a. Yang paling pertama bicara sekalian membuka video (Assalamualaikum, kami dari kelompok B1
akan menjelaskan mengenai blabalbalala)
b. Kalau ada soal tetep dibaca soalnya tapi jangan jadi kayak pertanyaan, contoh
a. Buat no 1 langsung baca jawabannya aja “Menurut UU….”
b. Buat no 2 bacanya “Selanjutnya, Kesehatan menjadi bagian penting dalam
pembangunan berkelanjutan. Dalam Sustainable…..”
c. Pertanyaan No 3 bacanya “Permasalahan kesehatan apa sajakah yang perlu segera
ditangani salah satunya adalah Komplikasi pada Kehamilan dan Persalinan…”
d. Tapi kalo mau dibaca jadi soal biasa juga terserahh, yang penting kalo ada pergantian
soal atau poin jelas loncat2nya.
c. Di video gausah ngenalin diri nama/nim biar di edit di video aja.
d. Yang bicara paling akhir ngomong pentutupan “Sekian dari kelompok kami, Terima kasih
balbalabala”
3. Permasalahan kesehatan apa sajakah yang perlu segera ditangani (minimal 2 case),
mengapa?
Jawab :
Komplikasi pada Kehamilan dan Persalinan
Berkurangnya angka kematian ibu merupakan salah satu target SDGs, kematian
ibu diharapkan turun di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2030. Dari data
Riskesdas tahun 2018, dilaporkan penurunan jumlah absolut kematian ibu dari 4.999 Ibu
(tahun 2015) menjadi 4.295 Ibu (tahun 2017). Namun angka ini masih di atas target
SDGs. Kematian ibu dan kesakitan ibu hamil dan bersalin sudah lama mnjadi masalah
kesehatan, khususnya di negara-negara berkembang. Sekitar 25-50% kematian
perempuan usia subur disebabkan oleh hal yang berkaitan dengan kehamilan dan
persalinan. Hal ini mayoritas disebabkan oleh komplikasi kehamilan dan melahirkan.
Secara langsung, komplikasi kehamilan dan melahirkan dipengaruhi oleh 4
terlalu, yaitu Hamil terlalu muda (primi muda) usia ibu < 20 tahun, hamil/ bersalin
terlalu tua (grande multi) usia ibu > 35 tahun, terlalu dekat jarak kehamilan atau
persalinannya < dari 2 tahun, dan terlalu banyak anak (anak lebih dari 4). Status
ekonomi, tingkat pengetahuan dan pendidikan ibu.
(Afifah) Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (covert behavior). Dari pengetahuan dan
penelitian ternyata perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari
pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki ibu
tentang pelayanan Antenatal care (ANC) dan pentingnya pemeriksaan kehamilan
berdampak pada ibu hamil akan memeriksakan kehamilannya pada petugas
kesehatan (Depkes RI, 2012).
Apabila seorang ibu hamil memiliki pengetahuan yang lebih tentang resiko tinggi
kehamilan maka kemungkinan besar ibu akan berpikir untuk menentukan sikap,
berperilaku untuk mencegah, menghindari atau mengatasi masalah resiko kehamilan
tersebut dan ibu memiliki kesadaran untuk melakukan kunjungan antenatal untuk
memeriksakan kehamilannya, sehingga apabila terjadi resiko pada masa kehamilan
tersebut dapat ditangani. Pendidikan berhubungan dengan tinggi rendahnya tingkat
pemahaman antenatal care bagi ibu hamil. Semakin baik tingkat pemahaman ibu hamil
tentang antenatal care tentunya semakin baik pula tingkat kepatuhannya dalam
antenatal care.
Gizi buruk adalah status gizi yang berdasarkan pada indeks berat badan menurut
umur yang merupakan padanan dari istilah underweight (gizi kurang) dan severely
underweight (gizi kurang). Seorang balita disebut menderita gizi buruk yakni apabila
indeks berat badan menurut umurnya tidak sesuai dengan berat badan anak
seumurannya.
Seorang balita yang mengidap gizi buruk yakni kondisi ketika anak tidak menerima
nutrien, mineral, dan kalori yang cukup untuk perkembangan organ vital yang
seharusnya tumbuh. Penyebab utama dari gizi buruk adalah kurangnya balita atau anak-
anak dalam memperoleh makanan dengan kandungan yang dibutuhkan oleh tubuhnya.
Hal ini dikaitkan dengan ekonomi masyarakat yang kurang untuk memenuhi dan
memberikan makanan dengan kandungan yang cukup untuk perkembangan balita dan
anaknya. Gizi buruk tidak terjadi secara langsung, kondisi ini berlangsung secara
bertahap. Sebenarnya gizi buruk dapat diatasi jika ada pemahaman soal hal tersebut.
Berdasarkan laporan gizi global atau Global Nutrition Report pada 2018, Indonesia
termasuk kedalam 17 negara yang memiliki 3 permasalahan gizi sekaligus. Ketiganya
yaitu stunting(pendek), wasting(kurus), dan overweight(obesitas).
Banyak penyakit yang dapat timbul akibat dari kurangnya asupan gizi yang
diperlukan oleh tubuh yakni, beri-beri yakni karena tubuh kekurangan asupan vitamin
B1, Kwashiorkor yakni kondisi dimana tubuh kekurangan asupan protein, skorbut adalah
penyakit dimana tubuh kekurangan vitamin C, dan masih banyak penyakit lain yang
dapat disebabkan oleh kekurangan gizi.
(Binti) Penurunan angka kekurangan gizi pada balita dan masyarakat merupakan
salah satu target SDGs dibidang kesehatan yakni pada tahun 2030, mengurangi hingga
sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak menular, melalui pencegahan dan
pengobatan, serta meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan. Dan juga
mencapai cakupan kesehatan universal, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses
terhadap pelayanan kesehatan dasar yang baik, dan akses terhadap obat-obatan dan
vaksin dasar yang aman, efektif, berkualitas dan terjangkau bagi semua orang.
Apabila masyarakat tahu dan juga sedikit paham tentang gizi buruk ini maka
kekurangan gizi pada masyarakat dapat dicegah. Untuk pencegahan gizi buruk pada
anak tersebut dapat dimulai dengan memaksimalkan pemberian ASI eksklusif, orang tua
terampil menyesuaikan menu MPASI bagi anak yang sudah tidak bergantung pada ASI,
rutin periksa kesehatan di posyandu atau puskesmas, dan jika memungkin sediakan pula
makanan tambahan dan suplemen gizi agar tumbuh kembang anak semakin optimal.
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan gizi buruk dapat dilakukan dengan
memperhatikan 3 aspek utama, yakni legal substance, legal structure dan legal culture.
Untuk aspek legal substance dapat dilakukan melalui proses pembentukan hukum yang
berkelanjutan dan mengedepankan nilai nilai kemanfaatan (Kesehatan). Di dalam
substansi hukum ini harus diatur mengenai imunisasi, standar standar Kesehatan yang
harus diterima masyarakat, pelayanan publik seperti rumah sakit, sanitasi dan lain
sebagainya. Pada legal culture ialah berkaitan dengan kelembagaan pemerintah daerah
yang berkecimpung di ruang lingkup Kesehatan. Pembentukan kelembagaan, evaluasi
kerja, optimalisasi kerja dan penyesuaian tupoksi dari Lembaga tersebut menjadi hal
yang perlu difokuskan dalam aspek ini. Untuk aspek legal culture dalam mengatasi
permasalahan gizi buruk harus dibagi menjadi dua, yakni kepada Lembaga dan juga bagi
masyarakat. Perbaikan budaya pada Lembaga ialah perbaikan kebiasaann lembaga yang
lebih profesional dan bermartabat guna ditujukan untuk mendorong pembuatan
substansi hukum yang berkeadilan dan berkemanfaatan, proses pelaksanaan di
lapangan yang efisien dan bertanggungjawab. Untuk masyarakat perbaikan budaya yang
harus didorong adalah jiwa proaktif dari masyarakat dalam mendukung kegiatan
pemerintah, dan paham terhadap setiap kebijakan dari pemerintah.