Anda di halaman 1dari 5

-Pengertian Muhammadiyah secara etimologis atau bahasa adalah pengikut nabi Muhammad.

Muhammadiyah adalah gabungan dua kata yakni Muhammad yang merujuk pada nama Nabi
Muhammad SAW dan IYAH yang artinya adalah pengikut.
-Muhammadiyah secara istilah adalah Sebuah Organisasi Islam, gerakan dakwah Amar Ma’ruf Nahi
Munkar yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 18 Nopember 1912 M atau 8 Dzulhijah 1330 H di
Yogyakarta, tepatnya di Kampung Kauman. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam menempatkan
Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai dasar organisasi, juga sebagai pedoman dalam pergerakannya.
- Visi Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Islam yang berpedoman pada Alquran dan as-sunnah
engan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqamah dan aktif dalam melaksanakan dakwah
Islam amar ma’ruf nahi mungkar di segala bidang.
Sehingga menjadi rahmatan li al-‘alamin bagi umat, bangsa dan dunia kemanusiaan menuju
terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang diridhai Allah swt dalam kehidupan di
dunia ini.

- Sejarah berdirinya Muhammadiyah : Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan.


Dalam hal ini, KH Ahmad Dahlan menyadari banyaknya masyarakat Indonesia yang menganut Islam
dengan berbagai macam pengaruh mistik. Ketidakmurnian ajaran Islam ini memang merupakan
dampak dari adaptasi yang tidak tuntas di masyarakat, yaitu antara tradisi Islam dengan tradisi lokal
yang kental dengan paham animisme dan dinamisme.
Sehingga dalam perkembangannya, prinsip-prinsip ajaran Islam di masyarakat banyak bersifat
musyrik. Pengaruh lain juga berasal dari tradisi keraton dengan kebudayaan Hindu yang masih
melekat. Dengan begitu, beberapa tradisi ini dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Jika tidak segera dibenarkan, tradisi ini dapat terus menerus dianut oleh masyarakat muslim di
Indonesia.
Faktor lain yang menjadi latar belakang berdirinya organisasi Islam ini tidak lain adalah pengaruh
paham moderen dari masa kolonial. Seperti diketahui, pengaruh negara penjajah yang datang di
Indonesia mulai menyebarkan paham moderenisasi Eropa. Mulai dari paham individualisme,
liberalisme, rasionalisme, hingga sekulerisme. Beberapa paham ini bertentangan dengan prinsip-
prinsip ajaran Islam. Sehingga jika tidak segera dihentikan, maka bisa melahirkan generasi baru Islam
yang liberal dan sekuler.
- Profil pendiri Muhammadiyah : Ahmad Dahlan lahir di kampung Kauman, Yogyakarta, di bawah
naungan Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tanggal 1 Agustus 1868. Ia memiliki nama kecil
Muhammad Darwis. Beberapa literatur menyebutkan bahwa ia merupakan keturunan dari Ki Ageng
Gribig (salah satu ulama pada zaman Mataram) dan Maulana Ibrahim (Sunan Gresik). Silsilahnya
adalah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah
(Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan,
Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, K. H. Muhammad Sulaiman, K. H. Abu
Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan). Ahmad Dahlan pernah menjadi santri dari Kiai
Sholeh Darat selama dua tahun bersama dengan K. H. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Sebelumnya, keduanya sudah saling mengenal ketika belajar di sebuah pesantren di Madura di bawah
asuhan Kiai Kholil Bangkalan. Singkat cerita, keduanya kembali ke kampung masing-masing. Ahmad
Dahlan ke Yogyakarta, sedangkan Hasyim Asy'ari ke Jombang, Jawa Timur. Hingga pada suatu ketika,
Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengutus Raden Ngabei Ngabdul Darwis (panggilan Kraton terhadap
Ahmad Dahlan) untuk menuntut ilmu di Arab Saudi. Di sana, ia berjumpa kembali dengan kawan
lamanya, Hasyim Asy'ari. Mereka berguru kepada Syekh Ahmad Khatib. Ketika di Arab Saudi, Ahmad
Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad
Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Setelah kembali ke tanah air, pada tahun 1909,
Ahmad Dahlan masuk ke Organisasi Boedi Oetomo, sebuah organisasi yang melahirkan banyak tokoh-
tokoh nasionalis yang berdiri satu tahun sebelumnya. Di organisasi ini, ia menyalurkan ilmu yang
dikuasainya untuk memenuhi keperluan para anggota. Tiga tahun berselang, tepatnya tanggal 18
November 1912/8 Dzulhijjah 1330, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi keagamaan yang diberi
nama Muhammadiyah. Organisasi ini mulai menyebar ke berbagai daerah dan banyak bergerak di
bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, sebagai bentuk penanaman cinta Tanah Air kepada para
pemuda, ia juga membentuk gerakan Hizbul Wathan.
Sebelas tahun pasca mendirikan Muhammadiyah, ia berpulang menghadap Yang Mahakuasa,
tepatnya tanggal 23 Februari 1923 di Yogyakarta. Mendiang dimakamkan di kampung Karangkajen,
Brontokusuman, Yogyakarta. Atas jasanya itu, gelar pahlawan nasional disematkan oleh pemerintah
Indonesia kepada Ahmad Dahlan pada tahun 1961. Selain itu, kisah hidupnya juga difilmkan dengan
judul "Sang Pencerah" yang dirilis tahun 2010 lalu.
- Faktor subjektif berdirinya Muhammadiyah berupa kerisauan K.H. Ahmad Dahlan terhadap
permasalahan yang dihadapi umat Islam; keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Baginya ayat-
ayat al-Qur’an harus diamalkan seperti terekspressi dalam surat al-Ma’un. Dalam pandangan K.H.
Ahmad Dahlan Surat al-Ma’un merupakan perintah terhadap umat Islam untuk marealisasikan
kepedulian sosial melalui tindakan-tindakan nyata.
Faktor Objektif berdirinya Muhammadiyah adalah lemahnyapemahaman umat Islam dalam
mempraktikkan ajaran Islam. Umat Islam masih sangat berpegang kuat pada tradisi-tradisi
peninggalan zaman purba, Hindu, dan Budha serta tidak berani melakukan pembaharuan (ijtihad).
Berpikir jumud (konsevatif), sangat formilistik dalam beragama, siklus-siklus dalam perjalanan
kehidupan manusia; ketika masih dalam rahim sang ibu, lahir, khitan, nikah, dan mati selalu ditandai
dengan ritual-ritual keagamaan tradisional. Sedang kesemarakan keagamaan lebih bersifat
seremonal.

3. - Pembaharuan dunia Islam adalah upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan


perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan
demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi ataupun menambahi teks
Al-Quran maupun As-Sunnah.
- Dalam perjalanan sejarah islam telah terjadi tarik-menarik antara ulama salaf dengan ulama khalaf
(baca: para cendekiawan muslim) tentang konsep pembaharuan (al-Tajdid) islam. Ulama salaf
memahami pembaharuan sebagai proses menghidupkan kembali praktek-praktek keberagamaan
lama yang telah sirna ditelan zaman. Dalam pemahaman ini, para pembaharu (Mujaddid) hanya
bertugas mengembalikan praktek keberagamaan umat terdahulu (tradisionalis) dan
menghidupkannya di zaman sekarang (modernitas) dengan tetap mempertahankan metode-metode
klasik yang  tentunya harus dipertimbangkan relevansinya. Ketika pembaharuan dipahami semacam
ini, pertanyaan selanjutnya, apakah pembaharuan islam hanya sebatas penghidupan kembali praktek-
praktek keberagamaan klasik? Apakah itu sesuai dengan perkembangan dan fleksibilitas zaman yang
selalu berubah dan mengemuka? Bukankah itu langkah mundur, padahal yang dibutuhkan adalah
gerak maju untuk menyongsong masa depan? Maka para cendekiawan muda islam mencoba untuk
menjawab pertanyaan tersebut dengan memberikan konsep baru terhadap pembaharuan. Al-Tajdid,
menurut konsep kedua, merupakan sebuah gerakan rekonstruksi pemahaman islam dan gerakan
inovasi terhadap cara keberagamaan. Versi kedua ini lebih bersifat progresif dan prospektif.
- Muhammadiyah sebagai gehrakan tajdid Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan
yang semakna dengannya”, tajdiddimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan
ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.

4. - Corak keislaman yang tidak tunggal di Nusantara, telah melahirkan sejumlah teori masuknya Islam
dari asal-asal yang berbeda. Paling tidak ada 4 teori asal-usul masuknya Islam ke Nusantara seperti
yang dirangkum oleh Agus Sunyoto dalam “Atlas Wali Songo”. Teori India (Gujarat, Malabar, Deccan,
Coromandel, Bengal) hal ini berdasarkan asumsi persamaan madzhab Syafii, batu-batu nisan dan
kemiripan tradisi dan arsitektur India dengan Nusantara. (Para peneliti yang mengajukan “teori India”
seperti JP Mosquette, C. Snouck Hurgronje dan S.Q. Fatimy). Teori Arab (Mesir dan Hadramaut
Yaman), berdasarkan persamaan dan pengaruh madzhab Syafii. (Para peneliti: John Crawfurd dan
Naguib Al-attas) Teori Persia (Kasan, Abarkukh, Lorestan), berdasarkan kemiripan tradisi dengan
muslim Syiah, seperti Peringatan Asyura (10 Muharram), mengeja aksara Arab jabar (fathah), jer/zher
(kasrah), fyes (dhammah), pemuliaan terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw (Ahlul Bayt) dan
keturunannya. Penyebutan kata, rakyat (dari ra’iyyah), masyarakat (musyawarah), serikat (syarikah).
(Para peneliti: Husein Djajadiningrat, Hasjmi dan Aboe Bakar Atjeh). Teori Tiongkok/Cina yang
berdasarkan asumsi pengaruh budaya Cina dalam sejumlah kebudaaan Islam Nusantara, dan sumber
kronik dari Klenteng Sampokong di Semarang (Para peneliti: De Graaf dan Slamet Muljana).
Keragaman teori masuknya Islam ke Nusantara ini bukan menunjukkan mana yang paling benar tapi
keragaman itu sesuai dengan kenyataan keragamaan corak keislaman yang ada di Nusatara. Sehingga
tidak ada satu teori yang monolitik yang bisa mewakili semua kenyataan yang ada. Pada
kenyataannya, baik teori India, Arab, Persia, hingga Tiongkok bisa didukung dan dibenarkan adanya
pengaruh budaya dalam masyarakat muslim di Nusantara. Meskipun dipercaya Islam sudah tiba di
Nusantara sejak abad ke-7 M dan ditemukan makam-makam sultan yang merujuk pada abad ke-12,
khususnya di Aceh, namun Islam belum menjadi agama yang mayoritas dipeluk di Nusantara ini.
- Agama Islam pertama kali lahir di Mekkah, Arab Saudi. Para pemeluknya menyebarkan agama Islam
lewat berbagai jalur. Salah satu teori menyebutkan bahwa agama Islam di Indonesia masuk lewat jalur
perdagangan. Ketika Islam menyebarkan agama dan kebudayaannya ke Indonesia, prosesnya
cenderung berjalan dengan damai. Karena itu, raja hingga rakyat biasa menerimanya dengan hangat.

Selain perdagangan, ada saluran lain yang menyebabkan agama Islam dapat masuk dan berkembang
di Indonesia. Saluran tersebut di antaranya adalah saluran perkawinan, pendidikan, dan seni budaya.

Ada teori-teori yang menyebutkan tentang asal penyebar Islam di Indonesia, yaitu teori Gujarat, teori
Arab, dan teori Persia.

Teori Gujarat ini diajukan oleh kalangan sejarawan Belanda, seperti Jan Pijnappel, Snouck Hurgronje,
dan Jean Piere. Menurut teori ini, penyebar Islam di Indonesia berasal dari Gujarat (India) antara abad
ke-7 hingga abad ke-13 M. Kalangan yang berperan khususnya adalah para pedagang. Sejak abad ke-
7, mereka telah memeluk Islam dan di tengah kegiatannya berdagang, mereka turut mengenalkan
agama Islam, termasuk di Indonesia.

Sementara itu, teori Arab diajukan oleh Jacob Cornelis van Leur dan Buya Hamka. Teori ini
menyebutkan bahwa pengaruh Islam dibawa langsung oleh pedagang Arab sekitar abad ke-7. Teori
Arab didukung dengan adanya pemukiman Islam di Barus, pesisir barat Sumatera, di abad ke-7. Ada
pula nisan pada makam wanita di Gresik, Jawa Timur, yang ditulis dengan huruf Arab bergaya Kufi.

Teori lainnya adalah teori Persia yang didukung oleh Hoesein Djajadiningrat. Teori ini berpendapat
bahwa pengaruh Islam di Indonesia dibawa masuk oleh orang-orang Persia sekitar abad ke-13.
Argumen yang diajukan oleh teori ini adalah terdapat kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang
antara masyarakat Persia dan Indonesia, seperti peringatan 10 Muharram, kesamaan ajaran sufi,
kesamaan seni kaligrafi pada nisan makan, dan terdapat perkampungan Leran yang sempat menjadi
perintis penyebaran Islam di Jawa.

Perkembangan agama Islam di Indonesia semakin pesat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia berlangsung antara abad ke-13 hingga abad ke-18.
Kerajaan tersebut dapat dibagi berdasarkan lokasi pusat pemerintahan mereka, yaitu di Sumatera,
Jawa, Sulawesi, dan Maluku.

Kerajaan Islam yang didirikan pertama kali adalah Kerajaan Perlak. Bukti sejarah yang menunjukkan
terdapat masyarakat dan kerajaan Islam dilaporkan oleh Marco Polo dari Venesia yang singgah di
Kerajaan Perlak dalam perjalanan pulang ke Italia tahun 1292. Di perlak, Marco Polo juga menjumpai
adanya penduduk yang telah memeluk Islam dan pedagang Islam dari India yang menyebarkan agama
Islam.

Menyusul Kerajaan Perlak, berdiri pula Kerajaan Samudra Pasai. Bukti sejarah adanya kerajaan ini
ditulis oleh Ibnu Batutah, seorang utusan kerajaan Delhi ke Tiongkok. Dalam perjalanan dari India ke
Tiongkok, Ibnu Batutah singgah di Samudra Pasai dan mengunjungi istana Sultan Malik Az-Zahir. Dari
hasil kunjungannya ke kerajaan Islam di Samudra Pasai, diketahui bahwa Samudra Pasai merupakan
pelabuhan penting tempat kapal-kapal India dan Tiongkok berlabuh.

Selain kedua kerajaan tersebut, kerajaan Islam lain yang pernah berdiri di Indonesia di antaranya
adalah Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, Kerajaan Mataram, Kerajaan Makassar, Kerajaan Ternate,
Kerajaan Tidore, dan Kerajaan Aceh Darussalam.

5. Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah


- Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan
bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat
utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai
hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
- Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya,
sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad
SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin
kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
- Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
a. Al-Qur’an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;
b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
- Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
a. ‘Aqidah : Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-
gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
b. Akhlak : Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman
kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
c. Ibadah : Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW,
tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
d. Muamalah Duniawiyah : Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalat duniawiyah
(pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi
semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
- Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah
berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara
Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha
bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT: “BALDATUN
THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR”

Faham Islam dalam Muhammadiyah adalah kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Ialah faham
Islam yang murni yang merujuk kepada sumber ajaran yang utama yaitu Al Qur’an dan As Sunnah
yang Shohihah dan Maqbulah serta berorientasi kepada kemajuan. Kembali kepada Al Qur’an dan As
Sunnah yang otentik dan dinamis.
Muhammadiyah mengusung gerakan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah karena keduanya
merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam dengan ‘kebenaran mutlak’ yang bersifat terbuka,
demikian merujuk kepada pernyataan KH Azhar Basyir. Selain itu Muhammadiyah merujuk kepada Al
Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Dengan
demikian Muhammadiyah berdiri sebagai gerakan yang berusaha benar-benar ‘membumikan’ ajaran
Islam dalam kehidupan nyata. Menjadikan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW sebagai pokok
ajaran agama dengan akal pikiran (ro’yun) sebagai pengungkap dan mengetahui kebenaran yang
terkandung dalam keduanya, juga mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian Al
Qur’an dan As Sunnah.

6. Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud gerakanya ialah
Dakwah Islam dan Amar Ma’ruf nahi Munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan
masyarakat . Dakwah dan Amar Ma’ruf nahi Munkar pada bidang pertama terbagi kepada dua
golongan: Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada
ajaran Islam yang asli dan murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan
ajakan untuk memeluk agama Islam.
Adapun da’wah Islam dan Amar Ma’ruf nahi Munkar bidang kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat
kebaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan
mengharap keridlaan Allah semata-mata. Dengan melaksanakan dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi
munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat
menuju tujuannya, ialah “Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.

7. Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah


Pemikiran dasar ideologi Persyarikatan yang menjiwai gerak Muhammadiyah terumuskan dalam
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Konsep ideologi ini digali dan disistematisasi dari
pemikiran Kiai Ahmad Dahlan oleh Ki Bagus Hadikusumo dan kolega sejak 1945. Pada Tanwir 1951,
Muqaddimah ini disahkan setelah disempurnakan oleh tim beranggotakan Prof Farid Ma’ruf, Mr
Kasman Singodimedjo, Buya Hamka, Zain Jambek.

Anda mungkin juga menyukai