Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhammad Irfan Hilmy

NIM : 185010101111084
Mata Kuliah : Hukum Pengangkutan (A)

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PENGANGKUT DALAM MODA


PENGANGKUTAN LAUT

LATAR BELAKANG

Pengangkutan merupakan sektor penting yang berperan dalam memperlancar laju


distribusi perdagangan sehingga kegiatan perekonomian dapat berputar dengan semestinya.
Dalam pengangkutan, perusahaan pengangkut memiliki tanggungjawab untuk mengantarkan
barang yang diberikan oleh penjual untuk disampaikan kepada pembeli. Oleh karenanya
peran pengangkutan sangat krusial dalam alur perdagangan. Bahkan apabila tidak ada
perusahaan pengangkutan maka alur perdagangan tidak dapat berjalan dengan baik.
Distribusi barang akan berjalan dengan baik apabila jalur pengangkutan lancar dan tidak
terkendala hal yang berarti. Menurut Ridwan Khairandy, tujuan diadakannya pengangkutan
yakni untuk memindahkan barang dari tempat asal ke tempat tujuan untuk mencapai dan
meninggikan manfaat serta efisiensi usaha.1

Menurut Purwosutjipto, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara


pengangkut dengan pengirim yang pengangkut mengikatkan diri dalam penyelenggaraan
pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu denan
selamat sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.2

Dari pengertian diatas maka pengangkutan diartikan secara sederhana sebagai


perjanjian timbal balik untuk mengantar barang dan/atau orang ke tempat tujuan. Salah satu
bentuk moda pengangkutan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah terkait dengan moda
pengangkutan laut yang secara spesifik akan membahas terkait dengan pertanggungjawaban
moda pengangkutan laut di Indonesia. Di Indonesia sendiri pengangkutan laut menjadi sarana
yang paling banyak digunakan dalam jasa pengangkutan. Hal ini disebabkan melalui
pengangkutan laut maka volume barang yang akan dikirim melalui perusahaan pengangkutan
dapat lebih besar. Menurut data dari Supplychain Indonesia, volume barang yang diangkut
selama Januari-Februari 2021 saja sudah mencapai angka 51,5 juta ton atau naik 4,65% dari
1
2 Ridwan Khairandy, dkk., Pengantar Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Yogyakarta: Gama Media 1999, hlm.
196.
2
Purwosutjipto, Hukum Pengangkutan, Jakarta: Djambatan 1991, hlm. 2.
tahun sebelumnya.3 Hal ini menunjukkan bahwa pengangkutan laut menjadi salah satu sarana
pengangkutan yang paling banyak digunakan.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah
bagaimana konsep pertanggungjawaban hukum dalam moda pengangkutan laut?

PEMBAHASAN

Dalam pengangkutan laut, moda transportasi yang digunakan adalah kapal laut.
Menurut Pasal 1 angka 3 UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran bahwa kapal merupakan
kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu yang digerakan dengan tenaga angin, tenaga
mekanis, energi lainnya, ditarik, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung
dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung dan
tidak berpindah-pindah. Maka memang lazimnya pengangkutan laut dilakukan dengan
menggunakan kapal yang berada diatas permukaan laut. Belum ada secara komersial
pengangkutan laut yang menggunakan moda transportasi kendaraan yang berada dibawah
permukaan laut.

Dalam proses pengangkutan tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
mengangkut suatu barang. Dalam pengangkutan laut ini juga dikenal satu dokumen yang
harus menyertai kegiatan pengangkutan dan disebut sebagai konosemen sebagaimana
termaktub dalam Pasal 506 KUHD. Konosomen sesuai dengan Pasal 506 KUHD memiliki
pengertian yakni “Surat yang diberi tanggal yang di dalamnya diterangkan oleh pengangkut,
bahwa ia telah menerima barang-barang tertentu, dengan maksud untuk mengangkut
barang-barang ke tempat yang ditunjuk, dan menyerahkannya di sana kepada orang yang
ditunjuk, demikian pula dengan persyaratan perjanjian yang bagaimana penyerahan itu
akan dilakukan.” Pihak yang berwenang mengangkut dalam mengeluarkan konosomen
diantaranya adalah pengangkut dan nakhoda sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 504
dan Pasal 505 KUHD. Konosomen ini memiliki dampak terhadap proses pengiriman barang
yakni tidak dapatnya dituntut penyerahan barang sebelum tiba ditempat tujuan selain dengan
adanya penyerahan kembali semua lembar konosemen. Oleh karenanya penerima yang sah
hanya dapat menuntut penyerahan barang apabila barang tersebut sudah sampai pada tempat
tujuan sesuai dengan apa yang diatur dalam konosemennya.
3
Anonym, Volume Angkutan Barang Lewat Laut Meningkat 0,45%, Supplychain Indonesia,
https://supplychainindonesia.com/volume-angkutan-barang-lewat-laut-meningkat-045/ diakses pada 7
Oktober 2021
Didalam konosemen itulah juga setidaknya harus dicantumkan beberapa ketentuan
yakni salah satunya terkait dengan keadaan barangnya. Apabila dalam konosemen tidak
dicantumkan keadaan barangnya maka pengangkut dianggap telah menerima barangnya
dalam keadaan baik, sampai apabila ada bukti sebaliknya sesuai dengan Pasal 514 KUHD.
Lalu apabila konosemen memuat klausula isi, sifat, jumlah, berat atau ukuran tidak diketahui
maka pernyataan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pengangkut kecuali
apabila pengangkut mengetahui secara pasti dan jelas mengenai keadaan barang, jumlah
barang, dan berat barang yang telah ditimbang dihadapannya.

Konosemen ini juga dibagi dalam beberapa jenis, yakni diantaranya adalah4 shipped
bill of lading yang merupakan dokumen yang menunjukkan bahwa barang telah dimuat di
kapal. Konosemen ini tidak ditandatangani, tetapi dikembalikan kepada pengirim. Lalu ada
received for shipment bill of lading yang dipakai perusahaan pelayaran ketika menerima
barang dari pengirim di gudang pelayaran atau tempat di bawah pengawasan inland
container depot (ICD). Selanjutnya adalah through bill of lading yang dipakai untuk muatan
transshipment yang pengangkut pertama bertanggungjawab untuk pengangkutan melalui
second carrier melalui perwakilannya pada tempat barang di bongkar dahulu untuk
dikapalkan dengan pengangkut kedua. Selanjutnya adalah combined transport bill of lading
yakni dokumen barang yang meliputi pengangkutan barang dengan menggunakan lebih dari
satu jenis alat penangkut. Dalam konosemen ini akan dijelaskan secara terperinci mengenai
moda transportasi yang akan mengambil barang ditempat perkapalan dan akan membawa
barang tersebut ketempat tujuan. Bentuk konosemen terakhir adalah grouppage bill of lading
yakni melalui tangan ketiga yang disebut sebagai forwarder yang akan mengumpulkan
berbagai jenis barang dari berbagai pengirim barang yang akan diberikan kepada pengangkut.
Selanjutnya barulah pengangkut memberikan konosemennya kepada forwarder.

Sebagai salah satu pihak dalam perdagangan, pengangkut juga memiliki


pertanggungjawaban apabila terhadap barang-barang yang telah diangkutnya mengalami
terjadi suatu kejadian yang mengakibatkan terjadinya wanprestasi atas kepentingan orang-
orang yang menyewakan jasa pengangkutan tersebut.

Dalam UU Pelayaran, secara nyata dan terang hal tersebut disebutkan dalam Pasal 40
ayat (1) bahwa perusahaan angkutan bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan
barang yang akan diangkutnya. Pengangkutan bertanggungjawab atas adanya kemusnahan,
hilang atau rusaknya barang yang diangkut oleh jasa pengangkutan. Selain itu apabila terjadi
4
RP Suryono, Shipping pengangkutan intermodal ekspor impor melalui laut, Jakarta: Publisher, 2003.
keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut oleh jasa pengangkutan.
Namun perusahaan pengangkutan akan dibebaskan dari segala tuntutannya apabila dapat
membuktikan bahwa hal tersebut bukan atas kesalahannya.

Dalam KUHD, pertanggungjawaban pengangkut juga dinyatakan secara tegas dalam


Pasal 477 KUHD bahwa pengangkut adalah pihak yang bertanggung jawab atas kerugian
yang disebabkan atas terjadinya keterlambatan diserahkannya barang yang diangkutnya
apabila dapat dibuktikan bahwa perusahaan pengangkut tidak melakukan hal tersebut. Dalam
Pasal 468 juga disebutkan bahwa dalam persetujuan pengangkutan bahwa pengangkut
memiliki kewajiban untuk menjadi akan keselamatan barang yang diangkutnya. Pengangkut
diwajibkan untuk mengganti segala kerugian yang telah disebabkan karena barang tersebut
secara keseluruhan atau sebagian tidak dapat diserahkan.

Dikaitkan dalam teori pertanggungjawaban maka pengangkut dianggap selalu sebagai


pihak yang paling bertanggungjawab dari terjadinya sesuatu pada barang atau dalam hal ini
adalah prinsip tanggung jawab praduga. Kerugian yang lahir dari kejadian tersebut harus
dibayarkan oleh pengangkut sebagaimana Pasal 472 KUHD yang mengatakan bahwa “Ganti
kerugian yang harus dibayar oleh si pengangkut karena diserahkannnya barang seluruhnya
atau sebagian, harus dihitung menurut harganya barang dan jenis dan keadaan yang sama
di tempat penyerahan pada saat barang tadi sedianya harus diserahkannya, dengan
dipotong apa yang telah terhemat dalam soal bea, biaya dan upah pengangkutan, karena
tidak diserahkannya barang tadi.”

Apabila terjadi sesuatu pada barang yang menganggu jalannya perjanjian maka
pemilik barang atau pemakai jasa pengangkutan dapat mengajukan ganti kerugian yang
dilakukan dengan Pengirim atau penerima barang menyertakan Bill of Lading serta Resi
Mualim dari party muatan dalam pengajuan tuntutan ganti rugi. Setelahnya setiap pengirim
atau penerima barang berhak mendapat surat keterangan dari maskapai pelayaran atau
pengangkut yang disebut “Notice of Claim”. Biasanya maskapai pelayaran mengeluarkan
surat-surat keterangan diantaranya : E.B (except bewijs) dan C.C.B (claim constatetering
bewijs). Lalu berdasarkan bukti-bukti diatas, maka penerima barang berhak mengajukan surat
tuntutan ganti rugi (klaim) pada pengangkut, yang berisikan antara lain : keterangan
mengenai pengiriman barang-barang, penunjukan kepada TBT dan penjelasan ringkas
mengenai kekurangan barang-barang yang dikonstantir jika pemeriksaan telah dilakukan
maka diajukan kepada pengangkut, jumlah ganti rugi yang dituntut dan penjelasan mengenai
dasar perhitungan jumlah ganti rugi tersebut yang tercantum dalam CCB.

Dalam hukum pengangkutan dengan moda pengangkutan laut ada beberapa metode
pembayaran yang sering digunakan. Diantaranya adalah Freight on Board (FOB), Cost and
Freight (CNF), dan Cost, Insurance and freight (CIF). Konsep FOB merupakan metode
pembayaran yang membebankan pembiayaan dari gudang eksportir hingga sampai ke
pelabuhan pada pihak eksportir, sedangkan biaya asuransi, bongkar muat pada pelabuhan
tujuan sekaligus biaya angkut dari pelabuhan sampai ke gudang ditanggung oleh importir.
Dalam konsep ini pertanggungjawaban terhadap barang atau resiko beralih saat barang sudah
sampai pada pelabuhan pemuatan. FOB ini terbagi dua yakni FOB Destination (dibayarkan
ongkos kirim oleh penjual) dan FOB Shipping Point (dibayarkan ongkos kirim oleh pembeli)
yang perbedaannya adalah pada letak pembayaran ongkos kirim.

Konsep kedua dan ketiga yakni CNF dan CIF sebenarnya beririsan. Sederhananya
adalah biaya pengangkutan keduanya ditanggung oleh eksportir namun yang
membedakannya adalah terkait dengan biaya asuransi yang tidak ditanggung pada model
CNF sedangkan hal ini ditanggung pada model CIF. Resiko keduanya beralih pada saat
bongkar muat di pelabuhan tujuan.

PENUTUP

Berdasarkan pada pemaparan diatas bahwa ada berbagai tanggungjawab yang dapat
dikenakan pada pihak pengangkut. Dasar hukum pengangkutan laut sebagaimana yang
terdapat diatas meliputi KUHD dan UU Pelayaran. Keduanya telah mengatur bagaimana
tanggungjawab hukum pengangkut dalam pengangkutan.

Anda mungkin juga menyukai