Manajemen Nyeri Akut: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar 2014
Manajemen Nyeri Akut: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar 2014
Ni Putu Wardani
i
DAFTAR ISI
Hal
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………...………………………................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA …………………………….……………………... 3
2.1 Nyeri Akut …………………………………………………………………. 3
2.1.1 Definisi Nyeri ………………………………………………………... 3
2.1.2 Klasifikasi Nyeri …………………………………………………….. 3
2.1.3 Fisiologi dan Anatomi Nyeri ………………………………………… 5
2.1.4 Patofisiologi Nyeri …………………………………………………... 6
2.1.5 Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri ……………………………………... 15
2.1.6 Respon Tubuh Terhadap Stress Nyeri ……………………………….. 16
2.1.7 Pengukuran Intensitas Nyeri ………………………………………… 18
2.1.8 Diagnostik Nyeri …………………………………………………….. 20
2.2 Penatalaksanaan Nyeri Akut ………………………………………………. 21
2.2.1 Terapi Multimodal …………………………………………………... 21
2.2.2 Farmakoterapi Nyeri ………………………………………………… 22
2.2.3 Analgesia Balans …………………………………………………….. 30
2.2.4 Analgesia Preemptif …………………………………………………. 31
2.2.5 PCA ………………………………………………………………….. 32
2.2.6 Tim Nyeri Akut ……………………………………………………… 33
2.2.7 Servis Nyeri Akut ……………………………………………………. 33
BAB 3 SIMPULAN ………………………………………………………………… 34
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………. 35
BAB 1
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai sifat
yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi
disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas
sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association
for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi
rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.1,2
Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif
(aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan
psikologis).3,4
Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang menjadi
manfaatnya antara lain: manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme defensif, dan
membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri tetaplah merupakan
derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh karena menimbulkan
perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ.2 Bila tidak teratasi dengan baik
nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek
psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku,gangguan tidur
dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.5
Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang
tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan
ringan.3 Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh
penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan umumnya mereda dan
hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologi
terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita
oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan
baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik.2
Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan hanya
berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi juga
1
menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf.
Di lain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortilitas, dan mutu kehidupan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap
sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
1. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
2. non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll
Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Nyeri onkologik
b. Nyeri non onkologik
Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan
menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilan gbila
penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur
dan dering terjaga akibat nyeri.
Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi
tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan
nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus
pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai
beberapa komponen (gambar 2.1):6
a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi
dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.(orde 1)
c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara
serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara
lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.
MODULATION
TRANSMISSION
TRANSDUCTION
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang
bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat).
Serat A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5
m/dtk). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki
perbedaan, baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu
posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan
termal, sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik,
termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal
nociceptors. Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps
adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga
substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida.
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari
sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang
melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.1,3,5,6
Tissue Inflammation Sympathetic
Sensitizing SOUP
Hydrogen ion Norepinephrine
Histamine
Bradykinin
Potassium ion Prostaglandins
Purines Cytokines
Leucotrine
5-HT Nerve Growth Factor
Neuropeptides
Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri.
Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer.
Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif
pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian
khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari
informasi sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada
perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme “wind-up” dan perubahan-perubahan
lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer.
Dengan demikian antargonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin,
penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan
sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain
karena penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor
NMDA.
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses
biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi
NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler
akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan
mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin
menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel.
Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak
sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi
reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat
produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan
penanganan nyeri.
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana
memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini
mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan
terjadinya “wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri.
Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang
pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA.
Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral.
Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi
sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada
proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma
adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar
pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer
dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX2), sedangkan untuk menekan atau
mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau
anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.
2.1.5. Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri
Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat terjadi
karena ada suatu proses modulasi di kornua dorsalis medulla spinalis. Ini dimungkinkan
karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti :2
1. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar.
Stimulasi serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi interneuron
inhibisi di kornua dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A betha atau menggunakan
alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.
2. Serat inhibisi desendens.
Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis, yaitu :
a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.
b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus
c. Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal
Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri
neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini
akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.
Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG
kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan
ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang
dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan
endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.
3. Betha endorphin.
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor zat ini
dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia
gelatinosa.
4. Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis medulla sinalis
juga kaya dengan reseptor opioid.
Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan
reseptor opioid di substansia gelatinosa.
2.1.6. Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri.
Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Impuls nyeri oleh
serat afferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla
spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior
medulla spinalis.1
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin
yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui
serat saraf afferent diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla
spinalis dan juga diteruskan melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu anterior
medulla spinalis memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm
(hipoventilasi dan penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi
organ visera (distensi abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga
mempengaruhi respon suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan
imunologi yang menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap
psikologis pasien seperti interpretasi nyeri, marah dan takut.3,8
Dari gambar tangga dosis di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi inisial dilakukan pada
dosis yang lebih tinggi, dan kemudian diturunkan pelan-pelan hingga sesuai dosis
analgesia yang tepat.
Tabel 2.2. Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat nyeri
NYERI RINGAN
Farmakoterapi Tingkat I
Nama Obat Dosis Jadwal
Aspirin 325-650 mg, maks 4 g/hari 4 jam sekali
Asetaminofen 325-650 mg 4-6 jam sekali
Farmakoterapi Tingkat II
Ibuprofen 200 mg 4-6 jam sekali
Sodium Awalan 440 mg 8-12 jam sekali
Naproksen Selanjutnya 220 mg
NYERI SEDANG
Farmakoterapi Tingkat III
Nama Obat Dosis Jadwal
Asetaminofen Penyesuaian dosis. 4-6 jam sekali
Misal: Aspirin 1000 mg
Ibuprofen 4-6 jam sekali
Sodium Naproksen 8-12 jam sekali
Ketoprofen 4-6 jam sekali
Farmakoterapi Tingkat IV
Jika farmakoterapi tingkat III gagal, OAINS yang dipilih dapat diganti. Pilihan OAINS ke-2 sebaiknya
dari kelompok kimia yang berbeda (Lihat tabel analgesik non-opioid yang sering digunakan)
Farmakoterapi Tingkat V
Opioid (misal:codein)
NYERI SEDANG
Farmakoterapi Tingkat VI
Nama Obat Dosis Jadwal
Tramadol 50-100 mg 4-6 jam
NYERI BERAT
Farmakoterapi Tingkat VII
Nama Obat Indikasi Mekanisme
Morfin Bila terapi non narkotik tidak
efektif & terdapat riwayat
terapi narkotik untuk nyeri
Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang dapat
digunakan untuk menanggulangi nyeri akut.
1. Obat analgetika nonnarkotika.
Termasuk disini adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS)
Banyak jenis obat ini. Manfaat dan efek samping obat-obat ini wajib dipahami sebelum
memberikan obat ini pada penderita. Obat antiinflamasi nonsteroid mempunyai titik
tangkap kerja dengan mencegah kerja ensim siklooksigenase untuk mensintesa
prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini.
Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan sampai sedang.
Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul, sirup),
dalam kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra muskuler, dan
intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia
dalam kemasan yang dapat diberikan secara supositoria
Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Efektif untuk bedah
mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan opioid setelah bedah
mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi
dua obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan.
Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah kehilangan darah.
Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian oral
lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bisa
menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.
Kontraindikasi AINS
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Gambar 2.12. Algoritme untuk pemberian opioid im. Skor nyeri: 0, tidak ada nyeri; 1
nyeri ringan;2, nyeri sedang; 3, nyeri berat. Skor sedasi: 0, bangun; 1, ngantuk
kadang-kadang; 2 kebanyakan tertidur; 3, sukar dibangunkan. Morfin:berat
40-65 kg: 7,5 mg; berat 65- 100 kg: 10 mg : Naloxone:200 g iv, sesuai
kebutuhan.
Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat
dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik. Analgesia
yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang diberikan intratekal
hanyalah obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia
lokal tidak boleh langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah. Memberikan analgesia
tambahan untuk semua jenis operasi. Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh
terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir
prosedur akan menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak
menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung
beberapa jam atau hari jika digunakan teknik kateter.
Komplikasi bisa terjadi:
Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi pada
anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot yang menyertai blok
saraf besar.
Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian
aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai dari
kebingungan ringan, sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti
jantung.
Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan mediko-legal.
Ekstra hati-hati diperlukan ketika memberikan obat.
Patient controlled Administration (PCA) merupakan metode yang saat ini tengah
popular dan digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia parenteral harus
diberikan lebih dari 24 jam.1,6 PCA ini begitu popular disana karena selain menghindarkan
dari injeksi intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa dikontrol sendiri oleh
pasien.6
Bisa menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien
mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia
dan pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada :
Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.
Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.
Dana : pompa infus PCA mahal.
Obat: morfin
Konsentrasi: 1
mg/ml Dosis bolus: 1
mg Waktu stop: 5
menit
Dosis bolus: jumlah obat yang diberikan oleh pompa
bila pasien bisa menentukan kebutuhan.
Waktu stop (lockout time): jumlah waktu di mana pasien
akan mendapat hanya satu dosis dari pompa
Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar itulah
PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak ataupun lebih
sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang analgesik, pasien
dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka butuhkan (selama masih
dalam batasan terapi).6 Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan
individu. Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus atau katup satu arah pada
infus jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar
opioid dalam infus
Tim nyeri akut ada pada banyak rumah sakit. Ini merupakan sumber bantuan dan
informasi bagi staf bedah yunior. Biasanya dikepalai oleh spesialis anestesi, dengan
perawat spesialis yang menjalankan pelayanan dari hari ke hari. Jika apoteker dan dokter
bedah terlibat, perbaikan dalam praktek dan penerapan perubahan lebih mudah.
Tujuan dari tim adalah memperbaiki dan memelihara standar dalam manajemen nyeri
akut. Tanggung jawab mereka adalah:
Melatih dan mengajarkan staf dokter dan perawat
Memberikan informasi kepada pasien
Memberikan pelayanan untuk masalah yang terkait dengan manajemen nyeri akut
Audit efek-efek (diinginkan dan tak-diinginkan) dalam praktek manajemen nyeri.
Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang
sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan manifestasi
dari suatu proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut merupakan sensibel
nyeri yang mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak
dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Beberapa
prinsip dalam manajemen nyeri sebagai berikut :
Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu
didengarkan dan dipercaya.
Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa
seseorang sedang berpura-pura nyeri.
Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi
pada berbagai pasien.
Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh pasien.
Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.
Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah. Cari sebab-sebab nyeri yang bisa diatasi,
tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda bedah.
Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’
Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan
kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan
anestesi lokal)
Diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri
Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya
biasanya lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring dengan laju
proses penyembuhan jaringan yang sakit.
Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan
usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi.Pengobatan
yang direncanakan untuk menangulangi nyeri harus diarahkan kepada proses penyakit
yang mendasarinya untuk mengendalikan nyeri tersebut. Pemahaman tentang patofisiologi
terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita
oleh penderita. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri akut ini.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford:
Appleton and Lange, 1996, 274-316.
2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.
3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UI, Jakarta, 2001.
4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain
Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25
5. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s
Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-65
6. Avidan, M., Pain Managemnet, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain
Management and Intensive Care, London, 2003, 78-102
7. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional
Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005
8. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran Perioperatif,
Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-69.
9. Melati, Endang., Pediatric Pain Management In Trauma,
Trauma, Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,
Palembang, 2003.
10. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.
11. Tanra, Husni., Prehospital Pain Management for Trauma Patient, Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Makasar,
2002.
12. Arifin, Hasanul., Pengelolaan Nyeri Akut, Bagian/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002.
13. Mangku G., Nyeri dan Mutu Kehidupan, Buletin IDI, Denpasar, 2005.
14. Meliala A. Pemeriksaan Nyeri, Neuro Sains, Suplemen BNS Vol 4 No 2, 2003, 33-
37.
15. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Peresepan Periperatif, in Kedokteran Perioperatif,
Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 52,403-420