Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MANDIRI SKENARIO 2

Nurul Atika Haviz 1102018112

Memahami dan Menjelaskan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Wabah


Definisi
Kejadian Luar Biasa (adalah) timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau
kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu
tertentu. Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.949/MENKES/SK/VII/2004.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia 1989: Wabah berarti penyakit menular
yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas.
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman 1981: Wabah adalah peningkatan kejadian kesakitan
atau kematian yang telah meluas secara cepat, baik jumlah kasusnya maupun daerah
terjangkit.

RUANG LINGKUP WABAH


 OUTBREAK : Suatu episode dimana terjadi dua atau lebih penderita suatu penyakit
yang sama dimana penderita tersebut mempunyai hubungan satu sama lain.
 EPIDEMI : Keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya penyakit) yang
ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat frekuensinya
meningkat.
 PANDEMI : keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya penyakit),
frekuensinya dalam waktu singkat meningkat tinggi dan penyebarannya telah
mencakup wilayah yang luas
 ENDEMI : keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya penyakit),
frekuensinya pada wilayah tertentu menetap dalam waktu lama berkenaan dengan
adanya penyakit yang secara normal biasa timbul dalam suatu wilayah tertentu.

2. Faktor Risiko
Menurut Notoatmojo (2003), faktor yang mempengaruhi timbulnya KLB adalah:
1. Herd Immunity yang rendah
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/wabah adalah herd
immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd immunity ialah kekebalan yang
dimiliki oleh sebagian penduduk yang dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat
disamakan dengan tingkat kekebalan individu. Semakin tinggi tingkat kekebalan
seseorang, maka semakin sulit orang tersebut terkena penyakit.
2. Patogenesitas
Patogenesitas merupakan kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada
pejamu sehingga timbul sakit.
3. Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organism, tetapi mempengaruhi kehidupan
ataupun perkembangan organisme tersebut.

3. Kriteria
Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91,
tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan
itu, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu
berturut- turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun). Jumlah penderita baru dalam
satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan
angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau
lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
5. Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau
lebih dibanding dengan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya.
6. Case Fatality Rate dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukan
kenaikan 50% atau lebih, dibanding dengan CFR dari periode sebelumnya.
7. Propotional Rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibanding periode yang sama dan kurun waktu/tahun
sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus : Kholera, "DHF/DSS": a). Setiap peningkatan kasus dari
periode sebelumnya (pada daerah endemis). b) Terdapat satu atau lebih penderita baru
dimana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari
penyakit yang bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yg dialami 1 atau lebih penderita: Keracunan makanan, Keracunan
pestisida.
4. Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan penanggulangan KLB
1. Menurunnya frekuensi KLB.
2. Menurunnya jumlah kasus pada setiap KLB.
3. Menurunnya jumlah kematian pada setiap KLB.
4. Memendeknya periode KLB.
5. Menyempitnya penyebarluasan wilayah KLB.

5. Pencegahan
a. Pencegahan tingkat pertama
 Menurunkan faktor penyebab terjadinya wabah serendah mungkin dengan cara
desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan
mikroorganisme penyebab penyakit dan menghilangkan sumber penularan.
 Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti
peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan, peningkatan lingkungan biologis seperti
pemberntasan serangga dan binatang pengerat serta peningkatan lingkungan sosial
seperti kepadatan rumah tangga.
 Meningkatkan daya tahan pejamu meliputi perbaikan status gizi,kualitas hidup
penduduk, pemberian imunisasi serta peningkatan status psikologis.
b. Pencegahan tingkat kedua
Sasaran pencegahan ini terutama ditunjukkan pada mereka yang menderita atau
dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa tunas) dengan
cara diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dicegah meluasnya penyakit atau
untuk mencegah timbulnya wabah serta untuk segera mencegah proses penyakit lebih
lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi.
c. Pencegahan tingkat ketiga
Bertujuan untuk mencegah jangan sampai penderita mengalami cacat atau kelainan
permanen, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah kematian akibat
penyakit tersebut dengan dilakukannya rehabilitasi.
d. Strategi pencegahan penyakit
Dilakukan usaha peningkatan derajad kesehatan individu dan masyarakat,
perlindungan terhadap ancaman dan gangguan kesehatan, pemeliharaan kesehatan,
penanganan dan pengurangan gangguan serta masalah kesehatan serta rehabilitasi
lingkungan.
6. Penanggulangan
Berdasarkan Permenkes tahun 2010 penanggulangan KLB atau wabah terdiri dari:
1. Penyelidikan epidemiologis.
2. Penatalaksanaan penderita (pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi
penderita, tindakan karantina).
3. Pencegahan dan pengebalan.
4. Pemusnahan penyebab penyakit.
5. Penanganan jenazah akibat wabah.
6. Penyuluhan kepada masyarakat.

Upaya penanggulangan lainnya seperti :


1. Meliburkan sekolah untuk sementara waktu
2. Menutup fasilitas umum untuk sementara waktu
3. Melakukan pengamatan secara intensif/surveilans selama terjadi KLB
4. Melakukan evaluasi terhadap upaya penanggulangan secara keseluruhan.
5. Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD, tenaga dan logistik.
6. Membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat puskesmas.
7. Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada masyarakat
8. Memperbaiki kerja laboratorium
9. Meningkatkan kerjasama dengan instansi lain

Tim Gerak Cepat (TGC)


Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan pengamatan dan
penanggulangan wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas atau data
penyelidikan epidemiologis. Tugas/kegiatan :
A. Pengamatan : Pencarian penderita lain yang tidak datang berobat. Pengambilan usap
dubur terhadap orang yang dicurigai terutama anggota keluarga Pengambilan contoh
air sumur, sungai, air pabrik dll yang diduga tercemari dan sebagai sumber penularan.
B. Pelacakan kasus untuk mencari asal usul penularan dan mengantisipasi penyebarannya
C. Pencegahan dehidrasi dengan pemberian oralit bagi setiap penderita yang ditemukan
di lapangan.
D. Penyuluhan baik perorang maupun keluarga
E. Membuat laporan tentang kejadian wabah dan cara penanggulangan secara lengkap.
Pembentukan Pusat Rehidrasi
Untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
Tugas pusat rehidrasi :
A. Merawat dan memberikan pengobatan penderita diare yang berkunjung.
B. Melakukan pencatatan nama , umur, alamat lengkap, masa inkubasi, gejala diagnosa
dsb.
C. Memberikan data penderita ke Petugas TGC
D. Mengatur logistik
E. Mengambil usap dubur penderita sebelum diterapi.
F. Penyuluhan bagi penderita dan keluarga
G. Menjaga pusat rehidrasi tidak menjadi sumber penularan (lisolisasi).
H. Membuat laporan harian, mingguan penderita diare yang dirawat.(yang diinfus, tdk
I. diinfus, rawat jalan, obat yang digunakan dsb.

Penanggulangan pasien saat KLB :


1. Jangka pendek
 Menemukan dan mengobati pasien
 Melakukan rujukan dengan cepat
 Melakukan kaporasi sumber air dan disinfeksi kotoran yang tercemar
 Memberi penyuluhan tentang hygiene dan sanitasi lingkungan
 Melakukan koordinasi lintas program dan lintas sektoral
2. Jangka panjang
 Memperbaiki faktor lingkungan
 Mengubah kebiasaan tidak sehat menjadi sehat
 Pelatihan petugas

Upaya penanggulangan KLB DBD :


 Pengobatan/ perawatan penderita
 Penyelidikan epidemiologi
 Pemberantasan vector
 Penyuluhan kepada mayarakat
 Evaluasi / penilaian penanggulangan KLB
7. Penyelidikan
Tingkat atau pola dalam penyelidikan KLB ini sangat sulit ditentukan, sehingga
metoda yang dipakai pada penyelidikan KLB sangat bervariasi. Menurut Kelsey et al., 1986;
Goodman et al., 1990 dan Pranowo, 1991, variasi tersebut meliputi :
1. Rancangan penelitian, dapat merupakan suatu penelitian prospektif atau
retrospektif tergantung dari waktu dilaksanakannya penyelidikan. Dapat
merupakan suatu penelitian deskriptif, analitik atau keduanya.
2. Materi (manusia, mikroorganisme, bahan kimia, masalah administratif),
3. Sasaran pemantauan, berbagai kelompok menurut sifat dan tempatnya (Rumah
sakit, klinik, laboratorium dan lapangan).
4. Setiap penyelidikan KLB selalu mempunyai tujuan utama yang sama yaitu
mencegah meluasnya (penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang
akan datang (pengendalian), dengan tujuan khusus :
A. Diagnose kasus-kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit
B. Memastikan keadaan tersebut merupakan KLB
C. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan
D. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB
E. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang berisiko akan terjadi KLB
Penyelidikan KLB mempunyai tujuan utama yaitu mencegah
meluasnya(penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang. Langkah-
langkah yang harus dilalui pada penyelidikan KLB, adalah:
1. Mempersiapkan penelitian lapangan.
2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB.
3. Memastikan diagnosa etiologis.
4. Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan.
5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat.
6. Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan).
7. Mengidentifikasi sumber penularan dan keadaan penyebab KLB.
8. Merencanakan penelitian lain yang sistematis.
9. Menetapkan saran cara pengendalian dan penanggulangan.
10. Melaporkan hasil penyelidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepada sistim
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
Persiapan Penelitian Lapangan
Sebelum penyelidikan KLB dilaksanakan perlu adanya persiapan dan rencana kerja.
Persiapan lapangan sebaiknya dikerjakan secepat mungkin, dalam 24 jam pertama sesudah
adanya informasi (Kelsey., 1986), Greg (1985) dan Bres (1986) mengatakan bahwa persiapan
penelitian lapangan meliputi :
1. Pemantapan (konfirmasi) informasi.
Informasi awal yang didapat kadang-kadang tidak lengkap, sehingga diperlukan pemantapan
informasi untuk melengkapi informasi awal, yang dilakukan dengan kontak dengan daerah
setempat. Informasi awal yang digunakan sebagai arahan untuk membuat rencana kerja (plan
of action), yang meliputi informasi sebagai berikut :
A. Asal informasi adanya KLB. Di Indonesia informasi adanya KLB dapat berasal dari
fasilitas kesehatan primer (laporan W1), analisis sistem kewaspadaan dini di daerah
tersebut (laporan W2), hasil laboratorium, laporan Rumah sakit (Laporan KD-RS) atau
masyarakat (Laporan S-0).
B. Gambaran tentang penyakit yang sedang berjangkit, meliputi gejala klinis,
pemeriksaan yang telah dilakukan untuk menegakan diagnosis dan hasil pemeriksaannya,
komplikasi yang terjadi (misal kematian, kecacatan. Kelumpuhan dan lainnya).
C. Keadaan geografi dan transportasi yang dapat digunakan di daerah/lokasi KLB.
2. Pembuatan rencana kerja
Berdasar informasi tersebut disusun rencana penyelidikan (proposal), yang minimal berisi :
A. Tujuan penyelidikan KLB
B. Definisi kasus awal
C. Hipotesis awal mengenai agent penyebab (penyakit), cara dan sumber penularan
D. Macam dan sumber data yang diperlukan
E. Strategi penemuan kasus
F. Sarana dan tenaga yang diperlukan.
Definisi kasus : definisi kasus sangat berguna untuk arahan pada pencarian kasus
nantinya. Mengingat informasi yang didapat mungkin hanya merupakan persangkaan
penyakit tertentu atau gejala klinis yang ditemui, maka definisi kasus sebaiknya dibuat
longgar, dengan kemungkinan kasus-kasus lain akan masuk. Perbaikan definisi kasus akan
dilakukan setelah pemastian diagnose, pada langkah identifikasi kasus dan paparan.
Hipotesis awal, hendaknya meliputi penyakit penyebab KLB, sumber dan cara
penularan. Untuk membuat hipotesis awal ini dapat dengan mempelajari gejala klinis, ciri dan
pola epidemiologis penyakit tersangka. Hipotesis awal ini dapat berubah atau lebih spesifik
dan dibuktikan pada waktu penyelidikan (Bres, 1986).
Tujuan penyelidikan KLB selalu dimulai dengan tujuan utama mengadakan
penanggulangan dan pengendalian KLB, dengan beberapa tujuan khusus, di antaranya :
A. Memastikan diagnosis penyakit
B. Menetapkan KLB
C. Menentukan sumber dan cara penularan
D. Mengetahui keadaan penyebab KLB
Pada penyelidikan KLB diperlukan beberapa tujuan tambahan yang berhubungan
dengan penggunaan hasil penyelidikan. Misalnya untuk mengetahui pelaksanaan program
imunisasi, mengetahui kemampuan sistem surveilans, atau mengetahui pertanda
mikrobiologik yang dapat digunakan (Goodman et al., 1990).
Strategi penemuan kasus, strategi penemuan kasus ini sangat penting kaitannya
dengan pelaksanaan penyelidikan nantinya. Pada penyelidikan KLB pertimbangan penetapan
strategi yang tepat tidak hanya didasarkan pada bagaimana memperoleh informasi yang
akurat, tetapi juga harus dipertimbangkan beberapa hal yaitu :
A. Sumber daya yang ada (dana, sarana, tenaga)
B. Luas wilayah KLB
C. Asal KLB diketahui
D. Sifat penyakitnya.
Beberapa strategi penemuan kasus yang dapat digunakan pada penyelidikan KLB
dengan beberapa keuntungan dan kelemahannya (Bres, 1986) :
A. Penggunaan data fasilitas kesehatan Cepat Terjadi bias seleksi kasus
B. Kunjungan ke RS atau fasilitas kesehatan Lebih mudah untuk mengetahui kasus dan
kontak Hanya kasus-kasus yang berat
C. Penyebaran kuesioner pada daerah yang terkena Cepat, tidak ada bias menaksir
D. populasi Kesalahan interpretasi pertanyaan
E. Kunjungan ke tempat yang diduga sebagai sumber penularan Mudah untuk
mengetahui hubungan kasus dan kontak Terjadi bias seleksi dan keadaan sudah
spesifik
F. Survai masyarakat (survai rumah tanggal, total survei) Dapat dilihat keadaan yang
sebenarnya Memerlukan waktu lama, memerlukan organisasi tim dengan baik
G. Survai pada penderita Jika diketahui kasus dengan pasti Memerlukan waktu lama,
hasil hanya terbatas pada kasus yang diketahui
H. Survai agent dengan isolasi atau serologi Kepastian tinggi, di-gunakan pada penyakit
dengan carrier Mahal, hanya dilakukan jika pemerik saan lab dapat dikerjakan.
I.
3. Pertemuan dengan pejabat setempat.
Pertemuan dimaksudkan untuk membicarakan rencana dan pelaksanaan penyelidikan
KLB, kelengkapan sarana dan tenaga di daerah, memperoleh izin dan pengamanan.
Pemastian Diagnosis Penyakit Dan Penetapan KLB
Pemastian Diagnosis Penyakit
Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan gejala/tanda
penyakit yang terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi frekuensi gejala klinisnya.
Cara menghitung distribusi frekuensi dari tanda-tanda dan gejala-gejala yang ada pada kasus
adalah sebagai berikut :
1. Buat daftar gejala yang ada pada kasus
2. Hitung persen kasus yang mempunyai gejala tersebut
3. Susun ke bawah menurut urutan frekuensinya

1.8 Epidemiologi
Manfaat epidemiologi antara lain:
1. Membantu pekerjaan Administrasi Kesehatan
2. Dapat menerangkan penyebab masalah kesehatan
3. Dapat menerangkan perkembangan alamiah penyakit
4. Dapat menerangkan keadaan suatu masalah kesehatan
5. Epidemi (singkat dan tinggi)
6. Pandemi (peningkatan yang sangat tinggi dan telah amat luas)
7. Endemi (frekuensi tetap dalam waktu yang lama)
8. Sporadik (berubah-ubah menurut perubahan waktu)

Ukuran – Ukuran Dalam Epidemiologi


- Proporsi adalah perbandingan yang pembilangnya merupakan bagian dari penyebut.
Proporsi digunakan untuk melihat komposisi suatu variabel dalam populasi
- Ratio adalah perbandingan dua bilangan yang tidak saling tergantung. Ratio digunakan
untuk menyatakan besarnya kejadian.
- Rate adalah perbandingan suatu kejadian dengan jumlah penduduk yang mempunyai risiko
kejadian tersebut. Rate digunakan untuk menyatakan dinamika dan kecepatan kejadian
tertentu dalam masyarakat.
Contoh:
A. Campak → berisiko pada balita
B. Diare → berisiko pada semua penduduk
C. Ca servik → berisiko pada wanita

2. Memahami dan Menjelaskan Permasalahan Gizi pada Anak


Gizi Kurang
Gizi kurang merupakan salah satu penyakit tidak menular yang terjadi pada kelompok
masyarakat tertentu di suatu tempat. Hal ini berkaitan erat dengan berbagai faktor
multidisiplin dan harus selalu dikontrol terutama pada masyarakat yang tinggal di negara-
negara berkembang (Depkes, 2000).
Gizi kurang bukanlah penyakit akut yang terjadi mendadak, tetapi ditandai dengan
kenaikan berat badan balita yang tidak normal pada awalnya atau tanpa kenaikan berat badan
setiap bulan atau bahkan mengalami penurunan berat badan selama beberapa bulan.
Perubahan status gizi balita diawali oleh perubahan berat badan balita dari waktu ke
waktu. Bayi yang tidak mengalami kenaikan berat badan 2 kali selama 6 bulan, beresiko 12,6
kali lebih besar mengalami gizi kurang dibandingkan dengan balita yang berat badannya terus
meningkat. Bila frekuensi berat badan tidak naik lebih sering, maka risiko akan semakin
besar (Depkes, 2005).

Gizi Buruk
a. Definisi Gizi Buruk
Gizi kurang jika tidak segera ditangani dikhawatirkan akan berkembang menjadi gizi
buruk (Dewi, 2013). Gizi buruk dapat dikatakan merupakan kurang gizi kronis akibat
kekurangan asupan energi dan protein yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Anak disebut mengalami gizi buruk apabila berat badan anak dibanding umur tidak sesuai
(selama 3 bulan berturut-turut tidak naik) dan tidak disertai 14 tanda-tanda bahaya (Moehji,
2002).
Berdasarkan manifestasi klinisnya, gizi buruk terbagi menjadi tiga yaitu gizi buruk
karena kekurangan protein atau disebut kwashiorkor, akibat kekurangan karbohidrat atau
kalori atau yang dikenal dengan marasmus, dan karena kekurangan kedua-duanya atau
yang lebih
dikenal dengan marasmuskwashiorkor. Gizi buruk sangat rentan terjadi pada anak balita
(bawah lima tahun).
Pengukuran gizi buruk ditentukan dengan menggunakan standar deviasi (SD = skor
Standard Deviasi atau Z-score). Berat badan menurut tinggi atau panjang badan (BB/TB-PB)
- 2 SD menunjukkan bahwa anak berada pada batas terendah dari kisaran normal, dan < -3SD
menunjukkan sangat kurus (severe wasting). Nilai BB/TB atau BB/PB sebesar - 3SD hampir
sama dengan 70% BB/TB atau BB/PB rata-rata (median) anak.
b. Diagnosis Gizi Buruk
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:
1. BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)
2. Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/TB >- 3SD
atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD.
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak tampak
sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit
terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat jelas, dengan atau
tanpa adanya edema (lihat gambar).
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak
tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak membutuhkan
perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit lain yang berat.
c. Penilaian awal gizi buruk
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis terdiri dari
anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):
1. Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
2. Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lendir)
3. Kapan terakhir berkemih
4. Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.
5. Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratan ditangani):
1. Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit
2. Riwayat pemberian ASI
3. Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
4. Hilangnya nafsu makan
5. Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
6. Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
7. Batuk kronik
8. Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
9. Berat badan lahir
10. Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
11. Riwayat imunisasi
12. Apakah ditimbang setiap bulan
13. Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
14. Diketahui atau tersangka infeksi HIV
Pemeriksaan fisik
1. Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki. Tentukan
status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.
2. Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati menentukan status
dehidrasi pada gizi buruk).
3. Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi lemah dan
cepat), kesadaran menurun.
4. Demam (suhu aksilar ≥ 37.5° C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5° C).
5. Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung.
6. Sangat pucat.
7. Pembesaran hati dan ikterus.
8. Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau
adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash).
d. Tatalaksana perawatan
Pada saat masuk rumah sakit
1. Anak dipisahkan dari pasien infeksi
2. Ditempatkan di ruangan yang hangat (25–30°c, bebas dari angin)
3. Dipantau secara rutin
4. Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera keringkan.
Gizi Lebih
Kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi lebih tinggi daripada energi
yang dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan sumber energi
dan lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah disebabkan karena kurangnya
aktivitas sik dan sedentary life style.
Kegemukan dan obesitas terutama disebabkan oleh faktor lingkungan. Faktor genetik
meskipun diduga juga berperan tetapi tidak dapat menjelaskan terjadinya peningkatan
prevalensi kegemukan dan obesitas. Pengaruh faktor lingkungan terutama terjadi melalui
ketidakseimbangan antara pola makan, perilaku makan dan aktivitas sik. Hal ini terutama
berkaitan dengan perubahan gaya hidup yang mengarah pada sedentary life style.
Pola makan yang merupakan pencetus terjadinya kegemukan dan obesitas adalah
mengkonsumsi makanan porsi besar (melebihi dari kebutuhan), makanan tinggi energi, tinggi
lemak, tinggi karbohidrat sederhana dan rendah serat. Sedangkan perilaku makan yang salah
adalah tindakan memilih makanan berupa junk food, makanan dalam kemasan dan minuman
ringan (soft drink).
Selain pola makan dan perilaku makan, kurangnya aktivitas sik juga merupakan faktor
penyebab terjadinya kegemukan dan obesitas pada anak sekolah. Keterbatasan lapangan
untuk bermain dan kurangnya fasilitas untuk beraktivitas sik menyebabkan anak memilih
untuk bermain di dalam rumah. Selain itu, kemajuan teknologi berupa alat elektronik seperti
video games, playstation, televisi dan komputer menyebabkan anak malas untuk melakukan
aktivitas fisik.
Pencegahan dan Penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak sekolah
merupakan suatu upaya komprehensif yang melibatkan stakeholder yang ada di wilayah.
Stakeholders mempunyai peran sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangan, melalui
koordinasi dengan kepala Puskesmas.
Kegiatan Pencegahan dan Penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak
sekolah meliputi promosi, penemuan dan tatalaksana kasus yang dalam pelaksanaannya
melibatkan anak, orangtua, guru, komite sekolah dan stakeholder.
3. Memahami dan Menjelaskan Sistem Rujukan Kesehatan
Sistem Rujukan adalah system yang dikelola secara strategis, pragmatis, merata
proaktif dan koordinatif untuk menjamin pemerataan pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal yang paripurna dan komprehensif bagi masyarakat yang membutuhkannya terutama
bagi ibu dan bayi baru lahir, dimanapun mereka berada dan berasal dari golongan ekonomi
manapun, agar dapat dicapai peningkatan derajat kesehatan ibu hamil dan bayi melalui
peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal di wilayah
mereka berada.
Sesuai SK Menteri Kesehatan Nomor 23 tahun 1972 tentang system rujukan adalah
suatu system penyelenggaraan pelayanan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab
timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertical dalam arti
dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horizontal
dalam arti unit-unit yang setingkat kemampuannya.
Sistem rujukan upaya keselamatan adalah suatu sistem jaringan fasilitas pelayanan
kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal-balik
atas masalah yang timbul baik secara vertikal (komunikasi antara unit yang sederajat)
maupun horizontal (komunikasi inti yang lebih tinggi ke unit yang lebih rendah) ke fasilitas
pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah
administrasi. (Kebidanan Komunitas: hal 207)
Rujukan dalam pelayanan kebidanan merupakan kegiatan pengiriman orang sakit dari
unit kesehatan yang kurang lengkap ke unit yang lebih lengkap berupa rujukan kasus
patologis pada kehamilan, persalinan dan nifas masuk didalamnya, pengiriman kasus masalah
reproduksi lainnya seperti kasus ginekologi atau kontrasepsi yang memerlukan penanganan
spesialis. Termasuk juga didalamnya pengiriman bahan laboratorium.
Jika penderita telah sembuh dan hasil laboratorium telah selesai, kembalikan dan
kirimkan ke unit semula, jika perlu disertai dengan keterangan yang lengkap (surat balasan).
Rujukan informasi medis membahas secara lengkap data-data medis penderita yang
dikirim dan advis rehabilitas kepada unit yang mengirim. Kemudian Bidan menjalin kerja
sama dalam sistem pelaporan data-data parameter pelayanan kebidanan, terutama mengenai
kematian maternal dan pranatal. Hal ini sangat berguna untuk memperoleh angka-angka
secara regional dan nasional pemantauan perkembangan maupun penelitian.
Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari: rujukan internal dan rujukan
eksternal.
1. Rujukan Internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di dalam
institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke puskesmas
induk.
2. Rujukan Eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan
kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun
vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah).
Manfaat Sistem Rujukan
Berikut ini manfaat sistem rujukan ditinjau dari unsur pembentuk pelayanan kesehatan :
1. Dari sudut pemerintah sebagai penentu kebijakan (policy maker)
 Membantu penghematan dana, karena tidak perlu menyediakan berbagai macam
peralatan kedokteran pada setiap sarana kesehatan.
 Memperjelas sistem pelayanan kesehatan, karena terdapat hubungan kerja antara
berbagai sarana kesehatan yang tersedia.
 Memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek perencanaan.
2. Dari sudut masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan (health consumer)
 Meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari pemeriksaan yang sama secara
berulang-ulang.
 Mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, karena telah diketahui
dengan jelas fungsi dan wewenang setiap sarana pelayanan kesehatan.
3. Dari sudut kalangan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan
(health provider)
 Memperjelas jenjang karier tenaga kesehatan dengan berbagai akibat positif lainnya
seperti semangat kerja, ketekunan, dan dedikasi.
 Membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, yaitu: kerja sama yang terjalin.
 Memudahkan atau meringankan beban tugas, karena setiap sarana kesehatan
mempunyai tugas dan kewajiban tertentu.
4. Memahami dan Menjelaskan Perilaku Kesehatan Individu dan
Masyarakat Perilaku Kesehatan Individu Dalam Masyarakat
Perilaku kesehatan, ada tiga teori yang sering menjadi acuan dalam penelitian-
penelitian kesehatan masyarakat. Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo
(2005), perilaku manusia dalam hal kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor
perilaku (behavioral factors) dan faktor non-perilaku (non behavioral factors). Lawrence
Green menganalisis bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu:
A. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah
atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya.
B. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan
atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor
pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku
kesehatan.
C. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong dan
memperkuat terjadinya perilaku.

1. Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat dalam Mengakses Pemanfaatan Pelayanan


Kesehatan
Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Menurut
Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh
karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian
organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus –
Organisme – Respon.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan
menjadi dua (Notoatmodjo, 2003):
- Perilaku tertutup (convert behavior). Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap
stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang
terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas
oleh orang lain.
- Perilaku terbuka (overt behavior). Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain

5. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Terhadap Menjaga Kesehatan


dan Berobat dalam Pandangan Islam
Anjuran Menjaga Kesehatan
Sudah menjadi semacam kesepakatan, bahwa menjaga agar tetap sehat dan tidak
terkena penyakit adalah lebih baik daripada mengobati, untuk itu sejak dini diupayakan agar
orang tetap sehat. Menjaga kesehatan sewaktu sehat adalah lebih baik daripada meminum
obat saat sakit. Dalam kaidah ushuliyyat dinyatakan:
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata, aku pernah datang menghadap Rasulullah SAW, saya
bertanya: Ya Rasulullah ajarkan kepadaku sesuatu doa yang akan akan baca dalam doaku,
Nabi menjawab: Mintalah kepada Allah ampunan dan kesehatan, kemudian aku menghadap
lagipada kesempatan yang lain saya bertanya: Ya Rasulullah ajarkan kepadaku sesuatu doa
yang akan akan baca dalam doaku. Nabi menjawab: “Wahai Abbas, wahai paman
Rasulullah saw mintalah kesehatan kepada Allah, di dunia dan akhirat.”(HR Ahmad, al-
Tumudzi, dan al- Bazzar).
Berbagai upaya yang mesti dilakukan agar orang tetap sehat menurut para pakar
kesehatan, antara lain, dengan mengonsumsi gizi yang yang cukup, olahraga cukup, jiwa
tenang, serta menjauhkan diri dari berbagai pengaruh yang dapat menjadikannya terjangkit
penyakit. Hal-hal tersebut semuanya ada dalam ajaran Islam, bersumber dari hadits-hadits
shahih maupun ayat al-Quran.
Hukum Berobat
Berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama islam sebab berobat termasuk upaya
memelihara jiwa dan raga, dan ini termasuk salah satu tujuan syari’at islam ditegakkan,
terdapat banyak hadits dalam hal ini, diantaranya;
Dari Abu Darda berkata, Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya Alloh menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap
penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram.”
(HR.Abu Dawud 3874, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if al-Jami’
2643)
Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada Nabi SAW:
“Wahai Rosululloh, apakah kita berobat?, Nabi bersabda,’berobatlah, karena sesungguhnya
Alloh tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit
(yang tidak ada obatnya),’ mereka bertanya,’apa itu’ ? Nabi bersabda, ’penyakit tua’.”
(HR.Tirmidzi 2038, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah 3436)

1. Pandangan Islam Terhadap Kejadian Luar Biasa


KLB Dalam Pandangan Islam
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.s.
As-Syura: 30)
Dalam sudut pandang wahyu Allah terakhir, musibah dan bencana ada kaitannya
dengan dosa atau maksiat yang dilakukan oleh manusia-manusia pendurhaka. Bencana alam
berupa letusan gunung api, banjir bandang, wabah penyakit, kekeringan, kelaparan,
kebakaran, dan lain sebagainya, dalam pandangan alam Islam (Islamic worldview), tidaklah
sekedar fenomena alam. Al-Qur’an menyatakan dengan lugas bahwa segala kerusakan dan
musibah yang menimpa umat manusia itu disebabkan oleh “perbuatan tangan mereka
sendiri”. Tentu saja kata ‘tangan’ sebatas simbol perbuatan dosa/maksiat, karena suatu
perbuatan maksiat melibatkan panca indera, dan juga dikendalikan dan diprogram sedemikian
rupa oleh otak, kehendak dan hawa nafsu manusia. Maksiat, sebagaimana taat, ada yang
bersifat menentang tasyri’ Allah seperti melanggar perkara yang haram, dan ada yang bersifat
menentang takwin Allah (sunnatullah) seperti melanggar dan merusak alam lingkungan.
Bahkan sebelum dunia mengenal karantina, Nabi Muhammad SAW telah menetapkan dalam
salah satu sabdanya.
Penanggulangan KLB dalam syariat islam
Nabi tidak memerintahkan mereka untuk mengucilkan para pengidap penyakit lepra
tersebut. Tetap bergaul seperti biasa, namun waspada dan antisipatif. Jika kita melihat hal ini
dari konteks tauhid, sesungguhnya tidak ada penyakit menular dari atau melalui apapun
secara alamiah. Jelas-jelas Nabi pernah menyatakan, “Tidak ada penyakit menular (‘adwa).”
(HR Muslim dari Abu Hurairah). Bahkan, dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Tirmizi dari sahabat Jabir bin Abdullah, Nabi pernah menemani makan salah seorang sahabat
penderita lepra bernama Mu’aiqib bin Abi Fathimah, tanpa memiliki kekhawatiran yang
berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai