Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien
“ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang
yang sudah syahid ”
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman
Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus
bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa
berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya
sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus
berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya
kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di
Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha
mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil
dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil
melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan
ibunya.
3. Masa Tua dan Kematian
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ.
Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien
akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya
akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan
pejuang yang belum tunduk. Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh
lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan
perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan
identitas tahanan. Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut
Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur
Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
4. Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data
yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara
sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak
sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh
di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari
pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap
bulan November. Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat
melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam
yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987.
Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas
1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak
batu nisan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi. Pada batu nisan Cut
Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr,
serta hikayat cerita Aceh. Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang
karena Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik
Indonesia. Selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat. Kini, makam
ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah
Sumedang tidak memberikan dana.
5. Apresiasi
a. Biografi dalam Seni
Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet
Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi
Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet
Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini
memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia
pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989). Pada 13 April 2014,
sebuah karya seni untuk mengenang semangat perjuangan dan perjalanan hidup Cut
Nyak Dhien (CND) dalam bentuk teater monolog yang dimainkan dan disutradarai
oleh Sha Ine Febriyanti; dipentaskan pertama kali di Auditorium Indonesia Kaya,
Jakarta. Naskah berdurasi 40 menit yang ditulis oleh Prajna Paramita tersebut
kemudian dipentaskan kembali pada 2015 di Jakarta, Pekalongan, Magelang,
Semarang, dan Banda Aceh. Rencananya, teater monolong CND juga akan
dipentaskan di Australia dan Belanda. Biografi beliau juga pernah dituangkan dalam
bentuk cerita bergambar secara berseri dalam majalah anak-anak Ananda.
b. Pengabdian
Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien.
Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp10.000,00 yang dikeluarkan tahun
1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.
Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.
Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya.
Masjid Cut Nyak Dien, Jakarta.
Museum Rumah Cut Nyak Dhien, Banda Aceh.