Anda di halaman 1dari 59

LEARNING ISSUE

SKENARIO C BLOK 16

TAHUN 2021

Oleh:

Delviana

NIM : 04011281924107

(Kelompok Beta 5)

TUTOR: dr. Liniyanti D. Oswari, M.SN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


Nama : Delviana

NIM : 04011281924107
Learning Issue dan Analisis Masalah Skenario C Blok 16

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinarius


a. Anatomi
Traktus urinarius merupakan saluran dan reservoir untuk urine yang diekskresikan
oleh ginjal. Setelah diproduksi di parenkim ginjal, urine dikumpulkan di pelvis renalis
dan melewati ureter menuju ke kandung kemih, dimana urine disimpan pada tekanan
rendah sampai proses berkemih terjadi. Selama proses berkemih tekanan kandung
kemih meningkat, aliran urine mengalir melalui uretra dan keluar dari tubuh (Waters
et al, 2008).
1) Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal
bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke
medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat strukturstruktur pembuluh
darah, sistem limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal
(Purnomo, 2003).

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut kapsula
fibrosa (true capsule) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal.
Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal /
supra-renal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal dan
jaringan lemak perirenal dibungkus oleh fasia Gerota, yang berfungsi sebagai
barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal, mencegah
ekstravasasi urine pada saat terjadi trauma ginjal, serta menghambat penyebaran
infeksi atau metastasis tumor ginjal ke organ di sekitarnya. Di luar fasia Gerota
terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau disebut jaringan lemak pararenal
(Purnomo, 2003).

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena
renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end
arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang-cabang dari
arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini,
berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo,
2003).
2) Ureter
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urine
dari pielum ginjal ke dalam buli-buli, dengan panjang 20cm pada orang dewasa.
(Purnomo, 2003). Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju buli-buli, secara
anatomis terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya relatif lebih sempit
daripada di tempat lain, sehingga batu atau benda-benda lain yang berasal dari
ginjal seringkali tersangkut di tempat itu. Tampak pada gambaran ginjal dan ureter
pada retrogade pyelogram di bawah ini (gambar 2.1), dimana kontras disuntikkan
ke dalam ureter dari bawah, melalui endoskopi dalam kandung kemih (Moore,
2010) dan akan tampak tempat-tempat penyempitan di ureter meliputi: (1) pada
perbatasan antara pelvis renalis dan ureter atau uretero-pelvic junction (UPJ), (2)
tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis, dan (3) pada saat ureter
masuk ke buli-buli atau uretero-vesico junction (UVJ). Ureter masuk ke buli-buli
dalam posisi miring dan berada di dalam otot buli-buli (intramural) dan dalam
kondisi normal, UVJ akan menutup saat berkemih, hal ini dapat mencegah
terjadinya aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau refluks vesiko-ureter pada
saat buli-buli berkontraksi (Purnomo, 2003; Waters, et al., 2008).

Untuk kepentingan radiologi dan pembedahan, ureter dibagi menjadi dua bagian
yaitu: ureter pars abdominalis, yaitu yang berada dari pelvis renalis sampai
menyilang vasa iliaka, dan ureter pars pelvika, yaitu mulai dari persilangan dengan
vasa iliaka sampai masuk ke buli-buli (Purnomo, 2003). Di samping itu secara
radiologis ureter dibagi dalam tiga bagian, yaitu (1) ureter 1/3 proksimal mulai dari
pelvis renalis sampai batas atas sakrum, (2) ureter 1/3 medial mulai dari batas atas
sakrum sampai pada batas bawah sakrum, dan (3) ureter 1/3 distal mulai batas
bawah sakrum sampai masuk ke buli-buli (Purnomo, 2003).

Dinding ureter terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot
polos sirkuler dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik
(berkontraksi) guna mengeluarkan urine ke buli-buli (Purnomo, 2003). Dalam
sistem yang sehat, kontraksi ureter secara ritmis (peristalsis) mendorong urine dari
ureter ke kandung kemih yag mengalir dalam kisaran 0,5-10 ml/menit untuk setiap
ginjal / ureter. Namun, ureter dapat mengalami obstruksi, baik secara internal
(misalnya batu saluran kemih) atau akibat kompresi eksternal (misalnya dari
tumor) dan kadang-kadang penyumbatan dapat berkembang dengan cepat dan
menyebabkan komplikasi, baik karena peningkatan tekanan intrarenal (yang dapat
menghentikan produksi urine dan seiring waktu menyebabkan gagal ginjal) atau
timbul infeksi. Idealnya, obstruksi ini harus dihilangkan dapat dengan drainase
langsung pada ginjal (nefrostomi) atau melalui penempatan stent ureter (Waters, et
al., 2008).

Ureter secara normal mengalami kontriksi dengan derajat yang bervariasi pada tiga
tempat, yaitu: 1). Junctura ureteropelvicum, 2). Saat ureter melwati tepi dari aditus
pelvicum, dan 3). Saat melewati dinding vesica urinaria. Area-area yang
menyempit ini merupakan lokasi yang potensial untuk terjadinya obstruksi yang
disebabkan oleh batu (kalkuli) ginjal (Purnomo, 2003).

3) Buli-Buli (Vesika Urinaria)


Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling
beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot
sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa buli-buli terdiri atas
sel-sel transisional yang sama seperti pada mukosa-mukosa pada pelvis renalis,
ureter, dan uretra posterior. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus
uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Dalam
menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas maksimal, yang volumenya
untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300 – 450 ml; sedangkan kapasitas
bulibuli pada anak menurut formula dari Koff adalah: Kapasitas buli-buli = {Usia
(tahun) + 2} × 30 ml (Purnomo, 2003).

Pada saat kosong, buli-buli terletak di belakang simfisis pubis dan pada saat penuh
berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi. Buli-buli yang terisi
penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan menyebabkan aktivasi pusat
miksi di medula spinalis segmen sakral S2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi
otot detrusor, terbukanya leher buli-buli, dan relaksasi sfingter uretra sehingga
terjadilah proses miksi (Purnomo, 2003).

4) Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-buli melalui
proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior
dan uretra anterior. Pada laki-laki, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan
cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada
perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior. Proses miksi terjadi jika tekanan
intravesika melebihi tekanan intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan
relaksasi sfingter uretra eksterna. Panjang uretra perempuan kurang lebih 3-5 cm,
sedangkan uretra laki-laki dewasa kurang lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang
inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi
pada laki-laki (Purnomo, 2003).

Gambar 1. Anatomi Traktus Urinarius (Hopekinsmedicine, 2021)

5) Persarafan Nyeri
Reseptor nyeri pada traktus urinarius bagian atas berperan dalam persepsi
nyeri dari kolik renalis. Reseptor ini terletak pada bagian sub mukosa dari
pelvis renalis, calyx, capsula renalis, dan ureter pars superior. Terjadinya
distensi yang akut merupakan faktor penting dalam perkembangan nyeri kolik
renalis daripada spasme, iritasi lokal, atau hiperperistaltik ureter. Rangsangan
pada peripelvis capsula renalis menyebabkan nyeri pada regio flank,
sedangkan rangsangan pada pelvis renalis dan calyx menyebabkan nyeri
berupa kolik renalis. Iritasi pada mukosa juga dapat dirasakan oleh
kemoreseptor pada pelvis renalis dengan derajat yang bervariasi, tetapi iritasi
ini berperan sangat kecil dalam terjadinya nyeri kolik renalis atau kolik
ureteral (Moore, 2010; Dave, 2017).

Serat-serat nyeri dari ginjal terutama saraf-saraf simpatis preganglion


mencapai medula spinalis setinggi T11-L2 melalui nervus dorsalis. Ganglion
aortorenal, celiac, dan mesenterika inferior juga terlibat. Sinyal transmisi dari
nyeri ginjal muncul terutama melalui traktus spinothalamikus. Pada ureter
bagian bawah, sinyal nyeri juga didistribusikan melalui saraf genitofemoral
dan ilioinguinal. Nervi erigentes, yang menginervasi ureter intramural dan
kandung kemih, bertanggung jawab atas beberapa gejala kandung kemih yang
sering menyertai kalkulus ureter intramural (Dave, 2017).

Gambar 2. Innervasi Ginjal dan Ureter (Dave, 2017)

b. Fisiologi
Ginjal memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan, yaitu menyaring (filtrasi)
sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah, serta mempertahankan homeotasis
cairan dan elektrolit tubuh, yang kemudian dibuang melalui urine. Fungsi tersebut di
antaranya 1. Mengontrol sekresi hormon aldosteron dan ADH (anti diuretic hormone)
yang berperan dalam mengatur jumlah cairan tubuh, 2. Mengatur metabolisme ion
kalsium dan vitamin D, 3. Menghasilkan beberapa hormon, antara lain : eritropoetin
yang berperan dalam pembentukan sel darah merah, renin yang berperan dalam
mengatur tekanan darah, serta hormon protaglandin yang berguna dalam berbagai
mekanisme tubuh. (Purnomo, 2003).

Organ ini mengeluarkan konstituen plasma yang tidak dibutuhkan di urin sementara
menahan bahan-bahan bermanfaat bagi tubuh. Urine dari masing-masing ginjal
dikumpulkan di pelvis ginjal, kemudian disalurkan dari kedua ginjal melalui sepasang
ureter ke satu kandung kemih, tempat urine disimpan hingga dikosongkan melalui
uretra ke luar (Sherwood, 2013).

Unit fungsional ginjal yang disebut nefron, terdiri dari komponen vaskular dan
tubulus yang saling berkaitan. Komponen vaskular terdiri dari dua anyaman kapiler
yang tersusun seri, dengan yang pertama adalah glomerulus, suatu kuntum kapiler
yang memfiltrasi plasma bebas-protein dalam jumlah besar ke dalam komponen
tubulus. Anyaman kapiler kedua terdiri dari kapiler peritubulus, yang memberi makan
jaringan ginjal dan ikut serta dalam pertukaran antara cairan tubulus dan plasma
(Sherwood, 2013).

Komponen tubulus berawal dari kapsula Bowman, yang melingkupi berkelok-kelok


untuk akhirnya berakhir di pelvis ginjal. Sewaktu filtrat mengalir melalui berbagai
bagian tubulus, sel-sel yang melapisi bagian dalam tubulus memodifikasinya,
mengembalikan ke plasma hanya bahan-bahan yang diperlukan untuk
mempertahankan komposisi dan volume CES yang tepat (Sherwood, 2013).
Gambar 3. Fisiologi nefron (Sherwood, 2013)

Ginjal melakukan tiga proses dasar, yaitu filtrasi yang dilakukan di glomerulus,
reabsorpsi di tubulus, dan sekresi tubulus, perpindahan sangat spesifik bahan-bahan
tertentu dari darah kapiler peritubulus ke dalam cairan tubulus. Segala sesuatu yang
difiltrasi atau disekresikan tetapi tidak direabsorpsi akan diekskresikan sebagai urine
(Sherwood, 2013).

1) Filtrasi Glomerulus
Filtrat glomerulus diproduksi sewaktu sebagian plasma yang mengalir melalui
masing-masing glomerulus secara pasif dipaksa di bawah tekanan menembus
membran glomerulus ke dalam lumen kapsula Bowman di bawahnya. Tekanan filtrasi
neto yang memicu filtrasi disebabkan oleh tekanan darah kapiler glomerulus yang
tinggi yang mendorong filtrasi mengalahkan kombinasi gaya yang dihasilkan oleh
tekanan osmotik koloid plasma dan tekanan hidrostatik kapsula Bowman. Dari plasma
yang mengalir ke ginjal, normalnya 20% difiltrasi melalui glomerulus, menghasilkan
laju filtrasi glomerulus (LFG) rerata 125 mL/ mnt (Sherwood, 2013).
Gambar 4. Filtrasi glomerulus (Sherwood, 2013)

2) Reabsorbsi Tubulus
Setelah filtrat terbentuk, tubulus menangani setiap bahan secara tersendiri sehingga
meskipun konsentrasi semua konstituen di filtrat glomerulus awal identik dengan
konsentrasinya di plasma (kecuali protein plasma), konsentrasi berbagai konstituen
mengalami perubahan bervariasi sewaktu cairan filtrat mengalir melalui sistem
tubulus. Lebih dari 99% plasma yang terfiltrasi dikembalikan ke darah melalui
reabsorpsi. Secara rerata, 124 mL dari 125 mL yang terfiltrasi per menit direabsorpsi
(Sherwood, 2013).

Proses penting yang berkaitan dengan sebagian besar proses reabsorpsi adalah
reabsorpsi aktif Na+ yang dijalankan oleh suatu pembawa Na+-K+ ATPase dependen-
energi di membran basolateral sel tubulus. Transpor Na+ keluar sel ke ruang lateral
antara sel-sel oleh pembawa ini menyebabkan reabsorpsi neto Na+ dari lumen tubulus
ke plasma kapiler peritubulus (Sherwood, 2013).
Gambar 5. Reabsorbsi tubulus (Sherwood, 2013)

Selain menyebabkan reabsorpsi Na+, energi yang digunakan untuk memasok


pembawa Na+-K+ATPase berperan juga dalam reabsorpsi molekul nutrien organik
(glukosa atau asam amino) dari tubulus proksimal melalui mekanisme transpor aktif
sekunder (Sherwood, 2013).

Reabsorpsi aktif Na+ juga mendorong reabsorpsi pasif (melalui gradien listrik), H20
(melalui osmosis), dan urea (menuruni gradien konsentrasi urea yang tercipta akibat
reabsorpsi osmotis ekstensif H20). 65% H20 yang difiltrasi direabsorpsi dari tubulus
proksimal tanpa diatur, didorong oleh reabsorpsi aktif Na+. Reabsorpsi H20
meningkatkan konsentrasi bahan-bahan lain yang tertinggal di cairan tubulus, yang
sebagian besar adalah produk sisa yang terfiltrasi. Molekulmolekul urea yang kecil
adalah satu-satunya produk sisa yang dapat secara pasif menembus membran tubulus.
Karena itu, urea adalah satu-satunya bahan sisa yang secara parsial direabsorpsi (50%)
karena mengalami pemekatan. Produk-produk sisa lainnya, yang tidak direabsorpsi,
tetap berada di urine dengan konsentrasi tinggi (Sherwood, 2013).

3) Sekresi Tubulus
Sekresi tubulus melibatkan transpor transepitel dari plasma kapiler peritubulus ke
dalam lumen tubulus. Dengan sekresi tubulus, tubulus ginjal dapat secara selektif
menambahkan bahan-bahan tertentu ke dalam cairan tubulus. Sekresi suatu bahan
mempercepat ekskresinya di urine. Sistem sekresi terpenting adalah untuk (1) H+
(nnembantu meregulasi keseimbangan asam-basa); (2) K+ (menjaga konsentrasi
plasma pada kadar yang sesuai untuk mempertahankan eksitabilitas membran jantung,
otot, dan saraf); dan (3) ion organik, (melaksanakan eliminasi senyawa organik asing
dari tubuh dengan lebih efisien.) H+ disekresikan di tubulus proksimal, distal, dan
koligentes. K+ disekresikan hanya di tubulus distal dan koligentes di bawah kendali
aldosteron. lon organik hanya disekresikan di tubulus proksimal (Sherwood, 2013).

Ureter adalah perpanjangan tubular berpasangan dan berotot, yang terdiri atas otot
polos, dari pelvis ginjal yang merentang sampai kandung kemih, setiap urtet
panjangnya 25-30 cm atau 10-12 inchi dan berdiameter 4-6 mm, fungsi ureter adalah
menyalurkan urine dari ginjal ke kandung kemih. (Suharyanto T, Madjid A, 2009).

Kandung kemih adalah satu kantung berotot yang dapat mengempiris, terletak di
belakang simfisis pubis. Kandung kemih mempunyai tiga muara, yaitu : dua muara
ureter dan satu muara uretra. Di dinding kandung kemih terdapat scratch reseptor
yang akan bekerja memberikan stimulus sensasi berkemih apabila volume kandung
kemih telah mencapai ± 150 cc. Kandung kemih berfungsi menampung urine dari
ureter dan kemudian mengeluarkan melalui uretra dalam mekanisme (Purnomo BB,
2014)

Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembangkan, berjalan dari kandung kemih
sampai ke luar tubuh. Panjangnya pada wanita 1,5 inci dan pada laki-laki sekitar 8
inci. (Suharyanto T,Madjid A, 2009).

B. Urolithiasis
a. Definisi
Urolitiasis adalah proses terbentuknya batu (kalkuli) pada traktus urinarius. Kalkuli
yang ditemukan pada ginjal disebut nephrolitiasis dan kasus ini paling sering
ditemukan. Jika kalkuli ditemukan pada ureter dan vesica urinaria sebagian besar
berasal dari ginjal. Urolitiasis adalah penyebab umum adanya keluhan ditemukan
darah dalam urin dan nyeri di abdomen, pelvis, atau inguinal. Urolitiasis terjadi pada
1 dari 20 orang pada suatu waktu dalam kehidupan mereka (Yolanda, 2021).
b. Epidemiologi
Urolithiasis merupakan masalah kesehatan yang umum sekarang ditemukan.
Diperkirakan 10% dari semua individu dapat menderita urolitiasis selama hidupnya,
meskipun beberapa individu tidak menunjukkan gejala atau keluhan. Setiap tahunnya
berkisar 1 dari 1000 populasi yang dirawat di rumah sakit karena menderita
urolitiasis. Laki-laki lebih sering menderita urolitiasis dibandingkan perempuan,
dengan rasio 3:1. Dan setiap tahun rasio ini semakin menurun. Dari segi umur, yang
memiliki risiko tinggi menderita urolitiasis adalah umur diantara 20 dan 40 tahun
(Yolanda,2021).
c. Faktor Risiko
Risiko menderita urolitiasis meningkat akibat dari faktor-faktor apa pun yang
menyebabkan terjadinya urin yang stasis yang berkaitan dengan menurun atau
tersumbatnya aliran urin. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka insiden
urolitiasis meliputi: (Yolanda,2021).
1) Laki-laki: mengekskresi sedikit sitrat dan banyak kalsium dibandingkan
perempuan.
2) Etnis: Etnis Amerika, Afrika atau Israel memiliki risiko tinggi menderita
urolitiasis.
3) Riwayat keluarga: beberapa keluarga memiliki kecenderungan memproduksi
mukoprotein yang berlebihan pada traktus urinariusnya, yang mana dapat
meningkatkan terjadinya urolitiasis.
4) Riwayat kesehatan: beberapa masalah kesehatan dapat meningkatkan terjadinya
urolitiasis meliputi penyakit di saluran cerna, infeksi saluran kencing yang
berulang dan sistinuria.
5) Diet: dehidrasi atau menurunnya intake cairan meningkatkan terjadinya
urolitiasis ditambah dengan meningkatnya konsumsi sodium, oksalat, lemak,
protein, gula, karbohudrat kasar dan vitamin C.
6) Lingkungan: beberapa daerah memiliki risiko tinggi menderita urolitiasis seperti
yang beriklim tropis, pegunungan atau padang pasir.
7) Obat-obatan: bebrapa macam obat seperti ephedrin, guifenesin, thiazid,
indinavir dan allopurinol dapat menyebabkan terjadinya urolitiasis.
d. Patofisiologi
Adanya kalkuli dalam traktus urinarius disebabkan oleh dua fenomena dasar.
Fenomena pertama adalah supersaturasi urin oleh konstituen pembentuk batu,
termasuk kalsium, oksalat, dan asam urat. Kristal atau benda asing dapat bertindak
sebagai matriks kalkuli, dimana ion dari bentuk kristal super jenuh membentuk
struktur kristal mikroskopis. Kalkuli yang terbentuk memunculkan gejala saat mereka
membentur ureter waktu menuju vesica urinaria (Dave, 2017).
Fenomena kedua, yang kemungkinan besar berperan dalam pembentukan kalkuli
kalsium oksalat, adalah adanya pengendapan bahan kalkuli matriks kalsium di papilla
renalis, yang biasanya merupakan plakat Randall (yang selalu terdiri dari kalsium
fosfat). Kalsium fosfat mengendap di membran dasar dari Loop of Henle yang tipis,
mengikis ke interstitium, dan kemudian terakumulasi di ruang subepitel papilla
renalis. Deposit subepitel, yang telah lama dikenal sebagai plak Randall, akhirnya
terkikis melalui urothelium papiler. Matriks batu, kalsium fosfat, dan kalsium oksalat
secara bertahap diendapkan pada substrat untuk membentuk kalkulus pada traktus
urinarius (Evan et al, 2007).

e. Manifestasi Klinis
Gejala pasti dari urolitiasis tergantung pada lokasi dan ukuran kalkuli dalam traktus
urinarius. Jika kalkuli berukuran kecil tidak menunjukkan gejala. Namun perlahan
keluhan akan dirasakan seiring bertanbahnya ukuran kalkuli seperti: (Skandalakis et
al., 1995)
1) Nyeri atau pegal-pegal pada pinggang atau flank yang dapat menjalar ke perut
bagian depan, dan lipatan paha hingga sampai ke kemaluan.
2) Hematuria:buang air kecil berdarah.
3) Urin berisi pasir, berwarna putih dan berbau
4) Nyeri saat buang air kecil
5) Infeksi saluran kencing
6) Demam

Urolitiasis yang masih berukuran kecil umumnya tidak menunjukkan gejala yang
signifikan, namun perlahan seiring berjalannya waktu dan perkembangan di saluran
kemih akan menimbulkan gejala seperti rasa nyeri (kolik renalis) di punggung, atau
perut bagian bawah (kolik renalis) (Skandalakis et al., 1995).

Kolik didefinisikan sebagai nyeri tajam yang disebabkan oleh sumbatan, spasme otot
polos, atau terputarnya organ berongga. Kolik renal berarti nyeri tajam yang
disebabkan sumbatan atau spasme otot polos pada saluran ginjal atau saluran kencing
(ureter) (Dave, 2017).

Nyeri klasik pada pasien dengan kolik renal akut ditandai dengan nyeri berat dan tiba-
tiba yang awalnya dirasakan pada regio flank dan menyebar ke anterior dan inferior.
Hampir 50% dari pasien merakan keluhan mual dan mutah (Moore, 2010).
Lokasi dan karakteristik dari nyeri pada urolitiasis meliputi: (Dave, 2017)

1) Di ureteropelvic: nyeri bersifat ringan sampai berat dirasakan lokasinya agak


dalam dalam regio flank tanpa penyebaran ke regio inguinal, urgensi (dorongan
kuat untuk berkemih disertai dengan kandung kemih yang tidak nyaman dan
banyak berkemih), frekuensi (sering berkemih), disuria (nyeri saat berkemih) dan
stranguria (pengeluaran urin yang lambat dan nyeri akibat spasme uretra dan
kandung kemih) (Dave, 2017).
2) Di ureter: nyeri yang mendadak, berat, nyeri di regio flank dan ipsilateral dari
abdomen bagian bawah, menyebar ke testes atau vulva, mual yang terus menerus
tanpa muntah
3) Di ureter bagian proksimal: nyeri menyebar ke regio flank atau area lumbar
4) Di ureter di bagian medius: nyeri menyebar ke anterior dan caudal
5) Di uterer di bagian distal: menyebar ke inguinal atau testes atau labia majora
6) Waktu melewati vesica ruinaria: paling sering asimptomatis, retensio urin
posisional
f. Klasifikasi Urolitiasis
1) Klasifikasi Berdasarkan Etiologi
Berdasarkan etiologinya urolitiasis dapat diklasifikasikan menjadi: infeksi, non
infeksi, genetik, atau efek samping obat. Dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Urolitiasis Berdasarkan Etiologi (Turk et al., 2015)


2) Klasifikasi Berdasarkan Komposisi Kalkuli
Komposisi dari batu (kalkuli) sangat penting untuk menjadi dasar diagnostik dan
penanganan lebih lanjut. Kalkuli sering dibentuk oleh substansi campuran. Pada
tabel 2 di bawah menyajikan komposisi dari kalkuli yang relevan dengan klinis
dan komponen mineralnya (Turk et al, 2015).
3) Klasifikasi Berdasarkan Ukuran dan Lokasi
Berdasarkan diameter ukurannya secara dua dimensi dibagi menjadi >5 cm, 4-10
cm, 10-20 cm, dan > 20 cm. Sedangkan berdasarkan posisi anatominya kalkuli
dibagi menjadi: calyx superior, medius, atau inferior; pelvis renali; ureter
proksimal, medius, dan distal; dan vesica urinaria (Kim SC et al, 2007).
4) Klasifikasi Berdasarkan Gambaran Radiologis
Pembagian kalkuli berdasarkan gambaran radiologisnya menjadi tiga yaitu:
radiopak, radiopak lemah, dan radiolusen. Yang bersifat radiopak yaitu: kalkuli
kalsium oksalat dihidrat, kalsium oksalat monohidrat, dan kalsium phospat. Yang
gambaran radiologisnya radiopak lemah: magnesium ammonium phospat, apatite,
dan sistin. Dan yang tergolong radiolusen: kalkuli asam urat, amonium urat,
xanthin, 2,8-didroksiadenin, batu karena obat-obatan (Turk et al, 2015).
g. Anamnesis
Diagnosis adanya kalkuli pada traktus urinarius dimulai dari wawancara adanya
keluhan klasik berupa kolik renalis. Bagaimana onset, kualitas dan durasi dari kolik
renalis tersebut. Nyeri pada kolik renalis ditandai nyeri akut dan berat pada regio
flank yang menjalar ke anterior dan inferior abdomen. Pasien terlihat tidak bisa diam,
selalu menggeliat berbeda dengan nyeri karena peritonitis dimana pasien selalu diam
dan berbaring. Pada saat wawancara juga ditanyakan adanya riwayat urolitiasis
sebelumnya dan juga adakah keluarga yang menderita urolitiasis (Moore, 2010; Kim
SC et al, 2007).
h. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik vital sign jangan pernah lupa dilakukan. Demam juga bisa dijumpai
saat muncul kolik renalis, jika ada infeksi pada kasus hidronefrosis, pienefrosis atau
abses perinephritik. Adanya takikardia dan berkeringat juga bisa dijumpai. Pada kasus
dimana terjadi hidronephrosis yang disebabkan oleh obstruksi pada ureter ditemukan
adanya flank ternderness. Pemeriksaan abdomen dan genetalia biasanya meragukan
(harus hati-hati). Bila pasien merasakan nyeri didaerah terebut, tapi tanda-tanda
kelainan tidak ada dijumpai, maka kemungkinan nyeri berasal dari batu ginjal (Kim
SC et al., 2007).
i. Pemeriksaan Laboratorium
Pada 85% dari pasien yang mengalami kolik renalis pada pemeriksaan urinalisisnya
ditemukan adanya hematuria secara mikroskopis, kadang-kadang kristaluria. Derajat
hematuria bukan merupakan ukuran untuk memperkirakan besar batu atau
kemungkinan lewatnya suatu batu. Tidak dijumpai hematuria secara mikroskopis pada
urinalisis tidaklah menyingkirkan adanya suatu batu saluran kemih, dan lebih kurang
10% penderita batu urin dijumpai darah didalam urinnya (Kim SC et al, 2007).

Bakteriuria biasanya tidak dijumpai kecuali bila pasien secara bersamaan menderita
infeksi saluran kencing (ISK). Meskipun ISK bukan secara langsung merupakan
konsekuensi dari batu, tapi ISK dapat terjadi setelah instrumentasi atau pemakaian alat
seperti kateter pada bedah traktus urinarius ataupun dalam pengobatan batu ginjal.5
Urinalisis harus dilakukan dalam pada semua pasien dengan dugaan urolitiasis. Selain
mikrohematuria tipikal, temuan penting yang perlu diperhatikan adalah pH urin dan
adanya kristal, yang dapat membantu mengidentifikasi komposisi batu. Penderita batu
asam urat biasanya memiliki urin yang bersifat asam, dan mereka yang memiliki
formasi batu akibat infeksi memiliki urine alkalin (Yolanda, 2021).
Identifikasi bakteri penting dalam perencanaan terapi, dan kultur urin harus dilakukan
secara rutin. Pyuria terbatas adalah respon yang cukup umum terhadap iritasi yang
disebabkan oleh batu dan, dengan tidak adanya bakteriuria, umumnya tidak
menunjukkan adanya infeksi saluran kemih yang berdampingan (Kim SC et al, 2007).
j. Pemeriksaan diagnostik
Menurut Brunner & Suddart, (2015) dan Purnomo, (2012) diagnosis urolithiasis dapat
ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan seperti:
1) Kimiawi darah dan pemeriksaan urin 24 jam untuk mengukur kadar kalsium,
asam urat, kreatinin, natrium, pH dan volume total (Portis & Sundaram, 2001).
2) Analisis kimia dilakukan untuk menentukan komposisi batu.
3) Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya bakteri dalam urin
(bacteriuria) (Portis & Sundaram, 2001).
4) Foto polos abdomen Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat
kemungkinan adanya batu radio-opak di saluran kemih. Batu-batu jenis
kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-opak dan paling sering
dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan batu asam urat bersifat non opak
(radio-lusen) (Purnomo, 2012).
a) Intra Vena Pielografi (IVP)
IVP merupakan prosedur standar dalam menggambarkan adanya batu pada saluran
kemih. Pyelogram intravena yang disuntikkan dapat memberikan informasi tentang
baru (ukuran, lokasi dan kepadatan batu), dan lingkungannya (anatomi dan derajat
obstruksi) serta dapat melihat fungsi dan anomali (Portis & Sundaram, 2001).

Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun non-opak yang tidak
dapat dilihat oleh foto polos perut. Jika IVP belum dapat menjelaskan keadaan saluran
kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah
pemeriksaan pielografi retrograd (Brunner & Suddart, 2015; Purnomo, 2012).

b) Ultrasonografi (USG)
USG sangat terbatas dalam mendiagnosa adanya batu dan merupakan manajemen
pada kasus urolithiasis. Meskipun demikian USG merupakan jenis pemeriksaan yang
siap sedia, pengerjaannya cepat dan sensitif terhadap renal calculi atau batu pada
ginjal, namun tidak dapat melihat batu di ureteral (Portis & Sundaram, 2001).
USG dikerjakan bila pasien tidak memungkinkan menjalani pemeriksaan IVP, yaitu
pada keadaan-keadaan seperti alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
menurun, pada pada wanita yang sedang hamil (Brunner & Suddart, 2015; Purnomo,
2012).

Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli, hidronefrosis,
pionefrosis, atau pengerutan ginjal (Portis & Sundaram, 2001).
k. Tatalaksana
Tujuan dalam panatalaksanaan medis pada urolithiasis adalah untuk menyingkirkan
batu, menentukan jenis batu, mencegah penghancuran nefron, mengontrol infeksi, dan
mengatasi obstruksi yang mungkin terjadi (Brunner & Suddart, 2015; Rahardjo &
Hamid, 2004).

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk
melakukan tindakan/ terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah
menimbulkan obstruksi dan infeksi. Beberapa tindakan untuk mengatasi penyakit
urolithiasis adalah dengan melakukan observasi konservatif (batu ureter yang kecil
dapat melewati saluran kemih tanpa intervensi), agen disolusi (larutan atau bahan
untuk memecahkan batu), mengurangi obstruksi (DJ stent dan nefrostomi), terapi non
invasif Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), terapi invasif minimal:
ureterorenoscopy (URS), Percutaneous Nephrolithotomy, Cystolithotripsi/
ystolothopalaxy, terapi bedah seperti nefrolithotomi, nefrektomi, pyelolithotomi,
uretrolithotomi, sistolithotomi (Brunner & Suddart, 2015; Gamal, et al., 2010;
Purnomo, 2012; Rahardjo & Hamid, 2004).

l. Pencegahan
Tindakan selanjutnya yang tidak kala penting setelah batu dikeluarkan dari saluran
kemih adalah pencegahan atau menghindari terjadinya kekambuhan. Angka
kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50% tahun
dalam 10 tahun (Purnomo, 2012). Pencegahan dilakukan berdasarkan kandungan dan
unsur yang menyusun batu saluran kemih dimana hasil ini didapat dari analisis batu
(Lotan, et al., 2013).
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan dengan pengaturan diet makanan, cairan
dan aktivitas serta perawatan pasca operasi untuk mencegah terjadinya komplikasi
pasca operasi. Beberapa tindakan gaya hidup yang dapat dimodifikasi dalam upaya
pencegahan kekambuhan urolithiasis adalah:
1) Cairan Strategi
Pengobatan yang umum digunakan pada urolithiasis yang bukan disebabkan
karena infeksi bakteri adalah dengan meningkatkan konsumsi air. Peningkatan
konsumsi air setiap hari dapat mengencerkan urin dan membuat konsentrasi
pembentuk urolithiasis berkurang. Selain itu, saat mengkonsumsi makanan yang
cenderung kering hendaknya mengkonsumsi air yang banyak. Konsumsi air
sebanyak-banyaknya dalam satu hari minimal 8 gelas atau setara dengan 2-3 liter
per hari (Lotan, et al., 2013) Anggraini (2015) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa pencegahan lain dapat dilakukan dengan mengkonsumsi air jeruk nipis atau
jeruk lemon yang berfungsi sebagai penghambat pembentukan batu ginjal jenis
kalsium dengan mekanisme utamanya yaitu menghambat pembentukan batu
kalsium melalui reaksi pemutusan ikatan antara kalsium oksalat maupun kalsium
posfat oleh sitrat, sehingga pada akhir reaksi akan terbentuk senyawa garam yang
larut air, endapan kalsium tidak terbentuk dan tidak tidak terbentuk batu saluran
kemih jenis batu kalsium. Penelitian ini didukung oleh Colella, et al., (2005) dan
Purnomo, (2012) yang menyatakan bahwa asupan jeruk nipis yang rendah dapat
menyebabkan hipositraturia dimana kemungkinan dapat meningkatkan resiko
terbentuknya batu.
2) Makanan
a) Konsumsi makanan seperti ikan dan kurangi konsumsi oksalat (seperti
daging) untuk menurunkan oksalat dalam urin dan resiko pembentukan batu
oksalat (Maalouf, et al., 2010).
b) Mengurangi diet protein hewani dan purin lainnya untuk menurunkan kadar
asam urat dalam urin dan resiko pembentukan batu asam urat (Maalouf et al,
2010).
c) Mengurangi makanan yang mengandung tinggi kadar garam karena dapat
meningkatkan rasa haus, selain itu garam akan mengambil banyak air dari
dalam tubuh sehingga tubuh akan mengalami dehidrasi tanpa disadari.
Disarankan jika terlalu banyak mengkonsumsi garam hendaknya anda
imbangi dengan mengkonsumsi banyak air yang berfungsi untuk melarutkan
garam yang ada di dalam tubuh (Maalouf et al, 2010).
d) Meningkatkan diet kalsium untuk mengikat oksalat di usus dan dengan
demikian akan menurunkan kadar oksalat dalam urin (Maalouf et al, 2010).
3) Aktivitas
Aktivitas fisik sangat dianjurkan untuk mencegah terjadinya urolithiasis.
Tingginya aktivitas yang dilakukan dengan diimbangi asupan cairan yang
seimbang maka ada kemungkinan akan memperkecil resiko terjadinya
pembentukan batu, latihan fisik seperti treadmill atau aerobic ini dapat dilakukan
selama 1 jam/ hari selama 5 hari atau anda dapat melakukan olahraga lari selama
20 meter/ menit selama 5 hari (Shamsuddeen et al, 2013).
Aktivitas fisik dapat menyebabkan kehilangan banyak cairan sehingga
memungkinkan untuk berada dalam kondisi dehidrasi tanpa disadari maka dari itu
disarankan untuk mempertahankan hidrasi (cairan) dalam tubuh sebanyak-
banyaknya selama melakukan aktivitas, khususnya aktivitas berat seperti latihan
fisik (treadmill) untuk mengganti ciaran tubuh yang hilang saat melakukan
aktivitas (Colella et al, 2005; Purnomo, 2012).
4) Dukungan sosial
Rahman et al, (2013) dalam penelitiannya tentang hubungan antara adekuasi
hemodialisa terhadap kualitas hidup pasien menyatakan bahwa dukungan sosial
merupakan salah satu indikator yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
seseorang. Dukungan sosial dapat diberikan dari keluarga dan lingkungan sekitar
dapat meningkatkan keoptimisan pada diri sendiri untuk sembuh dari penyakit
dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Dukungan yang dapat diberikan berupa
memberikan dukungan kepada orang lain untuk beradaptasi dengan kondisinya
saat ini (Guundgard, 2006).
m. Komplikasi
Batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis renalis sehingga dapat menyebabkan
obstruksi total pada ginjal, pasien yang berada pada tahap ini dapat mengalami retensi
urin sehingga pada fase lanjut ini dapat menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika
terus berlanjut maka dapat menyebabkan gagal ginjal yang akan menunjukkan gejala-
gejala gagal ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia (Colella, et al., 2005;
Purnomo, 2012).

Selain itu stagnansi batu pada saluran kemih juga dapat menyebabkan infeksi ginjal
yang akan berlanjut menjadi urosepsis dan merupakan kedaruratan urologi,
keseimbangan asam basa, bahkan mempengaruhi beban kerja jantung dalam
memompa darah ke seluruh tubuh (Colella, et al., 2005; Portis & Sundaram, 2001;
Prabowo & Pranata, 2014).

C. Manifestasi Klinis dan mekanismenya


Urolithiasis dapat menimbulkan berbagi gejala tergantung pada letak batu, tingkat
infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih (Brooker, 2009). Beberapa
gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien urolithiasis:
1) Nyeri
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan non
kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih
sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas pada jaringan sekitar (Brooker, 2009).

Nyeri kolik juga karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises
ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran
kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya
meningkat sehingga terjadi peregangan pada terminal saraf yang memberikan
sensasi nyeri (Purnomo, 2012).

Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2012) sehingga menyebabkan
nyeri hebat dengan peningkatan produksi prostglandin E2 ginjal (O’Callaghan,
2009).
Rasa nyeri akan bertambah berat apabila batu bergerak turun dan menyebabkan
obstruksi. Pada ureter bagian distal (bawah) akan menyebabkan rasa nyeri di
sekitar testis pada pria dan labia mayora pada wanita. Nyeri kostovertebral
menjadi ciri khas dari urolithiasis, khsusnya nefrolithiasis (Brunner & Suddart,
2015).
2) Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering mengalami desakan
berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar. Keadaan ini akan menimbulkan
gesekan yang disebabkan oleh batu sehingga urin yang dikeluarkan bercampur
dengan darah (hematuria) (Brunner & Suddart, 2015).

Hematuria tidak selalu terjadi pada pasien urolithiasis, namun jika terjadi lesi
pada saluran kemih utamanya ginjal maka seringkali menimbulkan hematuria
yang masive, hal ini dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya dan memiliki
sensitivitas yang tinggi dan didukung jika karakteristik batu yang tajam pada
sisinya (Brooker, 2009).
3) Mual dan muntah
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan pada pasien
karena nyeri yang sangat hebat sehingga pasien mengalami stress yang tinggi dan
memacu sekresi HCl pada lambung (Brooker, 2009).

Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan karena adanya stimulasi dari celiac
plexus, namun gejala gastrointestinal biasanya tidak ada (Portis & Sundaram,
2001)

4) Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat lain. Tanda
demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi, vasodilatasi pembuluh darah di
kulit merupakan tanda terjadinya urosepsis. Urosepsis merupakan kedaruratan
dibidang urologi, dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak kelainan
anatomik pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan segera
dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian antibiotik (Purnomo, 2012).
5) Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan
menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika. Oleh karena itu, akan teraba
bendungan (distensi) pada waktu dilakukan palpasi pada regio vesika (Brooker,
2009).
D. Pemeriksaan Fisik
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Fisik
(Bickley & Lynn S, 2009; Patti L & Leslie SW, 2021)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
Keadaan Umum Tampak sakit sedang Tidak sakit, normal Abnormal
Tekanan darah 120/80 mmHg 120/80 mmHg Normal
Nadi 99 x/menit 60-100x/menit Normal
Frekuensi napas 28x/menit 12-20x/menit Meningkat
Suhu 38°C 36,1-37,2°C Meningkat
Kepala dan leher Dalam batas normal Dalam batas Normal
normal
Thoraks Dalam batas normal Dalam batas Normal
normal
Abdomen :  Inspeksi : Inspeksi : datar Abnormal
sedikit Palpasi : tidak nyeri
kembung tekan
 Palpasi : nyeri Perkusi : timpani
tekan kwadran dan tidak ada nyeri
kanan atas ketok
 Perkusi :
timpani pada
abdomen dan
nyeri ketok
CVA kanan

Auskultasi bising usus lemah Bising usus normal Meningkat


(5-3-x/menit)

a. Mekanisme Abnormalitas
1) Tampak sakit sedang
Sakit pada pasien diakibatkan perasaan nyeri yang dialami pasien pada abdomen.
Nyeri adalah hasil dari kombinasi spasme otot ureter, peningkatan peristaltik
proksimal dari aktivasi alat pacu jantung ureter intrinsik, perubahan inflamasi
lokal yang diinduksi batu, pembengkakan ginjal dengan peregangan kapsuler,
edema, dan iritasi. Proses ini merangsang reseptor regangan submukosa di ureter,
pelvis ginjal, dan kapsul yang merupakan penyebab langsung nyeri. Dari semua
berbagai faktor yang dapat berkontribusi pada nyeri pinggang dan kolik ginjal,
stimulasi pelvis ginjal, kapsul ginjal peripelvis, dan kaliks dari peregangan paling
mirip dengan kolik ginjal tipikal (Patti L & Leslie SW, 2021).
2) Peningkatan Frekuensi Napas
Sistem saraf simpatis berkaitan dengan pengaturan tonus pembuluh darah, aliran
darah dan tekanan darah, karena saraf simpatik memiliki efek stimulasi pada
jantung (memperbaiki sirkulasi) dan sistem pernapasan (meningkatkan asupan
oksigen). Oleh karena itu, nyeri meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, dan
laju pernapasan. Jika respons fisiologis ini berkepanjangan, terutama pada orang
dengan cadangan fisiologis yang buruk, dapat menyebabkan kerusakan iskemik
(Wei et al, 2014).
3) Peningkatan Suhu
Demam sering terjadi pada pasien urolithiasis. Batu yang menyumbat pada
saluran kemih akan menyebabkan inflamasi. Apabila inflamasi terjadi maka akan
dikeluarkan sitokin-sitokin inflamasi seperti interleukin-1, interleukin-6, TNF,
IFN-ℽ yang akan mengaktifkan pirogen endogen, kemudian aktivasi prostaglandin
dan selanjutnya akan mengubah temperatur set point pada hipotalamus (Patti L &
Leslie SW, 2021).
4) Perut Kembung
Kandung kemih perlahan terisi dengan urin, yang mengosongkan dari tubuh
melalui tabung kecil lain yang disebut uretra. Hidronefrosis terjadi ketika ada
penyumbatan aliran urin, atau aliran balik urin yang sudah ada di kandung kemih
(disebut refluks) yang dapat menyebabkan panggul ginjal membesar (Kidney,
2020).
5) Nyeri Kuadran Kanan Atas
Pada kuadran kanan atas terdiri dari berbagai organ, salah satunya yaitu ginjal.
Pada kasus batu saluran kemih, batu dapat menyumbat pada ginjal di bagian calyx
minor maupun mayor, atau pada pelvis renalis. Apabila ada sambutan pada
saluran ini maka batu akan mengiritasi lumen sehingga merangsang saraf nyeri,
selain itu distensi pada kapsul ginjal juga dapat menyebabkan rangsangan
persarafan reseptor nyeri (Patti L & Leslie SW, 2021).
6) Nyeri Ketok CVA
Nyeri ketok costovertebral disebabkan karena nyeri kolik ginjal dimana hal ini
terjadi akibat sumbatan oleh batu di ginjal sehingga ekskresi urin terhambat dan
tertahan di ginjal. Jika batu tetap menyumbat dan tidak dikeluarkan lama
kelamaan ginjal akan semakin penuh dan mengalami distensi pada kapsul. Kapsul
ginjal memiliki banyak serabut saraf yang dapat teraktivasi sehingga rasa nyeri
muncul (Patti L & Leslie SW, 2021).

b. Pemeriksaan fisik abdomen


Menurut Bickley, Lynn S tahun 2009, pemeriksaan abdomen terdiri dari :
a) Inspeksi Abdomen
Melihat bentuk abdomen (apakah simetri, membuncit atau tidak), dinding
perut (kulit, vena, umbilicus,inguinal), pergerakan peristaltik abdomen dan
pulsasi.
b) Auskultasi Abdomen
Meletakkan steteskop di sekitar umbilikus pada satu tempat di dinding
abdomen untuk menghitung frekuensi bising usus (2 menit) dan
mendengarkan bunyi usus atau bunyi lain (bruit arterial, venous hump).
c) Perkusi Abdomen
1) Melakukan perkusi pada seluruh kuadran abdomen.
2) Melaporkan bunyi timpani atau pekak.
3) Perkusi secara khusus pada bagian batas inferior costa kanan, untuk
menilai pekak hati.
4) Perkusi secara khusus pada bagian batas inferior costa kiri, untuk
menilai timpani area gaster.
5) Perkusi secara khusus di daerah linea aksilaris anterior kiri pada sela iga
VI untuk menilai ada tidaknya pembesaran limpa (menilai perubahan
suara timpani menjadi redup).
Untuk menentukan liver span:
1) Perkusi secara khusus di garis midklavikula kanan dari kranial ke arah
kaudal untuk menentukan batas paru-hepar dengan menilai perubahan
suara dari sonor ke redup.
2) Kemudian dilanjutkan dengan menilai batas bawah hepar dengan cara
melakukan perkusi di garis midklavikula kanan mulai dari setinggi
umbilicus ke kranial sampai di dapat perubahan suara dari timpani ke
redup.
3) Mengukur jarak antara batas atas dan batas bawah hepar.
d) Palpasi Abdomen
1) Meminta pasien untuk menekuk lutut
2) Palpasi superfisial (ringan) dilakukan dengan menempelkan sisi palmar
tangan secara horizontal pada seluruh regio abdomen secara sistematis.
3) Menilai nyeri tekan abdomen, defance muscular dan ada tidaknya
massa superfisial. Lalu diulangi dengan melakukan palpasi dalam, bila
ditemukan massa deskripsikan lokasi, ukuran, bentuk, nyeri tekan,
konsistensi, pulsasi dan bergerak atau tidak pada saat bernapas.
4) Memperhatikan wajah pasien selama palpasi.
e) Palpasi Hepar
1) Meminta pasien melipat kedua tungkai.
2) Melakukan penekanan pada dinding perut dengan
menggunakan sisi palmar radial jari tangan kanan.
3) Meminta pasien menarik nafas dalam.
4) Melakukan palpasi lobus kanan dimulai dengan meletakkan
tangan kanan pada regio illiaka kanan dengan sisi palmar radial jari
sejajar dengan arcus costae kanan.
5) Palpasi dilakukan dengan menekan dinding abdomen ke bawah
dengan arah dorsal pada saat pasien ekspirasi maksimal, kemudian
pada awal inspirasi jari bergerak ke kranial dalam arah parabolik.
6) Palpasi dilakukan ke arah arcus costae kanan.
7) Pemeriksaan lobus kiri dengan palpasi pada daerah garis tengah
abdomen ke arah epigastrium dimulai dari umbilikus dengan cara
seperti diatas.
8) Bila meraba tepi hati, deskripsikan ukuran, permukaan, tepi,
konsistensi, nyeri tekan, dan apakah terdapat pulsasi.
A. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
(Kemenkes, 2011)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi Keterangan
Hematologi
Hemoglobin 14 gr/dl 11,5 - 15,5 g/dl Normal
Leukosit 14.000/mm3 5000 - 1000/mm3 Abnormal Leukositosis
Fungsi Ginjal
Ureum 24 mg/dL 6.6 - 48.5 mg/dL Normal
Creatinin 1,2 mg/dL 0,6 – 1,3 mg/dL Normal
Fungsi Ginjal
Leukosit Positif (+) Negatif (-) Abnormal
penuh
RBC 50/LPB 0-3/LPB Abnormal

1. Hematologi
a. Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) nilai normal :
Pria = 13 - 18 g/dL - SI unit = 8,1 - 11,2 mmol/L
Wanita = 12 - 16 g/dL - SI unit = 7,4 – 9,9 mmol/L (Kemenkes, 2011)
Hemoglobin adalah komponen yang berfungsi sebagai alat transportasi oksigen
(O2) dan karbon dioksida (CO2). Hb tersusun dari globin (empat rantai protein
yang terdiri dari dua unit alfa dan dua unit beta) dan heme (mengandung atom
besi dan porphyrin: suatu pigmen merah). Pigmen besi hemoglobin bergabung
dengan oksigen. Hemoglobin yang mengangkut oksigen darah (dalam arteri)
berwarna merah terang sedangkan hemoglobin yang kehilangan oksigen (dalam
vena) berwarna merah tua. Satu gram hemoglobin mengangkut 1,34 mL
oksigen. Kapasitas angkut ini berhubungan dengan kadar Hb bukan jumlah sel
darah merah. Penurunan protein Hb normal tipe A1, A2, F (fetal) dan S
berhubungan dengan anemia sel sabit. Hb juga berfungsi sebagai dapar melalui
perpindahan klorida kedalam dan keluar sel darah merah berdasarkan kadar O2
dalam plasma (untuk tiap klorida yang masuk kedalam sel darah merah,
dikeluarkan satu anion HCO3). Penetapan anemia didasarkan pada nilai
hemoglobin yang berbeda secara individual karena berbagai adaptasi tubuh
(misalnya ketinggian, penyakit paru-paru, olahraga). Secara umum, jumlah
hemoglobin kurang dari 12 gm/dL menunjukkan anemia. Pada penentuan status
anemia, jumlah total hemoglobin lebih penting daripada jumlah eritrosit
(Kemenkes, 2011).

Implikasi klinik :
1) Penurunan nilai Hb dapat terjadi pada anemia (terutama anemia karena
kekurangan zat besi), sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan asupan
cairan dan kehamilan.
2) Peningkatan nilai Hb dapat terjadi pada hemokonsentrasi (polisitemia, luka
bakar), penyakit paru-paru kronik, gagal jantung kongestif dan pada orang
yang hidup di daerah dataran tinggi.
3) Konsentrasi Hb berfl uktuasi pada pasien yang mengalami perdarahan dan
luka bakar.
4) Konsentrasi Hb dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan anemia,
respons terhadap terapi anemia, atau perkembangan penyakit yang
berhubungan dengan anemia. Faktor pengganggu
5) Orang yang tinggal di dataran tinggi mengalami peningkatan nilai Hb
demikian juga Hct dan sel darah merah.
6) Asupan cairan yang berlebihan menyebabkan penurunan Hb
7) Umumnya nilai Hb pada bayi lebih tinggi (sebelum eritropoesis mulai aktif)
8) Nilai Hb umumnya menurun pada kehamilan sebagai akibat peningkatan
volume plasma
9) Ada banyak obat yang dapat menyebabkan penurunan Hb. Obat yang dapat
meningkatkan Hb termasuk gentamisin dan metildopa
10) Olahraga ekstrim menyebabkan peningkatan Hb (Kemenkes, 2011)

Hal yang harus diwaspadai


1) Implikasi klinik akibat kombinasi dari penurunan Hb, Hct dan sel darah merah.
Kondisi gangguan produksi eritrosit dapat menyebabkan penurunan nilai
ketiganya.
2) Nilai Hb 20g/dL memicu kapiler clogging sebagai akibat hemokonsenstrasi
(Kemenkes, 2011)

b. Leukosit (sel darah putih)


Nilai normal : 3200 – 10.000/mm3 SI : 3,2 – 10,0 x 109/L (Kemenkes, 2011)
Dalam buku Pedoman Interpretasi data klinik dari (Kemenkes, 2011), fungsi
utama leukosit adalah melawan infeksi, melindungi tubuh dengan memfagosit
organisme asing dan memproduksi atau mengangkut/ mendistribusikan antibodi.
Ada dua tipe utama sel darah putih:
1) Granulosit: neutrofil, eosinofil dan basofil
2) Agranulosit: limfosit dan monosit Leukosit terbentuk di sumsum tulang
(myelogenous), disimpan dalam jaringan limfatikus (limfa, timus, dan
tonsil) dan diangkut oleh darah ke organ dan jaringan. Umur leukosit
adalah 13-20 hari. Vitamin, asam folat dan asam amino dibutuhkan dalam
pembentukan leukosit. Sistem endokrin mengatur produksi, penyimpanan
dan pelepasan leukosit. Perkembangan granulosit dimulai dengan
myeloblast (sel yang belum dewasa di sumsum tulang), kemudian
berkembang menjadi promyelosit, myelosit (ditemukan di sumsum
tulang), metamyelosit dan bands (neutrofi l pada tahap awal kedewasaan),
dan akhirnya, neutrofi Perkembangan limfosit dimulai dengan limfoblast
(belum dewasa) kemudian berkembang menjadi prolimfoblast dan
akhirnya menjadi limfosit (sel dewasa). Perkembangan monosit dimulai
dengan monoblast (belum dewasa) kemudian tumbuh menjadi promonosit
dan selanjutnya menjadi monosit (sel dewasa).

Implikasi klinik:
1) Nilai krisis leukositosis: 30.000/mm3. Lekositosis hingga 50.000/mm3
mengindikasikan gangguan di luar sumsum tulang (bone marrow). Nilai leukosit yang
sangat tinggi (di atas 20.000/mm3) dapat disebabkan oleh leukemia. Penderita kanker
post-operasi (setelah menjalani operasi) menunjukkan pula peningkatan leukosit
walaupun tidak dapat dikatakan infeksi.
2) Biasanya terjadi akibat peningkatan 1 tipe saja (neutrofi l). Bila tidak ditemukan
anemia dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi dengan leukemia
3) Waspada terhadap kemungkinan leukositosis akibat pemberian obat.
4) Perdarahan, trauma, obat (mis: merkuri, epinefrin, kortikosteroid), nekrosis, toksin,
leukemia dan keganasan adalah penyebab lain leukositosis.
5) Makanan, olahraga, emosi, menstruasi, stres, mandi air dingin dapat meningkatkan
jumlah sel darah putih
6) Leukopenia, adalah penurunan jumlah leukosit (Kemenkes, 2011)

2. Fungsi ginjal
a. Kreatinin
Nilai normal : 0,6 – 1,3 mg/dL SI : 62-115 μmol/L (Kemenkes, 2011)

Tes ini untuk mengukur jumlah kreatinin dalam darah. Kreatinin dihasilkan
selama kontraksi otot skeletal melalui pemecahan kreatinin fosfat. Kreatinin
diekskresi oleh ginjal dan konsentrasinya dalam darah sebagai indikator fungsi
ginjal. Pada kondisi fungsi ginjal normal, kreatinin dalam darah ada dalam jumlah
konstan. Nilainya akan meningkat pada penurunan fungsi ginjal. Serum kreatinin
berasal dari masa otot, tidak dipengaruhi oleh diet, atau aktivitas dan diekskresi
seluruhnya melalui glomerulus. Tes kreatinin berguna untuk mendiagnosa fungsi
ginjal karena nilainya mendekati glomerular fi ltration rate (GFR). Kreatinin
adalah produk antara hasil peruraian kreatinin otot dan fosfokreatinin yang
diekskresikan melalui ginjal. Produksi kreatinin konstan selama masa otot
konstan. Penurunan fungsi ginjal akan menurunkan ekskresi kreatinin.
(Kemenkes, 2011)
Implikasi klinik :
1) Konsentrasi kreatinin serum meningkat pada gangguan fungsi ginjal baik
karena gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh nefritis, penyumbatan saluran
urin, penyakit otot atau dehidrasi akut.
2) Konsentrasi kreatinin serum menurun akibat distropi otot, atropi, malnutrisi
atau penurunan masa otot akibat penuaan.
3) Obat-obat seperti asam askorbat, simetidin, levodopa dan metildopa dapat
mempengaruhi nilai kreatinin pada pengukuran laboratorium walaupun tidak
berarti ada gangguan fungsi ginjal.
4) Nilai kreatinin boleh jadi normal meskipun terjadi gangguan fungsi ginjal pada
pasien lanjut usia (lansia) dan pasien malnutrisi akibat penurunan masa otot.
5) Kreatinin mempunyai waktu paruh sekitar satu hari. Oleh karena itu
diperlukan waktu beberapa hari hingga kadar kreatinin mencapai kadar normal
untuk mendeteksi perbaikan fungsi ginjal yang signifi kan.
6) Kreatinin serum 2 - 3 mg/dL menunjukan fungsi ginjal yang menurun 50 %
hingga 30 % dari fungsi ginjal normal.
7) Konsentrasi kreatinin serum juga bergantung pada berat, umur dan masa otot.
Faktor pengganggu • Olahraga berat, angkat beban dan prosedur operasi yang
merusak otot rangka dapat meningkatkan kadar kreatinin
8) Alkohol dan penyalahgunaan obat meningkatkan kadar kreatinin
9) Atlet memiliki kreatinin yang lebih tinggi karena masa otot lebih besar
10) Injeksi IM berulang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar kreatinin •
Banyak obat dapat meningkatkan kadar kreatinin
11) Melahirkan dapat meningkatkan kadar kreatinin
12) Hemolisis sampel darah dapat meningkatkan kadar kreatinin
13) Obat-obat yang meningkatkan serum kreatinin: trimetropim, simetidin,
ACEI/ARB (Kemenkes, 2011)

3. Urinalisis
Gambar 6 . Urinalisis Sedimen. (Kemenkes, 2011)
a. Leukosit
Sel darah putih dalam urin dapat menjadi indikasi suatu masalah yang terkait
dengan sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih dalam urin adalah tidak normal.
Sistem urin yang normal, ginjal menyaring darah dan mencegah leukosit untuk
melewati urin. Jika pada urin terlihat adanya tanda-tanda leukosit, dapat di artikan
bahwa sistem urin tidak dalam fungsi yang tepat. Tinggi kandungan sel darah
putih dalam urin disebut piuria yang berarti nanah di dalam urin. (Riswanto dan
Rizki, 2015).

Normal jumlah leukosit adalah 4-5/LPB. Leukosit dapat berasal dari saluran
urogenitalis. Leukosit dalam urin umumnya berupa segmen, dalam urin asam
leukosit biasanya mengerut, pada urin lindi lekosit akan mengembang dan
cenderung mengelompok. Leukosit umumnya lebih besar dari eritrosit dan lebih
kecil dari sel epitel. (Riswanto dan Rizki, 2015).

Leukosit dalam urin yang melebihi nilai normal dan merupakan gejala utama
peradangan pada ginjal dan saluran kemih. Leukosit dapat dideteksi dengan
analisa urin secara mikroskopis. Sedimen urin bila terdapat > 5 leukosit per
lapangan pandang besar (LPB) dinyatakan infeksi. Pemeriksaan mikroskopis
pada sedimen urin dikatakan leukosituria bila ditemukan leukosit >5/LPB.
(Riswanto dan Rizki, 2015).

b. Eritrosit
Eritrosit dalam urine dapat berasal dari bagian manapun dari saluran kemih, dari
glomerolus hingga meatus uretra, dan pada wanita, mereka mungkin hasil
kontaminasi eritrosit, namun dalam urine normal dapat ditemukan 0-3 sel/LPB.
Peningkatan jumlah eritrosit dalam urine disebut hematuria. Hematuria dibedakan
menjadi dua, yaitu hematuria makroskopik (gross hematuria) dan hematuria
mikroskopik. Hematuria makroskopik adalah darah yang dapat terlihat jelas
secara visual dimana urine tampak keruh dengan warna merah sampai coklat.
Sedangkan hematuria mikroskopik adalah apabila ditemukan peningkatan jumlah
eritrosit di setiap bidang mikroskopik (Riswanto dan Rizki, 2015).

Jumlah eritrosit yang lebih dari 5 sel per mikroliter urine dianggap bermakna
secara klinis, maka pemeriksaan visual terhadap warna urine tidak dapat
diandalkan untuk mendeteksi keberadaan darah. Pemeriksaan mikroskopis dari
sedimen urine menunjukkan eritrosit utuh (intact), namun hemoglobin bebas yang
dihasilkan baik oleh gangguan hemolitik atau lisisnya eritrosit tidak terdeteksi.
Terdapat 2 bentuk utama eritrosit urine, sebagai berikut.
1) Isomorfik, di mana eritrosit terlihat dalam bentuk dan kontur regular yang
berasal dari sistem ekskresi urine.
2) Dismorfik, adalah eritrosit yang bentuk dan konturnya iregular yang berasal
dari glomerulus. Eritrosit yang masuk ke dalam urine yang berasal dari
glomerulus menjadi dismorfik, karena mengalami perubahan osmolar yang
cepat dan dramatik selama proses melintasi kapiler glomerulus. (Riswanto dan
Rizki, 2015).

Apabila Sawar Filtrasi Glomerulus (SFG) mengalami kerusakan, misalnya pada


glomerulonefritis, protein dan darah akan tampak dalam urine. Sel darah merah
akan terjepit dan terperas saat melintasi fenestra sel endotel sebelum masuk ke
ruang Bowman. Pada saat masuk ke dalam tubulus, sel darah merah tersebut
terbenam dalam uromodulin (protein TammHorsfall) yang akan tampak dalam
urine sebagai toraks sel darah merah. Sel darah merah akan mengalami kerusakan
ketika terjepit dalam barier filtrasi glomerulus sehingga dalam urine akan terlihat
dismorfik. (Riswanto dan Rizki, 2015).

Adanya eritrosit dismorfik dengan bentuk dan kontur yang iregular dalam urine
adalah patognomonis dari hematuria glomerular yang mengindikasikan adanya
pelepasan eritrosit dari kapiler glomerulus ke dalam ruang urine. Oleh karena itu
hematuria glomerulus merupakan petanda adanya disfungsi dan kerusakan SFG.
SFG mempunyai struktur yang sangat kompleks dan spesifik. SFG hanya
permeabel terhadap air dan solut plasma yang berukuran kecil dan menengah.
BFG sangat selektif terhadap protein dan molekul yang lebih besar berdasarkan
ukuran dan berat molekulnya. SFG terdiri dari 5 komponen utama, yaitu:
1) Sel endotel
2) Membran basal glomerulus,
3) Podosit yang mempunyai jonjot (tonjolan kaki/foot processus)
4) Slit diaphragms, dan ruang subpodosit, yaitu suatu ruang di antara sel podosit
dan jonjot
5) Lapisan permukaan endotel yang mengandung glikosaminoglikan yang
melapisi permukaan endotel dan fenestra (Riswanto dan Rizki, 2015).

Dalam suasana fisiologik, endotel dengan fenestranya yang berukuran 50-100 nm


mampu menahan eritrosit yang berukuran 100 kali lebih besar. Adanya kelainan
atau kerusakan pada komponen BFG akan memudahkan eritrosit menembus SFG.
SFG yang rapuh dan mudah pecah akan menyebabkan terjadinya perdarahan
glomerulus. Beberapa faktor yang diduga berperan dalam terjadinya proses
patogenesis tersebut adalah:
1) Perubahan genetik komponen SFG mengakibatkan struktur SFG menjadi lebih
rapuh dan mudah pecah.
2) Terjadi penimbunan molekul toksik abnormal dalam SFG. (Riswanto dan Rizki,
2015).

MEKANISME ABNORMAL
1. Leukositosis
Batu yang terdapat di saluran kemih dapat menyebabkan trauma pada mukosa di
saluran kemih. Trauma tersebut dapat menyebabkan reaksi inflamasi sehingga
dapat memancing terjadinya demarginasi sel darah putih dan peningkatan sel
darah putih. (Patti L & Leslie SW, 2021)
Reaksi inflamasi → sekresi kemokin (IL-8 dan granulosit stimulating colony) →
neutrofil meningkat. Neutrofil merupakan sel yang paling banyak jumlahnya pada
sel darah putih dan berespon lebih cepat terhadap inflamasi dan sisi cedera
jaringan daripada jenis sel darah putih lainnya.
2. Leukosit penuh (+)
3. Eritrosit 50/LPB
Hematuria yang terjadi pada pasien disebabkan oleh trauma pada mukosa saluran
ginjal oleh batu. Urinalisis menunjukkan beberapa derajat hematuria mikroskopis
atau kotor pada 85% pasien batu, tetapi juga harus dievaluasi untuk tanda-tanda
infeksi (misalnya, sel darah putih, bakteri). PH urin lebih besar dari 7,5 mungkin
menunjukkan infeksi bakteri penghasil urease, sedangkan nilai pH kurang dari 5,5
dapat menunjukkan adanya batu asam urat. Hematuria terjadi pada 85% kasus
kolik ginjal akut yang disebabkan oleh batu. Walaupun adanya hematuria
menunjukkan adanya batu, hal ini tidak definitif dan juga tidak adanya hematuria
secara meyakinkan membuktikan bahwa tidak ada batu. (Patti L & Leslie SW,
2021)
B. Penunjang Imaging

USG TUG: Hidrinefrosis sedang ginjal kanan, batu ukuran 2cm

BNO-IVP: tampak bayangan radioopak ukuran 2x1 cm setinggi vetebra lumbal II- III
kanan,

Hidronefrosis grade II renal kanan, fungsi kedua ginjal masih baik, tidak terdapat
hidroureter. Ginjal, ureter kiri dan buli buoli dalam batas normal.

Mekanisme abnormalitas

a. Hidronefrosis
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua ginjal
akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik
sehingga tekanan di ginjal meningkat. BSK pada ginjal (nefrolithiasis) merupakan
faktor pencetus awal terjadinya hidronefrosis. Dimana nefrolithiasis dapat
menimbulkan obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung kemih yang dapat
mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan ureter
sehingga mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal (Hall, 2009).

Hidronefrosis dapat terjadi akibat proses anatomis atau fungsional yang


mengganggu aliran urin. Gangguan ini dapat terjadi di mana saja di sepanjang
saluran kemih dari ginjal ke meatus uretra. Peningkatan tekanan ureter menyebabkan
perubahan nyata pada filtrasi glomerulus, fungsi tubulus, dan aliran darah ginjal.
Laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun secara signifikan dalam beberapa jam
setelah obstruksi akut. Penurunan GFR yang signifikan ini dapat bertahan selama
berminggu-minggu setelah hilangnya obstruksi. Selain itu, kemampuan tubulus
ginjal untuk mengangkut natrium, kalium, dan proton serta memekatkan dan
mengencerkan urin sangat terganggu (Esprit et al, 2017)

Luas dan persistensi gangguan fungsional ini secara langsung berhubungan dengan
durasi dan luasnya obstruksi. Gangguan singkat terbatas pada gangguan fungsional
reversibel dengan sedikit perubahan anatomi yang terkait. Gangguan yang lebih
kronis menyebabkan atrofi tubulus yang dalam dan kehilangan nefron permanen
(Esprit et al, 2017).

Peningkatan tekanan ureter juga menghasilkan aliran balik pyelovenous dan


pyelolymphatic. Perubahan besar dalam saluran kemih juga tergantung pada durasi,
derajat, dan tingkat obstruksi. Dalam sistem pengumpulan intrarenal, tingkat
pelebaran dibatasi oleh parenkim ginjal di sekitarnya. Namun, komponen ekstrarenal
dapat melebar ke titik berliku-liku (Esprit et al, 2017).

Untuk membedakan hidronefrosis akut dan kronis, seseorang dapat menganggap


hidronefrosis akut sebagai hidronefrosis yang, bila dikoreksi, memungkinkan
pemulihan penuh fungsi ginjal. Sebaliknya, pada hidronefrosis kronis, hilangnya
fungsi bersifat ireversibel bahkan dengan koreksi obstruksi. Eksperimen awal
dengan anjing menunjukkan bahwa jika obstruksi unilateral akut dikoreksi dalam
waktu 2 minggu, pemulihan penuh fungsi ginjal dimungkinkan. Namun, setelah 6
minggu obstruksi, fungsi hilang secara ireversibel (Esprit et al, 2017)

Secara umum, sistem hidronefrotik akut dapat dikaitkan dengan sedikit gangguan
anatomi pada parenkim ginjal. Di sisi lain, sistem dilatasi kronis dapat dikaitkan
dengan kompresi papila, penipisan parenkim di sekitar kaliks, dan penggabungan
septa antara kaliks. Akhirnya, atrofi kortikal berkembang ke titik di mana hanya
terdapat parenkim yang tipis. Perubahan mikroskopis terdiri dari pelebaran lumen
tubulus dan pendataran epitel tubulus. Perubahan fibrotik dan peningkatan deposisi
kolagen diamati di interstitium peritubular (Esprit et al, 2017).
Pemeriksaan radiologi yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis
hidronefrosis adalah pemeriksaan Ultrasonography (USG). Pemeriksaan CT scan
dan MRI juga dapat dilakukan untuk melihat struktur ginjal secara lebih detail.

Menurut Onen A tahun 2020, berdasarkan tampilan radiologi dari ginjal, terdapat
empat derajat hidronefrosis, yaitu:

1) Hidronefrosis derajat 1. Dilatasi pelvis renalis tanpa dilatasi kaliks. Kaliks


mengalami penumpulan (blunting).
2) Hidronefrosis derajat 2. Dilatasi pelvis renalis dan kaliks mayor. Kaliks
mendatar (flattening).
3) Hidronefrosis derajat 3. Dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor dan kaliks minor.
Tanpa adanya penipisan korteks. Kaliks menonjol (clubbing).
4) Hidronefrosis derajat 4. Dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor dan kaliks minor.
Serta adanya penipisan korteks, dengan gambaran ballooning atau
menggembung.

Gambar 7. Tingkatan hidronefrosis (Grepmed, 2020)

Pemeriksaan Penunjang

Untuk diagnosa pasti adanya batu adalah dengan Intravenous Pielography (IVP) dan foto
polos abdomen atau Blass Nier Overzicht (BNO). Namun pada keadaan tertentu
misalnya wanita hamil, ada riwayat tak tahan dengan zat kontras, ditentukan dengan
pemeriksaan Ultrasonography (USG). Dikatakan USG lebih sensitif untuk mendeteksi
batu ureteral vesical junction dibandingkan dengan IVP, namun juga dikatakan bahwa
USG tidak dapat mendeteksi batu ureter tengah dan distal (Yolanda, 2021).

Ultrasonografi abdomen terbatas digunakan dalam diagnosis dan pengelolaan urolitiasis.


Meskipun ultrasonografi sudah tersedia, dilakukan dengan cepat dan sensitif terhadap
kalkuli ginjal, hampir sulit mendeteksi adanya batu ureter (sensitivitas: 19 persen), yang
kemungkinan besar bersifat simtomatik daripada kalkuli ginjal. Namun, jika batu ureter
itu ada, divisualisasikan dengan ultrasound, temuannya dapat diandalkan (spesifisitas: 97
persen). Pemeriksaan ultrasonografi juga sangat sensitif terhadap hidronefrosis, yang
mungkin merupakan manifestasi obstruksi ureter, namun seringkali terbatas pada
penentuan tingkat atau sifat obstruksi (Turk et al, 2015; Kim SC et al, 2007).

Radiografi polos BNO mungkin cukup untuk mendokumentasikan ukuran dan lokasi
kalkuli yang bersifat radiopaque. Batu yang mengandung kalsium, seperti batu kalsium
oksalat dan kalsium fosfat, paling mudah dideteksi dengan radiografi. Batu yang bersifat
radiopaque lemah, seperti batu asam urat murni dan batu yang terutama terdiri dari sistin
atau magnesium amonium fosfat, mungkin sulit, jika tidak mungkin, untuk dideteksi
pada radiografi film biasa (Moore, 2010; Kim SC et al, 2007).

Sayangnya, kalkuli yang bersifat radiopaque sering dikaburkan oleh tinja atau gas usus,
dan batu-batu ureter yang melintang di atas processus transversus corpus vertebra sangat
sulit untuk diidentifikasi. Selanjutnya, radiopacities nonurologis, seperti kelenjar getah
bening yang mengalami kalsifikasi, batu empedu, tinja dan phlebolith (vena pelvis yang
mengandung kalsifikasi), dapat disalahartikan sebagai batu. Meskipun 90% kalkuli urin
secara historis dianggap radioopak, sensitivitas dan spesifisitas radiografi BNO tetap saja
buruk (sensitivitas: 45-59%; Spesifisitas: 71-77%) (Kim SC et al, 2007).

Intravenous Pielography (IVP) telah dianggap sebagai modalitas pencitraan standar


untuk urolitiasis. IVP memberikan informasi yang berguna tentang batu (ukuran, lokasi,
radiodensitas) dan lingkungannya (anatomi calyx, tingkat obstruksi), serta unit ginjal
kontralateral (fungsi, anomali). IVP tersedia secara luas, dan interpretasinya juga
terstandarisasi. Dengan modalitas pencitraan ini, kalkulus ureter dapat dengan mudah
dibedakan dari radiopacities nonurologis (Turk et al, 2015; Kim SC et al, 2007).

Keakuratan IVP dapat dimaksimalkan dengan persiapan usus yang tepat, dan efek buruk
kontras yang merugikan. Media dapat diminimalkan dengan memastikan bahwa pasien
terhidrasi dengan baik. Sayangnya, langkah persiapan ini memerlukan waktu dan
seringkali tidak bisa dilakukan saat pasien dalam kondisi darurat. Dibandingkan dengan
USG abdomen dan BNO, IVP memiliki sensitivitas yang lebih tinggi (64-87%) dan
spesifisitas (92-94%) untuk deteksi urolitiasis. Namun, IVP dapat membingungkan
dengan adanya batu radiolusen yang tidak mengganggu, yang mungkin tidak selalu
menghasilkan "defek pengisian." Selanjutnya, pada pasien dengan obstruksi tingkat
tinggi, bahkan IVP yang berkepanjangan selama 12-24 jam mungkin tidak menunjukkan
tingkat penyumbatan karena konsentrasi media kontras yang tidak memadai (Kim SC et
al, 2007).

Media kontras yang digunakan dalam IVP efek samping berupa nefrotoksik yang telah
terbukti. Kadar serum kreatini harus diukur sebelum media kontras diberikan. Meskipun
kadar serum kreatinin lebih besar dari 1,5 mg/dL (130 µmol/L) bukan kontraindikasi
mutlak. Risiko dan manfaat menggunakan media kontras harus dipertimbangkan dengan
hati-hati, terutama pada pasien diabetes melitus, penyakit kardiovaskular atau mieloma
multipel. Resiko ini dapat diminimalisir dengan menghidrasi pasien denagn cukup,
meminimalkan jumlah bahan kontras yang diinfuskan, dan memaksimalkan interval
waktu antara pemberian kontras berturut-turut. Meskipun demikian, adalah bijaksana
untuk menghindari penggunaan media kontras bila modalitas pencitraan alternatif dapat
memberikan informasi yang setara (Kim SC et al, 2007).

Analisis masalah (Problem Analysis)

PRIORITAS MASALAH PERTAMA

Kalimat Pertama

Tn Johan 50 tahun pekerjaan sopir angkot, datang ke praktek anda dengan keluhan nyeri
pinggang kanan yang menjalar ke perut depan dan demam. Nyeri hilang timbul. Nyeri timbul
tiba-tiba tanpa dipengaruhi oleh posisi atau gerakan tubuh.

1. Bagaimana hubungan antara usia dengan jenis kelamin dan penyakit yang di derita
pasien?
Jawab :
Laki-laki memiliki faktor risiko yang lebih tinggi karena mengekskresi sedikit sitrat
dan banyak kalsium dibandingkan perempuan. Sedangkan untuk umur, belum ada
penelitian khusus yang menemukan korelasi antara kejadian batu saluran kemih
dengan usia, tetapi menurut data epidemiologi yang memiliki risiko tinggi menderita
urolitiasis adalah umur diantara 20 dan 40 tahun (Yolanda,2021).
2. Bagaimana mekanisme nyeri dan demam pada pasien?
Jawab :
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan non
kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih
sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas pada jaringan sekitar (Brooker, 2009).

Nyeri kolik juga karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises
ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran
kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya
meningkat sehingga terjadi peregangan pada terminal saraf yang memberikan
sensasi nyeri (Purnomo, 2012).

Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2012) sehingga menyebabkan
nyeri hebat dengan peningkatan produksi prostglandin E2 ginjal (O’Callaghan,
2009).

Rasa nyeri akan bertambah berat apabila batu bergerak turun dan menyebabkan
obstruksi. Pada ureter bagian distal (bawah) akan menyebabkan rasa nyeri di
sekitar testis pada pria dan labia mayora pada wanita. Nyeri kostovertebral
menjadi ciri khas dari urolithiasis, khsusnya nefrolithiasis (Brunner & Suddart,
2015).

Demam sering terjadi pada pasien urolithiasis. Batu yang menyumbat pada
saluran kemih akan menyebabkan inflamasi. Apabila inflamasi terjadi maka akan
dikeluarkan sitokin-sitokin inflamasi seperti interleukin-1, interleukin-6, TNF,
IFN-ℽ yang akan mengaktifkan pirogen endogen, kemudian aktivasi
prostaglandin dan selanjutnya akan mengubah temperatur set point pada
hipotalamus (Patti et al, 2021).
3. Mengapa nyeri yang dirasakan pasien sifatnya hilang timbul?
Jawab :
Gejala umum batu ginjal termasuk rasa sakit yang tajam dan kram di punggung dan
samping. Perasaan ini sering berpindah ke perut bagian bawah atau selangkangan.
Rasa sakit sering mulai tiba-tiba dan datang dalam periode. Itu bisa datang dan pergi
saat tubuh mencoba menyingkirkan batu itu (Patti et al, 2021)
4. Apa saja kemungkinan organ yang terkena apabila nyeri timbul di pinggang kanan?
Jawab :
Hati, Ginjal kanan, pankreas (sebagian kecil), galbladder, usus halus. (Snell, 2006)
5. Apakah diagnosis dan diagnosis banding dari penyakit yang di derita pasien?
Diagnosis kerja : batu saluran kemih
Diagnosis banding : Infeksi saluran kemih, tumor traktus urogenitalia, kolelitiasis,
tumor kaput pankreas, chron disease (Patti et al, 2021).

PRIORITAS MASALAH KEDUA

Kalimat Kedua

Keadaan ini sudah berlangsung sekitar 6 bulan dan akhir-akhir ini terjadi lebih sering. Selama
ini penderita hanya minum obat penghilang nyeri dari puskesmas .

1. Apa saja jenis obat pereda nyeri?


Jawab :
Analgetik adalah obat yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri. Obat
analgetik dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu obat golongan opioid dan NSAID. 
2. Bagaimana cara kerja obat pereda nyeri?
Jawab :
Golongan Opioid bekerja pada sistem saraf pusat, sedangkan golongan NSAID
bekerja di reseptor saraf perifer dan sistem saraf pusat (Holdgate A & Pollock
T,2005).
3. Bagaimana inervasi penjalaran nyeri pada kasus ini?
Jawab :
Reseptor nyeri pada traktus urinarius bagian atas berperan dalam persepsi
nyeri dari kolik renalis. Reseptor ini terletak pada bagian sub mukosa dari
pelvis renalis, calyx, capsula renalis, dan ureter pars superior. Terjadinya
distensi yang akut merupakan faktor penting dalam perkembangan nyeri kolik
renalis daripada spasme, iritasi lokal, atau hiperperistaltik ureter. Rangsangan
pada peripelvis capsula renalis menyebabkan nyeri pada regio flank,
sedangkan rangsangan pada pelvis renalis dan calyx menyebabkan nyeri
berupa kolik renalis. Iritasi pada mukosa juga dapat dirasakan oleh
kemoreseptor pada pelvis renalis dengan derajat yang bervariasi, tetapi iritasi
ini berperan sangat kecil dalam terjadinya nyeri kolik renalis atau kolik
ureteral (Moore, 2010; Dave, 2017).

Serat-serat nyeri dari ginjal terutama saraf-saraf simpatis preganglion


mencapai medula spinalis setinggi T11-L2 melalui nervus dorsalis. Ganglion
aortorenal, celiac, dan mesenterika inferior juga terlibat. Sinyal transmisi dari
nyeri ginjal muncul terutama melalui traktus spinothalamikus. Pada ureter
bagian bawah, sinyal nyeri juga didistribusikan melalui saraf genitofemoral
dan ilioinguinal. Nervi erigentes, yang menginervasi ureter intramural dan
kandung kemih, bertanggung jawab atas beberapa gejala kandung kemih yang
sering menyertai kalkulus ureter intramural (Dave, 2017).

4. Mengapa terjadi peningkatan frekuensi nyeri akhir-akhir ini?


Jawab :
Nyeri semakin meningkat dalam beberapa hari terakhir menunjukkan sumbatan batu
yang semakin besar dibandingkan dengan hari sebelumnya sehingga hidronefrosis
semakin parah, akibatnya distensi kapsul pada ginjal semakin memberat dan rasa
nyeri yang dirasakan akan lebih sering dan meningkat (Patti et al, 2021).
5. Apa jenis nyeri yang dirasakan oleh pasien?
Jawab :
Colic pain. Nyeri ini Kolik adalah bentuk nyeri yang dimulai dan berhenti secara tiba-
tiba. Ini terjadi karena kontraksi otot dari tabung berongga (usus besar, kandung
empedu, ureter, dll.) dalam upaya untuk menghilangkan obstruksi dengan memaksa
konten keluar (Patti et al, 2021).

PRIORITAS MASALAH KETIGA

Kalimat Ketiga
Satu minggu yang lalu penderita mengalami buang air kecil berwarna merah,
sering disertai demam dan mual-mual. Selama ini buang air besar dan kecil tidak
ada masalah,
1. Bagaimana mekanisme hematuria pada pasien dan mekanisme mual?
Jawab :
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering mengalami
desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar. Keadaan ini akan
menimbulkan gesekan yang disebabkan oleh batu sehingga urin yang
dikeluarkan bercampur dengan darah (hematuria) (Brunner & Suddart,
2015).
2. Bagaimana SKDI pada kasus ini?
Jawab :

Gambar 8. Tabel SKDI (KKI, 2012)

3A. Bukan gawat darurat


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter
mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan (KKI, 2012).

3. Bagaimana karakteristik urine fisiologis?

4. Bagaimana etiologi hematuria?

Jawab :
Hematuria pada kasus disebabkan karena gesekan batu dengan mukosa
lumen saluran kemih, sehingga menyebabkan luka dan meninmbulkan
perdarahan (Brunner & Suddart, 2015).
PRIORITAS MASALAH KEEMPAT

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
TD : 120/ 80 mmHg, Nadi 99 x/menit, RR: 28 x/menit Temp: 38 derajat Celcius
Kepala dan Leher : dalam batas normal
Thoraks : dbn
Abdomen : Inspeksi : sedikit kembung
Palpasi : nyeri tekan kwadran kanan atas
Perkusi : timpani pada abdomen dan nyeri ketok CVA kanan
Auskultasi : bising usus lemah
1. Bagaimana nilai normal dan interpretasi dari pemeriksaan fisik diatas?
Jawab :

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi


Keadaan Umum Tampak sakit sedang Tidak sakit, normal Abnormal
Tekanan darah 120/80 mmHg 120/80 mmHg Normal
Nadi 99 x/menit 60-100x/menit Normal
Frekuensi napas 28x/menit 12-20x/menit Meningkat
Suhu 38°C 36,1-37,2°C Meningkat
Kepala dan leher Dalam batas normal Dalam batas Normal
normal
Thoraks Dalam batas normal Dalam batas Normal
normal
Abdomen :  Inspeksi : Inspeksi : datar Abnormal
sedikit Palpasi : tidak nyeri
kembung tekan
 Palpasi : nyeri Perkusi : timpani
tekan kwadran dan tidak ada nyeri
kanan atas ketok
 Perkusi :
timpani pada
abdomen dan
nyeri ketok
CVA kanan

Auskultasi bising usus lemah Bising usus normal Meningkat


(5-3-x/menit)
2. Bagaimana mekanisme abnormalitas pada pemeriksaan fisik?
Jawab :
1) Tampak sakit sedang
Sakit pada pasien diakibatkan perasaan nyeri yang dialami pasien pada
abdomen. Nyeri adalah hasil dari kombinasi spasme otot ureter,
peningkatan peristaltik proksimal dari aktivasi alat pacu jantung ureter
intrinsik, perubahan inflamasi lokal yang diinduksi batu, pembengkakan
ginjal dengan peregangan kapsuler, edema, dan iritasi. Proses ini
merangsang reseptor regangan submukosa di ureter, pelvis ginjal, dan
kapsul yang merupakan penyebab langsung nyeri. Dari semua berbagai
faktor yang dapat berkontribusi pada nyeri pinggang dan kolik ginjal,
stimulasi pelvis ginjal, kapsul ginjal peripelvis, dan kaliks dari peregangan
paling mirip dengan kolik ginjal tipikal (Patti et al, 2021).
2) Peningkatan Frekuensi Napas
Sistem saraf simpatis berkaitan dengan pengaturan tonus pembuluh darah,
aliran darah dan tekanan darah, karena saraf simpatik memiliki efek
stimulasi pada jantung (memperbaiki sirkulasi) dan sistem pernapasan
(meningkatkan asupan oksigen). Oleh karena itu, nyeri meningkatkan
denyut jantung, tekanan darah, dan laju pernapasan. Jika respons fisiologis
ini berkepanjangan, terutama pada orang dengan cadangan fisiologis yang
buruk, dapat menyebabkan kerusakan iskemik (Wei et al, 2014).
3) Peningkatan Suhu
Demam sering terjadi pada pasien urolithiasis. Batu yang menyumbat
pada saluran kemih akan menyebabkan inflamasi. Apabila inflamasi
terjadi maka akan dikeluarkan sitokin-sitokin inflamasi seperti interleukin-
1, interleukin-6, TNF, IFN-ℽ yang akan mengaktifkan pirogen endogen,
kemudian aktivasi prostaglandin dan selanjutnya akan mengubah
temperatur set point pada hipotalamus (Patti et al, 2021).
4) Perut Kembung
Kandung kemih perlahan terisi dengan urin, yang mengosongkan dari
tubuh melalui tabung kecil lain yang disebut uretra. Hidronefrosis terjadi
ketika ada penyumbatan aliran urin, atau aliran balik urin yang sudah ada
di kandung kemih (disebut refluks) yang dapat menyebabkan panggul
ginjal membesar (Kidney, 2020).
5) Nyeri Kuadran Kanan Atas
Pada kuadran kanan atas terdiri dari berbagai organ, salah satunya yaitu
ginjal. Pada kasus batu saluran kemih, batu dapat menyumbat pada ginjal
di bagian calyx minor maupun mayor, atau pada pelvis renalis. Apabila
ada sambutan pada saluran ini maka batu akan mengiritasi lumen sehingga
merangsang saraf nyeri, selain itu distensi pada kapsul ginjal juga dapat
menyebabkan rangsangan persarafan reseptor nyeri (Patti et al, 2021).
6) Nyeri Ketok CVA
Nyeri ketok costovertebral disebabkan karena nyeri kolik ginjal dimana
hal ini terjadi akibat sumbatan oleh batu di ginjal sehingga ekskresi urin
terhambat dan tertahan di ginjal. Jika batu tetap menyumbat dan tidak
dikeluarkan lama kelamaan ginjal akan semakin penuh dan mengalami
distensi pada kapsul. Kapsul ginjal memiliki banyak serabut saraf yang
dapat teraktivasi sehingga rasa nyeri muncul (Patti et al., 2021).
3. Bagaimana system pembagian abdomen sesuai dengan kuadrannya?
Jawab :

Gambar 9. Regio abdomen empat kuadran (Gustinerz, 2021).

Abdomen dibagi secara menjadi 4 kuadran yaitu (1) Kuadran kanan atas/ Right
Upper Quadrant (RUQ), (2) Kuadran kanan bawah/ Right Lower Quadrant
(RLQ), (3) Kuadran kiri atas/Left Upper Quadrant (LUQ), (4) Kuadran kiri
bawah/Left Lower Quadrant (LLQ), dan Garis Tengah/Midline yang terdiri
dari epigastrik, periumbilikal, dan suprapubik (Snell, 2006).
4. Bagaimana mekanisme pemeriksaan fisik pada scenario (abdomen)?
Jawab :
c. Pemeriksaan fisik abdomen
Menurut Bickley, Lynn S tahun 2009, pemeriksaan abdomen terdiri dari :
f) Inspeksi Abdomen
Melihat bentuk abdomen (apakah simetri, membuncit atau tidak), dinding
perut (kulit, vena, umbilicus,inguinal), pergerakan peristaltik abdomen dan
pulsasi.
g) Auskultasi Abdomen
Meletakkan steteskop di sekitar umbilikus pada satu tempat di dinding
abdomen untuk menghitung frekuensi bising usus (2 menit) dan
mendengarkan bunyi usus atau bunyi lain (bruit arterial, venous hump).
h) Perkusi Abdomen
6) Melakukan perkusi pada seluruh kuadran abdomen.
7) Melaporkan bunyi timpani atau pekak.
8) Perkusi secara khusus pada bagian batas inferior costa kanan, untuk
menilai pekak hati.
9) Perkusi secara khusus pada bagian batas inferior costa kiri, untuk
menilai timpani area gaster.
10) Perkusi secara khusus di daerah linea aksilaris anterior kiri pada sela
iga VI untuk menilai ada tidaknya pembesaran limpa (menilai perubahan
suara timpani menjadi redup).
Untuk menentukan liver span:
4) Perkusi secara khusus di garis midklavikula kanan dari kranial ke arah
kaudal untuk menentukan batas paru-hepar dengan menilai perubahan
suara dari sonor ke redup.
5) Kemudian dilanjutkan dengan menilai batas bawah hepar dengan cara
melakukan perkusi di garis midklavikula kanan mulai dari setinggi
umbilicus ke kranial sampai di dapat perubahan suara dari timpani ke
redup.
6) Mengukur jarak antara batas atas dan batas bawah hepar.
i) Palpasi Abdomen
5) Meminta pasien untuk menekuk lutut
6) Palpasi superfisial (ringan) dilakukan dengan menempelkan sisi palmar
tangan secara horizontal pada seluruh regio abdomen secara sistematis.
7) Menilai nyeri tekan abdomen, defance muscular dan ada tidaknya
massa superfisial. Lalu diulangi dengan melakukan palpasi dalam, bila
ditemukan massa deskripsikan lokasi, ukuran, bentuk, nyeri tekan,
konsistensi, pulsasi dan bergerak atau tidak pada saat bernapas.
8) Memperhatikan wajah pasien selama palpasi.
j) Palpasi Hepar
9) Meminta pasien melipat kedua tungkai.
10) Melakukan penekanan pada dinding perut dengan
menggunakan sisi palmar radial jari tangan kanan.
11) Meminta pasien menarik nafas dalam.
12) Melakukan palpasi lobus kanan dimulai dengan meletakkan
tangan kanan pada regio illiaka kanan dengan sisi palmar radial jari
sejajar dengan arcus costae kanan.
13) Palpasi dilakukan dengan menekan dinding abdomen ke bawah
dengan arah dorsal pada saat pasien ekspirasi maksimal, kemudian
pada awal inspirasi jari bergerak ke kranial dalam arah parabolik.
14) Palpasi dilakukan ke arah arcus costae kanan.
15) Pemeriksaan lobus kiri dengan palpasi pada daerah garis tengah
abdomen ke arah epigastrium dimulai dari umbilikus dengan cara
seperti diatas.
16) Bila meraba tepi hati, deskripsikan ukuran, permukaan, tepi,
konsistensi, nyeri tekan, dan apakah terdapat pulsasi.

PRIORITAS MASALAH KELIMA

Kalimat Kelima

Pemeriksaan Penunjang:

Laboratorium:
Hb: 14gr%
Leukosit : 14.000/ mm3
Fungsi Ginjal : Ureum 24, Kreatinin 1,2
Urinalisa : Leukosit penuh, RBC 50/LPB
Lab lain: dbn
Penunjang Imaging:
USG TUG: Hidrinefrosis sedang ginjal kanan, batu ukuran 2cm
BNO-IVP: tampak bayangan radioopak ukuran 2x1 cm setinggi vetebra lumbal
II- III kanan,
Hidronefrosis grade II renal kanan, fungsi kedua ginjal masih baik, tidak terdapat
hidroureter. Ginjal, ureter kiri dan buli buoli dalam batas normal.
1. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium dan mekanisme
abnormalitas dari hasil pemeriksaan laboratorium?
Jawab :
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi Keterangan
Hematologi
Hemoglobin 14 gr/dl 11,5 - 15,5 g/dl Normal
Leukosit 14.000/mm3 5000 - 1000/mm3 Abnormal Leukositosis
Fungsi Ginjal
Ureum 24 mg/dL 6.6 - 48.5 mg/dL Normal
Creatinin 1,2 mg/dL 0,6 – 1,3 mg/dL Normal
Fungsi Ginjal
Leukosit Positif (+) Negatif (-) Abnormal
penuh
RBC 50/LPB 0-3/LPB Abnormal

MEKANISME ABNORMAL
1. Leukositosis
Batu yang terdapat di saluran kemih dapat menyebabkan trauma pada
mukosa di saluran kemih. Trauma tersebut dapat menyebabkan reaksi
inflamasi sehingga dapat memancing terjadinya demarginasi sel darah
putih dan peningkatan sel darah putih (Patti L & Leslie SW, 2021).
Reaksi inflamasi → sekresi kemokin (IL-8 dan granulosit stimulating
colony) → neutrofil meningkat. Neutrofil merupakan sel yang paling
banyak jumlahnya pada sel darah putih dan berespon lebih cepat
terhadap inflamasi dan sisi cedera jaringan daripada jenis sel darah putih
lainnya.
2. Leukosit penuh (+)
Terjadi akibat respon inflamasi pada saluran kemih akibat gesekan atau
perlukaan pada mukosa sehingga mengalami peningkatan produksi
leukosit (Patti L & Leslie SW, 2021).
3. Eritrosit 50/LPB
Hematuria yang terjadi pada pasien disebabkan oleh trauma pada
mukosa saluran ginjal oleh batu. Urinalisis menunjukkan beberapa
derajat hematuria mikroskopis atau kotor pada 85% pasien batu, tetapi
juga harus dievaluasi untuk tanda-tanda infeksi (misalnya, sel darah
putih, bakteri). PH urin lebih besar dari 7,5 mungkin menunjukkan
infeksi bakteri penghasil urease, sedangkan nilai pH kurang dari 5,5
dapat menunjukkan adanya batu asam urat. Hematuria terjadi pada 85%
kasus kolik ginjal akut yang disebabkan oleh batu. Walaupun adanya
hematuria menunjukkan adanya batu, hal ini tidak definitif dan juga
tidak adanya hematuria secara meyakinkan membuktikan bahwa tidak
ada batu (Patti L & Leslie SW, 2021).
2. Bagaimana indikasi pemeriksaan USG TUG dan BNO-IVP?
Jawab :
Untuk diagnosa pasti adanya batu adalah dengan Intravenous Pielography
(IVP) dan foto polos abdomen atau Blass Nier Overzicht (BNO). Namun
pada keadaan tertentu misalnya wanita hamil, ada riwayat tak tahan dengan
zat kontras, ditentukan dengan pemeriksaan Ultrasonography (USG).
Dikatakan USG lebih sensitif untuk mendeteksi batu ureteral vesical
junction dibandingkan dengan IVP, namun juga dikatakan bahwa USG
tidak dapat mendeteksi batu ureter tengah dan distal (Yolanda, 2021).
3. Bagaimana cara mengetahui fungsi kedua ginjal masih baik?
Jawab :
Bisa dilakukan pemeriksaan seperti urinalisis, urine 24 jam, tes albumin,
mikroalbumin, dan urine albumin-to-creatinine ratio (UACR), tes creatinine
clearance, tes kreatinin darah, BUN, GFR (Stang, 2018).
4. Bagaimana gambaran USG TUG pada hidronefrosis?
Jawab :
Gambar 10. Hidronefrosis (Onen A, 2020)
5. Bagaimana faktor resiko pada penyakit di kasus ini?
Jawab :
Risiko menderita urolitiasis meningkat akibat dari faktor-faktor apa pun
yang menyebabkan terjadinya urin yang stasis yang berkaitan dengan
menurun atau tersumbatnya aliran urin. Faktor-faktor yang menyebabkan
tingginya angka insiden urolitiasis meliputi: (Yolanda,2021).
1) Laki-laki: mengekskresi sedikit sitrat dan banyak kalsium
dibandingkan perempuan.
2) Etnis: Etnis Amerika, Afrika atau Israel memiliki risiko tinggi
menderita urolitiasis.
3) Riwayat keluarga: beberapa keluarga memiliki kecenderungan
memproduksi mukoprotein yang berlebihan pada traktus
urinariusnya, yang mana dapat meningkatkan terjadinya urolitiasis.
4) Riwayat kesehatan: beberapa masalah kesehatan dapat
meningkatkan terjadinya urolitiasis meliputi penyakit di saluran
cerna, infeksi saluran kencing yang berulang dan sistinuria.
5) Diet: dehidrasi atau menurunnya intake cairan meningkatkan
terjadinya urolitiasis ditambah dengan meningkatnya konsumsi
sodium, oksalat, lemak, protein, gula, karbohudrat kasar dan vitamin
C.
6) Lingkungan: beberapa daerah memiliki risiko tinggi menderita
urolitiasis seperti yang beriklim tropis, pegunungan atau padang
pasir.
7) Obat-obatan: bebrapa macam obat seperti ephedrin, guifenesin,
thiazid, indinavir dan allopurinol dapat menyebabkan terjadinya
urolitiasis.
6. Bagaimana epidemiologi penyakit pada kasus ini?
Jawab :
Urolithiasis merupakan masalah kesehatan yang umum sekarang
ditemukan. Diperkirakan 10% dari semua individu dapat menderita
urolitiasis selama hidupnya, meskipun beberapa individu tidak
menunjukkan gejala atau keluhan. Setiap tahunnya berkisar 1 dari 1000
populasi yang dirawat di rumah sakit karena menderita urolitiasis. Laki-laki
lebih sering menderita urolitiasis dibandingkan perempuan, dengan rasio
3:1. Dan setiap tahun rasio ini semakin menurun. Dari segi umur, yang
memiliki risiko tinggi menderita urolitiasis adalah umur diantara 20 dan 40
tahun (Yolanda,2021).
7. Bagaimana tatalaksana, edukasi, dan pencegahan penyakit pada kasus ini?
Jawab :
a. Tatalaksana
Tujuan dalam panatalaksanaan medis pada urolithiasis adalah untuk
menyingkirkan batu, menentukan jenis batu, mencegah penghancuran
nefron, mengontrol infeksi, dan mengatasi obstruksi yang mungkin
terjadi (Brunner & Suddart, 2015; Rahardjo & Hamid, 2004).

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya


harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat.
Indikasi untuk melakukan tindakan/ terapi pada batu saluran kemih
adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi dan infeksi. Beberapa
tindakan untuk mengatasi penyakit urolithiasis adalah dengan
melakukan observasi konservatif (batu ureter yang kecil dapat
melewati saluran kemih tanpa intervensi), agen disolusi (larutan atau
bahan untuk memecahkan batu), mengurangi obstruksi (DJ stent dan
nefrostomi), terapi non invasif Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy
(ESWL), terapi invasif minimal: ureterorenoscopy (URS),
Percutaneous Nephrolithotomy, Cystolithotripsi/ ystolothopalaxy,
terapi bedah seperti nefrolithotomi, nefrektomi, pyelolithotomi,
uretrolithotomi, sistolithotomi (Brunner & Suddart, 2015; Gamal, et al.,
2010; Purnomo, 2012; Rahardjo & Hamid, 2004).

b. Pencegahan
Tindakan selanjutnya yang tidak kala penting setelah batu dikeluarkan
dari saluran kemih adalah pencegahan atau menghindari terjadinya
kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per
tahun atau kurang lebih 50% tahun dalam 10 tahun (Purnomo, 2012).
Pencegahan dilakukan berdasarkan kandungan dan unsur yang
menyusun batu saluran kemih dimana hasil ini didapat dari analisis
batu (Lotan, et al., 2013).
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan dengan pengaturan diet
makanan, cairan dan aktivitas serta perawatan pasca operasi untuk
mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi. Beberapa tindakan gaya
hidup yang dapat dimodifikasi dalam upaya pencegahan kekambuhan
urolithiasis adalah:

1) Cairan Strategi
Pengobatan yang umum digunakan pada urolithiasis yang bukan
disebabkan karena infeksi bakteri adalah dengan meningkatkan
konsumsi air. Peningkatan konsumsi air setiap hari dapat
mengencerkan urin dan membuat konsentrasi pembentuk
urolithiasis berkurang. Selain itu, saat mengkonsumsi makanan
yang cenderung kering hendaknya mengkonsumsi air yang banyak.
Konsumsi air sebanyak-banyaknya dalam satu hari minimal 8
gelas atau setara dengan 2-3 liter per hari (Lotan, et al., 2013)
Anggraini (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
pencegahan lain dapat dilakukan dengan mengkonsumsi air jeruk
nipis atau jeruk lemon yang berfungsi sebagai penghambat
pembentukan batu ginjal jenis kalsium dengan mekanisme
utamanya yaitu menghambat pembentukan batu kalsium melalui
reaksi pemutusan ikatan antara kalsium oksalat maupun kalsium
posfat oleh sitrat, sehingga pada akhir reaksi akan terbentuk
senyawa garam yang larut air, endapan kalsium tidak terbentuk
dan tidak tidak terbentuk batu saluran kemih jenis batu kalsium.
Penelitian ini didukung oleh Colella, et al., (2005) dan Purnomo,
(2012) yang menyatakan bahwa asupan jeruk nipis yang rendah
dapat menyebabkan hipositraturia dimana kemungkinan dapat
meningkatkan resiko terbentuknya batu.
2) Makanan
a) Konsumsi makanan seperti ikan dan kurangi konsumsi oksalat
(seperti daging) untuk menurunkan oksalat dalam urin dan
resiko pembentukan batu oksalat (Maalouf, et al., 2010).
b) Mengurangi diet protein hewani dan purin lainnya untuk
menurunkan kadar asam urat dalam urin dan resiko
pembentukan batu asam urat (Maalouf et al, 2010).
c) Mengurangi makanan yang mengandung tinggi kadar garam
karena dapat meningkatkan rasa haus, selain itu garam akan
mengambil banyak air dari dalam tubuh sehingga tubuh akan
mengalami dehidrasi tanpa disadari. Disarankan jika terlalu
banyak mengkonsumsi garam hendaknya anda imbangi dengan
mengkonsumsi banyak air yang berfungsi untuk melarutkan
garam yang ada di dalam tubuh (Maalouf et al, 2010).
d) Meningkatkan diet kalsium untuk mengikat oksalat di usus dan
dengan demikian akan menurunkan kadar oksalat dalam urin
(Maalouf et al, 2010).
3) Aktivitas
Aktivitas fisik sangat dianjurkan untuk mencegah terjadinya
urolithiasis. Tingginya aktivitas yang dilakukan dengan diimbangi
asupan cairan yang seimbang maka ada kemungkinan akan
memperkecil resiko terjadinya pembentukan batu, latihan fisik
seperti treadmill atau aerobic ini dapat dilakukan selama 1 jam/
hari selama 5 hari atau anda dapat melakukan olahraga lari selama
20 meter/ menit selama 5 hari (Shamsuddeen et al, 2013).
Aktivitas fisik dapat menyebabkan kehilangan banyak cairan
sehingga memungkinkan untuk berada dalam kondisi dehidrasi
tanpa disadari maka dari itu disarankan untuk mempertahankan
hidrasi (cairan) dalam tubuh sebanyak-banyaknya selama
melakukan aktivitas, khususnya aktivitas berat seperti latihan fisik
(treadmill) untuk mengganti ciaran tubuh yang hilang saat
melakukan aktivitas (Colella et al, 2005; Purnomo, 2012).
4) Dukungan sosial
Rahman et al, (2013) dalam penelitiannya tentang hubungan antara
adekuasi hemodialisa terhadap kualitas hidup pasien menyatakan
bahwa dukungan sosial merupakan salah satu indikator yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Dukungan sosial dapat
diberikan dari keluarga dan lingkungan sekitar dapat meningkatkan
keoptimisan pada diri sendiri untuk sembuh dari penyakit dan
memiliki kehidupan yang lebih baik. Dukungan yang dapat
diberikan berupa memberikan dukungan kepada orang lain untuk
beradaptasi dengan kondisinya saat ini (Guundgard, 2006).
8. Bagaimana komplikasi dan prognosis penyakit pada kasus ini?
Jawab :
Batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis renalis sehingga dapat
menyebabkan obstruksi total pada ginjal, pasien yang berada pada tahap ini
dapat mengalami retensi urin sehingga pada fase lanjut ini dapat
menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika terus berlanjut maka dapat
menyebabkan gagal ginjal yang akan menunjukkan gejala-gejala gagal
ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia (Colella, et al., 2005; Purnomo,
2012).

Selain itu stagnansi batu pada saluran kemih juga dapat menyebabkan
infeksi ginjal yang akan berlanjut menjadi urosepsis dan merupakan
kedaruratan urologi, keseimbangan asam basa, bahkan mempengaruhi
beban kerja jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh (Colella, et
al., 2005; Portis & Sundaram, 2001; Prabowo & Pranata, 2014).

Prognosis urolithiasis baik, di mana sekitar 80-85% batu dapat keluar secara
spontan. Adanya komplikasi, seperti obstruksi traktus urinarius dan infeksi
saluran kemih bagian atas, dapat meningkatkan morbiditas sehingga
memerlukan intervensi segera (Dave, 2017).

9. Bagaimana etiologi penyakit pada kasus ini?


Jawab :
Etiologi dapat dibagi menjadi faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor
intrinsiknya adalah asidosis renal tubule, sistinuria, hiperparatiroidisme
primer, gout, sindrom Lesch-Nyhan, kelainan Dent, sindrom Bartter,
hipercalciuria dan sarcoidosis, sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah suhu
panas dan kering yang mengakibatkan peningkatan perspirasi sehingga urin
akan meningkat konsentrasinya, hidrasi yang rendah, diet tinggi kalsium,
diet tinggi lemak hewani (asam urat) atau diet tinggi sayuran hijau
(oksalat), imobilitas (pekerjaan sedentari), obesitas atau sindrom metabolik
dan ISK dengan urease yang menghasilkan bakteri (Wadhwani, 2018)
Daftar Pustaka

Basuki B Purnomo. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Malang : Fakultas Kedokteran Universitas


Brawijaya.

Bickley, Lynn S. 2009. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates Edisi 8.
Jakarta : EGC

Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2.
Jakarta EGC

Colella, J., Kochis, E., Galli, B., & Manuver, R. (2005). Urolithiasis/ Nephrolithiasis: What’s
It Alla About?. Urology Nursing. Vol. 24. No. 6: 427-449.

Dave C. 2017. Nephrolithiasis. Medscape. https://emedicine.medscape.com/article/437096-


overview. Dec 12. 2017. Diakses 26 Juli 2021.

Esprit DH, Koratala A, Chornyy V, Wingo CS. Obstructive Nephropathy Without


Hydronephrosis: Suspicion Is the Key. Urology. 2017 Mar. 101:e9-e10. [Medline].

Guundgard, J. (2006). Decomposition of sources of incomes-related health inequality applied


on SF-36 summary scores: a Danish health survey. Health and Quality of Life
Outcomes. 4.53.

Holdgate A, Pollock T. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) versus opioids for


acute renal colic. Cochrane Database Syst Rev. 2004;(1):CD004137. doi:
10.1002/14651858.CD004137.pub2. Update in: Cochrane Database Syst Rev. 2005;
(2):CD004137. PMID: 14974058.

Hopkinsmedicine. Anatomy of the urinary system.


https://www.hopkinsmedicine.org/health/wellness-and-prevention/anatomy-of-the-
urinary-system. Diakses 27 Juli 2021

Kidney.org. 2020. Hydronephrosis. https://www.kidney.org/atoz/content/hydronephrosis.


(Diakses 26 Juli 2021).

Lotan, Y., Jimenez, I.B., Wijnkoop, I.L., Daudon, M., Molinier, L., Tack, I., & Nuijten,
M.J.C. (2013). Increased Water Intake as a Prevention Strategy of Recurrent
Urolithiasis: Major Impact of Compliance on Cost-Effectiveness. Jurology. Volume
189, Issue 3, Pages 935-939

Maalouf, M., Rho. J.M., & Mattson, M.P. (2010). The neuroprotective properties of calories
restriction, the katogenic diet, and ketone bodies. Brain Res. 59. 293-315

Medical Definition of Urolithiasis. Medicine.Net.com.


https://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=6649 . Diakses 26 Juli
2021.

Moore, Keith L., Arthur F Dalley, and A. M. R Agur. Clinically Oriented Anatomy. 6th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010.

Onen A. (2020). Grading of Hydronephrosis: An Ongoing Challenge. Frontiers in


pediatrics, 8, 458. https://doi.org/10.3389/fped.2020.00458

Patti L, Leslie SW. Acute Renal Colic. 2021. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431091/

Portis A.J., & Sundaram, C.P. (2001). Diagnosis and initial management of kidney stone.
American Family Physician. Vol. 63. No. 7: 1329-1338

Rahardjo, O., & Hamid, R. (2004). Perkembangan penatalaksanaan batu ginjal di RSCM
tahun 1997-2002. J. I. Bedah Indones. 32(2):58-63

Shamsuddeen, S.B., Bano, R., & Shammari, E.A. (2013). Risk Factors of Renal Calculi.
IOSR Journal of Dental and Medical Science (IOSR-JDMS). Volume 11, Issue 6, 90-
95.

Sherwood L.2013. Human Physiology From Cells to System. 8th ed. United States of
America : Boorks/cole.

Skandalakis, John E., Panajiotis N. Skandalakis, Lee John Skandalakis, and SpringerLink
(Online service). Surgical Anatomy and Technique: A Pocket Manual. New York,
NY: Springer US, 1995.

Turk C, Knoll T, Pterick A et al. Guidelines on Urolithiasis. European Association of


Urology 2015. March 2015.

Walters, S.J., Munro, J.F., & Brazier, J.E. (2001). Using SF-36 with Older Adults: A Cross
Sectional Community-Based Survey. Age & Aging; 30:337-43.
Wei J et al. (2014). Meta-analysis of mental stress-induced myocardial ischemia and
subsequent cardiac events in patients with coronary artery disease. American Journal
of Cardiology; 114: 2, 187-192.

Yolanda S. What is Urolithiasis. News Medical Life Sciences. https://www.news-


medical.net/health/What-is-Urolithiasis.aspx. Accessed Jan. 16, 2018.

Anda mungkin juga menyukai