Anda di halaman 1dari 47

Pertemuan Ke-6

Rukun Iman

Imam Ibnul Qayyim rohimahulloh menuturkan, “Hasil usaha jiwa dan qolbu (hati) yang
terbaik dan penyebab seorang hamba mendapatkan ketinggian di dunia dan akherat adalah ilmu
dan iman. Oleh karena itu Alloh Ta‟ala menggabung keduanya dalam firmanNya,

                

    

“Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang
yang kafir): “Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Alloh, sampai
hari berbangki, Maka Inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya).”
(QS ar-Ruum: 56)

Dan firman Alloh Ta‟aa,

              …

“Niscaya Alloh akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Alloh Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS al-Mujaadilah: 11).

A. Iman
1. Pengertian
Bahasa : “tashdîq” (membenarkan); thuma‟nînah (ketentraman); dan iqror (pengakuan).
Termonologi : membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan
mengamalkan dengan tindakan (perbuatan)

Iman adalah iqror (pengakuan), tidak semata-mata tashdîq (membenarkan). Dan iqror
(pengakuan) itu mencakup perkataan hati, yaitu tashdîq (membenarkan), dan perbuatan
hati, yaitu inqiyâd (ketundukan hati)

Membenarkan dalam hati artinya meyakini secara penuh, menerima segala kabar yang
datang dari al-Quran dan as-Sunnah yang shohih.. Mengucapkan secara lisan maksudnya
mengikrarkan dua kalimat syahadah Sedangkan mengamalkannya dalam perbuatan
maksudnya adalah hati mengamalkan dengan bentuk keyakinan, lisan mengamalkan
dalam bentuk ucapan-ucapan, serta anggota badan lainnya melaksanakan bentuk-bentuk
ibadah baik berupa perintah maupun menjauhi larangan-larangan.

2. Hakikat Iman

Ahlus Sunnah wal Jamaah berpemahaman bahwa iman adalah ucapan dengan lisan,
keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan. Sebagian mereka ada pula
yang mendefinisikan iman dengan „ucapan dan amalan‟ atau „ucapan, amalan, dan niat‟
namun semua pengertian tentang iman ini tidaklah saling bertentangan.

Ibnu Taimiyyah rohimahullohu berkata: “Mereka (para salaf dan imam-imam As-Sunnah)
terkadang mengatakan bahwa iman adalah „ucapan dan amalan‟ atau iman adalah
„ucapan, amalan, dan niat‟, terkadang juga mengatakan bahwa iman adalah „ucapan,
amalan, niat, dan mengikuti As-Sunnah‟, tapi adakalanya mengatakan bahwa iman itu
„ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan‟, dan
semua makna iman di atas adalah benar adanya.” Beliau melanjutkan: “Sesungguhnya

1
yang mengatakan bahwa iman adalah „ucapan dan amalan‟, maka yang dimaksud adalah
ucapan hati dan lisan kemudian amalan hati dan anggota badan. Adapun yang
menambahnya dengan kata „i‟tiqod (keyakinan)‟ adalah karena memandang bahwa
ucapan itu tidak dapat dipahami darinya kecuali ucapan zhohir (lisan) atau khawatir akan
dipahami seperti itu, maka ditambahlah kata i‟tiqod dalam hati.

Sementara yang menyatakan iman sebagai „ucapan, amalan, dan niat‟, dikarenakan suatu
amalan tidaklah dapat dikatakan sebagai amalan kecuali dengan adanya niat. Karena itu
ditambahlah kata niat padanya. Kemudian yang menambahkan kata „mengikuti As-
Sunnah‟ ke dalam makna iman, karena hal tersebut tidaklah dicintai oleh Alloh  kecuali
dengan mengikuti As-Sunnah.”.

Iman jika disebutkan secara mutlak dalam kalam Alloh  dan Rosul-Nya, maka akan
mencakup penunaian atas hal-hal yang diwajibkan dan meninggalkan perkara-perkara
yang haram. Alloh  berfirman:

                

           

 

“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rosululloh. Kalau ia menuruti
(kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat
kesusahan. Tetapi Alloh menjadikan kamu cinta kapada keimanan dan menjadikan iman
itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan
kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” ( QS. Al-
Hujurot: 7) Alloh  berfirman:

             

     

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Alloh dan
Rosul-Nya agar Rosul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan „kami
mendengar dan kami patuh‟. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-
Nur: 51)

Dari sini nampak jelas adanya keterkaitan yang kuat antara iman dengan amal. Karena itu
di dalam Al-Qur`an, Alloh  banyak menguraikan persoalan ini. Di antaranya Alloh 
berfirman:

             

  

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah orang-orang


yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan
bertasbih memuji Rabbnya, sedang mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. As-Sajdah:
15)

2
          

        

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada


Alloh dan Rosul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan
harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS.
Al-Hujurot: 15)

Alloh  juga berfirman:

            

           

     

“Orang-orang yang beriman kepada Alloh dan hari kemudian, tidak akan meminta izin
kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Alloh
mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin
kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari kemudian,
dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.” (QS.
At-Taubah: 44-45).

Ahlus Sunnah wal Jama'ah meyakini bahwa iman yang diserukan Alloh  kepada hamba-
Nya adalah Islam yang Alloh  jadikan sebagai dien-Nya. Ini menunjukkan adanya
keterkaitan pula antara iman dengan Islam. Al-Imam Az-Zuhri rohimahullohu dan yang
lainnya dari kalangan Ahlus Sunnah mengatakan: “Amal masuk dalam kategori iman,
sedangkan Islam adalah bagian dari iman.” (Majmu‟ul Fatawa, 7/254)

3. Iman, Islam, dan Perbuatan (amal)

Iman, Islam, dan amal sholih seringkali penyebutannya dibarengkan dalam Kitabulloh
dan Sunnah Rosululloh . Terkadang iman juga disatukan penyebutannya dengan orang-
orang yang berilmu. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang-orang yang berilmu masuk
dalam jajaran orang-orang yang beriman. Alloh  berfirman:

        

       

           

 

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang
mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu‟,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-
laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang

3
banyak menyebut nama Alloh, Alloh telah menyediakan bagi mereka ampunan dan
pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)

Alloh  berfirman:

              

“Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu.
Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang
berserah diri (muslimin).” (QS. Adz- Dzariyat: 35-36)

Nabi  bersabda: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak
diibadahi kecuali Alloh dan Muhammad adalah utusan Alloh, mendirikan sholat,
menunaikan zakat, berpuasa Romadhon, dan haji ke Baitulloh jika engkau telah memiliki
kemampuan untuk itu.” Beliau bersabda lagi: “Iman adalah engkau beriman kepada
Alloh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, dan hari akhir serta
beriman kepada qodar (taqdir) yang baik dan buruknya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan
lainnya dari shahabat Abu Huroiroh rodhiyallohu „anhu)

Alloh  berfirman:

        ِ‫إ‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih, mereka itu
adalah sebaik-baik makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 7)

               

     

“Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-
orang yang kafir): „Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan
Alloh, sampai hari berbangkit, maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu
tidak meyakininya‟.” (QS. Ar-Rum: 56)

Dan Alloh  berfirman:

               …

"… dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal" (QS. Ali „Imron: 7)

             

“…Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang


mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur`an) dan
apa yang telah diturunkan sebelummu….” (QS. An-Nisa`: 162)

4
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullohu berkata: “Ketika kata iman dan Islam
menyatu penyebutannya maka Islam adalah amalan-amalan yang dzohir seperti dua
kalimat syahadat, sholat, zakat, dan shoum serta haji dan yang lainnya. Sedangkan iman
adalah apa yang ada dalam hati seperti beriman kepada Alloh , malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, dan hari akhir serta yang lainnya.” (Majmu‟ul Fatawa,
7/14)

Adakalanya kata iman disebutkan tersendiri tanpa dibarengi kata Islam, amal sholih,
maupun kata-kata lainnya. Dalam keadaan ini maka secara otomatis telah masuk ke
dalamnya Islam dan amal sholih. Nabi  : “Iman itu ada 63 atau 73 cabang. Yang paling
afdhal adalah ucapan Laa ilaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan. Dan malu adalah cabang dari iman.” (HR. Muslim, Al-Bukhari
serta yang lainnya dari Abu Huroiroh rodhiyallohu „anhu) Seluruh hadits yang
menyebutkan amalan-amalan yang baik sebagai bagian dari iman menunjukkan akan hal
ini.

4. Perbedaan Iman dan Islam.

Islam adalah dien. Dan kata “dien” merupakan bentuk mashdar (kata kerja yang
dibendakan) dari asal kata ُٓ‫ْد‬٠ ِِ ‫َد‬٠ – َْ‫ دَا‬yang bermakna tunduk dan merendah. Dien Islam
yang Alloh  ridhoi dan utus dengannya para Rosul adalah penyerahan diri hanya kepada-
Nya saja. Maka landasannya di dalam hati ialah ketundukan kepada Alloh  dengan
beribadah hanya kepada-Nya saja, tanpa kepada yang lain. Barangsiapa menyembah-Nya
dan menyembah ilah (sesembahan) yang lain, tidaklah menjadi seorang muslim. Dan
barangsiapa enggan menyembah-Nya bahkan menyombongkan diri dari beribadah
kepada-Nya, maka tidaklah menjadi seorang muslim. Intinya, Islam adalah berserah diri
kepada Alloh  , tunduk kepada-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya. Kemudian, pada
prinsipnya, Islam adalah bagian dari bab amalan yakni amalan hati dan anggota badan.

Adapun iman landasannya adalah tashdiq (pembenaran), iqror (pengakuan), dan


ma‟rifat (pengenalan/pengetahuan). Iman adalah bagian dari ucapan hati, yang mencakup
amalan hati dan landasannya adalah tashdiq. Sedangkan amal adalah perkara yang
mengikutinya. Oleh sebab itu Nabi  menafsirkan kata „iman‟ dengan keimanan hati dan
ketundukannya, yakni beriman kepada Alloh  , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
dan rosul-rosul-Nya. Sedangkan kata „Islam‟ Nabi  ditafsirkan dengan
penyerahan/penerimaan (istislam) yang khusus yakni terhadap bangunan-bangunannya
(mabani) yang lima. Demikianlah dalam seluruh pernyataan beliau  ketika menafsirkan
iman dengan itu dan Islam dengan ini. (Ibnu Taimiyyah rohimahullohu, seperti dalam
Majmu‟ Fatawa, 7/178)

5. Iman Bertambah dan Berkurang

Pemahaman tentang iman bertambah dan berkurang adalah pemahaman Ahlus Sunnah
Wal Jama'ah secara utuh. Bahkan Al-Imam Ibnu Abdil Bar rohimahullohu menegaskan
bahwa ahli hadits dan fiqih telah sepakat menetapkan bahwa iman adalah ucapan dan
amalan, tidak ada amalan kecuali dengan niat, dan bahwa iman itu bertambah dan
berkurang. (At-Tamhid 9/238, melalui nukilan dari Taisirul Wushul Syarh Tsalatsatil
Ushul hal. 77)

Al-Imam Al-Barbahari rohimahullohu dalam Syarhus Sunnah (hal. 132) mengatakan:


“Barangsiapa berkata bahwa iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang,
maka ia telah terbebas dari keyakinan irja` (Murji`ah) secara menyeluruh.”
Dalil-dalil yang menerangkan bertambah dan berkurangnya iman sangatlah banyak baik
dari Al-Qur`an, As-Sunnah, ataupun ucapan para salaf. Alloh  berfirman:

5
             

      

" Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan
kepunyaan Alloh-lah tentara langit dan bumi dan adalah Alloh Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana, (QS. Al-Fath: 4)

              

"…        

“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat dan orang kafir,
supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman
bertambah imannya….” (QS. Al-Muddatstsir: 31)

Alloh  juga berfirman:

        

“Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka
merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124)

             ‫إ‬

   

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama
Alloh gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kapada Rabb-nyalah mereka bertawakal.”
(QS. Al-Anfal: 2)

             

     

“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu,


mereka berkata: „Inilah yang dijanjikan Alloh dan Rosul-Nya kepada kita. Dan benarlah
Alloh dan Roasul-Nya.‟ Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka
kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al-Ahzab: 22)

Nabi  bersabda: “Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya ia ubah
dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka
dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim dari Abu Sa‟id Al-
Khudri rodhiyallohu „anhu)

6
Dari „Umair bin Habib, berkata: “Iman itu bertambah dan berkurang.” Ia ditanya: “Apa
tanda bertambah dan berkurangnya?” Beliau menjawab: “Jika kita ingat Alloh, lalu
memuji dan menyucikan-Nya, maka itulah bertambahnya. Dan bila kita lalai, melupakan
dan tidak menghiraukan-Nya, maka itulah tanda berkurangnya.” (Atsar ini diriwayatkan
oleh Al-Imam Abu „Utsman Ash-Shobuni rohimahullohu dalam „Aqidatus Salaf Ashabil
Hadits hal. 266)

6. Rukun dan Cabang-Cabang Iman

َُّْٛ‫ ِطز‬َٚ ‫ْ ثِضْ ٌع‬َٚ‫َْ أ‬ُٛ‫ َط ْجع‬َٚ ‫بْ ثِضْ ٌع‬ ُ َّ ٠‫اإل‬
ِ « -ٍُ‫ط‬ٚ ٗ١ٍ‫ َّللا ع‬ٍٝ‫ؿ‬- ِ‫َّللا‬ ‫ ُي ه‬ُٛ‫بي َرط‬ َ َ‫ َْزحَ ل‬٠‫ ُ٘ َز‬ِٝ‫ع َْٓ أَث‬
َ َ‫بي ل‬
ِ َِِٓ ٌ‫َب ُء ُػ ْعجَخ‬١‫ ْاٌ َح‬َٚ ‫ك‬٠
ِْ ‫ َّب‬٠‫اإل‬ ِ ‫ َع ِٓ اٌطه ِز‬ٜ‫أَ ْدَٔبَ٘ب إِ َِبطَخُ األَ َذ‬َٚ ُ‫َّللا‬
‫ْ ُي الَ إٌََِٗ إِال ه ه‬َٛ‫َب ل‬ٍُٙ‫ض‬َ ‫ُػ ْعجَخً ـَأ َ ْـ‬

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu „anhu ia berkata: Rosululloh  bersabda, “Iman itu ada
tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan „Laa ilaaha
illalloh‟, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang
mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhori dan
Muslim)

 Kata “bidh‟” (lebih) di sini adalah bilangan antara tiga sampai Sembilan sebagaimana
yang dikuatkan oleh Al Qozzaz.

Kalimat “ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih,” adalah syak atau keraguan dari
perowi dalam riwayat Muslim dari jalan Suhail bin Abi Sholih dari Abdulloh bin Dinar.
Para pemilik sunan yang tiga meriwayatkan dari jalan yang sama, dimana mereka
menyebutkannya dengan tanpa ragu, yaitu tujuh puluh cabang lebih. Namun Imam
Baihaqi lebih menguatkan riwayat Imam Bukhori (enam puluh cabang), karena Sulaiman
(salah satu rawinya) tidak ragu-ragu. Demikian pula Ibnu Sholah, ia menguatkan jumlah
yang paling sedikit, karena itulah yang yakin.

 Kata “cabang” maksudnya bagian atau perkara.

Al Qodhiy „Iyadh berkata, “Jamaah para ulama membebani diri mengumpulkan cabang-
cabang iman tersebut melalui jalan ijtihad. Menghukumi bahwa yang disebutkan itulah
maksudnya adalah hal yang sulit. Dan ketidaktahuan mengetahui semua itu secara tafsil
(rinci) tidaklah menodai keimnan”

Al Hafizh Ibnu Hajar Al „Asqolani dalam Fathul Bari menjelaskan, “Bahwa para ulama
yang menyebutkan cabang-cabang itu tidaklah sepakat dalam menyebutkannya dalam satu
macam, yang paling mendekati kebenaran adalah jalan yang ditempuh Ibnu Hibban, akan
tetapi kami tidak mengetahui penjelasan ucapannya, dan saya telah meringkas dari apa
yang mereka sebutkan seperti yang akan saya sebutkan, yaitu bahwa cabang-cabang ini
terbagi menjadi amal yang terkait dengan hati, amal yang terkait dengan lisan, dan
amal yang terkait dengan anggota badan.

 Amal yang terkait dengan hati itu ada yang berupa keyakinan dan ada yang berupa
niat. Ia terbagi dua puluh empat perkara, yaitu:

1) Beriman kepada Alloh, termasuk di dalamnya beriman kepada Dzat-Nya, sifat-Nya,


tauhid-Nya, dan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya, serta meyakini barunya
segala sesuatu selain-Nya,
2) Demikian pula beriman kepada malaikat-Nya,
3) Beriman kepada kitab-kitab-Nya,
4) Beriman kepada rosul-rosul-Nya,
5) Beriman kepada qodar-Nya yang baik maupun yang buruk,

7
6) Beriman kepada hari Akhir, termasuk di dalamnya beriman kepada pertanyaan di
alam kubur, kebangkitan, penghidupan kembali, hisab, mizan, shirot, surga, dan
neraka.
7) Mencintai Alloh,
8) Cinta dan benci karena-Nya.
9) Mencintai Nabi  meyakini kemuliaannya. Termasuk di dalamnya bersholawat
kepadanya dan mengikuti sunnahnya.
10) Berniat ikhlas, termasuk di dalamnya meninggalkan riya, dan kemunafikan.
11) Bertaubat.
12) Khouf (rasa takut kepada Alloh).
13) Roja‟ (berharap kepada Alloh)
14) Bersyukur
15) Memenuhi janji
16) Bersabar
17) Ridho terhadap qodho‟ Alloh
18) Bertawakkal (menyerahkan urusan kepada Alloh)
19) Bersikap rahmah (sayang)
20) Bertawadhu‟, termasuk di dalamnya menghormati yang tua dan menyayangi yang
muda.
21) Meninggalkan sombong dan ujub.
22) Meninggalkan hasad.
23) Meninggalkan dendam
24) Meninggalkan marah.

 Amal yang terkait dengan lisan itu ada tujuh perkara, yaitu:

1) Melafazkan tauhid
2) Membaca Al Qur‟an
3) Mempelajari ilmu
4) Mengajarkannya
5) Berdoa
6) Berdzikr, termasuk di dalamnya beristighfar.
7) Menjauhi perkataan sia-sia (laghwun).

 Amal yang terkait dengan anggota badan itu ada tiga puluh delapan perkara, di antaranya
ada yang terkait dengan orang-perorang, ia ada lima belas perkara, yaitu:

1.) Membersihkan, baik secara hissi (inderawi) maupun maknawi. Termasuk di dalamnya
menjauhi najis.
2.) Menutup aurat.
3.) Melaksanakan sholat baik fardhu maupun sunat.
4.) Zakat juga demikian.
5.) Memerdekakan budak.
6.) Bersikap dermawan. Termasuk di dalamnya memberikan makan dan memuliakan
tamu.
7.) Berpuasa, yang wajib maupun yang sunat.
8.) Berhaji dan berumrah juga demikian.
9.) Berthowaf.
10.) Beri‟tikaf.
11.) Mencari malam Lailatul qodr.
12.) Pergi membawa agama. Termasuk di dalamnya berhijrah dari negeri syirik.
13.) Memenuhi nadzar.
14.) Memeriksa keimanan.
15.) Membayar kaffarot.

 Yang terkait dengan yang menjadi pengikut, ia ada enam perkara, yaitu:

1.) Menjaga diri dengan menikah.


2.) Mengurus hak-hak orang yang ditanggungnya.

8
3.) Berbakti kepada kedua orang tua, termasuk pula menjauhi sikap durhaka.
4.) Mendidik anak.
5.) Menyambung tali silaturrahim.
6.) Menaati para pemimpin atau bersikap lembut kepada budak.

 Yang terkait dengan masyarakat umum, ia ada tujuh belas cabang, yaitu:

1) Menegakkan pemerintahan dengan adil.


2) Mengikuti jamaah.
3) Menaati waliyyul amri (pemerintah).
4) Mendamaikan manusia, termasuk di dalamnya memerangi khowarij dan para
pemberontak.
5) Tolong-menolong di atas kebaikan, termasuk di dalamnya beramr ma‟ruf dan
bernahi munkar.
6) Menegakkan hudud.
7) Berjihad, termasuk di dalamnya ribath (menjaga perbatasan).
8) Menunaikan amanah.
9) Menunaikan khumus (1/5 ghonimah).
10) Memberikan pinjaman dan membayarnya, serta memuliakan tetangga.
11) Bermu‟amalah dengan baik.
12) Mengumpulkan harta dari yang halal.
13) Menginfakkan harta pada tempatnya, termasuk di dalamnya meninggalkan boros
dan berlebihan.
14) Menjawab salam.
15) Mendoakan orang yang bersin.
16) Menghindarkan bahaya atau sesuatu yang mengganggu dari manusia.
17) Menjauhi perbuatan sia-sia dan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan.

Sehingga jumlahnya 69 perkara, dan bisa menjadi 79 jika sebagiannya tidak disatukan
dengan yang lain, wallohu a‟lam. (Lihat Fathul Bari juz 1 hal. 77)

Dalam hadits di atas juga menunjukkan, bahwa tingkatan iman berbeda-beda, yaitu dari
sabda Beliau, “Yang paling utama adalah ucapan Laa ilaaha illalloh, sedangkan yang
paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan.”

7. Pembatal Keimanan

Di antara ilmu dasar yang wajib diketahui oleh seorang muslim adalah ilmu yang
berkaitan dengan pembatal-pembatal iman. Dengan ilmu tersebut, seorang muslim akan
senantiasa menjaga ucapan dan perbuatannya dari hal-hal yang dapat membatalkan
keimanannya. Demikian pula, dengan memahami kaidah-kaidah yang terkait dengan
pembatal iman, kita dapat bersikap kepada sesama muslim dengan ilmu dan metode yang
benar.Dalam tulisan kali ini, kami akan menyampaikan tiga kaidah penting yang wajib
kita ketahui berkaitan dengan pembatal iman.

Kaidah Pertama: Hukum Asal Seseorang Yang Mengucapkan Dua Kalimat


Syahadat Adalah Seorang Muslim

Para ulama kita telah bersepakat bahwa hukum asal orang yang mengucapkan dua kalimat
syahadat adalah dia seorang muslim. Inilah keyakinan kita terhadap status orang tersebut.
Jika telah diketahui dengan yakin bahwa kondisi seseorang itu seorang muslim, maka
tidak boleh dikeluarkan dari status muslim (menjadi kafir) kecuali atas dasar keyakinan
pula. Jika kita hanya ragu-ragu status kafirnya, maka wajib dikembalikan kepada hukum
asal, yaitu masih muslim. Keraguan tersebut wajib ditolak dan tidak boleh divonis kafir.

Oleh karena itu, kita berinteraksi (bermuamalah) kepada orang-orang yang menampakkan
keislaman dengan bentuk muamalah yang sesuai dan yang seharusnya kita tunjukkan
kepada sesama kaum muslimin. Contoh, jika ada seorang muslim yang meninggal dunia
dan didatangkan ke perkampungan muslim untuk disholati, maka wajib disholati. Adapun

9
sikap yang ditunjukkan oleh sebagian orang ketika mereka enggan untuk mensholati
jenazah saudaranya, sampai dia betul-betul mengetahui kondisi jenazah tersebut masih
muslim, maka ini adalah sikap yang tidak benar dan tidak ada tuntunannya.

Contoh lainnya, jika kita bertamu ke seorang muslim dan dihidangkan daging sembelihan,
maka hukum asal daging sembelihan tersebut adalah halal. Kita tidak boleh menganggap
haram karena keraguan jangan-jangan tidak disembelih sesuai syariat Islam, dan
keraguan-keraguan lainnya. Sebuah kekeliruan ketika mengharamkan sembelihan sesama
kaum muslimin sampai kita betul-betul mengetahui dan yakin bahwa dia muslim dan
tidak batal imannya. Ini sikap yang keliru, karena berarti dia ragu dengan status muslim
saudaranya yang secara lahiriyah adalah seorang muslim.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta‟ala berkata ketika menjelaskan metode
ahlus sunnah dalam masalah ini,

ُ‫ْد ِٗ ْاٌ ُحةهدخ‬١ٍَ‫ رُمَدب ََ َع‬ٝ‫ َؼٍِظَ َحزه‬َٚ َ ‫إِ ْْ أَ ْخطَأ‬َٚ ٓ١ َ ِّ ٍِ‫ُ َىفِّ َز أَ َحًِا ِِ ْٓ ْاٌ ُّ ْظ‬٠ ْْ َ‫ْض ِألَ َح ِِ أ‬ َ ١ٌََٚ
‫ ُي‬ٚ‫َد ُش‬٠ ‫هب ثَدًْ َال‬ ِّ ‫ه َع ْٕدُٗ ثِبٌ هؼد‬
َ ٌِ‫َ ُشيْ َذ‬٠ ُْ ٌَ ٓ١
ِ ِ‫َم‬١ِ‫ذ إط ََْل ُُِٗ ث‬ َ َ‫ َِ ْٓ صَج‬َٚ ُ‫ َهٓ ٌَُٗ ْاٌ َّ َح هةخ‬١َ‫رُج‬َٚ
‫َ ِخ‬ٙ‫إِ َساٌَ ِخ اٌ ُّؼ ْج‬َٚ ‫هإال ثَ ْع َِ إلَب َِ ِخ ْاٌ ُح هة ِخ‬
“Tidak boleh atas siapa pun untuk mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin,
meskipun dia salah dan keliru, sampai ditegakkan hujjah (argumentasi) atasnya dan
dijelaskan kepadanya jalan yang benar. Siapa saja yang status keislamannya telah
ditetapkan atas dasar keyakinan, maka tidak boleh dikeluarkan dari status muslim hanya
berdasar keragu-raguan. Bahkan, tidak boleh dikeluarkan (dari status muslim) kecuali
setelah ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat (pemikiran-pemikiran yang rancu).”
(Majmuu’ Al-Fataawa, 12: 466)

Beliau kembali menegaskan di tempat yang lainnya,

ِّ‫ه َع ُْٕٗ ثِبٌ هؼه‬


َ ٌِ‫َ ُشيْ َذ‬٠ ُْ ٌَ ٓ١ َ َ‫ َِ ْٓ صَج‬َٚ
ِ ِ‫َم‬١ِ‫ َّبُُٔٗ ث‬٠‫ذ إ‬
“Siapa saja yang status keimanannya telah ditetapkan atas dasar keyakinan, maka tidak
boleh dikeluarkan dari status muslim hanya berdasar keragu-raguan.” (Majmuu’ Al-
Fataawa, 12: 501)

Begitu pula yang disampaikan oleh Ibnu Nuhaim Al-Hanafi rohimahullohu Ta‟ala,

ِ ْ ‫َب ْإذ‬ِٙ‫َحْ ُى ُُ ث‬٠ ‫َ ُؼ ُّه أَٔهُٗ ِر هدحٌ َال‬٠ ‫ َِب‬َٚ


ُ ِ‫اإلط ََْل َُ اٌضهبث‬
‫ ُي ثِ َؼه‬ٚ‫َ ُش‬٠ ‫ذ َال‬
“Barangsiapa yang ragu apakah seseorang telah keluar dari Islam, maka keraguan ini
tidak dianggap. Karena status Islam yang ada pada dirinya tidak boleh dihilangkan
dengan keraguan.” (Al-Bahru Ar-Raa’iq, 5: 134)

Dalil kaidah ini adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid
rodhiyallohu „anhu,

َ َ‫ ـ‬:‫ لَب َي‬،َ‫َٕخ‬١ْ َٙ‫ اٌح َُزلَ ِخ ِِ ْٓ ُج‬ٌَِٝ‫ َطٍه َُ إ‬َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫ َّللاُ َع‬ٝ‫ؿٍه‬
ََ ٛ‫ـجهحْ َٕب اٌمَ ْد‬ َ ِ‫َّللا‬ ‫ ُي ه‬ُٛ‫ثَ َعضََٕب َرط‬
َ َ‫ ل‬،ُْ ُْٕٙ ‫ُدَل ِِد‬
ُٖ‫َٕب‬١‫ـٍََ هّدب َؼ ِؼد‬: ‫دبي‬ ً ‫دبر َرج‬ِ ‫ـ‬ َ ْٔ َ‫دٓ األ‬َ ِِ ًٌ ‫ َر ُج‬َٚ ‫ذ أََٔب‬ ُ ‫ٌَ ِح ْم‬َٚ : ‫بي‬ َ َ‫ ل‬،ُْ ُ٘‫َ َش َِْٕب‬َٙ‫ـ‬
: ‫ لَب َي‬،ُُٗ‫ لَزَ ٍْز‬ٝ‫ َحزه‬ٟ‫ ـَطَ َع ْٕزُُٗ ثِ ُز ِْ ِح‬، ُّٞ‫بر‬ ِ ‫ـ‬ َ ْٔ َ‫ؿ َع ُْٕٗ األ‬ ‫ ـَ َى ه‬:‫بي‬ ‫ الَ إٌََِٗ إِ هال ه‬:‫لَب َي‬
َ َ‫ ل‬،ُ‫َّللا‬
:ٌِٟ ‫بي‬ َ َ‫ ـَم‬:‫ لَب َي‬، َُ ‫ َطٍه‬َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫ َّللاُ َع‬ٝ‫ؿٍه‬َ ٟ ‫ه إٌهجِ ه‬ َ ٌِ‫ـٍََ هّب لَ ِِ َِْٕب ثٍََ َػ َذ‬
“Rosululloh  mengutus kami dalam sebuah pasukan perang untuk menyerang orang-
orang kafir Bani Huraqoh, dari suku Juhainah. Kami menyerang mereka di waktu pagi
dan kami pun mengalahkan mereka. Saya dan salah seorang sahabat Anshor mengejar

10
seorang anggota Bani Huraqoh yang melarikan diri. Ketika kami mengepungnya, tiba-tiba
dia mengucapkan „laa ilaaha illa Alloh‟ (Tiada sesembahan yang berhak disembah selain
Alloh). Sahabat Anshor itu pun menahan dirinya (tidak jadi membunuhnya, pen.). Adapun
saya, saya menusuk orang tersebut dengan tombakku sampai saya menewaskannya.”

Usamah bin Zaid melanjutkan ceritanya, “Ketika kami tiba di Madinah, berita tersebut
sampai kepada Nabi  Maka beliau bertanya kepadaku,

َ َ‫ أَلَزَ ٍْزَُٗ ثَ ْع َِ َِب ل‬،ُ‫َب أُ َطب َِخ‬٠


‫بي الَ إٌََِٗ إِ هال ه‬
ُ‫َّللا‬
“Wahai Usamah, apakah Engkau tetap membunuhnya setelah dia mengucapkan laa
ilaaha illalloh?”

Saya (Usamah) menjawab,

‫ ًذا‬ِّٛ ‫بْ ُِزَ َع‬ ‫ي ه‬ُٛ


َ ‫ إِٔه َّب َو‬،ِ‫َّللا‬ َ ‫َب َرط‬٠
“Wahai Rosululloh, dia mengucapkannya sekedar untuk melindungi dirinya.”

Namun beliau  tetap bertanya,

َ َ‫أَلَزَ ٍْزَُٗ ثَ ْع َِ َِب ل‬


‫بي الَ إٌََِٗ إِ هال ه‬
ُ‫َّللا‬
“Apakah Engkau tetap membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaaha illalloh?”

Saya (Usamah) berkata,

َِ ْٛ َ١ٌ‫ه ا‬ ُ ّْ ٍَ‫ ٌَ ُْ أَ ُو ْٓ أَ ْط‬َِّٟٔ‫ْذ أ‬


َ ٌِ‫ذ لَ ْج ًَ َذ‬ ُ ١‫ رَ َّٕه‬ٝ‫ َحزه‬،ٟ
‫ُ َىزِّ ُرَ٘ب َعٍَ ه‬٠ ‫اي‬
َ ‫ـَ َّب َس‬
“Beliau  terus menerus mengulang-ulang pertanyaan itu, sehingga saya berangan-angan
andai saja saya belum masuk Islam sebelum hari itu.” (HR. Bukhori no. 6872)

Dalam riwayat Muslim disebutkan, Rosululloh  bertanya kepada Usamah,

َ َ‫أَل‬
‫لَزَ ٍْزَُٗ؟‬َٚ ُ‫بي َال إٌََِٗ إِ هال َّللا‬
“Mengapa Engkau membunuh orang yang mengucapkan laa ilaaha illalloh?”

Usamah menjawab,

ِ ‫ـًب ِِ َٓ اٌظ ََِّل‬ْٛ ‫َب َخ‬ٌَٙ‫ إِٔه َّب لَب‬،ِ‫ي َّللا‬ُٛ


‫ح‬ َ ‫َب َرط‬٠
“Wahai Rosululloh! Sesungguhnya dia hanyalah mengucapkannya karena takut dengan
pedang.”

Rosululloh  bertanya lagi,

‫َب أَ َْ َال؟‬ٌَٙ‫ رَ ْعٍَ َُ أَلَب‬ٝ‫ذ َع ْٓ لَ ٍْجِ ِٗ َحزه‬


َ ‫أَـَ ََل َػمَ ْم‬
“Apakah Engkau telah membelah dadanya sehingga kamu tahu dia benar-benar
mengucapkan dua kalimat syahadat atau tidak?”

Usamah berkata,

11
ُ ّْ ٍَ‫ أَ ْط‬َِّٟٔ‫ْذ أ‬
‫ َِئِ ٍذ‬ْٛ َ٠ ‫ذ‬ ُ ١‫ رَ َّٕه‬ٝ‫ َحزه‬ٟ
‫ُ َى ِّز ُرَ٘ب َعٍَ ه‬٠ ‫اي‬
َ ‫ـَ َّب َس‬
“Beliau  terus menerus mengulang-ulang pertanyaan itu, sehingga saya berandai-andai
bahwa saya baru masuk Islam saat itu.” (HR. Bukhori no. 6872)

Kisah sahabat Usamah rodhiyallohu „anhu di atas, memberi pelajaran bahwsa seseorang
yang mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dengan ucapan dan kesaksiannya itu, dia
masuk Islam. Akan tetapi, terdapat indikasi yang menunjukkan keragu-raguan tentang
kejujuran ucapannya itu. Karena orang ini belum lama adalah orang kafir yang telah
membunuh kaum muslimin dan dia pun melarikan diri. Ketika dia tertangkap dan hampir
dibunuh, dia sudah melihat kilatan pedang di atas kepalanya, maka dia pun mengucapkan
dua kalimat syahadat. Dan dengan persaksian itu, dia juga tidak membatalkan
keimanannya. Oleh karena itu, Rosululloh  mencela dan mengingkari Usamah yang
telah membunuhnya. Ini adalah kaidah penting bagi seorang muslim agar selamat dari
penyakit bermudah-mudah dan ceroboh dalam memvons kafir (takfir) sesama muslim.

Kaidah Ke Dua: Bedakanlah Antara Status Hukum Ucapan Atau Perbuatan (Takfir
Muthlaq) Dengan Status Hukum Pelakunya (Takfir Mu’ayyan)

Ini juga di antara kaidah ahlus sunnah yang sangat penting. Pertama, status ucapan atau
perbuatan yang bisa mengeluarkan seseorang dari keimanan itu termasuk bagian dari
hukum syariat, sehingga harus dibangun di atas dalil. Maksudnya, seseorang harus
memiliki dalil ketika mengatakan bahwa ucapan atau perbuatan tertentu itu termasuk
dalam ucapan dan perbuatan yang bisa mengeluarkan seseorang dari keimanan. Hal ini
karena tidak semua ucapan dan perbuatan bisa mengeluarkan seseorang dari iman.
Misalnya, berzina, mencuri atau membunuh bukanlah perbuatan kekafiran. Ini adalah
hukum ucapan atau hukum perbuatan itu sendiri, atau dalam bahasa para ulama: takfir
muthlaq.

Ke-dua, dia harus mengetahui bahwa untuk memvonis seseorang dalam kekafiran itu
harus terpenuhi syarat dan tidak ada faktor penghalang. Artinya, tidak semua orang yang
mengucapkan ucapan kekafiran atau melakukan perbuatan kekafiran, otomatis status dia
adalah kafir. Tidak demikian. Dengan kata lain, kita harus bisa membedakan antara
hukum ucapan atau perbuatan (apakah kekafiran ataukah tidak) dengan status hukum
pelakunya. Vonis atas pelaku ini diistilahkan dengan takfir mu’ayyan. Seorang muslim
yang melakukan kekafiran (baik ucapan atau perbuatan), belum tentu statusnya langsung
berubah menjadi orang kafir.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullohu Ta‟ala menjelaskan kaidah ini ketika
mengingatkan kesalahan orang-orang awam yang tidak bisa membedakan keduanya.
Beliau berkata,

ًِّ ‫ َوبـِ ٌز ا ْعزَمَ َِ ْاٌ ُّ ْظزَ ِّ ُع أَ هْ َ٘ َذا اٌٍه ْفدََ َػدب ِِ ًٌ ٌِ ُىد‬َُٛ َٙ‫بي َو َذا ـ‬
َ َ‫ َِ ْٓ ل‬:‫ا‬ٌُٛ‫ُ٘ ُْ لَب‬ْٚ َ‫ُوٍه َّب َرأ‬
ْ‫أَ ه‬َٚ ِٓ ‫ه‬١‫ك ْاٌ ُّ َعد‬ ِّ ‫ َحد‬ٟ‫ ـِد‬ِٟ‫أِ ُع لَ ِْ رَ ْٕزَم‬َٛ َِ َٚ ٌ‫ط‬ُٚ‫ز ٌَُٗ ُػز‬١ َ ِ‫ا أَ هْ اٌزه ْىف‬ُٚ‫َزَ َِثهز‬٠ ُْ ٌََٚ ٌَُٗ‫َِ ْٓ لَب‬
‫أِ ُع‬َٛ َّ ٌ‫ذ ْا‬
ْ َ‫ا ْٔزَف‬َٚ ُ‫ط‬ُٚ‫د اٌ ُّؼز‬ ْ َِ ‫ ِج‬ُٚ ‫ه ِٓ هإال إ َذا‬١‫ز ْاٌ ُّ َع‬١َ ِ‫َ ْظزَ ٍْ ِش َُ رَ ْىف‬٠ ‫ك َال‬ ْ ُّ ٌ‫ز ْا‬١
ِ ٍَ‫ط‬ َ ِ‫رَ ْىف‬
“Setiap kali mereka (orang awam) melihat ulama mengatakan, “Barangsiapa
mengucapkan demikian, maka dia kafir”, maka orang mendengar perkataan ulama ini
meyakini bahwa kalimat (vonis kafir) tersebut mencakup semua orang yang
mengatakannya. Mereka tidak mau merenungkan bahwa vonis kafir (kepada orang
tertentu) itu memiliki syarat dan penghalang yang berbeda kondisinya untuk person
tertentu. Sesungguhnya vonis takfir muthlaq tidaklah berkonsekuensi takfr mu‟ayyan,
kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada faktor penghalang.” (Majmuu’ Al-
Fataawa, 12: 487-488)

Penjelasan Syaikhul Islam di atas sangatlah gamblang, menjelaskan prinsip pokok aqidah
dan metode ahlus sunnah dalam masalah ini. Aqidah ahlus sunnah ini merupakan aqidah

12
pertengahan (wasathiyyah), di antara dua kutub aqidah yang ekstrim dan batil dalam
masalah ini. Kutub pertama adalah „aqidah kaum khowarij. Mereka tergesa-gesa dan
ceroboh memvonis kafir kaum muslimin yang terjerumus dalam perbuatan kekafiran.
Bahkan lebih ekstrim lagi, mereka memvonis kafir sesama kaum muslimin yang
terjerumus ke dalam dosa besar yang statusnya bukan perbuatan kekafiran. Sehingga
mereka pun menghalalkan darah dan hartanya.

Kutub ekstrim ke dua adalah „aqidah kaum murji’ah. Mereka tidak mau memvonis kafir
person tertentu sama sekali, meskipun orang tersebut nyata-nyata terjerumus dalam
kekafiran dan kemusyrikan akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Di antara
pemikirian mereka, selama seseorang pernah mengucapkan kalimat syahadat meskipun
sekali seumur hidup, maka dia statusnya muslim, apapun dan bagaimanapun ucapan dan
perbuatannya setelah itu.

Di antara contoh penerapan kaidah ini ditunjukkan oleh Imam ahlus sunnah, Imam
Ahmad bin Hanbal rohimahullohu Ta‟ala. Beliau tidaklah memvonis kafir orang-orang di
zaman beliau yang meyakini bahwa Al-Qur‟an adalah makhluk dan mendakwahkan
aqidah batil tersebut. Meskipun aqidah “Al-Qur‟an itu makhluk dan bukan kalaamulloh”
adalah aqidah kekafiran. Hal ini karena orang-orang di zaman beliau terpengaruh oleh
ulama-ulama yang rusak aqidahnya dari kalangan tokoh-tokoh Mu‟tazilah, sehingga
akhirnya aqidah ahlus sunnah yang shahih menjadi samar dan tidak jelas. Dan kebodohan
inilah di antara penghalang vonis kafir untuk person tertentu.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-„Utsaimin rohimahullohu Ta‟ala berkata,

‫عٍدُ رحمدك‬٠ ٝ‫ٓ حزد‬١‫ ػدصؾ ِعد‬ٚ‫ طبئفخ أ‬ٍٝ‫اجت اٌحذر ِٓ إطَلق اٌىفز ع‬ٌٛ‫ـب‬
ٗ‫أع‬ِٛ ‫أزفبء‬ٚ ٗ‫ حم‬ٟ‫ز ـ‬١‫ط اٌزىف‬ٚ‫ػز‬
“Wajib untuk waspada dari menjatuhkan vonis kafir untuk sekelompok orang atau person
tertentu, sampai diketahui terpenuhinya syarat dan tidak adanya faktor penghalang pada
orang tersebut.” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 3: 37)

Beliau rohimahullohu Ta‟ala juga berkata,

‫ز‬١‫ط اٌزىف‬ٚ‫ حمٗ ػز‬ٟ‫ ػصؾ ٌُ رضجذ ـ‬ٍٝ‫س إطَلق اٌىفز ع‬ٛ‫ة‬٠ ‫ـَل‬
“Tidak boleh menjatuhkan vonis kafir kepada person tertentu yang tidak tidak terpenuhi
syarat-syarat pengkafiran pada dirinya.” (Fataawa Nuur ‘ala Darb, 4: 42)

Kaidah Ke Tiga: Bersikap Hati-Hati, Tenang Dan Teliti Serta Tidak Tergesa-Gesa
Dan Ceroboh Dalam Menjatuhkan Vonis Kafir

Kaidah ini sudah kami singgung di kaidah sebelumnya ketika membahas aqidah khowarij
yang menjatuhkan vonis kafir secara ceroboh dan sembarangan.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-„Utsaimin rohimahullohu Ta‟ala berkata,

:‫ط أرثعخ‬ٚ‫ز ِٓ ػز‬١‫ اٌزىف‬ٟ‫ال ثِ ـ‬ٚ


ٚ‫ دالٌدخ اٌىزدبة أ‬ٝ‫ اٌزدزن وفدز ثّمزضد‬ٚ‫ أ‬،ً‫ اٌفعد‬ٚ‫ أ‬،‫ي‬ٛ‫د أْ ٘ذا اٌم‬ٛ‫ صج‬:‫ي‬ٚ‫األ‬
.‫اٌظٕخ‬
.‫بِٗ ثبٌّىٍؿ‬١‫د ل‬ٛ‫ صج‬:ٟٔ‫اٌضب‬
.‫غ اٌحةخ‬ٍٛ‫ ث‬:‫اٌضبٌش‬

13
.ٗ‫ حم‬ٟ‫ز ـ‬١‫ أزفبء ِبٔع اٌزىف‬:‫اٌزاثع‬
“Vonis Kafir Harus Memenuhi Empat Syarat Berikut Ini:

Pertama, terdapat dalil yang valid dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah bahwa ucapan,
perbuatan (melakukan sesuatu) atau perbuatan meninggalkan sesuatu (misalnya,
meninggalkan sholat selama hidupnya, pen.) itu termasuk dalam kekafiran.

Ke-dua, terdapat bukti valid bahwa orang tersebut benar-benar melakukannya.

Ke-tiga, telah disampaikan hujjah kepadanya (baik berupa nasihat, berdiskusi dan
penyampaian dalil bahwa perbuatan tersebut adalah kekafiran, pen.).

Ke-empat, tidak terdapat penghalang kekafiran dalam diri orang tersebut.” (Majmu’
Fataawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3: 34)

Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim yang berjalan di atas jalan yang lurus, agar
bersikap hati-hati ketika sampai berita kepadanya bahwa seorang muslim telah
membatalkan imannya, baik orang tersebut rakyat atau penguasa. Yaitu dengan
menempuh sikap berikut ini:

Pertama, meneliti dan mengecek kebenaran berita tersebut, benarkah orang tersebut
melakukannya. Karena tidak selamanya berita itu benar sesuai fakta. Lebih-lebih di
zaman kita ini ketika telah banyak terjadi fitnah, ketika banyak manusia lebih
mengedepankan prasangka dan curiga, dan membolak-balik fakta suatu peristiwa. Inilah
kondisi mayoritas manusia pada zaman ini. Oleh karena itu, kita harus mengecek dan
meneliti. Jika terbukti valid, maka kita masih memiliki kewajiban lainnya. Jika tidak
valid, atau ragu-ragu, atau tidak jelas, maka wajib kita kembalikan ke hukum asal, yaitu
statusnya masih muslim.

Ke dua, terdapat dalil yang valid bahwa valid dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah bahwa
ucapan, perbuatan (melakukan sesuatu) atau perbuatan meninggalkan sesuatu itu
termasuk dalam kekafiran yang membatalkan iman. Tidak semua perbuatan yang disebut
dengan “kafir” dalam syariat artinya adalah kufur akbar (kafir besar) yang membatalkan
iman. Karena bisa jadi statusnya adalah kufur ashghar (kafir kecil) yang mengurangi
kesempurnaan iman dan belum sampai membatalkannya.

Ke tiga, memastikan bahwa telah sampai hujjah kepada orang tersebut dan tidak ada
faktor penghalang. Jika hujjah belum sampai (belum tegak), maka tidak boleh divonis
kafir. Demikian pula, ketika hujjah sudah ditegakkan kepadanya, namun ada faktor
penghalang („udzur), maka tidak boleh dikafirkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu Ta‟ala berkata,

ٓ‫ْد ِٗ ثِأَٔهدُٗ ِِ ْد‬١ٍَ‫ُحْ َىد ُُ َع‬٠ ‫ْدش‬


ُ ١‫ ُْ – ثِ َح‬ِٙ ٌِ‫أَ ِْضَدب‬َٚ ‫هدبي‬
ِ ٙ‫ ِهٓ ” ِِ ْدٓ َ٘د ُؤ َال ِء ْاٌ ُة‬١‫د ُز ” ْاٌ ُّ َعد‬١ِ‫ـَزَ ْىف‬
ٟ‫خ اٌهزِد‬١ٌ‫ أَ َح ِِ ِ٘ ُْ ْاٌ ُح هةخُ اٌزطب‬ٍَٝ‫ ََ َع‬ُٛ‫ ِٗ هإال ثَ ْع َِ أَ ْْ رَم‬١ْ ٍَ‫اإل ْل َِا َُ َع‬
ِ ْ ‫ ُس‬ُٛ‫َة‬٠ ‫بر – َال‬ ِ ‫ْاٌ ُىفه‬
‫َب ُو ْف ٌز‬ٙ‫ْت أَٔه‬
َ ٠‫ذ َ٘ ِذ ِٖ ْاٌ َّمَبٌَخُ َال َر‬ َ ُ‫ُ ُْ ُِ َصبٌِف‬ٙ‫َب أَٔه‬ِٙ‫ ُهٓ ث‬١َ‫َزَج‬٠
ْ َٔ‫إِ ْْ َوب‬َٚ ًُِ ‫ْ ٌٍِزُّ ط‬ٛ
“Takfir mu‟ayyan untuk orang-orang yang bodoh (tidak mengetahui dalil) dan semisalnya,
yaitu dijatuhkannya vonis kafir kepadanya, vonis tersebut tidak boleh diberikan kecuali
setelah disampaikan kepadanya dalil-dalil dari syariat yang menunjukkan bahwa mereka
menyelisihi petunjuk Rosululloh, meskipun perbuatan mereka tersebut tidak diragukan
lagi termasuk dalam kekafiran.“ (Majmuu’ Al-Fataawa, 12: 500)

Selanjutnya, untuk masalah ini, hendaknya kita senantiasa mengembalikan status hukum
person tertentu tersebut kepada para ulama rabbani, yaitu para ulama ahlus sunnah yang
mendalam ilmunya dan senantiasa berbicara dengan ilmu. Sebagaimana firman Alloh
Ta‟ala,

14
               

            

   

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rosul dan ulil
amri di antara mereka, tentulah orang-orang uang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia
dan rahmat Alloh kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil
saja di antaramu.” (QS. An-Nisa‟ [4]: 83)

Ayat di atas menunjukkan bahwa wajib bagi kita untuk mengembalikan suatu
permasalahan besar seperti masalah takfir kepada ulil amri, yang dalam hal ini adalah
para ulama. Jika kita berpaling dari bimbingan ulama, maka Allah Ta‟ala sebutkan bahwa
kita hanya akan dijerumuskan oleh setan.

 10 (Sepuluh) Pembatal Keimanan

Alloh  telah mewajibkan kepada seluruh hamba – hambaNya untuk masuk ke dalam
agama Islam dan berpegang teguh denganya serta berhati –hati untuk tidak menyimpang
darinya. Alloh juga telah mengutus Nabi-Nya Muhammad  untuk berdakwah ke dalam
hal ini, dan memberitahukan bahwa barangsiapa bersedia mengikutinya akan
mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang menolaknya akan sesat. Dia juga
mengingatkan dalam banyak ayat- ayat Al-Qur‟an untuk menghindari sebab- sebab
kemurtadan, segala macam kemusyrikan dan kekafiran.

Para ulama rohimahumulloh telah menyebutkan dalam bab hukum kemurtadan, bahwa
seorang muslim bisa di anggap murtad ( keluar dari agama Islam) dengan berbagai
macam hal yang membatalkan keislaman, yang menyebabkan halal darah dan hartanya
dan di anggap keluar dari agama Islam. Yang paling berbahaya dan yang paling banyak
terjadi ada sepuluh hal, yang di sebutkan oleh Syekh Muhammad at-Tamimi dan para
ulama lainnya, disebutkan ada 10 (sepuluh) perkara yang dapat membatalkan atau
menghilangkan keimanan seorang muslim: .

Pertama: Mempersekutukan Alloh  ( syirik ) dalam beribadah.

                 

   

“ Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni dosa syirik(menyekutukan ) kepadaNya, tetapi


mengampuni dosa selain itu, kepada orang – orang yang dikehendakinya “.( QS. An-nisa‟
ayat : 116)

             . 

               

      

15
“ sesungguhnya orang yang mempersekutukan Alloh, niscaya Alloh akan mengharamkan
surga baginya, dan tempat tinggalnya (kelak) adalah neraka, dan tiada seorang penolong
pun bagi orang – orang zhalim” .( QS. Al- Maidah : 72).

Adapun di antara perbuatan kemusyrikan tersebut adalah ; meminta do‟a dan pertolongan
kepada orang- orang yang telah mati, bernadzar dan menyembelih korban untuk mereka.

Ke-dua: Menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dirinya dengan Alloh , meminta
do‟a dan syafaat serta bertawakkal ( berserah diri ) kepada perantara tersebut.

Orang yang melakukan hal itu, menurut ijma‟ ulama ( kesepakatan) para ulama, adalah
kafir.

Ke-tiga : Tidak menganggap kafir orang- orang musyrik, atau ragu atas kekafiran
mereka, atau membenarkan konsep mereka. Orang yang demikian ini adalah kafir.

Ke-empat: Berkeyakinan bahwa tuntunan selain tuntunan Nabi Muhammad  lebih


sempurna, atau berkeyakinan bahwa hukum selain dari beliau lebih baik, seperti; mereka
yang mengutamakan aturan – aturan manusia lain yang menyimpang dari hukum Alloh,
dan mengesampingkan hukum Rosululloh , maka orang yang berkeyakinan demikian
adalah kafir.

Ke-lima : Membenci sesuatu yang telah ditetapkan oleh Rosululloh , meskipun ia


sendiri mengamalkannya. Orang yang sedemikian ini adalah kafir. Karena Alloh  telah
berfirman :

        

Demikian itu adalah dikarenakan mereka benci terhadap apa yang di turunkan oleh
Alloh, maka Alloh menghapuskan (pahala) segala amal perbuatan mereka”. (QS.
Muhammad : 9).

Ke-enam: Memperolok–olok sesuatu dari ajaran Rosululloh  atau memperolok – olok


pahala maupun siksaan yang telah menjadi ketetapan agama Alloh  , maka orang yang
demikian menjadi kafir, karena Allah  telah berfirman :

              

          

“ katakanlah ( wahai Muhammad ) terhadap Alloh dan ayat – ayat Nya serta RasulNya
kalian memperolok – olok ? tiada arti kalian meminta maaf, karena kamu telah kafir
setelah beriman “ . (QS. At- Taubah : 65- 66).

Ke-tujuh : Sihir di antaranya adalah ilmu guna-guna yang merobah kecintaan seorang
suami terhadap istrinya menjadi kebencian, atau yang menjadikan seseorang mencintai
orang lain, atau sesuatu yang di bencinya dengan cara syaitani.dan orang yang melakukan
hal itu adalah kafir, karena Alloh  telah berfirman :

 …           .

16
” Sedang kedua malaikat itu tidak mengajarkan (suatu sihir) kepada seorangpun, sebelum
mengatakan: sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kafir
“.( QS. Al-Baqoroh : 102.)

Ke-delapan: Membantu dan menolong orang-orang musyrik untuk memusuhi kaum


muslimin. Alloh  berfirman:

               

      

“ Dan barang siapa diantara kamu mengambil mereka (Yahudi dan Nasrani ) menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang tersebut termasuk golongan mereka. sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yang zhalim” .( QS. Al- Maidah: 51).

Ke-sembilan: Berkeyakinan bahwa sebagian manusia diperbolehkan tidak mengikuti


syari‟at Nabi Muhammad  maka yang berkeyakinan seperti ini adalah kafir. Alloh 
berfirman :

             . 

“Barang siapa menghendaki suatu agama selain Islam, maka tidak akan diterima agama
itu dari padanya, dan ia di akhirat tergolong orang- orang yang merugi”.( QS. Ali-
Imran: 85).

Ke-sepuluh : Berpaling dariِِ ِِ Agama Alloh  ; dengan tanpa mempelajari dan tanpa
melaksanakan ajarannya. Alloh  berfirman :

              . 

“ Tiada yang lebih zhalim dari pada orang yang telah mendapatkan peringatan melalui
ayat – ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling dari padanya. Sesungguhnya kami
minimpakan pembalasan kepada orang yang berdosa “. ( QS. As- Sajadah : 22).

Dalam hal- hal yang membatalkan keislaman ini , tak ada perbedaan hukum antara yang
main-main, yang sungguh- sungguh ( yang sengaja melanggar ) ataupun yang takut,
kecuali orang yang di paksa. Semua itu merupakan hal- hal yang paling berbahaya dan
paling sering terjadi. Maka setiap muslim hendaknya menghindari dan takut darinya. Kita
berlindung kepada Alloh  dari hal- hal yang mendatangkan kemurkaan Nya dan
kepedihan siksaan-Nya.

8. Kedudukan dan Dampak Maksiat/Dosa Terhadap Iman

 Pembagian Dosa:

1. Dosa Besar (Kabiroh)

Yaitu setiap dosa yang mengharuskan adanya had (hukuman) di dunia atau yang diancam
oleh Alloh dengan neraka atau laknat atau murkaiNya. Adapula yang berpendapat, dosa
besar adalah setiap maksiat yang dilakukan seseorang dengan terang-terangan (berani)
serta meremehkan dosanya.

17
Contoh dosa besar adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Huroiroh
Rodhiallohu anhu bahwa Rosululloh  bersabda:

ِ ‫ثِمَدب‬ُّٛ ٌ‫ا اٌ هظ ْج َع ْا‬ُٛ‫بي « اجْ زَِٕج‬


‫د‬ َ َ‫طٍُ – ل‬ٚ ٗ١ٍ‫ َّللا ع‬ٍٝ‫ – ؿ‬ِّٝ ِ‫ َّللا عٕٗ – ع َِٓ إٌهج‬ٝ‫ َْزحَ – رض‬٠‫ ُ٘ َز‬ِٝ‫ع َْٓ أَث‬
،‫ك‬ ْ ِ‫َّللاُ إِاله ث‬
ِّ ‫دبٌ َح‬ ‫ َحد هز ََ ه‬ٝ‫ض اٌهزِد‬ ‫ن ثِ ه‬
ِ ‫لَ ْز ًُ إٌه ْف‬َٚ ، ‫اٌظِّحْ ُز‬َٚ ، ِ‫بَّلل‬ ُ ْ‫بي « اٌ ِّؼز‬ ‫ي ه‬ُٛ
َ َ‫ َِب ُ٘ هٓ ل‬َٚ ، ِ‫َّللا‬ َ ‫َب َرط‬٠ ‫ا‬ٌُٛ‫ لَب‬. »
‫د ) ِزفدك‬ ِ َ‫د ْاٌؽَدبـَِل‬ ِ ‫د ْاٌ ُّ ْؤ َِِٕدب‬
ِ ‫ـدَٕب‬ َ ْ‫ؾ ْاٌ ُّح‬ ُ ‫لَ ْدذ‬َٚ ، ‫ؿ‬
ِ ْ‫ْ ََ اٌ هشح‬َٛ٠ ٌَِّٝٛ ‫اٌزه‬َٚ ، ُ١ِ ِ‫َز‬١ٌ‫بي ْا‬
ِ َِ ًُ ‫أَ ْو‬َٚ ، ‫أَ ْو ًُ اٌزِّ ثَب‬َٚ
(ٗ١ٍ‫ع‬
"Jauhilah olehmu tujuh dosa yang membinasakan. Mereka bertanya, 'Apa itu?' Beliau
menjawab, Syirik kepada Alloh, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Alloh
kecuali dengan benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada
waktu peperangan, menuduh berzina wanita-wanita suci yang mukmin dan lalai dari
kemaksiatan." (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

2. Dosa Kecil (Shoghiroh)

Yaitu segala dosa yang tidak mempunyai had di dunia, juga tidak terkena ancaman khusus
di akhirat. Ada pula yang berpendapat bahwa dosa kecil adalah setiap kemaksiatan yang
dilakukan karena alpa atau lalai dan tidak henti-hentinya orang itu menyesali
perbuatannya, sehingga rasa kenikmatannya dengan maksiat tersebut terus memudar.

Contoh dosa kecil adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh Rodhiallohu anhu
bahwasanya Rosululloh  bersabda:

ِ ٔ‫األُ ُذ‬َٚ ،ُ‫َدبْ ِسَٔبُ٘ َّدب إٌهرَدز‬


‫َدبْ ِسَٔبُ٘ َّدب‬ ِ ٕ١ْ ‫ ـَ ْبٌ َع‬،َ‫ن ذٌده ال َِ َحبٌَدخ‬ ِّ ٓ‫جُُٗ ِد‬١‫َـ‬
ٌ ‫ ُِد ِْ ِر‬،‫اٌشَٔدب‬ ِ ٔ ََ ‫ ثٓ آ َد‬ٍٝ‫ت ع‬ َ ِ‫ُوز‬
،ٝ‫َزَ َّٕهد‬٠َٚ ٜٛ‫ َْد‬َٙ٠ ُ‫ ْاٌمَ ٍْدت‬َٚ ،‫اٌزِّ جْ د ًُ ِسَٔبَ٘دب ْاٌ ُصطَدب‬َٚ ، ُ‫طغ‬ ْ َ‫َد ُِ ِسَٔبَ٘دب ْاٌدج‬١ٌ‫ ْا‬َٚ ،َُ ‫بْ ِسَٔبُٖ ْاٌ َىدَل‬
ُ ‫اٌٍِّ َظ‬َٚ ،‫ع‬
ُ ‫اال ْطزِ َّب‬
ِّ
(ٗ١ٍ‫ُ َىذثُُٗ ) ِزفك ع‬٠َٚ ‫ق ذٌه اٌفَزْ ُط‬ ْ ُ ِِّ ‫ُـ‬
َ ٠َٚ

"Dicatat atas bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia mendapatkannya tidak mungkin
tidak; maka dua mata zinanya adalah memandang, dua telinga zinanya adalah mendengar,
lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, dua kaki zinanya
adalah melangkah, dan hati adalah menginginkan dan mendambakan, hal itu dibenarkan
oleh kemaluan atau didustakanya." (HR. Bukhori dan Muslim)

Dalil pembagian dosa menjadi besar dan kecil adalah firman Alloh:

            

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)
dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (Surga)." (QS. An-Nisa': 31)

....             

"(Yaitu) orang yang mejauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunanNya." (QS. An-
Najm: 32)

Diriwayatkan dari Umar, Ibnu Abbas dan yang lain bahwasanya mereka berkata:

ِ ْ ‫ َْزحَ َِ َع‬١‫ؿ ِؽ‬


َ ‫اال ْطزِ ّْ َز‬
‫ار‬ َ َ‫ال‬َٚ ‫بر‬ ِ ْ ‫ َْزحَ َِ َع‬١ِ‫الَ َوج‬
ِ َ‫اال ْطزِ ْؽف‬
"Tidak ada dosa besar dengan beristighfar dan tidak ada dosa kecil (jika dilakukan)
dengan terus-menerus."

18
 Madzhab Ahlus Sunnah Tentang Pelaku Dosa Besar

Sesungguhnya orang yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir jika dia termasuk
ahli tauhid dan ikhlas. Tetapi ia adalah mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan
dosa besarnya, dan ia berada di bawah kehendak Alloh. Apabila berkehendak, Dia
mengampuninya dan apabila Ia berkehendak pula, maka Ia menyiksa di Neraka karena
dosanya, kemudian Ia mengeluarkannya dan tidak menjadikannya kekal di Neraka.

Berbeda dengan kelompok-kelompok sesat yang ekstrim dalam hal ini. Mereka adalah:

1. Murji'ah: Golongan yang menyatakan maksiat tidak membahayakan (berpengaruh


buruk) bagi orang beriman, sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat bagi orang kafir.

2. Mu'tazilah: Mereka yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar ini tidak
mukmin dan tidak juga kafir, tetapi ia berada pada tingkatan yang ada diantara dua
tingkatan tersebut. Namun demikian, apabila ia keluar dari dunia tanpa bertaubat
maka ia kekal di Neraka.

3. Khowarij: Mereka mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir dan
kekal di Neraka.

 Dalil-dalil Ahlus Sunnah

Ahlus Sunnah berhujjah dengan dalil-dalil yang banyak sekali dari Al-Qur'an dan Al-
Hadits, di antaranya:

1. Firman Alloh  :

            

               

             

  

"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Alloh; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya
Alloh me-nyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin
adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Alloh supaya kamu mendapat rahmat." (Al-Hujurot: 9-10)

Segi istidlal (pengambilan dalil)-nya: Alloh tetap mengakui ke-imanan pelaku dosa
peperangan dari orang-orang mukmin dan bagi para pembangkang dari sebagian golongan
atas sebagian yang lain, dan Dia menjadikan mereka menjadi bersaudara. Dan Alloh
memerintahkan orang-orang mukmin untuk mendamaikan antara saudara-saudara mereka
seiman.

2. Abu Said Al-Khudri Rodhiallohu anhu mengatakan bahwa Rosululloh  bersabda:


"Alloh memasukkan penduduk Surga ke Surga. Dia memasukkan orang-orang yang Ia
kehendaki dengan rahmatNya. Dan Ia memasukkan penduduk neraka. Kemudian

19
berfirman, 'Lihatlah, orang yang engkau dapatkan dalam hatinya iman seberat biji sawi
maka keluarkanlah ia.' Maka dikeluarkanlah mereka dari Neraka dalam keadaan hangus
terbakar, lalu mereka dilemparkan ke dalam sungai kehidupan atau air hujan, maka
mereka tumbuh di situ seperti biji-bijian yang tumbuh di pinggir aliran air. Tidakkah
engkau melihat bagaimana ia keluar berwarna kuning melingkar?" (HR. Muslim, I/172
dan Bukhori, IV/158)

Segi istidlal-nya, adalah tidak kekalnya orang-orang yang berdosa besar di neraka, bahkan
orang yang dalam hatinya terdapat iman yang paling rendah pun akan dikeluarkan dari
neraka, dan iman seperti ini tidak lain hanyalah milik orang-orang yang penuh dengan
kemaksiatan dengan melakukan berbagai larangan serta meninggalkan kewajiban-
kewajiban.

 Dampak Maksiat

Maksiat adalah lawan ketaatan, baik itu dalam bentuk meninggalkan perintah maupun
melakukan suatu larangan. Sedangkan iman, sebagaimana telah kita ketahui adalah 70
cabang lebih, yang tertinggi adalah ucapan "la ilaha illallah" dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan di jalan. Jadi cabang-cabang ini tidak bernilai atau berbobot
sama, baik yang berupa mengerjakan (kebaikan) maupun me-ninggalkan (larangan).
Karena itu maksiat juga berbeda-beda. Dan maksiat berarti keluar dari ketaatan. Jika ia
dilakukan karena ingkar atau mendustakan maka ia bisa membatalkan iman.

Sebagaimana Alloh menceritakan tentang Fir'aun dengan firman-Nya: "Tetapi Fir'aun


mendustakan dan mendurhakai." (An-Nazi'at: 21) Dan terkadang maksiat itu tidak sampai
pada derajat tersebut sehingga tidak membuatnya keluar dari iman, tetapi memperburuk
dan mengurangi iman. Maka siapa yang melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri,
minum-minuman yang memabukkan atau sejenisnya, tetapi tanpa meyakini kehalalannya,
maka hilang rasa takut, khusyu' dan cahaya dalam hatinya; sekalipun pokok pembenaran
dan iman tetap ada di hatinya. Lalu jika ia bertaubat kepada Alloh dan mela-kukan amal
sholih maka kembalilah khasyyah dan cahaya itu ke dalam hatinya. Apabila ia terus
melakukan kemaksiatan maka bertambahlah kotoran dosa itu di dalam hatinya sampai
menutupi serta menguncinya -na'udzubillah!-. Maka ia tidak lagi mengenal yang baik dan
tidak me-ngingkari kemungkaran.

Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Abu Huroiroh Rodhiallohu anhu bahwa
Rosululloh  bersabda: "Sesungguhnya orang mukmin itu jika berbuat dosa maka
terbentuklah titik hitam di hatinya. Apabila ia bertaubat, meninggalkan dan beristighfar
maka mengkilaplah hatinya. Dan jika menambah (dosa) maka bertambahlah (bintik
hitamnya) sampai menutupi hatinya. Itulah 'rain' yang disebut oleh Allah dalam Al-Quran:
'Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup
hati mereka.' (Al-Muthaffifin: 14, HR. Ahmad, II/297)

Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan pengaruh maksiat atas iman, yaitu
bahwasanya iman itu seperti pohon besar yang rindang. Maka akar-akarnya adalah
tashdiq (kepercayaan) dan dengan akar itulah ia hidup, sedangkan cabang-cabangnya
adalah amal perbuatan. Dengan cabang itulah kelestarian dan hidupnya terjamin. Se-
makin bertambah cabangnya maka semakin bertambah dan sempurna pohon itu, dan jika
berkurang maka buruklah pohon itu. Lalu jika berkurang terus sampai tidak tersisa
cabang maupun batangnya maka hilanglah nama pohon itu. Manakala akar-akar itu tidak
mengeluarkan batang-batang dan cabang-cabang yang bisa berdaun maka keringlah akar-
akar itu dan hancurlah ia dalam tanah. Begitu pula maksiat-maksiat dalam kaitannya
dengan pohon iman, ia selalu membuat pengurangan dan aib dalam kesempurnaan dan
keindahannya, sesuai dengan besar dan kecilnya atau banyak dan sedikitnya kemaksiatan
tersebut.

Al-Imam Al-‟Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan secara panjang lebar


dampak negatif dari dosa dalam kitab Ad-Da`u wad Dawa` hal. 85-99. Beberapa di
antaranya bisa kita sebutkan di sini sebagai peringatan:

20
1) Terhalang dari ilmu yang haq. Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke
dalam hati, sementara maksiat akan memadamkan cahaya.

Tatkala Al-Imam Asy-Syafi‟i belajar kepada Al-Imam Malik, Al-Imam Malik


terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi‟i. Al-
Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini, “Aku memandang Alloh telah
memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya
tersebut dengan kegelapan maksiat.”

Al-Imam Asy-Syafi‟i pernah bersajak:

ٟ‫ْ َء ِح ْف ِر‬ُٛ‫ ٍْع ط‬١‫ ِو‬َٚ ٌَِٝ‫د إ‬


ُ ْٛ‫َػ َى‬

ًٌ ْ‫بي ا ْعٍَ ُْ ثِأ َ هْ ْاٌ ِع ٍْ َُ ـَض‬ ِ ‫ رَزْ ِن ْاٌ َّ َع‬ٌَِٝ‫ إ‬َِِٟٔ ‫ـَأَرْ َػ‬
َ َ‫ل‬َٚ ٟ‫بؿ‬

ِ ‫ ُْؤربَُٖ ع‬٠ َ‫ ـَضْ ًُ َّللاِ ال‬َٚ


‫َبؽ‬

“Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada Waki‟ Maka ia memberi bimbingan


kepadaku agar meninggalkan maksiat Ia berkata, “Ketahuilah ilmu itu merupakan
keutamaan dan keutamaan Allah tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.”

2) Terhalang dari beroleh rizki dan urusannya dipersulit.

Takwa kepada Alloh  akan mendatangkan rizki dan memudahkan urusan seorang
hamba sebagaimana firman-Nya:

ُ ١‫َزْ ُس ْلُٗ ِِ ْٓ َح‬٠َٚ ‫َةْ َعًْ ٌَُٗ َِ ْص َزجًب‬٠ َ‫ك َّللا‬


ُ‫َحْ ز َِظت‬٠ َ‫ْش ال‬ ِ ‫هزه‬٠ ْٓ َِ َٚ
“Siapa yang bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut
jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rizki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Tholaq: 2-3)

‫ُ ْظزًا‬٠ ِٖ ‫َةْ َعًْ ٌَُٗ ِِ ْٓ أَ ِْ ِز‬٠ َ‫ك َّللا‬


ِ ‫هزه‬٠ ْٓ َِ َٚ
“Siapa yang bertakwa kepada Alloh niscaya Alloh menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannya.” (Ath-Tholaq: 4)

Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba


terbelit urusannya.

3) Hati terasa jauh dari Alloh dan merasa asing dengan-Nya, sebagaimana jauhnya pelaku
maksiat dari orang-orang baik dan dekatnya dia dengan setan.

4) Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelapnya malam. Karena ketaatan adalah


cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam
hati, akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid‟ah,
kesesatan, dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta
yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki. Bila kegelapan itu
semakin pekat akan tampaklah tandanya di mata si hamba. Terus demikian, hingga
tampak di wajahnya yang menghitam yang terlihat oleh semua orang.

5) Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh, karena kekuatan seorang mukmin itu
bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat tubuhnya. Adapun orang
fajir/pendosa, sekalipun badannya tampak kuat, namun sebenarnya ia selemah-lemah
manusia.

6) Maksiat akan „memperpendek„ umur dan menghilangkan keberkahannya, sementara


perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya. Mengapa demikian?

21
Karena kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh bila hatinya hidup.
Sementara, orang yang hatinya mati walaupun masih berjalan di muka bumi,
hakikatnya ia telah mati. Oleh karenanya Allah l menyatakan orang kafir adalah mayat
dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka bumi:

‫َب ٍء‬١ ْ‫ ُز أَح‬١ْ ‫اد َؼ‬


ٌ َٛ ِْ َ‫أ‬

“Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21)

Dengan demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur
manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-
waktu kehidupannya yang dijalani karena Allah l, menghadap kepada-Nya, mencintai-
Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu, tidaklah terhitung
sebagai umurnya.

Bila seorang hamba berpaling dari Allah l dan menyibukkan diri dengan maksiat,
berarti hilanglah hari-hari kehidupannya yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan
jadi penyesalan baginya:

ُ ِْ ِ‫ لَ ه‬َِٟٕ‫ز‬١ْ ٌَ ‫َب‬٠
ِٟ‫َبر‬١‫ذ ٌِ َح‬

“Aduhai kiranya dahulu aku mengerjakan amal shalih untuk hidupku ini.” (QS. Al-
Fajr: 24)

7) Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya, sehingga terasa berat bagi si hamba
untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf: “Termasuk
hukuman perbuatan jelek adalah pelakunya akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain.
Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain. Seorang hamba bila
berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata, „Lakukan pula aku.‟
Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut, maka kebaikan ketiga akan
berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah
keuntungannya, kian bertambahlah kebaikannya. Demikian pula kejelekan….”

8) Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan
seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat, hingga pada akhirnya keinginan taubat
tersebut hilang sama sekali.

9) Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat, hatinya tidak lagi merasakan jeleknya
perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli
dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga
dengan maksiat yang dilakukannya.

Bila sudah seperti ini model seorang hamba, ia tidak akan dimaafkan, sebagaimana
berita dari Rasulullah;

َ ِ‫َ ْع َّ ًَ اٌ هز ُج ًُ ث‬٠ ْْ َ‫إِ هْ َِِٓ ْاٌـ ُّ َةب٘ ََز ِح أ‬َٚ ، َٓ٠ْ ‫ إِاله ْاٌـ ُّ َةب ِ٘ ِز‬ًٝ‫ ُِ َعبـ‬ِٟ‫ُوًُّ أُ هِز‬
ََ ِ‫ُـْ دج‬٠ ُ‫ ًِْ َع َّدَلً صُد ه‬٠ِّ َِ ًٌَِ‫ب‬
‫دؿ‬ُ ‫َ ْى ِؼ‬٠ َُ ِ‫ُـْ دج‬٠َٚ ،ُُّٗ‫َ ْظزُ ُزُٖ َرث‬٠ َ‫لَ ِْ ثَبد‬َٚ .‫ َو َذا‬َٚ ‫بر َحخ َو َذا‬ِ َ‫ذ ْاٌج‬ ُ ٍْ ِّ ‫ َع‬،ُْ َ‫َب ـَُل‬٠ :ُ‫ْ ي‬ُٛ‫َم‬١‫ ِٗ ـ‬١ْ ٍَ‫لَ ِْ َطز ََزُٖ َّللاُ َع‬َٚ
ُْٕٗ ‫ِط ْز َز َّللاِ َع‬

“Setiap umatku akan dimaafkan kesalahan/dosanya kecuali orang-orang yang berbuat


dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan
adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Alloh menutup
perbuatan jelek yang dilakukannya tersebut2 namun di pagi harinya ia berkata pada
orang lain, “Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.”
Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Tuhannya menutupi kejelekan yang
diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan (tabir) Alloh yang
menutupi dirinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 7410)

22
10) Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat
terdahulu yang telah dibinasakan oleh Alloh.

Perbuatan homoseksual adalah warisan kaum Luth. Mengambil hak sendiri lebih dari
yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan menguranginya, adalah warisan
kaum Syu‟aib. Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah
warisan dari kaum Fir‟aun.Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.

11) Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Robbnya.

Bila Alloh telah menghinakan seorang hamba maka tak ada seorang pun yang akan
memuliakannya.

ٍَ ‫ ِٓ َّللاُ ـَ َّب ٌَُٗ ِِ ْٓ ُِ ْى ِز‬ِٙ ُ٠ ْٓ َِ َٚ

“Siapa yang dihinakan Alloh niscaya tak ada seorang pun yang akan
memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)

Walaupun mungkin secara zhohir manusia menghormatinya karena kebutuhan mereka


terhadapnya atau mereka takut dari kejelekannya, namun di hati manusia ia dianggap
sebagai sesuatu yang paling rendah dan hina.

12) Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa, pada akhirnya ia akan meremehkan
dosa tersebut dan menganggapnya kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang
hamba. Karena bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Alloh

Al-Imam Al-Bukhor dalam Shohih-nya (no. 6308) menyebutkan ucapan sahabat yang
mulia Ibnu Mas‟ud z:

ِ َ‫إِ هْ ْاٌف‬َٚ ،ِٗ ١ْ ٍَ‫َمَ َع َع‬٠ ْْ َ‫بؾ أ‬


ٍ ‫ْ ثَُٗ َو ُذثَب‬ُٛٔ‫ ُذ‬ٜ‫َ َز‬٠ ‫بج َز‬
‫ة َِ هز‬ ُ َ‫َص‬٠ ًٍ َ‫ْ ثَُٗ َوأَٔهُٗ لَب ِع ٌِ رَحْ ذَ َجج‬ُٛٔ‫ ُذ‬ٜ‫َ َز‬٠ َِِٓ ‫إِ هْ ْاٌ ُّ ْؤ‬
َ َ‫ أَ ْٔفِ ِٗ ـَم‬ٍَٝ‫َع‬
‫بي ثِ ِٗ َ٘ َى َذا‬

“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah


gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa
memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup
mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”

13) Maksiat akan merusak akal. Karena akal memiliki cahaya, sementara maksiat pasti
akan memadamkan cahaya akal. Bila cahayanya telah padam, akal menjadi lemah dan
kurang.

Sebagian salaf berkata: “Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Alloh  hingga hilang
akalnya.” Hal ini jelas sekali, karena orang yang hadir akalnya tentunya akan
menghalangi dirinya dari berbuat maksiat. Ia sadar sedang berada dalam pengawasan-
Nya, di bawah kekuasaan-Nya, ia berada di bumi Alloh, di bawah langit-Nya dan para
malaikat Alloh menyaksikan perbuatannya.

14) Bila dosa telah menumpuk, hatipun akan tertutup dan mati, hingga ia termasuk orang-
orang yang lalai. Alloh  berfirman:

َْ ُْٛ‫َ ْى ِظج‬٠ ‫ْ ا‬ُٛٔ‫ ُْ َِب َوب‬ِٙ ِ‫ْ ث‬ٍُُٛ‫ ل‬ٍَٝ‫َوَله ثًَْ َراَْ َع‬
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu
menutup hati mereka.” (Al-Muthoffifin: 14)

Al-Hasan Al-Bashri berkata menafsirkan ayat di atas: “Itu adalah dosa di atas dosa
(bertumpuk-tumpuk) hingga mati hatinya.”3

23
15) Bila si pelaku dosa enggan untuk bertaubat dari dosanya, ia akan terhalang dari
mendapatkan doa para malaikat. Karena malaikat hanya mendoakan orang-orang yang
beriman, yang suka bertaubat, yang selalu mengikuti Al-Qur‟an dan Sunnah
Rosululloh.. Alloh  berfirman:

‫ا َرثهَٕدب‬ٛ‫َٓ آ َُِٕد‬٠‫َْ ٌٍِهد ِذ‬ُٚ‫َ ْظزَ ْؽفِز‬٠َٚ ِٗ ِ‫َْ ث‬ُِِٕٛ ‫ ُْؤ‬٠َٚ ُْ ِٙ ِّ‫َْ ثِ َح ّْ ِِ َرث‬ُٛ‫ُ َظجِّح‬٠ ٌَُٗ ْٛ‫ َِ ْٓ َح‬َٚ ‫ع‬ َ ْ‫َْ ْاٌ َعز‬ٍُِّٛ ْ‫َح‬٠ َٓ٠‫اٌه ِذ‬
ُْ ٍُْٙ ‫أَ ْد ِخ‬َٚ ‫ َرثهَٕب‬.ُ١ِ ‫اة ا ٌْ َة ِح‬
َ ‫ ُْ َع َذ‬ِٙ ِ‫ل‬َٚ َ‫ٍَه‬١ِ‫ا َطج‬ُٛ‫ارهجَع‬َٚ ‫ا‬ُٛ‫َٓ رَبث‬٠‫ ِع ٍْ ًّب ـَب ْؼفِزْ ٌٍِه ِذ‬َٚ ً‫ ٍء َرحْ َّخ‬ْٟ ‫ ِطعْذَ ُو هً َػ‬َٚ
ُُ ‫د‬ِٙ ِ‫ل‬َٚ .ُُ ١‫ ُش ْاٌ َح ِى‬٠‫ ُْ إِٔههَ أَ ْٔذَ ْاٌ َع ِش‬ِٙ ِ‫هبر‬٠ ِّ‫ ُذر‬َٚ ُْ ِٙ ‫اج‬
ِ َٚ ‫أَ ْس‬َٚ ُْ ِٙ ِ‫ؿٍَ ََ ِِ ْٓ آثَبئ‬
َ ْٓ َِ َٚ ُْ َُٙ‫ َع ِْر‬َٚ ِٟ‫د َع ِْ ٍْ اٌهز‬ِ ‫َجٕهب‬
ُُ ١‫ْ ُس ْاٌ َع ِر‬َٛ‫ ْاٌف‬َٛ ُ٘ َ‫ َذٌِه‬َٚ َُٗ‫ْ َِئِ ٍذ ـَمَ ِْ َر ِح ّْز‬َٛ٠ ‫د‬ ِ ‫ َِ ْٓ ر‬َٚ ‫د‬
ِ ‫ِّئَب‬١‫َك اٌ هظ‬ ِ ‫ِّئَب‬١‫اٌ هظ‬
“Malaikat-malaikat yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya
bertasbih memuji Rabb mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan
ampun bagi orang-orang yang beriman, seraya berucap, „Wahai Rabb kami, rahmat
dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang
yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka
yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn
yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih di antara
bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semuanya.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha memiliki hikmah. Dan
peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari
pembalasan kejahatan pada hari itu maka sungguh telah Engkau anugerahkan rahmat
kepadanya dan itulah kemenangan yang besar‟.” (QS. Ghofir: 7-9)

B. Iman Kepada Alloh

Beriman kepada Alloh maknanya adalah kita meyakini dan membenarkan semua penjelasan
dan berita dari Alloh dan rosul-Nya tentang Alloh „Azza wa Jalla; yang meliputi:i:

1. Beriman Kepada Wujud/Keberadaan Alloh. Kita mengetahui bahwa manusia bukanlah


yang menciptakan dirinya sendiri, karena sebelumnya ia tidak ada. Sesuatu yang tidak ada
tidak bisa mengadakan sesuatu. Manusia tidak pula diciptakan oleh ibunya, dan tidak pula
oleh bapaknya, serta tidak pula muncul secara tiba-tiba. Sesuatu yang terwujud sudah
pasti ada yang mewujudkannya. Dari sini kita mengetahui keberadaan Alloh  Pencipta
kita dan Pencipta alam semesta. Alloh  berfirman:

َُْٛ‫ ٍء أَ َْ ُ٘ ُُ ْاٌصَ بٌِم‬ْٟ ‫ ِْز َػ‬١‫ا ِِ ْٓ َؼ‬ُٛ‫أَ َْ ُخٍِم‬


“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri)?” (QS. Ath Thur: 35)

2. Beriman kepada dzat Alloh, yaitu keyakinan bahwa Alloh itu wahid (satu), Ahad (esa),
fard (sendiri), shomad (tempat bergantung, tidak mengambil shohibah (pasangan atau
istri) juga tidak beranak.

3. Beriman bahwa Alloh adalah Robbul ‘Aalamiin Maksudnya adalah beriman bahwa
Alloh adalah al-Kholiq (Pencipta) dan pemilik segala sesuatu, tidak ada sekutu dalam
kerajaan-Nya, Pengatur, pemelihara dan al-Malik (penguasa) alam semesta, ar-Roziq(
pemberi) rezeki, al-Muhyi (Yang Menhidupkan) dan al-Mumit (Yang mematikan)
Beriman bahwa Alloh adalah Robbul „Aalamin, disebut juga beriman kepada rububiyyah
Alloh. Termasuk beriman kepada rububiyyah-Nya adalah; Alloh lah penguasa yang
berhak membuat dan menetapkan syariat (aturan dan hukum) kepada semua manusia.
Alloh lah yang berhak secara mutlak mengatur apa yang dibolehkan (halal) dan dilarang
(harom) bagi manuisa, dengan kata lain hukum itu hanya milik Alloh semata,
sebagaimana tertera dalam firman-Nya:

          ….

24
.Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Alloh. Maha suci Alloh, Tuhan
semesta alam. (QS. Al-A'rof: 54)

                  ...

 

"....keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui." (QS. Yusuf: 40)

4. Beriman bahwa Alloh adalah Al-Ilaah (Al Ma’buud bihaq) Maksudnya beriman
bahwa hanya Alloh yang berhak untuk disembah dan diibadahi, serta ditujukan berbagai
macam ibadah, seperti; khudu' (tunduk), khusyu (takut), inabah (taubat), tholab
(memohon) do'a, berkurban, nadzar dan lain sebagainya. Beriman bahwa hanya Alloh
yang berhak disembah disebut juga beriman kepada Uluhiyyah Alloh. Inilah yang
diingkari oleh orang-orang musyrik, sehingga mereka menyembah dan berdoa kepada
selain Alloh, seperti menyembah kepada patung dan berhala.
5. Beriman kepada nama-nama Alloh dan sifat-Nya Maksudnya kita mengimani bahwa
Alloh memiliki nama-nama dan sifat yang telah ditetapkan Alloh dalam Al Qur‟an dan
Rasul-Nya dalam As Sunnah, tanpa tamtsil (menyamakan dengan sifat makhluk), takyif
(menanyakan “Bagaimana hakikat sifat Alloh?”), ta‟thil (meniadakan) dan tanpa ta‟wil
(mengartikan lain, seperti mengartikan “Tangan” diartikan dengan “Kekuasaan”). Bahkan
sikap kita adalah sebagaimana dikatakan ulama ”Amirruuhaa kamaa jaa‟at” (Biarkanlah
sebagaimana datangnya).

C. Iman Kepada Malaikat Alloh

Malaikat adalah salah satu jenis makhluk Alloh yang diciptakan khusus untuk beribadah dan
taat kepada-Nya serta mengerjakan semua tugas-tugas-Nya. Sebagaiman dijelaskan Alloh dan
firman-Nya:

              

     

Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan malaikat-malaikat yang di
sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula)
merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. (QS. Al-
Anbiya: 19-20)

Beriman kepada malaikat maksudnya kita mengimani segala penjelasan Alloh dan Rosul-Nya
tentang malaikat.. Malaikat adalah makhluk Alloh yang berada di alam ghoib yang senantiasa
beribadah kepada Alloh Ta‟ala. Mereka tidak memiliki sedikit pun sifat-sifat ketuhanan dan
tidak berhak disembah. Alloh menciptakan mereka dari cahaya dan mengaruniakan kepada
mereka sikap selalu tunduk kepada perintah-Nya serta diberikan kesanggupan untuk
menjalankan perintah-Nya.

Jumlah mereka sangat banyak, tidak ada yang mengetahui jumlahnya selain Alloh sendiri.
Dalam hadits Israa‟-Mi‟raj disebutkan, bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

ٍ ٍََِ َ‫َْ أَ ٌْدؿ‬ُٛ‫ْ ٍَ َطد ْجع‬ٛ‫َد‬٠ ً‫د ِٗ ُود ه‬١ِ‫ ـ‬ٍِّٟ‫ُـد‬


‫ده إِ َذا‬ َ ٠ ‫ ُر‬ٛ‫ْدذ ْاٌ َّ ْع ُّد‬
ُ ١َ‫بي َ٘د َذا ْاٌج‬
َ َ‫ً ـَم‬٠
َ ‫ذ ِجج ِْز‬ ُ ٌْ َ ‫ ُر ـَ َظأ‬ُّٛ ‫ْذ ْاٌ َّ ْع‬
ُ ١َ‫ ْاٌج‬َٟ ٌِ ‫ـَ ُزـِ َع‬
ُْ ِٙ ١ْ ٍَ‫آخ َز َِب َع‬ ِ ِٗ ١ْ ٌَِ‫ا إ‬ٚ‫ ُد‬ُٛ‫َع‬٠ ُْ ٌَ ‫ا‬ُٛ‫خَ َزج‬

25
“Lalu ditampakkan kepadaku Al Baitul Ma‟mur (ka‟bah penghuni langit ketujuh), aku pun
bertanya kepada Jibril (tentangnya), maka ia menjawab, “Ini adalah Al Baitul Ma‟mur,
setiap harinya 70.000 malaikat shalat di situ. Setelah keluar, mereka tidak kembali lagi
sebagai kewajiban terakhir mereka.” (HR. Bukhori)

 Kepercayaan Manusia Tentang Malaikat Sebelum Islam

Orang-Orang musyrik jahiliyyah menyangka bahwa para malaikat adalah anak-anak


perempuan Alloh  . Alloh telah membantah mereka dan menjelaskan tentang hal ini:

             

   

"Atau Apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka


menyaksikan(nya)? Ketahuilah bahwa Sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-
benar mengatakan: "Alloh beranak". dan Sesungguhnya mereka benar-benar orang yang
berdusta". (QS. As-Shoffat: 150-152)

 Termasuk ke dalam beriman kepada malaikat adalah:

1. Mengimani wujud mereka


2. Mengimani malaikat yang telah diberitahukan kepada kita namanya Sedangkan yang
tidak kita ketahui namanya, maka kita imani secara ijmal (garis besar), yakni bahwa Alloh
memiliki malaikat dalam jumlah banyak.
3. Mengimani sifat malaikat yang telah diberitahukan kepada kita sifatnya. Misalnya
malaikat Jibril, Rosululloh shollallohu „alaihi wa sallam pernah melihatnya dalam wujud
aslinya, di mana ia memiliki 600 sayap (HR. Bukhori), masing-masing sayap menutupi
ufuk (HR. Ahmad). Contoh lainnya adalah sifat malaikat pemikul „arsy (singgasana),
Rosululloh shallallohu „alaihi wa sallam bersabda:

َ ِ‫َٓ ػَحْ َّ ِخ أُ ُذِٔ ِٗ ا‬١ْ َ‫ع َِب ث‬


َ‫ َْزح‬١‫ عَبرِمِد ِٗ َِ ِظد‬ٌٝ َ ِ‫ أَ ْْ أُ َح‬ْٟ ٌِ َْ‫أُ ِذ‬
ِ ْ‫ ِِ ْٓ َح ٍََّ ِخ ْاٌ َعز‬ٌَٝ‫ِّس ع َْٓ ٍََِ ٍه ِِ ْٓ ََِلَئِ َى ِخ َّللاِ رَ َعب‬
‫َط ْج ِع ِّبئَ ِخ َطَٕ ٍخ‬

“Saya diizinkan menceritakan tentang salah satu malaikat Alloh yang memikul „arsy,
bahwa jarak antara bagian bawah telinganya dengan pundaknya sejauh perjalanan 700
tahun.” (Silsilah Ash Shohiihah: 151)

4. Mengimani tugas malaikat yang telah diberitahukan kepada kita. Di antara tugas mereka
adalah bertasbih malam dan siang, beribadah, berthowaf di Baitul Ma‟mur dan
sebagainya.

 Macam-Macam Malaikat dan Tugasnya

Malaikat adalah hamba Alloh yang dimuliakan dan utusan-Nya yang dipercaya. Mereka
membawa risalah Tuhannya dan menunaikan tugasnya masing-masing di alam semesta ini.
Mereka bermacam-macam dan masing-masing memiliki tugas-tugas khusus, di antaranya
adalah:

1. Malaikat penyampai/pembawa wahyu Alloh kepada para rosul. Dia adalah ar-Ruhul amin
Malaiat Jibril alaihi salam.

          

26
Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. (QS. As-
Syu'aro: 193-194)

2. Malaikat yang diserahi mengurus hujan, dia menurunkan dan membaginya sesuai
kehendak Alloh Ta'ala:
3. Malaikat yang diserahi terompet, yaitu Isrofil alaihi salam. Dia meniupnya sesuai perintah
Alloh Ta'ala dengan 3 kali tiupan; tiupan faza' (ketakutan), tiupan sho'aq (kematian) dan
tiupan ba'ts (kebangkitan)

             

Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain,
kemudian ditiup lagi, sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya (QS. Al-
Kahfi: 99)

4. Malaikat pencabut ruh, yaitu malaikat maut dan rekan-rekannya

            

Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan


mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan." (QS.
Sajdah: 11)

5. Malaikat penjaga surga.

              

      

Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam syurga berombong-
rombongan (pula). sehingga apabila mereka sampai ke syurga itu sedang pintu-pintunya
telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan
(dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah syurga ini, sedang kamu
kekal di dalamnya". (QS. Az-Zumar: 73)

6. Malaikat penjaga neraka jahanam, mereka itu adalah Zabaniyah. Para pemimpinnya ada
19 dan pemukanya adalah Malik alaihi salam.

         

Mereka berseru: "Hai Malik Biarlah Tuhanmu membunuh Kami saja". Dia menjawab:
"Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)".(QS. Az-Zuhruf: 77)

7. Malaikat yang ditugaskan menjaga seorang hamba dalam segala ihwalnya. Mereka adalah
Mu'aqqibat, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

27
             

    

Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-
Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada
salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-
Malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. (QS. Al-An'am: 61)

8. Malaikat yang ditugasi mengawal amal seorang hamba, baik amal sholeh maupun amal
buruk. Mereka adalah al-Kirom al-Katibun. Mereka masuk Hafadzoh (para penjaga)
sebagaima disebutkan dalam firman-Nya:

              

  

(yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di
sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. (QS.
Qof: 17-18)

 Hubungan Malaikat dan Manusia

Alloh mewakilkan kepada para malaikat urusan semua makhluk-Nya termasuk urusan
manusia. Mereka mempunyai hubungan erat dengan manusia semenjak awal fase penciptaan
sampai kematiannya. Malaikatlah yang ditugasi mengurus adzab dan nikmat dalam alam
kubur hingga setelah hari kebangkitan. Merekalah yang ditugasi meneguhkan iman bagi
hamba-hamba yang mukmin dengan seizin Alloh. Para malaikat adalah wali penolong di
dunia dan akhirat. Para malaikat adalah duta penghubung antara Alloh dan hamba-Nya.
Turun dengan perintah dari sisi-Nya di seluruh penjuru alam semesta, dan naik kepada-Nya
dengan perintah (membawa urusan).

D. Iman Kepada Kitab-Kitab Alloh

Kita juga wajib beriman bahwa Alloh  telah menurunkan kitab-kitab dan telah memberikan
kepada beberapa rosul suhuf (lembaran-lembaran berisi wahyu). Semuanya adalah firman
Alloh yang diwahyukan kepada rosul-rosul-Nya agar mereka menyampaikan kepada manusia
syari‟at-Nya. Firman Alloh bukanlah makhluk karena firman termasuk sifat-sifat-Nya
sedangkan sifat-sifat-Nya bukanlah makhluk.

Termasuk ke dalam beriman kepada kitab-kitab Alloh adalah:

1. Beriman bahwa kitab-kitab itu turun dari sisi Alloh.

            

              

   

28
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq,
Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang
diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun
diantara mereka dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".(QS. Al-Baqoroh: 136).

2. Beriman kepada kitab-kitab Alloh tersebut baik secara tafshil (rinci) maupun ijmal (garis
besar). Secara tafshil maksudnya kita mengimani penjelasan Al Qur‟an dan As Sunnah
yang menyebutkan tentang kitab-kitab Alloh tersebut secara rinci seperti namanya adalah
kitab ini dan diberikan kepada nabi yang bernama ini dsb. Sedangkan secara ijmal
maksudnya kita mengimani bahwa Alloh  telah menurunkan kitab-kitab kepada rosul-
rosul-Nya meskipun tidak disebutkan namanya, yang disebutkan namanya antara lain:

a. Shuhuf Ibrohim dan Musa alaihima salam:

         

Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam Kitab-Kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-
Kitab Ibrahim dan Musa (QS. Al-A'la: 18-19).

b. Taurat kepada Nabi Musa alaihi salam:

....       

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi)....(QS. Al-Maidah: 44)

c. Zabur Nabi Daud alaihi salam:

              

         

   

Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah


memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah
memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa,
Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada Daud.(QS. An-
Nisaa: 163)

d. Injil kepada nabi Isa alaihi salam:

             

            

Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi Nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam,
membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu: Taurat. dan Kami telah memberikan
kepadanya kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang

29
menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu kitab Taurat. dan menjadi
petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Maidah: 46)

3. Membenarkan berita yang ada dalam kitab tersebut yang masih murni (belum dirubah)
Seperti berita Al Qur‟an dan berita kitab-kitab yang belum dirubah. Kita katakan “yang
masih murni” karena kitab-kitab selain Al Qur‟an tidak dijaga kemurniannya seperti
halnya Al Qur‟an yang dijaga kemurniannya oleh Alloh . Sedangkan kitab-kitab selain
Al Qur‟an seperti Taurat dan Injil sudah dicampuri oleh tangan-tangan manusia dengan
diberikan tambahan, dirubah, dikurangi, atau dihilangkan sehingga tidak murni lagi
seperti keadaan ketika diturunkan. Alloh  berfirman,

ِ َٛ ِ‫َْ ْاٌ َىٍِ َُ عَٓ ه‬ُٛ‫ َُحزِّ ـ‬٠ ‫ا‬ٚ


ِٗ ‫اض ِع‬ ْ ‫َٓ َ٘ب ُد‬٠‫َِِّٓ اٌه ِذ‬

“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS.


An Nisaa‟: 46)

4. Mengamalkan hukum yang terkandung dalam kitab-kitab tersebut selama belum dihapus
disertai dengan sikap ridho dan menerima. Namun setelah diturunkan Al Qur‟an, maka
kitab-kitab sebelumnya sudah mansukh (dihapus) tidak bisa diamalkan lagi; yang
diamalkan hanya Al Qur‟an saja atau hukum yang dibenarkan oleh Al Qur‟an saja.
Sulaiman bin Habib pernah berkata, “Kita hanya diperintahkan beriman kepada Taurat
dan Injil dan tidak diperintah mengamalkan hukum yang ada pada keduanya.”

            

               

               

            

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,


membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji
kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu, (QS. Al-Maidah: 48)

E. Beriman Kepada Rosul-Rosul Alloh

Rosul adalah orang yang mendapat wahyu dengan membawa syari‟at yang baru, sedangkan
nabi adalah orang yang diutus dengan membawa syari‟at rasul yang datang sebelumnya.

Para rosul adalah manusia, mereka tidak memiliki sedikit pun sifat rububiyyah (mencipta,
mengatur dan menguasai alam semesta), mereka tidak mengetahui yang ghaib, dan tidak
mampu mendatangkan manfaat atau pun menolak madharrat (bahaya). Alloh Ta‟ala
menyuruh Nabi-Nya Muhammad  di mana Beliau adalah pemimpin para rasul dan rasul
yang paling tinggi kedudukannya- untuk mengatakan:

ِ ١ َ‫د ِِدَٓ ْاٌص‬


َٟ ِٕ‫ َِدب َِظهد‬َٚ ‫ْدز‬ َ ١‫ٕدذ أَ ْعٍَد ُُ ْاٌ َؽ‬
ُ ْ‫ْدت الَطْدزَ ْىضَز‬ ّ ‫ضد ّزاً إِاله َِدب َػدبء‬
ُ ‫ْ ُو‬ٛ‫ٌَد‬َٚ ُ‫َّللا‬ َ َ‫ال‬َٚ ً ‫ َٔ ْفعدب‬ٟ‫ه ٌَِٕ ْف ِظد‬ ُ ٍِِْ َ‫لًُ اله أ‬
ْ َ
َُِِْٕٛ ‫ ُْؤ‬٠ ٍَ َْٛ‫ ٌز ٌِّم‬١‫ثَ ِؼ‬َٚ ‫ ٌز‬٠‫ ُء إِ ْْ أَٔب إِاله َٔ ِذ‬ُّٛ‫اٌظ‬

30
“Katakanlah, “Aku tidak berkuasa menarik manfaat bagi diriku dan tidak pula menolak
madharrat kecuali yang diikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah
aku banyak memperoleh manfaat dan sedikit pun aku tidak ditimpa madharrat. Aku tidak lain
hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”
(QS. Al A‟raaf : 188)

 Perbedaan Nabi dan Rosul

a. Kenabian (nubuwah) adalah syarat kerosulan (risalah), artinya adalah tidak bisa menjadi
rosul orang yang bukan nabi. Kenabian lebih umum dari kerosulan. Setiap rosul pasti
nabi, tetapi tidak setiap nabi pasti rosul
b. Rosul membawa risalah kepada orang (umat) yang tidak mengerti tentang agama dan
syariat Alloh  , atau kepada kaum yang telah mengubah syariat dan agama, untuk
mengajari mereka atau mengembalikan mereka ke dalam syariat Alloh. Dia adalah hakim
bagii mereka. Sedangkan nabi diutus untuk meneruskan/membawa syariat nabi/rosul
sebelumnya.

Diantara sebab yang menghalangi orang-orang kafir beriman kepada Nabi Muhammad 
adalah karena Beliau manusia, mereka mengatakan “Mengapa Alloh mengutus rosul dari
kalangan manusia?” Kalau seandainya mereka mau berpikir tentu mereka akan mengetahui
bahwa di antara hikmah Alloh mengutus rasul dari kalangan manusia adalah agar dapat
diteladani, ditiru, dan diikuti perbuatannya. Karena kalau dari kalangan malaikat bagaimana
dapat diikuti, bukankah malaikat itu tidak makan dan tidak minum, juga tidak menikah?
Termasuk ke dalam beriman kepada rosul-rosul Alloh adalah:

1. Beriman bahwa risalah mereka benar-benar dari sisi Alloh.Oleh karena itu barang siapa
yang ingkar kepada salah seorang rosul, maka sama saja telah ingkar kepada semua rosul.
2. Mengimani rosul yang telah diberitahukan kepada kita namanya Sedangkan yang tidak
diberitahukan namanya, maka kita mengimaninya secara ijmal (garis besar).
3. Membenarkan berita mereka yang shahih.
4. Mengamalkan syari‟at rosul yang diutus kepada kita. Dan rosul yang diutus kepada kita
sekarang adalah Muhammad . Beliau adalah penutup para nabi dan rosul, tidak ada lagi
nabi setelahnya.

 Nubuwah Adalah Anugerah Ilaahi

Kenabian bukanlah kedudukan yang dapat diraiih atau diusahakan dengan cara-cara tertentu,
akan tetapi ia adalah kedudukan yang tinggi dan pangkat istimewa yang diberikan dan
dikaruniakan oleh Alloh  kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya. Alloh menjaganya
dari pengaruh setan dan memeliharanya dari kemusyirikan karena rahmat dan kasih sayang-
Nya semata tanpa ada upaya yang ia kerahkan untuk mendapatkan dan untuk mencapai
derajat kenabian itu. Kenabian adalah murni karuni Alloh dan nikmat-Nya semata. Artinya
bahwa tidak ada campur tangan manusia dalam menentukan siapa yang berhak menerima
rahmat kenabian dan kerosulan.

               

              

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Alloh, Yaitu Para Nabi dari
keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan
Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami
pilih. apabila dibacakan ayat-ayat Alloh yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka mereka
menyungkur dengan bersujud dan menangis. (QS. Maryam: 58)

 Beriman Kepada Segenap Rosul

31
Artinya adalah membenarkan dengan seyakin-yakinnya bahwa Alloh mengutus seorang rosul
pada setiap umat untuk mengajak mereka beribadah kepada Alloh semata tanpa
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, serta mengingkari kepada setiap yang disembah
selain-Nya. Setiap rosul adalah benar, mulia, luhur, mendapat petunjuk serta menunjuki orang
lain. Mereka telah menyampaikan apa yang menjadi tugas mereka, tanpa mengurangi,
menambah atau menyembunyikan apalagi mengubah risalah.

               

                

              

              

  

Dan berkatalah orang-orang musyrik: "Jika Alloh menghendaki, niscaya Kami tidak akan
menyembah sesuatu apapun selain Dia, baik Kami maupun bapak-bapak Kami, dan tidak
pula Kami mengharamkan sesuatupun tanpa (izin)-Nya". Demikianlah yang diperbuat orang-
orang sebelum mereka; Maka tidak ada kewajiban atas Para rosul, selain dari
menyampaikan (amanat Alloh) dengan terang. Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Alloh (saja), dan jauhilah Thaghut
itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula
di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu
dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rosul-rosul). (QS. An-Nahl: 35-36)

Tidak termasuk iman kepada para rosul, jika pengangkatan dan pengagungan kepada mereka
melebihi batas kedudukan yang telah Alloh berikan kepada mereka. Pada dasarnya para rosul
adalah manusia biasa yang Alloh pilih dan siapkan untuk memikul risalah-Nya. Tabiat
mereka adalah tabiat manusia, mereka tidak memiliki hak uluhiyyah (ketuhanan). Mereka
tidak mengetahui hal-hal yang ghoib kecuali apa yang telah Alloh beritahukan kepada
mereka.

           

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.. ".(QS. Al-Kahfi: 110)

                   

           

Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku,
dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu
bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka Apakah kamu
tidak memikirkan(nya)?" (QS. Al-An'am: 50)

 Beriman Kepada Muhammad Sebagai Nabi dan Rosul

32
Alloh telah menyempurnakan agama Islam dan meridhoinya melalui tangan Rosululloh yang
diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, penutup para nabi dan rosul. Rosululloh adalah
rosul untuk bangsa jin dan manusia, pemberi kabar gembira dan peringatan, menyeru
keduanya kepada Alloh . Maka setiap orang yang mengetahui kerosulannya namun tidak
beriman kepadanya, ia berhak mendapat ancaman berupa siksa neraka.

            ....
...

"...pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu...." (QS. Maidah: 3)

                

 

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi Dia
adalah Rosululloh dan penutup nabi-nabi. dan adalah Alloh Maha mengetahui segala
sesuatu.(QS. Al-Ahzab: 40)

Alloh  menjadikan al-Quran al-karim sebagai hujjah (argumen), dalil serta bukti terkuat atas
kenabian Muhammad  kepada segenap manusia dan jin. Al-Quran adalah mukjizat abadi
kenabian Beliau hingga hari kiamat terjadi.

            

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.(QS. Saba: 28)

Nabi  menegaskan akan ingkarnya orang-orang yang pernah mendengar kerosulannya


namun kemudian tidak mengimaninya hingga dia mati, Beliau bersabda yang artinya:

"Demi Alloh yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seorangpun mendengar
tentang aku dari umat ini, seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian dia meninggal dunia dan
tidak beriman kepada apa yang aku diutus karenanya, melainkan pasti termasuk penduduk
neraka (HR. Ahmad I/34).

F. Beriman Kepada Hari Akhir

Beriman kepada hari akhir maksudnya adalah mengimani semua penjelasan Alloh dan Rosul-
Nya yang menyebutkan tentang keadaan setelah mati, seperti: Fitnah kubur, azab dan nikmat
kubur, Ba‟ts (kebangkitan manusia), Hasyr (pengumpulan manusia), bertebarannya catatan
amal, Hisab (pemeriksaan amal), Mizan (timbangan), Haudh (telaga), Shirat (jembatan),
syafa‟at, surga, neraka dsb.

Dalil tentang kewajiban beriman terhadap hal-hal di atas sangat banyak, ada yang bersifat
umum tentang beriman kepada perkara-perkara akhirat sebagai pujian kepada orang-orang
mukmin yang beriman kepada hal tersebut, ada juga yang bersifat khusus untuk sebagian
perkara akhirat seperti siksa kubur dan kenikmatannya, kebangkitan dll.

Dalil umum di antaranya adalah friman Alloh dalam surat al-Baqoroh ayat: 62

33
           

            

"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-


orang Shobiin[56], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Alloh,
hari kemudian dan beramal baik, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak
ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".

Di antara dalil-dalil khusus tentang sebagian perkara akhirat adalah;

   

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-Kautsar". (QS. Al-Kautsar: 1)

Al-Kautsar adalah sebuah telaga yang akan diberikan kepada Rosululloh  sebagai tempat
minum umatnya, kecuali orang-orang yang menyalahi sunnahnya

 Metode al-Quran Dalam Menetapkan Akan Adanya Hari Kebangkitan

Di antara ajaran Rosululloh  yang ditentang oleh masyarakat jahiliyyah adalah tentang
kebangkitan setelah kematian atau bangkit dari kubur. Mereka menganggap hal itu adalah
perkara yang mustahil terjadi. Mereka menyangka tubuh yang telah hancur melebur dengan
tanah tidak mungkin akan bisa kembali seperti sedia kala. Alloh  berfirman:

             

       

Mereka berkata: "Apakah betul, apabila Kami telah mati dan Kami telah menjadi tanah dan
tulang belulang, Apakah Sesungguhnya Kami benar-benar akan dibangkitkan ?
Sesungguhnya Kami dan bapak-bapak Kami telah diberi ancaman (dengan) inidahulu, ini
tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu kala!". (QS. Al-Mukminuun: 82-83)

Al-Quran telah meyakinkan akan adanya kebangkitan setelah kematian dan menyanggah
orang-orang yang mengingkarinya melalui beberapa metode yang tepat, sehingga memaksa
akal dan nalar manusia untuk menerima dan tunduk kepadanya. Metode tersebut bisa
disaksikan, diindera serta dipahami dengan mudah oleh akal sehat manusia. Di antara
metode-metode tersebut adalah:

1) Metode pertama: berargumen dengan penciptaan langit dan bumi serta benda-benda
yang agung yang menjadi bukti akan kesempurnaan dan kemahakuasaan Alloh yang
absolut; Alloh lebih kuasa terhadap perkara yang lebih kecil dari pada hal itu semua.
Alloh menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:

              

        

34
Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah yang menciptakan
langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, Kuasa
menghidupkan orang-orang mati? Ya (bahkan) Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu. (QS. Al-Ahqof: 33)

2) Metode ke-dua: Berargumen dengan penciptaan manusia yang pertama kali. Artinya
adalah Alloh mampu menciptakan manusia pertama kali, maka Alloh pun mampu
mengembalikan penciptaan manusia yang ke-dua kalinya. Alloh berfirman:

              

     

Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan


(menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-
Nya. dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ruum: 27)

3) Metode ke-Tiga: Alloh menegakan bukti akan adanya hari kebangkitan dengan cara
menghidupkan bumi sesudah mati. Alloh Ta'ala berfirman:

             

Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami
hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti Itulah kamu akan dikeluarkan (dari
dalam kubur).(QS. Az-Zuhkruf: 11)

4) Metode ke-Empat: Al-Quran mengabarkan bahwa Alloh telah menghidupkan sebagian


orang yang sudah mati di dunia. Alloh berfirman:

               

        

Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh
menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu
sembunyikan. Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota
sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah
mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. (QS.
Al-Baqoroh: 72-73).

Termasuk beriman kepada hari akhir adalah beriman kepada tanda-tanda hari kiamat, seperti
keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa „alaihissalam, keluarnya Ya‟juj-Ma‟juj, dan terbitnya
matahari dari barat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam:

َ ‫ُٔد ُش‬َٚ ‫َدب‬ِٙ‫ض ِِ ْٓ َِ ْؽ ِزث‬


‫ي‬ٚ ِ ّْ ‫ َع اٌ هؼ‬ٍُُٛ‫ط‬َٚ َ‫اٌ هِاثهخ‬َٚ ‫هبي‬
َ ‫اٌ هِج‬َٚ َْ‫د ـَ َذ َو َز اٌُِّخَ ب‬ ٍ ‫َب‬٠‫َب َع ْؼ َز آ‬ٍَٙ‫ْ َْ لَ ْج‬ٚ‫ ر ََز‬ٝ‫ ََ َحزه‬ُٛ‫َب ٌَ ْٓ رَم‬ٙ‫إِٔه‬
ْ
ٌ ‫خَ ْظد‬َٚ ‫ق‬
‫دؿ‬ ِ ‫دز‬ِ ‫دؿ ثِ ْبٌ َّ ْؼد‬ ٍ ‫صَ ََلصَدخَ ُخ ُظد‬َٚ ‫ط‬ُٛ
ٌ ‫ؾ خَ ْظد‬ٛ‫د‬ َ ‫ َِددأج‬َٚ ‫ط‬ُٛ َ ‫َددأَج‬٠َٚ َُ ‫ َط دٍه‬َٚ ِٗ ‫د‬١ْ ٍَ‫ددُ َع‬ٙ‫ اٌٍه‬ٝ‫ؿدٍه‬ َ َُ َ٠ ْ‫دٓ َِددز‬
ِ ‫ ا ْثد‬ٝ‫ َظدد‬١‫ِع‬
ِ ‫ َِحْ َؼ ِز‬ٌَِٝ‫بص إ‬
*ُْ ٘ ْ ‫َ َّ ِٓ ر‬١ٌ‫آخ ُز َذٌِهَ َٔب ٌر ر َْص ُز ُط َِِٓ ْا‬
َ ‫َط ُز ُد إٌه‬ ِ َٚ ‫ة‬ ِ ‫ز ِح ْاٌ َع َز‬٠ ٌ ‫خَ ظ‬َٚ ‫ة‬
َ ‫ْؿ ثِ َة ِش‬ ِ ‫ثِ ْبٌ َّ ْؽ ِز‬
“Sesungguhnya kiamat tidak akan tegak sampai kalian melihat sebelumnya sepuluh tanda.”
Beliau menyebutkan sebagai berikut, “Adanya Dukhan (asap), Dajjal, Daabbah (binatang
melata), terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa putera Maryam, Ya‟juj dan Ma‟juj,
adanya tiga khasf (penenggelaman bumi) di timur, di barat, dan di jazirah Arab, dan yang

35
terakhir dari semua itu adalah keluarnya api dari Yaman menggiring manusia ke tempat
berkumpulnya.” (HR. Muslim).

Apabila sudah tiba tanda besar ini, maka sudah sangat dekat sekali hari kiamat. Sebelum
tibanya tanda-tanda tersebut, akan didahului tanda-tanda kecilnya di antaranya adalah
diangkatnya ilmu (yaitu dengan banyak diwafatkannya para ulama), perzinaan merajalela,
wanita lebih banyak daripada laki-laki, amanah akan disia-siakan dengan diserahkan urusan
kepada yang bukan ahlinya, banyaknya pembunuhan, dan banyaknya gempa bumi
(berdasarkan hadits-hadits yang shohih).

 Kebangkitan dan Mahsyar (Penghimpunan)

Setelah matinya semua makhluk hidup pada tiupan pertama, mereka tetap seperti itu sebelum
dibangkitkan kembali. Apabila jasad-jasad telah utuh kembali seperti semula, maka ditiupkan
sangsakala yang ke-dua, kemudian kembalilah semua ruh ke dalam jasadnya masing-masing.
Alloh Ta'la berfirman:

               

        

Dan ditiuplah sangkalala, Maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya
(menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata: "Aduhai celakalah kami! siapakah yang
membangkitkan Kami dari tempat-tidur Kami (kubur)?". Inilah yang dijanjikan (tuhan) yang
Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya).(QS. Yasin: 51-52)

Sesudah kebangkitan ini maka manusia digiring menuju padang mahsyar (tempat berkumpul).
Alloh berfirman:

          

(yaitu) pada hari bumi terbelah-belah Menampakkan mereka (lalu mereka ke luar) dengan
cepat. yang demikian itu adalah pengumpulan yang mudah bagi kami. (QS. Qoof: 44).

           

Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan
dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami
tinggalkan seorangpun dari mereka. (QS. Al-Kahfi: 47)

Berikut ini beberapa keadaan dalil yang menerangkan apa yang terjadi pada hari kiamat
sebelum manusia masuk ke dalam surga atau neraka:

1) Hisab (perhitungan amal)

Alloh Ta'ala memperlihatkan kepada manusia apa yang telah dilakukannya di dunia. Alloh
juga akan membalas antara makhluk yang satu dengan yang lainnya. Alloh berfirman:

               

      

36
Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya
kalung) pada lehernya. dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang
dijumpainya terbuka. "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai
penghisab terhadapmu".(QS. Al-Isro: 13-14)

2) Haudh (Telaga)

Adalah tempat berkumpulnya air, yaitu telaga besar tempat meminumnya umat Nabi
Muhammad  pada hari kiamat. Mereka yang terhalang dari meminum air telaga ini adalah
orang-orang yang menyelisihi petunjuk Beliau  dan menggantinya dengan petunjuk yang
yang lain. Diantara hadist-hadist yang mutawatir yang menerangkan tentang ini adalah apa
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik bahwasanya Nabi 
bersabda:

" Sesungguhnya aku berada di atas haudh, aku menunggu siapa di antara kalian yang datang
kepadaku. Demi Alloh sesungguhnya orang-orang pasti akan dihalangi sebelum sampai ke
padaku. Kemudian aku pasti akan berkata: Ya Robb (mereka) itu adalah dari golonganku,
dari umatku. Maka Dia berfirman: " Sesunggunya engkau tidak mengetahui apa yang telah
mereka lakukan sesudahmu, maka mereka mundur berpaling"

3) Mizan (Neraca/Timbangan)

Adalah timbangan dalam arti yang sesungguhnya (hakiki), yang mempunyai dua daun
timbangan. Dipasang untuk menimbang amal perbuatan para hamba sesudah selesai dihisab,
penetapan amal dan penyodorannya kepada anak Adam. Alloh Maha Adil, tidak akan ada
seorangpun yang akan dianiaya. Alloh mendatangkan amal-amal manusia sekalipun seberat
biji sawi (kiasan untuk menunjukan kecilnya ukuran amal tersebut) dan mendatangkan
balasan yang setimpal dengannya. Alloh Ta'ala berfirman

              

:        

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami
mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (QS. Al-
Anbiya: 47).

4) Shiroth (Jalan)

Artinya adalah jalan, yaitu jembatan yang membentang di atas punggung neraka Jahannam
sebagai satu-satunya jalan menuju Surga Alloh  Melewati shiroth adalah berlaku umum bagi
seluruh manusia, yang tidak mungkin masuk ke dalam surga kecuali setelah berhasil melewati
jembatan ini. Alloh berfirman:

          

Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. hal itu bagi
SeTuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. (QS. Maryam : 71)

Rosululloh  menjelaskan bahwa melewati shiroth adalah suatu pemandangan yang


menakutkan. Kemampuan menyeberangi shiroth berpulang kepada istiqomahnya seseorang
dalam meniti Islam. Maka barang siapa yang istiqomah di atas ajaran agama Alloh, maka ia
akan mampu menyeberangi shiroth, dan demikian juga sebaliknya. Dalam banyak hadits

37
dijelaskan bahwa amal baik itu adalah sarana untuk melintasi siroth dan sebab keselamatan.
Alloh  akan menyelamatkan mereka sesudah melintasi shiroth dan membiarkan orang-orang
yang dzolim berlutut di atas shiroth tidak bisa melewatinya. Alloh  berfirman:

        

Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-
orang yang zalim di dalam neraka dalam Keadaan berlutut. (QS. Maryam: 72)

5) Syafa'at

Secara bahasa artinya adalah; mengumpulkan/menggabungkan sesuatu dengan sejenisnya,


perantara, dan permintaan. Secara terminologi artinya adalah; meminta kebaikan untuk orang
lain, dengan bergabungnya orang yang lebih tinggi kedudukannya dan martabatnya kepada
orang yang lebih rendah. Termasuk syafa'at adalah doa atau permohonan seseorang kepada
Alloh untuk saudaranya, agar Alloh menuntun saudaran tersebut kepada kebenaran atau
menghindarkannya dari mara bahaya, atau mengampuninya dari segala dosa dan kesalahan.
Hal itu dilakukan di dunia untuk saudaranya yang telah meninggal maupun pada hari kiamat
kelak.

Syafa'at merupakan sebab di antara beberapa sebab yang dapat membuat Alloh Ta'ala
berbelas kasih kepada orang yang Dia kasihi dari para hamba-Nya. Maka yang berhak
mendapat syafa'at adalah para ahli tauhid, dan yang terhalang dari syafa'at adalah ahli syirik.
Alloh Ta'ala berfirman:

                   

 

Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Alloh, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisa: 48)

Syafa'at di sisi Alloh berbeda dengan syafa'at yang ada pada selain-Nya. Ia harus memenuhi
dua syarat:

1) Syarat pertama; Adanya izin Alloh kepada syaafi' (pemberi syafa'at) untuk memberikan
syafa'atnya, hal ini didasarkan atas firman Alloh Ta'ala:

        

"....tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Alloh tanpa izin-Nya..." (QS. Al-Baqoroh: 255)

            

Pada hari itu tidak berguna syafa'at kecuali (syafa'at) orang yang Alloh Maha Pemurah
telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya. (QS. Thoha: 109)

2) Syarat ke-dua; ridho kepada masyfu' lahu (orang yang disyafa'ati). Ridho Alloh tidak
dapat diperoleh kecuali dengan mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya yaitu dari
golongan orang-orang yang beriman serta berbuat dan beramal sholih. Alloh Ta'ala
berfirman:

38
             

                

  

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah
Sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Alloh ridho
terhadap mereka dan merekapun ridho kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Tuhannya. (QS. Al-Bayyinah: 7-8)

              

Alloh mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang
mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Alloh, dan
mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. (QS. Al-Anbiya: 28)

 Macam-Macam Syafa'at:

a. Syafa'at Udzma (Agung), yaitu khusus dimiliki oleh Nabi 


b. Syafa'at penduduk surga agar dapat memasukinya.
c. Syafa'at untuk orang-orang yang jumlah kebaikannya sama dengan dosa-dosanya, agar
dia bisa masuk surga.
d. Syafa'at untuk mengangkat derajat ahli surga di atas yang semestinya.
e. Syafa'at untuk orang-orang yang sudah diputuskan untuk masuk neraka supaya tidak
memasukinya.
f. Syafa'at untuk orang-orang agar masuk surga tanpa hisab.
g. Syafa'at untuk mengeluarkan orang-orang Islam yang berdosa besar yang telah masuk
neraka, agar dikeluarkan darinya.
h. Syafa'at Rosul  untuk meringankan siksa pamannya Abu Tholib yang meninggal dalam
keadaan tidak beriman.

Di antara hikmah mengapa Alloh sering menyebutkan hari akhir dalam Al Qur‟an adalah
karena beriman kepada hari akhir memiliki pengaruh yang kuat dalam memperbaiki keadaan
seseorang sehingga ia akan mengisi hari-harinya dengan amal baik, ia pun akan lebih
semangat untuk mengerjakan ketaatan itu sambil berharap akan diberikan pahala di hari itu.
Demikian pula akan membuatnya semakin takut ketika mengisi hidupnya dengan
kemaksiatan apalagi sampai merasa tenteram dengannya. Beriman kepada hari akhir juga
membantu seseorang untuk tidak berlebihan terhadap dunia dan tidak menjadikannya sebagai
tujuan hidupnya. Di antara hikmahnya juga adalah menghibur seorang mukmin yang kurang
mendapatkan kesenangan dunia karena di hadapannya ada kesenangan yang lebih baik dan
lebih kekal.

G. Beriman Kepada Qodho dan Qodar

Sebelum membicarakan makna beriman kepada qodar Alloh, alangkah baiknya kita simak
perkatan Abdullah bin Umar radhiyallahu „anhuma terhadap orang-orang yang ingkar kepada
qodar:

ِِِّٟٕ ‫ُ ُْ ث َُزآ ُء‬ٙ‫أَٔه‬َٚ ،ُْ ُْٕٙ ِِ ‫ ٌء‬ٞ‫ ثَ ِز‬َِّٟٔ‫ٌَئِهَ ـَأ َ ْخجِزْ ُ٘ ُْ أ‬ُٚ‫ذَ أ‬١ِ‫ـَئ ِ َذا ٌَم‬

“Jika engkau menemui mereka (orang-orang yang ingkar kepada qodar), maka beritahukan
mereka, bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka juga berlepas diri dariku.”

39
ُ
ِ َِ‫ ُْؤ َِِٓ ثِ ْبٌم‬٠ ٝ‫ ـَأ َ ْٔفَمَُٗ َِب لَجِ ًَ َّللاُ ِِ ُْٕٗ َحزه‬،‫ْ أَ هْ ِألَ َح ِِ ِ٘ ُْ ِِ ْض ًَ أ ُح ٍِ َذَ٘جًب‬ٌَٛ
‫َر‬

“Kalau sekiranya salah seorang di antara mereka mempunyai emas sebesar gunung Uhud,
lalu ia infakkan, maka Alloh tidak akan menerimanya sampai ia beriman kepada qodar.”
(Diriwayatkan oleh Muslim)..

Qodho adalah hukum Alloh  yang telah Dia tetapkan untuk alam semesta ini. Dia jalankan
ala mini sesuai dengan konsekuensi hukum-Nya dan sunnah-sunnah yang Dia kaitkan antara
akibat dengan sebab-sebabnya, semenjak Alloh menghendakinya sampai selama-lamanya.
Oleh karenanya setiap kejadian di alam semesta ini adalah berdasarkan takdir yang
mendahuluinya, sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Alloh dan yang telah Dia atur.
Maka apa yang terjadi berarti dia telah ditakdirkan dan ditentukan qodhonya oleh Alloh .
Begitu pula apa yang belum terjadi berarti dia belum ditakdirkan dan belum ditentukan
qodhonya. Artinya; apa yang ditakdirkan bukan bagianmu, maka tidak akan mengenaimu,
dan apa yang ditakdirkan mengenaimu, tidak akan meleset darimu. Itulah makna beriman
kepada qodar yaitu kita meyakini dan membenarkan bahwa semua yang terjadi di alam
semesta ini yang baik mapun yang buruk adalah dengan qodho‟ Alloh dan qodar-Nya.
Semuanya telah diketahui Alloh, telah ditulis, telah dikehendaki, dan diciptakan Alloh. Dalam
surat al-Hadis ayat 22-23 Alloh berfirman;

                 

                

    

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian
itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak
menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,

Alloh  berbuat adil dalam qodho‟ dan qodar-Nya. Semua yang ditaqdirkan-Nya adalah sesuai
hikmah yang sempurna yang diketahui-Nya. Alloh tidaklah menciptakan keburukan tanpa
adanya maslahat, namun keburukan dari sisi buruknya tidak bisa dinisbatkan kepada-Nya.
Tetapi keburukan masuk ke dalam ciptaan-Nya. Apabila dihubungkan kepada Alloh Ta‟ala,
maka hal itu adalah keadilan, kebijaksanaan, dan sebagai rahmat/kasih-sayang-Nya.. Alloh
telah menciptakan kemampuan dan iradah (keinginan) untuk hamba-hamba-Nya, di mana
ucapan yang keluar dan perbuatan yang dilakukan sesuai kehendak mereka, Alloh tidak
memaksa mereka, bahkan mereka berhak memilih.

Segala sesuatu apabila disandarkan kepada Alloh adalah keadilan, hikmah dan rahmat. Maka
keburukan murni tidak termasuk ke dalam sifat Alloh dan juga tidak ke dalam perbuatan-Nya.
Dia memiliki kesempurnaan mutlak. Segala kenikmatan dan kebaikan yang diterima manusia
adalah berasal dari Alloh. Sedangkan keburukan yang menimpanya adalah karena dosa dan
kemaksiatannya. Tidak seorangpun bisa lari dari takdir yang telah ditetapkan-Nya. Tidak ada
sesuatupun yang terjadi dalam kerajaan-Nya ini, melainkan apa yang telah Dia kehendaki.
Alloh tidak ridho kepada kekufuran untuk hamba-Nya. Dia telah menganugerahi manusia
sebuah kemampuan untuk memilih dan berikhtiar, oleh kerenanya segala perbuatan manusia
adalah terjadi atas kemampuannya dan kemauannya dengan seizin Alloh. Dia memberi
petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki dengan hikmah-Nya. Alloh tidak ditanya apa
yang Dia lakukan, tetapi manusialah yang akan ditanya tentang perbuatan yang telah mereka
kerjakan.

40
Manusia merasakan bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan, yang dengannya ia
akan berbuat atau tidak, ia juga bisa membedakan antara hal yang terjadi dengan
keinginannya seperti berjalan, dengan yang tidak diinginkannya seperti bergemetar. Akan
tetapi, kehendak dan kemampuan seseorang tidak akan melahirkan ucapan atau perbuatan
kecuali dengan kehendak atau izin Alloh, namun ucapan atau perbuatan tersebut tidak mesti
dicintai Alloh meskipun terwujud.

 Tingkatan Beriman Kepada Takdir


1. Tingkat Pertama:
Iman kepad ilmu Alloh yang merupakan sifat Alloh sejak azali. Alloh  mengetahui
segala sesuatu, menguasai segala sesuatu, tidak ada makhluk sekecil apapun di langit dan
di bumi yang tidak Dia ketahui. Alloh  mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum ia
diciptakan, mengetahui hal ihkwal mereka di masa yang akan datang semuanya, baik
yang rahasia maupun yang terang-terangan. Alloh  berfirman:

                

               

 
Dan orang-orang yang kafir berkata: "Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada
kami". Katakanlah: "Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib,
Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. tidak ada tersembunyi daripada-
Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula)
yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh)", (QS. Saba: 3)

2. Tingkat Ke-Dua
Meyakini dan membenarkan bahwa Alloh  telah menulis dan mencatat takdir makhluk-
Nya di Lauh al-Mahfudz. Tidak ada sesuatupun yang terlupakan. Alloh  berfirman:

               

        


Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS.
Al-An'am: 38)

3. Tingkat Ke-Tiga
Iman kepada masyi'ah (kehendak) Alloh dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa yang
Dia kehendaki pasti terjadi atas kekuasaan-Nya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya
pasti tidak akan pernah terjadi, bukan karena tidak mampu, melainkan karena Alloh 
tidak menghendakinya. Alloh berfirman:

               

               

Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan
orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu adalah lebih besar
kekuatannya dari mereka? dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di

41
langit maupun di bumi. Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS.
Al-Fathir: 44)

        


Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Alloh, Tuhan semesta alam. (QS. At-Takwir: 29)

4. Tingkat Ke- Empat


Mengimani bahwa Alloh adalah Pencipta segala sesuatu, tidak ada Kholiq selain-Nya, dan
tidak ada Robb (Tuhan) selain-Nya. Alloh  berfirman:

              

    


Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan
tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), Dia telah menciptakan segala sesuatu,
dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS.Al-Furqon: 2)

    


Padahal Alloh-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (QS.
Shoffat: 96)

 Macam-Macam Taqdir
1. Takdir Pertama
Takdir umum (Takdir Azali) meliputi segala sesuatu dalam 50 ribu tahun sebelum
terciptanya langit dan bumi. Alloh menciptakan al-Qolam dan memerintahkan-Nya
menulis segala sesuatu yang ada sampai hari kiamat. Alloh berfirman:

                

     


Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Alloh. (QS. Al-
Hadid: 22).
Rosululloh  bersabda:
" Alloh telah menulis takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Dia
menciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, dan Arsy-Nya berada di atas Air"
(HR. Muslim)

2. Takdir Ke-Dua
Takdir umuri, yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya,
ketika pembentukan janin sampai pada sesudah itu, bersifat umum mencakup riski,
perbuatan, bahagia dan sengsara.

3. Takdir Ke-Tiga
Takdir Sanawi (tahunan), yaitu dicatat pada malam lailatul qodar setiap tahun. Alloh
 berfirman:
             
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang
besar dari sisi kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, (QS.
Ad-Dhukhon: 4-5)

42
Para ahli tafsir menyebutkan, pada malam itu ditulislah semua apa yang bakal terjadi
dalam satu tahun; mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain, untuk
memilah kejadian dalam satu tahun yang kesemuanya itu telah dicatat sebelumnya
dalam Lauh al-Mahfudz, sekaligus ditetapkan dalam takdir umuri apa yang berkaitan
khusus dengan individu. Alloh Maha Menjaga segala sesuatu.

4. Takdir Ke-Empat
Takdir yaumi (harian), yaitu dikhususkan untuk semua peristiwa yang telah
ditakdirkan dalam satu hari, mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan,
mengampuni dosa, menghilangkan kesulitan dan lain sebagainya. Alloh  berfirman:

           
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadanya. Setiap waktu Dia
dalam kesibukan (QS. AR-Rohman: 29).
Yang dimaksudkan dengan Alloh senantiasa dalam keadaan menciptakan,
menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rezki dan lain lain.

 Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal-Jama'ah Dalam Menetapkan Qodho dan Qodar
1. Beriman kepada rububiyyah Alloh yang mutlak. Dia adalah Robb, Penguasa yang
menciptakan segala sesuatu, yang mengajarinya, mentakdirkannya, menginginkannya
serta menulisnya.
2. Sesungguhnya manusia mempunyai kemampuan, kehendak dan ikhtiar yang dengan
hal itu terwujudlah perbuatan-perbuatan dan atas dasar itu maka manusia mendapat
balasan atas semua perbuatannya berupa pahala dan siksa.
3. Kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk berbuat dan berikhtiar tidaklah keluar
dari qudroh (ketentuan) dan masyi'ah (kehendak) Alloh  . Dialah yang
menganugerahkan semua hal itu kepadanya, dan menjadikannya mampu memilah dan
memilih. Maka perbuatan apa saja yang dia pilih, tidaklah keluar dari kehendak,
ketentuan dan penciptaan Alloh 
4. Beriman kepada takdir yang baik dan buruk hal itu disandarkan kepada makhluk,
artinya takdir baik dan buruk itu dilihat dari kaca mata makhluk. Adapun jika
disandarkan kepada Alloh maka seluruh takdir adalah baik, dan keburukan tidak
dialamatkan kepada Alloh.
Ilmu Alloh, kehendak-Nya, penulisan serta penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu
adalah hikmah, keadilan, rahmat dan kebaikan. Keburukan tidak masuk sedikitpun
kepada sifat-sifat dan atau perbuatan-perbuatan Alloh. Tidak ada kekurangan atau
keburukan pada Dzat Alloh. Bagi-Nya adalah kesempurnaan dan keagungan yang
mutlak, oleh karenanya tidaklah disandarkan keburukan itu kepada-Nya secara
tersendiri, sekalipun keburukan itu ada pada makhluk-Nya, akan tetapi itu bukanlah
keburukan yang hakiki.

 Berargumen Dengan Takdir Untuk Melakukan Maksiat


Dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah menjelaskan kedudukan hukum orang yang
beralasan, berdalih atau berargumen dengan takdir dalam rangka meninggalkan perintah
dan melanggar larangan. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Alloh adalah al-Kholiq, Pencipta segala sesuatu, maka selain Alloh adalah makhluk,
termasuk di dalamnya adalah semua perbuatan baik dan buruk yang dikerjakan dan
dilakukan oleh manusia. Apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan pernah terjadi.
2. Sesungguhnya hikmah Alloh menjadikan sebagian makhluk-Nya sebagai mukallaf
(terbebani dengan hukum) adalah untuk mengujinya manusia tersebut, sebagaimana
yang difirmankan dalam al-Quran surat Hud ayat 7:

43
           

           

        


Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah):
"Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang
kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata".

Firman Alloh dalam surat al-Mulk ayat 2:

            
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,

Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa manusia diciptakan untuk diuji agar berbuat baik.
Hal itu sesuai kadar kemampuannya untuk melakukan atau meninggalkan satu perbuatan
setelah sebelumnya makrifah (mengetahui). Kemampuan seperti itu telah terpenuhi
dengan anugerah Alloh yang berbentuk;
Pertama; akal sehat yang merupakan tumpuan taklif. Maka orang yang berakal adalah
orang yang mukallaf, dan siapa saja yang hilang akal maka hilang pula sifat taklify.
Ke-dua; Normalnya alat yang menjadi tolak ukur kemampuan dari segi kesehatan dan
kemampuan.

Adapun yang dimaksud dengan makrifah (mengetahui), adalah mengetahui apa yang
diujikan. Alloh  telah menjadikan sumber-sumber makrifah itu beraneka macam, baik
yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. Sumber dari dalam adalah fitrah dan
akal, adapun sumber dari luar adalah wahyu Alloh yang telah diberikan kepada rosul-Nya
serta telah disampaikan kepada umat manusia. Semua itu menjadi motivator kepada
manusia untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Sedangkan yang memotivasi kejahatan
adalah syaiton yang memanfaatkan keinginan-keinginan hawa nafsu. Alloh  juga telah
memberikan kemampuan untuk mengganggu manusia serta mempengaruhi mereka,
sekaligus Alloh memerintahkan manusia untuk meminta perlindungan kepada-Nya dari
kejahatan-kejahatan syaiton.

Alloh adalah hakim yang maha Adil. Dia mempunyai hujjah (argumentasi) yang nyata
untuk hamba-hamba-Nya. Dia menjadikan faktor pendorong kebaikan lebih banyak
daripada faktor pendorong kejahatan. Alloh telah jelaskan dua jalan itu dalam firman-Nya
surat al-Balad ayat: 10:

  


Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan jalan kejahatan).

Setelah manusia dibekali dengan sumber-sumber makrifah, maka manusia mengambil


jalan sesuai yang dia kehendaki, baik menuruti berbagai faktor pendorong kebaikan untuk
mengalahkan berbagai faktor kejahatan. Atas dasar ini maka manusia berhak mendapat
balasan kebaikan pula berupa surga. Adapun yang memilih jalan keburukan mengikuti
berbagai faktor pendorong kejahatan, maka iapun berhak untuk mendapat ancaman
berupa siksa di neraka.

44
Semua pilihan perbuatan itu terjadi atas kemauan dan keinginan manusia sendiri. Dia
merasa dengan sadar sesadar –sadarnya bahwa itu adalah pilihan dan keinginannya tanpa
ada yang memaksa. Jika ia mau maka ia melakukan, jika ia enggan maka ia bisa
meninggalkan perbuatan yang tidak dia inginkan. Hal ini semua dapat dimengerti dengan
jelas secara sempurna dan dirasakan oleh setiap insan serta dikuatkan dengan dalil-dalil
dari al-Quran dan as-Sunnah.

Selanjutnya pelaksanaan kebaikan dan keburukan oleh manusia itu tidaklah meniadakan
sandarannya kepada Alloh  yang telah menciptakan perbuatan-perbuatan itu. Hal ini
karena Alloh lah yang menciptakan segala perbuatan-perbuatan manusia beserta sebab-
sebabnya. Maka barang siapa yang beralasan dengan takdir untuk berbuat kejahatan dan
dosa, maka alasan itu tidak masuk akal dan tidaklah bisa diterima. Alloh  telah mencela
orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi'ah (kehendak) Alloh atas kekufuran
yang mereka perbuat. Alloh  berfirman:

              

             

               

     


Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Alloh
menghendaki, niscaya Kami dan bapak-bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan
tidak (pula) Kami mengharamkan barang sesuatu apapun." demikian pulalah orang-
orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rosul) sampai mereka merasakan
siksaan kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga
dapat kamu mengemukakannya kepada kami?" kamu tidak mengikuti kecuali
persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah: "Alloh
mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi
petunjuk kepada kamu semuanya". (QS. Al-An'am: 148-149)

Mereka menjadikan masyi'ah (kehendak) Alloh  sebagai tanda ridho. Padahal Alloh 
tidaklah ridho dan mencintai kesyirikan, bahkan Alloh mengutuk dan melarangnya. Apa
saja yang diperintahkan oleh Alloh  itulah yang dicintai dan diridhoi-Nya, demikian pula
sebaliknya. Perlu dipahami bahwa keberadaan kesyirikan sebagai sesuatu yang buruk dan
dimurkai oleh Alloh  tidaklah mengeluarkan keburukan itu dari masyi'ah Alloh yang
bersifat universal (kauniyyah). Artinya adalah, kebaikan dan keburukan apapun yang
terjadi pada diri seseorang, hal itu tidak terlepas dari kehendak dan masyi'ah Alloh .
Maka berargumen dengan takdir ketika melakukan keburukan hal itu telah merusak arti
pembalasan atas amal perbuatan, serta merusak hikmah penciptaan surga dan neraka.
Alloh berfirman:

              

 
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya ? (QS. Yunus: 99).

Masyi'ah (kehendak) Alloh  menuntut adalah taklif (kewajiban/tuntutan yang


dibebankan kepada manusia). Orang yang berargumen dengan takdir atas perbuatan jahat

45
yang dia kerjakan, dia sendiri tentu akan menolak hujjah orang lain yang berbuat jahat
kepadanya. Dia tentu akan tetap menuntut balas kepada orang lain yang telah berbuat
jahat kepadanya. Seandainya takdir itu dapat dijadikan alasan/argumen, tentu akan takdir
akan menjadi alasan bagi semua perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk. Jika
itu dibenarkan maka hilanglah makna taklif pada diri manusia.

 Bedalih Dengan Takdir Ketika Tertimpa Musibah


Berhujjah atau beralasan dan berdalih dengan takdir ketika tertimpa musibah, maka itu
dibolehkan. Segala sesuatu yang telah ditakdirkan menimpa seseorang, pasti akan
mengenainya sekalipun manusia berusaha sekuat daya untuk menghindarinya. Musibah
itu adalah kehendak-Nya yang wajib diterima dengan lapang dada dan ridho. Musibah
terjadi di luar kehendak manusia, sekalipun manusia tidak menginginkan tertimpa suatu
musibah apapun, namun musibah tetap datang menimpanya. Hal ini dikuatkan dengan
pembelaan nabi Adam alaihi salam terhadap nabi Musa alaihi salam, yang tercantum
dalam hadits Nabi  yang artinya:

" Adam dan Musa alaihima salam berbantah-berbantahan, Musa alaihi salam berkata;
"hai Adam, Anda adalah bapak kami, Anda telah mengecewakan kami dan mengeluarkan
kami dari surga". Maka Adam alaihi salam berkata kepadanya: " Engkau Musa alaihi
salam, Alloh tela memilihmu dengan kalam-Nya dan menuliskan untukmu dengan
Tangan-Nya. Apakah Engkau (pantas) mencelaku berdasar suatu perkara yang telah
ditakdirkan Alloh menimpaku sebelum aku diciptakan 40 puluh tahun?. Maka nabi 
bersabda: " Maka Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa alaihi
salam". (HR. Muslim)

Hadits di atas menjelaskan bahwa, dosa yang telah dilakukan Nabi Adam alaihi salam
adalah musibah yang telah ditetapkan takdirnya oleh Alloh  kepada dirinya. Maka ketika
nabi Musa alaihi salam menyalahkan dirinya atas dosa nabi Adam alaihi salam yang
menyebabkan manusia dikeluarkan dari surga, kemudian Nabi Adam alaihi salam
membantah bahwa dosa yang dia kerjakan adalah musibah yang telah Alloh  tetapkan.
Bantahan Nabi Adam alaihi salam itu adalah dalih bahwa dosa itu adalah musibah yang
telah ditakdirkan kepadanya, bukan berdalih untuk membela dosa yang telah beliau
kerjakan.

Maka hujjah nabi Adam mengalahkan nabi Musa alaihi salam. Nabi Musa pun tidak
menyalahkan Adam atas kemaksiatannya yaitu memakan sesuatu dari pohon. Nabi Musa
alaihi salam lebih mengerti untuk tidak mencela nabi Adam atas dosanya yang juga sudah
ditaubati, dan Alloh pun menerima taubatnya. Nabi Adam pun lebih mengerti untuk tidak
ber hujjah dengan takdir dalam rangka membela perbuatan dosanya, namun berhujjah
dengan takdir atas musibah dosa yang telah menimpanya, dan perbuatan dosa yang telah
dimintakan taubatnya tidaklah pantas untuk dicela.

@@@@@@@@@@

46
47

Anda mungkin juga menyukai