Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia hidup telah diberikan pedoman oleh Allah SWT.

Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia

seakan lupa bahwa hidup di dunia hanya sementara dan tak lagi berpegang

pada pedoman yang telah diturunkan; Al-Qur’an, Hadits dan As-Sunnah.

Padahal jika manusia mengikuti dengan baik dan benar pedoman-pedoman

tersebut, Allah telah menjanjikan hal indah nantinya di kehidupan kekal kelak

di akhirat. Untuk itulah makalah ini dibuat untuk mengingatkan kembali para

manusia yang lupa pada pedoman super akurat yang telah diatur sedemikian

rupa agar manusia dapat menghadapi hidup dengan jalan yang benar. Juga

untuk mengimbangi kemajuan teknologi dengan perkembangan iman dan

taqwa seorang manusia kepada Tuhannya.

B. Rumusan Masalah

1) Pengertian hadits dhaif

2) Kriteria-kriteria hadist dhaif

3) Pembagian hadist dhaif

C. Tujuan

Menambah pengetahuan agama Islam tentang apa itu hadist terutama Hadist

Dha’if dan kriterianya serta mengaplikasikannya dalam kehidupan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan

persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun

hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama

Islam selain Al-Qur’an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan

hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.

Para ahli hadits membagi hadits menjadi banyak bagian dengan istilah yang

berbeda-beda. Namun, semua itu tujuannya pada pokoknya kembali kepada

tiga objek pembahasan, yaitu dari segi matan, sanad, serta matan dan sanad-

sanad secara bersama-sama. Dan kebanyakan mereka mengklasifikasikan

hadits secara keseluruhan menjadi tiga kategori yaitu shahih, hasan, dan dhaif.

Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi

hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam

Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu

Majah.

B. Pengertian Hadits Dhaif

Kata dha’if menurut bahasa berasal dari kata dhuifun yang berarti lemah

lawan dari kata qawiy yang berarti kuat. Sedangkan dhaif berarti hadits yang

tidak memenuhi hadits hasan. Hadits dhaif disebut juga hadits mardud

(ditolak). Contoh hadits dhaif ialah hadits yang berbunyi:

ِ
‫ْج ْو َر َب ْي ِن‬
َ ‫لى ال‬ َ ‫ا َن النَبِ َي صلى اهلل علىه وسلم َت َو‬
َ ‫ضأَ َو َم َس َح َع‬

2
Artinya: “Bahwasanya Nabi SAW wudhu dan beliau mengudap kedua kaos

kakinya”.

Hadits tersebut dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi.

Seorang perawi yang masih dipersoalkan.

Dengan kaidah ini, sesungguhnya sesuatu hadits itu di anggap dhai’if, selama

belum dapat dibuktikan keshahian atau kehasanannya. Sebab, yang diharuskan

untuk memenuhi syarat-syarat tertentu adalah hadits shahih dan hadits hasan,

serta bukan hadits dha’if. Tetapi, ulama hadits dalam membicarakan kualitas

suatu hadits. Telah berusaha pula untuk membuktikan/menjelaskan letak

kedha’ifannya, bila hadits yang bersangkutan dinyatakan dha’if,sebab dengan

demikian akan menjadi jelas berat ringannya kekurangan atau cacat yang

dimiliki oleh hadist itu. Atas dasar penelitian yang demikian ini pila, maka

dimungkinkan suatu hadist yang kualitasnya dha’if, lalu dapat meningkat

kepada kualitas hasan li-ghairihi.

Dalam beberapa hal, ulama hadist tidak tidak sepakat dalam menilai suatu

hadist. Adakalanya, ulama tertentu menilainya sebagai hadist hasan atau

shahih, tetapi ulama lainnya, menilainya sebagi hadist dha’if. Keadaan ini

terjadi, antara lain disebabkan oleh perbedaan pengetahuan ulama tersebut

terhadap keadaan perawi hadist yang dinilainya ataupun karena perbedaan

tolak ukur yang digunakan dalam menilai suatu hadist.

C. Kriteria Hadits Dhaif

Para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif yaitu:

ِ ‫ت ْال َح ِد ْي‬
‫ث‬ ِ ‫صفَا‬
َ َ‫ْح َوال‬
ِ ‫ص ِحي‬ ِ ‫ت ْال َح ِد ْي‬
َ ‫ث ال‬ ُ ‫صفَا‬ ُ ‫ْف ه َُو ْال َح ِدي‬
ِ ‫ْث الَ ِذىْ لَ ْم يُجْ َم ْع‬ ِ ‫ض ِعي‬ ُ ‫اَ ْل َح ِدي‬
َ ‫ْث ال‬

3
Artinya: “Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat shahih,

dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.

Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai

hadits shahih dan hasan. Dengan demikian, hadits dhaif itu bukan tidak

memenuhi syarat-syarat hadits shahih, juga tidak memenuhi persyaratan

hadits-hadits hasan. Para hadits dhaif terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih

besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari

Rasulullah SAW.

Kehati-hatian dari para ahli hadits dalam menerima hadits sehingga mereka

menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu sebagai alasan yang

cukup untuk menolak hadits dan menghukuminya sebagai hadits dhaif.

Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian hadits itu bukan suatu bukti yang

pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan hadits, seperti

kedhaifan hadits yang disebabkan rendahnya daya hafal rawinya atau

kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan suatu hadits. Padahal

sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi

itu salah pula dalam meriwayatkan hadits yang dimaksud, bahkan mungkin

sekali ia benar. Akan tetapi, karena ada kekhawatiran yang cukup kuat

terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadits yang

dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolaknya.

Demikian pula kedhaifan suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad.

Hadits yang demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi yang tidak

tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif.

Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif.

4
Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam

meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan kemungkinan

yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan dan

menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini

merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.

D. Pembagian Hadits Dha’if

1. Hadits Dha’if Sebab Keterputusan Dan Macam-Macamnya

Secara garis besar yang menyebabkan suatu hadits digolongkan menjadi hadits

dhaif dikarenakan dua hal, yaitu gugurnya rawi dalam sanadnya dan ada cacat

pada rawi atau matan.

Hadits dhaif karena gugurnya rawi adalah tidak adanya satu, dua atau beberapa

rawi, yang seharusnya ada dalam sanad, baik para pemulaan sanad,

pertengahan ataupun akhirnya.

Keputusan sanad ada dua bagian, yaitu:

(1) Keterputusan secara zhahir dan dapat diketahui oleh ulama hadits karena

faktor perawi yang tak pernah bertemu dengan gurunya atau tidak hidup di

zamannya. Dan dibagi empat macam, yaitu:

a. Hadits Mu’allaq

Hadits mu’allaq, ialah : “hadits perawinya, baik seseorang, baik dua orang,

baik semuanya, pada awal sanad, yaitu guru dari seseorang imam hadits.”

Mengugurkan itu dinamakan “ta’liq”

Didalam Shahih Al Bukhary banyak terdapat hadits mu’allaq tetapi diberi

hukum muttashil, walaupun derajatnya dipandang tidak setingkat dengan

yang muttashil sendiri, kecuali jika ada disana akan pada tempat yang lain.

5
Contoh; Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya ash-Shahih, Kitab

al-Iman, Bab: Husnu Islami al-Mar’i (1/17), ia mengatakan,

َ [ ‫ي أَ ْخبَ َرهُ أَنَّهُ َس ِم َع َر ُس‬


‫ول‬ َّ ‫ار أَ ْخبَ َرهُ أَ َّن أَبَا َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِر‬
ٍ ‫ أَ ْخبَ َرنِي َز ْي ُد بْنُ أَ ْسلَ َم أَ َّن َعطَا َء ْبنَ يَ َس‬:‫ك‬
ٌ ِ‫قَا َل َمال‬

َ‫ َو َك[ان‬، ‫ ِإ َذا أَ ْسلَ َم ْال َع ْب ُد فَ َحسُنَ إِ ْسالَ ُمهُ يُ َكفِّ ُر هَّللا ُ َع ْنهُ ُك َّل َسيِّئَ ٍة َكانَ َزلَفَهَا‬: ‫هللاِ صلى هللا عليه وسلم يَقُو ُل‬

َ ‫ْف َوال َّسيِّئَةُ بِ ِم ْثلِهَا إِالَّ أَ ْن يَت ََج‬


‫او َز هَّللا ُ َع ْنهَا‬ ِ ‫صاصُ ْال َح َسنَةُ بِ َع ْش ِر أَ ْمثَالِهَا ِإلَى َس ْب ِع ِمئَ ِ[ة‬
ٍ ‫ضع‬ َ ِ‫ك ْالق‬
َ ِ‫بَ ْع َد َذل‬.

“Telah berkata Malik, telah memberitakan kepada kami Zaid bin Aslam,

bahwa ‘Atha’ bin Yasar memberitahu kepadanya, bahwa Abu Sa’id al-

Khudri memberitahu kepadanya, bahwasannya ia mendengar Rasulullah

s.a.w. bersabda; Apabila seseorang masuk Islam, dengan keislaman yang

bagus maka Allah akan menghapuskan semua kejahatannya yang telah lalu.

Setelah itu balasan terhadap suatu kebaikan sebanyak sepuluh kali sampai

700 kali lipat dari kebaikan itu, dan balasan kejahatan sebayak kejahatan itu

sendiri, kecuali pelanggaran tehadap Allah.”

Al-Bukhari tidak menyebutkan nama gurunya, padahal ia meriwayatkan

hadis dari Imam Malik melalui perantara seorang ar-râwiy (periwayat).

b. Hadits Munqathi’

Hadits mungathi’ ialah : “Hadits yang gugur seseorang, atau orang dengan

tiada berturut-turut dipertengahan sanad.”

Mengetahui ada tidaknya ingitha’ atau gugur seseorang perawi, adalah

dengan mengetahui ada tidaknya bertemu antara seorang perawi, dengan

perawi lainnya. Hal ini adakalanya semuanya bertemu atau tidak pernah

bertemu.

Contoh hadits yang dari sanadnya menggugurkan perawinya adalah hadits

yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Ats-Tsauri, dari Abu Ishaq, dari

6
Zain bin Yutsayi’, dari Hadzaifah yang meriwayatkan secara Marfu’: jika

kalian serahkan urusan kekhalifahan lagi terpercaya…” Dari sanad hadits ini

antara Ats-Tsauri dan Abu Ishaq ada perawi yang digugurkan, yaitu Syarik.

Sebab Ats-Sauri tidak mendengar hadits ini secara langsung dari Abu Ishaq,

melainkan lewat Syarik. Dan Syarik inilah yang mendengar hadits dari Abu

Ishaq.

c. Hadits Mu’dhal

Hadits mu’dhal, ialah : “Hadits yang gugur dua orang perawi berturut-turut

dipertengahan sanad.” Hadits ini lebih ruwet dan tidak jelas jika

dibandingkan dengan hadits Mumqathi’, Dari sinilah datangnya penaman

mu’da (sulit dipahami, membingungkan).

Hadits Mu’dlal dianggap sebagai bagian dari hadits Mungathi’Namun

dengan suatu aspek khusus. Karena setiap hadits mu’dlal bersifat munqathi’,

tetapi tidak setiap munqathi adalah mu’dlal.Tidak ada kesinambungan dalam

sanadnya merupakan sebab kedla’ifannya, seperti halnya dalam munqathi’

dan mursal. Hadits mursal dari tabi’ut tabi’in ternasuk mu’dlal. Contohnya

adalah hadits yang diriwsystkan oleh Al-A’masi dari Asy-Sya’bi yang

berkata, “ditanyakan kepada seseorang pada hari kiamat : Apakah engkau

berbuat demikian dan demikian? Orang itu menjawab’tidak!.’ Maka

diberanguslah mulutnya”.

(2) Keterputusan yang tidak jelas dan tersembunyi. Ini tidak dapat yaitu :

a. Hadits Mudallas

Hadits mudallas, ialah “hadits yang tiada disebut dalam sanad atau

sengaja digugurkan oleh perawi nama gurunya dengan cara yang memberi

7
waham, bahwa dia mendengar hadits itu dari orang yang di sebut namanya

itu”. Perbuatan itu dinamai”tad-lis”.

Si pembuatnya, dinamai “Mudallis”. Riwayat mudalilis itu tidak diterima,

terkecuali hadits-haditsnya yang memang didengar sendiri dari gurunya.

Mudallas terbagi dua, yaitu tadlis isnad dan tadlis suyukh.

1. Tadlis isnad adalah hadits yang disampaikan oleh seseorang perawi dari

orang yang sesama dengannya dan ia bertemu sendiri dengan orang itu,

meskipun ia tidak mendengar langsung darinya. Atau dari orang yang sama

dengannya, tetapi tidak pernah bertemu, menciptakan ganbaran bahwa ia

mendengar langsung dari orang ter sebut.

2. Adlis suyukh memberi sifat kepada perawinya dengan sifat-sifat yang

lebih agung dari pada kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah

(nama julukan).

b. Hadits Mursal

Hadits mursal, baik menurut ta’rif fuqaha, maupun menurut ta’rif ahli

hadits digolongkan kedalam hadits yang tiada bersambung sanadnya.

Definisinya yang terkenal adalah hadits yang perawinya adalah

sahabat yang digugurkan (tidak di sebut namanya), seperti perkataan

Nafi’ “Rasullallah s.a.w. bersabda demikian, atau berbuat demikian, “

dan serupa. Dengan demikian, hadits yang mutlak marfu’ tabi’in besar

atau kecil, dan disandarkan lansung kepada Nabi SAW.

2. Hadits Dha’if Yang Disebabkan Cacat Selain Keterputusan Sanad Dan

Macam-Macamnya

a. Hadits Matruk

8
Hadits matruk ialah “Hadits yang diriwayatkan oleh hanya seorang

perawi yang bertuduh dusta, baik dalam soal hadits ataupun lainya,

ataupun tertuduh fasiq, atau banyak lalai atau sangka.

Contoh hadis matrûk:

‫أخبرنا القاضى أبو القاسم نا أبو علي نا عبداهلل بن محمد ذكر عبدالرحمن بن صالح األزدى نا‬

‫عمرو بن هاشم الجنى عن جوبير عن الضحاك عن ابن عباس عن النبي صلى اهلل عليه و سلم‬

ِ ُّ ‫وف فَِإنَّه يمن ع مص ارِع‬


ِ ِّ ‫ص َدقَ ِة‬
ُ‫الس ِّر فَِإ َّن َه ا تُطْفىء‬ َ ِ‫الس وء َو َعلَْي ُك ْم ب‬ َ َ َ ُ َ ْ َ ُ ِ ‫الم ْع ُر‬
َ ‫اع‬ ْ ِ‫قال َعلَْي ُك ْم ب‬
ِ َ‫اص طَن‬

‫ب َع َّز َو َج َّل‬
ِّ ‫الر‬
َّ ‫ب‬َ‫ض‬
َ َ‫غ‬

)٦ ‫ رقم‬، ٢٥ ‫أخرجه ابن أبى الدنيا فى قضاء الحوائج (ص‬

“Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian

yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena

sedekah tersembunyi akan memadamkan murka Allah SWT”.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dari Ibnu Abbas.

Di dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-

Azdiy. An-Nasa’i, ad-Daruquthni, dan lain-lain mengatakan bahwa

َ ْ‫( الَ بَأ‬Ia tidak


haditsnya ditinggalkan (matrûk). Ibnu Ma’in berkata, “ ‫س بِ ِه‬

ada apa-apanya)”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya),

ِ ‫( ْال ُمتَّهَ ُم بِ ْال َك ِذ‬tertuduh berdusta)”.


ini berarti ia “‫ب‬

b. Hadits Munkar

Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah

yang menyalahi riwayat orang kepercayaan, atau riwayat orang yang

kurang lemah dari padanya. Lawannya dinamai ma’ruf.

9
Contoh:

َ ‫ َع ْن أَبِي إِ ْس َح‬، ‫ ن ا َم ْع َم ٌر‬، ‫َّاق‬


‫ َع ِن ال َْع ْي َزا ِر بْ ِن‬، ‫اق‬ ِ ِ‫ح َّد َثنَا مح َّم ُد بْن َع ْب ِد الْمل‬
ِ ‫ ن ا َع ْب ُد ال َّرز‬، ‫ك‬
َ ُ َُ َ

َّ ‫الص اَل ةَ َوآتَى‬ ٍ ْ‫ح ري‬


َّ ‫ أ‬، ‫ث‬
ٍ َّ‫َن ابْ َن َعب‬
‫ت‬
َ ‫الز َك اةَ َو َح َّج الَْب ْي‬ َّ ‫ ” َم ْن أَقَ َام‬: ‫ال‬ ُ ‫ أَتَ اهُ اأْل َ ْع َر‬، ‫اس‬
َ ‫ َف َق‬, ‫اب‬ َُ

َ‫ْجنَّة‬
َ ‫ف َد َخ َل ال‬
َ ‫* “ َو َق َرى الض َّْي‬

“Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan

haji dan menghormati tamu, niscaya masuk surga.” (HR Abu Ishaq dari

Abdullah bin Abbas)”

Hadis di atas memiliki ar-ruwât (para periwayat) yang lemah dan

matannya pun berlainan dengan matan-matan hadis yang lebih kuat.

c. Hadits Syadz

Hadits syadz ialah hadits yang diriwaytkan oleh perawi yang kepercayaan

yang menytalahi riwayat orang rana yang kepercayaan pula.

Dalam hal itu, ada yang tidak mensyaratkan mukhallafah. Mereka

berpendapat, bahwa syadz itu ialah sesuai yang diriwayatkan oleh hanya

seorang kepercayaan, tidak ada orang yang meriwayatkan hadits itu srlain

dari orang itu sendiri.

d. Hadits Mu’allal

Hadits mu’allal ialah hadits yang terdapat padanya sebab-sebab yang

tersembunyi yang diketahui sebab-sebab itu sesudah dilakukan

pemeriksaan yang mendalam, sedang pada lahirnya dia tidak ber

penyakit.

Menemukan cacat (illat) hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas,

ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab, illat itu sendiri

10
samar lagi tersembunyi, bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu

hadits-hadits. Ibnu Gajar berkata “menemukan illat ini termasuk bagian

ilmu hadits yamg paling samara dan paling rumit. Yang bias

melaksanakannya hanyalah orang yang oleh Allah di beri pemahaman

yang tajam, pengetahuan yang sempurna terhadap sanad-sanad dan

matan-matan.

Cara mengenal hadits mu’allal adalah dengan mengumpulkan jalur-jalur

para perawinya, kekuatan ingatan mereka, serta kepintaran mereka.

Contoh:

ِ ِِ
ْ ‫الَْبِّي َعان بالْخيَا ِر َما ل‬
‫َم َيَت َف َّرقَا‬

“(Rasulullah s.a.w. bersabda): “penjual dan pembeli boleh berkhiyar,

selama mereka belum berpisah”.

Hadis di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada

Sufyan ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu Umar.

Matan hadis ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan

seksama, sanadnya memiliki ‘illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin

Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.

(3) Keterputusan yang tidak jelas dan tersembunyi. Ini tidak dapat diketahui

kecuali para ulama yang mendalami jalan hadits dan illat-illat.

a. Hadits Mudltharab

Hadits mudltharab ialah Hadits yang berlawan-lawanan riwayatnya atau

matannya, baik di lakukan oleh perawi yang seorang atau oleh banyak

perawi, dengan mendahulukan, mengemudiakan, menambah, mengurangi

11
ataupun mengganti, serta tidak dapat di kuatkan salah satu riwayatnya

atau satu matannya.

Contoh idlthirab pada sanad ialah pada hadits Abu Bakar. Ia bertanya

kepada Rasulullah s.a.w. “ya rosulallah, aku melihat anda berubah.”

Rasulullah bersabda “Surat Hud dan semisalnya telah membuatku

berubah.”

b. Hadits Maqlub

Hadits maqlub ialah sesuatu hadits yang telah terjadi padanya kekhilafan

pada seorang perawi dengan mendahulukan yang kemudian, atau

mengemudiankan yang dahulu.

c. Hadits Mudraj

Hadits mudraj ialah Hadits yang di sisipkan kedalam matannya sesuatu

perkataan perkataan orang lain, baik orang itu shahaby, ataupun tabi’in untuk

menerangkan makna.

Sesuatu hadits yang dapat di ketahui mana kata-kata yang kedalamnya, dapat

di pandang shahih dengan mengeluarkan kata-kata itu. Tetapi jika tidak lagi

dapat di bedakan nama kata-kata sisipan itu, masuklah ia kedalam dha’if.

d. Hadits Mushahaf

Hadits Mushahhaf ialah hadits yang telah terjadi pada perubahan huruf

sedang rupa tulisannya masih tetap.

e. Hadits Muharaf.

Hadits Muharaf ialah hadits yang telah terjadi padannya perubahan baris.

f. Hadits Mubham

12
Hadits mubham ialah hadits yang terdapat dalam sanadnya seorang perawi

yang tidak disebut namanya baik lelaki maupun perempuan.

3. Kehujjahan Hadits Dha’if

Adapun tentang hadits dha’if, ada dua pendapat tentang boleh atau tiudaknya

diamalkan, atau dijadikan hujjah. Yakni :

1. Imam bukhari, Muslim, Ibnu Hasm dan Abu Bakar Ibnul Araby

menyatakan,hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan atau jadikan hujjah,

baik untuk masalah yang berhubungan dengan hokum maupun untuk keutamaan

amal.

2. Imam Ahmad bin Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar Al-

Asqalany menyatakan, bahwa hadits dha’if dapat dijadikan hujjah (diamalkan)

hanya untuk dasar keutamaan amal (fadla’ilul’amal), dengan syarat:

a. Para rawi yang meriwayatkan hadits itu, tidak terlalu lemah.

b. Masalah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok yang

ditetapkan oleh Al-qur’an dan hadits shahih.

c. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.

Prof T. M Hasbi mengingatkan, bahwa yang dimaksud dengan “fadlalluamal” atau

keutamaan amal dalam hal ini, bukanlah dalam arti untuk menjelaskan tentang

faedah atau kegunaan dari sesuatu amal. Adapun yang berhubungan dengan

penetapan hukum, demikian prof. Hasbi menjelaskan, para ulama hadits sepakat

tidak membolehkan menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah atau dalilnya.

13
Dokter Muhammad Ajjaj Al-Khattib menyatakan, bahwa golongan yang menolak

hadits dha’if sebagai hujjah adalah golongan yang lebih selamat. Diantara

alasannya, bahwa baik soal fadla’ilul’amal, maupun soal maqrimul ahlaq,

merupakan bagian dari tiang agama, sebagaimana halnya masalah huku, karena

itu, hadits yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkannya, haruslah hadits yang

berkualitas shahih atau hasan dan yang bukan berkualitas Dha’if.

Dengan pendapat para ulama tersebut dapat disimpulkan, bahwa memang sangat

perlu untuk mengetahui kualitas suatu hadits agar terhindar dari pengalaman

agama atau pengungkapan dalil agama berdasarkan hadits dha’if.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata dhaif menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan dari qawi (yang

kuat). Sebagai lawan dari kata shahih, kata dhaif juga berarti saqim (yang

sakit). Maka sebutan hadis dhaif secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang

sakit, yang tidak kuat. Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya

dengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungannya sama.

Pada hadits dhaif banyak dugaan bahwa hadits tersebut bukan berasal dari

Rasulullah, disebabkan ada kecacatan pada perawi , pada meriwayatkan hadits

tersebut. Tetapi bukan berarti hadits tersebut tidak benar. Karena para ulama

14
ahli hadits tidak sembarangan dalam menetapkan keshahihan suatu hadits.

Inilah bukti ketelitian para ulama ahli hadits dalam mengambil hadits tersebut

dari para perawi.

Hadis dha’if dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadis dha’if

karena gugurnya ar-râwiy dalam sanadnya, dan hadis dha’if karena adanya

cacat pada ar-râwiy atau matn (matan/teks).

DAFTAR PUSTAKA

Hariyanto, Muhsin, 2013. Hadits shahih, hasan dan dha'if, pengertian, ciri-

ciri dan kehujjahannya. http://muhsinhar.http://staff.umy.ac.id/hadis-shahih-

hasan-dan-dhaif-pengertian-ciri-ciri-dan-kehujahannya/.

15

Anda mungkin juga menyukai