OLEH :
SRI NADIAN
Sebenarnya, banyak pihak yang menghubungkan kebijakan politik etis ini dengan tulisan-tulisan
dan pemikiran van Deventer, salah satunya pada tulisan yang berjudul Een Eereschuld (Hutang
Kehormatan) dimuat dalam harian De Gids tahun 1899.
Kritikan tersebut berisi perlunya pemerintah Belanda membayar utang budi dengan
meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan. Kritik-kritik ini menjadi perhatian serius dari
pemerintah kolonial Belanda dan membuat Ratu Wilhelmina memunculkan kebijakan baru bagi daerah
jajahan, yang dikenal dengan politik etis. Kemudian terangkum dalam program Trias van Deventer.
Kebijakan politik etis serta program Trias van Deventer diterapkan di Indonesia pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Alexander W.F. Idenburg (1909-1916).
(Gambar B.3 : Gubernur Jenderal Alexander W.F.)
Irigasi diperlukan untuk memperbaiki taraf kehidupan masyarakat pribumi dalam bidang
pangan. Emigrasi dilakukan demi mengirimkan tenaga kerja murah untuk dipekerjakan di wilayah
Sumatera. Sedangkan pendidikan atau edukasi dilaksanakan untuk menghasilkan tenaga kerja yang
diperlukan negara.
Edukasi menjadi program paling berpengaruh bagi masyarakat di Hindia Belanda. Penerapan
program edukasi dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan menerapkan pendidikan gaya
Barat. Pendidikan gaya barat tersebut diterapkan di beberapa sekolah yang didirikan pemerintah Hindia
Belanda antara lain:
Melalui sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan gaya barat tersebut, lahirlah golongan
baru dalam masyarakat Hindia Belanda yang disebut golongan elite baru. Golongan elite baru disebut
juga sebagai golongan priyayi. Golongan priyayi tersebut banyak yang berprofesi sebagai dokter, guru,
jurnalis, dan aparatur pemerintahan.
Mereka memiliki pikiran yang maju serta semakin sadar terhadap penindasan-penindasan yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, golongan elite baru berhasil mengubah corak
perjuangan masyarakat dalam melawan penindasan pemerintah kolonial, dari yang tadinya bersifat
kedaerahan menjadi bersifat nasional. Inilah titik di mana masa pergerakan nasional dimulai.
Kesadaran awal kebangsaan di antara kalangan bumiputera ini terjadi di awal abad 20 Squad.
Tentunya hal itu nggak terjadi begitu saja dong. Ada beberapa faktor yang membuat kesadaran itu
muncul.
(Gambar B. 5 : Faktor-Faktor Tumbuhnya Kesadara Kebangsaan)
Faktor-faktor yang ada di info grafis itu, berpengaruh besar dalam merubah karakteristik bangsa
Indonesia untuk melawan penjajahan. Saat itu, pada abad 20. Lalu, seperti apa sih corak perjuangan
bangsa Indonesia ketika menghadapi penjajahan di masa itu? Beberapanya bisa dilihat pada poin-poin
di bawah ini :
a) Dipimpin dan digerakkan oleh kaum terpelajar. Kaum terpelajar mendorong perjuangan melawan
penjajahan barat melalui pendirian organisasi-organisasi pergerakan.
b) Bersifat nasional dan sudah ada persatuan antara daerah. Perjuangan yang dilakukan melalui
organisasi berhasil menyatukan masyarakat Hindia Belanda yang terdiri dari beragam suku. Selain
itu persamaan nasib membuat munculnya persatuan nasional di masa ini.
c) Melakukan perlawanan secara pemikiran. Perjuangan melalui pemikiran muncul karena
masyarakat bumiputera sadar bahwa kekuatan persenjataan tidak mampu mengalahkan pemerintah
Hindia Belanda. Alhasil perjuangan beralih melalui pemikiran yang muncul dalam berbagai cara,
mulai dari kampanye lewat pers, rapat akbar, tulisan, hingga menolak bekerja sama dengan
pemerintah kolonial.
d) Terorganisir dan ada kaderisasi yang jelas. Perjuangan melalui organisasi berhasil menciptakan
kaderisasi anggota. Melalui kaderisasi anggota, faktor kepemimpinan dalam perjuangan tidak lagi
terfokus pada pemimpin yang kharismatik, karena akan selalu muncul pemimpin dari kaderisasi
yang dilakukan oleh organisasi.
e) Memiliki visi yang jelas yaitu Indonesia merdeka. Perjuangan masyarakat bumiputera di masa ini
memiliki tujuan yang jelas yaitu Indonesia merdeka.
Kaum terpelajar waktu itu bisa menjadi pemimpin dan penggerak perlawanan masyarakat
terhadap penjajahan. Menjadi penggerak dan pemimpin itu tidak harus berperang melawan penjajah.
Misalnya, berhasil menggerakkan teman-teman untuk buang sampah pada tempatnya. Dengan begitu,
berarti kita sudah memperjuangkan negara kita ini menjadi calon negara terbersih dikemudian hari.
b) Gerakan Pemuda
1. Gerakan Pemuda Kedaerahan
Trikoro Dharmo merupakan sebuah organisasi pemuda kedaerahan yang muncul
pertama kali di Indonesia. Trikoro Dharmo didirikan di Gedung Stovia pada tanggal 7 Maret
1915 oleh para pemuda Jawa, seperti Satiman, Kadarman, Sumardi, Jaksodipuro
(Wongsonegoro), Sarwono, dan Muwardi. Trikoro Dharmo berarti Tiga Tujuan Mulia,
yaitu Sakti, Budi, dan Bhakti. Keanggotaan Trikoro Dharmo pada mulanya hanya terbatas pada
kalangan pemuda dari Jawa dan Madura. Akan tetapi, kemudian diperluas dengan
semboyannya Jawa Raya yang meliputi Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok.
Berdirinya Trikoro Dharmo berpengaruh besar terhadap berdirinya organisasi
kedaerahan sejenis di wilayah-wilayah lain di luar Jawa. Pada tanggal 9 Desember 1917 di
Jakarta berdiri organisasi Jong Sumatranen Bond. Tokoh-tokoh nasional yang pernah menjadi
anggota Jong Sumatranen Bond, antara lain Moh. Hatta, Moh. Yamin, M. Tamsil, Bahder
Djohan, dan Abu Hanifah. Jong Minahasa berdiri juga pada tanggal 5 Januari 1918 di Manado
dengan tokohnya A.J.H.W. Kawilarang dan V. Adam. Jong Celebes dengan tokoh-tokohnya
Arnold Monomutu, Waworuntu, dan Magdalena Mokoginata. Jong Ambon berdiri pula pada
tanggal 1 Juni 1923 di Jakarta.
Semenjak saat itu, semangat kedaerahan semakin mendominasi. Dengan semangat
kedaerahannya itu, pada kongres Trikoro Dharmo di Solo yang pada tanggal 12 Juni 1918
nama Trikoro Dharmo berganti nama menjadi Jong Java. Kegiatan Jong Java masih tetap
bergerak di bidang sosial dan budaya. Pada kongres ke-5 di bulan Mei 1922 di Solo dan
kongres luar biasa pada bulan Desember 1922 ditetapkan bahwa Jong Java tidak akan
mencampuri masalah politik. Diskusi-diskusi mengenai masalah sosial dan politik dilakukan
untuk menambah pengetahuan para anggotanya. Anggota Jong Java hanya diperbolehkan
terjun dalam dunia politik setelah mereka tamat belajar.
Dalam perkembangannya, Jong Java tidak mampu bertahan sebagai organisasi yang
berpandangan kesukuan. Hal itu disebabkan semakin meluasnya paham Indonesia Raya. Pada
kongres Jong Java tanggal 27-31 Desember 1926 di Solo, dengan suara bulat tujuan Jong Java
berubah menjadi “Memajukan rasa persatuan para anggota dengan semua golongan bangsa
Indonesia dan bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan pemuda Indonesia lainnya ikut
serta dalam menyebarkan dan memperkuat paham Indonesia bersatu”. Semangat satu tanah
air, satu bangsa, dan satu bahasa yang menyala di berbagai tempat semakin mendorong Jong
Java untuk melakukan suatu penggabungan (fusi). Secara prinsip, Jong Java menyatakan
bahwa sudah saatnya membuktikan dengan suatu tindakan nyata bahwa “Perkumpulannya
dapat mengorbankan dirinya” demi persatuan bangsa.
2. Kongres Pemuda Indonesia
1) Kongres Pemuda I
Keinginan untuk bersatu seperti yang didengung-dengungkan oleh Perhimpunan
Indonesia (PI) dan PerhimpunanPelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) telah lama tertanam di
dalam hati dan sanubari pemuda-pemuda Indonesia. Untuk itu, pada tanggal 30 April-2 Mei
1926 di Jakarta diadakan Kongres Pemuda Indonesia yang pertama. Kongres itu diikuti oleh
semua perkumpulan pemuda yang bersifat kedaerahan.
Dalam kongres tersebut dilakukan beberapa kali pidato tentang pentingnya
Indonesia bersatu. Disampaikan pula tentang upaya-upaya memperkuat rasa persatuan
yang harus tumbuh di atas kepentingan golongan, bahasa, dan agama. Selanjutnya juga
dibicarakan tentang kemungkinan bahasa dan kesusastraan Indonesia kelak di kemudian
hari.
Para mahasiswa Jakarta dalam kongres tersebut juga membicarakan tentang upaya
mempersatukan perkumpulan-perkumpulan pemuda menjadi satu badan gabungan (fusi).
Walaupun pembicaraan mengenai fusi ini tidak membuahkan suatu hasil yang memuaskan,
kongres itu telah memperkuat cita-cita Indonesia bersatu.
2) Kongres Pemuda II
Kongres Pemuda II diadakan dua tahun setelah Kongres Pemuda I, tepatnya pada
tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres tersebut dihadiri oleh wakil-wakil dari perkumpulan
pemuda ketika itu, antara lain Pemuda Sumatera, Pemuda Indonesia, Jong Bataksche Bond,
Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Jong Islamiten Bond, Jong Java, Jong Ambon, dan
Jong Celebes. PPPI yang memimpin kongres ini sengaja mengarahkan kongres pada
terjadinya fusi organisasi-organisasi pemuda.
Sedangkan, untuk susunan panitia Kongres Pemuda II yang sudah terbentuk sejak
bulan Juni 1928 adalah sebagai berikut.
Ketua : Sugondo Joyopuspito dari PPPI
Wakil Ketua : Joko Marsaid dari Jong Java
Sekretaris : Moh. Yamin dari Jong Sumatranen Bond
Bendahara : Amir Syarifuddin dari Jong Bataksche Bond
Pembantu I : Johan Moh. Cai dari Jong Islaminten Bond
Pembantu II : Koco Sungkono dari Pemuda Indonesia
Pembantu III : Senduk dari Jong Celebes
Pembantu IV : J. Leimena dari Jong Ambon
Pembantu V : Rohyani dari Pemuda Kaum Betawi
Kongres Pemuda II ini dilaksanakan selama dua hari, pada tanggal 27-28 Oktober
1928. Persidangan yang dilaksanakan sebanyak tiga kali di antaranya membahas persatuan
dan kebangsaan Indonesia, pendidikan, serta pergerakan kepanduan. Kongres tersebut
berhasil mengambil suatu keputusan yang hingga saat ini dikenal dengan Sumpah
Pemuda sebagai berikut.
Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Rumusan tersebut dibuat oleh sekretaris panitia, Moh. Yamin, dan dibacakan oleh
ketua kongres, Sugondo Joyopuspito, secara hikmat di depan kongres. Selanjutnya
diperdengarkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan dan dibawakan oleh Wage Rudolf
Supratman dengan gesekan biola. Peristiwa bersejarah itu merupakan hasil kerja keras para
pemuda pelajar Indonesia. Walaupun organisasi peserta kongres masih merupakan
organisasi pemuda kedaerahan, mereka secara ikhlas hati melepaskan sifat kedaerahannya
masing-masing. Dengan tiga butir Sumpah Pemuda itu, setiap organisasi pemuda
kedaerahan secara konsekuen dan konsisten meleburkan diri ke dalam satu wadah yang
telah disepakati secara bersama, yakni Indonesia Muda.
(Gambar E.2 : Gubernur Jenderal de Jonge yang sedang mengunjungi Bali di tahun 1930-an.)
a. Partindo
Penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI terutama Ir. Soekarno merupakan pukulan yang
teramat berat bagi PNI.Pimpinan PNI kemudian diambil alih oleh Sartono dan Anwari. Kedua tokoh
ini memiliki gaya yang lebih hati-hati sehingga menimbulkan kecemasan di kalangan anggotanya.
Bahkan, banyak di antara para anggota PNI yang mengundurkan diri.
Sartono kemudian menginstruksikan agar semua kegiatan di cabang-cabang PNI untuk
sementara waktu dihentikan. Bahkan, ia kemudian berusaha untuk membubarkan PNI dan
membentuk partai baru. Pada Kongres Luar Biasa PNI di Batavia tanggal 25 April 1931 diambil
sebuah keputusan untuk membubarkan PNI.Pembubaran tersebut menimbulkan pertentangan di
kalangan pendukung PNI.Sartono bersama para pendukungnya kemudian membentuk Partai
Indonesia (Partindo) pada tanggal 30 April 1931.
Asas dan tujuan serta garis-garis perjuangan PNI masih diteruskan oleh
Partindo.Selanjutnya dilakukan upaya menghimpun kembali anggota-anggota PNI yang sudah
terlanjur tercerai-berai sehingga pada tahun 1931 berhasil dibentuk 12 cabang Partindo.Kemudian
berkembang lagi menjadi 24 cabang dengan anggota sebanyak 7000 orang.
Setelah bebas pada bulan Desember 1931, Ir. Soekarno berupaya menyatukan kembali PNI
yang terpecah.Akan tetapi, upaya tersebut tidak berhasil karena terdapat perbedaan pendapat
antara Ir. Soekarno dan Drs. Moh.Hatta sebagai pemimpin PNI Baru.Akhirnya, Ir. Soekarno
memutuskan dirinya untuk masuk dan bergabung ke dalam Partindo.Partai Indonesia ini kemudian
berkembang pesat setelah pemimpin tertinggi dipegang oleh Ir. Soekarno.Pada tahun berikutnya,
Partindo telah memiliki 71 cabang dan anggota sebanyak 20.000 orang. Ide-idenya banyak dimuat
dalam harian Pikiran Rakyat, antara lain yang penting adalah “Mencapai Indonesia Merdeka” pada
tahun 1933.
Penangkapan kembali Ir. Soekarno pada tanggal 1 Agustus 1933 melemahkan Partindo.
Bung Karno diasingkan ke Ende, Flores, pada tahun 1934. Karena alasan kesehatan, Bung Karno
kemudian dipindahkan ke Bengkulu pada tahun 1938 dan pada tahun 1942 dipindahkan ke
Padang karena ada serbuan tentara Jepang ke Indonesia. Tanpa Ir. Soekarno, Partindo
mengalami kemunduran yang sangat drastic. Partindo akhirnya memutuskan untuk mengundurkan
diri dari PPPKI agar PPPKI tidak terhalang geraknya karena adanya larangan untuk mengadakan
rapat.Dalam menghadapi keadaan yang sulit itu, Ir. Soekarno untuk yang kedua kalinya
membubarkan Partindo meski tanpa adanya suatu dukungan yang penuh dari para anggotanya.
b. PNI Baru
Ketika Sartono membubarkan PNI pada tahun 1930, banyak anggotanya yang tidak
setuju.Mereka menyebut dirinya sebagai Golongan Merdeka.Dengan giat mereka
mendirikan studie club-studie club baru, seperti Studie Club Nasional Indonesia di Jakarta
dan Studie Club Rakyat Indonesia di Bandung.Selanjutnya, mereka mendirikan Komite Perikatan
Golongan Merdeka untuk menarik anggota-anggota PNI dan untuk menghadapi Partindo.
Pada bulan Desember 1931, golongan merdeka membentuk Pendidikan Nasional
Indonesia (PNI Baru).Mula-mula Sultan Syahrir dipilih sebagai ketuanya.Moh.Hatta kemudian
dipilih sebagai ketua pada tahun 1932 setelah kembali dari Belanda.Strategi perjuangan PNI Baru
tidak jauh berbeda dari PNI maupun dengan Partindo.Organisasi-organisasi tersebut tetap sama-
sama menggunakan taktik perjuangan nonkooperatif dalam mencapai kemerdekaan politik.Adapun
perbedaan antara PNI Baru dengan Partindo adalah sebagai berikut.
1. PPPKI oleh PNI Baru dianggap bukan persatuan karena anggota-anggotanya memiliki ideology
yang berbeda-beda. Sementara itu, Partindo menganggap PPPKI dapat menjadi wadah
persatuan yang cukup kuat daripada mereka berjuang sendiri-sendiri.
2. Dalam mencapai upaya kemerdekaan, PNI Baru lebih mengutamakan pendidikan politik dan
social. Partindo lebih mengutamakan organisasi massa dengan aksi-aksi massa untuk
mencapai kemerdekaan.
Pada tahun 1933, PNI Baru telah memiliki 65 cabang.Untuk mempersiapkan masyarakat
dalam mencapai kemerdekaan PNI Baru melakukan kegiatan penerangan untuk rakyat dan
penyuluhan koperasi.Kegiatan-kegiatan PNI Baru tersebut dan ditambah dengan sikapnya yang
nonkooperatif dianggap oleh pemerintah colonial Hindia Belanda sangat membahayakan. Oleh
karena itu, pada bulan Februari 1934 Bung Hatta, Sultan Syahrir, Maskun, Burhanuddin, Murwoto,
dan Bonda ditangkap oleh pemerintah colonial. Bung Hatta diasingkan ke hulu Sungai Digul,
Papua. Kemudian dipindahkan ke Bandaneira pada tahun 1936 dan akhirnya ke Sukabumi pada
tahun 1942.Dengan demikian, hanya partai-partai yang bersikap kooperatif saja yang dibiarkan
hidup oleh pemerintah colonial Hindia Belanda.
c. Parindra (1935)
Pada bulan Desember 1935 di Solo diadakan kongres yang menghasilkan penggabungan
Boedi Oetomo dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan melahirkan Partai Indonesia
Raya (Parindra). R. Soetomo terpilih sebagai Ketua Parindra dengan Surabaya sebagai pusat dan
basis politiknya. Tujuannya adalah untuk mencapai Indonesia Raya dan Mulia.Cara yang hendak
ditempuh dengan memperkokoh semangat persatuan kebangsaan, berjuang untuk memperoleh
suatu pemerintahan yang berdasarkan demokrasi dan nasionalisme, serta berusaha meningkatkan
kesejahteraan rakyat baik dalam bidang ekonomi maupun social.Tokoh-tokoh terkemuka Parindra
lainnya adalah MH Thamrin dan Sukarjo Wiryopranoto.
Terhadap pemerintah colonial, Parindra tidak menetapkan haluan politiknya apakah
kooperatif atau nonkooperatif.Oleh karena itu, Parindra memiliki wakil-wakilnya dalam Volksraaad
dan mengambil sikap sesuai situasi. Istilah lainnya adalah main aman saja, hehehee… Parindra
berkembang dengan baik dan bahkan menjadi partai besar dan banyak mendapat simpati dari
organisasi-organisasi lain sehingga mereka menggabungkan diri, seperti Kaum Betawi, Sarekat
Sumatera, dan Partai Serikat Selebes.Cabang-cabang Parindra menyebar di Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi.
Parindra berusaha meningkatka kesejahteraan rakyat kecil dengan cara
mendirikan Rukun Tani, membentuk serikat-serikat pekerja, menganjurkan swadesi, dan
mendirikan Bank Nasional Indonesia. Perjuangan Parindra dalam Volksraad berlangsung hingga
akhir masa penjajahan Belanda. Dalam hal ini terkenal kegigihan MH Thamrin dengan
membentuk Fraksi Nasional dan GAPI yang berhasil memaksa pemerintah colonial Hindia Belanda
melakukan beberapa perubahan, seperti pemakaian bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad
dan mengganti istilah Inlander menjadi Indonesier.
d. Gerindo
Setelah Partindo dibubarkan pada tahun 1936, banyak anggotanya kehilangan wadah
perjuangan. Sementara itu, Parindra yang cenderung kooperatif dianggap kurang sesuai.Oleh
karena itu, pada bulan Mei 1937 di Jakarta dibentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).Tokoh-
tokohnya yang terkenal ialah A.K. Gani, Moh. Yamin, Amir Syarifuddin, Sarino Mangunsarkoro,
Nyonoprawoto, Sartono, dan Wilopo.
Gerindo bertujuan mencapai Indonesia Merdeka, tetapi dengan asas-asas yang kooperatif.
Agak terkesan plin-plan memang, katanya kurang sreg dengan Parindra, tetapi malah dia sendiri
kooperatif, hehehe… Dalam bidang politik, Gerindo menuntut adanya parlemen yang bertanggung
jawab kepada rakyat.Dalam bidang ekonomi dibentuk Penuntut Ekonomi Rakyat Indonesia (PERI)
yang bertujuan mengumpulkan berbagai modal dengan kekuatan kaum buruh dan tani
berdasarkan asas nasional-demokrasi—operasi, memang agak sedikit mengarah ke
komunis.Dalam bidang social diperjuangkan persamaan hak dan kewajiban di dalam
masyarakat.Oleh karena itu, Gerindo menerim anggota dari kalangan orang Indo (India),
peranakan China (Tionghoa), serta keturunan Arab (Gujarat).
e. Petisi Sutardjo
Meskipun petisi tersebut ditolak, pemerintah colonial Hindia Belanda mulai melaksanakan
perubahan pemerintahan pada tahun 1938.Pemerintah membentuk provinsi-provinsi di luar Jawa
dengan gubernur sebagai wakil pemerintahan pusat, sedangkan Dewan Provinsi bertugas
mengatur rmah tangga daerah.
Akibat yang tampak dari penolakan petisi tersebut adalah semakin jauhnya jarak antara
pemerintah dengan yang diperintah. Tidak ada jalan lain bagi kaum pergerakkan untuk
memperkuat barisan terkecuali dengan memperkuat organisasi dan persatuan bangsa. Usaha kea
rah persatuan itu juga didorong oleh keadaan internasional yang sejak tahun 1939 menjadi genting
dengan adanya penyerangan negara Jerman ke wilayah kota Danzig, di Polandia yang mengawali
terjadinya Perang Dunia II.
f. Perjuangan Gapi “Indonesia Berparlemen”
Penolakan Petisi Sutardjo mendorong munculnya gerakan menuju kesatuan nasional,
kesatuan aksi, dan hak untuk menentukan nasib sendiri.Gerakan itu kemudian menjelma
menjadi Gabungan Politik Indonesia (GAPI).Pembentukan GAPI dipelopori oleh MH Thamrin dari
Parindra.
Ide pembentukan GAPI pada umumnya mendapat tanggapan baik di kalangan masyarakat
luas.Pada tanggal 21 Mei 1939 dilaksanakan rapat umum di Gedung Permufakatan, Gang Kenari,
Jakarta.Rapat itu dihadiri oleh wakil-wakil dari Pasundan, Parindra, PSII, PII, dan Gerindo. MH
Thamrin menjelaskan bahwa tujuan pembentukan GAPI untuk membentuk sebuah badan
persatuan yang akan mempelajari dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam
pelaksanaannya, tiap-tiap organisasi tetap bebad untuk melakukan program-programnya sendiri-
sendiri.
Pelaksanaan program GAPI secara konkret mulai terwujud dalam rapatnya pada tanggal 4
Juli 1939. Dalam rapat itu diputuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang akan
memperjuangkan penentuan nasib sendiri serta kesatuan dan persatuan Indoesia. Namun,
sebelum aksi dapat dilancarkan secara besar-besaran, pada tanggal 9 September 1939 terdengar
kabar bahwa Perang Dunia II telah berkobar. Oleh karena itu, dalam pernyataannya pada tanggal
19 September 1939, GAPI menyerukan agar dalam keadaan penuh bahaya dapat dibina
hubungan dan kerja sama yang sebaik-baiknya antara Belanda dan Indonesia.
Golongan moderat Belanda menyerukan agar pemerintah Belanda agar loyalitas yang
tertera dalam pernyataan GAPI ditanggapi secara positif dengan memenuhi
keinginannya.Sebaliknya, golongan konservatif memandang bahwa pernyataan GAPI itu semata-
mata hanya merupakan suatu Chantage (memanfaatkan kesempatan dalam situasi tertentu), yaitu
pemerasan dengan mengambil kesempatan sewaktu Belanda menghadapi kesulitan, yakni bahaya
dan ancaman seranga Jerman di Eropa.
Aksi pertama GAPI terselenggara dengan mengadakan rapat umum di Jakarta pada
tanggal 1 Oktober 1939.Pada pertengahan Desember 1939 diselenggarakan rapat umum di
beberapa tempat.Dengan semboyan “Indonesia Berparlemen” dalam setiap aksinya GAPI
mendesak agar pemerintah membentuk parlemen yang dipilih oleh rakyat dan dari rakyat sebagai
pengganti Volksraad dan dengan pemerintahan yang bertanggung jawab kepada parlemen
tersebut.Untuk itu, kepala-kepala departemen harus digantikan dengan menteri-menteri yang
bertanggung jawab kepada parlemen.
Tanggapan pemerintah colonial Hindia Belanda baru dikeluarkan pada tanggal 10 Februari
1940 melalui Menteri Tanah Jajahan Welter yang menyatakan bahwa “perkembangan dalam
bidang jasmani dan rohani akan memerlukan tanggung jawab dalam bidang ketatanegaraan.
Sudah barang tentu hak-hak ketatanegaraan memerlukan tanggung jawab dari para
pemimpin.Tanggung jawab ini hanya dapat dipikul apabila rakyat telah memahami kebijaksanaan
politik.Selama pemerintah Belanda bertanggung jawab atas kebijakan politik di Hindia Belanda,
tidak mungkin didirikan Parlemen Indonesia yang mengambil alih tanggung jawab tersebut.”
Tentu saja penolakan tersebut sangat menimbulkan kekecewaan, tetapi GAPI masih
meneruskan perjuangannya.Dalam rapat tanggal 23 Februari 1940, GAPI menganjurkan
pendirian Panitia Parlemen Indonesia sebagai tindak lanjut dari aksi Indonesia Berparlemen.Akan
tetapi, kesempatan bergerak bagi GAPI sudah tidak ada lagi.Pada awal Mei 1940, negara Belanda
telah berhasil ditaklukkan dan diduduki oleh Jerman sehingga Perang Dunia II telah berkobar di
Negeri Belanda juga.Meskipun negerinya sudah diduduku oleh Jerman, tetapi Belanda masih tidak
mau mundur setapak pun dari bumi Indonesia.
(Gambar E.4 : Gubernur Jenderal Tjarda van Stackenborgh Stachouwer, adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang
menjabat hingga ketika Jepang menyerang dan mulai menduduki wilayah Indonesia pada tahun 1942.)
Sikap pemerintah Belanda yang sangat konservatif itu tidak mengurangi loyalitas rakyat
Indonesia terhadap Belanda, bahkan ada keinginan umum untuk bekerja sama dalam menghadapi
perang itu. Sebagai imbalan dari kesetiaan bangsa Indonesia tersebut, Gubernur Jenderal Tjarda
van Starkenborgh Stachouwer menjanjikan perubahan dalam berbagai segi kehidupan
masyarakat Hindia Belanda.Akan tetapi, gagasan mengenai perubahan itu harus disimpan dahulu
hingga Perang Dunia II selesai. Pada tanggal 10 Mei 1941 dalam pidatonya, Ratu
Wilhelmina menyatakan kesediannya untuk mempertimbangkan suatu penyesuaian
ketatanegaraan Belanda terhadap keadaan yang berubah serta menentukan kedudukan daerah
seberang dalam struktur Kerajaan Belanda. Akan tetapi, masalah itu pun juga harus ditunda
setelah Perang Dunia II usai.
Usulan pembentukan milisi pribumi yang berdasarkan kewajiban bagi negara untuk
mempertahankan negerinya juga ditolak oleh pemerintah colonial dengan alasan bahwa perang
modern lebih memerlukan angkatan bersenjata yang professional. Sikap menunda itu pun
dipertahankan oleh Belanda pada saat dilontarkan Piagam Atlantik (Atlantic Charter) oleh Perdana
Menteri Inggris Woodrow Wilson dan Presiden AS F.D. Roosevelt yang menjamin hak setiap
bangsa untuk memilih bentuk pemerintahannya sendiri.
Satu-satunya hasil dari berbagai upaya kaum pergerakan melalui Dewan Rakyat adalah
pembentukan Komisi Visman (Commissie Visman) pada bulan Maret 1941.Komisi tersebut
bertugas meneliti keinginan, cita-cita, serta pendapat yang ada pada berbagai golongan
masyarakat mengenai perbaikan pemerintahan.Hasilnya diumumkan pada bulan Desember 1941
yang menyatakan bahwa penduduk sangat puas dengan pemerintah Belanda.
Karena kancah Perang Pasifik sudah sangat dekat, hasil Komisi Visman itu tidak ada lagi
pengaruhnya terhadap perkembangan politik di Hindia Belanda.Suasana pada saat-saat terakhir
pemerintahan Hindia Belanda diliputi oleh sikap rakyat yang apatis bercampur tidak percaya lagi
dan pada akhirnya berubah menjadi sikap anti-Belanda.Hal ini juga disebabkan oleh propaganda
Jepang, yang dinamakan dengan Gerakan 3 A.
F. Dampak Penjajah Bangsa Eropa pada Masa Pergerakan Nasional hingga Kini
Berbagai aspek kehidupan kita terpengaruh oleh bangsa lain. Bangsa Eropa, yang lama berada
di Indonesia membawa pengaruh-pengaruh yang masih bisa kita rasakan hingga hari ini.
a) Bidang Politik
Pada masa pemerintahan kolonial, kekuasaan-kekuasaan kerajaan di Nusantara menurun
karena adanya intervensi dari pemerintah kolonial, lewat devide et impera (politik adu domba).
Melalui devide et impera, pemerintah kolonial Belanda berhasil memengaruhi penguasa-penguasa
di daerah untuk tunduk terhadap kekuasaannya.
Berhasil membuat penguasa daerah tunduk, berarti juga dapat “mengatur” beberapa
kebijakan baru, seperti:
a. membagi wilayah Hindia Belanda khususnya Jawa menjadi 9 prefektur dan 30 regentschap.
b. Tiap prefektur dipimpin oleh prefek yang merupakan orang Eropa sedangkan
tiap regentschap (kabupaten) dipimpin bupati yang berasal dari orang pribumi bangsawan.
c. Prefektur dan regent berada di bawah Gubernur Jenderal yang berkedudukan sebagai
pemimpin tertinggi pemerintah kolonial Belanda.
d. Gubernur Jenderal dibantu oleh enam departemen yaitu kehakiman, keuangan, dalam negeri,
kebudayaan dan kepercayaan, ekonomi serta kesejahteraan rakyat.
e. Perubahan dalam politik pemerintahan kembali terjadi akibat kebijakan politik Pax
Nederlanica di akhir abad 19 menuju awal abad 20.
(Gambar F.1 : Prefektur, Regentschap)
Selain itu, sistem pemerintahan di Indonesia sekarang merupakan warisan dari penerapan
ajaran Trias Politica yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam badan yudikatif di
struktur tersebut, pemerintahan kolonial Belanda membagi badan peradilan menjadi tiga macam
berdasarkan golongan masyarakat di Hindia-Belanda. Badan peradilan tersebut terdiri
dari peradilan untuk orang Eropa, peradilan orang Timur Asing, dan peradilan orang
pribumi. Dalam badan legislatif, pemerintah kolonial Belanda membentuk Volksraad atau Dewan
Rakyat pada tahun 1918.
b) Bidang Budaya
Kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara memengaruhi kebudayaan bangsa Indonesia.
Pengaruh tersebut mulai dari kosakata bahasa, musik, seni tari, pakaian, arsitektur hingga cara
berpikir. Dampak dalam bidang budaya yang pertama adalah adanya kata-kata serapan. Kamu
bisa lihat kata-katanya di bawah ini:
(Gambar F.3 : Beberapa Kata Serapan)
Selain itu, kedatangan Bangsa Eropa juga mengenalkan berbagai hal baru ke bangsa kita.
Misalnya, kita jadi tahu berbagai musik internasional ataupun tarian seperti dansa. Selain itu, ada
juga bangunan-bangunan yang menjadi saksi bisu terhadap segala peristiwa masa lampau.
Semua bangunan tersebut punya ciri khas yang sulit dibuat saat ini. Seperti bangunan yang bisa
kita temui di Kota Tua, Jakarta. Dulunya, Kota Tua merupakan pusat pemerintahan Batavia.
Gaya arsitektur pada bangunan zaman belanda menjadi dampak kedatangan Bangsa
Eropa yang masih bisa kamu nikmati di masa kini. Jangan lupa dijaga, ya! (Sumber:
coklatkita.com)
Bangsa Eropa, terutama Belanda, juga banyak mendirikan benteng-benteng untuk
menghalau serangan dari Inggris. Kamu bisa lihat benteng Fort de Kock di Bukittinggi, di Sumatera
Barat, Benteng Marlborough di Bengkulu, Benteng Spellwijk di Banten, Benteng Vredeburg di
Yogyakarta, dan lain-lain.
c) Bidang Sosial
Kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia membawa dampak dalam bidang sosial ataupun
ekonomi. Salah satu dampak dalam bidang sosial adalah munculnya masyarakat yang
menganut agama Katolik dan Kristen Protestan. Kedatangan Portugis yang membawa
semangat 3G memengaruhi penyebaran agama Kristen dan Katolik di Indonesia.
Salah satu penyebar agama Katolik di Indonesia yang terkenal adalah Fransiscus
Xaverius, seorang misionaris dari Portugis, di Maluku pada tahun 1546-1547. Di samping
penyebaran agama Katolik, agama Kristen Protestan juga turut tersebar di Indonesia.
(Gambar F.4 :Fransiskus Xaverius, yang ditetapkan menjadi orang suci oleh gereja Katolik (Sumber: youtube.com).
Penyebaran agama Kristen Protestan mulai terjadi pada masa pemerintahan Gubernur
Jendral Raffles. Penyebaran agama ini dilakukan oleh Nederlands Zendeling Genootschap (NZG),
yaitu organisasi yang menyebarkan agama Kristen Protestan berdasarkan Alkitab. Beberapa tokoh
yang tergabung dalam NZG yang terkenal adalah Ludwig Ingwer Nommensen dan Sebastian
Qanckaarts.
d) Bidang Ekonomi
Dengan datangnya Bangsa Eropa, masyarakat Indonesia diperkenalkan pada mata uang
di masa Raffles menjalankan kebijakan Sistem Sewa Tanah. Diperkenalkannya uang kertas dan
logam mendorong munculnya perbankan modern di Hindia-Belanda. Salah satunya adalah de
Javasche Bank, bank modern di Hindia-Belanda yang muncul pertama kali dan didirikan di
Batavia pada tahun 1828.
Selanjutnya adalah bangkitnya kehidupan perekonomian akibat pembangunan jalan raya
pos Anyer-Panarukan. Keberadaan infrastruktur jalan didukung oleh jaringan transportasi
khususnya kereta api yang muncul dan berkembang pada masa Sistem Tanam Paksa. Jaringan
kereta api muncul dan berkembang di Hindia-Belanda sebagai sarana pengantaran hasil
perkebunan yang ada di Hindia Belanda serta transportasi masyarakat. Munculnya sistem
transportasi ini merupakan dampak kedatangan Bangsa Eropa bagi Indonesia yang masih bisa
kamu gunakan hingga hari ini.
e) Bidang Pendidikan
Masuknya bangsa Eropa ke Nusantara juga membawa pengaruh besar dalam bidang
pendidikan. Pendidikan dari Eropa pertama kali masuk ke Nusantara bersamaan dengan
masuknya agama Kristen Katolik. Kala itu dibangun sekolah yang mengajarkan ajaran agama
Katolik untuk para pribumi dari daerah Timur Indonesia di sekitar daerah Maluku.
Pendidikan mulai dianggap penting saat kebijakan Politik Etis dilakukan oleh pemerintah
kolonial. Perhatian pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan dikarenakan guna memenuhi
kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor swasta dan pemerintahan. Sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah menganut sistem pendidikan barat dan hanya bisa dimasuki oleh kalangan
bangsawan. Beberapa contoh sekolah yang didirikan pada masa awal pemerintah kolonial
Belanda, antara lain:
(Gambar F.6 : STOVIA, akhirnya menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Indonesia dan Fakultas Kedokteran UI.
(Sumber: fk.ui.ac.id).