Anda di halaman 1dari 15

Biografi Frans Kaisiepo

Frans Kaisiepo adalah seorang pahlawan nasional yang memiliki peran penting dalam penyatuan
Papua dengan Indonesia. Ia bahkan merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah
putih di Irian Barat dengan penuh kebanggaan.

Kehidupan Pribadi Frans Kaisiepo


1. Masa Kecil

Frans Kaisiepo lahir pada tanggal 10 Oktober 1921 di Biak, Papua. Ia merupakan putra dari
pasangan Albert Kaisiepo dan Alberthina Maker. Ayahnya adalah seorang kepala suku Biak
Numfor dan seorang pandai besi.

Ibunya meninggal ketika Frans masih berusia dua tahun. Frans pun kemudian dititipkan pada
bibinya sehingga ia tumbuh besar dengan sepupunya, Markus.

2. Pendidikan

Sebelum membicarakan biografi Frans Kaisiepo lebih jauh, kamu perlu mengetahui
pendidikannya terlebih dahulu. Karena meskipun Frans besar di kampung Wardo yang terdapat
di pedalaman Biak, tapi ia menempuh pendidikan di sekolah dengan sistem pendidikan Belanda.

Pada tahun 1928–1931, Frans bersekolah di Sekolah Rakyat. Selulusnya dari sana, ia
melanjutkan ke LVVS di Korido hingga tahun 1934 kemudian ke Sekolah Guru Normalis di
Manokwari.

Setelah lulus, Frans Kaisiepo sempat mengikuti sebuah kursus kilat Sekolah Pamong Praja di
Kota Nica (sekarang namanya Kampung Harapan Jaya) selama bulan Maret hingga Agustus
1945. Di sekolah tersebut, Frans diajar oleh Soegoro Atmoprasodjo, seseorang yang sangat
dipercaya oleh Belanda tapi justru mengajarkan tentang nasionalisme Indonesia pada murid-
muridnya.

Soegoro Atmoprasodjo sendiri sebenarnya adalah aktivis dari Partai Indonesia (Partindo) dan
pengajar Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara. Pada tahun 1935 ia dibuang ke Boven
Digoel, Papua karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia terhadap
Belanda. Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan Jepang, ia dibawa oleh Belanda untuk
bekerja di Sekolah Pramong Praja.
Pertemuan dengan Soegoro semakin menambah rasa cinta Frans Kaisiepo pada Indonesia. Dari
Soegoro pula Frans dan teman-teman di sekolah mengenal lagu Indonesia Raya.

3. Pernikahan

Frans pertama kali menikah dengan Anthomina Arwam dan dikaruniai tiga orang anak. Dua di
antaranya perempuan, bernama Beatrix Kaisiepo Wanma dan Susana Kaisiepo Manggaprouw,
dan seorang anak laki-laki bernama Manuel Kaisiepo.

Setelah istrinya meninggal dunia, ia menikah lagi dengan seorang perempuan dari Demak, Jawa
Tengah yang bernama Maria Magdalena Moorwahyuni. Dari pernikahan yang terjadi pada 12
November 1973 itu, keduanya dikaruniai seorang putra bernama Victor Kaisiepo.

4. Meninggal Dunia

Penyebab kecurigaan tersebut adalah karena beberapa hari sebelumnya ia terlihat tengah berobat
di rumah sakit. Namun, mendadak Maria dikabari kalau suaminya itu meninggal dunia karena
serangan jantung. Lho, lalu bagian mananya yang mencurigakan, ya?

Rupanya, saat itu Frans Kaisiepo tengah berusaha mengungkap kebenaran tentang adanya
penipuan dalam pelaksanaan Pepera. Namun mendadak ia dikabarkan meninggal dunia.
Meskipun begitu, tidak ada yang tahu dengan pasti apakah kematiannya itu normal atau ada yang
membunuhnya.

Kehidupan Politik Frans Kaisiepo


1. Perwakilan di Konferensi Malino

Pada tanggal 15 hingga 25 Juli 1946, terdapat sebuah konferensi yang bertujuan untuk
membentuk negara-negara bagian di Indonesia. Konferensi yang bertempat di Kota Malino,
Sulawesi Selatan, tersebut dikenal dengan nama Konferensi Malino.

Frans Kaisiepo menghadiri konferensi tersebut sebagai wakil dari Papua. Pada konferensi
tersebut, ia menentang niat Belanda untuk menggabungkan Papua dengan Maluku dan
memasukkan Papua ke Negara Indonesia Timur (NIT). Pada akhirnya, NIT terdiri dari Maluku,
Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara.

Di konferensi yang sama, ia juga mengusulkan supaya pemimpin Papua dipilih dari kalangan
sendiri dan mengubah nama Papua menjadi Irian. Nama Irian itu berasal istilah dalam bahasa
Biak yang memiliki arti panas.

Istilah Irian tersebut sering digunakan oleh para pelaut Biak yang harus menunggu panas
matahari untuk dapat melaut. Penggunaan nama Irian sebagai pengganti Papua seolah
mengharapkan kalau Irian  bisa menjadi cahaya penerang yang mengusir kegelapan di Indonesia.
Pada akhirnya, nama Irian juga dibuat sebagai akronim oleh Presiden Soekarno dengan
kepanjangan “Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands.”

Usulan untuk mengganti nama dan menyatukan Irian dengan Indonesia itu tidak mendapatkan
dukungan sama sekali baik dari pemerintah Indonesia ataupun Belanda. Sejak saat itu, tidak
pernah ada perwakilan dari Papua untuk konferensi apa pun. Sebagai hukuman, Frans Kaisiepo
dikirim untuk bersekolah di Opleidingsschool voor Inheemsche Bestuursambtenaren (OSIBA).

2. Peran Serta di Operasi Trikora

Pada tahun 1961, Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala untuk merencanakan,
mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua dan
Indonesia. Operasi militer tersebut diberi nama Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat).
Ketika menyadari kalau tujuan Trikora itu sejalan dengan keinginannya untuk menyatukan
Papua dengan Indonesia, Frans Kaisiepo pun berusaha untuk memberikan bantuan sebisa
mungkin.

Saat itu, Frans baru saja mendirikan sebuah partai politik bernama Irian Sebagian Indonesia
(ISI). Melalui ISI, Frans Kaisiepo memberikan bantuan untuk sukarelawan Indonesia yang
mendarat di Mimika.

3. Ditunjuk Sebagai Gubernur Papua

Pada tahun 1964, gubernur Papua yang bernama Eliezer Jan Bonay diturunkan dari jabatannya
dan ditahan oleh Pemerintah. Sebagai gantinya, Frans Kaisiepo diangkat menjadi gubernur
Papua.

Selama menjabat sebagai gubernur, banyak peningkatan yang terjadi di Papua dibandingkan
ketika dipimpin oleh pemerintah Belanda. Di antaranya adalah pertumbuhan penduduk dan
tingkat pendidikan masyarakat yang meningkat.

4. Peran Serta pada Pepera dan Penyatuan Papua dengan Indonesia

Pada tahun 1969, di Papua Barat terdapat jajak pendapat untuk menentukan status daerah
tersebut menjadi milik Indonesia atau Belanda. Jajak pendapat tersebut disebut Penentuan
Pendapat Rakyat atau yang lebih banyak dikenal dengan istilah Pepera. 

Masing-masing daerah mengirimkan perwakilan untuk memberikan suara dan menentukan 


status Papua. Saat itu, Frans Kaisiepo memiliki peran yang cukup penting.

Saat itu, Frans Kaisiepo sering melakukan kampanye ke daerah-daerah, seperti Jayapura,
Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, hingga ke Merauke. Ia
berusaha meyakinkan para anggota dewan di daerah-daerah tersebut untuk memilih bergabung
dengan Indonesia.

Tak berhenti sampai di sana, Frans Kaisiepo pun dipilih sebagai delegasi Indonesia untuk
menyaksikan pengesahan hasil Pepera di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New
York.

5. Pindah ke Jakarta

Setelah pensiun sebagai gubernur Papua, Frans Kaisiepo diminta untuk pindah ke Jakarta oleh
pemerintah Indonesia. Di ibukota Indonesia tersebut, ia diangkat sebagai pegawai di Kementrian
Dalam Negeri dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selain itu, ia juga diangkat
sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk periode 1973–1979.

Penghargaan sebagai Pahlawan Nasional

Membahas tentang biografi Frans Kaisiepo ini tentu saja kurang lengkap kalau nggak
menyebutkan penghargaan yang sudah didapatkan. Kira-kira apa saja bentuk penghargaannya,
ya?

Pada tanggal 14 September 1993, pengakuan resmi dari Pemerintah Indonesia terhadap jasa-jasa
Frans Kaisiepo muncul dengan keluarnya Keppres No. 77/TK/1993. Surat Keputusan Presiden
tersebut ditandatangani oleh Presiden Soeharto dan berisi penganugerahan Frans Kaisiepo
sebagai Pahlawan Nasional.

Selain itu, nama pahlawan nasional dari Biak ini juga diabadikan menjadi nama salah satu kapal
perang TNI AL dan bandara internasional yang terdapat di Pulau Biak. Bahkan, pada tahun
2016, Pemerintah dan Bank Indonesia merilis desain uang lembar nominal 10.000 dengan
gambar Frans Kaisiepo di salah satu sisinya.
Biografi Silas Papare
Silas Papare Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia
yang berjuang menyatukan Irian Jaya (Papua) ke dalam
wilayah Indonesia. Ia lahir di Serui, Papua pada 18 Desember
1918 dan meninggal di Serui, Papua pada 7 Maret 1973 pada
umur 54 tahun.

Pada tahun 1935 Ia menyelesaikan pendidikan di Sekolah Juru


Rawat dan bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda.
Kegigihannya dalam berjuang untuk kemerdekaan Papua
membuatnya sering berurusan dengan aparat keamanan
Belanda.

Perjuangan

29 September 1945, Silas Papare dengan bimbingan ex Digulis


Harjono dan Suprapto membentuk Komite Indonesia Merdeka
( KIM ) untuk menghimpun kekuatan dan mengatur gerak langkah
perjuangan selanjutnya. Tujuannya membela dan mempertahankan
Proklamasi 17 Agustus 1945 serta menangani pemulangan para
tawanan.

Pada Desember 1945 bersama-sama dengan Marthen Indey, Cornelis Krey dapat mempengaruhi Batalyon
Papua (bentukan tentara Sekutu) untuk berontak terhadap Belanda tujuannya untuk mewujudkan
Kemerdekaan bagi Irian Barat Rencana tersebut dapat diketahui Belanda, sehingga mendatangkan
bantuan dari Rabaul (Papua Timur). Akhirnya Silas Papare dan Marthen Indey ditangkap dan dipenjara di
Holandia (Jayapura).

Pada tanggal 23 November 1946 Ia mendirikan Partai Kemerdekaan Irian dimana Silas Papare sebagai
Ketua Umum. Karena Partai ini tidak disenangi Pemerintah Belanda, Silas Papare ditangkap dan
dipenjarakan di Biak. Atas Undangan Pemerintah RI sebagai Partai Kemerdekaan Irian di Serui datang ke
Yogyakarta untuk menjadi delegasi RI dalam koperasi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Silas Papare
bersama-sama dengan teman-temannya membentuk Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta.

Di pengasingan
Saat menjalani masa tahanan di Jayapura, Silas berkenalan dengan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur sulawesi
yang diasingkan oleh Belanda di tempat tersebut. Perkenalannya dengan Sam Ratulangi membuat
semakin yakin bahwa Papua harus bebas dan bergabung dengan Republik Indonesia. Hal tersebut
membuat ia akhirnya mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Akibatnya Silas kembali
ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Biak. Namun kemudian ia berhasil melarikan diri menuju
Yogyakarta.

Pada bulan Oktober 1949, ia mendirikan Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta dalam rangka membantu
pemerintah Republik Indonesia untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RI. Akibatnya,
beliau kembali ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Biak.

Pada tahun 1951 Silas Papare membentuk Kompi Irian 17 di Markas Besar Angkatan Darat untuk
mendukung politik Pemerintah di forum Internasional dalam usaha pengembalian Irian Barat ke
pangkuan Republik Indonesia.

Guna mengenang jasa besarnya, nama Silas Papare di abadikan sebagai salah satu kapal selam perang,
yakni KRI Silas Papare. KRI Silas Papare adalah sebuah Korvet kelas Parchim yang dibuat untuk
Volksmarine / AL Jerman Timur pada akhir 70-an. Penamaan menurut Pakta Warsawa adalah Project
133. Kapal ini didesain untuk perang anti kapal selam di perairan dangkal/pantai. Oleh TNI AL kapal ini
dimodifikasi dengan menambahkan kapasitas BBM untuk patroli lebih lama di laut.

Oleh Pemerintah Indonesia Silas Papare dianugerahi gelar pahlawan indonesia pada 14 September 1993
dengan dikeluarkannya Keppres No. 77/TK/1993.

Latar belakang
Di Yogyakarta, Silas Papare membentuk Badan Perjuangan Irian yang berusaha keras untuk
memasukkan wilayah Irian Jaya ke dalam negara Indonesia. Silas Papare kemudian ditunjuk
menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus
1962 yang mengakhiri perseteruan antara Indonesia dan Belanda perihal Irian Barat. Perjanjian
itu ditindaklanjuti dengan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 di mana
rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan NKRI. Silas Papare wafat dan dimakamkan di
Serui pada tanggal 7 Maret 1978.

Atas jasa-jasanya Silas Papare dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres No.
077/TK/1993, Tgl. 14 September 1993.

Salah satu kapal perang milik TNI AL mendapat kehormatan menggunakan nama KRI Silas
Papare yaitu sebuah korvet kelas Parchim.
Biografis Marthen Indey

Marthen Indey, Pahlawan Nasional Dari Tanah Papua – Marthen Indey merupakan salah seorang
Pahlawan Nasional yang berjuang dalam melawan penjajah. Ia sempat berprofesi sebagai polisi
pemerintah kolonial Belanda berbalik mendukung Indonesia. Bahkan ia pernah diasingkan
setelah bertemu dengan beberapa tahanan politik. Hal itu terjadi pada saat ia bertugas untuk
menjaga para tahanan politik. Peristiwa tersebut secara tidak langsung menumbuhkan jiwa
nasionalismenya dalam pertempuran melawan penjajah.

Perjuangan Marthen dalam membela Tanah Papua membuatnya menjadi salah saeorang tokoh
mendorong bergabungnya Irian Jaya ke dengan Indonesia. Tak jarang dalam perjuangannya ia
sering menerima penolakan. Salah satunya saat ia merencanakan untuk menangkap aparat
pemerintah Hindia Belanda. Yang mengakibatkannya Belanda memindahkannya ke Australia
saat Jepang mulai memasuki Irian. Saat kepulangannya ke Indonesia pada tahun 1944, Marthen
Indey mendapat tugas untuk melatih Anggota Batalyon Papua bentukan Belanda untuk
menghadapi Jepang. Bahkan ia sempat bergabung dalam menyiapkan pemberontakan
menumbangkan kekuasaan kolonial Belanda dan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Namun sayangnya rencana tersebut gagal dalam pelaksanaannya karena terungkap oleh Belanda.

Marthen Indey kemudian bergabung menjadi anggota Komite Indonesia Merdeka (KIM).
Bahkan sempat menjadi ketua organisasi Partai Indonesia Merdeka (PIM). Ia juga sempat
memimpin delegasi 12 kepala suku untuk menyampaikan protes terhadap maksud Belanda
memisahkan Irian Barat dari Indonesia. Kemudian menyampaikan Piagam Kota Baru kepada
Presiden Soekarno tentang tekad penduduk Irian Jaya untuk tetap setia kepada Republik
Indonesia. Ia bahkan sempat berangkat ke New York untuk melakukan perundingan agar Irian
Barat yang dalam pemerintahan sementara PBB secepatnya masuk kembali pada NKRI.

Marthen juga ikut bergabung dalam dunia Politik, dengan ikut bergabung sebagai Anggota
MPRS mewakili Irian Jaya sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu, ia juga menjadi
kontrolir perbantuaan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh
tahun.

Kehidupan Pribadi Marthen Indey

Marthen lahir pada tanggal 16 Maret 1912 di Doromena, Jayapura. Ia sempat menempuh
pendidikan pada sebuah sekolah rakyat selama lima tahun. Selanjutnya ia melanjutkan
pendidikan ke Sekolah Kepolisian Sukabumi, Jawa Barat dan Sekolah Marinir Makassar dan
Surabaya. Yang mana setelah menyelesaikan pendidikan kepolisiannya, ia kemudian bekerja
sebagai petugas pengawas tahanan politik di Boven Digul. Tidak hanya itu, Marthen Indey juga
sempat mengikuti pelatihan pada Bris-bane Cans Australia.

Marthen menikah dengan seorang perempuan bernama Agustina Heumassey. Dari


pernikahannya, Ia memiliki dua orang anak yang bernama Frans Marcelino Charles Engelbert
Indey dan Fikena Soroway lndey. Marthen meninggal pada usia 74 tahun  pada tanggal 17 Juli
1986, kemudian dimakamkan di Desa Sabron Yaru, Distrik Sentani Barat, Jayapura. Berkat
jasanya terhadap negara, Marthen mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 14
September 1993. Selain itu, namanya menjadi nama sebuah rumah sakit milik TNI AD Jayapura.
Biografis Sultan Hamengkubuwono IX

Nama: Gusti Raden Mas Dorodjatune


Gelar: Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Lahir: Ngasem, Ngayogyakarta Hadiningrat, Hindia
Belanda, 12 April 1912
Meninggal: Washington, D.C., Amerika Serikat, 2
Oktober 1988
Agama : Islam
Pendidikan:
Taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw
Willer di Bintaran Kidul
Eerste Europeesche Lagere School di Yogyakarta (1925)
Hoogere Burgerschool (HBS, setingkat SMP dan SMU) di
Semarang dan Bandung (1931)
Rijkuniversiteit Leiden, jurusan Indologie (ilmu tentang
Indonesia) lalu ekonomi

Gusti Raden Mas Dorodjatun atau Sri Sultan Hamengkubuwana IX atau dalam bahasa Jawa Sri
Sultan Hamengkubuwono IX adalah seorang sultan yang pernah memimpin Kasultanan
Yogyakarta (1940–1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah
kemerdekaan Indonesia. Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga pernah menjabat sebagai wakil
presiden Indonesia yang kedua (1973–1978), selain itu Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka
Indonesia dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat pada 12 April 1912 dan
meninggal di Washington, DC, Amerika Serikat pada 2 Oktober 1988 pada umur 76 tahun.

Biografi Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Sri Sultan Hamengkubuwono IX lahir di Ngasem, Ngayogyakarta Hadiningrat pada 12 April


1912 dengan nama lahir Gusti Raden Mas Dorodjatun. Hamengkubuwono IX merupakan putra
dari Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dan permaisuri Kangjeng Raden Ayu Adipati Anom
Hamengkunegara.

Pada usia 4 tahun, Hamengkubuwono IX tinggal pisah dari keluarganya. Hamengkubuwono IX


memperoleh pendidikan di Europeesche Lagere School di Yogyakarta. Pada tahun 1925, ia
melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool di Semarang, dan Hoogere Burgerschool
te Bandoeng (HBS Bandung). Pada tahun 1930-an ia melanjutkan pendidikan perguruan
tingginya di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda.

Pada 18 Maret 1940, Hamengkubuwana IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta ke-9 dengan
gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana
Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping
Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan


Indonesia. Selain itu, Ia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi
Yogyakarta dengan predikat “Istimewa”. Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun
bernegosiasi secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adam
mengenai otonomi Yogyakarta.

Pada masa Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal
saluran irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku Alam IX merupakan penguasa lokal
pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang
Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi
Militer Belanda I. Sultan Hamengkubuwana IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat
di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988.

Peranan Sri Sultan Hamengkubuwana IX Dalam Mempertahankan Keutuhan Bangsa dan


Negara Indonesia

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, keadaan perekonomian sangat buruk. Kas negara
kosong, pertanian dan industri rusak berat akibat perang. Blokade ekonomi yang dilakukan
Belanda membuat perdagangan dengan luar negeri terhambat. Kekeringan dan kelangkaan bahan
pangan terjadi di mana-mana, termasuk di Yogyakarta.Untuk menjamin agar pemerintahan RI
tetap berjalan, Sultan Hamengkubuwana IX menyumbangkan kekayaannya sekitar 6.000.000
Gulden, untuk membiayai pemerintahan, kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai
pemerintah lainnya.

Setelah Perundingan Renville, pada 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer ke-2.
Sasaran penyerbuan yaitu Ibukota Yogyakarta. Selanjutnya, pada 22 Desember 1948 Presiden
Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan para pembesar lainnya di tangkap
Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka. Sementara, Sultan Hamengkubuwana IX tidak di
tangkap karena kedudukannya yang istimewa, dikhawatirkan akan mempersulit keberadaan
Belanda di Yogyakarta. Selain itu, pada waktu itu Belanda sudah mengakui Yogyakarta sebagai
kerajaan dan menghormati kearifan setempat. Namun, Sultan menolak ajakan Belanda untuk
bekerja sama.

Sultan Hamengkubuwana IX menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh daerah


Yogyakarta. Dalam surat tersebut, Sultan menyatakan mengundurkan diri sebagai Kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pengunduran diri tersebut kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam. Hal ini
dilakukan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban tentara Belanda. Selain
itu, Sultan tidak akan bisa diperalat untuk membantu musuh. Sementara itu, secara diam-diam
Sultan membantu para pejuang RI, dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang,
pejabat pemerintah RI dan orang-orang Republiken.

Peranan Sultan Hamengkubuwana IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh TNI masih
tidak singkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, beliaulah yang melihat semangat juang
rakyat melemah dan menganjurkan serangan umum. Sedangkan menurut Pak Harto, beliau baru
bertemu Sultan malah setelah penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana pribadinya (dari
istana Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai republik yang tidak mendapat gaji semenjak
Agresi Militer ke-2.

Sejak 1946, Hamengkubuwana IX pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang
dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 yaitu Menteri Utama di bidang
Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya
pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan
kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur karena tak
menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.

Hamengkubuwana IX ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di


Amsterdam, Belanda pada tahun 1938.

Bapak Pramuka Indonesia

Sejak usia muda Hamengkubuwana IX telah aktif dalam organisasi pendidikan kepanduan.
Menjelang tahun 1960-an, Hamengkubuwana IX menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan).

Pada 9 Maret 1961, Presiden Sukarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka.
Panitia tersebur beranggotakan Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Prof. Prijono (Menteri P dan
K), Dr.A. Azis Saleh (Menteri Pertanian), dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi dan
Pembangunan Masyarakat Desa).
Pada 14 Agustus 1961 (Hari Pramuka), selain dilakukan penganugerahan Panji Kepramukaan
dan defile, juga dilakukan pelantikan Mapinas (Majelis Pimpinan Nasional), Kwarnas dan
Kwarnari Gerakan Pramuka. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai Ketua Kwarnas
sekaligus Wakil Ketua I Mapinas (Ketua Mapinas adalah Presiden RI).

Pada Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka tahun 1988 yang berlangsung di Dili
(Ibukota Provinsi Timor Timur, sekarang negara Timor Leste), mengukuhkan Sri Sultan
Hamengkubuwana IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat
Keputusan nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka.

Wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwana IX

Pada minggu malam 2 Oktober 1988, Hamengkubuwana IX wafat di George Washington


University Medical Centre, Amerika Serikat dan kemudian dimakamkan di pemakaman para
sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.

Pada 8 Juni 2003, Sri Sultan Hamengkubuwana IX diangkat menjadi pahlawan nasional
Indonesia oleh presiden Megawati Sukarnoputri.
Biografi Sultan Syarif Kasim II

Yang di pertuan besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin atau Sultan Syarif Kasim II adalah
Sultan ke-12 dan juga merupakan sultan terakhir kesultanan Siak. Sultan Syarif Kasim II adalah
anak dari Sultan Syarif Hasim I dan istrinya permaisuri Tengku Yuk.Sultan Syarif Hasyim I
adalah sultan ke-11 kerajaan siak.

Syarif Kasim lahir di Siak Sri Indra Pura-Riau pada 1 Desember 1893 dan wafat pada 23 April
1968 di Rumbai,Pekanbaru-Riau pada usia 74 tahun.

Ayah dari Syarif Kasim II yakni  Sultan Assyaidin hasyim I Abdul jalil Syaifuddin wafat pada
tahun 1908.Setelah ayah nya wafat , Syarif Kasim II di nobatkan sebagai Sultan Kerajaan Siak
Indrapura, yg pada saat itu beliau baru berusia 16 tahun.

Karena beliau belum cukup umur dan tengah menjalani dan menempuh pendidikan di batavia
maka Syarif Kasim II di nobatkan sebagai sultan kerajaan Siak Indrapura pada tanggal 13 maret
1915 dengan gelar Sultan Asyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin.

Sultan Syarif Kasim II merupakan seorang pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.


Tidak lama setelah proklamasi beliau menyatakan bahwa kesultanan siak sebagai bagian wilayah
indonesia dan dia menyumbangkan sebagian besar harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden
untuk pemerintah republik ( setara dengan 151 juta gulden atau €69 uero pada tahun 2011).
Beliau bersama Sultan Serdang berusaha membujuk Raja-raja di sumatra timur lainnya untuk
turut memihak kepada republik indonesia.

Di bawah kepemimpinan Sultan Syarif Kasim II, Kerajaan siak menjadi ancaman bagi
pemerintah Hindia belanda.Karena secara terang-terangan Sultan Syarif Kasim II menunjukkan
penentangannya kepada penjajah.

Dengan Lantang Sultan Syarif Kasim II menolak Sri ratu belanda sebagai pemimpin tertinggi
para raja di kepulauan nusantara termasuk siak.

Sultan Syarif Kasim amat sadar akan pentingnya pendidikan sebagai tonggak perubahan bagi
suatu kaum, karena itu beliau mencoba mencerdaskan rakyatnya dengan mendirikan sekolah-
sekolah di siak. Dan bagi putra-putri yg cerdas dan berprestasi akan mendapat beasiswa untuk
menempuh pendidikan ke medan dan batavia.

Orang-orang menghormati Sultan Syarif Kasim bukan saja hanya karena kedudukan beliau
sebagai raja , tetapi juga karena perkataan dan perbuatan beliau bersifat menyatu.Seperti beliau
tidak hanya mendukung NKRI dg maklumat dan pernyataan politik saja tetapi juga tindakan atau
perbuatan nyata dengan menyumbangkan harta nya dalam jumlah yg sangat besar kepada negara.
Dan juga beliau tidak hanya menyayangi rakyatnya dalam bentuk perkataan tetapi juga dg
perbuatan nyata yaitu dengan mencerdaskan rakyatnya dengan menyediakan fasilitas sekolah-
sekolah.

Pada peringatan/haul kematian beliau yg ke-19 , beliau mendapat gelar pahlawan nasional.

Penetapannya tanggal 6 november 1998 melalui keputusan presiden No.109/TK/1998 yg di


tandatangani BJ Habibie. Sultan Syarif Kasim II juga mendapat tanda kehormatan bintang
mahaptra Adipradana.

Untuk mengenang jasa-jasanya pemerintah provinsi riau mengabdikan nama beliau pada bandara
International di Pekanbaru dengan nama Sultan Syarif Kasim II yg semula bernama bandar udara
simpang tiga.

Bandara ini merupakan adalah tempat pertama kali Sultan Syarif Kasim II melakukan pendaratan
perdana dan meresmikannya pada tahu 1943 bersama dg permaisuri Tengku Agung Sultanah
Latifah dan pembesar pemerintahan belanda.
Biografi Ismail Marzuki
Ismail Marzuki lahir di Kwitang, Senen, Batavia
pada 11 Mei 1914, Ia adalah salah seorang
komponis besar Indonesia, karyanya kebanyakan
bertema lagu-lagu perjuangan.Namanya sekarang
diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta
yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan
Salemba, Jakarta Pusat.

Ada lebih dari 250 karyanya yang beberapa di


antaranya masih sering dilantun-dengarkan hingga
kini, di antaranya adalah Indonesia Pusaka, Sabda
Alam dan Juwita Malam yang dipopulerkan oleh
Chrisye, Selendang Sutera, dan Sepasang Mata
Bola. Tak hanya itu

Rayuan Pulau Kelapa  adalah lagu ciptaan karya


Ismail Marzuki yang paling populer, lagu tersebut
digunakan sebagai lagu penutup akhir siaran oleh
stasiun TVRI pada masa pemerintahan Orde Baru.
Ia sempat mendirikan orkes Empat Sekawan.
Selain itu ia dikenal publik ketika mengisi musik dalam film Terang Bulan.

Dalam hidupnya, Ismail dikenal sangat mencintai Indonesia. Ini terbukti dari beberapa lagunya seperti
Indonesia Pusaka dan Rayuan Pulau Kelapa. Pada saat RRI direbut penjajah pun, dia memilih mogok
kerja dan rela hidup susah bersama istrinya.

Masa kecil
Ismail Marzuki lahir dan besar di Jakarta berasal dari keluarga Betawi asli, lahir di Kwitang, Senen,
Jakarta, 11 Mei 1914. Oleh teman-temannya, dia dipanggil Maing. Ibunya meninggal saat dia berumur
tiga bulan. Dia lalu dirawat oleh kakaknya yang lebih tua 12 tahun darinya, Anie Hamimah.

Ayah Ismail adalah Marzuki, bekerja sebagai karyawan di perusahaan Ford Reparatieer. Gajinya yang
lumayan membuatnya mampu membeli alat pemutar musik Gramofon dan beberapa piringan hitam
beragam musik: keroncong, pop, gambus, dan lainnya. Fasilitas tersebut kemudian turut memengaruhi
minat dan bakat musik Ismail.

Pada masa sekolah, saat kenaikan kelas, Ismail sering meminta kepada ayahnya untuk dibelikan alat
musik: harmonika, mandolin, dan lainnya. Dia betul-betul memanfaatkan alat musik itu untuk bermusik
dan menciptakan lagu. Pada saat berumur 17 tahun, dia berhasil menciptakan lagu pertamanya berjudul
O…Sarinah.

Karir dan pekerjaan


Setelah lulus sekolah, Ismail bekerja di Socony Servie Station sebagai kasir. Gajinya yang sebesar 30
golden per bulan ditabungnya untuk membeli biola.
Tak lama bekerja menjadi kasir, dia lalu keluar dan bekerja di perusahaan dagang KK Nies yang menjual
alat-alat musik dan merekam piringan hitam. Dia betah di tempat kerja barunya tersebut karena sejalan
dengan hobi musiknya. Sejak kerja di sini pula, dia rajin membeli piringan hitam musik-musik instrumen
barat: samba, tango, dan lainnya.

Bakatnya di bidang musik semakin terasah, di usia muda Ismail sudah menguasai banyak alat musik:
gitar, piano, accordion, ukulele, rebab, harmonika, biola, dan lainnya Di usia muda.

Saat usianya menginjak 23 tahun Ismail bergabung dengan grup orkes Lief Java pada 1937, sejak saat itu
kemampuan musiknya meningkat pesat. Dia mampu mengaransemen lagu beragam genre: pop,
keroncong, seriosa, dan lainnya. Dia juga punya banyak kesempatan untuk tampil di radio dan di acara-
acara pentas.

Ismail melakukan rekaman pertama melalui perusahaan Polydor dan Odeon. Lagu-lagu yang direkam di
antaranya: O…Sarinah, Ali Baba Rumba, dan Olhe Lheu Dari Kotaradja. Para penggemar musik, khusunya
anak muda, menyambutnya dengan hangat.

Ismail juga mengisi lagu untuk filem Terang Bulan yang dibintangi RD Mochtar. Dia menyanyikan lagu
Duduk Termenung. Kesuksesan film Terang Bulan membuat Ismail dan Lief Java diundang ke Singapura
dan Malaysia untuk pentas karena film Terang Bulan sangat sukses di kedua negara tersebut.

Pada 1940, Ismail menikah dengan Eulis Zuraidah. Keduanya tidak dikaruniai anak, tapi kemudian
memiliki seorang anak angkat bernama Rachmi Aziah.

Akhir hayat
Ismail jatuh sakit pada 1956. Lagu ciptaan terakhirnya dibuat pada masa sakit, berjudul Inikah Bahagia?
Tanggal 25 Mei 1958, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, Ismail meninggal dunia di usia yang masih
sangat muda, 44 tahun.

Pada tahun 1968  Ismail Marzuki mendapat anugerah penghormatan dengan dibukanya Taman Ismail
Marzuki, sebuah taman dan pusat kebudayaan di Salemba, Jakarta Pusat. Beberapa barang
peninggalannya dipajang di tempat tersebut: biola, accordion, jam dinding, dan lainnya.

Ismail Marzuki selama ini diyakini sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai pencipta lagu Halo, Halo
Bandung yang terkenal. Lagu tersebut menggambarkan besarnya semangat rakyat Bandung dalam
peristiwa Bandung Lautan Api. Namun sebenarnya siapa pencipta lagu tersebut yang sebenarnya masih
diperdebatkan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Hingga kini lagu Hal;o-halo Bandung masih menjadi
Kontroversi.

Karya Lagu: 
Aryati; Gugur Bunga; Melati di Tapal Batas (1947); Wanita; Rayuan Pulau Kelapa; Sepasang Mata Bola
(1946); Bandung Selatan di Waktu Malam (1948); O Sarinah (1931); Keroncong Serenata; Kasim Baba;
Bandaneira; Lenggang Bandung; Sampul Surat; Karangan Bunga dari Selatan; Selamat Datang
Pahlawan Muda (1949); Juwita Malam; Sabda Alam; Roselani; Rindu Lukisan; Indonesia Pusaka.

Di antara semua lagunya, yang paling terkenal adalah Halo-Halo Bandung dan Rayuan Pulau Kelapa.
Walaupun, lagunya yang berjudul Halo-Halo Bandung masih diperdebatkan oleh sebagian masyarakat.

Ismail Marzuki meninggal di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta pada 25 Mei 1958 pada umur 44
tahun, dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Pada tanggal 5 November 2004  dia dinobatkan
menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional Indonesia memalui Keppres No. 89/TK/2004.

BIOGRAFI SANG MACAN BETINA DARI TIMUR OPU DAENG RISADJU

Nama Lengkap : Opu Daeng Risadju

Alias : Fammajah

Profesi : Pahlawan Nasional

Agama : Islam

Tempat Lahir : Palopo

Tanggal Lahir : Minggu, 0 -1 1880

Warga Negara : Indonesia

Suami : Muhammad Daud


Anak : Abdul Kadir Daud

Nama kecil Opu Daeng Risadju

Dilansir dari buku Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap (2012) karya Mirnawati, nama asli
atau kecil Opu Daeng Risadju adalah Famajjah. Lahir pada 1880 di Palopo, Sulawesi Selatan.

Famajjah merupakan anak dari pasangan Muhammad Abdullah To Baresseng dan ibunya Opu
Daeng Mawellu yang merupakan keturunan bangsawan Luwu.

Sejak kecil, Famajjah sudah dibiasakan membaca Al-Quran sampai tamat 30 juz. Selain itu,
dirinya juga mempelajari fiqih dari buku yang ditulis oleh salah satu tokoh penyebar agama
Islam di Sulawesi Selatan, Khatib Sulaweman Datung Patimang.

Setelah beranjak dewasa, Famajjah dinikahkan dengan H Muhammad Daud, seorang ulama yang
pernah tinggal di Mekkah dan merupakan anak dari teman dagang ayahnya.

H Muhammad Daud kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu. Sejak saat
itu nama Famajjah bertambah gelar menjadi Opu Daeng Risadju.

Awal perjuangan

Pada tahun 1905, Belanda berhasil menguasai Kerajaan Luwu, sehingga Opu Daeng dan
suaminya harus meninggalkan Kota Palopo dan memilih menetap di Pare-Pare.

Di Pare-Pare, beliau aktif sebagai anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Di organisasi
tersebut, Opu Daeng berkenalan dengan H Muhammad Yahya, seorang pedagang Sulawesi
Selatan yang sudah lama tinggal di Pulau Jawa.

Sekembalinya ke Palopo, Opu Daeng Risadju mendirikan cabang PSII di Palopo pada 14 Januari
1930. Dirinya kemudian meluaskan perjuangannya yang menimbulkan kekhawatiran bagi
pemerintah Belanda dan Kerajaan Luwu.
Dalam Buku Pintar Mengenal Pahlawan Indonesia (2018) karya Suryadi Pratama, kegiatan yang
dilakukan Opu Daeng dinilai sebagai kekuatan politik yang membahayakan Belanda.

Hal tersebut membuat dirinya dituduh melakukan tindakan provokasi rakyat untuk melawan
pemerintah kolonial dan dipenjara selama 13 bulan.

Peristiwa tersebut membuat Opu Daeng Risadju tercatat sebagai wanita pertama yang
dipenjarakan oleh Pemerintah kolonial Belanda dengan alasan politik.

Selain harus berhadapan dengan Belanda, Opu Daeng juga mendapatkan tekanan dari Datu
Luwu dan Dewan Adat Luwu. Di mana Opu Daeng harus menghentikan politiknya.

Namun, beliau tetap memilih dekat dengan rakyat dan meninggalkan gelar kebangsawanannya.

Pada masa revolusi, Opu Daeng Risadju dengan pemuda Indonesia melakukan serangan tentara
NICA pada 1946 di Sulawesi Selatan. Pada saat itulah terjadi konflik senjata yang sangat besar.

Sebulan setelah pnyerangan, ternyata tentara NICA melakukan penyerangan kembali dan
berhasil menangkap Opu Daeng Risadju di Lantoro.

Penangkapan tersebut membuat Opu Daeng dipaksa berjalan kaki ke Watampone yang berjarak
40 kilometer dengan usia yang tidak lagi muda.

Hukuman tersebut membuat Opu Daeng mengalami tuli hingga akhir hayatnya. Pada tanggal 10
Februari 1964,beliau meninggal dunia di Palopo dan di makamkan di pekuburan raja-raja
Lokkoe di Palopo.

Opu Daeng Risadju dianugerahi gelar pahlawan berdasarkan Keppres No 85/TK/2006 pada
tanggal 3 November 2006. Dan namanya kini menjadi nama jalan di Kota Palopo, Sulawesi
Selatan.

Anda mungkin juga menyukai