Anda di halaman 1dari 4

Nama Kelompok :

Akhmad Syifa Urridlo


Rabiah Aladawiyah Sri Retno Khodijah
Riyang Gunawan
Makul : Tarikhul Qur’an

Unifikasi Bacaan Al Qur’an

Asal-usul keragaman bacaan Al Qur’an

Latar belakang kemunculan varie lectiones dalam kenyataannya bukanlah suatu hal
yang baru dalam islam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al Jazairi, Ibn Abi Hasyim
pernah mengungkapkan pandangan bahwa sebab terjadinya perbedaan bacaan dalam qira’ah
tujuh dan tradisi bacaan diluarnya, adalah dikawasan-kawasan utama islam yang memperoleh
kiriman Salinan mushaf utsmani telah berdiam para sahabat nabi. Yang darinya masyarakat
wilayah tersebut mempelajari bacaan al qur’an. Karena Salinan-salinan mushaf yang dikirim
utsman ditulis dalam scriptio defective, maka masyarakat ditiap wilayah itu tetap mengikuti
bacaan yang mereka pelajari dari sahabat nabi selama sesuai dengan mushaf Usmani
sedangkan yang tidak sesuai ditinggalkan. Dari sinilah muncul keragaman bacaan dikalangan
qurra’ dari berbagai wilayah islam.

Tetapi menurut sudut pandang tradisional, varie lectiones terutama dalam kategori
mutawatir dan masyhur bersumber dari nabi sendiri. Gagasan ini dipijakkan pada sejumlah
hadis yang menegaskan bahwa al qur’an diwahyukan dalam tujuh ahruf ( ‫)على سبعة احرف‬,
yang terkenal dari berbagai hadist ini antara lain: riwayat dari Umar ibn Khattab dan Hisyam
ibn Hakim.

Sebagian sarjana muslim menjelaskan pengertian sab’ah ahruf dengan al abwab al


sab’ah (tujuh gerbang atau segi) yang dengannya al qur’an turun. Ketujuh ini bertalian
dengan perintah, larangan, janji, ancaman, perdebatan, kisah masyarakat terdahulu, dan
perumpamaan. Serta diberi kandungan lain yaitu perintah, larangan, halal, haram, muhkam,
mutasyabih, dan perumpamaan. Pemaknaan tujuh ahruf berikutnya adalah tujuh dialek
(lahjah) yang berbeda yaitu dialek Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan
Yaman. Sementara sarjana muslim lainnya memaknai tujuh ahruf merujuk kepada suatu
bilangan yang tidak tertentu banyaknya.

Upaya standarisasi teks Al Qur’an pada masa Usman, dalam kenyataannya,


juga mengarah kepada unifikasi bacaan al Qur’an. Pembacaan al Qur’an yang dipijakkan
pada teks tersebut tentunya akan meminimalkan keragaman. Tetapi, lantaran aksara yang
digunakan ketika itu untuk menyalin mushaf Usmani yakni scripto defectiva, belum
mencapai tingkatan yang sempurna, keragaman bacaan masih tetap mewarnai sejarah awal
kitab suci kaum Muslimin. Keragaman inijuga bisa dikaitkan dengan hafalan materi-materi
al-Qur’an lama yang ketika dilakukan standarisasi teks dan pemusnahan mushaf-mushaf non-
Utsmani tidak dapat dihilangkan begitu saja dari benak para qurra’ dan kemungkinannya baru
bisa dicapai setelah adanya pergantian atau alih generasi.

Upaya Usman dalam menciptakan keseragaman teks, dengan jalan standarisasi dan
pemusnahan mushaf-mushaf non-usmani, dilanjutkan oleh al Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi
(w.714). Informasi tentang introduksi penulisan tanda-tanda vocal kedalam teks al Qur’an,
yang biasanya dikaitkan dengan al Hajjaj, menyiratkan bahwa eksistensi teks konsonantal al
Qur’an dalam bentuk tertulis merupakan suatu kenyataan yang diatasnya dipijakkan upaya-
upaya penyeragaman bacaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya periwayatan al Qur’an,
seperti yang terlihat dalam qira’ah Hasan Al Basri, salah satu imam Qira’ah 14 yang sezaman
dengan al Hajjaj dilaporkan bahwa al Hajjaj telah berupaya memeras keluar qira’ah ibn
Mas’ud dari peredarannya dikalangan kaum Muslimin, serta mengirim satu eksemplar
mushaf al Qur’an ke Mesir. Pengiriman ini menjelaskan satu sisi bahwa Kuffah, yang ketika
itu di pegang oleh al Hajjaj sebagai Gubernurnya merupakan sentral dari qurra serta tanah air
al Qur’an beraksara Kufi, dan disisi lain juga menjelaskan bahwa di Mesir ketika itu belu,
terdapat Salinan orisinil Mushaf Usmani.

Pemusnahan seluruh bentuk teks non-Usmani, hingga taraf tertentu, tidak mungkin
menghilangkan seluruh tradisi pembacaannya. Hal ini menjadi kenyataan bahwa pembacaan
teks Usmani diakui memiliki karakter mengikat. Perhatian yang serius untuk menjaga
keotentikan al Qur’an kian di perjuangkan oleh al Hajjaj, seerti tercermin dari beberapa
tindakannya yaitu pemusnahan mushaf non-usmani, penyempurnaan ortografi al Qur’an,
pengiriman Salinan teks usmani keberbagai wilayah metropolitan islam, sampai kepada
upaya memeras qira’ah Ibn Mas’ud dari peredarannya dikalangan kaum muslimin pada
masanya.
Upaya standarisasi yang dilakukan Usman atau al Hajjaj, tidak berjalan mulus tanpa
rintangan. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh kedua sahabat terkemuka nabi Saw ( Ibn
Mas’ud dan Abu Musa al Asy’ari) terlihat tidak menyepakati kebijakan usman dan menolak
memusnahkan mushaf mereka, hal ini berkelanjutan hingga masa mendatang masih tetap
menjaga bacaan non-usmani. Bahkan hingga Abad ke-10, penulis Fihris, Ibn al Nadhim,
melaporkan bahwa ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Salinan-salinan mushaf dari Ibn
Mas’ud dan ubay bin Ka’ab.

Ketika Usman dan Al Hajjaj secara radikal mencabut akar pertikaian keragaman teks dan
bacaan al Qur’an, penentang-penentang standarisasi al Qur’an mulai melemah dan beralih ke
posisi yang toleran terhadap keragaman teks dan bacaan kitab suci tersebut. Hadis-hadis
tentang pewahyuan al Qur’an dalam tujuh huruf menjustifikasi posisi ini, diberitakan bahwa
nabi juga mengakui akan adanya keragaman bacaan tersebut.

Tujuh Qira’ah yang dihimpun Ibn Mujahid dalam rangka program unifikasi bacaan Al Qur’an
diupayakan oleh para wazir Dinasti Abbasiyah, Ibn Muqlah (w.940) dan Ibn isa (946).
Ketujuh sistem bacaan ini masing-masing memiliki 2 riwayat atau versi bacaan yang agak
berbeda dan diturunkan melalui jalan periwayatanyang memiliki sejumlah perbedaan,
diantaranya:

Qira’ah Tujuh dan Perawinya

No Wilayah Qari’ Rawi Pertama Rawi kedua


.
1. Madinah Nafi’ (w.785) Warsy (w.812) Qalun (w.835)
2. Makkah Ibn katsir (738) Al bazzi (w.864) Qunbul (w.864)
3. Damaskus Ibn Amir (w 736) Hisyam (w.859) Ibn Dzakwan (w.956)
4. Bashrah Abu Amr (w. 770) Ad Duri (w.860) As Tsusi (w. 874)
5’ Kuffah Ashim (w. 745/6) Hafs (w.796) Syu’bah (w.808)
6. Kuffah Hamzah (w. 772) Khalaf (w.843) Khalad (w. 835)
7. Kuffah Al Kisa’i (w 804) Ad Duri (w.796) Abu al harits (w. 854)
1

Kritik dan Saran:

Kritik: Sebenarnya penjelasan mengenai unifikasi Al Qur’an ini sudah bagus, tetapi sedikit
yang saya ketahui muncul keragaman bacaan al qur’an itu dimulai gugurnya para qurra pada

1
Taufik Akmal, 2011, Rekonstruksi Sejarah al Qur’an, (Jakarta:Divisi Muslim Demokratis)
saat perang Yamamah yang mengakibatkan ± 70 Qurra’ wafat. Hal itu membuat gundah
Khalifah Abu Bakar khawatir hilang atau musnahnya al qur’an, sehingga atas usulan Umar
agar membukukan Al Qur’an disetujui oleh Abu Bakar dengan pertimbangan yang matang,
karena hali itu tidak di perintahkan Nabi Saw. Kemudian dizaman Usman terbentuklah
beberapa mushaf yaitu Mushaf Al Makki, As Syami, Al Bashri, Al Kufi, Al Madani, Mushaf
al imam (Madinah). Nah, namun keterangan ini dirasa dijelaskan dalam buku tersebut dengan
berbelit-belit, dan terkadang membuat bingung memahami alur ceritanya.

Saran : Saya sangat mengapresiasi yang setinggi-tingginya atas hadirnya buku ini, termasuk
didalamnya membahas mengenai unifikasi Al Qur’an yang dirasa sangat penting untuk
dipahami oleh umat islam. Namun, Alur dari penjelasannya terlau rumit, karena sering
menggunakan kata yang terlalu ilmiah. Sarannya sederhanakan lagi diksi kata dan perbanyak
contoh atau sesuatu yang membuat pembaca terinspirasi.

Daftar Pustaka

Taufik Akmal, 2011, Rekonstruksi Sejarah al Qur’an, (Jakarta:Divisi Muslim Demokratis)

Anda mungkin juga menyukai