, sehingga pewaris maupun ahli
waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi
bagian yang telah ditentukan itu. Setiap pihak terikat kepada
apa yang telah ditentukan itu. Asas ijbari dalam peralihan ini
dapat dilihat firman Allah SWT QS An-Nisaa’ (4) ayat 7 yang
telah disebutkan diatas. Ayat ini menjelaskan bahwa bagi
seorang laki-laki maupun perempuan ada “nasib” dari harta
peninggalan orang tua dan karib kerabatnya. Kata “nasib”
berarti bagian. Yaitu bagian dari jumlah harta yang ditinggalkan
oleh sipewaris. Kemudian adanya kata “mafrudhan” yang
secara etimologi berarti telah ditentukan atau telah
diperhitungkan. Kata-kata tersebut dalam terminology ilmu fiqh
berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah SWT kepada
hambanya. Maka maksudnya adalah sudah ditentukan
jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa secara
mengikat dan memaksa.

(4). Dari segi penerima peralihan harta itu (ahli waris).


42 42

Bentuk ijbari dari penerima peralihan harta itu berarti


bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah
ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan
manusiapun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan
orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak. Adanya unsur
ijbari dari segi ahli waris ini sebagaimana dijelaskan Allah
SWT dalam QS An-Nisaa’ (4) ayat 11, 12 dan 176 diatas.

b). Asas Bilateral.

Asas bilateral dalam Hukum Kewarisan Islam


mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada ahli
warisnya melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat,
yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak garis
keturunan perempuan. Asas bilateral ini dapat secara nyata
dilihat dari firman Allah SWT yang telah dikemukakan diatas
antara lain dijelaskan dalam QS An-Nisaa’(4) ayat 11 yaitu :

(1). Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua


orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki
dengan bandingan seorang anak laki-laki menerima
sebanyak yang didapat dua orang anak perempuan.

(2). Ibu berhak menerima warisan dari anaknya yang lakilaki


maupun perempuan, begitu pula ayah sebagai ahli waris
laki-laki berhak menerima warisan dari anak-anaknya, baik
laki-laki, maupun perempuan sebesar seperenam bagian,
bila pewaris meninggalkan anak.

Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa kewarisan itu


beralih kebawah, yaitu anak laki dan perempuan. Beralih ke
43 43

atas, yaitu ayah dan ibu. Beralih kesamping yaitu saudara-


saudara yaitu laki-laki dan perempuan. Inilah yang dinamakan
kewarisan secara bilateral.

c). Asas Individual.

Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara


individual, dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi
untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris
menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli
waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam
nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah
tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak
menurut kadar bagian masing-masing. Setiap ahli waris berhak
atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat
dengan ahli waris yang lain. Setiap ahli waris berhak menuntut
secara sendiri-sendiri harta warisan itu dan berhak pula untuk
tidak berbuat demikian.

Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dari


aturan-aturan Al-Qur aan yang menyangkut pembagian harta
warisan itu sendiri. Dalam QS An-Nisaa’(4) ayat 7, secara garis
besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak
menerima warisan dari orang tua dan karib kerabatnya terlepas
dari jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan.
Pembagian secara individual ini adalah ketentuan yang
mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan
sanksi berat diakhirat bagi yang melanggarnya sebagaimana
dijelaskan Allah SWT dalam QS AN-Nisaa’ ayat 13 dan 14.

Bila telah terlaksana pembagian secara terpisah untuk


setiap ahli waris, maka untuk seterusnya ahli waris memiliki
44 44

hak penuh untuk menggunakan harta tersebut. Tetapi ada


diantara ahli waris yang tidak memenuhi ketentuan untuk
bertindak atas hartanya, seperti belum dewasa, maka harta
warisan yang diperolehnya berada dibawah kuasa walinya dan
dapat dipergunakan untuk belanja kebutuhan sehari-hari anak
tersebut. Hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT QS An-
Nisaa’(4) ayat 5, yang menyatakan tidak bolehnya menyerahkan
harta kepada safih, orang yang dalam ayat ini berarti “belum
dewasa”.

Dengan memperhatikan bahwa pada suatu sisi setiap


ahli waris berhak secara penuh atas harta yang diwarisinya, dan
disisi lain terdapat ahli waris yang tidak berhak mengelola
hartanya sebelum ia dewasa, maka ahli waris yang telah dewasa
dapat saja tidak memberikan harta warisan secara individual
kepada ahli waris yang belum dewasa itu. Dalam kasus seperti
ini saudara tertua diantara beberapa orang yang bersaudara
(yang belum dewasa) dapat menguasai sendiri harta bersama
untuk sementara. Walaupun demikian sifat individualnya harus
tetap diperhatikan dengan mengadakan perhitungan terhadap
bagian masing-masing ahli waris, yaitu memelihara harta orang
yang belum pantas mengelola hartanya, kemudian
mengembalikan harta itu saat yang berhak telah cakap
menggunakannya. Tidak ada pihak yang dirugikan dengan cara
tersebut, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam
QS An-Nisaa’ (4) ayat 2:

        


        

    


   
45 45

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah


balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-
tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar.28
Bila keadaan menghendaki bisa saja warisan tidak
dibagi-bagikan. Misalnya seorang suami meninggal dunia
dengan meninggalkan seorang isteri dan anak-anak yang masih
kecil. Apapun alasannya, dalam keadaan seperti ini, harta
warisan tidak dibagikan demi kemashlahatan para ahli waris itu
sendiri. Yang lebih penting tidak dibagi-bagikan warisan itu
tidak menghapuskan hak mewarisi para ahli waris yang
bersangkutan.29

Menghilangkan bentuk individualnya dengan jalan


mencampur adukkan harta warisan tanpa perhitungan dan
dengan sengaja menjadikan hak kewarisan itu bersifat kolektif
berarti menyalahi ketentuan yang disebutkan diatas. Hal
tersebut akan mengakibatkan pelakunya terkena sangsi
sebagaimana yang disebutkan di akhir QS surat An-Nisaa’ (4)
ayat 2, yaitu “dosa yang besar”.

d). Asas keadilan berimbang.

Kata adil merupakan kata bahasa Indonesia yang


berasal dari bahasa Arab al-‘adlu / ‫ العدل‬. Hubungannya dengan
masalah kewarisan, kata tersebut dapat diartikan keseimbangan
antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara yang
28 Departemen Agama RI, Op-cit, h. 114.
29
Rahmat Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, (Jakarta : Citra Aditya Bakti, 1999), h. 5.
46 46

diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Sebagaimana


laki-laki, perempuan pun mendapatkan hak yang sama kuat
untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan
dalam QS An-Nisaa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-
laki dan perempuan dalam hal mendapatkan warisan. Pada ayat
11, 12, dan 176 surat An-Nisaa’ secara rinci diterangkan
kesamaan kekuatan hak menerima antara laki-laki dan
perempuan. Ayah dan ibu (ayat 11), suami dan isteri (ayat 12),
saudara laki-laki dan saudara perempuan (ayat 12 dan 176).

Tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki dan


perempuan terdapat dua bentuk :

(1). Laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan


perempuan, seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat
seperenam dalam keadaan pewaris meninggalkan anak
kandung, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat An-
Nisaa’(4) ayat 11. Begitu pula saudara laki-laki dan
saudara perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam
kasus pewaris adalah seseorang yang tidak memiliki ahli
waris lansung sebagaimana dijelaskan dalam surat An-
Nisaa’(4) ayat 12 diatas

(2). Laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali


lipat dari yang didapat oleh perempuan, yaitu anak laki-
laki dengan anak perempuan dijelaskan dalam surat An-
Nisaa’(4) ayat 11, dan saudara laki-laki dengan saudara
perempuan dijelaskan dalam surat An-Nisaa’ ayat 176.
Dalam QS An-Nisaa’(4) ayat 12 di jelaskan bahwa duda
mendapat dua kali bagian yang diperoleh oleh janda yaitu
1/2 banding 1/4 bila pewaris tidak ada meninggalkan anak,
dan 1/4 banding 1/8 bila pewaris ada meninggalkan anak.
47 47

Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat


menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan
tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan
dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah
yang didapat saat menerima waris, tetapi juga dikaitkan
kepada kegunaan dan kebutuhan. Secara umum dapat
dikatakan pria membutuhkan lebih banyak materi
dibandingkan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria dalam
ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya
sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita.
Sebaliknya wanita menerima warisan adalah untuk dirinya
sendiri, karena dia tidak bertanggung jawab untuk memberi
nafkah kepada suaminya. Inilah keadilan dalam konsep
Islam.

Umur juga tidak menjadi faktor yang membedakan hak


ahli waris. Dilihat dari segi kebutuhan sesaat yaitu waktu
menerima hak, terlihat bahwa kesamaan jumlah penerimaan
antara anak kecil yang belum dewasa dengan orang yang telah
dewasa tidaklah adil, karena kebutuhan orang dewasa lebih
besar dari kebutuhan anak kecil. Tetapi peninjauan tentang
kebutuhan bukan hanya bersifat sementara yaitu pada waktu
menerima saja, tetapi juga dalam jangka waktu yang lama. Dari
tinjauan ini anak kecil mempunyai kebutuhan material yang
lebih lama dari pada orang dewasa. Bila dihubungkan besar
keperluan orang dewasa dengan lamanya keperluan anak kecil
dan dikaitkan pula kepada perolehan yang sama dalam hak
kewarisan, maka hasilnya ialah kedua pihak akan mendapatkan
kadar mamfaat yang sama atas harta yang mereka terima.
Inilah keadilan hakiki dalam pandangan Islam.
48 48

e). Asas semata akibat kematian.

Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta


pewaris kepada ahli waris dengan menggunakan istilah
kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta
meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak
dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang
mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala
bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara
lansung, maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk
kedalam istilah kewarisan menurut hukum Islam. Fiqh Mawaris
atau Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk
kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata.

Pada asas tersebut menggambarkan bahwa Fiqh


Mawaris hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu
kewarisan sebagai akibat dari adanya kematian, dan tidak
mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada saat
pewaris masih hidup. Prinsip asas tersebut erat kaitannya
dengan asas ijbari. Apabila seseorang telah memenuhi syarat
sebagai subjek hukum, pada hakikatnya ia dapat bertindak
sesuka hatinya terhadap seluruh kekayaannya. Akan tetapi
kebebasan itu hanya pada waktu ia masih hidup saja. Ia tidak
mempunyai kebebasan untuk menentukan nasib kekayaannya
setelah ia meninggal dunia. Meskipun seseorang mempunyai
kebebasan untuk berwasiat, tetapi terbatas hanya sepertiga dari
keseluruhan kekayaannya.

Demikian asas Hukum Kewarisan Islam yang


menunjukkan karakteristiknya. Dengan demikian dapat ditarik
perbedaan antara hukum kewarian Islam dengan sistem
49 49

kewarisan lain, meskipun terlihat beberapa titik ada


kesamaannya. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’ah


yang ditunjuk oleh Nash yang sharih adalah suatu
keharusan, antara lain mentaati ketentuan pembagian harta
warisan, justru mempelajari ayat-ayat hukum kewarisan
merupakan kewajiban agar terhindar dari kesalahan diwaktu
pembagian harta warisan.
2. Ayat-ayat hukum kewarisan dapat diklasifikasikan kepada,
a. Ayat-ayat yang menerangkan pokok-pokok hukum
kewarisan
b. Ayat-ayat yang menerangkan hukum kewarisan secara
global.
3. Kandungan hukum ayat-ayat pokok hukum kewarisan
terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 11, 12 dan 176.
Sedangkan yang menerangkan hukum kewarisan secara
global terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 7, 8, 9, 10, 13,
14, 19, 33 dan surat Al-Anfal ayat 72, 75 serta surat Al-
Ahzab ayat 6.
50
BAB III
KEWAJIBAN YANG HARUS DISELESAIKAN
TERHADAP HARTA PENINGGALAN

Jika seorang meninggal dunia sebelum harta


peninggalannya dibagi-bagikan kepada ahli warisnya, terlebih
dahulu harus diselesaikan hak-hak yang bersangkut paut dengan
harta peninggalan itu.
A. Membayar Biaya Penyelenggaraan Jenazah.
B. Membayar Hutang-Hutang Pewaris.
C. Melaksanakan atau Membayar Wasiat Pewaris.

A. Membayar Biaya Penyelenggaraan Jenazah.

Biaya penyelenggaraan jenazah dalam istilah fiqh


mawaris dikenal dengan nama tajhiizul mayit ( ‫) تجهيز الميت‬
adalah segala yang diperlukan oleh seseorang yang meninggal
dunia mulai dari wafatnya sampai kepada penguburannya.
Diantara kebutuhan tersebut antara lain biaya memandikan,
mengkafankan, menguburkan, dan segala yang diperlukan
sampai diletakkan ketempat yang terakhir. 1 Semua biaya
penyelenggaraaan jenazah tersebut jika tidak ada yang
menanggungnya harus diambilkan dari hartanya sendiri. Hal ini
berdasarkan hadis Rasul SAW :

‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َخ َّر َر ُج ٌل ِم ْن‬


َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬‫اع ْن النِ ِي‬ َّ ‫ض َي‬
َ ‫اَّللُ َع ْن ُه َم‬ ِ ‫اس ر‬
َ ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
2 ‫ر وك ِفنوه ِف ثوبيه‬ ٍ ِ ِ ِ
ُ ُ ‫ال ا ْغ ِسلُوهُ ِِبَاء َو ِس ْد ٍ َ َ ي‬ َ ‫ات فَ َق‬ َ ‫بَع ِريه فَ ُوق‬
َ ‫ص فَ َم‬

1 Al-Sayid Saabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz III, ( Beirut : Dar Al-Fikri,

1983), h. 452.
2
Maktabah Syamilah, Shahih Muslim, Juz 6, Hadis No. 2092, h.
195.
51 51

Dari Ibnu Abbas ra., Dari Nabi SAW: Seseorang


terjatuh dari untanya, lalu meninggal dunia, Nabi
bersabda: Mandikanlah dengan air dan harum dan
kafanilah dengan dua helai kainnya.

Mengeluarkan biaya penyelenggaraan jenazah harus


menurut cara yang ma’ruf, yaitu tanpa berlebih-lebihan dan
tanpa terlalu kurang, harus menurut ukuran yang wajar. Karena
jika berlebihan mengurangi hak ahli waris dan jika sangat
kurang mengurangi hak si mayit. Walaupun biaya ini untuk
kepentingan jenazah dan diambilkan dari hasil usahanya ketika
ia masih hidup, namun tidak boleh berlebih-lebihan, harus
menurut batas yang wajar. Kewajaran dalam hal ini termasuk
keumuman firman Allah SWT Q S Al-Furqaan (25) ayat 67 :

   


    
        

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),


mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara
yang demikian.3

Pemberian makan dan minum terhadap orang-orang


ta’ziah, mengadakan selamatan tiga hari, tujuh hari, empat
puluh hari, dan sebagainya bukan merupakan sebuah kewajiban
yang harus dilaksanakan dalam tuntunan agama, tetapi hal ini
lebih didasarkan kepada tradisi. Biayanya harus meminta
persetujuan semua ahli warisnya. Apalagi kalau pewaris
meninggalkan anak-anak yang masih kecil (anak yatim). Kalau

Departemen Agama RI, Al-Qur aan dan Terjemahnya, (Jakarta :


3

Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsir Al-Qur aan, 1971), h. 568.


52 52

biaya tersebut dibebankan kepada harta warisan, akan berakibat


mengurangi hak-hak anak yatim dalam memperoleh harta
warisan. Memakan harta anak yatim dengan jalan yang tidak
dibenarkan oleh agama, diancam oleh Allah SWT dengan
ancaman api neraka terhadap dirinya.

B. Membayar Hutang-Hutang Pewaris.

Hutang adalah merupakan tanggungan yang wajib


dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah diterima oleh
seseorang. Jika si pewaris meninggalkan hutang yang belum
dibayar ketika ia masih hidup, baik yang berkaitan dengan
sesama manusia, maupun hutang kepada Allah SWT. Hutang
tersebut harus dilunasi dari harta peninggalan si mayat setelah
dikeluarkan biaya penyelenggaraan jenazahnya. Melunasi
hutang-hutang itu adalah termasuk kewajiban yang utama demi
untuk membebaskan pertanggungan jawabnya dengan orang
yang memberinya hutang di akhirat nanti. Rasul SAW
menjelaskan bahwa :

‫س‬
ُ ‫ال نَ ْف‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
ُ ‫ال ََل تَ َز‬ َّ ‫صلَّى‬ ‫َع ْن أَِِب ُه َريْ َرةَ َع ْن النِ ِي‬
َ ‫َّب‬
4. ‫ن آدم معلَّقة بِدينِ ِه حَّت ي قضى عنه‬
ُ ْ َ َ ْ ُ َّ َ ْ َ ً َ َ ُ َ َ ِ ْ‫اب‬
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda : Senantiasa
diri anak Adam tersangkut disebabkan utangnya,
sehingga utang itu dibayar.

Hutang-hutang manusia dapat diklasipikasikan menjadi dua


macam, yaitu :

4
Maktabah Syamilah, Musnad Ahmad, Juz 21, Hadis No. 10194, h.
238.
53 53

1. Hutang kepada Allah ) ‫) دين هللا‬. Seperti mengeluarkan zakat,


pergi haji dan pembayaran kafarah, dan sebagainya. Hal ini
disebut dengan hutang secara majazi bukan secara haqiqy,
karena kewajiban untuk menunaikan hal tersebut bukan
sebagai imbalan dari suatu prestasi yang pernah diterimanya,
tetapi sebagai pemenuhan kewajiban yang dituntut sewaktu
dia masih hidup.

2. Hutang kepada manusia )‫ ( دين العباد‬adalah merupakan suatu


tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari
prestasi yang pernah dia terima sewaktu masih hidup.

Para fuqaha’ (ahli hukum Islam) berbeda bendapat


tentang yang harus didahulukan pelunasannya, jika seseorang
meninggal dunia yang mempunyai kedua macam hutang
tersebut, sedangkan harta peninggalannya tidak mencukupi
untuk membayar penuh tiap-tiap macam hutang itu. Mengenai
ini ada beberapa pendapat :

a. Ibnu Hazm berpendapat bahwa dainullah harus


didahulukan dari pada dainul ‘ibad. Hal ini berdasarkan
Sabda Rasul:

‫اَّللُ َعلَْي ِه‬


َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َّ ‫اَّللُ َع ْن ُه َما أ‬ ِ ‫اس ر‬
َ ‫اَّلل‬ َ ‫ت َر ُس‬ْ َ‫َن ْام َرأَ ًة أَت‬ َّ ‫ض َي‬ َ ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
ِ ْ‫ال أَرأَي‬
‫ت ل َْو َكا َن َعلَْي َها‬ َ َ ‫ص ْو ُم َش ْه ٍر فَ َق‬ َ ‫ت َو َعلَْي َها‬ ْ َ‫َت إِ َّن أ ِيُمي َمات‬
ْ ‫َو َسلَّ َم فَ َقال‬
ِ ‫اَّلل أَحق ِِبلْ َقض‬
ِ ِ ‫ت تَ ْق‬
ِ ‫َديْن أَ ُك ْن‬
َ َّ ‫ال فَ َديْ ُن‬
5.‫اء‬
َ َ َ‫َت نَ َع ْم ق‬ْ ‫ضينَهُ قَال‬ ٌ

Dari Ibnu Abbas r a, Seorang perempuan datang


kepada Rasul SAW dan bertanya : Sesungguhnya ibuku

5 Maktabah Syamilah, Shahih Muslim, Juz 6, Hadis No. 1936, h. 6.


54 54

meninggal dunia, dia mempunyai hutang puasa satu


bulan. Rasul menjawab : Bagaimana pendapatmu jika
ibumu punya hutang ?, apakah kamu bayarkan
hutangnya?. Perempuan tersebut menjawab : iya. Rasul
berkata lagi : Hutang kepada Allah lebih berhak
dibayarkan.

Berdasarkan hadis ini, Ibnu Hazm berpendapat bahwa hutang


kepada Allah harus lebih dahulu dibayar dari pada hutang
kepada manusia jika harta peninggalan si mayat tidak
mencukupi.

b. Hanafiyah berpendapat bahwa hutang kepada manusia


harus didahulukan membayarnya dari pada hutang kepada
Allah. Mereka berdalil :

1). Sebab hutang kepada Allah itu gugur akibat kematian


seseorang dengan alasan bahwa peristiwa kematian itu
menghilangkan kemampuan bertindak dan menghilangkan
tuntutan pembebanan. Oleh karena itu ahli waris tidak
wajib untuk melunasinya, kecuali kalau mereka bermaksud
baik atau kalau si mati mewasiatkan kepada ahli waris agar
membayarnya. Maka wasiat dia itu berfungsi sebagai
wasiat yang tidak boleh lebih dari 1/3 harta peninggalan
setelah dikurangi biaya penyelenggaraan jenazah dan
pelunasan hutangnya kepada manusia.

2). Karena Allah itu kaya sedangkan manusia fakir, oleh sebab
itu manusia memerlukan untuk dibayar piutangnya,
sedangkan Allah tidak perlu pelunasan.
55 55

c. Hanabilah berpendapat bahwa memandang sama antara


hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia.
Mereka berdalil dengan Q S An-Nisaa’ (4) ayat 11 :

       


…   …

…(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah


dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya…

Kata “dain” dalam ayat mencakup pengertian hutang kepada


manusia dan hutang kepada Allah. Jika harta peninggalan tidak
mencukupi untuk membayar seluruh hutangnya, hendaklah
dibagi menurut perbandingan kedua macam hutang tersebut.

Bila hutangnya banyak, sehingga menghabiskan semua


harta peninggalannya, maka semua hartanya dikeluarkan untuk
melunasinya. Bila harta peninggalan tidak cukup untuk
melunasinya, maka dibayarkan kepada pemberi hutang sesuai
dengan perimbangan kadar piutangnya, tanpa memberatkan
kekurangan itu kepada ahli warisnya. Hutang seseorang tidak
dibebankan kepada ahli warisnya, tetapi ahli waris juga tidak
bebas begitu saja, karena akan merugikan pihak pemberi
hutang. Dalam keadaan yang demikian, maka tindakan yang
paling bijaksana untuk tidak memberati orang yang mati dan
tidak merugikan orang yang memberi hutang ialah dengan cara
musyawarah, adanya kerelaan dari pihak ahli waris untuk
melunasi hutang pewaris semampunya, atau adanya kerelaan
56 56

dari pihak pemberi hutang untuk merelakan kekurangan


pembayaran hutang tersebut.6

C. Melaksanakan Wasiat Pewaris.

Wasiat adalah memberikan hak memiliki sesuatu secara


sukarela yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya
peristiwa kematian atau pesan seseorang untuk memberikan
sesuatu kepada orang lain, diberikan setelah dia meninggal
dunia.7 Dalilnya antara lain Q S Al-Maa idah (5) ayat 106 :

   


           

 
    
   
  
    
   

   
 ...  

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang


kamu menghadapi kematian, sedang dia akan
berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh
dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang
yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam
perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya
kematian....

Diperintahkan mengambil dua orang saksi dalam memberikan


wasiat, hal ini menunjukkan pentingnya masalah wasiat. Jika

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, ( Jakarta : Kencana


6

Prenada Media Group, 2008), h. 283.


7 Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam

Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,


2009), h. 55.
57 57

saksi-saksi tersebut tidak ada yang bergama Islam dibolehkan


mengambil saksi orang lain yang tidak seagama.

Besarnya jumlah wasiat yang akan dilaksanakan adalah


tidak boleh lebih dari 1/3 harta peninggalan setelah dikurangi
biaya pengurusan jenazah dan setelah dibayar seluruh hutang-
hutang si mati. Hal ini ditegaskan Rasul SAW dalam sabdanya :

‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َ َ‫َع ْن َع ِام ِر بْ ِن َس ْع ٍد َع ْن أَبِ ِيه ق‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫اء ََن َر ُس‬َ ‫ال َج‬
‫ْت بَلَ َغ ِِب َما تَ َرى َوأ َََن‬ ُ ‫ودِِن ِم ْن َو َج ٍع ا ْشتَ َّد ِِب َزَم َن َح َّج ِة الْ َو َد ِاع فَ ُقل‬ ُ ‫يَ ُع‬
‫لشطْ ِر‬ َّ ‫ْت ِِب‬ ُ ‫ال ََل قُل‬ َ َ‫ص َّد ُق بِثُلُثَ ْي َم ِاِل ق‬ ٍ ‫ذُو َم‬
َ َ‫ال َوََل يَ ِرثُِِن إََِّل ابْ نَةٌ ِِل أَفَأَت‬
‫اء َخ ْريٌ ِم ْن‬ ِ َ َ‫ع ورثَت‬
َ َ‫ك أَ ْغني‬ َ َ َ ‫ري أَ ْن تَ َد‬
ِ ُ ُ‫ال الث ل‬
ٌ ‫ث َكث‬ َ َ‫ث ق‬ ُ ُ‫ْت الث ل‬ ُ ‫ال ََل قُل‬َ َ‫ق‬
8...‫أَن تذرهم عالة ي تك َّففون النَّاس‬
َ ُ َ ََ ً َ َ ْ ُ َ َ َ ْ
Dari ‘Amir bin Said dari bapaknya, dia berkata :
Rasullah SAW datang kepadaku buat menjengukku
pada tahun haji wada’disebabkan aku dapat sakit
keras, kemudian aku berkata : Ya Rasulullah,
sesungguhnya penyakit yang engkau lihat ini telah
bersangatan rasanya olehku, sedang aku mempunyai
harta, dan tidak ada mewarisiku selain dari pada
seorang anak perempuan. Apakah boleh aku
sedekahkan (washiatkan) dua pertiga dari hartaku ?,
Sabdanya : Tidak, Aku berkata : Seperduanya ya
rasulullah ?, Sabdanya : Tidak. Aku berkata :
Sepertiganya ?, Sabdanya : Sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya engkau tinggalkan waris-waris engkau

Maktabah Syamilah, Shahih Bukhary, Juz 17, Hadis No.


8

5236, h. 415.
58 58

kaya, lebih baik dari engkau tinggalkan mereka itu


miskin, meminta-minta kepada manusia. …

Manusia selalu bercita-cita supaya amal perbuatannya


didunia diakhiri dengan kebajikan untuk menambah amal
taqarrub (mendekatkan diri) nya kepada Allah SWT, atau untuk
menambah kekurangan perbuatannya sewaktu dia masih hidup.
Wasiat disyari’atkan untuk memenuhi kebutuhan orang lain,
karena didalam wasiat terdapat unsur pemindahan hak milik
dari seseorang kepada orang lain seperti dalam waris mewarisi.
Hanya saja pemindahan hak milik tersebut tidak boleh lebih
dari 1/3 harta peninggalan setelah dikurangi kewajiban-
kewajiban biaya penyelenggaraan jenazah dan biaya pembayar
hutangnya, karena agar tidak merugikan para ahli waris.

D. Perbedaan Harta Peninggalan dan Harta Warisan.

Harta peninggalan adalah seluruh harta yang


ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, sebelum
dikurangi kewajiban-kewajiban yang harus dibayar dengan
harta peninggalan tersebut, yaitu biaya penyelenggaraan
jenazah, biaya pembayar hutang-hutangnya, dan biaya untuk
melaksanakan wasiatnya.

Sedangkan harta warisan adalah harta peninggalan oleh


orang yang meninggal dunia setelah dikurangi kewajiban-
kewajiban yang harus dibayar dengan harta peninggalan
tersebut. yaitu biaya penyelenggaraan jenazah, biaya pembayar
hutang-hutangnya, dan biaya untuk melaksanakan wasiatnya.
Sisa harta peninggalan tersebut baru menjadi harta warisan.
Sebagai contoh dapat dilihat permasalahan dibawah ini :
59 59

Seorang meninggal dunia, setelah ditotal hartanya


berjumlah 100 jt. Biaya berobat 10 jt, dan penyelenggaraan
jenazahnya 5 jt. Zakatnya yang belum dibayar 5 jt. Beliau
berwasiat 1/4 hartanya untuk panti asuhan . Berapa wasiat yang
harus dibayarkan, dan berapa harta warisan ?

Contoh Jawaban :

Harta peninggalan = 100 jt.


Biaya penyelenggaraan jenazah = 5 jt.
Biaya berobat = 10 jt.
Bayar zakat = 5 jt.
Jumlah pengeluaran = 20 jt.
Sisa harta 100 jt – 20 jt = 80 jt.
Wasiatnya 1/4 x 80 jt = 20 jt.
Harta warisan 80 jt – 20 jt = 60 jt.

Contoh yang lain dilihat permasalahan berikut ini :

1. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta 60 jt. Beliau


berwasiat 20 Jt. Sedangkan dia mempunyai hutang 10 jt, dan
biaya penguburan 5 jt. Berapa wasiat yang boleh dibayarkan
?, dan Berapa harta warisan pewaris ?

2. Seorang meninggal dunia, mempunyai hutang di BRI 60 jt.


Hutang tersebut diasuransikan. Beliau berwasiat 1/3
hartanya. Biaya rumah sakit 1,5 jt. Biaya beli tanah kuburan
dan penyelenggaraan jenazah 3,5 jt. Jumlah harta yang
ditinggalkan 65 jt. Selesaikan masalah ini berapa jumlah
harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya,
dan berapa jumlah wasiatnya ?.
60
BAB IV
RUKUN DAN SYARAT MEWARISI

A. Rukun-Rukun Mewarisi.

1. Harta Warisan ( ‫) موروث‬.


2. Orang yang Meninggalkan Harta Warisan / Pewaris ( ‫) مورث‬.
3. Orang yang mewarisi atau Ahli Waris ( ‫) اهل الوارث‬.

1. Harta Warisan ( ‫) موروث‬.

Harta warisan (mauruuts) adalah harta benda yang


ditinggalkan simayat yang akan diwarisi oleh para ahli waris
setelah di keluarkan biaya perawatan dan penyelenggaraan
jenazah, melunasi hutang dan melaksanakan wasiat.1

Harta peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut tirkah,


yaitu semua yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dunia berupa harta secara mutlak. Tetapi Jumhur Fuqaha’
berpendapat bahwa tirkah ialah segala yang menjadi milik
seseorang, baik harta benda maupun hak-hak kebendaan yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia. Seperti hak
menarik piutang, royalty dari buku yang diterbitkan oleh
penerbit, hak sewa kontrakan dan lain-lainnya.

Di Indonesia struktur masyarakatnya berbeda dengan


masyarakat Arab, dimana kitab-kitab fiqh disusun berdasarkan
ijtihad ulama pada waktu menyusunnya dengan memahami
kandungan syari’at, tentu saja memungkinkan adanya
perbedaan dalam menentukan harta peninggalan (tirkah)

1
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, PT Almaarif, 1971), h.
36.
61 61

tersebut. Didalam beberapa literatur yang berkaitan dengan


masalah kewarisan, tidak pernah disinggung tentang harta mana
saja yang termasuk harta suami dan harta isteri yang akan di
bagi-bagi oleh ahli warisnya jika dia meninggal dunia. Karena
dalam penerapannya di masyarakat Indonesia sering
menimbulkan kesan bahwa semua harta adalah milik suami
dengan alasan yang bertanggung jawab dalam rumah tangga
adalah suami, maka semua harta adalah milik suami, dengan
dalil Q S An-Nisaa’(4) ayat 34 :

    
   
          
  

 …    
  

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,


oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka…. 2

Jika dilihat suasana masyarakat Indonesia yang berbeda dengan


masyarakat Arab dimana kitab fiqh ditulis, maka tentu
kepemilikan terhadap harta juga berbeda. Karena ada beberapa
Ulama Indonesia yang menentukan bahwa harta yang diperoleh
dari hasil pencarian selama perkawinan merupakan milik
bersama yang masing-masing mempunyai bagian.

Pada umumnya di Indonesia, rumah tangga (keluarga)


memiliki 4 macam harta, yaitu :

Departemen Agama RI, Al-Qur aan dan Terjemahnya,(Jakarta:


2

Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsir Al Qur aan, 1971), h. 123.


62 62

a. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan sebagai hasil


usaha masing-masing, harta ini dinamakan harta bawaan.
Menurut UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, harta
ini ditetapkan dalam penguasaan masing-masing pihak.

b. Harta yang didapat saat mereka menikah, diberikan kepada


kedua mempelai. Harta ini mungkin berupa modal usaha
atau perabot rumah tangga atau rumah tempat tinggal suami
isteri. Dan mungkin saja ada harta yang khusus diberikan
kepada salah satu suami atau istri. Jadi kepemilikan harta
tersebut tergantung untuk siapa harta itu diberikan.

c. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlansung, tetapi


karena hibah, atau warisan dari orang tua mereka atau
keluarga. Harta tersebut dikuasai oleh masing-masing suami
atau istri yang menerima hibah dan warisan tersebut.

d. Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama


atau usaha salah seorang suami isteri disebut harta
pencarian, di Jawa disebut gono gini,

Menurut hukum adat di Indonesia, jika salah seorang


meninggal dunia, atau terjadi perceraian maka harta no. a dan c
kembali kepada masing-masing pihak. Baik harta tersebut
diperolehnya sebelum maupun sesudah perkawinan. Harta
tersebut adalah merupakan harta kekayaan masing-masing
secara terpisah dari harta yang lain.

Adapun harta yang no.b adalah mungkin menjadi milik


bersama suami isteri, atau mungkin milik suami saja, atau
mungkin milik isteri saja, tergantung kepada siapa harta itu
diberikan.
63 63

Adapun harta no.d yaitu harta yang diperoleh selama


perkawinan atas usaha bersama atau usaha salah seorang dari
suami isteri yang disebut harta pencarian yang terkenal dengan
sebutan harta gono gini, harta ini dalam pembagiannya
ditentukan dulu berapa bagian suami dan berapa bagian isteri,
tergantung menurut adat masing-masing. Di Jawa dibagi antara
suami dan isteri dengan perbandingan 2 : 1 (sepikul segendong)
sepikul untuk suami dan segendong untuk isteri, dan ada juga
yang membagi harta gono gini ini sama banyak antara suami
dan isteri, dibagi dua.

Menurut perkembangan terbaru di Pengadilan, jika terjadi


perceraian harta gono gini sekarang tidak dibagi dua sama
banyak antara suami dan isteri, tetapi adalah tergantung kepada
kontribusi masing-masing suami isteri terhadap harta tersebut.
oleh sebab itu bagi para ahli Fiqh Mawaris harus
memperhatikan status harta yang dimiliki, mengingat ada 4
macam harta bagi masyarakat Indonesia. Misalnya jika seorang
isteri meninggal dunia, harta yang mau dibagi adalah harta
warisan isteri, sedangkan harta milik suami yang secara terpisah
tidak dibagi, seperti harta no. a, no. b, dan no. c. Jika
diperhatikan realita yang berkembang di masyarakat, seringkali
dijumpai bahwa isteri yang menerima belanja setiap hari dari
suaminya, dengan kepintarannya mengatur keuangan sehingga
duit belanja ada sisa, lalu uang tersebut ditabung dan dapat
dibelikan emas atau motor dan lain-lainnya. Dari sini timbul
persoalan apakah harta tersebut milik isteri atau milik bersama
suami isteri ?. Dalam hal ini orang yang akan membagi harta
warisan harus mendudukkan dulu masalah harta tersebut.
Mengenai ini penulis berpendapat itu adalah harta gono gini
64 64

milik bersama suami isteri, karena uang belanja yang dikasih


tidak harus habis dibelanjakan.

2. Orang yang Meninggalkan Harta Warisan / Pewaris


( ‫) مورث‬.

Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan


meninggalkan harta waris. Didalam bahasa Indonesia disebut
dengan istilah “pewaris”, didalam kitab fiqh disebut muwarrits.
Harta yang dimiliki muwarrits adalah miliknya sempurna, dan
dia benar-benar telah meninggal dunia, baik menurut kenyataan
maupun menurut hukum.

Kematian muwarrits menurut para ulama fiqh


dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
a. Mati haqiqy (mati sejati).
b. Mati hukmy (mati berdasarkan keputusan hakim),
c. Mati taqdiry (mati menurut dugaan).

a. Mati haqiqy (mati sejati).

Mati haqiqy adalah hilangnya nyawa seseorang yang


dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat di buktikan
dengan alat pembuktian. Akibat kematian tersebut seluruh
harta yang ditinggalkannya setelah dikurangi hak-hak yang
bersangkutan dengan harta peninggalan, harta itu beralih
dengan sendirinya kepada ahli waris yang masih hidup, dengan
syarat tidak terdapat salah satu halangan mewarisi.

b. Mati hukmy (mati berdasarkan keputusan hakim).


65 65

Mati hukmy adalah kematian berdasarkan vonis hakim.


Dalam hal ini ada 2 macam yaitu :

1). Walaupun pada hakikatnya orang tersebut masih hidup,


seperti orang yang divonis mati bagi orang yang murtad
(orang yang keluar dari agama Islam)

2). Kemungkinan antara hidup dan mati, seperti vonis


kematian terhadap orang yang mafqud yaitu orang yang
tidak diketahui khabar beritanya, dan tidak dikenal
domicilinya, dan tidak diketahui hidup atau matinya.

Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati terhadap dua


jenis orang tersebut, maka berlakunya kematian sejak tanggal
yang termuat dalam vonis hakim, walaupun terjadinya murad
dan perginya si mafqud sudah 15 tahun sebelum vonis, dan
harta warisannya baru dapat diwarisi oleh ahli warisnya sejak
tanggal yang termuat dalam vonis tersebut. OLeh karena itu
para ahli waris yang masih hidup sejak vonis kematiannya
berhak mewarisi, karena pewaris seolah-olah telah mati sejati
disaat vonis dijatuhkan. Ahli waris yang mati mendahului vonis
hakim tidak berhak terhadap harta warisan tersebut.

c. Mati taqdiry (mati menurut dugaan) yaitu suatu kematian


yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi hanya semata-mata
hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian seorang
bayi yang baru dilahirkan akibat pemaksaan agar ibunya minum
racun. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan
66 66

dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain, namun


kuatnya perkiraan atas akibat perbuatan semacam itu.3

3. Orang yang menerima waris / ahli waris ( ‫) اهل الوارث‬.

Ahli waris adalah orang-orang yang berhak


mendapatkan harta warisan dari pewarisnya. Orang-orang yang
menjadi ahli waris semuanya berjumlah 25 orang. Ahli waris
tersebut jika diklasifikasikan menurut jenis kelamin dapat
dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
a. Ahli waris yang laki-laki.
b. Ahli waris yang perempuan.

a. Ahli waris yang laki-laki.

Ahli waris yang laki-laki semuanya berjumlah 15 orang:

1). Anak laki-laki.


2). Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
3). Ayah.
4). Kakek yaitu ayah dari ayah, sekalipun yang teratas,
seperti ayah dari ayah dari ayah (kakeknya ayah).
5). Saudara laki-laki sekandung.
6). Saudara laki-laki sebapak.
7). Saudara laki-laki seibu.
8). Keponakan laki-laki (Anak laki-laki dari yang nomor 5),
yaitu anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung,
sekalipun yang terjauh, seperti anak laki-laki dari anak
laki-laki dari saudara laki-laki kandung.

3 Fatchur Rahman, Op-cit, h. 80.


67 67

9). Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari yang nomor 6),


yaitu anak laki-laki dari saudara laki-laki se ayah,
sekalipun yang terjauh, seperti anak laki-laki dari anak
laki-laki dari saudara laki-laki se ayah.
10). Paman kandung yaitu saudara laki-laki kandung oleh
ayah, sekalipun yang teratas, seperti paman dari ayah.
11). Paman se ayah yaitu saudara laki-laki seayah oleh ayah,
sekalipun yang teratas. Seperti paman seayah oleh ayah.
12). Anak laki-laki dari paman kandung sekalipun yang
terbawah. Seperti anak laki-laki dari anak laki-laki dari
paman kandung.
13). Anak laki-laki dari paman seayah sekalipun yang
terbawah. Seperti anak laki-laki dari anak laki-laki dari
paman seayah.
14). Suami.
15). Orang laki-laki yang memerdekakannya.

Apabila ahli waris yang laki-laki ini ada semuanya, maka hanya
3 ahli waris yang mendapatkan harta warisan, yaitu :
1). Suami. 2). Ayah. 3). Anak laki-laki.

b. Ahli waris yang perempuan.

Ahli waris yang perempuan semuanya berjumlah 10 orang:

1). Anak perempuan.


2). Cucu perempuan dari anak laki-laki, sekalipun yang
terbawah seperti anak perempuan dari anak laki-laki dari
anak laki-laki.
3). Ibu.
68 68

4). Nenek perempuan yaitu ibu dari ibu sekalipun yang teratas,
yaitu ibu dari ibu dari ibu.
5). Nenek perempuan yaitu ibu dari ayah, sekalipun yang
teratas, yaitu ibu dari ayah dari ayah.
6). Saudara perempuan yang kandung.
7). Saudara perempuan yang seayah.
8). Saudara perempuan yang seibu.
9). Isteri, sekalipun isteri itu dalam masa iddah yang boleh
dirujuki.
10). Orang perempuan yang memerdekakannya.

Apabila ahli waris yang perempuan ini ada semuanya,


maka hanya 3 ahli waris yang mendapatkan harta warisan, yaitu
1). Isteri. 2). Ibu. 2). Anak perempuan.

Dengan demikian dapat difahami bahwa ahli waris


yang 25 orang adalah bersifat umum dari orang-orang yang
berhak menjadi ahli waris. Jika semua mereka ada, bukanlah
semuanya mewarisi, tetapi sebagian terhalang (terhijab) oleh
yang lain, sebagaimana diterangkan dalam pembahasan hijab.
Ada 6 orang yang tetap berhak mewarisi, yaitu :
1). suami. 2). Isteri. 3). Ayah. 4). Ibu. 5). Anak-laki-laki.

6). Anak perempuan.

Mereka tidak pernah terhijab oleh siapapun, karena


hubungan mereka lansung kepada simayat.

B. Syarat-Syarat Mewarisi.
69 69

Mewarisi berfungsi sebagai penggantian kedudukan


dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal
dunia dengan ahli waris, memerlukan syarat-syarat tertentu:

1. Sudah terang mati orang yang diwarisi dengan sejelas-


jelasnya sebagai yang telah dijelaskan diatas, bahwa mati
pewaris menurut para ulama dibedakan kepada 3 macam,
yaitu mati haqiqy, mati hukmy dan mati taqdiry.

2. Terang hidupnya ahli waris disaat kematian pewarisnya atau


terang hidupnya ahli waris itu menurut putusan hakim.
Seperti seorang ahli waris yang hilang, kemudian hakim
memutuskan dia masih hidup karena mengingat belum lama
masa hilangnya.

Kedua syarat waris mewarisi diatas menimbulkan


problema bagi ahli waris:
a. Ahli waris yang mafqud.
b. Ahi waris anak yang masih dalam kandungan.
c. Ahli waris yang mati berbarengan.

a. Ahli waris yang mafqud

Apabila ahli waris yang mafqud telah mendapatkan


vonis hakim tentang kematiannya, dan vonis tersebut telah
mendahului kematian pewarisnya, hal ini tidak menimbulkan
kesulitan, karena yang demikian terang ahli waris tersebut tidak
berhak terhadap harta warisan karena dia sudah mati lebih
dahulu. Tetapi yang menimbulkan kesulitan bila ahli waris yang
mafqud belum mendapatkan vonis yang tetap dari hakim
tentang kematiannya disaat pewarisnya meninggal dunia.
70 70

Apakah dia ditetapkan masih hidup sedangkan tidak ada khabar


berita. dan apakah dia ditetapkan sudah mati tidak ada bukti
otentik atau belum ada vonis hakim tentang kematiannya.
Untuk menjaga kemungkinan dia masih hidup bagian warisan
untuk dia ditahan dulu sampai ada putusan hakim. Bila dia
datang dalam keadaan hidup bagian yang ditahan tersebut
dikasihkan kepadanya. Bila dia ditetapkan mati dengan putusan
hakim, maka bagian yang ditahan tersebut dibagikan kepada
ahli waris yang hidup menurut perbandingan bagian mereka
masing-masing.

b. Ahi waris anak yang masih dalam kandungan.

Anak dalam kandungan berhak memperoleh warisan


yang sedang ditahan untuknya bila dia dilahirkan oleh ibunya
dalam keadaan hidup, Kelahiran dalam keadaan hidup ini
membuktikan bahwa dia benar-benar hidup disaat kematian
pewarisnya.

4
‫ُود ُويِرث‬
ُ ‫استَ َه يل ال َْم ْول‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
ْ ‫ال إِذَا‬ َّ ‫صلَّى‬ ‫َع ْن أَِب ُه َريْ َرة َع ْن النِ ِي‬
َ ‫َّب‬
Dari Abu Hurairah r a, Nabi SAW bersabda : Bila
menangis (hidup) bayi yang dilahirkan, dia menjadi
ahli waris.

c. Ahli waris yang mati berbarengan.

Dua orang atau lebih dari orang-orang yang saling


berhak waris mewarisi yang mati berbarengan. Seperti seorang

4 Maktabah Syamilah, Sunan Abu Daud, Juz 8, Hadis No. 2531, h.


132.
71 71

bapak bersama anak-anak dan isterinya mati dalam kecelakaan


pesawat tenggelam bersama-sama dilautan, maka diantara
mereka tidak dapat saling mewarisi, karena tidak jelas hidupnya
disaat kematian pewarisnya, tidak diketahui siapa yang mati
duluan. Harta warisan mereka diwarisi oleh para ahli warisnya
yang benar-benar masih hidup disaat kematian mereka.

3. Tidak ada penghalang-penghalang mewarisi.

Biarpun dua syarat waris mewarisi itu telah ada pada


pewaris dan ahli waris, namun pewaris tidak dapat mewariskan
harta warisannya kepada ahli waris, atau ahli waris tidak dapat
mewarisi harta warisan dari pewarisnya selama masih terdapat
salah satu penghalang-penghalang mewarisi (mawaani’ al-irtsi).

Yang menghalangi mendapatkan warisan ada 3 macam:


a. Berlainan agama.
b. Membunuh.
c. Menjadi budak.

a. Berlainan agama.

Yang dimaksud berlainan agama adalah berlainan


agama antara pewaris dengan ahli waris. Pewaris bergama
Islam dan ahli waris beragama non Islam. Agama apa saja
selain agama Islam adalah non Islam. Mereka terhalang untuk
saling mewarisi. Dasar hukum berlainan agama menjadi
penghalang mewarisi adalah Sabda Rasulullah SAW :
72 72

‫ث ال ُْم ْسلِ ُم الْ َكافِ َر‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬


ُ ‫ال ََل يَ ِر‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َّب‬ َّ ‫ُس َامةَ بْ ِن َزيْ ٍدأ‬
َ ‫َع ْن أ‬
5 ِ
‫ث الْ َكافِ ُر ال ُْم ْسل َم‬ ُ ‫َوََل يَ ِر‬
Dari Usamah bin zaid, Nabi Muhammad SAW
bersabda: Orang Islam tidak dapat mewarisi harta
orang kafir dan orang kafirpun tidak dapat mewarisi
harta Islam. (HR Muslim).

Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat


sesudah meninggalnya pewarisnya lalu dia masuk Islam,
sedangkan harta warisannya belum dibagi, maka ahli waris
yang baru masuk Islam itu tetap terhalang untuk mendapatkan
harta warisan, karena timbulnya hak mewarisi tersebut adalah
sejak adanya kematian orang yang mewariskan (pewaris),
bukan saat kapan dimulai pembagian warisan. Hal ini
disebabkan saat kematian sipewaris, ia masih dalam keadaan
non Islam (kafir). Mereka dalam keadaan berlainan agama.

b. Membunuh.

Jumhur Fuqahak sepakat menetapkan bahwa


pembunuhan pada prinsipnya menjadi penghalang untuk
mendapatkan harta warisan bagi sipembunuh terhadap harta
warisan orang yang dibunuhnya.Seorang yang membunuh
pewarisnya, dia tidak berhak mewarisi harta warisannya, baik
pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja ataupun tersalah.
Dasar hukum terhalangnya mewarisi karena pembunuhan
adalah hadis:

5
Maktabah Syamilah, Shahih Muslim, Juz 8, Hadis No. 3027, h.
334.
73 73

ُ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يَ ُق‬


َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ ُ ‫َّن ََِس ْع‬ ِ ‫قَا َل ُعمر ر‬
‫ول‬ َ ‫اَّلل‬ َ ‫ت َر ُس‬ ‫اَّللُ َع ْنهُ أِي‬
َّ ‫ض َي‬ َ َُ
َ ُ‫س لِ َقاتِ ٍل َش ْيءٌ ل ََوَّرثْ ت‬
6
‫ك‬ َ ‫ل َْي‬
Umar r a berkata: Aku Mendengar Rasulullah SAW
bersabda: Tidak ada warisan bagi orang yang
membunuh.

c. Menjadi budak (Perbudakan).

Menjadi budak (hal ini tidak ada di Negara Indonesia),


Orang yang menjadi budak tidak bisa waris mewarisi dengan
kaum kerabatnya atau keluarganya. Dan keluarganyapun tidak
bisa menerima waris dari dia, karena budak itu sendiri dan
hartanya adalah milik tuannya. Dasar hukum perbudakan
menjadi penghalang untuk waris mewarisi adalah berdasarkan
firman Allah SWT QS An-Nahl (16) ayat 75 :

            

Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba


sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak
terhadap sesuatupun….7

Ayat tersebut menjelaskan bahwa budak tidak cakap mengurusi


hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Dalam soal waris
mewarisi terjadi disatu pihak melepaskan hak milik kebendaan
dan disuatu pihak lain menerima hak milik kebendaan.

6
Maktabah Syamilah, Musnad Ahmad, Juz I, Hadis No. 329, h. 333.
7 Departemen Agama RI, Op-cit, h. 413.
74
BAB V
SEBAB-SEBAB MEWARISI

A. Sebab- Sebab Mewarisi pada zaman Jahiliyah.

Bangsa Arab memiliki sifat kekeluargaan patrilineal.


Bangsa Arab jahiliyah tergolong salah satu bangsa yang gemar
mengembara dan berperang. Kondisi daerahnya kering dan
tandus yang mengharuskan mereka menjalani hidup penuh
keberanian dan kekerasan. Mata pencaharian mereka yang
utama adalah berdagang yang dilakukan dengan cara
menempuh perjalanan jauh dan berat. Permusuhan antara
kabilah seringkali terjadi yang mengakibatkan peperangan,
yang menang berhasil membawa harta rampasan. Beberapa hal
tersebut mempengaruhi kematangan cara berfikir mereka yang
mengandalkan kepada kekuatan fisik.1

Mengenai pembagian harta warisan mereka berpegang


teguh kepada tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang
mereka. Dalam hal ini terdapat suatu ketentuan utama bahwa
anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang
mempusakai harta warisan dari ahli warisnya, karena mereka
beranggapan bahwa anak-anak, orang perempuan dan orang
usia lanjut adalah orang-orang yang lemah fisiknya, sebab
mereka tidak mampu mencari nafkah, tidak sanggup berperang
untuk merampas harta musuh, sehingga mereka tidak berhak
menerima harta waris.

1
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris,
(Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 2.
75 75

Adapun sebab-sebab mereka berhak menerima harta


warisan pada zaman jahiliyah ada 3 macam yaitu :
1. Karena adanya hubungan kerabat (qarabah)
2. Karena adanya janji prasetia (muhalafah)
3. Karena adanya pengangkatan anak (tabanny atau adopsi).2

1. Karena adanya hubungan kerabat.

Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang


mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh
kelahiran. Hubungan kerabat saja tidak cukup dijadikan alasan
untuk menuntut harta warisan, tapi harus dilengkapi dengan dua
syarat lagi yaitu : a. Sudah dewasa. b. Orang laki – laki. Hal ini
karena selagi tidak dilengkapi dengan adanya kekuatan jasmani
yang sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara
kabilah atau sekurang-kurangnya sanggup memelihara keluarga
mereka. Persyaratan ini berakibat bahwa anak-anak yang belum
dewasa dan kaum perempuan tidak dapat menerima harta
warisan, karena kaum perempuan fisiknya tidak memungkinkan
untuk memanggul senjata pergi berperang serta jiwa yang
sangat lemah. Para ahli waris pada zaman jahiliyah adalah :

a. Anak laki-laki.
b. Saudara laki-laki.
c. Paman.
d. Anak Paman yang laki – laki,
yang kesemuanya harus sudah dewasa.

2 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Maarif, 1981),


h.12.
76 76

2. Karena adanya janji prasetia.

Janji prasetia baru terjadi dan mempunyai kekuatan


hukum, bila salah seorang pihak telah meikrarkan janji
prasetianya kepada pihak lain, seperti ucapan: Darahku
darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu,
perjuanganku perjuanganmu. Atau dengan ungkapan lain
misalnya: berprasetia dan berjanjilah padaku untuk saling
menolong dan bantu membantu. Sebagai akibat dari janji
prasetia yang telah mereka setujui bersama, konsekuensinya
yang terjadi adalah jika salah satu pihak meninggal dunia, pihak
lain yang masih hidup berhak mempusakai harta
peninggalannya sebanyak 1/6 bagian. Kemudian sisa harta
setelah dikurangi 1/6 tersebut baru dibagi-bagikan kepada ahli
waris yang lain. Janji prasetia itu adalah merupakan dorongan
kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan
kehormatan mereka. Tujuan ini tidak mungkin terealisasi
apabila pihak-pihak yang berjanji adalah anak-anak dan kaum
perempuan.3 Sebagian mufassir (ahli tafsir) membenarkan waris
mewarisi berdasarkan janji prasetia ini, berdasarkan firman
Allah SWT Q S An-Nisaa’ (4) ayat 33 :

  
         
  

   


         
    

Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang


ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan

3 Ibid, h. 14.
77 77

pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang


kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu.4

Ayat ini menjelaskan bahwa bahwa Allah SWT


memerintahkan orang-orang mukmin agar memberikan
kepada orang-orang yang mengadakan janji prasetia untuk
tolong menolong, nasehat menasehati dan sebagainya, dan
memberikan bagian yang telah menjadi hak mereka.

3. Karena adanya pengangkatan anak (tabanny atau


adopsi).

Seorang yang telah mengambil anak laki-laki orang lain


untuk dipelihara dan dimasukkan didalam keluarga yang
menjadi tanggungannya, dan ia menjadi bapak angkat terhadap
anak yang telah diadopsi dengan berstatus sebagai bapak nasab,
dan anaknya berstatus sebagai anak nasab. Apabila anak angkat
tersebut sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia,
ia dapat mewarisi harta peninggalan bapak angkatnya seperti
anak keturunan sendiri. Didalam segala hal ia diperlakukan
sebagai anak kandung dan dinasabkan kepadanya, bukan
dinasabkan kepada bapak kandungnya. Bahkan mereka
beranggapan bahwa janda dari orang yang telah meninggal
adalah sebagai wujud harta peninggalan yang dapat diwarisi
oleh ahli warisnya.

4
Departemen Agama RI, Al-Qur aan dan Terjemahnya, (Jakarta :
Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur aan, 1980), h. 122.
78 78

Hal ini terjadi diantaranya pada Mihsham bin Abu Qais


al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat
mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya dan
tidak diberi harta warisan sedikitpun dari peninggalan ayahnya.
Pada waktu itu janda tersebut minta izin kepada Rasulullah
SAW agar di perkenankan kawin dengan Mihsham. Disaat itu
Rasul SAW belum dapat memberikan jawaban spontan. 5
Beberapa saat kemudian turun ayat Q S An-Nisaa’ (4) ayat 19 :

 ...            


  

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu


mempusakai wanita dengan jalan paksa…6

B. Sebab - Sebab Mewarisi pada awal Islam.

Pada masa awal Islam ada beberapa sebab mewarisi


disamping karena adanya hubungan kerabat/nasab yaitu :
1. Pengankatan anak.
2. Hijrah dari mekah ke Madinah dan persaudaraan antara kaum
muhajirin dan anshar (al-muakhkhah).

1. Pengankatan anak.

Pengangkatan anak atau adopsi sebagai sebab


mempusakai pada masa jahiliyah terus berlaku sampai pada
permulaan Islam. Rassulullah SAW sebelum diangkat menjadi
Rasul, beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anaknya

5 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Maarif, 1981),


h.12.
6 Departemen Agama RI, Op-cit, h. 119.
79 79

setelah ia dibebaskan dari status perbudakan. Karena status


anak angkat identik dengan anak keturunan sendiri para sahabat
memanggilnya bukan Zaid bin Haritsah, tetapi Zaid bin
Muhammad. Hal ini berlaku sampai permulaan Islam,
sehingga turun QS Al-Ahzab (33) ayat 4 dan 5 serta ayat 40 :

         …

      


…Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu(sendiri) yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan
yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang
benar ( ayat 4).

       


        
  

      


       
  

    
   

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan


(memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang
lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (ayat 5).
80 80

Adapun maksud Maula-maula ialah seorang hamba


sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah
dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah,
dipanggil maula Huzaifah.7

           


     
  

       


  
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu (ayat 40). 8

Ayat diatas menunjukkan bahwa adanya larangan menggunakan


panggilan anak angkat seperti panggilan anak keturunan sendiri.
Nabi Muhammad SAW bukan bapak Zaid bin Haritsah yang
diangkatnya menjadi anak angkatnya. Jadi tidak boleh dipanggil
Zai bin Muhammad, tetapi tetap dipanggil Zaid bin Haritsah.

2. Hijrah dari Mekah ke Madinah dan persaudaraan


antara kaum muhajirin dan anshar (al-muakhkhah).

Hijrah dari Mekah ke Madinah, pada awal Islam


menjadi sebab waris mewarisi. Kekuatan kaum muslimin pada
saat itu masih lemah, karena jumlah mereka sedikit. Untuk
menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat dan
banyak pengikutnya, tidak ada jalan lain yang ditempuh oleh
Rasulullah SAW beserta pengikut-pengikutnya selain meminta
bantuan kepada penduduk di luar kota yang sefaham dan

7
Departemen Agama RI, Op-cit, h 666.
8 Ibid, h. 674.
81 81

simpatik terhadap perjuangan beliau beserta kaum muslimin


dalam memberantas kemusyrikan.

Setelah menerima perintah dari Allah SWT agar


meninggalkan kota Mekah, Rasulullah saw bersama dengan
sejumlah sahabat besar meinggalkan kota Mekah menuju kota
Madinah. Di Madinah Rasul beserta rombongannya disambut
gembira oleh orang-orang Madinah dengan ditempatkan
dirumah-rumah mereka, dicukupi segala keperluan, dilindungi
jiwanya dari pengejaran kaum musyrikin quraesy dan dibantu
dalam menghadapi musuh yang menyerangnya.

Untuk memperteguh persaudaraan kaum muhajirin dan


anshar, Rasulullah menjadikan ikatan persaudaran sebagai salah
satu sebab untuk saling mewarisi. Misalnya: Apabila seorang
muhajirin meninggal dunia di Madinah dan dia mempunyai ahli
waris yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya diwarisi oleh
ahli warisnya yang ikut hijrah, ahli warisnya yang tidak hijrah,
tidak berhak mewarisi harta warisannya dan jika muhajirin
tersebut tidak mempunyai ahli waris yang ikut hijrah, maka
harta warisannya dapat diwariskan kepada saudara-saudaranya
dari orang-orang anshar karena ada ikatan persaudaraan. Hal ini
dibenarkan Allah dalam firman-Nya Q S Al-Anfaal (8) ayat 72:

  
           
     

     


    
   
    
    

   
   
   
  
       

  
       
   
 
82 82

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan


berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya
pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-
orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-
melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman,
tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban
sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka
berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta
pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan)
agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan
kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian
antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.

Yang dimaksud lindung melindungi ialah: di antara muhajirin


dan anshar terjalin persaudaraan yang amat teguh, untuk
membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan dan
keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan
Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara
kandung.9

Sebagian mufassir seperti Ibnu Abbas, Mujahid dan


Qatadah menafsirkan perwalian dalam ayat diatas adalah hak
untuk mewarisi yang ditimbulkan oleh kekerabatan menurut
hukum, yaitu kekeraban yang terjalin oleh adanya ikatan
persaudaraan antara orang muhajirin dan orang anshar.10

9
Ibid, h. 273.
10 Fatchur Rahman, Op-cit, 17.
83 83

Setelah akidah mereka bertambah kuat dan satu sama


lain telah terpupuk rasa saling mencintai, apalagi kecintaan
terhadap Rasulullah, serta perkembangan agama Islam sudah
maju, pemerintah Islam sudah stabil, maka kewajiban hijrah
yang semula sebagai media untuk menyusun kekuatan antara
orang muslim dari Mekah dan orang muslim dari Madinah
dicabut.11 Rasulullah SAW menjelaskan:

ِ ‫اس ر‬
‫ال‬ َّ ‫ض َي‬
َ َ‫اَّللُ َع ْن ُه َما ق‬ َ ٍ َّ‫س َع ْن ابْ ِن َعب‬ ٍ ‫َع ْن طَ ُاو‬
12
…‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْو َم افْ تَ تَ َح َم َّكةَ ََل ِه ْج َرة‬
َّ ‫صلَّى‬ ُّ ِ‫ال الن‬
َ ‫َِّب‬ َ َ‫ق‬
Dari Thaus dari Ibnu Abbas ra, dia berkata : Nabi
SAW bersabda : Tidak ada kewajiban hijrah setelah
penaklukan kota mekah…

Sebab mewarisi berdasarkan ikatan persaudaraan di nasakh


/dibatalkan oleh firman Allah SWT QS Al-Ahzab (33) ayat 6:

 
  
    
  
  
  
  

   
       
     
  

 

… dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah


satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam
Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-

11 Moh.Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai

Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 37.


12
Maktabah Syamilah, Shahih Bukhary, Juz 6, Hadis No. 1703, h.
367.
84 84

orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik,


kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang
demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).

Yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah berwasiat yang


tidak lebih dari sepertiga harta.13

Sebab-sebab mewarisi yang hanya berdasarkan pada seorang


laki-laki yang dewasa dan kuat berjuang, dengan
mengenyampingkan anak-anak yang belum dewasa dan kaum
perempuan, sebagaimana yang dilakukan olseh orang-orang
jahiliyah. Hal demikian dibatalkan dengan firman Allah SWT
QS An-Nisaa’ (4) ayat 7 :

 
     
      

         


   
 

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta


peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah di tetapkan.14

Berdasarkan ayat tersebut dijelaskan bahwa kaum perempuan


tersebut tetap mendapat bagian dari harta warisan secara pasti
sebagai ahli waris, baik bagiannya sedikit ataupun banyak.

13
Departemen Agama RI, Op-cit, h.667.
14 Ibid, h. 116.
85 85

Adapun pembatalan tradisi jahiliyah mengenai anak-


anak yang belum dewasa tidak mendapat harta warisan, hal ini
dijelaskan oleh firman Allah SWT QS An-Nisaa’ (4) ayat 11 :

…    
      
  

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian


pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang
anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan….15

bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena


kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti
kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah (lihat
surat An Nisaa ayat 34).

Adapun mempusakai berdasarkan janji prasetia, yang


tercantum dalam QS surat An-Nisaa’ (4) ayat 33, di-nasakh
/ibatalkan oleh firman Allah dalam QS Al-Anfaal (8) ayat 75:

   
   
         

    


    
       
   

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian


berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang
itu termasuk golonganmu (juga).Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan

15 Ibid.
86 86

kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah


Maha mengetahui segala sesuatu.

Maksud dari pada yang bukan kerabat adalah yang jadi dasar
waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan
hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi
antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam.16

Demikianlah pendapat Jumhur Ulama, tetapi menurut


ulama aliran Hanafiyah bahwa sebab mempusakai berdasarkan
janji prasetia (wala’ al-muwalah) tidak dihapus, hanya saja
diakhirkan pembagian warisan dari dzawil furudh, ashabah, dan
dzawil arham. Kalau tidak ada ahli waris yang lain kecuali
orang yang mengadakan janji prasetia, maka harta warisan
diberikan kepadanya.17

Sebab mewarisi berdasarkan adopsi dibatalkan oleh


firman Allah SWT QS Al-Ahzab ayat 4 dan 5 sebagai yang
telah dikemukakan diatas. Dengan demikian bahwa aturan
pembagian waris Islam tidak mengandung unsur kesewenang-
wenangan terhadap para ahli waris, bahkan Islam telah
memperbaiki kepincangan-kepincangan sistem waris mewarisi
pada zaman jahiliyah dan zaman awal Islam. Hukum kewarisan
Islam adalah mengandung unsur-unsur keadilan yang mutlak.

Keistimewaan-keistimewaan yang terdapat dalam


hukum kewarisan Islam antara lain adalah :

1. Tidak menyerahkan sepenuhnya kepada orang yang


mewariskan seluruh harta peninggalannya untuk diwasiatkan

16
Ibid, h. 274.
17 Moh.Muhibbin, Abdul Wahid, Op cit, h. 39.
87 87

kepada orang yang dipilihnya, baik dari kerabat yang jauh,


maupun kerabat yang dekat, sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang Yunani dan Romawi kuno. Akan tetapi
syariat Islam membolehkan wasiat maksimal 1/3 harta
dengan maksud supaya tidak merugikan ahli waris yang lain.

2. Tidak melarang bapak dan leluhur untuk mewarisi bersama-


sama dengan anak si mati, dan tidak melarang si isteri untuk
mewarisi suaminya atau sebaliknya, seperti cara mewarisi
yang dilakukan orang Yahudi dan Romawi. Tetapi Islam
menetapkan bahwa mereka semua adalah tergolong ahli
waris yang sama mempunyai hak menerima harta warisan.

3. Tidak mengistimewakan pemberian harta warisan kepada


satu macam pewaris saja, misalnya hanya diberikan kepada
seorang anak laki-laki yang sulung saja, sekalipun jumlah
anak-anak tersebut banyak, tetapi syari’at Islam
menyamakan hak anak tersebut sesuai dengan bagian
masing-masing.

4. Tidak menolak anak-anak yang belum dewasa dan kaum


perempuan untuk menerima harta warisan.

5. Tidak membenarkan anak angkat dan orang-orang yang


mengadakan janji prasetia untuk mewarisi harta peninggalan
si mati sebagai ahli waris, disebabkan mereka tidak
mempunyai hubungan kerabat / pertalian darah dengan
simati sedikitpun.18

18 Fatchur Rahman, Op-cit, h. 22.


88 88

Hukum kewarisan Islam mempunyai karakteristik


tersendiri jika dibandingkan dengan sistem hukum lainnya.
Didalam hukum Islam ketentuan materiil bagi orang-orang yang
ditinggalkan si mati (pewaris), telah di gariskan dalam Al-Qur
aan dan Al-Hadis secara rinci dan jelas. Adapun didalam sistem
hukum Barat pada pokoknya menyerahkan persoalan harta
berdasarkan kepada keinginan yang bersangkutan itu sendiri,
yaitu si mati membuat wasiat pada saat hidupnya. Dengan
perkataan lain, kehendak atau keinginan si mati merupakan
suatu yang utama, dan hukum baru ikut campur apabila ternyata
si mati tidak meninggalkan wasiat yang sah. Hukum Kewarisan
Islam telah merombak secara mendasar sistem kewarisan yang
berlaku pada masa sebelumnya yang tidak memberikan hak
waris kepada wanita dan anak-anak. Dengan demikian hukum
kewarisan Islam telah meletakkan suatu dasar keadilan hukum
yang sesuai dengan hak asasi dan martabat manusia.19

C. Sebab-Sebab Mewarisi Dalam Islam.

Harta pewaris dengan sendirinya beralih kepada ahli


warisnya, dalam literatur hukum Islam, dinyatakan ada empat
hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta
warisan dari seseorang yang telah mati, yaitu :

1. Hubungan kerabat,
2. Hubungan perkawinan,
3. Hubungan wala’ (memerdekakan budak)
4. Hubungan sesama Islam.20

19 Tahir Azhary, Karakteristik Hukum Kewarisan Islam dan Bunga

Rampai Hukum Islam Indonesia, (Jakarta : 1992 ), h. 4


20
Jalal al-Dien al-Mahalliy, Syarhu Minhaj al-Thalibin, Juz III,
(Cairo, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiy,tt),h.136.
89 89

Saat ini dua hubungan terakhir, terutama hubungan


wala’ hanya terdapat dalam tataran wacana saja, karena
hubungan tersebut ada dalam teori. Hubungan wala’terjadi
disebabkan oleh usaha seseorang pemilik budak yang dengan
sukarela memerdekakan budaknya. Sebagai imbalan dan
sebagai peransang agar orang (pada waktu itu) memerdekakan
budak, Rasulullah SAW memberikan hak mewarisi kepada
orang yang memerdekakan itu sesuai dengan hadits Nabi :

‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَِإ َّن ال َْوََل َء لِ َم ْن أَ ْعتَ َق‬


َّ ‫صلَّى‬ ُّ ِ‫ال الن‬
َ ‫َِّب‬ َ ‫َت فَ َق‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
ْ ‫شةَ قَال‬
21
...
Dari Aisyah dia berkata : Nabi SAW bersabda : Hak
wala’ itu adalah untuk orang yang memerdekakan.

Diantara hak wala’ itu adalah hak mewarisi harta orang yang
telah dimerdekakannya, jika orang tersebut tidak mempunyai
kerabat.

Hubungan sesama Islam yang dimaksud disini terjadi


bila seseorang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli
waris, maka harta warisannya itu diserahkan keperbendaharaan
umum yang disebut baitul mal yang akan digunakan oleh umat
Islam. Dengan demikian harta orang Islam yang tidak
mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat Islam.

1. Hubungan kerabat / Nasab.

Hubungan kekerabatan ialah hubungan nasab


(hubungan darah), atau disebut juga dengan hubungan

21
Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, Juz II, Hadits No. 436, h.
249.
90 90

nasabiyah, antara orang yang mewariskan dengan orang yang


mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan itu
merupakan salah satu sebab memperoleh hak warisan yang
terkuat dibandingkan dengan yang lain, karena kekerabatan itu
termasuk unsur penting adanya seseorang yang tidak dapat
dihilangkan. Hal ini berbeda dengan perkawinan. Ia merupakan
hal yang baru dan dapat hilang, misalnya kalau ikatan
perkawinan itu telah diputuskan, ini merupakan salah satu sebab
beralihnya harta seorang yang telah meninggal dunia kepada
orang yang masih hidup adalah karena hubungan kekerabatan
antara keduanya. Hubungan ini disebut juga dengan hubungan
nasabiyah.

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara


yang mewariskan dengan yang mewarisi, dapat diklasipikasikan
kepada tiga golongan :

a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari simati.


b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan
adanya si mati.
c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan simati
melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan
anak turunnya.22

2. Hubungan perkawinan.

Disamping hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan


kekerabatan, hak kewarisan juga berlaku atas dasar hubungan

22 Fatchur Rahman, Op-cit, h. 116.


91 91

perkawinan atau disebut juga dengan hubungan sababiyah,


dengan arti bahwa suami ahli waris bagi isterinya yang
meninggal dunia, isteri menjadi ahli waris bagi suaminya yang
meninggal dunia.23 Sekalipun belum terjadi persetubuhan.24

Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya hubungan


kewarisan antara suami dengan isteri harus memenuhi dua
syarat yaitu perkawinan itu sah menurut syari’at Islam dan
perkawinannya masih utuh.

a. Perkawinan itu Sah Menurut Syari’at Islam.

Perkawinan yang sah menurut syari’at Islam adalah


perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan, serta
terlepas dari semua halangan pernikahan, walaupun belum
terjadi persetubuhan antara keduanya. Hal ini berdasarkan
firman Allah SWT QS An-Nisaa’(4) ayat 12 sebagai yang telah
dijelaskan pada bab II diatas. Suatu perkawinan sah secara
hukum adalah tidak semata-mata digantungkan pada telah
terlaksananya hubungan kelamin antara suami isteri dan telah
dilunasinya pembayaran mas kawin (mahar) oleh suami, tetapi
tergantung kepada terpenuhi syarat dan rukun perkawinan.
Sebaliknya jika perkawinan itu tidak sah menurut syari’at Islam
atau dinyatakan fasid (rusak) oleh Pengadilan Agama, maka
tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk menuntut harta
waris, karena tidak ada hubungan waris mewarisi antara
keduanya, apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia.

23 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada

Media Group, 2008), h. 188.


24
Mawardi Muhammad, Ilmu Faraidh, (Padang : Sridarma, 1982),
h. 15.
92 92

b. Perkawinannya Masih Utuh.

Perkawinan masih utuh maksudnya adalah suami isteri


masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak
meninggal dunia. 25 Termasuk dalam ketentuan ini adalah bila
salah satu pihak meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan
telah putus dalam bentuk tala’ raj’i dan perempuan masih
berada dalam masa iddah. Seorang perempuan yang sedang
menjalani iddah talak raj’i berstatus sebagai isteri dengan
segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin. 26

25 Amir Syarifuddin, Op-cit, h. 191.


26
Ibnu al-Humam, Syarh Fath al-Qadir, (Mesir, Mustafa al-Babiy
al-Halabiy, 1970),h. 175.
93
BAB VI
CARA PERHITUNGAN PEMBAGIAN
HARTA WARISAN
Untuk memudahkan pembagian harta warisan, terlebih
dahulu harus difahami petunjuk penghitungannya, yaitu:

A. Isbatul furudh.

Sebelum perhitungan waris dimulai harus diperhatikan isbatul


furudh-nya / ketentuan bagian masing-masing ahli waris, yakni:

1. Menentukan siapa-siapa yang berhak dari ahli waris yang


ada, untuk itu harus dilihat siapa saja yang tidak terhijab.

2. Menentukan berapa bagian masing-masing dari ahli waris


dan siapa-siapa yang menjadi ashabah. Contoh :

Seorang meninggal dunia ahli waris yang ditinggalkan: ayah,


ibu, suami, paman, anak laki-laki, 3 org anak perempuan.
Untuk itu sebelum ditetapkan bagian masing-masing ahli waris,
terlebih dahulu harus diperiksa diantara mereka :

a. Siapa yang ter-hijab (mahjub)


b. Siapa yang menjadi ashhabul furudh.
c. Siapa yang menjadi ashabah.

Untuk masing-masing ahli waris tersebut harus ditulis fungsiya


dalam menjadi ahli waris, yaitu :
1) Ayah menjadi ashhabul furudh, bagiannya 1/6, karena ada
anak laki-laki.
2) Ibu menjadi ashhabul furudh, bagiannya 1/6, karena ada
anak.
94 94

3) Suami menjadi ashhabul furudh, bagiannya 1/4, karena ada


anak.
4) Paman terhijab (mahjub) oleh anak laki-laki dan ayah.
5) Anak laki-laki menjadi ashabah bin nafsi
6) 3 orang anak perempuan menjadi ashabah bil ghairi
(bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan).

Dengan demikian fungsi ahli waris adalah :

1) Ahli waris yang ter-hijab (mahjub) adalah : Paman.


2) Ahli waris yang menjadi ashhabul furudh adalah : Ayah,
ibu, suami.
3) Ahli waris yang menjadi ashabah adalah: Anak laki-laki
(ashabah bin nafsi), dan anak perempuan (ashabah bil
ghairi).
Contoh pembagian ahli waris adalah :

Ahli waris Bagian Asal Maslah 12


Ayah 1/6 1/6 x 12 = 2
Ibu 1/6 1/6 x 12 = 2
Suami 1/4 1/4 x 12 = 3
Paman (sdr lk Mahjub =0
ayah)
Anak laki-laki Ashabah bin nafsi 2 Kepala= 2
3 Orang anak pr Ashabah bil ghari 3 Kepala= 3
(3: 3 = 1)
Jumlah = 12

Kalau sudah pas jumlah asal masalah dengan jumlah pembagian


ahli waris, berarti harta habis dibagi dan pembagian harta
warisan selesai.
95 95

B. Hijab dan Mahjub ( ‫) حجاب و محجوب‬

Hijab secara bahasa (etimologi) adalah berarti al-man’u


(menghalangi, mencegah), Adapun secara istilah (terminologi)
adalah terdinding atau terhalangnya ahli waris untuk
mendapatkan semua harta warisan atau sebagiannya, sebab
adanya waris yang terdekat, seperti terhalang kakek
disebabkan ada ayah, dan terhalangnya ibu dari mendapat
bagian 1/3, sebab ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki),
atau ada dua orang saudara atau lebih, bagian ibu berobah
menjadi 1/6. Mahjub adalah ahli waris yang ditutup hak
warisannya, karena adanya ahli waris yang lebih utama. Dan
ahli waris yang mendinding atau yang menghalangi dinamakan
hajib. Oleh karena itu Ahli waris yang terdinding itu haknya
menjadi tertutup.1

Masalah hijab adalah masalah penting dalam fiqh


mawaris, oleh sebab itu sebelum dilakukan pembagian-
pembagian harta warisan, harus diteliti benar terlebih dahulu
mana diantara ahli waris yang terhijab. Hilangnya hak mewarisi
ini mungkin secara keseluruhan atau mungkin hanya hilang
sebagian, yaitu berkurang bagian yang besar menjadi bagian
yang kecil. Karena itu hijab ini dibedakan menjadi 2 macam:

1. Hijab Nuqshan. )‫(حجاب نقصان‬

Hijab Nuqshan yaitu berkurangnya hak ahli waris dari


bagian yang besar menjadi bagian yang kecil, karena ada ahli
waris yang mempengaruhinya. yakni sebagai berikut :

1
Mawardi Muhammad, IlmuFaraidh ( Fikhi Mawarits), (Padang:
Sridarma,1982),h.47
96 96

a. Suami, jika isterinya wafat dengan meninggalkan anak, baik


anak itu dari perkawinannya dengan suaminya yang
sekarang maupun dengan suami sebelumnya. Dalam hal ini
hak suami berkurang dari 1/2 menjadi 1/4 harta warisan.

b. Isteri, jika suaminya meninggal dunia dengan meninggalkan


anak, baik anak itu dari perkawinan dengan isteri sekarang
maupun dengan isteri yang lain. Dalam hal ini bagian isteri
berkurang dari 1/4 menjadi 1/8 harta warisan.

c. Ibu, jika si mayat meninggalkan anak atau dua orang saudara


atau lebih, hak warisan ibu berkurang dari 1/3 menjadi 1/6
harta warisan.

d. Cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki), jika


simayat meninggalkan seorang anak perempuan, maka hak
cucu perempuan berkurang dari 1/2 menjadi 1/6, yaitu untuk
mencukupi bagian anak perempuan menjadi 2/3 ( ‫تكملة الثلثين‬
), Tetapi jika ada dua orang anak perempuan atau ada anak
laki-laki, maka hak cucu perempuan hilang seluruhnya.

e. Saudara perempuan seayah, jika simayat meninggalkan


seorang saudara perempuan kandung, berkurang haknya dari
1/2 menjadi 1/6, yaitu untuk mencukupi bagian saudara
perempuan kandung menjadi 2/3 ( ‫) تكملة الثلثين‬, Tetapi jika
saudara perempuan kandung ada 2 orang atau lebih, atau ada
saudara laki-laki kandung, maka hak saudara perempuan
seayah hilang seluruhnya.

2. Hijab Hirman )‫(حجاب حرمان‬


97 97

Hijab Hirman adalah tertutupnya atau hilangnya hak


ahli waris untuk seluruhnya, karena ada ahli waris yang lebih
utama dari padanya, seperti hilangnya hak saudara dari yang
meninggal dunia, jika si mayat meninggalkan anak dan cucu
dan terhijabnya hak cucu (anak dari anak laki-laki) disebabkan
adanya anak laki-laki.2

Kerabat yang tidak pernah terhijab hirman adalah :

a. Suami (bisa terhijab nuqshan).


b. Isteri (bisa terhijab nuqshan).
c. Ayah (bisa terhijab nuqshan).
d. Ibu (bisa terhijab nuqshan).
e. Anak laki (Tidak bisa terhijab oleh siapapun)
f. Anak perempuan (Tidak bisa terhijab oleh siapapun).

1). Waris laki-laki yang terhijab ada 11 orang.

a) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki)


terhijab oleh anak laki-laki.
b) Ayah dari ayah (kakek) terhijab oleh ayah.
c) Saudara laki-laki kandung terhijab oleh 3 orang :
1) Anak laki-laki.
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
3) Ayah.
d) Saudara laki-laki seayah terhijab oleh 4 orang :
1) Anak laki-laki.

2 Moh.Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai

Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2009. h.81


98 98

2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).


3) Ayah.
4) Saudara laki-laki kandung.
e) Saudara laki-laki seibu terhijab oleh 6 orang :
1) Anak laki-laki.
2) Anak perempuan.
3) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
4) Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu
perempuan).
5) Ayah.
6) Ayah dari ayah (kakek).
f) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung terhijab
oleh 6 orang:
1) Anak laki-laki.
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
3) Ayah.
4) Ayah dari ayah (kakek).
5) Saudara laki-laki kandung.
6) Saudara laki-laki seayah.
g) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah terhijab
oleh 7 orang :
1) Anak laki-laki.
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
3) Ayah.
4) Ayah dari ayah (kakek).
5) Saudara laki-laki kandung.
6) Saudara laki-laki seayah.
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
h) Paman yang kandung terhijab oleh 8 orang :
1) Anak laki-laki.
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
99 99

3) Ayah.
4) Ayah dari ayah (kakek).
5) Saudara laki-laki kandung.
6) Saudara laki-laki seayah.
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
i) Paman seayah terhijab oleh 9 orang :
1) Anak laki-laki.
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
3) Ayah.
4) Ayah dari ayah (kakek).
5) Saudara laki-laki kandung.
6) Saudara laki-laki seayah.
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
9) Paman kandung.
j) Anak laki-laki dari paman kandung terhijab oleh 10
orang :
1) Anak laki-laki.
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
3) Ayah.
4) Ayah dari ayah (kakek).
5) Saudara laki-laki kandung.
6) Saudara laki-laki seayah.
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
9) Paman kandung.
10) Paman seayah.
k) Anak laki-laki dari paman seayah, terhijab oleh 11
orang:
1) Anak laki-laki.
100 100

2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).


3) Ayah.
4) Ayah dari ayah (kakek).
5) Saudara laki-laki kandung.
6) Saudara laki-laki seayah.
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
9) Paman kandung.
10) Paman seayah.
11) Anak laki-laki dari paman kandung.

2). Waris perempuan yang terhijab ada 6 orang :

a) Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan)


terhijab oleh 2 macam :
1) Anak laki-laki.
2) Dua orang anak perempuan atau lebih, bila dia
tidak mempunyai saudara laki-laki, yaitu anak laki-
laki dari anak laki-laki.
b) Ibu dari ibu terhijab oleh ibu.
c) Ibu dari ayah terhijab oleh 2 orang :
1) Ibu.
2) Ayah.
d) Saudara perempuan kandung terhijab oleh 3 orang :
1) Anak laki-laki.
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
3) Ayah.
e) Saudara perempuan seayah terhijab oleh 4 orang :
1) Anak laki-laki.
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
3) Ayah.
101101

4) Saudara laki-laki kandung.


f) Saudara perempuan seibu terhijab oleh 6 orang :
1) Anak laki-laki.
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
3) Anak perempuan.
4) Anak perempuan dari anak laki-laki.
5) Ayah.
6) Ayah dari ayah (kakek).

C. Asal Masalah dan Cara menghitungnya.

Asal masalah atau pokok pembagian adalah angka-


angka yang menjadi dasar untuk menghitung bagian-bagian
waris atau disebut juga dengan Kelipatan Persekutuan bilangan
yang terkecil (KPT). Hitungan dalam fiqh mawaris sebagian
besar adalah mengenai hitungan pecahan yang terbatas dan
berkisar pada : 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6 dan perkembangan
dari pecahan-pecahan tersebut.

Cara mengetahui asal masalah.

Apabila diperhatikan segala macam masalah atau keadaan


dalam pembagian harta warisan, dapat disimpulkan kepada 3
macam masalah, yaitu :

a. Masalah yang ashabah saja.

Jika masalah itu ashabah saja, maka asal masalahnya


(pokok pembagiannya) adalah angka jumlah kepala. Contoh :
Ahli Waris Bagian Asal Masalah 3
3 org anak laki. Ashbh bin nafsi. 3 (3:3)=1 utk 1 org
102 102

Pada contoh ini asal masalahnya 3, karena jumlah


kepala 3, artinya harta warisan itu dibagi kepada 3 bagian,
masing-masing anak laki-laki mendapat 1 bagian, atau boleh
juga disebut harta warisan itu dibagi 3, masing-masing anak
laki-laki mendapat 1/3 dari harta warisan tersebut.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 8


3 org anak laki Ashabah bin nafsi 6 kepala (6:3 = 2 )
2 org anak pr Ashabah bil ghairi 2 kepala (2:2 = 1 )
Jumlah =8
Pada contoh ini asal masalahnya 8, karena jumlah
kepala 8, sebab 1 orang anak laki-laki dihitung 2 kepala, jika
dia bersama dengan anak perempuan. Masing-masing anak laki-
laki mendapat 2 bagian, dan masing-masing anak perempuan
mendapat 1 bagian. Dengan kata lain harta warisan dibagi 8,
masing-masing anak laki-laki mendapat 2/8, dan masing-
masing anak perempuan mendapat 1/8.

b. Masalah yang satu pecahannya (furudh-nya).

Jika masalah itu satu pecahannya (furudh-nya), maka asal


masalah adalah penyebut pecahan itu. Contoh :

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 2


Suami 1/2 1/2 x 2 = 1
Sdr lk kandung Ashbh bin nafsi 2–1=1
Jumlah =2

Jadi pada contoh ini, angka penyebut adalah angka untuk


membagi / pembagi dari angka pecahan. Jadi angka pecahan 1/2
103
103

(satu per dua), angka 1 disebut pembilang, dan angka 2 disebut


penyebut. Oleh sebab itu asal masalahnya adalah 2.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6


Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
Anak laki-laki Ashabah bin nafsi 6–1=5
Jumlah =6

Pada contoh ini, angka penyebut adalah angka untuk membagi/


pembagi dari angka pecahan. Jadi angka pecahan 1/6 (satu per
enam), angka 1 disebut pembilang, dan angka 6 disebut
penyebut. Oleh sebab itu asal masalahnya adalah 6.

c. Masalah yang dua pecahannya (furudhnya) atau lebih.

Masalah ini ada 4 macam, yaitu Tamatsul, tadakhul,


tawafuq, dan tabayun.

1). Tamatsul ) ‫ ( تماثل‬adalah dua penyebut yang senama antara


satu dengan yang lain. Contoh :

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 2


Suami 1/2 1/2 x 2 = 1
Sdr pr kandung 1/2 1/2 x 2 = 1
Jumlah =2

Tamatsul (dua penyebut yang senama), asal masalahnya


penyebut salah satu dari dua pecahan itu. Jadi pada contoh ini,
asal masalahnya adalah 2, penyebut dari 1/2 . Artinya harta
warisan itu dibagi kepada 2 bagian. Suami mendapat 1/2 dari 2
bagian = 1 bagian, dan saudara perempuan kandung juga
mendapat 1/2 dari 2 bagian = 1 bagian.
104 104

2). Tadakhul )‫ ( تداخل‬ialah penyebut yang kecil bisa masuk


kedalam penyebut yang besar dengan berulang kali sampai
habis. Seperti penyebut 1/2 bisa masuk kedalam penyebut 1/8
dengan berulang 4 kali atau penyebut 1/3 bisa masuk kedalam
penyebut 1/6 dengan berulang 2 kali, contoh:

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 8


Isteri 1/8 1/8 x 8 = 1
Anak perempuan 1/2 1/2 x 8 = 4
Sdr lk kandung Ashabah bin nafsi 8–5 =3
Jumlah =8

Tadakhul asal masalahnya adalah penyebut yang besar atau


disebut juga angka kelipatan. Jadi pada contoh diatas, asal
masalahnya 8, penyebut 1/8, yaitu penyebut yang besar, atau
angka kelipatan dari penyebut 1/2 . Artinya harta warisan dibagi
kepada 8 bagian. Isteri mendapat 1/8 dari 8 bagian = 1 bagian.
Anak perempuan mendapat 4/8 dari 8 bagian = 4 bagian. Dan
saudara laki-laki kandung mendapat ashabah, yaitu mendapat
sisa dari isteri dan anak perempuan, yaitu 8 – 1 – 4 = 3 bagian.
Atau dalam hal ini 3/8 dari 8 bagian = 3 bagian.

3). Tawafuq ) ‫ ( توافق‬adalah dua penyebut yang dapat


dimudahkan dengan satu angka, seperti penyebut 1/4 dan 1/6
dapat dimudahkan dengan angka 2, karena angka 4 dan 6 dapat
dimudahkan dengan angka 2 menjadi 2 dan 3, contoh :

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 12


Suami 1/4 1/4 x 12 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 12 = 2
Anak laki-laki Ashabah bin nafsi 12 - 3 -2 = 7
Jumlah = 12
105105

Maslahnya tawafuq asal masalahnya adalah jumlah perkalian


angka mudahan dengan angka penyebut yang lain. Jadi pada
contoh ini, asal masalahnya 12, yaitu jumlah dari perkalian
angka mudahan satu penyebut dengan penyebut yang lain,
yakni 2 x 6 atau 3 x 4. Artinya harta warisan itu dibagi kepada
12 bagian. Suami mendapat 1/4 x 12 = 3. Ibu mendapat 1/6 x 12
= 2. Dan anak laki-laki mendapat ashabah bin nafsi yaitu sisa
dari ashabul furudh, sisa dari suami dan ibu 12 – 3 – 2 = 7

4). Tabayun (‫ ) تباين‬adalah dua penyebut yang berlainan satu


dengan yang lain, dan tidak dapat dimudahkan, seperti penyebut
1/2 dengan 1/3, Contoh :

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6


Ibu 1/3 1/3 x 6 = 2
Sdr pr kandung 1/2 1/2 x 6 = 3
Paman Ashabah bin nafsi 6–2–3=1
Jumlah =6

Tabayun asal masalahnya adalah jumlah perkalian penyebut


yang satu dengan yang lain. Jadi pada contoh diatas asal
masalahnya adalah 6, yaitu jumlah perkalian 2 x 3 = 6 atau 3 x
2 = 6. Artinya harta warisan itu dibagi kepada 6 bagian. Ibu
mendapat 1/3 x 6 = 2. Saudara perempuan kandung mendapat
1/2 x 6 = 3. Paman mendapat sisanya, yaitu 6 – 2 – 3 = 1.

D. Tashhih Masalah ) ‫( تصحيح مسالة‬

Tashhih Masalah atau mensahkan masalah yaitu


mencari angka yang kecil agar dapat dikeluarkan bagian-bagian
106 106

waris dengan bulat dan selesai. Tashhih ini dibutuhkan apabila


pembagian dengan asal masalah masih terpecah-pecah.
Sebaliknya jika pembagian itu sudah selesai dengan asal
masalah, maka tashhih masalah tidak dilakukan lagi.

Contoh : Tidak perlu tashhih masalah.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 4


Suami 1/4 1/4 x 4 = 1
3 org anak lk Ashabah bin nafsi 4 -1 = 3 ( 3 : 3 = 1 )
Jumlah =4

Pada contoh ini asal maslah adalah 4, penyebut dari 1/4,


Jadi harta warisan itu dibagi kepada 4 bagian, suami mendapat
1/4 x 4 = 1. 3 orang anak laki-laki mendapat ashabah bin nafsi,
yaitu 4 – 1 = 3. Jadi masing-masing anak laki-laki mendapat 1
bagian. Dalam hal yang seperti ini pembagian sudah selesai,
karena masing-masing waris telah mendapat bagian yang bulat.
Dalam hal ini tashhih masalah tidak dilakukan lagi. Sebaliknya
jika bagian-bagian waris masih terpecah-pecah dan para ahli
waris belum menerima bagian-bagian yang bulat, maka tashhih
masalah dibutuhkan untuk menyelesaikannya.

Contoh : Perlu tashhih masalah.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah Tashhih


=4 Masalah = 8
Suami 1/4 1/4 x 4 = 1 1/4 x 8 = 2
6 org anak lk Ashbh bin 4–1=3 3/4 x 8 =
nafsi 6:6 =1
Jumlah =4 =8
107107

Pada contoh ini, asal masalah adalah 4, karena penyebut


dari 1/4 . Suami mendapat 1/4 x 4 = 1. Dan 6 orang anak laki-
laki mendapat ashabah bin nafsi, yaitu sisanya = 4 – 1 = 3.
Dalam masalah ini pembagian belum selesai, karena masing-
masing anak laki-laki tidak mendapat bagian yang bulat, dan
masih terpecah-pecah. Sebab anak laki-laki berjumlah 6 orang,
sedangkan bagian mereka Cuma 3. Oleh sebab itu dalam hal ini
perlu tashhih masalah, agar mereka menerima bagian yang bulat
dan tidak terpecah-pecah.

Cara tashhih masalah adalah dengan cara


diperbandingkan terlebih dahulu angka jumlah kepala dengan
angka bagiannya, yaitu 6 dan 3. Kedua angka ini tadakhul, bisa
dimudahkan atau dikecilkan dengan angka 3. Jadi angka
mudahannya (kecilnya) 2 dan 1. Kemudian diperkalikan angka
mudahan jumlah kepala, yaitu 2 dengan angka asal masalah,
yaitu 4 = 2 x 4 = 8. Pendapatan ini dinamakan tashhih masalah.
Dengan angka ini pembagian harta warisan jadi selesai. Jadi
harta warisan dibagi 8 bagian. Suami mendapat 1/4 x 8 = 2. Dan
6 orang anak laki-laki mendapat sisanya= 8 – 2 = 6. Dengan ini
masing-masing anak laki-laki mendapat = 6 : 6 = 1 bagian.

Contoh yang perlu tashhih masalah.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah Tashhih


= 4 Masalah = 16
Suami 1/4 1/4 x 4 = 1 1/4 x 16 = 4
4 org anak Ashbh b nafsi 4–1=3 3/4 x 16 = 12
lk 12 : 4 = 3
Jumlah =4 = 16
108 108

Pada contoh ini asal masalah 4 dari penyebut 1/4 .


Suami mendapat 1/4 x 4 = 1. Sedangkan 4 orang anak laki-laki
mendapat = 4 - 1 = 3. Dalam hal ini pembagian belum selesai,
karena masing-masing anak laki-laki tidak mendapat bagian
yang bulat, masih terpecah-pecah, sebab mereka berjumlah 4
orang, sedang bagian untuk mereka 3. Oleh karena itu perlu
dilakukan tashhih masalah. Caranya adalah diperbandingklan
lebih dahulu angka jumlah kepala dengan angka bagian mereka,
yaitu 4 dan 3. Kedua angka ini tabayun, tidak bisa dimudahkan.
Untuk itu maka diperkalikan saja angka jumlah kepala, yaitu 4
dengan angka asal masalah yakni 4, jadi 4 x 4 = 16. Pendapatan
ini dinamakan tashhih masalah. Dengan demikian pembagian
dapat selesai. Bagian suami 1/4 x 16 = 4. Dan bagian 4 orang
anak laki-laki= 16 – 4 = 12 atau 3/4 x 16 = 12. Jadi masing-
masingnya mendapat 3 bagian.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa cara


tashhih masalah adalah dengan memperbandingkan angka
jumlah kepala dengan angka bagian. Jika kedua angka itu bisa
dimudahkan dengan satu angka, maka angka mudahan jumlah
kepala itu diperkalikan dengan angka asal masalah. Dari angka
pendapatannya pembagian tersebut akan jadi selesai. Jika angka
jumlah kepala dengan angka bagiannya tabayun, tidak bisa
dimudahkan, maka angka jumlah kepala itu diperkalikan
dengan angka asal masalah. Dari angka pendapatannya
pembagian itu akan jadi selesai.

E. Contoh-Contoh Tashhih masalah seperti berikut :

1. Waris : Isteri, ibu, 3 anak laki-laki, 2 anak perempuan.

Ahli Waris : Isteri, ibu, 3 anak laki-laki, 2 anak perempuan


109
109

Ahli Waris Bagian Asal Masalah Tashhih


= 24 Masalah = 192
Isteri 1/8 1/8 x 24 = 3 3/24 x 192= 24
Ibu 1/6 1/6 x 24 = 4 4/24 x 192=32
3 org ank lk Ashbh b nafsi 6 kepala }= 17 17/24x192 =136
2 org ank pr Ashbh b ghair 2 kepala } 136 : 8 = 17
Jumlah = 24 = 192

Bagian untuk 3 orang anak laki dan 2 orang anak perempuan


adalah 17/24 x 192 = 136. Dan ini adalah untuk 8 kepala. Jadi
masing-masing kepala dapat 136 : 8 = 17. Untuk masing-
masing anak laki-laki 2 x 17 = 34. Untuk masing-masing anak
perempuan = 17.

2. Waris : Ibu, anak pr, 5 saudara laki-laki kandung.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah Tashhih


=6 Masalah = 30
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x 30 = 5
Anak pr 1/2 1/2 x 6 = 3 3/6 x 30 = 15
5 org Sdr lk Ashbh b nafsi 6–4 =2 2/6 x 30 = 10
kdg 10 : 5 = 2
Jumlah =6 = 30

3. Waris : Isteri, Anak pr, 4 saudara pr kandung.

Ahli Waris Bagian AM=8 T M = 32


Isteri 1/8 1/8 x 8 = 1 1/8 x 32 = 4
Anak pr 1/2 1/2 x 8 = 4 4/8 x 32 = 16
4 sdr pr kdg Ashb m ghair 8–1–4=3 32-4-16 =12
(3/8 x 32 =12)
12 : 4 = 3
Jumlah =8 = 32
110 110

4. Waris : Ayah, 3 orang anak laki-laki.

Ahli Waris Bagian AM=6 T M = 18


Ayah 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x 18 = 3
3 org anak lk Ashbh b nafsi 6–1 =5 5/6 x 18 = 15
15 : 3 = 5
Jumlah =6 = 18

5. Waris :Suami, ibu, 5 anak laki-laki.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah Tashhih


= 12 Masalah = 60
Suami 1/4 1/4 x 12 = 3 3/12 x 60 = 15
Ibu 1/6 1/6 x 12 = 2 2/12 x 60 = 10
5 org anak lk Ashbh b nafsi 12 – 3 – 2 = 7 7/12 x 60 = 35
35 : 5 = 7
Jumlah = 12 = 60

Tashhih masalah adalah mencari angka agar hitungannya bulat,


atau bagian untuk satu macam ahli waris menjadi bulat, dengan
arti kata tidak terpecah-pecah. Tetapi untuk memudahkan cara
menghitungnya, kalau harta warisan tersebut sudah ditotal
dalam bentuk rupiah, tanpa dijadikan tashhih masalah harta
warisan tetap bisa dibagi. Contoh pada pembagian pada nomor
5 diatas ini. Bagian 5 orang anak laki-laki adalah 7. Jadi
masing-masing anak laki-laki mendapat bagian tidak bulat.
Apabila angka 7 tersebut sudah berbentuk rupiah, berapapun
jumlahnya akan mudah dibagi dengan bantuan kalkulator atau
alat untuk menghitung.
111
BAB VII
AHLI WARIS ASHHABUL FURUDH DAN BAGIANNYA
Sebelum dijelaskan uraian mengenai ashhabul furudh,
perlu diketahui bahwa ahli waris dapat dikelompokkan menjadi
tiga macam, yaitu :
A. Ashhabul furudh ( pembahasan pada Bab VII )
B. Ashabah ( pembahasan pada Bab VIII )
C. Dzawil Arham ( pembahasan pada Bab XI )

A. Pengertian Ashhabul furudh (‫) اصحاب الفرض‬

Ashabul furudh atau ahlul furudh atau dzawil furudh


adalah ahli waris yang mendapat bagian yang tertentu, yang
mempunyai bagian harta warisan yang sudah ditentukan dalam
Al-Qur aan, As-Sunnah dan Ijma’. Bagian yang sudah
ditentukan kan itu: 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, 1/6. Orang-orang yang
menjadi ahli waris ashabul furudh ini berjumlah 25 orang yang
terdiri 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan sebagaimana
telah dijelaskan diatas pada keterangan ahli waris.

B. Ahli waris yang menjadi ashhahabul furudh ada 12


orang, perhatikan tabel dibawah ini :

No Ahli waris Bagian


1 Suami 1/2 1/4
2 Isteri 1/4 1/8
3 Ayah 1/6 1/6+ Ashabah
Ashabah bin nafsi
bin nafsi
4 Kakek (ayah 1/6 1/6+ Ashabah
dari ayah) kakek Ashabah bin nafsi
mendapat bagian bin nafsi
112 112

kalau ayah tidak


ada.
5 Ibu 1/3 1/6
6 Nenek (ibu dari 1/6.
ibu dan ibu dari
ayah). Nenek
dapat bagian
kalau ibu tidak
ada.
7 Anak pr 1/2 2/3 Ashabah
bil ghairi
8 Anak pr dari 1/2 2/3 1/6 Ashabah
anak lk bil
ghairi
9 Sdr pr kdg 1/2 2/3 Ashabah Ashabah
bil ghairi ma’al
ghairi
10 Sdr pr seayah 1/2 2/3 1/6 Ashabah Ashabah
bil ma’al
ghairi ghairi
11 Sdr lk seibu 1/3 1/6
12 Sdr pr seibu 1/3 1/6

C. Bagian atau Hak Ahli Waris Ashhabul furudh.

1. Bagian Suami (1/2 atau 1/4), Dalil dan Contohnya.

Bagian Suami ada 2 macam :


a. Suami mendapat ½ bila simayat tidak mempunyai anak dan
cucu (anak dari anak laki-laki).
b. Suami mendapat ¼ bila simayat mempunyai anak atau cucu
(anak dari anak laki-laki).
113113

Dalilnya firman Allah QS An-Nisaa (4) ayat 12 :

  
         
     

 …           


      

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai
anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya….

Contoh menyelesaikan masalahnya:

a. Ahli Waris : Suami dan 1orang anak laki-laki.

Ahli waris Bagian Asal Masalah = 4


Suami 1/4 1/4 x 4 = 1
1 org Anak lk Ashbh b nafs (sisa) 4–1 =3
Jumlah =4

b. Ahli Waris: Suami dan 1 org saudara laki-laki kandung.


Ahli waris Bagian Asal Masalah = 2
Suami 1/2 1/2 x 2 = 1
1 org Sdr lk kdg Ashbh b nafs (sisa) 2–1 =1
Jumlah =2

c. Ahli Waris: Suami, 1 org anak pr, 1 org sdr lk kdg.


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 4
Suami 1/4 1/4 x 4 = 1
114 114

1 org anak pr 1/2 1/2 x 4 = 2


1 org Sdr lk kandung Ashbh b nafsi (sisa) 4–1–2=1
Jumlah =4

d. Ahli Waris : Suami dan 1 orang anak laki-laki dari anak


laki-laki (cucu laki-laki ).
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 4
Suami 1/4 1/4 x 4 = 1
Anak lk dari anak lk Ashabah bin nafsi 4–1=3
( cucu lk) (sisa)
Jumlah =4

e. Ahli Waris : Suami dan 1 orang anak perempuan dari


anak laki-laki dan 1 orang saudara laki-laki kandung.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 4


Suami 1/4 1/4 x 4 = 1
1org ank pr dari ank 1/2 1/2 x 4 = 2
lk
1 org sdr lk kandung Ashabah bin nafsi 4–1–2=1
Jumlah =4

2. Bagian Isteri (1/4 atau 1/8), Dalil dan Contohnya.


Bagian isteri ada dua macam :

a. Isteri mendapat 1/4 bila simayat tidak mempunyai anak dan


cucu (anak dari anak laki-laki).
b. Isteri mendapat 1/8 bila simayat mempunyai anak atau cucu
(anak dari anak laki-laki).

Dalilnya firman Allah QS An-Nisaa (4) ayat 12 :


115115

 
  
             …

 …         


        

… para isteri memperoleh seperempat harta yang


kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika
kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu… .

Perlu diperhatikan :
1). Tentang cucu termasuk dalam pengertian anak ) ‫( ولد‬
2). Jika isteri itu dua, tiga atau empat orang mereka berserikat
pada bagian tersebut dengan mendapat pembagian yang
sama.
3). Isteri yang dalam masa ‘iddah yang boleh dirujuki oleh
suaminya (‘iddah talak raj’i), tetap mendapat bagian warisan
dari suaminya yang meninggal dunia, sebaliknya bila
‘iddahnya telah habis, ia tidak berhak terhadap harta warisan
lagi.
4).Isteri yang mendapat harta warisan adalah isteri yang
dilakukan perkawinannya sah menurut agama Islam. Jika
perkawinannya tidak sah, masing-masing tidak waris
mewarisi.

Contoh menyelesaikan masalahnya dan bagian masing-


masing ahli waris:
a. Ahli Waris : Isteri dan 1orang anak laki-laki.
116 116

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 8


Isteri 1/8 1/8 x 8 = 1
1 org anak laki-laki Ashbh b nafsi (sisa) 8–1=7
Jumlah =8

b. Ahli Waris : Isteri dan 1 org saudara laki-laki kandung.


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 4
Isteri 1/4 1/4 x 4 = 1
1 org sdr lk kdg Ashbh b nafs (sisa) 4–1=3
Jumlah =4

c. Ahli Waris: Isteri dan 1 org anak pr dan 1 org sdr lk kdg.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 8
Isteri 1/8 1/8 x 8 = 1
1 org anak pr 1/2 1/2 x 8 = 4
1 org sdr lk kdg Ashbh b nafsi (sisa) 8–5=3
Jumlah =8

d. Ahli Waris : Isteri dan 1 orang anak laki-laki dari anak


laki-laki (cucu laki-laki ).
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 8
Isteri 1/8 1/8 x 8 = 1
1 org ank lk dari Ashabah bin nafsi 8–1=7
ank lk (cucu lk ) (sisa)
Jumlah =8

e. Ahli Waris : Isteri dan 1 orang anak perempuan dari


anak laki-laki dan 1 orang saudara laki-laki kandung.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 8
Isteri 1/8 1/8 x 8 = 1
1 org ank pr dari ank lk 1/2 1/2 x 8 = 4
1 org sdr lk kandung Ashbh bin nafsi 8 -1- 4 = 3
117117

Jumlah =8

Bila pembagian harta warisan lansung diaplikasikan


dengan mentotal jumlah harta peninggalan, sebagai contohnya :
Seorang meninggal dunia, harta peninggalannya berjumlah 25
jt, Untuk bayar wasiatnya untuk mesjid 10 jt, untuk bayar
hutangnya 5 jt, dan biaya tajhiz (penelenggaraan jenazah) 2 jt,
ahli waris yang ditinggalkan : 2 orang isterinya, 1 orang Anak
perempuannya, dan 3 orang saudara laki-laki kandung. Bagilah
harta tersebut berapa bagian masing-masing.
Jawabnya :
Jumlah harta peninggalan = 25 jt
Tajhiz (penyelenggaraan jenazah) = 2 jt
Bayar hutangnya = 5 jt
Sisa harta = 25 jt – 7 jt = 18 jt
Wasiat 10 jt tidak bisa dilaksanakan, karena melebihi dari 1/3
harta, melebihi dari 1/3 x 18 jt.
Wasiatnya 1/3 x 18 jt = 6 jt
Sisa harta (harta warisan) = 12 jt

Ahli Waris Bagian Asal Masalah Bagiannya dari


=8 12 000 000
2 org isteri 1/8 1/8 x 8 = 1 1/8 x 12 000 000 =
1 500 000 : 2 =
750 000,-
1 org anak pr 1/2 1/2 x 8 = 4 4/8 x 12 000 000 =
6 000 000,-
3 org sdr lk Ashbh bin 8-1–4=3 3/8 x 12 000 000 =
kdg nafsi 4 500 000 : 3 =
1 500 000,-
Jumlah =8 = 12 000 000,-
118 118

3. Bagian Ayah (1/6 atau 1/6 + ashabah binnafsi atau


ashabah bin nafsi), Dalil dan Contohnya:

Bagian Ayah ada 3 macam, yaitu :

a. Ayah mendapat 1/6 bila simayat mempunyai anak laki-laki


atau cucu (anak laki-laki dari anak laki-laki).
b. Ayah mendapat 1/6 + ashabah binnafsi bila simayat
mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan (anak
perempuan dari anak laki-laki), dan harta masih berlebih.
c. Ayah mendapat ashabah bin nafsi bila simayat tidak
mempunyai anak, atau cucu (anak laki-laki dari anak laki-
laki).

Dalilnya firman Allah SWT QS An-Nisaa’ (4) ayat 11 :


   
       
     …

      


 …       

…dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-


masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga…

Contoh menyelesaikan masalahnya dan bagian masing-


masing ahli waris:

a. Ahli waris : Ayah dan 5 orang anak laki-laki


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
119119

Ayah 1/6 1/6 x 6 = 1


5 org anak laki-laki Ashbh b nafsi (sisa) 6–1=5:5=1
Jumlah =6

b. Ahli waris : Ayah dan Ibu.


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 3
Ayah Ashbh b nafsi (sisa) 3–1=2
Ibu 1/3 1/3 x 3 = 1
Jumlah =3

c. Ahli waris : Ayah dan ibu dan 4 orang anak laki-laki.


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
Ayah 1/6 1/6 x 6 = 1
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
4 org anak lk lk Ashbh b nafsi (sisa) 6-1-1 = 4 : 4 = 1
Jumlah =6

d. Ahli waris : Ayah dan suami dan 7 orang anak laki-laki.


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 12
Ayah 1/6 1/6 x 12 = 2
Suami 1/4 1/4 x 12 = 3
7 org anak lk-lk Ashbh b nafsi (sisa) 12-2-3 = 7 : 7 = 1
Jumlah = 12.

e. Ahli waris : Ayah dan 1 orang anak perempuan.


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
Ayah 1/6 + Ashbh b nfs 1/6 x 6 = 1 +
(sisa) (6 - 1 - 3 = 2) = 3
1 org anak pr 1/2 1/2 x 6 = 3
Jumlah =6

4. Bagian Kakek (1/6 atau 1/6 + ashabah binnafsi atau


ashabah bin nafsi), Dalil dan Contoh:
Kakek yang menjadi ahli waris adalah ayah dari ayah,
meskipun yang teratas seperti ayah dari ayah dari ayah dan
begitu selanjutnya. Adapun kakek yang bertalian dari ibu,
120 120

seperti ayah dari ibu, dan ayah dari ibu dari ayah tidak menjadi
waris, hanya ia termasuk golongan dzawil arham (masalahnya
akan dijelaskan dibelakang. Bagian kakek ada 3 macam, yaitu
sama dengan bagian ayah, kakek mendapat bagian kalau ayah
tidak ada, yaitu :

Bagian kakek (ayah dari ayah) ada 3 macam, yaitu :


a. Kakek mendapat 1/6 bila simayat mempunyai anak laki-laki
atau cucu (anak laki-laki dari anak laki-laki).
b. Kakek mendapat 1/6 + ashabah binnafsi bila simayat
mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan (anak
perempuan dari anak laki-laki), dan harta masih berlebih.
c. Kakek mendapat ashabah bin nafsi bila simayat tidak
mempunyai anak, dan anak dari anak laki-laki.
Dalilnya adalah firman Allah SWT QS An-Nisaa’ (4) ayat 11,
Kakek mendapat bagian apabila ayah tidak ada. Contoh:

a. Ahli waris : Kakek, isteri dan anak laki-laki.


Ahli Waris Bagian A M = 24
Kakek 1/6 1/6 x 24 = 4
Isteri 1/8 1/8 x 24 = 3
Anak laki-laki Ashbh b nafsi (sisa) 24 – 4 – 3 = 17
Jumlah = 24

b. Ahli waris : Kakek, isteri dan anak perempuan


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 24
Kakek 1/6+Ashbh b nfs 1/6 x 24 = 4 + ( 24-
(sisa) 4-3-12= 5 )= 9
Isteri 1/8 1/8 x 24 = 3
Anak perempuan 1/2 1/2 x 24 = 12
Jumlah = 24

c. Ahli waris : Kakek dan suami.


121121

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 2


Kakek Ashbh b nafsi (sisa) 2–1=1
Suami 1/2 1/2 x 2 = 1
Jumlah =2

5. Bagian Ibu (1/6 atau 1/3), Dalil dan Contoh:


Bagian Ibu ada 2 macam, yaitu :
a. Ibu mendapat 1/6 bila simayat mempunyai anak (baik anak
itu laki-laki atau perempuan) atau cucu (anak dari anak laki-
laki, baik cucu itu laki-laki atau perempuan) atau bila
simayat mempunyai berbilang saudara, baik kandung, atau
sebapak atau seibu, baik laki-laki maupun perempuan atau
saudara-saudara itu bercampur baur, baik saudara-saudara
itu menjadi waris atau terhijab.
b. Ibu mendapat 1/3 adalah kebalikan dari ibu mendapat 1/6,
yaitu bila simayat tidak mempunyai anak, atau cucu ( anak
dari anak laki-laki) dan tidak mempunyai berbilang saudara.
Jika saudara hanya 1 orang ibu tetap mendapat bagian 1/3.

Dalil firman Allah SWT QS An-Nisaa’ (4) ayat 11 :

‫ل َو َ د‬
ُ َّ ‫كن‬ُ َ ۡ َّ َ ‫َ َ َ ُ َ َ د‬ َ
‫ فإ أن لم ي‬ٞۚ ‫ٱلس ُد ُس م َّأما ت َر َك إأن كن ل ول‬ ُّ ‫حد لم ۡأن ُه َما‬ َ ‫ َو أِلَبَ َو ۡيهأ ل ُ ل‬...
‫ل‬ ٖ ‫أك و َٰ أ‬ ‫أ‬
ُ ۡ َ ُ ُ ُّ ‫ل‬ ُ َ ‫د‬ ۡ َ َ َ َ ُ ُ ُّ ‫ل‬ ُ َ ُ َََ َُ َ َ
‫وِص‬ ‫س مأ ۢن بع أد َوصأ يَّةٖ ي أ‬ ٞۚ ‫د‬ ‫ٱلس‬ ‫أ‬ ‫ه‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫أ‬
‫ِل‬ ‫ف‬ ‫ة‬ َ ‫ث فإن كن ُل إأخ‬
‫و‬ ‫أ‬ ٞۚ ‫ل‬ ‫ٱثل‬ ‫أ‬ ‫ه‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫أ‬
‫ِل‬ ‫وورأثه أبواه ف‬
َ َٓ
١١ ... ‫ب أ َها أ ۡو ديۡن‬

… dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-


masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
122 122

oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat


sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya….

Contoh penyelesaian masalahnya antara lain :

a. Ahli waris : Ibu, isteri dan anak laki-laki.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 24


Ibu 1/6 1/6 x 24 = 4
Isteri 1/8 1/8 x 24 = 3
Anak laki-laki Ashabah bin nafsi 24 – 4 – 3 = 17
Jumlah = 24

b. Ahli waris : Ibu dan 5 orang saudara laki-laki seayah.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6


Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
5 org sdr lk seayah Ashbh bin nafsi (sisa) 6–1=5:5=1
Jumlah =6

c. Ahli waris : Ibu dan ayah.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 3


Ibu 1/3 1/3 x 3 = 1
Ayah Ashbh b nafsi(sisa) 3–1=2
Jumlah =3

d. Ahli waris : Ibu, ayah dan 3 orang sdr laki-laki kandung.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6


123123

Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1


A Ayah Ashbh b nfs (sisa) 6 – 1= 5
3 3 org sdr lk kdg Mahjub oleh ayah =0
0 Jumlah =6

e. Ahli waris : Ibu, suami, ayah dan 2 org sdr lk dari ayah.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6


Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
Suami 1/2 1/2 x 6 = 3
Ayah Ashbh bin nafsi (sisa) 6–1–3=2
2 org sdr lk dari Ayah Mahjub oleh ayah =0
Jumlah =6

f. Ahli waris : Ibu, suami dan kakek.


Ahli Waris Bagian Asal Masalah =
6
Ibu 1/3 1/3 x 6 = 2
Suami 1/2 1/2 x 6 = 3
Kakek Ashbh b nafsi (sisa) 6–2–3=1
Jumlah =6

g. Ahli waris : Ibu, isteri dan kakek


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 12
Ibu 1/3 1/3 x 12 = 4
Isteri 1/4 1/4 x 12 = 3
Kakek Ashhbh b nfs (sisa) 12 – 4 – 3 = 5
Jumlah = 12

6. Bagian Nenek (ibu dari ibu dan ibu dari ayah), Dalil dan
Contoh.
Bagian Nenek satu macam saja, yaitu 1/6.
Bagian nenek satu macam saja yaitu 1/6, dengan syarat
ibu si mayat tidak ada, jika simayat mempunyai ibu, nenek
terhijab atau tidak mendapat bagian. Kalau nenek itu lebih dari
124 124

satu orang, mereka berserikat pada bagian 1/6 itu, dengan


pembagian yang sama banyak.
Dalil : Hadis Rasul yaitu :
Qubaishah bin Duaib menerangkan: Seorang nenek
datang kepada Abu Bakar, menanyakan hak
warisannya. Setelah itu Abu Bakar menjawab: Tidak
ada tersebut bagian engkau dalam Kitab Allah dan tidak
pula aku ketahui dalam sunnah Nabi SAW, oleh sebab
itu hendaklah engkau pulang dahulu, menjelang aku
bertanya kepada manusia. Lalu Abu Bakar bertanya
kepada manusia. Pada waktu itu Mughirah bin Syu’bah
berkata: Aku hadir dekat Rasulullah sedang dia
memberikan kepada nenek 1/6. Kemudian Abu Bakar
bertanya: Adakah orang lain yang tahu selain engkau ?.
Maka berdiri Muhammad bin Salamah, lalu
menerangkan seperti yang diterangkan Mughirah itu.
Lantas Abu Bakar memberikan bagian nenek 1/6….1

Contoh penyelesaian masalahnya :


a. Ahli waris : Nenek, isteri dan anak laki-laki.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 24
Nenek 1/6 1/6 x 24 = 4
Isteri 1/8 1/8 x 24 = 3
Anak laki-laki Ashabah bin nafsi 24 – 4 – 3 = 17
Jumlah = 24

b. Ahli waris : Nenek, Suami dan ayah.


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
Nenek 1/6 1/6 x 6 = 1
Suami 1/2 1/2 x 6 = 3

1
Mawardi Muhammad, Ilmu Faraidl, (Padang : Sridarma, 1982), h.
38.
125125

Ayah Ashbh b nfs (sisa) 6–1–3=2


Jumlah =6

c. Ahli waris : Nenek, anak perempuan, isteri, dan saudara


laki-laki kandung dan Paman kandung

Ahli Waris Bagian A M = 24


Nenek 1/6 1/6 x 24 =4
Anak Pr 1/2 1/2 x 24 =12
Isteri 1/8 1/8 x 24 =3
Sdr lk kdg Ashbh b nfs (sisa) 24 – 4 – 12 – 3 = 5
Paman kdg Mahjub oleh sdr lk kdg =0
Jumlah = 24

7. Bagian Anak perempuan (1/2 atau 2/3 atau ashabah bil


ghairi), Dalil dan Contohnya.
Bagian anak perempuan ada 3 macam :
a. Anak perempuan mendapat 1/2 bila dia sendiri dan tidak ada
anak laki-laki dari simayat.
b. Anak perempuan mendapat 2/3 bila anak perempuan itu 2
orang atau lebih, dan tidak ada anak laki-laki dari si mayat.
c. Anak perempuan menjadi ashabah bil ghairi bila bersama
anak laki-laki dari simayat. Dalam hal ini anak laki-laki
mendapat dua kali bagian anak perempuan. Anak laki-laki
dihitung dua kepala, dan anak perempuan dihitung satu
kepala. Misalnya ahli waris terdiri dari 2 orang anak laki-
laki dan 1 orang anak perempuan, semuanya dihitung
menjadi 5 kepala.

Dalil firman Allah SWT QS An-Nisaa’(4) ayat 11 :


126 126

       


      
   

 …  
     
       
  
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta ….2
Contoh Penyelesaian Masalahnya :
a. Ahli waris :1 orang anak pr dan 2 orang anak lk.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 5
1 org anak pr Ashabah bil ghairi 1 kepala = 1
2 org anak lk Ashabah bin nafsi 4 kepala = 4 : 2 = 2
Jumlah =5

b. Ahli waris :1 orang anak perempuan, isteri dan ayah.


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 24
1 org anak pr 1/2 1/2 x 24 = 12
Isteri 1/8 1/8 x 24 = 3
Ayah 1/6+Ashbh b nfs (sisa) 1/6 x 24 = 4 + (24 –
12 – 3 – 4 = 5) = 9
Jumlah = 24.

c. Ahli waris : 2 orang anak perempuan dan ayah.


Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
2 org anak pr 2/3 2/3 x 6 = 4
Ayah 1/6 + Ashbh b nafsi 1/6 x 6 = 1 + ( 6 – 4 –
(sisa) 1 = 1) = 2
Jumlah =6

2 Departemen Agama RI, 0p.cit, h 117.


127127

d. Ahli waris : 3 orang anak perempuan,1 oang anak laki-


laki dan ibu.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah =6
3 org anak pr Ashbh bil ghairi 3 kepala (6- 1= 5) = 3
1 org anak lk-lk Ashbh bin nafsi 2 kepala =2
Ibu 1/6 1/6 x 6 =1
Jumlah =6

e. Ahli waris :1orang anak perempuan,1orang saudara laki-


laki kandung, suami dan ibu.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 12
1 org anak pr 1/2 1/2 x 12 =6
1 org sdr lk kdg Ashbh b nafsi (sisa) 12 – 6 – 3 – 2 = 1
Suami 1/4 1/4 x 12 =3
Ibu 1/6 1/6 x 12 =2
Jumlah = 12

8. Bagian Anak perempuan dari anak laki-laki atau cucu


perempuan dari anak laki-laki (1/2 atau 2/3 atau 1/6 atau
ashabah bil ghairi). Dalil dan Contohnya.

Bagiannya ada 4 macam :


a. Cucu perempuan mendapat 1/2 dengan syarat :
1). Jika ia seorang diri.
2).Jika tidak ada anak dari simayat, baik anak perempuan
ataupun anak laki-laki.
3). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki, yaitu anak laki-laki
dari anak laki-laki.
b. Cucu perempuan mendapat 2/3 dengan syarat :
1). Jika ia dua orang atau lebih.
2). Jika tidak ada anak simayat baik anak perempuan ataupun
anak laki-laki.
128 128

3). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki, yaitu anak laki-laki
dari anak laki-laki.

Dalil : Firman Allah SWT QS An-Nisaa’(4) ayat 11 :


       
      
   

 …  
        
       
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta ….3
Kata-kata anak (  ) termasuk didalamnya anak simayat
sendiri, dan anak dari anak laki-lakinya, yakni kalau anak
simayat tidak ada maka digantikan oleh anak-anak dari anak
laki-laki simayat itu dan pembagiannya seperti anak-anaknya
sendiri.

c. Cucu perempuan mendapat 1/6 dengan syarat : ( ‫تكملة‬


‫) الثلثين‬
1). Jika ada satu orang anak perempuan dari simayat.
2). Jika tidak ada anak laki-laki dari simayat dan 2 orang anak
perempuan.
3). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki yaitu anak laki-laki
dari anak laki-laki.

3 Ibid.
129129

d. Cucu perempuan mendapat ashabah bil ghairi dengan


syarat :
1). Jika ada saudaranya yang laki-laki.
2). Jika tidak ada anak laki-laki dari simayat.
Cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki) menjadi
ashabah bil ghairi jika ada saudaranya yang laki-laki (anak laki-
laki dari anak laki-laki) Saudaranya yang laki-laki tersebut
mendapat dua kali bagiannya.

Catatan Penting :
Anak perempuan dari anak laki-laki itu tidak mendapat Jika :
a). Ada anak laki-laki dari simayat.
b). Ada dua orang anak perempuan dari simayat.

Contoh penyelesaian masalahnya :


a. Ahli waris : 1 orang anak perempuan dari anak laki-laki
(cucu perempuan) dan ayah.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
1 org anak pr dari 1/2 1/2 x 6 = 3
anak lk (cucu pr)
Ayah 1/6 + Ashbh bin nafsi 1/6 x 6 = 1 + (6 -3-
1=2) = 3
Jumlah =6

b. Ahli waris : 2 orang anak perempuan dari anak laki-laki


(cucu perempuan) dan ayah
Ahli Waris Bagian Asal Masalah : 6
2 org anak pr dari 2/3 2/3 x 6 = 4
anak lk (cucu pr)
Ayah 1/6 + Ashbh bin nafsi 1/6 x 6 = 1 + (6-4-
1=1) = 2
Jumlah =6
130 130

c. Ahli waris : 1 orang anak perempuan, 1 orang anak


perempuan dari anak laki-laki dan ayah.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
1 org anak pr 1/2 1/2 x 6 = 3
1 org anak pr dari 1/6 1/6 x 6 = 1
anak lk
Ayah 1/6 + Ashbh b nafsi 1/6 x 6 = 1 + (6-3-1-1
(sisa) =1) =2
Jumlah =6

d. Ahli waris: 1 orang anak perempuan dari anak laki-laki


dan 1 orang anak laki-laki dari anak laki-laki.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 3
1 org anak pr dari Ashabah bil ghairi 1 kepala= 1/3 x 3 = 1
anak lk (cucu pr)
1 org anak lk dari Ashabah bin nafsi 2 kepala= 2/3 x 3 = 2
anak lk ( cucu lk )
Jumlah =3

e. Ahli waris : 1 orang anak perempuan, 1 orang anak


perempuan dari anak laki-laki dan 1 orang anak laki-
laki dari anak laki-laki.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
1 org anak pr 1/2 1/2 x 6 =3
1 org anak pr dari Ashabah bil ghairi 1 kepala}(6-3=3) =1
anak lk
1 org anak lk dari Ashabah bin nafsi 2 kepala} =2
anak lk
Jumlah =6

f. Ahli waris: 1orang anak perempuan dari anak laki-laki,


1orang anak perempuan, ibu dan ayah.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
131131

1org anak pr dari 1/6 1/6 x 6 = 1


anak lk
1 org anak pr 1/2 1/2 x 6 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
Ayah 1/6 1/6 x 6 = 1
Jumlah =6

9. Bagian Saudara perempuan kandung (1/2 atau 2/3 atau


ashabah bil ghairi atau ashabah ma’al ghairi), Dalil dan
Contohnya.

Bagian saudara perempuan kandung ada 4 macam, yaitu :


a. Saudara perempuan kandung mendapat 1/2 dengan
syarat :
1). Jika dia seorang saja.
2). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki.

b. Saudara perempuan mendapat 2/3 dengan syarat :


1). Jika dia dua orang atau lebih.
2). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki.

c. Saudara perempuan kandung mendapat ashabah bil


ghairi dengan syarat ada saudaranya yang laki-laki.
Dalam hal ini laki-laki mendapat dua kali bagian yang
perempuan.

Dalil : Firman Allah SWT QS An-Nisaa’(4) ayat 176 :


      
  
         
     
  

 
                 
132 132

   
    
               

    


       
  
 
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak;
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan
perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.
Yang di maksud dengan kalalah ialah: seseorang mati yang
tidak meninggalkan ayah dan anak.4
d. Saudara perempuan kandung mendapat ashabah ma’al
ghairi dengan syarat :
1).Jika ada anak perempuan dari simayat atau cucu perempuan
(anak perempuan dari anak laki-laki).
2). Jika tidak ada saudara laki-laki yang kandung.

4 Ibid, h. 153.
133133

ُّ ‫ف َويِلبْنَ ية ابْ ٍن‬ ‫ي ي‬ ‫َِّب صلَّى َّ ي‬


‫س‬
ُ ‫الس ُد‬ ْ ‫اَّللُ َعلَ ْيه َو َسلَّ َم ل ْْلبْ نَة الني‬
ُ ‫ص‬ َ ُّ ‫ضى الني‬ َ َ‫َع ْن ابْ َن َم ْس ُعود ق‬
5
‫ْي َوَما بَيق َي فَلي ْْلُ ْخت‬ ‫تَك ي‬
‫ْملَةَ الثُّلُثَ ْ ي‬
Dari Ibnu mas’ud, Nabi SAW telah menetapkan tentang
bagian anak perempuan 1/2,dan untuk anak perempuan
dari anak laki-laki 1/6, mencukupkan bagian menjadi
2/3. Dan sisanya untuk saudara perempuan.
Catatan Penting: Saudara perempuan kandung tidak mendapat
1). Jika ada anak laki-laki dari simayat.
2).Jika ada anak laki-laki dari anak laki-laki simayat (cucu laki-
laki yang berasal dari anak laki-laki.
3). Jika ada ayah dari simayat.

Contoh penyelesaian masalahnya


a. Ahli waris: Suami dan 1 orang saudara perempuan
kandung.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 2
Suami 1/2 1/2 x 2 = 1
1 org sdr pr kdg 1/2 1/2 x 2 = 1
Jumlah =2

b. Ahli waris: 2 orang saudara perempuan kandung, isteri


dan paman kandung.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 12
2 org sdr pr kdg 2/3 2/3 x 12 = 8
Isteri 1/4 1/4 x 12 = 3
Paman kandung Ashbh bin nfs(sisa) 12-8-3 = 1
Jumlah = 12

5
Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, Juz 20, Hadis No. 6239, h.
461.
134 134

c. Ahli waris : 1 orang saudara perempuan kandung dan 1


orang saudara laki-laki kandung.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 3
1 org sdr pr kdg Ashabah bil ghairi 1 kepala 1/3 x 3 = 1
1 org sdr lk kdg Ashabah bin nafsi 2 kepala 2/3 x 3 = 2
Jumlah =3

d. Ahli waris : 1 orang saudara perempuan kandung, dan 1


orang anak perempuan.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 2
1 org sdr pr kdg Ashbh ma’al ghairi 2–1 =1
1 org anak pr 1/2 1/2 x 2 = 1
Jumlah =2

e. Ahli waris : 1 orang saudara perempuan kandung, 1


orang anak perempuan dari anak laki-laki, dan 1 orang
anak perempuan.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
1 org sdr pr kdg Ashbh ma’al ghairi 6-1-3 =2
1 org anak pr dari 1/6 1/6 x 6 =1
anak lk (cucu pr )
1 org anak pr 1/2 1/2 x 6 =3
Jumlah =6

10. Bagian Saudara perempuan yang seayah (1/2 atau 2/3


atau 1/6 atau ashabah bil ghairi atau ashabah ma’al
ghairi.
a. Saudara perempuan yang seayah mendapat 1/2 dengan
syarat :
1). Jika ia seorang saja.
2). Jika tidak ada saudara perempuan yang kandung.
3). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki.
135135

b. Saudara perempuan yang seayah mendapat 2/3 dengan


syarat:
1). Jika ia dua orang atau lebih.
2). Jika tidak ada saudara perempuan yang kandung.
3). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki.

c. Saudara perempuan yang seayah mendapat 1/6 dengan


syarat :
1). Jika ada satu orang saudara perempuan yang kandung dari
simayat.
2). Jika tidak ada dua orang saudara perempuan yang kandung
dari simayat.
3). Jika tidak ada saudara laki-laki seayah dari simayat.

Dalil : Qias, yaitu disamakan dengan cucu pr (anak pr dari anak


laki-laki) ketika menjadi ahli waris bersama dengan anak pr.

d. Saudara perempuan yang seayah mendapat ashahabah


bil ghairi dengan syarat :
1).Jika ada saudaranya yang laki-laki.
2).Tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan kandung
dari simayat.
Dalam hal ini saudara laki-laki seayah mendapat dua kali
bagian saudara perempuan seayah. Masalah ashabah bil ghairi
ini lebih dijelaskan lagi pada pasal ashabah bil ghairi pada bab
berikutnya.Contoh:
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 4
Isteri 1/4 1/4 x 4 =1
1 org sdr pr seayah Ashbh bil ghairi 1 kepala} (4-1=3) = 1
1 org sdr lk seayah Ashbh bin nafsi 2 kepala =2
Jumlah =4
136 136

e. Saudara perempuan yang seayah mendapat ashahabah


ma’al ghairi dengan syarat: Jika dia bersama dengan
anak perempuan atau cucu perempuan (anak
perempuan dari anak laki-laki).

Contoh penyelesaian masalahnya :


1). Ahli waris: 1 orang anak perempuan dan 1 orang
saudara perempuan seayah.
Ahli Waris Bagian AM=2
1 org anak pr 1/2 1/2 x 2 = 1
1 org sdr pr seayah Ashbh ma’al ghairi 2–1 =1
Jumlah =2

2). Ahli waris : 2 orang anak perempuan, 3 orang saudara


perempuan seayah.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 3
2 org anak pr 2/3 2/3 x 3 = 2
1 org sdr pr seayah Ashbh ma’al ghairi 3–2 =1
Jumlah =3

3). Ahli waris : 1 orang anak perempuan dari anak laki-


laki, dan 1 orang saudara perempuan seayah.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 2


1 org anak pr dari 1/2 1/2 x 2 = 1
anak lk (cucu pr)
1 org sdr pr seayah Ashbh ma’al ghairi 2–1 =1
Jumlah =2

Catatan Penting :
Saudara perempuan seayah terhijab atau tidak mendapat sama
sekali, jika ada diantara ahli waris yang berikut :
1). Anak laki-laki.
2). Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
3) Ayah.
137137

4). Saudara laki-laki kandung.


5). Dua orang atau lebih saudara perempuan kandung.

11 dan 12 Bagian Saudara perempuan atau saudara


saudara laki-laki yang seibu adalah 1/6 atau 1/3, Dalil dan
Contohnya :
Bagian saudara perempuan atau saudara laki-laki seibu ada
2 macam :
a. Saudara perempuan atau saudara laki-laki yang seibu
mendapat 1/6 jika ia seorang, baik laki-laki ataupun
perempuan.
b. Saudara perempuan atau saudara laki-laki yang seibu
mendapat 1/3 bagian jika ia lebih dari seorang, baik laki-laki
ataupun perempuan ataupun bercampur laki-laki dengan
perempuan masing-masing mereka itu mendapat pembagian
yang sama dalam yang 1/3 itu, yaitu saudara laki-laki seibu
tidak dua kali bagian saudara perempuan seibu.

Dalil : Firman Allah SWT QS An-Nisaa’ (4) ayat 12 :


    
       
     …

 …     


  
        
  
… jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-
138 138

saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka


bersekutu dalam yang sepertiga itu… .6

Catatan Penting :
Saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu terhijab oleh
ahli waris :
1). Anak laki-laki.
2). Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
3). Anak perempuan
4). Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan)
5). Ayah.
6). Ayah dari ayah (kakek).

Contoh penyelesaian masalahnya :


a. Ahli waris : Suami, 1 org sdr pr seibu, 2 org sdr pr kdg,
dan 1 org sdr lk kdg.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 12
Suami 1/2 1/2 x 12 =6
1 org sdr pr seibu 1/6 1/6 x 12 =2
2 org sdr pr kdg Ashbh bil ghairi 2kepala}(12-6-2=4) =2
1org sdr lk kdg Ashbh bin nafsi 2 kepala} =2
Jumlah = 12

b. Ahli waris : 2 orang saudara perempuan kandung, dan 2


orang saudara perempuan seibu dan 2 orang saudara
laki-laki seibu.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 3
2 org sdr pr kdg 2/3 2/3 x 3 = 2
2 org sdr pr seibu dan 1/3 1/3 x 3 = 1
2 org sdr lk seibu
Jumlah =3

6 Departemen Agama RI, Op.cit, h. 117.


139139

c. Ahli waris : Ibu, 1 org sdr pr kdg, 1 org sdr pr seayah,


dan 1 org sdr pr seibu:
Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 6
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
1 org sdr pr kdg 1/2 1/2 x 6 = 3
1org sdr pr seayah 1/6 1/6 x 6 = 1
1 or sdr pr seibu 1/6 1/6 x 6 = 1
Jumlah =6

D. Klasifikasi Bagian Ashhabul furudh.

1. Ashhabul Furudh yang mendapat 1/2 ada 5 macam, yaitu


a. Anak perempuan, dengan syarat :
1) Ia seorang saja.
2) Tidak ada anak laki-laki.
b. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu
perempuan), dengan syarat :
1) Ia seorang saja.
2) Tidak ada anak laki-laki atau perempuan.
3) Tidak ada cucu laki-laki ( anak laki-laki dari anak
laki-laki)
c. Saudara perempuan yang kandung, dengan syarat :
1) Ia seorang saja.
2) Tidak ada saudara laki-laki yang kandung.
3) Tidak ada anak laki-laki atau perempuan.
4) Tidak ada cucu (anak dari anak laki-laki) laki-laki
atau perempuan.
5) Tidak ada ayah.
6) Tidak ada ayah dari ayah (kakek).
d. Saudara perempuan yang seayah, dengan syarat :
1) Ia seorang saja.
2) Tidak ada saudara laki-laki yang seayah.
140 140

3) Tidak ada saudara yang kandung laki-laki atau


perempuan.
4) Tidak ada anak laki-laki atau perempuan.
5) Tidak ada cucu (anak dari anak laki-laki) laki-laki
atau perempuan.
6) Tidak ada ayah.
7) Tidak ada ayah dari ayah (kakek).
e. Suami, dengan syarat :
Isterinya yang meninggal tidak mempunyai anak atau
cucu (anak dari anak laki-laki) laki-laki atau
perempuan, baik anak itu berasal dari suami itu atau
tidak.

2. Ashhabul Furudh yang mendapat 1/3 ada 2 macam, yaitu


a. Ibu, dengan syarat :
1) Tidak ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki)
laki-laki atau perempuan.
2) Tidak ada 2 orang saudara atau lebih, lelaki atau
perempuan, baik kandung, seayah, atau seibu atau
bercampur baur.
b. Dua orang saudara seibu atau lebih dengan syarat :
1) Tidak ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki)
laki-laki atau perempuan.
2) Tidak ada ayah.
3) Tidak ada ayah dari ayah (kakek).

3. Ashhabul Furudh yang mendapat 1/4 ada 2 macam, yaitu


a. Suami, dengan syarat :
Isterinya yang meninggal mempunyai anak atau cucu
(anak dari anak laki-laki) laki-laki atau perempuan, baik
anak itu berasal dari suami itu ataupun suami yang lain.
141141

b. Isteri, baik isteri tersebut seorang atau lebih,


dengan syarat: Suaminya yang meninggal tidak
mempunayi anak atau cucu (anak dari anak laki-laki)
laki-laki atau perempuan, baik anak itu berasal dari
isteri yang itu maupun dari isteri yang lain. Jika isteri
itu lebih dari satu orang, mereka berserikat pada bagian
yang 1/4 tersebut, dengan pembagian yang sama.

4. Ashhabul Furudh yang mendapat 2/3 ada 4 macam, yaitu


a. Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan
syarat :
Tidak ada anak laki-laki.
b. Dua orang atau lebih cucu perempuan (anak
perempuan dari anak laki-laki) dengan syarat :
1) Tidak ada anak laki-laki atau perempuan.
2) Tidak ada cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak
laki-laki).
c. Dua orang atau lebih saudara perempuan kandung
dengan syarat:
1) Tidak ada saudara laki-laki kandung.
2) Tidak ada anak laki-laki atau perempuan.
3) Tidak ada cucu (anak dari anak laki-laki) lelaki atau
perempuan.
4) Tidak ada ayah.
5) Tidak ada ayah dari ayah (kakek).
d. Dua orang atau lebih saudara perempuan seayah
dengan syarat:
1) Tidak ada saudara laki-laki yang seayah.
2) Tidak ada saudara kandung, baik laki-laki atau
perempuan.
3) Tidak ada anak laki-laki atau perempuan.
142 142

4) Tidak ada cucu ( anak dari anak laki-laki) lelaki


atau perempuan.
5) Tidak ada ayah.
6) Tidak ada ayah dari ayah (kakek).

5. Ashhabul Furudh yang mendapat 1/6 ada 7 macam, yaitu


a. Ibu,dengan syarat :
1) Ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki)
lelaki atau perempuan.
2) Ada dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki
ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, atau
seibu atau bercampur baur.
b. Nenek, seorang atau lebih (Ibu dari ibu atau ibu
dari ayah), dengan syarat : Tidak ada ibu. Bagi ibu
dari ayah disyaratkan tidak ada ayah.
c. Cucu perempuan seorang atau lebih ( anak
perempuan dari anak laki-laki), dengan syarat :
1) Ada anak perempuan seorang saja.
2) Tidak ada cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak
laki-laki).
d. Saudara perempuan seayah seorang atau lebih,
dengan syarat :
1) Ada satu orang saudara perempuan yang kandung.
2) Tidak ada saudara laki-laki kandung.
3) Tidak ada anak laki-laki atau perempuan.
4) Tidak ada cucu laki-laki atau perempuan.
5) Tidak ada ayah.
6) Tidak ada ayah dari ayah (kakek).
e. Saudara seibu baik laki-laki atau perempuan,
dengan syarat :
1) Ia seorang saja.
143143

2) Tidak ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki)


laki-laki atau perempuan.
3) Tidak ada ayah.
4) Tidak ada ayah dari ayah (kakek).
f. Ayah, dengan syarat :
Ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki) laki-laki
atau perempuan.
g. Kakek (ayah dari ayah) dengan syarat :
1) Tidak ada ayah.
2) Ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki)
lelaki atau perempuan.

6. Ashhabul Furudh yang mendapat 1/8 ada 1 macam, yaitu


Isteri seorang atau lebih dengan syarat :
Suaminya yang meninggal mempunyai anak laki-laki
atau perempuan, baik anak itu berasal dari isteri
tersebut atau dari isteri yang lain. Jika isteri lebih dari 1
orang, mereka berserikat pada bagian yang 1/8 itu
dengan pembagian yang sama.
144
BAB VIII
AHLI WARIS ASHABAH DAN MACAM-MACAMNYA
A. Pengertian Ashabah.

Kata ashabah adalah ahli waris yang mendapat bagian


tidak tertentu. Menurut istilah faradhiyun, ashabah adalah ahli
waris yang dalam penerimaannya tidak ada ketentuan yang
pasti. Ada tiga kemungkinan untuk penerimaan ashabah :

1. Mungkin mengambil seluruh harta warisan jika ashabul


furudh tidak ada.
2. Mungkin mengambil sisa harta setelah dibagikan kepada
ashabul furudh.
3. Mungkin tidak mendapat harta sama sekali jika harta habis
oleh ahli waris ashabul furudh.

Ahli waris ashabah dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

1. Ashabah Binnafsihi (ashabah dengan sendirinya).

2. Ashabah Bilghairi (ashabah disebabkan orang lain).

3. Ashabah Ma’al ghairi (ashabah bersama orang lain).

B. Ashabah Bin nafsi (ashabah dengan sendirinya), Dalil


dan contoh.

Ashabah Binnafsi adalah ashabah dengan sendirinya.


Yaitu ahli waris yang laki laki yang lansung pertaliannya
kepada simayat dengan dirinya sendiri, seperti anak laki-laki
dan ayah, atau dengan perantaraan ahli waris yang laki-laki,
seperti anak laki-laki dari anak laki-laki, dengan perantaraan
145145

anak laki-laki. Maka saudara laki-laki seibu tidak menjadi


ashabah binnafsi, karena pertaliannya kepada simayat dengan
perantaraan ahli waris yang perempuan yaitu ibu. Ashabah
binnafsi disebut juga ahli waris yang lansung menjadi ashabah
dengan sendirinya, tanpa disebabkan oleh orang lain.

Dalil : Sabda Rasulullah SAW :

َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬


‫ال أَ ْْلُِقوا‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬‫اَّللُ َع ْن ُه َما َع ْن النِ ِي‬
َّ ‫ض َي‬ ِ ‫اس ر‬
َ ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
‫ض ِِب َْهلِ َها فَ َما بَِق َي فَ ُه َو ِِل َْو ََل َر ُج ٍل ذَ َكر‬
1 ٍ ِ
َ ‫الْ َف َرائ‬
Dari Ibnu Abbas r a, Nabi SAW bersabda : Berikanlah
bagian-bagian tertentu kepada orang yang berhak,
maka yang tinggal (sisanya) berikanlah untuk waris
laki-laki yang paling dekat.

Ahli waris ashabah bin nafsi ada 13 macam, yaitu :

1. Anak laki-laki.
2. Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki walaupun
sampai kebawah).
3. Ayah, jika simayat tidak mempunyai anak laki-laki dan cucu
(anak laki-laki dari anak laki).
4. Ayah dari ayah (kakek).
5. Saudara laki-laki yang kandung.
6. Saudara laki-laki seayah.
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung (keponakan).
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah (keponakan).
9. Paman kandung.

1
Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, Juz 20, Hadis No. 6235, h.
454.
146 146

10. Paman seayah.


11. Anak laki-laki paman kandung.
12. Anak laki-laki paman seayah.
13. Penghulu yang memerdekakan budak (Sekarang budak tidak
ada lagi).

Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa :

1. Nomor urut ashabah bin nafsi ini adalah sangat penting


diperhatikan, jika ada ashabah bin nafsi yang nomor 1, maka
yang no 2 keatas tidak mendapat ashabah bin nafsi lagi
karena sudah terhijab, demikian selanjutnya.

2. Ayah menjadi ashabah binnafsi adalah jika simayat tidak


mempunyai anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-
laki (cucu laki-laki), Jika simayat mempunyai anak laki-laki
atau anak laki-laki dari anak laki-laki, ayah mendapat 1/6.

3. Jika simayat mempunyai anak perempuan atau anak


perempuan dari anak laki-laki, maka ayah mendapat 1/6, dan
jika harta berlebih, harta tersebut adalah bagian ayah
menjadi ashabah bin nafsi (mengambil sisa dari ashabul
furudh). Dalam hal ini ayah mendapat bagian 1/6 + Ashabah
bin nafsi.

Contoh penyelesaian masalahnya :

a. Seorang meninggal dunia, Harta peninggalan yang


ditinggalkan 10 jt, Untuk biaya penguburannya 2 jt,
untuk bayar hutangnya 2 jt. Ahli waris yang
ditinggalkan Ayah, dan 5 orang anak laki-laki.
147147

Ahli Waris Bagian AM= 6 Rp= 6 000 000,-


Ayah 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x 6 000 000 =
1 000 000,-
5 org anak lk Ashbh b nfs 6 –1=5:5 =1 5/6 x 6 000 000 =
5 000 000 : 5
= 1000 000,-
Jumlah =6 6 000 000,-

Jumlah harta peninggalan = 10 jt.


Untuk biaya penguburan = 2 jt.
Untuk biaya bayar hutangnya = 2jt.
Sisa Harta utk warisan = 6 jt.
Bagian Ayah = 1/6 x 6 jt = 1 jt.
Bagian 5 orang anak laki-laki = Ashabah bin nafsi (sisa dari
bagian ayah) = 5/6 x 6 jt = 5 jt. Jadi bagian masing-masing
anak laki-laki adalah 5 jt : 5 = 1 jt.

b. Seorang meninggal dunia, Harta yang ditinggalkan 15 jt,


Untuk bayar wasiatnya 5 jt, untuk bayar hutangnya 3 jt,
Biaya rumah sakit sebelum dia meninggal 3 jt. Ahli
waris yang ditinggalkan 1 orang anak perempuan,
(bagian nya 1/2) dan ayah. bagilah harta tersebut berapa
bagian mereka masing-masing.

Ahli Waris Bagian A M= 6 Bagian Rp=


6 000 000,-
1 org anak pr 1/2 1/2 x 6 = 3 3/6 x 6 000
000,- = 3 000
000,-
Ayah 1/6 + 1/6 x 6 = 1 + 3/6 x 6 000
Ashbh b nafsi (6-3-1 = 2) = 000,- = 3 000
3 000,-
148 148

Jumlah =6 = 6 000 000,-

Jumlah harta peninggalan = 15 jt.


Untuk bayar rumah sakit = 3 jt.
Untuk bayar hutangnya = 3 jt.
Jadi sisa harta = 9 jt.
Untuk bayar wasiatnya adalah 1/3 x 9 jt = 3 jt.
(Wasiat 5 Jt tidak bisa dilaksanakan karena melebihi 1/3 dari
harta peninggalan setelah dikurangi biaya rumah sakit dan bayar
hutangnya. Jadi wasiatnya boleh 3 Jt )

Jadi jumlah harta warisan = 9 jt – 3 jt = 6 jt.


Bagian 1 orang anak perempuan = 1/2.
Bagian ayah adalah = 1/6 + Ashabah bin nafsi.
Dalam hal ini harus dicari asal masalah (pokok pembagian)
terlebih dahulu, yakni K P T (Kelipatan Persekutuan yang
terkecil ) dari bilangan-bilangan pecahan tersebut, caranya
pecahan 1/2 dan pecahan 1/6 dapat dibagi dengan angka 6.
kemudian ditulis pada bagian atas, contoh :
Asal Masalah = 6.
1 orang anak perempuan 1/2 x 6 = 3. (3/6 x 6 jt = 3 jt)
Ayah =1/6 + Ashabah bin nafsi.
Bagian ayah yang 1/6 x 6 = 1. (1/6 x 6 jt = 1 jt)
Bagian ayah yang ashabah binnafsi 6 – 4 = 2. (2/6 x 6 jt = 2 jt).
Jadi jumlah bagian ayah semua = 1 jt + 2 jt = 3 jt.

C. Ashabah Bil ghairi (ashabah disebabkan orang lain),


Dalil dan Contoh.
149149

Ashabah Bilghairi yaitu ashabah disebabkan orang lain.


Perempuan yang menjadi ashabah disebabkan ada orang laki-
laki yang sederjat dengannya yang membawa dia menjadi
ashabah. Kalau laki-laki itu tidak ada dia tidak menjadi
ashabah, tetapi dia menjadi ashabul furudh. Dalam masalah ini
laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan.

Dalil :

1. Firman Allah SWT QS An-Nisaa’(4) ayat 11:

 …    


      
  

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian


pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan… .2

2. Firman Allah SWT QS An-Nisaa’(4) ayat 176 :

 …   
           …

…dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)Saudara-


saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan… .3

Ahli waris yang menjadi ashabah bil ghairi ada 4 macam,


yaitu :

2
Ibid, h 117.
3 Ibid, h 153.
150 150

a. Anak perempuan dengan sebab ada anak laki-laki.


b. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan)
dengan sebab ada anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu
laki-laki).
c. Saudara perempuan kandung dengan sebab ada saudara laki-
laki-laki kandung.
d. Saudara perempuan seayah dengan sebab ada saudara laki-
laki se ayah.

Contoh penyelesaian masalahnya:

1). Ahli waris : 1 org anak lk dan 1 org anak pr.


Ahli Waris Bagian AM =3
1 org anak lk Ashbh b nfs 2 kepala= 2/3 x 3 = 2
1 org anak pr Ashbh b ghairi 1 kepala= 1/3 x 3 = 1
Jumlah =3

2). Ahli waris : 3 org anak pr, 1 orang anak lk dan ibu.
Ahli Waris Bagian AM =6
3 org anak pr Ashbh b ghr 3 kepala} = 6–1 = 5 = 3
1 org anak lk Ashbh b nfs 2 kepala} =2
Ibu 1/6 1/6 x 6 =1
Jumlah =6

3). Ahli waris : 2 org cucu pr (anak pr dari anak lk) dan 3
org cucu lk (anak laki-laki dari anak laki-laki).

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 8


2 org cucu pr (anak Ashabah bil ghairi 2 kepala= 2/8 x 8 = 2
pr dari anak lk)
3 org cucu lk(anak lk Ashabah bin nafsi 6 kepala= 6/8 x 8 = 6
dari anak lk)
Jumlah =8
151151

4). Ahli waris : 1 orang saudara laki-laki kandung, 2 orang


saudara perempuan kandung dan 3 orang paman
kandung.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 4


1 org sdr lk kdg Ashabah bin nafsi 2 kepala= 2/4 x 4 = 2
2 org sdr pr kdg Ashbh bil ghairi 2 kepala= 2/4 x 4 = 2
3 org paman kdg Mahjub oleh sdr lk =0
kdg
Jumlah =4

5). Ahli waris : 3 orang saudara perempuan seayah, 2 orang


saudara laki-laki seayah dan 4 orang paman seayah.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah = 7


3 org sdr pr seayah Ashbh bil ghairi 3 kepala= 3/7 x 7 = 3
2 org sdr lk seayah Ashbh bin nafsi 4 kepala= 4/7 x 7 = 4
4 org paman seayah Mahjub oleh sdr lk =0
seayah
Jumlah =7

D. Ashabah Ma’al ghairi (ashabah beserta orang lain), Dalil


dan Contohnya :

Ashabah Ma’al ghairi (ashabah beserta orang lain),


yaitu perempuan yang menjadi ashabah atau mengambil sisa
ketika bersama dengan perempuan lain.

Dalil : Sabda Rasul SAW :

ِ ِ ِ َّ ‫َّب صلَّى‬
‫ف‬ ْ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ل ْْلبْ نَة النِي‬
ُ ‫ص‬ َ ُّ ِ‫ضى الن‬
َ َ‫َع ْن ابْ َن َم ْس ُعود ق‬
152 152

4 ‫ْي َوَما بَِق َي فَلِ ْْلُ ْخت‬


ِ ْ َ‫الس ُدس تَ ْك ِملَةَ الثُّلُث‬ ِ ِ
ُ ُّ ‫َوِلبْ نَة ابْ ٍن‬
Dari Ibnu mas’ud, Nabi SAW telah menetapkan tentang
bagian anak perempuan 1/2,dan untuk anak perempuan
dari anak laki-laki 1/6, mencukupkan bagian menjadi
2/3 (karena 1/2 (3/6) + 1/6 = 4/6 (2/3). Dan sisanya
adalah untuk saudara perempuan (ashabah ma’al
ghari).

Ahli waris yang menjadi ashabah ma’al ghairi ada dua


macam, yaitu :

a. Saudara perempuan yang kandung.


b. Saudara perempuan yang seayah.
Kedua macam ini ketika bersama dengan anak perempuan, atau
ketika bersama anak perempuan dari anak laki-laki (cucu
perempuan).

Contoh penyelesaian masalahnya :

1. Ahli waris : 1 orang anak perempuan dan 1 orang


saudara perempuan kandung.
Ahli Waris Bagian AM=2
1 org anak pr 1/2 1/2 x 2 = 1
1 org sdr pr kdg Ashbh ma’al ghairi (sisa) 2–1 =1
Jumlah =2

2. Ahli waris : 3 orang anak perempuan dan 3 orang


saudara perempuan seayah.

4 Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, Juz 20, Hadis No. 6239, h.


461.
153153

Ahli Waris Bagian AM =3


3 org anak pr 2/3 2/3 x 3 = 2
3 org sdr pr seayah Ashbh ma’al ghairi (sisa) 3–2 =1
Jumlah =3

3. Ahli waris : 1 org anak pr dari anak lk (cucu perempuan)


dan 1 orang saudara perempuan seayah.
Ahli Waris Bagian AM=2
1 org anak pr dari 1/2 1/2 x 2 = 1
anak lk
1 org sdr pr seayah Ashbh ma’al ghairi 2–1 =1
Jumlah =2

4. Ahli waris : 2 orang anak perempuan dari anak laki-laki


dan 3 orang saudara perempuan kandung.
Ahli waris Bagian Asal Masalah = 3
2 org anak pr dari 2/3 2/3 x 3 = 2
anak lk (cucu pr)
3 org sdr pr kdg Ashbh ma’al ghairi 3–2 =1
Jumlah =3
154
BAB IX
MASALAH ‘AUL
A. Pengerian ‘Aul.

‘Aul adalah menambah dan menaikkan angka


penyebut dan disamakan dengan angka pembilang, sebab
kurang angka penyebut dari angka pembilang. Seperti
jumlah bagian 7/6 dinaikkan menjadi 7/7. ‘Aul ini terjadi
apabila tidak ada waris yang mendapat ashabah, dan semua ahli
waris terdiri ashhabul furudh, sedangkan harta kurang dari
jumlah bagian mereka.

B. Contoh Masalah ‘Aul :

Ahli waris : Suami dan dua org sdr pr kandung.

Ahli Waris Bagian AM=6 A M ‘aul = 7


Suami 1/2 1/2 x 6 = 3 3/7 x 7 = 3
2 org sdr pr kdg 2/3 2/3 x 6 = 4 4/7 x 7 = 4
Jumlah =7 =7
Pada contoh ini suami mendapat 1/2 = 3/6, dan saudara
perempuan yang kandung mendapat 2/3 = 4/6 jumlah 7/6.
Melihat keadaan ini terjadi adalah harta warisan kurang untuk
dibagi kepada ashhabul furudh, sebab harta warisan hanya
berjumlah 6/6, sedangkan bagian ashhabul furudh seharusnya
7/6. Kalau didahulukan memberikan bagian suami, maka
berkurang bagian 2 orang saudara perempuan kandung.
Demikian juga jika didahulukan memberikan bagian 2 orang
saudara perempuan kandung, maka berkurang bagian suami.
Agar mereka dapat menerima dengan adil, artinya sama-sama
berkurang, maka dilakukan dengan cara ‘aul, yaitu dinaikkan
angka penyebut sampai sama dengan angka pembilang. Oleh
155155

karena itu jumlah yang 7/6 dinaikkan menjadi 7/7. Jadi suami
mendapat bagian 3/7 dan 2 orang saudara perempuan mendapat
bagian 4/7.

Kemudian jika dilanjutkan masalahnya dengan


pembagian jumlah rupiah untuk masing-masing ahli waris
adalah seperti contoh dibawah ini : Seorang meninggal dunia,
ahli warisnya terdiri dari suami dan dua orang saudara
perempuan kandung. Harta peninggalan yang ditinggalkan
setelah dikurangi biaya-biaya keperluan simayat dan biaya
pembayar hutang dan wasiatnya, harta masih tersisa 42 000
000,- Bagilah harta tersebut berapa bagian masing-masing.

Ahli Waris Bagian AM =6 A M ‘Aul Bagian Rp


=7 = 42 000
000,-
Suami 1/2 1/2 x 6 = 3 3/7 x 7 = 3 3/7x 42 000
000 = 18
000 000,-
2 org sdr pr 2/3 2/3 x 6 = 4 4/7 x 7 = 4 4/7x 42 000
kdg 000 = 24
000 000,-
Jumlh =7 =7 = 42 000
000,-

Jumlah uang semula 42 000 000,- jika dibagi dengan asal


masalah 6, maka akan terjadi kekurangan, karena untuk :
Suami = 3/6 x 42 000 000,- = 21 000 000,-
2 org sdr pr kdg = 4/6 x 42 000 000,- = 28 000 000,-
Jumlah = 49 000 000,-
Sedangkan jumlah harta warisan = 42 000 000,-
Kekurangan = 7 000 000,-
156 156

Supaya kekurangan itu dibagi menurut bagian mereka masing-


masing sebanding atau menurut perimbangan bagian ahli waris
tersebut, maka di‘aulkan masalahnya, jadi kekurang masing-
masing ahli waris adalah :

Ahli Bagian Asal Asal Kekurangan


Waris Masalah = 6 Masalah bagiannya
‘Aul = 7
Suami 1/2 1/2 x 6 = 3 3/7 x 42 jt 21 jt – 18 jt
3/6 x 42 jt = 18 jt = 3 jt
= 21jt)
2 org sdr 2/3 2/3 x 6 = 4 4/7 x 42 jt 28 jt – 24 jt
pr 4/6 x 42 jt = 24 jt = 4 jt
kandung = 28 jt.
Jumlah =7 =7 = 7 jt

Akibat dari ‘aul adalah berkurang bagian-bagian waris menurut


perimbangan bagian ahli waris semula. Cara ‘aul ini masalah
ijtihadiyah, karena persoalannya tidak terjadi dimasa Rasulullah
SAW, dan juga tidak ada terjadi dimasa khalifah Abu Bakar,
tetapi mulai terjadi pada zaman Umar bin Khaththab, pada
waktu itu disampaikan orang kepadanya masalah tersebut, yaitu
seorang meninggal dunia, ahli warisnya suami dan 2 orang
saudara perempuan kandung. Umar bin Khaththab
bermusyawarah dengan para shahabat, diantara para shahabat
Abbas, ‘Ali dan Zaid bin Tsabit mengusul untuk menyelesaikan
masalahnya dengan cara ‘aul.

Contoh penyelesaian masalahnya :

a. Ahli waris : Suami, 2 org sdr pr kdg dan ibu.

Ahli Waris Bagian AM=6 A M ‘Aul = 8


157157

Suami 1/2 1/2 x 6 = 3 3/8 x 8 = 3


2 org sdr pr kdg 2/3 2/3 x 6 = 4 4/8 x 8 = 4
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/8 x 8 = 1
Jumlah =8 =8

b. Ahli waris: Suami, 2 org sdr pr kdg, ibu dan sdr pr seibu.

Ahli Waris Bagian AM=6 A M ‘Aul = 9


Suami 1/2 1/2 x 6 = 3 3/9 x 9 = 3
2 org sdr pr kdg 2/3 2/3 x 6 = 4 4/9 x 9 = 4
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/9 x 9 = 1
Sdr pr seibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/9 x 9 = 1
Jumlah =9 =9

c. Ahli waris: Suami, 2 org sdr pr kdg, ibu, sdr pr seibu dan
sdr lk seibu.

Ahli Waris Bagian AM=6 A M ‘Aul = 10


Suami 1/2 1/2 x 6 = 3 3/10 x 10 = 3
2 org sdr pr kdg 2/3 2/3 x 6 = 4 4/10 x 10 = 4
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/10 x 10 = 1
1 org sdr pr 1/3 1/3 x 6 = 2 2/10 x 10 = 2
seibu dan 1 org
sdr lk seibu
Jumlah = 10 = 10

d. Ahli waris : Isteri, ibu dan 2 org sdr pr kdg.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah Asal Masalah


= 12 ‘Aul = 13
Isteri 1/4 1/4 x 12 = 3 3/13 x 13 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 12 = 2 2/13 x 13 = 2
2 org sdr pr 2/3 2/3 x 12 = 8 8/13 x 13 = 8
kandung
Jumlah = 13 = 13
158 158

e. Ahli waris : Isteri, 4 orang saudara perempuan kandung,


ibu, dan saudara perempuan seibu.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah Asal Masalah


= 12 ‘Aul = 15
Isteri 1/4 1/4 x 12 = 3 3/15 x 15 = 3
4 org sdr pr kdg 2/3 2/3 x 12 = 8 8/15 x 15 = 8
Ibu 1/6 1/6 x 12 = 2 2/15 x 15 = 2
Sdr pr seibu 1/6 1/6 x 12 = 2 2/15 x 15 = 2
Jumlah = 15 = 15

f. Ahli waris : Isteri, 2 org sdr pr kdg, ibu, 2 org sdr pr


seibu dan 2 org sdr lk seibu.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah Asal Masalah


= 12 ‘Aul = 17
Isteri 1/4 1/4 x 12 = 3 3/17 x 17 = 3
2 org sdr pr kdg 2/3 2/3 x 12 = 8 8/17 x 17 = 8
Ibu 1/6 1/6 x 12 = 2 2/17 x 17 = 2
2 org sdr pr 1/3 1/3 x 12 = 4 4/17 x 17 = 4
seibu dan 1 org
sdr lk seibu
Jumlah = 17 = 17

g. Ahli waris : 2 org anak pr, ayah, ibu dan isteri


Ahli Waris Bagian A M = 24 A M ‘Aul=27
2 org anak pr 2/3 2/3 x 24 = 16 16/27 x 27 = 16
Ayah 1/6 + Ashbh b 1/6 x 24 = 4 + 4/27 x 27 = 4
nafsi 0
Ibu 1/6 1/6 x 24 = 4 4/27 x 27 = 4
Isteri 1/8 1/8 x 24 = 3 3/27 x 27 = 3
Jumlah = 27 = 27

Bagian-bagian ahli waris ashhabul furudh itu sudah ditentukan,


yakni : 1/2 , 1/4, 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6, maka telah diketemukan
159159

oleh ahli faraidh kemungkinan ‘aul yang ada, dan dapat


diklasipikasikan kemungkinan tersebut menjadi 3 macam, yaitu:

1. ‘Aul dari 6 menjadi 7


‘Aul dari 6 menjadi 8
‘Aul dari 6 menjadi 9
‘Aul dari 6 menjadi 10
2. ‘Aul dari 12 menjadi 13
3. ‘Aul dari 24 menjadi 27. 1

C. Dasar Hukum ‘Aul Al-Qur aan surat An-Nahl (16) ayat 90

    


   
  
  
   
  

  
      
   

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan


berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran.2

Allah SWT menyuruh agar manusia dapat berlaku adil pada


setiap perbuatan, termasuk diantaranya adil dalam pembagian
harta warisan, kalau harta untuk para ahli waris tersebut kurang
dari bagian yang seharusnya, supaya adil adalah masing-masing
bagian ahli waris dikurangi menurut perimbangan bagian
mereka masing-masing.

1 Moh. Anwar, Fara’idl Hukum Waris Dalam Islam dan Masalah-

Masalahnya, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1981), h. 46.


2
Departemen Agama RI, Al-Qur aan dan Terjemahnya, (Jakarta :
Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsir Al-Qur aan, 1971), h. 415.
160
BAB X

MASALAH RADD

A. Pengertian Radd.

Menurut istilah dalam ilmu faraidh, definisi radd


adalah mengurangi pokok masalah dan menambah bagian
ashhabul furudh. Dengan demikian radd adalah kebalikan dari
‘aul. Jika seluruh ashhabul furudh telah memperoleh bagian,
sementara harta warisan yang ditinggalkan simayat masih
tersisa, dan tidak terdapat ahli waris lain yang berhak menerima
bagian ashabah, maka sisa harta waris tersebut dibagikan
kembali kepada ashhabul furudh sesuai dengan bagian masing-
masing.1

Radd ialah mengurangi dan menurunkan angka


penyebut dan disamakan dengan angka pembilang, karena
berlebih angka penyebut dari angka pembilang, seperti 4/6
diturunkan menjadi 4/4. Raad ini terjadi sebab tidak ada ahli
waris yang mendapat ashabah, dan semua ahli waris terdiri dari
ashhabul furudh, sedangkan harta berlebih dari jumlah bagian-
bagian mereka.

B. Contoh Masalah Radd.

Seorang meninggal dunia, ahli waris yang ditinggalkan adalah 1


orang anak perempuan dan ibu. Pembagiannya dapat dilihat
dalam bagan dibawah ini :

1 Muhammad Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur

an dan Sunnah, (Terj ; Hamdan Rasyid), ( Jakarta : Dar Al-Kutub Al-


Islamiyah, 2005), h. 154.
161161

Ahli Waris Bagian AM =6 A M Radd = 4


1 org anak pr 1/2 1/2 x 6 = 3 3/4 x 4 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/4 x 4 = 1
Jumlah =4 =4

Pada contoh ini ahli waris terdiri dari 2 macam, yaitu 1


orang anak perempuan mendapat 1/2, dan ibu mendapat 1/6,
asal masalah 6, jadi anak perempuan mendapat 1/2 x 6 = 3, dan
ibu mendapat 1/6 x 6 = 1, jumlah harta warisan untuk ahli waris
yang ada = 4, jadi harta warisan tersisa = 2, kemanakah
lebihnya ini diberikan ?. Dalam hal ini kelebihan harta
diberikan juga kepada ahli waris tersebut dengan cara
ditambahkan (di radd) kepada mereka menurut perimbangan
bagian mereka masing-masing. Akibat dari radd ini, bertambah
pendapatan ahli waris dari bagiannya semula menurut
perimbangan bagian mereka masing-masing.

C. Dasar Hukum Radd Antara Lain :

1. Firman Allah SWT Q S Al-Anfaal (8) ayat 75 :

     


    
    
   
  
   …

…orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu


sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.2

2 Departemen Agama RI, Op cit, h. 274.


162 162

Ayat ini menerangkan bahwa sisa harta dari bagian ahli waris,
ditambahkan juga kepada mereka.3

2. Hadis Nabi SAW :

ِ ‫ت ِم ْنهُ َعلَى الْمو‬


‫ت فَأ َََتِِن‬ ً ‫ت ِِبَ َّكةَ َم َر‬
ُ ‫ضا فَأَ ْش َف ْي‬ ُ‫ض‬ْ ‫ال َم ِر‬ َ َ‫اص ق‬ ٍ َّ‫َس ْع ِد بْ ِن أَِِب َوق‬
َْ
ِ ِ َِّ ‫ول‬ ُ ‫ودِِن فَ ُقل‬ ُ ُ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يَع‬
َّ ‫صلَّى‬
‫س‬ ً ‫اَّلل إ َّن ِِل َم ًاًل َكث‬
َ ‫ريا َول َْي‬ َ ‫ْت ََي َر ُس‬ ُّ ِ‫الن‬
َ ‫َِّب‬
‫ْت‬
ُ ‫ال ًَل قُ ل‬ َ َ‫الشط ُْر ق‬َّ َ‫ْت ف‬
ُ ‫ال قُل‬ َ َ‫ال ًَل ق‬َ َ‫ص َّد ُق بِثُلُثَ ْي َم ِاِل ق‬َ َ‫يَ ِرثُِِن إًَِّل ابْ نَ ِِت أَفَأَت‬
ِ ‫ت ولَ َد َك أَ ْغنِياء َخ‬ ِ ُ ُ‫ال الثُّل‬
ً‫ْتَك ُه ْم َعالَة‬
ُ ْ َ‫ري م ْن أَ ْن ت‬
ٌْ َ َ َ َ ‫ك إِ ْن تَ َرْك‬ َ َّ‫ري إِن‬
ٌ ‫ث َكب‬ َ َ‫ث ق‬ ُ ُ‫الثُّل‬
َ ‫يَتَ َك َّف ُفو َن الن‬
4
... ‫َّاس‬
Sa’id bin Abi Waqas berkata : Saya pernah sakit di
Mekkah, sakit yang membawa kematian, Saya
dikunjungi oleh Nabi SAW, Saya ber tanya kepada Nabi
: Ya Rasulullah, saya memiliki harta yang banyak, tidak
ada yang akan mewarisiku kecuali seorang anak
perempuan, bolehkah saya sedekahkan dua
pertiganya?, Nabi menjawab : Tidak, saya bertanya
lagi: Seperduanya?, Nabi menjawab : Tidak. Saya
bertanya lagi: Sepertiganya ?, Nabi menjawab :
Sepertiga sudah besar (banyak), sesungguhnya jika
kamu meninggalkan keluargamu berkecukupan itu
lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam
keadaan berkekurangan sampai meminta-minta kepada
orang lain.

3 Mawardi Muhammad, Ilmu Faraidl, (Padang : Sridarma, 1982)),


h. 62.
4
Maktabah Syamilah, Shahiah Bukhari, Juz 20, Hadis No. 6236, h.
456.
163163

Hadis ini menerangkan bahwa ahli waris sa’ad bin abi Waqqash
adalah seorang anak perempuan saja, dan dia mendapat 2/3
harta peninggalan setelah dibayar wasiatnya 1/3. Sebenarnya
hak ahli warisnya 1 orang anak perempuan adalah 1/2 dari harta
warisan. Jadi kelebihan dari yang 1/2 itu, adalah di raddkan
kepadanya.

D. Para Ahli Waris yang Berhak dan yang Tidak Berhak


Mendapat Radd.

1. Para Ahli Waris yang Berhak Mendapat Radd,

Semua ahli waris yang berhak memperoleh bagian yang


pasti atau ashhabul furudh dapat menerima radd kecuali suami
dan isteri.5 Tapi dalam literatur lain ashhabul furudh yang boleh
menerima radd adalah :

a. Ibu.
b. Nenek.
c. Anak perempuan.
d. Anak perempuan dari anak laki-laki.
e. Saudara perempuan yang kandung
f. Saudara perempuan yang seayah.
g. Saudara perempuan yang seibu.
h. Saudara laki-laki yang seibu. 6

2. Para Ahli Waris yang Tidak berhak Menerima Radd.

5
Muhammad Ali Al-Sabouni, Op cit, h. 155.
6 Mawardi Muhammad, Op cit, h. 63.
164 164

Ahli waris yang tidak berhak menerima radd yaitu


suami isteri, karena kekerabatan mereka bukan didasarkan pada
hubungan nasab, melainkan karena hubungan sababiyah, yakni
semata-mata karena sebab perkawinan yang dapat terputus
karena kematian, karena itu suami atau isteri tidak berhak
menerima radd. Mereka hanya berhak atas bagian yang pasti
(furudh) nya saja, sedangkan harta yang masih tersisa
ditambahkan kepada ashhabul furudh.7

E. Cara menentukan Asal Masalah Radd adalah :

1. Ahli waris yang mendapat radd satu macam saja.

Kalau ahli waris yang mendapat radd itu satu macam saja, maka
asal masalah radd adalah terambil dari angka jumlah kepala.

a. contoh : Ahli waris : 1 orang anak perempuan

Ahli Waris Bagian AM=2 A M Radd = 1


1 org anak pr 1/2 1/2 x 2 = 1 1/2 + 1/2 = 2/2 = 1
Jumlah =1 =1

Pada contoh ini, waris hanya seorang anak perempuan,


bagiannya adalah 1/2, sisa harta yang 1/2 diberikan kepadanya
dengan cara radd. Dengan demikian semua harta warisan
untuknya, yaitu 1/2 dari bagian ashhabul furudh dan 1/2 lagi
dari radd yang diberikan kepadanya.

b. Contoh : Ahli waris : 3 orang anak perempuan.

7 Muhammad Ali Al-Sabouni, Op cit, h. 156.


165165

Ahli Waris Bagian AM=3 A M Radd = 3


3 org anak pr 2/3 2/3 x 3 = 2 2/3 + 1/3 = 3/3 :3= 1
Jumlah = 2 (sisa = 1) =3

Ahli waris 3 orang anak perempuan saja, bagian mereka 2/3,


kelebihan harta warisan 1/3, di raddkan kepada 3 orang anak
perempuan tersebut. Oleh karena mereka 3 orang, maka asal
masalah radd adalah 3 (angka jumlah kepala), artinya harta itu
dibagi 3. Jadi masing-masing anak perempuan mendapat 1.

Penjelasan :

Untuk mengetahui berapa bagian ahli waris yang


ashhabul furudh, dan berapa pula raddnya, caranya
diperkalikan angka jumlah kepala dengan angka penyebut
bagiannya. Jadi pada contoh b, angka jumlah kepala 3 dan
angka penyebut bagiannya 3. Lalu diperkalikan keduanya, yaitu
3 x 3 = 9. Bagian mereka 2/3 x 9 = 6. Masing-masing bagian
anak perempuan mendapat 6 : 3 = 2 (2/9). Sisa harta yang di
raddkan adalah 9 – 6 = 3. Kemudian 3 : 3 = 1 (1/9). Jadi bagian
ashhabul furudh masing-masing anak perempuan = 2 ( 2/9) +
bagian raddnya = 1 (1/9) Jumlah = 3 (3/9) = 1/3

c. Contoh : Ahli waris : 4 orang saudara perempuan seibu.

Ahli Waris Bagian AM=3 A M Radd = 4.


4 org sdr pr 1/3 1/3 x 3 = 1 1/4 + 3/4 = 4/4
seibu :4=1
Jumlah =1 =4
166 166

Pada contoh ini, ahli waris adalah 4 orang saudara perempuan


seibu, bagian mereka 1/3, kelebihan harta warisan 2/3,
diraddkan kepada 4 orang anak perempuan tersebut. Oleh
karena 4 orang, maka asal masalah radd adalah 4 (angka
jumlah kepala). Artinya harta itu dibagi 4, Jadi masing-masing
saudara perempuan seibu mendapat 1.

Penjelasan :

Untuk mengetahui berapa bagian ahli waris yang


ashhabul furudh, dan berapa pula raddnya, caranya
diperkalikan angka jumlah kepala dengan angka penyebut
bagiannya. Jadi pada contoh c, angka jumlah kepala 4 dan
angka penyebut bagiannya 3. Lalu diperkalikan keduanya, yaitu
4 x 3 = 12. Bagian mereka 1/3 x 12 = 4. Masing-masing saudara
perempuan seibu mendapat 4 : 4 = 1 (1/12). Sisa harta yang di
raddkan adalah 12 – 4 = 8. Kemudian 8 : 4 = 2 (2/12). Jadi
bagian ashhabul furudh masing-masing sdr pr seibu = 1 (1/12)
+ bagian raddnya = 2 (2/12). Jumlah = 3 (3/12) = 1/4

2. Ahli waris yang mendapat radd dua macam atau lebih.

Kalau ahli waris yang mendapat radd itu dua macam atau lebih,
maka asal masalahnya adalah jumlah angka pembilang dari
bagian-bagian ahli waris tersebut. Contoh :

a. Ahli waris : Nenek dan saudara perempuan seibu.

Ahli Waris Bagian AM=6 A M Radd= 2


1 org Nenek 1/6 1/6 x 6 = 1 1
1 org sdr pr seibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1
Jumlah =2 =2
167167

Pada contoh nomor a ini, asal masalah radd 2, dari jumlah


angka pembilang mereka. Jadi 1 orang nenek mendapat 1, dan 1
orang saudara perempuan seibu mendapat 1

b. Ahli waris: Ibu, 1 org anak pr, dan 1 orang anak pr dari
anak laki-laki.

Ahli Waris Bagian AM=6 A M Radd = 5


Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1
1 org anak pr 1/2 1/2 x 6 = 3 3
1 org ank pr dr 1/6 1/6 x 6 = 1 1
anklk (cucu pr)
Jumlah =5 =
Penjelasan :

Untuk mengetahui berapa bagian ahli waris yang dapat dari


ashhabul furudh dan berapa pula yang dapat dari radd,
hendaklah diperkalikan jumlah bagian ahli waris dengan
asal masalah, yaitu 5 x 6 = 30. Jadi :

Ibu mendapat 1/6 x 30 = 5


1 org anak pr mendapat 3/6 x 30 =15
1 org cucu pr mendapat 1/6 x 30 = 5
Jumlah = 25
Kelebihan harta warisan = 30 – 25 = 5
Harta tersebut diraddkan kepada ahli waris tersebut menurut
perimbangan bagian mereka masing-masing, yaitu :

Ibu mendapat 1/6 x 30 = 5 (furudh) + 1 (radd) = 6


1 org anak pr mendapat 3/6 x 30 =15 (furudh) + 3 (radd) = 18
1 org cucu pr mendapat 1/6 x 30 = 5 (furudh) + 1 (radd) = 6
Jumlah = 25 (furudh) + 5 (radd) = 30
168 168

3. Ahli waris yang mendapat radd satu macam bersama


dengan ahli waris yang tidak mendapat radd yaitu suami
atau isteri.

Kalau ahli waris yang berhak mendapat radd bersama-


sama menjadi ahli waris dengan suami atau isteri, sedangkan
keduanya tidak berhak mendapatkan radd, maka asal
masalahnya adalah angka penyebut bagian suami atau isteri
tersebut.

Ahli waris : Suami dan anak perempuan.

Ahli Waris Bagian AM=4 A M Radd = 4


Suami 1/4 1/4 x 4 = 1 1
1 org anak pr 1/2 1/2 x 4 = 2 2+1=3
Jumlah =3 =4
Pada contoh ini, asal masalah radd adalah 4 (penyebut bagian
suami), Suami mendapat 1/4 x 4 = 1, itu adalah bagian
furudhnya. Dan lebih harta warisan 3 adalah untuk 1 orang anak
perempuan. bagian furudhnya 1/2 x 4 = 2, dan bagian raddnya
adalah 1/4 = 1, Jadi jumlah bagian 1 orang anak perempuan
adalah 2 + 1 = 3 (3/4).

4. Ahli waris yang mendapat radd dua macam atau lebih


bersama dengan ahli waris yang tidak mendapat radd
yaitu suami atau isteri.

Apabila ahli waris yang mendapat radd itu dua macam atau
lebih, jika bersama-sama dengan suami atau isteri, maka asal
massalah raddnya adalah Angka penyebut bagian isteri atau
suami, jika angka pembilang yang tinggal dari bagian
suami atau isteri, bisa dibagi dengan jumlah angka
pembilang bagian-bagian dari ahli waris radd.
169169

Contoh penyelesaian masalahnya :

Ahliwaris : Isteri, ibu, dan 2 org sdr pr seibu.

Ahli Bagian A M =12 Jmlh bagian A M Radd= 4


waris radd 12-9 = 3
Isteri 1/4 1/4 x 12 = 3 = 0 1/4 x 4 = 1
Ibu 1/6 1/6 x 12 = 2 = 1 = 1 (dari 1/6
menjadi 1/4)
2 org 1/3 1/3 x 12 = 4 =2 = 2 (dari 1/3
sdr pr menjadi 2/4=
seibu 1/2)
jumlah =9 =3 =4
Ahli waris terdiri dari isteri, bagiannya 1/4 dan ibu bagiannya
1/6, dan 2 orang saudara perempuan seibu bagiannya 1/3.
Setelah dijumlah menurut angka asal masalah, jumlahnya 9, jadi
harta warisan berlebih 3. Oleh sebab itu masalah ini menjadi
masalah radd. Jika dilihat semua ahli waris, ada diantara mereka
yang tidak berhak mendapatkan radd yaitu isteri. Dia hanya
berhak mendapatkan furudhnya saja, yaitu 1/4. Kemudin
dijumlahkan bagian-bagian waris yang mendapatkan radd, yaitu
1 + 2 = 3, yaitu angka pembilang dari 3/6 (jumlah 1/6 + 1/3
(2/6) = 3/6). Dalam hal ini angka pembilang yang tinggal dari
bagian isteri adalah angka 3 (3/12). Angka pembilang ini bisa
dibagi dengan jumlah bagian-bagian waris yang mendapatkan
radd, yaitu angka 3 pula. Artinya 3 bisa dibagi 3. Oleh sebab itu
asal masalah radd disini , adalah angka penyebut bagian isteri,
yaitu angka 4, karena bagiannya 1/4. Jadi isteri mendapat 1
(1/4), ibu yang tadinya mendapat 1/6, kemudian ditambah
bagian raddnya menjadi 1/4. Dan 2 orang saudara perempuan
seibu yang tadinya mendapat 1/3, kemudian ditambah bagian
raddnya menjadi menjadi 2/4 = 1/2.
170 170

Jika ingin mengetahui berapa bagian ashhabul furudhnya dan


berapa bagian raadnya, perhatikan angka-angka dibawah ini :

Ahli Bagian A M =12 Jmlh bagian A M Radd= 4


waris radd 12-9 = 3
Isteri 1/4 1/4 x 12 = 3 = 0 1/4 x 4 = 1
Ibu 1/6 1/6 x 12 = 2 = 1 = 1 (dari 1/6
menjadi 1/4)
2 org 1/3 1/3 x 12 = 4 =2 = 2 (dari 1/3
sdr pr menjadi 2/4=
seibu 1/2)
jumlah =9 =3 =4

Istri bagian furudhnya 3/12, tidak ada bagian raddnya.

Ibu bagian furudhnya 2/12 + bagian raddnya 1/12 = 3/12.

2 orang saudara perempuan seibu bagian furudhnya 4/12 +


bagaian raddnya 2/12 = 6/12.

Jadi = 3/12 + 3/12 + 6/12 = 12/12. Harta habis semua dibagi.


171
BAB XI

DZAWIL ARHAM

A. Pengertian Dzawil Arham.

Dzawil Arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil


furudh dan bukan pula ashabah.1 Atau dzawil arham adalah ahli
waris yang tidak termasuk ashhabul furudh dan tidak pula
ashabah. Mereka dianggap kerabat jauh pertalian nasabnya
dengan simayat. Kerabat mayat itu ada 2 macam :

a. Kerabat yang menjadi ahli waris dengan ijma’ shahabat dan


mujtahid-mujtahid, yaitu ashhabul furudh dan ashabah.

b. Kerabat yang menjadi waris yang tidak termasuk ashhabul


furudh dan ashabah, kerabat ini dinamai dzawil arham.2

B. Dasar Hukum Dzawil Arham Surat Al-Anfaal (8) ayat 75

     


    
    
   
  
   …

…orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu


sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.3

As-Sayid Saabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz III, (Beirut : Dar Al-Fikri,


1

1983), h 446.
2 Mawardi Muhammad, Ilmu Faraidh, (Padang : Sridarma, 1982), h.

71.
3 Departemen Agama RI, Op cit, h. 274.
172 172

2. Hadis Nabi SAW :

ُ ‫ال َوا ِر‬


‫ث َم ْن ََل‬ ْ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسله َم‬
ُ َ‫اْل‬ ‫صلهى ه‬ ِ‫ول ه‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫َت ق‬
ْ ‫شةَ قَال‬
4
ُ‫ث لَه‬َ ‫َوا ِر‬
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah SAW bersabda :
Saudara ibu adalah waris oleh orang yang tidak ada
warisnya.

C. Macam-Macam Dzawil Arham.

Dzawil arham terdiri dari 4 macam, yaitu :

1. Dzawil arham yang berasal kepada si mayat, yaitu :


a. Anak laki-laki dari anak perempuan.
b. Anak perempuan dari anak perempuan.
c. Anak laki-laki dari anak perempuan dari anak laki-laki.
d. Anak perempuan dari anak perempuan dari anak laki-laki.
2. Simayat berasal kepada dzawil arham, yaitu :
a. Bapak dari ibu.
b. Ibu dari bapak dari ibu.
3. Dzawil arham yang berasal kepada bapak dan ibu si
mayat, yaitu :
a. Anak laki-laki dari saudara perempuan kandung.
b. Anak perempuan dari saudara perempuan kandung.
c. Anak laki-laki dari saudara perempuan seayah.
d. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah.
e. Anak laki-laki dari saudara perempuan seibu.

4
Maktabah Syamilah, Sunan Tirmidzi, Juz VII, Hadis Nomor 2030,
h 458.
173173

f. Anak perempuan dari saudara perempuan seibu.


g. Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung.
h. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah.
i. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu.
j. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu.
4. Dzawil arham yang berasal kepada kakek atau nenek
dari simayat, yaitu:
a. Paman yang seibu dengan ayah.
b. Saudara perempuan yang kandung dari ayah.
c. Saudara perempuan yang seayah dari ayah.
d. Saudara perempuan yang seibu dari ibu.
e. Saudara laki-laki yang kandung dari ibu.
f. Saudara laki-laki yang seayah dari ayah.
g. Saudara laki-laki yang seibu dari ibu.
h. Saudara perempuan yang kandung dari ibu.
i. Saudara perempuan yang seayah dari ibu.
j. Saudara perempuan yang seibu dari ibu.
k. Anak perempuan dari paman yang kandung.
l. Anak perempuan dari paman yang seayah.5

D. Cara Pembagian Warisan Dzawil Arham.

Didalam al-Qur aan tidak ada keterangan yang tegas


tentang kedudukan dzawil arham sebagai ahli waris. Oleh
karena itu, dalam hal ini terjadi kontroversi antara lain :

1. Ada diantara fuqaha’ yang berpendapat bahwa dzawil arham


bukan ahli waris, meskipun dalam keadaan tidak ada orang
lain yang akan mewarisi harta warisan si mayat.

5 Mawardi Muhammad, Op cit, h. 73.


174 174

2. Ada diantara ulama yang lain menyatakan bahwa dzawil


arham juga ahli waris yang berhak menerima harta warisan
sekalipun ada dzawil furudh dan ashabah. 6

Mengenai hal ini diantara para fuqahak yang


mengatakan bahwa dzawil arham tidak berhak mendapatkan
harta warisan adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Ibnu Hazmin,
Zaid bin Tsabit, Umar, Ustman dan Ahli Dhohir, mereka
menjelaskan bahwa andaikan ada seorang meninggal dunia
dengan tidak meninggalkan ahli waris ashhabul furudh dan
ashabah, harta peninggalan diserahkan ke Baitul Maal,
sekalipun dia meninggalkan Ahli waris dzawil arham.

Berbeda dengan pendapat diatas, Imam Abu Hanifah


dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa dzawil
arham mendapat waris, apabila tidak ada ahli waris dzawil
furudh atau ashabah. Mereka sependapat dengan pendapat Ali
bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. 7

Menurut Jumhur Fuqahak, dzawil arham adalah ahli


waris yang berhak menerima harta warisan, apabila simayat
tidak mempunyai dzawil furudh atau ashabah, atau ada dzawil
furudh yang mewarisi hartanya, tetapi hartanya masih tersisa
dan tidak dapat habis karena dzawl furudh yang ada tidak
berhak mendapat radd. Alasan yang dijadikan dasar oleh
Jumhur fuqaha’ adalah QS Al-Anfaa (8) ayat 75 diatas.

Ayat tersebut masih bersifat umum, yakni mencakup


seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan

6 Ibnu Rusyd, Analisa Fiqih Para Mujtahid (Terjemahan Bidayatul

Mujtahid, Juz III), (Jakarta : Pustaka Imami, 2002), h. 463.


7 As Sayid Saabiq, Op cit, h. 447.
175175

orang yang meninggal, baik mereka yang termasuk ahli waris


golongan ashhabul furudh, golongan ashabah, maupun
golongan dzawil arham. Dengan pengertian bahwa kerabat yang
jauh juga berhak mewarisi apabila kerabat yang lebih dekat
tidak ada.

Mafhum (pemahaman) dari surat al-Anfaal tersebut


ialah kerabat dzawil arham itu lebih layak menerima warisan
dari pada kaum muslimin pada umumnya. Karena dzawil arham
mempunyai dua hubungan pertalian dengan simayat, yaitu
pertalian nasab dan pertalian ke Islaman, sedangkan kaum
muslimin hanya mempunyai satu hubungan, yaitu pertalian ke
Islaman saja. Jadi harta warisan lebih layak diberikan kepada
dzawil arham dari pada diserahkan kepada Baitul Maal untuk
kepentingan kaum muslimin.

Adapun Syarat-syarat agar dzawil arham merima harta


warisan kerabatnya, menurut jumhur harus memenuhi dua
syarat, yaitu :

1. Tidak ada ahli waris ashhabul furudh dan ashabah sama


sekali. Apabila masih terdapat seorang saja dari ashhabul
furudh atau ashabah, mereka tidak dapat menerima harta
warisan sama sekali. Sebab jika ashhabul furudh tidak
sampai menghabiskan harta warisan, maka sisa harta
warisan tersebut harus di raddkan (ditambahkan) kepada
ashhabul furudh, sampai tidak ada sisa yang bakal diterima.
Radd kepada ashhabul furudh harus didahulukan dari pada
memberikan harta warisan kepada dzawil arham. Apalagi
kalau bagian ashhabul furudh dapat menghabiskan harta
warisan, atau jumlah bagian-bagian mereka lebih besar dari
pada asal masalah, hingga asal masalahnya perlu di ‘aul kan,
176 176

sudah barang tentu tidak ada sisa lebih. Demikian juga


mereka tidak dapat menerima warisan sama sekali, bila
masih ada ashabah, baik sendirian maupun bersama-sama
dengan ashhabul furudh, sebab sisa lebih itu akan diterima
oleh ashabah semuanya sebagai pewaris penerima sisa.
Dengan adanya dua macam pewaris tersebut, ashhabul
furudh dan ashabah baik keduanya mewarisi bersama-sama
maupun sendirian, maka dzawil arham tidak dapat menerima
harta warisan.

2. Dzawil arham bersama dengan salah seorang suami isteri.


Jika ashhabul furudh yang mewarisisi bersama-sama dengan
dzawil arham itu salah seorang suami atau isteri, maka salah
seorang suami atau isteri mengambil bagiannya (furudh) nya
lebih dahulu, kemudian sisanya diserahkan kepada dzawil
arham.
177
BAB XII
HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA

A. Bentuk Adat dan Kekeluargaan di Indonesia.

Bangsa Indonesia menganut berbagai agama dan adat


istiadat, yang mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem
keturunan yang berbeda-beda. Sistem tersebut sangat
berpengaruh terhadap sistem kewarisan dalam masyarakatnya.
Bagi orang-orang Indonesia asli di berbagai daerah terdapat
berbagai adat dengan sifat kekeluargaan yang dapat
dikategorikan kepada tiga golongan, yaitu :
1. Sifat kebapakan ( patriarchaat ),
2. Sifat keibuan ( matriarchaat), dan
3. Sifat kebapak ibuan ( parental ). 1

1. Sifat kebapakan ( patriarchaat ).


Dalam kekeluargaan yang bersifat kebapakan, seorang
isteri karena perkawinannya di lepaskan dari hubungan
kekeluargaannya dengan orang tuanya, nenek moyangnya,
saudara sekandung, saudara sepupu, dan lain-lain dari sanak
keluarganya. Sejak perkawinan isteri masuk dalam lingkungan
keluarga suaminya. Begitu juga anak-anak atau keturunan dari
perkawinan itu, kecuali bagi anak perempuannya yang sudah
menikah, ia masuk kedalam lingkungan keluarga suaminya.
Corak yang utama dari perkawinan dalam kekeluargaan yang
bersiat kebapakan, ialah perkawinan dengan jujuran, dimana
siisteri dibeli oleh keluarga suaminya dari keluarga isteri

1. Moh.Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam


Sebagai Pembaruan Hukum Posistif di Indonesia ( Jakarta : Sinar Grafika,
2009), h.41.
178

178
dengan sejumlah uang sebagai harga pembelian. Keluarga yang
bersifat kebapakan ini di Indonesia terdapat antara lain di Batak,
Ambon, Bali.

2. Sifat keibuan ( matriarchaat).

Kekeluargaan yang bersifat keibuan di Indonesia hanya


terdapat di Minangkabau. Setelah perkawinan sisuami
bertempat tinggal dirumah isteri atau keluarganya. Marga anak-
anak keturunannya mengikuti marga ibunya.

3. Sifat kebapak ibuan ( parental ).

Kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan adalah yang


paling merata terdapat di Indonesia, antara lain terdapat di
Jawa, Madura, Sumatra Selatan, Riau, Aceh, Kalimantan,
Sulawesi, Ternate dan Lombok. Dalam kekeluargaan ini pada
hakikatnya tiada perbedaan antara suami dan isteri perihal
kedudukannya dalam keluarga masing-masing. Sebagai akibat
dari perkawinan si suami menjadi anggota keluarga si isteri, dan
begitu juga sebaliknya si isteri menjadi anggota keluarga
keluarga suaminya. Dalam permulaan perkawinan, kalau
sisuami memberi sejumlah uang kepada isteri, maka uang ini
tidak berarti harga suatu pembelian, tetapi adalah untuk
keperluan rumah tangga dari mereka, atau sebagai hibah belaka.
179

179

B. Lembaga Yang Berwenang Menyelesaikan Perkara


Kewarisan di Indonesia.

Pada tahun 1882 M di Jawa dan Madura dibentuk


Peradilan Agama disamping Peradilan Negeri. Pemerintah
Belanda memberi nama dengan Priester raad. Pada waktu itu
kewenangannya belum ditentukan. Sehingga mereka sendiri
yang menetapkan perkara yang dipandang masuk dalam
lingkungan kekuasaannya. Pada umumnya wewenangnya
adalah:

1. Perkara-perkara yang berhubungan dengan pernikahan,


perceraian, mahar, nafkah dan perwalian.

2. Warisan.

3. Waqaf.

Dalam dunia peradilan putusan Pengadilan Agama


tidak mempunyai kekuatan untuk dipaksakan, jika hendak
melaksanakan harus dimintakan kekuatan (pengukuhan) kepada
Pengadilan Negeri. Sementara Pengadilan Negeri enggan
memberikan pengukuhan, jika keputusannya melampaui batas
wewenangnya, atau melanggar hal-hal yang formil.

Dengan adanya Staatsblad 1937 No. 116, yang mulai


berlaku tanggal 1 April 1937 kekuasaan Pengadilan Agama
dibatasi pada :

1. Perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam.


180

180
2. Perkara-perkara tentang nikah, talak,rujuk, dan perceraian
antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan
hakim agama Islam.

3. Memberi keputusan perceraian.

4. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya ta’lik talak sudah


ada.

5. Perkara mahar.

6. Perkara tentang keperluan kehidupan isteri yang wajib


diadakan oleh suami.

Oleh karena itu masalah waris, waqaf, hadhonah yang


sebelum tanggal 1 April 1937 dapat diputuskan oleh Pengadilan
Agama, menjadi kompetensi Pengadilan Negeri.2 Pada
prakteknya Pengadilan Negeri minta fatwa kepada hakim
Pengadilan Agama dalam hal yang berkenaan dengan cara-cara
pembagian harta warisan, kemudian hakim Pengadilan Negeri
yang mengeluarkan putusannya.

Demikianlah pemberlakuan Pengadilan Agama berjalan


hingga dikeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Eksistensi Peradilan
Agama dengan penerapan hukum Islam menjadi lebih kukuh.
Pasal 1 Undang-Undang ini antara lain menyatakan bahwa
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang

2
Anwar Sitompul, Dasar-Dasar Praktis Pembagian Harta
Peninggalan Menurut Hukum Waris Islam, ( Bandung : Armoco, 1984), h. 7
181

181
beragama Islam. Pasal ini diperjelas lagi oleh pasal 2, yang
menentukan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam Undang-Undang ini.

Pengertian perkara perdata tertentu oleh Undang-


Undang dijelaskan dalam pasal 49 yang menentukan bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

1. Perkawinan,

2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan


hukum Islam.

3. Waqaf dan shadaqah.

Dalam pasal ini ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat


Islam di seluruh Indonesia penyelesaiannya menjadi wewenang
Pengadilan Agama. Hukum yang digunakan adalah Hukum
Kewarisan Islam, atau Fiqh Mawaris, atau Faraidh. 3

Di Indonesia perkara-perkara kewarisan bagi


masyarakat yang beragama Islam muthlak merupakan
kewenangan Pengadilan Agama untuk mengadilinya. Hal
tersebut berdasarkan U U Nomor 7 tahun 1989 tentang

3.
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet ke IV ( Jakarta :
Prenada Media Group, 2012) h. 307.
182

182
Peradilan Agama, akan tetapi U U tersebut masih membuka
kemungkinan tentang hak opsi, yaitu hak para ahli waris untuk
memilih hukum waris mana yang mereka sukai untuk
menyelesaikan perkara warisan mereka. Masalah kewarisan
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata (hukum privat),
sedangkan hukum privat itu selalu bersifat mengatur.
Pengadilan Agama dalam melaksanakan tugasnya membagi
harta warisan, jika dilihat dari segi hukum formil dapat ditinjau
dari dua ketentuan, yaitu :

1. Pembagian berdasarkan putusan pengadilan.

2. Pembagian berdasarkan permohonan. Mengenai ini harus


memenuhi dua syarat:

a. Harta warisan yang hendak dibagi harus diluar sengketa


perkara pengadilan,

b. Ada permohonan minta tolong dilakukan pembagian dari


seluruh ahli waris.4

Sebagai aturannya tertera dalam Kompilasi Hukum


Islam (KHI). KHI di berlakukan berdasarkan Instruksi Presiden
Nomor I tahun 1991, pada pokoknya berisi instruksi kepada
Menteri Agama untuk menyebar luaskannya. KHI tidak
memiliki salah satu ciri peraturan perundang-undangan, yaitu
tentang paksaan berlakunya. Hal ini jelas dapat dilihat dari
Keputusan Menteri Agama, dengan adanya kalimat “sedapat
4
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan
Agama, U U No.7/1989, ( Jakarta : Pustaka Kartini, 1989), h. 151.
183

183
mungkin”. Meskipun demikian keadaannya KHI mendorong
terpenuhi kebutuhan akan hukum Islam di Indonesia dalam
sistem hukum nasional.

Untuk mendekatkan orang Islam dengan ke Islaman


terus dilakukan, salah satunya dibidang hukum kewarisan. Di
dalam tata hukum Indonesia berlakunya bidang hukum Islam
bagi orang Islam. Contohnya berlakunya hukum perkawinan
dan hukum kewarisan Islam bagi umat Islam.

1. Mengenai perkawinan, orang Islam yang akan melansungkan


perkawinan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan
perkawinan menurut hukum perkawinan Islam (Pasal 2 ayat
1 U U No.I Tahun 1974).

2. Mengenai warisan, Orang Islam yang akan membagi warisan


semula tidak harus tunduk pada ketentuan hukum kewarisan
Islam ( Pasal 49 dan penjelasan U U No. 7 tahun 1989).
Pasal ini diubah dengan U U No.3 Tahun 2006 yang
menyatakan bahwa orang Islam harus tunduk pada hukum
kewarisan Islam .

Dengan demikian Umat Islam Indonesia harus bekerja


keras dan berusaha maksimal agar KHI bisa menjadi U U yang
mempunyai aturan paksaan berlakunya agar bisa diterapkan
sejajar dengan U U hukum perkawinan.

Bagi umat Islam di Indonesia banyak yang berpegang


teguh pada aturan adat yang mereka anut turun temurun dari
nenek moyangnya, yang sama sekali tidak bisa mereka
184

184

tinggalkan begitu saja, walaupun mereka sudah menganut


agama Islam dari kecil. Adat ini sangat melekat bagi diri
mereka. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam membagi harta
warisan, karena dasar aturan kedua hukum itu berbeda, dan
mengakibatkan konsep ahli waris juga berbeda. Dalam situasi
seperti ini hukum Islam bisa dipakai yang sifatnya mengatur,
jadi tidak bersifat memaksa, karena yang dikehendaki oleh
Islam adalah kemashlahatan bukan kemafsadatan dan
kemudharatan untuk menghindari persengketaan setelah harta
warisan dibagi. Seperti dalam hukum Islam harta warisan
setelah dibagi adalah milik individu ahli waris, sedangkan
menurut adat ada harta warisan yang tidak dibagi, hanya
sekedar hak pakai saja, cantohnya harta pusaka tinggi di
Minangkabau, harta tersebut adalah milik kolektif garis
keturunan perempuan. Orang Islam menyelesaikan perkara
warisannya dengan adanya KHI harus di Pengadilan Agama.
Kalau mau menyelesaikan perkara warisnya secara adat
selesaikan diluar Pengadilan.

Konsep ahli waris untuk warga Republik Indonesia


yang mayoritasnya beragama Islam diatur oleh tiga sistem
hukum, yaitu hukum Islam, hukum Adat dan BW. Hukum waris
di Indonesia masih pluralistik. Bagi ketiga hukum tersebut
terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar. Jika diperhatikan
konsep ahli waris menurut hukum Islam dan hukum adat
terdapat perbedaan mengenai orang yang berhak menjadi ahli
waris. Hal ini karena berbedanya dasar yang dijadikan acuan
untuk menetapkan para ahli waris. Perbedaannya adalah: Ahli
waris menurut Islam dapat digolongkan kepada ahli waris
185

185
sababiyah dan ahli waris nasabiyah. Adapun ahli waris menurut
adat adalah erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat
kekeluargaan yang berpangkal pada sistem menarik garis
keturunan, untuk itu terbagi kepada sistem patrilinial, sistem
matrilinial dan sistem parental atau bilateral.

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum


perdata secara keseluruhan, dan merupakan bagian dari hukum
keluarga. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan
mengalami peristiwa hukum yang dinamai kematian. Akibat
hukum selanjutnya ialah masalah bagaimana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang
meninggal dunia.5 Allah SWT telah menjelaskan dalam
firmannya Q S Al-Anbiyaa’ (21), ayat 35 :

           


       

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami


akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya
kepada kamilah kamu dikembalikan.
Dengan demikian jelas bahwa selagi manusia muslim masih ada
di permukaan bumi ini, mereka pasti akan mati, oleh sebab itu

5. M.Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan Antara Ajaran


Syafi’i, Hazairin dan Wasiat Wajib di Mesir tentang Pembagian
Harta Warisan Untuk Cucu Menurut Islam,” Majalah Hukum dan
Pembangunan No 2 Thn. XII (Jakarta : FHUI, 1982 ),h. 154.
186

186
pembagian harta warisan secara Islam juga harus dilakukan.
Maka orang-orang Islam terutama mahasiswa IAIN harus
mengerti dan dapat membagi harta warisan berdasarkan hukum
Islam.

C. Langkah-Langkah Yang Harus Diperhatikan Sebelum


Harta Warisan Dibagi.
1. Harus jelas kepemilikan harta si pewaris. Pada umumnya di
Indonesia, rumah tangga (keluarga) memiliki 4 macam harta.
a. Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa kedalam
perkawinan atau harta yang diperoleh sebelum
perkawinan sebagai hasil usaha masing-masing.
b. Harta yang didapat disaat mereka menikah, yang diberi
kepada kedua mempelai atau kepada salah satu dari
suami isteri.
c. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlansung,
tetapi berupa hibah, atau warisan dari orang tua mereka
atau keluarga.
d. Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha
bersama atau usaha masing-masing suami isteri disebut
harta pencaharian (gono gini).
Setelah dipelajari dan ditentukan harta milik si pewaris,
harta tersebut bernama harta peninggalan dari si pewaris, belum
merupakan harta warisan. Agar harta tersebut bisa menjadi
harta warisan harus di keluarkan dulu kewajiban-kewajiban
yang harus dibayar dengan harta peninggalan.
187

187

2. Kewajiban-kewajiban yang harus dibayar dengan harta


peninggalan.
a. Membayar biaya penyelenggaraan jenazah, biaya ini
harus menurut cara yang ma’ruf, tidak berlebih-lebihan
dan tidak pula terlalu kurang.
b. Membayar hutang-hutang pewaris, hutang pewaris bisa
berupa hutang kepada manusia dan hutang kepada
Allah SWT, seperti zakat yang belum dibayar.
c. Membayar wasiat pewaris, wasiat tidak boleh lebih dari
1/3 dari harta peninggalan setelah dibayar biaya
penyelenggaraan jenazah dan dibayar hutangnya.
Setelah hal ini dilaksanakan sisa harta baru menjadi
harta warisan yang merupakan hak ahli waris.
3. Identivikasi semua ahli waris yang ada, kemudian tentukan
status masing-masing ahli waris dan jumlah bagian masing-
masing mereka, lihat buku :
a. Ashhabul furudh,
b. Ashabah: Ashabah bin nafsi, Ashabah bil ghairi,
Ashabah ma’al ghairi.
c. Dzawil Arham.
4. Tentukan bagian masing-masing ahli waris. (Buka buku fiqh
mawaris agar jangan terjadi kesalahan dalam menetukan
persentase bagian masing-masing ahli waris.
5. Tentukan status masing-masing ahli waris. Seperti ashhabul
furudh, ashabah dan dzawil arham, serta ahli waris yang
mahjub (terhijab).
188

188

6. Bikin table seperti petunjuk (lihat buku fiqh mawaris).


Bagilah harta tersebut sesuai dengan hukum kewarisan
Islam.
7. Pastikan harta warisan habis dibagi.
8. Pastikan masing-masing ahli waris dapat menerima
pembagian harta warisan tersebut dengan senang hati,
sehingga tidak menimbulkan persengketaan baru.
9. Jika terjadi sengketa diantara para ahli waris, karena merasa
tidak adil, mungkin karena berbeda dengan adat yang
mereka anut turun temurun selama ini, lakukan musyawarah
mufakat dengan seluruh ahli waris. Dalam hal ini para ahli
waris dianjurkan tidak serakah, dan berusaha jangan sampai
memakan harta saudaranya secara batal.
10. Setelah dilakukan demikian, tetapi para ahli waris, masih
ada yang belum puas dengan keputusan anda, sebaiknya
jangan meninggalkan urusan yang belum selesai, ajaklah
mereka ke Pengadilan Agama untuk mencari keputusan
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Walaupun
akhirnya P A juga tidak bisa meeksekusinya.

D. PRAKTIK ( Contohnya )

1. Ahmad meninggal dunia, harta peninggalannya setelah


ditotal berjumlah 160 juta, untuk biaya penyelenggaraan
jenazah 10 juta, untuk bayar hutangnya di rumah sakit 25
juta. Ahmad juga punya hutang di bank BRI 60 juta dan
hutang tersebut di asuransikan, kemudian dia berwasiat
untuk anak yatim 5 juta. Ahli waris yang ditinggalkan adalah
: Ibu, nenek, 3 orang anak perempuan, 1 orang anak laki-
189

189

laki, 2 orang saudara laki-laki kandung, dan 2 orang paman


kandung. Bagilah harta tersebut berapa bagian mereka
masing-masing

Jawaban.

Harta peninggalannya = 160 juta


Biaya penyelenggaraan jenazah = 10 juta
Bayar hutang dirumah sakit = 25 juta
Sisanya = 125 juta
Wasiatnya = 5 juta

Sisanya untuk harta warisan = 120 juta.

Hutang Ahmad di BRI 60 juta tidak perlu dibayar karena


diasuransikan lansung lunas.

Ahli Waris Bagian Asal Masalah= Rp = 120 juta


6
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x 120 jt = 20 jt
Nenek Mahjub oleh ibu 0 0
3 org anak pr Ashbh bil ghairi 3 kepala =3 3/6 x 120 jt
(6-1=5) = 60 jt : 3 = 20 jt
1 org anak lk Ashbh bin nafsi 2 kepala = 2 2/6 x 120 jt = 40 jt
2 org sdr lk kdg Mahjub oleh anak lk 0 0
2 org paman kdg Mahjub oleh anak lk 0 0
Jumlah =6 = 120 juta.
190
BAB XIII

KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UPAYA


MENJADIKANNYA SEBAGAI UNDANG-UNDANG

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan


materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah
229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu
hukum perkawinan (170) pasal, Hukum Kewarisan termasuk
wasiat dan hibah (44) pasal dan Hukum Perwakafan (14) pasal,
ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk
ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan
yang sangat panjang dan “melelahkan” karena pengaruh
perubahan sosial politik yang terjadi di negeri ini dari masa
kemasa.

Kebutuhan adanya Kompilasi Hukum Islam sebagai


hukum materiil bagi Peradilan Agama sudah sejak lama
menjadi pemikiran dan usaha Departemen Agama. Sejak awal
berdirinya Departemen ini, setelah melalui perjalanan panjang
tersebut, pada tanggal 25 Maret 1985, ditandatanganilah SKB
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tentang
penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam
melalui yurisprudensi. Dengan proyek inilah dilakukan berbagai
kegiatan yang mengarah kepada tersusunnya KHI, seperti
penelitian melalui kitab “kuning”, penelitian yurisprudensi
putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama,
wawancara dengan para Ulama se Indonesia, studi banding
kebeberapa negara Timur Tengah, kemudian diakhiri dengan
pengolahan data dan lokakarya tingkat nasional pada tanggal 2
sampai tanggal 5 Februari 1988 yang diikuti oleh para ulama,
191191

ahli hukum,cendikiawan, dan pada tokoh masyarakat. Hasil


lokakarya inilah yang kemudian dikenal dengan KHI Indonesia.

Para tokoh yang sangat peduli terhadap pelaksanaan


Hukum Islam di Indonesia terus mengusahakan agar KHI ini
dapat menjadi Undang-Undang, sehingga statusnya menjadi
kuat sebagai pegangan dalam melaksanakan Hukum Islam di
Indonesia. Namun situasi politik pada saat itu belum
memungkinkan. Hasil usaha maksimal adalah diterbitkannya
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991,
dengan mana Presiden menginstruksikan Menteri Agama untuk
menyebar luaskan KHI tersebut agar dipergunakan oleh instansi
pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Menteri
Agama dengan Keputusan Nomor 154 tahun 1991, tanggal 22
juli, menetapkan tentang pelaksanaan Inpres Nomor 1 tahun
1991, dan menunjuk Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji untuk
mengkordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri ini dalam
bidang tugasnya masing-masing.1

A. Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam.

Inpres Nomor 1 tahun l991 pada dasarnya adalah


perintah sosialisasi KHI untuk digunakan oleh instansi
pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya. Secara tegas
dalam Inpres tersebut disebutkan bahwa Presiden
menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyebar
luaskan KHI. Demikian pula Keputusan Menteri Agama Nomor

1
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Gema Insani Press, 1994 ), h. 62.
192 192

154 tahun 1991, ada 3 butir penting disebutkan dalam


keputusan tersebut, yaitu :

1. Seluruh instansi Departemen Agama dan inntansi pemerintah


lainnya yang terkait agar menyebar luaskan KHI di bidang
Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan untuk
digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya dalam menyelesaikan masalah dibidang
hukum tersebut.

2. Seluruh lingkungan instansi tersebut dalam menyelesaikan


masalah-masalah hukum sedapat mungkin menerapkan KHI
disamping peraturan perundang-undangan lainnya.

3. Dirjen Bimbaga Islam dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan


Haji (BIUH) mengkordinasikan pelaksanaan keputusan
menteri ini dalam bidang tugasnya masing-masing.

Dari keputusan menteri diatas terlihat bahwa yang


diberi kewajiban untuk menyebar luaskan KHI tidak hanya
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Dirjen Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Haji dengan PA dan PTA saja, namun
lebih luas dari itu adalah seluruh unit kerja dilingkungan
Departemen Agama, bahkan instansi pemerintah lainnya yang
terkait. Semua lingkungan Departemen Agama, Unit kerja
Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam dengan seluruh
direktorat dan unit pelaksanaan teknisnya seperti madrasah dan
IAIN / STAIN diseluruh Indonesia mempunyai kewajian untuk
mensosialisasikan KHI. Demikian pula Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama dan Diklat beserta seluruh pusat dan
balainya serta sekretariat Jendral dengan seluruh bironya, kantor
wilayah propinsi, kandepag kabupaten / kota serta seluruh KUA
193193

kecamatan,semuanya berkewajiban untuk menyebar luaskan


KHI.

Sebetulnya sosialisasi KHI dapat dilakukan oleh


berbagai unit kerja dengan diintegrasikan bersama kegiatan
lainnya. Sebagai contoh dilingkungan Perguruan Tinggi dan
Madrasah, serta Pesantren, KHI dapat dimasukkan sebagai
salah satu materi dalam mata kuliah atau mata pelajaran terkait.
Dalam hal ini beberapa Perguruan Tinggi Islam sudah banyak
yang melakukannya. Diunit kerja lainnya, materi KHI dapat
diberikan sebagai salah satu materi penataran atau pelatihan
bidang-bidang yang berkaitan.

B. Usaha Menjadikan Kompilasi Hukum Islam Sebagai


Undang-Undang.

Dari sekian bidang hukum yang menjadi hukum terapan


di Peradilan Agama sampai saat ini, baru hukum perkawinan
yang telah menjadi Undang-Undang. Itupun belum khusus
perkawinan Islam, walaupun mungkin sudah dianggap Islami.
Sementara bidang hukum lainnya, seperti waris yang sering kali
terjadi konflik di masyarakat, belum diatur secara tersendiri
didalam peraturan perundang-undangan. Idealnya, ketika terjadi
perubahan Undang-Undang tentang Peradilan Agama, tentunya
hukum materiilnya juga harus ada ketentuan hukumnya yang
baku, dan sampai saat ini materi KHI belum berbentuk Undang-
Undang. Oleh karena itu, sejak awal KHI yang memang disusun
pasal demi pasal yang terdiri atas tiga buku sebagaimana hukum
terapan diatas dimaksudkan untuk dijadikan Undang-Undang
yang sangat diperlukan, khususnya oleh lingkungan Peradilan
Agama. Usaha untuk itu terus dilakukan dari waktu kewaktu,
194 194

namun selalu menemui kegagalan karena situasi politik belum


memungkinkan.

Yang terpenting bagi kita umat Islam adalah bagaimana


Hukum Terapan Peradilan Agama yang materi pokoknya adalah
materi KHI dapat segera diajukan dan dibahas di DPR untuk
menjadi Undang-Undang. Tampaknya situasi sosial politik
sekarang cukup kondusif untuk mendukung proses tersebut.
Materi dalam Hukum Terapan Peradilan Agama tidak hanya
bersifat pengaturan dari segi administrasi, tetapi lebih berisi
aturan dan norma substansi dari kehidupan keluarga dan
personil umat Islam yang menyangkut nilai-nilai agama. Oleh
karena itu pembahasan di DPR nanti mungkin akan lebih
sensitif, menyentuh emosi keagamaan umat. Yang diharapkan
adalah dukungan dari segenap lapisan umat Islam agar KHI
dengan penyempurnaannya dapat segera terwujud menjadi
sebuah Undang-Undang.

C. Kompilasi Hukum Islam Buku II Hukum Kewarisan.

KETENTUAN UMUM
Pasal 171

Yang dimaksud dengan:


a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau
yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
195195

Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan


harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh
pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya
maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari
harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.
f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada
orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris
meninggal dunia.
g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan
tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih
hidup untuk dimiliki.
h. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada
orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
i. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.

BAB II
AHLI WARIS
Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari
Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
196 196

sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum
dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
atau menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.
Pasal 174
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-
laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak
perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau
janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Pasal 175
(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman
jenazah selesai;
b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa
pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris
maupun penagih piutang;
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
197197

d. membagi harta warisan di antara wahli waris yang


berhak.
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban
pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta
peninggalannya.

BAB III
BESARNYA BAHAGIAN
Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh
bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama
mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-
laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam
bagian. (Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor :
2 Tahun 1994, maksud pasal tersebut ialah ayah mendapat
sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi
meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat
seperenam bagian)
Pasal 178
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua
saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang
saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil
oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
198 198

Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka
duda mendapat seperempat bagian.
Pasal 180
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka
janda mendapat seperdelapan bagian.
Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,
maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-
masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang
atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga
bagian.
Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,
sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau
seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan
kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki
kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua
berbanding satu dengan saudara perempuan.
Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari
bagiannya.
199199

Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu
melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat
wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.
Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada
sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari
pihak ibunya.

Pasal 187
(1) bilamana pewaris meninggalkan warisan harta
peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau
oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai
pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik
berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang
kemudian disahkan oleh para ahli waris yang
bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan
uang;
b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan
pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b,
dan c.
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan
harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang
berhak.
200 200

Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan
dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk
melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli
waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan
Agama untuk dilakukan pembagian warisan.
Pasal 189
(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang
luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan
kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk
kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak
dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang
bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan
tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris
yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris
yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Pasal 190
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-
masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah
tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian
pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.
Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau
ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta
tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan
penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama
Islam dan kesejahteraan umum.
201201

BAB IV
AUL DAN RAD
Pasal 192

Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli


warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang
lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut
dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu
harta warisnya dibagi secara aul menurut angka pembilang.
Pasal 193
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli
waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih
kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris
asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan
secara rad, yaitu sesuai dengan hak masingmasing ahli waris
sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.

BAB V
WASIAT
Pasal 194
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun,
berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan
sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari
pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat
meninggal dunia.
202 202

Pasal 195
(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi,
atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan
Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli
waris menyetujui.
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua
ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini
dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis
di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.
Pasal 196
Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus
disebutkan dengan tegas dan jelas siapa siapa atau lembaga apa
yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.
Pasal 197
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat
berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;
b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu
kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara
atau hukuman yanglebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman
mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut
atau merubah wasiat untuk kepentingan calon
penerima wasiat;
203
203

d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau


memalsukan surat wasiat dan pewasiat.
(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk
menerima wasiat itu:
a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai
meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat;
b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak
untuk menerimanya;
c. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah
menyatakan menerima atau menolak sampai ia
meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.
Pasal 198
Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan
suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu.
Pasal 199
(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima
wasiat belum menyatakan persetujuan atau sesudah
menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte
Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat
dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua
orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.
(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya
dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.
204 204

Pasal 200
Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu
sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang
terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima
wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.
Pasal 201
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan
ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya
dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.
Pasal 202
Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan
sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat
menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.
Pasal 203
(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka
penyimpanannya di tempat Notaris yang membuatnya atau
di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada
hubungannya.
(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal
199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan
kembali kepada pewasiat.
Pasal 204
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang
tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di
hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan
membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu.
(2) Jikas surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada
Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada
Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan
selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut
membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.
205
205

(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui
maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan
kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.
Pasal 205
Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang
termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah
pertempuran atau yang berada di suatu tempat yang ada dalam
kepungan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan
seorang komandan atasannya dengan dihadiri oleh dua orang
saksi.

Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan
membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim kapal,
dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di hadapan
seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang
saksi.
Pasal 207
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan
pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang
memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit
sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan
jelas untuk membalas jasa.
Pasal 208
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte
tersebut.
Pasal 209
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal
176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan
terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat
206 206

diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta


wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan
orang tua angkatnya.

BAB VI
HIBAH
Pasal 210
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun
berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan
sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari
penghibah.
Pasal 211
Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan
sebagai warisan.
Pasal 212
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua
kepada anaknya.

Pasal 213
Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan
sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya.
Pasal 214
Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat
membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan
Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak
bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.
207
CONTOH-CONTOH SOAL

A. Masing-masing mahasiswa ditugaskan menghafal Al-


Qur aan surat An-Nisaa’ (4), ayat 11 dan 12, serta
mengeluarkan hukum dari ayat tersebut.
B. Novi dan Hendi menikah 35 tahun yang lalu. Selama
perkawinannya, mereka beli rumah seharga Rp 500 000
000,- dan beli mobil seharga Rp 200 000 000,- dan beli
rumah kontrakan seharga Rp 300 000 000,- 10 tahun usia
perkawinannya, Novi dapat hibah dari kakeknya satu toko
seharga Rp 500 000 000,- Tanggal 2 November 2019
Hendi meninggal dunia. Keluarga yang ditinggalkannya:
Ibu, Ayah, 4 orang anak laki-laki dan 3 orang anak
perempuan, ibuk mertua, I orang anak angkat, 2 orang
saudara laki-laki kandung dan 1 orang paman kandung.
Biaya jenazahnya Rp 5 000 000,- Hendi punya hutang
pribadi kepada saudara laki-laki kandungnya Rp 10 000
000. Hendi juga berwasiat untuk membangun panti asuhan
sebanyak Rp 5 000 000. Bikin bagan jawaban soal ini dan
jawab pertanyaan dibawah ini,
1. Siapa ahli waris ashhabul furudh ?.
2. Siapa ahli waris yang ‘ashabah ?.
3. Siapa saja ahli waris yang terhijab, dan siapa yang
menghijabnya ?
4. Siapa saja orang-orang yang tidak menjadi ahli
waris?.
5. Berapa asal masalahnya ? dan apa nama asal
masalahnya ?
6. Berapa harta bersama Hendi dan Novi ?
7. Berapa harta masing-masing Hendi dan Novi ?
8. Berapa harta peninggalan Hendi ?
208 208

9. Berapa harta warisan Hendi ?


10. Berapa harta bagian masing – masing ahli waris ?.

C. Rita dan Doni menikah 30 tahun yang lalu. Selama


perkawinannya, mereka beli rumah seharga Rp 500 000
000,- dan beli mobil seharga Rp 350 000 000,- dan beli
toko seharga Rp 400 000 000,- Tanggal 15 November 2019
Rita meninggal dunia. Keluarga yang ditinggalkannya :
Ibu, 2 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan,
nenek, ibuk mertua, dan 1 orang paman kandung dan 2
orang paman seayah dan 2 orang saudara laki-laki seayah.
Rita dan Doni punya hutang di BRI Rp 100 000 000
(diasuransikan). Biaya jenazah Rita Rp 10 000 000
ditanggung keluarganya 50%. Sisa hutang Rita dan doni
dikoperasi Rp 20 000 000,- Rita berwasiat untuk anak
yatim sebanyak Rp 10 000 000. Bikin bagan dari jawaban
soal ini dan Jawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Siapa ahli waris ashhabul furudh ?.
2. Siapa ahli waris yang ‘ashabah ?.
3. Siapa saja ahli waris yang terhijab, dan siapa yang
menghijabnya ?
4. Siapa saja orang-orang yang tidak menjadi ahli waris
?.
5. Berapa asal masalahnya ?, dan apa nama asal
masalahnya ?
6. Berapa harta bersama Rita dan Doni ?
7. Berapa harta masing-masing Rita dan Doni ?
8. Berapa harta peninggalan Rita ?
9. Berapa harta warisan Rita ?
10. Berapa harta bagian masing – masing ahli waris ?.
209
209

D. Rita dan Ahmad menikah 20 tahun yang lalu, mereka


mempunyai 2 orang anak perempuan dan 1 orang anak
laki-laki. 1 April 2019 Rita meninggal dunia. Rita
mempunyai ayah dan ibu. Disamping itu Rita juga
mempunyai ibuk mertua dan bapak mertua. Rita juga
mempunyai 1 orang keponakan laki-laki yang diambilnya
semenjak bayi dari saudaranya yang laki-laki kandung.
Rita mempunyai 1 orang cucu perempuan dari anaknya
yang laki-laki, dan 1 orang saudara laki-laki kandung.
Selama perkawinan Rita dan Ahmad dapat beli rumah
senilai Rp 800 000 000,- Beli Mobil senilai Rp 400 000
000,- Beli Motor senilai Rp 30 000 000,-. 5 tahun usia
perkawinannya nenek Rita meninggal dunia, Rita
mendapat wasiat 1 unit ruko senilai Rp 600 000 000,- Rita
berwasiat untuk keponakannya Rp 15 000 000,- Setelah 3
tahun usia perkawinannya Ahmad juga mendapat hadiah
sarjananya dari kakaknya senilai Rp 5 000 000,- Jawab
soal dibawah ini lengkap dengan menggunakan bagannya.
1. Siapa ahli waris ashhabul furudh ?
2. Siapa ahli waris ashabah ?
3. Siapa saja ahli waris yang terhijab, dan siapa yang
menghijabnya ?
4. Siapa ahli waris yang termassuk kepada ‫للذكر مثل حظ‬
‫األنثيين‬
5. Siapa saja orang-orang yang tidak menjadi ahli waris ?
6. Berapa asal masalahnya dan apa nama asal
masalahnya ?
7. Berapa jumlah harta bersama Rita dan Ahmad ?
8. Berapa jumlah harta masing-masing Rita dan Ahmad ?
9. Berapa jumlah harta peninggalan Rita ?
210 210

10. Berapa harta warisan Rita ?


11. Berapa bagian masing-masing ahli waris ?.

E. Leni meninggal dunia, ahli warisnya: 1 orang saudara


perempuan seibu, 2 orang saudara perempuan kandung,
Ibu, suami dan nenek (ibu dari ayah). Leni juga
mempunyai ayah dari suaminya dan 1 orang adik
perempuan dari suaminya. Harta peninggalan Leni setelah
ditotal berjumlah Rp 1000 000 000,- Biaya jenazahnya Rp
15 000 000,- hutang Leni kepada kakak kandungnya Rp 70
000 000, Leni berwasiat untuk panti asuhan Rp 15 000
000,- Jawab soal dibawah ini dan bagilah harta tersebut
berapa bagian masing-masing ahli waris serta bikin
bagannya.
1. Siapa ahli waris ashhabul furudh ?
2. Siapa saja ahli waris yang terhijab, dan siapa yang
menghijabnya ?
3. Siapa saja orang-orang yang tidak menjadi ahli waris?
4. Berapa asal masalahnya ?.
5. Apa nama asal masalahnya?
6. Kenapa masalah ini, disebut masalah ‘Aul.
7. Berapa asal masalah ‘aulnya.
8. Berapa harta warisan Leni ?
9. Berapa bagian masing-masing ahli waris ?
10. Berapa kekurangan harta masing-masing ahli waris ?.
211211

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam


Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gema Insani
Press, 1994.

Abu Abdillah Muhammad Al-Qurthuby, Al-Jami’ Li Ahkam Al-


Qur’an, Juz V, Kairo : Darul Kutub, tt.

A.Hassan, Al-Fara id, Ilmu Pembagian Waris, Surabaya :


Pustaka Progressif, Cet ke XV, 2003.

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Kencana


Prenada Media Group, Cet ke III, 2008.

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta :


Bulan Bintang, 1961.

Al-Sayid Saabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid III, Beirut : Daarul


Fikri, 1977.

Daud Ali, Hukum Islam, Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo, 1998.

Departemen Agama RI, Al-Qur aan dan Terjemahnya, Jakarta :


Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-
Qur aan, 1980.

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung : PT Almaarif, Cet ke


X, 2014.

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Bandung : Pustaka Setia,


Cet ke II, 2006.

Damrah Khair, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandar


Lampung : BPPM (Balai Penelitian dan Pengabdian
pada Masyarakat), 1995.
212 212

Effendi Perangin, Hukum Waris, Jakarta : Rajawali Pers, Cet ke


12, 2014.

Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits fi Al-Syari’ati Al-


Islam Juz III, Kairo : Lajnah Al-Bayan, tt

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur aan dan


Hadis, Jakarta : Tintamas, 1982.

Ibnu Rusyd, Analisa Fiqh Para Mujtahid, Juz III, Jakarta :


Pustaka Imami,2002.

Jalal al-Dien al-Mahalliy, Syarhu Minhaj al-Thalibin, Juz III,


Cairo, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiy, tt.

K.H.Q.Shaleh, H. A. A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Bandung : CV


Penerbit Diponegoro, Cet ke X, 2006.

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta :


PT Rineka Csipta, Cet ke IV, 2006.

Mawardi Muhammad, Ilmu Faraidl (Fikhi Mawarits), Padang:


Sridarma, 1982.

Muhammad Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan menurut Al-


Qur an dan Sunnah, (Terj : Hamdan Rasyid),Jakarta:
Dk Islamiyah, Cet I, 2005.

Muhammad ‘Ali Al-Saayis, Tafsiir Ayaat Al-Ahkam, Kairo :


Muhammad ‘Ali Shiibiih, tt.

Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, Juz


II, Kairo : Musthafa Al-Babi Al-Halabi, tt.

Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i,Al-Um,Juz III,Kairo:Kitab Al-


Sya’bi, 1968.
213213

Moh.Anwar : Fara’idl, Hukum Waris Dalam Islam dan


Masalah-Masalahnya, Surabaya : Al-Ikhlas, 1981.

Moh.Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam


Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia,
Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

Muhammad Fuad Abdul Baqy, Al-lu’lu’ wa Al-Marjan, Juz II,


Kairo, Darul Ihya Al-kutub Al-Arabiyah, tt.

Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkah wa Al-Mirats fi Al-Islam,


Kairo : Darul Ma’arif, tt.

Muhammad ‘Ali Al Saayis, Tafsir Ayat Al-Ahbam, Juz II, Kairo


: Penerbit Muhammad ‘Ali Shabiih, tt,

Muhammad Ali Ash-Shabani, Pembagian Waris Menurut


Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, Jakarta : lentera


hati, Cet X, 2007.

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta :


Sinar Grafika, Cet ke V, 1995.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa,


1977.

Suhrawardi K.Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam


(Lengkap & Praktis), Jakarta : Sinar Grafika, Cet ke
II, 2008.

Syafi’i Karim, Fiqh, Ushulul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia,


2001.
214 214

Tahir Azhari, Karakteristik Hukum Kewarisan Islam dalam


Bunga Rampai Hukum Islam Indonesia, Jakarta :
1992.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris,


Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001.

Wirjono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung :


PT Bale, Cet ke VIII, 1986.
215215

BIODATA PENULIS

Dra. Firdaweri, M.H.I., lahir pada tanggal


19 September 1955 di Maninjau, Kecamatan
Tanjung Raya, Kabupaten Agam Propinsi
Sumatra Barat. Setelah menamatkan Sekolah
Dasar Negeri (SDN) Nomor 3 Maninjau
pada tahu 1968. Kemudian Pendidikan
dilanjutkan ke sekolah Madrasah
Tsanawiyah Agama Islam Negeri (MTs AIN) Maninjau tamat
tahun 1971. Setelah itu pendidikan dilanjutkan ke Sekolah
Persiapan Institut Agama Islam Negeri Al-Jamiah Al-Islamiyah
Al-Hukumiyah Imam Bonjol (SPIAIN) di Maninjau tamat
tahun 1974. Pada tahun 1975 pendidikan dilanjutkan ke
Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam
Bonjol cabang Bukittinggi lulus dalam menempuh ujian Sarjana
Muda serta memperoleh gelar Bachelor of Arts (BA) pada tahun
1978. Kemudian pendidikan dilanjutkan untuk tingkat doktoral
ke Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam
Bonjol Padang dengan mengambil jurusan Peradilan Agama
(Qadha) lulus tahun 1981 dalam menempuh ujian Sarjana
Lengkap dengan gelar Doktoranda (Dra). Pada tahun 1982
diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dengan
tugas di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin cabang Kerinci.
Kemudian pada tahun 1984 terbit Surat Keputusan (SK)
Menteri Agama diangkat menjadi PNS sebagai Dosen Tetap
pada IAIN Sulthan thaha Saifuddin Cabang Kerinci. Sekitar
sepuluh tahun bertugas disana, pada tahun 1991 mutasi ke
Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung. Pada tahun 2009
216 216

melanjutkan studi ke jenjang Magister Program Pascasarjana


(S2) di IAIN Raden Intan Lampung mengambil program studi
Ilmu Syari’ah, Kosentrasi Hukum Perdata Syari’ah, lulus pada
tanggal 10 bulan Februari tahun 2012 dengan gelar Magister
Hukum Islam (M.H.I). Sampai sekarang masih bertugas di
Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung.

Karya ilmiah yang ditulis antara lain:


1. Perkawinan yang tidak memberi nafkah (Skripsi Sarjana
Muda).
2. Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan karena ketidak
mampuan suami menunaikan kewajibannya (Skripsi Sarjana
Lengkap).
3. Putus Perkawinan Karena Cerai Gugat Dalam Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif (Tesis).
4. Putus Perkawinan Karena Cerai Gugat di Pengadilan Agama
Maninjau (Penelitian Mandiri, Tahun 2013).
5. Hukum Bisnis Islam Dan Mekanisme Pasar Bebas
(Penelitian Mandiri, Tahun 2013).
6. Hukum Islam Tentang Metode Kontrasepsi Modern dan
Permanen Operatif Bagi Akseptor Keluarga Berencana
(Penelitian Individu, Tahun 2014). ISBN: 978-602-1067-45-1.
7. Analisis Hukum Islam Tentang Istri Berzakat Untuk
Suaminya Yang Miskin (Penelitian Individu, Tahun 2015).
ISBN: 978-602-1067-89-5.
8. Analisis Hukum Islam Tentang Zakat Mas Kawin
(Penelitian Individu Tahun 2016).
9. Hak Waris Istri Dalam Masa Iddah Dan Relevansinya
Dengan Pengembangan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia (Penelitian Individu Tahun 2017).
217217

10. Analisis Hukum Islam Tentang Zakat Hasil Korupsi


(Penelitian Individu Tahun 2018).
11. Analisis Hukum Islam Tentang Zakat Orang Yang
Berhutang (Penelitian Kolektif, Tahun 2019).
12. Mencalonkan diri Sebagai Caleg Atau Pemimpin (Jurnal
Asas Vol. 6, No. 1, Januari 2014).
13. Perikatan Syariáh Berbasis Mudharabah (Teori dan Praktik)
(Jurnal Asas Vol 6, No. 2 Juli 2014).
14. Aspek-Aspek Filosofis Zakat Profesi (Jurnal Ijtimaiyya,
Vol.7, No.1, Pebruari 2014).
15. Konsep Ahli Waris Menurut Islam dan Adat (Jurnal Asas,
Vol.7, No. 2, Juli 2015).
16. Analisis Hukum Islam Tentang Membayar Zakat Kepada
Saudara Kandung (Jurnal Asas, Vol.8 No. 1, Januari 2016).
17. Kewajiban Ahli Waris Terhadap Harta Peninggalan (Jurnal
Asas Vol.IX, Juli 2017).

Anda mungkin juga menyukai