Anda di halaman 1dari 11

Praktikum Ketiga Etika Bisnis

“ROKOK PINGGIRAN, ROKOK INTELEKTUAL”

kelompok 4

Anggota :
1. Anisha Febri Alfianti (J3G219089)
2. Azmi Khairunnissa (J3G119015)
3. Frida Lutfia Abdillah (J3G819074)
4. Nadira Azalia H (J3G919126)
5. R M Syahrul A (J3G119056)
6. Rifky Putra Mahendra (J3G819079)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI BENIH


SEKOLAH VOKASI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
RINGKASAN

Rokok Pinggiran, Rokok Intelektual


(Butet Kertaredjasa, Kompas, Desember 2003)

Jika anda mengaku “intelektual” dan belum mengisap rokok merek “DJA YEN NG”
segeralah anda mengisap rokok seharga Rp 2 500,- keluaran pabrik rokok PT. Djayeng
Kudus, Jawa Tengah. Setidaknya, begitulah harapan copy writer rokok ini. Soalnya rokok
dengan kertas kemasan warna hijau lumut dengan tampilan desain ala rokok legendaris DJI
SAM SOE ini, di balik kemasan memuat pernyataan serius tapi (kalau direnungkan) jenaka :
“Rokok ini memakai tembakau sangat canggih dan cocok untuk kaum intelektual”.

Gambar Rokok Pinggiran “DJA YEN ENG”

Rokok dengan kemasan bertehnik cetak sablon yang bisa diperoleh di kios-kios di
pedesaan kawasan pesisir utara Jawa, tepatnya di sekitar Desa Dukuh Seti, Dayu, Pati
Rembang, Jawa Tengah, ini adalah salah satu dari ratusan merek rokok marginal. Rokok yang
beriklannya cuma lewat poster dan spanduk, atau bahkan tidak sama sekali. Rokok-rokok
yang harga sebungkusnya tak pernah lebih dari lima ribu perak ini, memang beredar dan
bertarung di wilayah pinggiran. Konsumen yang disasar (menjadi target pemasaran.pen.)
masyarakat yang secara ekonomi dan sosial sedang terpinggirkan (termarginalisasi).
Maka janganlah kemudian menerka, rokok murah meriah itu ikut-ikutan bertempur
dalam adu promosi sebagaimana merek-merek papan atas yang saban malam
menghamburkan milyaran rupiah melalaui perang iklan ti televisi. Juga jangan kurang
kerjaan mencari merek-merek rokok yang gambarnya bertebaran disini di (pasarkan)
supermarket perkotaan. Mereka adanya Cuma di warung, di kios-kios sederhana, itu-pun
setinggi-tingginya di tingkat wilayah kecamatan dan kabupaten.
Namun begitu dari mereka merek yang terkadang tanpa malu-malu mengekor bahkan
sengaja memirip-miripkan dengan grafisnya dengan rokok merek rokok kondang ini, orang
bisa membaca adanya perjuangan membangun eksistensi yang tak kenal lelah. Baik melalui
ikhtiar mematok harga jual, aspek pemasaran yang umumnya model konsinyasi alias jual
dulu-bayar kemudian, penamaan brand yang sugestif dan kadang berbau dukun, maupun
pada usaha meyakinkan konsumen dengan sihir kata-kata sebagaimana “rokok intelektual”
itu.
Berfikir positif itu memang menyehatkan, termasuk ketika kita mencermati desain
visualnya yang dengan penuh kesadaran menunggangi merek terkenal yang telah menjadi
ikon publik. Orang mudah terkecoh menyangka merek aneh-aneh itu seakan-akan
kembarannya DJI SAM SOE, DJARUM 76, DJARUM SUPER, GUDANG GARAM atau
WISMILAK.
Perburuan (penelusuran-pengamatan) sepanjang Kediri dan Yogyakarta dan di
kawasan Pati, Kudus, Ambarawa, Parakan, Gunung Kidul. Magelang, Muntilan dan
Samarinda, untuk sementara Dji Sam Soe menduduki peringkat tertinggi untuk di”tembak”.
Disusul Djarum 76 yang diikuti puluhan “saudara kembar” yang menampilkan merek dengan
tipografi merek yang sama dalam posisi horisontal di bagian tengah, warna coklat keemasan,
plus lingkaran di bagian atas yang berisi dua digit angka. Ada pula yang mengisi lingkaran itu
dengan gambar yang sama dengan mereknya seperti gambar matoa, sawit, pisang, padi, teh,
pohon jeruk, dinamit, gelang, pena dan daun.

Gambar Rokok “DJI SAM SOE”gan pigonnya

Para emitator Dji Sam Soe selain melekatkan ke warna dominannya yang kuning
kecoklatan mereka bermain pada penyajian simbol angka. yang dikurung bulan sabit dalam
psosisi tengkurap dengan outline warna merah sembilan bintang di atas garis lengkung..
Sedangkan merek berupa ekspose angka ada yang di-Indonesia-kan seperti 168, 347, 252,
(Permata Super atau Arto Moro), namun demikian tak sedikit yang bertahan menterjemahkan
seperti aslinya, 369 (Sam Liok Kioe), 565 (Dja Yen Ng), 33 (sam Sam), 21 (Dji It), dan 444
(Soe-Soe Soe)
Angka angka dalam rokok pinggiran rupaya membawa sugesti keberhasilan dan
keberuntungan. Mungkin ini bertalian dengan Hongsui, Apalagi ini soal brand dan
bisnis.Jangan coba coba bermain dengan angka mati. Setidaknya ditemukan sejumlah brand
yang mengindikasikan ke angka pem-bawa keberuntungan, 9 atau angka yang jika dijumlah
nilainya tetap 9. Misalnya 234, 928, 365,999 (Galam), 252 (Arto Moro), WL 9, Songosongo,
Lodjie 99, Sembilan baru, Sembilan Classic dan sebuah merek yang melangkapi
“tembakan”visualnya pada Wismilak: 468 alias Soe Laa Pun. Usahanya memirip-miripkan
itu disempurnakan dengan peletakan komposisi bintang berjumlah sembilan dan warna hijau
yang sangat dominan. Pengimitasian terhadap rokok dari Surabaya ini terutama pada pilihan
warna hijau, masih bisa ditambah deretnya; Sumber Ajaib, Kumbang, Djangkung Ajaib,
Matahari, Permata Biru, Pena Mas, dan Grendel Jaya.
Untungnya, pemilik brand papan atas itu masih sehat jiwanya. Dan mungkin pula
akan mengganggu pasarnya. Hak hidup itu masih ada. Kalau sampai epigonisme rolkok
pinggiran ini berbenturan dengan pasal-pasal hukum, terutama soal hak paten, dan rokok
marginal akhirnya good bye dari peredaran pastilah kolektor rokok marginal kehilangan
hiburan dan peluang menambah koleksinya.
PERTANYAAN DAN JAWABAN

1. Analisislah bahwa industri pedesaan yang berbasis budaya lokal (Community based
industry) atau Autonomous industry, tampaknya tidak dapat bertahan (dalam persaingan
dagang) apabila tidak bersedia beradaptasi dengan budaya industri yang dibawa industri
besar-modern dalam persaingan memperoleh pasar (konsumen).
Jawaban :
Kurangnya pengetahuan dalam etika berbisnis pada industri lokal sehingga tidak
terstruktur dengan baik produk bisnis yang mereka hasilkan, dari merek, penetapan
harga, branding yang mereka buat dan bahkan kualitas pun terkesan tidak masuk akal di
mata pembeli hanya bertumpu dengan pemikiran asal laku tapi tidak memperhatikan
etika dalam penyampaian produk atau promosi dengan baik dan kurangnya ilmu bisnis
bagi mereka sehingga tidak berfikir panjang bisnis tersebut di kemudian hari akan
bagaimana Industri lokal pun masih kurang dapat membaca pasar, hanya dengan
bermodalkan keberanian mereka membuka bisnis tersebut tanpa adanya pemikiran yang
matang mengenai aspek-aspek penting seperti halnya pemasaran. sehingga industri lokal
sangat sulit untuk dapat memasuki pasar ditambah industri besar(modern) yang kini
jangkauan pasarnya semakin hari semakin meluas maka sangat sedikit harapan untuk
industri lokal dapat bertahan.

2. Tunjukkan bahwa dalam industri pedesaan, norma/nilai tradisional masih tetap menjadi
acuan proses produksi untuk mempengaruhi perilaku konsumen (perilaku pasar)
manakala sasaran (target pasar) mereka adalah konsumen pedesaan khususnya lapisan
sosial tertentu.
Jawaban :
ketika menentukan nama merk dagang mereka bahkan melibatkan dukun dan juga
mempercayai hongshui dengan harapan nama tersebut bisa memberikan keberuntungan.
Dengan menggunakan nama brand dengan bahasa daerah sehingga mereka tidak
melupakan tradisional atau kedaerahan mereka.

3. Tunjukkan bahwa “Peperangan” antar produsen rokok pinggiran memperebutkan segmen


pasar yang terbatas khususnya konsumen pedesaan, berkaitan dengan etika bisnis suatu
industri tradisional.
Jawaban :
Para produsen rokok pinggiran berlomba lomba memikat konsumen dengan cara meniru
desain desain brand yang sudah terkenal dengan menerapkan persaingan harga produk
mereka jauh lebih murah, mereka seakan melupakan adanya hak cipta yang dimiliki
brand besar tersebut. Pada akhirnya peluang dari hasil tiruan yang mereka pikir itu
adalah kelebihan malah menjadi boomerang untuk industri nya sendiri. Terlebih
masyarakat yang semakin jaman semakin pintar melek teknologi dan informasi semakin
tau mana yang benar-benar berkualitas mana yang tidak dan hal itulah yang
menyebabkan umur bisnis industri lokal pinggiran tidak akan bertahan lama dan tidak
maju.
SIMPULAN

Berdasarkan artikel “ Rokok Pinggiran, Rokok Intelektual ” dapat disimpulkan bahwa


produsen rokok pinggiran sangat berusaha keras untuk dapat bertahan di industri rokok
meskipun target pasar yang mereka tuju tidak luas. Berbagai cara mereka lakukan untuk
membuat produk rokok mereka laku terjual, mulai dari pematokan harga yang sangat rendah,
mencoba meniru logo maupun kemasan produk rokok yang sudah terkenal di pasaran, dan
bahkan menambahkan kata-kata kiasan yang rancu. Produsen rokok pinggiran hanya
berfokus kepada penjualan produk sehingga mereka dapat bertahan dan tidak gulung tikar
namun mereka lupa akan adanya suatu hak cipta. Produsen rokok besar yang sudah terkenal
telah mengeluarkan ratusan juta bahkan milyaran rupiah hanya untuk membranding
produknya harus rela karya mereka ditiru oleh produsen rokok pinggiran. Hal ini sudah
termasuk ke dalam pelanggaran etika bisnis.
Untuk memberikan suatu perlindungan hukum bagi pemegang merek terdaftar
terhadap peniruan merek menurut Undang-undang Merek Nomor 20 Tahun 2016 dapat
dilakukan upaya perlindungan hukum secara prefentif dan perlindungan hukum secara
represif. Perlindungan hukum yang prefentif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa
dan merupakan suatu upaya untuk mendorong masyarakat agar mematuhi ketentuan hukum
yang berlaku dan tidak merugikan hak dan kepentingan orang lain. Sedangkan sebaliknya
pelindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa menyangut dengan
dengan suatu penetapan yang berupa sanksi hukum terhadap pelanggar hukum yang
merugikan kepentingan umum maupun pribadi orang lain terkait dengan tindakan peniruan
merek terdaftar. Akibat hukum dari adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar adalah yang tersebut dalam Pasal 100 –
102 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis , dimana
penegakkan hukumnya oleh pemerintah dengan memberikan sanksi pidana yaitu dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) (Erik Putra, 2018).
NOTULENSI

Panelis : Kelompok 1
Pembahas : Kelompok 2
Moderator : Kelompok 3 (Mustika)
Notulis : Kelompok 4

Pemaparan panelis :

1. Analisislah bahwa industri pedesaan yang berbasis budaya lokal (Community based industry)
atau Autonomous industry, tampaknya tidak dapat bertahan (dalam persaingan dagang)
apabila tidak bersedia beradaptasi dengan budaya industri yang dibawa industri besar-modern
dalam persaingan memperoleh pasar (konsumen).
DJA YEN NG” adalah merek rokok dengan harga Rp 2.500, keluaran pabrik rokok
PT. Djayeng Kudus, Jawa Tengah. Memiliki slogan “Jika anda mengaku “intelektual” dan
belum menghisap rokok merek DJA YEN NG segeralah menghisapnya”. Rokok ini
menyerupai rokok dji sam soe dengan slogan yang canggih dan cocok untuk kaum
intelektual.Rokok ini beriklan melalui poster dan spanduk yang bertarget dijualkan kepada
pinggiran atau kalangan bawah.
Dya Yen Ng menantang industri rokok modern dengan promosi hanya di warung-
warung atau kios sederhana. Orang – orang sudah menampakkan kecurigaan bahwa bahan
baku rokok tergolong supersif atau tidak menyebut bekas puntung rokok. Untuk akomodasi
kelas masyarakat yang ingin tampil gagah dengan terkenal dan uang terbatas daya beli
rendahnya.Dan rokok Dja Yen Ng memakai logo merek terkenal atau plagiat. Produsen rokok
pinggiran paham betul bahwa target pasaran mereka mempunyai karakteristik : ingin bergaya
kota (merokok seperti orang kota) tapi uangnya cekak. Maka ada upaya industri rokok
pinggiran melalui upaya epigon (meniru) upaya industri rokok besar dalam hal : penamaan
merek rokok, design grafis rokok, ikut mengikuti feng shui dalam moto atau semboyan
rokoknya dan lain-lain sehingga dapat diterima oleh pasar di pedesaan atau daerah pinggiran.

2. Tunjukkan bahwa dalam industri pedesaan, norma/nilai tradisional masih tetap menjadi acuan
proses produksi untuk mempengaruhi perilaku konsumen (perilaku pasar) manakala sasaran
(target pasar) mereka adalah konsumen pedesaan khususnya lapisan sosial tertentu.

Berfikir positif bahwa ada yang pengusaha rokok kelas teri yang sedang ingin
beramal dengan memberikan subsidi atas harga rokok yang dibuatnya sendiri. Ditambah
dengan desain visualnya yang dengan penuh kesadaran menunggangi merek terkenal yang
telah menjadi ikon publik.DJI SAM SOE, DJARUM 76, DJARUM SUPER, GUDANG
GARAM atau WISMILAK. Rokok pedesaan masih terlihat norma-norma tradisional seperti
yang tercantum pada kutipan tersebut bahwa rokok adalah dari umat untuk umat dengan
angka angka yang mempunyai arti sendiri yang mempunyai sugesti tersendiri, diantaranya
keberhasilan yang demikian dapat mempengaruhi perilaku konsumen pedesaan.
Hal ini ditunjukkan pada paragraf 5 “Namun begitu dari mereka yang terkadang tanpa
malu-malu mengekor bahkan sengaja memirip-miripkan dengan grafisnya dengan rokok
merek rokok kondang ini, orang bisa membaca adanya perjuangan membangun eksistensi
yang tak kenal lelah. Baik melalui ikhtiar mematok harga jual, aspek pemasaran yang
umumnya model konsinyasi alias jual dulu-bayar kemudian, penamaan brand yang sugestif
dan kadang berbau dukun, maupun pada usaha meyakinkan konsumen dengan sihir kata-kata
sebagaimana “rokok intelektual” itu.”. industri ini menjual rokok dengan harga yang sangat
murah sekitar Rp 5.000 per bungkus karena target pasarannya adalah masyarakat ekonomi
menengah ke bawah. Dengan menggunakan aspek pemasaran konsinyasi dan berusaha
meyakinkan konsumen atas kualitas produknya.

3. Tunjukkan bahwa “Peperangan” antar produsen rokok pinggiran memperebutkan segmen


pasar yang terbatas khususnya konsumen pedesaan, berkaitan dengan etika bisnis suatu
industri tradisional.
Paragraf 1 : Rokok Dya Yen Ng dalam merebut pasar memakai slogan “ Jika anda mengaku
“intelektual” dan belum mengisap rokok merek DJA YEN NG segeralah menghisapnya”.

Paragraf 5 : Rokok Dya Yen Ng membuat design yang hampir mirip dengan merk terkenal
yang dapat mencurangi industry modern, termasuk logo yang hanya diubah sedikit, tetapi
rokok Dya Yen Ng memiliki harga yang lebih murah.

Paragraf 9 : ingin bergaya kota (merokok seperti orang kota) tapi uangnya cekak. Pemasaran
rokok Dya Yen Ng hanya memasarkan produknya di segmen pinggiran mereka bukan
kalangan masyarakat perkotaan dan pemasarannya menggunakan teknik beli sekarang bayar
nanti.

Pertanyaan Kelompok Pembahas :

1. Lastian Alvi (Kelompok 2)


bagaimana tanggapan kalian tentang rokok dya yen ng yang meniru rokok dji sam soe ?
Jawaban :
menurut kelompok panelis tidak perlu khawatir karena hal tersebut tidak mempengaruhi
penjualan dari rokok dji sam soe yang ditiru itu (Risyad Harsadi)

2. Fahira sri Azzahra (Kelompok 2):


mengapa tidak berpengaruh padahal hal tiruan (plagiat) seperti itu termasuk pelanggaran
hukum?
Jawaban :
plagiat tetapi pandangan panelis hal tersebut tidak memiliki tingkat plagiat yang kuat atau
hanya menyerupai tetapi tidak sama persis. (Risyad Harsadi)

Pertanyaan Kelompok Diskusi :


1. Anisha febri (Kelompok 4) :
menurut kalian apakah promosi dya yeng itu hanya memasarkan di daerah mereka itu
termasuk kelebihan atau kekurangan ?
Jawaban :
Bisa masuk kelebihan maupun kekurangan tergantung cara promosinya (Salma Sahida)
Harus ada inovasi untuk menjadikan industri kecil itu untuk berkembang (Monika S Patia)

2. Tasya Fortuna (Kelompok 6) :


Apa hubungan antara permasalahan industri rokok kecil ini dengan etika bisnis?
Jawaban :
kaitannya yaitu terdapat pelanggaran etika bisnis yang dilakukan oleh industri rokok kecil
seperti menjiplak logo dan kemasan industri besar. (Monika S Patia)

Kesimpulan Moderator:

Berdasarkan hasil diskusi pada sore hari ini dapat disimpulkan bahwa cara industri
rokok kecil untuk mempertahankan bisnisnya yaitu dengan menawarkan harga yang jauh
lebih murah dengan penampilan logo maupun kemasan yang hampir serupa dengan kemasan
maupun logo dari industri besar, namun dengan cara tersebut secara tidak langsung
melanggar etika bisnis.
DAFTAR PUSTAKA

Putra, E. 2018. Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Merek Dagang Terdahap Plagiarisme
Menurut Uu No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Lex Privatum.
6(10):195-202.

Anda mungkin juga menyukai