Anda di halaman 1dari 28

FIKIH IBADAH

Makalah Ini Disusun guna Memenuhi Tugas


"Studi Fikih"

Dosen Pengampu :
Tri Lestari, S.SY., M.H.

Kelompok 3 :
Ulya Sahara Laili (101210197)
Wiji Astutik (101210209)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
AGUSTUS 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut lugat, ibadah berarti taat, mengikuti dan tunduk. Ibadah itu
tidak hanya terbatas pada mansik ta'abbudi saja, seperti shalat, puasa, haji.
Tetapi ia mempunyai makna yang lebih jauh lebih dalam bahwa
sesungguhnya ibadah itu ialah ibadah 'ubudiyyah kepada Allah satu-satunya
dalam urusan dunia akhirat. Selanjutnya, terus menerus berhubungan dengan
Allah dalam segala urusan. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk beribadah
seseorang harus memahami ilmu fikih.

Dalam pembahasan fikih secara umum selalu diawali dengan uraian


tentang thaharah. Dalam hukum islam bersuci dan segala seluk beluknya
adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting terutama karena
diantaranya syarat-syarat sholat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan
melaksanakan ibadah, wajib suci dari hadas dan najis.

Untuk melakukan kajian lebih mendalam mengenai fikih ibadah, materi


di bawah ini akan membahas secara lebih spesifik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian fikih ibadah?
2. Bagaimana ruang lingkup pembahasan fikih ibadah?
3. Apa tujuan mempelajari fikih ibadah?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Fikih Ibadah
1. Pengertian
Fikih Ibadah terdiri dari dua unsur kata, yaitu kata Fiqh dan Ibadah.
Dalam etimologi Islam, kata "fiqh" berasal dari akar kata faqiha-yafqahu-
fiqhan yang berarti mengetahui, memahami dan mendalami sesuatu
secara mutlak.
Secara terminologis, Fikih ialah ilmu yang mengkaji tentang syari'at
Islam yang ditetapkan Allah bagi manusia dalam menjalani kehidupan
duniawi dan ukhrawi, baik vertikal maupun horizontal dengan memakai
dalil-dalil terperinci (tafshili) seperti tersurat dan tersirat dalam al-Qur'an,

al-Hadits dan al-Ijtihad (ijma' dan qiyas).1


Sementara kata "ibadah", secara bahasa merupakan bentuk ketiga
(mashdar) yang terpetik dari akar kata abada-ya'budu-'abdan/'ibadatan
yang berarti menyembah, menghambakan diri dan mengabdi. Sedangkan
menurut istilah, ibadah adalah suatu ritual yang dilakukan oleh seorang
hamba dalam rangka mengabdi, menyembah dan menghambakan diri
kepada Allah swt., dengan cara mengerjakan segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya.

2. Dasar Hukum Ibadah


Begitu pentingnya ibadah dalam Islam, tercermin dari banyaknya
ayat al-Qur'an yang memuat kata "ibadah", yaitu disebutkan sebanyak
275 kali dalam 251 ayat. Surat al-Dzariyat[51]:56 merupakan ayat yang

populer dijadikan dalil ibadah:2

1Yaqin, Fiqh Ibadah (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2018), h.1

2Rosidin, Modul fikih Ibadah (Malang: PT. Literindo Berkah Karya, 2020), h.9
‫وما خلقت الجن و االنس اال ليعبدون‬
Artinya : "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku" (Q.S.al-Dzariyat (51): 56)

3. Macam-Macam Ibadah
a. Dilihat dari segi umum dan khusus, maka ibadah dibagi dua macam :
(1) Ibadah khoshoh adalah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan
dalam nash (dalil/dasar hukum) yang jelas, yaitu sholat, zakat,
puasa dan haji.
(2) badah ammah adalah semua perilaku baik yang dilakukan semata-
mata karena Allah SWT seperti bekerja, makan, minum dan tidur
sebab semua itu untuk menjaga kelangsungan hidup dan kesehatan
jasmani supaya dapat mengabdi kepada-Nya.
b. Ditinjau dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat, ibadah
ada dua macam :
(1) Ibadah wajib (fardhu), seperti sholat dan puasa.
(2) Ibadah ijtima'i, seperti zakat dan haji.
c. Dilihat dari cara pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi tiga :
(1) Ibadah jasmaniyah dan ruhiyah seperti sholat dan puasa.
(2) Ibadah ruhiyah dan amaliyah seperti zakat.
(3) Ibadah jasmaniyah, ruhiyah dan amaliyah seperti pergi haji.
d. Ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah dibagi menjadi :
(1) Ibadah yang berupa pekerjaan tertentu dengan perkataan dan
perbuatan, seperti sholat, zakat, puasa dan haji.
(2) Ibadah yang berupa ucapan, seperti membaca Al-Qur'an, berdo'a
dan berdzikir.
(3) Ibadah yang berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya,
seperti membela diri, menolong orang lain, mengurus jenazah dan
jihad.
(4) Ibadah yang berupa menahan diri, seperti ihrom, berpuasa dan
i'tikaf (duduk di masjid)
(5) Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti membebaskan
hutang atau membebaskan hutang orang lain.3

4. Syarat Diterimanya Ibadah


Adapun syarat umum diterimanya ibadah, antara lain ibadah harus
diniatkan karena Allah (ikhlas), khusyu'; harus bersih dari sifat ujub dan
riya', ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan dan konsepsi
syari'at Islam, piranti yang digunakan untuk beribadah harus diperoleh
melalui cara yang benar dan halal. Sedangkan syarat khusus diterimanya
ibadah, maka perlu disesuaikan dengan jenis, hukum dan cara
pelaksanaannya.4
Muraqabah, yaitu seseorang beribadah seakan-akan Allah SWT
mengawasinya. Dia yakin bahwa Allah SWT senantiasa bersamanya dalam
setiap aktivitas, gerak maupun diam.5

5. Objek dan Ruang Lingkup Fikih Ibadah


Objek kajian dalam Fikih Ibadah adalah perbuatan seorang mukallaf
yang berkaitan dengan berbagai cara pengabdiannya kepada Allah sesuai
ketentuan syari'at Islam. Sedangkan ruang lingkup pembahasan materi
Fikih Ibadah adalah mengenai beberapa ritual (ibadah), baik ibadah
mahdlah, maupun ibadah ghairu mahdlah, yang diniatkan untuk mendapat
ridla Allah SWT, yang kuantitasnya sangat banyak dan beragam.6

3Abidin, Fiqh Ibadah (Yogyakarta: Deepublish, 2020), h.7

4Yaqin, Fiqh Ibadah (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2018), h.13

5Rosidin, Modul Fikih Ibadah (Malang: PT. Literindo Berkah Karya, 2020), h.11

6Yaqin, Fiqh Ibadah (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2018), h.11


6. Hubungan Fikih Ibadah dengan Fikih Lainnya

Bisa dipahami dengan mudah bahwa koneksi Fikih Ibadah dengan


Fikih lainnya, seperti Fikih Jinayah, Mu'amalah, Munakahat dan Siyasah
merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan, bahkan saling
terkait dan saling melengkapi satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya
keterkaitan yang nyata satu sama lain dan kesamaan objeknya, yakni dalam
hal-hal yang berkaitan dengan segala perbuatan seorang mukallaf tersebut.
Misalnya saja keterkaitannya dengan Fikih Jinayah bahwa setiap orang
yang sengaja meninggalkan shalat wajib, bersetubuh di siang hari pada
bulan ramadlan dan lain-lain, maka akan dikenai sanksi. Begitu juga
keterkaitannya dengan Fikih Mu'amalah bahwa setiap orang yang ingin
diterima ibadahnya, maka diharuskan mencari rizki yang halal melalui

proses transaksi yang benar.7

7. Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Fikih Ibadah


Setiap ilmu pengetahuan yang telah menjadi sebuah teori, disiplin ilmu
dan landasan hukum, pasti memiliki tujuan yang menjadi target pemahaman
yang akan diperoleh setelah mempelajarinya. Begitupula dengan Fikih
Ibadah juga memiliki tujuan-tujuan yang konkrit. Setidaknya, diantara
tujuan tersebut, antara lain :
a. Untuk mengetahui dan memahami secara detail dan komprehensif terkait
ketentuan dan tata cara pelaksanaan masing-masing ibadah, baik secara
teoritis maupun praktis sebagaimana telah tercantum dalam sumber hukum
Islam secara terperinci, sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata
sebagaimana mestinya, baik dalam kehidupan pribadi, sosial, beragama
maupun bernegara.

7Ibid,h.11
b. Untuk memperjelas akan eksistensi dan substansi dari Maqasid Al-
Syari'ah, yang juga sering disebut dengan adl-Dlaruri al-Khamsah (5 tujuan
pokok syari'at), meliputi menjaga/melindungi agama, menjaga jiwa,
menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta.
c. Untuk memahamkan setiap muslim atau umat manusia akan urgensi
mematuhi syari'at Islam, agar mereka dapat bertindak sesuai syari'at Islam,
baik berupa larangan, perintah, hak maupun kewajiban.
Sedangkan kegunaan mempelajari antara lain demi terciptanya
agama yang lurus, negara yang makmur, masyarakat yang madani dengan
pelaksanaan ibadah sesuai konsepsi syari'at Islam; terpeliharanya hak hak
Allah dan hak hak manusia dari berbagai bentuk pelanggaran dan
kemaksiatan; terbentuknya insan-insan agamis, bermoral, taat hukum
agama sehingga terwujud stabilitas, responbilitas, dan kemaslahatan di
segala bidang.8

B. Cakupan Fikih Ibadah


1. Thaharah
a) Pengertian
Thaharah ada dua macam yaitu thaharah secara lahir dan thaharah
secara batin. Thaharah secara batin ialah menyucikan jiwa dari dampak-
dampak dosa dan maksiat. Hal ini dilakukan dengan bertobat yang
bersungguh-sungguh dari seluruh dosa dan maksiat, serta membersihkan
hati dari kotoran syirik, keraguan, iri hati, dendam, dengki, menipu,
sombong, ujub (merasa kagum pada diri sendiri), riya, dan sum'ah
(menceritakan kebaikannya kepada orang lain). Sedangkan thaharah
secara lahir ialah bersuci dari najis dan hadats. Thaharah dalam bahasa
berarti bersuci. Menurut istilah adalah membersihkan diri, pakaian,
tempat, dan benda-benda lain dari najis dan hadas menurut cara-cara yang
ditentukan oleh syariat Islam.9

8Yaqin, Fiqh Ibadah (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2018), h.14


9Abidin,Fiqh Ibadah (Yogyakarta: Deepbulish, 2020), h.19
b) Alat Thaharah
Piranti (alat) yang bisa digunakan untuk thaharah dari hadats dan
najis ini, adalah air suci secara mutlak; debu yang suci, murni dan kering
(beterbangan); penyamakan dengan benda yang memiliki rasa kecut,
seperti kapur barus yang biasanya dipakai untuk membersihkan kulit
binatang; dan batu atau benda yang lain yang dipakai untuk beristinja'
(bersesuci) dengan syarat-syarat tertentu.10

c) Macam-Macam Air
Air adalah sesuatu yang mengalir, lunak (elastis), halus dan
berwarna sesuai tempat yang ditempatinya yang Allah ciptakan
kesegaran ketika menggunakannya. Menurut para fuqaha
pengklasifikasian air ini bisa ditinjau melalui dua segi :
Pertama, ditinjau dari segi tempat dan asalnya, ada 7 macam air, 3
berasal dari langit, yakni air hujan, es (salju) dan embun, dan 4 berasal
dari bumi, yakni air sumur, sumber, sungai dan laut. Kedua, ditinjau dari
segi hukumnya ada 3 macam air, antara lain :
1) Air suci dan menyucikan (thahir fi nafsihi muthahhir li ghairihi)
atau disebut juga dengan air mutlak, dalam arti suci untuk
diminum dan menyucikan untuk dipakai thaharah dari hadats
dan najis, seperti 7 macam air di atas. Selain itu, air mutlak ini
juga dibagi menjadi 2 bagian :
a) Tidak makruh dipakai
b) Makruh dipakai sebab 4 faktor :
1. Air yang menjadi panas sebab sinar matahari
(Musyammas), karena menyebabkan kusta
2. Air yang sangat panas
3. Air yang sangat dingin, sebab keduanya merintangi
kesempurnaan thaharah
4. Air dari bumi ghashab

10
Yaqin, Fiqh Ibadah (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2018), h.18
2) Air suci tapi tidak menyucikan (thahir fi nafsihi ghairu
muthahhir lighairihi), dalam arti suci untuk diminum, tapi tidak
bisa dipakai untuk thaharah, seperti air musta'mal. Disebut air
musta'mal bila jumlah airnya sedikit (tidak mencapai dua qullah ±
217 liter), telah dipakai untuk bersuci (wudlu dan ghuslu) atau
menghilangkan najis, telah terpisah dari anggota badan,

mencelupkan tangan kedalam wadah air yang sedikit.11


3) air mutanajis yaitu air yang kejatuhan najis. Bila kurang dari 2
kulah maka hukumnya najis dan tidak bisa mensucikan, dan bila
air yang kejatuhan najis itu lebih dari 2 kulah, tidak berubah warna
dan bau, maka hukumnya tetap suci dan dapat mensucikan.12

d) Hadats dan Najis


Dalam etimologi Islam, hadats berarti kotoran, baik konkrit (lahir)
maupun abstrak (batin). Sedangkan secara terminologi, hadats adalah
segala perbuatan yang mewajibkan thaharah, baik dengan cara wudlu,
ghuslu, tayamum maupun dengan cara pembersihan kotoran dan najis. Di
dalam beberapa literatur fiqh, hadats diklasifikasikan menjadi 2 bagian.
Pertama, hadats kecil (ashghar), seperti berwudlu dan bertayamum bagi
orang yang keluar angin, berak, dll. Kedua, hadats besar (akbar), seperti
mandi wajib dan bertayamum lantaran bersenggama, orang yang baru
masuk Islam (muallaf) dan bersuci dari haid dan nifas bagi wanita. Cara
penyucian dari kedua hadats ini,bisa dilakukan dengan cara wudlu,
ghuslu, tayamum maupun pembersihan kotoran dan najis sesuai
sebabnya masing-masing.
Sementara najis, secara bahasa adalah sesuatu yang menjijikkan.
Sedangkan secara istilah, najis adalah setiap sesuatu yang menjijikkan
menurut syara' yang dapat menghalangi sahnya shalat dan tidak termasuk

11Yaqin, Fiqh Ibadah (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2018), h.19


12Ahnan, Risalah Shalat Lengkap (Surabaya: Terbit Terang, 1995), h.13
najis yang mendapatkan rukhshah atau ma'fu (dispensasi).13 Macam-
macam najis dibagi menjadi 3 :
1) Najis Mukhaffafah : Najis yang ringan yakni dari air kencing bayi
laki-laki yang belum mencapai usia 2 tahun dan belum makan
apa-apa selain air susu ibu. Cara menghilangkannya ialah cukup
dengan memercikkan air yang suci pada benda yang terkena najis
sehingga benar-benar basah walaupun tidak sampai yang
mengalir.
2) Najis Mutawassithah : Najis yang sedang yakni najis selain najis
mukhaffafah dan najis mugholadoh seperti air kencing orang
dewasa. Najis mutawassithah dibagi menjadi dua:
1. Najis ainiyah yaitu najis yang dapat dilihat dengan jelas oleh
pandangan mata
2. Najis hukmiyah yaitu najis yang tidak dapat dilihat dengan
jelas oleh pandangan mata. Cara menghilangkannya adalah
dengan membuang najisnya hingga benar-benar hilang bau warna
dan rasanya yang kemudian disiram dengan air yang suci
beberapa siraman sambil digosok-gosok hingga benar-benar
bersih.
3. Najis Mugholadoh : Najis yang berat yakni najis dari anjing
dan babi serta keturunannya. Cara menghilangkannya adalah
dicuci dengan air sebanyak 7 kali yang salah satunya dicampur
dengan debu yang suci.14

e) Tata Cara Thaharah


1. Tayamum
Tayamum adalah mengusap muka dan kedua tangan dengan
debu atau tanah yang suci dengan beberapa syarat tertentu,
berfungsi sebagai pengganti wudlu dan mandi, yang dikarenakan
adanya sebab-sebab tertentu misal dalam perjalanan dimana sulit
mendapatkan air, sakit dan sebagainya. Tayamum hanya berlaku
untuk satu kali shalat.

13Yaqin, Fiqh Ibadah (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2018), h.16


14Ahnan,Risalah Shalat Lengkap (Surabaya: Terbit Terang, 1995), h.14
Syarat-syarat tayamum antara lain :
a. Sakit atau tidak ada air
b. Debu/tanah tayamum harus suci
c. Telah masuk waktu shalat namun belum mendapatkan air
d. Telah berusaha kesana kemari mencari air sebelum bertayamum

Cara bertayamum :
1) Berniat dalam hati sewaktu akan menyentuhkan kedua telapak tangan
di atas tanah yang suci
2) Menyapu kedua telapak tangan ke muka dengan duakali sapuan
3) Menyentuhkan kedua telapak tangan yang kedua kalinya diatas debu
atau tanah yang suci
4) Menyapukan kedua telapak tangan pada kedua tangan hingga kedua
siku dengan dua kali sapuan
2. Wudlu
Wudlu adalah menghilangkan hadats kecil dengan menggunakan air
untuk membasuh anggota badan tertentu.Wudlu termasuk salah satu
syarat sah shalat.
Fardlu-fardlu wudlu antara lain :
a. Nat wudlu di dalam hati,
b. Membasuh muka,
c. Membasuh kedua tangan hingga kedua siku
d. Mengusap kepala
e. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki
f. Tertib dan urut
Tata cara wudlu :
1) Membaca basmalah sambil membersihkan kedua telapak tangan
2) Berkumur-kumur sambil menggosok gigi
3) Menghirup air ke dalam hidung dan dikeluarkan kembali
4) Membaca niat di dalam hati diteruskan dengan membasuh muka tiga
kali
5) Membasuh kedua tangan hingga kedua siku tiga kali
6) Mengusap rambut kepala tiga kali
7) Menyapu kedua telinga bagian luar dan dalam tiga kali
8) Membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki tiga kali
9) Menghadap arah kiblat dan berdoa setelah wudlu
3. Mandi
Mandi di sini adalah membasahi anggota badan dari ujung kaki hingga
ujung rambut dengan air suci mensucikan, berfungsi untuk
menghilangkan hadats besar.
Fardlu-fardlu mandi antara lain :
1) Membersihkan najis yang menempel di badan
2) Meratakan air ke seluruh badan
Tata cara mandi wajib :
1) Membersihkan kedua tangan sambil membaca basmalah
2) Membersihkan kotoran atau najis yang melekat di badan
3) Berwudhu seperti wudhu akan salat
4) Membasahi pangkal rambut dengan jari-jari tangan yang telah
dicelupkan ke dalam air
5) Menyiram kepala dengan air 3 kali dan diteruskan dengan menyiram ke
seluruh badan
6) Mencuci kedua kaki kanan dan kiri
7) Menghadap kiblat dengan membaca doa seperti membaca doa sesudah
wudhu

2. SHALAT
a) Pengertian
Shalat secara bahasa berarti do'a, sedang menurut istilah syara' berarti
ucapan dan pekerjaan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam
dengan syarat-syarat tertentu.15
b) Dasar hukum

15Abdillah.tt.Terjemah Fathul Qarib. Terjemahan oleh Abu.H.F (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), h.47
Shalat diwajibkan dengan dalil yang qath'i dari Al-Qur'an, As-Sunah, dan
Ijma' umat Islam sepanjang zaman. Allah berfirman :
‫فأقيمواالصالةوءاتواالزكاة‬
Artinya:"Maka dirikanlah shalat dan berpeganglah kamu pada tali Allah"
(QS.Al-Hajj: 78)
c) Waktu-waktu shalat
Ulama menetapkan waktu-waktu salat sebagai berikut :
1) Waktu salat subuh adalah mulai terbit fajar sadiq (fajar kedua) sampai
terbitnya matahari. Fajar sadiq yaitu cahaya putih yang memancar di ufuk
timur di waktu subuh dalam keadaan melintang dari kiri ke kanan.
Lawannya adalah fajar kazib yaitu cahaya putih yang memanjang
daribawahkeatas langit.
2) Waktu salat zuhur adalah mulai tergelincir matahari (zawal) sampai
bayang-bayang setiap benda sama panjangnya dengan benda tersebut.
Tergelincir matahari (zawal) adalah kemiringannya dari pertengahan langit
ke arah barat. Hal ini dapat dilihat kepada seseorang atau sebuah tiang
yang berdiri, bila mana bayang-bayangnya masih persis ditengah atau
belum sampai, menandakan waktu zuhur belum masuk.
3) Waktu asar adalah mulai dari keluarnya waktu zuhur, yaitu bilamana
bayang-bayangmelebihipanjangsuatubenda,sampai terbenam matahari.
4) Waktu salat magrib adalah mulai dari terbenam matahari, yaitu hilangnya
bundaran matahari secara sempurna, sampai hilangnya syafaq (sisa cahaya
matahari di waktu senja), demikian menurut pendapat jumhur ulama.
5) Waktu salat isya adalah sehabis waktu salat magrib sampai terbit fajar
sadiq dengan pengertian sejenak sebelum terbit.16
d) Syarat sah shalat
Wahbah Zuhayli mengemukakan syarat sah sebagai berikut :

16Abror,Fiqh Ibadah (BandarLampung:CV.ArjasaPratama,2019),h.71


1) Mengetahui masuknya waktu. Salat tidak sah apabila seseorang
yang melaksanakannya tidak mengetahui secara pasti atau dengan
persangkaan yang berat bahwa waktu telah masuk, sekalipun
ternyata dia salat dalam waktunya. Demikian juga yang ragu,
salatnya tidak sah.
2) Suci dari hadas kecil dan hadas besar.
3) Suci badan, pakaian dan tempat dari najis hakiki.
4) Menutup aurat. Seseorang yang şalat disyaratkan menutup aurat,
baik sendiri dalam keadaan terang, maupun sendiri dalam gelap.
5) Menghadap kiblat.

e) Rukun shalat
Rukun shalat ada 13 :
1) Niat
2) Takbiratul ihram
3) Berdiri bagi yang sanggup
4) Membaca al Fatihah
5) Ruku'
6) Sujud dua kali pada setiap rakaat
7) Duduk antara dua dujud
8) Membaca tasyahud akhir
9) Duduk pada tasyahud akhir
10) Membaca shalawat Nabi setelah tasyahud akhir
11) Duduk di waktu membaca shalawat
12) Mengucapkan salam
13) Tertib
f) Hikmah shalat
Salat adalah kewajiban umat Islam paling utama sesudah mengucapkan
dua kalimat syahadat. Salat merupakan pembeda antara orang muslim dan
non-muslim. Bila disimak dari sudut religious, salat merupakan hubungan
langsung antara hamba dengan Khaliqnya yang didalamnya terkandung
kenikmatan munajat, pernyataan ubudiyah, penyerahan segala urusan kepada
Allah, keamanan dan ketentraman serta perolehan keuntungan. Disamping itu
dia merupakan suatu cara untuk memperoleh kemenangan serta menahan
seseorang dari berbuat kejahatan dan kesalahan.
Secara individual salat merupakan pendekatan diri (taqarrub) kepada
Allah Swt, menguatkan jiwa dan keinginan, semata-mata mengagungkan
Allah Swt, bukan berlomba-lomba untuk memperturutkan hawa nafsu dalam
mencapai kemegahan dan mengumpulkan harta. Disamping itu salat
merupakan peristirahatan diri dan ketenangan jiwa sesudah melakukan
kesibukan dalam menghadapi aktivitas dunia.
Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan, salat merupakan pengakuan
aqidah setiap anggota masyarakat dan kekuatan jiwa mereka yang
berimplikasi terhadap persatuan dan kesatuan umat. Persatuan dan kesatuan
ini menumbuhkan hubungan sosial yang harmonis dan kesamaan pemikiran
dalam menghadapi segala problema kehidupan sosial kemasyarakatan.17

3. PUASA
a. Pengertian
Puasa adalah suatu bentuk “ibadah dalam Islam yang berarti menahan diri
dari segala sesuatu yang membatalkan ibadah tersebut pada siang hari (mulai
terbit fajar sampai terbenam matahari)”; Puasa dalam bahasa Arab disebut
dengan istilah “Ṣiam” atau “Ṣaum” yang secara etimologis berarti ‫االمساك عن‬
( ‫الشيئ‬menahan diri dari sesuatu).
Puasa dalam pengertian terminologis ialah suatu ibadah yang
diperintahkan Allah, dilaksanakan dengan cara menahan makan, minum dan
hubungan seksual (menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa) dari
terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan disertai niat.18 Mengambil
makna puasa dalam arti menahan diri dari segala hal yang membatalkan dan
merusak

17Abror, Fiqh Ibadah (BandarLampung: CV. ArjasavPratama, 2019), h.67

18Sayyid Sabiq, Fiq al-Sunnah, jilid l, (Beirut: Dar al-Fikri,1983), h.364


niat puasa, Al-Gazali dalam ihya ulumuddin, membaginya puasa menjadi tiga
tingkat yaitu :
1). Puasa Umum
Yang dimaksud disini adalah puasa hanya dengan menahan diri dari
makan, minum, serta hubungan seksual. Artinya, mereka melaksanakan
puasa, sementara perbuatan yang lain sepanjang tidak membatalkan puasa,
sebagaimana ditetapkan oleh syara' tetap dilakukan olehnya; seperti: mencuri,
berjudi, dan lain perbuatan yang bersifat menjurus kepada maksiat dan dosa.
2). Puasa Khusus
Ialah selain menahan diri dalam pengertian puasa umum diatas, juga
menahan diri dari perkataan, pandangan, dan perbuatan yang cenderung
mengarah ke hal-hal yang tidak baik (negatif).
3). Puasa Khusus al-khawas
Adalah puasa disamping menahan diri dari kedua tingkatan diatas, juga
ditambah dengan puasa hati dari segala kecenderungan yang mengarah
kepada hal-hal yang bersifat keduniaan.

b. Macam dan dasar hukum puasa


Puasa dibagi atas beberapa macam diantaranya :
1) Puasa ramadhan
Adalah puasa yang diwajibkan atas setiap muslim selama bulan
ramadhan. Puasa ramadhan merupakan salah satu dari rukun Islam.
2) Puasa qada
Adalah puasa yang wajib dikerjakan meninggalkan puasa di bulan
ramadhan, baik karena uzur, sakit atau musafir (bepergian) sebanyak hari
yang ditinggalkan.
3) Puasa nazar
Adalah puasa yang wajib dilaksanakan oleh orang yang bernazar,
sebanyak hari yang dinazarkan. Telah disyari’atkan kepada umat sebelum
Nabi Muhammad SAW.
4) Puasa tatauwu (sunah)
Adalah puasa yang tidak diwajibkan yang sering kali disebut dengan
puasa sunah, sehingga tidak berdosa bagi seseorang yang meninggalkannya.
Puasa sunah ini meliputi :
a) Puasa pada Senin dan Kamis. Hal ini didasarkan pada hadis Usamah
bin Zaid: ”Nabi SAW berpuasa pada hari Senin dan Kamis, sewaktu
beliau ditanya tentang hal ini beliau menjawab amalan manusia
dilaporkan pada hari Senin dan Kamis”.19
b) Puasa yang dilakukan selama enam hari pada bulan Syawal. Puasa
enam hari itu dapat dilakukan secara berturut-turut atau tidak, tetapi
hari pertama lebih baik daripada hari yang kedua.
c) Puasa hari Arafah, yaitu puasa yang dilakukan pada tanggal 9
Dzulhijah bagi orang yang tidak melaksanakan ibadah haji. Hal ini
berdasarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah yang artinya
: “puasa hari Arafah dapat menghapus dosa selama 2 tahun, setahun
yang lampau dan setahun yang akan datang.
d) Puasa Tasu’a dan Assura yaitu puasa yang dilakukan pada tanggal 9
dan 10 Muharram
e) Puasa selama tiga hari dalam setiap bulan, waktu yang paling baik
untuk melakukan puasa ini ialah pada tanggal 13,14,15. Hal ni
didasarkan pada hadis riwayat Nasa’i dan Ibnu Hibbah, bahwa pahala
puasa yang dilaksanakan selama tiga hari tersebut nilainya sama
dengan puasa yang dilakukan sepanjang tahun
5) Puasa kaffarat
Adalah puasa yang dilakukan seseorang karena melanggar suatu aturan yang
telah ditentukan, jika orang Islam dengan tidak sengaja membunuh orang islam
lain, dsb tidak cukup mampu untuk menebus dengan memerdekakan budak yang
beriman maka dia wajib menjalankan puasa 2 bulan secara berturut-turut.
Kelima macam puasa tersebut, bila ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya,
puasa dibagi menjadi dua yaitu puasa yang dilaksanakan di bulan ramadhan dan di
luar bulan ramadhan. Bila diihat dari segi hukumnya puasa di bagi empat yaitu :

19Muhammad bin ismail, al-khahlani, Subulan-salam, (Istanbu-Turki,1957M), h.166


a). Puasa wajib yang meliputi puasa bulan Ramadhan, puasa qada, puasa nazar,
puasa kafarat
b). Puasa sunah yaitu puasa yang tidak diwajibkan
c). Puasa makruh. Puasa ini di bagi menjadi tiga macam :
1. Puasa yang dilakukan pada hari Jum’at yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, Abu Hurairah yang isinya melarang orang puasa hari Jum’at kecuali
telah puasa sehari sebelumnya atau sesudahnya.
2. Puasa wisal yaitu puasa yang dilakukan pada malam hari tanpa makan atau
minum pada malam harinya.
3. Puasa dahri yaitu puasa yang dilakukan terus menerus
d). Puasa haram yaitu mencakup puasa-puasa berikut :
1. Puasa yang dilakukan pada hari raya idul fitri dan idul adha
2. Puasa yang dilakukan pada saat haid dan nifas
3. Menurut madzab Syafi’i, puasa yang dilaksanakan pada pertengahan akhir
bulan Syakban
4. Puasa pada tiga hari Tasyriq (11,12,13 Zulhijah), dll
c. Syarat Puasa
Ada dua syarat yang harus terpenuhi seseorang dalam melaksanakan puasa
1) Syarat wajib puasa
Syarat wajib adalah syarat yang menyebabkan seseorang agar dia wajib
melaksanakan puasa. Para ulama menetapkan syarat wajib puasa dibulan
Ramadhan sebagai berikut :
a) Beragama Islam
Ahli fiqh madzab Hanafi berpendapat, bahwa orang kafir tidak dituntut
untuk melaksanakan syariat Islam seperti halnya ibadah puasa. Demikian
juga terhadap orang murtad, jika mereka melaksanakan puasa maka
puasanya dipandang tidak sah.
b) Baligh (sampai umur) dan berakal
Puasa tersebut tidak diwajibkan bagi anak kecil, orang gila, orang yang
pingsan, dan orang yang mabuk. Sesungguhnya Nabi saw bersabda
“Diangkat pena (tidak ditulis dosa) dari tiga hal yaitu dari orang yang gila
sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai ia bermimpi (baligh)”. HR
Ahmad, Abu Daud dan Timidzi.
c) Mampu atau kuat berpuasa
Mengenai persyaratan kuat berpuasa mengandung arti bahwa orang yang
sakit yang mengakibatkan tidak kuat berpuasa baik karena tua atau karena
sakit yang tidak di harapkan. Orang sakit yang dimaksud adalah orang yang
bila ia berpuasa, maka penyakitnya tambah parah atau semakin sulit
penyembuhannya.
2) Syarat Sah Puasa
Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam menetapkan
syarat sahnya puasa.
a) Para ahli fiqh dari Mazhab Hanafi menetapkan tiga syarat bagi sahnya puasa :
a. Niat
b. Bersih dari haiḑ dan nifas
c. Terhindar dari segala yang membatalkan puasa
b) Mazhab Hambali juga menetapkan tiga syarat bagi sahnya puasa :
a. Islam
b. Niat
c. Bersih dari Haiḑ dan Nifas
c) Mazhab Maliki menetapkan empat syarat bagi sahnya puasa :
a. Niat
b. Suci dari haiḑ dan nifas
c. Islam
d. Dilakukan pada masa-masa yang dibolehkan
d) Mazhab Syafi’i menetapkan empat syarat bagi sahnya puasa :
a. Islam
b. Berakal
c. Suci dari haid dan nifas
d. Niat (menurut sebagian Syafi’iyah)
Jika diperhatikan pendapat para ahli fiqh tersebut, dapat dipahami bahwa
syarat sah puasa yang disepakati oleh kebanyakan ahli fiqh adalah : Islam, niat
dan suci dari haid dan nifas. Puasa dilakukan pada masa dibolehkan berpuasa.
3) Yang membatalkan puasa.
Ada beberapa hal yang membatalkan puasa. Para ulama Fiqh membagi hal-
hal yang membatalkan puasa menjadi dua bagian :
a) Pertama, hal-hal yang membatalkan puasa dan wajib baginya meng-qadha.
b) Kedua, sesuatu yang membatalkan puasa dan wajib baginya meng-qadha dan
kaffarat sekaligus.
Terhadap hal-hal yang membatalkan puasa dan wajib baginya mengqadha
adalah :
1. Makan dan minum dengan sengaja
2. Muntah dengansengaja
3. Haid dan Nifas
4. Gila yang datang waktu menjalankan puasa
4) Cara Melaksanakan Puasa
Beberapa hal yang perlu di perhatikan seseorang yang hendak melaksanakan
berpuasa :
a) Di malam harinya berniat akan berpuasa esok harinya secara ikhlas dalam
rangka pengabdian kepada Allah SWT. Niat ini dapat dilaksanakan sejak
maghrib dimalam harinya sampai terbit fajar.
b) Mulai pada malam itu tegakkanlah tarawih dengan berjama’ah.
c) Dianjurkan makan sahur sebelum terbit fajar, tujuannya adalah untuk
menambah kekuatan jasmani untuk menahan lapar danhausdisiang
harinya.
d) Setelah terbit fajar, harus memulai menahan dari segala yang
membatalkan puasanya sampai terbenam matahari.
e) Setelah terbenam matahari, dianjurkan segera berbuka, dengan memakan
sedikit buah kurma (lutab = kurma tua), bila tidak diperoleh bisa dengan
tamar (kurma biasa), bila tidak diperoleh bisa dengan buah anggur yang
manis (makanan yang manis), bila tidak ada makanan yang manis, cukup
dengan beberapa teguk air, lalu shalat, kemudian baru makan nasi.
f) Memelihara puasanya dari segala yang merusak nilai-nilai puasa karena
salah satu tujuan puasa dalam mendidik jiwa untuk mencintai kebaikan
dan mensucikan dari dosa.
5) Hikmah Puasa
Dalam Islam, tidak ada ibadah yang diperintahkan Allah swt yang tidak
mengandung hikmah. Puasa sebagai ibadah menahan makan dan minum serta
hubungan seksual, dan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,
mengandung hikmah bagi yang melaksanakannya. Hikmah bukanlah tujuan utama
dari ibadah puasa, melainkan tujuan sampingan yang secara langsung ataupun tidak
dapat diterima bagi yang melaksanakannya.

4. ZAKAT
a. Pengertian Zakat
Zakat dari segi etimologi memiliki beberapa arti, antara lain “pengembangan”.
Harta yang diserahkan zakatnya, memberi berkah terhadap sisa harta sehingga secara
kualitatif lebih bernilai. Dalam terminologi fiqh, secara umum zakat didefinisikan
sebagai bagian tertentu dari harta kekayaan yang diwajibkan Allah untuk sejumlah orang
yang berhak menerimanya. Mahmud Syaltut, seorang ulama kontemporer dari Mesir,
mendefinisikannya sebagai ibadah kebendaan yang diwajibkan oleh Allah SWT agar
orang yang kaya menolong orang yang miskin berupa sesuatu yang dapat memenuhi
kebutuhan pokoknya.
Al-Qur’an menggunakan beberapa terminology untuk arti zakat yaitu : Al-zakat
(zakat), Al-Sadaqah (sedekah), Al-Nafaqah (infak), Al-haq (hak)
b. Wajib Zakat
Para ahli fikih telah menetapkan bahwa zakat diwajibkan kepada seseorang apabila
kepadanya terpenuhi syarat-syarat wajib zakat sebagai berikut :
1) Merdeka (al-Huriyah)
Keharusan merdeka bagi wajib zakat menafikan kewajiban zakat terhadap
hamba sahaya
2) Islam
Oleh karna zakat merupakan ibadah yang berfungsi menyucikan jiwa orang
yang berzakat (muzakki) maka hanya orang muslim yang dikenakan
kewajiban zakat
3) Baligh dan Berakal
Fikih mazhab Hanafi menetapkan baligh dan berakal sebagai syarat wajib zakat
4) Mencukupi satu nisab
Diantara syarat wajib zakat adalah apabila jumlah harta itu mencapai satu nisab
5) Harta itu milik sendiri secara sempurna
Yang dimaksud dalam istilah ini ialah harta yang tidak ada di dalamnya hak
orang lain yang wajib dibayarkan
6) Sampai haul
Haul adalah perputaran masa selama satu tahun atau dua belas bulan.
c. Mustahik Zakat
Pada awal sejarah pertumbuhan islam di Mekah, orang-orang yang berhak menerima
zakat (infaq) itu adalah orang miskin saja. Setelah tahun ke-9 Hijriyah, Allah SWT
menurunkan ayat 60 surat al-Taubah di Madinah. Orang yang berhak menerima zakat
terdiri dari delapan golongan yaitu orang faqir, orang miskin, amil zakat, muallaf, riqab,
gharim, sabilillah, ibnu sabil.

d. Harta yang Wajib Dizakatkan


Al-Qur'an hanya memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan
zakat. Perintah bersifat umum dan ringkas, tidak menjelaskan apa-apa saja yang harus
dizakatkan itu. Demikian juga tentang jumlah harta serta kadar zakat yang harus
dikeluarkan tidak ada penjelasan. Dirujuk kepada hadis-hadis Nabi SAW yang secara rinci
menyebut jenis-jenis harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya dan berikut nisab
dan kadar atau persentasi zakatnya. Harta kekayaan yang wajib dizakatkan adalah emas
dan perak, harta perniagaan, unta, kambing, sapi dan kerbau, makanan dari buah-buahan
dan tumbuh-tumbuhan kecuali dari empat jenis, yaitu gandum, selai, kurma dan anggur
kering.
e. Fungsi Sosial dan Hikmah Zakat
1) Fungsi Sosial Zakat
Ini menunjukkan bahwa zakat disamping sebagai salah satu bentuk kegiatan
mendekatkan diri kepada Allah, adalah salah satu bentuk kegiatan yang bersifat
sosial. Zakat digunakan bagi kepentingan umum dalam menanggulangi problem-
problem sosial, bencana serta membantu sekian banyak kelompok yang
memerlukannya.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya Al-ibadah fi al-Islam mengatakan bahwa
zakat itu adalah milik masyarakat, karna mendapatkannya juga adalah atas usaha
masyarakat. Orang yang kaya tidak akan menjadi kaya kalau orang yang miskin
tidak ada. Kekayaan yang diperoleh seseorang tidak terlepas dari peran orang
lain, oleh karna itu wajar jika Allah SWT memerintahkan memungut zakat dari
harta orang yang kaya dan diberikan kepada yang lain yang sedang
membutuhkan.
2) Hikmah Zakat
Para ahli telah banyak mengungkap rahasia dan hikmah yang terkandung
dalam pensyariatan zakat ini dengan redaksi yang bervariasi, namun tetap dalam
makna yang sama. Di antara hikmah yang dimaksud ialah :
a) Mengikis sifat
b) Menciptakan ketenangan dan ketentraman bukan hanya terhadap
penerima (mustahiq)-nya, tapi juga kepada muzakki-nya.
c) Zakat bila diserahkan kepada mustahiq-nya secara ikhlas, disamping
memberi keuntungan terhadap kebaikan.
d) Zakat dapat pula menciptakan ketenangan batin bagi muzakki, dan
dengan ketenangan itu ia lebih terkonsentrasi menghadapi usaha
pengembangan harta.

5. HAJI DAN UMRAH


a. Pengertian
Secara etimologi haji berasal dari bahasa Arab al-hajj yang berarti mengunjungi
atau mendatangi. Dalam terminology fiqh, haji didefinisikan sebagai perjalanan
mengunjungi ka’bah untuk melakukan ibadah tertentu atau berpergian ke ka’bah pada
bulan-bulan tertentu untuk melakukan ibadah tawaf, sa’i, wukuf, dan manasik-
manasik lain untuk memenuhi panggilan Allah Swt serta mengharapkan keredaan-
Nya.
Jika mengenai hukum umrah terdapat perbedaan pendapat, maka sebagaimana
disebut diatas, mengenai kewajiban haji bagi yang telah memenuhi syarat telah
disepakati oleh semua umat islam.
b. Macam-Macam Haji dan Cara Melaksanakannya
Macam-macam haji yang dimaksud disini ialah dari segi cara pelaksanaannya,
karena seperti diketahui, bahwa di dalam pelaksanaan ibadah haji terkandung
pelaksanaan ibadah umrah. Artinya umrah sudah merupakan satu kesatuan dari
ibadah haji sehingga jika seseorang wajib melaksanakan haji berarti diwajibkan juga
baginya melakukan umrah menurut pendapat yang mengatakan hukum umrah wajib.
Berikut ini dijelaskan secara ringkas maksud dari ketiga macam haji tersebut :
1) Haji Ifrad
Ifrad dalam bahasa Arab berarti menyendirikan. Disebut haji ifrad
karena seseorang melakukan haji dan umrah secara sendiri-sendiri atau satu
persatu, tidak melakukan keduanya sekaligus.
2) HajiTamattu
Secara bahasa tamattu berarti bersenang-senang. Dalam konteks haji
tamattu diartikan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan haji, yaitu yang
dimulai dengan melakukan umrah di bulan-bulan haji dan setelah itu
melakukan ibadah haji di tahun ketika ia melakukan umrah tersebut.
3) Haji Qiran
Qiran dalam bahasa Arab diartikan dengan menyertakan atau
menggabungkan. Dalam konteks haji, qiran diartikan sebagai haji dan umrah
yang niatnya digabungkan ketika ihram dengan lafalan.
c. Syarat-Syarat Haji
Yang dimaksud dengan syarat haji disini ialah syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk wajibnya seseorang melakukan ibadah haji. Jadi syarat haji yang dimaksud
adalah syarat wajib haji. Para ahli fiqh telah menetapkan bahwa syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk wajibnya haji adalah beragama Islam, balig, berakal, merdeka
dan memiliki kemampuan.
d. Rukun Haji
Dari beberapa literature yang dibaca, ternyata dikalangan para ahli fiqh tidak ada
kesepakatan menetapkan rukun-rukun haji. Demikian halnya tentang rukun-rukun
umrah.

1. Ahli fiqh dari kalangan Hanafiyah menetapkan dua macam rukun haji; Wukuf
di Arafah, dan Tawaf Ifadah. Sedangkan rukun umrah menurut mereka adalah tawaf
di Baitullah.

2. Ahli fiqh dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah menetapkan empat macam
sebagai rukun haji :
a) Ihram
b) Wukuf di Arafah
c) Tawaf Ifadah
d) Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah
Adapun rukun umrah menurut mereka ialah ihram, tawaf, dan sa'i.
3) Ahli fiqh dari kalangan Syafi‟iyah menetapkan enam macam rukun haji;
Ihram, WukufdiArafah, Tawaf Ifadah, Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah,
Mencukur atau menggunting rambut di kepala, Tertib
e. Sunat-Sunat Haji
1. Menyentuh Hajar Aswad dengan telapak tangan jika memungkinkan, jika
tdak mungkin bisa dengan mengisyaratkan tangan ke arahnya. Jika mungkin,
melakukannya setiap putaran ketujuh.
2. Berjalan kaki jika mampu, jika tidak mampu disebabkan ada uzur maka
boleh dengan kendaraan.
3. Al-idtiba yaitu meletakkan pertengahan kain ihram dibawah ketiak tangan
kanan. Dan kedua ujungnya diletakkan di atas bahu kiri. Hal itu berlangsung
sampai melakukan shalat idtiba. Ketika sholat itu letak kain ihram kembali
sebagaimana biasa, dan setelah selesai kain ihram diletakkan kembali secara
idtiba‟ (HR AbuDaud).
4. Meniatkan tawaf jika yang dilakukan itu tawaf qudum, wada, dan tatawwu
(sunah), karena tawaf itu memerlukan niat. Adapun tawaf ifadah (tawaf rukun)
tidak dianjurkan niat sebab niat haji atau umrah ketika ihram sudah mencakup
terhadap tawaf ifadah.
5. Pada tiga putaran pertama dilakukan dengan berjalan cepat, dan pada
putaran berikutnya berjalan secara biasa.
f. Yang Membatalkan Haji
Pada prinsipnya yang membatalkan haji itu adalah apabila rukun-rukun haji yang
ditetapkan itu ditinggalkan, termasuk semua perbuatan yang dapat merusak kesahihan
rukun-rukun dimaksud. Apabila melanggar salah satu rukun haji maka hajinya batal.
1. Menyembelih seekor unta atau sapi
2. Menyelesaikan haji yang batal itu
3. Mengulangi haji pada tahun berikutnya
Apabila seseorang yang telah berihram haji atau umrah, lalu melaksanakan
hajinya tidak dapat disempurnakan karena sakit atau hal-hal yang diluar
kemampuannya, maka haji atau umrahnya menjadi batal. Wajib membayar ditempat
terjadinya hal yang menghalanginya untuk menyempurnakan hajinya berupa
menyembelih seekor kambing dan bertahallul pada tahun depan diwajibkan
mengulangi hajinya.
g. Hikmah Haji
Para ahli telah banyak mengungkap tentang hikmah haji ini dalam berbagai
tinjauan. Dari sekian banyak hikmah haji yang dirumuskan oleh para ahli tersebut,
jika ditarik garis besarnya maka dapat disimpulkan kepada dua macam. Hikmah yang
berkaitan dengan keagamaan dan hikmah yang berkaitan dengan sosial
kemasyarakatan. Adapun hikmah haji yang berkaitan dengan keagamaan ialah
sebagai berikut :
1. Menghapus dosa.
2. Mendorong seseorang untuk menegaskan kembali pengakuannya atas
keesaan Allah Swt serta penolakan terhadap segala macam bentuk
kemusyrikan, baik berupa patung-patung, binatang, bulan, matahari, serta
juga segala sesuatu selain Allah Swt.
3. Mendorong seseorang memperkuat keyakinan tentang adanya neraca
keadilan Tuhan dalam kehidupan di dunia ini.
4. Mengantar seseorang menjadi hamba yang selalu mensyukuri nikmat-nikmat
Allah, baik berupa harta dan kesehatan, dan menanamkan semangat ibadah
dalam jiwanya. Al-Kasani dalam kitabnya al-Badawi mengatakan bahwa
ibadah haji merupakan aplikasi dari sifat kehambaan dan kesyukuran atas
nikmat Allah Swt.
Dari segi sosial kemasyarakatan hikmah ibadah haji antara lain ialah :
1. Ketika memulai ibadah haji dengan ihram di miqat, pakaian biasa
ditanggalkan dan mengenakan pakaian seragam ihram.
2. Ibadah haji dapat membawa orang-orang yang berbeda suku, bangsa, dan
warna kulit menjadi saling mengenal antara satu sama lain.
3. Mempererat tali ukhuwah islamiyah antar umat Islam dari berbagai penjuru
dunia.
4. Mendorong seseorang untuk lebih giat dan bersemangat berusaha untuk
mencari bekal yang dapat mengantarnya ke Mekah untuk haji.
5. Ibadah haji merupakan ibadah badaniyah yang memerlukan ketangguhan fisik
dan ketahanan mental.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Fiqh Ibadah terdiri dari dua unsur kata, yaitu kata Fiqh dan Ibadah. Fiqh
Ibadah dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang syari'at Islam yang
ditetapkan Allah bagi manusia dalam rangka ubudiyyah, dengan memakai dalil-
dalil terperinci (tafshili).
Objek kajian dalam Fikih Ibadah adalah perbuatan seorang mukallaf yang
berkaitan dengan berbagai cara pengabdiannya kepada Allah sesuai ketentuan
syari'at Islam. Sedangkan ruang lingkup pembahasan materi Fikih Ibadah adalah
mengenai beberapa ritual (ibadah), baik ibadah mahdlah, maupun ibadah ghairu
mahdlah, yang diniatkan untuk mendapat ridla Allah SWT, yang kuantitasnya
sangat banyak dan beragam.
Tujuan mempelajari fiqh ibadah antara lain untuk mengetahui dan
memahami secara detail dan komprehensif terkait ketentuan dan tata cara
pelaksanaan masing-masing ibadah, baik secara teoritis maupun praktis; untuk
memperjelas akan eksistensi dan substansi dari Maqasid Al-Syari'ah; untuk
memahamkan setiap muslim atau umat manusia akan urgensi mematuhi syari'at
Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah.tt. Terjemah Fathul Qarib. Terjemahan oleh Abu. H. F (Surabaya: Mutiara Ilmu,

1995)

Abidin, Fiqh Ibadah (Yogyakarta: Deepublish, 2020)

Abror, Fiqh Ibadah (Bandar Lampung: CV. Arjasa Pratama, 2019)

Ahnan, Risalah Shalat Lengkap (Surabaya: Terbit Terang, 1995)

Rosidin, Modul Fikih Ibadah (Malang: PT. Literindo Berkah Karya, 2020)

Sayyid Sabiq, Fiq al-Sunnah, Jilid l, (Beirut: Dar al-Fikri, 1983)

Yaqin, Fiqh Ibadah (Pamekasan: Duta Media Publishing, 2018)

Anda mungkin juga menyukai