BAB IV
HUKUM KELUARGA
A. PENDAHULUAN
1. ISTILAH DAN DEFENISI HUKUM KELUARGA
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht (Belanda) atau Law of
Family (Inggris). Menurut Ali Afandi, Hukum Keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan
yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan,
keadaan tak hadir). Dari pendapat Ali Afandi tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum
kekeluargaan mengatur hubungan yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat
antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena
perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan
keluarga sedarah dari isteri (suaminya).
Pendapat lainnya, Tahir Mahmoud mengartikan hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip
hukum yang diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara
umum diyakini memiliki aspek religious menyangkut peraturan keluarga, perkawinan,
perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas
kawin, perwalian, dan lain-lain. Konsep ini pada dasarnya mengkaji dua sisi, yaitu tentang
prinsip hukum dan ruang lingkup hukum. Prinsip hukum berdasarkan ketaatan beragama.
Sedangkan ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam
rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.
Sedangkan menurut Salim HS, hukum keluarga adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum
(tertulis dan tidak tertulis) yang mengatur hubungan hukum mengenai perkawinan, perceraian,
harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
Dari beberapa defenisi ini Titik Triwulan Tutik menyimpulkan bahwa hukum keluarga
merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi :
a. Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan;
b. Peraturan perceraian;
c. Peraturan kekuasaan orang tua;
d. Peraturan kedudukan anak;
e. Peraturan pengampuan (curatele); dan
f. Peraturan perwalian (voogdij).
a. Hak dan Kewajiban sebagai akibat yang timbul dari hubungan suami isteri, meliputi:
a) Suami isteri saling setia, saling tolong menolong dan saling bantu membantu atau hulp en
bijstand (Pasal 105 BW);
b) Isteri harus patuh pada suaminya (Pasal 105 BW);
c) Isteri wajib mengikuti suami (Pasal 106 ayat 2 BW);
d) Suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu yang diperlukan istrinya, sesuai
kedudukan dan kemampuannya (Pasal 107 BW);
e) Suami isteri saling mengikatkan secara timbal balik untuk memelihara dan mendidik
anak mereka (Pasal 104 BW dan Pasal 298 ayat 2 BW).
Undang-Undang Perkawinan meletakkan, bahwa hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Menurut Pasal 34 Undang-
Undang Perkawinan menegaskan, bahwa: (1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (2) Isteri wajib
mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; dan (3) Jika suami atau istri melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat mengajukan kepada pengadilan.
b. Hak dan Kewajiban sebagai akibat yang timbul dari kekuasaan suami (marital macht),
meliputi antara lain :
a. Suami menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya;
b. Wajib nafkah (kewajiban alimentasi); suami wajib memelihara istrinya; orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum cukup umur; anak-anak yang telah
dewasa wajib memelihara orang tuanya, kakek neneknya atau keluarga sedarah menurut
garis lurus, yang dalam keadaaan miskin; menantu wajib memelihara mertua dan sebaliknya;
c. Istri mengikuti kewarganegaraan suaminya;
d. Istri mengikuti tempat tinggal suaminya;
e. Istri menjadi tidak cakap bertindak. Di dalam segala perbuatan hukum ia memerlukan
bantuan suaminya, kecuali dalam beberapa hak antara lain: Perbuatan sehari-hari guna
keperluan rumah tangga; Mengadakan perjanjian kerja sebagai majikan guna kepentingan
rumah tangga Melakukan pekerjaan bebas (dokter, pengacara); Membuat wasiat; Membuat
perjanjian kerja sebagai buruh; Memperoleh hak milik atas sesuatu benda; Menyimpan dan
mengambil uang di Bank; Menggugat perceraian, dan sebagainya.
f. Suami berhak mengurus dan menguasai harta perkawinan gabungan jika sebelumnya tidak
diadakan perjanjian harta perkawinan pisah.
g. Isteri mengurus harta kekayaan sendiri, jika sebelumnya diadakan perjanjian harta
perkawinan pisah.
3) Tidak memindah tangankan harta kekayaan si anak tanpa ijin si anak atau
pengadilan.
Menurut Pasal 309 KUH Perdata menyatakan bahwa orang yang menjalankan kekuasaan
orang tua (behender ouder) tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat
memutuskan (beschikken) atas harta kekayaan anak-anaknya yang masih minderjarig tanpa
memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Bab XV Buku Pertama KUH Perdata. Selanjutnya
berdasarkan Pasal 393, dinyatakan bahwa orang yang menjalankan kekuasaan orang tua hanya
dapat memindahkan atau membebani (hypotheek atau pand) barang-barang anaknya hanya
dengan kuasa pengadilan. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthena Pohan mengatakan bahwa
apa yang dimaksud dengan beschikken termasuk pula dalamnya meminjam uang untuk keperluan
anak. Dengan meminjam uang ini berarti secara tidak langsung harta kekakayaan anak terikat,
sehingga suatu waktu dapat disita dan dijual lelang, jika pinjaman uang tersebut tidak dibayar.
BAB V
PERWALIAN DAN PENGAMPUAN
A. PERWALIAN
1. Pendahuluan
Pada dasarnya setiap orang mempunyai 'kekuasaan berhak' karena manusia merupakan
subyek hukum. Tetapi tidak setiap orang cakap melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Secara
umum, orang-orang yang disebut meerderjarigheid (cakap hukum) dapat melakukan perbuatan-
perbuatan hukum secara sah, kecuali jika undang-undang tidak menentukan demikian. Misalnya,
seorang pria yang telah genap mencapai umur 18 tahun sudah dianggap cakap untuk
melangsungkan perkawinan.
Batasan umur seseorang agar dianggap sebagai meerderjarig (cakap hukum/dewasa) atau
minderjarig (tidak cakap hukum/belum dewasa) tidak sama untuk setiap negara. Menurut Pasal
330 KUH Perdata, terdapat tiga ketentuan penting yang berkaitan dengan status hukum anak
apakah sebagai meerderjarig atau minderjarig:
Ayat 1 : Batas antara minderjarigheid dan meerderjarigheid, yaitu 21 tahun, kecuali jika:
a. Anak tersebut sudah kawin sebelum mencapai umur genap 21 tahun; dan
b. Perlunakan [handleichting atau veniaaetatis] Pasal 419 KUH Perdata, dan
selanjutnya.
Ayat 2 : Pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang yang belum mencapai umur genap
21 tahun, tidak berpengaruh terhadap status meerderjarigheid yang telah
diperolehnya;
Ayat 3 : Mereka yang masih minderjarigheid dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua
akan berada di bawah perwalian.
2. Asas Perwalian
Ketentuan tentang perwalian diatur dalam KUH Perdata Pasal 331 sampai dengan Pasal
344 dan Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang
anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di tangan kekuasaan orang tua. Jadi bagi anak
yang orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau semua telah meninggal
dunia, berada di bawah perwalian. Terhadap anak di luar kawin, maka karena tidak ada
kekuasaan orang tua anak ini selalu di bawah perwalian.
Anak yatim piatu dan anak-anak yang belum cukup umur dan tidak dalam kekuasaan
orang tua memerlukan pemeliharaan dan bimbingan; karena itu harus ditunjuk wali yaitu orang
atau perkumpulan-perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan-keperluan hidup anak-
anak tersebut (Pasal 331 BW jo Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974).
1) Perwalian dari orang tua yang masih hidup setelah salah seorang meninggal dunia
lebih dahulu.
Pasal 354 KUHPer. menentukan bahwa orang tua yang hidup terlama (langstlevende
ouder) dengan sendirinya menjadi wali. ketentuan ini tidak mengadakan perkecualian bagi suami
istri yang hidup terpisah karena perkawinan yang bubar oleh perceraian atau pisah meja dan
tempat tidur. Jadi, apabila ayah menjadi wali setelah perceraian, dan kemudian la meninggal
dunia, maka dengan sendirinya (van rechtwege) ibu menjadi wali atas anak tersebut.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip dari perwalian oleh orang tua (suami
istri). Perbedaan hanya ada dalam dua hal. yaitu: (1) Curator (Pasal 348 KUHPer), dan (2)
perkawinan baru.
a) Curator
Apabila ayah meninggal dunia saat itu ibu dalam keadaan mengandung, maka Balai Harta
Peninggalan menjadi pengampu (curator) atas anak yang berada dalam kandungan dengan cara-
cara seperti yang telah ditetapkan dalam pengangkatan wali. Jika anak itu lahir, maka ibu dengan
sendirinya menjadi wali dan Balai Peninggalan harta sebagai pihak pengampu akan menjadi
pengampu pengawas.
b) Perkawinan Baru
Jika ibu selaku wali kawin lagi, maka suami yang tidak dikecualikan (dipecat) sebagai wali
dengan sendirinya menjadi wali peserta (medevoogdij). Suami bersama-sama istrinya, yang
berperan sebagai wali ibu, harus bertanggung-jawab secara tanggung renteng terhadap semua
perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung.
Perwalian peserta suami istri akan dihapus dalam kasus-kasus, antara lain:
a) Perpisahan meja dan tempat tidur atau jika terdapat perpisahan kebersamaan atau persatuan
harta perkawinan;
b) Jika suami dipecat dari medevoogdij; dan
c) Jika peran wali ibu berhenti.
2) Perwalian yang ditunjuk dengan surat wasiat (testament) atau Akte khusus.
Menurut Pasal 355 ayat (1) B.W, menentukan bahwa masing-masing orang tua yang
melakukan kekuasaan orang tua atau menjalankan perwalian atas seseorang anak atau lebih,
berhak mengangkat seorang wali atas anak-anak itu jika sesudah ia meninggal dunia perwalian
itu tidak terdapat pada orang tua yang lain, baik dengan sendirinya ataupun karena putusan
hakim. Ketentuan ini mengandung makna, bahwa masing-masing orang tua yang menjadi wali
atau memegang kekuasaan orang tua, berhak mengangkat wali jika perwalian tersebut memang
masih terbuka.
Dengan pengangkatan seorang wali mengakibatkan orang tua yang mengangkat itu secara
hukum tidak menjadi wali atau melakukan kekuasaan orang tua pada saat ia meninggal (Pasal
356 B.W).
d. Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1) Dalam hubungan dengan keadaan anak; dan
2) Dalam hubungan dengan tugas wali.
1) Dalam hubungan dengan keadaan anak
Dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena:
a) Si anak yang di bawah perwalian telah dewasa (meerderjarig);
b) Si anak (minderjarige) meninggal dunia;
c) Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya (ouderlijkkemacth); dan
d) Pengesahan seorang anak luar kawin.
2) Dalam hubungan dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena:
a) Wali meninggal dunia;
b) Dibebaskan atau dipecat dari perwalian (ontzetting of ontheffing);dan
c) Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari pewalian (Pasal 380 B.W). Sedangkan syarat
utama untuk dipecat [ontzet] sebagai wali, ialah karena disandarkan pada kepentingan
minderjarige itu sendiri.
Pada setiap akhir perwaliannya, seorang wali wajib mengadakan perhitungan tanggung
jawab penutup. Perhitungan ini dilakukan dalam hal:
1) Perwalian yang sama sekali dihentikan, yaitu kepada minderjarige atau kepada ahli
warisnya;
2) Perwalian yang dihentikan karena diri (person) wali, yaitu kepada yang menggantinya; dan
3) Minderjarige yang sesudah berada di bawah perwalian, kembali lagi berada di bawah
kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu minderjarige itu (Pasal 409 B.W).
B. Pengampuan
Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seorang yang
telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa. Orang yang ditaruh di bawah
pengampuan disebut curandus, pengampunya disebut curator dan pengampuannya disebut
curatele. Menurut Pasal 433 KUHPer, setiap orang dewasa yang menderita sakit ingatan, boros,
dungu dan mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan. Setiap anak yang belum dewasa
yang berada dalam keadaan dungu, sakit ingatan atau mata gelap, tak boleh ditaruh di bawah
pengampuan, melainkan tetaplah ia di bawah pengawasan bapak dan ibunya atau walinya (Pasal
462 KUHPer).
1) Pengajuan permohonan pengampuan
Pengampuan ini terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan dengan adanya
permohonan pengampuan. Yang dapat mengajukan permohonan pengampuan adalah:
1) Keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya, dalam hal keadaannya dungu, sakit
ingatan atau mata gelap (Pasal 434 ayat 1 KUHPer).
1) Keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh keluarga semenda dalam garis
menyimpang sampai dengan derajat keempat, dalam hal karena keborosannya (Pasal
434 ayat 2 KUHPer).
2) Suami atau isteri boleh meminta pengampuan akan isteri atau suaminya (Pasal 434 ayat
3 KUHPer).
3) Diri sendiri, dalam hal ia tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri (Pasal 434 ayat
4 KUHPer).
4) Kejaksaan, dalam hal mata gelap, keadaan dungu atau sakit ingatan (Pasal 435 KUHPer).
Setiap permintaan akan pengampuan, harus diajukan ke Pengadilan Negeri di mana
orang yang dimintakan pengampuannya itu berdiam (Pasal 436 KUHPer). Pengampuan
mulai berlaku sejak putusan atau penetapan. diucapkan (Pasal 446 ayat I KUHPer).