Anda di halaman 1dari 47

SKRINING RESIKO MATERNAL SELAMA

KEHAMILAN

MAKALAH

Oleh:

SISKA WARDANI
1702041017

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


STIKES MITRA HUSADA
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah.
 Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki makalah ini. Sehingga kedepannya penulis dapat menyusun
makalah dengan lebih baik lagi.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak. Dan semoga
bermanfaat untuk para pembaca dan juga untuk penulis pribadi. Terima kasih

Takengon, September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................... i

DAFTAR ISI........................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1

1.1 Latar Belakang..................................................................... 1


1.2 Manfaat................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................... 3

2.1 Prinsip Dalam Screening Antenatal..................................... 3


2.2 Skrining Faktor Fisik Dan Psikososial................................. 33
2.3 Pemeriksaan Laboraturium Dan
Pemeriksaan Penunjang Lainnya.......................................... 36

BAB III PENUTUP............................................................................. 42

3.1 Kesimpulan........................................................................... 42

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 43

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rasio kematian ibu, yang diperkirakan sekitar 228 per100.000 kelahiran hidup, tetap
tinggi di atas 200 selama dekade terakhir, meskipun telah dilakukan upaya-upaya untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan setiap 1 jam satu perempuan meninggal dunia
ketika melahirkan atau karena sebab yang berhubungan dengan kehamilan. (Adik
Wibowo, 2014; Kemenkes, 2012). Penurunan Angka Kematian Ibu (AK) merupakan
salah satu target Millenium Development Goal (MDG) World Health Organization
(WHO) yaitu sebesar 75% pada tahun 2015.
Faktor yang menyebabkan kematian ibu secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung kematian ibu adalah
faktor yang berhubungan dengan komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas seperti
perdarahan, pre eklampsia/ eklampsia, infeksi, persalinan macet dan abortus. Penyebab
kematian tidak langsung kematian ibu adalah faktor yang memperberat keadaan ibu hamil
seperti empat terlalu serta faktor yang mempersulit proses penanganan kedaruratan
kehamilan, persalinan, dan nifas, seperti lebih kurang 65% kehamilan yang terjadi
berhubungan dengan 4 terlalu, terlalu muda (usia kurang dari 20 tahun, terlalu tua (usia
lebih dari 35 tahun), terlalu sering melahirkan (jarak kehamilan kurang dari 2 tahun), dan
terlalu banyak (lebih dari 3 anak).
Empat terlalu selain berpengaruh terhadap angka kematian ibu, juga mempunyai
dampak terhadap kematian bayi dan pertumbuhan kesehatan bayi yang dilahirkan dan 3
terlambat yaitu terlambat mengenali kehamilan dalam situasi gawat, jauh dari fasilitas
kesehatan, biaya, persepsi mengenai kualitas dan efektivitas dari pelayanan kesehatan.
Terlambat kedua, Skrening Kehamilan sebagai upaya Peningkatan Kesehatan Ibu Hamil
di Desa Cipacing, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang 286 dipengaruhi oleh
lama pengangkutan, kondisi jalan dan biaya transportasi. Faktor yang mempengaruhi
terlambat ketiga adalah terlambat mendapatkan pelayanan pertama kali di RS rujukan
Kematian ibu juga disebabkan faktor dasar antara lain keterbatasan pengetahuan, taraf
pendidikan, status sosial ekonomi, dan pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga.
Meningkatkan kesehatan ibu berarti meningkatkan terciptanya generasi penerus yang
cerdas. Masih banyak ibu hamil yang tidak memperhatikan asupan gizi, sehingga anak
1
yang dilahirkan berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Untuk mengatasi kematian
ibu dan kematian bayi diperlukan upaya inovatif dan kualitas pelayanan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan dan peningkatan pengetahuan ibu hamil mengenai asuhan dalam
kehamilan.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 (Kemenkes, 2013), mengemukakan
bahwa, cakupan pemeriksaan kehamilan pertama pada trimester pertama adalah 81,6
persen dan frekuensi antenatal care (ANC) 1 kali pada trimester pertama, minimal 1 kali
pada trimester kedua dan minimal 2 kali pada trimester3 sebesar70,4 persen. Tenaga yang
paling banyak memberikan pelayanan ANC adalah bidan (88%) dan tempat pelayanan
ANC paling banyak diberikan di praktek bidan (52,5%). Berdasarkan wawancara dengan
bidan desa Cipacing, bahwa masih ditemukan ibu hamil dengan anemia dan kekurangan
energi dan kalori yang diakibatkan kurangnya nutrisi. Kurangnya pengetahuan ibu hamil
mengenai anemia, KEK, infeksi saluran kemih dan tanda bahaya pada ibu hamil. Sesuai
dengan peran fungsi Puskesmas bahwa Puskesmas sebagai pusat penggerak pembinaan
berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat, pusat pelayanan
kesehatan strata pertama. Namun kegiatan puskesmas kurang berorientasi pada masalah
dan kebutuhan masyarakat setempat, lebih berorientasi pada kuratif, keterlibatan
masyarakat belum dikembangkan secara optimal. Puskesmas wajib memberdayakan
masyarakat agar berperan aktif dalam penyelenggaraan setiap upaya kesehatan.

1.2 Manfaat

Makalah ini dibuat untuk mengetahui skrining resiko maternal selama masa
kehamilan serta prinsip dalam skrining dan disertai dengan pemeriksaan fisik dan
lainnya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Prinsip Dalam Screening Antenatal

2.1.1 Torch
Torch adalah istilah untuk menggambarkan gahungan dari 4 jenis penyakit
infeksi yaitu Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes. Keempat jenis penyakit
infeksi ini, sama-sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil. Kini
diagnosis untuk penyakit infeksi telah berembang antara lain kearah pemeriksaan secara
imonologis. Prinsip dari pemeriksan ini adalah deteksi adanya zat anti (Anti Body)
yang spesifik terhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap
adanya benda asing (kuman, antibody yang terburuk dapat berupa imonoglobin M
(lgM) dan imonoglobin G (lgG).

a. Toxoplasma

Disebabkan oleh parasite yang disebut Toxoplasma Gondi. Pada umumnya


infers ini terjadi tanpa disertai gejala yang spesifik. Toxoplasma yang disertai gejala
ringan mirip gejala influenza, bisa timbul rasa lelah demam, dan umumnya tidak
menimbulkan masalah. Infeksi toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil
atau pada orang dengan sisitem kekebalan tubuh terganggu. Jika wanita hamil
terinfeksi toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi adalah abortus spontan atau
keguguran 4% atau lahir mati 3% atau bayi menderita toxoplasma bawaan, gejala dapat
muncul setelah dewasa.
b. Rubella
Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran
kelenjar getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella, dapat menyerang anak-
anak dan dewasa muda. Infeksi Rubella berbahaya bila terjadi pada wanita hamil muda,
karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya.jika infeksi terjadi pada bulan
pertama kehamilan maka resiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika infeksi
terjadi trimester pertama maka resikonya menjadi 25% (menurut America College of
Obstatrician and Gvnecologists,1981).

3
c. Cytomegalovirus
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini termasuk
golongan virus keluarga herpes. Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus CMV
dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi
yang berbahaya bagi janin bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil. Jika ibu terinfeksi,
maka janin yang dikandung mempunyai resiko tertular sehingga mengalami gangguan
misalnya pembesaran hati, kuning, ekapuran otak, ketulian retardasi mental, dan lain-
lain.

d. Herpes
Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh herpes simpleks tipe
II (HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf
sensorik dan berdiam diganglion sistem syaraf otonom. Bayi yang dilahirkan dari ibu
yang terinfeksi HSV II biasanya memperlihatkan lepuh pada kuli, tetapi hal ini tidak
selalu muncul sehingga mungkin tidak diketahui. Infeksi HSV II pada bayi yang baru
lahir dapat berakibat fatal (lebih dari 50 kasus.
1. Pemeriksaan TORCH
a. Biaya Pemeriksaan TORCH

Biaya untuk melakukan pemeriksaan TORCH bervariasi, tergantung dari rumah sakit
yang menyelenggarakannya, teknik pemeriksaan, serta variasi pemeriksaan infeksi lain
yang termasuk di dalamnya. Di rumah sakit swasta di Indonesia, biaya prosedur ini bisa
dimulai dari Rp. 250.000 hingga lebih dari Rp. 3.500.000. Dianjurkan untuk
mempersiapkan dana lebih guna kebutuhan tambahan yang tidak terduga, yaitu sekitar
20-30% dari biaya yang diperkirakan.

4
b. Pemeriksaan TORCH
Pemeriksaan TORCH adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi
adanya Toksoplasmosis, infeksi lain/other infection, Rubella, Cytomegalovirus, dan
Herpes simplex virus (disingkat TORCH), yang menginfeksi ibu hamil atau yang
berencana hamil, untuk mencegah komplikasi pada janin.
2. Infeksi Apa Saja yang Termasuk Other Infection dalam TORCH?
Sifilis, Varicella zoster, campak, HIV, Zika, atau organisme lain yang dicurigai
mengakibatkan gangguan pada janin dan disesuaikan dengan daerah masing-masing.

3. Kapan Seseorang Harus Menjalani Pemeriksaan TORCH?


Pemeriksaan TORCH dapat dilakukan pada ibu yang merencanakan untuk hamil
atau ibu hamil di trimester pertama. Selain itu, pemeriksaan TORCH juga dapat
dilakukan pada bayi baru lahir yang menunjukkan gejala-gejala terkena infeksi TORCH,
seperti:
a. Berat dan panjang badan yang lebih kecil dari bayi seusianya
b. Katarak
c. Trombositopenia
d. Kejang
e. Kelainan jantung
f. Tuli
g. Pembesaran hati dan limpa
h. Sakit kuning (jaundice)
i. Keterlambatan pertumbuhan

4. Risiko Menjalani Pemeriksaan TORCH


Pemeriksaan TORCH merupakan pemeriksaan yang sederhana dan umumnya
tidak berisiko. Akan tetapi, pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan TORCH tetap
dapat menimbulkan risiko, seperti kemerahan di lokasi pengambilan sampel darah,
nyeri, infeksi, dan lebam.

5
5. Persiapan untuk Pemeriksaan TORCH
Pemeriksaan TORCH merupakan pemeriksaan sederhana, sehingga umumya
tidak memerlukan persiapan khusus, seperti puasa. Meski demikian, pasien perlu
memberitahukan kepada dokter jika sedang menderita selain penyakit TORCH atau
sedang menjalani pengobatan tertentu.

6. Prosedur Pemeriksaan TORCH


Prosedur pemeriksaan TORCH cukup sederhana, yaitu berfokus pada
pengambilan sampel darah dan deteksi antibodi. Darah dapat diambil melalui pembuluh
vena di lengan. Kulit di bagian lengan akan dibersihkan terlebih dahulu agar steril.
Lengan atas kemudian diikat menggunakan alat khusus agar vena di lengan
menggembung dan terlihat dengan jelas. Dokter kemudian menusukkan jarum ke dalam
vena dan memasang tabung steril khusus untuk mengumpulkan sampel darah. Sampel
darah akan dibawa ke laboratorium untuk dicek antibodi spesifik terhadap masing-
masing organisme yang termasuk dalam pemeriksaan TORCH.

7. Apa yang Harus Dilakukan setelah Menjalani Pemeriksaan TORCH?


Jika diduga positif menderita penyakit TORCH, dokter akan merekomendasikan
pasien untuk menjalani pemeriksaan lain guna memastikan diagnosis. Hal tersebut
dilakukan mengingat pemeriksaan TORCH kurang spesifik dalam menentukan infeksi
yang sedang terjadi. Contoh pemeriksaan lainnya adalah:

a. Tes fungsi lumbal: untuk mendeteksi adanya infeksi toksoplasmosis,


rubella, dan Herpes simplex virus.
b. Tes kultur lesi kulit: untuk mendeteksi adanya infeksi Herpes simplex virus.
c. Tes kultur urine: untuk mendeteksi adanya infeksi Cytomegaloviru

6
2.1.2 Syphylis

Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual disebabkan bakteri Treponema


pallidum dapat ditularkan melalui hubungan seksual, transfusi darah, dan vertikal dari
ibu ke janin. Jika perempuan hamil menderita sifilis dapat terjadi infeksi transplasenta
ke janin sehingga menyebabkan keguguran, lahir prematur, berat badan lahir rendah,
lahir mati, atau sifilis kongenital. Diagnosis sifilis pada kehamilan ditegakkan berdasar
anamnesis, manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorik, dan serologik. Skrining pada
trimester pertama dengan tes non-treponema seperti rapid plasma reagin (RPR) atau
venereal disease research laboratory (VDRL) kombinasi dengan tes treponema seperti
treponema pallidum hemagglutination assay (TPHA) merupakan hal penting pada setiap
perempuan hamil. Manifestasi klinis sifilis ke janin bergantung pada usia kehamilan dan
stadium sifilis maternal serta respons imun janin. Deteksi dini dan terapi adekuat
penting untuk mencegah transmisi infeksi sifilis dari ibu ke janin.

Manifestasi klinis sifilis pada perempuan hamil dan tidak hamil tidak berbeda. Pada
perempuan seringkali tidak terdeteksi karena gejala asimtomatik dan berada di lokasi
tersembunyi. Sifilis pada kehamilan dapat ditularkan dari ibu ke janin saat stadium
primer, sekunder, dan laten.7,8 Bakteri T. pallidum dapat melewati plasenta sejak usia
gestasi 10-12 pekan dan risiko infeksi janin meningkat seiring usia gestasi. Jika seorang
perempuan hamil terinfeksi sifilis maka kemungkinan 70-80% menularkan infeksi ke
janin dan dapat menyebabkan keguguran, lahir prematur, berat badan lahir rendah, lahir
mati, atau sifilis kongenital. Sifilis merupakan penyakit dengan manifestasi klinis lebih
disebabkan oleh respons imunologik dan inflamasi dibanding efek sitotoksik langsung
dari T. pallidum itu sendiri. Penelitian membuktikan perlu jumlah bakteri dalam jumlah
cukup besar di dalam sel untuk menimbulkan efek langsung sitotoksisitas T.pallidum
dan bakteri ini tidak mengekspresikan toksin di dalam tubuh manusia. 2,3 Indurasi pada
lesi primer (ulkus durum) disebabkan infilitrasi sel limfosit dan makrofag dalam jumlah
cukup besar. Destruksi jaringan disebabkan oleh proliferasi endotel di pembuluh darah
kapiler dan oklusi lumen menyebabkan nekrosis jaringan lokal.3 Hal ini mirip pada
sifilis kongenital, dimana efek pada janin tidak terlihat sampai janin memiliki respons
imun cukup untuk merespons keberadaan bakteri T. pallidum.

7
a. Skrining sifilis
Skrininng sifilis adalah metode pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan
bakteri penyebab sifilis, dan dilakukan sebelum gejala sifilis nampak jelas pada
seseorang.
b. Biaya Skrining Sifilis
Besaran biaya skrining sifilis bervariasi, tergantung di rumah sakit mana
Anda menjalani prosedur ini dan jenis skrining yang Anda jalani. Di beberapa
rumah sakit swasta di Indonesia, biaya pemeriksaan ini bisa dimulai dari Rp.
95.000 hingga lebih dari Rp.400.000. Dianjurkan untuk mempersiapkan dana
lebih guna kebutuhan tambahan yang tidak terduga, yaitu sekitar 20-30% dari
biaya yang diperkirakan.
c. Dilakukan Skrining Terhadap Penyakit Sifilis
Jika tidak segera ditangani, sifilis bisa menyebabkan kerusakan pada otak,
jantung, kelumpuhan, kebutaan, hingga kematian. Pada ibu hamil, sifilis dapat
ditularkan ke janin dan menyebabkan bayi lahir tidak normal, bahkan meninggal
saat dilahirkan.
d. Yang Harus Menjalani Skrining Sifilis

Apabila Anda seorang penderita HIV yang masih aktif melakukan hubungan
seksual, lelaki seks lelaki, pekerja seks komersial, atau wanita hamil, sebaiknya
menjalani pemeriksaan skrining sifilis.
e. Skrining Sifilis Perlu Dilakukan Rutin
Pada kelompok berisiko, skrining sifilis paling tidak dilakukan setahun
sekali. Bila sangat berisiko, dapat dilakukan lebih sering, yaitu 3-6 bulan sekali.
Pada wanita hamil, disarankan untuk melakukan skrining sifilis, saat pertama kali
kontrol ke dokter kandungan, serta diulang saat trimester 3 dan saat menjelang
persalinan.
f. Kondisi yang Dapat Memengaruhi Hasil Skrining Sifilis
Hasil skrining bisa terpengaruh bila Anda pengguna narkoba suntik, sedang
hamil, atau menderita penyakit Lyme, malaria, tuberkulosis, pneumonia, atau lupus.

g. Jenis Pemeriksaan Sifilis

Skrining sifilis ada dua, yaitu tes nontreponema dan tes treponema. Tes
nontreponema adalah tes untuk melihat keberadaan antibodi yang tidak spesifik
terkait dengan sifilis. Sedangkan tes treponema adalah tes yang mendeteksi antibodi
8
yang secara spesifik terkait dengan sifilis. Pelaksanaan tes yang satu harus diikuti
dengan tes yang lainnya, untuk menguatkan hasil pemeriksaan. Skrining sifilis
dilakukan dengan mengambil sampel darah Anda melalui pembuluh darah vena.
Kemudian sampel darah tersebut akan diperiksa di laboratorium.

h. Yang Dapat Diketahui setelah Skrining Sifilis


Hasil skrining bisa diketahui dalam 3 atau 5 hari dan dapat menentukan apakah
Anda sedang menderita sifilis aktif dan perlu diobati, pernah menderita sifilis
namun sudah tidak aktif, atau tidak menderita sifilis.
i. Efek Samping Skrining Sifilis
Efek samping yang ditimbulkan adalah akibat prosedur pengambilan darah,
namun jarang terjadi. Di antaranya adalah infeksi, pusing, perdarahan, atau
hematoma.
j. Skrining Sifilis Perlu Dilakukan Rutin
Pada kelompok berisiko, skrining sifilis paling tidak dilakukan setahun sekali.
Bila sangat berisiko, dapat dilakukan lebih sering, yaitu 3-6 bulan sekali. Pada
wanita hamil, disarankan untuk melakukan skrining sifilis, saat pertama kali
kontrol ke dokter kandungan, serta diulang saat trimester 3 dan saat menjelang
persalinan.
k. Kondisi yang Dapat Memengaruhi Hasil Skrining Sifilis
Hasil skrining bisa terpengaruh bila Anda pengguna narkoba suntik, sedang
hamil, atau menderita penyakit Lyme, malaria, tuberkulosis, pneumonia, atau lupus.
l. Jenis Pemeriksaan Sifilis
Skrining sifilis ada dua, yaitu tes nontreponema dan tes treponema. Tes
nontreponema adalah tes untuk melihat keberadaan antibodi yang tidak spesifik
terkait dengan sifilis. Sedangkan tes treponema adalah tes yang mendeteksi antibodi
yang secara spesifik terkait dengan sifilis. Pelaksanaan tes yang satu harus diikuti
dengan tes yang lainnya, untuk menguatkan hasil pemeriksaan.
m. Prosedur Skrining Sifilis

Skrining sifilis dilakukan dengan mengambil sampel darah Anda melalui


pembuluh darah vena. Kemudian sampel darah tersebut akan diperiksa di
laboratorium.
n. Yang Dapat Diketahui setelah Skrining Sifilis
Hasil skrining bisa diketahui dalam 3 atau 5 hari dan dapat menentukan apakah
Anda sedang menderita sifilis aktif dan perlu diobati, pernah menderita sifilis
9
namun sudah tidak aktif, atau tidak menderita sifilis.

o. Efek Samping Skrining Sifilis


Efek samping yang ditimbulkan adalah akibat prosedur pengambilan darah,
namun jarang terjadi. Di antaranya adalah infeksi, pusing, perdarahan, atau
hematoma.

2.1.3 Hepatitis B

Tes Hepatitis B adalah tes darah yang bertujuan untuk menentukan apakah
seseorang terinfeksi oleh virus hepatitis B (HBV) atau pernah mengidap penyakit ini
sebelumnya. Tes ini dilakukan dengan mencari antigen tertentu dalam darah. Antigen
adalah tanda-tanda infeksi (marker) yang dibuat oleh bakteri atau virus.

Keberadaan antigen HBV dalam darah berarti menunjukkan bahwa virus sedang
menjangkiti tubuh. Namun, tubuh kita memiliki antibodi yang mampu melawan infeksi.
Adanya antibodi HBV dalam darah menunjukkan bahwa pernah memiliki kontak
dengan virus atau riwayat infeksi di masa lalu. Tetapi, hal ini bisa berarti pernah
terinfeksi di masa lalu dan sekarang sudah pulih dari infeksi atau baru saja terkena
infeksi.

Bila ditemukan materi genetik (DNA) dari HBV, itu berarti ada virus di dalam
tubuh. Dengan mengetahui jumlah DNA, maka dokter dapat mengetahui seberapa
parah infeksi yang dialami pengidap dan seberapa mudah penyebarannya. Penting juga
untuk mengetahui tipe virus yang menjadi penyebab hepatitis agar dokter dapat
melakukan tindakan untuk mencegah virus menyebar serta menentukan terapi yang
paling baik untuk pengidap.

Berikut ini beberapa tes yang digunakan untuk mendiagnosis adanya virus
hepatitis B:

1. Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg)

Tes HBsAg ini bertujuan untuk melihat apakah kamu berpotensi menularkan
virus hepatitis B. Bila hasil tes positif, maka kamu mengidap hepatitis B dan berisiko
menyebarkan virus. Sebaliknya, bila hasilnya negatif, berarti kamu saat ini tidak

10
memiliki hepatitis B. Namun, tes ini tidak bisa menunjukkan antara infeksi kronis dan
akut.

11
2. Antibodi terhadap Antigen Permukaan HBV (anti-HBs)

Tes antibodi permukaan hepatitis B dilakukan untuk memeriksa kekebalan tubuh


terhadap HBV. Bila hasil tes positif, berarti kamu kebal terhadap hepatitis B. Ada dua
alasan di balik hasil tes positif. Kamu mungkin telah divaksinasi, atau kamu mungkin
sudah pulih dari infeksi HBV akut dan tidak lagi menular.

Setelah tes awal menunjukkan adanya HBV, maka dokter biasanya akan
melakukan beberapa tes lanjutan berikut:

a. Anti-Hepatitis B Core (anti-HBc), IgM


Tes ini dilakukan untuk mendeteksi hanya antibodi IgM pada antigen hepatitis B
core. Selain itu, tes ini juga digunakan untuk mendeteksi infeksi akut atau infeksi
kronis.

b. Hepatitis B e-Antigen (HBeAg)

Tes ini dilakukan untuk mendeteksi protein yang diproduksi dan dilepas ke
dalam darah. Tes ini sering digunakan untuk mengetahui apakah pengidap berpotensi
menyebarkan virus ke orang lain atau untuk mengetahui efektivitas dari terapi yang
dijalankan.

c. Anti-Hepatitis B e-Antibody (Anti-HBe)

Tes Anti-HBe dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang diproduksi oleh tubuh
sebagai respon terhadap antigen “e” hepatitis B. Pengidap yang baru pulih dari
infeksi HBV akut juga perlu menjalani tes ini agar dokter dapat memantau kondisi
kesehatannya. Tes Anti-HBe biasanya dilakukan berbarengan dengan Anti-HBc dan
Anti-HBs.

d. Hepatitis B Viral DNA

Tes ini berguna untuk mendeteksi genetik HBV dalam darah. Bila tes
menunjukkan hasil positif, maka benar bahwa orang tersebut memiliki virus hepatitis
B aktif dan berisiko menularkan infeksi ke orang lain. Tes ini juga sering
digunakan untuk melihat efektivitas dari terapi antiviral pada orang-orang yang

12
terinfeksi HBV kronis.

e. Hepatitis B Virus Resistance Mutations

Seperti namanya, tes ini bertujuan untuk memeriksa apakah virus sudah
bermutasi, sehingga menyebabkan orang tersebut terinfeksi. Virus yang sudah
bermutasi akan sulit diatasi dengan obat-obatan. Melalui tes ini, dokter juga dapat
lebih mudah menentukan jenis terapi yang sesuai untuk pengidap, terutama pada
orang yang sebelumnya sudah pernah menjalani terapi atau tidak memberi respon
terhadap terapi.

f. Kenapa Melakukan Tes Hepatitis B

Tes hepatitis B berperan penting dalam mendeteksi, mengklasifikasi, dan


mengatasi virus HBV. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang-orang yang
mengalami gejala hepatitis B untuk menjalani tes ini agar penyakit tersebut bisa
segera dideteksi dan ditangani lebih cepat.

g. Gejala-gejala hepatitis B

Gejala- Gejala Hepatitis B di antaranya sakit perut, demam, nyeri sendi, tidak
nafsu makan, mudah lelah, mual dan muntah, serta urine berwarna gelap.

h. Kapan Harus Melakukan Tes Hepatitis B

Tes hepatitis B perlu segera dilakukan bila dokter mendiagnosis adanya gejala
hepatitis akut.

i. Bagaimana Melakukan Tes Hepatitis B?

Tes hepatitis B tidak memerlukan persiapan khusus. Sebab, hanya perlu


berbicara dengan dokter saja untuk melakukan tes ini. Berikut adalah proses tes
hepatitis B:

 Pertama-tama, petugas medis akan melilitkan sabuk elastis di sekitar


lengan bagian atas untuk menghentikan aliran darah. Cara ini akan
membuat pembuluh darah di bawah ikatan membesar, sehingga petugas
mudah menyuntikkan jarum ke dalam pembuluh.
13
 Bagian tubuh yang akan disuntik dibersihkan terlebih dahulu dengan
alkohol.

 Kemudian, darah akan diambil dengan cara menyuntikkan jarum ke


pembuluh darah.

 Ketika jumlah darah yang diambil dirasa sudah cukup, petugas akan
melepaskan ikatan dari lengan.

 Selanjutnya, bagian yang disuntik akan ditempelkan kain kasa atau kapas
dan dipasang perban.

 Setelah melakukan tes hepatitis B, maka bisa langsung beraktivitas seperti


biasa. Hasil tes biasanya akan didapatkan sekitar 5-7 hari setelah tes
dilakukan.

j. Di Mana Melakukan Tes Hepatitis B?

Tes hepatitis B bisa dilakukan di laboratorium rumah sakit, tentunya dengan


pemeriksaan ke dokter terlebih dulu. Untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut,
kamu bisa langsung membuat janji dengan dokter di rumah sakit pilihan kamu di sini.

2.1.4 Blood Group And Factor

Blood group and rhesus factor pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui
golongan darah seseorang. Biaya untuk melakukan cek golongan darah bervariasi,
tergantung dari teknik yang digunakan, banyaknya golongan darah yang diperiksa,
rumah sakit yang menyelenggarakannya, serta pemeriksaan penyerta lainnya yang
dilakukan bersama dengan cek golongan darah. Di rumah sakit swasta di Indonesia, cek
golongan darah bisa dimulai dari Rp. 20.000 hingga lebih dari Rp.60.000.
Dianjurkan untuk mempersiapkan dana lebih guna kebutuhan tambahan yang tidak
terduga, yaitu sekitar 20-30% dari biaya yang diperkirakan.

1. Kategori Golongan Darah


Terdapat 2 kategori golongan darah yang paling sering diperiksa, yaitu sistem
ABO yang membagi golongan darah menjadi A, B, O, dan AB, serta sistem Rhesus
(Rh) yang membagi golongan darah menjadi Rh negatif (Rh-) dan Rh positif (Rh+)

14
2. Cek Golongan Darah Perlu Dilakukan
a. Ketika ingin donor darah atau menerima transfusi darah.
b. Ketika ingin donor organ atau menerima organ donor.
c. Ketika hamil.

3. Kenapa Wanita Hamil Perlu Cek Golongan Darah?


Tidak hanya wanita hamil, suaminya pun perlu cek golongan darah. Karena
terdapat keadaan yang dinamakan inkompabilitas Rhesus, yaitu ketika antibodi
Rhesus (anti-Rh) yang dimiliki oleh ibu yang bergolongan darah Rh- menyerang
dan menghancurkan darah bayi pasca dilahirkan. Hal ini dapat terjadi apabila
wanita yang memiliki golongan darah Rh- menikah dengan pria yang memiliki
golongan darah Rh+, serta memiliki anak yang memiliki golongan darah Rh+.

4. Apa Akibatnya Bila Tidak Dilakukan Cek Golongan Darah sebelum


Transfusi?
Dokter tidak dapat mengetahui golongan darah pendonor maupun penerima,
sehingga bila terjadi perbedaan golongan darah, dapat berakibat fatal untuk
penerima darah transfusi.
Yang Perlu Dipersiapkan sebelum Cek Golongan Darah, tidak ada persiapan
khusus sebelum pemeriksaan golongan darah, dan dapat langsung dilakukan di
laboratorium, klinik, atau rumah sakit.

5. Bagaimana Proses Cek Golongan Darah Dilakukan?


Cek golongan darah diawali dengan pengambilan sampel darah dari pembuluh
darah vena (biasanya di daerah lipat siku), atau dari pembuluh darah kapiler di
ujung jari tangan. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan dengan mencampur antibodi
pada darah atau mencampur antigen pada plasma darah. Reaksi antigen dan
antibodi ini yang menentukan golongan darah seseorang. Metode ini akan
dilakukan baik untuk sistem ABO maupun sistem Rhesus.

6. Apa yang Harus Dilakukan dan Tidak Boleh Dilakukan setelah Cek
Golongan Darah?
15
Tidak ada hal khusus yang perlu dilakukan setelahnya. Jika Anda merasa
pusing setelah melakukan cek golongan darah, disarankan agar meminta keluarga
atau teman untuk mengantarkan Anda pulang. Hasil pemeriksaan golongan darah
umumnya dapat diterima dalam hitungan menit.

16
7. Apa Saja Efek Samping atau Komplikasi dari Cek Golongan Darah?

Meskipun jarang sekali terjadi, efek samping yang dapat dialami setelah
pengambilan darah adalah pusing, pingsan, infeksi pada titik yang disuntik, dan
perdarahan, baik mengalir keluar ataupun mengendap di bawah kulit (hematoma).

2.1.5 Anti D Prophylaxis For The Resus

Imunoglobulin Anti-D digunakan untuk mencegah agar ibu rhesus- negatif tidak
membentuk antibodi terhadap sel janin rhesus-positif yang memasuki sirkulasi ibu
ketika dilahirkan atau ketika abortus. Harus disuntikkan dalam waktu 72 jam setelah
kelahiran atau aborsi, tetapi bila sudah lebih lama pun masih dapat memberi
perlindungan dan harus diberikan. Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan bagi
anak yang mungkin akan lahir berikutnya dari bahaya penyakit hemolitik.Tujuan
penatalaksanaan pada inkompatibilitas rhesus adalah untuk memastikan kesehatan bayi
dan mengurangi risiko kehamilan yang akan datang. Adanya rekomendasi anti-D (anti-
Rh) pada ibu yang berisiko tersensitisasi, dilaporkan telah mengurangi angka
komplikasi hemolytic disease of the newborn (HDN).

1. Terapi Farmakologis
Pada inkompatibilitas rhesus (Rh), terapi farmakologis yang paling
dianjurkan adalah pemberian profilaksis imunoglobulin anti-D (anti- R).
Rekomendasi pemberian sebagai profilaksis antenatal :
a. Secara rutin tiap usia kehamilan 28 minggu apabila diagnosis
inkompatibilitas Rh didapatkan saat kehamilan.

b. Secara rutin ketika terjadi peristiwa yang berisiko menyebabkan


sensitisasi, misalnya kehamilan ektopik, abortus, versi externa, atau
prosedur obstetri yang invasif seperti pengambilan sampel dari villi
chorionic atau amniocentesis

Rekomendasi sebagai profilaksis postpartum:


a. 72 jam setelah melahirkan anak pertama apabila bayi ternyata rhesus
positif
b. Apabila terlambat, maka pemberian dapat dilakukan sampai dengan 28
hari postpartum
17
Immunoglobulin anti-Rh mengandung antibodi anti-Rh yang nantinya akan
menempel pada eritrosit dengan antigen Rh (Rh positif), sehingga sistem imun tubuh
tidak akan memproduksi antibodi Rh untuk bereaksi dengan eritrosit dari bayi maupun
dari luar tubuh. Inti mekanisme kerjanya adalah melakukan pemberian IgG anti-Rh
secara pasif ke tubuh ibu sebelum antigen Rh menstimulasi ibu untuk memproduksi
antibodi anti-Rh sendiri. Apabila antibodi Rh telah terbentuk sebelum immunoglobulin
anti- Rh diberikan, maka pemberian immunoglobulin anti-Rh tidak lagi berguna. Hal
ini yang menyebabkan pentingnya profilaksis.

Immunoglobulin anti-Rh diberikan secara intramuskular di otot deltoid maupun


gluteus. Efek samping pemberiannya antara lain adalah nyeri pada area yang diinjeksi
dan demam subfebris.

Tabel 1. Indikasi dan Dosis Immunoglobulin Anti-Rh

Indikasi Dosis

Pada kondisi yang rentan sensitisasi - Trimester 1 dan kehamilan


tunggal : 250 IU via injeksi
intramuskular lambat

- Trimester 1 dan kehamilan multipel


: 625 IU via injeksi intramuskular

- Trimester 2 : 625 IU dengan dosis


tambahan dapat diberikan jika
diperlukan

18
Profilaksis - Antenatal : 625 IU via injeksi
intramuskular lambat (seluruh wanita
rhesus negatif yang belum terbentuk
antibodi anti rhesus pada usia
kehamilan 28-34 minggu)

- Postnatal : 625 IU dengan dosis


tambahan dapat diberikan jika
diperlukan (seluruh wanita rhesus
negatif yang melahirkan bayi rhesus
positif , kecuali jika terbukti sudah
terjadi aloimunisasi)

2. Bagi Bayi dengan Anemia Hemolitik yang Lahir dari Keadaan


Inkompatibilitas Rhesus
Terapi pada bayi dengan anemia hemolitik yang lahir dari keadaan
inkompatibilitas rhesus tergantung dari tingkat keparahan penyakit. Manifestasi klinis
pada bayi bisa ringan hingga berat seperti hydrops fetalis. Pada kasus yang
ringtransfusi darah an, bisa saja tidak diperlukan terapi. Namun perlu diketahui bahwa
untuk kasus ringan maupun berat perlu dilakukan konsultasi dengan dokter spesialis.
Pada keadaan anemia hemolitik yang berat, bayi dapat membutuhkan melalui tali
pusat. Selain itu, pada anemia hemolitik yang berat, apabila usia kehamilan sudah
aterm dapat dilakukan terminasi persalinan lebih cepat sehingga bayi dapat secepatnya
mendapatkan terapi.

3. Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis pada inkompatibilitas rhesus (Rh) sebenarnya lebih
ditunjukkan pada bayi yang lahir dari keadaan ini, mengingat sebenarnya manifestasi
klinis yang terlihat pada ibu tidak sesignifikan janin yang dikandungnya.Terapi yang
dilakukan intinya adalah untuk memperbaiki keadaan klinis bayi dari komplikasi
anemia hemolitik yang terjadi karena reaksi antigen-antibodi Rh.

19
4. Fototerapi
Keadaan hiperbilirubinemia pada bayi akibat hemolisis eritrosit dapat diterapi
dengan menggunakan fototerapi. Hiperbilirubinemia akan menyebabkan kerusakan
otak karena sifat neurotoksiknya. Inisiasi fototerapi dilakukan menurut normogram
yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatric (AAP). Fototerapi dapat
dikombinasi dengan transfusi tukar (exchange transfusion/ET) sesuai dengan keadaan
klinis pasien. Mekanisme kerja fototerapi adalah dengan melakukan foto- isomerisasi
bilirubin sehingga berubah menjadi substansi yang larut air, dengan begitu dapat
membantu ekskresi bilirubin lewat ginjal dan feses tanpa melewati metabolisme di
hepar. Pada pasien hemolytic disease of the newborn (HDN), fototerapi intensif
diperlukan. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa pada fototerapi terjadi
peningkatan ekskresi cairan, sehingga insensible water loss (IWL) meningkat dan
asupan cairan neonatus perlu dijaga.

5. Transfusi Intrauterine
Pada keadaan di mana alloimunisasi sudah terjadi, pemberian
immunoglobulin anti-Rh menjadi tidak efektif lagi. Transfusi intrauterine (IUT)
dilakukan sebagai rescue therapy pada keadaan anemia berat. Apabila hal ini tidak
dilakukan, maka risikonya adalah hydrops fetalis dan intrauterine fetal death
(IUFD). Tujuan tata laksana adalah meningkatkan hematokrit hingga 35-40% pada
tengah trimester awal dan 45-55% setelahnya. IUT diberikan lewat vena umbilicalis.
Setelah prosedur ini, perlu dilakukan pengambilan darah sebanyak 1 ml untuk
memeriksa hematokrit post transfusi. Transfusi selanjutnya dapat diberikan dalam
10-14 hari, dan dapat dilanjutkan kembali dengan interval 3 minggu.

6. Exchange Transfusion (ET)


Exchange transfusion (ET) atau transfusi tukar dilakukan bila kadar total
bilirubin serum > 20 mg/dl. ET membantu klirens bilirubin yang berlebihan pada
keadaan hiperbilirubinemia karena anemia hemolitik. Selain itu, ET juga
memperbaiki keadaan anemia dengan memberikan darah yang kompatibel terhadap
bayi. Adanya pemberian profilaksis immunoglobulin anti-Rh antepartum membuat
perlunya melakukan ET pada bayi yang lahir dari keadaan inkompatibilitas Rh
20
berkurang. Biasanya ET diperlukan pada kasus inkompatibilitas rhesus dengan
komplikasi anemia berat pada bayi. [8,21]

2.1.6 Down Synrom Risk And Alpha Fetoprotein

1. Tes NIPT
Semua orang tua tentu berharap si kecil yang berada di dalam rahim selalu
sehat hingga saatnya lahir nanti. Segala upaya diberikan demi menjaga kenyamanan dan
keselamatan janin. Mulai dari menjaga asupan janin, rutin mengontrol tumbuh kembang
janin ke dokter, hingga menjalani tes-tes kehamilan yang direkomendasikan oleh sang
dokter. Salah satu tes kehamilan yang kini sedang populer adalah tes NIPT (Non
Invasive Prenatal Testing). Beberapa selebriti Indonesia pun ada yang telah
menjalankan tes ini, yaitu Kartika Putri dan Aura Kasih. Tes NIPT merupakan
pemeriksaan janin pada trimester pertama kehamilan, untuk mengetahui kesehatan
kromosom janin dengan lebih akurat dan tidak berisiko.

2. Cukup mengambil sampel darah ibu


Pada Parentstory, dr. Pungky Mulawardhana, SpOG, menjelaskan, bahwa
tes NIPT adalah suatu metode untuk menentukan risiko apakah seorang janin akan
lahir dengan kelainan genetik, seperti trisomy 21 atau Down Syndrome, trisomy
18 atau Edwards Syndrome, dan trisomy13 atau Patau Syndrome, atau tidak. “Tes ini
mampu menganalisa potongan kecil DNA janin yang bersirkulasi di darah ibu.
Pemeriksaan ini cukup menggunakan pengambilan sampel darah ibu saja. Tanpa
pemeriksaan invasif secara langsung pada janin di dalam rahim, sehingga tidak ada risiko
untuk kehamilan,” jelas dokter obgyn yang praktik di RS Premier dan RS Onkologi di
Surabaya. Akurasi tes NIPT diperkirakan mencapai 97-99 persen untuk tiga kondisi yang
paling umum, menurut penelitian di tahun 2016. Penelitian yang dirilis oleh US National
Library of Medicine (National Institutes of Health) ini mengungkapkan, bahwa NIPT
menggunakan DNA janin yang bersirkulasi dengan bebas dalam darah ibu, yang
memiliki sensitivitas dan spesifik sangat tinggi untuk down syndrome. Namun,
sensitivitasnya sedikit lebih rendah untuk sindrom Edwards dan Patau. Berdasarkan
penjelasan Pungky, manfaat NIPT adalah sebagai skrining kelainan kromosom. “Akurasi
pemeriksaan ini sangat tinggi, walau tidak 100 persen. Apabila didapatkan kelainan pada
NIPT, maka akan dilakukan pemeriksaan diagnosis invasive dengan menggunakan
21
amniosintesis atau Chorionic Villus Sampling (CVS),” jelasnya. Perlu tes NIPT jika
dalam kondisi ini. Ibu hamil dalam kondisi apa yang memerlukan tes ini? Pungky
menjelaskan, tes NIPT berguna atau disarankan pada ibu hamil yang mengalami
beberapa kondisi di bawah ini:
a. Dalam tes skrining ada indikasi bayi memiliki kemungkinan untuk memiliki
gangguan kromosom.
b. Pemeriksaan USG mendeteksi adanya gangguan perkembangan janin.
c. Riwayat kelainan kromosom pada kehamilan sebelumnya.
d. Ibu hamil berusia di atas 35 tahun, yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami kehamilan dengan kelainan kromosom

Apabila Anda sedang hamil dan mengalami beberapa kondisi di atas, dr. Pungky
sangat menyarankan untuk melakukan NIPT. “Namun, karena biayanya cukup tinggi
dan tidak di-cover oleh asuransi, maka untuk wanita di luar kondisi tersebut, secara
umum tidak ada rekomendasi untuk NIPT.” Menurut dokter obgyn yang juga berprofesi
sebagai dosen dan staf pengajar di SMF/Departemen Obstetri Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini, tes NIPT dapat dilakukan paling dini
pada usia kehamilan 10 minggu. Biaya untuk melakukan skrining ini memang terbilang
tinggi dan berbeda-beda sesuai dengan jumlah panel pemeriksaan yang akan Anda
jalani. Untuk itu, Parentstory menghubungi laboratorium Prodia dan menanyakanan
perihal biaya tes NIPT ini. Menurut layanan pelanggan Prodia, biaya pemeriksaan NIPT
di Prodia cabang Bintaro, Tangerang Selatan, berkisar 8 juta rupiah.

2.1.7 Grub Bhemolitik Streptococcus

Infeksi streptokokus Grup B , juga dikenal sebagai penyakit streptokokus Grup


B atau hanya strep Grup B, adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus
agalactiae ( S. agalactiae ) (juga dikenal sebagai streptokokus grup B atau GBS). Infeksi
GBS dapat menyebabkan penyakit serius dan terkadang kematian, terutama pada bayi
baru lahir, orang tua, dan orang dengan sistem kekebalan yang lemah .
Secara umum, GBS adalah bakteri komensal tidak berbahaya yang menjadi
bagian dari mikrobiota manusia yang menjajah saluran pencernaan dan genitourinari
hingga 30% manusia dewasa yang sehat.
1. Kehamilan

22
Meskipun kolonisasi GBS tidak menunjukkan gejala dan, secara umum, tidak
menimbulkan masalah, terkadang dapat menyebabkan penyakit serius bagi ibu dan bayi
selama masa kehamilan dan setelah melahirkan. Infeksi SGB pada ibu dapat
menyebabkan korioamnionitis (infeksi intra-amnion atau infeksi berat pada jaringan
plasenta) jarang, infeksi postpartum (setelah lahir) dan berhubungan dengan
prematuritas dan kematian janin. [25] Infeksi saluran kemih GBS dapat menyebabkan
persalinan pada wanita hamil dan menyebabkan persalinan prematur ( kelahiran
prematur ) dan keguguran
2. Bayi Baru Lahir
Di dunia barat, GBS (dengan tidak adanya tindakan pencegahan yang efektif)
adalah penyebab utama infeksi bakteri pada bayi baru lahir, seperti sepsis , pneumonia,
dan meningitis , yang dapat menyebabkan kematian atau efek samping jangka panjang
3. Pencegahan Infeksi Neonatal

Saat ini, satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk mencegah GBS-EOD
adalah profilaksis antibiotik intrapartum (IAP) - pemberian antibiotik intravena (IV)
selama persalinan. Penicillin atau ampicillin intravena yang diberikan pada permulaan
persalinan dan kemudian diulang setiap empat jam sampai persalinan ke wanita terjajah
GBS. Wanita yang alergi terhadap penisilin tanpa riwayat anafilaksis ( angioedema
, gangguan pernapasan , atau urtikaria ) setelah pemberian penisilin atau sefalosporin
(risiko rendah anafilaksis) dapat menerima cefazolin (dosis awal 2 g IV, kemudian 1 g
IV setiap 8 jam sampai pengiriman) bukan penisilin atau ampisilin. Klindamisin
(900 mg IV setiap 8 jam sampai persalinan), eritromisin tidak direkomendasikan hari ini
karena tingginya proporsi resistensi GBS terhadap eritromisin (hingga 44,8%),
4. Skrining Untuk Kolonisasi
Sekitar 10-30% wanita terkolonisasi dengan GBS selama kehamilan. Meskipun
demikian, selama kehamilan, kolonisasi bisa bersifat sementara, intermiten, atau
berkelanjutan. [20] Karena status kolonisasi GBS pada wanita dapat berubah selama
kehamilan, hanya kultur yang dilakukan ≤5 minggu sebelum persalinan yang
memprediksi dengan cukup akurat status pembawa GBS saat persalinan.
5. Komite Penapisan Nasional
The Screening Nasional UK Komite 's posisi kebijakan saat ini pada GBS.
Sekitar 10-30% wanita terkolonisasi dengan GBS selama kehamilan. Meskipun
demikian, selama kehamilan, kolonisasi bisa bersifat "Skrining tidak harus ditawarkan
23
kepada semua wanita hamil kebijakan ini ditinjau pada tahun 2012, dan meskipun
menerima 212 tanggapan, yang 93% menganjurkan skrining, NSC telah memutuskan
untuk tidak merekomendasikan skrining antenatal. Saat ini, perizinan vaksin GBS sulit
dilakukan karena adanya tantangan dalam melakukan uji klinis pada manusia akibat
rendahnya kejadian penyakit neonatal GBS. Namun demikian, meskipun penelitian dan
uji klinis untuk pengembangan vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi GBS
sedang dilakukan, tidak ada vaksin yang tersedia pada 2019.
Gejala Infeksi Streptococcus Gejala akibat infeksi ini bervariasi tergantung
organ yang diserang.
Gejala yang terjadi termasuk:

 Kelelahan.
 Kelemahan.
 Demam.
 Penurunan berat badan.
 Masalah pernapasan jika menyerang saluran napas.
 Masalah dengan fungsi jantung jika menyerang organ jantung.
 Gejala seperti nyeri sendi, sendi kemerahan, membengkak, atau terasa panas,
nyeri dada, Terdapat benjolan kecil dan ruam pada kulit, Penyakit katup
jantung jika terkena demam reumatik.
 Kulit dengan keropeng, bernanah, kemerahan jika menyerang kulit.
 Tekanan darah tinggi, pembengkakan di wajah, kaki dan urin merah serta
berbusa jika mengalami glomerulenefritis.

Penyebab infeksi streptococci dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:


1. Alpha (α) haemolytic streptococci, jenis bakteri golongan ini yang paling banyak
menyebabkan penyakit diantaranya streptococcus pneumoniae dan
streptococcus viridans. Jenis bakteri ini dapat menyebabkan penyakit infeksi
saluran napas atas, pneumonia, infeksi telinga tengah, sinusitis, meningitis,
endocarditis.
2. Beta (β) haemolytic streptococci terbagi lagi menjadi dua yakni Grup A
Streptococci (GAS) dan Grup B Streptococci (GBS). GAS dapat mengakibatkan
infeksi di tenggorokan, pneumonia, impetigo, demam scarlet, demam
rematik. GBS umunya banyak terdapat di dalam sistem pencernaan dan organ
intim wanita. Bakteri ini dapat ditularkan secara seksual atau dari ibu ke bayi

24
selama kelahiran dan bayi baru lahir rentan mengalami penyakit ini.

25
6. Diagnosis Infeksi Streptococcus

Dokter akan melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik untuk


menentukan arah diagnosis penyakit. Pada penyakit dengan kecurigaan infeksi
streptococcus yang berat akan dilakukan pemeriksaan darah. Pada kasus
meningitis diperlukan pemeriksaan cairan serebrospinal. Penunjang lain seperti
rontgen, ekokardiografi, USG, pemeriksaan urin bisa diperlukan tergantung
kemungkinan tempat terjadinya infeksi.

a. Pengobatan dan Efek Samping Infeksi Streptococcus

Pada kasus yang berat terkadang diperlukan rawat inap dan


pemberian obat untuk ngatasi dan mencegah bakteri. Pastikan memberitahu
dokter jika memiliki riwayat alergi obat-obatan karena beberapa orang
memiliki alergi dan sensitif terhadap obat penguat antibodi tertentu.
Beberapa jenis infeksi streptococcus tanpa pengobatan yang cukup dapat
berakibat parah seperti penyebaran infeksi ke seluruh tubuh hingga
kematian.

b. Pencegahan Infeksi Streptococcus

Hal yang harus diupayakan untuk mengurangi jenis infeksi ini antara lain:

b. Jalankan pola hidup sehat dengan makan bergizi seimbang, cukup


istirahat dan olahraga teratur untuk menjaga daya tahan tubuh.
c. Mencuci tangan teratur terutama sebelum makan.
d. Pakai masker ketika mengalami gejala batuk, bersin dan gejala penyakit
saluran napas lainnya.
e. Tutup mulut ketika bersin atau batuk.
f. Jika mengalami luka di kulit lakukan perawatan luka dengan benar.
g. Ibu hamil memeriksakan diri secara rutin untuk mendeteksi secara awal
infeksi GBS.

26
2.1.8 Sicle Ceel Anemia Thailasennimia

Anemia sel sabit atau sickle cell anemia adalah hemoglobinopati autosomal
resesif yang dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah dan hemolisis. Anemia
sel sabit merupakan bentuk manifestasi tersering dari penyakit sel sabit atau sickle cell
disease.
Anemia sel sabit merupakan suatu kelainan pada darah akibat perubahan asam
amino ke-6 pada rantai protein globin β. Hal ini menyebabkan terbentuknya hemoglobin
S (HbS) dan perubahan bentuk sel darah merah menjadi serupa dengan sabit.

Anemia sel sabit paling sering bermanifestasi dalam bentuk kadar hemoglobin
yang rendah, disertai dengan komplikasi vasooklusif dan hemolisis. Diagnosis
dikonfirmasi dengan temuan HbS homozigot pada elektroforesis. Di Amerika Serikat,
skrining HbS adalah sesuatu yang wajib dilakukan saat bayi lahir.

a. Faktor Risiko
Faktor risiko anemia sel sabit adalah adanya sickle cell trait (SCT) pada
kedua orang tua pasien.
b. Anamnesis
Anemia sel sabit adalah penyakit yang diturunkan secara resesif.
Seseorang akan menderita anemia sel sabit jika mendapat gen dari kedua orang
tuanya. Jika hanya mendapat salah satu, pasien umumnya sehat, namun bersifat
karier. Oleh karena itu, riwayat penyakit pada keluarga sangat penting
ditanyakan saat anamnesis
c. Gejala anemia sel sabit
Kelainan ini merupakan bawaan lahir dan gejala penyakit ini biasa mulai
muncul sejak seseorang berumur 4-6 bulan. Beberapa gejala yang ditemukan
pada penderita anemia sel sabit, antara lain:
 Sering merengek (pada bayi)
 Mudah kelelahan tanpa sebab yang jelas
 Tampak kuning di bola mata dan/atau kulit tubuh
 Sering bengkak dan nyeri di tangan dan kaki
 Sering terkena infeksi, demam, dan jatuh sakit
 Nyeri tak tertahankan di dada, punggung, tangan, kaki, tulang, dan sendi
 Perut bengkak (sakit saat ditekan)

27
d. Pengobatan anemia sel sabit
Yang paling utama adalah cangkok (transplantasi) sumsum tulang, agar
tubuh penderita mampu menghasilkan sel darah merah yang normal dari
sumsum tulang yang dicangkokkan tersebut. Cangkok sumsum tulang ini hanya
bagi anak-anak berusia di bawah 16 tahun, karena risiko gagal cangkok
meningkat bagi penderita yang berusia lebih dari 16 tahun.

2.1.9 Thalasemia

Thalasemia merupakan nama untuk sekelompok kondisi medis yang diturunkan


dari orang tua; yang mempengaruhi zat dalam darah yang disebut hemoglobin.
Penderita thalasemia memproduksi hemoglobin dalam jumlah yang terlalu banyak
atau justru terlalu sedikit. Akibatnya, penderita akan mengalami anemia seperti lelah,
kehabisan nafas, dan pucat.

Thalasemia tergolong sebagai penyakit yang cukup langka. Menurut penelitian,


4,4 persen atau 440 dari 10.000 kelahiran terkena penyakit ini.
Ada dua jenis thalasemia:
1. Thalasemia alfa, yaitu thalasemia ringan yang terjadi saat gen yang berhubungan
dengan protein globin menghilang.
2. Thalasemia beta, yaitu thalasemia yang lebih berat yang terjadi ketika produksi
protein beta globin terpengaruh akibat gen tersebut yang bermutasi.

Beberapa gejala thalasemia berpotensi menimbulkan komplikasi, yaitu


penyakit baru yang tumbuh sebagai dampak dari penyakit yang telah ada, seperti gagal
jantung, gangguan hati, hambatan pertumbuhan hingga kematian. Sebagian besar
penderita thalasemia berdomisili di kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Timur
Tengah. Pasien yang terserang thalasemia pun umumnya diakibatkan oleh faktor
genetik.
1. Penyebab Thalasemia

Thalasemia terjadi akibat kesalahan gen dalam memproduksi hemoglobin.


Anak-anak berpotensi menderita thalasemia apabila orang tuanya memiliki
riwayat penyakit tersebut. Sementara, orang tua juga dapat terserang thalasemia
28
akibat faktor genetik dari orang tua sebelumnya. Jadi, penyebab thalasemia
bersifat genetik dan hanya berasal dari 1 gen. Selain karena faktor genetik, tidak
ada faktor lainnya yang menjadi penyebab seseorang terserang thalasemia.

Gejala thalasemia perlu dikonsultasikan pada dokter spesialis hematologi.


Spesialis hematologi adalah bidang spesialis yang mendalami tentang darah dan
gangguan yang terjadi pada darah. Ketika berkonsultasi pada dokter terkait gejala
thalasemia, dokter akan melakukan serangkaian tes untuk memastikan kondisi
penderita. Rangkaian tes yang umumnya dilakukan adalah tes darah. Tes darah
untuk memeriksa thalasemia bisa dilakukan kapan saja, khususnya untuk
mengetahui apakah seseorang memiliki faktor genetik thalasemia. Namun,
umumnya tes darah ini dilakukan ketika masa kehamilan atau tepat setelah
melahirkan. Dari hasil tes darah, dapat diidentifikasi tanda-tanda signifikan yang
umumnya dialami oleh penderita thalasemia Sel darah merah berukuran dan
berbentuk tidak normal di bawah mikroskop:
a. Distribusi hemoglobin tidak merata.
b. Perhitungan darah perifer lengkap (DFL) menunjukkan kurangnya
hemoglobin dari jumlah normal.
c. Sel darah merah lebih pucat dari biasanya.

2. Gejala Thalasemia

Thalasemia bisa menyebabkan berbagai gejala dan berpengaruh pada


timbulnya berbagai masalah kesehatan. Beberapa gejala yang umumnya terjadi
adalah:
a. Anemia. Hampir seluruh penderita thalasemia mengalami anemia akut
yang dapat mengancam jiwa. Anemia bisa terjadi karena rendahnya
level hemoglobin. Beberapa ciri anemia meliputi kelelahan, gangguan
pernafasan, detak jantung tak beraturan, kulit pucat.
b. Kelebihan zat besi dalam tubuh. Seseorang yang menderita
thalasemia akan mengalami kelebihan zat besi yang berpotensi
menyebabkan timbulnya masalah kesehatan lainnya. Kelebihan zat besi
bisa mengakibatkan masalah jantung, bengkak dan luka di sekitar hati,
pubertas yang terhambat, diabetes, dan kadar hormon yang rendah.

29
Ada juga beberapa gejala thalasemia lainnya yang tidak terlalu sering
muncul, namun juga merupakan dampak dari thalasemia, yaitu:

a. Pertumbuhan anak yang terhambat.

b. Adanya batu-batu kecil dalam kantung empedu yang dapat menyebabkan


peradangan pada kantung empedu dan sakit kuning.

c. Pertumbuhan tulang yang tak biasa, misalnya kening dan pipi yang
membesar.

d. Osteoporosis.

e. Penurunan fertilitas.

f. Cara Mengobati Thalasemia

Pengobatan thalasemia memerlukan jangka waktu lama, biasanya berupa


perawatan seumur hidup dengan transfusi darah dan obat-obatan. Penderita thalasemia,
baik anak-anak maupun dewasa, akan ditangani oleh tim beranggotakan dokter spesialis
di rumah sakit yang punya spesialisasi menangani thalasemia.

Dokter spesialis yang mampu menangani thalasemia biasanya akan


menganjurkan perawatan dengan:

1. Transfusi darah. Transfusi darah berfungsi untuk mengobati anemia. Proses ini
dilakukan dengan pemberian darah melalui tabung yang dimasukkan ke dalam
pembuluh darah di lengan. Proses ini memakan waktu cukup lama dan umumnya
dilakukan di rumah sakit.

2. Obat-obatan untuk menurunkan zat besi dalam tubuh. Transfusi darah yang
dilakukan secara berkala bisa menyebabkan peningkatan kadar zat besi dalam
tubuh. Untuk itu, dokter akan memberikan obat-obatan untuk menurunkan zat
besi yang disebut terapi khelasi.

3. Transplantasi sel induk atau sumsum tulang. Transplantasi ini merupakan


satu-satunya cara menyembuhkan thalasemia. Namun, metode ini jarang sekali
dilakukan karena memiliki resiko yang tinggi. Resiko utamanya adalah sel-sel
30
yang ditransplantasi justru menyerang sel-sel lain dalam tubuh. Oleh sebab itu,
hanya penderita thalasemia yang sudah sangat parah yang akan menjalani
transplantasi ini.

Pasien thalasemia akan melakukan beberapa perawatan berupa:

1. Pemeriksaan saat kehamilan. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan


apakah bayi berpotensi terkena thalasemia. Pemeriksaan umumnya
dilakukan sebelum kehamilan mencapai usia 10 minggu.
2. Pemeriksaan setelah bayi lahir. Bayi yang baru lahir tidak secara rutin
diuji karena hasil tes tidak selalu bisa diandalkan dan thalasemia tidak
memiliki dampak berbahaya yang segera. Namun, thalasemia tipe beta
bisa dideteksi sebagai bagian dari tes bercak darah bayi baru lahir.

3. Estimasi Biaya Pengobatan Thalasemia

Biaya pengobatan thalasemia beragam, tergantung jenis yang diderita dan usia
penderita.Untuk menghitung estimasi biaya pengobatan thalasemia di dalam atau luar
negeri, tanyakan pada Smarter Health.

a. Untuk screening thalasemia (cel darah lengkap plus hb analisis, belum


ada cek kadar zat besinya) biaya nya Rp. 350.000 dan hasilnya sekitar 4
hari kerja

b. Untuk Cek DNA :


 Thalasemia alpha biayanya Rp. 1,5 Juta
 Thalasemia beta biayanya Rp. 2,0 Juta
 Dan hasilnya sekitar 1 bulan dan bisa dikirim via pos

c. Jika cek DNA hasilnya masih buram juga, perlu dilanjutkan dengan
metode sequenzing. Untuk sequenzing :
 Thalasemia alpha tambahan biayanya Rp. 2.5 juta
 Thalasemia beta tambahan biayanya Rp. 1.5 Juta
 Hasilnya sekitar 2 minggu dan bisa dikirim

d. Untuk diagnosa

31
4. Mencegah Thalasemia

Karena thalasemia merupakan penyakit genetik, tidak ada


metode pencegahan khusus yang bisa dilakukan. Namun, bagi bayi,
ada beberapa upaya pencegahan yang memungkinkan penurunan
resiko terkena thalasemia, yaitu:
 Bagi orang tua, lakukan tes darah untuk memastikan adanya
kemungkinan thalasemia sebelum kehamilan.
 Konsultasi genetik.
 Melakukan screening atau pemeriksaan kesehatan (medical
check up) sebelum kehamilan.

Thalasemia bisa dicegah dengan mengenali faktor-faktor


risiko yang ada. Meski begitu, memiliki satu atau beberapa faktor
risiko bukan berarti seseorang pasti akan terserang thalasemia.

Faktor risiko itu meliputi:

 Usia. Gejala thalasemia umumnya muncul pada usia 6


sampai 24 bulan.
 Riwayat penyakit keluarga. Kenali riwayat keluarga yang
pernah terserang thalasemia.
 Etnis tertentu. Umumnya, penderita thalasemia adalah
orang-orang yang berdomisili atau keturunan Asia Selatan,
Asia Tenggara, dan Timur Tengah.

2.1.10 Vaginalinfection

Ibu hamil rentan mengalami infeksi vagina lantaran sistem kekebalan


tubuhnya yang sedang melemah. Sejumlah keluhan, seperti keputihan, vagina
gatal, dan muncul bau tidak sedap dari vagina, bisa menjadi pertanda ibu
hamil terkena infeksi vagina.

32
Pada ibu hamil, infeksi vagina akibat bakteri yang tidak ditangani
dengan baik dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi kehamilan,
seperti keguguran, bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat badan rendah,
dan radang panggul usai melahirkan.

1. Pengobatan Vaginitis

Langkah pengobatan yang diberikan oleh dokter akan disesuaikan


ddengan penyebab vaginitis yang dialami seseorang. Pengobatannya pun
meliputi obat antijamur dan/atau antibiotik. Jika vaginitis yang dialami
pengidap adalah akibat penurunan hormon estrogen, maka dokter akan
merekomendasikan terapi penggantian hormon yang akan menggantikan
hormon estrogen alami tubuh.

Sementara dalam menangani vaginitis akibat reaksi alergi terhadap


bahan-bahan kimia, pengidapnya disarankan untuk menghindari substansi
pemicu alerginya. Dokter juga bisa sewaktu- waktu memberikan obat oles
estrogen untuk meredakan gejala-gejala vaginitis.

2. Pencegahan Vaginitis

Selain obat-obatan, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk


meringankan gejala, sekaligus mempercepat proses penyembuhan. Langkah-
langkah sederhana tersebut meliputi:
a. Menjaga agar area intim dan sekitarnya tetap bersih serta kering.
Pastikan menggunakan sabun tanpa bahan pewangi dan
menyekanya hingga benar-benar kering menggunakan tissue
bersih. Hindari berendam air hangat selama infeksi belum pulih
sepenuhnya.
- Jangan membasuh bagian dalam vagina.
- Gunakan kompres air dingin untuk mengurangi
ketidaknyamanan pada vagina.

33
- Kenakan pakaian dalam yang tidak ketat dan berbahan katun.

2.2 Skrining faktor fisik dan psikososial


Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Pre-marital screening
check up atau tes kesehatan pra nikah sebaiknya dilakukan oleh pasangan yang
akan melangsungkan pernikahan. Tes ini penting dilakukan untuk memahami
kondisi genetika pasangan dan membantu pasangan untuk mengambil tindakan
pencegahan atau perawatan bila diperlukan. Untuk pasangan yang sedang
mempersiapkan pernikahan, tes kesehatan pra nikah, dapat membantu
mengidentifikasi potensi masalah kesehatan bagi pasangan serta keturunannya.
Ada beberapa tahap yang perlu dilakukan dalam tes kesehatan pra-nikah
menurut Kemenkes, yakni sebagai berikut:
a. Pemeriksaan fisik secara lengkap
 Menurut Suburban Diagnostics, pemeriksaan fisik ini meliputi
analisis urine, pemeriksaan tekanan darah, dan analisis darah.
Pemeriksaan urin diperlukan untuk melihat apakah terdapat sel-sel
normal atau abnormal yang terkandung dalam tubuh yang dapat
mempengaruhi keturunan.
 Pemeriksaan tekanan darah sama pentingnya. Menurut Mayo Clinic,
risiko gangguan kehamilan dan melahirkan akan lebih tinggi
pada wanita yang memiliki tekanan darah tinggi, salah satunya pre-
eklampsia.
 Selain itu akan ada tes golongan darah (ABO-RH) untuk mengetahui
apakah calon istri memiliki Rh-negatif. Jika ada, dokter akan
memberitahu mereka tentang risiko dalam kehamilan istri dengan
Rh- negatif.
b. Pemeriksaan penyakit hereditas

Penyakit hereditas adalah penyakit yang diturunkan oleh orangtua


kepada anak. Pemeriksaan ini berguna untuk menganalisis apakah
pasangan memiliki risiko menurunkan penyakit berbahaya kepada anak
atau tidak. Pemeriksaan ini memerlukan penelusuran terhadap riwayat

34
penyakit kedua pasangan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
penyakit turunan bisa membahayakan, seperti thalasemia.

c. Pemeriksaan penyakit menular


Pemeriksaan penyakit menular ini tentunya untuk mencegah
penularan penyakit-penyakit mematikan seperti HIV semakin masif
menular antar pasangan. Selain itu penularan penyakit lain seperti
hepatitis B dan hepatitis C juga bisa dicegah melalui pemeriksaan ini.

d. Pemeriksaan organ reproduksi

Salah satu tujuan dalam pemeriksaan ini adalah untuk memeriksa


apakah organ reproduksi pasangan dalam kondisi yang baik untuk
mendapatkan keturunan. Dilansir Avon, melakukan tes kesuburan
penting dilakukan sebelum pernikahan untuk menghindari adanya
tekanan emosional pasangan selama masa pernikahannya nanti. Banyak
kasus permasalahan rumah tangga.

e. Pemeriksaan alergi

Menurut Healthline, tes alergi merupakan pemeriksaan yang


dilakukan untuk menentukan apakah tubuh seseorang memiliki reaksi
alergi terhadap zat tertentu. Tes ini meliputi tes darah, tes kulit, atau
eliminasi jenis makanan. Banyak pasangan yang menganggap remeh
alergi, padahal alergi dapat menjadi hal yang berbahaya jika tidak
ditangani dengan tepat.

1. Apa Aja Yang Dilakukan Pada Prakonsepsi?

Pada prosedur prakonsepsi, tenaga medis akan melakukan tanya


jawab, pemeriksaan dan pemeriksaan penunjang untuk mengidentifikasi
resiko-resiko yang ada, guna untuk melakukan upaya preventif, kuratif,
dan rehabilitatif.
Tanya jawab akan dimulai untuk mencari tahu resiko yang dapat

35
mempersulit kehamilan, seperti :

- Riwayat penyakit dahulu yang dapat menjadi penyulit dalam


kehamilan, seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung dan
paru, tiroid, riwayat kejang, infeksi, dan lain-lain.
- Riwayat konsumsi obat-obatan rutin yang dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin.
- Keadaan gizi pada ibu yang hendak hamil sangatlah penting,
karena akan menjadi sumber energi bagi ibu maupun bayi.
Sebaiknya ibu berada dalam berat badan yang ideal,
dikarenakan dengan berat badan yang lebih dapat
menyebabkan penyulit berupa hipertensi dan diabetes dalam
kehamilan serta preeklampsia. Sedangkan berat badan yang
kurang, dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat.
- Ibu perlu memasukkan unsur asupan gizi seimbang yang
berupa karbohidrat, protein, dan mineral, serta asam folat.
- Riwayat vaksinasi seperti hepatitis B, toxoid, cacar, campak,
dan lain-lain.
- Riwayat keputihan, menstruasi, pendarahan, penggunaan
kontrasepsi, riwayat infertilitas maupun riwayat penyakit
seksual menular juga merupakan hal penting untuk diketahui
dari para calon ibu.
- Riwayat penyakit keluarga untuk mendeteksi ada tidaknya
riwayat retardasi mental, malformasi kongenital, infertilitas,
maupun keguguran.
- Riwayat sosial seperti tempat kerja, merokok, konsumsi
alkohol, obat-obatan, kafein juga penting karena sebaiknya
dihindari selama mempersiapkan kehamilan. Tidak boleh
dilupakan, olahraga yang rutin minimal 150 menit dalam
seminggu juga disarankan.
- Masalah psikososial yang terjadi sebelum dan dalam

36
kehamilan seperti depresi juga harus diketahui agar dapat
dilakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan ibu dan
menghindarkan calon ibu dari stress berlebih

Selanjutnya, prosedur prakonsepsi dilanjutkan dengan


pemeriksaan fisik lengkap dan pemeriksaan penunjang berupa
EKG dan pemeriksaan laboratorium yang bertujuan untuk
penyaringan resiko ataupun screening. Selain itu, penting bagi ibu
hamil untuk melakukan perawatan prakonsepsi yang sangat penting
untuk keselamatan serta kesehatan ibu dan bayi. Tidak boleh
dilupakan, dukungan keluarga dan suami serta terhindarnya dari
stress akan berperan penting dalam mental calon ibu.

2. Kapan tes ini perlu dilakukan?

Premarital check up bisa Anda lakukan bersama pasangan


beberapa bulan sebelum menikah atau setelah menikah atau ketika
Anda sedang berencana memiliki anak. Dengan begitu,
perencanaan Anda untuk memiliki anak menjadi lebih matang.

2.3 Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya

Saat pemeriksaan kandungan pertama, calon ibu dianjurkan menjalani


pemeriksaan laboratorium. Hasil pemeriksaan lab berikut ini harus diserahkan
kepada dokter/bidan saat kunjungan berikutnya (kontrol kedua). Periksa
kehamilan direkomendasikan untuk ibu hamil setidaknya melakukan 4x atau
lebih kunjungan antenatal dengan Bidan/ Dokter kandungan untuk memantau
kehamilan dan kesehatan ibu-janin.
Periksa kehamilan dilakukan minimal 1x di trimester I (usia kehamilan 1-
3 bulan), minimal 1x di trimester II (usia kehamilan 4-6 bulan), dan minimal 2x
di trimester III (usia kehamilan 7-9 bulan). Rekomendasi tersebut bertujuan
untuk meningkatkan kualitas perawatan yang diberikan kepada ibu dan janin di
seluruh rangkaian pemeriksaan selama kehamilan.

37
1. Pemeriksaan urine lengkap
Meliputi kadar gula, protein dan bakteri dalam urine. Utamanya untuk
mengetahui ada-tidaknya infeksi saluran kemih karena penyakit ini dapat
menyebabkan kelahiran prematur, keguguran, dan kematian janin.
2. Pemeriksaan darah rutin, yaitu:

 TORCH, untuk mendeteksi infeksi toksoplasmosis, other (antara lain


sipilis, klamidia, dll), rubella, cytomegalovirus (CMV), dan herpes.
Infeksi TORCH dapat menyebabkan keguguran, bayi lahir prematur, bayi
kecil, dan kelainan/kecacatan janin.
 Kadar hemoglobin (sel darah merah), untuk mengetahui ada tidaknya
anemia. Penyakit ini membuat ibu hamil menjadi mudah lelah dan dapat
berbahaya jika terjadi perdarahan saat hamil serta melahirkan.
 Golongan darah dan rehsus (Rh), untuk mendeteksi kalau-kalau ada
ketidaksesuaian golongan darah dan rhesus, terutama pada ibu hamil
golongan darah O dengan rhesus negatif. Ketidakcocokan dapat
menyebabkan gangguan pada bayi, baik berupa bayi kuning hingga
kematian akibat anemia janin. Pemeriksaan ini lebih penting bila ibu
membutuhkan transfusi darah selama hamil atau saat melahirkan.

Setiap kehamilan, dalam perjalanannya mempunya resiko mengalami


penyulit atau komplikasi. Oleh karena itu, periksa kehamilan harus dilakukan
secara rutin, termasuk melakukan pemeriksaan penunjang/laboratorium.
Pemeriksaan penunjang tersebut selama kehamilan, persalinan dan nifas
merupakan salah satu komponen penting untuk mengindetifikasi resiko
komplikasi yang mungkin terjadi. Pemerikasaan penunjag diantara nya
sebagai berikut:

1. Golongan darah dan tes kadar Hemoglobin darah

Pemeriksaan darah turut membantu mendiagnosa kasus- kasus pada


kehamilan, diantaranya ibu hamil wajib melakukan pemeriksaan hemoglobin

38
dan golongan darah. Pemeriksaan golongan darah pada ibu hamil tidak hanya
untuk mengetahui jenis golongan darah ibu melainkan juga untuk
mempersiapkan calon pendonor darah yang sewaktu-waktu diperlukan
apabila terjadi situasi kegawatdaruratan. Pemeriksaan hemoglobin (Hb) juga
dilakukan bertujuan untuk mengetahui kadar sel darah merah pada ibu hamil.
Kadar Hb normal kehamilan diantara 11—15 gr%. Ibu hamil rentan
menderita anemia karena meningkatnya kebutuhan zat besi untuk
pertumbuhan janin. Anemia adalah suatu kondisi yang ditandai dengan
menurunnya kadar hemoglobin (Hb) di bawah normal (<10 gr%). Kurangnya
asupan zat besi pada kehamilan mengakibatkan sejumlah risiko yang
merugikan, seperti keguguran, bayi lahir premature, bayi lahir dengan berat
badan rendah (BBLR), bayi lahir mati, perdarahan pasca persalinan, hingga
anak tumbuh pendek (stunting) dibanding teman seusianya. Penyebab anemia
dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan fisik dan tes laboratorium.
Kemenkes (2013) menyarankan pemeriksaan Hb pada kehamilan dilakukan
sebanyak 2x diantaranya pada trimester I (disertai pemeriksaan golongan
darah) dan trimester III. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di praktik
bidan/ dokter kandungan/ puskesmas/ klinik/ rumah sakit.

2. Pemeriksaan protein urine

Kehamilan dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang terjadi pada


ginjal umumnya setelah 20 minggu kehamilan. Perubahan tersebut juga
berdampak pada peningkatan kadar protein dalam urine. Dari Journal
Nephrology (2018) menyatakan penilaian proteinuria merupakan tes kunci
dalam kehamilan untuk mengevaluasi kesehatan ginjal dan sistemik serta
merupakan salah satu indikator terjadinya preeklamsi/eklamsi pada ibu hamil.
Kasus preeklamsi/eklamsi merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan
janin pada saat kehamilan, persalinan, maupun pasca bersalin. Pengukuran
tekanan darah pada setiap kali kunjungan antenatal penting dan harus
dilakukan untuk mendeteksi adanya hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90
mmHg) pada kehamilan dan preeklampsia (hipertensi disertai peningkatan

39
proteinuria >300mg/24 jam atau pada metode dipstik menunjukan hasil positif
1+ atau lebih). Ditemukannya proteinuria berlebih (>300mg/24 jam) juga
menyebabkan sejumlah komplikasi lain pada ibu hamil seperti perdarahan
otak, gagal hepar, edema paru-paru, cidera ginjal akut, hingga kejang/
eklamsi. Dari Kemenkes (2014) menganjurkan pemeriksaan protein urine
pada ibu hamil dilakukan pada trimester II dan III atas indikasi. Pemeriksaan
urine dipstik banyak digunakan dalam praktik karena metodenya sederhana
dan lebih ekonomis. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di praktik bidan/
dokter kandungan/ puskesmas. Tes akan lebih spesifik jika menggunakan
metode tes diagnostik dengan sensitivitas tinggi lainnya, umumnya dilakukan
di fasilitas kesehatan lengkap seperti klinik/ rumah sakit.

3. Pemeriksaan Kadar Gula Darah

Setiap kehamilan memiliki faktor risiko terjadinya masalah kesehatan,


salah satunya adalah diabetes gestasional atau diabetes melitus (DM) selama
kehamilan. Diabetes gestasional adalah hiperglikemia dengan kadar glukosa
darah di atas normal yang terjadi selama masa kehamilan. Kategori tes gula
darah berdasarkan Konsensus Perkeni 2011 adalah: bukan DM (<90 mg/dL),
belum pasti DM (90-199 mg/dL), DM (>200 mg/dL). Menurut Jounal of
Clinical Diabetes (2007) Wanita dengan diabetes gestasional meningkatkan
risiko komplikasi selama kehamilan dan melahirkan. Pada ibu penderita
diabetes melitus gestasional meningkatkan risiko penambahan berat badan
berlebih, terjadinya preklamsia/eklamsia, lahir sesar, komplikasi
kardiovaskuler. Setelah persalinan, penderita berisiko berlanjut terkena
diabetes tipe 2 atau terjadi diabetes gestasional yang berulang pada kehamilan
yang akan datang. Bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes gestasional
berisiko tinggi untuk menderita makrosomia (BB lahir >4000g) sehingga
meningkatkan cidera kelahiran, bayi berisiko tinggi untuk terkena
hipoglikemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, sindrom gangguan
pernafasan, polistemia, obesitas, dan diabetes melitus tipe 2. Kemenkes
(2014) menganjurkan ibu hamil yang dicurigai menderita diabetes melitus

40
harus dilakukan pemeriksaan gula darah selama kehamilannya minimal sekali
pada trimester I, sekali pada trimester II, dan sekali pada trimester III.
Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di praktik bidan/ dokter kandungan/
puskesmas/ klinik/ rumah sakit

4. Ultrasonografi (USG)

USG merupakan pemeriksaan diagnostik untuk memantau


pertumbuhan janin dan mendeteksi komplikasi klinis terutama ketika
pemindaian dilakukan pada awal kehamilan. Dalam rekomendasi antenatal
care (ANC) 2016, setiap ibu hamil oleh WHO direkomendasikan untuk
melakukan 1x USG sebelum kehamilan 24 minggu. Bertujuan untuk
memperkirakan usia kehamilan sebenarnya, deteksi abnormalitas pada janin
(letak, posisi, dan presentasi janin), dan adanya kehamilan kembar. WHO
tidak merekomendasikan USG secara rutin tanpa indikasi. Penilaian usia
kehamilan yang akurat dapat mendukung intervensi dan manajemen
komplikasi kehamilan. Penilaian dugaan komplikasi seperti keguguran
terancam, kehamilan ektopik, lokasi plasenta, preeklamsi, persalinan
prematur, hingga perdarahan intrapartum, menjadikan kemampuan USG
dapat memfasilitasi tepat waktu untuk memanajemen komplikasi kehamilan,
terutama untuk temuan yang membutuhkan intervensi mendesak.
Pemeriksaan USG dapat dilakukan di praktik dokter kandungan/ puskesmas/
klinik/ rumah sakit.

5. Pemeriksaan HIV

Pada peraturan Kemenkes Nomor 97 tahun 2014, di daerah epidemi


HIV meluas dan berpotensial, tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan wajib menawarkan tes HIV kepada semua ibu hamil secara inklusif
pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya ketika kunjungan antenatal atau
menjelang persalinan. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV
diprioritaskan pada ibu hamil yang menderita infeksi menular seksual/ IMS

41
dan tuberkulosis/ TB secara inklusif ketika kunjungan antenatal atau
menjelang persalinan. Setiap ibu hamil ditawarkan untuk dilakukan tes HIV
dan segera diberikan informasi mengenai resiko penularan HIV dari ibu ke
janinnya. Apabila ibu hamil tersebut HIV positif maka dilakukan konseling
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA). Bagi ibu hamil yang
negatif diberikan penjelasan untuk menjaga tetap HIV negatif diberikan
penjelasan untuk menjaga HIV negative selama hamil, menyusui dan
seterusnya. Pemeriksaan HIV hanya dilakukan di puskesmas dengan program
tes HIV ibu hamil dan rumah sakit besar.

42
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gambaran pengetahuan ibu hamil tentang anemia sebelum (pretes)
dan sesudah (postes) dilakukan penyuluhan baik. Kegiatan ini bermanfaat
bahwa promosi kesehatan adalah upaya meningkatkan pengetahuan
masyarakat melalui pembelajaran, dari dan oleh , untuk dan bersama
masyarakat agar mereka dapat menolong diri sendiri dan mengembangkan
kegiatan bersumber daya dari masyarakat(Supari, 2007) Pengetahuan
tentang anemia sangat penting untuk mencegah terjadinya anemia, Hasil ini
sejalan dengan hasil pemeriksaan kadar Hb, bahwa ibu yang mempunyai
pengetahuan yang baik dapat menurunkan kejadian anemia. Selain itu
pengetahuan ibu hamil tentang anemia penting, seperti hasil penelitian yang
dikemukakan Rajeev Kumar dkk (Yadav, Swamy, & Banjade, 2014), bahwa
pengetahuan ibu hamil tentang anemia, dapat mencegah anemia.
Pengetahuan tentang anemia berhubungan secara bermakna dengan
pendidikan ibu hamil.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Alenzi, F. Q., Alotaibi, A. Q., Almotiri, G. M., Alanazi, A. M., Alanazi,


F. M., Alenazi, M. S. 2014. Role of Apoptosis in Microbial Infection.
Open Journal of Apoptosis.
2. Abdul Bri Syaifuddin.2002.Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal.JNPKKR- POGI;Jakarta.edisi ke-1, Cetakan 3
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar:
Riskesdas 2013. Jakarta: BKementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta; 2013.
4. Departeman Kesehatan Republik Indonesia.2006.Buku Kesehatan Ibu
dan Anak
5. Hastuti, Puji, dkk.2018.Kartu Skor Poedji Rochjati Untuk Skrining
Antenatal.Jurnal LINK, 14(2), 2018,110 – 113
6. Ida Bagus Gde Manuaba.1998.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan,
dan Keuerga Berencana Untuk Pendidikan Bidan.ECG;Jakarta.Cetakan-
1.14(2), 2018,110 – 113
7. Nilakesuma, Nur Fadjri, Dewi Susilawati, Kiki Safitri.2019.Studi Kasus:
Asuhan Kebidanan Pada Ibu Hamil Trimester III Dengan
Menggunakan Kartu Skor Poedji Rochjati. The Southeast Asian Journal
of Midwifery Vol. 5, No.2, Oktober, 2019, p: 74-78
8. Widarta, Gede Danu, dkk.2015.Deteksi Dini Risiko Ibu Hamil dengan
Kartu Skor PoedjiRochjati dan Pencegahan Faktor Empat
Terlambat.Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 23 No. 1 Januari -April:
28-32

44

Anda mungkin juga menyukai