Anda di halaman 1dari 6

Kegiatan Pembelajaran 6

Hukum Harta Perkawinan

1. Tujuan Materi Pembelajaran


Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Hukum Harta
Perkawinan
2. Materi Pembelajaran 6
Harta Perkawinan

Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan ialah


semua harta yang dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam ikatan
perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta
hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri
dan barang-barang hadiah. Harta perkawinan atau harta keluarga pada
umumnya diperuntukan pertama-tama bagi keperluan somaah, yaitu suami,
istri dan anak-anak untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Wirjono Prodjodikoro, menguraikan bahwa, harta perkawinan menurut


hukum adat ada kemungkinan sebagian dari kekayaan suami dan istri masing-
masing terpisah satu dari yang lain dan sebagian merupakan campur kaya.
( Surojo Wignjodipuro:1987:150)

Bagian kesatuan dari kekayaan tersebut jadi kepunyaan masing-masing


dari suami dan istri dapat dibagi lagi dalam dua golongan yaitu;
1. Barang yang masing-masing mendapat secara warisan dari orang tua
atau nenek moyang.
2. Barang yang masing-masing mendapat secara hibah atau secara usaha
sendiri.

Pemisahan Harta Perkawinan


Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk membiayai
kehidupan rumah tangga suami istri, maka menurut Ter Haar harta perkawinan
itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:( Surojo Wignjodipuro:
1987 :151)

1. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau


penghibahan dari kerabat ( family) masing-masing dan di bawa ke
dalam perkawinan .
2. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta
atas jasa sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan .
3. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri
bersama-sama.
4. Barang-barang yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara
perkawinan sabagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan.

Dalam pembahasan masalah harta perkawinan ini, dapat kita jelaskan sebagai
berikut,

1. Barang-Barang Yang Diperoleh Secara Warisan Atau Penghibahan

Menurut hukum adat barang-barang tersebut akan tetap menjadi milik


suami atau istri yang menerimanya dari warisan atau penghibahan. Jika salah
satu dari mereka itu meninggal, serta mereka itu tidak mempunyai anak, maka
barang-barang itu akan kembali kepada keluarga dari suami atau istri yang
meninggal dunia. Jadi harta itu tidak di wariskan kepada suami atau istri yang
masih hidup.

Barang –barang tersebut akan beralih hanya kepada keturunan ( anak-


anak) sebagai keturunanya inilah yang melanjutkan hak atas kekayaan dari
suatu keluarga. Namun begitupun peralihan harta warisan tersebut tidaklah
sama diberbagai daerah, masing-masing sesuai dengan corak kekeluargaan
yang berlaku di daerah yang bersangkutan.

Kedudukan barang-barang yang diperoleh secara warisan dan


penghibahan jika tidak memiliki keturunan sangatlah berbeda. Kalau barang-
barang diperoleh dari warisan dan tidak punya keturunan, maka harta tersebut
akan kembali keasal, artinya kembali kepada keluarga suami atau istri yang
meninggal. Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku secara umum,
diberbagai daerah memiliki perbedaan adat dan masing-masing sesuai dengan
corak kekeluargaanya.

2. Barang-Barang Yang Diperoleh Atas Jasa Sendiri

Barang-barang yang diperoleh atas jasa sendiri adalah harta yang bisa
saja di peroleh dari masing-masing pihak, baik suami atau istri sebelum
perkawinan. Apabila suami yang memperoleh barang itu, maka ia sendiri yang
menjadi pemiliknya dan istrinya menurut hukum adat, tidak turut memiliki
barang itu, tetapi dianggap wajar jika istri sebagai anggota somah, turut
mengenyam manfaat dari hasil barang-barang tersebut. Demikian juga
sebaliknya apabila istri yang memperoleh barang serta menjadi pemiliknya.
Dan jika melakukan transaksi dengan barang-barang ini diperlukan lebih
dahulu musyawarah dengan anggota keluarga yang bersangkutan atau harus
sepengetahuan ahli warisnya.

Terhadap barang-barang yang di peroleh atas jasa sendiri akan tetap


menjadi milik suami atau istri dan jika di masukkan kedalam perkawinan dapat
menjadi harta perkawinan. Kelak harta itu dapat menjadi warisan yang akan di
terima oleh para ahli warisnya. Harta penghasilan pribadi terlepas dari
pengaruh kekuasaan kerabat. Pemiliknya dapat saja melakukan transaksi atas
harta kekayaan tersebut tanpa musyawarah dengan anggota keluarga/kerabat
yang lain.

Barang-barang yang diperoleh sebelum perkawinan di Sumatra Selatan


di sebut “ harta pembujangan” kalau yang memperoleh itu suaminya dan kalau
istri yang memperoleh maka di sebut “ harta penantian”.

3. Barang-Barang Yang Diperoleh Suami dan Istri Dalam Masa


Perkawinan Sebagai Milik Bersama

Harta pencaharian merupakan harta yang diperoleh dari hasil usaha


suami dan istri setelah melangsungkan pernikahan. Tidak merupakan
persoalan apakah dalam mencari harta kekayaan itu suami aktif bekerja,
sedangkan istri mengurus anak dirumah, kesemua hasil pencaharian mereka
yang berbentuk “harta bersama suami istri”. Istri dirumah dalam mengurus
rumah tangga atau keluarga dianggap turut bekerja. Oleh karena itu, maka
anggapan umum mengatakan bahwa barang yang diperoleh dalam masa
perkawinan selalu menjadi milik bersama suami istri. Harta ini menjadi suatu
bagian dari kekayaan keluarga, dan jika terjadi perceraian, maka suami dan
istri dapat menuntut bagianya.

Adanya ketentuan harta milik bersama ini menunjukan suatu gejala


dalam hukum adat, bahwa proses perkembangan kedudukan keluarga somaah
menjadi kuat dan penting.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan beberapa peraturan umum, yang


berlaku di banyak daerah tentang pengurusan dan penguasaan harta, bahwa
barang-barang kekayaan suami dan istri masing-masing yang terpisah satu
dari yang lain, di urus oleh mereka masing-masing secara merdeka. Dalam
hukum adat seorang istri dapat bertindak terhadap kekayaan secara luas
dengan tidak perlu dibantu atau di kuasai oleh suaminya. Kalau salah seorang
dari suami atau istri melakukan perbuatan terhadap barang itu, maka dianggap
selalu dengan persetujuan pihak yang lain.

Meskipun pada prinsipnya baik istri maupun suami , masing-masing


dapat melakukan transaksi sendiri terhadap barang-barang milik bersama,
namun sangatlah tepat apabila terhadap transaksi-transaksi yang agak
penting sebaiknya dilakukan bersama.

Bagaimanakah pembagian harta milik bersama apabila terjadi perceraian?

Barang-barang yang menjadi milik bersama antara kedua belah pihak


suami dan istri, masing – masing menerima separuh. Tetapi ada di beberapa
daerah yang mempunyai kebiasaan membagi sedemikian rupa, sehingga
suami mendapat dua pertiga, contohnya di beberapa daerah di Jawa Tengah
disebut asas “ sagen dong sapikul” . Di Bali seorang suami akan mendapat dua
pertiga dan istri mendapat sepertiga, asas ini disebut “ sasuhun sarembat” (
Surojo Wignjodipuro : 1987: 158). Akan tetapi kebiasaan tersebut lambat laun
lenyap, mulai timbulnya keinsfan masyarakat Indonesia dan tuntutan
persamaan hak.

Bagaimana kalau salah seorang ( suami atau istri) meninggal? Maka


lazimnya semua harta milik bersama tetap berada di bawah kekuasaan pihak
yang masih hidup, seperti halnya semasa perkawinan. Pihak yang masih hidup
berhak menggunakan barang-barang milik bersama guna keperluan hidup.
Kalau ada anak maka dapat di bagi sebagai ahli warisnya.

Bagaimanakah jika tidak memiliki anak?, maka sesudah meninggalnya


suami atau istri tersebut harta milik bersama harus dibagi antara kerabat suami
dan kerabat istri menurut ukuran pembagian yang sama. Selama seorang
janda belum menikah kembali barang-barang gono-gini yang di pegang
olehnya tidak dapat di bagi-bagi, guna menjamin kehidupanya.( Putusan
Mahkamah Agung, tanggal 8 Juli 1959 Reg.No.189 K/Sip./1959.)

Jika terjadi perceraian maka barang-barang milik bersama dibagi antara


kedua belah pihak, suami dan istri, masing-masing pada umumnya menerima
separuh. Hal ini didasarkan oleh Keputusan Mahkamah Agung, tanggal 25
Februari 1959 Reg. No. 387 K/Sip./1958 menyatakan bahwa menurut hukum
adat yang berlaku di Jawa Tengah, seorang janda mendapat separuh dari
harta gono gini.

4. Hadiah Perkawinan

Sebagaimana yang telah kita ketahui, harta perkawinan merupakan


harta pemberian pada waktu upacara perkawinan. Tetapi jika dilihat dari
tempat, waktu dan tujuan pemberian hadiah itu, maka harta hadiah perkawinan
dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai wanita (harta bawaan
istri). Dan harta yang diterima kedua mempelai bersama.

Barang-barang yang di terima sebagai hadiah perkawinan biasanya di


peruntukkan mempelai berdua oleh karenanya maka barang-barang tersebut
menjadi harta milik bersama. Tetapi ada kalanya pada saat pernikahan itu
terjadi pemberian barang atau uang kepada istri dari bakal suami atau dari
anggota family, maka barang-barang ini biasanya tetap menjadi milik istri
sendiri.

Di daerah Tapanuli terdapat pula kebiasaan adat untuk memberi barang


perhiasan kepada bakal istri pada saat pernikahan , barang-barang ini tetap
menjadi milik istri sendiri, bahkan apabila suami mengambil barang perhiasan
tersebut untuk kepentingan sendiri, maka perbuatan itu dapat menjadi salah
satu alasan bagi istri memohon kepada hakim perceraian dari
suaminya( Surojo Wignjodipuro :1987 :160).

3. Rangkuman

Jika terjadi perceraian maka barang-barang milik bersama dibagi antara


kedua belah pihak, suami dan istri, masing-masing pada umumnya menerima
separuh. Hal ini didasarkan oleh Keputusan Mahkamah Agung, tanggal 25
Februari 1959 Reg. No. 387 K/Sip./1958 menyatakan bahwa menurut hukum
adat yang berlaku di Jawa Tengah, seorang janda mendapat separuh dari
harta gono gini.

4. Tugas

Buatlah resume tentang Pembagian harta perkawinan jika terjadi perceraian


menurut hukum adat

5. Evaluasi

a. Apakah harta bersama itu secara otomatis pasti ada setelah perkawinan
antara suami-istri itu berlangsung?
b. Bagaimanakah pembagian harta milik bersama apabila terjadi
perceraian?
c. Bagaimanakah pembagian harta dalam perkawinan ?

Anda mungkin juga menyukai