Anda di halaman 1dari 223

KEPASTIAN HUKUM AKTA DALAM BENTUK DOKUMEN

ELEKTRONIK BERDASARKAN KONSEP CYBER NOTARY


SEBAGAI PEMBUKTIAN DI PENGADILAN

Law Certainty Of Electronic Act Based On The Concept Of Cyber


Notary As A Act Related To Proof In The Court

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan (M.Kn)

Oleh :

GIDEON, SH
2018010462074

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

KEPASTIAN HUKUM AKTA DALAM BENTUK DOKUMEN


ELEKTRONIK BERDASARKAN KONSEP CYBER NOTARY
SEBAGAI PEMBUKTIAN DI PENGADILAN

Tesis

Telah Disetujui oleh Pembimbing Pada Tanggal Di Bawah Ini Untuk


Dipertahankan Di Hadapan Tim Penguji Program Studi Magister Kenotariatan
Pascasarjana Universitas Jayabaya

GIDEON, SH
2018010462074

Jakarta, April 2021


Pembimbing I Pembimbing II

Dr.H. Yuhelson, SH., MH., M.Kn Dr.H.DhodyA.R.Widjajaatmadja, SH.,


MH

Mengetahui / Mengesahkan
Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan

Dr. H. Yuhelson, SH.,MH., M.Kn

ii
PERNYATAAN
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis saya, tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademik Magister, baik di Universitas Jayabaya maupun di perguruan tinggi
lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan
pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai
acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam
daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat
penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena
karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Perguruan
Tinggi ini.

Jakarta, Agustus 2021


Yang Membuat Pernyataan

GIDEON, SH
2018010462074

iii
ABSTRAK
A. Nama : Gideon / 2018010462074
B. Judul Tesis : KEPASTIAN HUKUM AKTA DALAM BENTUK
DOKUMEN ELEKTRONIK BERDASARKAN KONSEP
CYBER NOTARY SEBAGAI PEMBUKTIAN DI
PENGADILAN.
C. Jumlah Halaman : i-x + 204 halaman
D. Kata Kunci : Kepastian Hukum, Dokumen Elektronik, dan Cyber Notary.
E. Isi Abstrak :

Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik, yang diperbaharui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, dokumen
elektronik dan hasil cetaknya bisa dijadikan sebagai alat bukti, terkecuali akta notaril atau
akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Meskipun dalam praktiknya sendiri
dipengadilan pada tahun 2017, ternyata pernah ada suatu perkara, dimana terdapat akta
notaris yang berasal dari luar negeri dalam bentuk dokumen elektronik dan hasil cetaknya
bisa menjadi sebuah alat bukti dalam bentuk surat atau petunjuk, sebagaimana dalam
perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017. Sehingga penelitian
ini bertujuan untuk meneliti mengenai keberadaan Akta Dalam Bentuk Dokumen
Elektronik sebagai pengganti Akta Notaris berdasarkan konsep cyber notary dalam
kekuatan pembuktian di Pengadilan dan kepastian hukum terhadap Akta Dalam Bentuk
Dokumen Elektronik sebagai Akta autentik berdasarkan konsep cyber notary terkait
dengan kekuatan pembuktian di Pengadilan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodelogi pendekatan normatif yang
didukung dengan pendekatan empiris. Mengenai istilah penelitian hukum normatif, Penulis
menggunakan pendekatan normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau
kaedah (norm). Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value),
peraturan hukum konkret. Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas
hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.
Hasil penelitian menunjukkan Konsep cyber notary dan akta dalam bentuk
dokumen elektronik sebagai bukti di persidangan di Indonesia, terdapat pada penjelasan
Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, namun
masih cukup jauh berbeda dari konsep cyber notary, dan penggunaan akta dalam bentuk
dokumen elektronik sebagai bukti di persidangan di Indonesia sudah ada, serta upaya dalam
mewujudkan kepastian hukum atas penggunaan akta dalam bentuk dokumen elektronik
pengganti akta autentik berdasarkan konsep cyber notary sebagai bukti di pengadilan di
Indonesia saat ini masih belum memungkinkan karena masih dianggap bertentangan
dengan konsep notaris konvensional.

F. Daftar Acuan : 120, terdiri atas: 104 buku, 0 makalah, 0 majalah, 5 tesis,
7 Jurnal, 9 peraturan perundang-undangan

G.Pembimbing/Promotor : 1. Dr. Yuhelson, SH., MH., M.Kn


2. Dr. Dhody Widjaatmadja, SH., Mkn

iv
ABSTRACT
A. Name : Gideon / 2018010462074
B. Thesis Title : Law Certainty Of Electronic Act Based On The Concept Of
Cyber Notary As A Act Related To Proof In The Court
C. Number of Pages :i-x + 204 pages
D. Keywords :Legal Certainty, Electronic Document, and Cyber Notary.
E. Abstract Content :
In Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions, which was
renewed by Law Number 19 of 2016, electronic documents and their printouts can be used as
evidence, with the exception of notary deeds or deeds drawn up by deed maker officials. Even though
in practice itself in court in 2017, it turns out that there was once a case that comes from abroad, in
which a notary deed in the form of an electronic document and the printout of it can be used as
evidence in the form of letters or instructions, as in the case of the Supreme Court Decision Number
1164 K / Pdt.Sus- IPR / 2017. So this research aims to examine the existence of a Deed in the Form
of Electronic Documents as a substitute for a Notary Deed based on the concept of cyber notary in
the power of evidence in court and legal certainty of the Deed in the Form of Electronic Documents
as an authentic Deed based on the concept of cyber notary related to the power of evidence in court.
In this study the author uses a normative approach methodology that is supported by an empirical
approach. Regarding the term normative legal research, the author uses a normative approach
because the target of this research is law or norm. The definition of the law includes legal principles,
methods in the strict sense (value), concrete legal rules. Research which has normative law in the
form of legal principles, legal system, vertical and horizontal synchronization level.
The results show the concept of Cyber Notary and deeds in the form of electronic documents as
evidence in court in Indonesia, contained in the explanation of Article 15 paragraph (3) of Law
Number 2 of 2014 concerning the Position of Notary Public, but it is still quite different from the
concept of Cyber Notary, and The use of deeds in the form of electronic documents as evidence in
court in Indonesia already exists, as well as efforts to achieve legal certainty over the use of deeds
in the form of electronic documents in lieu of authentic deeds based on the concept of cyber notary
as evidence in courts in Indonesia at this time is still not possible because it is still considered
contradictory with the concept of a conventional notary.
F. Reference list :120, consist of : 104 books, 0 paper, 0 magazine, 5 thesis, 7 journal, 9
regulation

G. Menthor/Promotor: 1. Dr. Yuhelson, SH., MH., M.Kn

2. Dr. Dhody Widjaatmadja, SH., Mkn

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa peneliti panjatkan atas segala
berkat dan rahmat-Nya, di mana peneliti telah dapat menyelesaikan seminar hasil
penelitian ini yang berjudul : “KEPASTIAN HUKUM AKTA DALAM
BENTUK DOKUMEN ELEKTRONIK BERDASARKAN KONSEP CYBER
NOTARY SEBAGAI PEMBUKTIAN DI PENGADILAN”.
Peneliti menyadari bahwa Seminar Hasil Penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu guna perbaikan dari penelitian seminar hasil
penelitian ini, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak sebagai bahan peneliti untuk menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik di
masa yang akan datang. Pada kesempatan ini Peneliti ingin menyampaikan ucapan
terimakasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat, Bapak Dr.H. Yuhelson, SH., MH., M.Kn selaku Pembimbing I, Bapak
Dr.H. DhodyA.R.Widjajaatmadja, SH., MH selaku Pembimbing II yang telah
sabar meluangkan waktu, tenaga, perhatiannya untuk memberikan bimbingan dan
telah menyumbangkan pikiran, tenaga, perhatiannya untuk memberikan
bimbingan dan telah menyumbangkan pikiran, petunjuk dan saran-saran yang
sangat berarti bagi Peneliti dalam menyelesaikan penelitian seminar hasil penelitian
ini.
Tidak lupa dengan ketulusan dan keikhlasan Peneliti menyampaikan ucapan
terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. H. Amir Santoso, M.Soc.Sc., Ph.D, selaku Rektor Universitas
Jayabaya, Jakarta;
2. Bapak Dr. H. Yuhelson, S.H., M.Kn, selaku Ketua Program Magister
Kenotariatan, Universitas Jayabaya, Jakarta;
3. PARA PENGUJI

vi
4. Segenap civitas Akademi Universitas Jayabaya, khususnya Bapak-Bapak /Ibu-
Ibu seluruh staf pengajar Universitas Jayabaya Program Magister Kenotariatan
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
memberikan bantuan baik moril maupun materil selama proses perkuliahan dan
penyelesaian Seminar hasil penelitian ini.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan Rahmat dan
Karunia-Nya untuk membalas kebaikan semua pihak dan Peneliti menyadari bahwa
seminar hasil penelitian ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan, baik
dari teknik penelitian maupun materi pembahasannya, dikarenakan keterbatasan
Peneliti sebagai manusia, namun semoga setitik dan seberkas tulisan ini dapat
memberikan manfaat bagi lingkungan Program Studi Magister Kenotariatan pada
Pascasarjana Jayabaya khususnya, dan pada masyarakat pada umumnya.

Jakarta, Agustus 2021

GIDEON
2018010462074

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ......................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN SIDANG TESIS .............................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................................ iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

ABSTRACT .................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ................................................................................... vii

DAFTAR ISI.................................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................. 16

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian........................................... 16

D. Kerangka Pemikiran.............................................................. 17

1. Kepastian Hukum............................................................ 18
2. Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata……. 19
E. Metode Penelitian................................................................. 33
1. Metode Pendekatan………………………………......... 33
2. Spesifikasi Penelitian………………………………...... 34
3. Sumber Data…………………………………………... 34
4. Teknik Pengumpulan Data............................................. 35
5. Metode Analisis Data..................................................... 36
F. Keaslian Penelitian ............................................................. 37

viii
BAB II TINJAUAN KEPASTIAN HUKUM HASIL PRINT OUT
DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI PENGGANTI AKTA
NOTARIS

A. Kepastian Hukum………………………………………… 44

B. Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata………………. 49

C. Hukum Progresif………………………………………… 58

D. Cyber Notary…………………………………………………… 64

E. Notaris…………………………………………………... 67
1. Pengertian Notaris………………………………......... 67
2. Ruang Lingkup Kewenangan Notaris………………… 75
F. Akta……………………………………………………… 81
G. Dokumen Elektronik……………………………………… 83
1. Pengertian Dokumen Elektronik………………………. 83
2. Penggunaan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti... 87

BAB III AKTA DALAM BENTUK DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI


PENGGANTI AKTA NOTARIS DALAM KEKUATAN
PEMBUKTIAN DI PENGADILAN

A. Keberadaan Akta Dalam Bentuk Dokumen Elektronik Sebagai


Pengganti Akta Notaris Sebagai Alat Pembuktian Di
Pengadilan................................................................................
102
B. Contoh Kasus Putusan Mahkamah Agung Yang Menggunakan Akta
Dalam Bentuk Dokumen Elektronik..........................................
137

1. Putusan Nomor 444 K/Pdt.Sus-HKI/2016 ......................... 137


2. Putusan Nomor 555 K/Pdt.Sus-HKI/2015 ......................... 144
3. Putusan Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017 ....................... 147

ix
4. Putusan Nomor 752 K/Pdt.Sus-HKI/2016 .........................
153

BAB IV KEPASTIAN HUKUM TERHADAP AKTA DALAM BENTUK


DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI AKTA AUTENTIK
BERDASARKAN KONSEP CYBER NOTARY TERKAIT
DENGAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DI PENGADILAN

A. Akta Dalam Bentuk Dokumen Elektronik Sebagai Pengganti Akta


Notaris Berdasarkan Konsep Cyber Notary Dalam Kekuatan
Pembuktian Di Pengadilan ........................................................ 158
B. Upaya Mewujudkan Kepastian Hukum Terhadap Akta Dalam
Bentuk Dokumen Elektronik Sebagai Akta Autentik Berdasarkan
Konsep Cyber Notary Terkait Dengan Kekuatan Pembuktian Di
Pengadilan ................................................................................. 179

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 197

B. Saran ............................................................................................ 198

DAFTAR BACAAN

HASIL WAWANCARA NOTARIS DAN DITJEN HAKI

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

x
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semakin meningkatnya perkembangan Teknologi dan ilmu pengetahuan

mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia diberbagai macam sektor, tidak

terkecuali di bidang hukum. Kian pesatnya perkembangan dibidang komputerisasi,

dan sistem informasi, yang ditandai dengan meningkatnya sistem program untuk

komputer dan internet, memungkinkan terjadinya upaya untuk meningkatkan

kinerja diberbagai bidang. Untuk mengatasi masalah perkembangan teknologi dan

ilmu pengetahuan yang kian pesat, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kini telah

diperbaharui oleh Undang-Undang Nomro 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik, yang kini telah diperbaharui oleh Undang-Undang

Nomro 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, merupakan upaya pemerintah

dalam menghadapi perkembangan serta kemajuan Teknologi Informasi.1

1
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta : Kencana, 2017. hlm.136
2

Dengan semakin meningkatnya perkembangan teknologi dan informasi

tersebut, saat ini hampir seluruh lapisan masyarakat memanfaatkan perkembangan

teknologi dan komunikasi yang ada untuk kehidupan keseharian, bahkan tidak

jarang juga perkembangan teknologi dan komunikasi yang ada dimanfaatkan untuk

kepentingan perusahaan maupun masyarakat untuk melakukan setiap kegiatan

sosial, budaya, dan perekonimian yang ada, karena perkembangan teknologi yang

ada saat ini sudah sangat menunjang bagi masyarakat maupun perusahaan untuk

setiap kegiatan yang memerlukan jaringan telekomunikasi, dan hubungan jarak

jauh. Contoh nyatanya dapat dilihat dari semakin maraknya perdagangan dan

tranksaksi yang melibatkan media online, seperti Online Shop, maupun media

sosial dengan menggunakan jaringan internet. Begitu pula dengan bukti transaksi

yang dilakukan perusahaan dan masyarakat, dimana bukti transaksi saat ini dapat

dikirimkan melalui media online, dimana bukti transaksi ini dikenal juga dengan

istilah dokumen elektronik.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, yang kini telah diperbaharui oleh Undang-Undang Nomro 19

Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah mengenai sayangnya terdapat

beberapa pengecualian terkait penggunaan dokumen elektronik, dimana

pengecualian tersebut berlaku untuk surat-surat dan akta yang dibuat oleh notaris.
3

Dalam Pasal 5 diketahui pengecualian tersebut diatur pada ayat 4, yang

menyatakan,2

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah.

2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti

yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila

menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Undang-Undang ini.

4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;

dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat

dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat

akta.

Ketentuan Pasal 5 ayat 4 dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kini telah diperbaharui oleh Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11

2
Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta : Gramedia Pustaka, 2008. hlm. 41
4

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, secara jelas menyatakan

bahwa dokumen elektronik dan hasil cetaknya bisa dijadikan sebagai alat bukti, dan

hal tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum

Acara baik hukum acara pidana dan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia,

namun memiliki pengecualian, yaitu terhadap, surat yang menurut Undang-Undang

harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan surat beserta dokumennya yang menurut

Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh

pejabat pembuat akta, sehingga diketahui bahwa, terhadap akta yang dibuat oleh

notaris yang dibuat dalam bentuk dokumen elektronik maupun hasil cetaknya tidak

dapat menjadi alat bukti dalam praktik peradilan.

Adanya pengecualian tersebut tentunya seakan menghambat perkembangan

dibidang kenotariatan, dimana dengan adanya pengecualian tersebut, tentunya

Notaris selaku pejabat publik yang dituntut memiliki mobilitas dan pelayanan yang

maksimal terhadap masyarakat, tentunya tidak dapat memanfaatkan sarana

teknologi dan komunikasi yang ada saat ini, sehingga tentunya diharapkan

ketentuan Pasal 5 ayat 4 huruf b dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kini telah diperbaharui oleh

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tersebut diharapkan terdapat perubahan

kedepannya, terutama dengan semakin berkembangnya bidang cyber notary di luar

negeri, seperti yang ada di Amerika dengan menggunakan metode canggih seperti

EDI atau Electronic Data Interchange, atau Electronic Document Interchange,

yaitu proses transfer data yang terstruktur dalam format standar yang disetujui dari

satu sistem komputer ke sistem komputer lainnya dalam bentuk elektronik. Sistem
5

ini sudah digunakan sejak tahun 1964 di Amerika Serikat, yaitu pada American

Hospital Supply Company (AHSC) menciptakan sebuah sistem untuk menangani

masalah inventoris dalam sebuah rumah sakit lokal di Amerika Serikat.

Dibidang kenotariatan sendiri, Shinichi Nakahara dari Jepang, dalam jurnalnya

yang berjudul Electronic Notary System and its Certification Mechanism

menjelaskan bahwa dijepang sejak tahun 2006, telah dikembangkan sistem

electronik untuk Notaris, yang diakui sebagai alat bukti atas suatu perbuatan hukum

yang dilakukan oleh Notaris, sistem ini diberi nama CYNOS yang merupakan

kepanjangan dari CYber NOtary System.3

Tentunya sistem yang sama diharapkan dapat diterapkan di Indonesia, dimana

apabila hal tersebut diwujudkan, tentunya akan dapat sangat membantu dan

memaksimalkan kinerja notaris di seluruh Indonesia, apabila sistem seperti

electronic notary system dapat diterapkan di Indonesia. Namun dengan adanya

pengecualian terhadap akta notaris, yang bahkan terkesan dilarang dibuat dalam

bentuk dokumen elektronik maupun hasil cetaknya, sebagaimana diatur dalam

Pasal 5 ayat 4 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik, yang kini telah diperbaharui oleh Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tersebut, tentunya wacana diadakannya sistem cyber notary,

sulit untuk diwujudkan.

Dalam praktiknya sendiri dipengadilan pada tahun 2017, ternyata pernah ada

suatu perkara, dimana akta notaris dalam bentuk dokumen elektronik dan hasil

3
Shinichi Nakahara, Jurnal, Electronic Notary System and its Certification Mechanism,
Kanagawa, Jepang, NTT Information Sharing Platform Laboratory, 2006, hlm. 1.
6

cetaknya bisa menjadi sebuah alat bukti dalam bentuk surat atau petunjuk,

sebagaimana terjadi dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164

K/Pdt.Sus-HKI/2017, dimana dalam perkara tersebut, diketahui terdapat alat bukti

dokumen elektroniki berupa print out Akta Notaris yang berasal dari United

Kingdom (Inggris) yang merupakan dokumen atas merek terdaftar atas nama

Electrosteel dengan Reg Nomor UK00003018096 atas nama Electrosteel Casting

Limited, dan berupa print out Iklan yang berasal dari website youtube

https://www.youtube.com/watch?v=OUh7UTUZIXc Mengenai film “Modern

Times” yang baru dipublikasikan pada tanggal 21 Juli 2015.

Patut diketahui, bahwa penggunaan dokumen yang berasal dari luar negeri,

sejatinya harus dilegalisir oleh Notaris Publik dan disahkan oleh Konsul Jenderal

Rl di negara setempat, dimana hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Luar Negeri

Republik Indonesia Nomor 09/A/KP/XI1/2006/01 tentang Panduan Umum Tata

Cara Hubungan Dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah beserta

lampirannya, dimana dalam Butir 68, 70, dan 71 Peraturan Menteri Luar Negeri

Republik Indonesia Nomor 09/A/KP/XI1/2006/01, diatur mengenai, “Poin ke-68:

Legalisasi artinya pengesahan terhadap dokumen dan hanya dilakukan terhadap

tanda tangan dan tidak mencakup kebenaran isi dokumen. Setiap dokumen

Indonesia yang akan dipergunakan di negara lain atau dokumen asing yang akan

dipergunakan di Indonesia perlu dilegalisasi oleh instansi yang berwenang. Poin

ke- 70: Dokumen-dokumen asing yang diterbitkan di luar negeri dan ingin

dipergunakan di wilayah Indonesia, harus pula melalui prosedur yang sama, yaitu

dilegalisasi oleh Kementerian Kehakiman dan/atau Kementerian Luar Negeri


7

negara dimaksud dan Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat. Poin ke-

71: Atas dasar itu, semua pihak yang berkepentingan di Indonesia khususnya di

Daerah harus menolak dokumen-dokumen yang tidak atau belum dilegalisasi sesuai

dengan ketentuan yang dimaksud di atas.”

Selain itu dokumen elektronik dan hasil cetaknya yang merupakan akta notaris,

juga diketahui seharusnya tidak dapat menjadi alat bukti sah di pengadilan

sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 4 huruf b dari Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kini telah

diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Sehingga seharusnya

penggunaan dokumen elektronik atau hasil cetaknya yang diperuntukkan untuk alat

bukti sebagai pengganti akta notaris, tentunya ditolak oleh pengadilan yang

memeriksa perkara tersebut. Namun, pada perkara Putusan Mahkamah Agung

Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017, pihak Majelis Hakim dalam perkara Putusan

Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017, mengabulkan dan

memenangkan pihak Electrosteel Casting Limited dan mengakui alat bukti berupa

dokumen elektronik, baik yang berupa surat maupun akta dan hasil cetaknya

sebagai alat bukti yang sah, sebagaimana pertimbangan majelis hakim yang

menyatakan, “Bahwa adalah fakta berdasarkan Akta Pendirian Electrosteel

Castings limited Nomor RD/T/240/65 tanggal 23 Agustus 1965, “Electrosteel

Castings limited” adalah nama badan hukum milik Pemohon Kasasi/penggugat

sejak tahun 1965 (P-1a, P-1b dan P-2a, P-2b sehingga pendaftaran merek yang

menggunakan nama badan hukum yang dimiliki orang lain Pemohon

Kasasi/Penggugat tanpa persetujuan Penggugat/ Pemohon Kasasi adalah


8

bertentangan dengan Pasal 6 ayat (3) a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

tentang Merek. Bahwa adalah fakta merek Pemohon Kasasi/Penggugat telah

didaftarkan di India pada tanggal 27 Februari 2008 serta di Perancis tanggal 3

Januari 2003 dan di spanyol tanggal 8 April 2013 oleh anak perusahaan

Penggugat/Pemohon Kasasi didaftarkan di Amerika Serikat oleh anak perusahaan

Penggugat tanggal 13 Januari 2009, serta di United Kingdom tanggal 15 November

2013. Sedangkan Tergugat I mengajukan permohonan pendaftaran merek

“Electrosteel Casting Limited Loge E”tanggal 20 Juli 2007 dan baru terdaftar

tanggal 17 Maret 2009, sehingga lebih dahulu didaftarkan oleh

Penggugat/Pemohon Kasasi baik di India maupun di Perancis”, sehingga dalam

perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017, diketahui

majelis hakim dalam perkara ini mengakui keabsahan Surat dan Akta Notaris yang

dibuat diluar negeri dalam bentuk Dokumen Elektronik dan hasil cetaknya,

meskipun dokumen tersebut belum belum dilegalisir oleh Notaris Publik dan

disahkan oleh Konsul Jenderal Rl.

Problematika penggunaan dokumen elektronik segi pengaturannya, khususnya

berkaitan dengan Akta Notaris yang hendak didokumentasikan dalam bentuk

dokumen elektronik, masih belum mendapatkan payung hukum yang cukup kuat di

Indonesia, bahkan tidak dianggap sah berdasarkan Pasal 5 Ayat 4 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kini telah

diperbaharui oleh Undang-Undang Nomro 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, sedangkan pada praktiknya


9

sendiri diluar negeri khususnya di Amerika Serikat, penggunaan dokumen

elektronik sendiri sudah di optimalkan dengan adanya sistem Pertukaran data

elektronik atau yang dikenal dengan singkatan EDI atau Electronic Data

Interchange, atau Electronic Document Interchange, yaitu proses transfer data yang

terstruktur, dalam format standar yang disetujui, dari satu sistem komputer ke

sistem komputer lainnya, dalam bentuk elektronik. Sistem ini sudah digunakan

sejak tahun 1964 di Amerika Serikat, yaitu pada American Hospital Supply

Company (AHSC) menciptakan sebuah sistem untuk menangani masalah inventoris

dalam sebuah rumah sakit lokal di Amerika Serikat. Namun di Indonesia,

penggunaan sistem pertukaran data elektronik ini masih digunakan untuk tingkat

lokal, yaitu hanya untuk penggunaan dan pengiriman database dari pemerintah

Pusat ke pemerintah Daerah, atau sebaliknya, contoh nyatanya adalah penggunaan

sistem Pertukaran data elektronik untuk kepentingan E-KTP.

Sebaliknya, sistem pertukaran data elektronik diluar negeri sudah mencakup

pada pembuatan akta notaris sebagaimana dikemukakan oleh Shinichi Nakahara

dari Jepang, dimana beliau dalam jurnalnya yang berjudul Electronic Notary System

and its Certification Mechanism menjelaskan bahwa di Jepang, telah

dikembangkan sistem electronik untuk Notaris, yang diakui sebagai alat bukti atas

suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh Notaris, sistem ini diberi nama

CYNOS yang merupakan kepanjangan dari CYber NOtary System.4

4
Shinichi Nakahara, Jurnal, Electronic Notary System and its Certification Mechanism, Kanagawa,
Jepang : NTT Information Sharing Platform Laboratory, 2006. hlm. 1
10

Bahkan pada Juni 1989, delegasi Prancis melalui TEDIS di Uni Eropa pada

Konferensi EDI (Electronic Data Interchange, atau Electronic Document

Interchange) di Brussels mengusulkan bahwa berbagai asosiasi industri dan puncak

badan dapat menggunakan "Notaris Elektronik" (dokumen notaris dalam bentuk

elektronik) dan memberikan catatan independen transaksi antar anggota yaitu,

ketika perusahaan A mentransmisikan dokumen perdagangan dalam bentuk

elektronik untuk perusahaan B dan sebaliknya. Selain itu, teknologi digital dan

layanan sertifikat belum memperoleh penerimaan pasar yang berarti pada waktu itu.

Melainkan konsep kunci publik asli dari kunci yang sesuai manajemen melalui

layanan direktori industri yang terpercaya, diusulkan. Konsep direktori terpercaya

yang memadukan identitas anggota yang divalidasi dan kredensial serta kunci

publik dan / atau kunci mereka diperlukan untuk tanda tangan verifikasi dan / atau

komunikasi pribadi dapat dilihat sebagai lebih dekat selaras dengan layanan notaris

tradisional Eropa.5

Kemudian pada tahun 1994, diketahui bahwa American Bar Association’s

(ABA) mengusulkan mengenai pentingnya potensi penggunaan dokumen

elektronik oleh notaris mengenai spesialisasi dibidang teknologi selain keahlian

hukum sebagai prasyarat yang diusulkan yang diduga akan memiliki tingkat

kualifikasi yang tinggi dalam teknologi keamanan informasi, memungkinkan

seorang notaris secara elektronik menyatakan dan mengautentikasi semua elemen

5
Leslie Smith, The Role Of The Notary In Secure Electronic Commerce, London, Inggris :
Queensland University of Technology, 2006. hlm. 38
11

elektronik transaksi komersial penting untuk keberlakuan hukumnya baik di AS

maupun di luar negeri.6

Di Indonesia sendiri eksistensi akta dalam bentuk dokumen elektronik yang

dibuat notaris masih mendapatkan banyak pertentangan, dimana dari perspektif

hukum itu sendiri eksistensi akta dalam bentuk dokumen elektronik yang dibuat

notaris masih dilarang, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 4 huruf b Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang

kini telah diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 , pertentangan

atas eksistensi akta dalam bentuk dokumen elektronik yang dibuat notaris juga

diatur pada Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang kini telah

diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

Disatu sisi, penelitian yang membahas akta dalam bentuk dokumen elektronik

sebagai pengganti akta otentik dan sebagai alat bukti pembuktian di pengadilan

pernah dibahas dalam penelitian terdahulu yang dibahas oleh Endah Suwarni,

dimana dalam penelitiannya tersebut Endah Suwarni menguraikan bahwa kepastian

hukum terkait penggunaan dokumen elektronik sebagai pengganti akta yang dibuat

notaris, masih menjadi hal yang dilarang dalam pengaturan hukum positif di

Indonesia, dan disatu sisi hukum positif yang ada masih belum sejalan dengan

perkembangan hidup di masyarakat yang sudah maju dari sisi teknologi dan

perkembangan dibidang komunikasi dan penggunaan dokumen elektronik sebagai

pengganti akta notaris yang berasal dan dibuat diluar negeri, masih belum bisa

6
Ibid., hlm. 38-39
12

terwujud di Indonesia secara maksimal, terutama dalam hal perlindungan hukum

secara preventif, karena masih belum tersesuaikannya aturan hukum positif di

Indonesia yang mendukung penggunaan dokumen elektronik sebagai pengganti

akta notaris, namun dari sudut pandang perlindungan hukum secara represif, hakim-

hakim dipengadilan tentunya memiliki cara untuk dapat mengakui keberadaan

dokumen elektronik sebagai pengganti akta notaris, yang dapat dilakukan hakim

dengan melakukan terobosan-terobosan hukum melalui produknya berupa putusan-

putusan yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan oleh hakim itu sendiri,

dimana terobosan hakim tersebut tentunya selaras dengan kewenangan yang

dimiliki hakim terkait pembentukan hukum oleh hakim, serta disisi lain, Notaris

kedepannya harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan kemampuan dan

pemahaman dalam pengelolaan data elektronik yang handal, aman dan nyaman,

meskipun secara teknisnya dapat digunakan tenaga ahli dibidang Informasi,

Komunikasi dan teknologi. Demikian pula dengan Majelis Pengawas Notaris dan

Organisasi Notaris, harus memiliki kemampuan pengawasan dengan membangun

sistem pengawasan elektronik dengan penerapan sistem tata kelola informasi dan

komunikasi yang baik yang memenuhi standarisasi yang telah ditetapkan oleh

undang-undang.7

Kemudian dalam penelitian yang dilakukan Tutwuri Handayani, diketahui

bahwa perbedaan pendapat mengenai daya pembuktian tanda tangan pada suatu

dokumen elektronik di dalam pembuktian hukum acara perdata di Indonesia antara

7
Endah Suwarni, Jurnal Jayabaya, Penggunaan Dokumen Elektronik Yang Dilegalisasi Sebagai
Pengganti Akta Notaris Luar Negeri, Universitas Jayabaya, Jakarta, 2018. hlm. 144-145
13

hakim Pengadilan Negeri Palembang, dua (2) orang pelaku ecommerce

(berpendapat dokumen elektronik yang telah ditandatangani dengan tanda tangan

elektronik, mempunyai daya pembuktian yang sama dengan akta otentik yang

dibuat oleh pejabat yang berwenang, setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sedangkan para notaris

(berpendapat dokumen elektronik yang ditandatangani dengan tanda tangan

elektronik, hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawahtangan, karena tidak

memenuhi syarat sebagai akta otentik, yaitu tidak menghadap kepada pejabat yang

berwenang), dan penyelesaian sengketa akibat tidak terpenuhinya prestasi dari

perjanjian dapat diselesaikan dengan menggunakan lembaga pengadilan atau

lembaga diluar pengadilan, para pelaku transaksi elektronik pada umumnya

menggunakan lembaga diluar pengadilan karena cepat penyelesaiannya dan

biayanya lebih murah.8

Lebih lanjut dalam penelitian yang dilakukan Joan Venzka Tahapary,

dijelaskan bahwa kekuatan pembuktian dokumen elektronik, yang ditandatangani

dengan tanda tangan elektronik yang digunakan sebagai alat bukti dipersidangan.

Pemerintah hendaknya segera mengesahkan Peraturan Pemerintah mengenai Tanda

Tangan Elektronik dan Peraturan Pemerintah mengenai Sertifikasi Elektronik,

sehingga ada aturan hukum lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008. Dokumen elektronik yang telah ditandatangani dengan tanda tangan

elektronik, mempunyai daya pembuktian yang sama dengan akta otentik yang

8
Tutwuri Handayani, Jurnal Tesis Diponegoro, Pengakuan Tanda Tangan Pada Suatu Dokumen
Elektronik Di Dalam Pembuktian Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2019. hlm. 52
14

dibuat oleh pejabat yang berwenang, setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sedangkan para notaris

berpendapat dokumen elektronik yang ditandatangani dengan tanda tangan

elektronik, hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawahtangan, karena tidak

memenuhi syarat sebagai akta otentik, yaitu tidak menghadap kepada pejabat yang

berwenang.9

Selanjutnya, dalam penelitian Putri Visky Saruji, dijelaskan bahwa sebuah

digital signature dapat dikategorikan sebagai bukti tertulis namun terdapat suatu

prinsip hukum yang menyebabkan sulitnya pengembangan penggunaan dari

dokumen elektronik yakni adanya syarat bahwa dokumen tersebut harus dapat

dilihat, dikirim dan disimpan dalam bentuk kertas.10

Kemudian dalam penelitian Zainatun Rossalina, dijelaskan bahwa ada

kewenangan notaris untuk mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara cyber

notary. Istilah sertifikasi berasal dari bahasa Inggris ’certification’ dengan yang

berarti keterangan, pengesahan. Pengertian sertifikasi itu sendiri adalah prosedur di

mana pihak ketiga memberikan jaminan tertulis bahwa suatu produk, proses atas

jasa telah memenuhi standar tertentu, berdasarkan audit yang dilaksanakan dengan

prosedur yang disepakati. Berkenaan dengan pelaksanaan cyber notary, pada

awalnya ketentuan mengenai pelayanan kenotariatan secara elektronik diharapkan

dapat masuk ke dalam salah satu pasal pada Undang-undang Nomor 02 Tahun

9
Joan Venzka Tahapary, Jurnal Tesis UI, Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat
Bukti Yang Sah Di Tinjau Dalam Hukum Acara Perdata, UI Press, Depok, 2018. hlm. 82
10
Putri Visky Saruji, Jurnal Tesis Udayana, Kekuatan Hukum Pembuktian Tandatangan Pada
Dokumen Eelektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata,Udayana Press,
Denpasar, 2019. hlm. 5
15

2014. Namun, konsep cyber notary tersebut menimbulkan konflik norma yang

terjadi pada Pasal 15 ayat 3 dengan Pasal 16 ayat 1 huruf m Undang-undang Nomor

02 Tahun 2014. Sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary merupakan

penjelasan dari Pasal 15 ayat 3 Undang-undang nomor 2 Tahun 2014 dirasa kurang

begitu dimengerti, kalaupun memang diartikan sebagai pengesahan atas suatu

transaksi yang dibuat secara cyber notary sehingga mengakibatkan transaksi

tersebut dianggap sebagai akta notaris maka hal tersebut jelas telah bertolak

belakang dengan Pasal 16 ayat 1 huruf m Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014.

Di mana hal itu tidak sesuai dengan cara pembuatan akta notaris sebagai akta

otentik yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf m Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2014 menjelaskan bahwa notaris wajib membacakan akta

dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Sedangkan cyber

notary di sini posisi penghadap tidak langsung di hadapan notaris namun melalui

alat elektronik seperti teleconference atau video call. Pengesahan akta notaris yang

dibuat dengan cara cyber notary sebenarnya rawan untuk disalahgunakan oleh para

pihak yang beritikad tidak baik. Apabila timbul suatu sengketa, para pihak dapat

memungkiri proses pembacaan yang tidak dilakukan dengan benar-benar

menghadap kepada Notaris.11

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui, bahwa Indonesia masih tertinggal

dalam hal penggunaan dokumen elektronik sebagai alat bukti, khususnya terhadap

Akta yang dibuat Notaris, karena dalam hukum di Indonesia, Akta Notaris yang

11
Zainatun Rossalina, Jurnal Tesis Brawijaya, Keabsahan Akta Notaris Yang Menggunakan Cyber
Notary Sebagai Akta Otentik, Universitas Brawijaya Press, Malang, 2019. hlm. 4
16

dibuat dalam dokumen elektronik serta hasil cetaknya, baik yang dibuat oleh

Notaris lokal maupun oleh Notaris yang berasal dari luar negeri masih belum diakui

sebagai alat bukti, sehingga berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk

membuat sebuah karya tulis yang membahas mengenai masalah tersebut, yang akan

dituangkan dalam karya tulis yang berjudul, “KEPASTIAN HUKUM AKTA

DALAM BENTUK DOKUMEN ELEKTRONIK BERDASARKAN KONSEP

CYBER NOTARY SEBAGAI PEMBUKTIAN DI PENGADILAN”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat

dirumuskan, bahwa masalah yang hendak dibahas pada karya tulis ini adalah

mengenai :

1. Bagaimana keberadaan Akta Dalam Bentuk Dokumen Elektronik sebagai

pengganti Akta Notaris berdasarkan konsep cyber notary dalam kekuatan

pembuktian di Pengadilan?

2. Bagaimana kepastian hukum terhadap Akta Dalam Bentuk Dokumen

Elektronik sebagai Akta autentik berdasarkan konsep cyber notary terkait

dengan kekuatan pembuktian di Pengadilan?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat

dirumuskan, bahwa masalah yang hendak dibahas pada karya tulis ini adalah

mengenai :
17

1. Untuk menemukan dan menganalisis keberadaan Akta Dalam Bentuk

Dokumen Elektronik sebagai pengganti Akta Notaris dalam kekuatan

pembuktian di Pengadilan.

2. Untuk membahas, menganalisis dan menguraikan mewujudkan kepastian

hukum terhadap Akta Dalam Bentuk Dokumen Elektronik sebagai Akta

autentik terkait dengan kekuatan pembuktian di Pengadilan.

Selain mempunyai 2 (dua) tujuan pokok seperti tersebut di atas, penelitian ini

juga mempunyai Kegunaan, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis.

1. Kegunaan Teoritis

Kegunaan teoritis penelitian ini adalah sebagai karya ilmiah untuk

pengembangan ilmu hukum pada umumnya Hukum Perdata, khususnya

mengenai kedudukan hukum dokumen elektronik sebagai alat bukti yang

digunakan untuk menggantikan Akta Notaris di Pengadilan.

2. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis penelitian ini adalah sebagai masukan ilmiah kepada

penegak hukum dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara

penegakan hukum, khususnya mengenai kepastian hukum Akta Dalam

Bentuk Dokumen Elektronik pengganti Akta autentik sebagai bukti dan

kekuatan pembuktian di Pengadilan.

D. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tujuan dan kegunaan penelitian sebagaimana telah diuraikan di

atas, diketahui, bahwa penulisan karya tulis ini, sejatinya memiliki kerangka
18

pemikiran yang hendak membahas mengenai bentuk kepastian hukum pengaturan

dalam Hukum Informasi dan Transaksi elektronik yang berlaku di Indonesia,

mengenai masalah Notaris dan Akta, serta perihal dokumen elektronik sebagai alat

bukti, yang akan diuraikan sebagai berikut. Pada teori kepastian hukum, peneliti

menggunakan teori dari Lon Fuller, sedangkan pada teori hukum pembuktian,

menggunakan teori hukum pembuktian Subekti.

1. Teori Kepastian Hukum

Dalam penelitian ini, teori kepastian hukum dipergunakan sebagai proses

pembahasan, sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana

mewujudkan kepastian hukum terhadap akta dalam bentuk dokumen elektronik

sebagai Akta autentik terkait dengan kekuatan pembuktian di Pengadilan. Teori

kepastian hukum dipergunakan untuk mengkaji dan menganalisis rumusan masalah

kedua dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum Lon Fuller.

Dalam penelitian ini, teori kepastian hukum yang dipergunakan adalah teori

kepastian hukum sebagaimana dikemukakan oleh Lon Fuller. Lon Fuller

mendefinisikan kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan,

tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat

dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung

keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan

hukum.12

12
Jimmly Asshidiqie dan Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 138
19

Lebih lanjut Lon Fuller menjelaskan bahwa harus ada kepastian antara

peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi,

perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif

dijalankan.13

Mengenai kepastian hukum Lon Fuller mendeskripsikan bahwa, Hukum

menurut Fuller, harus memenuhi delapan kriteria yang apabila tidak dipenuhi, maka

gagallah hukum disebut sebagai hukum, yaitu: 14

a. Suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan

putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu (ad hoc).

b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.

c. Tidak berlaku surut. Karena akan merusak integritas system.

d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.

e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.

f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa

dilakukan.

g. Tidak boleh sering diubah-ubah.

h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

2. Teori Hukum Pembuktian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Subekti, yang menyatakan

bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-

13
Ibid.,hlm. 138
14
Jimmly Asshidiqqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2016, hlm. 242.
20

dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Berdasarkan definisi hukum

tersebut, membuktikan dapat dinyatakan sebagai proses menjelaskan kedudukan

hukum para pihak yang sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil yang

dikemukakan para pihak, sehingga pada akhirnya hakim akan mengambil

kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah.15

Lebih lanjut menurut Subekti, membuktikan atau pembuktian adalah usaha

para pihak yang berkepentingan untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak

mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara. Hal ini bertujuan agar hal-

hal tersebut dapat digunakan oleh hakim sebagai bahan pertimbangan untuk

memberi keputusan mengenai perkara tersebut. Para pihak mengemukakan hal-hal

yang berkenaan dengan suatu perkara yang disengketakan agar dapat dijadikan

pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut melalui bukti-bukti dan alat-

alat bukti yang diajukan dimuka persidangan. Bukti adalah sesuatu yang dapat

meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian, sedangkan alat bukti adalah

segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan.

Proses pembuktian ini juga sangat terkait dengan hal apa yang harus dibuktikan dan

hal apa saja yang tidak harus dibuktikan.16

Kemudian menurut Subekti, dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa alat

bukti yang dapat diajukan dalam sistem hukum acara perdata, diantaranya :17

a. Bukti Surat /Tertulis

15
Dandy Hernady, Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata, Deeppublisher, Yogyakarta, 2019.
hlm. 201
16
Ari Krisnawati, Pembuktian Perkara Perdata, Udayana Press, Denpasar, 2015. hlm. 16
17
Fernando Kobis, Pembuktian Surat Dalam Hukum Acara Perdata, Kencana, Jakarta, 2018.
hlm.28
21

Bukti surat atau bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-

tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk

menyampaikan pemikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian.

Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan akta

dan surat lainnya yang bukan akta. Akta adalah surat sebagai alat bukti

yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak

atau perikatan, dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.

Pembuktian disini merupakan suatu tindakan bahwa peristiwa hukum telah

dilakukan dan akta itu adalah buktinya. Sehelai kuitansi merupakan akta

yang tergolong sebagai akta dibawah tangan. Suatu akta haruslah

ditandatangan untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang lainnya

atau dengan akta yang dibuat oleh orang lain. Akta dapat mempunyai

fungsi formal, yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya

(bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta.

Selain itu, sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta dapat

digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. Akta dibagi menjadi 2 (dua),

yaitu:

1) Akta Otentik

Secara teoritis akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula

dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Secara dogmatis

menurut Pasal 1868 KUHPedata akta otentik adalah akta yang

bentuknya ditentukan undang-undang dan dibuat oleh atau dihadapan

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana


22

akata dibuatnya. Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, notarislah satu-

satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Akta

otentik mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian yaitu:

a) Kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak

bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta

tersebut;

b) kekuatan pembuktian materil, membuktikan antara para pihak

bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah

terjadi;

c) Kekuatan mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak

ketiga, bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang

bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan

menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. oleh karena

menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa akta otentik

mempunyai kekuatan pembuktian keluar (orang luar).

2) Akta Di bawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk

pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat, jadi

semata-mata dibuat Antara para pihak yang berkepentingan. Dalam

akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya hampir sama dengan

akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar, yang tidak

dimiliki oleh akta di bawah tangan.

3) Surat-surat Lainnya yang Bukan Akta


23

Surat-surat lainnya yang bukan merupakan akta, dalam hukum

pembuktian sebagai bukti bebas, artinya adalah diserahkan kepada

hakim. Dalam praktik surat-surat semacam itu sering digunakan untuk

menyusun persangkaan.

b. Keterangan Saksi

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan

memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang

dilihat, dengan dan dialami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau

keadaan tersebut. Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-152, 168-172

HIR dan Pasal 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan

kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan

jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh seorang yang bukan salah

satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan. Jadi keterangan

yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang

dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperolehnya secara

berfikir bukanlah merupakan kesaksian. Keterangan saksi haruslah

diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan, jadi harus diberitahukan

sendiri dan tidak diwakilkan. Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian

hakim harus memperhatikan kesesuaian atau kecocokan antara keterangan

para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain

tentang perkara yang disengketakan, pertimbangan yang mungkin ada pada

saksi untuk menuturkan kesaksiannya, cara hidup, adat istiadat, martabat


24

para saksi, dan segala sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat

tidaknya dipercaya sebagai seorang saksi.

Keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap

sebagai pembuktian yang cukup, sesuai asas unus testis nullus testis

(seorang saksi bukan saksi) dan Pasal 169 HIR, 306 Rbg, 1905

KUHPerdata. Kekuatan pembuktian dari kesaksian seorang saksi saja tidak

boleh dianggap sebagai sempurna oleh hakim. Gugatan harus ditolak

apabila penggugat dalam mempertahankan dalilnya hanya mengajukan

seorang saksi tanpa alat bukti lainnya. Keterangan seorang saksi ditambah

dengan alat bukti lain baru dapat merupakan alat bukti yang sempurna,

misalnya ditambah dengan persangkaan atau pengakuan tergugat.

Keterangan saksi dianggap sabagai alat bukti apabila:

1) Saksi harus betul-betul tahu sendiri yaitu melihat,mendengar dan

mengalami sendiri (Ratio Sciendi)

2) Saksi tidak boleh mengambil kesimpulan atau memberi penilaian

(Ratio Concludendi)

3) Keterangan saksi tidak boleh dari pendengaran orang lain (Testimonium

De Auditu)

4) Satu saksi bukan kesaksian (Unus Testis Nullus Testis)

c. Persangkaan

Pada hakikatnya yang dimaksud dengan persangkaan tidak lain adalah alat

bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya pembuktian dari

ketidakhadiran seseorang pada saat tertentu di suatu tempat dengan


25

membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama di tempat yang lain.

Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan.

Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim

ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa

yang tidak diketahui umum menurut Pasal 1915 KUHPerdata, Pasal 173

HIR, dan Pasal 310 RBg. Persangkaan undang-undang atau persangkaan

hukum adalah persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-

undang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau

peristiwa tertentu. Berdasarkan Pasal 1915 KUHPerdata, persangkaan-

persangkaan semacam ini, antara lain:

1) Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-

mata demi sifat dan wujudnya dianggap telah dilakukan untuk

menyelundupi suatu ketentuan undang-undang.

2) Perbuatan yang oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau

pembebasan utang disimpulkan dari keadaan tertentu.

3) Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan

hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

4) Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau

sumpah salah satu pihak.

Persangkaan Hakim adalah persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta

fetelijke vermoeden atau presumptiones facti yang bersumber dari fakta

yang terbukti dalam persidangan sebagai titik tolak menyusun persangkaan.

Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini


26

kebenarannya. Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat

juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim

dalam persidangan. Misalnya, sikap, perilaku, emosional dan tindakan para

pihak dalam memutus perkara. Tetapi, pengetahuan hakim mengenai para

pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam

memutus perkara.

d. Pengakuan

Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan

persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan keterangan yang

membenarkan peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang diajukan oleh

lawan. Ada 2 (dua) macam pengakuan yang dikenal dalam Hukum Acara

Perdata, yaitu pengakuan yang dilakukan di depan sidang dan pengakuan

yang dilakukan diluar sidang. Kedua macam pengakuan tersebut berbeda

dalam hal nilai pembuktian. Pengakuan yang dilakuakan di depan sidang

mempunyai kekuatan bukti yang sempurna, sedangkan pengakuan yang

dilakukan di luar sidang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada

kebijaksanaan hakim. Pasal 176 HIR menerangkan bahwa suatu pengakuan

harus diterima bulat. Hakim tidak boleh memisah-misah atau memecah-

mecah pengakuan itu dan menerima sebagian dari pengakuan sehingga

tidak perlu lagi dibuktikan dan menolak sebagian lainnya yang masih

diperlukan pembuktian lebih lanjut. Selain ketentuan mengenai pengakuan

yang tidak boleh dipisah-pisah diatas, hukum acara perdata mengenal apa

yang disebut sebagai pengakuan yang berembel-embel.


27

e. Sumpah

Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan

atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan

mengingat akan sifat mahakuasa dari Tuhan dan percaya bahwa siapa yang

memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.

Jadi pada hakikatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius

yang digunakan di dalam peradilan. Pihak yang disumpah adalah salah satu

pihak (penggugat atau tergugat). Dalam Hukum Acara Perdata, para pihak

yang bersengketa tidak boleh didengar sebagai saksi, namun dibuka

kemungkinan untuk memperoleh keterangan dari para pihak dengan

dikukuhkan melalui sumpah yang dimasukkan dalam golongan alat bukti.

HIR menyebut 3 (tiga) macam sumpah sebagai alat bukti yaitu:

1) Sumpah pelengkap (suppletoir),

Sumpah pelengkap (suppletoir) di dalam Pasal 115 HIR merupakan

sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah

satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi

sengketa sebagai dasar putusannya. Sumpah ini mempunyai fungsi

menyelesaikan perkara, maka mempunyai kekuatan pembuktian

sempurna, yang masih memungkinkan adanya bukti lawan. Pihak

lawan membuktikan bahwa sumpah itu palsu apabila putusan yang

didasarkan atas sumpah suppletoir itu telah mempunyai kekuatan

hukum yang pasti, maka bagi pihak yang dikalahkan terbuka


28

kesempatan mengajukan request civil setelah putusan yang menyatakan

bahwa sumpah itu palsu di dalam Pasal 385 Rv.

2) Sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decicoir),

Sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decicoir) merupakan

sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada

lawannya di dalam Pasal 156 HIR. Pihak yang meminta lawannya

mengucapkan sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang harus

bersumpah disebut delaat. Sumpah ini dapat dibebankan atau

diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, sehingga

pembebanan sumpah decisoir dapat dilakukan setiap saat selama

pemeriksaan di persidangan. Inisiatif untuk membebani sumpah ini dari

salah satu pihak dan dia pulalah yang menyusun rumusan sumpahnya.

Sumpah decisoir dapat dibebankan kepada siapa saja yang dapat

menjadi pihak dalam suatu perkara. Akibat mengucapkan sumpah ini

adalah kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti dan

pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu.

3) Sumpah penaksiran (aestimator, schattingseed).

Sumpah penaksiran (aestimator, schattingseed) merupakan sumpah

yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat

untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. Sumpah ini baru dapat

dibebankan kepada penggugat apabila penggugat telah dapat

membuktikan haknya atas ganti kerugian itu serta jumlahnya masih

belum pasti dan tidak ada cara lain untuk menentukan jumlah ganti
29

kerugian tersebut kecuali dengan penaksiran. Kekuatan pembuktian

sumpah ini sama dengan sumpah suppletoir yaitu bersifat sempurna dan

masih memungkinkan pembuktian lawan.

f. Dokumen Elektronik dan Hasil Cetaknya

Pengalihan data tertulis ke dalam bentuk data elektronik telah diatur

sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang

Dokumen Perusahaan, pada bagian menimbang huruf F dinyatakan bahwa

"kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang

dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara

langsung dalam media elektronik”. Selanjutnya dipertegas “dokumen

perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya dan

merupakan alat bukti yang sah" sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

Pasal 12 ayat (1) Jo Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997

tentang Dokumen Perusahaan. Hal ini berarti dokumen elektronik

khususnya mengenai dokumen perusahaan merupakan alat bukti yang sah

jauh sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian diperbaharui

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

Dokumen eletktronik dan hasil cetaknya merupakan alat bukti yang

termasuk baru diakui dalam sistem pembuktian hukum perdata dan hukum

pidana di Indonesia, dimana dokumen elektronik dan hasil cetaknya, baru

diakui semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008


30

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian diperbaharui

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik. Secara definisi, dokumen elektronik dalam ketentuan

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik yang kemudian diperbaharui dengan Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

diartikan sebagai setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan,

dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,

elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,

dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk

tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau

sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang

memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya.

Dasar hukum berlakunya Dokumen eletktronik dan hasil cetaknya sebagai

alat bukti yang diakui dalam sistem pembuktian hukum perdata, dapat

dilihat pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian diperbaharui

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, yang menyebutkan,

1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.


31

2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan

dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di

Indonesia.

3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah

apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Undang-Undang ini.

4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk

tertulis; dan

b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus

dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat

pembuat akta.

Pengakuan Mahkamah Agung terhadap dokumen elektronik pada sistem

peradilan pertama kali diketahui melalui Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai

Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. SEMA ini

bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses minutasi

berkas perkara serta menunjang pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas

serta pelayanan publik pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di

bawahnya. Namun SEMA ini tidaklah mengatur tentang dokumen

elektronik sebagai alat bukti melainkan dokumen elektronik berupa


32

putusan maupun dakwaan yang dimasukkan pada compact disc, flash

disk/dikirim melalui email sebagai kelengkapan permohonan kasasi dan

peninjauan kembali.18

SEMA ini telah mengalami perubahan berdasarkan SEMA 1 Tahun 2014

tentang Perubahan atas SEMA 14 Tahun 2010 tentang Dokumen

Elektronik sebagai kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan

Kembali. Perubahan SEMA ini dilakukan berkaitan dengan sistem

pemeriksaan berkas dari sistem bergiliran menjadi sistem baca bersama

yang diarahkan secara elektronik. Dalam butir-butir SEMA terdapat

penambahan detail dokumen-dokumen yang wajib diserahkan para pihak

berperkara secara elektronik tapi sekali lagi kepentingannya bukan dalam

kaitannya sebagai alat bukti elektronik. Perbedaan lainnya dengan SEMA

yang lama ialah cara penyertaan dokumen melalui fitur komunikasi data

(menu upaya hukum) pada direktori putusan Mahkamah Agung karena cara

lama melalui compact disk dan pengiriman e-dokumen memiliki sejumlah

kendala diantaranya data tidak terbaca, perangkat penyimpan data hilang

dan lain-lain.19

Simpulan singkatnya, SEMA tersebut mengakui dokumen elektronik untuk

kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, bukan untuk

alat bukti persidangan dan penyerahan dokumen oleh pengadilan tingkat

pertama dilakukan melalui fitur komunikasi data dan tidak melalui

18
Ali Imron, Hukum Pembuktian, Unpam Press, Pamulang, 2019. hlm. 61
19
Ibid., hlm. 61-62
33

perangkat flash disk/compact disk kecuali dalam keadaan khusus. Namun,

yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara penyerahan dokumen

elektronik sebagai alat bukti yang sah dipersidangan? Disinilah terdapat

kekosongan hukum acara, karena dalam UUITE maupun UU lainnya tidak

mengatur mengenai tata cara penyerahannya di persidangan. Kalau dalam

praktiknya ada yang menyerahkan melalui compact disk atau flash disk

maka sesuai SEMA 1/2014 dijelaskan bahwa hal tersebut menyebabkan

sejumlah kendala namun apabila dikirim melalui e-dokumen juga belum

diatur tata cara pengirimannya. Tata cara penyerahan menjadi penting

karena menyangkut sah atau tidaknya hukum acara perdata yang diterapkan

dan dalam rangka memenuhi unsur "dijamin keutuhannya" pada Pasal 6

UUITE. Dijamin keutuhannya berarti tidak diubah-ubah bentuknya sejak

dari dokumen elektronik tersebut disahkan.20

E. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode pendekatan normatif.

Istilah penelitian hukum normatif sendiri dalam teorinya tidak terdapat

keseragaman pemahaman diantara para ahli hukum.21 Mengenai penelitian

normatif, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, menyebutkan dengan istilah

metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan.

20
Muhamad Iqbal, Hukum Pembuktian Perdata, Unpam Press, Pamulang, 2019. hlm. 36
21
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum,Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2016, hlm. 33.
34

Soetandyo Wignjosoebroto, menyebutkan dengan istilah metode penelitian

hukum doctrinal22.

2. Spesifikasi Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan spesifikasi penelitian

deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran

secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang

berhubungan dengan penggunaan dokumen elektronik sebagai dokumen

pengganti akta notaris yang dibuat di luar negeri, dengan menggambarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan splitsing

dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktak pelaksanaan hukum positif

yang menyangkut permasalahan diatas.23

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data sekunder dalam

penelitian. Data sekunder merupakan data kepustakaan yang di dalamnya

mengandung bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

dan bahan hukum tersier.

Adapun data sekunder pada penelitian ini terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

1) Undang-Undang Dasar 1945

22
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, Editor :
Ifdhal Kasim et.al., Elsam dan Huma, Jakarta, 2002, hlm. 147.
23
Otje Salaman, et. all.,Metode Penelitian Hukum, Bandung : Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran, 2005. hlm. 2
35

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik

5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

6) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik

7) Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor

09/A/KP/XI1/2006/01

b. Bahan Hukum Sekunder terdiri dari doktrin-doktrin yang dituangkan

melalui buku-buku yang membahas mengenai dokumen elektronik,

cyber notary, dan akta notaris

c. Bahan Hukum Tersier, terdiri dari jurnal-jurnal penelitian yang

menjelaskan mengenai dokumen elektronik, cyber notary, dan akta

notaris.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan

studi kepustakaan (library research) dan wawancara. Studi kepustakaan adalah

suatu teknik (prosedur) pengumpulan atau penggalian data kepustakaan. Data

kepustakaan adalah data yang sudah didokumentasikan sehingga penggalian


36

data kepustakaan tidak perlu dilakukan secara langsung ke masyarakat

(lapangan).24

Sedangkan penelitian langsung dengan wawancara adalah berupa

penggalian fakta-fakta hukum yang tidak hanya tampak dipermukaan namun

justru untuk menggali apa yang sesungguhnya terjadi di balik persitiwa

hukum.25

5. Metode Analisis Data

Analisis hukum dalam pengertian Dogmatika Hukum adalah suatu

aktivitas akal budi yang pada dasarnya bertujuan untuk mengurai norma-norma

hukum agar kandungan norma yang terdapat dalam suatu kaidah hukum dapat

diketahui.26

Alat bantu (sarana berpikir ilmiah) yang dapat dipergunakan untuk

menganalisis norma-norma hukum adalah logika dan bahasa.27Oleh karena itu,

dalam Dogmatika Hukum tidak lazim dikenal istilah analisis kualitatif atau

analisis kuantitatif. Jadi, tujuan melakukan analisis hukum adalah untuk dapat

mengungkap kandungan norma hukum sehingga dapat diketahui :

a. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan suruhan (gebod),

b. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan larangan (verbod) atau,

c. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan kebolehan (mogen).28

24
Ibid., hlm. 70.
25
. Ibid., hlm. 74
26
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, Op. Cit., hlm. 33.
27
Ibid.
28
Ibid.
37

Norma-norma hukum yang dianalisis kemudian disistematisasi atau

disusun secara sistematis. Sistematisasi hukum artinya menata norma-norma

hukum dalam suatu tatanan atau jaringan yang bersifat koheren (saling

meneguhkan) dan sistematis.29

6. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian tesis yang ada pada

Program Megister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Jayabaya

tidakditemukan judul tesis terkait tentang Penggunaan Dokumen Eelektronik yang

Dilegalisir sebagai Pengganti Akta Notaris Luar Negeri dengan Studi Putusan

Mahkamah Agung Nomor 752 K/Pdt.Sus-HKI/2016. Oleh karena itu, untuk

menjamin keaslian tesis ini penulis hendak membandingkan dengan karya tulis

yang telah diterbitkan dengan tema serupa, diantaranya adalah :

1. Tesis Tutwuri Handayani, yang berjudul “Pengakuan Tanda Tangan pada

Suatu Dokumen Elektronik Di Dalam Pembuktian Hukum Acara Perdata di

Indonesia”, yang berasal dari Universitas Diponegoro, Jurusan Magister

Kenotariatan Pascasarjana.

Dalam Abstraknya, dijelaskan bahwa dalam Penelitian tersebut bertujuan

menganalisispengaturan go private dalam Hukum Pasar Modal di

Indonesia,dan mengetahui peran notaris pasar modal dalam suatu aksi go

private yang dilakukan sebuah perseroan terbatas. Dalam tesis Tutwuri

Handayani tersebut hasil penelitiannya menunjukan terdapat perbedaan

29
Ibid.
38

pendapat mengenai daya pembuktian tanda tangan pada suatu dokumen

elektronik di dalam pembuktian hukum acara perdata di Indonesia antara

hakim Pengadilan Negeri Palembang, dua (2) orang pelaku ecommerce

(berpendapat dokumen elektronik yang telah ditandatangani dengan tanda

tangan elektronik, mempunyai daya pembuktian yang sama dengan akta

otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, setelah dikeluarkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, sedangkan para notaris (berpendapat dokumen elektronik yang

ditandatangani dengan tanda tangan elektronik, hanya mempunyai kekuatan

pembuktian dibawahtangan, karena tidak memenuhi syarat sebagai akta

otentik, yaitu tidak menghadap kepada pejabat yang berwenang), dan

penyelesaian sengketa akibat tidak terpenuhinya prestasi dari perjanjian

dapat diselesaikan dengan menggunakan lembaga pengadilan atau lembaga

diluar pengadilan, para pelaku transaksi elektronik pada umumnya

menggunakan lembaga diluar pengadilan karena cepat penyelesaiannya dan

biayanya lebih murah.

2. Tesis Joan Venzka Tahapary, yang berjudul “Keabsahan Tanda Tangan

Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Ditinjau Dalam Hukum Acara

Perdata” yang berasal dari Universitas Indonesia, Magister Kenotariatan

Program Pascasarjana.

Dalam Abstraknya, dijelaskan bahwa penggunaan tanda tangan elektronik

pada suatu dokumen elektronik, dapat menjamin keamanan suatu pesan

informasi elektronik, yang menggunakan jaringan publik, karena tanda


39

tangan elektronik dibuat berdasarkan teknologi kriptografi asimetris. Dari

penelitian, terdapat perbedaan pendapat mengenai kekuatan pembuktian

dokumen elektronik, yang ditandatangani dengan tanda tangan elektronik

yang digunakan sebagai alat bukti dipersidangan. Pemerintah hendaknya

segera mengesahkan Peraturan Pemerintah mengenai Tanda Tangan

Elektronik dan Peraturan Pemerintah mengenai Sertifikasi Elektronik,

sehingga ada aturan hukum lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008. Dokumen elektronik yang telah ditandatangani dengan tanda

tangan elektronik, mempunyai daya pembuktian yang sama dengan akta

otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, setelah dikeluarkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, sedangkan para notaris berpendapat dokumen elektronik yang

ditandatangani dengan tanda tangan elektronik, hanya mempunyai kekuatan

pembuktian dibawahtangan, karena tidak memenuhi syarat sebagai akta

otentik, yaitu tidak menghadap kepada pejabat yang berwenang.

3. Tesis Erlinda Saktiani Karwelo, yang berjudul “Prospek Pembacaan Dan

Penandatanganan Akta Notaris Melalui Video Conference”, yang berasal dari

Universitas Brawijaya, Jurusan Magister Kenotariatan.

Dalam Abstraknya, dijelaskan bahwa dalam Penelitian tersebut bertujuan

untuk mengkaji pedoman pembuatan akta notaris selama ini dan untuk

menganalisis prospek perumusan pedoman pembuatan akta notaris melalui

video conference. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini

adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-


40

undangan dan pendekatan konseptual.Selanjutnya terhadap bahan-bahan

hukum akan digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis keterkaitan

antara satu sama lain dari bahan hukum yang ada. Berdasarkan hasil penelitian,

maka dapat disimpulkan bahwa Pembuatan akta selama ini tidak berkembang

sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada, serta pembacaan akta dan

penandatanganan akta melalui Video conference belum dapat dilakukan karena

dalam pasal 16 ayat 1 huruf m Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris j.o. pasal 5 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

menyatakan bahwa akta harus dibuat dalam bentuk tertulis. Padahal Video

Conference dapat digunakan untuk membantu kinerja notaris sehingga lebih

efektif dan hasil dari pembacaan dan penandatangan akta notaris tetap

berbentuk akta notaris yang di print out dengan kata lain tetap berbentuk

tertulis.

4. Tesis Putri Visky Saruji, yang berjudul “Kekuatan Hukum Pembuktian

Tandatangan Pada Dokumen Eelektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum

Acara Perdata”, yang berasal dari Universitas Udayana, Jurusan Magister

Hukum Bisnis.

Dalam Abstraknya, dijelaskan dokumen elektronik yang ditandatangani

dengan sebuah digital signature dapat dikategorikan sebagai bukti tertulis

namun terdapat suatu prinsip hukum yang menyebabkan sulitnya

pengembangan penggunaan dari dokumen elektronik yakni adanya syarat

bahwa dokumen tersebut harus dapat dilihat, dikirim dan disimpan dalam
41

bentuk kertas. Adapun permasalahan yang dihadapi yaitu: bagaimanakah

pengaturan hukum pembuktian dalam acara perdata di Indonesia? Dan

bagaimanakah kekuatan pembuktian dengan menggunakan tandatangan

elektronik pada dokumen elektronik dalam hukum acara perdata? Metode

penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian yuridis normatif dengan

melakukan penelitian kepustakaan terhadap bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Berdasarkan hasil penelitian dapat

diketahui bahwa pengaturan mengenai sistem hukum pembuktian di Indonesia

diatur dalam KUHPerdata, HIR bagi golongan Bumi Putera, untuk daerah Jawa

dan Madura dan RBg berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar

Jawa dan Madura. Kekuatan pembuktian dari Dokumen elektronik yang

ditandatangani dengan tanda tangan elektronik didalam hukum pembuktian di

Indonesia, diakui esensinya setelah diatur di dalam UU ITE bahwa informasi

elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti

hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai

dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

5. Tesis Diyon P. Kencana Suwarno, yang berjudul “Keabsahan Tanda Tangan

Elektronik Pada Perjanjian Kontrak Bisnis”, yang berasal dari Universitas

Warmadewa, Jurusan Magister Hukum.

Dalam Abstraknya, pengaturan penggunaan tanda tangan elektronik dalam

perjanjian kontrak bisnis menurut perundang-undangan di Indonesia, adalah

dengan dasar hukum UU ITE dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82

Tahun 2012 tentang Transaksi Elektronik dan dikaitkan dengan asas-asas

perjanjian dalam KUH Perdata. Dasar hukum ini menjadi penting sebagai
42

landasan dan acuan bahwa dokumen elektronik termasuk perjanjian kontrak

bisnis yang ditanda tangani secara digital adalah sah secara hukum, sama

seperti tanda tangan konvensional pada dokumen kertas. Keabsahan tanda

tangan elektronik dari suatu perjanjian atau kontrak bisnis dalam hukum

pembuktian adalah jika kontrak yang terjadi akibat transaksi kontrak bisnis

elektronik dikatakan sah menurut hukum perdata Indonesia, maka kontrak

tersebut juga harus memenuhi persyaratan sahnya perjanjian menurut Pasal

1320 KUH Perdata tersebut. Saran : Disarankan kepada Pemerintah untuk

dapat membentuk undang-undang yang khusus mengenai perjanjian secara

umum yang sudah mengakomodir transaksi komersial elektronik (e-

commerce) yang merupakan lex specialist dari KUH Perdata maupun

KUHAP untuk mengantisipasi semakin berkembangnya dibidang elektronik

agar adanya kepastian hukum dalam transaksi komersial elektronik (e-

commerce) di Indonesia. Dan bagi pihak-pihak terkait untuk melakukan

sosialisasi mengenai transaksi komersial elektronik (e-commerce) termasuk

didalamnya tanda tangan elektronik kepada masyarakat dan para penegak

hukum untuk dapat memahami mekanisme dan permasalahan yang

berkaitan dengan transaksi komersial elektronik (e-commerce).

Berdasarkan uraian jurnal di atas, diketahui, tidak memiliki kesamaan baik dari

segi pembahasan maupun analisis, sehingga, keaslian tesis ini dapat

dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus

dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan

implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian
43

penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan

dan terbuka untuk kritisi yang sifatnya konstruktif (membangun).


44

BAB II

TINJAUAN KEPASTIAN HUKUM HASIL PRINT OUT DOKUMEN

ELEKTRONIK SEBAGAI PENGGANTI AKTA NOTARIS

A. Kepastian Hukum

Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama,

mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal

uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui

apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai

perkara. Ke dua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya,

perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.30

Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya memang

lebih berdimensi yuridis. Namun, otto ingin memberikan batasan kepastian

hukum yang lebih jauh. Untuk itu ia mendefinisikan kepastian hukum sebagai

kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:31

a. Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh

(accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara;

b. Instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan

hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

30
Jimmly Asshidiqqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta : Sekretariat
Mahkamah Konstitusi, 2006. hlm. 55
31
Safri Nugraha, Laporan Tim Kompendium Bidang Pemerintahan Yang Baik, Jakarta : BPHN,
2014. hlm. 4
45

c. Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-

aturan tersebut;

d. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan

aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka

menyelesaikan sengketa hukum, dan;

e. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Konsep "kepastian hukum" mencakup sejumlah aspek yang saling kait

mengkait. Salah satu aspek dari kepastian hukum ialah perlindungan yang

diberikan pada individu terhadap kesewenang-wenangan individu lainnya dan

administrasi pemerintah. Kepercayaan akan kepastian hukum yang seharusnya

dapat dikaitkan individu berkenaan dengan apa yang dapat diharapkan individu

akan dilakukan penguasa, termasuk juga kepercayaan akan konsistensi putusan-

putusan hakim atau administrasi pemerintah. Sedangkan aspek lainnya dari

konsep kepastian hukum ialah fakta bahwa seorang individu harus dapat

menilai akibat-akibat dari perbuatannya, baik akibat dari tindakan maupun

kelalaian. Kepastian hukum mungkin saja berguna untuk memastikan seberapa

jauh nilai yang dapat diberikan terhadap kepastian hukum dalam kasus tertentu,

sebagaimana dihadapkan pada pertimbangan-pertimbangan lain yang

melemahkan nilai kepastian hukum. Argumentasi untuk kepastian hukum

dalam kasus yang berbeda satu sama lain akan beragam sesuai dengan ukuran

yang pada gilirannya akan berubah-ubah sesuai waktu dan tempat terjadinya

kasus tersebut. Berbagai alasan yuridis yang berbeda-beda akan dipergunakan

atau berbagai macam metoda penemuan hukum akan diterapkan, agar di


46

samping kepastian hukum, putusan akhir pengadilan juga akan dilandaskan

pada pertimbangan akan keadilan.32

Kepastian hukum menurut Susilowati Irianto meliputi implementasi hak

seseorang berdasarkan keputusan yang dihasilkan oleh pemerintah.33 Senada

dengan pendapat tersebut, Adriaan W. Bedner dan Jacqueline Vel

mengemukakan bahwa kepastian hukum yang nyata’ (real legal certainty)

meliputi pelaksanaan atas keputusan yang berakibat pada pemenuhan hak

seseorang.34

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti,ketentuan atau ketetapan.

Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan

adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai

wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat

menjalankan fungsinya. Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah hanya

tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang

tidak pasti dan tidak mau adil bukan hanya hukum yang buruk, melinkan bukan

hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri(den

begriff des Rechts). Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-

kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah

laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan

32
Pengadilan Tinggi Medan, Hubungan Antara Fakta, Moral Norma dan Doktrin, Pengadilan
Tinggi Medan, Medan. 2012, hlm. 6.
33
Susilowati Irianto, Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Universitas Indonesia
Press, Jakarta, 2012, hlm. 90.
34
Adriaan W. Bedner dan Jacqueline Vel, Kajian Sosiolegal : Edisi Terjemahan Theresia Dyah
Wirastri, Denpasar: Pustaka Larasan, 2012, hlm. 103.
47

pelaksanaanya dengan suatu sanksi. Kepastian hukum merupakan ciri yang

tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis.

Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat

dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum

(dimana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum).35

Menurut Agus Surono yang dimaksud dengan kepastian hukum yaitu

tindakan, perbuatan dan produk hukum yang meniadakan kesewenang-

wenangan, yang artinya seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar

hukum. Makna lainnya adalah hukum mempunyai kedudukan yang paling

tinggi, mengatasi segala bentuk kekuasaan lainnya termasuk penguasa yang

harus tunduk pada hukum.36 Lebih lanjut Agus Surono menjelaskan bahwa

pendapat tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945

menyebutkan asas Indonesia sebagai negara hukum yang berbunyi sebagai

berikut: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang memiliki tujuan

hukum untuk menciptakan keadilan, kepastian dan kesejahteraan rakyat. Hal ini

berarti bahwa sejak kemerdekaan Negara Republik Indonesia, telah menganut

konsep negara hukum dan secara konsisten terus dianut sekalipun Indonesia

pernah berganti Konstitusi dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat

(Konstitusi RIS) dan Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).37

35
Raoul Wallenberg Educational Team, Negara Hukum, Anna van Saksenlaan 51, Netherland :
Hill, 2014. hlm.9
36
Agus Surono, Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta :
Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013. hlm. 13
37
Ibid., hlm. 10
48

Kemudian Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa pembahasan

mengenai asas kepastian hukum, sejatinya keberadaan asas ini dimaknai

sebagai suatu keadaan dimana telah pastinya hukum karena adanya kekuatan

yang konkret bagi hukum yang bersangkutan. Keberadaan asas kepastian

hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan bagi yustisiabel (pencari

keadilan) terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang

akan dan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.38

Berbeda dengan beberapa pendapat di atas, menurut Gustav Radbruch

keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang tetap dari

hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan dan kepastian hukum harus

diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban

suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori

kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan

kebahagiaan. 39

Masalah kepastian hukum dalam kaitan dengan pelaksanaan

hukum,memang sama sekali tak dapat dilepaskan sama sekali dari prilaku

manusia. Kepastian hukum bukan mengikuti prinsip “pencet tombol” (subsumsi

otomat), melainkan sesuatu yang cukup rumit, yang banyak berkaitan dengan

faktor diluar hukum itu sendiri. Berbicara mengenai kepastian, maka seperti

38
Jimmly Asshidiqie dan Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Op. Cit., hlm. 75.
39
Ibid., hlm. 75.
49

dikatakan Muhammad Ali al-Hasyimi, yang lebih tepat adalah kepastian dari

adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit des Rechts). 40

B. Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata

Pengertian pembuktian tersebut sangat beragam, para pakar hukum

memiliki definisi masing-masing mengenai pembuktian. Menurut Sudikno

Mertokusumo, membuktikan dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang

cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi

kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.41

Menurut Yulia, secara teoritis Pembuktian dalam ilmu hukum merupakan

pembuktian yang konvensional, yaitu pembuktian yang memberikan suatu

kepastian yang sifatnya tidak mutlak akan tetapi sifatnya relatif atau nisbi.

Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang

berperkara. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju

kebenaran mutlak, ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-

surat itu tidak benar, palsu, atau dipalsukan. Pembuktian secara yuridis tidak

lain merupakan pembuktian historis.42

Membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup

kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang

kebenaran peristiwa yang diajukan. Dengan kata lain, pembuktian merupakan

40
Muhammad Ali al-Hasyimi, Keadilan dan Persamaan dalam Masyarakat Muslim, Jakarta : Islam
House, 2014. hlm. 25-26
41
Yulia, Hukum Acara Perdata,Unimal Press, Lhokseumawe, 2018. hlm. 152
42
Ibid., hlm. 55
50

suatu cara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang menjadi

dasar gugatan atau dalil-dalil yang digunakan untuk menyangkal.43

Soekrimo menjelaskan bahwa pembuktian merupakan suatu upaya untuk

meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil gugatan/bantahan dalil

gugatan yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di persidangan.

Pembuktian dalam hukum acara perdata dikenal dua macam, yakni : hukum

pembuktian materiil dan hukum pembuktian formil. Hukum pembuktian

materiil mengatur tentang dapat atau tidak diterimanya alat-alat bukti tertentu

di persidangan serta mengatur tentang kekuatan pembuktian suatu alat bukti.

Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur tentang cara menerapkan alat

bukti. Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara adalah

peristiwanya atau kejadian-kejadian yang menjadi pokok sengketa, bukan

hukumnya, sebab yang menentukan hukumnya adalah Hakim. Dari peristiwa

yang harus dibuktikan adalah kebenarannya, kebenaran yang harus dicari dalam

hukum acara perdata adalah kebenaran formil, sedangkan dalam hukum acara

pidana adalah kebenaran materiil.44

Lebih lanjut, Soekrimo menjelaskan bahwa upaya mencari kebenaran

formil, berarti hakim hanya mengabulkan apa yang digugat serta dilarang

mengabulkan lebih dari yang dimintakan dalam petitum (vide-pasal 178

HIR/189 ayat (3) RBG). Hakim hanya cukup membuktikan dengan memutus

43
Tim Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia, Modul Hukum Acara Perdata, Badan
Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta, 2019. hlm. 16
44
Deasy Soekrimo, Proses Pembuktian Dan Penggunaan Alat Bukti Pada Perkara Perdata,
UNSRAT Press, Manado, 2014. hlm.127
51

berdasarkan bukti yang cukup. Dalam memeriksa suatu perkara perdata hakim

setidaknya harus melakukan tiga tindakan secara bertahap yakni :

mengkonstantir yakni melihat benar tidaknya peristiwa yang diajukan sebagai

dasar gugatan, mengkualifisir peristiwa, mengkonstituir yakni memberi

hukumnya.45

Mengenai alat bukti yang diakui dalam hukum acara perdata, Pasal 164 HIR

menyatakan bahwa “Alat-alat bukti, Yaitu:46

1. Bukti tertulis, (KUHPerd. 1867 dst.; IR. 165, 168; S. 1867-29.)

2. Bukti saksi, (KUHPerd. 1895; IR. 168 dst.)

3. Persangkaan, (KUHPerd. 1915; IR. 173.)

4. Pengakuan, (KUHPerd. 1923 dst.; IR. 174 dst.)

5. Sumpah, (KUHPerd. 1929 dst.; IR. 155 dst., 177, 381.)

Adapun penjelasan ketentuan Pasal 164 HIR tersebut menurut Soedikno

Mertokusumo, adalah :47

1. Bukti surat, dalam bukti surat ini dalam pembuktiannya tentu harus

berhubungan dengan suatu peristiwa, sehingga alat bukti surat ini bisa

menjadi kekuatan dalam pembuktian. Dan yang terpenting dalam

pembuktian alat bukti berupa surat ini tentu harus memiliki keabsahan,

dan dalam konteks kasus pidana misalnya bisa berupa contoh hasil

45
Ibid., hlm. 128
46
Tim Visi Yustisia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdata, Visi Yustisia, Jakarta, 2016. hlm. 348
47
Ali Imron, dan Muhammad Iqbal, Hukum Pembuktian, UNPAM Press, Banten, 2019. hlm. 12-
14
52

dari otopsi atau hasil dari keterangan oleh seorang ahli dalam bidang

keilmuan tertentu yang dalam keterangannya disampaikan di luar

pengadilan. Sehingga kemudian jika segala sesuatu tidak ada atau

tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau sekalipun memuat tanda

bacaan, akan tetapi tidak mengandung sebuah pemikiran, maka

tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.

2. Bukti saksi, sehubungan dengan alat bukti berupa keterangan saksi ini,

tentu memiliki kekuatan dalam pembuktian ketika saksi itu

terpenuhinya syarat sah nya seorang saksi, dimana saksi dalam

perspektif perdata mengacu pada perspektif pidana yang terdapat

dalam ketentuan KUHAP adalah saksi harus mendengar, melihat dan

mengalami. Ketentuan ini harus menjadi dasar utama seorang saksi

yang bisa dipertanggungjawabkan keterangannya ketika disampaikan

didalam persidangan di depan Majelis Hakim. Pasal 1 angka 26

KUHAP memberikan ketentuan saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan

dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia

lihat sendiri dan ia alami sendiri. Ini yang merupakan prinsip dasar

ketentuan alat bukti sehubungan dengan saksi.

3. Sangkaan, persangkaan yang pada intinya adalah merupakan bentuk

kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari

suatu peristiwa yang diketahui umum kearah suatu peristiwa yang

tidak diketahui umum (Pasal 1915 KUHPerdata), Pasal 173 HIR,


53

Pasal 310 RBg. Kamudina persangkaan juga diaritkan adalah uraian

hakim, dengan mana hakim dari fakta yang terbukti menyimpulkan

fakta yang tidak terbukti. Sekalipun memang telah ditegaskan dalam

undang–undang bahwa persangkaan itu adalah merupakan bagian dari

alat pembuktian, para ahli hukum tidak puas dengan ketentuan

tersebut, maka dikemukakanlah berbagai dalih untuk menggugurkan

ketentuan tersebut, antara lain yang dikemukakan oleh Wirjono

Prodjodikorooleh karena persangkaan adalah kesimpulan belaka,

maka dalam hal ini yang dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan

persangkaan itu, melainkan alat bukti-bukti lain, yaitu misalnya

kesaksian atau surat-surat atau pengakuan suatu pihak, yang

membuktikan, bahwa suatu peristiwa adalah terang ternyata

(peristiwa).

4. Pengakuan, merupakan alat bukti yang dalam ketentuannya diatur

didalam Pasal 1923 KUHPerdata, dan Pasal 174 HIR. Yang pada

prinsipnya adalah pengakuan merupakan bentuk pernyataan atau

keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain

dalam proses pemeriksaan suatu perkara. Pernyataan atau keterangan

itu dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Dalam

kontek pembuktian yang menyangkut pengakuan ini merupakan

bagian dari bahwa apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak

lawan benar untuk keseluruhan atau sebagain.


54

5. Sumpah. Memahami alat bukti sumpah ini juga menjadi bagian yang

tak kalah penting dalam konsep pembuktian, karena hal ini

menyangkut kejujuran dan pertanggungjawaban seseorang dalam

kesaksiannya dengan membawa mambawa nama Tuhan. Sumpah

merupakan sebagai alat bukti atau keterangan atau pernyataan yang

dikuatkan atas nama Tuhan dengan tujuan. Agar orang yang

bersumpah dalam memberikan keterangan atau pernyataan itu takut

atas murka Tuhan apabila ia berbohong. Rasa takut ini merupakan

bagian pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang

sebenarnya.

Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa

alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam

pasal 164 HIR/284 RBG, adalah surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah,

persangkaan hakim. Selain pasal 164 HIR/284 RBG pembuktian harus

dikaitkan pula dengan : pasal 131 (1) HIR yang mengatur tentang dibacakannya

alat bukti yang diajukan oleh pihak oleh hakim di persidangan untuk didengar

pihak lawan, pasal 137 HIR/163 RBG yang mengatur tentang pihak lawan dapat

meminta agar diperlihatkan kepadanya bukti-bukti surat yang diajukan oleh

pihak lawannya, pasal 167 HIR tentang pihak berperkara dapat meminta salinan

bukti milik pihak lawannya. Kekuatan pembuktian bersifat sempurna dan

mengikat artinya, sempurna berarti hakim harus menganggap semua yang

tertera dalam akta yang diajukan sebagai bukti itu merupakan hal yang benar,

kecuali pihak lawan dapat membuktikan dengan akta lain bahwa akta yang
55

diajukan tidak benar. Mengikat artinya hakim terikat dengan akta yang diajukan

oleh pihak sebagai bukti, selama akta tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan

undang-undang tentang sahnya suatu akta. Suatu alat bukti dianggap sah

memiliki nilai sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian,

apabila telah mencapai batas minimal pembuktian. Dalam hal ini terkait dengan

alat bukti permulaan yang merupakan alat bukti yang tidak memenuhi batas

minimal alat bukti, sehingga alat bukti tersebut tidak dapat diterima sebagai

bukti untuk mendukung dalil gugatan kecuali ditambah dengan paling sedikit

satu alat bukti lagi. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dalam acara pembuktian

di persidangan antara lain : segala sesuatu yang dianggap telah diketahui oleh

umum, hal-hal yang dilihat sendiri oleh hakim di persidangan dalam proses

persidangan, seperti pihak tergugat tidak hadir, hal-hal yang diajukan oleh

penggugat yang diakui oleh tergugat.48

Dalam pasal 163 HIR/283 RBG diatur, barangsiapa yang mengaku

mempunyai hak atau suatu peristiwa, ia harus membuktikan adanya hak atau

peristiwa itu. Rumusan norma tersebut parallel dengan asas actori incumbit

prabotio. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud maka yang wajib

membuktikan adalah : orang yang mengaku mempunyai hak, orang yang

membantah dalil gugatan, orang yang menyebutkan suatu perbuatan untuk

menguatkan haknya. Hal sebagaimana diuraikan tersebut dalam hukum acara

perdata disebut dengan pembuktian.49

48
Ibid.,hlm. 15
49
Ibid.,hlm. 15-16
56

Kemudian dalam sistem pembuktian pada hukum acara perdata, terdapat

beberapa asas yang berlaku mengikat dalam sistem pembuktian pada hukum acara

perdata, diantaranya :50

a. Asas Audi Et Alteram Partem adalah asas kesamaan proses dan para pihak

yang berperkara. Berdasarkan asas ini, hakim tidak boleh menjatuhkan

putusan sebelum memberi kesempatan untuk mendengarkan kedua pihak.

Hakim harus adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang

berperkara agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua pihak

tetap sama.

b. Asas Ius Curia Novit bahwa Hakim selalu difiksikan mengetahui akan

hukumnya dari setiap kasus yang diadilinya. Hakim sama sekali tidak boleh

menolak untuk memeriksa perkara hingga putus dengan alasan tidak ada

dasar hukumnya.

c. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa bahwa tidak seorangpun vang

dapat menjadi saksi atas perkaranya sendiri. Sehingga berdasarkan asas ini,

baik pihak penggugat atau pun pihak tergugat tidak mungkin tampil sebagai

saksi dalam persengketaan antara mereka sendiri.

d. Asas Ne Ultra Petita bahwa hakim hanya boleh mengabulkan sesuai apa

yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada yang dituntut.

Sehingga dalam pembuktian hakim tidak boleh membuktikan lebih daripada

apa yang dituntut oleh penggugat.

50
Nyoman A. Martana, Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata, Udayana Press, Denpasar,
2019. hlm. 97
57

e. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet merupakan asas

yang menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat mengalihkan lebih

banyak hak dari pada apa yang dimilikinya.

f. Asas Negativa Non Sunt Probanda bahwa sesuatu yang bersifat negatif itu

tidak dapat dibuktikan. Yang dimaksud sebagai sesuatu yang bersifat negatif

adalah yang menggunakan perkataan "TIDAK", misalnya : tidak berada di

Jakarta, tidak merusak tanaman, tidak berutang kepada si A, dan lain-lain.

Namun yang negatif ini dapat dibuktikan secara tidak langsung.

g. Asas Actori Incumbit Probatio bahwa asas ini terkait dengan beban

pembuktian. Asas ini berarti bahwa barangsiapa yang mempunyai suatu hak

atau menyangkali adanya hak orang lain, harus membuktikannya. Hal ini

berarti bahwa dalam hal pembuktian yang diajukan penggugat dan tergugat

sama-sama kuat, maka baik penggugat maupun tergugat ada kemungkinan

dibebani dengan pembuktian oleh hakim.

h. Asas Yang Paling Sedikit Dirugikan bahwa hakim harus membebani

pembuktian bagi pihak yang paling sedikit dirugikan jika harus

membuktikan. Asas ini sering dihubungkan dengan asas Negativa non sunt

probanda. Jadi yang dianggap pihak yang paling dirugikan jika harus

membuktikan adalah pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatif.

i. Asas Bezitter Yang Beriktikad Baik bahwa iktikad baik selamanya harus

dianggap ada pada setiap orang yang menguasai sesuatu benda dan barang

siapa menggugat akan adanya iktikad buruk bezittter itu harus

membuktikannya.
58

j. Asas Yang Tidak Biasa Harus Membuktikan bahwa barangsiapa yang

menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan sesuatu yang

tidak biasa itu.

C. Hukum Progresif

Menurut Soerjono Soekanto, proses pembangunan merupakan suatu perubahan

yang harus diupayakan agar berjalan teratur dan berkelanjutan (sustainable

development) di setiap sektor antara lain politik, ekonomi, demografi, psikologi,

hukum, intelektual maupun teknologi. Perubahan dalam pembangunan dipengaruhi

oleh:

a. Pemikiran manusia melalui akal budi yang akan selalu berkembang dari

waktu ke waktu.

b. Manusia selalu menginginkan agar kebutuhannya selalu terpenuhi,

sementara disisi lain manusia tidak pernah akan terpuaskan.

c. Cara hidup manusia.

d. Kemampuan cipta sarana manusia yang telah melahirkan kemajuan

teknologi.

Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, pada umumnya bagi masyarakat

yang mengalami perubahan, khususnya perubahan yang bersumber dari kemajuan

teknologi akan lebih mudah menghadapi masalah-masalah sosial karena

masyarakat itu sendiri belum siap menerima perubahan tersebut sebagai akibat

nilai-nilai masyarakat yang telah berubah menilai kondisi lama sebagai kondisi

yang tidak lagi dapat diterima.42 Oleh sebab itu, hukum haruslah difungsikan
59

sebagai a tool of social engineering agar pembangunan benar-benar berjalan sesuai

dengan garis kebijaksanaan yang diamanatkan oleh UUD Tahun 1945. Sebagai a

tool of social engineering, hukum seharusnya berdiri di depan pembangunan, sebab

jika tidak demikian persoalan ketidakpastian hukum akan selalu muncul. Pada

social engineering lebih dipentingkan masalah struktur dan juga penciptaan bentuk-

bentuk dan pola-pola baru dengan jalan mengubah pola dan norma yang ada. Social

engineering berusaha memecahkan masalah yang dihadapi manusia, yang biasanya

disebabkan oleh manusia juga dengan menggunakan kekuatan-kekuatan sosial yang

ada dalam masyarakat.

Satjipto Raharjo, menyatakan pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis

dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia

menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia,

bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas

dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk

mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif

menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.51

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum

progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada

kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang

tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan

pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu

51
Diandra Preludio, Benny Prasetyo, dan Muhtar Said, Dialekta Hukum Progresif, Kaum Tjipian,
Semarang, 2014. hlm. 62
60

perubahan peraturan (changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi

penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan

untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi

secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum dirasakan

manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan

hukum itu dalam kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus

dilayaninya.52

Satjipto Rahardjo kemudian merumuskan semacam manifesto atau tesis

tentang hukum yang mampu memerdekakan manusia yang disebutnya dengan

hukum progresif. Hukum progresif mengandung empat karakteristik utama.

Pertama, paradigma hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia.

Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo

(mapan) dalam berhukum. Ketiga, jika diakui bahwa peradaban hukum tertulis akan

memunculkan sekalian akibat dan risiko, maka cara manusia berhukum sebaiknya

juga mengantisipasi bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam

menggunakan hukum tertulis tersebut. Keempat, hukum progresif memberi

perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum.53

Teori Hukum Progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo, dipergunakan

oleh peneliti dalam karya tulis ini sebagai alat analisis, sesuai dengan tujuan peneliti

yang mengharapkan adanya perkembangan terhadap konsep cyber notarie sebagai

pengganti Akta Notaris dalam kekuatan pembuktian di Pengadilan di Indonesia,

52
Ibid., hlm. 62-63
53
Ibid., hlm. 64
61

yang menyatakan “Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu

hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu

dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya.

Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan

manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada

kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” :

Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang pro-rakyat.”54

Pandangan teori hukum progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo,

merupakan suatu penjelajahan suatu gagasan yang berintikan 9 (sembilan) pokok

pikiran sebagai berikut: 55

a. Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan

berbagi paham dengan aliran seperti legal realism, freirechslehre.

sociological jurisprudence. interressenjurisprudenze di Jerman, yang

dikenal sebagai teori hukum alam dan critical legal studies.

b. Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui

institusi-institusi kenegaraan.

c. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada kondisi

ideal hukum.

d. Hukum menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai

teknologi yang tidak bernurani, melainkan institusi yang bermoral.

54
Novianto Murti Hatoro, Monika Suhayati, dan Denico Doly, Hakim : Antara Pengaturan dan
Implementasinya, Jakarta : Pustaka Obor, 2017. hlm. 58
55
Ibid., hlm. 57-58
62

e. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada

kehidupan yang adil. sejahtera. dan membuat manusia bahagia.

f. Hukum progresif adalah “hukum yang pro rakyat dan “hukum yang pro

keadilan”.

g. Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa “Hukum adalah untuk

manusia’, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum

tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan

lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan Hukum,

Hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki. bukan manusia yang dipaksakan

untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum.

h. Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan

sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan rnenggunakannya.

Manusia yang merupakan penentu.

i. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process,

law in the Making).

Dalam karya tulis ini, dari 9 pokok pemikiran tersebut, penulis menggunakan

9 pokok pemikiran dari Satjipto Rahardjo tersebut di atas untuk membahas

mengenai kedudukan hukum dokumen elektronik sebagai alat bukti yang

digunakan untuk menggantikan Akta Notaris yang dibuat diluar negeri, dimana

implementasi dari 9 pokok pemikiran tersebu pada intinya membahas mengenai :

a. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan,

tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam

ruang dan waktu yang tepat.


63

b. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan

melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa

harus menunggu perubahan peraturan (changing the law).

c. Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum

progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari

keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap

kali terhadap suatu peraturan.

d. Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku

hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam kepentingan-

kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.

Kemudian Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa dalam suatu paradigma

hukum, tercermin pula pada spiritualisme cita hukum yang berbasis pada perpaduan

unsur nilai irrasional dan rasional kearifan sosial. Jika peraturan perundang-

undangan dibedah sampai kepada akarnya yang terdalam, akan tampak wujud

norma hukum dalam rumusan pasalnya yang mengandung nilai hakiki ataupun

temporalistik sosiologis. Dari nilai yang dikandung norma tersebut, para aktor dan

ilmuwan hukum dapat menarik kesimpulan timbal balik induktif maupun deduktif

tentang konstelasi nilai irasional dan rasional berupa etik, moral, asas, konsep, dan

teori empirik yang mendudukungnya. Lebih lanjut berkreasi menciptakan

paradigma hukum bersifat emancipatory intrumental dan hermenuetic. Paradigma

hukum bersifat emancipatory, intrumental dan hermeneutic dapat dibentuk melalui

kombinasi timbal balik pemikiran rasional deduktif dan induktif maupun semiotik.

Pemikiran rasional deduktif merupakan penalaran berkoherensi dari satu


64

pernyataan yang mengandung kebenaran umum (universal) kepada pernyataan

yang mengandung kebenaran konkret. Sebaliknya pemikiran induktif merupakan

penalaran berkorespondensi antara suatu pernyataan dengan materi pengetahuan

yang dikandungnya (obyek yang dituju) oleh pernyataan tersebut. Untuk

menciptakan peraturan hukum yang memiliki dayaguna pragmatis. Selanjutnya

pola pemikiran semiotik dapat diwujudkan dengan memahami, mengartikulasi dan

mengaktualisasikan tanda-tanda, jejak, rambu, atau fenomena-fenomena kebenaran

dan keadilan dari yang bersifat makro sampai kepada yang berkarakteristik mikro.56

D. Cyber Notary

Gagasan cyber notary sudah muncul sejak tahun 1995. Namun, ketiadaan dasar

hukum menghambat pengembangan upaya ini. Sebelum keluarnya Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah di perbaharui dengan Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),

pembahasan mengenai konsep cyber notary menemui kesulitan. Karena itu, sejak

UU ITE disahkan, wacana cyber notary kembali bergulir pasca adanya wabah

Covid 19.57

Penjelasan cyber notary menurut Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika

Kementerian Komunikasi dan Informasi adalah konsep yang memanfaatkan

kemajuan teknologi dalam menjalankan tugas-tugas dan kewenangan notaris.58

56
Moh. Mahfud MD, etc., Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif : Urgensi dan Kritik, HuMA
PRess, Jakarta, 2011. hlm. 32-33
57
Febrika Nola, Peluang Penerapan Cyber Notary Dalam Peraturan Perundang-Undangan DI
Indonesia, BPHN, Jakarta, 2011. hlm. 76
58
Alfred E. Piombino, Cyber Notary Public Handbook : Practice, Case, and Principles, Coolidge
Press, New York, 2018. hlm. 121
65

Kemudian menurut Emma Nurita, konsep cyber notary untuk sementara dapat

dimaknai sebagai notaris yang menjalankan tugas atau kewenangan jabatannya

dengan berbasis teknologi informasi, yang berkaitan dengan tugas dan fungsi

notaris, khususnya dalam pembuatan akta.59

Digitalisasi dokumen merupakan tantangan bagi notaris, terutama berkaitan

dengan otentikasi dan legalisasi dokumen. Pembahasan konsep cyber notary

dilakukan dalam rangka penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang

Penyelenggaraan Informasi dan Transaksi Elektronik.60

Asal-usul konsep cyber notary dapat dilacak pada dua sistem hukum, yaitu

pada sistem common law dan civil law. Berdasarkan pembagian tersebut, diketahui

bahwa terdapat dua istilah hukum yang sering dipersamakan, yaitu “Electronic

Notary” (E-Notary) dan “Cyber Notary”. Istilah yang pertama kali dikenalkan oleh

delegasi Perancis dalam sebuah forum legal workshop yang diselenggarakan oleh

Uni Eropa pada tahun 1989 di Brussel, Belgia. Esensinya, konsep E-Notary

menjadikan notaris sebagai suatu pihak yang menyajikan independent record

terhadap suatu transaksi elektronik yang dilakukan para pihak.61

Sedangkan, istilah cyber notary dikenalkan pertama kali oleh American Bar

Association (ABA) pada tahun 1994. Konsep ini mengandung makna bahwa

seseorang yang melaksanakan kegiatan cyber notary adalah seseorang yang

59
Emma Nurita, Cyber Notary, Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran, Refika Aditama,
Bandung, 2012, hlm. 2.
60
County Technical Assistan Service Team, Notary Public Handbook : Cyber Notary Concept,
CTAS Tennessee Edu. Co., Tennessee, USA, 2016. hlm. 16
61
Tim Penulis HIPCAR, Electronic Transactions : Model Policy Guidelines and Legislative Text
In Indonesia, HIPCAR Press, Jakarta, 2017, hlm. 45
66

mempunyai spesialisasi kemampuan dalam bidang hukum dan komputer. Lebih

lanjut, dalam konsep ini dipersepsikan bahwa fungsinya dipersamakan layaknya

notaris latin dalam memfasilitasi suatu transaksi internasional, dapat melakukan

otentikasi dokumen secara elektronik, dan diharapkan dapat memverifikasi

kapasitas hukum dan tanggung jawab keuangan.62

Menurut American Bar Association, dalam lingkungan komersial saat ini,

membangun kerangka kerja untuk otentikasi informasi berbasis komputer

membutuhkan keakraban dengan konsep dan keterampilan profesional baik dari

bidang keamanan hukum dan komputer. Menggabungkan dua disiplin ini bukanlah

tugas yang mudah. Konsep dari bidang keamanan informasi sering tidak sesuai

dengan konsep dari bidang hukum. Misalnya, dari sudut pandang keamanan

informasi, Tanda tangan digital berarti hasil penerapan untuk informasi spesifik

tertentu tertentu dari suatu proses teknis. Sejarah Konsep hukum, mengenai tanda

tangan adalah lebih luas. Dari segi sudut pandang hukum, tanda tangan

dipergunakan untuk mengenali setiap surat yang dibuat dengan maksud untuk

mengotentikasi yang ditandai dokumen. Dalam pengaturan digital, konsep hukum

dari tanda tangan mungkin termasuk tanda yang beragam seperti gambar digital dari

tanda tangan kertas, notasi yang diketik, atau bahkan menangani notasi, seperti

surat elektronik originasi. Dari sudut pandang keamanan informasi, tanda tangan

electronic sederhana ini adalah berbeda dari tanda tangan digital yang dijelaskan

dalam tutorial ini dan secara teknis literatur, meskipun tanda tangan digital kadang-

62
American Bar Association, Digital Signature Guidelines, American Bar Association, United
States of America 1996, hlm. 33.
67

kadang digunakan untuk berarti segala bentuk komputasi berbasis tanda tangan.

Pedoman ini menggunakan tanda tangan Adigital hanya jika digunakan di

terminologi keamanan informasi, yang berarti hasil penerapan suatu proses teknis.63

Dalam praktiknya saat ini, formalisasi biasanya melibatkan

mendokumentasikan transaksi di atas kertas dan menandatangani atau

mengautentikasi kertas. Metode tradisional ini, bagaimanapun, sedang mengalami

perubahan mendasar. Dokumen terus ditulis di atas kertas, tetapi kadang-kadang

hanya untuk memenuhi kebutuhan akan bentuk yang diakui secara hukum. Dalam

banyak contoh, informasi yang dipertukarkan untuk melakukan transaksi tidak

pernah mengambil bentuk kertas. Informasi berbasis komputer juga dapat

digunakan secara berbeda dari rekan makalahnya. Sebagai contoh, komputer dapat

membaca informasi digital dan mengubah informasi atau mengambil tindakan yang

dapat diprogram berdasarkan informasi. Informasi yang disimpan memiliki tolak

ukuran dalam bentuk bit bukan dalam bentuk tinta dan kertas dapat melakukan

perjalanan di dekat kecepatan cahaya, dapat diduplikasi tanpa batas dan dengan

biaya yang tidak signifikan.64

E. Notaris

1. Pengertian Notaris

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik

sebagaimana dimaksud dalam staatblad 1860 Nomor 3 tentang Peraturan

Jabatan Notaris. Peranan Notaris di Pasar Modal diperlukan dalam rangka

63
Ibid., hlm. 34.
64
Ibid., hlm. 7.
68

proses emisi. Dalam emisi saham, notaris berperan dalam membuat akta

perubahan anggaran dasar emiten. Sedangkan menurut Habib Adjie, Notaris

adalah pejabat umum yang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan

undang-undang lainnya.65 Menurut Ghansam Anand Notaris adalah Pejabat

Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan,

perjanjian yang dalam menjalankan tugasnya terikat dengan peraturan

Undang-Undang dan Kode Etik Notaris.66 Menurut County Technical

Assistant Team From Institute For Publics mengemukakan bahwa A notary

public is considered a state official with statewide jurisdiction whose

powers and duties are defined by statute (terjemahan Notaris dianggap

pejabat negara dengan yurisdiksi seluruh negara bagian yang wewenang dan

tugasnya ditetapkan oleh undang-undang.).67

Notaris dalam menjalankan jabatannya selain mengacu kepada Undang-

Undang Jabatan Notaris, juga harus bersikap sesuai dengan etika profesinya.

Etika profesi adalah seikap etis yang dituntut untuk dipenuhi oleh

profesional dalam mengemban profesinya. Etika profesi berbeda-beda

65
Habib Adjie, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 2015, hlm.
4
66
Ghansam Anand, Karakteristik Jabatan Notaris Di Indonesia,Zifatama, Jakarta, 2014, hlm. 2
67
County Technical Assistant Team From Institute For Publics, Notary Public Handbook,
Tennesee, USA, Institute For Publics Press, 2016. hlm. 3
69

menurut bidang keahliannya yang diakui dalam masyarakat. Etika profesi

diwujudkan secara formal ke dalam suatu kode etik.68

Tanggung jawab notaris sebagai profesi lahir dari adanya kewajiban dan

kewenangan yang diberikan kepadanya, kewajiban dan kewenangan

tersebut secara sah dan terikat mulai berlaku sejak notaris mengucapkan

sumpah jabatannya sebagai notaris. Sumpah yang telah diucapkan

tersebutlah yang seharusnya mengontrol segala tindakan notaris dalam

menjalankan jabatannya.69

Keberadaan suatu negara hukum mengharuskan adanya pejabat yang

dapat membantu mengatur perhubungan hukum antar warga negara. Di

sinilah peran seorang notaris dibutuhkan. Dalam hal ini bukan hanya

membutuhkan polisi, jaksa, atau hakim yang berfungsi sebagai penegak

hukum, namun dalam suatu negara hukum, setiap perbuatan warga

negaranya berkonsekuensi hukum. Sehingga untuk mencegah terjadinya

hal-hal yang tidak diinginkan dalam melakukan perhubungan-perhubungan

hukum itu,, maka notaris telah ditunjuk dan diangkat oleh negara untuk

menangani masalah-masalah perhubungan hukum antar warga masyarakat

itu, dalam hal ini negara memberikan sebagian kewenangannya kepada

notaris.70

68
Habib Adjie, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Op. Cit., hlm. 43
69
Ghansam Anand, Karakteristik Jabatan Notaris Di Indonesia, Op. Cit. hlm. 77
70
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2008, hlm. 39
70

Munculnya lembaga Notaris dilandasi kebutuhan akan suatu alat bukti

yang mengikat selain alat bukti saksi. Adanya alat bukti lain yang mengikat,

mengingat alat bukti saksi kurang memadai lagi sebab sesuai dengan

perkembangan masyarakat, perjanjianperjanjian yang dilaksanakan anggota

masyarakat semakin rumit dan kompleks. Istilah Notaris pada dasarnya

berasal dari kata “notarius” (bahasa latin), yaitu nama yang diberikan pada

orang-orang Romawi di mana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis

atau orang-orang yang membuat catatan pada masa itu.71

Di indonesia kenotariatan diawali pada permulaan abad ke 17 dengan

beradanya “Oost Ind Compagnie” di Indonesia pada tanggal 27 Agustus

1620 diangkat Notaris pertama di Indonesia yaitu Melchior kerchem,

sekretaris college van schepenen. Setelah pengangkatan notaris pertama

jumlah notaris di indonesia kian berkembang dan pada tahun 1650 di batavia

hanya ada dua orang notaris yang diangkat menurut kenyatannya para

notaris pada waktu itu tidak mempunyai kebebasan didalam menjalankan

jabatannya itu oleh karena mereka pada masa itu adalah pegawai dari Oost

Ind compagnie bahkan tahun 1632 dikeluarkan plakat yang berisi ketentuan

bahwa notaris, sekretaris dan pejabat lainnya dilarang untuk membuat akta-

akta transport, jual beli, surat wasiat dan lain-lain akta, jika tidak mendapat

persetujuan terlebih dahulu dari gubernur jenderal dan daden van indie

dengan ancaman akan kehilangan jabatannya. Namun dalam prakteknya

ketentuan tersebut tidak dipatuhi oleh pejabat-pejabat yang bersangkutan

71
Ibid., hlm. 42
71

maksud dan tujuan membawa lembaga notariat ke indonesia adalah untuk

memenuhi kebutuhan akan alat bukti otentik yang sangat dibutuhkan untuk

menggunakan hal dan kepentingan yang timbul karena adanya transaksi

dagang yang mereka lakukan. Lembaga notariat di Indonesia pada waktu itu

belum dikenal dan meluas kekota-kota kecil bahkan desa-desa hal ini

dikarenakan sebelum perang dunia ke 2 hampir seluruh notaris yang ada di

indonesia pada waktu itu adalah berkebangsaan belanda sedangkan yang

berkebangsaan indonesia sangat sedikit jumlahnya lagipula mereka

mempunyai kedudukan dikota-kota besar sedangkan orang-orang indonesia

berada di daerah-daerah disamping itu tingkat kesadaran dan budaya hukum

masyarakat indonesia pada waktu itu suatu masyarakat yan bersifat

primordial yang masih berpegang teguh pada hukum adatnya serta kaidah-

kaidah religius, masih rendah dan sempit lebih-lebih lagi para pengasuh dari

lembaga notiariat itu lebih menitikberatkan orientasinya pada hukum barat

semua itu merupakan faktor-faktor penghambat yang tidak menguntungkan

bagi perkembangan dan untuk dikenalnya lembaga notariat ini dengan cepat

dan secara luas dikalangan masyarakat yang justru harus dilayaninya.72

Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai notariat ini timbul

dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia yang menghendai adanya

alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada

dan/atau terjaddi diantra mereka suatu lembaga dengan para pengabdinya

72
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Gramedia, Jakarta Utama,
2008, hlm. 43.
72

yang ditugaskan oleh kekuasaaan umum (openbaar gezag) untuk dimana

dan apabila undang-undang menhaduskan sedemikian atau dikehendaki

oleh masyarakat membuat alat bukti trtulis yang mempunyai kekuatan

otentik. Atas dasar asas konkordasi maka lahirlah peraturan jabatan notaris

di indonesia mengalami perubahan yang sebelum ada perubahan lain

terakhir dengan undang-undang tentang adanya wakil notaris dan wakil

notaris sementara, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954

yang dibuat pada tanggal 13 november 1954 lembaran negara 954 nomor

101 dan mulai berlaku tanggal 20 november 1954.73

Hampir selama seabad lebih, eksistensi notaris dalam memangku

jabatannya didasarkan pada ketentuan Reglement Of Het Notaris Ambt In

Nederlandsch No. 1860 : 3 yang mulai berlaku 1 Juli 1860. Dalam kurun

waktu itu, Peraturan Jabatan Notaris mengalami beberapa kali perubahan.

Pada saat ini, Notaris telah memiliki Undang-Undang tersendiri dengan

lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Pengertian Notaris dalam system Civil Law yang diatur dalam Pasal 1 Ord,

stbl. 1860 nomor 3 tentang Jabatan Notaris di Indonesia mulai berlaku

tanggal 1 Juli 1860.74

Demi untuk kepentingan Notaris dan untuk melayani kepentingan

masyarakat Indonesia, maka pemerintah berupaya pada tanggal 6 Oktober

2004 telah disahkan Peraturan Jabatan Notaris yang kita sebut dengan

73
Ghansam Anand, Karakteristik Jabatan Notaris Di Indonesia, Zifatama, Jakarta, 2014, hlm. 6
74
Ibid., hlm. 6-7
73

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.75

Berdasarkan sejarah, Notaris adalah seorang pejabat Negara/pejabat umum

yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara

dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian

hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan.

Pengertian Notaris terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang kemudian dalam perkembangan

diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan

Notaris.76

Notaris sebagai pejabat umum memiliki peranan sentral dalam

menegakkan hukum di Indonesia, karena selain kuantitas notaris yang

begitu besar, notaris dikenal masuk kelompok elit di Indonesia. Notaris

sebagai kelompok elit berarti notaris merupakan suatu komunitas ilmiah

yang secara sosiologis, ekonomis, poolitis serta psikologis berada dalam

stratifikasi yang relatif lebih tinggi diantara masyarakat pada umumnya.77

Berdasarkan ketentuan yang terdapat pada Undang Nomor 30 Tahun

2004, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang ini. Sedangkan, menurut perubahan Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Notaris, yaitu Undang Nomor 2 Tahun 2014, Notaris adalah pejabat

umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki

75
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Op.cit., hlm. 103
76
Ghansam Anand, Op.Cit., hlm. 13
77
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2013,
74

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini

atau berdasarkan undang-undang lainnya.78

Pemahaman mengenai notaris, menurut Habib Adjie Jabatan notaris

merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara yang baik

kewenangan atau materi muatannya tidak berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan, delegasi atau mandat, melainkan berdasarkan

wewenang yang timbul dari freis ermessen yang dilekatkan pada

administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan yang dibenarkan oleh

hukum. Profesi notaris disebut juga sebagai salah satu penegak hukum

karena notaris membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan

pembuktian.79

Jasa yang diberikan oleh notaris terkait dengan persoalan trust

kepercayaan antara para pihak, artinya negara memberikan kepercayaan

besar terhadap notaris dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa

pemberian kepercayaan kepada notaris berarti notaris tersebut maua tidak

mau telah dapat dikatakan memikul pula tanggung jawab atasnya.80

Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtennar), menurut Runi

Tusita dan Sophia Rengganis, adalah pejabat yang berwenang membuat

akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan

dengan pekerjaannya dalam membuat akta tersebut. Ruang lingkup

78
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 2016, hlm. 78.
79
Habib Adjie, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Narotama Press, Jakarta, 2014, hlm.
2.
80
Bambang Winarto, Jurnal, Kesadaran Notaris terhadap Kewajiban Jabatannya, UIN Press,
Jakarta, 2014, hlm. 13.
75

pertanggung jawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang

dibuatnya. Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang

berhubungan dengan kebenaran materiil. Nico membedakannya menjadi 4

poin yakni :81

a. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil

terhadap akta yang dibuatnya;

b. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil

dalam akta yang dibuatnya;

c. Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris terhadap

kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;

d. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya

berdasarkan kode etik notaris.

2. Ruang Lingkup Kewenangan Notaris

Notaris sebagai pejabat umum memiliki peranan sentral dalam

menegakkan hukum di Indonesia, karena selain kuantitas notaris yang

begitu besar, notaris dikenal masuk kelompok elit di Indonesia. Notaris

sebagai kelompok elit berarti notaris merupakan suatu komunitas ilmiah

yang secara sosiologis, ekonomis, poolitis serta psikologis berada dalam

stratifikasi yang relatif lebih tinggi diantara masyarakat pada umumnya.

81
Runi Tusita dan Sophia Rengganis, Buku Saku Hukum Notaris, PWC Press, Jakartai, 2015, hlm.
21.
76

Ruang Lingkup Kewenangan Notaris diatur berdasarkan Pasal 15

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah

diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, dimana ruang

lingkup kewenangan notaris meliputi kewenangan dalam membuat akta

otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang

diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki

oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin

kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse,

salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu

tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain

yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu, Notaris berwenang pula :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam

buku khusus;

c. Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau (g) membuat

akta risalah lelang.


77

Notaris sebagai manusia yang bebas dan menjadi elemen penting

dalam pembangunan bangsa kiranya harus lekat dengan sifat-sifat

humanisme mengingat peranannya yang signifikan dalam lalu lintas

kemasyarakatan. Posisi notaris yang urgen dalam kehidupan kemanusiaan

menjadikan proses seseorang menuju notaris yang ahli menjadi penting.

Disamping itu, dalam pelaksanaan profesi jabatan notaris memerlukan

kaedah-kaedah etika profesi, dimana dapat dikatakan dalam hal ini

pengertian etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu

tentang adat kebiasan yang berkenaan dengan hidup yang baik dan yang

buruk.82

Dalam dictum penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris dinyatakan bahwa UUD 1945 menentukan secara

tegas bahwa Negara RI adalah Negara hukum. Prinsip Negara hukum

menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut orang

lain, bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan

adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban

seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat.

Melaksanakan tugas tersebut tentunya Notaris harus diiringi dengan

peraturan Jabatan Notaris. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris yang sekarang ini telah diperbaharui oleh Undang-Undang

82
Bambang Winarto, Jurnal, Kesadaran Notaris terhadap Kewajiban Jabatannya, UIN Press,
Jakarta, 2014, hlm. 4
78

Nomor 2 Tahun 2014, merupakan perangkat hukum yang mengikat dan

perlu dilihat dan diperhatikan oleh seorang Notaris.

Selain dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris yang sekarang ini telah diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2014, notaris juga terikat dengan peraturan Kode Etik Notaris yang

dibentuk oleh Ikatan Notaris Indonesia, yang terakhir dibuat berdasarkan

Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia di Banten pada Bulan Mei

2015.

Larangan Notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang untuk

dilakukan oleh Notaris. Apabila larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka

kepada Notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana yang

tersebut dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah

diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Adapun larangan

yang harus dihindari oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 yang telah diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 bahwa seorang Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah

jabatannya, atau meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari

kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah. Seorang Notaris juga dilarang

merangkap sebagai pegawai negeri, advokat, dan sebagai pemimpin atau

pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan

usaha swasta. Seorang Notaris tidak boleh merangkap sebagai Notaris

Pengganti, serta melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma


79

agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan

dan martabat jabatan Notaris.83

Dalam hal ini, ada suatu tindakan yang perlu ditegaskan mengenai

substansi Pasal 17 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang

telah diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, yaitu

meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari tujuh hari berturut-turut tanpa

alasan yang sah. Notaris mempunyai wilayah jabatan satu provinsi (Pasal

18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diperbaharui

oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014) dan mempunyai tempat

kedudukan pada satu kota atau kabupaten pada provinsi tersebut (Pasal 18

ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diperbaharui

oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014). Sebenarnya yang dilarang

menurut Pasal 17 huruf (b) tersebut adalah meninggalkan wilayah

jabatannya lebih dari tujuh hari kerja, dalam hal ini adalah provinsi yang

menjadi wilayah kerja seorang Notaris. Dapat ditafsirkan bahwa Notaris

tidak dilarang untuk meninggalkan wilayah kedudukan Notaris

(kota/kabupaten) lebih dari tujuh hari kerja.

Larangan bagi Notaris juga diatur dalam Kode Etik Profesi Notaris,

yaitu seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 Kode Etik Ikatan Notaris

Indonesia yang pada prinsipnya menegaskan bahwa, seorang Notaris

dilarang untuk melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun

83
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, CDSBL, Yogyakarta, 2003, hlm. 62.
80

secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya,

menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik. Seorang Notaris juga

dilarang bekerja sama dengan biro jasa/orang/badan hukum yang pada

hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan

klien, dan berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang

berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung

kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain.

Notaris dilarang melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan

dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan

psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya

serta melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang

menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama

rekan Notaris.

Berdasarkan uraian diatas, seorang Notaris harus memperhatikan

segala bentuk tindakan yang merupakan larangan-larangan sebagaimana

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah

diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 maupun dalam

kode etik profesi. Apabila Notaris mengabaikan keluhuran dari martabat

jabatannya selain dapat dikenai sanksi moril, teguran atau dipecat dari

keanggotaan profesinya, juga dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai

Notaris.
81

F. Akta

Akta menurut penjelasan dari Laila M. Rasyid, adalah surat yang diberi

tanda tangan, dimana dalam surat tersebut memuat peristiwa-peristiwa yang

menjadi dasar daripada suatu hak dan kewajiban atau perikatan, yang dibuat

sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Adapun yang dimaksud

dengan penanda tanganan menurut Laila M. Rasyid adalah “membubuhkan

nama dari si penanda tangan”. Membubuhkan paraf, yaitu singkatan tanda

tangan saja dianggap belum cukup, nama itu harus ditulis tangan oleh si

penanda tangan sendiri atas kehendaknya sendiri.84

Adapun Akta berdasarkan pendapat Yulia adalah Alat bukti tertulis yang

diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata sebagai urutan pertama, ada juga yang

menyebutkan alat bukti surat. Hal ini sesuai dengan kenyataan jenis surat atau

akta dalam perkara perdata, memegang peran yang penting. Semua kegiatan

yang menyangkut bidang perdata, sengaja dicatat dan dituliskan dalam surat

atau akta. Surat-surat akta dapat dibagi menjadi surat-surat akta resmi

(authentiek) dan surat-surat akta di bawah tangan (onderhands).85

Berkaitan dengan akta, Yulia juga menjelaskan bahwa dalam hal akta

sebagai alat bukti surat, dimana akta resmi ialah suatu akta yang dibuat oleh

atau di hadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang

ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut. Pejabat umum yang

84
Laila M. Rasyid, dan Herinawati, Modul Pengantar Hukum Acara Perdata, Unimal Press,
LhokSeumawe, 2015, hlm. 78.
85
Yulia, Buku Ajar Hukum Perdata, BieNa Edukasi, Lhokseumawe, 2015, hlm. 107.
82

dimaksudkan itu ialah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, pegawai

pencatatan sipil (ambtenaar burgerlijke stand) dan sebagainya.86

Adapun akta di bawah tangan ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau

dengan perantaraan seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual beli

atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditanda tangani sendiri oleh kedua

belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani

surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tanda tanganya, yang

berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam

surat perjanjian itu, maka akte di bwah tangan tersebut memperoleh suatu

kekuatan pembuktian yang sama dengan akta resmi.87

Penjelasan Yulia tersebut sesuai dengan penjelasan Riduan Syahrani,

yang menjelaskan bahwa akta otentik atau akta resmi adalah akta yang dibuat

oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut

ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan

dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan oleh yang

berkepentingan.88

Adapun menurut I Ketut Oka Setiawan, Akta resmi mengandung

keterangan-keterangan dari dua pihak dihadapan notaris sehingga notaris hanya

menetapkan saja keterangan-keterangan tersebut dalam sebuah akta, sehingga

perbuatan tersebut dinamakan partij akte, sedangkan jika suatu akta resmi

86
Ibid., hlm. 107.
87
Januarse H. Djami Riwu, Materi Pokok Hukum Perdata, Nusa Cendana Press, Nusa Tenggara
Timur, 2014, hlm. 24.
88
H.. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,Alumni, Bandung, 2014, hlm.
125.
83

mengandung proses verbal tentang suatu perbuatan yang telah dilakukan notaris

atau juru sita seperti lelang atau penyitaan harta benda maka dinamakan

prosesverbal akte.89

Akta resmi mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya

apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya

dan menganggap apa yang ditulis di dalam akta, sungguh-sungguh telah terjadi

sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.

Suatu akta di bawah tangan adalah tiap akta atau dengan perantaraan seseorang

pejabat umum, misalnya surat perjanjian jual beli atau sewa menyewa yang

dibuat dan ditanda tangani sendiri.90

G. Dokumen Elektronik

1. Pengertian Dokumen Elektronik

Menurut Tim Penerbit Gradien Mediatama dokumen elektronik

adalah informasi yang direkam atau disimpan dengan cara yang

memerlukan perangkat komputer atau perangkat elektronik lain untuk

menampilkan, menafsirkan atau memprosesnya. Dokumen-dokumen

tersebut berupa teks, grafik atau spreadsheet, yang dihasilkan oleh

perangkat lunak yang disimpan melalui media magnet (disc) atau media

optik (CD, DVD), serta surat elektronik dan dokumen yang ditransmisikan

melalui pertukaran data elektronik (Electronic data interchange/EDI).

89
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perdata Mengenai Orang dan Kebendaan, FH Utama, Jakarta,
2011, hlm. 55.
90
Wiratmanto, Hukum Acara Perdata, Muhamadiyah Press, Yogyakarta, 2016, hlm. 100.
84

Berbeda dengan dokumen kertas, dokumen elektronik dapat berisi informasi

data non-linear seperti hypertex yang bisa terkoneksi melalui hyperlinks.91

Dokumen elektronik menurut Pratiwi Utami, terdapat pada penjelasan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diperbaharui oleh

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu

setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima,

atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau

sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui

komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,

suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda,

angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau

dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Lebih lanjut,

menerangkan Dokumen elektronik adalah setiap objek yang berwujud

berkas dalam memori sekunder komputer.92

Menurut Ahmad Ramli, dalam draft pembaharuan undang-undang

Informasi dan transaksi elektronik antara lain ditegaskan bahwa electronic

signature dan juga seluruh jenis dokumen elektronik keberadaannya dalam

kontrak perdagangan hampir menjadi semacam standar bagi perdagangan

internasional di masa yang akan datang. Keberadaannya saat ini telah

91
Tim Penerbit Gradien Mediatama, Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik, Gradien
Mediatama, Yogyakarta, 2015, hlm. 17.
92
Pratiwi Utami, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Penjelasannya, Jogja
Bangkit Publisher, Yogyakarta, 2017, hlm. 4.
85

mempunyai kekuatan hukum, yang mengikat (legally binding) meskipun

belum ada konvensi yang mengaturnya secara khusus. Lebih lanjut, Ahmad

Ramli mengemukakan, di Indonesia sampai saat ini belum ada ketentuan

khusus yang secara eksplisit menyebutkan bahwa seluruh dokumen

elektronik mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan dokumen tertulis

lainnya serta merupakan alat bukti yang sah, karena masih adanya

pembatasan-pembatasan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 yang telah diperbaharui oleh Undang Nomor 19 Tahun 2016

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu setiap informasi elektronik.93

Kemudian, Raida L. Tobing menjelaskan perbuatan hukum

penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik

ataupun privat. Para pihak yang melakukan transaksi elektronis wajib

beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi

elektronik dan atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung.

Penyelenggaraan transaksi elektronis ini diatur dengan peraturan

pemerintah, sebagaimana diatur dalam diatur dalam Pasal 17 Undang-

undang No. 11 Tahun 2008 yang berbunyi sebagai berikut: (i)

penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik

dan privat; (ii) Para pihak yang melakukan transaksi elektronik sebagaimana

dimaksud pada butir (i) wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi

93
Ahmad Ramli, Naskah Akademik Rancangan Aturan Pemerintah Tentang Transaksi Elektronik,
BPHN, Jakarta, 2015, hlm. 28.
86

dan/atau pertukaran informasi elektronik dan atau dokumen elektronik

selama transaksi berlangsung”; (iii) Ketentuan lebih lanjut mengenai

penyelenggaraan transaksi elektronis sebagaimana dimaksud pada ayat (i)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.94

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik. Penjelasan mengenai Informasi dan Transaksi

Elektronik dapat ditemukan pada Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2, dimana

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik menyebutkan, “Informasi Elektronik adalah satu

atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),

surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,

huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah

yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya.”95

Kemudian berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan,

“Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan

94
Raida L. Tobing, Efektifitas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diperbaharui
oleh Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, BPHN, Jakarta, 2016, hlm. 21.
95
Pratiwi Utami, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, IKAPI, Yogyakarta, 2015, hlm. 1-2.
87

menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik

lainnya.”96

2. Penggunaan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) yang kini telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik maka terdapat penambahan jenis alat bukti di persidangan yakni

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dalam ketentuan umum

UUITE dapat diketahui bahwa jenis data elektronik seperti tulisan, foto,

suara, gambar merupakan informasi elektronik sedangkan jenis informasi

elektronik seperti tulisan, foto, suara, gambar yang disimpan pada flash disk

yang dapat dibuka melalui perangkat komputer merupakan dokumen

elektronik.97

Pengalihan data tertulis ke dalam bentuk data elektronik telah diatur

sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang

Dokumen Perusahaan, pada bagian menimbang huruf F dinyatakan bahwa

"kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang

dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara

langsung dalam media elektronik”.

96
Ibid., hlm. 2.
97
Rosalinda Elsina Latumahina, Aspek-Aspek Hukum Dalam Transaksi Perdagangan Elektronik,
Gema Aktualita, Surabaya, 2016, hlm.14
88

Selanjutnya dipertegas “dokumen perusahaan dapat dialihkan ke

dalam mikrofilm atau media lainnya dan merupakan alat bukti yang sah"

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) Jo Pasal 15 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997. Hal ini berarti dokumen

elektronik khususnya mengenai dokumen perusahaan merupakan alat bukti

yang sah jauh sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.98

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau

Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum

yang sah.99

Adapun yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau

sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),

surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,

huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah

yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya sebagaimana diatur pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang

98
Tim Penulis HIPCAR, Electronic Transactions : Model Policy Guidelines and Legislative Text
In Indonesia, HIPCAR Press, Jakarta, 2017, hlm. 13.
99
Raida L. Tobing, Op. Cit., hlm. 3.
89

Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.100

Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik adalah setiap

Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau

disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau

sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui

Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada

tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda,

angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau

dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya sebagaimana diatur

pada Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik.101

Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak

dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah

data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen

Elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi Elektronik. Sebagai

contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka

semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi

Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3.102

100
Ibid., hlm. 3-4.
101
Ibid., hlm. 6
102
Ibid., hlm. 6-7
90

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik dapat dikelompokkan menjadi dua bagian.

Pertama Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Kedua, hasil

cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen

Elektronik.103

Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan

menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak

dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti

surat.104

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat

bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di

Indonesia.105

Yang dimaksud dengan perluasan di sini menurut Sitompul harus

dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-

103
Ibid., hlm. 9
104
Ibid., hlm. 10-11.
105
Pratiwi Utami, Op. Cit.,hlm. 52.
91

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Perluasan di sini maksudnya:106

g. Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di

Indonesia, misalnya KUHAP. Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis

alat bukti yang diatur dalam KUHAP;

h. Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum

acara pidana di Indonesia, misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari

Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat yang

diatur dalam KUHAP.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang

harus terpenuhi terkait penggunaan dokumen elektronik sebagai alat

bukti.107

Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu bahwa Informasi

atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut

perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil

106
Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana,
Tatanusa, Jakarta, 2012, hlm. 41.
107
Ibid., hlm. 53.
92

diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang pada intinya Informasi

dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya,

dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang

dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.108

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur dengan jelas

kedudukan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat

bukti yang sah dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum

Acara yang berlaku di Indonesia.

Frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat

bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan

kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang

ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016). Sesuai dengan materi muatan

108
Pratiwi Utami, Op. Cit.,hlm. 52-53.
93

permohonan pada MK maka amar putusan tersebut mengarah pada proses

hukum pidana dan bukan proses hukum perdata.109

Syarat sahnya dokumen elektronik ialah apabila menggunakan sistem

elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya dalam

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik yakni “informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat

diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggung

jawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”. Selain itu, terdapat pula

kekhususan dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem

elektronik serta transaksi elektronik.

Pengakuan Mahkamah Agung terhadap dokumen elektronik pada

sistem peradilan pertama kali diketahui melalui Surat Edaran Mahkamah

Agung (SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik

sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 ini

bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses minutasi

berkas perkara serta menunjang pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas

109
Ibid., hlm. 53
94

serta pelayanan publik pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di

bawahnya. Namun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 14

Tahun 2010 ini tidaklah mengatur tentang dokumen elektronik sebagai alat

bukti melainkan dokumen elektronik berupa putusan maupun dakwaan yang

dimasukkan pada compact disc, flash disk atau dikirim melalui email

sebagai kelengkapan permohonan kasasi dan peninjauan kembali.110

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 ini

telah mengalami perubahan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas SEMA 14 Tahun

2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai kelengkapan Permohonan

Kasasi dan Peninjauan Kembali. Perubahan Surat Edaran Mahkamah

Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2014 ini dilakukan berkaitan dengan

sistem pemeriksaan berkas dari sistem bergiliran menjadi sistem baca

bersama yang diarahkan secara elektronik.

Dalam butir-butir Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1

Tahun 2014 terdapat penambahan detail dokumen-dokumen yang wajib

diserahkan para pihak berperkara secara elektronik tapi sekali lagi

kepentingannya bukan dalam kaitannya sebagai alat bukti elektronik.

Perbedaan lainnya dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor

1 Tahun 2014 yang lama ialah cara penyertaan dokumen melalui fitur

komunikasi data (menu upaya hukum) pada direktori putusan Mahkamah

110
Ibid., hlm. 54
95

Agung karena cara lama melalui compact disk dan pengiriman e-dokumen

memiliki sejumlah kendala diantaranya data tidak terbaca, perangkat

penyimpan data hilang dan lain-lain.111

Kesimpulan singkatnya, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

Nomor 1 Tahun 2014 tersebut mengakui dokumen elektronik untuk

kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, bukan untuk alat

bukti persidangan dan penyerahan dokumen oleh pengadilan tingkat

pertama dilakukan melalui fitur komunikasi data dan tidak melalui

perangkat flash disk/compact disk kecuali dalam keadaan khusus. Namun,

yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara penyerahan dokumen

elektronik sebagai alat bukti yang sah dipersidangan.

Disinilah terdapat kekosongan hukum acara, karena dalam Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maupun

Undang-Undang lainnya tidak mengatur mengenai tata cara penyerahannya

di persidangan. Kalau dalam praktiknya ada yang menyerahkan melalui

compact disk atau flash disk maka sesuai SEMA 1/2014 dijelaskan bahwa

hal tersebut menyebabkan sejumlah kendala namun apabila dikirim melalui

e-dokumen juga belum diatur tata cara pengirimannya.

Tata cara penyerahan menjadi penting karena menyangkut sah atau

tidaknya hukum acara perdata yang diterapkan dan dalam rangka memenuhi

111
Ibid., hlm. 54-55
96

unsur "dijamin keutuhannya" pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dijamin keutuhannya berarti

tidak diubah-ubah bentuknya sejak dari dokumen elektronik tersebut

disahkan.112

Dalam hal dokumen elektronik telah diserahkan dipersidangan

menurut tata cara yang diterima semua pihak berperkara, maka pertanyaan

selanjutnya adalah bagaimana apabila pihak lawan ingin melihat dokumen

elektronik yang akan diajukan sebagai alat bukti tersebut.

Ketentuan Pasal 137 HIR mengatur bahwa “Pihak-pihak dapat

menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya, surat

mana diserahkan kepada hakim buat keperluan itu”. Dalam menjaga asas

keterbukaan pembuktian dipersidangan maka ketentuan 137 HIR juga harus

dapat diterapkan pada dokumen elektronik ketika pihak lawan meminta

untuk diperlihatkan. Untuk itu, diperlukan perangkat teknologi berupa

laptop maupun proyektor agar dapat menampilkan/memperlihatkan

dokumen elektronik dan inipun tidak diatur.113

Selain itu, dokumen elektronik yang di dalamnya memuat tanda

tangan elektronik wajib memenuhi sejumlah kriteria di dalam Pasal 11

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

112
Ibid., hlm. 56-57
113
Ibid., hlm. 58
97

sehingga memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah yakni a.

data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda

tangan, b. data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses

penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan, c.

segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah

waktu penandatanganan dapat diketahui, d. segala perubahan terhadap

informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut

setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, e. terdapat cara tertentu

yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya; dan f.

terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah

memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.

Butir-butir kriteria di atas juga mengandung aspek keamanan

dokumen elektronik sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 12 ayat 1

pada UUITE, diantaranya keaslian (authentication), keutuhan (integrity),

dan anti penyangkalan (non repudiation). Berikut pembagian kriteria dalam

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik dan aspek jaminan keamanan dalam Pasal 12 Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:114

114
Ibid., hlm. 59
98

a. Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada Penanda

Tangan (Keaslian/Authentication).

b. Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses

penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda

tangan (Keaslian/Authentication).

c. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah

waktu penandatanganan dapat diketahui (Keutuhan/Integrity).

d. Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan

tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat

diketahui (Keutuhan atau Integrity).

e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa

Penandatangannya (Anti Penyangkalan/Non Repudiation).

f. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah

memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang

terkait (Anti Penyangkalan/Non Repudiation).

Tanda tangan elektronik yang mampu menjamin terpenuhinya butir a

dan f adalah tanda tangan yang tersertifikasi dan dapat

"dipertanggungjawabkan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Hal ini karena berfungsi sebagai alat autentikasi dan verifikasi atas

identitas penandatangan, keutuhan dan keautentikan informasi elektronik


99

serta dibuat dengan menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik

sebagaimana dimaksud Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun

2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.115

Salah satu penyelenggara sertifikat digital atau elektronik, yang berisi

tanda tangan digital dan identitas diri pemilik sertifikat yang telah berjalan

adalah Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang dapat melayani

keperluan lembaga pemerintah maupun selain pemerintah. Untuk

memastikan standarisasi jasa penyelenggara sertifikasi elektronik,

Kementerian Komunikasi dan Informasi sedang menyusun regulasinya.116

Pengakuan lainnya terhadap dokumen elektronik semakin tegas

dimuat pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2018

tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Dalam

ketentuan Pasal 17 PERMA tersebut diatur bahwa "Pengadilan menerbitkan

salinan putusan/penetapan secara elektronik. Salinan putusan/penetapan

Pengadilan yang diterbitkan secara elektronik dikirim kepada para pihak

paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak putusan/penetapan kecuali

kepailitan/PKPU", pengiriman dilakukan melalui domisili elektronik.

Namun sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (3) Keputusan Direktur

Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 271/DJU/SK/ PS01/4/2018 diatur

bahwa "salinan putusan /penetapan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti

yang sah". Hal ini berarti, Peradilan Umum khususnya tetap wajib

115
Ibid., hlm. 59
116
Ibid., hlm. 59-60
100

mengeluarkan putusan/penetapan dalam bentuk cetak yang dapat

dipergunakan sebagai alat bukti.117

Salinan putusan dalam bentuk dokumen elektronik, kelak dapat

ditandatangani secara elektronik apabila telah tersertifikasi dan terhadap

salinan dokumen putusan yang demikian tidak perlu dicocokkan dengan

aslinya sebagaimana alat bukti surat menurut Pasal 1888 KUHPerdata.

Sesuai dengan maksud Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka "Keaslian putusan dalam

bentuk dokumen elektronik dengan putusan asli yang ditandantangani oleh

Majelis Hakim tidak perlu dibandingkan karena dalam lingkup sistem

elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk

dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara

penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat

dibedakan lagi dari salinannya".118

Kemudian, dalam hukum perdata di Indonesia, penggunaan data digital

terbentur dengan beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata di Indonesia, dan Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kini telah

diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

117
Ibid., hlm. 62
118
Ibid., hlm. 63.
101

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu ketentuan Pasal

1867 dan Pasal 1868, dimana ketentuan Pasal 1867 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata menyebutkan “Pembuktian dengan tulisan dilakukan

dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.”119

Kemudian ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata menyebutkan, “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat

dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat

umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.”120

Sehingga akta notaris yang dibuat dalam bentuk dokumen digital atau

elektronik, baik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di

Indonesia, dan Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kini telah diperbaharui

oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, belum diakui keabsahannya.

119
Fitria Pratiwi dan Lis Sutinah, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Perdata, Visimedia, Jakarta, 2015, hlm. 291.
120
Ibid., hlm. 291.
102

BAB III

AKTA DALAM BENTUK DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI

PENGGANTI AKTA NOTARIS DALAM KEKUATAN PEMBUKTIAN

DI PENGADILAN

A. Keberadaan Akta Dalam Bentuk Dokumen Elektronik Sebagai Pengganti

Akta Notaris Sebagai Alat Pembuktian Di Pengadilan

Pasca merebaknya Covid-19 di Indonesia yang di awali sejak sekitar bulan

Maret Tahun 2020. Tercatat per 13 April 2020 sebanyak 213 Negara telah

dilaporkan mengalami wabah ini dengan jumlah kasus terkonfirmasi positif

sebanyak 1.773.084 kasus dan telah menyebabkan 111.652 kasus kematian di

seluruh dunia. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah pun

melalui Satgas Pencegahan Penularan Covid 19 mengeluarkan kebijakan protokol

kesehatan berupa melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang

menyeluruh di 34 provinsi dengan tujuan guna membatasi penyebaran virus di

masyarakat dengan resiko dampak ekonomi mengalami ancaman serius, ataukah

hanya melakukan psbb di wilayah-wilayah tertentu dengan resiko penularan

infeksi yang berlangsung lebih lama dan pada akhirnya juga mengakibatkan

dampak ekonomi yang besar.121 Sistem perekonomian maupun sistem hukum yang

ada seakan bergerak secara lambat, diakibatkan adanya kebijakan untuk menjaga

121
Didik Haryadi Santoso, Covid 19 : Dalam Ragam Tinjauan Perspektif, MBridge Press, Depok,
2020. hlm. 9
103

jarak, menghindari kerumunan, maupun larangan untuk bersentuhan langsung

dengan sesama manusia, maupun terhadap benda.

Kemudian pada perkembangannya, diketahui secara perlahan pemerintah yang

semula menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), berangsur-angsur

mulai dibuka. Para Pekerja yang semula melakukan tugas dari rumah (Work from

Home / WFH), mulai bekerja dari kantor (Work from Office / WFO). Hal tersebut

terdapat pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan

Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan

Pengendalian Covid-19 ini hakikatnya tidak jauh berbeda dari aturan yang

sebelumnya telah diterapkan di Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020

tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, seperti menjaga jarak fisik (physical

distancing), menggunakan masker, serta bergaya hidup sehat.

Sebagai akibatnya, berbagai macam pekerjaan maupun tindakan pun menjadi

terhambat, dan sebagai salah satu untuk mengatasi kendala dan problematika

tersebut, baik pihak swasta, maupun pemerintah, dan tidak terkecuali lembaga-

lembaga pendidikan, hukum, wirausaha, maupun perusahaan, berusaha

memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi melalui media internet dengan

menggunakan berbagai macam platform aplikasi maupun software untuk

menunjang pekerjaan yang membutuhkan pelaporan, dokumentasi, dan cross

check, serta tetap menjalani kegiatan pekerjaan di lapangan dengan mematuhi

protokol kesehatan yang ada.


104

Kondisi ini berjalan berangsur-angsur cukup lama hingga menjelang bulan

september mulai berlaku kebijakan normal baru, namun masih tetap berpedoman

pada protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Salah satu profesi yang paling terdampak dari adanya kebijakan protokol

kesehatan untuk mengatasi wabah Covid-19 tersebut adalah notaris dan PPAT,

dimana syarat pembuatan akta Notaris dan atau PPAT yang mewajibkan adanya

kehadiran langsung dari para pihak dan saksi yang hendak membuat akta Notaris

dan atau PPAT tentunya terkendala dengan adanya kebijakan protokol kesehatan

dari pemerintah yang menghimbau agar masyarakat maupun aparatur negara,

pelaku usaha, maupun pejabat publik untuk untuk menjaga jarak, menghindari

kerumunan, maupun larangan untuk bersentuhan langsung dengan sesama manusia,

maupun terhadap benda.

Berdasarkan observasi peneliti pada wilayah Bekasi dan Jakarta, setidaknya

cukup banyak kantor Notaris dan PPAT yang ditutup, selama antara bulan Maret

2020 sampai dengan bulan Agustus 2020. Bahkan beberapa biro administrasi

pemerintah seperti Kantor Pertanahan Nasional Kota Bekasi, Kantor Pertanahan

Nasional Kabupaten Bekasi, Kantor Pertanahan Nasional Kota Jakarta Timur, dan

Kantor Pertanahan Nasional Kota Jakarta Utara, serta pelayanan pendaftaran akta

pada Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak berjalan maksimal,

bahkan pada Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten Bekasi sempat ditutup untuk
105

sementara selama bulan April tahun 2020 sampai dengan bulan November tahun

2020, karena penyebaran Covid 19 di wilayah Kabupaten Bekasi cukup masiv.122

Notaris sendiri dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya dalam

pembuatan Akta Otentik sejatinya menjadi terhalang dengan adanya wabah Covid

19 tersebut, serta kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pekerjaan dari rumah,

dan menjaga jarak, serta menghindari kerumunan massa. Hal ini disebabkan Notaris

dalam menjalankan tugasnya selaku pejabat pembuat akta otentik, harus mematuhi

ketentuan yang terdapat pada Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Jabatan Notaris, dan terhalang juga untuk memanfaatkan teknologi

informasi elektronik yang ada seperti pemanfaatan dokumen elektronik, pengiriman

dokumen via email/surel, karena adanya larangan pada ketentuan Pasal 5 ayat 4

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diperbaharui dengan Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ketentuan Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah

diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

mengharuskan adanya pertemuan langsung atau para pihak harus menghadap dalam

proses pembuatan akta, dimana Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Jabatan Notaris menyebutkan,

122
Hasil Observasi pada Kantor Pertanahan Nasional Kota Bekasi, Kantor Pertanahan Nasional
Kabupaten Bekasi, Kantor Pertanahan Nasional Kota Jakarta Timur, dan Kantor Pertanahan
Nasional Kota Jakarta Utara, serta Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada
bulan Maret 2020 sampai dengan 14 Desember 2020.
106

Sedangkan ketentuan Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik adalah mengenai dokumen elektronik dan hasil

cetaknya sebagai alat bukti, sebagaimana diatur pada Pasal 5, yang menyatakan,123

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari

alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila

menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam Undang-Undang ini.

4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk

tertulis; dan

b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat

dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat

akta.

123
Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektroni, Gramedia, Jakarta, 2008, hlm. 41.
107

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 di atas diketahui dokumen elektronik dan hasil

cetaknya bisa dijadikan sebagai alat bukti, kecuali dokumennya harus dibuat dalam

bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta

Disatu sisi berdasarkan hasil Konvensi UNCITRAL (United Nation

Commission on International Trade Law) terkait Akta Notaris dalam bentuk

Dokumen Elektronik Model Law on E-Commerce (1996), dan Model Law on E-

Signatures (2001), United Convention on the Use of Ecommunication in

International Contracts (2005),4 dan kajian tentang Promoting Confidence in E-

Commerce: Legal Issues on International Use of Electronic Authentication and

Signature Methods (2009), Dimana dalam hasil konvensi United Convention on the

Use of Ecommunication in International Contracts (2005) menyatakan dalam Pasal

9 ayat 2, “Where the law requires that a communication or a contract should be in

writing, or provides consequences for the absence of a writing, that requirement is

met by an electronic communication if the information contained therein is

accessible so as to be usable for subsequent reference.” (Jika hukum mengharuskan

suatu komunikasi atau kontrak harus secara tertulis, atau memberikan konsekuensi

karena tidak adanya tulisan, persyaratan tersebut dipenuhi oleh komunikasi

elektronik jika informasi yang ada di dalamnya dapat diakses sehingga dapat

digunakan untuk referensi berikutnya).124

Kemudian dalam ketentuan Pasal 9 ayat 3 hasil Konvensi UNCITRAL

dinyatakan bahwa, “Where the law requires that a communication or a contract

124
Amelia H. Boss, Electronic Data Interchange Agreements: Private Contracting Toward a Global
Environment, Temple Unv. Press, Los Angeles, USA, 2012, hlm. 35-36
108

should be signed by a party, or provides consequences for the absence of a

signature, that requirement is met in relation to an electronic communication if:

(Jika undang-undang mengharuskan suatu komunikasi atau kontrak harus

ditandatangani oleh suatu pihak, atau memberikan konsekuensi atas tidak adanya

tanda tangan, persyaratan tersebut terpenuhi sehubungan dengan komunikasi

elektronik jika:)

1. A method is used to identify the party and to indicate that party’s intention

in respect of the information contained in the electronic communication;

and (Suatu metode digunakan untuk mengidentifikasi pihak dan untuk

menunjukkan niat pihak tersebut sehubungan dengan informasi yang

terkandung dalam komunikasi elektronik; dan)

2. The method used is either: (Metode yang digunakan juga menggunakan

sistem:)

a. As reliable as appropriate for the purpose for which the electronic

communication was generated or communicated, in the light of all the

circumstances, including any relevant agreement; or (Dapat dipercaya

sesuai dengan tujuan komunikasi elektronik yang dihasilkan atau

dikomunikasikan, dengan mempertimbangkan semua keadaan, termasuk

perjanjian yang relevan; atau)

b. Proven in fact to have fulfilled the functions described in subparagraph

(a) above, by itself or together with further evidence. (Terbukti pada

kenyataannya telah memenuhi fungsi-fungsi yang diuraikan dalam sub


109

ayat (a) di atas, dengan sendirinya atau bersama dengan bukti lebih

lanjut.)

Lebih lanjut Pasal 9 ayat 4, hasil Konvensi UNCITRAL dinyatakan bahwa,

Where the law requires that a communication or a contract should be made

available or retained in its original form, or provides consequences for the absence

of an original, that requirement is met in relation to an electronic communication

if (Jika undang-undang mensyaratkan bahwa komunikasi atau kontrak harus

tersedia atau disimpan dalam bentuk aslinya, atau memberikan konsekuensi jika

tidak ada yang asli, persyaratan tersebut dipenuhi dalam kaitannya dengan

komunikasi elektronik jika):

1. There exists a reliable assurance as to the integrity of the information it

contains from the time when it was first generated in its final form, as an

electronic communication or otherwise; and (Terdapat jaminan yang dapat

diandalkan mengenai integritas informasi yang dikandungnya sejak pertama

kali dibuat dalam bentuk akhirnya, sebagai komunikasi elektronik atau

sebaliknya; dan)

2. Where it is required that the information it contains be made avail able, that

information is capable of being displayed to the person to whom (Jika

informasi yang dikandungnya harus tersedia, informasi tersebut dapat

ditampilkan kepada siapa yang membutuhkannya)

Kemudian, Pasal 164 hasil Konvensi UNCITRAL menyatakan bahwa,

However, UNCITRAL considered that the Convention should not allow a party to
110

invoke the “reliability test” to repudiate its signature in cases where the actual

identity of the party and its actual intention could be proved. The requirement that

an electronic signature needs to be “as reliable as appropriate” should not lead a

court or trier of fact to invalidate the entire contract on the ground that the

electronic signature was not appropriately reliable if there is no dispute about the

identity of the person signing or the fact of signing, that is, no question as to

authenticity of the electronic signature. Such a result would be particularly

unfortunate, as it would allow a party to a transaction in which a signature was

required to try to escape its obligations by denying that its signature (or the other

party’s signature) was valid not on the ground that the purported signer did not

sign, or that the document it signed had been altered, but only on the ground that

the method of signature employed was not “as reliable as appropriate” in the

circumstances. In order to avoid these situations, paragraph 3 (b)(ii) validates a

signature method regardless of its reliability in principle whenever the method used

is proven in fact to have identified the signatory and indicated the signatory’s

intention in respect of the information contained in the electronic communication.

Namun, UNCITRAL menganggap bahwa Konvensi seharusnya tidak mengizinkan

suatu pihak untuk menggunakan "uji reliabilitas" untuk menolak tanda tangannya

dalam kasus-kasus di mana identitas sebenarnya dari partai dan maksudnya yang

sebenarnya dapat dibuktikan. Persyaratan bahwa tanda tangan elektronik harus

"dapat diandalkan sebagaimana mestinya" tidak boleh memimpin pengadilan atau

trier fakta untuk membatalkan seluruh kontrak dengan alasan bahwa tanda tangan

elektronik tidak dapat diandalkan secara tepat jika tidak ada perselisihan tentang
111

identitas penandatanganan orang atau fakta penandatanganan, yaitu, tidak ada

pertanyaan mengenai keaslian tanda tangan elektronik. Hasil seperti itu akan sangat

disayangkan, karena akan memungkinkan pihak untuk transaksi di mana tanda

tangan diperlukan untuk mencoba melarikan diri kewajibannya dengan menyangkal

bahwa tanda tangannya (atau tanda tangan pihak lain) tidak berlaku atas dasar yang

diakui penandatangan tidak menandatangani, atau bahwa dokumen yang

ditandatangani telah diubah, tetapi hanya dengan alasan bahwa metode tanda tangan

yang digunakan tidak "dapat diandalkan sebagaimana mestinya" dalam situasi

tersebut. Untuk menghindari situasi ini, paragraf 3 (b) (ii) memvalidasi metode

tanda tangan terlepas dari keandalannya pada prinsipnya setiap kali metode yang

digunakan terbukti pada kenyataannya telah mengidentifikasi penandatangan dan

menunjukkan niat penandatangan sehubungan dengan informasi yang terkandung

dalam komunikasi elektronik).

Kemudian dalam Pasal 5 Konvensi Legal Issues on International Use of

Electronic Authentication and Signature Methods (2009) menyebutkan, “The

approach to “authentication” and “signature” in civil law jurisdictions is not in

all respects identical to the common law approach. Most civil law jurisdictions

follow the rule of freedom of form for contractual engagements in private law

matters, either expressly or impliedly subject, however, to a more or less extensive

catalogue of exceptions depending on the jurisdiction concerned. This means that,

as a general rule, contracts need not be in “writing” or “signed” in order to be

valid and enforceable. However, there are civil law jurisdictions that generally

require a writing to prove the contents of contracts, except in commercial


112

matters.26 In contrast to common law jurisdictions, civil law countries tend to

interpret evidentiary rules rather strictly. Typically, rules on civil evidence

establish a hierarchy of evidence for proving the content of civil and commercial

contracts. Highest in such ranking are documents issued by public authorities,

followed by authentic private documents. Often, such hierarchy is conceived in such

a way that the notions of “document” and “signature”, although formally distinct,

may become nearly inseparable. Other civil law jurisdictions, however, positively

link the notion of “document” to the existence of a “signature”. This does not mean

that a document that has not been signed is necessarily deprived of any value as

evidence, but such a document would not enjoy any particular presumption and is

generally regarded as a “beginning of evidence”. “Authentication” is in most civil

law jurisdictions a concept that is rather narrowly understood to mean that the

authenticity of a document has been verifi ed and certifi ed by a competent public

authority or a notary public. In civil procedure it is common to refer instead to the

notion of “originality” of documents. (Pendekatan untuk "otentikasi" dan "tanda

tangan" dalam yurisdiksi hukum perdata tidak dalam semua hal identik dengan

pendekatan hukum umum. Kebanyakan yurisdiksi hukum perdata mengikuti aturan

kebebasan bentuk untuk perjanjian kontraktual dalam masalah hukum pribadi, baik

secara tersurat maupun tersirat, bagaimanapun, pada katalog pengecualian yang

lebih banyak atau kurang tergantung pada yurisdiksi yang bersangkutan. Ini berarti

bahwa, sebagai aturan umum, kontrak tidak harus "ditulis" atau "ditandatangani"

agar valid dan dapat dilaksanakan. Namun, ada yurisdiksi hukum perdata yang

umumnya mengharuskan penulisan untuk membuktikan isi kontrak, kecuali dalam


113

masalah komersial. Berbeda dengan yurisdiksi hukum umum, negara hukum sipil

cenderung menafsirkan aturan pembuktian secara agak ketat. Biasanya, aturan

tentang bukti sipil menetapkan hierarki bukti untuk membuktikan isi kontrak sipil

dan komersial. Peringkat tertinggi adalah dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas

publik, diikuti oleh dokumen pribadi yang otentik. Seringkali, hirarki seperti itu

dikandung sedemikian rupa sehingga gagasan "dokumen" dan "tanda tangan",

meskipun secara formal berbeda, dapat menjadi hampir tidak dapat dipisahkan.

Yurisdiksi hukum perdata lainnya, bagaimanapun, secara positif menghubungkan

gagasan "dokumen" dengan keberadaan "tanda tangan". Ini tidak berarti bahwa

dokumen yang belum ditandatangani tentu saja dirampas dari nilai apa pun sebagai

bukti, tetapi dokumen semacam itu tidak akan menikmati anggapan tertentu dan

umumnya dianggap sebagai "awal bukti". "Otentikasi" adalah sebagian besar

yurisdiksi hukum perdata, sebuah konsep yang agak dipahami, yang berarti bahwa

keaslian suatu dokumen telah diverifikasi dan disertifikasi oleh otoritas publik yang

kompeten atau seorang notaris. Dalam prosedur perdata umum untuk merujuk

bukan pada gagasan "orisinalitas" dokumen).

Selanjutnya dalam Pasal 6 Konvensi Legal Issues on International Use of

Electronic Authentication and Signature Methods (2009) menyebutkan, “As is the

case under common law, the paradigm of a signature in civil law countries is the

handwritten one. As regards the signature itself, some jurisdictions tend to admit

various equivalents, including mechanical reproductions of signatures, despite a

generally formalist approach to evidence. Other jurisdictions, however, admit

mechanical signatures for commercial transactions but, until the advent of


114

computer technologies, continued to require a handwritten signature for the proof

of other types of contract. It could therefore be said that against a general

background of freedom of form for the conclusion of business contracts, civil law

countries tend to apply strict standards to assess the evidentiary value of private

documents and may be dismissive of documents whose authenticity is not

immediately recognizable on the basis of a signature.(Seperti halnya di bawah

hukum umum, paradigma tanda tangan di negara-negara hukum sipil adalah yang

ditulis tangan. Mengenai tanda tangan itu sendiri, beberapa yurisdiksi cenderung

menerima berbagai ekuivalen, termasuk reproduksi tanda tangan mekanis,

meskipun secara umum pendekatan formal terhadap bukti. Yurisdiksi lain,

bagaimanapun, mengakui tanda tangan mekanis untuk transaksi komersial tetapi,

sampai munculnya teknologi komputer, terus membutuhkan tanda tangan yang

ditulis tangan untuk bukti jenis kontrak lainnya. Oleh karena itu dapat dikatakan

bahwa dengan latar belakang umum kebebasan bentuk untuk kesimpulan kontrak

bisnis, negara-negara hukum sipil cenderung menerapkan standar ketat untuk

menilai nilai pembuktian dokumen-dokumen pribadi dan mungkin mengabaikan

dokumen yang keasliannya tidak dapat segera dikenali berdasarkan tanda tangan).

Kemudian pada ketentuan Pasal 117 Konvensi Legal Issues on International

Use of Electronic Authentication and Signature Methods (2009) menyebutkan, “In

countries that have abolished legalization or apostille requirements, it is

conceivable to develop systems whereby foreign notarized records would be given

legal recognition on the basis of verifi cation of the electronic signature or

authentication method used by the originating notary public. The electronic


115

signature of the originating notary must be verifi able by the user of the document

(generally another notary) in a simple and quick manner. This can be done via the

Internet by accessing the site of the originating notary’s certifi cation services

provider, which, at least in Europe, is typically the national chamber to which the

notary belongs. A related matter concerns the verifi cation of the originating

notary’s authority to authenticate records under the legal system in which he or she

operates. In order to facilitate that process and obviate the need for consulting a

foreign supervisory body, if any, entrusted with licensing notaries, it has been

proposed that certifi cation services providers established under the auspices of

chambers of notaries should only issue certifi cates to notaries currently authorized

to exercise the function of notary public so that any suspension or revocation of a

notary’s authority should automatically prevent verifi cation of the notary’s

signature. (Di negara-negara yang telah menghapuskan persyaratan legalisasi atau

apostille, dapat dibayangkan untuk mengembangkan sistem di mana akta notaris

asing akan diberikan pengakuan hukum atas dasar verifikasi tanda tangan

elektronik atau metode otentikasi yang digunakan oleh notaris yang berasal dari

luar negeri. Tanda tangan elektronik dari notaris yang berasal (dari luar negeri)

harus diverifikasi oleh pengguna dokumen (umumnya notaris lain) dengan cara

yang sederhana dan cepat. Hal ini dapat dilakukan melalui internet dengan

mengakses situs penyedia layanan sertifikat notaris yang berasal, yang, paling tidak

di Eropa, biasanya adalah ruang nasional tempat kantor notaris itu berada. Masalah

terkait menyangkut verifikasi otoritas notaris yang berasal untuk mengotentikasi

catatan di bawah sistem hukum di mana dia beroperasi. Untuk memfasilitasi proses
116

tersebut dan meniadakan kebutuhan untuk konsultasi badan pengawas asing, jika

ada, yang dipercayakan dengan perizinan notaris, telah diusulkan bahwa penyedia

layanan sertifikasi yang didirikan di bawah naungan kamar notaris harus hanya

mengeluarkan sertifikat untuk notaris saat ini berwenang untuk menjalankan fungsi

notaris sehingga setiap penangguhan atau pencabutan wewenang notaris secara

otomatis akan mencegah verifikasi tanda tangan notaris).125

Selain itu sempat terdapat adanya wacana untuk menerapkan konsep Cyber

Notary di Indonesia, yaitu sejak tahun 1995 telah ada wacana untuk

mengembangkan konsep cyber notary di Indonesia. Konsep ini lahir karena adanya

teknologi-teknologi baru yang dapat mempengaruhi pekerjaan notaris terutama

dalam hal efisiensi waktu. Teknologi-teknologi tersebut antara lain tanda tangan

digital (digital signature) dan video conference. Kehadiran teknologi-teknologi

tersebut tentu merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat disangkal.126

Indonesia sendiri saat ini sedang berada dalam era globalisasi ditandai dengan

era teknologi informasi dan komunikasi yang memperkenalkan dunia maya

(cyberspace, virtual world) melalui jaringan internet, komunikasi dengan media

elektronik tanpa kertas. Seseorang akan memasuki dunia maya yang bersifat

abstrak, universal, lepas dari keadaan tempat dan waktu melalui media elektronik

ini.

125
Ibid.,hlm. 37
126
Muhammad Farid Alwajdi, Urgensi Pengaturan Cyber Notary Di Indonesia, BPHN : Jakarta,
2020. hlm. 258
117

Dengan mengamati perkembangan di beberapa Negara, baik yang bercorak

Common Law maupun Civil Law, banyak negara telah memberdayakan fungsi dan

peran notarisnya dalam transaksi elektronik. Oleh karena itu, mau tidak mau

Indonesia pun harus menstimulus penyelenggaraan jasa notarisnya dalam transaksi

elektronik bahkan sampai dengan melakukan penyelenggaraan jasa kenotariatan itu

sendiri secara elektronik.

Berkenaan dengan pelaksanaan cyber notary tersebut, pada awalnya ketentuan

mengenai pelayanan kenotariatan secara elektronik diharapkan dapat masuk ke

dalam salah satu Pasal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah

diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan

Notaris. Namun hal tersebut tidak dapat dipenuhi. Meskipun begitu, Pasal 15 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diperbaharui dengan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris mengatur bahwa

notaris juga mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3), kewenangan lain yang dimaksudkan

tersebut adalah juga termasuk kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan

secara elektronik atau cyber notary. Sesungguhnya kewenangan ini tidak terlalu

tepat apabila dirujuk sebagai sertifikasi, karena makna yang dituju sebenarnya

adalah penguatan atau menguatkan transaksi elektronik tersebut, sehingga bisa

dianggap sah secara hukum (legal). Salah satu bentuk penguatan atau legalisasi

secara elektronik ini adalah dalam bentuk time stamp, atau mengesahkan terjadinya

suatu transaksi pada waktu tertentu yang dilaksanakan antara para pihak. Bentuk

legalisasi secara konvensional diantaranya adalah pengesahan tanda tangan dalam


118

suatu dokumen, yang juga diatur sebagai salah satu kewenangan notaris

berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diperbaharui

dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

Dalam hal konsep cyber notary yang oleh sebagian ahli hukum dikembangkan

dengan pemanfaatan media elektronik secara telekonferensi, ternyata sebagaimana

dikemukakan Edmon Makarim, selama ini dianggap ada sedikit terdapat

kesalahpahaman dalam menafsirkan frasa “di hadapan” sesuai Pasal 1868

KUHPerdata yang dikaitkan dengan cyber notary. Yang mengidentikkan dengan

pembuatan akta yang dilakukan secara telekonferensi, padahal tidak. Prinsip kerja

cyber notary tidak jauh berbeda dengan notaris biasa. Para pihak tetap datang dan

berhadapan dengan para notarisnya. Hanya saja, para pihak langsung membaca

draft aktanya di masing-masing komputer, setelah sepakat, para pihak segera

menandatangani akta tersebut secara elektronik di kantor notaris. Jadi aktanya

bukan dibuat melalui jarak jauh menggunakan webcam, tetapi para pihak

berhadapan langsung kepada notarisnya. Kalau caranya menggunakan webcam,

negara lain juga belum menggunakan metode itu.127

Konsep cyber notary berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan notaris

berbasis teknologi informasi. Ada dua aspek yang menjadi penekanan pada cyber

notary yaitu kewenangan dan teknologi. Kemajuan di bidang ekonomi membuat

aspek kewenangan dan teknologi menjadi saling berkaitan. Perubahan ekonomi

yang cepat menuntut notaris untuk segera memproses kontrak sehingga salah satu

127
Ibid., hlm. 259
119

sarana yang dapat mendukung percepatan proses tersebut adalah teknologi

informasi. Perkembangan ekonomi juga menuntut adanya kepraktisan berupa

kemudahan dan efisiensi dalam praktek dagang terkait waktu dan tempat. Tuntutan

kepraktisan tersebut juga menginginkan agar perkembangan teknologi dapat

diserap dalam aturan perundang-undangan. Penyerapan ini telah dilakukan oleh

negara-negara berteknologi tinggi seperti Jepang dan Belanda dengan menyadur

konsep cyber notary dalam perundang-undangannya.

Adapun manfaat dari cyber notary adalah mempermudah transaksi antara

para pihak yang tinggalnya berjauhan sehingga jarak bukan menjadi masalah

lagi. Pemegang saham yang berada di Amerika, Jepang ataupun Singapura,

dapat mengikuti RUPS dengan menggunakan media telekonferensi dengan

pemegang saham yang ada di Indonesia, dengan disaksikan oleh notaris di

Indonesia. Sehingga, kehadiran fisik dari pemegang saham tersebut tidak

diperlukan. Pemegang saham yang berada di luar negeri tersebut dapat

dianggap tetap menghadiri RUPS dan hak suaranya tetap dihitung dalam

quorum kehadiran. Konsep mengenai pelaksanaan RUPS secara

telekonferensi sudah diatur dalam pasal 77 ayat (1) UUPT, yang menyatakan

bahwa penyelenggaraan RUPS dapat juga dilakukan melalui media

telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang

memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara

langsung serta berpartisipasi dalam rapat.

Di Indonesia sendiri penerapan dan pemanfaatan teknologi komunikasi,

informasi dan dokumen elektronik, maupun konsep cyber notary dalam bidang
120

kenotariatan masih menimbulkan pro kontra, karena terdapat hambatan dari segi

regulasi, dimana pemanfaatan teknologi komunikasi, informasi dan dokumen

elektronik dalam bidang kenotariatan sendiri dilarang dalam beberapa regulasi

hukum di Indonesia diantaranya :

1. Pasal 16 Ayat 1 huruf m Undang-Unadng Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Jabatan Notaris menyatakan “m. membacakan Akta di hadapan penghadap

dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat)

orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan

ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;”

2. Larangan bagi notaris dalam mempromosikan diri melalui media elektronik

terdapat pada Pasal 4 ayat 3 Perubahan Kode Etik Notaris Hasil Kongres

Luar Biasa di Banten, pada tanggal 29-30 Mei 2015, yang menyatakan

Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan

jabatan Notaris) dilarang melakukan publikasi atau promosi diri, baik

sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan

jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam

bentuk Iklan, Ucapan selamat, Ucapan belasungkawa, Ucapan terima

kasih, Kegiatan pemasaran, Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial,

keagamaan, maupun olah raga.

3. Ketentuan Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang

telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik adalah mengenai akta notaris atau akta
121

otentik dalam bentuk dokumen elektronik dan hasil cetaknya tidak bisa

dipergunakan sebagai alat bukti.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilihat adanya hambatan

penggunaan penerapan dan pemanfaatan teknologi komunikasi, informasi dan

dokumen elektronik, maupun konsep cyber notary dalam bidang kenotariatan masih

menimbulkan pro kontra, karena terdapat hambatan dari segi regulasi, hal ini sesuai

dengan penjelasan dari Notaris Cut Riany, yang menjelaskan bahwa faktor

penghambat dalam konsep cyber notary diterapkan di Indonesia adalah karena

adanya regulasi hukum yang membatasi beberapa kegiatan notaris dalam

pemanfaatan perkembangan internet, teknologi informasi dan komunikasi di

Indonesia, seperti adanya larangan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016

dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, terhadap pembuatan akta notaris dalam

bentuk elektronik, maupun pemanfaatan internet, teknologi informasi dan

komunikasi di Indonesia, serta dalam Peraturan Kode Etik Notaris yang diatur

dalam peraturan Ikatan Notaris Indonesia terkait publikasi jasa notaris melalui

media sosial dan internet. Selain itu, hambatan dari adanya konsep cyber notary di

Indonesia juga dikarenakan adanya hambatan dari segi sarana dan prasarana dari

pemerintah yang belum memiliki media untuk memeriksa otentifikasi keaslian akta

notaris dalam bentuk dokumen elektronik, dan masih banyaknya notaris yang

belum menguasai dan mampu mengimbangi perkembangan internet, teknologi

informasi dan komunikasi di Indonesia.128

128
Wawancara Terhadap Notaris Cut Riany, SH. M.Kn., pada Desa Lambangsari, Kabupaten
Bekasi, pada tanggal 22 Februari 2021
122

Selain itu, Notaris Cut Riany juga menjelaskan faktor pendukung konsep cyber

notary diterapkan di Indonesia diantaranya adalah adanya anggapan bahwa konsep

cyber notary akan memudahkan Notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya,

tanpa terhalang jarak dan waktu, kemudian generasi muda notaris maupun calon

notaris di Indonesia yang sudah cukup terbuka dan memahami perkembangan

internet, teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia, selain itu momentum

adanya kondisi pandemi covid 19 saat ini yang mengharuskan adanya social

distancing, sehingga mengharuskan seluruh lapisan masyarakat untuk menghindari

adanya kontak langsung dengan sesama manusia, serta perkembangan internet,

teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia, yang saat ini sedang masive

terjadi.129

Cut Riany juga menjelaskan bahwa konsep cyber notary pada dasarnya sudah

diketahui oleh para notaris di Indonesia, yaitu konsep pemanfaatan media

telekomunikasi dibidang cyber, dengan memanfaatkan sarana komunikasi dan

informasi elektronik, seperti media teleconference, tanda tangan digital, dan

dokumen elektronik. Di Indonesia saat ini secara kondisi dan situasi sebenarnya

cukup mendukung untuk dikembangkannya konsep cyber notary, namun pada

dasarnya payung hukum yang ada belum mendukung adanya konsep cyber notary

di Indonesia, serta perangkat notaris maupun pemerintah yang ada saat ini juga

belum mampu mendukung konsep cyber notary. Konsep cyber notary serta

hubungannya dengan dokumen elektronik secara konseptual, dapat di maknai,

dimana Konsep cyber notary merupakan konsep yang mengatur mengenai tata cara

129
Ibid.
123

bagi notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pejabat pembuat akta

notariil atau akta otentik, dengan memanfaatkan saran teknologi komunikasi dan

media penyaringan dan pendistribusian informasi melalui media elektronik, dimana

akta dalam bentuk dokumen elektronik merupakan hasil akhir dari proses konsep

cyber notary. Pada dasarnya, generasi muda notaris, yang tidak awam dengan

pemanfaatan sarana teknologi komunikasi, media sosial, dan media elektronik,

seharusnya sudah bisa memanfaatkan teknologi, sistem komunikasi, dan informasi

yang ada untuk dapat mendukung konsep cyber notary, namun para generasi notaris

yang lebih tua, khususnya yang masih sangat awam dengan teknologi komunikasi,

media sosial, dan media elektronik, tentunya akan sangat sulit dalam menerapkan

konsep cyber notary. Kemudian Cut Riany juga menjelaskan bahwa pada dasarnya

terdapat beberapa pihak notaris yang mendukung penggunaan dan pemanfaatan

teknologi, sistem komunikasi, dan informasi yang ada untuk dapat membuat akta

dalam bentuk dokumen elektronik, serta ingin mengakui keabsahan hasil print out

dari dokumen elektronik tersebut, namun dengan ketentuan hukum yang ada saat

ini, yang masih melarang adanya pembuatan akta dalam bentuk dokumen

elektronik, tentunya hal tersebut bertentangan dengan harapan dan keinginan

beberapa notaris yang ada. 130

Pada kenyataannya sendiri keberhasilan penggunaan dan pemanfaatan TIK

dengan penerapan konsep cyber notary dalam Ditjen AHU online, telah mendorong

para notaris untuk menggunakan dan memanfaatkan TIK, sistem ini merupakan

sistem administrasi badan hukum (SABH) yang telah mengalami beberapa kali

130
Ibid.
124

pengembangan, terakhir dilakukan pengembangan yang revolusioner dalam hal

efisiensi waktu, yakni dengan waktu pelayanan yang dahulunya memakan waktu

dalam hitungan hari sekarang dapat dilakukan dalam hitungan menit. Melalui

Ditjen AHU online proses birokrasi diperpendek dengan tidak diperlukan lagi

pertemuan antara penyedia jasa dan pemakai jasa sehingga peluang terjadinya

korupsi, kolusi dan nepotisme dapat dihindarkan. Yang mewujudkan pelayanan

prima kepada masyarakat dalam membangun good governance menuju clean

government dengan mengutamakan pelayanan yang profesional, cepat, tepat,

efisien, murah dan bebas punggutan liar. Kemudian akan meningkatkan efektivitas

dan efisiensi para Notaris dalam memberikan kepastian waktu penyelesaian

pelayanan terhadap masyarakat, dengan demikian berdampak pada berkembangnya

perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Dalam pengembangannya kini pelayanan Ditjen AHU

online meliputi:

1. Publikasi berita-berita yang ditulis oleh Hubungan Masyarakat (Humas)

Ditjen AHU;

2. Pengajuan permohonan pemakaian nama PT, Yayasan, dan Perkumpulan

yang dapat diakses oleh masyarakat umum dan notaris;

3. Pengajuan permohonan pengesahan pendirian PT, Yayasan, dan

Perkumpulan yang hanya dapat diakses oleh notaris;


125

4. Pengajuan permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar, dan

penyampaian pemberitahuan perubahan anggaran dasar serta perubahan

data PT;

5. Pendaftaran, perubahan, dan penghapusan Fidusia yang hanya dapat diakses

oleh notaris;

6. Pelaporan Wasiat yang hanya dapat diakses oleh notaris;

7. Pendaftaran untuk calon Notaris.

8. Pengaduan oleh masyarakat umum dan notaris.

Penerapan konsep cyber notary oleh Direktorat Jenderal AHU melalui sistem

online diatur dalam beberapa peraturan, yakni:

1. Mengenai pelayanan yang berhubungan dengan PT diatur dalam Peraturan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan

Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian

Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan

Terbatas;

2. Mengenai pelayanan yang berhubungan dengan Yayasan diatur dalam

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Yayasan;

3. Mengenai pelayanan yang berhubungan dengan Perkumpulan diatur dalam

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan;


126

4. Mengenai pelayanan yang berhubungan dengan Fidusia diatur dalam

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia

Secara Elektronik dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Administrasi

Hukum Umum Nomor AHU.OT.03.01-11 Tahun 2013 perihal Pendaftaran

dan Penghapusan Sertifikat Jaminan Fidusia;

5. Mengenai pelayanan yang berhubungan dengan pelaporan wasiat dan

pendaftaran calon notaris diatur dalam Perubahan UUJN;

6. Mengenai pengenaan jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak diatur

dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014

tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang

berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

7. Mengenai tata cara pengajuan dan pemakaian nama Perseroan diatur dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2011 Tentang

Tata Cara Pengajuan Dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas;

8. Mengenai pemakaian nama Yayasan diatur dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-

Undang tentang Yayasan, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2001 tentang Yayasan, serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

16 Tahun 2001 tentang Yayasan.


127

9. Mengenai pemakaian nama Perkumpulan diatur dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan.

Selain itu berdasarkan penjelasan dari Didik Taryadi, diketahui bahwa :131

1. Permohonan pendaftaran merek diajukan oleh pemohon atau kuasanya

kepada Menteri Hukum dan HAM secara elektronik atau non-elektronik.

Dimana standar prosedur dari pendaftaran merek melalui tahapan-tahapan

sebagai berikut :

a. Pertama, pemohon atau kuasanya diharuskan untuk mengisi formulir

permohonan merek dalam Bahasa Indonesia kepada Menteri Hukum

dan HAM. Formulir ini ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dan

dilampiri dengan: Label merek. Apabila merek berbentuk tiga dimensi,

maka label merek dilampirkan dalam bentuk karakteristik merek

tersebut. Sedangkan apabila merek tersebut berbentuk suara, maka label

merek dilampirkan dalam bentuk notasi dan rekaman suara. Bukti

pembayaran biaya. Surat pernyataan kepemilikan merek yang

dimohonkan pendaftarannya. Surat kuasa, apabila permohonan diajukan

melalui kuasa. Bukti prioritas dan terjemahannya dalam Bahasa

Indonesia, apabila pemohon menggunakan hak prioritas. Jika

permohonan diajukan oleh lebih dari satu pemohon yang secara

131
Hasil Wawancara T. Didik Taryadi, SH., Kepala Sub Dit. Pemeriksaan Merek pada Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Merek dan Indikasi Geografis, DJKI, pada tanggal
26 Februari 2021.
128

bersama-sama berhak atas merek tersebut, maka seluruh nama pemohon

dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat dari

pemohon. Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari

pemohon yang berhak atas merek tersebut dengan melampirkan

persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan. Perlu diingat

bahwa terdapat beberapa permohonan yang wajib diajukan oleh kuasa,

yaitu permohonan yang salah seorang atau lebih pemohonnya

merupakan WNA dan badan hukum asing yang berdomisili di luar

negeri; dan permohonan dan hal yang berkaitan dengan administrasi

merek yang diajukan oleh pemohon yang bertempat tinggal atau

berkedudukan tetap di luar wilayah NKRI.

b. Kedua, yaitu pengumuman permohonan pendaftaran merek.

Pengumuman ini dimuat dalam Berita Resmi Merek dan berlangsung

selama dua bulan. Dalam jangka waktu dua bulan ini, setiap pihak dapat

mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM

atas permohonan pendaftaran merek yang bersangkutan dengan dikenai

biaya. Keberatan ini dapat dilakukan jika terdapat alasan yang cukup

dan disertai bukti bahwa merek yang dimohonkan pendaftarannya

adalah merek yang tidak dapat didaftar atau ditolak. Keberatan tersebut

dapat disanggah oleh pemohon atau kuasanya dengan mengajukan

secara tertulis salinan keberatan kepada Menteri Hukum dan HAM

dalam jangka waktu paling lama dua bulan sejak tanggal pengiriman

salinan keberatan yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM.


129

c. Ketiga, yaitu penerbitan sertifikat merek. Apabila tidak terdapat

masalah dari permohonan pendaftaran merek yang diajukan dan lolos

pemeriksaan substantif, maka merek akan resmi terdaftar. Menteri

Hukum dan HAM akan menerbitkan sertifikat merek tersebut. Namun,

apabila pemeriksa memutuskan permohonan merek tidak dapat didaftar

atau ditolak, Menteri Hukum dan HAM memberitahukan kepada

pemohon atau kuasanya secara tertulis dengan menyebut alasannya.

Pemohon atau kuasanya dapat menyampaikan tanggapan secara tertulis

dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal

pengiriman surat pemberitahuan dari Menteri Hukum dan HAM

tersebut. Adapun Jika pemohon atau kuasanya tidak memberikan

tanggapan, maka Menteri Hukum dan HAM menolak permohonan

pendaftaran merek tersebut, Namun apabila pemohon atau kuasanya

menyampaikan tanggapan dan pemeriksa memutuskan tanggapan

tersebut dapat diterima, Menteri Hukum dan HAM kemudian

menerbitkan sertifikat merek tersebut. Apabila tanggapan dari pemohon

atau kuasanya tidak dapat diterima, maka Menteri Hukum dan HAM

menolak permohonan merek tersebut. Penolakan tersebut diberitahukan

secara tertulis kepada pemohon atau kuasanya dengan menyebutkan

alasannya.

2. Pada dasarnya pendaftaran merek yang berasal dari perusahaan asing diluar

negeri memiliki persamaan dengan pendaftaran merek lokal di Indonesia,


130

namun terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan

pendaftaran merek yang berasal dari perusahaan asing diluar negeri, yaitu :

a. Perlindungan hak atas merek adalah bersifat teritorial. Dengan

demikian, apabila terhadap merek tersebut ingin diberikan perlindungan

hukum di Indonesia sehingga tidak dapat digunakan oleh pihak-pihak

lain, maka merek tersebut harus didaftarkan di Direktorat Jenderal

Kekayaan Intelektual Indonesia (“Ditjen KI”). Pada dasarnya

pendaftaran merek memberikan perlindungan hukum bagi pemegang

hak atas merek. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang

menyatakan, “Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut

terdaftar.” Jadi walaupun merek yang dimiliki oleh perusahaan asing

tersebut telah terdaftar di negaranya, belum tentu merek tersebut telah

terdaftar di Indonesia.

b. Dalam perkembangannya, berdasarkan Regulasi Merek Internasional

(Madrid Protocol) dan Optimalisasi Perlindungan Merek Terdaftar

bagi Pelaku Usaha, diketahui bahwa Indonesia telah resmi menjadi

anggota Madrid Protocol yang ke 100, Madrid Protocol berlaku efektif

di Indonesia pada tanggal 2 Januari 2018. Madrid Protocol merupakan

suatu perjanjian internasional yang mengatur tentang sistem

administrasi pendaftaran merek secara internasional bagi para

anggotanya.
131

c. Dalam UU MIG, telah diatur juga mengenai permohonan pendaftaran

merek internasional dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Penting untuk

dibahas bahwa permohonan pendaftaran Merek internasional dapat

berupa Permohonan yang berasal dari Indonesia ditujukan ke biro

internasional melalui Menteri Hukum dan HAM (“Menteri”); atau

Permohonan yang ditujukan ke Indonesia sebagai salah satu negara

tujuan yang diterima oleh Menteri dari biro internasional. Sebagaimana

diamanatkan oleh Pasal 52 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, maka ketentuan lebih lanjut

mengenai Madrid Protocol diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Merek

Internasional Berdasarkan Protokol Terkait dengan Persetujuan Madrid

Mengenai Pendaftaran Merek Secara Internasional.

d. Dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2018 tentang Pendaftaran Merek Internasional Berdasarkan

Protokol Terkait dengan Persetujuan Madrid Mengenai Pendaftaran

Merek Secara Internasional, diatur sebagai berikut:

1) Menteri menerima Pendaftaran Internasional dari Biro

Internasional.

2) Setelah menerima Pendaftaran Internasional sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), Menteri melakukan pengumuman.


132

3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.

4) Terhadap Pendaftaran Internasional sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), Menteri menerima biaya Pendaftaran Internasional dari

Biro Internasional.

e. Selanjutnya setelah merek tersebut didaftarkan, akan dilakukan

pemeriksaan substantif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.Kemudian

Menteri menyampaikan hasil pemeriksaan substantif yang dapat berupa

didaftar atau ditolak kepada Biro Internasional dalam jangka waktu

paling lambat 18 bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan

Pendaftaran Internasional. Dalam hal hasil pemeriksaan substantif

Pendaftaran Internasional didaftar, Menteri:

1) menyampaikan pernyataan pemberian pelindungan kepada Biro

Internasional;

2) menerbitkan sertifikat Merek; dan

3) melakukan pengumuman di dalam Berita Resmi Merek.

Selain itu Didik Taryadi juga menjelaskan, perihal Pada dasarnya perseroan

terbatas atau perusahaan yang berasal dari luar negeri, dalam mendaftarkan merek

di Indonesia dapat menggunakan dokumen elektronik atau hasil print outnya,

dimana hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan karena berdasarkan Pasal 4

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis,


133

memungkinkan dilakukannya pendaftaran merek secara elektronik atau non-

elektronik, dimana melalui pendaftaran elektronik, tentunya dokumen yang

dijadikan sebagai syarat pendaftaran merek tentunya berbentuk dokumen

elektronik. Pada dasarnya dokumen apa saja yang dimaksud sebagai dokumen

elektronik tidak terdapat batasan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016

tentang Merek dan Indikasi Geografis, sehingga dokumen yang diperlukan

sebagai syarat pendaftaran merek, bisa di pergunakan, atau dibentuk dalam

dokumen elektronik, sepanjang dokumen tersebut dalam proses

penerbitannya adalah dokumen yang sah serta tidak melanggar ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.132 Didik Taryadi juga

menjelaskan bahwa Dasar hukum bagi perseroan terbatas atau perusahaan yang

berasal dari luar negeri dalam menggunakan dokumen elektronik dan atau hasil

print out nya dalam kaitannya dengan prosedur mendaftarkan merek di Indonesia,

adalah Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi

Geografis, memungkinkan dilakukannya pendaftaran merek secara elektronik

atau non-elektronik. Adapun terkait dokumen notaris dalam bentuk dokumen

elektronik dan atau hasil print out nya, Didik Taryadi menjelaskan bahwa dokumen

notaris dalam bentuk dokumen elektronik dan atau hasil print out nya, tidak dapat

dipergunakan sebagai dokumen atau persyaratan pendaftaran merek karena belum

adanya payung hukum yang mengatur, sedangkan larangan akta notaris dibuat

dalam bentuk dokumen elektronik masih dilarang dalam ketentuan Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang

132
Ibid.
134

telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, kemudian akta notaris yang diperbolehkan

digunakan dalam bentuk dokumen elektronik atau hasil print outnya hanya dapat

dipergunakan dalam hal kewenangan notaris dalam mensertifikasi transaksi yang

dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek

pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.133

Selain itu dalam faktanya di lapangan, diketahui terdapat beberapa fakta di

persidangan dimana penggunaan akta notaris atau akta otentik di akui

keabsahannya, dimana contoh perkaranya dapat dilihat dalam beberapa perkara

Putusan Pengadilan sebagai berikut :

1. Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017

terdapat akta notaris dalam bentuk hasil cetak dari dokumen elektronik

yang dijadikan sebagal alat bukti dalam perkara Hak Cipta dan diakui

sebagai alat bukti yang sah. dalam perkara Putusan Mahkamah Agung

Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017, mengabulkan dan memenangkan pihak

Electrosteel Casting Limited dan mengakui alat bukti berupa dokumen

elektronik, baik yang berupa surat maupun akta dan hasil cetaknya sebagai

alat bukti yang sah, sebagaimana pertimbangan majelis hakim yang

menyatakan, “Bahwa adalah fakta berdasarkan Akta Pendirian Electrosteel

Castings limited Nomor RD/T/240/65 tanggal 23 Agustus 1965,

133
Ibid.
135

“Electrosteel Castings limited” adalah nama badan hukum milik Pemohon

Kasasi/penggugat sejak tahun 1965, meskipun dokumen tersebut belum

belum dilegalisir oleh Notaris Publik dan disahkan oleh Konsul Jenderal

Rl.

2. Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 752 K/Pdt.Sus-

HKI/2016. Pada perkara ini diketahui terdapat pihak yang berperkara yaitu

S & W HANDSBAG LIMITED, dimana dalam perkara ini S&W Handsbag

Limited mengajukan salah satu bukti yaitu hasil print out Akta Notaris

Hongkong (akta autentik) PAT BOBBY YING HO, tertanggal 25 Juni

2015 hal mana Akta Notaris tersebut telah melegalisasi, membenarkan dan

menyesuaikan fotocopy sertifikat atas merek RABEANCO pada kelas 18

maupun kelas 25 atas nama S & W HANDBAGS dengan sertifikat asli

merek RABEANCO.

3. Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 444 K/Pdt.Sus-

HKI/2016. Pada perkara ini diketahui terdapat pihak yang berperkara yaitu

Wahl Clipper Corporation, dimana dalam perkara ini Wahl Clipper

Corporation mengajukan salah satu bukti yaitu hasil print out Akta Nomor

527562 Notary Public di Illinois, Amerika Serikat atas Sertifikat Merek

Wahl Nomor IDM000208858 dan IDM000208859 atas nama badan hukum

Wahl Clipper Corporation.

4. Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 555 K/Pdt.Sus-

HKI/2015, dimana pihak Toyama Do Brasil Maquinas LTDA, mengajukan

alat bukti berupa hasil print out atas pendaftaran merek Toyama Tergugat
136

I Nomor IDM000277755 yang telah dilegalisir/disahkan oleh Notary

Public di Brasil, Kementerian Luar Negeri Brasil, dan Kedutaan Besar

Republik Indonesia di Brasil.

Pada contoh-contoh perkara tersebut dapat dilihat adanya keberadaan Akta

Dalam Bentuk Dokumen Elektronik sebagai pengganti Akta Notaris sebagai alat

pembuktian di pengadilan, dimana dalam beberapa contoh perkara tersebut di atas,

dapat dilihat adanya kesamaan bahwa penggunaan akta dalam bentuk dokumen

elektronik atau hasil print out-nya dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan dan

notaris yang berasal dari luar negeri untuk diajukan sebagai bukti pada pengadilan

di Indonesia, pada perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-

HKI/2017, Putusan Mahkamah Agung Nomor 752 K/Pdt.Sus-HKI /2016, Putusan

Mahkamah Agung Nomor 444 K/Pdt.Sus-HKI/2016, dan Putusan Mahkamah

Agung Nomor 555 K/Pdt.Sus-HKI/2015.

B. Contoh Kasus Putusan Mahkamah Agung Yang Menggunakan Akta

Dalam Bentuk Dokumen Elektronik

Pada uraian sebelumnya dapat dilihat adanya eksistensi dari Akta dalam bentuk

dokumen Elektronik sebagai pengganti Akta Notaris sebagai alat pembuktian di

pengadilan, dimana contoh nyata adanya eksistensi dari Akta Dalam Bentuk

Dokumen Elektronik sebagai pengganti Akta Notaris sebagai alat pembuktian di

pengadilan, dapat dilihat adanya kesamaan bahwa penggunaan akta dalam bentuk

dokumen elektronik atau hasil print out-nya dipergunakan oleh perusahaan-

perusahaan dan notaris yang berasal dari luar negeri untuk diajukan sebagai bukti

pada pengadilan di Indonesia, pada perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor


137

1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017, Putusan Mahkamah Agung Nomor 752 K/Pdt.Sus-HKI

/2016, Putusan Mahkamah Agung Nomor 444 K/Pdt.Sus-HKI/2016, dan Putusan

Mahkamah Agung Nomor 555 K/Pdt.Sus-HKI/2015. Adapun uraian perkara-

perkara tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

1. Putusan Nomor 444 K/Pdt.Sus-HKI/2016

a. Para Pihak

Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 444 K/Pdt.Sus-

HKI/2016. diketahui pihak yang berperkara adalah Wahl Clipper

Corporation, yaitu perusahaan yang didirikan pada negara Bagian Illinois,

Amerika Serikat, melawan pihak Harry Sudjono selaku pemegang merek

Wahl Erope Nomor Daftar IDM000361726 tanggal 18 Juli 2012, merek

Wahl Erope Nomor Daftar IDM000389890 tanggal 19 Juni 2013, merek

Wahl Ionic Nomor Daftar IDM000293430 tanggal 14 Februari 2011,

Merek Wahl By Sunshine Nomor Agenda D00-2007-035274 tanggal 29

Oktober 2007, merek Wahl Europe Nomor Agenda D00-2010-041985

tanggal 22 November 2010 dan merek Wahl Europe Nomor Daftar

IDM000249379 tanggal 31 Mei 2010, dan Direktorat Merek pada

Direktorat Jenderal Hak Cipta pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia.

b. Penyebab Adanya Sengketa

Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 444 K/Pdt.Sus-

HKI/2016, yang menjadi penyebab terjadinya sengketa adalah perbuatan


138

hukum dari Harry Sudjono yang mendaftarkan merek Wahl Erope Nomor

Daftar IDM000389890 tanggal 19 Juni 2013, merek Wahl Ionic Nomor

Daftar IDM000293430 tanggal 14 Februari 2011, Merek Wahl By

Sunshine Nomor Agenda D00-2007-035274 tanggal 29 Oktober 2007,

merek Wahl Europe Nomor Agenda D00-2010-041985 tanggal 22

November 2010 dan merek Wahl Europe Nomor Daftar IDM000249379

tanggal 31 Mei 2010.

Selain itu pihak Wahl Clipper Corporation mendalilkan bahwa Wahl

bukan kata biasa, melainkan nama keluarga dari Leo J. Wahl, pendiri Wahl

Clipper Corporation, seorang mahasiswa Fakultas Teknik Universitas

Illinois, yang berhasil merancang suatu penemuan inovatif untuk

pamannya J. Frank Wahl, yang di masa itu memproduksi alat pemijat. Leo

J. Wahl melanjutkan usaha pamannya dimana ia mulai bereksperimen

menciptakan alat pemangkas rambut listrik. Pada tahun 1920,

perusahaannya telah menjual ribuan alat pemangkas rambut untuk salon-

salon yang tersebar di seluruh Amerika Serikat. Leo J. Wahl meninggal

pada tahun 1957 dan ia telah mengajukan lebih dari 100 paten terkait

invensi pemangkas rambutnya tersebut.

Kemudian pihak Wahl Clipper Corporation juga mendalilkan Wahl

Clipper Corporation sudah berusia 94 tahun dan dibawahi oleh Gregory S.

Wahl sebagai presiden dan CEO melanjutkan sukses ayahnya, John F.

(Jack) Wahl. Wahl Clipper Corporation adalah pemimpin industri produk-

produk peralatan kecantikan internasional yang mempekerjakan lebih dari


139

2000 karyawan yang tersebar luas di Argentina, Australia, Brasil, Kanada,

China, Inggris, Jerman, Belanda, Hongaria, Jepang, Rusia, Afrika Selatan,

Spanyol, dan Amerika Serikat. Produk-produk Wahl dijual di tidak kurang

dari 165 negara di dunia, serta semua informasi mengenai Penggugat dan

merek Wahl dapat diakses melalui situs resmi Penggugat yaitu

http://wahl.com/.

Lebih lanjut Wahl Clipper Corporation juga mendalilkan dalam

perjalanan bisnisnya, Wahl Clipper Corporation telah menghabiskan

banyak biaya untuk melakukan investasi dan promosi guna memasarkan

produk-produknya dan mendaftarkan merek dagangnya di seluruh dunia

termasuk di Indonesia.

Untuk membuktikan dalilnya, pihak Wahl Clipper Corporation

menyertakan beberapa alat bukti diantaranya adalah :

1) Sertifikat Merek Wahl Nomor IDM000208858 dan

IDM000208859 di Indonesia atas nama Wahl Clipper Corporation

(fotokopi dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh Direktorat

Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia).

2) Hasil print out Akta Nomor 527562 Notary Public di Illinois,

Amerika Serikat atas Sertifikat Merek Wahl Nomor

IDM000208858 dan IDM000208859 atas nama badan hukum

Wahl Clipper Corporation.


140

3) Kompilasi sertifikat-sertifikat pendaftaran merek Wahl di luar

Indonesia yang telah dijilid menjadi satu dan diberi daftar indeks

sebagai bagian yang tidak terpisahkan (fotokopi dilegalisir oleh

Notary Public Negara Bagian Illinois, Sekretaris Negara Bagian

Illinois, Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Chicago,

Amerika Serikat) berikut terjemahannya oleh penerjemah

tersumpah.

4) Fotokopi surat-surat Direktorat Jenderal Hak Kekayaan

Intelektual yang telah dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang terdaftar

atas nama Harry Sudjono.

5) Fotokopi sertifikat-sertifikat merek terkait Wahl atas nama Harry

Sudjono yang telah dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

6) Perjanjian distributor antara Wahl Clipper Corporation dan Harry

Sudjono dan terminasinya (foto copy dilegalisir Notary Public

Negara Bagian Illinois, Amerika Serikat) berikut terjemahannya

oleh penerjemah tersumpah.


141

7) Certificate of Good Standing Wahl Clipper Corporation yang

diterbitkan oleh Sekretaris Negara Bagian Illinois, Amerika

Serikat berikut terjemahannya oleh penerjemah tersumpah.

8) Hasil Print-out situs resmi http://wahl.com/ dan

http://wahl.com/about berikut terjemahannya oleh penerjemah

tersumpah.

9) Print-out database Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

mengenai permintaan pendaftaran merek Wahl By Sunshine

Nomor Agenda D00-2007-035724 dan Wahl Europe Nomor

Agenda D00-2010-041985 atas nama Harry Sudjono.

10) Foto copy putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

untuk kasus Nike, Yamaha, Arcoroc, Giordano, Davidoff,

McCulloh

Lebih lanjut pihak Wahl Clipper Corporation menjelaskan bahwa

Harry Sudjono merupakan pihak yang terikat dengan pihak Wahl Clipper

Corporation sebagai pihak distributor dari Wahl Clipper Corporation, yang

didasari dari adanya Distributor Agreement tersebut telah diakhiri pada

tanggal 12 Juli 2007 atau setidak-tidaknya tidak diperpanjang lagi

berdasarkan Pasal 1 Angka 10 alinea kesatu Distributor Agreement dalam

huruf k Distributor Agreement tertulis kewajiban Tergugat sebagai berikut:

"Distributor shall acknowledge at all times Company's exclusive right,

title, and interest in and to its patents and trademarks and shall not at any
142

time do or cause to he done any act contesting or impairing any part of

such right, title, and interest. Distributor shall not represent that it has any

ownership interest in company's trademarks or registrations thereof.

Distributor shall, in every reference to the trademarks in advertising or

elsewhere, cleary indicate company's ownership of the trademarks."

("Distributor setiap waktu mengakui hak eksklusif, hak hukum, dan

kepentingan hukum perusahaan atas paten-paten dan merek-merek

dagangnya dan kapan pun tidak boleh melakukan atau mengusahakan

untuk dilakukan suatu tindakan yang menentang atau mengganggu bagian

dari hak, hak hukum, dan kepentingan hukum tersebut. Distributor tidak

boleh menyatakan bahwa ia mempunyai kepentingan kepemilikan atas

merek-merek dagang perusahaan atau pendaftaran-pendaftarannya.

Distributor, dalam setiap referensi terhadap merek-merek dagang dalam

pemasangan iklan atau di mana pun, harus dengan jelas menunjukkan

kepemilikan perusahaan atas merek-merek dagang itu.

Sehingga pihak Wahl Clipper Corporation sangat berkeberatan

terhadap pendaftaran merek-merek dagang Harry Sudjono pada penjelasan

sebelumnya, karena semuanya mengandung kata Wahl sebagai unsur yang

menonjol (essential part) sehingga menyerupai nama badan hukum Wahl

Clipper Corporation dan didasarkan atas iktikad tidak baik, yaitu meniru

dan/atau membonceng merek Wahl Clipper Corporation yang merupakan

pihak yang pernah bekerjasama dengan Wahl Clipper Corporation

sehingga patut diduga melanggar ketentuan tentang pendaftaran merek


143

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (3) huruf a Undang

Undang Nomor 15 Tahun 2001.

c. Hasil Putusan Hakim

Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 444 K/Pdt.Sus-

HKI/ 2016, majelis hakim agung yang memeriksa perkara ini memutus

perkara dengan menyatakan menolak permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi Wahl Clipper Corporation, tersebut.

Adapun dalam pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat

sebelumnya, yaitu pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

57/Pdt.Sus- Merek/2015/PN Niaga Jkt. Pst., memutus perkara dengan

menyatakan Menolak gugatan Wahl Clipper Corporation untuk

seluruhnya.

2. Putusan Nomor 555 K/Pdt.Sus-HKI/2015

a. Para Pihak

Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 555 K/Pdt.Sus-

HKI/2015, para pihak yang berperkara dalam putusan tersebut adalah,

pihak Toyama Do Brasil Maquinas LTDA yang merupakan perseroan yang

didirikan di Rodovia Brazil, melawan pihak Chua Jacob Soeteja, dan

Direktorat Merek pada Direktorat Jenderal Hak Cipta pada Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia.

b. Penyebab Adanya Sengketa


144

Penyebab awal terjadinya sengketa pada perkara Putusan Mahkamah

Agung Nomor 555 K/Pdt.Sus-HKI/2015, adalah karena adanya perbuatan

hukum pihak Chua Jacob Soeteja yang mendaftarkan merek Toyama telah

didaftarkan atas nama Chua Jacob Soeteja pada tanggal 27 Oktober 2010

dengan Nomor IDM000277755 untuk jenis barang: “Blender, mixer, mesin

cuci, mesin kompresor, mesin pemotong, mesin gerinda, mesin bubut, alat-

alat besar untuk pertanian, alat pengeram, mesin-mesin industri, mesin

pembangkit tenaga listrik atau unit tenaga listrik, mesin-mesin yang

digerakkan angin atau secara hidrolis, suku cadang dan aksesoris mesin-

mesin, elemen-elemen mekanis, kompresor udara berputar, kompresor

udara sekrup, penggulung selang, las listrik, mesin konstruksi, alat

pemecah batu atau beton, mesin perbakan atau konstruksi jalan (termasuk

angin guling jalan dan plat alat pelantuk), alat pengganti dan

perlengkapannya generator pembangkit arus listrik, mesin pendingin,

pompa yaitu: pompa angin, pompa vacuum, pompa air, pompa sekrup dan

pompa-pompa yang digerakkan secara hidrolis, mesin uap, motor yang

digerakkan angin (termasuk motor-motor yang digerakkan angin dari jenis

sekrup), mesin pembuat salju, mesin-mesin perkakas, motor-motor bukan

untuk kendaraan, kopling-kopling untuk mesin, mesin jahit, pompa air

listrik, lift, forklift, mesin pemotong rumput, mesin penghancur keras,

mesin penjilid buku, mesin pengaduk semen, mesin penggiling padi, mesin

pembuat sepatu, mesin pemoles ubin, mesin penggerak motor dengan

menggunakan bahan bakar, mesin pemadat tanah.


145

Kemudian pihak Toyama Do Brasil Maquinas LTDA mendalilkan

bahwa pendaftaran merek Toyama yang dilakukan oleh Chua Jacob Soeteja

dengan Nomor IDM000277755 tersebut mempunyai persamaan pada

pokoknya dalam hal susunan huruf-huruf dan bunyi ucapan dengan merek

Toyama Penggugat untuk barang sejenis.

Lebih lanjut, pihak Toyama Do Brasil Maquinas LTDA mendalilkan

bahwa sebagai pengusaha yang bergerak dalam bidang usaha yang sama

dengan Toyama Do Brasil Maquinas LTDA dan keterbukaan informasi

melalui teknologi internet, Chua Jacob Soeteja berdasarkan alat bukti

persangkaan dianggap telah mengetahui keberadaan merek Toyama milik

Toyama Do Brasil Maquinas LTDA sebelum mengajukan permintaan

pendaftaran merek yang beriktikad baik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 dan penjelasannya dari Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001.

Untuk membuktikan dalilnya, pihak Toyama Do Brasil Maquinas

LTDA menyertakan beberapa alat bukti diantaranya adalah :

1. Sertifikat-sertifikat Pendaftaran Merek Toyama Pemohon Kasasi di

Berbagai Negara berikut terjemahan resminya dalam bahasa

Indonesia, yang telah dilegalisir oleh dilegalisir/disahkan oleh

Notary Public di Brasil, Kementerian Luar Negeri Brasil, dan

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brasil, yang diterbitkan oleh

37 (tiga puluh tujuh) negara, yaitu: Brasil, U.S.A, Uni Eropa

(Austria, Belanda, Belgia, Bulgaria, Britania Raya, Denmark,

Estonia, Finlandia, Hongaria, Irlandia, Italia, Jerman, Kroasia,


146

Latvia, Lituania, Luksemburg, Malta, Prancis, Polandia, Portugal,

Republik Ceko, Rumania, Siprus, Slovenia, Slowakia, Spanyol,

Swedia, Yunani), U.A.E., Korea Selatan, Singapura, Mexico,

Colombia, Afrika Selatan, dan China.

2. Hasil print out atas pendaftaran merek Toyama atas nama Toyama

Do Brasil Maquinas LTDA yang telah dilegalisir/disahkan oleh

Notary Public di Brasil, Kementerian Luar Negeri Brasil, dan

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brasil.

3. Hasil Print Out website resmi Toyama Do Brasil Maquinas LTDA

www.toyama.com.br untuk negara Brasil, www.toyama.ci untuk

negara Chili, www.toyama.com.ve untuk negara Venezuela, dan

www.toyama.com.co untuk negara Colombia.

c. Hasil Putusan Hakim

Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 555 K/Pdt.Sus-

HKI/2015, majelis hakim agung yang memeriksa perkara ini memutus

perkara dengan menyatakan menolak permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi Toyama Do Brasil Maquinas LTDA, tersebut.

Adapun dalam pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat

sebelumnya, yaitu pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

03/Pdt.Sus.Merek/ 2015/PN Niaga Jkt. Pst., memutus perkara dengan

menyatakan Menolak gugatan Toyama Do Brasil Maquinas LTDA untuk

seluruhnya.
147

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017

a. Para Pihak

Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-

HKI/ 2017, para pihak yang berperkara dalam putusan tersebut adalah,

Electrosteel Casting Limited, yaitu perusahaan yang memiliki hak atas

merek ELECTROSTEEL + LOGO yang telah terdaftar di beberapa negara

di dunia seiak tahun 2003 yaitu antara lain di negara: India,

Spanyol.lnggris, Amerika Serikat dan Prancis. Dalam perkara ini

Electrosteel Casting Limited melawan pihak Budiman Sugiarto, yang

merupakan pemegang Hak Merek atas Electrosteel Casting Limited,

dengan daftar Nomor IDM000198740, dan Direktorat Merek pada

Direktorat Jenderal Hak Cipta pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia.

b. Penyebab Adanya Sengekta

Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-

HKI/ 2017, yang menjadi penyebab terjadinya sengketa adalah karena

pihak Budiman Sugiarto, mendaftarkan Hak Merek atas Electrosteel

Casting Limited, dengan daftar Nomor IDM000198740, dimana hal

tersebut menjadi pemicu dari Electrosteel Casting Limited menggugat

Budiman Sugiarto dan Direktorat Merek pada Direktorat Jenderal Hak

Cipta pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, karena Merek
148

nomor IDM000198740 yang telah didaftarkan oleh Budiman Sugiarto

adalah nama badan hukum Electrosteel Casting Limited yang telah berdiri

sejak tahun 1965 dan telah terdaftar secara resmi sebagai nama badan

hukum milik Electrosteel Casting Limited di negara India.

Adapun data-data pendaftaran merek milik Electrosteel Casting

Limited adalah sebagai berikut:

1) Pendaftaran di Negara India Merek ELECTROSTEEL+LOGO

Reg. Nomor 1658695 kelas 06 terdaftar sejak 27/02/2008, dan

Pendaftaran Logo ELECTROSTEEL Reg. Nomor 1658697 kelas

6 terdaftar sejak 27/02/2008.

2) Pendaftaran di Negara Soanvol Merek ELECTROSTEEL +

LOGO Reg. Nomor 2533928 kelas 06,35 dan 38 terdaftar sejak

01/04/2003.

3) Pendaftaran di Negara Inggris Merek ELECTROSTEEL +

LOGO Reg. Nomor UK00003018096 kelas 06 terdaftar sejak

15/11/2011.

4) Pendaftaran di Negara Amerika Serikat Logo ELECTROSTEEL

Reg. Nomor 3.560.882 kelas 06 dan 17 terdaftar sejak

13/01/2009.

5) Pendaftaran di Negara Prancis Merek ELECTROSTEEL +

LOGO Reg. Nomor 033202518 kelas 06,11 dan 42 terdaftar sejak

03/01/2003.
149

Selain itu pihak Electrosteel Casting Limited juga mendalilkan bahwa

Pendaftaran Merek Milik Budiman Sugiarto Telah diajukan Dengan

Iktikad Tidak Baik (Pasal Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang

Merek). Pendaftaran Merek nomor IDM000198740 atas nama Budiman

Sugiarto telah diajukan dengan iktikad tidak baik (itikad buruk). Budiman

Sugiarto secara diam-diam, tanpa hak dan tanpa ijin dari Electrosteel

Casting Limited telah mengajukan permohonan pendaftaran Merek kepada

Direktorat Jenderal Merek pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia, pada tanggal 20/07/2007 dan terdaftar pada tanggal 17/03/2009

di kelas 06 untuk jenis barang meliputi ”Pipa-pipa logam, pipa air dari

logam, pipa”, padahal Budiman Sugiarto telah sangat mengetahui dengan

baik bahwa Merek tersebut adalah milik Electrosteel Casting Limited dan

sekaligus juga merupakan nama badan hukum Electrosteel Casting Limited

telah terdaftar di luar negeri sejak tahun 2003 atas nama Electrosteel

Casting Limited.

Dalam perkara ini Electrosteel Casting Limited mengajukan

serangkaian bukti berdasarkan klaimnya berupa :

1) Akta Pendirian Electrosteel Castings limited Nomor

RD/T/240/65 tanggal 23 Agustus 1965 dalam bentuk Dokumen

Elektronik serta hasil Print Out-nya.

2) Print Out website youtube https://www.you

tube.com/watch?v=OUh7 UTUZIXc Mengenai film “Modern

Times” yang baru dipublikasikan pada tanggal 21 Juli 2015.


150

3) Bukti Pendaftaran merek Electrosteel dengan Logo dl India

dengan Reg. Nomor 1658695 dan Nomor 1658697 atas nama

Penggugat (Electrosteel Casting Limited) dalam bentuk

Dokumen Elektronik serta hasil Print Out-nya.

4) Bukti Pendaftaran merek Electrosteel di Perancis dengan nama

merek Electrosteel Europe SA dengan nomor register 033202518

dalam bentuk Dokumen Elektronik serta hasil Print Out-nya.

5) Bukti Pendaftaran merek Electrosteel di Spanyol dengan nama

merek Electrosteel Europe SA dengan nomor Reg. 2533928

dalam bentuk Dokumen Elektronik serta hasil Print Out-nya.

6) Bukti Pendaftaran merek Electrosteel di Amerika Serikat dengan

nama merek E dengan Nomor Reg.3.560.882 atas nama

Electrosteel USA LLC dalam bentuk Dokumen Elektronik serta

hasil Print Out-nya.

7) Bukti Pendaftaran merek Electrosteel di United Kingdom

(Inggris) dengan nama merek E Electrosteel dengan Nomor Reg

Nomor UK00003018096 tanggal 15 November 2013 atas nama

Electrosteel Casting (UK) Ltd. dalam bentuk Dokumen

Elektronik serta hasil Print Out-nya.

c. Hasil Putusan Hakim

Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 752 K/Pdt.Sus-

HKI/ 2016, majelis hakim memutus perkara dengan menyatakan bahwa


151

mengubah amar putusan dengan menyatakan membatalkan Putusan

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

59/Pdt.Sus-Merek/2016/PN Niaga Jkt.Pst. tanggal 29 Maret 2017, serta

mengabulkan gugatan pihak Electrosteel casting limited dan menyatakan

merek Electrosteel casting limited atas nama Electrosteel casting limited

adalah merek terkenal, dan menyatakan pihak Electrosteel casting limited

sebagai pemilik pertama dan satu-satunya merek terkenal Electrosteel dan

variannya menurut hukum.

Diketahui pula, pada perkara Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017,

pihak Electrosteel Casting Limited belum melegalisir dokumen-dokumen

yang dipergunakan dalam berperkara, belum dilegalisir oleh Notaris Publik

dan disahkan oleh Konsul Jenderal Rl, namun Majelis Hakim dalam

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017

mengabulkan dan memenangkan pihak Electrosteel Casting Limited dan

mengakui alat bukti berupa dokumen elektronik baik yang berupa surat

maupun akta dan hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah, sebagaimana

pertimbangan majelis hakim yang menyatakan, “Bahwa adalah fakta

berdasarkan Akta Pendirian Electrosteel Castings limited Nomor

RD/T/240/65 tanggal 23 Agustus 1965, “Electrosteel Castings limited”

adalah nama badan hukum milik Pemohon Kasasi/penggugat sejak tahun

1965 (P-1a, P-1b dan P-2a, P-2b sehingga pendaftaran merek yang

menggunakan nama badan hukum yang dimiliki orang lain Electrosteel

casting limited tanpa persetujuan Electrosteel casting limited adalah


152

bertentangan dengan Pasal 6 ayat (3) a Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 tentang Merek. Bahwa adalah fakta merek Electrosteel casting

limited telah didaftarkan di India pada tanggal 27 Februari 2008 serta di

Perancis tanggal 3 Januari 2003 dan di spanyol tanggal 8 April 2013 oleh

anak perusahaan Electrosteel casting limited didaftarkan di Amerika

Serikat oleh anak perusahaan Electrosteel casting limited tanggal 13

Januari 2009, serta di United Kingdom tanggal 15 November 2013.

Sedangkan Budiman Sugiarto mengajukan permohonan pendaftaran merek

“Electrosteel Casting Limited Loge E”tanggal 20 Juli 2007 dan baru

terdaftar tanggal 17 Maret 2009, sehingga lebih dahulu didaftarkan oleh

Electrosteel casting limited baik di India maupun di Perancis”, sehingga

dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-

HKI/2017, diketahui majelis hakim dalam perkara ini mengakui keabsahan

Surat dan Akta Notaris yang dibuat diluar negeri dalam bentuk Dokumen

Elektronik dan hasil cetaknya, meskipun dokumen tersebut belum belum

dilegalisir oleh Notaris Publik dan disahkan oleh Konsul Jenderal Rl.

Adapun pada peradilan tingkat sebelumnya, yaitu pada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat Nomor 59/Pdt.Sus/Merek /2016/PN Niaga.Jkt.Pst.,

majelis hakim menyatakan menolak gugatan Electrosteel casting limited

untuk seluruhnya.

4. Putusan Nomor 752 K/Pdt.Sus-HKI /2016


153

a. Para Pihak

Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 752 K/Pdt.Sus-

HKI/ 2016, para pihak yang berperkara dalam putusan tersebut adalah, S

& W Handsbag Limited yang merupakan perseroan yang didirikan di

Hongkong dan beralamat di 37/F, Saxon Tower, 7 Cheung Shun Street, Lai

Chi Kok, Kowloon, Hong Kong, melawan pihak Lie Siu Jin, dan Direktorat

Merek pada Direktorat Jenderal Hak Cipta pada Kementerian Hukum dan

Hak Asasi Manusia.

b. Penyebab Adanya Sengketa

Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 752 K/Pdt.Sus-

HKI/ 2016, penyebab adanya sengketa pada perkara ini adalah, karena

adanya pendaftaran merek Rabeanco,pada Direktorat Jenderal HAKI di

Indonesia, dengan Nomor Pendaftaran IDM000113997 tanggal 21 Maret

2007, yang dilakukan oleh Lie Siu Jin, dimana pendaftaran tersebut

diketahui pihak S & W HANDBAGS, yang kemudian menggugat pihak

Lie Siu Jin atas merek Rabeanco yang didaftarkan oleh Lie Siu Jin pada

Direktorat Jenderal HAKI pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia.

Adapun penyebab pihak S & W HANDBAGS menggugat Lie Siu Jin

dikarenakan pihak S & W Handbags mengklaim bahwa merek Rabeanco

telah mereka pergunakan diluar Indonesia (luar negeri), dimana hal

tersebut dibuktikan dengan serangkaian bukti berupa Akta Notaris


154

Hongkong (akta autentik) PAT BOBBY YING HO, tertanggal 25 Juni

2015 hal mana Akta Notaris tersebut telah melegalisasi, membenarkan dan

menyesuaikan fotocopy sertifikat atas merek RABEANCO pada kelas 18

maupun kelas 25 atas nama S & W HANDBAGS dengan sertifikat asli

merek RABEANCO, Translate atas Print-out dari website resmi

Pemerintahan Hongkong https:// www. icris.cr.gov.hklcscilcns_ basic_

comp.do Daftar Perusahaan S & W Handbags Limited Nomor 0854973,

Translate atas Print-out dari website resmi Pemerintahan Hongkong https://

www.icris.cr.gov.hklcscilcn s_basic_ comp.do Daftar Perusahaan S & W

Handbags Limited Nomor 0854973, Print-out dari website resmi

Pemerintahan Hongkong https://www.icris. cr.gov. hklcsci/cns_

basic_comp.do Daftar Perusahaan S & W Corporation Limited Nomor

1119770, Translate dari print-out dari website resmi Pemerintahan

Hongkong https:// www.icris.cr.gov.hk/csci/cns_basic_comp.do Daftar

Perusahaan S & W Corporation Limited Nomor 1119770, dan Sertifikat

Pendaftaran Merek RABEANCO milik S & W HANDBAGS yang berasal

dari Negara Hongkong pada tanggal 11 Februari 2004.

Diketahui pula dalam perkara ini Dalam perkara ini pihak S & W

Handsbag Limited mengajukan serangkaian bukti terkait dokumen

elektronik berupa :

1) Print-out Akta Notaris Hongkong (akta autentik) PAT BOBBY

YING HO, tertanggal 25 Juni 2015 hal mana Akta Notaris

tersebut telah melegalisasi, membenarkan dan menyesuaikan


155

fotocopy sertifikat atas merek RABEANCO pada kelas 18

maupun kelas 25 atas nama S & W HANDBAGS dengan

sertifikat asli merek RABEANCO tersebut.

2) Print-out dari website resmi Pemerintahan Hongkong

https://www. icris.cr.gov.hk/csci/cns_basic_comp.do Daftar

Perusahaan S & W Handbags Limited Nomor 0854973.

3) Translate atas Print-out dari website resmi Pemerintahan

Hongkong https:// www. icris.cr. gov.hklcscilcns_

basic_comp.do Daftar Perusahaan S & W Handbags Limited

Nomor 0854973.

4) Print-out dari website resmi Pemerintahan Hongkong

https://www. icris. cr.gov. hklcsci/ cns_basic_ comp.do Daftar

Perusahaan S & W Corporation Limited Nomor 1119770.

5) Translate dari print-out dari website resmi Pemerintahan

Hongkong https:// www.icris.cr. gov.hk/ csci/cns_

basic_comp.do Daftar Perusahaan S & W Corporation Limited

Nomor 1119770.

6) Sertifikat Pendaftaran Merek RABEANCO milik S & W

HANDBAGS yang berasal dari Negara Hongkong pada tanggal

11 Februari 2004

c. Hasil Putusan Hakim


156

Dalam perkara ini majelis hakim agung pada tingkat kasasi

menyatakan, menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: S & W

HANDSBAG LIMITED tersebut, dengan pertimbangan Pengadilan Niaga

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum,

dengan pertimbangan bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh Terlawan

hanya berupa fotocopy, sebagian ada asli tetapi tidak disertai dengan

otentifikasi dari Konsulat Jenderal RI di Hong Kong. Adapun pada

peradilan tingkat sebelumnya, yaitu pada Putusan Nomor 26/Pdt.Sus-

Plw.Merek/2015/PN Niaga Jkt. Pst., majelis hakim yang memeriksa

perkara memutus perkara dengan menyatakan perlawanan terhadap

Putusan Verstek Nomor 26/Pdt.Sus.Merek/2015/PN Niaga Jkt. Pst.,

tanggal 5 Agustus 2015 tersebut tepat dan beralasan, serta Menyatakan oleh

karena itu Pelawan semula Tergugat adalah Pelawan yang benar,

Membatalkan Putusan Verstek Nomor 26/Pdt.Sus.Merek/2015/PN Niaga

Jkt. Pst., tanggal 5 Agustus 2015, Menolak gugatan Terlawan semula

Penggugat, dan Menghukum Terlawan semula Penggugat untuk membayar

biaya perkara sejumlah Rp516.000,- (lima ratus enam belas ribu rupiah).

Pada uraian contoh-contoh perkara tersebut di atas dapat dilihat adanya

kesamaan bahwa keberadaan Akta Dalam Bentuk Dokumen Elektronik sebagai

pengganti Akta Notaris sebagai alat pembuktian di pengadilan, dimana dalam

beberapa contoh perkara tersebut di atas, dapat dilihat adanya kesamaan bahwa

penggunaan akta dalam bentuk dokumen elektronik atau hasil print out-nya

dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan dan notaris yang berasal dari luar negeri
157

untuk diajukan sebagai bukti pada pengadilan di Indonesia, pada perkara Putusan

Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017, Putusan Mahkamah Agung

Nomor 752 K/Pdt.Sus-HKI /2016, Putusan Mahkamah Agung Nomor 444

K/Pdt.Sus-HKI/2016, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 555 K/Pdt.Sus-

HKI/2015.

BAB IV

KEPASTIAN HUKUM TERHADAP AKTA DALAM BENTUK

DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI AKTA AUTENTIK

BERDASARKAN KONSEP CYBER NOTARY TERKAIT

DENGAN KEKUATAN PEMBUKTIAN

DI PENGADILAN

A. Akta Dalam Bentuk Dokumen Elektronik Sebagai Pengganti Akta Notaris

Berdasarkan Konsep Cyber Notary Dalam Kekuatan Pembuktian Di

Pengadilan

Kemajuan teknologi informasi membawa dampak positif bagi peningkatan

perekonomian suatu bangsa. Transaksi elektronik adalah salah satu bukti dari

kemajuan teknologi informasi yang sangat dirasakan oleh masyarakat. Peran notaris

di tuntut untuk bisa turut serta dalam perkembangan teknologi dan informasi ter

sebut, karena di dalam suatu transaksi elektronik tersebut sangat dimungkinkan

adanya campur tangan notaris sebagai pihak ketiga yang dipercaya layaknya peran
158

notaris dalam transaksi konvensional. Sangat tidak tepat apabila notaris masih

menggunakan cara konvensional di era tekonologi dan informasi dimana hampir

seluruh pelayanan jasa di lakukan dengan memanfaatkan bidang transaksi

elektronik, hal ini disebabkan karena kecepatan, ketepatan waktu dan efesiensi

sangatlah dibutuhkan oleh para pihak.

Dalam hukum perdata akta notaris yang merupakan akta otentik, merupakan

alat bukti yang umum digunakan sebagai dasar terjadinya perbuatan hukum, dimana

akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna berdasarkan Pasal 1868

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata menyebutkan, “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam

bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang

berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.”

Perkembangan fungsi dan peran notaris dalam memanfaatkan konsep transaksi

elektronik kemudian diperkenalkan dengan istilah Cyber Notary. Pada konsep ini

Notaris dituntut untuk bisa dan mampu menggunakan dan memanfaatkan konsep

cyber notary agar tercipta suatu pelayanan jasa yang cepat, tepat dan efesien,

sehingga mampu mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, dan efisiensi kerja yang

lebih optimal, terorganisir, dan canggih.

Pada perkembangannya, eksistensi konsep Cyber Notary di Indonesia, mulai

ada sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan

Notaris, yang memperbaharui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris. Konsep Cyber Notary pun secara eksplisit dapat dilihat dalam

penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
159

Notaris yang menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan "kewenangan lain yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan", antara lain, kewenangan

mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik membuat akta, ikrar

wakaf, dan hipotek pesawat terbang. ” Berdasarkan penjelasan Pasal 15 ayat (3)

tersebut dapat diketahui bahwa Notaris memiliki kewenangan lain salah satunya

adalah kewenangan mensertifikasi transaksi yang di lakukan secara elektronik

(cyber notary). Konsep cyber notary ingin memberi bingkai hukum yaitu agar

tindakan menghadap para pihak atau penghadap dihadapan notaris dan notarisnya

tidak lagi harus bertemu secara fisik (face to face) disuatu tempat tertentu, dalam

hal ini bisa saja para pihak berada di suatu tempat yang berbeda dengan tempat

kedudukan atau wilayah jabatan notaris, disisi lain para pihak berada pada tempat

yang berbeda pula. Hadirnya kewenangan notaris dibidang cyber notary dapat

dipandang sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan teknologi saat ini.

Di sisi lain, konsep Cyber Notary yang terdapat pada Pasal 15 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris masih cukup jauh tertinggal

dengan konsep Cyber Notary yang berlaku di Amerika, Eropa, maupun yang

terdapat di Jepang.

Konsep Cyber Notary di Eropa pertama kali dikenalkan oleh delegasi Perancis

dalam sebuah forum legal workshop yang diselenggarakan oleh Uni Eropa pada

tahun 1989 di Brussel, Belgia. Esensinya, konsep E-Notary menjadikan notaris

sebagai suatu pihak yang menyajikan independent record terhadap suatu transaksi

elektronik yang dilakukan para pihak.


160

Adapun konsep cyber notary dikenalkan pertama kali oleh American Bar

Association (ABA) pada tahun 1994. Konsep ini mengandung makna bahwa

seseorang yang melaksanakan kegiatan cyber notary adalah seseorang yang

mempunyai spesialisasi kemampuan dalam bidang hukum dan komputer. Lebih

lanjut, dalam konsep ini dipersepsikan bahwa fungsinya dipersamakan layaknya

notaris latin dalam memfasilitasi suatu transaksi internasional, dapat melakukan

otentikasi dokumen secara elektronik, dan diharapkan dapat memverifikasi

kapasitas hukum dan tanggung jawab keuangan. American Bar Association dalam

hal ini menjelaskan bahwa, dalam lingkungan komersial saat ini, membangun

kerangka kerja untuk otentikasi informasi berbasis komputer membutuhkan

keakraban dengan konsep dan keterampilan profesional baik dari bidang keamanan

hukum dan komputer. Menggabungkan dua disiplin ini bukanlah tugas yang

mudah. Konsep dari bidang keamanan informasi sering tidak sesuai dengan konsep

dari bidang hukum. Misalnya, dari sudut pandang keamanan informasi, Tanda

tangan digital berarti hasil penerapan untuk informasi spesifik tertentu tertentu dari

suatu proses teknis. Sejarah Konsep hukum, mengenai tanda tangan adalah lebih

luas. Dari segi sudut pandang hukum, tanda tangan dipergunakan untuk mengenali

setiap surat yang dibuat dengan maksud untuk mengotentikasi yang ditandai

document. Dalam pengaturan digital, konsep hukum dari tanda tangan mungkin

termasuk tanda yang beragam seperti gambar digital dari tanda tangan kertas, notasi

yang diketik, atau bahkan menangani notasi, seperti surat elektronik originasi. Dari

sudut pandang keamanan informasi, tanda tangan electronic sederhana ini adalah

berbeda dari tanda tangan digital yang dijelaskan dalam tutorial ini dan secara teknis
161

literatur, meskipun tanda tangan digital kadang-kadang digunakan untuk berarti

segala bentuk komputasi berbasis tanda tangan. Pedoman ini menggunakan tanda

tangan Adigital hanya jika digunakan di terminologi keamanan informasi, yang

berarti hasil penerapan suatu proses teknis.

Kemudian merujuk pada hasil Konvensi UNCITRAL terkait Akta Notaris

dalam bentuk Dokumen Elektronik Model Law on E-Commerce (1996), dan Model

Law on E-Signatures (2001), United Convention on the Use of Ecommunication in

International Contracts (2005),4 dan kajian tentang Promoting Confidence in E-

Commerce: Legal Issues on International Use of Electronic Authentication and

Signature Methods (2009), dijelaskan konsep Cyber Notary sebagai berikut :

1. Adanya konsep suatu komunikasi atau kontrak harus secara tertulis, atau

memberikan konsekuensi karena tidak adanya tulisan, persyaratan tersebut

dipenuhi oleh komunikasi elektronik jika informasi yang ada di dalamnya

dapat diakses sehingga dapat digunakan untuk referensi berikutnya,

2. Adanya suatu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pihak

dan untuk menunjukkan niat pihak tersebut sehubungan dengan informasi

yang terkandung dalam komunikasi elektronik,

3. Dokumen elektronik maupun Akta Dalam Bentuk Dokumen Elektronik

yang dibuat harus dapat dipercaya sesuai dengan tujuan komunikasi

elektronik yang dihasilkan atau dikomunikasikan, dengan

mempertimbangkan semua keadaan, termasuk perjanjian yang relevan,


162

4. Adanya pengaturan mengenai komunikasi atau kontrak harus tersedia atau

disimpan dalam bentuk aslinya, atau memberikan konsekuensi jika tidak

ada yang asli, persyaratan tersebut dipenuhi dalam kaitannya dengan

komunikasi elektronik, dengan syarat :

a. Terdapat jaminan yang dapat diandalkan mengenai integritas informasi

yang dikandungnya sejak pertama kali dibuat dalam bentuk akhirnya,

sebagai komunikasi elektronik atau sebaliknya

b. Jika informasi yang dikandungnya harus tersedia, informasi tersebut

dapat ditampilkan kepada siapa yang membutuhkannya

5. Adanya konsep dimana Otentikasi adalah sebagian besar yurisdiksi hukum

perdata, sebuah konsep yang agak dipahami, yang berarti bahwa keaslian

suatu dokumen telah diverifikasi dan disertifikasi oleh otoritas publik yang

kompeten atau seorang notaris. Dalam prosedur perdata umum untuk

merujuk bukan pada gagasan "orisinalitas" dokumen

6. Adanya konsep yang mengakui tanda tangan mekanis untuk transaksi

komersial tetapi, sampai munculnya teknologi komputer, terus

membutuhkan tanda tangan yang ditulis tangan untuk bukti jenis kontrak

lainnya.

7. Adanya konsep dimana negara-negara yang telah menghapuskan

persyaratan legalisasi atau apostille, dapat dibayangkan untuk

mengembangkan sistem di mana akta notaris asing akan diberikan

pengakuan hukum atas dasar verifikasi tanda tangan elektronik atau metode
163

otentikasi yang digunakan oleh notaris yang berasal dari luar negeri. Tanda

tangan elektronik dari notaris yang berasal (dari luar negeri) harus

diverifikasi oleh pengguna dokumen (umumnya notaris lain) dengan cara

yang sederhana dan cepat. Hal ini dapat dilakukan melalui internet dengan

mengakses situs penyedia layanan sertifikat notaris yang berasal, yang,

paling tidak di Eropa, biasanya adalah ruang nasional tempat kantor notaris

itu berada. Masalah terkait menyangkut verifikasi otoritas notaris yang

berasal untuk mengotentikasi catatan di bawah sistem hukum di mana dia

beroperasi. Untuk memfasilitasi proses tersebut dan meniadakan kebutuhan

untuk konsultasi badan pengawas asing, jika ada, yang dipercayakan

dengan perizinan notaris, telah diusulkan bahwa penyedia layanan

sertifikasi yang didirikan di bawah naungan kamar notaris harus hanya

mengeluarkan sertifikat untuk notaris saat ini berwenang untuk

menjalankan fungsi notaris sehingga setiap penangguhan atau pencabutan

wewenang notaris secara otomatis akan mencegah verifikasi tanda tangan

notaris).

Kemudian terdapat juga konsep Cyber Notary yang dimiliki oleh Jepang

dengan menggunakan konsep EDI atau Electronics Data/Document Interchange,

yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Kontrak untuk Penjualan Barang

Internasional, 'Konvensi PBB tentang Internasional Bills of Exchange dan

Promissory Notes, kemudian dalam Konvensi UNIDROIT tentang Jasa

Peminjaman Keuangan Internasional dan Anjak Piutang Internasional, Undang-

Undang Model Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Transfer Kredit Internasional


164

yang baru saja diselesaikan dan penyelesaian yang belum selesai dari Peraturan

Seragam PBB tentang Jaminan Bank dan Surat Kredit bergabung untuk

menciptakan struktur hukum komersial internasional yang menyediakan aturan

seragam untuk mengatur banyak aspek transaksi bisnis internasional, yang

kemudian mengadopsi sistem EDI.

Konsep EDI ini menggunakan perjanjian model Eropa sebagai dasar, masalah

utama yang dibahas dalam perjanjian pertukaran, yang standar penggunaannya

wajib meliputi :

1. Standar teknis. Perjanjian model mensyaratkan kepatuhan dengan versi UN

/ EDIFACT yang disetujui Uni Eropa. Masalah teknis lebih lanjut yang

mungkin ingin diatasi oleh para pihak adalah dalam lampiran teknis

perjanjian.

2. Pembentukan kontrak. Perjanjian model mengidentifikasi titik di mana

kontrak disimpulkan sebagai waktu dan tempat di mana pesan EDI yang

merupakan penerimaan mencapai sistem komputer pemberi penawaran.

Tidak ada kewajiban untuk mengakui tanda terima kecuali diminta. Di UE,

Petunjuk E-Commerce tidak memperbaiki titik pembentukan kontrak, tetapi

itu membutuhkan pengakuan penerimaan suatu pesanan (meskipun

Petunjuk memperbolehkan aturan yang berbeda untuk disepakati untuk

tujuan perdagangan b2b) (lihat Catatan praktik , Membuat kontrak online:

Apa yang merupakan penerimaan dan pada jam berapa itu terjadi?, Posisi

UE).
165

3. Perjanjian model menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dimaksudkan

untuk mengatur kontrak yang disimpulkan melalui EDI. Ini adalah praktik

umum dalam perjanjian keanggotaan dengan pertukaran b2b berbasis

internet (yaitu, perjanjian dengan operator pertukaran untuk memungkinkan

bisnis ditransaksikan melalui pertukaran), karena operator pertukaran

berupaya menjauhkan diri dari keterlibatan apa pun dalam, dan karena itu

tanggung jawab untuk, transaksi yang dilakukan melalui bursa.

4. Validitas kontrak dan penerimaan catatan. Perjanjian model menyatakan

bahwa para pihak melepaskan hak apa pun untuk menentang validitas

kontrak yang dilakukan dengan menggunakan EDI dengan satu-satunya

alasan bahwa hal itu dilakukan oleh EDI. Juga, para pihak sepakat bahwa

rekaman pesan EDI harus dapat diterima oleh pengadilan. Jelas, pengadilan

nasional akan terikat oleh formalitas dan aturan bukti sendiri, sehingga

ketentuan ini tidak harus memastikan kontrak elektronik yang dapat

ditegakkan (seperti komentar Komisi Eropa tentang model perjanjian

mengakui).

5. Keamanan. Di bawah model perjanjian, para pihak sepakat untuk

menerapkan dan memelihara prosedur dan langkah-langkah keamanan

untuk menjaga terhadap akses, perubahan, penundaan, penghancuran atau

kehilangan yang tidak sah. Prosedur dan tindakan ini termasuk, khususnya,

verifikasi asal dan integritas. Prosedur dan tindakan khusus dapat ditetapkan

dalam lampiran teknis perjanjian.


166

6. Kerahasiaan. Perjanjian model menyatakan bahwa para pihak dapat setuju

untuk menggunakan bentuk perlindungan tertentu, seperti enkripsi, untuk

pesan tertentu.

7. Merekam dan menyimpan pesan EDI. Perjanjian model mengharuskan

setiap pihak untuk menyimpan catatan lengkap dan kronologis dari semua

pesan EDI dalam bentuk yang mudah diakses.

8. Kewajiban. Perjanjian model menetapkan bahwa tidak ada pihak yang

bertanggung jawab atas kerusakan khusus, tidak langsung atau

konsekuensial, atau untuk peristiwa di luar kendali partai.

9. Hukum dan yurisdiksi yang mengatur. Model perjanjian tidak

mengamanatkan undang-undang nasional Eropa tertentu dan memberikan

pilihan antara arbitrase dan rujukan ke pengadilan nasional untuk

penyelesaian sengketa.

Konsep EDI atau Electronic Data Interchange adalah sistem pertukaran dan

melakukan transaksi bisnis rutin dalam format elektronik yang dapat diproses

dengan komputer. Aplikasi yang umum termasuk pesanan pembelian, ucapan

terima kasih, jadwal harga, permintaan status pesanan, pengiriman dan penerimaan

penjadwalan dan konfirmasi, faktur, dan pembayaran. EDI pada dasarnya adalah

kontrak tanpa kertas elektronik antara dua pihak komersial. Secara implementasi,

konsep EDI sudah diterapkan pada beberapa negara, termasuk Jepang, dan

beberapa organisasi, diantaranya Asosiasi Standar Pertukaran Data, yang berlokasi

di Alexandria, Virginia, dan Kamar Dagang Internasional. Tetapi cara terbaik bagi
167

mitra dagang EDI untuk meningkatkan peluang bahwa transaksi EDI mereka akan

dapat ditegakkan secara hukum adalah dengan masuk ke dalam Perjanjian Mitra

Perdagangan EDI.

Perjanjian Mitra Dagang adalah kontrak tertulis antara dua pihak atau lebih

yang ingin berdagang secara elektronik melalui EDI atau teknologi terkait. Paling

tidak, perjanjian harus menyatakan niat para pihak bahwa transaksi EDI mereka

dianggap sah dan dapat ditegakkan sebagai kontrak kertas konvensional. Lebih

lanjut harus membahas pembagian risiko (terutama di mana penyedia layanan

transmisi data pihak ketiga digunakan), prosedur keamanan, definisi tanda tangan,

definisi penerimaan komunikasi, masalah bisnis yang umumnya terkandung dalam

persyaratan pesanan pembelian standar, kebutuhan kerahasiaan tertentu data,

undang-undang masalah kecurangan (misalnya mengidentifikasi teori-teori hukum

yang dengannya persyaratan “tulisan tertulis” yang berlaku dapat dianggap puas),

arbitrasi dan barang-barang lain seperti yang disepakati pada set transaksi dan

standar serta protokol transmisi data.

Selain itu pada tahun 1989, kelompok "Sistem Pertukaran Data Elektronik

Tepercaya (TEDIS)" telah dibentuk untuk memberikan kepercayaan tingkat tinggi

pada sistem EDI. TEDIS mengembangkan dokumen dalam dua bidang penting dan

relevan pertama:134

1. Integritas dan kerahasiaan untuk transaksi EDI, dan penggunaan tanda

tangan digital berdasarkan pada konsep bahwa integritas dan kerahasiaan

134
Leslie Smith, The Role Of The Notary In Secure Electronic Commerce, Queensland University
of Technology, Queensland, Australia, 2006, hlm. 37
168

bersama dengan tanda tangan membentuk dasar kepercayaan selama

berabad-abad di "dunia kertas" dan

2. Transaksi "layanan notaris" berdasarkan penggunaan organisasi industri

"pihak ketiga" mirip dengan notaris Eropa klasik.

Dalam pelaksanaannya, konsep EDI sebagai penunjang konsep Cyber Notary

dalam pelaksanaannya oleh komisi hukum TEDIS, Komite Keamanan Informasi

dari American Bar Association, UK Cyber Notary Association dan pihak-pihak lain

yang berkepentingan, peran baru yang diusulkan dari Electronic atau CyberNotary

dapat diterapkan pada hampir semua transaksi yang memerlukan intervensi dari

pihak ketiga yang tepercaya. Namun, untuk konsep dan realisasi praktisnya untuk

mendapatkan penerimaan dan pengakuan internasional, kantor Notaris Cyber atau

Elektronik harus mereplikasi semua konvensi yang ada sekarang diikuti oleh publik

notaris di semua yurisdiksi. Dari catatan khusus di bawah perjanjian perdagangan

bebas, kelompok studi Eropa pada akhir 1980-an dengan jelas mengusulkan

layanan notarisisasi dokumen elektronik melalui teknik yang berbeda. Satu

proposal adalah menggunakan organisasi industri relatif termasuk industri kimia,

kendaraan bermotor, dan dirgantara, sebagaimana disebutkan di atas.135

Penerapan konsep EDI sebagai penunjang konsep Cyber Notary, memerlukan

seorang spesialis hukum yang memiliki kualifikasi tingkat tinggi dalam teknologi

keamanan informasi, yang akan memungkinkan orang tersebut untuk secara

elektronik mensertifikasi dan mengotentikasi semua elemen transaksi komersial

135
Ibid., hlm. 42-43
169

elektronik yang penting bagi keberlakuannya di bawah undang-undang negara yang

bersangkutan dan negara asing. Tanda tangan digital, dipandang sebagai media

terbaik untuk menyediakan CyberNotary dengan kemampuan untuk secara

elektronik menyatakan identitas pencetus pesan komersial. Tanda tangan digital

dianggap memberikan tingkat kepastian konten yang sangat tinggi bersama dengan

waktu dan tanggal "notaris," dan penyisipan dalam protokol notaris untuk keperluan

arsip. dipandang sebagai media terbaik untuk menyediakan CyberNotary dengan

kemampuan untuk secara elektronik menyatakan identitas pencetus pesan

komersial. Tanda tangan digital dianggap memberikan tingkat kepastian konten

yang sangat tinggi bersama dengan waktu dan tanggal "notaris," dan penyisipan

dalam protokol notaris untuk keperluan arsip.136

Selain itu dalam konsep EDI juga memiliki opsi lainnya untuk menunjang

konsep Cyber Notary, dimana klien secara fisik akan muncul di depan notaris yang

kemudian dapat menghasilkan pasangan kunci publik untuk klien. Proses ini akan

memungkinkan kunci publik klien untuk dibentuk menjadi sertifikat notaris yang

sesuai yang dapat digunakan untuk keperluan verifikasi dalam sistem e-notaris yang

diusulkan.137 Usulan penggunaan kriptografi Kunci Publik untuk layanan e-notaris

mengharuskan keterlibatan entitas yang tepat untuk memverifikasi identitas klien

dan menerima kunci kriptografi yang tepat untuk digunakan oleh klien. Pada

prinsipnya seorang notaris dapat, seperti dijelaskan di tempat lain, memberikan

136
Ibid., hlm. 43
137
Ibid., hlm. 43-44
170

sertifikat kunci publik kepada klien yang menggabungkan kunci publik klien, yang

terkait dengan kunci penandatanganan rahasia klien.

Dengan cara ini, pihak yang ingin memverifikasi bahwa tanda tangan digital

klien dapat menggunakan sertifikat yang diberikan oleh notaris untuk

memverifikasi tanda tangan. Namun, entitas atau orang yang ingin menggunakan

sertifikat kunci publik untuk proses verifikasi ini harus terlebih dahulu memastikan

diri bahwa sertifikat yang dibuat oleh notaris tersebut valid (tidak ilegal).138

Di Indonesia, konsep Cyber Notary yang terdapat pada penjelasan Pasal 15

ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, masih

cukup jauh dari perkembangan konsep Cyber Notary yang ada di Eropa, Amerika,

dan Jepang, dimana dalam konsep Cyber Notary di Indonesia, yang terdapat pada

penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan

Notaris, yang mencakup mengenai kewenangan notaris dalam mensertifikasi

transaksi yang di lakukan secara elektronik, dan tidak termasuk dalam proses

pembuatan akta dengan memanfaatkan teknologi komunikasi, informasi, dan tanda

tangan elektronik, sebagaimana terdapat dalam konsep EDI dan TEDIS yang

diadposi oleh beberapa negara di Eropa, Amerika, dan Asia seperti Jepang.

Perbedaan tersebut nampak jelas, dimana konsep Cyber Notary yang terstruk

tur pada EDI dan TEDIS adalah :

1. Cyber Notary dalam hal ini digambarkan sebagai pengaman lalu lintas

dalam transaksi elektronik melalui Internet/daring

138
Ibid., hlm. 44
171

2. Notaris dimungkinkan melakukan sertifikasi dan lalu lintas otentifikasi

dalam transaksi elektronik

3. Fungsi sertifikasi dalam hal ini adalah kewenangan untuk bertindak sebagai

Otoritas Sertifikasi (pihak ketiga terpercaya) yang dapat menerbitkan

sertifikat digital dan kunci publik kepada pihak yang membutuhkan.

Sedangkan fungsi otentikasi berkaitan dengan aspek hukum yang

diperlukan untuk transaksi elektronik

4. Hal tersebut dapat terjadi melalui bentuk fungsi notaris konvensional yaitu

autentik secara otomatis atau elektronik dengan memanfaatkan

infrastruktur publik yang ada dan tanda tangan elektronik.

5. Notaris dimungkinkan melakukan berbagai autentikasi terhadap dokumen-

dokumen yang dibuat dalam komunikasi bisnis elektronik

6. Notaris dimungkinkan untuk memfasilitasi jalannya pembuatan perjanjian

via video conference

7. Adanya sistem yang dapat memastikan bahwa pihak yang mengadakan

perjanjian tersebut adalah benar-benar pihak yang namanya tertuang dalam

komparisi, bahwa pihak tersebut tidak berada di bawah paksaan, tipuan

atau kekhilafan, serta perjanjian tersebut telah sesuai dengan kehendak para

pihak.

Di Indonesia sendiri, konsep Cyber Notary diketahui terdapat hambatan-

hambatan dalam pembuatan akta notaris secara elektronik dengan menggunakan

konsep Cyber Notary berdasarkan konsep EDI dan TEDIS tersebut, yaitu :
172

1. Hambatan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik Dari Segi Substansi

Hukum

2. Hambatan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik Dari Segi Struktur

Hukum

3. Hambatan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik Dari Segi Budaya

Hukum

4. Hambatan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik Dari Segi Regulasi

Hukum seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah

diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan

Notaris, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah

diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

5. Hambatan dari segi kualitas sumber daya manusia, yang dapat mengelola,

mengawasi, dan menindak lanjuti transaksi maupun sertifikasi, pembuatan

akta otentik dengan memanfaatkan media online/daring.

6. Hambatan dari segi penguasaan teknologi yang dapat mendukung konsep

Cyber Notary itu sendiri.

Adapun dalam penjelasan sebelumnya, berdasarkan teori hukum progresif

yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu penjelajahan suatu

gagasan yang berintikan 9 (sembilan) pokok pikiran sebagai berikut:139

139
Novianto Murti Hatoro, Monika Suhayati, dan Denico Doly, Hakim : Antara Pengaturan dan
Implementasinya, Loc. Cit, hlm. 57-58
173

1. Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan

berbagi paham dengan aliran seperti legal realism, freirechslehre.

sociological jurisprudence. interressenjurisprudenze di Jerman, yang

dikenal sebagai teori hukum alam dan critical legal studies.

2. Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui

institusi-institusi kenegaraan.

3. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada

kondisi ideal hukum.

4. Hukum menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai

teknologi yang tidak bernurani, melainkan institusi yang bermoral.

5. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia

kepada kehidupan yang adil. sejahtera. dan membuat manusia bahagia.

6. Hukum progresif adalah “hukum yang pro rakyat dan “hukum yang pro

keadilan”.

7. Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa “Hukum adalah untuk

manusia’, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum

tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas

dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan Hukum,

Hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki. bukan manusia yang dipaksakan

untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum.

Pandangan mengenai asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa “Hukum

adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka

hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan
174

lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan Hukum, Hukumlah

yang ditinjau dan diperbaiki. bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan

ke dalam sistem hukum, mampu dipahami, bahwa hukum atau aturan yang berlaku

seharusnya dibuat sesuai dengan perkembangan kondisi, situasi, dan tidak

terkecuali perkembangan teknologi, komunikasi, dan sistem informasi yang ada

pada masyarakat, guna dapat memfasilitasi masyarakat dari segi regulasi

pengaturan hukum, untuk dapat menjamin perlindungan dan kepastian bagi

masyarakat, sebagai wujud nyata perkembangan hukum Dalam hal ini konsep

Cyber Notary merupakan wujud dari perkembangan teknologi, komunikasi, dan

sistem informasi yang ada pada masyarakat, namun di Indonesia perkembangan

hukum yang ada belum memungkinkan untuk mendukung terlaksananya konsep

cyber notary tersebut secara utuh.

Dalam fakta hukumnya sendiri dilapangan, akta dalam bentuk dokumen

elektronik dan atau hasil print out dari sebuah akta otentik yang berbentuk dan atau

berasal dari dokumen elektronik, masih jarang diakui sebagai bukti di

persidangan/peradilan, meskipun upaya untuk menghadirkan akta dalam bentuk

dokumen elektronik dan atau hasil print out dari sebuah akta otentik yang berbentuk

dan atau berasal dari dokumen elektronik sudah pernah terjadi dalam beberapa

perkara di bidang merek, sebagaimana terjadi pada beberapa perkara sebagai

berikut :

1. Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017

terdapat akta notaris dalam bentuk hasil cetak dari dokumen elektronik

yang dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara Hak Cipta dan diakui
175

sebagai alat bukti yang sah. dalam perkara Putusan Mahkamah Agung

Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017, mengabulkan dan memenangkan pihak

Electrosteel Casting Limited dan mengakui alat bukti berupa dokumen

elektronik, baik yang berupa surat maupun akta dan hasil cetaknya sebagai

alat bukti yang sah, sebagaimana pertimbangan majelis hakim yang

menyatakan, “Bahwa adalah fakta berdasarkan Akta Pendirian Electrosteel

Castings limited Nomor RD/T/240/65 tanggal 23 Agustus 1965,

“Electrosteel Castings limited” adalah nama badan hukum milik Pemohon

Kasasi/penggugat sejak tahun 1965, meskipun dokumen tersebut belum

belum dilegalisir oleh Notaris Publik dan disahkan oleh Konsul Jenderal

Rl.

2. Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 752 K/Pdt.Sus-

HKI/2016. Pada perkara ini diketahui terdapat pihak yang berperkara yaitu

S & W HANDSBAG LIMITED, dimana dalam perkara ini S&W Handsbag

Limited mengajukan salah satu bukti yaitu hasil print out Akta Notaris

Hongkong (akta autentik) PAT BOBBY YING HO, tertanggal 25 Juni

2015 hal mana Akta Notaris tersebut telah melegalisasi, membenarkan dan

menyesuaikan fotocopy sertifikat atas merek RABEANCO pada kelas 18

maupun kelas 25 atas nama S & W HANDBAGS dengan sertifikat asli

merek RABEANCO.

3. Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 444 K/Pdt.Sus-

HKI/2016. Pada perkara ini diketahui terdapat pihak yang berperkara yaitu

Wahl Clipper Corporation, dimana dalam perkara ini Wahl Clipper


176

Corporation mengajukan salah satu bukti yaitu hasil print out Akta Nomor

527562 Notary Public di Illinois, Amerika Serikat atas Sertifikat Merek

Wahl Nomor IDM000208858 dan IDM000208859 atas nama badan hukum

Wahl Clipper Corporation.

4. Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 555 K/Pdt.Sus-

HKI/2015, dimana pihak Toyama Do Brasil Maquinas LTDA, mengajukan

alat bukti berupa hasil print out atas pendaftaran merek Toyama Tergugat

I Nomor IDM000277755 yang telah dilegalisir/disahkan oleh Notary

Public di Brasil, Kementerian Luar Negeri Brasil, dan Kedutaan Besar

Republik Indonesia di Brasil.

Dari contoh keempat perkara tersebut, hanya pada Putusan Mahkamah Agung

Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017, yang secara tidak langsung mengakui

pembuktian para pihak yang menggunakan akta dalam bentuk dokumen elektronik

dan atau hasil print out dari sebuah akta otentik yang berbentuk dan atau berasal

dari dokumen elektronik, dimana dalam perkara tersebut dapat dilihat bahwa Akta

Pendirian Electrosteel Castings limited Nomor RD/T/240/65 tanggal 23 Agustus

1965 yang dibuat pada Notaris Nivedita Sen, di Kolkata India, yang merupakan alat

bukti berupa dokumen elektronik, baik yang berupa surat maupun akta dan hasil

cetaknya dapat diakui sebagai alat bukti yang sah, meskipun dokumen tersebut

belum belum dilegalisir oleh Notaris Publik dan disahkan oleh Konsul Jenderal Rl.

Adapun dalam contoh perkara lainnya majelis hakim yang memeriksa perkara-

perkara tersebut menolak penggunaan akta dalam bentuk dokumen elektronik dan

atau hasil print out dari sebuah akta otentik yang berbentuk dan atau berasal dari
177

dokumen elektronik sebagai alat bukti di persidangan sebagaimana terjadi pada

Putusan Mahkamah Agung Nomor 752 K/Pdt.Sus-HKI/2016 yang menggunakan

hasil print out Akta Notaris Hongkong (akta autentik) PAT BOBBY YING HO,

tertanggal 25 Juni 2015 hal mana Akta Notaris tersebut telah melegalisasi,

membenarkan dan menyesuaikan fotocopy sertifikat atas merek RABEANCO

sebagai alat bukti, kemudian pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 555

K/Pdt.Sus-HKI/2015 yang menggunakan hasil print out Akta Nomor 527562

Notary Public di Illinois, Amerika Serikat atas Sertifikat Merek Wahl Nomor

IDM000208858 dan IDM000208859 atas nama badan hukum Wahl Clipper

Corporation, serta hasil Putusan Mahkamah Agung Nomor 444 K/Pdt.Sus-

HKI/2016 yang menggunakan hasil print out atas pendaftaran merek Toyama

Tergugat I Nomor IDM000277755 yang telah dilegalisir/disahkan oleh Notary

Public di Brasil, Kementerian Luar Negeri Brasil, dan Kedutaan Besar Republik

Indonesia di Brasil.

Sehingga dapat dibuat kesimpulan bahwa perkembangan konsep Cyber Notary

Dan akta dalam bentuk dokumen elektronik sebagai bukti di persidangan di

Indonesia, sejatinya konsep Cyber Notary sudah terdapat pada penjelasan Pasal 15

ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, masih

cukup jauh dari perkembangan konsep Cyber Notary yang ada di Eropa, Amerika,

dan Jepang, dimana dalam konsep Cyber Notary di Indonesia, yang terdapat pada

penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan

Notaris, yang mencakup mengenai kewenangan notaris dalam mensertifikasi

transaksi yang di lakukan secara elektronik, dan tidak termasuk dalam proses
178

pembuatan akta dengan memanfaatkan teknologi komunikasi, informasi, dan tanda

tangan elektronik, sebagaimana terdapat dalam konsep EDI dan TEDIS yang

diadposi oleh beberapa negara di Eropa, Amerika, dan Asia seperti Jepang, selain

itu penggunaan akta dalam bentuk dokumen elektronik sebagai bukti di persidangan

di Indonesia sejatinya sudah ada, namun belum cukup banyak di akui sebagai alat

bukri di persidangan.

B. Upaya Mewujudkan Kepastian Hukum Terhadap Akta Dalam Bentuk

Dokumen Elektronik Sebagai Akta Autentik Berdasarkan Konsep Cyber

Notary Terkait Dengan Kekuatan Pembuktian Di Pengadilan

Teknologi telekomunikasi semakin memudahkan satu dengan yang lainnya

untuk berhubungan. Namun sampai dengan hari ini, belum ada perundang-

undangan yang memberikan kepastian pada saat keduanya saling berhubungan.

Majunya teknologi informasi yang bersifat universal membutuhkan suatu usaha

yang tidak sederhana. Untuk mengejar ketinggalan tersebut, tentunya ada hal lain

yang perlu dipikirkan, yaitu mencermati perkembangan industri telematika. Dengan

begitu, menurut Kristiadi, akan tercipta suatu korelasi antara dunia usaha dengan

pengguna teknologi inforormasi. Adanya pandangan bahwa teknologi tidak perlu

pengaturan, kiranya tidak sepenuhnya benar, karena bukan teknologinya yang perlu

diatur, tapi pengaturan dari penggunaan dan dampak dari penggunaan teknologi itu

sendiri yang perlu diatur.


179

Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber

space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau

perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat

didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini

yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan

hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat

nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.Berkaitan dengan hal itu, perlu

diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi

informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh

karena itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di dunia maya, yaitu

pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk

mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik,

pendekatan hukum bersifat mutlak, karena tanpa kepastian hukum, persoalan

pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.

Kepastian sendiri merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,

terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan

makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap

orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Apabila

dilihat secara historis, perbincangan mengenai kepastian hukum merupakan

perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan

dari Montesquieu. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam

hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan
180

menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan

kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.

Pada penjelasan sebelumnya dapat dilihat berdasarkan pendapat dari Lon

Fuller dalam yang mendefinisikan kepastian dapat mengandung beberapa arti,

yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan

kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam

masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna

atas suatu ketentuan hukum.140 Lebih lanjut Lon Fuller mendeskripsikan bahwa,

Hukum menurut Fuller, harus memenuhi delapan kriteria yang apabila tidak

dipenuhi, maka gagallah hukum disebut sebagai hukum, yaitu : 141

1. Suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan

putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu (ad hoc)

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.

3. Tidak berlaku surut. Karena akan merusak integritas system.

4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.

5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.

6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa

dilakukan.

7. Tidak boleh sering diubah-ubah.

140
Jimmly Asshidiqie dan Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Loc.Cit., hlm. 138
141
Jimmly Asshidiqqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Loc.Cit., hlm. 242.
181

8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Selain itu, mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto

sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi

tertentu mensyaratkan sebagai berikut :

1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah

diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-

aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat

kepadanya;

3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena

itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak

menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu

mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan

5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Disatu sisi masuknya pengaruh teknologi dalam bentuk elektronisasi pada

kegiatan notaris membuat keseimbangan yang selama ini telah ada menjadi

terganggu, dimana notaris yang berada di negara-negara modern akan melakukan

beberapa perubahan dengan memanfaatkan dan menggunakan bantuan teknologi

sedangkan bagi notaris yang tidak akrab dengan teknologi tersebut akan memilih

untuk bertahan pada tata cara yang selama ini telah dijalankannya. Ada beberapa

istilah yang digunakan untuk menggambarkan pemanfaatan teknologi oleh seorang


182

notaris dalam melakukan pekerjaannya seperti e-notary, ada pula yang memilih

istilah cyber notary. Di Indonesia sendiri konsep yang seringkali dikemukakan

menggunakan istilah cyber notary. Konsep ini memunculkan berbagai pendapat,

ada yang mendukung dan ada yang menolak. Problematika utama yang timbul

adalah perdebatan terkait keabsahan akta yang dibuat dalam sistem kerja cyber

notary. Ada juga yang berpendapat bahwa cyber notary bertentangan dengan asas

yang selama ini dipegang yaitu asas tabellionis officium fideliter exercebo, yang

artinya bahwa seorang notaris harus bekerja secara tradisional.

Sebelum membahas lebih jauh terkait keabsahan sebuah akta dalam praktek

cyber notary, perlu ditelusuri kembali mengenai akar kemunculan dari konsep

cyber notary. Konsep cyber notary dikemukakan oleh Information Security

Committee of the American Bar Association pada tahun 1993, melalui konsep ini

seorang notaris di Amerika dapat memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai

autentikasi terhadap dokumen-dokumen yang dibuat dalam komunikasi bisnis

elektronik. Dalam praktek, konsep ini telah diterapkan di Florida dan Alabama,

namun dalam praktinya dokumen-dokumen yang dibuat dengan menggunakan

komunikasi bisnis elektronik maupun yang berwujud dokumen elektronik

seringkali terjadi penolakan oleh hukum yang berlaku di negara lain yang salah

satunya adalah Indonesia, terkait keabsahan akta tersebut. Hal yang perlu diingat

bahwa notaris di Amerika sebagai negara yang menganut system common law

memiliki perbedaan dengan notaris di Indonesia yang berasal dari system civil law.

Notaris di Amerika yang dikenal sebagai notary public tidak bertanggung jawab

terhadap akurasi ataupun legalitas terhadap dokumen yang diberikan stempel


183

olehnya, implikasi terkait hal ini terletak pada perbedaan kekuatan pembuktian

terhadap akta yang dibuat. Akta otentik yang dibuat oleh notaris di negara Civil

Law memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sedangkan akta yang

dikerjakan oleh public notary tidak.

Lebih lanjut, kekuatan pembuktian yang sedemikian kuat ini muncul dari

kenyataan bahwa notaris di negara civil law memiliki sebuah kewajiban formil yang

lahir dari pelaksanaan asas tabellionis officium fideliter exercebo. Kewajiban itu

berupa kewajiban bahwa notaris itu sendiri harus datang, melihat dan mendengar

dalam setiap pembuatan akta dan ditanda-tangan oleh notaris itu sendiri dan para

penghadap masing-masing langsung di tempat dibacakannya akta itu oleh Notaris.

Tanda tangan yang ditorehkan, harus tanda tangan asli dari Notaris dan para

penghadap bukanlah tanda tangan elektronik yang bisa ditorehkan di dalam akta

tersebut.

Kewajiban formil ini, menurut hemat peneliti memiliki arti dan manfaat yang

sangat dalam, yaitu dalam memastikan bahwa pihak yang mengadakan perjanjian

tersebut adalah benar-benar pihak yang namanya tertuang dalam komparisi, bahwa

pihak tersebut tidak berada di bawah paksaan, tipuan atau kekhilafan, serta

perjanjian tersebut telah sesuai dengan kehendak para pihak. Kewajiban tersebut

membawa notaris tidak hanya bertanggung jawab terhadap tanda tangannya saja

sebagaimana public notary melainkan juga pada isi dari akta otentik yang dibuat

olehnya. Pendapat tersebut sejalan dengan pengaturan akta otentik berdasarkan

Pasal 1867 KUHPerdata merupakan alat bukti yang sempurna apabila memenuhi

syarat berupa keharusan pembuatannya dihadapan atau oleh pejabat umum.


184

Kewajiban formil tersebut sejatinya dalam konsep cyber notary yang terdapat

dalam konsep EDI dan TEDIS, dimana dalam konsep EDI dan TEDIS Notaris

dimungkinkan untuk memfasilitasi jalannya pembuatan perjanjian via video

conference, menurut hemat peneliti, konsep EDI dan TEDIS yang memungkinkan

adanya pertemuan via video conference, lebih menguntungkan bagi masyarakat di

Indonesia, terutama ditengah wabah pandemi Covid 19, dengan adanya kebijakan

pemerintah yang menghimbau masyarakat agar menghindari kerumunan, serta

himbauan untuk menjaga jarak (Physical Distancing). Dari sudut pandang

pembuktian sendiri, sejatinya lewat adanya fasilitas pembuatan perjanjian via video

conference, Notaris justru lebih terlindungi, dan dapat menunjukan adanya

kepastian hukum, dimana hasil rekaman pembuatan perjanjian via video conference

justru dapat dijadikan sebagai alat bukti dipersidangan mengenai kronologis dari

dibuatnya suatu perjanjian, seandainya terdapat bantahan dari salah satu pihak

yang membuat perjanjian di hadapan notaris, baik berkaitan dengan isi dari

perjanjian, maupun terkait para pihak yang terlibat dalam pembuatan perjanjian

tersebut.

Pembuktian mengenai isi dari perjanjian, maupun terkait para pihak yang

terlibat dalam pembuatan perjanjian sejatinya dalam sistem notaris konvensional

tidak dapat dibuktikan secara nyata atau materiil, dimana selama ini dalam sistem

notaris konvensional, yang dapat dijadikan pegangan sebagai bukti dari dibuatnya

suatu perjanjian maupun akta hanyalah akta itu sendiri, serta surat-surat yang

berhubungan dengan isi akta atau perjanjian yang dibuat, sehingga pembuktian

yang ada dalam sistem notaris konvensional hanyalah pembuktian yang bersifat
185

formil, bukan materiil, namun mengenai proses pembuatan akta itu sendiri, serta

mengenai kebenaran para pihak yang hadir dan terlibat dalam proses pembuatan

akta tidak dapat dibuktikan secara materiil atau pasti.

Kemudian terkait pengertian akta otentik dengan memasukkan akta dalam

bentuk elektronik sebagai hasil praktek cyber notary banyak dianggap oleh notaris

konvensional justru akan menimbulkan pertentangan baru yang mungkin akan

menurunkan kekuatan pembuktian dari akta otentik tersebut. Dimana para notaris

konvensional merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dimana akta dalam bentuk

dokumen elektronik dianggap tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna

layaknya akta otentik, sehiingga akibatnya saat ini akta dalam bentuk dokumen

elektronik hanya dianggap sebagai akta di bawah tangan yang disamakan dengan

dokumen, surat dan setifikat elektronik.

Akta otentik atau akta resmi sendiri dalam penjelasan sebelumnya diketahui

merupakan alat bukti tertulis yang diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata sebagai

urutan pertama, ada juga yang menyebutkan alat bukti surat. Hal ini sesuai dengan

kenyataan jenis surat atau akta dalam perkara perdata, memegang peran yang

penting. Semua kegiatan yang menyangkut bidang perdata, sengaja dicatat dan

dituliskan dalam surat atau akta. Surat-surat akta dapat dibagi menjadi surat-surat

akta resmi (authentiek) dan surat-surat akta di bawah tangan (onderhands). Dalam

hal akta sebagai alat bukti surat, dimana akta resmi ialah suatu akta yang dibuat

oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang


186

ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut. Pejabat umum yang

dimaksudkan itu ialah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, pegawai

pencatatan sipil (ambtenaar burgerlijke stand) dan sebagainya.

Pada akta otentik diketahui terdapat keterangan-keterangan dari dua pihak

dihadapan notaris sehingga notaris hanya menetapkan saja keterangan-keterangan

tersebut dalam sebuah akta, sehingga perbuatan tersebut dinamakan partij akte,

sedangkan jika suatu akta resmi mengandung proses verbal tentang suatu perbuatan

yang telah dilakukan notaris atau juru sita seperti lelang atau penyitaan harta benda

maka dinamakan proses verbal akte.

Adapun mengenai kekuatan pembuktian, selama ini akta otentik atau akta

resmi mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya apabila suatu pihak

mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang

ditulis di dalam akta, sungguh-sungguh telah terjadi sehingga hakim tidak boleh

memerintahkan penambahan pembuktian lagi. Suatu akta di bawah tangan adalah

tiap akta atau dengan perantaraan seseorang pejabat umum, misalnya surat

perjanjian jual beli atau sewa menyewa yang dibuat dan ditanda tangani sendiri.

Pandangan notaris konvensional tentang konsep cyber notary adalah bahwa

konsep cyber notary tidak diterapkan secara serta merta mengingat adanya

perbedaan mengenai fungsi dan kewenangan notaris dan public notary. Selain itu,

perubahan terhadap ketentuan baik pengertian maupun syarat terkait akta otentik

harus dikaji secara lebih mendalam sampai kepada alasan filosofis yang

menciptakan pengertian maupun syarat tersebut yang meskipun terlihat kuno dan

terkesan memaksa notaris untuk tetap bekerja secara tradisional justru memiliki
187

pertimbangan hukum yang lebih baik dan memberikan perlindungan yang lebih

kuat sehingga menjaga keutuhan kekuatan pembuktian dari akta otentik tersebut

yaitu terkait tiga hal, kekuatan pembuktian formil, kekuatan pembuktian materiil,

dan kekuatan pembuktian keluar.

Sebagai jalan keluar, Indonesia sebagai negara civil law dapat memberikan

pengertian tersendiri terkait cyber notary dan menerapkan pembatasan-pembatasan

penggunaan teknologi guna menjaga keabsahan dari sebuah akta otentik tersebut

agar tetap sejalan dengan semangat utama adanya profesi notaris sebagai seorang

pejabat umum. Misalnya, seperti yang diterapkan di Georgia, sebuah negara di

Eropa Timur, di mana elektronisasi di sana tidak meniadakan kewajiban pihak

untuk hadir di hadapan notaris, sebagai solusi pengertian notaris ini diperluas

bahwa kedua belah pihak ini tidak harus hadir pada satu notaris yang sama, namun

masing-masing hadir di hadapan notaris di daerah domisilinya dan kemudian para

notaris tersebut berperan sebagai pihak yang memfasilitasi jalannya pembuatan

perjanjian via video conference. Contoh tersebut memberikan penegasan bahwa

cyber notary dalam praktek di negara civil law tidak menghapuskan kewajiban dari

seorang notaris untuk tetap menjunjung tinggi ketradisionalannya dalam rangka

menjaga keutuhan kekuatan pembuktian akta yang dibuatnya.

Namun dalam praktiknya sendiri, diketahui bahwa konsep cyber notary

maupun pembuatan akta dalam bentuk dokumen elektronik sebagai kekuatan

hukum pembuktian di persidangan justru mengalami penolakan dari hakim selaku

penegak hukum, secara nyata hal ini dapat dilihat pada beberapa contoh perkara di

persidangan terkait sengketa merek, yaitu dalam perkara Putusan Mahkamah


188

Agung Nomor 752 K/Pdt.Sus-HKI/2016 dimana dalam perkara ini pihak S&W

Handsbag Limited menggunakan alat bukti hasil print out Akta Notaris Hongkong

(akta autentik) PAT BOBBY YING HO, tertanggal 25 Juni 2015 hal mana Akta

Notaris tersebut telah melegalisasi, membenarkan dan menyesuaikan fotocopy

sertifikat atas merek RABEANCO sebagai alat bukti, kemudian pada Putusan

Mahkamah Agung Nomor 444 K/Pdt.Sus-HKI/2016 dimana dalam perkara

tersebut, pihak Wahl Clipper Corporation menggunakan alat bukti hasil print out

Akta Nomor 527562 Notary Public di Illinois, Amerika Serikat atas Sertifikat

Merek Wahl Nomor IDM000208858 dan IDM000208859 atas nama badan hukum

Wahl Clipper Corporation, serta hasil Putusan Mahkamah Agung Nomor 555

K/Pdt.Sus-HKI/2015 dimana dalam perkara ini pihak Toyama Do Brasil Maquinas

LTDA menggunakan alat bukti hasil print out atas pendaftaran merek Toyama

Tergugat I Nomor IDM000277755 yang telah dilegalisir/disahkan oleh Notary

Public di Brasil, Kementerian Luar Negeri Brasil, dan Kedutaan Besar Republik

Indonesia di Brasil.

Adanya penolakan terhadap penggunaan konsep cyber notary maupun

pembuatan akta dalam bentuk dokumen elektronik sebagai kekuatan hukum

pembuktian di persidangan, dapat dilihat dari adanya pertimbangan majelis hakim

pada perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 444 K/Pdt.Sus-HKI/2016 yang

menyatakan, “Penggugat tidak dapat memperlihatkan bukti asli dari bukti-bukti

surat yang diajukan, sehingga bukti-bukti surat Penggugat tidak mempunyai nilai

pembuktian dan tidak dapat dipertimbangkan dalam perkara a quo.” Sedangkan

dalam perkara tersebut diketahui pihak pihak Wahl Clipper Corporation


189

menggunakan alat bukti hasil print out Akta Nomor 527562 Notary Public di

Illinois, Amerika Serikat atas Sertifikat Merek Wahl Nomor IDM000208858 dan

IDM000208859 atas nama badan hukum Wahl Clipper Corporation.

Pertimbangan serupa juga dilakukan oleh majelis hakim yang memeriksa

Putusan Mahkamah Agung Nomor 752 K/Pdt.Sus-HKI/2016 yang menyatakan

bahwa “Judex Facti/Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak

salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan bahwa bukti-bukti yang diajukan

oleh Terlawan hanya berupa fotocopy, sebagian ada asli tetapi tidak disertai dengan

otentifikasi dari Konsulat Jenderal RI di Hong Kong’. Sedangkan dalam perkara

tersebut diketahui bahwa pihak S&W Handsbag Limited dalam perkara tersebut,

menghadirkan hasil print out Akta Notaris Hongkong (akta autentik) PAT BOBBY

YING HO, tertanggal 25 Juni 2015 hal mana Akta Notaris tersebut telah

melegalisasi, membenarkan dan menyesuaikan fotocopy sertifikat atas merek

RABEANCO sebagai alat bukti.

Adapun pengertian dari legalisir atau legalisasi surat, adalah pembuktian

bahwa dokumen yang dibuat oleh para pihak itu memang benar ditandatangani oleh

para pihak dan proses itu disaksikan oleh seorang Pejabat Umum dalam hal ini

adalah Notaris pada tanggal yang sama dengan waktu penandatanganan itu.142

Hal yang sedikit berbeda terjadi Putusan Mahkamah Agung Nomor 555

K/Pdt.Sus-HKI/2015 dimana dalam perkara ini, majelis hakim justru sama sekali

tidak mempertimbangkan maupun memeriksa akta atau dokumen eletrkonik yang

142
Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia, Jakarta, 2018. hlm. 1226
190

diajukan oleh pihak Toyama Do Brasil Maquinas LTDA, dimana majelis hakim

dalam perkara dalam pertimbangannya hanya menyatakan, “bahwa keberatan-

keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara

saksama memori kasasi tanggal 28 Mei dihubungkan dengan pertimbangan judex

facti, dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak

salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Bahwa tidak terbukti dalil Penggugat bahwa Toyama adalah merek terkenal

milik Penggugat yang telah didaftarkan di sejumlah negara;

2. Bahwa Tergugat I telah mendaftarkan Toyama sejak tahun 2010 sebagai

pendaftar pertama, sehingga Tergugat I tidak terbukti melakukan

pelanggaran merek;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini

tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan

kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi TOYAMA DO BRASIL MAQUINAS

LTDA tersebut harus ditolak.” sedangkan dalam perkara ini diketahui bahwa pihak

Toyama Do Brasil Maquinas LTDA, mengajukan alat bukti berupa hasil print out

atas pendaftaran merek Toyama Tergugat I Nomor IDM000277755 yang telah

dilegalisir/disahkan oleh Notary Public di Brasil, Kementerian Luar Negeri Brasil,

dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brasil

Namun dalam salah satu contoh perkara yang diketemukan oleh peneliti,

terdapat perkara dimana majelis hakim mengakui kekuatan pembuktian akta atau
191

dokumen elektronik, dimana hal ini dapat diketemukan dalam perkara Putusan

Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017, yang secara tidak langsung

mengakui pembuktian para pihak yang menggunakan akta dalam bentuk dokumen

elektronik dan atau hasil print out dari sebuah akta otentik yang berbentuk dan atau

berasal dari dokumen elektronik, dimana dalam perkara tersebut dapat dilihat

bahwa Akta Pendirian Electrosteel Castings limited Nomor RD/T/240/65 tanggal

23 Agustus 1965 yang dibuat pada Notaris Nivedita Sen, di Kolkata India, yang

merupakan alat bukti berupa dokumen elektronik, baik yang berupa surat maupun

akta dan hasil cetaknya dapat diakui sebagai alat bukti yang sah, meskipun

dokumen tersebut belum belum dilegalisir oleh Notaris Publik dan disahkan oleh

Konsul Jenderal Rl, dimana pertimbangan majelis hakim dalam perkara Putusan

Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt.Sus-HKI/2017, menyatakan bahwa, “adalah

fakta berdasarkan Akta Pendirian Electrosteel Castings limited Nomor

RD/T/240/65 tanggal 23 Agustus 1965, “Electrosteel Castings limited” adalah

nama badan hukum milik Pemohon Kasasi/penggugat sejak tahun 1965 (P-1a, P-

1b dan P-2a, P-2b sehingga pendaftaran merek yang menggunakan nama badan

hukum yang dimiliki orang lain Pemohon Kasasi/Penggugat tanpa persetujuan

Penggugat/Pemohon Kasasi adalah bertentangan dengan Pasal 6 ayat (3) a Undang

Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.”

Mengutip teori dari Lon Fuller yang menyatakan bahwa salah satu syarat dari

adanya kepastian hukum adalah harus ada kesesuaian antara peraturan dengan

pelaksanaan sehari-hari, sejatinya adanya ketentuan mengenai Pasal 5 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diperbaharui dengan Undang-


192

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut

dapat diubah agar dalam pelaksanaannya, konsep Cyber Notary, memliki kepastian

secara hukum, dimana pengaturan yang diperlukan menurut hemat peneliti untuk

menjamin kepastian dan menjaga kekuatan hukum pembuktian dari akta dalam

bentuk dokumen elektronik yang dibuat dengan konsep Cyber Notary, diantaranya

adalah:

1. Adanya pengaturan hukum terkait syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuk

membuktikan kekuatan akta dalam bentuk dokumen elektronik, seperti :

a. Pengaturan mengenai adanya kewajiban bagi notaris yang melakukan

pembuatan perjanjian atau akta, via video conference, serta

pemanfaatan teknologi tanda tangan elektronik, untuk menyimpan hasil

rekaman video conference tersebut, sebagai syarat bukti dokumentasi

terkait siapa saja para pihak yang terlibat dalam pembuatan suatu

perjanjian atau akta dan jalannya proses pembuatan perjanjian atau

akta tersebut.

b. Pengaturan mengenai adanya kewajiban bagi notaris untuk

merahasiakan bukti dokumentasi pembuatan perjanjian atau akta, via

video conference yang dibuat dihadapan notaris yang bersangkutan,

serta para pihak-pihak yang terlibat, terkecuali bukti dokumentasi

tersebut dibuktikan sehubungan adanya persidangan di pengadilan,

disertai larangan serta sanksi bagi notaris yang menyebarluaskan

bukti dokumentasi tersebut kepada publik yang bukan termasuk

kepentingan pembuktian di persidangan,


193

c. Pengaturan tentang badan yang memiliki kemampuan melakukan

otentifikasi yang memiliki kewenangan dapat memeriksa keabsahan

akta atau perjanjian atau dokumen dalam bentuk dokumen elektronik

yang dibuat oleh notaris.

d. Pengaturan mengenai akta atau perjanjian atau dokumen dalam bentuk

dokumen elektronik memiliki nilai kekuatan hukum pembuktian yang

sempurna selama dibuat sesuai dengan syarat-syarat yang diatur

dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, maupun

aturan hukum yang mengatur tentang syarat-syarat yang perlu dipenuhi

untuk membuktikan kekuatan akta dalam bentuk dokumen elektronik.

e. Pengaturan mengenai proses pembuktian dan pemeriksaan otentifikasi

atas akta atau perjanjian atau dokumen dalam bentuk dokumen

elektronik, yang dibuat oleh notaris di luar negeri maupun notaris

Indonesia yang bekerjasama dalam suatu proses pembuatan akta atau

perjanjian atau dokumen dalam bentuk dokumen elektronik.

2. Adanya pengaturan sanksi baik yang bersifat administrasi, pidana, maupun

perdata, apabila syarat-syarat tersebut di atas tidak dapat dipenuhi, atau

tidak dijalankan oleh para pihak terkait, tidak terkecuali bagi notaris itu

sendiri.

3. Adanya pengaturan bahwa aparatur penegak hukum, seperti Kepolisian,

Kejaksaan, dan Hakim dipengadilan memiliki kewenangan untuk

memeriksa keabsahan dari akta atau perjanjian yang dibuat dalam bentuk
194

dokumen elektronik maupun dengan konsep Cyber Notary, didukung dan

bekerja sama dengan badan yang memiliki kemampuan melakukan

otentifikasi dalam memeriksa keabsahan akta atau perjanjian atau

dokumen dalam bentuk dokumen elektronik yang dibuat oleh notaris,

sehubungan dengan adanya gugatan, laporan dan tuntutan perkara

pidana, serta sengketa dipengadilan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dibuat kesimpulan bahwa kepastian hukum

atas penggunaan akta dalam bentuk dokumen elektronik pengganti akta autentik

sebagai bukti di pengadilan di Indonesia saat ini masih belum memungkinkan

karena masih dianggap bertentangan dengan konsep notaris konvensional serta

bertentangan dengan regulasi hukum yang ada yaitu ketentuan Pasal 5 ayat 4 huruf

b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, yang kini telah diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016, dan Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang kini telah

diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

Sehingga untuk mewujudkan adanya kepastian hukum atas penggunaan akta

dalam bentuk dokumen elektronik pengganti akta autentik berdasarkan konsep

cyber notary sebagai bukti di pengadilan, dihubungkan dengan teori dari Lon

Fuller, yang menyatakan bahwa, unsur dari kepastian hukum adalah adanya

kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan

dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung

keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan

hukum, maka untuk dapat mendukung konsep cyber notary, maupun penggunaan
195

akta dalam bentuk dokumen elektronik sebagai pengganti akta autentik, diperlukan

seperangkat aturan yang dimana perangkat aturan tersebut harus memuat

serangkaian pengaturan mengenai adanya kewajiban bagi notaris yang melakukan

pembuatan perjanjian atau akta, via video conference, serta pemanfaatan teknologi

tanda tangan elektronik, kewajiban bagi notaris untuk merahasiakan bukti

dokumentasi pembuatan perjanjian atau akta, via video conference terkecuali bukti

dokumentasi tersebut dibuktikan sehubungan adanya persidangan di pengadilan,

pengaturan tentang badan yang memiliki kemampuan melakukan otentifikasi yang

memiliki kewenangan dapat memeriksa keabsahan akta atau perjanjian atau

dokumen dalam bentuk dokumen elektronik, pengaturan tentang akta atau

perjanjian atau dokumen dalam bentuk dokumen elektronik memiliki nilai kekuatan

hukum pembuktian yang sempurna selama dibuat sesuai dengan syarat-syarat yang

diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, maupun aturan

hukum yang mengatur tentang syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuk

membuktikan kekuatan akta dalam bentuk dokumen elektronik, pengaturan

mengenai proses pembuktian dan pemeriksaan otentifikasi atas akta atau perjanjian

atau dokumen dalam bentuk dokumen elektronik, pengaturan sanksi baik yang

bersifat administrasi, pidana, maupun perdata, serta kewenangan untuk memeriksa

keabsahan dari akta atau perjanjian yang dibuat dalam bentuk dokumen elektronik

maupun dengan konsep Cyber Notary oleh aparatur penegak hukum.


196

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Konsep Cyber Notary Dan akta dalam bentuk dokumen elektronik

sebagai bukti di persidangan di Indonesia, sejatinya konsep Cyber

Notary sudah terdapat pada penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, namun masih

cukup jauh berbeda dari konsep Cyber Notary yang ada di Eropa,

Amerika, dan Jepang, yang terdapat dalam konsep EDI dan TEDIS,

selain itu penggunaan akta dalam bentuk dokumen elektronik sebagai

bukti di persidangan di Indonesia sejatinya sudah ada, namun belum

cukup banyak di akui sebagai alat bukti di persidangan.


197

2. Upaya dalam mewujudkan kepastian hukum atas penggunaan akta

dalam bentuk dokumen elektronik pengganti akta autentik berdasarkan

konsep cyber notary sebagai bukti di pengadilan di Indonesia saat ini

masih belum memungkinkan karena masih dianggap bertentangan

dengan konsep notaris konvensional serta bertentangan dengan regulasi

hukum yang ada yaitu ketentuan Pasal 5 ayat 4 huruf b Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

yang kini telah diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016, dan Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang

kini telah diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Jabatan Notaris.

B. Saran

1. Kedepannya diharapkan pemerintah dapat menambahkan pengaturan

kewenangan terhadap notaris mengenai konsep cyber notary, pada

undang-undang terkait jabatan notaris serta undang-undang terkait

informasi dan transaksi elektronik, sehingga konsep cyber notary dapat

memiliki pengaturan hukum yang jelas dan nyata, terutama dalam

mengatasi kendala yang ada saat ini ditengah wabah covid 19 dimana

pemerintah mengeluarkan adanya kebijakan physical distancing, dan

menghindari kerumunan masa, dimana sebagai salah satu pihak yang

menerima akibatnya, notaris menjadi cukup terhambat dalam

menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pembuat akta otentik.


198

2. Kedepannya diharapkan pemerintah dapat membuat seperangkat aturan

yang dapat mendukung konsep cyber notary, maupun penggunaan akta

dalam bentuk dokumen elektronik sebagai pengganti akta autentik,

dimana perangkat aturan tersebut harus memuat serangkaian pengaturan

mengenai adanya kewajiban bagi notaris yang melakukan pembuatan

perjanjian atau akta, via video conference, serta pemanfaatan teknologi

tanda tangan elektronik, kewajiban bagi notaris untuk merahasiakan

bukti dokumentasi pembuatan perjanjian atau akta, via video conference

terkecuali bukti dokumentasi tersebut dibuktikan sehubungan adanya

persidangan di pengadilan, pengaturan tentang badan yang memiliki

kemampuan melakukan otentifikasi yang memiliki kewenangan dapat

memeriksa keabsahan akta atau perjanjian atau dokumen dalam bentuk

dokumen elektronik, pengaturan tentang akta atau perjanjian atau

dokumen dalam bentuk dokumen elektronik memiliki nilai kekuatan

hukum pembuktian yang sempurna selama dibuat sesuai dengan syarat-

syarat yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik

Notaris, maupun aturan hukum yang mengatur tentang syarat-syarat

yang perlu dipenuhi untuk membuktikan kekuatan akta dalam bentuk

dokumen elektronik, pengaturan mengenai proses pembuktian dan

pemeriksaan otentifikasi atas akta atau perjanjian atau dokumen dalam

bentuk dokumen elektronik, pengaturan sanksi baik yang bersifat

administrasi, pidana, maupun perdata, serta kewenangan untuk

memeriksa keabsahan dari akta atau perjanjian yang dibuat dalam


199

bentuk dokumen elektronik maupun dengan konsep Cyber Notary oleh

aparatur penegak hukum.


200

DAFTAR BACAAN

A. BUKU-BUKU
Adriaan W. Bedner dan Jacqueline Vel, Kajian Sosiolegal : Edisi Terjemahan
Theresia Dyah Wirastri, Denpasar: Pustaka Larasan, 2012
Agus Surono, Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan,
Jakarta : Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013.
Ahmad Ramli, Naskah Akademik Rancangan Aturan Pemerintah Tentang
Transaksi Elektronik, Jakarta : BPHN, 2015.
Alfred E. Piombino, Cyber Notary Public Handbook : Practice, Case, and
Principles, Coolidge Press, New York, 2018.
Ali Imron, dan Muhammad Iqbal, Hukum Pembuktian, UNPAM Press, Banten,
2019.
Ali Imron, Hukum Pembuktian dan Praktik Peradilan, Unpam Press, Pamulang,
2019.
Amelia H. Boss, Electronic Data Interchange Agreements: Private Contracting
Toward a Global Environment, Temple Unv. Press, Los Angeles, USA,
2012
American Bar Association, Digital Signature Guidelines, United States of America:
American Bar Association, 1996.
Ari Krisnawati, Pembuktian Perkara Perdata, Udayana Press, Denpasar, 2015.
Bambang Winarto, Jurnal, Kesadaran Notaris terhadap Kewajiban Jabatannya,
Jakarta : UIN Press, 2014.
County Technical Assistan Service Team, Notary Public Handbook : Cyber Notary
Concept, CTAS Tennessee Edu. Co., Tennessee, USA, 2016.
County Technical Assistant Team From Institute For Publics, Notary Public
Handbook, Tennesee, USA, Institute For Publics Press, 2018.
Dandy Hernady, Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata, Deeppublisher,
Yogyakarta, 2019.
Deasy Soekrimo, Proses Pembuktian Dan Penggunaan Alat Bukti Pada Perkara
Perdata, UNSRAT Press, Manado, 2014.
Diandra Preludio, Benny Prasetyo, dan Muhtar Said, Dialekta Hukum Progresif,
Kaum Tjipian, Semarang, 2014.
Didik Haryadi Santoso, Covid 19 : Dalam Ragam Tinjauan Perspektif, MBridge
Press, Depok, 2020.
201

Emma Nurita, Cyber Notary, Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran, Refika
Aditama, Bandung, 2012
Febrika Nola, Peluang Penerapan Cyber Notary Dalam Peraturan Perundang-
Undangan DI Indonesia, BPHN, Jakarta, 2011.
Fernando Kobis, Pembuktian Surat Dalam Hukum Acara Perdata, Kencana,
Jakarta, 2018.
Fitria Pratiwi dan Lis Sutinah, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Visimedia, Jakarta, 2015
Ghansam Anand, Karakteristik Jabatan Notaris Di Indonesia,Zifatama, Jakarta,
2014
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Bandung : Refika Aditama,
2013.
Habib Adjie, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Jakarta : Narotama
Press, 2014.
Habib Adjie, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama,
Jakarta, 2015
H.. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,Bandung :
Alumni, 2014.
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perdata Mengenai Orang dan Kebendaan, Jakarta :
FH Utama, 2011.
Januarse H. Djami Riwu, Materi Pokok Hukum Perdata, Nusa Tenggara Timur :
Nusa Cendana Press, 2014.
Jimmly Asshidiqie dan Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006
Jimmly Asshidiqqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2016
Jimmly Asshidiqqie, Perihal Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi, Jakarta,
2013
Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum
Pidana, Tatanusa, Jakarta, 2012
Laila M. Rasyid, dan Herinawati, Modul Pengantar Hukum Acara Perdata,
Lhokseumawe : Unimal Press, 2015.
Leslie Smith, The Role Of The Notary In Secure Electronic Commerce, London,
Inggris : Queensland University of Technology, 2006.
Merry Magdalena, Undang-Undang ITE : Don’t Be The Next Victim, Jakarta :
Gramedia, 2014.
202

Muhammad Ali al-Hasyimi, Keadilan dan Persamaan dalam Masyarakat Muslim,


Jakarta : Islam House, 2014.
Muhammad Farid Alwajdi, Urgensi Pengaturan Cyber Notary Di Indonesia,
BPHN : Jakarta, 2020.
Muhamad Iqbal, Hukum Pembuktian Perdata, Unpam Press, Pamulang, 2019.
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum,Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2016,
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, CDSBL, Yogyakarta, 2003
Nyoman A. Martana, Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata, Udayana
Press, Denpasar, 2019.
Otje Salaman, et. all.,Metode Penelitian Hukum, Bandung : Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran, 2005.
Pengadilan Tinggi Medan, Hubungan Antara Fakta, Moral Norma dan Doktrin,
Pengadilan Tinggi Medan, Medan. 2012
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta : Kencana, 2017.
Petter Gottschalk, Policing Cyber Crime, Frederiksberg, Denmark : Ventus
Publishing, 2015.
Pratiwi Utami, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik,Yogyakarta : IKAPI, 2015.
Pratiwi Utami, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan
Penjelasannya, Yogyakarta : Jogja Bangkit Publisher, 2017.
Raida L. Tobing, Efektifitas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah
diperbaharui oleh Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Jakarta : BPHN, 2016.
Raoul Wallenberg Educational Team, Negara Hukum, Anna van Saksenlaan 51,
Netherland : Hill, 2014.
Rosalinda Elsina Latumahina, Aspek-Aspek Hukum Dalam Transaksi Perdagangan
Elektronik, Gema Aktualita, Surabaya, 2016
Runi Tusita dan Sophia Rengganis, Buku Saku Hukum Notaris, Jakarta : PWC
Press, 2015.
Safri Nugraha, Laporan Tim Kompendium Bidang Pemerintahan Yang Baik,
Jakarta : BPHN, 2014.
203

Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang Nomor 11 Tahun


2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta : Gramedia
Pustaka, 2008.
Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Gramedia, Jakarta, 2016
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika
Masalahnya, Editor : Ifdhal Kasim et.al., Elsam dan Huma, Jakarta, 2002
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung : Intermasa, 2016.
Susilowati Irianto, Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Universitas
Indonesia Press, Jakarta, 2012
Tim Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia, Modul Hukum Acara Perdata,
Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta,
2019.
Tim Penerbit Gradien Mediatama, Undang-Undang Internet dan Transaksi
Elektronik, Yogyakarta : Gradien Mediatama, 2015.
Tim Penulis HIPCAR, Electronic Transactions : Model Policy Guidelines and
Legislative Text In Indonesia, HIPCAR Press, Jakarta, 2017
Tim Penulis Suara Merdeka, Hukum dan Moral, Jakarta : Suara Merdeka Press,
2009.
Tim Visi Yustisia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Perdata, Visi Yustisia, Jakarta, 2016.
Wiratmanto, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta : Muhamadiyah Press, 2016.
Yulia, Buku Ajar Hukum Perdata, Lhokseumawe : BieNa Edukasi, 2015.
Yulia, Hukum Acara Perdata,Unimal Press, Lhokseumawe, 2018.

B. UNDANG-UNDANG

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan


Notaris

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik
204

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor


09/A/KP/XI1/2006/01

C. Jurnal dan Artikel

Bambang Winarto, Jurnal, Kesadaran Notaris terhadap Kewajiban Jabatannya,


UIN Press, Jakarta, 2014

Diyon P. Kencana Suwarno, Jurnal Tesis, Keabsahan Tanda Tangan Elektronik


Pada Perjanjian Kontrak Bisnis, Universitas Warmadewa, 2017.

Endah Suwarni, Jurnal Jayabaya, Penggunaan Dokumen Elektronik Yang


Dilegalisasi Sebagai Pengganti Akta Notaris Luar Negeri, Universitas
Jayabaya, Jakarta, 2018.

Erlinda Saktiani Karwelo, Prospek Pembacaan Dan Penandatanganan Akta


Notaris Melalui Video Conference, Universitas Brawijaya : Surabaya, 2018

Joan Venzka Tahapary, Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti
Yang Sah Ditinjau Dalam Hukum Acara Perdata, Universitas Indonesia :
Depok, 2016

Putri Visky Saruji, Jurnal Tesis, Kekuatan Hukum Pembuktian Tandatangan Pada
Dokumen Eelektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata,
Universitas Udayana : Denpasar, 2017

Shinichi Nakahara, Jurnal, Electronic Notary System and its Certification


Mechanism, Kanagawa, Jepang : NTT Information Sharing Platform
Laboratory, 2006.

Tutwuri Handayani, Pengakuan Tanda Tangan pada Suatu Dokumen Elektronik Di


Dalam Pembuktian Hukum Acara Perdata di Indonesia, Universitas
Diponegoro : Semarang, 2018.

Zainatun Rossalina, Jurnal Tesis Brawijaya, Keabsahan Akta Notaris Yang


Menggunakan Cyber Notary Sebagai Akta Otentik, Universitas Brawijaya
Press, Malang, 2019.
205

PERTANYAAN KEPADA STAF DIREKTORAT JENDERAL HAK CIPTA

1. Bagaimana prosedur standar pendaftaran merek oleh perseroan terbatas atau


perusahaan, pada direktorat jenderal haki pada Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia?
2. Bagaimana prosedur standar pendaftaran merek oleh perseroan terbatas atau
perusahaan yang berasal dari luar negeri, pada direktorat jenderal haki pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia?
3. Dapatkan perseroan terbatas atau perusahaan yang berasal dari luar negeri,
mendaftarkan merek di Indonesia dengan menggunakan dokumen
elektronik atau hasil print outnya? Kalau di perbolehkan dokumen apa saja
yang diperbolehkan? Dan kalau tidak boleh dokumen apa saja yang tidak
diperbolehkan?
4. Apa dasar hukum bagi perseroan terbatas atau perusahaan yang berasal dari
luar negeri dalam menggunakan dokumen elektronik dan atau hasil print out
nya dalam kaitannya dengan prosedur mendaftarkan merek di Indonesia?
5. Apakah dokumen notaris dalam bentuk dokumen elektronik dan atau hasil
print out nya, dapat dipergunakan sebagai dokumen atau persyaratan
pendaftaran merek atau perbuatan hukum lainnya? Kalau boleh / tidak boleh
apa dasar hukumnya?
6. Apakah akta notaris yang diperbolehkan digunakan dalam bentuk dokumen
elektronik atau hasil print outnya memiliki persyaratan khusus atau
persyaratan tambahan?
206

JAWABAN

1. Permohonan pendaftaran merek diajukan oleh pemohon atau kuasanya


kepada Menteri Hukum dan HAM secara elektronik atau non-elektronik.
Dimana standar prosedur dari pendaftaran merek melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut :
a. Pertama, pemohon atau kuasanya diharuskan untuk mengisi formulir
permohonan merek dalam Bahasa Indonesia kepada Menteri Hukum
dan HAM. Formulir ini ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dan
dilampiri dengan: Label merek. Apabila merek berbentuk tiga dimensi,
maka label merek dilampirkan dalam bentuk karakteristik merek
tersebut. Sedangkan apabila merek tersebut berbentuk suara, maka label
merek dilampirkan dalam bentuk notasi dan rekaman suara. Bukti
pembayaran biaya. Surat pernyataan kepemilikan merek yang
dimohonkan pendaftarannya. Surat kuasa, apabila permohonan diajukan
melalui kuasa. Bukti prioritas dan terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia, apabila pemohon menggunakan hak prioritas. Jika
permohonan diajukan oleh lebih dari satu pemohon yang secara
bersama-sama berhak atas merek tersebut, maka seluruh nama pemohon
dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat dari
pemohon. Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari
pemohon yang berhak atas merek tersebut dengan melampirkan
persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan. Perlu diingat
bahwa terdapat beberapa permohonan yang wajib diajukan oleh kuasa,
yaitu permohonan yang salah seorang atau lebih pemohonnya
merupakan WNA dan badan hukum asing yang berdomisili di luar
negeri; dan permohonan dan hal yang berkaitan dengan administrasi
merek yang diajukan oleh pemohon yang bertempat tinggal atau
berkedudukan tetap di luar wilayah NKRI.
b. Kedua, yaitu pengumuman permohonan pendaftaran merek.
Pengumuman ini dimuat dalam Berita Resmi Merek dan berlangsung
selama dua bulan. Dalam jangka waktu dua bulan ini, setiap pihak dapat
mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM
atas permohonan pendaftaran merek yang bersangkutan dengan dikenai
biaya. Keberatan ini dapat dilakukan jika terdapat alasan yang cukup
dan disertai bukti bahwa merek yang dimohonkan pendaftarannya
adalah merek yang tidak dapat didaftar atau ditolak. Keberatan tersebut
dapat disanggah oleh pemohon atau kuasanya dengan mengajukan
secara tertulis salinan keberatan kepada Menteri Hukum dan HAM
dalam jangka waktu paling lama dua bulan sejak tanggal pengiriman
salinan keberatan yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM.
c. Ketiga, yaitu penerbitan sertifikat merek. Apabila tidak terdapat
masalah dari permohonan pendaftaran merek yang diajukan dan lolos
pemeriksaan substantif, maka merek akan resmi terdaftar. Menteri
Hukum dan HAM akan menerbitkan sertifikat merek tersebut. Namun,
apabila pemeriksa memutuskan permohonan merek tidak dapat didaftar
207

atau ditolak, Menteri Hukum dan HAM memberitahukan kepada


pemohon atau kuasanya secara tertulis dengan menyebut alasannya.
Pemohon atau kuasanya dapat menyampaikan tanggapan secara tertulis
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
pengiriman surat pemberitahuan dari Menteri Hukum dan HAM
tersebut. Adapun Jika pemohon atau kuasanya tidak memberikan
tanggapan, maka Menteri Hukum dan HAM menolak permohonan
pendaftaran merek tersebut, Namun apabila pemohon atau kuasanya
menyampaikan tanggapan dan pemeriksa memutuskan tanggapan
tersebut dapat diterima, Menteri Hukum dan HAM kemudian
menerbitkan sertifikat merek tersebut. Apabila tanggapan dari pemohon
atau kuasanya tidak dapat diterima, maka Menteri Hukum dan HAM
menolak permohonan merek tersebut. Penolakan tersebut diberitahukan
secara tertulis kepada pemohon atau kuasanya dengan menyebutkan
alasannya.
2. Pada dasarnya pendaftaran merek yang berasal dari perusahaan asing diluar
negeri memiliki persamaan dengan pendaftaran merek lokal di Indonesia,
namun terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
pendaftaran merek yang berasal dari perusahaan asing diluar negeri, yaitu :
a. Perlindungan hak atas merek adalah bersifat teritorial. Dengan
demikian, apabila terhadap merek tersebut ingin diberikan perlindungan
hukum di Indonesia sehingga tidak dapat digunakan oleh pihak-pihak
lain, maka merek tersebut harus didaftarkan di Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual Indonesia (“Ditjen KI”). Pada dasarnya
pendaftaran merek memberikan perlindungan hukum bagi pemegang
hak atas merek. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang
menyatakan, “Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut
terdaftar.” Jadi walaupun merek yang dimiliki oleh perusahaan asing
tersebut telah terdaftar di negaranya, belum tentu merek tersebut telah
terdaftar di Indonesia.
b. Dalam perkembangannya, berdasarkan Regulasi Merek Internasional
(Madrid Protocol) dan Optimalisasi Perlindungan Merek Terdaftar bagi
Pelaku Usaha, diketahui bahwa Indonesia telah resmi menjadi anggota
Madrid Protocol yang ke 100, Madrid Protocol berlaku efektif di
Indonesia pada tanggal 2 Januari 2018. Madrid Protocol merupakan
suatu perjanjian internasional yang mengatur tentang sistem
administrasi pendaftaran merek secara internasional bagi para
anggotanya.
c. Dalam UU MIG, telah diatur juga mengenai permohonan pendaftaran
merek internasional dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Penting untuk
dibahas bahwa permohonan pendaftaran Merek internasional dapat
berupa Permohonan yang berasal dari Indonesia ditujukan ke biro
internasional melalui Menteri Hukum dan HAM (“Menteri”); atau
Permohonan yang ditujukan ke Indonesia sebagai salah satu negara
208

tujuan yang diterima oleh Menteri dari biro internasional. Sebagaimana


diamanatkan oleh Pasal 52 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, maka ketentuan lebih lanjut
mengenai Madrid Protocol diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Merek
Internasional Berdasarkan Protokol Terkait dengan Persetujuan Madrid
Mengenai Pendaftaran Merek Secara Internasional.
d. Dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2018 tentang Pendaftaran Merek Internasional Berdasarkan
Protokol Terkait dengan Persetujuan Madrid Mengenai Pendaftaran
Merek Secara Internasional, diatur sebagai berikut:
1) Menteri menerima Pendaftaran Internasional dari Biro
Internasional.
2) Setelah menerima Pendaftaran Internasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri melakukan pengumuman.
3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
4) Terhadap Pendaftaran Internasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri menerima biaya Pendaftaran Internasional dari
Biro Internasional.
e. Selanjutnya setelah merek tersebut didaftarkan, akan dilakukan
pemeriksaan substantif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.Kemudian
Menteri menyampaikan hasil pemeriksaan substantif yang dapat berupa
didaftar atau ditolak kepada Biro Internasional dalam jangka waktu
paling lambat 18 bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan
Pendaftaran Internasional. Dalam hal hasil pemeriksaan substantif
Pendaftaran Internasional didaftar, Menteri:
1) menyampaikan pernyataan pemberian pelindungan kepada Biro
Internasional;
2) menerbitkan sertifikat Merek; dan
3) melakukan pengumuman di dalam Berita Resmi Merek.
3. Pada dasarnya perseroan terbatas atau perusahaan yang berasal dari luar
negeri, dalam mendaftarkan merek di Indonesia dapat menggunakan
dokumen elektronik atau hasil print outnya, dimana hal tersebut
memungkinkan untuk dilakukan karena berdasarkan Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis,
memungkinkan dilakukannya pendaftaran merek secara elektronik atau
non-elektronik, dimana melalui pendaftaran elektronik, tentunya dokumen
yang dijadikan sebagai syarat pendaftaran merek tentunya berbentuk
dokumen elektronik.
Pada dasarnya dokumen apa saja yang dimaksud sebagai dokumen
elektronik tidak terdapat batasan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, sehingga dokumen yang
diperlukan sebagai syarat pendaftaran merek, bisa di pergunakan, atau
dibentuk dalam dokumen elektronik, sepanjang dokumen tersebut dalam
209

proses penerbitannya adalah dokumen yang sah serta tidak melanggar


ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Dasar hukum bagi perseroan terbatas atau perusahaan yang berasal dari luar
negeri dalam menggunakan dokumen elektronik dan atau hasil print out nya
dalam kaitannya dengan prosedur mendaftarkan merek di Indonesia, adalah
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis, memungkinkan dilakukannya pendaftaran merek secara
elektronik atau non-elektronik.
5. Dokumen notaris dalam bentuk dokumen elektronik dan atau hasil print out
nya, tidak dapat dipergunakan sebagai dokumen atau persyaratan
pendaftaran merek karena belum adanya payung hukum yang mengatur,
sedangkan larangan akta notaris dibuat dalam bentuk dokumen elektronik
masih dilarang dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diperbaharui
dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
6. akta notaris yang diperbolehkan digunakan dalam bentuk dokumen
elektronik atau hasil print outnya hanya dapat dipergunakan dalam hal
kewenangan notaris dalam mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara
elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat
terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

Jakarta, 26 Februari 2021


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Direktorat Merek dan Indikasi Geografis, DJKI

Kepala Sub Dit. Pemeriksaan Merek


T. Didik Taryadi, S.H.
210

PERTANYAAN TERHADAP NOTARIS

1. Apakah notaris di Indonesia sudah mengetahui mengenai konsep Cyber


Notary? Klo sudah mengetahui bagaimana gambaran konsep Cyber Notary?
2. Apakah di Indonesia saat ini sudah memungkinkan untuk diterapkannya
konsep Cyber Notary?
3. Bagaimana menurut notaris kaitan antara konsep Cyber Notary dan
dokumen elektronik?
4. Apakah notaris saat ini sudah bisa memanfaatkan teknologi, sistem
komunikasi, dan informasi yang ada untuk dapat mendukung konsep cyber
notary?
5. Apakah notaris mendukung penggunaan dan pemanfaatan teknologi, sistem
komunikasi, dan informasi yang ada untuk dapat membuat akta dalam
bentuk dokumen elektronik, serta mengakui keabsahan hasil print out dari
dokumen elektronik tersebut?
6. Apabila konsep cyber notary diterapkan di Indonesia, apakah yang akan
menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam penerapannya?
7. Apabila akta notaris dalam bentuk dokumen elektronik akan diakui sebagai
alat bukti yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta notariil
yang dibuat secara konvensional, apakah yang akan menjadi faktor
pendukung dan penghambat dalam penerapannya?
8. Bagaimanakah saran dan pendapat notaris agar konsep cyber notary serta
konsep akta notaris dalam bentuk dokumen elektronik dapat diterapkan
secara efektif dan maksimal di Indonesia?
211

JAWABAN

1. Konsep cyber notary pada dasarnya sudah diketahui oleh para notaris di
Indonesia, yaitu konsep pemanfaatan media telekomunikasi dibidang cyber,
dengan memanfaatkan sarana komunikasi dan informasi elektronik, seperti
media teleconference, tanda tangan digital, dan dokumen elektronik.
2. Di Indonesia saat ini secara kondisi dan situasi sebenarnya cukup
mendukung untuk dikembangkannya konsep cyber notary, namun pada
dasarnya payung hukum yang ada belum mendukung adanya konsep cyber
notary di Indonesia, serta perangkat notaris maupun pemerintah yang ada
saat ini juga belum mampu mendukung konsep cyber notary.
3. Konsep cyber notary serta hubungannya dengan dokumen elektronik secara
konseptual, dapat di maknai, dimana Konsep cyber notary merupakan
konsep yang mengatur mengenai tata cara bagi notaris dalam menjalankan
tugas dan fungsinya sebagai pejabat pembuat akta notariil atau akta otentik,
dengan memanfaatkan saran teknologi komunikasi dan media penyaringan
dan pendistribusian informasi melalui media elektronik, dimana akta dalam
bentuk dokumen elektronik merupakan hasil akhir dari proses konsep cyber
notary.
4. Pada dasarnya, generasi muda notaris, yang tidak awam dengan
pemanfaatan sarana teknologi komunikasi, media sosial, dan media
elektronik, seharusnya sudah bisa memanfaatkan teknologi, sistem
komunikasi, dan informasi yang ada untuk dapat mendukung konsep cyber
notary, namun para generasi notaris yang lebih tua, khususnya yang masih
sangat awam dengan teknologi komunikasi, media sosial, dan media
elektronik, tentunya akan sangat sulit dalam menerapkan konsep cyber
notary
5. Pada dasarnya terdapat beberapa pihak notaris yang mendukung
penggunaan dan pemanfaatan teknologi, sistem komunikasi, dan informasi
yang ada untuk dapat membuat akta dalam bentuk dokumen elektronik,
serta ingin mengakui keabsahan hasil print out dari dokumen elektronik
tersebut, namun dengan ketentuan hukum yang ada saat ini, yang masih
melarang adanya pembuatan akta dalam bentuk dokumen elektronik,
tentunya hal tersebut bertentangan dengan harapan dan keinginan beberapa
notaris yang ada.
6. Yang akan menjadi faktor pendukung konsep cyber notary diterapkan di
Indonesia diantaranya adalah :
a. Adanya anggapan bahwa konsep cyber notary akan memudahkan
Notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa terhalang jarak
dan waktu.
212

b. Generasi muda notaris maupun calon notaris di Indonesia yang sudah


cukup terbuka dan memahami perkembangan internet, teknologi
informasi dan komunikasi di Indonesia,
c. Adanya kondisi pandemi covid 19 saat ini yang mengharuskan adanya
social distancing, sehingga mengharuskan seluruh lapisan masyarakat
untuk menghindari adanya kontak langsung dengan sesama manusia,
serta
d. Perkembangan internet, teknologi informasi dan komunikasi di
Indonesia, yang saat ini sedang masive terjadi.
Adapun faktor penghambat dalam konsep cyber notary diterapkan di
Indonesia adalah:
a. Regulasi hukum yang membatasi beberapa kegiatan notaris dalam
pemanfaatan perkembangan internet, teknologi informasi dan
komunikasi di Indonesia, seperti adanya larangan dalam Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014, terhadap pembuatan akta notaris dalam bentuk elektronik,
maupun pemanfaatan internet, teknologi informasi dan komunikasi di
Indonesia, serta dalam Peraturan Kode Etik Notaris yang diatur dalam
peraturan Ikatan Notaris Indonesia terkait publikasi jasa notaris melalui
media sosial dan internet.
b. Hambatan dari segi sarana dan prasarana dari pemerintah yang belum
memiliki media untuk memeriksa otentifikasi keaslian akta notaris
dalam bentuk dokumen elektronik, dan
c. Masih banyaknya notaris yang belum menguasai dan mampu
mengimbangi perkembangan internet, teknologi informasi dan
komunikasi di Indonesia.

Desa
lambangsari,
Bekasi, 22
Februari 2021

Cut Riany, SH.,


M.Kn
213

Anda mungkin juga menyukai