Anda di halaman 1dari 18

Nama : Ahmad Zaini Syukri

Prodi : Perbandingan Mazahab


Matkul : Hukum Perdata

BAB IV
HUKUM KELUARGA

A. PENDAHULUAN
1. ISTILAH DAN DEFENISI HUKUM KELUARGA
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht (Belanda) atau Law of
Family (Inggris). Menurut Ali Afandi, Hukum Keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan
yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan,
keadaan tak hadir). Dari pendapat Ali Afandi tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum
kekeluargaan mengatur hubungan yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat
antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena
perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan
keluarga sedarah dari isteri (suaminya).
Pendapat lainnya, Tahir Mahmoud mengartikan hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip
hukum yang diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara
umum diyakini memiliki aspek religious menyangkut peraturan keluarga, perkawinan,
perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas
kawin, perwalian, dan lain-lain. Konsep ini pada dasarnya mengkaji dua sisi, yaitu tentang
prinsip hukum dan ruang lingkup hukum. Prinsip hukum berdasarkan ketaatan beragama.
Sedangkan ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam
rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.
Sedangkan menurut Salim HS, hukum keluarga adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum
(tertulis dan tidak tertulis) yang mengatur hubungan hukum mengenai perkawinan, perceraian,
harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
Dari beberapa defenisi ini Titik Triwulan Tutik menyimpulkan bahwa hukum keluarga
merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi :
a. Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan;
b. Peraturan perceraian;
c. Peraturan kekuasaan orang tua;
d. Peraturan kedudukan anak;
e. Peraturan pengampuan (curatele); dan
f. Peraturan perwalian (voogdij).

2. SUMBER DAN ASAS HUKUM KELUARGA


Sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni sumber hukum
keluarga tertulis dan sumber hukum perdata tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis
merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh sebagian besar
masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber hukum
keluarga tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan
perjanjian (traktat).
Hingga saat ini sumber hukum keluarga tertulis di Indonesia, meliputi :
(1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
(2) Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdehuwelijk), Stb. 1898 - 158 ;
(3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon (Huwelijke
Ordonnantie Christen Indonesiers), Stb. 1933 – 74;
(4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
(beragama Islam);
(5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
(6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
(7) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
(8) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

B. KEKUASAAN ORANG TUA (VAN DE OUDERLIJKE MACHT)


Ikatan perkawinan pada dasarnya akan mengakibatkan hubungan hukum tentang hak dan
kewajiban; Pertama, hak dan kewajiban antara suami istri; Kedua, hak dan kewajiban suami is-
teri terhadap anak-anaknya; dan Ketiga, hubungan hukum dalam kaitannya dengan pihak ketiga.
1. Hak dan Kewajiban antara Suami Istri
Hak dan kewajiban yang harus dipikul oleh suami dan istri dapat dibedakan menjadi dua
hal, yaitu:
a. Sebagai akibat yang timbul dari hubungan suami isteri
b. Sebagai akibat yang timbul dari kekuasaan suami (maritale macht).

a. Hak dan Kewajiban sebagai akibat yang timbul dari hubungan suami isteri, meliputi:
a) Suami isteri saling setia, saling tolong menolong dan saling bantu membantu atau hulp en
bijstand (Pasal 105 BW);
b) Isteri harus patuh pada suaminya (Pasal 105 BW);
c) Isteri wajib mengikuti suami (Pasal 106 ayat 2 BW);
d) Suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu yang diperlukan istrinya, sesuai
kedudukan dan kemampuannya (Pasal 107 BW);
e) Suami isteri saling mengikatkan secara timbal balik untuk memelihara dan mendidik
anak mereka (Pasal 104 BW dan Pasal 298 ayat 2 BW).
Undang-Undang Perkawinan meletakkan, bahwa hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Menurut Pasal 34 Undang-
Undang Perkawinan menegaskan, bahwa: (1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (2) Isteri wajib
mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; dan (3) Jika suami atau istri melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat mengajukan kepada pengadilan.

b. Hak dan Kewajiban sebagai akibat yang timbul dari kekuasaan suami (marital macht),
meliputi antara lain :
a. Suami menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya;
b. Wajib nafkah (kewajiban alimentasi); suami wajib memelihara istrinya; orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum cukup umur; anak-anak yang telah
dewasa wajib memelihara orang tuanya, kakek neneknya atau keluarga sedarah menurut
garis lurus, yang dalam keadaaan miskin; menantu wajib memelihara mertua dan sebaliknya;
c. Istri mengikuti kewarganegaraan suaminya;
d. Istri mengikuti tempat tinggal suaminya;
e. Istri menjadi tidak cakap bertindak. Di dalam segala perbuatan hukum ia memerlukan
bantuan suaminya, kecuali dalam beberapa hak antara lain: Perbuatan sehari-hari guna
keperluan rumah tangga; Mengadakan perjanjian kerja sebagai majikan guna kepentingan
rumah tangga Melakukan pekerjaan bebas (dokter, pengacara); Membuat wasiat; Membuat
perjanjian kerja sebagai buruh; Memperoleh hak milik atas sesuatu benda; Menyimpan dan
mengambil uang di Bank; Menggugat perceraian, dan sebagainya.
f. Suami berhak mengurus dan menguasai harta perkawinan gabungan jika sebelumnya tidak
diadakan perjanjian harta perkawinan pisah.
g. Isteri mengurus harta kekayaan sendiri, jika sebelumnya diadakan perjanjian harta
perkawinan pisah.

2. Hak dan Kewajiban/Kekuasaan Suami Istri terhadap Anak-anaknya


Secara kodrati (hukum alam) dalam sejarah peradaban manusia, anak-anak selalu berada di
bawah kekuasaan ayahnya [patria potetas]. Kekuasaan ini bersifat mutlak, artinya baik orang
lain, maupun negara tidak dapat melakukan campur tangan. Akan tetapi lambat-laun hal tersebut
berubah dan kekuasaan tersebut semakin lama makin berkurang, namun masih cukup besar pula.
Sementara ibu sama sekali tidak mempunyai kekuasaan atas anak-anaknya.
Konsep hukum alam tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap Hukum Romawi
yang menjadi sumber utama Hukum Perancis dan Hukum Belanda, selain itu juga Hukum
Perdata Barat [B. W Indonesia] yang merupakan konkordansi dengan B. W Nederland.
Dengan diciptakannya Undang-Undang Perdata Anak [Burgelijke Kinderwetgeving],
melalui Stb. 1927 – 31 jis Stb. 390 –421, yang berlaku sejak 1 Oktober 1927, istilah “kekuasaan
ayah” berubah menjadi “kekuasaan orang tua”.
Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, kekuasaan orang tua haruslah
mencerminkan kesadaran akan kewajiban mereka untuk bertindak bagi kepentingan anak-
anaknya dan mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban mereka untuk
kesejahteraan anak-anaknya. Tentang kekuasaan orang tua diatur dalam KUH Perdata (BW)
Buku I Titel XIV Pasal 298-329, dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 LN 1974-1 Pasal 45
s.d Pasal 49.
Dalam Bab XIV KUH Perdata pada dasarnya dibagi dalam tiga bagian, yaitu: (1)
Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak [Pasal 298-306]; (2) Kekuasaan orang tua terhadap
harta kekayaan anak [Pasal 307 – 319]; dan (3) Hubungan orang tua dengan anak tanpa
memandang umur anak dan tidak terbatas pada orang tua itu saja, tetapi juga nenek dari pihak
ibu [Pasal 320-329].

a. Kekuasaan Orang Tua terhadap Pribadi Anak


1) Asas Kekuasaan Orang Tua terhadap Pribadi Anak.
Menurut Pasal 299 BW menyatakan bahwa kekuasaan orang tua pada hakikatnya adalah
kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan
terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Dari ketentuan pasal 299 tersebut dapat disimpulkan
tiga asas kekuasaan orang tua:
a) Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua dan tidak hanya pada ayah saja;
b) Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang perkawinan masih berlangsung dan jika
perkawinan itu bubar, maka kekuasaan orang tua itu pun berakhir;
c) Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang orang tua menjalankan kewajiban terhadap anak-
anaknya dengan baik.
Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, maka kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak
mulai berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahannya dan berakhir pada waktu anak
menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu perkawinan orang tuanya dihapuskan. Akan tetapi
kekuasaan orang tua jugs akan batal demi hukum apabila orang tua tidak memenuhi persyaratan
dimungkinkan adanya pencabutan [onzet] atau pembebasan orang tua [ontheven].
Dalam kondisi normal, kekuasaan orang tua dipegang ayah sendiri. Hal ini berarti bahwa
ayah adalah pihak sendiri yang berwenang menentukan pemeliharaan, pendidikan dan agama
yang harus ia berikan dan sebagainya. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa
ayah dan ibu berunding terlebih dahulu untuk memperoleh kesepakatan, walaupun pada akhirnya
ayahlah yang harus memutuskan seandainya tidak ada persesuaian pendapat. Dari segi hukum
berunding ayah dan ibu perlu diadakan oleh karena terdapat kekhawatiran jika tidak ada
persesuaian pendapat pada akhirnya hakim harus turut campur.
Apabila terjadi pisah meja atau pisah ranjang antara ayah dan ibu, maka menurut Pasal
246 KUH Perdata hakim sesuai dengan tugas dan kewajibannya akan memuruskan siapakah dari
keduanya yang akan menjalankan kekuasaan orang tua.
Ibu baru akan menjalankan kekuasaan orang tua, jika ayah dipecat atau dibebaskan untuk
menjalankan kekuasaan orang tua, karena jelas ia berada di luar kemungkinan untuk
menjalankan kekuasaan itu. Misalnya, adalah jika ia sakit keras, tidak diketahui tempat
tinggalnya, atau tidak diketahui nasibnya. Apabila ibunya juga berada di luar kemungkinan
atau tidak berwenang menjalankan kekuasaan tersebut, misalnya dipecat atau dibebaskan dari
kekuasaan tersebut, maka pengadilan akan mengangkat seorang wali. Jadi dalam keadaan
demikian, anak berada di bawah perwalian meskipun perkawinan antara orang tuanya belum
bubar.

2) Akibat Kekuasaan Orang Tua terhadap Pribadi Anak.


Menurut Pasal 298 ayat 1 KUH Perdata jo 46 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa setiap
anak wajib hormat dan patuh kepada orang tuanya. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan
Marthena. Pohang ketentuan ini lebih merupakan norma kesusilaan daripada norma hukum.
Meskipun demikian, pelanggaran terhadap ketentuan yang dilakukan oleh anak yang masih
minderjaring dapat memberikan alasan bagi ayah atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang
tua untuk mengambil tindakan-tindakan koreksi terhadap si anak. Kewajiban anak tersebut tidak
hanya berlaku pada anak-anak sah, tetapi juga pada anak di luar kawin dan berapapun umurnya
di dalam kewajibannya terhadap orang tua yang mengakuinya.
Sebaliknya orang tua wajib memelihara dan memberi bimbingan anak-anaknya yang
belum cukup umur sesuai dengan kemampuannya masing-masing (Pasal 45 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974). Kewajiban ini merupakan dasar dari kekuasaan orang tua, dan
bukan sebagai akibat dari kekuasaan orang tua. Kewajiban tersebut disebabkan oleh adanya
hubungan antara orang tua dengan anak yang tercipta karena keturunan (afstamming).
Kewajiban yang dibebankan kepada orang tua tersebut berupa wajib nafkah (kewajiban
alimentasi) yaitu kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum cukup
umur (Pasal 298 ayat 2). Hal ini berarti bahwa, setiap anak yang belum dewasa, yaitu (1) bagi
mereka yang berusia kurang dari 21 tahun dan (2) belum kawin. Kepada mereka ini dianggap
tidak cakap bertindak (handelingson-bekwaam) dalam lalu lintas hukum oleh undang-undang.
Sehingga kepadanya belum dapat mengadakan persetujuan-persetujuan: maka itu orang tualah
yang wajib menyelenggarakan segala kebutuhannya.
Bagi anak yang belum mencapai 21 tahun, hukum menjamin kepada mereka untuk dapat
mengajukan permintaan pernyataan dewasa (venia aetatis = handlichting) (Pasal 419 KUH
Perdata). Pernyataan dewasa atau perlunakan tersebut dapat dilakukan melalui dua cara:
Pertama, pernyataan dewasa yang diberikan oleh Presiden (Pasal 420 KUH Perdata). Pernyataan
ini diberikan jika orang yang bersangkutan telah genap berumur 20 tahun. Dengan pernyataan
dewasa ini mereka memiliki kedudukan yang dipersamakan dengan orang dewasa, kecuali dalam
hal perkawinan yang masih memerlukan ijin dari mereka yang berkepentingan. Kedua,
Pemberian hak-hak kedewasaan tertentu oleh Pengadilan (Pasal 426 KUH Perdata). Pernyataan
ini diberikan jika orang yang bersangkutan telah genap berumur 18 tahun, harus ada persetujuan
orang tua. Dalam kasus ini merupakan suatu perlunakan terbatas, yaitu pengadilan harus secara
tegas menyebutkan hak-hak apa yang diberikan kepada mereka.
Sebagai bentuk hubungan timbal balik, maka bagi anak yang telah dewasa wajib
memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis lurus ke atas dalam keadaan tidak
mampu. (vide Pasal 299 KUH Perdata jis Pasal 47 UU No. 1 tahun 1974).

b. Kekuasaan Orang Tua terhadap Harta Kekayaan Anak


Kekuasaan terhadap harta kekayaan anak diatur dalam Pasal 307 – 318 BW. Sedangkan
dalam UU No. 1 tahun 1974 diatur dalam Pasal 48.
Kekuasaan orang terhadap harta kekayaan anak meliputi:
1) Mengurus harta kekayaan si anak (Pasal 307 BW);
2) Bertanggung jawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan (Pasal 308
BW);
3) Tidak memindah tangankan harta kekayaan si anak tanpa ijin si anak atau pengadilan (Pasal
309 BW jo Pasal 48 UUP);
Kekuasaan orang tua ini berlaku selama ayah dan ibunya masih hidup dalam perkawinan;
mereka mempunyai hak menikmati hasil harta benda anak-anaknya. Kekuasaan orang tua itu
berhenti apabila:
(1) Anak tesebut telah dewasa (sudah 21 tahun) atau telah kawin sebelum mencapai usia dewasa
(umur 18 tahun);
(2) Perkawinan orang tuanya putus (kematian, perceraian, dan karena putusan pengadilan);
(3) Kekuasaan orang tua dipecat oleh Hakim, karena:
i. Pendidikannya/berkelakuan buruk sekali;
ii. Telah mendapat hukuman yang telah menjadi tetap;
iii. Telah menyalahgunakan kekuasaannya orang tua atau terlalu mengabaikan kewajibannya
memelihara atau mendidik anaknya;
(4) Pembebasan dari kekuasaan orang tua, misalnya kelakuan si anak luar biasa nakalnya hingga
orang tuanya tidak berdaya lagi.
Jadi segala hak dan kewajiban yang timbul antara anak dengan orang tua seperti akibat-
akibat kekuasaan bapak terhadap si anak dan harta bendanya, pembebasan dan pemecatan
kekuasaan orang tua, kewajiban timbal balik orang tua dan anak tersebut kesemuanya diatur
dalam peraturan tentang kekuasaan orang tua.

1) Mengurus harta kekayaan si anak


Bagi seorang ayah atau ibu, menurut undang-undang tidak terdapat perkecualian untuk
menjalankan kekuasaan orang tua di dalam mewakili anaknya dalam segala tindakan perdata.
Hal ini berarti bahwa perwakilan orang tua tidak saja menyangkut pribadi anak, akan tetapi juga
meliputi harta kekayaan anak. Apabila anak memiliki harta kekayaan sendiri, maka kekayaan ini
diatur oleh orang yang melakukan kekuasaan orang tua tersebut, kecuali jika mereka telah pisah
meja dan tempat tidur, dan telah diputuskan oleh hakim atas permohonan atau atas kata sepakat
suami istri (Pasal 236 KUH Perdata).
Ada kemungkinan bahwa anak memiliki barang-barang lain yang tidak diurus oleh ayah
dan ibunya yang menjalankan kekuasaan orang tua terhadapnya, tetapi oleh seorang atau lebih
pengurus yang ditunjuk oleh pemberi hadiah atau pewaris (Pasal 307 ayat 2 KUH Perdata).
Barang tersebut biasanya berasal dari hadiah (schenking), legaat atau warisan dengan testamen.
Menurut ketentuan Pasal 307 ayat 3 KUH Perdata, menyatakan bahwa pengurusan
barang-barang kekayaan anak yang berasal dari hadiah [schenking], legaat atau warisan dengan
testamen akan berpindah kepada orang yang menjalankan kekuasaan orang tua bila
kepengurusan karena alasan apapun hapus [vervallen], yaitu karena:
(a) Orang yang ditunjuk sebab pengurus meninggal dunia;
(b) Mengundurkan diri tanpa menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
Kepengurusan harta kekayaan yang dilakukan oleh orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua harus dilakukan oleh seorang ayah yang baik. Bila harta kekayaan tidak
diurus dengan baik, maka ia berhak menggugat untuk kerugian yang diderita anak.
2) Bertanggung jawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan
bertanggung jawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan.
Pada dasarnya, ayah yang menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian berhak
menikmati hasil (vruchgenot) atas harta kekayaan anak-anaknya. Sepaniang perkawinan ayah
dan ibunya masih berlangsung, dan mereka tidak dalam status pisah meja dan pisah tempat tidur;
normalitas ayah yang menjalankan kekuasaan orang tua, sehingga ayahlah yang berhak atas
penikmatan hasil. Jika ayah dan ibunya kawin dengan "kebersamaan harta" [algehele
gemeeenschap van goederen], maka hasil harta kekayaan anak masuk dalam kebersamaan harta
mereka.
Jika ayah dipecat atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka ibulah
yang menjalankan kekuasaan itu, sehingga ibu yang berhak atas penikmatan hasil dari harta
kekayaan anak-anak yang masih minderjarig itu. Jika ayah maupun ibu dibebaskan dari
kekuasaan orang tua atau perwalian, maka kedua orang tua tersebut bersama-sama berhak atas
vruchgenot. Dan jika salah seorang dari mereka meninggal dunia atau dipecat dari kekuasaan
orang tua atau perwalian, dan kemudian orang tua yang lain melakukan kekuasaan orang tua atau
perwalian dipecat, maka hal tersebut tidak mengurangi hak mereka atas penikmatan hasil.
Penikmatan hasil (vruchgenot), kekuasaan orang tua berakhir apabila;
(a) Anak meninggal dunia (Pasal 314 KUH Perdata);
(b) Anak menjadi meerderjarig, (Pasal 311 ayat 1 jo Pasal 299 KUH Perdata);
(c) Meninggalnya kedua orang tua;
(d) Pencabutan (ontzetting) kedua orang tua dari kekuasaan orang tua (ouderlijkemacht);
(e) Meninggalnya salah seorang dari orang tua dan orang tua yang lain dipecat dari perwalian;
dan
(f) Merupakan pidana terhadap istri atau suami yang hidup terlama [langstlevende echtgenoot],
jika ia lalai membuat daftar boedel (boedelbeschrijving) atas kebersamaan harta menurut
ketentuan Pasal 127 KUH Perdata (Pasal 315 KUH Perdata).

3) Tidak memindah tangankan harta kekayaan si anak tanpa ijin si anak atau
pengadilan.
Menurut Pasal 309 KUH Perdata menyatakan bahwa orang yang menjalankan kekuasaan
orang tua (behender ouder) tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat
memutuskan (beschikken) atas harta kekayaan anak-anaknya yang masih minderjarig tanpa
memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Bab XV Buku Pertama KUH Perdata. Selanjutnya
berdasarkan Pasal 393, dinyatakan bahwa orang yang menjalankan kekuasaan orang tua hanya
dapat memindahkan atau membebani (hypotheek atau pand) barang-barang anaknya hanya
dengan kuasa pengadilan. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthena Pohan mengatakan bahwa
apa yang dimaksud dengan beschikken termasuk pula dalamnya meminjam uang untuk keperluan
anak. Dengan meminjam uang ini berarti secara tidak langsung harta kekakayaan anak terikat,
sehingga suatu waktu dapat disita dan dijual lelang, jika pinjaman uang tersebut tidak dibayar.

c. Hubungan Orang Tua dengan Anak


Di depan telah disebutkan bahwa ayah dan ibu yang memegang kekuasaan orang tua dan
memiliki kewajiban memelihara dan memberi bimbingan anak-anaknya yang belum cukup umur
sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Walaupun demikian seorang anak tidak berhak
menuntut suatu kedudukan tetap dari kedua orang-tuanya, dengan cara menyediakan segala
sesuatu sebelum ia kawin, atau dengan cara lain (Pasal 320 KUH Perdata).
Bentuk hubungan timbal balik dari kewajiban ayah dan ibu yang memegang kekuasaan
orang tua, maka bagi anak yang telah dewasa wajib memelihara orang tuanya dan keluarganya
menurut garis lurus ke atas dalam keadaan tidak mampu (vide Pasal 321 KUH Perdata jis Pasal
47 UU No. 1 tahun 1974).
Ketentuan memelihara orang tuanya dan keluargannya menurut garis lurus ke atas
tersebut tidak terkecuali bagi anak-anak menantu laki-laki atau perempuan (Pasal 322), atupun
anak-anak luar kawin dan diakui menurut Undang-Undang (Pasal 328) sebatas kemampuan.
Kewajiban memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis lurus ke atas bagi
anak-anak menantu laki-laki atau perempuan akan berakhir apabila;
(a) Si ibu-mertua menyeburkan diri untuk kedua kalinya dalam perkawinan; dan,
(b) Si suami atau si istri yang mengakibatkan adanya pertalian keluarga semenda dan anak-anak
yang berasal dari perkawinannya dengan istri atau suaminya, telah meninggal dunia.

3. Hubungan Hukum bagi Pihak Ketiga


Sebuah ikatan perkawinan penting artinya bagi keturunan dan hubungan kekeluargaan;
sedangkan bagi pihak ketiga terutama penting untuk mengetahui kedudukan harta, perkawinan
dan kedudukan anak.
Oleh hukum seseorang dianggap tidak cakap bertindak (handelingson bekwaam) di dalam
lalu lintas apabila:
1. Anak-anak yang belum dewasa, (belum 18 tahun dan tidak lebih dahulu menikah);
2. Orang-orang yang ada di bawah pengampuan;
3. Wanita yang bersuami.
Apabila, seseorang yang belum dewasa kawin, dan perkawinannya, itu kemudian
dibubarkan sebelum ia berumur genap 18 tahun, maka orang itu tetap dianggap dewasa dan
ia, tetap dianggap cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.
Sebaliknya, seseorang yang cakap bertindak, akan tetapi oleh hukum dicabut haknya untuk
melakukan sesuatu perbuatan tertentu, maka ia disebut tidak bewenang bertindak (handelingson
bevoegd), misalnya seorang juru lelang tidak berwenang bertindak untuk membeli barang-barang
tetap yang ia lelangkan.
Adapun mengenai kedudukan anak yang berkaitan dengan pihak ketiga sangatlah penting,
karena untuk mengetahui asal-usul seorang anak sebagai ahli waris orang tuanya. Seorang anak
waris yang harus mempunyai hubungan hukum dengan pewaris agar ia berhak sebagai waris
yang sah.

BAB V
PERWALIAN DAN PENGAMPUAN

A. PERWALIAN
1. Pendahuluan
Pada dasarnya setiap orang mempunyai 'kekuasaan berhak' karena manusia merupakan
subyek hukum. Tetapi tidak setiap orang cakap melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Secara
umum, orang-orang yang disebut meerderjarigheid (cakap hukum) dapat melakukan perbuatan-
perbuatan hukum secara sah, kecuali jika undang-undang tidak menentukan demikian. Misalnya,
seorang pria yang telah genap mencapai umur 18 tahun sudah dianggap cakap untuk
melangsungkan perkawinan.
Batasan umur seseorang agar dianggap sebagai meerderjarig (cakap hukum/dewasa) atau
minderjarig (tidak cakap hukum/belum dewasa) tidak sama untuk setiap negara. Menurut Pasal
330 KUH Perdata, terdapat tiga ketentuan penting yang berkaitan dengan status hukum anak
apakah sebagai meerderjarig atau minderjarig:
Ayat 1 : Batas antara minderjarigheid dan meerderjarigheid, yaitu 21 tahun, kecuali jika:
a. Anak tersebut sudah kawin sebelum mencapai umur genap 21 tahun; dan
b. Perlunakan [handleichting atau veniaaetatis] Pasal 419 KUH Perdata, dan
selanjutnya.
Ayat 2 : Pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang yang belum mencapai umur genap
21 tahun, tidak berpengaruh terhadap status meerderjarigheid yang telah
diperolehnya;
Ayat 3 : Mereka yang masih minderjarigheid dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua
akan berada di bawah perwalian.

2. Asas Perwalian
Ketentuan tentang perwalian diatur dalam KUH Perdata Pasal 331 sampai dengan Pasal
344 dan Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang
anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di tangan kekuasaan orang tua. Jadi bagi anak
yang orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau semua telah meninggal
dunia, berada di bawah perwalian. Terhadap anak di luar kawin, maka karena tidak ada
kekuasaan orang tua anak ini selalu di bawah perwalian.
Anak yatim piatu dan anak-anak yang belum cukup umur dan tidak dalam kekuasaan
orang tua memerlukan pemeliharaan dan bimbingan; karena itu harus ditunjuk wali yaitu orang
atau perkumpulan-perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan-keperluan hidup anak-
anak tersebut (Pasal 331 BW jo Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974).

a. Asas Tak Dapat Dibagi-bagi (Ondeelbaarheid)


Pada setiap perwalian hanya ada satu orang wali saja (Pasal 331 B.W), hal ini yang dikenal
dengan istilah asas tak dapat dibagi-bagi. Asas ini memiliki perkecualian dalam dua hal,
yaitu;
(1) Jika perwalian dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama (langstlevende
ouder) jika ia kawin lagi, suaminya menjadi wali peserta [medevooged, Pasal 351 B.W];
dan
(2) Jika dirasa perlu, dilakukan penunjukkan seorang pelaksana pengurusan (bewin dvoerder)
yang mengurus harta kekayaan minderjarige di luar Indonesia berdasarkan pasal 361
BW.
b. Asas Kesepakatan dari Keluarga
Menurut Pasal 359 B.W menentukan bahwa pengadilan dapat menunjuk seorang wali
bagi semua minderjarige yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Hakim akan
mengangkat seorang wali setelah mendengar pendapat atau memanggil keluarga sedarah
(bloedverwanten) atau semenda atau periparan (aangehuwden).
Ketentuan ini memiliki makna, bahwa keluarga harus diminta kesepakatannya mengenai
perwalian. Jika keluarga tidak ada, maka tidak diperlukan kesepakatan. Apabila sesudah ada
pemanggilan pihak keluarga tidak datang menghadap, maka dapat dituntut berdasarkan.
ketentuan Pasal 524 KUHP.

c. Orang-orang yang Dipanggil menjadi Wali.


Perwalian menurut Hukum Perdata terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Perwalian menurut Undang-Undang (Wettelijke Voogdij), yaitu perwalian dari orang tua
yang masih hidup setelah salah seorang meninggal dunia lebih dahulu (Pasal 345 – 354
KUHPer);
2) Perwalian karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal (Testtamentaire Voogdij), yaitu
perwalian yang ditunjuk dengan Surat wasiat (testamen) oleh salah seorang dari orang
tuanya;
3) Perwalian yang ditentukan oleh hakim (Datieve Voogdij).

1) Perwalian dari orang tua yang masih hidup setelah salah seorang meninggal dunia
lebih dahulu.
Pasal 354 KUHPer. menentukan bahwa orang tua yang hidup terlama (langstlevende
ouder) dengan sendirinya menjadi wali. ketentuan ini tidak mengadakan perkecualian bagi suami
istri yang hidup terpisah karena perkawinan yang bubar oleh perceraian atau pisah meja dan
tempat tidur. Jadi, apabila ayah menjadi wali setelah perceraian, dan kemudian la meninggal
dunia, maka dengan sendirinya (van rechtwege) ibu menjadi wali atas anak tersebut.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip dari perwalian oleh orang tua (suami
istri). Perbedaan hanya ada dalam dua hal. yaitu: (1) Curator (Pasal 348 KUHPer), dan (2)
perkawinan baru.
a) Curator
Apabila ayah meninggal dunia saat itu ibu dalam keadaan mengandung, maka Balai Harta
Peninggalan menjadi pengampu (curator) atas anak yang berada dalam kandungan dengan cara-
cara seperti yang telah ditetapkan dalam pengangkatan wali. Jika anak itu lahir, maka ibu dengan
sendirinya menjadi wali dan Balai Peninggalan harta sebagai pihak pengampu akan menjadi
pengampu pengawas.
b) Perkawinan Baru
Jika ibu selaku wali kawin lagi, maka suami yang tidak dikecualikan (dipecat) sebagai wali
dengan sendirinya menjadi wali peserta (medevoogdij). Suami bersama-sama istrinya, yang
berperan sebagai wali ibu, harus bertanggung-jawab secara tanggung renteng terhadap semua
perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung.
Perwalian peserta suami istri akan dihapus dalam kasus-kasus, antara lain:
a) Perpisahan meja dan tempat tidur atau jika terdapat perpisahan kebersamaan atau persatuan
harta perkawinan;
b) Jika suami dipecat dari medevoogdij; dan
c) Jika peran wali ibu berhenti.

2) Perwalian yang ditunjuk dengan surat wasiat (testament) atau Akte khusus.
Menurut Pasal 355 ayat (1) B.W, menentukan bahwa masing-masing orang tua yang
melakukan kekuasaan orang tua atau menjalankan perwalian atas seseorang anak atau lebih,
berhak mengangkat seorang wali atas anak-anak itu jika sesudah ia meninggal dunia perwalian
itu tidak terdapat pada orang tua yang lain, baik dengan sendirinya ataupun karena putusan
hakim. Ketentuan ini mengandung makna, bahwa masing-masing orang tua yang menjadi wali
atau memegang kekuasaan orang tua, berhak mengangkat wali jika perwalian tersebut memang
masih terbuka.
Dengan pengangkatan seorang wali mengakibatkan orang tua yang mengangkat itu secara
hukum tidak menjadi wali atau melakukan kekuasaan orang tua pada saat ia meninggal (Pasal
356 B.W).

3) Perwalian yang ditentukan oleh hakim


Pada dasarnya perwalian dapat terjadi karena:
a) Perkawinan orang tua putus baik disebabkan salah seorang meninggal, perceraian atau karena
putusan pengadilan; dan
b) Kekuasaan orang tua dipecat atau dibebaskan.
Oleh sebab itu menurut Pasal 359 B.W menentukan bahwa pengadilan dapat menunjuk
seorang wali bagi semua minderjarige yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Hakim
akan mengangkat seorang wali yang disertai wali pengawas yang harus mengawasi pekerjaan
wali tersebut.
Kewajiban dan tugas wali tersebut terhadap anak antara lain:
a) Mengurus anak dan harta bendanya secara baik, dengan menghormati agama dan
kepercayaan si anak (Pasal 51 ayat 3 UUP);
b) Membuat daftar harta kekayaan dan mencatatnya (Pasal 51 ayat 4 UUP);
c) Bertanggung jawab tentang harta benda si anak serta kerugian yang timbul karena kelalaian
dan kesalahannya (Pasal 51 ayat 5 UUP); dan
d) Memberikan ganti rugi terhadap harta benda si anak karena kesalahan dan kelalaiannya
(Pasal 54 UUP).
Sedangkan Wali Pengawas ini memiliki kewajiban antara lain:
a) Mengadakan pengawasan terus terhadap wali;
b) Menyatakan pendapatnya terhadap berbagai tindakan yang harus dilakukan oleh wali atas
perintah hakim atau dengan persetujuan hakim;
c) Bertindak bersama-sama dengan wali atau ikut hadir dalam tindakan-tindakan tertentu;
d) Bertindak jika ada kepentingan yang bertentangan antara wali dengan minderjarige; dan
e) Bertindak jika wali ticlak hadir atau perwalian itu terluang.
Wali pengawas di Indonesia dijalankan oleh pejabat Balai Harta Peninggalan
(Weeskamer).
Sedapat mungkin wali diangkat dari orang-orang yang mempunyai pertalian darah
terdekat dengan si anak itu atau bapaknya yang karena sesuatu hal telah bercerai atau saudara-
saudaranya yang dianggap cakap untuk itu. Hakim juga dapat menetapkan seseorang atau
perkumpulan sebagai wali.

d. Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1) Dalam hubungan dengan keadaan anak; dan
2) Dalam hubungan dengan tugas wali.
1) Dalam hubungan dengan keadaan anak
Dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena:
a) Si anak yang di bawah perwalian telah dewasa (meerderjarig);
b) Si anak (minderjarige) meninggal dunia;
c) Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya (ouderlijkkemacth); dan
d) Pengesahan seorang anak luar kawin.
2) Dalam hubungan dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena:
a) Wali meninggal dunia;
b) Dibebaskan atau dipecat dari perwalian (ontzetting of ontheffing);dan
c) Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari pewalian (Pasal 380 B.W). Sedangkan syarat
utama untuk dipecat [ontzet] sebagai wali, ialah karena disandarkan pada kepentingan
minderjarige itu sendiri.
Pada setiap akhir perwaliannya, seorang wali wajib mengadakan perhitungan tanggung
jawab penutup. Perhitungan ini dilakukan dalam hal:
1) Perwalian yang sama sekali dihentikan, yaitu kepada minderjarige atau kepada ahli
warisnya;
2) Perwalian yang dihentikan karena diri (person) wali, yaitu kepada yang menggantinya; dan
3) Minderjarige yang sesudah berada di bawah perwalian, kembali lagi berada di bawah
kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu minderjarige itu (Pasal 409 B.W).

B. Pengampuan

Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seorang yang
telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa. Orang yang ditaruh di bawah
pengampuan disebut curandus, pengampunya disebut curator dan pengampuannya disebut
curatele. Menurut Pasal 433 KUHPer, setiap orang dewasa yang menderita sakit ingatan, boros,
dungu dan mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan. Setiap anak yang belum dewasa
yang berada dalam keadaan dungu, sakit ingatan atau mata gelap, tak boleh ditaruh di bawah
pengampuan, melainkan tetaplah ia di bawah pengawasan bapak dan ibunya atau walinya (Pasal
462 KUHPer).
1) Pengajuan permohonan pengampuan
Pengampuan ini terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan dengan adanya
permohonan pengampuan. Yang dapat mengajukan permohonan pengampuan adalah:
1) Keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya, dalam hal keadaannya dungu, sakit
ingatan atau mata gelap (Pasal 434 ayat 1 KUHPer).

1) Keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh keluarga semenda dalam garis
menyimpang sampai dengan derajat keempat, dalam hal karena keborosannya (Pasal
434 ayat 2 KUHPer).
2) Suami atau isteri boleh meminta pengampuan akan isteri atau suaminya (Pasal 434 ayat
3 KUHPer).
3) Diri sendiri, dalam hal ia tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri (Pasal 434 ayat
4 KUHPer).
4) Kejaksaan, dalam hal mata gelap, keadaan dungu atau sakit ingatan (Pasal 435 KUHPer).
Setiap permintaan akan pengampuan, harus diajukan ke Pengadilan Negeri di mana
orang yang dimintakan pengampuannya itu berdiam (Pasal 436 KUHPer). Pengampuan
mulai berlaku sejak putusan atau penetapan. diucapkan (Pasal 446 ayat I KUHPer).

2) Akibat hukum pengampuan


Akibat hukum dari orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah:
1) la sama dengan orang yang belum dewasa (Pasal 452 ayat 1 KUHPer).
2) Segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang ditaruh di bawah pengampuan,
batal demi hukum (Pasal 446 ayat 2 KUHPer)
Di samping kedua hal di atas, terdapat pengecualiannya, yaitu:
1) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masih boleh membuat Surat wasiat
(Pasal 446 ayat 3 KUHPer).
2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masih bisa melangsungkan
perkawinan dan membuat perjanjian kawin yang dibantu oleh pengampunya (Pasal 452 ayat
2 KUHPer).
3) Berakhirnya Pengampuan
Pengampuan ini berakhir apabila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang (Pasal
460 KUHPer). Pengampuan juga berakhir apabila si curandus meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai