Anda di halaman 1dari 9

HUKUM SYARA’

Makalah disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Ushul Fiqh

Dosen Mata Kuliah : Ahmad Napis Qurtubi, Lc.MA

Disusun Oleh :

1. Rohiman (193106700077)
2. Nurlaila (193106700069)
3. Siti Jamilah (193106700081)

Program Studi Pendidikan Agama Islam

Fakultas Agama Islam

Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

Tahun 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat-
Nya sehingga Penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Syara’.”

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen pengampu mata


kuliah Ushul Fiqh yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan.

Mungkin saat menulis, Penulis banyak menyusun kata-kata yang kurang tepat
sehingga sulit untuk dipahami oleh para Pembaca. Penulis juga menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah
SWT dan kekurangan hanyalah milik kita sebagai hamba-Nya.

Oleh karena itu kritik dan saran dari Pembaca sangat diharapkan oleh Penulis
demi memperbaiki makalah selanjutnya

Jakarta, Juni 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Segala amal perbuatan manusia dan tutur katanya tidak lepas dari ketentuan
hokum syari’at, baik hukum syari’at yang tercantum didalam al-Quran dan as-
Sunnah, maupun yang tidak tercantum dalam keduanya, akan tetapi terdapat pada
hokum syari’at yang lain.

Sebagaimana yang dikatakan imam Ghazali bahwa mengetahui hukum syara’


merupakan inti dari ilmu fiqh dan ushul fiqh. Hukum syara’ berhubungan dengan
perbuatan mukallaf. Meskipun dari tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau
hukum syara’ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh
meninjau hasil penggalian hukum syara’ yakni ketetapan Allah yang berhubungan
dengan orang-orang mukallaf, baik berupa perintah atau larangan, pilihan, maupun
berupa wadh’i (sebab akibat)

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari hukum syara’?
b. Ada berapa pembagian hukum syara’?
c. Apa saja pembagian hukum syara’?

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Syara’


Secara bahasa hukum syara’ berarti mencegah atau memutuskan. Sedangkan
menurut istilah hukum syara’ adalah kitab Allah yang mengatur perbuatan orang
mukallaf baik berupa perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau mengerjakan
dan juga anjuran untuk meninggalkan atau kebolehan memilih diantara dua hal yakni
melakukan atau meninggalkan serta ketentuan yang menetapkan sesuatu karena
dengan adanya sebab atau penghalang.
Hukum syara’ atau hukum syar’i ialah seruan atau ketetapan syar’i pembuat
hukum, dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf, baik ketetapan itu berupa tuntutan mengerjakan sesuatu yang berarti
perintah yang wajib dikerjakan atau tuntutan meninggalkan sesuatu, yang berarrti
larangan yang haram dikerjakan atau dilaksanakan, atau ketetapan hukum berupa hal
mubah yang berarti boleh dikerjakan boleh juga ditinggalkan, maupun ketetapan
hukum yang menjadikan dua hal berkaitan dengan salah satu menjadi sebab atau
rintangan terhadap yang lain.
Dari definisi diatas maka jelaslah bahwa hukum syara’ adalah hukum dari
kitab Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan hukum fiqh atau ilmu fiqh dan
bukan hukum yang membicarakan tentang aqidah dan akhlak

2. Pembagian Hukum Syara’


Hukum syara’ dibagi menjadi 2, yaitu :
a) Hukum Taklifi
Hukum taklifi ialah hukum syara’ yang mengandung perintah yang wajib
dikerjakan seperti mengerjakan sholat, menunaikan zakat, dan melaksanakan
ibadah haji atau hukum syara’ yang mengandung larangan yang haram
dikerjakan seperti memakan harta anak yatim atau hukum syara’ yang
memberikan kebebasan memilih antara melakukan atau tidak melakukan.
Hukum taklifi dibagi menjadi 5, yaitu :
1) Wajib : Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan
apabila ditinggalkan mendapatkan dosa

2
2) Sunnah : Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan
apabila tidak dikerjakan tidak mendapat dosa
3) Haram : Suatu perbuatan yang jika dilakukan akan mendaoat dosa dan jika
tidak dikerjakan akan mendapat pahala
4) Makruh : Suatu perbuatan yang jika dikerjakan tidak mendapat dosa dan
jika tidak dikerjakan dapat pahala
5) Mubah : Suatu perbuatan yang jika dikerjakan tidak mendapat pahala dan
dosa dan jika tidak dikerjakan juga tidak mendapat pahala ataupun dosa
b) Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i ialah hukum syara’ yang menjadikan dua hal saling berkaitan
dan salah satu dijadikan sebab terhadap yang lain
Contoh hukum wadh’i ialah melihat tanggal bulan ramadhan menjadi sebab
wajib berpuasa, sesuai dengan hadist Nabi SAW

‫ص ُْو ُم ْوالِرُؤيَتِ ِه َوأَ ْف ِطر ُْوالِر ُْؤيَتِ ِه‬


“berpuasalah kamu karena melihat bulan ramadhan dan berbukalah kamu
karena melihat bulan syawal”
Hukum wadh’i terbagi menjadi 3, yaitu :
1) Sebab : Suatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda dari hukum atau sebab
ialah sesuatu yang oleh syar’i dijadikan pertanda atas sesuatu yang lain yang
menjadi akibatnya, sehingga menghubungkan adanya akibat tanpa adanya
sebab, dan tiada akibat tanpa sebab, maka dari itu ada sebab ada juga akibat.
2) Syarat : Sesuatu yang tidak adanya hukum tergantung ada dan tidak adanya
sesuatu itu. Yang dimaksud dengan adanya sesuatu itu adalah sesuatu yang
menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh kepada ada dan tidak adanya
hukum. Syarat juga merupakan sesuatu yang berada diluar hukum syar’i,
tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak
ada, maka hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan
adanya hukum
3) Mani’ : Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya
hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat. Penghalang itu ada
bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syar’i menetapkan
bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya,

3
memenuhi syarat-syarat dan tidak ada penghalang dalam melaksanakannya.
Sebaliknya, hukum tidak ada apabila sebab dan syarat-syaratnya tidak ada atau
adanya halangan untuk mengerjakannya.
Sebagai misal, Sholat dzuhur wajib dikerjakan apabila telah tergelincir
matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat) tetapi karena orang yang akan
mengerjakan itu sedang haid (mani’), maka sholat dzuhur itu tidak sah
dikerjakan

4
BAB III

KESIMPULAN

Hukum syara’ adalah hukum dari kitab Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan
hukum fiqh atau ilmu fiqh dan bukan hukum yang membicarakan tentang aqidah dan akhlak.
Hukum syara’ terbagi menjadi 2 yaitu, hukum taklifi dan hukum wadh’i. hukum taklifi ialah
hukum taklifi ialah hukum syara’ yang mengandung perintah yang wajib, sunnah, haram,
makruh, dan mubah. Hukum wadh’i ialah hukum syara’ yang menjadikan dua hal saling
berkaitan dan salah satu dijadikan sebab terhadap yang lain. Hukum wadh’i terbagi 3 yaitu
sebab, syarat, dan mani’.

5
DAFTAR PUSTAKA

https://www.ilmusaudara.com/2016/05/pengertian-hukum-syara-serta-macam.html?m=1
https://irameblog.wordpress.com/20017/06/07/pengertian-dan-pembagian-hukum-syara-amp/

iii

Anda mungkin juga menyukai