Interaksi Obat Anti Hiv
Interaksi Obat Anti Hiv
PENDAHULUAN
Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur
dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun obat-obatan.
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat dengan bahan-
bahan lain tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus dalam satu periode (polifarmasi )
digunakan bersama-sama.
Pasien yang dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10
macam obat) karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin
terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia.
Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau
pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan
batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,
antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang
biasa digunakan bersama-sama.
Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada berbagai tahap, meliputi absorpsi,
distribusi, metabolism dan ekskresi. Interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat
yang tersedia (dalam tubuh) untuk menimbulkan efek farmakologinya. Interaksi
farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang
berinteraksi sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat segolongan terdapat variasi
sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya.
A. Absorpsi
Absorpsi obat tergantung pada formulasi farmasetik, pKa dan kelarutan obat dalam
lemak, pH, flora usus, dan aliran darah dalam organ pencernaan. Dalam hal ini perlu
dibedakan antara interaksi yang mengurangi kecepatan absorpsi dan interaksi yang
mengurangi jumlah obat yang diabsorpsi. Sebagian besar interaksi yang berkaitan dengan
absorpsi, tidak bermakna secara klinis dan dapat diatur dengan memisahkan waktu pemberian
obat.
Obat-obat yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke dalam
sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati saluran
cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian
besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar
tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi
perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut
air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat dari
pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi
melewati membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak dan tidak dapat
berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat
absorpsinya biasanya sempurna.
Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah
terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak
plasma yang cepat untuk mendapatkanefek. Mekanisme interaksi akibat gangguan absorpsi
antara lain :
1. Interaksi langsung
Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi
dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan atau sangat dikuangi
bila obat yang berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2 jam.
Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval pemakaian obat ini dengan obat lain
selama mungkin.
4. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid sequestrant)
Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah
reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain terutama yang bersifat
asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin atau kolestipol
dengan obat lain selama mungkin (minimal 4 jam).
B. Distribusi
Setelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke tempat kerja di
mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh dan atau reseptor. Selama berada di
aliran darah, obat dapat terikat pada berbagai komponen darah terutama protein albumin.
Obat-obat larut lemak mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan adiposa, sehingga obat-
obat dapat tersimpan di jaringan adiposa ini. Rendahnya aliran darah ke jaringan lemak
mengakibatkan jaringan ini menjadi depot untuk obat- obat larut lemak. Hal ini
memperpanjang efek obat. Obat-obat yang sangat larut lemak misalnya golongan fenotiazin,
benzodiazepin dan barbiturat.Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap
protein darah terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas untuk
berikatan dengan asam-α-glikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB : plasma protein binding)
dinyatakan sebagai persen yang menunjukkan persen obat yang terikat. Obat yang terikat
albumin secara farmakologi tidak aktif, sedangkan obat yang tidak terikat, biasa disebut
fraksi bebas, aktif secara farmakologi. Bila dua atau lebih obat yang sangat kuat terikat
protein digunakan bersama-sama, terjadi kompetisi pengikatan pada tempat yang sama, yang
mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu obat dari ikatan dengan protein, dan akhirnya
terjadi peninggatan kadar obat bebas dalam darah. Bila satu obat tergeser dari ikatannya
dengan protein oleh obat lain, akan terjadi peningkatan kadar obat bebas yang terdistribusi
melewati berbagai jaringan. Pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar obat bebas atau
bentuk aktif akan lebih tinggi.
Asam valproat dilaporkan menggeser fenitoin dari ikatannya dengan protein dan juga
menghambat metabolisme fenitoin. Jika pasien mengkonsumsi kedua obat ini, kadar fenitoin
tak terikat akan meningkat secara signifikan, menyebabkan efek samping yang lebih besar.
Sebaliknya, fenitoin dapat menurunkan kadar plasma asam valproat. Terapi kombinasi kedua
obat ini harus dimonitor dengan ketat serta dilakukan penyesuaian dosis.
Obat-obat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menggeser obat lain dari ikatan dengan
protein adalah asam salisilat, fenilbutazon, sulfonamid dan anti-inflamasi nonsteroid.
B. Metabolisme
Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom P450
monooksigenase. Induksi enzim oleh suatu obat dapat meningkatkan kecepatan metabolisme
obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek. Induksi enzim melibatkan sintesis protein,
jadi efek maksimum terjadi setelah dua atau tiga minggu. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat
mengakibatkan akumulasi dan peningkatan toksisitas obat lain. Waktu terjadinya reaksi
akibat inhibisi enzim merupakan efek langsung, biasanya lebih cepat daripada induksi enzim.
Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai reseptor, berarti
obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat harus larut lemak. Metabolisme
dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air yang tidak aktif,
yang nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat melewati dua fase
metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme fase I, terjadi oksidasi,
demetilasi, hidrolisa, dsb. oleh enzim mikrosomal hati yang berada di endothelium,
menghasilkan metabolit obat yang lebih larut dalam air. Pada metabolisme fase II, obat
bereaksi dengan molekul yang larut air (misalnya asam glukuronat, sulfat, dsb) menjadi
metabolit yang tidak atau kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat melewati
satu atau kedua fasemetabolisme di atas hingga tercapai bentuk yang larut dalam air.
Sebagian besar interaksi obat yang signifikan secara klinis terjadi akibat metabolisme fase I
dari pada fase II.
1. Peningkatan metabolisme
Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang terlibat dalam
metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan metabolisme
warfarin sehingga menurunkan aktivitas antikoagulannya. Pada kasus ini dosis
warfarin harus ditingkatkan, tapi setelah pemakaian fenobarbital dihentikan dosis
warfarin harus diturunkan untuk menghindari potensi toksisitas. Sebagai alternative
dapat digunakan sedative selain barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine.
Fenobarbital juga meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti hormone steroid.
Barbiturat lain dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin dan rifampisin juga
menyebabkan induksi enzim. Piridoksin mempercepat dekarboksilasi levodopa
menjadi metabolit aktifnya, dopamine, dalam jaringan perifer. Tidak seperti levodopa,
dopamine tidak dapat melintasi sawar darah otak untuk memberikan efek
antiparkinson. Pemberian karbidopa (suatu penghambat dekarboksilasi) bersama
dengan levodopa, dapat mencegah gangguan aktivitas levodopa oleh piridoksin,
2. Penghambatan metabolisme
Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan dampak
memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi. Sebagai contoh,
alopurinol mengurangi produksi asam urat melalui penghambatan enzim ksantin
oksidase, yang memetabolisme beberapa obat yang potensial toksis seperti
merkaptopurin dan azatioprin. Penghambatan ksantin oksidase dapat secara bermakna
meningkatkan efek obat-obat ini. Sehingga jika dipakai bersama alopurinol, dosis
merkaptopurin atau azatioprin harus dikurangi hingga 1/3 atau ¼ dosis biasanya.
Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat meningkatkan aksi
obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini (contohnya karbamazepin, fenitoin,
teofilin, warfarin dan sebagian besar benzodiazepine). Simetidin tidak mempengaruhi
aksi benzodiazein lorazepam, oksazepam dan temazepam, yang mengalami konjugasi
glukuronida. Ranitidin mempunyai efek terhadap enzim oksidatif lebih rendah dari
pada simetidin, sedangkan famotidin dan nizatidin tidak mempengaruhi jalur
metabolisme oksidatif.
Eritromisin dilaporkan menghambat metabolisme hepatik beberapa
obat seperti karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan
efeknya. Obat golongan fluorokuinolon seperti siprofloksasin juga
meningkatkan aktivitas teofilin, diduga melalui mekanisme yang
sama.
D. Ekskresi
Obat dieliminasi melalui ginjal dengan filtrasi glomerulus dan sekresi tubular aktif.
Jadi, obat yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat mempengaruhi konsentrasi
obat lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat yang cukup larut dalam air yang
mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai eliminasi utamanya, yaitu obat yang tanpa
lebih dulu dimetabolisme di hati.
Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu
atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal, mula-mula dikirim ke
glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul kecil yang cukup melewati membran glomerular
(air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar
seperti protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain
dari tubulus ginjal dimana transport aktif yang dapat memindahkan obat dan metabolitnya
dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif
(melalui difusi) untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena :
a. Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal
b. perubahan pH urin
c. Perubahan aliran darah ginjal
Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem
fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang sinergistik atau antagonistik. Interaksi
farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik.
Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena
penggolongan obat memang berdasarkan perlamaan efek farmakodinamiknya. Disamping itu,
kebanyakan interaksi
farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, karena itu dapat dihindarkan bila dokter
mengetahui.
Efek yang terjadi pada interaksi farmakodinamik yaitu :
a. Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme antara dua obat
yang bekerja pada sistem organ, sel atau enzim yang sama dimana kekuatan obat pertama
diperkuat oleh kekuatan obat yang kedua, karena efek farmakologisnya searah, misalnya
Sulfonamid mencegah bakteri untuk mensintesa dihidrofolat, sedangkan trimetoprim
menghambat reduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Kedua obat ini bila diberikan
bersama-sama akan memiliki efek sinergistik yang kuat sebagai obat anti bakteri. Bila
jumlah kekuatannya sama dengan jumlah kekuatan masing- masing obat disebut adisi atau
sumasi, misalnya asetosal dan parasetamol. Bila jumlah kekuatannya lebih besar dari
kekuatan masing-masing obat disebut potensiasi, misalnya, banyak diuretika yang
menurunkan kadar kalium plasma, dan yang akan memperkuat efek glikosid jantung yang
mempermudah timbulnya toksisitas glikosid, kemudian Penghambat monoamin oksidase
meningkatkan jumlah noradrenalin di ujung syaraf adrenergik dan karena itu memperkuat
efek obat-obat seperti efedrin dan tiramin yang bekerja dengan cara melepaskan
noradrenalin.
b. Antagonisme
Dimana kegiatan obat pertama dikurangi atau ditiadakan sama sekali oleh obat yang
kedua, karena mempunyai khasiat farmakologi yang bertentangan, misalnya antagonis
reseptor beta ( beta bloker) mengurangi efektifitas obat-obat bronkhodilator seperti
salbutamol yang merupakan agonis beta reseptor. Hal ini dapat disebabkan karena
mempunyai reseptor yang sama sehingga terjadi persaingan ( kompetitif ).
Setiap saat, ketika suatu makanan atau minuman mengubah efek suatu obat,
perubahan tersebut dianggap sebagai interaksi obat-makanan Interaksi seperti itu bisa terjadi.
Tetapi tidak semua obat dipengaruhi oleh makanan, dan beberapa obat hanya dipengaruhi
oleh makanan tertentu. Interaksi obat-makanan dapat terjadi dengan obat yang diresepkan
oleh dokter, obat yang dibeli bebas, produk herbal, dan suplemen diet. Meskipun beberapa
interaksi mungkin berbahaya atau bahkan fatal pada kasus yang langka, interaksi yang lain
bisa bermanfaat dan umumnya tidak akan menyebabkan perubahan yang berarti terhadap
kesehatan anda.
Salah satu cara yang paling umum terjadi, dimana makanan mempengaruhi efek obat
adalah dengan mengubah cara obat tersebut diuraikan ( dimetabolisme ) oleh tubuh. Jenis
protein yang disebut enzim, memetabolisme banyak obat. Pada sebagian besar obat,
metabolisme adalah proses yang terjadi di dalam tubuh terhadap obat dimana obat yang
semula aktif/ berkhasiat, diubah menjadi bentuk tidak aktifnya sebelum dikeluarkan dari
tubuh. Sebagian obat malah mengalami hal yang sebaliknya, yakni menjadi aktif setelah
dimetabolisme, dan setelah bekerja memberikan efek terapinya, dimetabolisme lagi menjadi
bentuk lain yang tidak aktif untuk selanjutnya dikeluarkan dari tubuh. Beberapa makanan
dapat membuat enzim-enzim ini bekerja lebih cepat atau lebih lambat, baik dengan
memperpendek atau memperpanjang waktu yang dilalui obat di dalam tubuh. Jika makanan
mempercepat enzim, obat akan lebih singkat berada di dalam tubuh dan dapat menjadi kurang
efekteif. Jika makanan memperlambat enzim, obat akan berada lebih lama dalam tubuh dan
dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.
Makanan yang mengandung zat Tyramine ( seperti bir, anggur, alpukat, beberapa
jenis keju, dan berbagai daging olahan ) memperlambat kerja enzim yang memetabolisme
obat penghambat MAO ( kelompok obat antidepresi ) dan dapat menyebabkan efek yang
berbahaya, termasuk tekanan darah tinggi yang serius. Beberapa jenis makanan dapat
mencegah obat tertentu untuk diserap ke dalam darah setelah ditelan, dan yang lain
sebaliknya dapat meningkatkan penyerapan obat. Contohnya, segelas susu dengan obat
antibiotik tetrasiklin, calcium yang ada dalam susu akan mengikat tertrasiklin, membentuk
senyawa yang tidak mungkin dapat diserap oleh tubuh ke dalam darah. Sehingga efek yang
diharapkan dari obat tetrasiklin tidak akan terjadi. Di sisi lain, meminum segelas jus citrus
bersamaan dengan suplemen yang mengandung zat besi akan sangat bermanfaat karena
vitamin C yang ada dalam jus akan meningkatkan penyerapan zat besi. Akhirnya, beberapa
makanan benar-benar bisa mengganggu efek yang diinginkan dari obat. Contohnya, orang
yang menggunakan obat pengencer darah warfarin seharusnya tidak mengkonsumsi secara
bersamaan dengan makanan yang banyak mengandung vitamin K seperti brokoli, atau
bayam. Vitamin K membantu pembekuan darah, sehingga melawan efek dari obat warfarin.
Efek yang sebaliknya, terjadi dengan vitamin E, bawang dan bawang putih, karena bahan
bahan ini menghaslkan efek yang mirip dengan efek warfarin. Konsumsi dalam jumlah besar
dari makanan ini dapat menyebabkan efek warfarin menjadi terlalu kuat.
1.2 Permasalahan
Dalam makalah ini penulis membatasi masalah dengan mengambil contoh kasus
interaksi obat dengan obat lain dimana interaksi ditinjau dari efek merugikan yang
ditimbulkan, dan hal tersebut tidaklah mudah mengingat Kejadian interaksi obat dalam klinis
sukar diperkirakan karena :
a. Dokumentasinya masih sangat kurang
b. Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan mekanisme
dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan interaksi obat
berupa peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah
satu obat, sedangkan interaksi berupa penurunan efektivitas dianggap diakibatkan
bertambah parahnya penyakit pasien
c. Kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual, di
mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau berpenyakit
parah, dan bisa juga karena perbedaan kapasitas metabolisme antar individu.
Selain itu faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang
parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberia
kronik).
1.3 Tujuan
Mengetahui interaksi obat yang terjadi dalam studi kasus pengobatan penyakit TBC
dan HIV secara bersamaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat dengan bahan-
bahan lain tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus dalam satu periode (polifarmasi )
digunakan bersama-sama.
Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau
pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan
batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,
antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa
digunakan bersama-sama.
Menurut peneliti, kedua obat ini apabila diberikan secara bersamaan akan
memberikan efek toksisitas dan interaksi obat yang berlawanan. Sebelumnya juga telah
diketahui bahwa terapi anti TBC berbasis rifampicin dapat mengurangi konsentrasi obat
antiretrovirus efavirenz dan nevirapine dalam plasma darah, namun masih belum jelas
bagaimana interaksi ini dapat mempengaruhi virus
2.4.1 Efek toksik OAT dan obat antiretrovirus yang tumpang tindih
Pemakaian OAT dan obat antiretrovirus secara bersamaan dapat menyebabkan efek
samping yang sering kali sulit ditentukan penyebabnya. Efek samping OAT sering
didapatkan pada penderita TB dengan HIV/AIDS. Obat antiretrovirus dapat juga
menimbulkan efek samping, sehingga penggunaan kedua golongan obat-obat tersebut dapat
menyebabkan timbulnya efek samping yang saling tumpang tindih ( tabel
1). Untuk menghindari efek tersebut maka dilakukan penyederhanaan pengobatan dengan
cara menunda pemberian antiretrovirus hingga 1-2 bulan untuk mempermudah deteksi dini
efek samping OAT
Saat ini regimen antiretrovirus biasanya terdiri dari 3 atau lebih obat dari dua atau tiga
kelas yang berbeda yaitu nucleoside analogues, non nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NNRTIs) dan protease inhibitors (PIs). Dua dari kelas ini yaitu NNRTIs dan PIs
dapat berinteraksi dengan Rifamycin. Interaksi antara obat-obat antiretrovirus dan Rifamycin
terjadi melalui sistem cytochrome P450-3A (CYP3A) yang terdapat pada dinding usus dan
hati. Rifamycin merupakan inducer CYP3A, sehingga dapat menurunkan kadar obat-obat
yang dimetabolisme oleh system enzim tersebut. Kekuatan induksi CYP3A obat-obat
golongan Rifamycin berbeda-beda. Rifampin merupakan inducer yang paling kuat kemudian
Rifapentine dengan kekuatan menengah serta Rifabutin yang paling lemah. Protease inhibitor
dan NNRTI dimetabolisme oleh CYP3A sehingga kadar kedua golongan obat tersebut dalam
darah akan dipengaruhi oleh Rifamycin.
Beberapa interaksi obat dari kedua golongan obat tersebut dapat menimbulkan efek
yang dramatis sehingga tidak boleh digunakan secara bersama-sama. Rifampin dapat
menyebabkan penurunan kadar obat PIs (kecuali Ritoravir) hingga 75-95%, sehingga
menyebabkan penurunan aktifitas antivirus yang nyata dan akibatnya dapat mempercepat
timbulnya resistensi terhadap PIs tersebut. Selain itu kadar Delavirdine akan menurun hingga
> 90% bila diberikan bersama-sama Rifampin atau Rifabutin sehingga obat antiretrovirus
tersebut tidak boleh digunakan bersama-sama dengan semua golongan Rifamycin. Sebaliknya
Rifabutin bila diberikan dengan dosis standard (300 mg/hari) bersama-sama
dengan PIs dapat menyebabkan peningkatan kadarnya hingga 2-4 kali lipat sehingga
menyebabkan efek samping. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan modifikasi
dosis Rifabutin.
2.4.5 Tatalaksana penanganan interaksi antara obat golongan Rifamycin dan obat
antiretrovirus
Pengobatan dengan cara DOTS sangat dianjurkan dengan pemberian Rifabutin secara
intermiten. Pada pemberian Rifabutin secara intermiten yang perlu diperhatikan adalah harus
dihindarkan pemberian dosis yang tidak adekuat. Karena itu pedoman terapi yang saat ini
dianjurkan adalah Rifabutin 450 – 600 mg bila diberikan bersama Efavirenz, dan bila
diberikan 2 – 3 kali seminggu bersama dengan PI ( kecuali Ritonavir ) digunakan dosis 300
mg/hari. Bila diberikan bersama dengan Ritonavir maka dosisnya dikurangi menjadi 150 mg
2 kali seminggu ( tanpa Ritonavir dosis ini sebanding dengan Rifabutin 300 mg perhari ).
Bila Rifabutin digunakan bersama dengan 2 obat dari golongan PI atau diberikan
bersama dengan PI dan NNRTI akan terjadi interaksi obat yang lebih kompleks sehingga
menimbulkan dampak yang masih harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini dosis
Rifabutin yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel 2.
Reaksi paradoksal adalah perburukan sesaat dari gejala dan tanda- tanda manifestasi
radiologis TB yang terjadi setelah dimulainya pengobatan TB dan bukan disebabkan oleh
kegagalan terapi atau adanya proses sekunder. Reaksi paradoksal ini sudah mulai didapatkan
sebelum era HIV/AIDS dan pada penderita yang imunokompeten reaksi ini diduga
merupakan gambaran reaktifitas sistem imun terhadap antigen yang dilepaskan oleh kuman
TB yang mati akibat OAT. Pada era pengobatan antiretrovirus yang efektif reaksi paradoksal
ini sering di dapatkan dan umumnya terjadi setelah dimulainya pemberian obat antiretrovirus.
Berkaitan dengan waktu timbulnya maka reaksi paradoksal pada penderita HIV ini terjadi
akibat perbaikan respon imun terhadap antigen Mycobacterium.
Manifestasi reaksi paradoksal dapat ringan misalnya demam atau dapat juga berat sampai
menyebabkan gagal nafas akut. Gejala klinis reaksi paradoksal yang berkaitan dengan
pengobatan antiretrovirus adalah demam, pembesaran kelenjar getah bening, timbul infiltrat
baru atau perburukan dari infiltrat yang sudah ada sebelumnya, serositis (pleuritis
perikarditis, asites), lesi kulit dan lesi desak ruang pada susunan saraf pusat. Reaksi
paradoksal dapat juga terjadi pada penderita yang belum mendapatkan obat antiretrovirus.
Pada dua penelitian didapatkan bahwa persentase terjadinya reaksi paradoksal masing-
masing adalah 36 % ( 12 kasus dari 33 penderita) dan 32 % ( 6 kasus dan 19 penderita) pada
penderita yang mulai diterapi dengan antiretrovirus. Reaksi paradoksal tidak berkaitan
dengan regimen antiretrovirus tertentu maupun gabungan obat tertentu dan umumnya terjadi
pada penggunaan kombinasi antiretrovirus.
Sebagian besar reaksi paradoksal terjadi pada penderita HIV yang lanjut dengan
jumlah CD4 rata-rata 35 /mm3 dengan rata rata jumlah RNA 581.694 copies/ml.
Faktor risiko untuk terjadinya reaksi paradoksal berkaitan dengan patogenesis perbaikan
respon imun. Penderita dengan jumlah sel CD4 basal yang lebih rendah mempunyai risiko
yang lebih tinggi untuk terjadinya reaksi paradoksal pada SSP. Hal ini terjadi karena adanya
penyebaran kuman TB akibat jumlah sel CD4 yang rendah. Supresi HIV RNA yang lebih
berat berkaitan dengan peningkatan risiko reaksi paradoksal akibat perbaikan respon imun
yang lebih nyata. Demikian juga dengan pemberian obat antiretrovirus yang dimulai dalam 2
bulan pertama pengobatan TB akan meningkatkan risiko reaksi tersebut.
American Thoracic Society (ATS) dan Center for Disease Control and Prevention
CDC) tahun 1999 menggunakan nomenklatur baru untuk kemoprofilaksis TB yang selama ini
digunakan yaitu pengobatan infeksi laten TB (Latent Tuberculosis Infection/LTBI). Infeksi
laten TB adalah individu dengan tes tuberkulin positif, sedangkan secara klinis, bakteriologis
dan radiologis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi TB yang aktif.Tes tuberkulin dianggap
positif pada penderita AIDS bila diameter indurasi 5 mm.
Pengobatan LTBI yang dianjurkan oleh ATS dan CDC (1999) terdiri dari 2 pilihan
yang memberikan efektifitas yang sama yaitu INH 5 mg/kg BB (maksimal 300 mg) yang
diberikan selama 9 bulan dan kombinasi Rifampin 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg) perhari +
Pyrazinamide 15-20 mg/kgBB (maksimal 2 gr) perhari selama 2 bulan. Pemilihan jenis obat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keinginan penderita, risiko efek samping obat,
kepatuhan berobat, kemampuan pengawasan, ada tidaknya pengobatan dengan PIs atau
NNRTI serta jenis PIs/NNRTI yang digunakan. Penderita yang akan mendapatkan/dalam
pengobatan dengan PIs atau NNRTIs dianjurkan untuk pemberian INH, sedangkan
pemberian Rifampin merupakan kontran indikasi.
Beberapa ahli menganjurkan pemberian Rifabutin (sebagai pengganti Rifampin) bersama
dengan Pyrazinamide untuk pengobatan LTBI pada penderita yang mendapatkan pengobatan
PI atau NNRTI. Rifabutin setengah dosis (150 mg/hari) dapat diberikan besama dengan
Indinavir, Nelfinavir atau Amprenavir, sedangkan untuk Ritanovir dosis Rifabutin yang
diberikan adalah seperempatnya ( misalnya 150 mg selang sehari atau 3 kali seminggu). Bila
PI yang digunakan adalah Nevirapine maka Rifabutin dapat diberikan dengan dosis normal,
sedangkan bila bersama dengan Efavirenz dosis Rifabutin yang diberikan harus lebih tinggi
(450- 600 mg/hari). Penderita yang mendapatkan terapi kombinasi dengan beberapa macam
PIs atau kombinasi PI dengan NNRTI maka pemberian Rifabutin tidak dianjurkan karena
adanya kemungkinan interaksi obat-obat yang lebih kompleks.
Walaupun masih dalam perdebatan, penderita HIV dengan tes tuberkulin negatif
(anergi) bila didapatkan adanya faktor risiko untuk terkena TB misalnya riwayat kontak
dengan penderita TB aktif, tinggal didaerah dengan prevalensi TB yang tinggi, perlu
dipertimbangkan /dianjurkan untuk mendapatkan kemoprofilasis INH.
BAB III
PEMBAHASAN
Permasalahan kasus interaksi obat pada pengobatan TBC dan HIV hanyalah salah
satu dari sekian banyak kasus interaksi obat lainnya, baik yang sudah terdokumentasikan atau
bahkan yang belum sama sekali diketahui, mengingat obat merupakan bahan kimia yang
memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa
makanan, minuman ataupun obat-obatan lainnya. Problema polifarmasi dalam pemberian
obat dalam penanganan penyembuhan suatu penyakit tertentu menjadi hal yang belum dapat
atau bahkan tidak dapat kita hindari. Ketidaktauan pasien yang awam terhadap hal ini
didukung kurang optimalnya sumber daya tenaga kesehatan ( tenakes ) yang ada menjadi
faktor semakin parahnya kasus interaksi obat yang terjadi, untuk kasus-kasus yang sedikit
banyak telah terdokumentasikan, sangatlah penting untuk diterapkan seorang tenakes dan
diketahui bersama dengan pasien untuk mendapatkan hasil akhir pengobatan yang aman dan
tepat guna
BAB IV
KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari makalah studi kasus interaksi obat ini
dipandang dari dua sisi, yakni tenakes dan pasien, dari sudut pandang tenakes, hendaknya
semakin mengoptimalkan cakrawala dan wawasan akan kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi dalam suatu pemakaian polifarmasi, mengikuti perkembangan terbaru atau bahkan
turut berperan serta dalam diskusi-diskusi ilmiah akan hal yang terkait, kemudian sosialisasi
terhadap pasien atau bahkan masyarakat juga tidak dapat dilupakan, karena pada akhirnya
masyarakat ataupun pasien menjadi partner tenakes dalam menyukseskan setiap
permasalahan dalam pengobatan dengan membekali mereka pengetahuan yang akan menjadi
benteng pertama usaha pencegahan terhadap kasus interaksi obat yang mungkin ada di
lingkungan sekitar mereka.
Sudut pandang kedua dilihat dari sisi pasien, tak dapat dipungkiri pasien sebagai
pengguna jasa tenakes memiliki hak untuk bersikap kritis, dalam artian seorang pasien
diperbolehkan untuk bertanya mengenai pengobatan yang dijalaninya, termasuk obat-obatan
yang harus dikonsumsi. Menyimpan setiap dokumentasi obat-obatan termasuk vitamin, jamu,
makanan kesehatan, obat tanpa resep, narkoba dan lainnya yang digunakan, dalam suatu
daftar pribadi misalnya, dan bawa daftar ini setiap kali kunjungan. mungkin terlihat sepele
tetapi hal tersebut akan sangat berguna bila terjadi sesuatu hal dalam pengobatan maka akan
lebih mudah untuk ditelusuri sehingga tidak menimbulkan praduga- praduga yang justru
hanya menghantarkan pada kesalahan diagnosa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganiswara, G, Sulistia., dkk. 1987. Farmakologi dan Terapi Edisi 3. Bagian Farmakologi,
fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberculosis, cetakan ke-7. Jakarta
3. Harkness Richard, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan Mathilda B.Widianto. 1989.
Interaksi obat. Penerbit ITB. Bandung
4. http://www.aidsmap.com/files/file1000670.pdf
5. Aids Treatment Update Issue 88, April 2000