Anda di halaman 1dari 3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kompetensi Dalam Peradilan Milter

1. Kompetensi Absolut

Kompentensi absolut merupakan kewenangan pengadilan dalam memeriksa serta


mengadili suatu perkara terhadap badan – badan peradilan umum lainnya. Sebagai contoh
untuk memeriksa dan mengadili perkara pidana dan perdata maka kewenangan dimiliki oleh
Pengadilan Negeri, begitupun dalam perkara tata usaha negara maka yang berwenang adalah
Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN). Kompetensi absolut ini juga dapat dikatakan sebagai
kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili
(distributie van rechtsmacht) diantara satu macam pengadilan (pengadilan – pengadilan
negeri)1
Kompetensi absolut peradilan militer pada pokoknya menyatakan2 :
I. Mengadili Tindak Pidana Militer
          Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang pada waktu melakukan
adalah :
 Prajurit;
 Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit;
 Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang  dipersamakan atau
dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang;
 Seseorang yang tidak termasuk prajurit atau yang ber-dasarkan undang-undang
dipersamakan dengan prajurit atau anggota suatu golongan atau jawatan atau badan
atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit ber-dasarkan undang-undang;
tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili
oleh suatu Pengadilan dalam  lingkungan peradilan militer.
II. Tata Usaha Militer.
Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer (Angkatan
Bersenjata).
Wewenang ini berada pada Pengadilan Militer Tinggi sebagai Pengadilan Tingkat
Pertama, dan Pengadilan Militer Utama (PMU) sebagai pengadilan tingkat Banding.
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Militer (Angkatan Bersenjata)
menurut Undang-Undang Peradilan Militer, dimana keputusan Tata Usaha Militer (Angkatan
Bersenjata) adalah3 :

1
Andi Hamzah, 2015, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 107-109
2
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 9.
3
Ibid., Pasal 2
a. Yang merupakan perbuatan hukum Perdata;
b. Yang digunakan di bidang Operasi Militer;
c. Yang digunakan di bidang keuangan dan perbendaharaan;
d. Yang dikeluarkan atas hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau ketentuan
peraturan perundangan lain yang bersifat hukum Pidana, hukum Pidana Militer dan
hukum Disiplin Prajurit;
f. Yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
g. Yang masih memerlukan persetujuan (belum final);
Termasuk keputusan adalah “Keputusan Fiktif”
Yaitu apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata (Militer) tidak
mengeluarkan keputusan (Pasal 3 UU No. 31 Tahun1997); sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya.
Perbuatan tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Militer (Angkatan
Bersenjata).
Oleh karena itu, apabila suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Militer (Angkatan
Bersenjata) tidak mengeluarkan keputusan yag dimohonkan, sedangkan tenggang waktu
sebagaimana ditentukan didalam ketentuan perundang-undangan dimaksud sudah lewat,
maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Militer (Angkatan Bersenjata) itu sudah menolak
mengeluarkan keputusan yang dimohonkan tersebut.
Atau dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan tenggang
waktu, maka sesudah lewat tenggang waktu 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Militer (Angkatan Bersenjata) dianggap sudah mengeluarkan
keputusan penolakan.

III. Peradilan militer juga memiliki kompetensi absolut untuk menggabungkan perkara
gugatan ganti rugi dalam perkara pidana bersangkutan atas permintaan dari pihak
dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar
dakwaan dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
2. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif merupakan kewenangan pengadilan sejenis untuk memeriksa suatu


perkara. Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer : Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang :
 Tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
 Terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah  hukumnya.
Pasal 11 menegaskan : “Apabila lebih dari 1 (satu) pengadilan berkuasa mengadili
suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang menerima perkara
itu lebih dulu harus mengadili perkara tersebut“.
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2015. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar
Grafika.
Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan
Militer. Lembaran Negara RI Tahun 1997. Sekretariat Negara

Anda mungkin juga menyukai