Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
2. Faktor Risiko
Menurut Notoatmojo (2003), faktor yang mempengaruhi timbulnya KLB adalah:
1. Herd Immunity yang rendah
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/wabah adalah herd
immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd immunity ialah kekebalan yang
dimiliki oleh sebagian penduduk yang dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat
disamakan dengan tingkat kekebalan individu. Semakin tinggi tingkat kekebalan
seseorang, maka semakin sulit orang tersebut terkena penyakit.
2. Patogenesitas
Patogenesitas merupakan kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada
pejamu sehingga timbul sakit.
3. Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organism, tetapi mempengaruhi kehidupan
ataupun perkembangan organisme tersebut.
3. Kriteria
Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91,
tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan
itu, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu
berturut- turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun). Jumlah penderita baru dalam
satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan
angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau
lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
5. Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau
lebih dibanding dengan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya.
6. Case Fatality Rate dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukan
kenaikan 50% atau lebih, dibanding dengan CFR dari periode sebelumnya.
7. Propotional Rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibanding periode yang sama dan kurun waktu/tahun
sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus : Kholera, "DHF/DSS": a). Setiap peningkatan kasus dari
periode sebelumnya (pada daerah endemis). b) Terdapat satu atau lebih penderita baru
dimana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari
penyakit yang bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yg dialami 1 atau lebih penderita: Keracunan makanan, Keracunan
pestisida.
4. Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan penanggulangan KLB
1. Menurunnya frekuensi KLB.
2. Menurunnya jumlah kasus pada setiap KLB.
3. Menurunnya jumlah kematian pada setiap KLB.
4. Memendeknya periode KLB.
5. Menyempitnya penyebarluasan wilayah KLB.
5. Pencegahan
a. Pencegahan tingkat pertama
Menurunkan faktor penyebab terjadinya wabah serendah mungkin dengan cara
desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan
mikroorganisme penyebab penyakit dan menghilangkan sumber penularan.
Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti
peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan, peningkatan lingkungan biologis seperti
pemberntasan serangga dan binatang pengerat serta peningkatan lingkungan sosial
seperti kepadatan rumah tangga.
Meningkatkan daya tahan pejamu meliputi perbaikan status gizi,kualitas hidup
penduduk, pemberian imunisasi serta peningkatan status psikologis.
b. Pencegahan tingkat kedua
Sasaran pencegahan ini terutama ditunjukkan pada mereka yang menderita atau
dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa tunas) dengan
cara diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dicegah meluasnya penyakit atau
untuk mencegah timbulnya wabah serta untuk segera mencegah proses penyakit lebih
lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi.
c. Pencegahan tingkat ketiga
Bertujuan untuk mencegah jangan sampai penderita mengalami cacat atau kelainan
permanen, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah kematian akibat
penyakit tersebut dengan dilakukannya rehabilitasi.
d. Strategi pencegahan penyakit
Dilakukan usaha peningkatan derajad kesehatan individu dan masyarakat,
perlindungan terhadap ancaman dan gangguan kesehatan, pemeliharaan kesehatan,
penanganan dan pengurangan gangguan serta masalah kesehatan serta rehabilitasi
lingkungan.
6. Penanggulangan
Berdasarkan Permenkes tahun 2010 penanggulangan KLB atau wabah terdiri dari:
1. Penyelidikan epidemiologis.
2. Penatalaksanaan penderita (pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi
penderita, tindakan karantina).
3. Pencegahan dan pengebalan.
4. Pemusnahan penyebab penyakit.
5. Penanganan jenazah akibat wabah.
6. Penyuluhan kepada masyarakat.
1.8 Epidemiologi
Manfaat epidemiologi antara lain:
1. Membantu pekerjaan Administrasi Kesehatan
2. Dapat menerangkan penyebab masalah kesehatan
3. Dapat menerangkan perkembangan alamiah penyakit
4. Dapat menerangkan keadaan suatu masalah kesehatan
5. Epidemi (singkat dan tinggi)
6. Pandemi (peningkatan yang sangat tinggi dan telah amat luas)
7. Endemi (frekuensi tetap dalam waktu yang lama)
8. Sporadik (berubah-ubah menurut perubahan waktu)
Gizi Buruk
a. Definisi Gizi Buruk
Gizi kurang jika tidak segera ditangani dikhawatirkan akan berkembang menjadi gizi
buruk (Dewi, 2013). Gizi buruk dapat dikatakan merupakan kurang gizi kronis akibat
kekurangan asupan energi dan protein yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Anak disebut mengalami gizi buruk apabila berat badan anak dibanding umur tidak sesuai
(selama 3 bulan berturut-turut tidak naik) dan tidak disertai 14 tanda-tanda bahaya (Moehji,
2002).
Berdasarkan manifestasi klinisnya, gizi buruk terbagi menjadi tiga yaitu gizi buruk
karena kekurangan protein atau disebut kwashiorkor, akibat kekurangan karbohidrat atau
kalori atau yang dikenal dengan marasmus, dan karena kekurangan kedua-duanya atau
yang lebih
dikenal dengan marasmuskwashiorkor. Gizi buruk sangat rentan terjadi pada anak balita
(bawah lima tahun).
Pengukuran gizi buruk ditentukan dengan menggunakan standar deviasi (SD = skor
Standard Deviasi atau Z-score). Berat badan menurut tinggi atau panjang badan (BB/TB-PB)
- 2 SD menunjukkan bahwa anak berada pada batas terendah dari kisaran normal, dan < -3SD
menunjukkan sangat kurus (severe wasting). Nilai BB/TB atau BB/PB sebesar - 3SD hampir
sama dengan 70% BB/TB atau BB/PB rata-rata (median) anak.
b. Diagnosis Gizi Buruk
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:
1. BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)
2. Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/TB >- 3SD
atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD.
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak tampak
sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit
terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat jelas, dengan atau
tanpa adanya edema (lihat gambar).
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak
tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak membutuhkan
perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit lain yang berat.
c. Penilaian awal gizi buruk
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis terdiri dari
anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):
1. Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
2. Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lendir)
3. Kapan terakhir berkemih
4. Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.
5. Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratan ditangani):
1. Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit
2. Riwayat pemberian ASI
3. Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
4. Hilangnya nafsu makan
5. Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
6. Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
7. Batuk kronik
8. Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
9. Berat badan lahir
10. Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
11. Riwayat imunisasi
12. Apakah ditimbang setiap bulan
13. Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
14. Diketahui atau tersangka infeksi HIV
Pemeriksaan fisik
1. Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki. Tentukan
status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.
2. Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati menentukan status
dehidrasi pada gizi buruk).
3. Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi lemah dan
cepat), kesadaran menurun.
4. Demam (suhu aksilar ≥ 37.5° C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5° C).
5. Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung.
6. Sangat pucat.
7. Pembesaran hati dan ikterus.
8. Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau
adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash).
d. Tatalaksana perawatan
Pada saat masuk rumah sakit
1. Anak dipisahkan dari pasien infeksi
2. Ditempatkan di ruangan yang hangat (25–30°c, bebas dari angin)
3. Dipantau secara rutin
4. Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera keringkan.
Gizi Lebih
Kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi lebih tinggi daripada energi
yang dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan sumber energi
dan lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah disebabkan karena kurangnya
aktivitas sik dan sedentary life style.
Kegemukan dan obesitas terutama disebabkan oleh faktor lingkungan. Faktor genetik
meskipun diduga juga berperan tetapi tidak dapat menjelaskan terjadinya peningkatan
prevalensi kegemukan dan obesitas. Pengaruh faktor lingkungan terutama terjadi melalui
ketidakseimbangan antara pola makan, perilaku makan dan aktivitas sik. Hal ini terutama
berkaitan dengan perubahan gaya hidup yang mengarah pada sedentary life style.
Pola makan yang merupakan pencetus terjadinya kegemukan dan obesitas adalah
mengkonsumsi makanan porsi besar (melebihi dari kebutuhan), makanan tinggi energi, tinggi
lemak, tinggi karbohidrat sederhana dan rendah serat. Sedangkan perilaku makan yang salah
adalah tindakan memilih makanan berupa junk food, makanan dalam kemasan dan minuman
ringan (soft drink).
Selain pola makan dan perilaku makan, kurangnya aktivitas sik juga merupakan faktor
penyebab terjadinya kegemukan dan obesitas pada anak sekolah. Keterbatasan lapangan
untuk bermain dan kurangnya fasilitas untuk beraktivitas sik menyebabkan anak memilih
untuk bermain di dalam rumah. Selain itu, kemajuan teknologi berupa alat elektronik seperti
video games, playstation, televisi dan komputer menyebabkan anak malas untuk melakukan
aktivitas fisik.
Pencegahan dan Penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak sekolah
merupakan suatu upaya komprehensif yang melibatkan stakeholder yang ada di wilayah.
Stakeholders mempunyai peran sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangan, melalui
koordinasi dengan kepala Puskesmas.
Kegiatan Pencegahan dan Penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak
sekolah meliputi promosi, penemuan dan tatalaksana kasus yang dalam pelaksanaannya
melibatkan anak, orangtua, guru, komite sekolah dan stakeholder.
3. Memahami dan Menjelaskan Sistem Rujukan Kesehatan
Sistem Rujukan adalah system yang dikelola secara strategis, pragmatis, merata
proaktif dan koordinatif untuk menjamin pemerataan pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal yang paripurna dan komprehensif bagi masyarakat yang membutuhkannya terutama
bagi ibu dan bayi baru lahir, dimanapun mereka berada dan berasal dari golongan ekonomi
manapun, agar dapat dicapai peningkatan derajat kesehatan ibu hamil dan bayi melalui
peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal di wilayah
mereka berada.
Sesuai SK Menteri Kesehatan Nomor 23 tahun 1972 tentang system rujukan adalah
suatu system penyelenggaraan pelayanan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab
timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertical dalam arti
dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horizontal
dalam arti unit-unit yang setingkat kemampuannya.
Sistem rujukan upaya keselamatan adalah suatu sistem jaringan fasilitas pelayanan
kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal-balik
atas masalah yang timbul baik secara vertikal (komunikasi antara unit yang sederajat)
maupun horizontal (komunikasi inti yang lebih tinggi ke unit yang lebih rendah) ke fasilitas
pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah
administrasi. (Kebidanan Komunitas: hal 207)
Rujukan dalam pelayanan kebidanan merupakan kegiatan pengiriman orang sakit dari
unit kesehatan yang kurang lengkap ke unit yang lebih lengkap berupa rujukan kasus
patologis pada kehamilan, persalinan dan nifas masuk didalamnya, pengiriman kasus masalah
reproduksi lainnya seperti kasus ginekologi atau kontrasepsi yang memerlukan penanganan
spesialis. Termasuk juga didalamnya pengiriman bahan laboratorium.
Jika penderita telah sembuh dan hasil laboratorium telah selesai, kembalikan dan
kirimkan ke unit semula, jika perlu disertai dengan keterangan yang lengkap (surat balasan).
Rujukan informasi medis membahas secara lengkap data-data medis penderita yang
dikirim dan advis rehabilitas kepada unit yang mengirim. Kemudian Bidan menjalin kerja
sama dalam sistem pelaporan data-data parameter pelayanan kebidanan, terutama mengenai
kematian maternal dan pranatal. Hal ini sangat berguna untuk memperoleh angka-angka
secara regional dan nasional pemantauan perkembangan maupun penelitian.
Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari: rujukan internal dan rujukan
eksternal.
1. Rujukan Internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di dalam
institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke puskesmas
induk.
2. Rujukan Eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan
kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun
vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah).
Manfaat Sistem Rujukan
Berikut ini manfaat sistem rujukan ditinjau dari unsur pembentuk pelayanan kesehatan :
1. Dari sudut pemerintah sebagai penentu kebijakan (policy maker)
Membantu penghematan dana, karena tidak perlu menyediakan berbagai macam
peralatan kedokteran pada setiap sarana kesehatan.
Memperjelas sistem pelayanan kesehatan, karena terdapat hubungan kerja antara
berbagai sarana kesehatan yang tersedia.
Memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek perencanaan.
2. Dari sudut masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan (health consumer)
Meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari pemeriksaan yang sama secara
berulang-ulang.
Mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, karena telah diketahui
dengan jelas fungsi dan wewenang setiap sarana pelayanan kesehatan.
3. Dari sudut kalangan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan
(health provider)
Memperjelas jenjang karier tenaga kesehatan dengan berbagai akibat positif lainnya
seperti semangat kerja, ketekunan, dan dedikasi.
Membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, yaitu: kerja sama yang terjalin.
Memudahkan atau meringankan beban tugas, karena setiap sarana kesehatan
mempunyai tugas dan kewajiban tertentu.
4. Memahami dan Menjelaskan Perilaku Kesehatan Individu dan
Masyarakat Perilaku Kesehatan Individu Dalam Masyarakat
Perilaku kesehatan, ada tiga teori yang sering menjadi acuan dalam penelitian-
penelitian kesehatan masyarakat. Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo
(2005), perilaku manusia dalam hal kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor
perilaku (behavioral factors) dan faktor non-perilaku (non behavioral factors). Lawrence
Green menganalisis bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu:
A. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah
atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya.
B. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan
atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor
pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku
kesehatan.
C. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong dan
memperkuat terjadinya perilaku.