Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI


Menurut Aina (2016) menjelaskan bahwa pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan
pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari
dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis,
analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya
diri. Shoimin (2016) juga menambahkan bahwa pembelajaran inkuiri juga menekankan
kepada proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung.
Peran siswa dalam pembelajaran ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi
pelajaran, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar.
Pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada
proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu
masalah yang dipertanyakan..
Menurut Sanjaya (2015) pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran
yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan
menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Pembelajaran inkuiri
dibangun dengan asumsi bahwa sejak lahir manusia memiliki dorongan untuk menemukan
sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang keadaan alam di sekililingnya tersebut
merupakan kodrat sejak ia lahir ke dunia, melalui indra penglihatan, indra pendengaran, dan
indra-indra yang lainnya. Keingintahuan manusia terus menerus berkembang hingga dewasa
dengan menggunakan otak dan pikirannya. Pengetahuan yang dimilikinya akan menjadi
bermakna manakala didasari oleh keingintahuan tersebut. Tujuan utama pembelajaran inkuiri
adalah menolong siswa untuk dapat mengembangkan didisiplin intelektual dan keterampilan
berpikir dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas dasar
rasa ingin tahu mereka. Selain itu inkuiri dapat mengembangkan nilai dan sikap yang sangat
dibutuhkan agar siswa mampu berpikir ilmiah.
Selain itu Kurniawan (2010) juga mengungkapkan bahwa mengemukakan kondisi-kondisi
umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek
sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa
berdiskusi; (2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan

4
fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas
tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis.
Adapun ciri-ciri dari pembelajaran berbasis inkuiri menurut Aina (2016) dapat dijelaskan
sebagai berikut: Pertama, pembelajaran inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara
maksimal untuk mencari dan menemukan. Artinya, pada pembelajaran inkuiri menempatkan
siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan
sebagai penerima materi pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka
berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri. Kedua, seluruh
aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari
sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri
(self belief). Dengan demikian, pada pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai
satu-satunya sumber belajar,  tetapi lebih diposisikan sebagai fasilitator dan motivator belajar
siswa. Aktivitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui proses tanya jawab antara guru dan
siswa. Karena itu kemampuan guru dalam menggunakan teknik bertanya merupakan syarat
utama dalam melakukan inkuiri. Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas
mempunyai peranan sebagai konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus
dapat membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan
bagi kerja kelompok, Ketiga, tujuan dari pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan
kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau mengembangkan kemampuan
intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan demikian, dalam pembelajaran inkuiri
siswa tidak hanya dituntut untuk menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka
dapat menggunakan potensi yang dimilikinya. Manusia yang hanya menguasai pelajaran
belum tentu dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara optimal. Sebaliknya, siswa
akan dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya manakala ia bisa menguasai materi
pelajaran.
Jenis – Jenis Pembelajaran Inkuiri Sebagaimana yang di ungkapkan Sanjaya (2016)
dalam bukunya mengemukakan bahwa model pembelajaran inkuiri ini mempunyai tiga
macam cara yaitu : Pertama Inkuiri terpimpin ( Guide inquiry) yaitu peserta didik memperoleh
pedoman sesuai yang dibutuhkan. Pedoman – pedoman tersebut biasanya berupa
pertanyaan-pertanyaan yang membimbing. Dalam pelaksanaanya, sebagian besar
perencanaan dibuat oleh guru, peserta didik tidak merumuskan masalah. Petunjuk mengenai
cara penyusunan dan mencatat data dibuat oleh guru. Kedua Inkuiri bebas ( free inquiry) :

5
dalam hal ini peserta didik melakukan penelitian bebas sebagaimana seorang ilmuan,
metodenya adalah setiap peserta didik dilibatkan dalam kelompok tertentu, setiap kelompok
mempunyai tugas yang sesuai. Misalnya ada koordinator kelompok, pembimbing teknis,
pencatatan dan pengevaluasi data. Ketiga Inkuiri bebas yang dimodifikasi ( modified free
inquiry) pada pembelajaran inkuiri ini guru hanya sebagai pemberi masalah atau problem,
kemudian peserta didik diminta untuk memecahakan tersebut melalui pengamatan,
eksplorasi, dan prosedur penelitian.

B. TEORI-TEORI PENDUKUNG PEMBELAJARAN INKUIRI


Adapun teori-teori pendukung pembelajaran inkuiri menurut Sanjaya (2016), Kurniawan
(2016) serta Shoimin (2016) dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Teori Piaget Piaget
Mengemukakan bahwa perkembangan intelektual suatu organisme didasarkan pada dua
fungsi, yaitu fungsi organisasi dan adaptasi. Fungsi organisasi memberikan organisme
kemampuan untuk mensistematikkan atau mengorganisasikan proses-proses fisik atau
prosesproses psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan (struktur
kognitif). Di samping itu, semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan
diri atau beradaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi tersebut dilakukan melalui dua proses,
yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penggunaan struktur kognitif yang
elah ada, dan akomodasi adalah proses perubahan struktur koginitif. Dalam proses asimilasi,
orang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah
yang dihadapi dalam lingkungannya. Dalam proses akomodasi, orang melakukan modifikasi
struktur kognitif yang sudah ada untuk menanggapi respon terhadap masalah yang dihadapi
dalam lingkungannya. Adaptasi merupakan suatu keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Jika dalam proses asimilasi, seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi pada
lingkungannya maka akan terjadi ketidakseimbangan, yaitu ketidaksesuaian atau
ketidakcocokan antara pemahaman saat ini dengan pengalaman baru. Pertumbuhan
intelektual merupakan proses terus-menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan
keseimbangan (disequilibrium – equilibrium ). Tetapi bila terjadi keseimbangan kembali, maka
individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada sebelumnya.Teori Piaget
tersebut yang mendasari teori konstruktivistik. Menurut teori konstruktivistik, perkembangan
intelektual adalah suatu proses dimana anak secara aktif membangun pemahamannya dari

6
hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. Anak secara aktif membangun
pengetahuannya dengan terus menerus melakukan akomodasi dan asimilasi terhadap
informasi-informasi yang diterima.
Implikasi dari teori piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut : a. Memusatkan
perhatian pada proses berpikir anak, bukan sekadar hasilnya. b. Menekankan pada
pentingnya peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatannya secara aktif dalam
pembelajaran. Dalam pembelajaran di kelas, pengetahuan diberikan tanpa adanya tekanan,
melainkan anak didorong menemukan sendiri melalui preses interaksi dengan lingkungannya.
c. Memaklumi adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan sehingga
guru harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individu-
individu atau kelompokkelompok kecil. Berdasarkan teori Piaget, pembelajaran inkuiri cocok
bila diterapkan dalam kegiatan pembelajaran karena inkuiri menyandarkan pada dua sisi yang
sama pentingnya, yaitu sisi proses dan hasil belajar. Proses belajar diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan berpikir, sedangkan sisi hasil belajar diarahkan untuk
mengkontruksi pengetahuan dan penguasaan materi pelajaran baru. Selain itu, yang dinilai
dalam pembelajaran inkuiri adalah proses menemukan sendiri hal baru dan proses adaptasi
yang berkesinambungan secara tepat dan serasi antara hal baru dengan struktur kognitif yang
telah dimiliki siswa.
2. Teori Gestalt Teori Gestalt
Teori ini menekankan kepada proses-proses intelektual yang kompleks seperti bahasa,
pikiran, pemahaman, dan pemecahan masalah sebagai aspek utama dalam proses belajar16.
Menurut teori Gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight adalah
pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Belajar
terjadi karena kemampuan menangkap makna dan keterhubungan antara komponen yang
ada di lingkungannya. Prinsip penerapan teori ini adalah : a. Pembelajaran bukanlah
berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah
tersebut siswa dapat mempelajari fakta. b. Membelajarkan anak bukanlah hanya
mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. c.
Kegiatan belajar akan terjadi manakala dihadapkan pada suatu persoalan yang harus
dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi, siswa akan
mendapat insight yang sangat berguna untuk menghadapi setiap masalah.

7
Pengalaman merupakan suatu kejadian yang dapat memberikan arti dan makna
kehidupan setiap perilaku individu. Belajar adalah melakukan reorganisasi pengalaman-
pengalaman masa lalu yang secara terus menerus disempurnakan. Dengan demikian, proses
membelajarkan adalah proses memberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk
kehidupan anak. Inkuiri menyediakan siswa beraneka ragam pengalaman konkrit dan
pembelajaran aktif yang mendorong dan memberikan ruang dan peluang kepada siswa untuk
mengambil inisiatif dalam mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya.
Dengan demikian, menurut teori Gestalt, pembelajaran inkuiri sangat sesuai bila diterapkan
dalam kegiatan pembelajaran.

C. LANGKAH PELAKSANAAN PEMBELAJARAN INKUIRI


Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan model pembelajaran inkuiri menurut Aina
(2016) adalah sebagai berikut :
1. Orientasi
Pada langkah ini guru mengondisikan agar siswa siap melaksanakan proses
pembelajaran dengan cara merangsang dan mengajak siswa untuk berpikir
memecahkan masalah. Langkah orientasi merupakan langkah yang sangat penting,
karena keberhasilan pembelajaran inkuiri sangat tergantung pada kemauan siswa untuk
beraktivitas menggunakan kemampuannya dalam memecahkan masalah. Beberapah hal
yang dapat dilakukan dalam tahap orientasi adalah : a. Menjelaskan topik, tujuan, dan
hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa Menjelaskan pokok-pokok
kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan. Pada tahap ini
dijelaskan langkah-langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah, mulai dari langkah
merumuskan masalah sampai dengan merumuskan kesimpulan. c. Menjelaskan
pentingnya topic dan kegiatan belajar. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan
motivasi belajar siswa.
2. Merumuskan Masalah
Pada langkah ini guru membawa siswa pada suatu persoalan yang mengandung teka-
teki. Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang menantang siswa untuk berpikir
memecahkan teka-teki itu. Proses berpikir dan mencari jawaban teka-teki itulah yang
sangat penting dalam strategi inkuiri, oleh karena itu melalui proses tersebut siswa akan
memperoleh pengalaman yang sangat berharga sebagai upaya mengembangkan mental

8
melalui proses berpikir. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan
masalah adalah: a. Masalah hendaknya dirumuskan sendiri oleh siswa. Siswa akan
memiliki motivasi belajar yang tinggi manakala dilibatkan dalam merumuskan masalah
yang hendak dikaji. b. Masalah yang dikaji adalah masalah yang mengandung teka-teki
dan jawabannya pasti. c. Konsep-konsep dalam masalah adalah konsep-konsep yang
sudah diketahui terlebih dahulu oleh siswa. Artinya, sebelum masalah itu dikaji lebih jauh
melalui melalui proses inkuiri, guru perlu yakin terlebih dahulu bahwa siswa sudah
memiliki pemahaman tentang konsep-konsep yang ada dalam rumusan masalah.
3. Mengajukan Hoipotesis
Kemampuan atau potensi individu untuk berpikir pada dasarnya sudah dimiliki sejak
individu itu lahir. Potensi berpikir tersebut dimulai dari kemampuan setiap individu untuk
menebak atau mengira-ngira (berhipotesis) dari suatu permasalahan. Salah satu cara
yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan berhipotesis pada setiap
anak adalah dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa
untuk dapat merumuskan jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai
perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji.
4. Mengumpulkan data
Dalam pembelajaran inkuiri, mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat
penting dalam pengembangan intelektual. Proses pengumpulan data bukan hanya
memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga membutuhkan ketekunan
dan kemampuan menggunakan potensi berpikirnya. Oleh sebab itu, tugas dan peran
guru dalam tahapan ini adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
mendorong siswa untuk berpikir mencari informasi yang dibutuhkan.
5. Menguji Hipotesis
Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai
dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Yang
terpenting dalam menguji hipotesis adalah mencari tingkat keyakinan siswa atas jawaban
yang diberikan. Disamping itu, menguji hipotesis juga berarti mengembangkan
kemampuan berpikir rasional. Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya
berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh data yang ditemukan dan
dapat dipertanggungjawabkan.

9
6. Merumuskan Kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh
berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Kadang banyaknya jawaban yang diperoleh
menyebabkan kesimpulan yang diputuskan tidak fokus terhadap masalah yang hendak
dipecahkan. Karena itu, untuk mencapai kesimpulan yang akurat guru mampu
menunjukkan pada siswa data mana yang relevan.

D. GAMBARAN UMUM PEMAHAMAN MISTIS


Menurut Saputra (2015) secara etimologi, mistisisme berasal dari bahasa Yunani yaitu
Misterion dari akar kata Mytes yang mengandung arti orang yang mencari rahasia-rahasia
kenyataan, Myen yang berarti menutup mata atau dekat. Pengertian secara etimologi
terhadap istilah mistisisme pada awal kajian ini akan dapat menolong kita untuk memahami
arti mistisisme dalam kontek selanjutnya. Dalam pengalaman mistik kedua arti tersebut bisa
berlaku secara simultan sehingga dapat disebutkan bahwa untuk memperoleh pengalaman
mistik seseorang harus menutup pintu kesadarannya dari pengaruh dunia luar dan masuk
dalam dirinya sendiri sehingga ia menemukan dirinya berada dalam kesatuan dengan Tuhan.
Pengalaman mistik adalah sebuah sikap pikiran, sebuah kecenderungan jiwa manusia
yang selalu mencari dan berusaha untuk mendapatkan pengalaman yang berhubungan
langsung dengan Tuhan sehingga Tuhan tidak dapat menjadi objek, namun sudah menjadi
pengalaman.Mengamati dunia mistik atau mistisisme adalah suatu hal yang menyenangkan
karena ia menjanjikan suatu yang baru bagi siapa saja yang menjelajahinya. Selama ratusan
tahun dunia mistik secara luas telah menggerakkan minat para akademikus untuk
mengeksplorasi dan mengungkapkan fakta-fakta yang beragam tingkat dan kompetensinya.
Alasan yang mendorong mereka, antara lain:
Pertama, keinginan ekumenis atau alasan baik dan buruk, yaitu untuk menemukan
sesuatu yang umum di dalam kehidupan spiritual orang-orang yang beragama dengan
pembedaan yang tegas antara tipe-tipe organisasi, tradisi-tradisi keagamaan dan ortodoksi
dari agama-agama yang ada di dunia. Kedua, untuk menemukan sumber-sumber spiritual
yang universal yang dapat mengungkap makna bagi kehidupan kontemporer dalam
menghadapi krisis kebudayaan masyarakat modern. Sayangnya tidak ada suatu sejarah
tunggalpun yang dapat menjelaskan mistisisme karena sejumlah tradisi agama-agama besar
sudah terpisah satu sama lain bahkan tidak ada satu cara pun untuk mengetahui asal-usul

10
mistisisme yang sebenarnya. Dalam konsep mistisisme, Tuhan bukan lagi menjadi objek
melainkan sudah menjadi pengalaman. Tujuan para mistikus dengan demikian adalah untuk
mengukuhkan sebuah relasi kesadaran dengan yang absolut di mana sebuah cinta yang
teramat pribadi diketemukan. Mereka mencoba menyadari bahwa kehadiran Tuhan dengan
makhluk, dengan memasuki sebuah hubungan pribadi dengan Tuhan adalah sumber segala
kehidupan. Jika agama umumnya membuat jarak dengan Tuhan, mistisisme mengajak untuk
menyatu secara intim dengan Tuhan, dengan cara memasukkan Tuhan ke dalam jiwa dan
membuang segala bentuk individualitas. Perasaan, pikiran dan tindakan, semua lebur dalam
dirinya.
Menurut Anwar (2013) membicarakan mistisisme berarti membicarakan suatu misteri
besar yang tersembunyi, yang rahasia, suatu praduga awal, dan dari luar tidak dapat dicapai
seseorang. Kata-kata seperti “batin” dalam bahasa Arab telah menjadi kata misteri yang
membuat orang berfikir apakah ia berhubungan dengan apa yang disebut mistisisme di Barat.
Kata batin diterjemahkan secara harfiah menjadi inner (sisi dalam) yang merupakan lawan
outer (sisi luar). Sisi dalam adalah sesuatu yang tidak termasuk ghaib. Dengan kata lain, yang
kita sebut mistikus adalah seseorang ynag mencari sesuatu yang tidak tampak. Mistik pada
dasarnya adalah suatu pengalaman keagamaan yang dapat bersifat introvertive
(kecenderungan seseorang yang lebih menekankan pada aspek batiniah) maupun
ekstrovertive (kecenderungan seseorang yang lebih menekankan pada aspek lahiriah).
Pengalaman itu tidak berhubungan dengan waktu, ada hubungan dengan sesuatu yang
transenden, menimbulkan rasa ketenangan dan kebahagiaan dan biasanya diikuti
kemampuan menguasai diri sendiri. Pengalaman mistik merupakan pengalaman keagamaan
dalam arti yang lebih luas dan lebih dalam dari sekadar “beragama”. Ia merupakan sebuah
pengertian yang mengacu pada suatu totalitas sesuatu, sesuatu yang menundukkan manusia
pada tempat yang penting sepanjang tempat dan waktu, dan sesuatu yang menjadi tempat
bergantungnya keselamatan seseorang. Lebih khusus lagi, pengalaman mistik bukanlah sikap
untuk menerima informasi teologis ataupun informasi keagamaan, melainkan lebih sering
menjadi lawan atau bertentangan dengan tradisi keagamaan yang lazim dianut. Meskipun
demikian, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memberikan sebuah pengertian definitif
pada pengalaman mistik. Hal ini dikarenakan oleh dua hal. Pertama, para mistikus seringkali
menggambarkan pengalaman-pengalaman mereka dalam terminologi doktriner yang
dianggap benar. Dan tak satupun doktrin-doktrin itu yang berkenaan dengan kemistikan.

11
Apapun definisi yang diberikan, yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa pengalaman
mistik sebagai salah satu bentuk pengalaman keagamaan tidak bisa dilepaskan dari dimensi
keagamaan yang lain seperti ritus, mitos, doktrin, etika dan sosial. Semua definisi yang
diberikan di atas, pengalaman mistik dapat dibedakan dalam beberapa aspek, yaitu aspek
pengalaman itu sendiri, aspek jalan, cara, sistem atau teknik-teknik kontemplasi yang terkait
dengan pengalaman itu, dan aspek ajaran yang muncul atau lahir dari mistikus atau yang
dipengaruhi olehnya. Dari berbagai macam pendapat tentang definisi serta keadaan
psikologis yang menyertai pengalaman mistik tersebut di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa pengalaman mistik adalah suatu bentuk pengalaman spiritual, yaitu
pengalaman langsung bertemunya diri dengan zat Yang Maha Lebih, yang dilingkupi berbagai
macam kondisi yang mistikus, mulai dari rasa senang, takut dan sebagainya, sehingga dapat
mempengaruhi pola hidup sang mistikus.
Asumsi-asumsi di atas membuat pengalaman mistik menjadi pokok bahasan yang
seharusnya tidak diabaikan oleh ahli psikologi agama, ini karena obyek kajian psikologi
pertama kali adalah aspek pengalaman dari perilakuperilaku manusia dan efeknya terhadap
perubahan-perubahan perilaku tersebut. Bagaimanapun subjektifnya sebuah pengalaman
mistik, tidak bisa dipungkiri bahwa usaha-usaha psikolog untuk mencari makna
pengalamanpengalaman tersebut telah membuat psikologi berkembang pesat. Mencermati
kuat sifat subjektifitas dalam pengalaman-pengalaman mistik dari berbagai biografi tokoh
dalam penelitiannya terdapat kesamaan antara jalan mistik yang dilakukan oleh para tokoh,
yaitu adanya sistem aturan perilaku yang disebut asketik. Ciri aturan perilaku ini adalah
bahwa aturanaturan perilaku ini memerlukan pembiasaan penolakan untuk melakukan
tindakan-tindakan instinktif dan pembiasaan untuk melakukan perbuatanperbuatan yang
menyakitkan (mortifikasi). Tujuannya adalah pengekangan perilaku dan membuat kondisi
distansi terhadap kesenangan-kesenangan duniawi serta kecenderungan-kecenderungan
jasmaniah yang menghalangi pencapaian kemurnian spiritual.

12

Anda mungkin juga menyukai