Anda di halaman 1dari 18

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU BAJJAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Ridho Riyadi, M.PD.I

Disusun oleh:

Puji Rahayu (2119325)


Yujzauna Ghurfa (2119329)
Elin Almalia Yulfani (2119330)
Siti Sa’adah (2119380)

Kelas B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2020

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, atas izin-Nya makalah ini dapat
terselesaikan, salawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw,
sahabatnya, keluarganya dan umatnya hingga akhir zaman.

Makalah ini dibuat sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Filsafat Islam. Makalah ini
menjelaskan tentang “Pemikiran Filsafat Ibnu Bajjah”. Penulis sudah berusaha untuk menyusun
makalah ini dengan baik. Penulis juga menerima saran dan kritik dari pembaca guna
penyempurnaan penulisan makalah mendatang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ridho Riyadi, M.PD.I selaku dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Islam yang telah memotivasi dan membimbing kami selama
perkuliahan berlangsung. Semoga makalah ini diharapkan bisa bermanfaat bagi para
pembacanya. Aamiin ya robbal alamin.

Tegal, 21 Desember 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..…2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….3

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………………………4

B. Rumusan Masalah……………………………………………………………...5

C. Tujuan………………………………………………………………………….5

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Ibnu Bajjah……………………………………………………………6

B. Pemikiran Filsafat Ibnu Bajjah……………………………………………...…7

C. Karya-Karya Ibnu Bajjah………………………………………………….….14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………………17

B. Saran…………………………………………………………………………..17

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat adalah merupakan induk dari ilmu pengetahuan, karena filsafat mendorong orang
untuk berfikir secara menyeluruh untuk mengungkap hakikat dari sesuatu.Dengan berfikir secara
Filsafat tentang sesuatu atau ilmu kita dapat menghasilkan suatu metode atau ilmu baru yang
merupakan turunan dari ilmu yang telah ada.Jadi sangat wajar bila para Filosof dapat memahami
hakikat sesuatu atau ilmu dan dapat memunculkan teori-teori baru disamping teori yang telah
ada.

Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakan begitu saja bahwa pemikiran filsafat islam
terpengaruh oleh filsafat yunani. Para filosof islam banyak mengambil pemikiran aristoteles dan
banyak tertarik terhadap pemikiran platinus. Sehingga banyak teori filosof yunani diambil oleh
filosof lslam.

Salah satu diantara para filosof islam tersebut adalah Ibnu Bajjah pada masa kejayaan
islam di spanyol. Ibn bajjah adalah ahli yang menyadarkan pada teori dan praktik dalam ilmu-
ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi spektakulatif seperti
logika, filsafat alam dan metafisika, sebagaimana yang dikatakan oleh De Boer dalam the histoty
of philosophi in islam, bahwa dia benar-benar sesuai dengan al-farabi dengan tulisan-tulisannya
logika dan secara umum setuju dengannya, bahkan dengan doktrin-doktin fisika dan
metafisikannya.

Ibn bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya al-farabi,dan dia telah
memberikan sejumlah besar tambahan-tambahan dalam karya-karya itu. Dan dia telah
menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-benar lain. Tidak seperti al-farabi , dia
berurusan segala masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi filsafat aristoteles,
yang diatasnya dia membangun sistemnya sendiri.Tapi dia berusaha untuk memahami lebih dulu
filsafatnya secara benar.Itulah sebabnya ibn bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-
karyanya aristoteles.

4
Atas dasar pemaparan diatas maka penulis menyusun makalah ini dengan judul
”PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU BAJJAH”. Dengan makalah ini penulis berharap pembaca
dapat memahami ilmu filsafat berdasarkan pemikiran yang islami yang bersumber dari wahyu
Allah SWT, dan dapat mengenal filosof dari dunia Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Ibnu Bajjah?
2. Apa Pemikiran Filsafat Ibnu Bajjah?
3. Apa Karya-Karya Ibnu Bajjah?

C. Tujuan
1. Mengetahui Biografi Ibnu Bajjah
2. Mengetahui Pemikiran Filsafat Ibnu Bajjah
3. Mengetahui Karya-Karya Ibnu Bajjah

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Ibnu Bajjah


Ia adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya Bin al – Sayigh at – Tujibi as-
Sarakusti. Tetapi nama poplernya yaitu Ibnu Bajah. Oang-orang Eropa pada abad
pertengahan menamai Ibnu Bajjah dengan “Avempace”. Menurut sejarawan barat, nenek
moyang Ibnu Bajjah adalah seorang yang beragama Yahudi. Ibnu Bajjah sendiri
merupakan anak seorang pandai emas yang lahir di Zaragosa (Spanyol) pada tahun 1082
Masehi. Selama masa mdanya, ia tetap tingga di tanah kelahiannya itu.
Ibnu Bajjah mengembangkan beragam ilmu pengetahuan di zaman kekuasaan
Dinasti Murabbitun. Ibnu Bajjah dkenal sebagain penyair yang hebat. Pamornya sebagai
seorang sastrawan dan ahli Bahasa begitu mengkilap. Salah satu bukti kehebatannya di
bidang sastra dibuktiannya dengan meraih kemenangan dalam kompetensi puisi
bergengsi di zamannya. Selain dikenal sebagai seorang penyair, ia juga dikenal sebagai
musis. Ia piawai bermain music terutama gambus. Yang lebih mengesankan lagi, Ibnu
Bajjah adalah ilmuwan yang hafal Al-Qur’an.
Menurut literatur, Ibnu Bajjah bukan hanya seorang filosof, tetapi saintis yang
menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, astronmi, musikus,
dan maematika. Fakta ini dapat diterima karena pada masa itu belum terjadi pemisahan
dalam suatu buku antara sains dengan filsafat sehingga seseorang yang mempelajari salah
satunya terpaksa berdentuhan dengan yang lain. Ia juga aktif dalam dunia politik,
sehingga Gubernur Zaragosa Daulath al-Murabith, Abu Bakar ibn Ibrahim al-Sahrawi
mengangkatnya menjadi wazir.1
Ketika Zaragisa jatuh ke tangan Alfonso 1, Raja Aragon, pada tahun 512 H/1118
M, Ibnu Bajjah pergi ke Seville melalui Valenia dan tinggal di ana sebagai seorang
dokter. Sesudah Seville juga diduduki Raja Alfonso 1 beberapa waktu kemudian, ia
pindah ke Granada. Tatkala ia transit di Syatibah (Jativa, selatan Valensia, Spanyol), ia
dipenjarakan oleh amir setempat dengan tuduhan membuat bid’ah, tetapi segera
dibebaskan. Setelah ia bebas, ia pergi ke Fez (kini Maroko), memasuki istana Gubernur

1
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 191-192.

6
Abu Bakar Yahya Bin Yusuf Bin Tasyifin (Ibn Tasyifin) dan menjadi pejabat tinggi
berkat kemampuan dan pengetahuannya. Dia memegang jabatan tinggi selama 20 tahun.
Musuh – musuhnya mencapnya sebagai penyebar bid’ah dan beberapa ali mencoba
melakukan usaha pembunuhan terhadapnya. Semua usaha itu gagal dan baru berhasil
dilakukan oleh seorang dokter termasyhur, Abul Ala Bin Zuhr, dengan racun. 2 Dan ia
meninggal dunia di Fez pada tahun 1138 M ketika usianya belum lagi tua.3

B. Pemikiran – Pemikiran Filsafat Ibnu Bajjah

Ibnu Bajjah adalah seorang filsuf yang ahli menyandarkan ilmunya pada ilmu
teori dan praktik ilmu – ilmu matematika, astronomi, music, ilmu pengobatan, dan studi –
studi spekualatif, spekualatif, sepertilogika, filsafat, dan metafisika. Ibnu bajjah
menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya - karya al-farabi, yakni mendasarkan
pada realitas adalah wajar. Ibnu bajjah menolak teori ilham al-ghozali ia berpendapat
bahwasannya seorang dapat mencapai puncak makrifat dan meleburkan diri pada akal
fa’al jika ia telah terlepas dari keburukan-keburukan masyarakat dan menyendiri mampu
memakai kekuatan pikirannya untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu sebesar
mungkin, karena dapat memenagkan segi pikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya.
Ia juga menyatakan masyarakat perseorangan itulah yang mengalahkan
perseorangan dan melumpuhkan kemampuan – kemampuan berpikirnya, serta
menghalangi dari kesempurnaan, melalui keburukannya yang membanjir dan
keinginannya yang deras .jadi, seseorang dapat mencapai tingkat kemuliaan setinggi –
tingginya melalui pemikiran dan meghasilkan makrifat yang tidak akan terlambat,
apabila akal pikiran dapat meguasai perbuatan-perbuatan seseorang dan mengabdikan diri
untuk memperolehnya.
Pemikiran ibnu bajjah tersebut berlawanan dengan pemikiran al-ghazali yang
menetapkan bahwa akal pikiran itu lemah dan tidak dapat dipercaya, serta semua
pengetahuan manusia sia-sia belaka karena tidak bisa menyampaikan pada suatu
kebenaran, maka cara yang paling baik untuk mencapai makrifat yang benar adalah

2
Tim Penyusun, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2020), hlm. 152.
3
Ahmad Hanafi, Pengantar…, hlm. 157.

7
mendekatkan pikiran kepada tasawuf (beribadah untuk selalu menjauhkan dunia dan
mendekatkan diri pada Allah).
Ibnu bajjah menggunakan metode penilitian filsafat yang benar –benar lain, tidak
seperti al-farabi yang berurusan dengan masalah hanya berdasarkan nalar semata. Ibnu
bajjah mengagumi filsafat Aris toteles, yang diatasnya dia membangun istemnya sendiri.
Namun ibnu bajjah berkata untuk memahami lebih dulu filsafatnya secara benar.4
Sejak semula, Ibn Bajjah menempatkan dirinya di tengah arus utama tradisi
Neoplatonik-Peripatetik yang mula-mula diperkenalkan ke alam pikiran Islam oleh al-
Farabi. Bagi Ibn Bajjah, al-Farabi adalah satu-satunya guru logika, politik, dan metaisika
yang berasal dari Timur. Filsafat Ibn Bajjah banyak terpengaruh oleh pemikiran Islam
dari kawasan di Timur, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Hal ini disebabkan kawasan Islam
di Timur lebih dahulu melakukan penelitian ilmiah dan kajian filsafat dari pada kawasan
Islam Barat (Andalus). Untuk lebih jelasnya, di bawah ini kita akan menelusuri beberapa
pemikiran Ibn Bajjah:

1. Metaisika (Ketuhanan)

Menurut Ibn Bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi dua: yang bergerak
dan tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya inite (terbatas).
Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan. Gerakan ini
digerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir rentetan gerakan ini digerakkan oleh
penggerak yang tidak bergerak, dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda
dengan jisim (materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul dari
substansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari
gerakan yang ininite (tidak terbatas), yang oleh Ibn Bajjah disebut dengan ‘aql .
Kesimpulannya, gerakan alam ini jisim yang terbatas digerakkan oleh ‘aql (bukan
berasal dari substansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak ialah ‘aql , ia
menggerakkan alam dan ia sendiri tidak bergerak. ‘Aql inilah yang disebut dengan Allah
(‘aql, ‘aqil, dan ma’qul ), sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina.
Perlu diketahui bahwa para ilosof Muslim pada umumnya menyebut Allah itu adalah

4
Dr. AsepSulaiman M. Ag., M. pd, MengenalFilsafat Islam , (Bandung : PenerbitYramaWidya ), hlm 84-85s

8
‘aql. Argumen yang mereka majukan ialah Allah Pencipta dan Pengatur alam yang
beredar menurut natur rancangan-Nya, mestilah Ia memiliki daya pikir. Kemudian dalam
mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya, para ilosof Muslim menyebut Allah adalah Zat
yang mempunyai daya pikir ( ‘aql ), juga berpikir (‘aqil ) dan objek pemikirannya sendiri
( ma’qul). Keseluruhannya adalah zat-Nya yang Esa.
Sebagaimana Aristoteles, Ibn Bajjah juga mendasarkan ilsafat metaisikanya pada
isika. Argumen adanya Allah adalah dengan adanya gerakan di alam ini. Jadi, Allah
adalah azali dan gerakannya bersifat tidak terbatas. Di sinilah letak kelebihan Ibn Bajjah
walaupun ia berangkat dari ilsafat gerak Aristoteles, namun ia kembali pada ajaran Islam.
Dasar ilsafat Aristoteles ialah ilmu pengetahuan alam yang tidak mengakui adanya
sesuatu di balik alam empiris ini. Kendatipun penggerak pertama berbeda dengan materi,
namun ia masih bersifat empiris. Uraian tersebut dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa
Ibn Bajjah mempelajari dan memahami ilsafat Aristoteles dengan baik karena argumen
yang dimajukannya masih berbau Aristotelean. Tampaknya Ibn Bajjah berupaya
mengislamkan argumen metaisika Aristoteles tersebut. Karena itu, menurutnya, Allah
tidak hanya penggerak, tetapi ia adalah Pencipta dan Pengatur alam.

2. Materi dan Bentuk

Menurut Ibn Bajjah, “Materi dapat bereksistensi tanpa harus ada bentuk (ash-
shurat).” Pernyataan ini menolak asumsi bahwa “materi itu tidak bisa bereksistensi tanpa
ada bentuk, sedangkan bentuk bisa bereksistensi dengan sendirinya, tanpa harus ada
materi.” Ibn Bajjah berargumen jika materi berbentuk, ia akan terbagi menjadi “materi”
dan “bentuk” dan begitu seterusnya. Ibn Bajjah menyatakan bahwa “Bentuk Pertama”
merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi yang dikatakan sebagai
tidak mempunyai bentuk.
Bentuk-bentuk yang berkaitan dengan aktif oleh Ibn Bajjah dinamakan bentuk-
bentuk kejiwaan umum, sedangkan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan akal sehat
dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan khusus. Pembedaan ini dilakukan karena bentuk-
bentuk kejiwaan umum hanya memiliki satu hubungan dan hubungan itu ialah dengan
yang menerima, sedangkan bentuk-bentuk kejiwaan khusus memiliki dua hubungan-

9
hubungan khusus dengan yang berakal sehat dan hubungan umum dengan yang terasa.
Semisal, seorang manusia, ingat akan bentuk Taj Mahal, bentuk ini tidak berbeda dari
bentuk nyata Taj Mahal kalau benda itu berada di depan mata, selain memiliki hubungan
khusus, juga hubungan dengan wujud umum yang terasa, sebab banyak orang melihat Taj
Mahal.

3. Jiwa

Menurut pendapat Ibn Bajjah, setiap manusia mempunyai satu jiwa, jiwa ini tidak
mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa
digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah. Alat-alat
jasmaniah diantaranya ada berupa buatan dan ada pula yang berupa alamiah, seperti kaki
dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari alat buatan, yang disebut juga oleh Ibn
Bajjah dengan pendorong naluri (al-harr al-gharizi) atau roh insting. Ia terdapat pada
setiap makhluk yang berdarah.
Jiwa menurut Ibn Bajjah, adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati. Di akhirat
jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan (surga) maupun
balasan siksaan (neraka). Akal daya berpikir bagi jiwa, adalah satu bagi setiap orang yang
berakal. Ia dapat bersatu dengan ‘Aqal Fa’al yang di atasnya dengan jalan ma’rifat
ilsafat. Filsafat Ibn Bajjah tentang jiwa pada prinsipnya didasarkan pada ilsafat Al-Farabi
dan Ibn Sina.

4. Akal dan Ma’rifat (Pengetahuan)

Menurut Ibn Bajjah, akal merupakan bagian terpenting yang dimilliki oleh
manusia. Ia berpendapat bahwa ma’rifat (pengetahuan) yang benar dapat diperoleh lewat
akal. Akal ini merupakan satu-satunya sarana yang melaluinya kita mampu mencapai
kemakmuran dan membangun kepribadian. Ibn Bajjah percaya pada kemajemukan akal
dan mengacu pada akal pertama dan akal kedua. Ia berpendapat, akal manusia paling jauh
adalah akal pertama. Lebih jauh, ia menjelaskan tingkatan-tingkatan akal dengan
mengatakan bahwa sebagian akal secara langsung berasal dari akal pertama; sebagian

10
lain berasal dari akal-akal lain, hubungan antara yang diperoleh dan tempat asal akal yang
diperoleh itu sama dengan hubungan cahaya matahari yang ada di dalam rumah dan
cahaya matahari yang ada di halaman rumah.
Ibn Bajjah berpendapat bahwa seseorang dapat mencapai puncak ma’rifat dan
meleburkan diri pada ‘Aqal-Fa’al (Akal Aktif), jika ia telah dapat terlepas dari sifat
kerendahan dan keburukan-keburukan masyarakat, serta dapat memakai kekuatan
pikirannya untuk memperoleh ma’rifat dan ilmu sebesar mungkin, juga dapat
menenangkan segi pikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya. Ibn Bajjah menjelaskan
bahwa masyarakat manusia itulah yang mengalahkan perorangan dan melumpuhkan
kemampuan-kemampuan berpikirnya, serta menghalang-halanginya dari kesempurnaan,
melalui keburukan-keburukannya dan keinginan-keinginannya yang menggebu. Jadi
seseorang dapat mencapai tingkat kemuliaan setinggi-tingginya melalui pemikiran dan
memperoleh ma’rifat yang tidak akan terlambat, apabila akal pikiran dapat menguasai
perbuatan-perbuatan seseorang dan mengabdikan diri untuk memperolehnya.

5. Akhlak

Ibn Bajah membagi perbuatan-perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian


pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang berhubungan
dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari
pemikiran yang lurus dan kemajuan yang bersih dan tinggi. Bagian ini disebutnya
“perbuatan-perbuatan manusia”. Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibn
Bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua
macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seseorang yang terantuk dengan batu,
kemudian ia luka-luka, lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia melemparnya karena telah
melukainya, maka ia adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya
yang lebih mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang
mengganggunya.
Adapun sebaliknya, kalau melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang
lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut-paut dengan
pelemparan tersebut, maka perbuatan itu adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan

11
terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut Ibn Bajah,
hanya orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan
tidak ada hubungannya dengan segi-hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai
perbuatannya. Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka
ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam
keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi
kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena
kekurangan ini timbul disebabkan ketundukannya kepada naluri.

Contoh lainnya, perbuatan makan bisa dikategorikan perbuatan hewani dan bisa
pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk
memenuhi keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun,
apabila perbuatan makan dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam
mencapai keutamaan dalam hidup, perbuatan tersebut jatuh pada perbuatan manusiawi.
Perbedaan antara kedua perbuatan ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada
perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis perbuatan
hewani dan perbuatan bermotifkan rasio (akal) maka dinamakan perbuatan manusiawi.
Manusia, menurut Ibn Bajjah, apabila perbuatannya dilakukan demi memuaskan akal
semata, perbuatannya ini mirip dengan perbuatan llahi daripada perbuatan manusiawi.
Hal ini merupakan keutamaaan karena jiwa telah dapat menekan keinginan jiwa hewani
yang selalu menentangnya. Perbuatan seperti itulah yang dikehendaki oleh Ibn Bajjah
bagi warga masyarakat yang hidup dalam negara utama.

6. Politik (Teori Pemerintahan)

Pandangan politik Ibn Bajjah dipengaruhi oleh pandangan politik Al- Farabi.
Sebagaimana Al-Farabi, dalam buku Ara’ Ahl al-Madinat al-Fadhilat, ia (Ibn Bajjah)
juga membagi negara menjadi negara utama (al-Madinat al-Fadhilat ) atau sempurna dan
negara yang tidak sempurna, seperti negara jahilah, fasiqah, dan lainnya. Demikian juga
tentang hak-hak yang lain, seperti persyaratan kepala negara dan tugas-tugasnya selain
mengatur negara, juga pengajar dan pendidik. Pendapat Ibn Bajjah ini sejalan dengan Al-

12
Farabi. Perbedaannya hanya terletak pada penekanannya. Al-Farabi titik tekannya pada
kepala negara, sedangkan Ibn Bajjah titik tekannya pada warga negara (masyarakat).
Warga negara utama, menurut Ibn Bajjah, mereka tidak lagi memerlukan dokter dan
hakim. Sebab mereka hidup dalam keadaan puas terhadap segala rezeki yang diberikan
Allah, yang dalam istilah agama disebut dengan al-qana’ah . Mereka tidak mau
memakan- makanan yang akan merusak kesehatan. Mereka juga hidup saling mengasihi,
saling menyayangi, dan saling menghormati. Oleh karena itu, tidaklah akan ditemukan
perselisihan antara mereka. Mereka seluruhnya mengerti undang-undang negara dan
mereka tidak mau melanggarnya.
Tampaknya Ibn Bajjah mempunyai hubungan tersendiri dengan al-Farabi lantaran
perhatiannya yang sama besar dengan al-Farabi terhadap isu-isu etika dan politik yang
oleh Ibn Sina cenderung dikesampingkan. Maka dari itu, seperti halnya al-Farabi, karya
utama Ibn Bajjah Tadbir Al-Mutawahhid (Pemerintahan Soliter), bertitik-tolak pada
bagaimana membentuk sebuah rezim politik yang sesuai dengan cita-cita kehidupan
soliter para ilosof yang sejati. Menurutnya, rezim ini haruslah mampu memberikan
landasan yang kuat bagi tegaknya kehidupan yang bijak bestari dan keluhuran yang layak
bagi para ilosof meskipun tanpa kehadiran para tabib atau hakim. Akan tetapi, apabila
negara ideal yang bebas dari penyakit moral dan kejahatan tersebut terjerumus ke dalam
salah satu dari empat jenis rezim yang korup seperti yang telah dikemukakan al-Farabi,
nasib ilosof yang hidup di dalamnya akan menjadi benar-benar menyedihkan. Dua pilihan
yang pasti akan dihadapinya, yaitu apabila dimungkinkan, ia akan berhijrah ke kota ideal
yang lain; atau tetap tinggal di dalamnya dan mengelola semua urusannya sebaik
mungkin. Sambil hidup bagai orang yang terasing di tengah masyarakat dan kerabatnya
sendiri.

7. Manusia Penyendiri (‘Uzlah )

Filsafat Ibn Bajjah yang paling populer ialah manusia penyendiri (al-insan al-
munfarid ). Pemikiran ini termuat dalam magnum opum-nya Kitab Tadbir al-
Mutawahhid. Sebagaimana Al-Farabi, pembicaraan Ibn Bajjah tentang hal ini erat
kaitannya dengan politik dan akhlak. Dalam menjelaskan manusia penyendiri ini, Ibn

13
Bajjah terlebih dahulu memaparkan pengertian tadbir al-mutawahhid . Lafal tadbir ,
adalah bahasa Arab, mengandung pengertian yang banyak, namun pengertian yang
diinginkan oleh Ibn Bajjah ialah mengatur perbuatan-perbuatan untuk mencapai tujuan
yang diinginkan, dengan kata lain, aturan yang sempurna. Dengan demikian, jika tadbir
dimaksudkan pengaturan yang baik untuk mencapai tujuan tertentu, maka tadbir tentu
hanya khusus bagi manusia. Sebab pengertian itu, hanya dapat dilakukan dengan
perantaraan akal, yang akal hanya terdapat pada manusia. Dan juga perbuatan manusia
berdasarkan ikhtiar. Hal inilah yang membedakan manusia dari makhluk hewan. Lebih
lanjut Ibn Bajjah menjelaskan tentang tadbir bahwa kata ini menakup pengertian umum
dan khusus. Tadbir dalam pengertian umum, seperti disebut di atas, adalah segala
bentuk perbuatan manusia.
‘Uzlah (penyendirian) yang dikemukakan oleh Ibn Bajjah bukanlah menjauhi
manusia, melainkan tetap juga berhubungan dengan masyarakat. Hanya saja ia harus
selalu bisa menguasai dirinya serta hawa nafsunya dan tidak terbawa oleh arus
keburukan-keburukan kehidupan masyarakat. Atau dengan kata lain, ia harus berpusat
pada dirinya sendiri dan selalu merasa bahwa dirinya menjadi anutan dan pusat aturan-
aturan bagi masyarakat, bukan malah tenggelam di dalamnya. Bagi Ibn Bajjah, tiap-tiap
orang, mampu menempuh jalan tersebut, dan tidak ada yang menghambatnya kecuali
peremehannya terhadap dirinya sendiri dan ketundukannya terhadap keburukan-
keburukan masyarakat. Kalau sekiranya tiap-tiap orang bisa meninggalkan sikap tersebut,
tentulah masyarakat manusia keseluruhannya bisa mencapai kesempurnaan.

8. Teori Ittishal, Kontak Intelektual dengan Tuhan


Seperti halnya Al-Farabi dan Ibn Sina, Ibn Bajjah percaya bahwa pengetahuan
tidak diperoleh semata melalui indra. Pertimbangan-pertimbangan universal dan niscaya,
isi ilmu yang prediktif dan eksplanatif serta landasan bagi penalaran apodeiktik (apho-
deictic) tentang alam, hanya dapat dicapai dengan bantuan Akal Aktif, intelegensi yang
mengatur.5

5
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibn Bajjah”, Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Vol 3, No.1,
2015, Kudus : Sekolah Tinggi Agam Islam Negeri Kudus, hlm. 64-74

14
C. Karya – Karya Ibnu Bajjah
Menurut Ibnu Thufail seorang filsuf besar yang sekaligus murid Ibnu Bajjah, ia
menyampaikan bahwa gurunya adalah seorang filosof muslim yang paling cemerlang
otaknya, paling tepat analisisnya, dan paling benar pemikirannya. Meskipun patut
disayangkan atas pembahasan filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan
sempurna karena kematiannya yang begitu cepat.

Konstribusi Ibnu Bajjah pada filsafat, tulis Ibnu Al-Imam sungguh sangat
mencengangkan. Konstribusi itu mencakup sebuah parafrase tentang fisika Aristoteles
(Paraphase Of Aristotle Physics), pokok-pokok pikiran Al-Farabi dalam logika, makalah
politik berjudul The Conduct of The Solitary (Arab: Tadbir al-Mutawahhid), dan Epitle
on The Conjuction.

Beberapa karya Ibnu Bajjah adalah Filsafat Al-Wada’, yang membahas tentang
penggerak pertama (Tuhan), manusia, alam, kedokteran. Tardiyyan, berisi tentang syair
pujian. Kitab An-Nafs, menjelaskan tentang jiwa. Risalah-risalah Ibnu Bajjah yang berisi
tentnag penjelasan atas risalah-risalah al-Farabi dalam masalah logika.
Meskipun singkat dan sering kurang tuntas, semua tulisan Ibnu Bajjah tersebut
menyajikan wawasan filosofis yang membuat disanjung di satu kawasan, Sejak awal Ibnu
Bajjah memang menempatkan dirinya di tengah-tengah arus utama tradisi Neoplatik
Paripatetik yang mula-mula diperkenalkan ke alam pikiran islam oleh Al-Farabi. Hal ini
tampak bahwa Ibnu Bajjah mempunyai perhatian yang besar terhadap isu-isu etika dan
politik, sebagaimana Al-Farabi. Tidak seperti Ibnu Sina yang cenderung
mengesampingkan kedua hal tersebut.
Karya tulisnya relatif sedikit yang terdiri dari beberapa risalah tentang logika,
risalah tentang jiwa, risalah tentang ittishal (hubungan akal dengan akal aktif), risalah Al-
Wada yang berisi uraian tentang penggerak pertama dan tujuan sebenarnya bagi wujud
manusia dan alam, serta beberapa risalah tentang astronomi dan kedokteran, risalah
Tadbir al-Mutawahhid, yang berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu

15
menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat negara yang
disebutnya Insan Muwahhid.
Menurut Carra de Vaux, kitab Tadbir Al-Mutawahhid, ynag merupakan salah satu
dari 24 risalah manusrip di perpuastaaan Berlin adalah salah satu manuskrip yang paling
penting yang disimpan disana. Isi risalah tersebut menurutnya cukup jelas, sehingga
memungkingkan kita dapat mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut
untuk bertemu dengan pemikiran yang menjadi salah satu unsur pokok bagi sebuah
negeri yang ia dambakan. 6

6
Zaprulkhan, Pengantar Filsafat Islam, (Yogyakarta: IRCISod, 2019), hlm. 68-70.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Nama lengkap Ibnu Bajjah adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya Bin al
-Sayigh at – Tujibi as-Sarakusti. Oang-orang Eropa pada abad pertengahan menamai
Ibnu Bajjah dengan “Avempace”. Ibnu Bajjah sendiri merupakan anak seorang pandai
emas yang lahir di Zaragosa (Spanyol) pada tahun 1082 Masehi. Ibnu Bajjah bukan
hanya seorang filosof, tetapi saintis yang menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan,
seperti kedokteran, astronmi, musikus, dan maematika. Ia meninggal dunia di Fez pada
tahun 1138 M ketika usianya belum lagi tua.
Beberapa pemikiran Ibn Bajjah antara lain: Metafisika (Ketuhanan), Materi dan
Bentuk, Jiwa, Akal dan Makrifat (pengetahuan), Akhlak, Politik (Teori Pemerintahan),
Manusia Penyendiri (‘Uzlah).
Beberapa karya Ibnu Bajjah adalah Filsafat Al-Wada’, yang membahas tentang
penggerak pertama (Tuhan), manusia, alam, kedokteran. Tardiyyan, berisi tentang syair
pujian. Kitab An-Nafs, menjelaskan tentang jiwa. Risalah-risalah Ibnu Bajjah yang berisi
tentnag penjelasan atas risalah-risalah al-Farabi dalam masalah logika.

B. Saran
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan. Untuk itu, penulis memohon kritik dan saran yang membangun guna
perbaikan pembuatan makalah yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi banyak pihak.

17
DAFTAR ISI

Ahmad Hanafi, Pengantar…, hlm. 157.

Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibn Bajjah”, Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Vol 3,
No.1, 2015, Kudus : Sekolah Tinggi Agam Islam Negeri Kudus, hlm. 64-74

Dr. Asep Sulaiman M. Ag., M. pd, Mengenal Filsafat Islam, (Bandung : Penerbit Yrama
Widya), hlm 84-85

Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 191-
192.

Tim Penyusun, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2020), hlm. 152.

Zaprulkhan, Pengantar Filsafat Islam, (Yogyakarta: IRCISod, 2019), hlm. 68-70.

18

Anda mungkin juga menyukai