Anda di halaman 1dari 4

KEADAAN PERBURUHAN, “HIDUP MEREKA SEPERTI PERTAPA”

(Kompas, 1992)

Kalau pada dekade 1970-an banyak teoritisi pembagunan berang melihat arah
pembangunan yang melalaikan kemanusiaan, maka sekarang di Indonesia pemikiran
itu malah semakin terbukti kebenarannya. Yakni pertumbuhan dan pembangunan
tidak selalu identik dengan kemajuan, bahkan jika dihitung dengan biaya sosial (Social
cost) dan kemanusiaan yang harus dibayar untuk semua itu, proses yang
berlangsung, justru bisa mengarah pada degradasi yang bertentangan dengan
peradaban zaman modern.
Gambaran paling lugas mengenai hal ini bisa disimak dari output dan nilai
produksi sektor industri dan manufaktur yang terus meningkat setiap tahunnya.
Sementara diseberang sana ratusan ribu buruh hidup sengsara dengan anak-bininya.
Kesenjangan ini menjadi begitu dasyat ketika para pengusaha dan konglomerat hidup
berlimpah dolar dan yen, sedangkan para buruh berada pada tingkat kemiskinan yang
sangat parah.
Persoalan yang menjadi keprihatinan masyarakat dan pemerintah ini, kayaknya
mirip penyakit yang nyaris tidak tersembuhkan. Dengan kata lain, ketika pemerintah
menetapkan upah minimum yang rendah sekalipun, hanya sedikit pengusaha yang
mematuhinya.
Satu gejala yang belakangan menguat adalah, meningkatnya aksi pemogokan
buruh terjadi sejak tahun 1991. Barangkali inilah tahun penuh pemogokan, sejak hak
itu dibekukan awal Orde baru demi melindungi industri dan perekonomian. Sampai
bulan September saja, Menaker Cosmas Batubara mencatat ada 85 kasus
pemogokan. Tak berlebihan jika Kanwil Depnaker Jatim misalnya, mencatat 47 kasus
pemogokan di propinsi itu, sementara di Bekasi tercatat 25 kasus dan di Bogor 13
kasus. Itu belum termasuk Tangerang yang pernah dalam sebulan yaitu Februari lalu
terjadi 8 aksi mogok melibatkan 6 000 pekerja.
Mungkin terlalu cepat untuk menyimpulkan, pemerintah mendukung
pemogokan sebagai hak buruh. Tapi gebrakan mencabut Keppres nomor 123/1963
tentang larangan mogok kerja jelas memberi legalitas pada tuntutan peningkatan
kualitas hidup buruh. Seperti “bendungan bobol”, segala aspirasi muncul ke
permukaan, sesudah hampir 24 tahun dunia usaha dilindungi dari kemungkinan
pemogokan. Tapi inipun tidak banyak membawa hasil, kendati aksi mogok
melibatkan ribuan buruh. Para pengusaha tidak peduli dengan unjuk rasa selama
aparat keamanan dan Depmaker bisa diyakinkan, bahwa pemogokan itu mengandung
unsur “persengkokolan jahat atau sabotase”
“Tiga tahun saya bekerja hanya dengan upah Rp 2 200,-/hari” kata Sukirman,
karyawan perusahaan garmen patungan Indonesia-Korea Selatan di Kawasan Cakung,
Jakarta Timur. “Ada beberapa yang memberi Rp 2 100.-, tetapi didalamnya sudah
termasuk biaya transpor dan makan” kata sejumlah buruh di Bekasi. Perusahaan
sering akal-akalan menaikkan komponen makan, atau lebih tinggi dari harga riil
makanan yang mereka beri kepada karyawan. “Kalau dihitung-hitung, setiap bulan
tidak ada uang yang bisa ditabung”, kata Susi, karyawati di sebuah perusahaan
garmen patungan Indonesia-Taiwan, di Kawasan Berikat Cakung. Lantas dengan jam
kerja dari pukul 07.30 hingga 15.30, Susi bisa membawa pulang Rp 1500,- per hari,
jika ia sanggup tidak membeli minuman untuk menahan haus atau jajan lainnya.
Maka agar keluar dari segala keruwetan, satu-satunya pilihan adalah kerja
lembur. Dan ini sangat diharapkan perusahaan, agar perusahaan terus berjalan. untuk
1
memenuhi permintaan pakaian jadi, sepatu atau perabot lain, yang terus meningkat
dari luar negeri. Dan selama peroduksi berjalan, ini identik dengan pemasukan dolar
dan yen. Beberapa perusahaan malah memaksa buruhnya lembur. Susi misalnya,
kerap bekerja dari pukul 07.30 hingga 21.00. Jam kerja yang sangat luar biasa ini,
atau hampir 14 jam sesungguhnya sudah berada diluar batas kemampuan fisik
manusia. Tapi itulah yang terjadi, kendati upah minimum-pun jauh dibawah
kebutuhan fisik minimal.
Padahal, kondisi kerja, masih jarang mendapat perhatian dari pengusaha.
Hanya sedikit perusahaan yang menyediakan masker yang diperlukan dalam industri
kayu, kimia atau sejenisnya. Sedang ikhwal kesejahteraan buruh, seperti tuntutan
tunjangan kesehatan atau cuti haid, bagi mayoritas industri masih dianggap terlalu
luks. “Jangankan cuti haid, tidak masuk kerja sehari saja dipotong upah Rp 5 000,-
tutur sejumlah buruh di Kawasan Berikat Cakung.
Sesungguhnya pemerintah tidak tinggal diam dan telah mencoba berbagai cara
untuk “mengancam” perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan upah minimum.
Menurut Menaker, kini sudah 40 perusahaan ditindak karena melanggar ketentuan
upah minimal. Beberapa diantaranya malah ada yang diseret ke pengadilan.
“Kewajiban jangan hanya dituntut dari pekerja, tapi juga pengusaha” kata Menaker
Cosmas Batubara sesuai ketentuan presiden, November lalu.
Tapi karena ancaman hukuman hanya 3 bulan penjara atau denda Rp 100
000,-, maka bagi pengusaha, hal ini tidak berarti ketimbang keuntungan yang
diperoleh dari menekan upah buruh. Ancaman pidana jelas tidak membuat mereka
jera. Lantas akibat tidak dipenuhinya hak para pekerja itu sejumlah industri, dilanda
pemogokan. Konglomerat Gajah Tunggal dan Great River-pun terkena, ketika 14 000
pekerjanya mogok. Serikat Buruh di Amerika Serikat sampai ikut menunjukkan
keprihatinannya dan meminta pemerintahnya mengurangi kuota tekstil dari Indonesia.
Lihatlah apa yang terjadi di Bekasi, salah satu pusat industri terbesar di
Indonesia. Lebih dari 50 persen perusahaan tidak memenuhi ketentuan upah
minimum. Sedang berbagai perusahaan di Jakarta dan Tangerang baru beberapa
bulan terakhir menaikkan upah setelah sejumlah pemogokan dan protes melanda
perusahaan tersebut.
Di Majalaya (Bandung), suatu perusahaan tekstil tega pula mengharuskan
buruh (karyawannya) membeli handuk afkiran. Seiap gajian pendapatan karyawan
dipotong untuk membayar handuk yang tidak mungkin laku di pasaran itu. Satu
handuk harganya Rp 3 500,-. Padahal produk yang bukan afkiran hanya Rp 4 000,- di
pasaran. Setiap bulannya karyawan diharuskan membeli 4 handuk, atau seharga Rp
14 000,-. Ratusan karyawan perusahaan ini unjuk rasa awal November lalu sebagai
protes atas berbagai kebatilan di perusahaan itu.
Dalam wujudnya aksi mogok-pun muncul dengan berbagai cara. Ada yang
langsung dimulai ketika pekerja akan mmulai bekerja, dengan cara duduk di
halaman. Ada yang disertai penggelaran poster dan spanduk. Ada yang dengan
berbondong-bondong mendatangi DPR seperti yang dilakukan oleh buruh garmen PT
Great River di Bogor. Tapi ada juga yang disertai perusakan kantor dan kendaraan
perusahaan seperti di PT Spartan Indah Shoes di Tegalsari, Tangerang, ketika 1 000
pekerjanya mogok.
Ketiadaan pilihan untuk menyelesaikan persoalan, tampaknya membuat aksi
mogok menjadi saluran yang pantas dipertaruhkan buruh. Yang dituntut pada
umumya menyangkut ketentuan normatif seperti upah minimum, pembentukan

2
serikat buruh (unit SPSI), kesertaan Astek (asuransi tenaga kerja, pen.), hak cuti, jam
kerja dan upah lembur.
Memang bukan tanpa korban. Di sebuah pabrik bola di Pondok Ungu Bekasi
misalnya, 50 pekerja di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja, pen.), sesudah menuntut
kenaikan upah sesuai ketentuan pemerintah. PHK itu gila-nya-dilakukan sesudah
mereka diharuskan menandatangani surat pengunduran diri, sebagai jaminan
pesangon. Jika tidak mau menandatangani, pekerja itu tidak boleh memasuki
halaman pabrik dan dibiarkan berdiri dekat pos satpam.
Nasib serupa menimpa 200 pekerja PT MSAP di Jarakostra Cibitung Bekasi
yang di-PHK karena menuntut pendirian unit SPSI (Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia). Sebagian memang menandatanganinya surat pengunduran diri sebelum
di PHK , tapi ada juga yang tandatangannya diwakili oleh personalia perusahaan.
Sebenarnya bukan tanpa syarat ketika pemerintah mencabut larangan mogok yang
berlaku sejak 1963 dengan Keppres omor 27/1990. Lewat Keppres itu, mogok hanya
boleh dilakukan jika musyawarah tripartit (wakil pemerintah, serikat buruh dan
perusahaan, pen.) buntu, dan rencana mogok itu harus diberitahukan dahulu kepada
P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah. pen.) dan perusahaan.
Kenyataannya, musyawarah baru bisa berjalan “serius” jika pekerja sudah lebih
dulu melakukan pemogokan. Sebelum pemogokan tuntutan dan aspirasi buruh,
seringkali dianggap sepi oleh pengusaha. Buat pekerja mogok dulu, atau
musyawarah, akhirnya Cuma soal memilih mana yang lebih taktis saja.Apalagi
lembaga yang mendukung tripartit sendiri, yaitu Depnaker, Apindo yang mewakili
pengusaha dan SPSI yang mewakili pekerja, sering tidak harmonis dan malah asyik
ribut sediri. Kakandepnaker Bekasi Chepy Aloewie misalnya, sempat berang ketika
SPSI Bekasi nyelonong melapor ke Menaker tentang adanya 10 perusahaan yang
membayar upah dibawah KFM (Kebutuhan Fisik Minimum, pen.). Reaksi selanjutnya,
Depnaker lalu mengharuskan SPSI mengikutsertakan aparat keamanan, setiap kali
mengadakan pertemuan organisasi.
Repotnya reaksi mogokpun tidak dilihat tanpa praduga oleh aparat keamanan.
Apalagi kehadiran aparat keamanan dalam (dalam perusahaan pen.)memang
dimungkinkan lewat UU nomor 22 tahun 1957 dan Keputusan Manaker nomor 342
tahun 1986. Dan kenyataannya, aparat keamanan hadir dalam setiap aksi mogok,
baik dalam menjalankan fungsinya menjaga keamanan dan ketertiban maupun
sebagai penengah perselisihan perburuhan.
Lantas dengan keterlibatan aparat keamanan, paling tidak ada tiga alternatif
penyelesaian perburuhan. Pertama, adalah akomodasi dari aspirasi pekerja dengan
keinginan pengusaha, sedemikian sehingga memuaskan semua pihak. Kedua, adalah
akomodasi kepentingan dengan efek samping di-PHKnya sejumlah pekerja. dan
Ketiga adalah tindakan represif dengan mencari kambing hitam pemogokan.
Sementara substansi perselisihan tak terurus. Yang sering terjadi adalah kombinasi
dari ketiganya, yaitu ada buruh yang di-PHK dan ada yang ditangkap. dituduh sebagai
perusuh dan biang keributan.
Jalan keluarnya memang jadi kasuistis Akan tetapi resiko yang dihadapi buruh,
lalu jadi bertambah dengan keterlibatan aparat keamanan dalam menangani
perselisihan perburuhan. Posisi buruh menjadi kian terpojok, oleh sedikitnya
kemungkinan yang memihaknya. Yang jelas, kalau aparat keamanan harus
melakukan pendekatan pidana, tentu buruh yang jadi “tersangka”, sementara
pengusaha adalah “saksi korban”. Konstruksinya meski begitu, tidak mungkin dibalik.

3
Maka jika kemudian disimak keadaan Kawasan Berikat Cakung yang meliputi
sejumlah perusahaan dengan seluruh produknya untuk ekspor, setumpuk kejanggalan
akan kelihatan. Orang-orang asing yang menanamkan modal di sini dan sekaligus
jadi “mandor-mandor”, nyaris tidak mencirikan citra modal asing yang disebut-sebut
membawa kesejahteraan dan kebahagiaan.
Buruh di Cakung tetap hidup pas-pasan. Di lokasi sini sekitar 90 persen buruh
adalah wanita. Dan sebagaimana kodratnya mereka yang disebut makhluk lemah
ketimbang pria, maka mereka-pun menerima semua keadaan itu sebagai kelanjutan
kodrat tadi.
“Apa itu SPSI”, tanya sejumlah buruh wanita di kawasan industri di Jalan Raya
Serang Kabupaten Tangerang. Masih di sekitar kawasan ini, atau di Km 6 dan 7
dimana banyak berdiri dengan megahnya industri-industri besar yang berorientasi
ekspor, wanita-wanita pekerja ini tidak begitu tahu tentang apa itu upah minimum,
SPSI, kondisi kerja dan lain sebagainya.
Lantas itu pula sebabnya pekerja-pekerja wanita makin disukai pengusaha.
Anak-anak dibawah usia kerja diserap dalam industri ini sejauh semua bisa
mendatangkan uang. Sekarang tenaga kerja semakin melimpah. Pertanian tidak lagi
memberikan harapan untuk sebatas bisa memberi makan 2-3 kali sehari. Ribuan
orang setiap hari membanjiri Jakarta, Bogor dan Tangerang dan Bekasi (JABOTABEK)
untuk mencari kerja. Bagi pengusaha kondisi tersebut merupakan alasan kuat untuk
tetap menekan upah buruh.
Semua tahu bahwa upah minimal (UMR) itu jauh dibawah kebutuhan fisik
minimal (untuk pekerja dengan dua anak di Jakarta berkisar Rp 177.178,-/ bulan
dalam tahun 1990). Artinya seandainya-pun upah minimal dilaksanakan oleh
perusahaan, buruh tetap hidup melarat. Sebaliknya seandainya perusahaan
menaikkan upah sampai pada kebutuhan fisik minimum-pun, pengusaha tidak akan
bangkrut atau jatuh melarat. Maka jika dipertanyakan bagaimana buruh bisa hidup
dengan upah yang sangat rendah, jawabannya mungkin seperti apa yang ditulis
Albert Camus dalam novelnya (La Peste) yang mengerikan mengenai penyakit sampar
(penyakit kolera, pen.) di Aljazair, bahwa kehidupan mereka seperti pertapa. Itulah
yang membuat bisa menahan lapar, dahaga, sakit, dan semua penderitaan lainnya.
hingga tarikan nafas terakhirnya. Selamat datang modal asing dan para konglomerat.
Penelusuran wartawan Kompas, tentang kondisi perburuhan dan pemogokan di Kawasan
Industri JABOTABEK.

Berdasarkan bacaan diatas, jawablah pertanyaan berikut !

1. Dari bahan bacaan di atas, apakah terjadi diskriminasi pekerjaan? Jelaskan!


2. Sebagai organisasi ekonomi, perusahaan sangat kuat posisi bersaingnya
(Bargaining position) terhadap posisi buruh. Benarkah hal tersebut berlaku pada
konteks bacaan tersebut diatas, jelaskan dengan melihat kondisi pasar tenaga
kerja dan kebijakan ketenagakerjaan pemerintah Indonesia !
4. Aspek Sosialisasi Organisasi buruh yang tidak berhasil dan nilai budaya yang
melekat pada buruh wanita tampaknya dimanfaatkan pengusaha, sehingga
kesenjangan buruh-pengusaha mencolok, benarkah demikian, jelaskan !.
5. Apa makna pernyataan kehidupan mereka seperti pertapa, terkait dengan
kondisi perburuhan di Indonesia dan mengapa mereka bersikap dan bertindak
demikian ?.
4

Anda mungkin juga menyukai