berkurangnya satwa asli Indonesia, selain perubahan fungsi lahan dan hutan. Penuntutan
hukum kasus perdagangan satwa liar yang dilindungi diharapkan mampu memberikan
efek jera sekaligus mencegah kejahatan ini,.
Bagaimana supaya jaksa itu lebih berkualitas, sehingga apa yang diperbuat ketika
membuat tuntutan itu, tuntutan yang bukan hanya berdampak penjeraan pada pelakunya
tetapi juga menjadi daya tangkal bagi yang lain supaya tidak berbuat yang sama.
Sebenarnya tidak selalu ya (tuntutan rendah), hanya beberapa tempat yang seperti itu,
karena ya mungkin teman-teman di daerah belum memahami bahwa betapa pentingnya
menjaga kelestarian lingkungan, sehingga mereka tidak lihat lebih jauh ke depan.
Harapannya itu ya satu visi, bagaimana supaya kita bersama-sama dalam rangka untuk
memerangi kejahatan (perdagangan) satwa liar ini.
International Animal Rescue (IAR) Indonesia mencatat lebih dari 80 persen satwa
yang diperdagangkan secara daring atau melalui pasar burung, merupakan tangkapan dari
alam liar. Hal ini dapat memicu fenomena hutan tanpa satwa, bila perburuan satwa liar
terus berlangsung. Catatan lain juga menyebutkan bahwa kejahatan satwa liar secara
global menempati posisi kedua setelah kejahatan narkotika. Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan menyebutkan nilai kerugian negara akibat perdagangan satwa liar
secara ilegal diperkirakan mencapai Rp. 13 Triliun per tahun.
Ketua Umum IAR Indonesia, Tantyo Bangun mengatakan, kerugian akibat kejahatan
terkait satwa liar tidak hanya karena hilangnya satwa, melainkan juga pengeluaran untuk
merehabilitasi satwa liar korban perdagangan ilegal.Sementara ini orang melihat kerugian
(perdagangan) satwa liar itu pemahamannya satwa secara individu, tapi fungsinya di
ekosistem, kalau dia hilang bagaimana ekosistem bisa runtuh, kemudian juga kerugian
negara. Kalau seperti kami menangani kasus orangutan, orang hanya melihat individu ya,
tapi biaya rehabilitasi orangutan itu setahun antara Rp. 60 juta sampai Rp. 100 juta per
individu. Jadi kalau kita minimal merehabilitasi selama lima tahun, itu satunya sekitar Rp.
300 juta sampai 500 juta, itu kan negara rugi karena biaya segitu bisa dipakai untuk
menyekolahkan anak berapa puluh anak, berapa ratus anak gitu. Jadi kerugian itulah
dengan ditambah kerugian ekosistem, bisa kita bebankan untuk penuntutan
Proses hukum terhadap pelaku kejahatan terkait satwa liar selama ini
menggunakan Undang-undang nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Saya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, yang dianggap para aktivis lingkungan dan satwa tidak cukup
efektif untuk mencegah atau mengatasi aktivitas perburuan dan perdagangan satwa liar
secara ilegal. Hal ini karena ancaman hukuman pidanan bagi pelaku dianggap sangat
rendah, sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Namun, Tantyo Bangun tetap optimis penanganan kasus hukum terkait satwa liar
dapat tetap dijerat dengan hukuman pidana di atas lima tahun. “Itu kan proses yang di
legislatif, dan kita tidak bisa hanya menunggu, tapi pintunya banyak sekali. Jadi prinsipnya
adalah multi-dooritu. Kalau sekarang dari kepabeanan bisa, dari karantina bisa, dari
pencucian uang bisa, selain dari undang-undang lingkungan hidup sendiri, dan itu
kumulatif kan, bisa jadi mungkin sudah bisa mendekati sepuluh tahun (ancaman
hukuman),” jelasnya.
Sementara itu, Hari Sutrisno, dari Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, berkurangnya satwa liar di Indonesia saat ini
lebih disebabkan konversi lahan yang menjadi habitat satwa liar. Yang paling penting
sekarang adalah ekosistem dijaga, habitat dijaga, karena sebenarnya kerusakan yang paling
mengkhawatirkan di Indonesia ini adalah konversi lahan itu, itu yang lebih dominan
sebenarnya, dari pada overeksploitasi. Tapi bukan berarti overeksploitasi itu diabaikanya,
tapi lebih baik preventif dengan cara edukasi, dengan cara kampanye, memberi
pemahaman kepada anak-anak yang masih level awal bahwa kalau salah satu komponen
ekosistem itu hilang, itu kita akan mengalami kepunahan keseluruhannya, kerugian
ekosistem itu lebih tidak akan pernah tergantikan.