Anda di halaman 1dari 15

AGAMA AGAMA DUNIA TENTANG AGAMA YAHUDI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Agama – Agama


Dunia
Dosen Pengampu: Syaiful Azmi, S.Ag., M.Ag

Disusun oleh :
Syukur Ahadi (11180380000009)

PROGRAM STUDI ILMU TASAWUF


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tarekat merupakan bagian dari ilmu tasawuf. Tapi, tidak semua orang
yang mempelajari tasawuf paham dengan tarekat. Banyak orang yang
memandang tarekat sebagai ajaran di luar ajaran Islam. Padahal tarekat
merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan syari’at Islam yang
sah. Namun, perlu adanya kehati-hatian untuk untuk memahami tarekat,
karena ada banyak tarekat yang dikembangkan dengan ajaran-ajaran
yang menyeleweng dari ajaran Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah latar belakang macam-macam Thoriqoh ?
2. Bagaimana sejarah berkembangnya macam-macam Thoriqoh
?
3. Siapa pendiri dari masing-masing Thoriqoh ?

C. Tujuan Rumusan
1. Untuk mengetahui sejarah latar belakang berdirinya macam-
macam Thoriqoh
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan macam-macam
Thoriqoh di dunia
3. Untuk mengetahui masing-masing pendiri Thoriqoh

BAB II

PEMBAHASAN
TOKOH-TOKOH dan SEJARAH THARIQAH

1. Thariqah Qadariyah

Tharekat yang didirikan oleh Wali Agung Syaikh ‘Abdul Qadir al-
Jailani. Nama lengkapnya Sayid Abu Muhammad ‘Abdul Qadir al-
Jailani’ putra dari Abu Shaleh Musa Jangki Dausat bin Abdullah.
Ayahnya merupakan keturunan Imam Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan
bin Ali bin Abu Thalib yang juga putra Fathimah az-Zahra binti
Rasulullah.

Dilahirhan pada tahun 471 H di daerah Jilan yaitu pedesaan yang


terletak di daerah Thabaristan. Pada waktu kecil ia tidak mau menyusu
pada ibunya di siang hari pada bulan Ramadhan. Ketika berusia remaja
ia mengembara untuk menuntut ilmu Fikih kepada beberapa orang guru.
Di antaranya Syaikh Abu Wafa Ali bin ‘Aqil’, Abu Khatabah al-
Kalwadzani, dan lainnya. Ia belajar ilmu Adab pada Syaikh Abi
Zakariya Yahya bin ‘Ali ath-Thibrizi dan berguru ilmu tarekat kepada
Waliyullah Syaikh Khair Hamad bin Muslim ad-Dabbas. Sedang madat
tasawuf ia terima dari tangan Abu Sa’id al-Mubarak.

Ia mengasingkan diri selama 25 tahun. Berjalan menyusuri pegunungan


Irak dan desa yang tak berpenduduk. Dalam perjalanannya itu, ia tak
mengenali orang dan orang juga tak mengenalinya. Pada suatu hari ia
bertemu dengan seseorang yang memberinya uang karena merasa
kasihan kepadanya. Ia terima pemberian tersebut lalu dibelikan roti.
Kemudian ia memakan roti tersebut.tiba-tiba ada selembar kertas
melayang dan berhenti tepat di sisinya. Di kertas itu tertulis pesan,
“Syahwat hanya dibuat bagi hamba yang lemah sebagai bekal untuk taat
beribadah. Sedangkan hamba yang kuat, tidak memiliki syahwat.”
Selesai membaca pesan, ia langsung meninggalkan makanannya.
Kemudian berdiri menghadap kiblat, takbir, dan shalat dua rakaat lalu
pergi.

Pada saat pertama memasuki Irak, ia bertemu dengan Nabi Khidir AS.
Namun, ia tidak mengenalinya. Lalu Nabi Khidir AS menyuruhnya
seupaya tidak melanggar perintahnya. Nabi Khidir berkata ”Duduklah di
sini dan jangan tinggalkan tempat dudukmu sampai aku suruh”. Lalu ia
duduk di tempat tersebut selama 3 tahun lamanya. Setiap tahun Nabi
Khidir AS mendatanginya dan memberikan perintah yang sama.

Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani berguru tarekat pada Aba Sa’id al-
Mubarak dari Abu Hasan al-Hakkari dari Abu al-Farah ath Thurtusi dari
Abdul Wahid at-Tamimi dari Abu Bakar asy-Syibli dari Imam Abu Al-
Qasim al-Junaid al-Baghdadi dari Imam as-Sari as-Saqathi dari Imam
Ma’ruf al-Karkhi dari Sayyid Ali bin ar-Ridha dari ayahnya Sayyid
Ja’far ash-Shadiq dari ayahnnya Sayyid Muhammad al-Baqir dari
ayahnya Sayyid Ali Zainal Abidin dari ayahnya Sayyid Husain dari
ayahnya Sayyidina Ali Bin Abu Thalib k.w. dari Rasulullah SAW.

Di antara akhlak Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah setiap kali


berhadas, maka segera mengambil wudhu lalu shalat dua rakaat. Karena
itu, ia tak pernah duduk dalam keadaan berhadas. Ia selalu bersunggih-
sungguh dalam ibadah sehingga di buka oleh Allah Hal-nya karena itu,
ia mengungguli semua orang dari zamannya dalam bidang ilmu, amal,
zuhud, makrifat, wara’, kepemimpinan dan kemasyarakatan yang
demikian membuatnya terkenal pada masa itu.

Syaih Abdul Qadir al-Jailani berkata, “pada suatu hari aku melihat
seberkas cahaya yang sangat terang yang yang meninari penjuru langit.
Cahaya itu kemudian berubah bentuknya lalu berseru kepadakau,
‘Wahai ‘Abdul Qadir, aku ini adalah tuhanmu. Sungguh aku halalkan
barang-barang yang haram untukmu’.”

“Maka aku katakan, ‘Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan
yang terkutuk. Celakalah engkau, wahai yang terlaknat’. Tiba-tiba
cahaya itu menghilang lalu berubah menjadi asap, lalu menjerit seraya
berkata, ‘Wahai ‘Abdul Qadir, engkau telah selamat dari godaanku
sebab ilmu akidah dan ilmu syariahmu. Sebelumnya, aku telah
menyesatkan 70 orang dengan cara seperti ini’.”

Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani mengucapkan “Alhamdulillah” ketika di


Tanya, “Bagaimana engkau mengetahui yang menggodamu itu adalah
syaitan?” ia menjawab, “Aku mengetahu dari kata-katanya ‘Sungguh
aku halalkan barang-barang yang haram untukmu’. Karena aku
mengetahui bahwa Allah tidak akan menyuruh untuk berbuat
keburukan.”

Syaikh ‘Abdul Qadir al-jailani menguasai tiga belas macam disiplin


ilmu seperti tafsir, hadis, fikih, usul, nahwu, ilmu Al-Qur’an dan lain-
lainnya. Ia mengeluarkan fatwa berdasarkan madzhab Imam Syafi’I dan
Imam Hambali. Di antara karamahnya adalah lalat tak pernah hinggap
pada bajunya. Karamah seperti ini merupakan warisan yang berasal dari
kakeknya, Rasulullah SAW ketika di Tanya mengenai hal tersebut, ia
menjawab “Untuk apa lalat hinggap dibajuku, sementara aku tak
memiliki gula dunia dan madu akhirat.”

Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Telapak kakiku ini


berada di atas tengkuk (leher belakang) setiap wali”. Pada saat Syaikh
mengatakan yang demikian, tidak ada seorang walipun di seantero dunia
ini melainkan sama-sama menundukkan kepala. Hanya seorang wali di
daerah Ishfihan yang tidak menundukkan kepala kepada Syaikh Abdul
Qadir sehingga dicabut kewaliannya.

Menurut Syekh Abdul Qadir, manusia di bagi menjadi 4, yaitu:

1. Orang-orang yang tidak punya hati dan lidah. Mereka ini ialah
masyarakat yang tidak peduli dengan kebenaran dan keutamaan, hanya
tunduk pada indra fisik.

2. Orang yang punya lidah tapi tidak berhati. Ialah mereka yang
menganjurkan kebaikan tapi mereka sendiri tidak berbuat demikian.

3. Mereka yang mempunyai hati tapi tidak berlidah. Yaitu mereka


yang selalu berusaha untuk memperbaiki diri karena sadar akan
kelemahannya.

4. Orang yang memiliki hati dan juga lidah. Ialah mereka yang
mendapatkan pengetahuan sejati. Mereka ini adalah kelompok tertinggi
setelah kelompok para Nabi.[1]
Syaikh Abdul Qadir wafat pada tanggal 11 Rabiuts Tsani tahun 561
Hijriyah pada usia 91 tahun dan di kebumikan di Baghdad. Makamnya
banyak dikunjungi para peziarah dari berbagai pelosok negri.[2]

2. Thariqah Syadzaliyah

Tarekat yang pendirinya dinisbatkan kepada Imam Abul Hasan ‘Ali asy-
Syadzilli al-Hasni. Asy-Syadzli merupakan keturunan dari Rasulullah
SAW dari jalur Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Nama lengkapnya adalah
Imam Abul Hasan ‘Ali asy-Syadzili putra dari ‘Abdullah putra ‘Abdul
Jabbar bin Tammim bin Humuz bin Hatim bin Qudai bin Yusuf bin
Yusya bin Wird bin Abi Baththal’ Ali bin Ahmad bin Muhammad bin
‘Isa bin Idris bin’Umar bin Idris Ibnu Abdillah bin Hasan al-Mutsanna
bin Sayyid Hasan as-Sibthi bin’Ali bin Abi Thalib k.w. Ibnu Fathimah
binti Rasulullah SAW.

Asy-Syadziili tumbuh dewasa di desanya dan sibuk dalam menuntut


ilmu agama sampai memahaminya. Kemudian meniti ilmu tasawuf
dengan sungguh-sungguh sehingga ia muncul dan khabarnya terdengar
sampai ke daerah lain. Begitu hebatnya, jika ia berpergian dan menaiki
kendaraan, maka para pengikut-pengikutnya mengelilinginya mulai dari
orang-orang sufi sampai para pembesar. Di atas kendaraannya
dikibarkan bendara dan tabuhan gendrang yang mengiringi
perjalanannya. Di antara rombongan yang berseru “Barangsiapa yang
ingin bertemu dengan Wali Quthub Qhauts, maka inilah Imam asy-
Syadzili.”

Imam asy-Syadzili memperoleh mandat (ijazah) tasawuf dari dua orang


guru. Yang pertama dari Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Abu al-
Hasan ‘Ali yang dikenal dengan nama Ibnu Harazim. Yang kedua dari
‘Abdillah’ Abdus Salam bin Masyisy yang merupakan seorang guru
yang sangat disegani.

Imam asy-Syadzili memiliki sanad lain yaitu dari Abdus Salam bin
Masyisy dari Abdurrahman al-Madani az-Zayyat dari Syuaib Abu
Madyan dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dari Sa’id al-Mubarak dari
Hasan ali dari Yusuf dari Abu Faraj ath-Thurthusi dari Abu al-Fadhal
Abdul Wahab at-Tamimi dari Abi Jahdar asy-Syibili dari Abu Qasim al-
Junaid al-Bagdadi sampai ke Rasulullah SAW.

Beliau mencapai maqam “al-Fardaniyah” yang merupakan satu maqam


yang dalam satu masa tak boleh ada dua orang yang mendudukinya di
dunia. Hal tersebut telah disepakati oleh orang-orang di masanya. Ia
diperintah di depan para wali besar untuk mengatakan “Kakiku di atas
keing semua wali.” Ia mengatakan kata-kata tersebut tanpa disertai rasa
sombong sedikitpun.

Suatu ketika ia ditanya siapa gurunya? Ia menjawab. “ Dulu guruku


adalah Abdus Salam bin Masyisy.’ Sekarang aku menimba ilmu dari
sepuluh macam samudra yaitu lima saudra di langit dan lima samudra di
bumi. Lima samudra dari langit Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, dan Ruh.
Sedangkan lima samudra di bumi yaitu Abu bakar, ‘Umar’, ‘Usman,
‘Ali dan Nabi SAW”. Para ulama besar di masa itu mengaji kepada
Imam asy-Syadzili seperti Izzudin Ibnu Abdis Salam, Taqiyuddin Ibnu
Daqiqi al-id, Abdul Azim al-Mundziri, Ibnu Shalah, Ibnu al-Hajib,
Jamaludin Ushfur, Nabihuddin bin Auf. Mereka ini adalah ulama besar
yang mendunia pada masa itu.

Di antara karamahnya adalah bahwa ada sebagian ulama yang


mengkritik hizib al-bahar, ia menjawab, “Demi Allah, aku menulis
Hizib tersebut langsung dari lisan Rasulullah SAW huruf demi huruf.”
Ia juga berkata, “Sekiranya tidak takut bertentangan dengan syariat,
tentulah aku akan menceritakan sesuatu yang akan terjadi esok, lusa
sampai hari kiamat.” Ia juga berkata, “Ilmu di hati itu sama dengan
dirham dan dinar di tangan. Kadang bermanfaat bagimu, kadang
menimbulkan bahaya.”

‘Imaduddin Qadhi mengisahkan, ada seorang perempuan dari


Iskandariah yang semasa hidupnya banyak melakukan dosa. Perempuan
itu telah meninggal dunia. Pada suatu hari ada seorang bermimpi
melihatnya dalam keadaan baik-baik saja. Perempuan itu ditanya,
“Bagaimana keadaanmu?” perempuan itu menjawab. “Imam asy-Syadzili
sekarang ini telah wafat dan dikebumikan di Humaisyarah (Mesir).
Allah mengampuni semua orang yang meninggal di dunia dari Timur
sampai Barat karena mendapat keberkahan Imam asy-Syadzili. Dan aku
termasuk orang yang diampuni Allah karena keberkahannya.”

Mimpi tersebut terjadi ketika ‘Imaduddin Qadhi menunaikan ibadah


haji. Ketika jamaah haji datang mereka membawa kabar mengenai
wafatnya Imam asy-Syadzili. Ternyata kejadian dalam mimpi tersebut
sesuai dengan tanggal wafatnya Imam asy-Syadzili yang wafat pada
bulan Syawal tahun 656 Hijriyah pada usia 63 tahun.[3]

3. Thariqah Naqsyabandiyah

Tarekat yang pendirinya dinisbatkatkan kepada wali quthub bernama


Muhammad Baha’uddin bin Muhammad bin Muhammad al-Syarif al-
Husaini al-Hasani al-Uwaissi al-Bukhari. Lebih dikenal dengan sebutan
Syaikh an-Naqsyabandi. Syaikh an-Naqsyabandi berguru ilmu tarekat
kepada Syaikh Muhamad Baba as-Samasi kemudian kepada Sayid Amir
Kulal.

Syaikh an-Naqsyabandi lahir di desa Qasrul Arifan di dekay


Bukhar(Uzbekistan) pada bulan Muharram tahun 717 Hijriyah. Sebelum
di lahirkan, gurunya, Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi, telah
mengisyaratkan akan kelahirannya. Setiap kali Syaikh as-Sammasi
melewati desa Qasrul Arifin, selalu berkata pada uridnya “Dari desa ini
aku mencium bau seorang wali.”

Setelah bayi yang dimaksudkan dilahirkan dan berusia tiga hari, Syaikh
as-Sammasi melewati desa itu seperti biasa. Lalu kembali berkata pada
muridnya, “Bau seorang wali yang telah aku ceritakan, sekarang ini
semakin semerbak.”

Tak lama setelah itu, si bayi oleh kakeknya dibawa ke rumah syaikh as-
Sammasi. Ketika melihat bayi tersebut, syaikh as-Sammasi spontan
berterian gembira seraya menoleh kepada muridnya, “Ini anakku’.
Inilah wali yang selama ini aku cium banunya. Insya Allah tidak lama
lagi ia akan menjadi panutan banyak orang.”
Kemudian Syaikh as-sammasi menemui Sayyid Amir Kulal untuk
menyerahkan pendidikan “anaknya” itu. didiklah dengan sebaik-
baiknya. Jangan sampai engkau teledor, aku tak akan rela untuk selama-
lamanya.” Lalu Sayid Amir Kulal berdiri dan berkata, ”Aku akan
melaksanakan perintahmu. Insya Allah aku tidak akan teledor dalam
mendidiknya.”

Syaikh an-Naqsabandi mengisahkan “Kakekku mengirimku ke desa


Sammas dengan tujuan supaya aku mengabdi kepada Syaikh as-
Sammasi. Ketika aku berhasil menemuinya, sebelum waktu Maghrib tiba
aku telah mendapat keberkahannya sehingga aku merasakan ketenangan
pada diriku, ke-Khusyu’-an, tadharru’ serta kembali kepada Allah.”
Lebih lanjut Syaikh an-Naqsabandi berkata, “ketika syaikh as-sammasi
meninggal dunia, kakekku embawaku ke Samarqand. Setiap kali
mendengar ada orang saleh, ia membawaku kepadanya. Kepada orang
saleh yang dikunjungi, ia meminta doa untukku. Ternyata permintaan
doa terkabul. Aku mendapat keberkahan dari orang-orang saleh
tersebut.”

Syaikh an-Naqsyabandi juga berkata,”Di antara pertolongan Allah yang


diberikan kepadaku adalah kopiah kakek guruku (Syaikh al-Azizan)
telah sampai kepadaku sehingga keadaanku semakin baik dan harapanku
semakin kuat. Yang demikian itu membuatku dapat mengabdi kepada
Sayyid ‘Amar Kulal’ dan memberitahuku bahwa Syaikh as-Sammasi
mewasiatkan diriku kepadanya.”

Di antara akhlak Syaikh an-Naqsyabandi adalah apabila menjenguk


salah seorang temannya, pasti akan menanyakan kabar keluarga dan
anak-anaknya serta menghiburnya dengan hiburan yang sepantasnya.
Bukan hanya itu saja, Syaikh an-Naqsyabandi juga menanyakan apa
yang berhubungan dengannya sampai bertanya tentang ayam-ayam
peliharaannya. Ditampakkannya rasa belas kasihan kepada semua seraya
berkata, “Abu Yazid al-Busthami sekembalinya dari laut berdzikir,
melakukan hal seperti ini.”
Meski sangat sempurna dalam kezuhudannya, syaikh an-Naqsyabandi
senantiasa memberi dan mendahulukan orang lain. Bila ada orang
memberinya, diterimanya. Lalu membalasnya dengan pemberian yang
berlipat ganda. Demikian itu karena Syaikh an-Naqsyabandi mengikuti
jejak Rasulullah SAW yang sangat terkenal kedermawanannya.
Keberkahan akhlaknya yang mulia menular kepada murid-muridnya.

Di antara karamahnya adalah sebagaimana yang telah disampaikan oleh


Syaikh Ala uddin al-Anthar. Suatu ketika Syaikh Ala Uddin al-Anthar
bersama dengan Syaikh an-Naqsyabandi. Ketika itu udara diliputi oleh
mendung. Lalu Syaikh an-Naqsyabandi bertanya, “Apa waktu dhuhur
sudah masuk?” syeikh Ala uddin al-Aththar menjawab “belum”. Lalu
syaikh an-Naqsyabandi berkata ”keluarlah dan lihatlah langit.”

Lalu Syaikh ala uddin al-Aththar keluar dan melihat ke atas langit.
Tiba-tiba tersingkaplah hijab alam langit sehingga Syaikh Ala Uddin al-
Aththar dapat melihat seluruh malaikat di langit tengah melaksanakan
shalat Dhuhur, lalu Syaikh Ala Uddin al-Aththar masuk dan langsung
ditanya oleh Syaikh an_Naqsyabandi, “Bagaimana pendapatmu,
bukankah waktu dhuhur tiba?”

Syaikh ala uddin al-Aththar malu dibuatnya dan membaca istigfar dan
sampai beberapa hari merasa masih terbebani dengan kejadian tersebut.
Syaikh Ala uddin al-Aththar berkata, “ketika Syaikh an-Naqsyabandi
akan meninggal, aku dan yang hadir pada saat itu membaca surah Yasin.
Ketika bacaan surah Yasin sampai di tengah-tengah, tiba-tiba tampak
seberkas cahaya terang yang menyinari seisi ruangan. Maka aku
membaca kalimat La ilaha ila Allah, lalu Syaikh an-Naqsyabandi
wafat.”

Syaikh An-Naqsyabandi wafat pada malam Senin tanggal 3 Rabi’ul


Awal tahun 791 Hijriyah. Kemudian dimakamkan di kebun miliknya
yang memang sudah ditentukan oleh Syaik an-Naqsyabandi sendiri. Para
pengikutnya membangun kubah di atas makamnya dan di kebunnya
dibangun masjid yang luas.[4]

4. Thariqah Samaniyah
Tarekat yang pendiriannya dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad bin
Abdul Karim as-Sammani al-Madani. Di lahirkan di Madani pada tahun
1132 Hijriyah dari keluarga Quraisy. Di kalangan murid-muridnya,
lebih dikenal dengan sebutan as-Sammani.

Syaikh as-Sammani belajat hukum islam kepada seorang ulama fikih


terkenal yaitu Syaikh Muhammad ad-Daqqaq, Sayid Al-Aththar, Ali al-
Kurdi, Abdul Wahab ant-Thanthawi dan Sa’id Hilal al-Makki.
Kemudian belajar ilmu Hadis kepada Muhammad Hayat. Selain itu, juga
berguru disiplin ilmu-ilmu keislaman lainnya kepada Muhammad
Sulaiman al-kurdi, Abu Thahir al-Kurani, dan Abdullah al-Bashri.

Adapun sanad tarekatnya adalah sebagai berikut. Ia berguru kepada


Syaikh Mahmud al-Kurdi dari Hifni dari Sayyid usthafa Al-Bakri dari
Sayyid Abdul Latif al-Khalwati dari Sayyid Musthafa Afandi ath-
Thabrani dari Ali Afandi dari Qirabasya dari Sayyid Isma’il al-Jari dari
Sayyid Umar al-Fua’di dari Sayyid Muhyiddin al-Qasthamuni dari
Sayyid Khairuddin an-Naqqadi dari Sayid Jamal al-Khalwati dari
Sayyid Baha’Uddin asy-Syarwani dari Sayyid Yahya al-Bakubi dari
Sayyid Shaharuddin al-Jayyani dari Sayyid Izzudin.

Syaikh as-Sammani sangat produktif mengarang kitab di antara adalah:


Ighatsah al-Luhafan wa Mu’anasah al-walahan, al-Insan al-Kamil,
Tuhfah al-Salik fi Kaifiyah Suluk lil-Malik, Tuhfah al-Qaum fi
Muhammat al-Ra’ya wal Naum, Jalaliyah al-Karab wa Munilah al-Arab,
Al-Futuhat al-Ilajiyah fi at-Tawajuhhat al Ruhiyah lil-Hadarah al-
Muhammadiyah dan lainnya.

Syaikh as-Sammani terkenal sebagai seorang tokoh tarekat yang


menjalani kehidupan zuhud dan kesalehan. Sejak masih anak-anak
menunjukkan hal-hal yang aneh dalam perilakunya. Suatu ketika orang
tuanya menghidangkan makanan untuknya, beberapa saat kemudian
orang tuanya membuka tutup saji makanan. Ternyata makanannya masih
utuh. Kejadian tersebut berulang beberapa kali sehingga membuat orang
tuanya cemas. Akhirnya orang tuanya melaporkan kejadian tersebut
kepada guru yang mendidik anaknya. Sang guru berkata, “Jangan
Khawatir, anakmu akan menjadi seorang wali.”

Keanehan lainnya, jika tidur di bantal yang empuk ia selalu berkeluh


kesah seperti orang sakit. Dan ketika orang tuanya tidur pulas, ia
bangun di tengah malam, mengambil air wudhu lalu shalat sampai
menjelang waktu Subuh. Syaikh as-Sammani wafat pada usia 57 tahun
kemudian di makamkan di Baqi’, Madinah.[5]

5. Thariqah Tijaniyah

Tarekat yang pendiriannya dinisbatkan kepada wali besar Sayid Ahmad


at-Tijani atau lebih dikenal dengan julukan Ibnu Umar. Nasab at-Tijani
bersambung kepada Rasulullah SAW dari jalur Hasan al-Mutsanna bin
Hasan as-Sibhthi bin Ali bin Abi Thalib dari Sayidah Fathimah az-
Zahra putri baginda Rasulullah SAW.

At-Tijani dilahirkan di desa ‘Ainu Madhi’ pada tahun 1150 H. pada usia
7 tahun telah hafal Al-Qur’an dengan baik atas bimbingan seorang guru
bernama Muhammad bin Hamawi. Kemudian mempelajari berbagai
disiplin ilmu agama sampai di setiap bidangnya. Kemudian, at-Tijani
mempelajari kitab Mukhtashar karya Syaikh al-Khalil, kitab ar-Risalah
dan kitab Muqaddimah karya Ibnu Rusyd juga kitab Muqaddimah karya
al-Akhdhari kepada Syaikh Ibnu Bu’afiyah.

At-Tijani menghabiskan waktu yang lama untuk mencari ilmu sehingga


betul-betul menjadi seorang yang sangat alim. Terbukti setiap kali ada
orang yang bertanya, langsung dijawab dengan tuntas layaknya ada
buku di depannya. Kedua orang tuanya meninggal karena menderita
panyakit Tha’un. Namun yang demikian itu tidak membuatnya berhenti
menimba ilmu ataupun mengajar hingga usianya mencapai 21 tahun.
Kemudian pergi ke kota di sekitar Fez. Kepergiannya ke kota tersebut
karena mendengar hadist Rasulullah SAW.

Setibanya di kota Fez, at-Tijani bertemu dan berguru kepada Sayid Abu
Muhammad ath-Thayib (al-wani). Selain itu juga berguru kepada wali
quthub bernama Ahmad ash-Shaqali dan Muhammad al-wanjali yang
terkenal sebagai seorang waliyullah yang memiliki pandangan batin
yang sangat tajam. Ketika at-Tijani baru pertama kali bertemu, al-
Wanjali langsung berkata, “Wahai Ahmad at-Tijani, engkau pasti bisa
mencapai maqam Imam asy-Syadzili.” Lalu al-Wanjali menyampaikan
apa yang tersirat dalam hatinya.

Selain itu, at-Tijani bertemu dengan seorang waliyullah yang bernama


‘Abdullah Ibnul ‘Arabi al-andalusi. Saat bertemu dengan ibnul Arabi
al-Andalusi. Saat bertemu dengan Ibnul Arabi, at-Tijani mengutarakan
masalah dirinya, “Allah akan menuntunmu, Allah akan menuntunmu,
Allah akan menuntunmu” kata Ibnul Arabi memberi dorongan.

At-Tijani pergi ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji


dan berziarah ke makam Rasulullah SAW. Ketika sampai di desa
Azwawi, at-Tijani mendengar akan adanya seorang guru tarekat
Khalwatiyah yang bernama Sayid Abi Abdillah al-Azhari. Maka at-
Tijani singgah di desa tersebut untuk berguru tarekat Khalwatiyah
kepada al-Azhari.

Sampainya di Kairo(Mesir) at-Tijani menemui seorang wali besar yaitu


Syaikh Mahmud al-Kurdi. Ketika itu al-Kurdi berkata, “Engkau ini
dicintai Allah di Dunia dan di akhirat.”

“dari mana engkau mengetahuinya?” Tanya at-Tijani

“Dari Allah” jawab al-Kurdi. Selang beberapa hari kemudian, al-Kurdi


bertanya lagi, “apa yang engkau cari?”

“Pangkat Quthub” jawab at-Tijani

“Engkau akan mendapatkan lebih dari itu” jawab al-Kurdi

Di Makkah at-Tijani mengambil ilmu Asrar dan karamah dari syaikh


Abi al-Abbas Muhammad al-Hindi tanpa bertemu muka dengannya,
melainkan hanya dengan mengirim surat melalui perantara muridnya.
Dalam suratnya al-Hindi menulis, “Engkau adalah pewaris ilmuku dan
asrarku”. Dalam surat juga disebutkan bahwa at-Tijani akan mencapai
Maqam Syaikh Abi al-Hasan asy-Syadzili.
Di Madinah at-Tijani bertemu dengan wali quthub bernama Muhammad
bin Abd Karim as-Samman pendiri tarekat Samaniyah yang telah
mencapai maqam Alqutbu Aljami. Imam as-Samman berkata “Mintalah
apa yang engkau kehendaki.” Maka at-Tijani minta beberapa perkara
darinya dan Imam as-Samman membantunya untuk itu.

At-tijani diberi ijazah tarekat Khalwatiyah serta sanadnya yaitu: Syaikh


Mahmud al-Kurdi dari Hifni dari Sayyid Mustofa al-Bakri dari Sayyid
Abdul Latif al-Khalwati dari Sayyid Musthafa Afandi ath-Thabrani dari
Ali Afandi dari Qirabasya dari Sayyid Ismail al-Jarmi’ dari Sayyid
Umar al-Fua dari Sayyid Muhyiddin al-Qasthamuni dari Sayyid Sya’ban
Affandi al-Qasthamuni dari Sayyid Khairuddin an-Naqqadi dari Sayyid
Jamal al-Khalwati dari Sayyid Baha’Uddin asy-Syarwani dari Sayyid
Yahya al-Bakubi dari Sayyid Shahruddin al-Jayyani dari Sayyid
Izzuddin.

Syaikh Ahmad at-Tijani mampu bertemu langsung dengan Rasulullah


SAW dalam keadaan sadar dan Rasulullah SAW menjadikannya sebagai
murid dan memberinya izin multaqin orang-orang. Di bulan Muharram
1214 H at-Tijani mencapai pangkat wali quthub daan pada tanggal 18
Safar 1214 H mencapai pangkat Alkhatm wal katm.

Mengenai karamahnya sangat banya. Di antaranya, perjalanan yang jaug


dapat ditempuhnya dengan singkat. Karamah seperti ini sering
ditampakkannya. Banyak muridnya yang menyaksikan bahwa at-Tijani
berkata, “Kedua kakiku ini di atas tengkuk semua wali dari masa Nabi
Adam AS sampai hari kiamat.”

At-Tijani wafat pada hari Kamis 17 Syawal 1230 H seusai


melaksanakan shalat Shubuh. Sedangkan yang menghadiri jenazahnya
adalah orang-orang yang tak terhitung jumlahnya baik dari kalangan
ulama, umara maupun kalangan lainnya. Semua berebut membawa peti
jeanazahnya. Kayu keranda yang dibuat membawa peti jenazahnya
mereka potong kecil-kecil kemudian dibagi-bagikan. Potongan kayu
tersebut mereka simpan sebagai tanda keberkahan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tarekat adalah sebagai hasil pengalaman dari seorang sufi yang


diikuti oleh para murid, yang dilakukan dengan aturan atau cara
tertentu dan bertujuan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah Swt.
Dalam perkembangannya tarekat itu kemudian digunakan sebagai nama
sekelompok mereka yang menjadi pengikut bagi seorang syekh yang
mempunyai pengalaman tertentu dalam cara mendekatkan diri kepada
Allah dan cara memberikan tuntutan dan bimbingan pada muridnya.
Dalam memberi nama suatu kelompok tarekat dengan suatu ajaran
tertentu dalam mendekatkan diri pada Tuhan itu dan dalam
caramemberikan latihan-latihan selalu dinisbahkan kepada nama
seorang syekh yang dianggap mempunyai metodhe dan pengalaman yang
khusus.

Di Indonesia terdapat beberapa tarekat yang telah tersebar ke beberapa


daerah seperti: Naqsabandiyah, Qadiriyah, Samaniyah, Khalawatiyah,
Khalidiyah, Al-Hadad, Rifaiyah, dan Aidrusiyah, dll.[6]

DAFTAR PUSAKA

[1]. Sharif, A HISTORY of MUSLIM PHILOSOPHY.

[2]. Kh. Muntasyar Hasyim, dkk. Manaqib Para Pendiri T hariqah al-
Mu’tabarah. Sidogiri: Penerbit Cipta Pusaka, 2007.

[3]. Zuhri,M. Saifuddin. Thoriqah Syadziliyyah. Jombang; Teras.2011.

Anda mungkin juga menyukai