yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan dan keduanya bisa terjadi baik disengaja maupun tanpa sengaja. Setiap tahun kebakaran hutan terjadi di Indonesia. Kebakaran hutan yang sering terjadi sebagian besar diakibatkan oleh faktor kelalaian ataupun kesengajaan manusia dalam rangka pembukaan lahan secara besar besaran yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan secara ilegal, baik untuk usaha pertanian, kehutanan maupun perkebunan dan hanya sebagian kecil saja yang disebabkan oleh alam (petir atau lava gunung berapi). Definisi Kebakaran Hutan menurut SK. Menhut. No. 195/Kpts-II/1996 yaitu suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungannya. Kebakaran hutan merupakan salah satu dampak dari semakin tingginya tingkat tekanan terhadap sumber daya hutan. Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan atau lahan adalah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, seperti terjadinya kerusakan flora dan fauna, tanah, dan air. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun walaupun frekwensi, intensitas, dan luas arealnya berbeda. Dampak negatif pada lingkungan fisik antara lain meliputi penurunan kualitas udara akibat kepekatan asap yang memperpendek jarak pandang sehingga mengganggu transportasi, mengubah sifat fisika-kimia dan biologi tanah, mengubah iklim mikro akibat hilangnya tumbuhan, bahkan dari segi lingkungan global ikut memberikan andil terjadinya efek rumah kaca. Dampak pada lingkungan hayati antara lain meliputi menurunnya tingkat keanekaragaman hayati, terganggunya suksesi alami, terganggunya produksi bahan organik dan proses dekomposisi. Kebakaran hutan terjadi akibat adanya pembersihan lahan (land clearing) dan konservasi hutan menjadi perkebunan dengan cara membakar seresah, daun dan sisa tumbuhan. Metode pembakaran ini merupakan metode yang paling murah, mudah dan efisien. Namun akibat tidak terkendalinya pembakaran tersebut, api merambat kemana-mana dan menimbulkan kebakaran. Faktor cuaca juga merupakan faktor penting yang menyebabkan kebakaran hutan, meliputi: angin, suhu, curah hujan, keadaan air tanah dan kelembaban relatif. Waktu juga mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan, karena waktu sangat terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Waktu dipisahkan atas waktu siang dan malam hari. Terdapat hubungan antara waktu dengan kondisi kebakaran hutan dan lahan. Faktor topografi yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan mencakup tiga hal yaitu kemiringan, arah lereng dan medan. Pencegahan Konsep sederhana untuk mencegah terjadinya proses pembakaran adalah menghilangkan salah satu dari komponen segitiga api. Hal yang dapat dilakukan adalah menghilangkan atau mengurangi sumber panas (api) dan akumulasi bahan bakar. Adapun strategi yang dapat dijadikan acuan dalam usaha pencegahan terjadinya kebakaran, meliputi: 1. Sistem peringatan dini; Sistem peringatan dini Berdasarkan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi mudah terbakarnya vegetasi dan biomassa, tingkat penyebaran, kesulitan pengendalian, dampak kebakaran dan faktor klimatologis serta kemajuan teknologi, maka dapat dikembangkan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (Fire Danger Rating System) sebagai sistem peringatan dini bahaya kebakaran. Di Indonesia sistem ini dikembangkan oleh Canadian Forest Service (CFS), serta sejumlah lembaga pemerintah (Departemen Kehutanan, BMG, BPPT dan Bakornas) dan universitas melalui dukungan dana hibah dari CIDA (Canadian International Development Agency). Keluarannya berupa peta tentang kemudahan dimulainya api, tingkat kesulitan pengendalian api dan kondisi kekeringan di wilayah Indonesia. Jika dari hasil sistem peringatan dini yang telah dilakukan di tingkat lembaga pusat maupun daerah menunjukkan indikasi akan terjadinya kemarau panjang yang berpotensi menimbulkan kebakaran, maka tindakan yang perlu dilakukan adalah: Menyebarkan peringatan dini melalui media lokal (cetak, radio) agar diketahui oleh kelompok target pemanfaat hutan, politisi, masyarakat dan pengelola lahan lain mengenai akan terjadinya kemarau panjang yang berpotensi menyebabkan kebakaran; Memantau aktivitas disekitar lahan dan hutan, terutama daerah rawan melalui patroli harian; Menyebarluaskan informasi larangan melakukan pembakaran; Melakukan persiapan, pelatihan dan penyegaran untuk semua petugas terkait dan masyarakat dalam usaha-usaha pemadaman kebakaran; Merencanakan penanggulangan bersama dengan masyarakat, LSM, dan perusahaan- perusahaan di sekitar hutan; Memastikan ketersediaan peralatan pemadaman dan semua peralatan berfungsi dengan baik; Melakukan pertemuan dan komunikasi secara rutin antara masyarakat, perusahaan, LSM dan petugas pemadam kebakaran. 2. Peningkatan partisipasi masyarakat Peningkatan partisipasi/peran serta masyarakat lokal dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu dorongan dan rangsangan, insentif, kesempatan, kemampuan, serta bimbingan. Upaya peningkatan partisipasi masyarakat ini dapat dilakukan melalui: Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat terhadap bahaya kebakaran dan penegakan hukum melalui dialog langsung dan/atau melalui media penyuluhan (buku cerita, stiker, brosur, kalender, poster, dll); Pemberian insentif, sehingga masyarakat akan memperoleh manfaat dari partisipasi aktif mereka dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran. Insentif dapat diberikan dalam bentuk pengembangan produkproduk alternatif yang dapat dihasilkan masyarakat seperti hasil kerajinan rotan, pembuatan briket arang dan kompos serta dalam pengembangan kegiatankegiatan ekonomi yang ramah lingkungan, misalnya budidaya ikan dalam kolam “beje” dengan memanfaatkan parit/kanal yang ditabat; Peningkatan kemampuan masyarakat melalui pelatihan dan bimbingan; 3. Memasyarakatkan teknikteknik ramah lingkungan dalam pengendalian kebakaran kebakaran Teknik zero burning Zero burning merupakan salah satu kebijakan yang diadopsi oleh negaranegara anggota ASEAN dalam rangka mengatasi polusi asap lintas negara akibat kebakaran. Dalam pelaksanaannya telah dibuat panduan sebagai acuan pelaksanaan kebijakan zero burning. Teknik pembakaran terkendali (controlled burning) Teknik pembakaran terkendali merupakan salah satu alternatif dalam penyiapan lahan mengingat teknik zero burning kemungkinan kecil untuk dapat dilaksanakan oleh usaha pertanian masyarakat lokal. Hanya diijinkan pada masyarakat lokal yang tidak berbadan hukum; Luas lahan tidak lebih dari 1-2 ha; Kondisi tidak memungkinkan tanpa penggunaan api (pembakaran); Pembakaran dilakukan bergilir pada setiap calon ladang. Berdasarkan tipe bahan bakar dan sifat pembakarannya, kebakaran hutan dan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu: Kebakaran bawah (ground fire) merupakan tipe kebakaran dimana api membakar bahan organik dibawah permukaan. Oleh karena sedikit udara dan bahan organik maka kebkaran ini tidak terlihat apinya namun asap. Penyebaran api juga sangat lambat dan terjadi dalam waktu yang lama (biasanya terjadi pada lahan gambut yang ketebalannya mencapai 10 meter). Kebakaran permukaan (surface fire) yaitu tipe kebakaran dimana api membakar bahan bakar permukaan yang berupa serasah, semak belukar, anakan, pancang, dan limbah pembalakan. Sifat api permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam. Kebakaran tajuk (crown fire) merupakan tipe kebakaran yang membakar tajuk pohon (bagian atas pohon). Kebakaran ini akan parah jika terjadi di tanaman yang daunnya mudah terbakar dan rapat. Kebakaran hutan dan lahan antara lain karena faktor alam, biasanya terjadi pada musim kemarau ketika cuaca sangat panas dan faktor pembakaran oleh manusia. Sebab utama dari kebakaran adalah pembukaan lahan yang meliputi: Pembakaran lahan yang tidak terkendali sehingga merembet ke masyarakat maupun perusahaan. Namun bila pembukaan lahan dilaksanakan dengan pembakaran dalam skala besar, kebakaran tersebut sulit terkendali. Pembukaan lahan tersebut sering dilaksanakan untuk usaha perkebunan, (Hutan Tanaman Industri) HTI, pertanian lahan kering, sonor dan mencari ikan. Pembukaan lahan yang paling berbahaya adalah di daerah rawa/gambut. Penggunaan lahan yang menjadikan lahan rawan kebakaran, misalnya dilahan bekas (Hak Pengusahaan Hutan) HPH dan di daerah yang beralang-alang . Konflik antara pihak pemerintah, perusahaan dan masyarakat karena status lahan sengketa perusahaan-perusahaan kelapa sawit kemudian menyewa tenaga kerja dari luar untuk bekerja dan membakar lahan masyarakat lokal yang lahannya ingin diambil alih oleh perusahaan, untuk mengusir masyarakat. Kebakaran mengurangi nilai lahan dengan cara membuat lahan menjadi terdegradasim dan dengan demikian perusahaan akan lebih mudah mengambil alih lahan dengan melakukan pembayaran ganti rugi yang murah bagi penduduk asli. Dalam beberapa kasus, penduduk lokal juga melakukan pembakaran untuk memprotes pengambil-alihan lahan mereka oleh perusahaan kelapa sawit. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, sehingga terpakasa memilih alternatif yang mudah, murah dan cepat untuk pembukaan lahan. Kurangnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar peraturan pembukaan lahan. Faktor alam seperti sambaran petir, lahar dari letusan gunung dan lain-lain. Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan sangat besar terhadap kehidupan manusia maupun terhadap kehidupan mahluk hidup lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung,