Anda di halaman 1dari 3

1.

Pengertian Pendidikan Karakter


Pendidikan Karakter merupakan sebuah istilah yang semakin hari semakin
mendapatkan pengakuan dari masyarakat Indonesia saat ini. Terlebih dengan
dirasakannya berbagai ketimpangan hasil pendidikan dilihat dari perilaku lulusan
pendidikan formal saat-saat ini, semisal korupsi, perkembangan seks bebas pada
kalangan remaja, perampokan oleh pelajar dan pengangguran lulusan sekolah
menengah dan atas.
Istilah pendidikan karakter masih jarang didefinisikan oleh banyak kalangan.
Kajian secara teoritis terhadap pendidikan karakter bahkan salah-salah dapat
menyebabkan salah tafsir tentang makna pendidikan karakter.
Pendidikan Karakter, menurut Ratna Megawangi (2004:95), “sebuah usaha
untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan
kontribusi yang positif kepada lingkungannya.” Definisi lainnya dikemukakan oleh
Fakry Gaffar (2010:1): “Sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk
ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam
perilaku kehidupan orang itu.” Dalam definisi tersebut, ada tiga ide pikiran penting,
yaitu: 1) proses transformasi nilai-nilai, 2) ditumbuhkembangkan dalam kepribadian,
dan 3) menjadi satu dalam perilaku.
“Pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak
secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah.”
Definisi ini mengandung makna:
1) Pendidikan Karakter merupakan pendidikan yang terinterigasi dengan
pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran;
2) Diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh.
Asumsinya anak merupakan organisme menusia yang memiliki potensi untuk
dikuatkan dan dikembangkan;
3) Penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk
sekolah (lembaga).

2. Tujuan Pendidikan Karakter


Pada hakikatnya, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan
konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi
masa depan untuk dapat bertahan hidup dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan
zamannya.
Mencermati fungsi pendidikan nasional, yakni mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak dan peradaban bangsa seharusnya memberikan pencerahan yang
memadai bahwa pendidikan harus berdampak pada watak manusia/bangsa Indonesia.
Fungsi ini amat berat untuk dipikul oleh pendidikan nasional, terutama apabila
dikaitkan dengan siapa yang bertanggungjawab untuk keberlangsungan fungsi ini.
“Mengembangkan kemampuan” dapat dipahami bahwa pendidikan nasional
menganut aliran konstruktivisme, yang mempercayai bahwa peserta didik adalah
manusia yang potensial dan dapat dikembangkan secara optimal melalui proses
pendidikan. Artinya setiap layanan pendidikan yang ada di Indonesia harus dipersepsi
secara sama bahwa peserta didik itu memiliki potensi yang luar biasa dan perlu di
fasilitasi melalui proses pendidikan untuk mengembangkan potensinya. Namun
demikian, kemampuan apa yang harus dikembangkan oleh pendidikan itu masih
belum tersirat secara jelas, apakah kemampuan watak yang perlu dikembangkan
dalam pendidikan atau kemampuan akademik, kemampuan sosial, kemampuan religi,
ini pun belum secara jelas dapat dipahami.
Fungsi kedua, “membentuk watak” mengandung makna bahwa pendidikan
nasional harus diarahkan pada pembentukan watak. Pendidikan yang berorientasi
pada watak peserta didik merupakan suatu hal yang tepat, tetapi perlu diperjelas
mengenai istilah perlakuan terhadap “watak”. Apakah watak itu harus
“dikembangkan”, “dibentuk”, atau “difasilitasi”. Perspektif pedagogik, lebih
memandang bahwa pendidikan itu mengembangkan/menguatkan/memfasilitasi watak,
bukan membentuk watak. Jika watak dibentuk, maka tidak ada proses
pedagogik/pendidikan, yang terjadi adalah pengajaran. Perspektif pedagogik
memandang dan mensyaratkan untuk terjadinya proes pendidikan harus ada
kebebasan peserta didik sebagai subjek didik, bukan sebagai objek. Jika peserta didik
diposisikan sebagai objek, maka hal ini tentu bertolak belakang dengan fungsi yang
pertama, bahwa pendidikan itu berfungsi untuk mengembangkan kemampuan yang
dilandasi oleh pandangan konstruktivisme.
Fungsi ketiga, “peradaban bangsa”. Dalam spektrum pendidikan nasional
dapat dipahami bahwa pendidikan itu selalui dikaitkan dengan pembangunan bangsa
Indonesia sebagai suatu bangsa. Apabila dikaitkan dengan indikator peradaban seperti
apa yang dapat mempresentasikan pendidikan nasional dan siapa yang
bertanggungjawab untuk fungsi ini maka kondisi ini menjadi samar untuk menjadikan
manusia yang terdidik. Jadi tidak serta merta manusia yang terdidik akan menjadikan
bangsa yang beradab. Analisis ini merujuk pada waktu terwujudnya sejak dimilikinya
manusia terdidik sampai terwujudnya bangsa yang terdidik itu akan memerlukan
waktu yang cukup panjang. Dengan kata lain, bangsa yang beradab merupakan
dampak dari pendidikan yang menghasilkan manusia terdidik.
Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas mengandung
filosofi pendidikan sebagai educare, yang untuk zaman sekarang sudah kurang
memadai dan sebaiknya disempurnakan atau dilengkapi. Sebab filosofi pendidikan
educare lebih cenderung mau mengajar, melatih dan melengkapi data peserta didik
dengan pengetahuan dan keterampilan. Karena itu, filosofi pendidikan educare amat
memberi penekanan pada materi yang diajarkan, disertai sistem penilaian yang baku
dan kaku yang harus dilaksanakan.
Singkat kata, bahwasannya tujuan pendidikan nasional mengarah pada
pengembangan berbagai karakter manusia Indonesia, walaupun dalam
penyelenggaraannya masih jauh dari apa yang dimaksudkan dalam UU. Secara
singkat, pendidikan nasiional seharisnya pendidikan karakter bukan pendidikan
akademik semata.
Tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan
pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika
proses sekolah maupun setelah proses sekolah. Penguatan dan pengembangan
memiliki makna bahwa pendidikan dalam seting sekolah bukanlah sekedar suatu
dogmatisasi nilai kepada peserta didik, tetapi sebuah proses yang membawa peserta
didik untuk memahami dan merefleksi bagaimana suatu nilai menjadi penting untuk
diwujudkan dalam perilaku keseharian manusia, termasuk bagi anak. Penguatan juga
mengarahkan proses pendidikan pada proses pembiasaan yag disertai oleh logika dan
refleksi terhadap proses pembiasaan yang dilakukan oleh sekolah baik dalam seting
kelas maupun sekolah. Penguatan pun memiliki makna adanya hubungan antara
penguatan perilaku melalui pembiasaan di sekolah dengan pembiasaan di rumah.
Berdasarkan kerangka hasil/output pendidikan karakter seting sekolah pada
setiap jenjang, maka lulusan sekolah akan memiliki sejumlah perilaku khas
sebagaimana nilai yang dijadikan rujukan oleh sekolah tersebut.
Asumsi yang terkandung dalam tujuan pendidikan karakter yang pertama ini
adalah bahwa penguasaan akademik diposisikan sebagai media atau sarana untuk
mencapai tujuan penguatan dan pegembangan karakter. Atau dengan kata lain sebagai
tujuan perantara untuk terwujudnya suatu karakter. Hal ini berimplikasi bahwa proses
pendidikan harus dilakukan secara kontekstual.
Tujuan kedua pendidikan karakter adalah mengoreksi perilaku peserta didik
yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Tujuan
ini memiliki makna bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan
berbagai perilaku anak yang negatif menjadi positif. Proses pelurusan yang dimaknai
sebagai pengkoreksian perilaku dipahami sebagai proses yanmg pedagogis, bukan
suatu pemaksaan atau pengkondisian yang tidak mendidik. Proses pedagogis dalam
pengkoreksian perilaku negatif diarahkakn pada pola pikir anak, kemudian dibarengi
dengan keteladanan lingkungan sekolah dan rumah, dan proses pembiasaan
berdasarkan tingkat dan jenjang sekolahnya.
Tujuan ketiga dalam pendidikan karakter seting sekolah adalah membangun
koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung
jawab pendidikan karakter secara bersama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses
pendidikan karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan
dikeluarga. Jika saja pendidikan karakter di sekolah hanya bertumpu pada interaksi
antara peserta didik dengan guru di kelas dan sekolah, maka pencapaian berbagai
karakter yang diharapkan akan sangat sulit diwujudkan. Mengapa demikian? Karena
penguatan perilaku merupakan suatu hal yang menyeluruh bukan suatu cuplikan dari
rentangan waktu yang dimiliki oleh anak. Dalam setiap menit dan detik interaksi anak
dengan lingkungannya dapat dipastikan akan terjadi proses mempengaruhi perilaku
anak.

Anda mungkin juga menyukai