Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Antomi Mata


A. Dinding Mata

Terdapat tujuh tulang pembentuk dinding orbita yang membantu untuk


melindungi mata yaitu:1,2
1. Os. Frontale
2. Os ethmoidaie
3. Os lacrimale
4. Os palatinum
5. Os Maxilla
6. Os sphenoidale
7. Os zygomaticum

Gambar 1 Color diagram of bones of the right orbit.

(Sumber : Brar, V.S, 2019)

B. Jaringan Lunak Mata


Jaringan yang termasuk ke dalam jaringan lunak antara lain lemak,
otot, pembuluh darah, saraf, tendon, tulang, dan sendi.
Palpebra merupakan jaringan lunak yang menutupi lubang orbital
dan melindungi mata di bagian anterior orbit. Bagian palpebra yang dapat
dilihat dari luar adalah palpebra superior, palpebra inferior, kantus lateral,
kantus media, karunkula lakrimalis, plika semilunaris, pungtum lakrimalis,
dan fisura palpebra. Palpebra merupakan struktur dengan sembilan lapisan
kompleks secara anatomis. Struktur lapisan palpebra dari lapisan luar ke
dalam yaitu kulit, margo palpebra, jaringan ikat subkutan, muskulus
orbikularis okuli, septum orbita, otot levator palpebra superior, otot
Muller, tulang tarsal dan konjungtiva. Kulit palpebra adalah kulit yang
paling tipis pada tubuh. Komponen pada kulit palpebra adalah rambut
halus, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat.3(anatomi)

Gambar 2 Mata, Oculus, sisi kanan, dengan kelopak mata terbuka.

(Sumber : Paulsen & Waschke, 2013)

Sistem lakrimal terdiri dari sekresi kelenjar lakrimal, ekskresi pungtum,


kanalikuli, sakus, dan duktus nasolakrimalis. Kelenjar lakrimal menghasilkan
air mata yang berfungsi untuk tetap menjaga kelembaban bola mata. Produksi
air mata apabila ada benda asing yang masuk ke mata atau terdapat kerusakan
pada epitel kornea.3 (anatomi)
Gambar 3 Apparatus lacrimalis, sisi kanan

(Sumber : Paulsen & Waschke, 2013)

Otot-otot ekstraokular merupakan otot yang mengontrol gerakan bola


mata., terdapat 6 otot orbita yaitu 4 otot rectus dan 2 otot obliquus. Otot
rectus yaitu rectus superior, rectus inferior, rectus lateralis, dan rectus
medialis. Sedangkan otot obliq yaitu obliquus superior dan inferior. Dalam
persarafan otot tersebut, N oculomotor mempersarafi (rectus superior, rectus
inferior, rectus medialis, obliquus inferior) sedangkan N abdusen
mempersarafi rectus lateralis dan N trochlearis mempersarafi obliquus
superior.1(sobotta)

Gambar 4 Otot-otot ekstraokular

(Sumber : Paulsen & Waschke, 2013)


Periorbita (periosteum) yang menutupi di bagian dalam orbita. Semua
struktur orbita berada di dalam jaringan adiposa (Corpus adiposum orbitae).
Septum orbitale memperlihatkan jalan masuk ke orbita; suatu lapisan tipis
jaringan ikat yang mengelilingi bola mata. Terdapat celah sempit (Spatium
episclerale) yang memisahkan Vagina bulbi dan sklera bola mata.1

Gambar 5 Orbita, sisi kanan

(Sumber : Paulsen & Waschke, 2013)

2.2. Penyakit Graves


2.2.1. Definisi

Penyakit atau kelainan tiroid adalah kondisi abnormal seseorang yang


disebabkan penyakit tiroid, baik berupa perubahan bentuk maupun fungsi.
Kelainan tiroid ini merupakan penyakut endokrin paling umum kedua setelah
diabetes. Sekitar 300 juta orang di seluruh dunia melaporkan menderita penyakit
tiroid namun lebih dari separuh tidak mengetahuinya. Kelainan pada tiroid
merupakan suatu kondisi yang berhubungan dengan pengeluaran hormone tiroid
yang berlebihan dan dengan kekurangan hormon tiroid, serta lesi massa tiroid.
Terdapat dua kelainan utama dari kelenjar tiroid yang merupakan gangguan
autoimun adalah tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves.4

Penyakit Graves (GD) adalah gangguan autoimun organ tiroid yang ditandai
dengan hipertiroidisme karena adanya sirkulasi thyroid stimulating hormone
receptor (TSH-R) merangsang autoantibodi.5 Penyakit Graves (GD) adalah
penyebab paling umum dari hipertiroidisme di Negara maju, Umur yang paling
sering antara 30 dan 60 tahun dan lebih sering pada wanita. 6

2.2.2. Epidemiologi

Penyakit Graves dapat mempengaruhi siapa saja, namun lebih sering terjadi
pada wanita dengan antara umur 30 dan 60 tahun. Risiko Penyakit Graves adalah
3% pada wanita dan 0,5% pada pria. Sedangkan precalensi Ophthalmopathy
Graves adalah 16/100.000 kasus pada wanita dan 3/100.000 kasus pada pria, dan
usia kemunculannya antara 30 dan 60 tahun. Sebuah penelitian dari Minnesota
menunjukkan usia puncak pada pasien dengan usia 20-39 tahun.. Risiko Penyakit
Graves di Swedia adalah 1,7%, sekitar 5-6 kali lebih tinggi pada wanita daripada
pria dengan usia rata-rata 48 tahun.6

2.2.3. Manifestasi Klinis 7


2.2.3.1 Manifestasi Klinis Graves Hipertiroidisme7

Hipertiroid berefek pada sebagian besar organ yaitu :

a. Tiroid, terjadi pembesaran tiroid secara simetris.


b. Mata, terjadi penonjolan pada mata.
c. Kulit, kulit pasien terasa hangat ,tipis dan lembab , peningkatan
keringat, rambut rapuh, vitiligo, alopecia, miksedema pretibial.
d. Sistem Kardiovaskular, terjadi peningkatan curah jantung,
takikardi, dan palpitasi.
e. Saluran Pencernaan, terjadi peningkatan nafsu makan, penurunan
berat badan, sering buang air besar, diare.
f. Sistem Saraf, terjadi insomnia, mudah marah, tremor halus dan
gelisah.
g. Otot, terjadi kelemahan otot dan mudah lelah.
h. Tulang, terjadi peningkatan remodeling tulang sehingga memiliki
massa tulang yang berkurang.
i. Sistem Hematopoetik, terjadi leukopenia ringan
j. Sistem Reproduksi, pada wanita menyebabkan siklus menstruasi
menjadi kacau dan pada pria bisa menyebabkan ginekomastia,
penurunan jumlah sperma.

2.2.3.2 Manifestasi yang khas pada penyakit Graves7


Manifestasi yang khas pada penyakit Graves salah satunya adalah
Ophthalmopathy Graves. Ophthalmopathy Graves adalah gangguan
inflamasi pada mata yang berkaitan dengan penyakit Graves.

Gambar 6 Ophthalmopathy Graves

(Sumber: Marino et al, 2015)


2.2.4. Diagnosis

Untuk mendiagnosis pasien dengan penyakit Graves bisa dilakukan dengan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium .
a. Pemeriksaan Fisik 7
Pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan inspeksi dapat dilihat tanda-tanda mata
dari ophthalmopathy graves sering cepat terdeteksi dan terlihat pada penampilan
pasien, sering juga ditemukan gondok yang simetris, juga ditemukan tremor distal
halus yang khas mudah diamati, Pada pemeriksaan palpasi ditemukan kulit yang
lembab, hangat tipis dan halus. Pada. Pemeriksaan auskultasi menunjukkan
takikardia dengan suara jantung yang keras. Sehingga diagnosis penyakit Graves
mudah dibuat atas dasar klinis, sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Penyakit Graves pada awalnya penyakit yang menghasilkan gambaran
klinis yang ringan sulit untuk dikenali pada individu yang sehat. Dalam beberapa
kasus, kelenjar tiroid tidak membesar, ophthalmopathy yang tidak terdeteksi,
Sehingga dibutuhkan pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis penyakit
lebih akurat dan untu menyingkirkan diagnosis banding.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan TSH
Untuk mendiagnosis hipertiroidisme yang direkomendasikan
adalah uji TSH8. Thyroid stimulating hormon adalah jenis hormon
yang dihasilkan oeh hipofisis anterior dalam bentuk. Kadar TSH
serum pada mbeberapa saat setelah malam hari merupakan kadar
tertinggi dan pada sore hari merupakan kadar terendahnya. Kadar
paling tinggi bisa mencapai dua kali lipat dibandingkan yang
terendah. Beberapa kondisi bisa mempengaruhi TSH, yaitu pada
pengukurannya bisa mendapatkan nilai yang tidak sesuai antara kadar
TSH dengan gejala klinis dari pasien (lihat Tabel 3). Nilai normal
TSH yaitu 0,5 – 4,7 mU/L. 9

Keterangan: TSH= Thyroid Stimulating Hormone

Tabel 3 Kondisi yang menyebabkan kesalahan hasil uji TSH4


Kondisi Dampak
Penyakit akut Nilai rujukan TSH melebar antara 0,1 hingga 20 mU/L
Hipotiroidisme sentral Dikuasai bentuk abnormal, angka banding bioaktivitas yang tinggi, menyebabkan peningkatan
palsu
Antibodi heterofil Hasil meningkat palsu; hasil berbeda pada setiap pemeriksaan, tidak linear pada pengenceran

Autoantibodi Tidak dinetralkan oleh serum tikus, dihilangkan dengan pengendapan polietilen glikol
TSH
Keterangan: TSH= Thyroid Stimulating Hormone

Table 1 TSH= Thyroid Stimulating Hormone


2) Pemeriksaan T4 bebas
Temuan TSH rendah perlu dilengkapi dengan uji T4 bebas untuk
menilai tingkat keparahan tirotoksikosis. Hal ini juga memungkinkan
pemantauan kemanjuran pengobatan. Peningkatan T4 bebas berkaitan
dengan kadar TSH rendah menegaskan diagnosis hipertiroidisme.
Jika kadar T4 bebas normal, pemeriksaan harus diselesaikan dengan
uji T3 bebas pada kasus hipertiroidisme T3 yang jarang.8
Di sebagian besar laboratorium, pengukuran kadar tiroksin bebas
telah menggantikan kadar total hormon tiroid. Salah satu kendala
untuk mengukur hormon tiroid bebas adalah bahwa tidak ada cara
yang dapat diandalkan untuk mengukurnya sendiri. Banyak obat
mempengaruhi pengikatan hormon tiroid ke satu atau lebih protein
pengikat. Sebagian besar obat ini mempengaruhi dan dapat
menyebabkan kadar hormon tiroid bebas yang tidak normal. Nilai
normal dari FT4 yaitu 10,3–35 pmol/L.9

Gambar 7 TSH

(Sumber: Pellitteri, 2021)10

2.1. Ophthalmopathy Graves


a. Definisi

Ophthalmopathy Graves adalah penyakit Graves yang menyebabkan


kelainan pada mata serta bisa menyebabkan kebutaan. Ophthalmopathy Graves
paling sering pada pasien hipertiroidisme, namun juga bisa di dapat pada
pasien eutiroid, hipotiroid, dan kronik autoimun tiroiditis, sehingga sering juga
disebut sebagai “thyroid associated ophthalmopathy”, “dysthyroid
ophthalmopathy”, “thyroid orbitopathy” dan “thyroid eye disease”. Selain
menyebabkan penyakit pada mata kelainan ini bisa juga menyerang kulit
sehingga bisa disimpulkan penyakit ini merupakan suatu penyakit sistemik 11.

Ophthalmopathy Graves atau penyakit mata tiroid adalah gangguan autoimun


yang melibatkan jaringan orbital yang ditandai dengan peningkatan isi jaringan
orbital, karena perluasan jaringan fibroadiposa dan peningkatan volume otot
12
ekstraokular . Terdapat edema, akumulasi glikosaminoglikan dan kolagen,
serta adipogenesis menyebabkan sebagian besar pasien mengalami pembesaran
otot ekstraokular dan jaringan adiposa orbital pada beberapa pasien.
Ophthalmopathy Graves adalah manifestasi klinis ekstratiroid yang paling
umum dan paling penting dari penyakit Graves.13

b. Faktor Resiko

Ophthalmopathy Graves merupakan gambaran klinis dari interaksi


kompleks faktor risiko endogen (tidak dapat dimodifikasi) dan
eksogen/lingkungan (dapat dimodifikasi). Faktor endogen yaitu usia, jenis
kelamin, status fungsi tiroid, sedangkan faktor eksogen untuk
terjadinya/perkembangan Ophthalmopathy Graves yaitu riwayat merokok.
Masalah ini sangat penting, karena mengendalikan faktor resiko dapat secara
positif mempengaruhi perkembangan Ophthalmopathy Graves 14.

1. Usia
Sebagian besar pasien berusia 30-50 tahun, dengan kasus yang parah lebih
sering terjadi pada usia yang lebih tua dari 50 tahun 15. Dalam sebuah penelitian
di Taiwan, pasien yang lebih tua memiliki oftalmopati yang lebih parah,
terutama mereka yang berusia di atas 45 tahun. 16
Dalam sebuah penelitian di Italia, usia rata-rata tidak berbeda pada pasien
Graves tanpa Ophthalmopathy Graves dan pada mereka dengan
Ophthalmopathy Graves ringan (masing-masing 46 dan 44 tahun), tetapi secara
signifikan lebih tinggi pada pasien dengan Ophthalmopathy Graves sedang
hingga berat (54 tahun) 14. Demikian juga, dalam sebuah penelitian di Denmark
pasien dengan GO sedang hingga berat, usia rata-rata adalah 50 dan 56 tahun
sebelum dan sesudah iodisasi garam, dan risiko mengembangkan
Ophthalmopathy Graves sedang hingga berat lebih rendah pada pasien berusia
<40 tahun.17 Dengan demikian, usia merupakan faktor risiko yang
mempengaruhi keparahan Ophthalmopathy Graves, dan penyakit ini cenderung
lebih parah pada pasien yang lebih tua. Ophthalmopathy Graves yang secara
klinis pada masa kanak-kanak secara umum lebih jarang daripada pada orang
dewasa dan biasanya ringan. 14

2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga berperan dalam faktor risiko Ophthalmopathy Graves, Rasio
wanita-pria pasien dengan Ophthalmopathy Graves (berkisar dari 2:1 hingga 3:1)
lebih rendah dibandingkan dengan GD (berkisar dari 4:1 hingga 14:1) 16. Yonsei
University College of Medicine, Seoul, Korea melakukan penelitian mengenai
faktor risiko Ophthalmopathy Graves dimana wanita lebih dominan dibandingkan
dengan laki – laki dengan dengan ratio (3,9:1) 18.

Jenis kelamin juga mempengaruhi keparahan Ophthalmopathy Graves, rasio


wanita dibandingkan pria semakin menurun dengan meningkatnya keparahan
Ophthalmopathy Graves 14. Pasien wanita melebihi jumlah pasien pria dalam
penelitian ini, tetapi menunjukkan tingkat keparahan rata-rata yang lebih rendah.
Hal ini dapat dijelaskan oleh perbedaan dalam mencari bantuan antara jenis
kelamin. Pada asien wanita muda lebih kurang toleran terhadap perubahan
penampilan mereka atau ketidaknyamanan yang disebabkan oleh
Ophthalmopathy Graves; dengan demikian, mereka mungkin cenderung mencari
bantuan medis untuk kondisi yang lebih ringan, yang menghasilkan skor
keparahan yang lebih rendah. Pasien pria diketahui menderita penyakit yang lebih
parah Ophthalmopathy Graves dibandingkan pasien wanita. Dalam penelitian ini,
kami juga mencatat tren ini. Namun, pasien laki-laki juga lebih tua dari pasien
perempuan. 16
Dalam studi kohort dari 2045 pasien Graves, mendapatkan proporsi pasien
dengan Ophthalmopathy Graves ringan hampir sama pada wanita dan pria
(masing-masing 51,5 dan 52,7%), pasien dengan Ophthalmopathy Graves yang
lebih parah lebih sering laki-laki. pada penelitian di australia bisa disimpulkan
bahwa Ophthalmopathy Graves, seperti penyakit autoimun lainnya, lebih sering
17
terjadi pada wanita , namun Ophthalmopathy Graves cenderung relatif lebih
sering dan parah pada pria, yang terjadi pada usia yang lebih lanjut. 14

3. Status Fungsi Tiroid


Hipertiroidisme dan hipotiroidisme merupakan faktor risiko terjadinya
Ophthalmopathy Graves. Oleh karena itu, pemulihan eutiroidisme yang cepat
dan pemeliharaannya yang stabil, menghindari fluktuasi status tiroid merupakan
sangat tindakan pencegahan yang penting. Mekanisme dimana disfungsi tiroid
dapat mendukung terjadinya atau perkembangan GO terkait dengan aktivasi
reseptor TSH oleh TRAbs (hipertiroidisme) atau TSH (hipotiroidisme) 14.
Baik hipertiroidisme dan hipotiroidisme menyebabkan peningkatan risiko
pengembangan atau kerusakan GO. Untuk pasien dengan GO yang lebih parah
sedang memiliki disfungsi tiroid dibandingkan dengan pasien dengan GO yang
lebih ringan 19.

4. Riwayat Merokok
Riwayat merokok merupakan faktor risiko eksogen yang paling penting
untuk Ophthalmopathy Graves. Dampak negatif merokok pada Ophthalmopathy
Graves didasarkan pada bukti berikut 14:

i. Pasien Graves dengan Ophthalmopathy Graves lebih sering pada


perokok dibandingkan mereka yang tanpa Ophthalmopathy
Graves, atau pasien dengan gangguan tiroid lainnya, termasuk
tiroiditis autoimun kronis.
ii. Di antara pasien Graves, perokok memiliki risiko lebih tinggi
terkena Ophthalmopathy Graves daripada yang bukan perokok.
iii. Perokok dapat mengembangkan keparahan Ophthalmopathy
Graves.
iv. Respon terhadap pengobatan untuk Ophthalmopathy Graves
menurun dan terjadi kemudian pada perokok dibandingkan non-
perokok.
v. Perkembangan de novo atau progresi Ophthalmopathy Graves
setelah pengobatan Radio iodine sering terjadi pada perokok.
vi. Tidak merokok akan mengurangi risiko mengembangkan
eksoftalmus dan diplopia, yang menunjukkan tidak merokok
sangat penting dalam mengurangi faktor resiko daripada merokok.
Oleh karena itu, menahan diri dari merokok adalah tindakan pencegahan
yang mendasar, umum, dan sangat direkomendasikan oleh pedoman. Mekanisme
di mana merokok memberikan efek negatif pada Ophthalmopathy Graves tidak
sepenuhnya dipahami, tetapi mereka mungkin melibatkan pembentukan radikal
bebas oksigen, hipoksia di orbit, peningkatan produksi sitokin, stimulasi
adipogenesis) 14.

c. Klasifikasi
Sistem klasifikasi telah dibuat untuk mengevaluasi manifestasi klinis
Ophthalmopathy Graves. Pada tahun 1960, system klasifikasi dibuat oleh
Werner dengan singkatan NOSPECS yaitu no physical signs or symptoms
(tidak ada tanda maupun gejala), only signs (hanya ada tandan- tanda
Ophthalmopathy Graves), soft tissue involvement (adanya keterlibatan
jaringan lunak), proptosis, extraocular muscle signs (adanya keterlibatan otot
rektus bola mata), corneal involvement (keterlibatan kornea) and sight loss
(kehilangan penglihatan).
Klasifikasi ini cuma memprlihatkan gambaran klinis yang ditemui
pada Ophthalmopathy Graves, namun tidak menjelaskan tingkatan
keparahan dari penyakit Ophthalmopathy Graves, namun Werner
m e m b u a t modifikasi NOSPECS pada tahun 1977 .
Class Grade Indikasi grading
0 No physical signs or symptoms
I Only signs
Soft tissue involvement
0 Absent
II a Minimal
b Moderate
c Marked
Proptosis (3 mm or more of normal upper limits
with or without
symptoms)
0 Absent
III a 3 or 4 mm over upper normal
b 5 to 7 mm increase
c 8 mm increase
Extraoculer muscle involvement (usually with diplopia)
0 Absent
IV a Limitation of motion at extreme of gaze
b Evident restriction of motion
c Fixation of a globe or globes
Corneal Involvement (Primarily due to lagophthalmos)
0 Absent
V a Stippling of cornea
b Ulceration
c Clouding, necrosis and perforation
Sight loss (due to optic nerve involvement)
0 Absent
VI a Disc pallor or choking or visula field defect, vision 20/20-
20/60
B The same, but vision 20/70-20/200
C Blindness, vision less then 20/200
Table 2 Klasifikasi Modifikasi NOSPECS oleh Werner

Modifikasi dari NOSPECS, pengobatannya hanya berdasarkan pada


tingkatan keparahan suatu penyakit namun bukan pada tingkatan aktivitas
penyakitnya, sehingga progresi suatu penyakit tidak bisa diketahui. Pada
tahun 1989, Mouris dkk menciptakan suatu system klasifikasi yang bernama
CAS (Clinical Activity Score) dan system ini pada tahun 1997 mengalami
modifikasi. Pengobatan yang dilakukan dengan sistem klasifikasi CAS ada
dua, yaitu pada fase aktif dan pada fase stabil/tenang, modifikasi tersebut
lebih memudahkan dalam menentukan kapan dimulainya pengobatan dan juga
kapan diberhentikan serta monitoringnya.
Tabel 3 merupakan modifikasi CAS. Pada modifikasi ini ada sepuluh
poin dan pada setiap poinnya diberikan nilai 1. Klasifikasi ini dinilai pada
pasien setiap kali diperiksa. Pasien dalam fase aktif apabila pada pmeriksaan
7 poin awal didapatkan lebih dari 3, atau pada kesepuluh poinnya didapatkan
lebih dari 4 poin, pemeriksaannya harus dilakukan secara berturut-turut.

For initial CAS, only score items 1-7


1 Spontaneous orbital pain
2 Gazed evoked orbital pain
3 Eyelid swelling that is considered to be due to active GO
4 Eyelid erthyema that is considered to be due active GO
5 Conjunctival redness that is considered to be due to active GO
6 Chemosis
7 Inflamation of caruncle or plica Patients assessed after follow-up (1-3
months) can be scored out of 10 by including items 8-10
8 Increase of >2mm in proptosis
9 Decrease in uniocular excursion in any one direction of >8 degree
10 Decrease of acuity equivalent to 1 Snellen line

Table 3 Klasifikasi Clinical Activity Score (CAS)5

Untuk sekarang modifikasi CAS ini tidak terlalu bisa sebagai acuan
utama petunjuk untuk pengobatan Ophthalmopathy Graves, karena tidak
bias melihat gambaran tingkat keparahannya namun hanya memperlihatkan
ada atau tidaknya Ophthalmopathy Graves. Oleh karena itu muncul sistem
klasifikasi VISA (vision, inflamation, strabismus and appearance) dan
EUGOGO (European Group of Graves Ophthalmopathy). Sistem klasifikasi
keduanya diambil berdasarkan system yang lama yaitu NOSPECS dan CAS
sehingga kedua sistem klasifikasi tersebut bisa menilai f a s e aktif dan
keparahan Ophthalmopathy Graves. Klasifikasi tersebut tidak dapat dipakai
secara bersamaan ataupun bergantian, sehingga hanya salah satu klasifikasi
saja yang dipakai untuk penilaian awal serta pemeriksaan yang berikutnya.
Pada tahun 2006, Dolman dan Rootman menciptakan klasifikasi
VISA. Klasifikasi ini menilai ada empat parameter tingkat keparahan yaitu,
vision (Visus), inflamation (inflamasi dan kongesti jaringan lunak orbita),
strabismus (diplopia dan adanya restriksi otot rektus bola mata), serta
appearance (proptosis, retraksi kelopak mata, dan protrusi lemak).
Sistem menilai aktivitas dan tingkat keparahan. DalamSistem VISA,
tingkat keparahan global dengan maksimum 20 poin adalah jumlah dari 4
sistem yang dinilai secara independen. (penglihatan: 1 poin,
inflamasi/kongesti: 10 poin, strabismus: 6 poin, penampakan/paparan: 3 poin).
Pasien dengan indeks inflamasi <4 dari 10 ditangani secara konservatif,
sedangkan pasien dengan skor di atas 5 dari 10 dirawat dengan lebih agresif 20.
Sistem klasifikasi VISA (Vision, Inflammation, Strabismus, Appearance/
Exposure) dikembangkan untuk mencatat temuan dan memandu intervensi
terapeutik. 2021
Gambar 8 Form VISA
Bagian pertama dari form VISA yaitu ujuan utamanya adalah
menyingkirkan neuropati optik Ophthalmopathy Graves 21. Untuk menilai visus
yang mana dinilai adalah visus, test untuk warna, dan refleks pupil.
Pemeriksaan ini dilakukan pada semua pasien baik yg sudah mengalami
13
proptosis maupun belum proptosis. Apabila pada pemeriksaan ini pasien
didapatkan salah satu atau sekaligus, yaitu penurunan visus dan kelainan pada
nervus optikus maka skornya adalah 1 poin. 11

Bagian kedua untuk menilai inflamasi,di bagian ini ada tujuh hal yang
perlu diperiksa yaitu a. Jika ada edema karunkula maka diberi nilai 1 namun
jika tidak diberi nilai 0 , b. kemosis konjungtiva (nilai 0 jika tidak ada kemosis,
nilai 1 jika kemosis dibelakang garis abu-abu kelopak mata, nilai 2 jika
kemosis sudah melewati garis abu-abu kelopak mata), kemerahan pada
konjungtiva (nilai 0 jika tidak ada kemerahan pada konjungtiva,nilai 1 jika ada
kemerahan pada konjungtiva), edema kelopak mata (nilai 0 jika tidak ada
edema, niai 1 jika ada namun tidak ada jaringan yang mengalami redudansi,
nilai 2 jika ada dan ada jaringan yang menonjol ke palpebra mata), nyeri pada
retrobulbar dalam keadaan istirahat atau dalam keadaan melirik (nilai 0 jika
tidak ada nyeri, nilai 1 jika ada nyeri), dan yang terakhir adalah variasi harian
(nilai 0 jika tidak ada dan nilai 1 jika ada). Sepuluh poin merupakan nilai
maksimum yang bias didapatkan pada bagian ini. Pasien yang mendapatkan
nilai 4 dari 10 akan mendapatkan pengobatan yang moderat namun jika pasien
11,13
mendapatkan nilai 5 atau lebih maka akan pengobatan yang lebih agresif.
Bagian ketiga untuk menilai ada tidaknya strabismus dan restriksi otot
rektus bola mata. Yang diperiksa yaitu diplopia (nilai 0 jika tidak ada diplopia,
nilai 1 jika ada diplopia namun hanya pada saat melirik ke arah tertentu, nilai 2
jika diplopia intermiten, dan nilai 3 jika diplopia konstan). Satu lagi yang
dinilai adalah retriksi bola mataberdasarkan kisaran duksi (nilai 0 jika duksi
lebih dari 45 restriksi, nilai 1 jika duksi 30-45 restriksi, nilai 2 jika
duksi 15-30 restriksi dan nilai 3 jika duksi kurang dari 15 restriksi).
Enam poin merupakan nilai maksimum pada bagian ini. Pada penilaian ini
membantu dalam menentukan progresi dari Ophthalmopathy Graves dan jika
sudah fase stabil dan fase inaktif bisa untuk merencanakan perawatan bedah di
kemudian hari.
Bagian keempat yaitu penilaian penampilan (appearance) dari pasien
Ophthalmopathy Graves. Yang dinilai seperti mata menonjol, retraksi kelopak
mata, ada tidaknya kantung lemak, kekeringan, fotofobia dan bagaimana
kondisi segmen anterior. Jika sudah parah pada bagian segmen anterior bisa
ditemukan penipisan kornea, ulkus, dan terdapat risiko perforasi bola mata.
Pemeriksaan ini dinilai berdasarkan tingkat keparahannya (nilai 0 jika tidak
ada, nilai 1 jika ringan, nilai 2 jika sedang, nilai 3 jika berat). Tiga poin
merupakan nilai maksimum pada bagian ini.
Pada penilaian form ini ada di setiap bagian yang menanyakan
progresivitasnya, apakah kondisinya (masih sama yaitu s, lebih baik yaitu b,
atau memburuk yaitu w). Hal ini akan membantu, apakah kondisi pasien pada
saat fase aktif atau fase inaktif

d. Patogenesis
Timbulnya penyakit graves atau Graves Disease pada merupakan

toleransi imun terhadap tiroid, melalui proses multifaktorial autoimun, yang

melibatkan faktor endogen dan faktor lingkungan 22.

Pada penyakit Ophthalmopathy Graves patogenesis mendasar dari penyakit ini


adalah pembesaran jaringan lunak dan otot orbita. Beberapa peneliti memiliki
hipotesis bahwa antigen-antigen yang memengaruhi terjadinya hipertiroid juga
memengaruhi jaringan orbita, dikarenakan jaringan orbita ini memiliki
receptor antigen yang sama dengan tiroid Gambar 9. Reaksi autoimun yang
terjadi di jaringan lunak orbita menyebabkan terjadinya pelepasan fibroblas.11
Gambar 9 Patogenesis Penyakit Graves (GD) dan Penyakit Graves oftalmopati (GO)

(Sumber : Lacheta D, 2019)23

Banyak bukti telah menunjukkan bahwa fase aktif Graves Disease


ataupun Ophthalmopathy Graves, dikaitkan dengan prevalensi imun dari
respons imun Th1, sedangkan fase Graves Disease dan Ophthalmopathy
Graves yang tidak aktif lebih dikaitkan dengan peralihan dari Th1 ke Th2.
Genetik yang berkorelasi dengan risiko Graves Disease sekitar 70% dengan
efek yang diketahui, terlibat dalam fungsi sel T, menunjukkan pentingnya
limfosit T dalam patogenesis penyakit tiroid autoimun 24.
Pada Graves Disease, reaksi autoimun menyebabkan produksi
autoantibodi anti-TSH-R yaitu (TRAb) oleh klon sel B, yang menginfiltrasi
kelenjar. Menurut tindakan mereka pada TSH-R, antibodi TRAb dapat
diklasifikasikan sebagai: antibodi perangsang tiroid (TSAb); antibodi
penghambat tiroid (TBAb); antibodi netral. Antibodi TRAb terlibat dalam
patogenesis Graves Disease dan manifestasi ekstratiroidnya, yaitu
Ophthalmopathy Graves. Hipertiroidisme dikaitkan dengan TSAb. TSAb
menyebabkan efek hilir yang serupa dengan pengikatan TSH ke TSH-R,
seperti aktivasi adenilat siklase dan produksi berikutnya dari adenosin
monofosfat siklik (cAMP). Hal ini menyebabkan pertumbuhan tiroid, dan
sekresi hormon tiroid sehingga (T4 dan T3) menjadi meningkat. T4 dan
terutama T3 menghambat sekresi TSH dari hipofisis anterior melalui umpan
balik negatif, dan TSH ditekan pada hipertiroidisme Graves Disease. Peran
TBAb dan antibodi netral kurang dipahami dalam patofisiologi autoimun
tiroid. TBAb dapat mengikat subunit A dari TSH-R yang menghalangi aksi
TSH dan efeknya pada sel folikel, sementara antibodi netral mengikat
reseptor tanpa berdampak pada pembentukan cAMP atau pengikatan TSH
sehingga T3 dan T4 akan mengalami penurunan 24.

Gambar 10 Patogenesis Ophthalmopathy Graves

(Sumber: Krajewska-Węglewicz et al, 2018)

Ophthalmopathy Graves dipicu oleh pengikatan dan aktivasi fibroblas


orbita oleh autoantibodi yang disebut thyroid-stimulating antibody (TRab) yang
diarahkan melawan reseptor hormon perangsang tiroid (TSHR), yang sangat
diekspresikan dalam orbit. TRab dan Insulin-like Growth Factor1 (IGF-1)
peningkatan sekresi regulasi, IL-16 pada sel T yang meningkatkan akan
berpindah ke orbit. Sel T pembantu mengenali peptida TSHR yang terletak di
fibroblas orbital dan menyebabkan aktivasi dan ligasi TSHR oleh TRab. Proses
ini menginduksi aktivasi fibroblas, proliferasi, dan sekresi kemokin, sitokin
inflamasi, serta peningkatan asam hialuronat. produksi dan adipogenesis. Selain
itu, interaksi sel T dengan fibroblas orbita yang melibatkan reseptor sel T (TCR),
autoantigen, dan molekul major histocompatibility complex class II (MHC II)
serta pensinyalan CD40:CD154 mengaktifkan jalur p38, ERK 1/2, dan JNK,
menyebabkan peningkatan sekresi ICAM-1, NFkB, Il-6, Il-8, dan MCP-1, serta
produksi hyaluronan (HA), untuk mempertahankan peradangan dalam orbitnya.
Fibroblas orbita yang teraktivasi berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
adiposit dan miofibroblas. Adipogenesis juga diinduksi oleh IL-1β melalui
peningkatan siklooksigenase-2 (COX-2). IGF-1R, seperti TSHR, dapat
diaktifkan oleh TRab melalui jalur PI3K/ACT, upregulating peroksisom
proliferator-activated receptor-γ (PPAR-γ) ekspresi diferensiasi dan proliferasi
adiposit dan mempercepat adipogenesis. PDGF meningkatkan ekspresi TSHR
pada fibroblas orbital dan juga memainkan peran adipogenik. 25

Sirkulasi sel T pada pasien penyakit Graves secara langsung melawan


antigen pada sel-sel folikular tiroid. Pengenalan antigen ini pada fibroblast
tibial. Kemudian sel T akan menginvasi orbita. Interaksi antar CD4 T sel yang
teraktivasi dan fibroblast yang menghasilkan sitokin ke jaringan sekitarnya,
khususnya interferon- interleukin-1 dan TNF. Sitokin-sitokin ini kemudian
merangsang ekspresi dari protein-protein immu- nomodulatory (72 kd heat
shock protein molekul adhesi interseluler dan HLA-DR) di dalam fibroblas
orbital dan akan merespon autoimun pada jaringan ikat orbita. 26
Selanjutnya, sitokin-sitokin khusus seperti (interferon interleukin-1,
Transforming Growth Factor, dan insulin like growth factor 1) merangsang
produksi glycosaminoglikan oleh fibroblast kemudian merangsang proliferasi
dan fibroblast atau keduanya, yang menyebabkan terjadinya penumpukan
glycosaminoglikan dan edema pada jaringan ikat orbita. Peningkatan volume
jaringan ikat dan pengurangan pergerakan otot-otot ekstraokuler dihasilkan
dari stimulasi fibroblast untuk menimbulkan manifestasi klinis
Ophthalmopathy Graves. 26

Patogenesis penyakit ini dirangkum dalam tiga fenomena utama:

(1) peradangan jaringan lunak periorbital;


(2) kelebihan produksi glikosaminoglikan oleh fibroblas orbita;
(3) hiperplasia jaringan adiposa.
Karena stimulasi fibroblas orbita, fibroblas berproliferasi, menghasilkan kolagen
dan glikosaminoglikan dalam matriks ekstraseluler. Sehingga tekanan osmotik
yang sangat tinggi dari zat matriks ini membuatnya sangat hidrofilik. Akibatnya,
otot-otot ekstraokular membengkak secara dramatis dan terjadi pengurangan
pergerakan otot-otot mata yang berkurang 1326

e. Manifestasi Klinis
Beberapa manifestasi klinis Ophthalmopathy Graves disebabkan oleh
peningkatan volume jaringan lunak orbita yang menyebabkan tekanan yang lebih
tinggi di dalam rongga tulang yang tidak dapat mengembang. Edema periorbital
terutama kongestif dan mungkin mencerminkan penurunan drainase vena karena
kompresi di ruang orbital. Sebaliknya, perkembangan sel lemak baru
(adipogenesis) juga merupakan penyebab peningkatan volume jaringan orbita. 13
Dalam kebanyakan kasus, GO berkembang dengan hanya satu onset
inflamasi (fase aktif), yang diikuti oleh fase diam (fase tidak aktif). Pada fase
inaktif, edema otot yang berlangsung lama bersama dengan peningkatan
produksi kolagen akhirnya menyebabkan atrofi, fibrosis, dan sklerosis otot
ekstraokular dan selanjutnya menjadi strabismus restriktif. 13
Ophthalmopathy Graves dibagi menjadi 3 fase, dilihat dari aktif atau
tidaknya proses inflamasi yang sedang terjadi. Fase pertama yaitu fase aktif,
pada fase ini dapat dibrikan terapi dengan obat – obat anti inflamasi. Fase
kedua yaitu fase stabil dan fase ketiga yaitu fase inaktif, fase ini tidak lagi
diikuti dengan reaksi inflamasi namun masih terdapat fibrosis dan efek
sekunder yang persisten. Pada fase inaktif dapat dilakukan terapi yaitu
11
pembedahan . Dalam kebanyakan kasus, Ophthalmopathy Graves
berkembang dengan hanya satu onset inflamasi (fase aktif), yang diikuti oleh
fase diam (fase tidak aktif) 13.
Fase aktif dapat berlangsung selama berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun sebelum mengalami stabilisasi. Manifestasi klinis yang
terjadi di fase aktif adalah:
(1) proptosis atau eksoptalmus,
(2) Strabismus, terjadinya restriksi pada otot rektus terutama inferior
dan medial sehingga pada pemeriksaan akan tampak deviasi horizontal dan
atau deviasi vertikal.
(3) Kelainan segmen anterior mata. Kelainan pada permukaan okuler
mata ini sering tidak mendapatkan perhatian utama. Eksposur kornea,
instabilitas dari kualitas dan jumlah air mata, evaporasi air mata yang cepat
dan osmolaritas air mata tinggi timbul akibat kelopak mata yang tidak dapat
menutup secara sempurna.

Gambar 11 Penderita Grave’s ophthalmopathy

Gambar 12 Fat-centric thyroid eye disease.


Gambar 13 Muscle-centric thyroid eye disease.

Gambar 14 CT Scan correlation to clinical upper lid retraction

(Sumber: Dolman P, 2018)27

f. Tatalaksana

Pemberian terapi untuk pasien Ophthalmopathy Graves harus


disesuaikan dengan setiap kondisi pasien, apakah pasien sedang masa aktif atau
sudah masa inaktif atau tenang. Dalam merencanakan pemberian pengobatan
kepada pasien harus didasari dengan tingkat keparahan suatu penyakit, tetapi
ada yang perlu dilakukan untuk pengobatan bagi semua pasien Ophthalmopathy
Graves apapun tingkat keparahannya. 11

Mengembalikan fungsi tiroid menjadi normal atau eutiroid. Fungsi tiroid


yang tidak terkendali merupakan faktor risiko terjadi Ophthalmopathy Graves
dan juga faktor risiko akan memperburuk Ophthalmopathy Graves. Terapi yang
diberikan untuk mengembalikan fungsi tiroid menjadi normal antara lain dengan
memberikan obat-obat antitiroid, radioiodine (RAI), dan tiroidektomi.
Radioiodine tidak disarankan untuk diberikan pada fase aktif, karena dalam
waktu enam bulan setelah pemberian terapi radioiodine akan meperburuk
kondisi penderita, oleh karena itu disarankan pemberian oral kortikosteroid
(dalam waktu tiga bulan diberikan dosis 0.3-0.5 mg/kgBB dan di tapering off)
pada saat radioiodine dimulai. Bagi penderita yang Ophthalmopathy Graves
dalam fase inaktif dapat langsung diberikan radioiodine tanpa harus pemberian
kortikostroid, tapi harus diperhatikan agar pasien tifak mengalami hipotiroid
setelah pemberian radioiodine. Tiroidektomi juga bisa dilakukan untuk
mengembalikan fungsi tiroid menjadi normal atau eutiroid. Tiroidektomi lebih
efektif menurunkan risiko Ophthalmopathy Graves sebanyak 74% dibandingkan
radioiodine. 11

1. Tindakan konservatif
Penderita Ophthalmopathy Graves bisa disarankan untuk memakai tetes
air mata buatan pada saat pagi hari dan menggunakan gel pada saat malam
hari, hal ini berguna untuk melindungi dan mencegah terjadinya
kerusakan terhadap kornea akibat kelopak mata yang tidak bisa menutup
dengan sempurna. Posisi kepala pasien pada saat tidur lebih tinggi agar
dapat mengurangi bengkak pada kelopak mata yang timbul pada saat
bangun.11

2. Berhenti merokok
Penderita Ophthalmopathy Graves yang mempunyai riwayat merokok
atau masih aktif merokok mempunyai risiko Ophthalmopathy Graves
yang tingkat keparahannya severe dan progresi penyakitnya yang lebih
buruk. Diakibatkan oleh respons tubuh terhadap terapi imunosupresi lebih
buruk dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat merokok aktif
ataupun pasif.11

Ophthalmopathy Graves ringan


Pasien dengan Ophthalmopathy Graves ringan dan dengan gejala serupa dapat
sangat berbeda dalam tingkat penderitaannya. Terapi yang diberikan pada
pasien Ophthalmopathy Graves tipe ringan (mild) tidaklah terlalu banyak
ataupun terlalu agresif, karena pada tipe ini secara umum penyakit
Ophthalmopathy Graves adalah penyakit yang self limiting. Pemberian
imunosupresi dan kortikosteroid pada fase ini akan lebih banyak kerugiannya
apalbila dibandingkan dengan manfaatnya. Pada tipe ringan terapi dengan
antioksidan selenium oral (100mg, dua kali sehari) dapat membantu proses
pemulihan karena memiliki efek membantu autoimun. Selenium adalah
komponen penting dari peroksidase yang akan memberikan efek pada tubuh
untuk menetralkan radikal oksigen bebas, yang akan membetuk dalam
peradangan Saat tidur, kepala sedikit ditinggikan untuk membantu agar saat
bangun tidur kelopak mata tidak menjadi bengkak. Untuk retraksi kelopak mata
dapat dberikan injeksi dengan botulinum.11

Ophthalmopathy Graves sedang-berat

Sebaliknya untuk tipe Ophthalmopathy Graves sedang- berat


dibutuhkan terapi yang lebih agresif untuk menghentikan progresi penyakit.
Terapi imunosupresi yang dikombinasikan dengan radioterapi akan
memberikan hasil yang lebih baik apabila dibandingkan dengan
monoterapi. Kombinasi kortikosteroid oral dengan radioterapi memiliki
efek yang lebih lama dan lebih efektif untuk mengatasi retriksi otot,
diplopia, dan inflamasi penderita. 11

Glukokortikoid adalah pilihan pertama. Beberapa penelitian acak


telah menunjukkan bahwa aplikasi glukokortikoid iv lebih unggul daripada
pemberian oral dalam hal efek dan efek samping yaitu sebesar 70-80%
setelah pemberian intravena dan 50% setelah pemberian oral. Berdasarkan
data yang tepat dapat dilihat bahwa gejala peradangan setelah pemberian
intravena surut secara signifikan lebih cepat dan lebih efektif, tetapi kedua
bentuk terapi tidak berbeda secara signifikan sehubungan dengan cacat
yang tersisa. Radioterapi disarankan untuk kondisi restriksi gerak bola
mata, pemberian kortikosteroid sudah maksimun namun Ophthalmopathy
Graves belum terkontrol atau bila dinilai kortikosetroid saja tidak akan
memberikan hasil yang adekuat dibandingkan dengan kombinasi. 28

Terapi imunodulator yang lain dapat mengobati Ophthalmopathy


Graves dalam keadaan aktif yaitu:

Rituximab (RTX) adalah pengobatan lain yang diusulkan untuk


Ophthalmopathy Graves. Ini adalah mAb chimeric terhadap CD20, hadir
pada permukaan sel B. RTX menginduksi kematian sel B, dan untuk alasan
ini diindikasikan untuk mengobati gangguan yang disebabkan oleh limfosit
B yang tidak berfungsi, atau sel B yang terlalu aktif atau peningkatan kadar
limfosit B. Ritumax merupakan imunodulator yang efektif terapi adalah
terapi iv dengan rituximab. Selain banyak seri kasus yang diterbitkan, hasil
dari 2 penelitian acak sekarang tersedia yang memperumit situasi data yang
sebelumnya tidak ambigu: Dalam yang diterbitkan oleh Salvi et al. Studi
acak 2015 (rituximab vs. steroid iv) efek terapeutik yang dijelaskan sangat
mengesankan. Setelah aplikasi tunggal rituximab 500 mg, EO menjadi tidak
aktif pada 100% pasien (n = 15) dibandingkan dengan 69% pasien yang
menerima steroid iv (7,5 g). 24,28

Siklosporin A. Terapi kombinasi steroid dan siklosporin A


meghasilkan respon yang lebih baik dibandingkan hanya dengan terapi
steroid saja.28

Imunoglobulin iv dosis tinggi atau kortikosteroid (CS) mengurangi


peradangan dan kongesti orbital pada pasien dengan Ophthalmopathy
Graves aktif. Meskipun terapi ini menunjukkan efek yang sebanding
dengan steroid, biaya dan risiko menentang penggunaan imunoglobulin iv.28

Tindakan Bedah Ophthalmopathy Graves

Tindakan bedah dilakukan apabila penglihatan penderita terancam hilang


akibat DON, atau kerusakan hebat pada kornea akibat eksposur yang lama
(corneal breakdown). Pasien dalam keadaan ini sudah dilakukan pengobatan
dengan intravena kortikosteroid dosis tinggi dalam waktu dua minggu, namun
tidak menunjukkan adanya perbaikan, maka tindakan dekompresi disarankan
untuk dilakukan. Tindakan dekompresi dalam kasus ini untuk mengurangi
tekanan pada saraf mata dan agar kelopak mata dapat menutup sehingga
melindungi kornea dari kerusakan yang lebih lanjut.11

Sebagian besar prosedur pembedahan terjadi ketika Ophthalmopathy


Graves tidak aktif dan stabil setidaknya selama 6 bulan dan ketika pasien
memiliki eutiroidisme yang stabil. Pengecualian adalah situasi darurat EO yang
mengancam penglihatan dengan kompresi saraf optik atau kerusakan kornea
yang parah. Langkah pertama adalah dengan melakukan dekompresi jika
didapatkan eksopthalmus > 3mm.11,28

Langkah-langkah operasional harus dalam urutan berikut:


1. Bedah orbita,
2. Operasi otot mata dan
3. Operasi kelopak mata28
Kerangka Teori
Kerangka Konsep

Usia

Jenis Kelamin
Ophthalmopathy
Graves
Riwayat Merokok

Status Fungsi
Tiroid

Terapi
Radioiodine

Keterangan:

: Faktor risiko yang diteliti

: Faktor risiko yang tidak diteliti


1. F. paulsen JWa. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. 23rd ed. 2013.

2. Brar, V.S et al E, editor. Fundamentals and Principles of Ophthalmology.


San Fransisco : 2019 - 2020: American Academy of Ophtalmology;

3. Utami DK. Anatomi Adneksa Orbita. Dep ILMU Kesehat MATA Fak
Kedokt Univ PADJADJARAN Pus MATA Nas RUMAH SAKIT MATA
CICENDO BANDUNG. 2020;2017(1):1–9.

4. Crosby H, Pontoh V, Merung MA. Pola kelainan tiroid di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado periode Januari 2013 - Desember 2015. e-CliniC.
2016;4(1).

5. Antonelli A, Fallahi P, Elia G, Ragusa F, Paparo SR, Ruffilli I, et al.


Graves’ disease: Clinical manifestations, immune pathogenesis (cytokines
and chemokines) and therapy. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab.
2020;34(1):1–13.

6. Antonelli A, Ferrari SM, Ragusa F, Elia G, Paparo SR, Ruffilli I, et al.


Graves’ disease: Epidemiology, genetic and environmental risk factors and
viruses. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab. 2020;34(1).

7. Marino M, Vitti P, Chiovato L. Graves’ Disease [Internet]. Seventh Ed.


Vols. 2–2, Endocrinology: Adult and Pediatric. Elsevier; 2015. 1437-
1464.e8 p. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-18907-
1.00082-2

8. Goichot B, Leenhardt L, Massart C, Raverot V, Tramalloni J, Iraqi H.


Diagnostic procedure in suspected Graves’ disease. Ann Endocrinol (Paris)
[Internet]. 2018;79(6):608–17. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ando.2018.08.002

9. Kurniawan LB, Arif M. DIAGNOSIS TIROID (Diagnosis of Thyroid).


Indones J Clin Pathol Med Lab. 2018;21(3):304.

10. Pellitteri P, Ing S, Jameson B. Disorders of the Thyroid Gland- ClinicalKey


[Internet]. Seventh Edition. Cummings Otolaryngology. Elsevier Inc.;
2021. 1884–1900 p. Available from:
https://www.clinicalkey.com/#!/content/book/3-s2.0-
B9781455746965001226?scrollTo=%23hl0001254

11. Wastitiamurti RA. Patofisiologi, klasifikasi, dan tatalaksana pada grave’s


ophthalmopathy. FK Ukrida. 2018;13.

12. Bartalena L, Piantanida E. Cigarette smoking: Number one enemy for


Graves ophthalmopathy. Pol Arch Med Wewn. 2016;126(10):725–6.

13. Barrio-Barrio J, Sabater AL, Bonet-Farriol E, Velázquez-Villoria Á,


Galofré JC. Graves’ ophthalmopathy: VISA versus EUGOGO
classification, assessment, and management. J Ophthalmol. 2015;2015.

14. Bartalena L, Piantanida E, Gallo D, Lai A, Tanda ML. Epidemiology,


Natural History, Risk Factors, and Prevention of Graves’ Orbitopathy.
Front Endocrinol (Lausanne). 2020;11(November):1–10.

15. Edsel B Ing, MD, MPH, FRCSC, PhD M. Thyroid-Associated Orbitopathy.


2019;

16. Lin MC, Hsu FM, Bee YS, Ger LP. Age influences the severity of Grave’s
ophthalmopathy. Kaohsiung J Med Sci. 2008;24(6):283–8.

17. Laurberg P, Berman DC, Pedersen IB, Andersen S, Carlé A. Incidence and
clinical presentation of moderate to severe Graves’ orbitopathy in a Danish
population before and after iodine fortification of salt. J Clin Endocrinol
Metab. 2012;97(7):2325–32.

18. Woo KI n., Kim YD, Lee SY eu. Prevalence and risk factors for thyroid
eye disease among Korean dysthyroid patients. Korean J Ophthalmol.
2013;27(6):397–404.

19. Stan MN, Bahn RS. Risk factors for development or deterioration of
Graves’ ophthalmopathy. Thyroid. 2010;20(7):777–83.
20. Wang Y, Tooley AA, Mehta VJ, Garrity JA. Thyroid Orbitopathy Andrew
R . Harrison , MD Pradeep Mettu , MD. 2018;58(2):137–79.

21. Dolman PJ, Rootman J. VISA classification for graves orbitopathy.


Ophthal Plast Reconstr Surg. 2006;22(5):319–24.

22. Wémeau J louis, Klein M, Sadoul JL, Briet C, Vélayoudom-Céphise FL.


Graves’ disease: Introduction, epidemiology, endogenous and
environmental pathogenic factors. Ann Endocrinol (Paris) [Internet].
2018;79(6):599–607. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ando.2018.09.002

23. Lacheta D, Miśkiewicz P, Głuszko A, Nowicka G, Struga M, Kantor I, et


al. Immunological Aspects of Graves’ Ophthalmopathy. Biomed Res Int.
2019;2019.

24. Antonelli A, Fallahi P, Elia G, Ragusa F, Paparo SR, Ruffilli I, et al.


Graves’ disease: Clinical manifestations, immune pathogenesis (cytokines
and chemokines) and therapy. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab
[Internet]. 2020;34(1):101388. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.beem.2020.101388

25. Krajewska-Węglewicz L, Radomska-Leśniewska DM, Dorobek M,


Izdebska J, Iwan A, Hyc A, et al. Update on pathogenesis and immunology
of Graves’ ophthalmopathy. Cent Eur J Immunol. 2018;43(4):458–65.

26. Farida S, Sakti PT. Oftalmopati pada Penyakit Graves. J Kedokt.


2016;5(3):27–30.

27. Dolman PJ. Grading Severity and Activity in Thyroid Eye Disease. Ophthal
Plast Reconstr Surg. 2018;34(4S Suppl 1):S34–40.

28. Eckstein A, Dekowski D, Führer-Sakel D, Berchner-Pfannschmidt U, Esser


J. Graves’ ophthalmopathy. Ophthalmologe. 2016;113(4):349–66.

Anda mungkin juga menyukai