Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Status epileptikus (SE) merupakan keadaan emergency medis berupa


kejang (seizure) persisten atau berulang yang dikaitkan dengan mortalitas tinggi
dan kecacatan jangka panjang. Etiologi yang mendasari sangat menetukan
prognosis SE. Pendekatan penatalaksanaan SE telah ,emgalami perubahan
dibandinglkan beberapa tahun yang lalu seiring pemahaman mengenai
patofisiologi aktivitas kejang, namun penatalaksanaan SE saat ini sangat
bervariasi antar institusi, karena masih kurangnya data pendukung.1
SE ditegakkan apabila kejang yang terjadi bersifat kontinyu, berulang dan
disertai gangguan kesadaran dengan durasi kejang yang berlangsung lebih dari 30
menit.SE merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus menerus tanpa
berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan bernapas dan
muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila SE tidak dapat
ditangani segera, maka besar kemungkinan dapat terjadi kerusakan jaringan otak
yang permanen dan dapat menyebabkan kematian.1
Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi :
status petitmal, status psikomotor dan lain-lain. Di sini khusus dibicarakan status
epileptikus dengan kejang tonik-klonik umum. Biasanya bila status epileptikus
tidak bisa diatasi dalam satu jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang
permanen. Oleh karena itu gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi
secepat mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan
dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60 - 80% penderita yang bebas dari kejang
setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi
penderita epilepsi.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI DAN KLASIFIKASI


Status epileptikus adalah bangkitan (kejang) yang berlangsung lebih dari
30 menit dan atau bangkitan berlangsung dua kali atau lebih , diantara dua
bangkitan pasien tidak sadar. Secara sederhana kejang persisten atau seseorang
yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan
sebagai status epileptikus.3
Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan SE sebagai kejang
yang terus menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih
kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran diantaranya. Saat ini, ada beberapa
versi pengklasifikasian SE sebagai berikut:3
1. Status Epileptikus Konvulsif
a. Status epileptikus tonik – klonik umum
Bangkitan tonik-klonik yang berulang kali atau berkepanjangan
berlangsung lebih dari 30menit atau lebih dari 5 menit tanpa diselingi
pemulihan kesadaran diantara bangkitan-bangkitan yang terjadi. Bangkitan ini
melibatkan kedua belah hemisfer.

2. Status Epileptikus Non-konvulsif


a. Status epileptikus parsial kompleks
Bangkitan ini melibatkan sebagian hemisfer. Lobus temporalis atau
frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Terjadi
pada semua usia.
b. Status Epileptikus Lena
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada
usia pubertas atau dewasa. Bangkitan status dapat berulang, berlangsung
beberapa jam atau jarang beberapa hari. Faktor predisposisi status lena khas
adalah menstruasi, menghentikan obat secara mendadak, hipoglikemia,
hiperventilasi, sinar atau cahaya yang menyilaukan, gangguan tidur,
kelelahan dan stress.

2
c. Status epileptikus lena atipikal
Status ini biasanya ditemukan pada penderita dengan kerusakan otak
difus dan secara spesifik terdapat pada syndrom lennox-gastaot. Bangkitan ini
melibatkan neuron kortikal dan thalamus.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Status epileptikus terjadi pada 10-41 kasus per 100.000 orang per tahun.
Sedangkan angka mortalitas 100 kasus per 100.000 di usia lebih 60 tahun. 3
Insiden SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap tahun,
sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk usia lanjut.
Dua penelitian retrospektif di Jerman mendapatkan insiden 17,1 per 100.000 per
tahun. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada penelitian Richmond berkisar
22%. Kematian pada anak hanya 3% sedangkan pada dewasa 26%, populasi yang
lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38.1
Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi.
Pasien stroke dan anoreksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan
pasien dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam
darah yang rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah.1

2.3 ETIOLOGI
Penyebab utama status epileptikus adalah penyakit serebrovaskular,
penghentian konsumsi obat antikonvulsan secara tiba-tiba, dan trauma kepala.
Faktor pencetus seperti terkena cahaya tertentu, kurang tidur, suara tertentu, dan
menstruasi.3
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:4
 Simtomatis, penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit,
trauma kepala, perdarahan atau stroke.
b. Remote: bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati
hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi atau kelainan otak
kongenital.

3
c. Kelainan neurologi prgresif:tumor otak, kelainan metabolik,autoimun
(contohnya vaskulitis)
d. Epilepsi
 Idiopatik/ kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui.

2.4 FISIOLOGI IMPULS SARAF


Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial
membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel.
Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan
istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial
membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan.
Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion
terutama ion Na+, K + dan Ca++. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya
stimulasi listrik akan mengakibatkan menurunnya potensial membran.5
Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas
membran terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak
masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membran
masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+,
sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang
demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila rangsangan
cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing
level), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-
besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi
ini akan dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan perantara
zat kimia yang dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah selesai,
maka permiabilitas membran kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+
akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa
Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.5
Neurotransmitter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan
disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan
dari ujung akson terminal dan juga direabsorbsi untuk daur ulang.
Neurotransmiter merupakan cara komunikasi antar neuron. Setiap neuron

4
melepaskan satu transmitter. Zat–zat kimia ini menyebabkan perubahan
permeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih kurang dapat
menyalurkan impuls. Diketahui atau diduga terdapat sekitar tiga puluh
macam neurotransmitter, diantaranya adalah Norephinephrin, Acetylcholin,
Dopamin, Serotonin, Asam Gama-Aminobutirat (GABA) dan Glisin. 6
Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls di
sepanjang neuron. Permeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrium dan
kalium bervariasi dan dipengaruhi oleh perobahan kimia serta listrik dalam
neuron tersebut (terutama neurotransmitter dan stimulus organ receptor).5
Tempat–tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan dengan neuron lain
atau dengan organ –organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan satu–satunya
tempat dimana suatu impuls dapat lewat dari suatu neuron ke neuron lainnya
atau efektor. Ruang antara satu neuron dan neuron berikutnya (atau organ
efektor) dikenal dengan nama celah sinaptik (synaptic cleft). Neuron yang
menghantarkan impuls saraf menuju ke sinaps disebut neuron prasinaptik.
Neuron yang membawa impuls dari sinaps disebut neuron postsinaptik.6
Dalam keadaan istirahat, permeabilitas membran sel menciptakan kadar
kalium intrasel yang tinggi dan kadar natrium intrasel yang rendah, bahkan pada
kadar natrium ekstrasel yang tinggi. Impuls listrik timbul oleh pemisahan muatan
akibat perbedaan kadar ion intrasel dan ekstrasel yang dibatasi membran sel.
Potensial aksi yang terjadi atau impuls pada saat terjadi depolarisasi dialirkan ke
ujung saraf dan mencapai ujung akson (akson terminal). Saat potensial aksi
mencapai akson terminal akan dikeluarkanlah neurotransmiter, yang melintasi
synaps dan dapat saja merangsang saraf berikutnya.5
Timbulnya kontraksi otot
Timbulnya kontraksi pada otot rangka mulai dengan potensial aksi dalam
serabut–serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang
menyebar ke bagian dalam serabut, dimana menyebabkan dilepaskannya ion–ion
kalsium dari retikulum sarkoplasma. Selanjutnya ion kalsium menimbulkan
peristiwa–peristiwa kimia proses kontraksi.5
Perangsangan serabut otot rangka oleh saraf
Dalam fungsi tubuh normal, serabut–serabut otot rangka dirangsang oleh

5
serabut–serabut saraf besar bermielin. Serabut–serabut saraf ini melekat pada
serabut serabut otot rangka dalam hubungan saraf otot (neuromuscular junction)
yang terletak di pertengahan otot. Ketika potensial aksi sampai pada
neuromuscular junction, terjadi depolarisasi dari membran saraf, menyebabkan
dilepaskan Asetilkoolin, kemudian akan terikat pada motor end plate membrane,
menyebabkan terjadinya pelepasan ion kalsium yang menyebabkan terjadinya
ikatan Actin–Myosin yang akhirnya menyebabkan kontraksi otot. Oleh karena
itu potensial aksi menyebar dari tengah serabut ke arah kedua ujungnya,
sehingga kontraksi hampir bersamaan terjadi di seluruh sarkomer otot.5

2.5 PATOFISIOLOGI
Pada status epileptikus, ditemukan adanya kegagalan mekanisme normal
untuk mencegah kejang. Kegagalan ini terjadi saat rangsangan bangkitan kejang
yang dimediasi olh neurotransmiter-neurotransmiter eksitatori seperti glutamat,
aspartat dan asetilklin melebihi kemampuan hambatan instriksik (GABA) atau
mekanisme inhibitornya tidak efektif.7
SE diawali dengan terjadinya fosfolirasi protein yang menyebabkan
terbuka dan tertutupnya gerbang-gerbang ion,pelepasan neurotrasmiter dan
modulator dan densitisasi reseptor pada beberapa detik pertama. Setelah beberapa
menit, terjadi trafficking akibat perpindahan reseptor GABA-A pada membran
sinaptik menuju ke endosom dan perpindahan reseptor glutamat dari endosom ke
membran sinaptik. Proses ini menyebabkan perubahan dratis terhadap jumlah
reseptor inhibitor dan eksitatorik pada synaptic cleft. Setelah beberapa jam, terjadi
perubahan maladaptif pada modulator neuropeptida, menyebabkan peningkatan
eksitabilitas. Pada saat bersamaan, reseptor NMDA bergerak menuju membran
sinaptik membentuk reseptor eksitatori tambahan, menyebabkan eksitabilitas
meningkat saat kejang terjadi.7
Kerusakan neuronal terjadi akibat stimulasi neuronal NMDA terus
menerus yang berujung pada apoptosis. Ketika neuron mengalami depolarisasi,
iom Mg2+ memblok channel keluar, sehingga terjadi kelebihan ion Na+ dan Ca2+ di
dalam sel mengakibatkan sel dalam keadaan sitooksik, sehingga meyebabkan
kerusakan sel neuron, lysis sel dan kematian sel. Kerusakan sel neuron akibat

6
proses ini mungkkin reversibel jika status SE dihentikan dalam beberapa jam
pertama.7
Reseptor GABA-A yang mengalami endositosis hanya reseptor yang
terdapat pada intrasinaptik, sedangkan reseptor GABA-A ekstrasinaptik tidak. Hal
inilah yang dimanfaatkan dalam pengobatan SE dengan cara menstimulasi reseptr
GABA-A ekstrasinaptik.7
Patofisiologi SE terbagi menjadi 2 fase,yaitu:2
1. Fase I (0-30 menit) mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
2.6 Pelepasan adrenalin dan nonadrenalin
2.7 Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
2.8 Hipertensi dan hiperpireksia
2.9 Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat

2. Fase II (>30 menit) mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
 Kegagalan autoregulasi serebral/ edema otak
 Depresi pernafasan
 Disritmia jantung dan hipotensi
 Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Status Epileptikus tonik-klonik mempunyai 2 fase, yaitu sebagai berikut:1
1. Fase Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi mekanisme
fisiologis cukup untuk kebutuhan metabolik, dan jaringan otak terlindungi dari
hipoksia atau kerusakan metabolisme. Perubahan fisiologis utama terkait
dengan meningkatnya aliran darah dan metabolisme otak, aktivitas otonom
(takikardi, hipotensi, hipertermi,dilatasi pupil), dan perubahan kardiovaskuler.
2. Fase Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat meningkat dan
tidak dapat sepenuhnya tercukupi, sehingga menyebabkan hipoksia dan
perubahan metabolik sistemik. Perubahan otonom tetap berlangsung dan
fungsi kardiorespirasi dapat gagal mempertahankan homeostasis.

7
2.10 DIAGNOSA
ANAMNESIS
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut: 8
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder
gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi
kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia ana-anak
dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya
ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau
tumor otakdan sebagainya.
2. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? (Anamnesis
dilakukan dalloanamnesis yang mengetahui serangan kejang berlangsung).
Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal
serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi
tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang
berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang
terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi? Apakah ada
sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah
pasien mengompol? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis
mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral
lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak
gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan
kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang
berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin
kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat
dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
3. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal
period” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu
tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap
sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial

8
kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut
“Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak.
Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan
berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan
disorientasi setelah serangan kejang.
4. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang
tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga
dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,
sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu
malam hari.
5. Apakah ada faktor pencetus? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip, menstruasi, faktor makan dan
minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat,
stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu,
“drug abuse”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling
dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah
serangan kejang.
6. Bagaimana frekuensi serangan kejang?
7. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ?
8. Adakah riwayat penyakit sistemik/SSP seperti keganasan, infeksi, kelainan
metabolik,
Keracunan?
9. Adakah riwayat kejang dalam keluarga?

PEMERIKSAAAN FISIK2
1. Pemeriksaan tanda vital
2. Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran, penglihatan dan
pendengaran, refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papiledema akibat
peningkatan TIK, akibat tumor, perdarahan dan lain-lain,
3. Sistem motorik yaitu kelumpuhan, tonus, pergerakan tidak terkendali, ataksia,
dan sistem sensorik yaitu parastesia, hipestesia, anestesia.

9
PEMERIKSAAN PENUNJANG3
1. EEG
2. CT-scan atau MRI
3. Laboratorium:
 Darah: elektrolit, kalsium, magnesium, kadar gula, ureum, kreatinin,
hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, hapusan darah tepi,
fungsi hati, skrining toksikologi.
 Cairan serebrospinal: bila dicurigai ada infeksi SSP.

2.11 DIAGNOSA BANDING3


1. Sinkop
2. Hipoglikemi
3. Keracunan
4. Hysteria
5. Narkolepsi
6. Migraine
7. Vertigo
8. TIA

2.12 PENATALAKSANAAN9
1. Fase stabilisasi (0-5 menit) meliputi primary survey, standar penanganan
pertama untuk kejang, penilaian dan monitor tanda vital.
2. Fase terapi inisial (5-20 menit) saat jelas bahwa bangkitan memerlukan
intervensi medis. Pilihan obat-obat golongan benzodiazepam (diazepam 0,15
mg/kg IV atau lorazepam 0,1 mg/kg IV dalam 1-2 menit., ulangi setelah 5
menit jika masih kejang,jika tidak ada akses V berikan diazepam per rektal)
3. Fase terapi kedua (20-40 menit) dimana respon dari terapi sudah terlihat.jika
tidak merespon, dapat digunakan phenitoin (dengan loading dose 20 mg/kg IV
(100mg/menit), asam valproat (40 mg/kg IV max: 3000mg/dose),
levetiracetam (60 mg/kg, max: 4500 mg/dose)
4. Fase terapi ketiga (40-60 menit), jika masih kejang terapi anestesi
mengguanakan propofol(1-2 mg/kg), tiopental (3-7mg/kg).

10
Gambar 2.1 Tatalaksana status epileptikus

2.13 KOMPLIKASI
1. Komplikasi primer akibat langsung dari SE10
Kejang dan SE menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu
reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor
glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya.
Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf
otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik.
Proses kontraksi dan relaksasi otot terjadi pada SE konvulsif dapat
menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal.

11
Selain itu,keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan
memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom
dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung atau aritmia).
Metabolisme otak pun terpengaruh, mulanya terjadi hiperglikemia
akibat pelepasan ketakolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa
akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan
oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan
otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses inflamasi,peningkatan
vaskularitas atau gangguan sawar darah otak.
2. Komplikasi sekunder10
Komplikasi sekunder akibat penggunaan obat antikonvulsan adalah
depresi napas serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepam dan
fenobarbital. Efek samping propofol yang harus diwaspadai adalah propofol
infusion syndromeyang ditandai dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal
ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik.
Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait
perawatan intensif dan imobilisasi seperti emboli paru, trombosis vena dalam,
pneumonia, serta gangguan pernapasan dan hemodinamik harus diperhatikan.

2.10 PROGNOSIS
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis 37% menderita
defisit neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual, sekitar 3-56%pasien
yang mengalami SE akan mengalami kembali SE akan mengalami kembali
kejang yang lama atau SE yang terjadi dalam 2 tahun pertama.10
Angka kematian terkait SE pada 30 hari perawatan dilaporkan kurang
dari 10%. Kematian tersebut lebih disebabkan oleh komorbiditas penyakit atau
penyakit yang mendasarinya,bukan akibat langsung dari SE.

12
BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang pasien perempuan bernama Ny.S datang ke IGD pada tanggal 03


Mei 2018 pukul 08.00 WIB dengan keluhan kejang yang dialami sejak 1 jam
SMRS, kejang terjadi terus menerus. Riwayat penyakit dahulu hipertensi (+) dan
stroke (+).

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 66 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Lawe Sigala Gala
Agama : Islam
No.Rekam medik : 166419
Tangga masuk RS : 3 Mei 2018

3.2 PEMERIKSAAN
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan anak pasien, pada:
Tanggal : 3 Mei 2018
Jam : 08.00 WIB
Tempat : IGD RSUD Datu Beru Takengon

Keluhan Utama
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Kejang sejak 1 jam SMRS, kejang terjadi terus menerus.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi dan pasien pernah mengalami stroke.
Riwayat Penyakit Keluarga

13
Disangkal
Riwayat Penggunaan Obat
Pasien mengonsumsi obat hipertensi (tidak diketahui namanya)

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 3 Mei 2018 di IGD
Generalis
Kesadaran : Koma
GCS : E: 1 V: 1 M: 1
Tekanan Darah : 149/83 mmHg
Frekuensi Nadi : 100 x/i
Frekuensi Napas : 22 x/i
Suhu : 36,9 0C

Lokalis
Mata : Pupil Isokor (+), konjungtiva anemis (-)
Thoraks :Simetris (+/+), sonor (+/+), vesikuler (+/+), whezing(-/-),
Abdomen : Timpani (+/+), peristaltik usus(+/+)
Ekstremitas : Pucat (-/-)(-/-), akral dingin (-/-) (-/-)

FOLLOW UP
Dilakukan mulai tanggal 3 – 9 Mei 2018 di ICU
Tabel 3.1 Follow Up pasien
Tanggal Jam Catatan format SOAP Profesi

3 Mei 2018 08.00 S: kejang (+), penurunan kesadaran dr.Maulida, Sp.


(+) S
O: TD: 149/83 mmHg, HR: 100 x/i,
RR: 22 x/i, T: 36,9 0C
A: Status epileptikus
P: - O2 4L/i
- IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
- Phenitoin 1 amp/8jam
- Inj diazepam 1 amp/bolus pelan

14
(ekstra)
- Inj citicolin 500mg/12jam
- Inj piracetam 3g/6jam
- Depakote 2x500 mg
- Drip phenitoin 1 amp dalam
Nacl 0,9% (Sp) 2 cc/jam
Cek darah rutin
Trigliserida dan kolesterol
4 Mei 2018 08.00 S: Kejang dr.Maulida, Sp.
O: TD: 143/77mmHg, HR: 100x/i, S
RR: 20x/i, suhu:36,9 0C
A: Status Epileptikus + post stroke
P: - O2 4L/i
- IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
- Inj citicolin 500mg/12jam
- Depakote 2x500 mg
- Drip phenitoin 1 amp dalam
Nacl 0,9% (Sp) 2 cc/jam
- Simvastatin 1x20 (malam)
- Candesartan 1x1
5 Mei 2018 08.00 S: kejang berkurang, penurunan dr.Maulida, Sp.
kesadaran (+) S
O:TD:124/72mmHg,HR:94x/i,RR:18
x/i, T:36,5 0C
A: Status Epileptikus + post stroke
P: - O2 4L/i
- IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
- Inj citicolin 500mg/12jam
- Depakote 2x500 mg
- Drip phenitoin (Sp) 2 cc/jam
- Simvastatin 1x20 (malam)
- Candesartan 1x1
6 Mei 2018 09.00 S: kejang berkurang, penurunan dr.Maulida, Sp.

15
kesadaran (+) S
O:TD:114/78 mmHg,HR:82 x/i, RR:
20 x/i, T: 36,8 0C
A: Status Epileptikus+ post stroke
P: - O2 4L/i
- IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
- Inj citicolin 500mg/12jam
- Drip phenitoin (Sp) 2 cc/jam
- Depakote 2x500 mg
- Simvastatin 1x20 (malam)
- Candesartan 1x1
7 Mei 2018 08.00 S: kejang berkurang dan penurunan dr.Maulida, Sp.
kesadaran (+) S
O: TD: 183/96 mmHg, HR:82x/i,
RR: 20 x/i,T: 37 0C, edema kaki (+)
A: Status Epileptikus + post stroke
P: - Diet tinggi protein
- O2 4L
- IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
- Inj citicolin 500mg/12jam
- Depakote 2x500 mg
- Drip phenitoin (Sp) 1 cc/jam
- Simvastatin 1x20 (malam)
- Candesartan 1x16 mg
- Amblodipin 1x 5 mg
Cek lab albumin
- Inf albumin fls/H
8 Mei 2018 08.30 S: kejang berkurang dan penurunan dr.Maulida, Sp.
kesadaran (+) S
O: TD: 198/106 mmHg, HR:90 x/i,
RR: 20 x/i,T: 36,5 0C, edema kaki (+)
A: Status Epileptikus + post stroke
P: - Diet tinggi protein (putih telur 5

16
- O2 4L/i
- IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
- Inj citicolin 500mg/12jam
- Depakote 2x500 mg
- Drip phenitoin (Sp) 0,5 cc/jam
- Simvastatin 1x20 (malam)
- Candesartan 1x16 mg
- Amblodipin 1x 10 mg
- Inf albumin fls/H(H2)
- Albuforce 3x1
9 Mei 2018 08.30 S: kejang berkurang dr.Maulida, Sp.
O: TD: / mmHg, HR:90 x/i, RR: 20 S
x/i,T: 36,5 0C, edema kaki (+)
A: Status Epileptikus
P: - Diet tinggi protein
- O2 4L/i
- IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
- Inj citicolin 500mg/12jam
- Depakote 2x500 mg
- Drip phenitoin (Sp) 0,5 cc/jam
- Simvastatin 1x20 (malam)
- Candesartan 1x16 mg
- Amblodipin 1x 10 mg
- Inf albumin fls/H(H2)
- Albuforce 3x1
- Herbesser 1x100mg
- Depakene syr 2x CII
Cek lab albumin
Rencana pindah ruangan
9 Mei 2018 16.00 Hemodinamik stabil
Albumin dalam batas normal
Pasien dipindahkan ke ruangan
dahlia

17
PEMERIKSAAN PENUNJANG TAMBAHAN
1. Laboratorium
a. Darah rutin
Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Darah Rutin
PARAMETERS NILAI RUJUKAN
HGB 11.1 [g/dL] L 14,0- 17,5
P 12,3 – 15,3
RBC 3.99 [10^6/μL] L 4,5- 5,9
P 4,1 – 5,1
HCT 31,7 [%] L 40,0 – 52,0
P 34,0 – 47,0
MVC 74.9 - [Fl] 80,0 – 97,0
MCH 27.8 [pg] 26,5 – 33,5
MCHC 35.0 [g/dL] 31,5 – 35,0
RDW-SD 37.0 [fL] 35- 47
RDW-CV 12.8 [%] 11,5- 14,5
WBC 8.43 [10^3/μL] 4 - 11
EO 0,1 [%] 2- 4
BASO 0.4 [%] 0–1
NEUT 79.6 + [%] 50- 70
LYMPH 13.0 - [%] 25 – 40
MONO 6.9 [%] 2–8
PLT 324 [10^3/μL] 150 –
450

b. Trigliserida : 99 mg/dl (N= ˂160)


Kholesterol : 250 mg/dl (N= ˂200)
c. Albumin
Tanggal 7 Mei 2018: 2.95 g/dl (N= 3.2 – 5.2)
Tanggal 9 Mei 2018: 3.6 g/dl (N= 3.2 – 5.2)

2. EKG

18
Dilakukan pada tanggal 5 Mei 2018

Gambar 3.1 Hasil EKG


3. CT-Scan kepala

19
Gambar 3.2 CT-Scan Kepala
Hasil:
- Tampak lesi hiperdens dengan ferifocal oedem sekitarnya densitas 54, 17
HU temporoparietal sinistra dengan volume 14,10 cc
- Sulci dan gyri baik
- Midline tidak shift
- Sistem ventrikel dalam batas normal
- Cerebellum,pons dan CPA baik
- Sinus-sinus paranasalis dan aircell mastoid yang terscan dalam batas normal
- Orbita, bulbus oculi dan retroorbital space baik
- Tulang- tulang yang terscan kesan intak
Kesan: Hematoma intracerebri sinistra

20
BAB VI
KESIMPULAN

Status epileptikus adalah bangkitan (kejang) yang berlangsung lebih dari


30 menit dan atau bangkitan berlangsung dua kali atau lebih , diantara dua
bangkitan pasien tidak sadar. Secara sederhana kejang persisten atau seseorang
yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan
sebagai status epileptikus.3
Penyebab utama status epileptikus adalah penyakit serebrovaskular,
penghentian konsumsi obat antikonvulsan secara tiba-tiba, dan trauma kepala.
Faktor pencetus seperti terkena cahaya tertentu, kurang tidur, suara tertentu, dan
menstruasi.3
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis 37% menderita defisit
neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual, sekitar 3-56%pasien yang
mengalami SE akan mengalami kembali SE akan mengalami kembali kejang yang
lama atau SE yang terjadi dalam 2 tahun pertama.10
Angka kematian terkait SE pada 30 hari perawatan dilaporkan kurang dari
10%. Kematian tersebut lebih disebabkan oleh komorbiditas penyakit atau
penyakit yang mendasarinya,bukan akibat langsung dari SE.10

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Rilianto B. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. Continuing Medical


Education. 2015: 42(10): 750-754.
2. Turner C. Epilepsy. Dalam: Neurology Crash Course. Edisi ke 2. Philadelphia:
Mosby Elseiver. 2006: 9.
3. Munir B. 2011. Status Epileptikus. Dalam: Neurologi Dasar. Jakarta: Sagung
Seto.
4. Goldstein JA,Chung mg. Status epilepticus and seizures. Pediatric
neurocritical care. New York: Demosmedical. 2013. h117-138.
5. Guyton, Arthur C.1987. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 5. Jakarta: EGC. hal
148-168.
6. Price A, Silvia, Wilson M, Lorraine. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC.hal: 901-929.
7. De Goot J. Signalling in the nervous system. Dalam: correlative
neuroanatomy. Edisi ke 21. Connecticut Appleton and Large. hal:18-24.
8. Harsono. 20001. Epilepsi. Edisi 1. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
9. New Guideline for Treatment of Prolonged Seizuresin Children and Adults.
American Epilepsy Society. 2016. Diakses
dari:https://www.org/about_aes/press_release/guideline2016.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan
Status Epileptikus. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

22

Anda mungkin juga menyukai