DI SUSUN OLEH :
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui:
Ketua Program Studi S1 Keperawatan,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan Rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan Asuhan
Keperawatan dan Kebutuhan Dasar Neunatus di Ruang Mawar RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Penyusunan Asuhan Keperawatan ini bertujuan untuk memenuhi tugas
Praktik Praklinik Keperawatan I (PPK II) pada Program Studi S-1 Keperawatan.
Selain itu, Asuhan Keperawatan ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi
pembaca maupun kami sebagai penulis. Sehingga pada waktu yang akan datang
materi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes, selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep, Selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Desy Mariasanthy, S.Kep, Ns Selaku Kepala Ruangan Mawar RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya dan Pembimbing Klinik yang telah
memberikan izin, informasi dan membantu dalam pelaksanaan praktik
manajemen keperawatan di Ruang Mawar RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya.
4. Ibu Cristephanie., S.Kep., Ners Selaku Pembimbing Akademik yang telah
banyak memberi arahan, masukan dan bimbingan dalam penyelesaian
Asuhan Keperawatan ini.
5. Semua pihak yang turut ambil bagian dalam membantu penulis
menyelesaikan Laporan Asuhan Keperawatan ini, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Semoga Asuhan Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi
4
Ralin Andari
5
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................……
KATA PENGANTAR....................................................................................…...
DAFTAR ISI...................................................................................................…..
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.1 Latar Belakang........................................................................................…...
1.1.2 Rumusan Masalah...................................................................................…...
1.1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................…...
1.1.4 Manfaat Penulisan...................................................................................…...
3.2.Diagnosa..............................................................................................................
3.3 Intervensi..............................................................................................................
3.4 Implementasi......................................................................................................
3.5 Evaluasi...............................................................................................................
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan .............................................................................................….
4.2 Saran........................................................................................................….
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...
BAB 1
PENDAHULUAN
pada bayi baru lahir usia 0-8 hari adalah gangguan pernafasan (36,9%),
prematuritas (32,4%), sepsis (12%), hipotermi (6,8%), dan ikterus (6,6%)
(Riskerdas, 2010)
Menurut WHO (2015) terdapat 50% bayi baru lahir normal mengalami
ikterus neonatorum, pada umumnya akan ditemukan beberapa tanda meliputi,
timbul pada hari ke tiga, kadar bilirubin ≥ 5mg/dl. Menurut Brits et al (2017),
dalam jurnal yang berjudul The Prevalence Of Neonatal Jaundice and Risk
Faktor In Healthy Term Neonates At National District Hospital menyatakan
insiden ikterus sebanyak 96 responden, ikterus terjadi karena ibu merokok
pada saat hamil yaitu 81,8% dan cara persalinan seksio caesaria sebanyak 29
responden (46,85), bayi berusia 24 sampai 48 jam terdapat 25 responden
(29%). Penelitian Kassa et al (2018) kejadian ikterus dari total 160 responden
bayi baru lahir disebabkan oleh bayi prematur 8,1%, cara menyusui ibu yang
belum benar 18,8%, golongan darah ABO 35,6%, dan produksi ASI yang
kurang 6,3%
Ikterus neonatorum bila tidak ditangani secara cepat akan menimbulkan
masalah kesehatan serius yaitu kern ikterus yang timbul akibat akumulasi
bilirubin indirek di susunan saraf pusat yang melebihi batas toksisitas bilirubin
pada ganglia basalis dan hipocampus. Ikterus neonatorum perlu mendapat
perhatian dan penanganan yang baik sehingga menurunkan bayi yang
menderita kern ikterus, bayi yang mengalami hal tersebut akan mengalami
gangguan proses pertumbuhan dan perkembangan seperti retadrasi mental,
serebral palsy dan gangguan pendengaran. Oleh karena itu perlunya
pencegahan dimulai dari faktor resiko terjadinya hiperbilirubin hingga
penatalaksanaan pada neonatus ikterus (Nursanti, 2011 ; Pratama, 2013)
Manajemen pencegahan salah satu faktor resiko ikterus yaitu dengan
mempertahankan intake ASI (Air Susu Ibu) dengan manajemen laktasi yang
tepat, karena hal tersebut mampu memenuhi kebutuhan bayi baik dari nilai
gizi yang terkandung, mencegah reabsorbsi bilirubin kedalam darah karena
asupan ASI yang cukup akan membantu mempercepat bilirubin terkonjugasi 3
terbuang bersama mekonium dan urin, aman bagi sistem pecernaan (sangat
mudah di cerna oleh organ pencernaan yang belum matur), mencegah
konstipasi, mempercepat pembuangan mekonium, mencegah terjadinya
dehidrasi, serta sebagai antibodi alamiah bagi bayi yang retan dan sensitif
terhadap mikro orgaisme (Walyani, 2015; Karlina, 2014
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Panembahan Senopati
Bantul pada bulan November 2018 di bangsal bersalin melayani pasien
bersalin sebanyak 221 persalinan, yang meliputi pasien bersalin dengan
komplikasi sebanyak 157, persalinan normal tanpa komplikasi sebanyak 9,
dan 55 pasien lainnya persalinan section caesarea. Berdasarkan hasil
wawancara bidan bersalin, bangsal postpartum dan bangsal perinatology 68%
(150 bayi) diberikan ASI, dan 32% (71 bayi) lainnya dengan MPASI. Masalah
8
pemberian ASI pada bayi baru lahir terhambat karena produksi ASI pada Ibu
postpartum masih sangat minim pada hari ke 0 hingga 6 hari pasca persalinan.
Berdasarkan data di RSUD Panembahan Bantul pada bulan November
terdapat 89 kasus bayi ikterus neonatorum meliputi 5,6% (5 kasus) pada usia
72 jam, 5,6% (5 kasus) usia 0 - 24 jam dan 88,0% (78 kasus) usia ≥ 96 jam.
Berdasarkan keterangan bagian kepala ruangan rata - rata ikterus terjadi pada
bayi BBLR yaitu sebanyak 53,3% (15 bayi) dari total 28 bayi BBLR,
sedangkan pada bayi berat lahir normal 31 % (60 bayi) dari total 193 BBL
normal.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih
lanjut melalui laporan pendahuluan yang berjudul “Asuhan Keperawatanpada
By.Ny.M Tin I Dengan Diagnosa Nedis Ikterus Neonaturum di ruang Mawar
RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.4 Manfaat
1.4.1 Untuk Mahasiswa
1.4.1.1 Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam memberikan
asuhan keperawatan dengan masalah resiko gangguan kebutuhan oksigenisasi..
TINJAUAN PUSTAKA
Ikterus disebabkan hemolisis darah janin dan selanjutnya diganti menjadi darah
dewasa. Pada janin menjelang persalinan terdapat kombinasi antara darah janin
dan darah dewasa yang mampu manarik O2 dari udara dan mengeluarkan CO2
melalui paru- paru. Penghancuran darah janin inilah yang menyebabkan terjadi
ikterus yang sifatnya fisiologis. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa
kadar bilirubin indirek bayi cukup bulan sekitar 15 mg% sedangkan bayi kurang
bulan 10 mg %. Di atas angka tersebut dianggap hiperbilirubinemia, yang dapat
membedakan kernikterus (Manuaba,2012)
5
2.1.2 Etiologi
Etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapa berdiri sendiri ataupun disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar etiologi itu dapat dibagi sebagai berikut :
2.1.2.1. Produksi yang berlebihan, lebih daripada kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnyahemolisi yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi enzim C6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2.1.2.2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar gangguan ini dapat disebabkan oleh
imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar
akibat asidosis, hipoksia,dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase
(criggler najjar syndrome). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel-sel heapa.
2.1.2.3. Gangguan dalam transportasi bilirubin dalam darah terikat oleh albumin kemudian
diangkut ke hepar, ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat-
obatan misalnya salisilat, sulfatfurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
2.1.2.4. Gangguan dalam sekresi, gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
diluar hepar, biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
2.1.2.5. Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat mengakibatkan
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi akibat penambahan dari bilirubin yang berasal
dari sirkulais enterahepatik.
2.1.2.6. Ikterus akibat air susu ibu (ASI) merupakan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi yang
mencapai puncaknya terlambat (biasanya menjelang hari ke 6-14). Dapat dibedakan dari
penyebab lain dengan reduksi kadar bilirubin yang cepat bila disubstitusi dengan susu
formula selama 1-2 hari. Hal ini untuk membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI
selama minggu pertama kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI (beta
glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam lemak
sehingga bilirubin indirek akan meningkat dan kemudian akan diresorbsi oleh usus.
Bayi yang mendapat ASI bila dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula,
6
mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi berkaitan dengan penurunan asupan pada
beberapa hari pertama kehidupan. Pengobatannya bukan dengan menghentikan
pemberian ASI melainkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian.
2.1.3 Klasifikasi
Ikterus diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi yaitu sebagai berikut :
2.1.3.1 Ikterus Fisiologis Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari ke dua dan hari
ke tiga yang tidak mempunyai dasar patologik, kadarnya tidak melewati kadar yang
membahayakan atau yang mempunyai potensi menjadi kern ikterus dan tidak menyebabkan
suatu morbiditas pada bayi. Ikterus fisiologis ini juga dapat dikarenakan organ hati bayi belum
matang atau disebabkan kadar penguraian sel darah merah yang cepat.7 Ikterus fisiologis ini
umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu
pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapatkan susu formula kadar bilirubin akan
mencapai puncaknya sekitar 8
mg/dL pada hari ke tiga kehidupan dan kemudian akan menurun secara cepat selama 2-3 hari
diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama satu sampai dua minggu.
Sedangkan pada bayi cukup bulan yang diberikan air susu ibu (ASI) kadar bilirubin puncak akan
mencapai kadar yang lebih tinggi yaitu 7-14 mg/dL dan penurunan akan lebih lambat. Bisa
terjadi dalam waktu 2-4 minggu, bahkan sampai 6 minggu.19
2.1.3.2 Ikterus Patologis Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi atau
kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus yang
kemungkinan menjadi patologik atau dapat dianggap sebagai hiperbilirubinemia adalah:
a) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
b) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
c) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus kuranbulan dan 12,5 mg% pada
neonatus cukup bulan
7
d) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim C6PD dan
sepsis)
e) Ikterus yang disebabkan oleh bayi baru lahir kurang dari 200 gram yang disebbakan karena
usia ibu dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun dan kehamilan pada remaja, masa gestasi kurang
dari 35 minggu, asfiksia, hipoksia, syndrome gangguan pernapasan, infeksi, hipoglikemia,
hiperkopnia, hiperosmolitas.
2.1.3.3 Kern Ikterus Kern ikterus adalah sindrom neurologik akibat dari akumulasi bilirubin
indirek di ganglia basalis dan nuklei di batang otak. Faktor yang terkait dengan terjadinya
sindrom ini adalah kompleks yaitu termasuk adanya interaksi antara besaran kadar bilirubin
indirek, pengikatan albumin, kadar bilirubin bebas, pasase melewati sawar darah-otak, dna
suseptibilitas neuron terhadap injuri.
2.1.3.4 Ikterus Hemolitik Ikterus hemolitik atau ikterus prahepatik adalah kelainan yang terjadi
sebelum hepar yakni disebbakan oleh berbagai hal disertai meningkatnya proses hemolisis
(pecahnya sel darah merah) yaitu terdapat pada inkontabilitas golongan darah ibubayi, talasemia,
sferositosis, malaria, sindrom hemolitikuremik, sindrom Gilbert, dan sindrom Crigler-Najjar.
Pada ikterus hemolitik terdapat peningkatan produksi bilirubin diikuti dengan peningkatan
urobilinogen dalam urin tetapi bilirubin tidak ditemukan di urin karena bilirubin tidak
terkonjugasi tidak larut dalam air. Pada neonatus dapat terjadi ikterus neonatorum karena enzim
hepar masih belum mampu melaksanakan konjugasi dan ekskresi bilirubin secara semestinya
sampai ± umur 2 minggu. Temuan laboratorium adalah pada urin didapatkan urobilinogen,
sedangkan bilirubin adalah negatif, dan dalam serum didapatkan peningkatan bilirubin tidak
terkonjugasi, dan keadaan ini dapat mengakibatkan hiperbilirubinemia dan kernikterus
(ensefalopati bilirubin)
a. Inkompatibilitas Rhesus Bayi dengan Rh positif dari ibu Rh negatif tidak selamanya
menunjukkan gejala-gejala klinik pada waktu lahir (15-20%). Gejala klinik yang dapat terlihat
ialah 13 ikterus tersebut semakin lama semakin berat, disertai dengan anemia yang semakin lama
8
semakin berat juga. Bilamana sebelum kelahiran terdapat hemolisis yang berat, maka bayi dapat
lahir dengan edema umum disertai ikterus dan pembesaran hepar dan lien (hidropsfoetalis).
Terapi ditunjukkan untuk memperbaiki anemia dan mengeluarkan biliruin yang berlebihan
dalam serum agar tidak terjadi kern icterus.
b. Inkompatibilitas ABO Ikterus dapat terjadi pada hari pertama dan kedua dan biasanya
bersifat ringan. Bayi tidak tampak skait, anemia ringan, hepar dan lien tidak membesar. Kalau
hemolisisnya berat, seringkali diperlukan juga transfuse tukar untuk mencegah terjadinya
kernikterus. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan kadar bilirubin serum
sewaktu.
c) Inkompatibilitas Golongan Darah Ikterus hemolitik karena inkompatibilitas golongan
darah lain, pada neonatus dengan ikterus hemolitik dimana pemeriksaan kearah inkompatibilitas
Rh dan ABO hasilnya negatif sedangkan coombs test positif, kemungkinan ikterus akibat
hemolisis inkompatibilitas golongan darah lain harus dipikirkan.
d) Kelainan Eritrosit Congenital Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran
klinik yang menyerupai eritroblastisis fetalis akibat iso-imunitas. Pada penyakit ini biasanya
coombs testnya negatif.
e) Defisiensi Enzim G6PD G6PD (glukosa 6 phosphate dehidrogenase) adalah enzim
yang menolong memperkuat dinding sel darah merah, ketika mengalami kekurangan maka sel
darah merah akan lebih mudah pecah dan memproduksi bilirubin lebih banyak. Defisiensi G6PD
ini merupakan salah satu penyebab utama ikterus neonatorum yang memerlukan tranfuse tukar.
Ikterus yang berlebihan dapat terjadi pada defisiensi G6PD akibat hemolisis eritrosit walaupun
tidak terdapat faktor eksogen misalnya obat-obatan sebagai faktor lain yang ikut berperan,
misalnya faktor kematangan hepar.
2.1.3.5 Ikterus Hepatik Ikterus hepatik atau ikterus hepatoseluler disebabkan karena adanya
kelainan pada sel hepar (nekrosis) maka terjadi penurunan kemampuan metabolisme dan sekresi
bilirubin sehingga kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah menjadi meningkat. Terdapat
pula gangguan sekresi daribilirubin terkonjugasi dan garam empedu ke dalam saluran empedu
9
hingga dalma darah terjadi peningkatan bilirubin terkonjugasi dan garam empedu yang kemudian
diekskresikan ke urin melalui ginjal. Transportasi bilirubin tersebut menjadi lebih terganggu
karena adanya pembengkakan sel hepar dan edema karena reaksi inflamasi yang mengakibatkan
obstruksi pada saluran empedu intrahepatik. Pada ikterus hepatik terjadi gangguan pada semua
tingkat proses metabolisme bilirubin, yaitu mulai dari uptake, konjugasi, dan kemudian ekskresi.
Temuan laboratorium urin ialah bilirubin terkonjugasi adalah positif karena larut dalam air, dan
urobilinogen juga positif > 2 U karena hemolisis menyebabkan meningkatnya metabolisme
heme. Peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum tidak mengakibatkan kernicterus
2.1.3.6 Ikterus Obstruktif Ikterus obstruktif atau ikterus pasca hepatik adalah ikterus yang
disebabkan oleh gangguan aliran empedu dalam sistem biliaris. Penyebab utamanya yaitu batu
empedu dan karsinoma pankreas dan sebab yang lain yakni infeksi cacing Fasciola hepatica,
penyempitan duktus biliaris komunis, atresia biliaris, kolangiokarsinoma, pankreatitis, kista
pankreas, dan sebab yang jarang yaitu sindrom Mirizzi. Bila obstruktif bersifat total maka pada
urin tidak terdapat urobilinogen, karena bilirubin tidak terdapat di usus tempat bilirubin diubah
menjadi urobilinogen yang kemudian masuk ke sirkulasi. Kecurigaan adanya ikterus obstruktif
intrahepatik atau pascahepatik yaitu bila dalam urin terdapat bilirubin sedang urobilinogen
adalah negatif. Pada ikterus obstruktif juga didapatkan tinja berwarna pucat atau seperti dempul
serta urin berwarna gelap, dan keadaan tersebut dapat juga ditemukan pada banyak kelainan
intrahepatik. Untuk menetapkan diagnosis dari tiga jenis ikterus tersebut selain pemeriksaan di
atas perlu juga dilakukan uji fungsi hati, antara lain adalah alakli fosfatase, alanin transferase,
dan aspartat transferase.
2.1.3.7 Ikterus Retensi Ikterus retensi terjadi karena sel hepar tidak merubah bilirubin menjadi
bilirubin glukuronida sehingga menimbulkan akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi di dalam
darah dan bilirubin tidak terdapat di urin
10
2.1.3.8 Ikterus Regurgitasi Ikterus regurgitasi adalah ikterus yang disebabkan oleh bilirubin
setelah konversi menjadi bilirubin glukuronida mengalir kembali ke dalam darah dan bilirubin
juga dijumpai di dalam urin
2.1.4 Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu
berlebihan.Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia,
memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau
terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh.
Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z
terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita
gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu
intra/ekstra hepatik. Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam
air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel
otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada
susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20
mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari
tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek
akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir
rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena
trauma atau infeksi (Yulianti dan Rukiyah, 2010).
11
12
2.1.5 Manifestasi Klinis
2.1.5.1 Kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga (pada bayi dengan bilirubin
indirek)
2.1.5.2 Anemia
2.1.5.3 Perbesaran lien dan hepar
2.1.5.3 Perdarahan tertutup
s2.1.5.4 Gangguan nafas
2.1.6 Komplikasi
2.1.6.1 Bilirubin encephahalopathi
2.1.6.2 Kernikterus ; kerusakan neurologis ; cerebral palis, retardasi mental, hyperaktif,
bicara lambat, tidak ada koordinat otot dan tangisan yangmelengking.
2.1.6.3 Asfiksia
2.1.6.4 Hipotermi
2.1.6.5 2.1.6.5 Hipoglikemi
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada ikterus neonatorum terdiri dari :
a. Kadar bilirubin serum (total) untuk menentukan kadar dan apakah
bilirubin tidak terkonjugasi atau terkonjugasi
b. Darah tepi lengkap untuk melihat adanya sel abnormal
c. Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi untuk
kemungkinan adanya inkompatibilitas
d. Pemeriksaan kadar enzim G-6-PD untuk mengetahui adanya
defisiensi G-6-PD
e. Uji Coombs direct (untuk mendeteksi adanya antibodi maternal pada
SDM bayi) dan uji coombs indirect (untuk mendeteksi adanya hemolisis pada
saat SDM baru diproduksi). (FKUI, 2007; h. 1106)
f. Taksiran hemoglobin/hematokrit untuk mengkaji anemia
g. Hitung sel darah putih untuk mendeteksi infeksi
h. Zat dalam urine, misalnya galaktosa (Frasen and Cooper, 2010; h. 852).
13
2.1.7 Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum
tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati
biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Konjugasi bilirubin
dapat lebih cepat berlangsung ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal
atau agar. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme
bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik
(pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi hikan, merupakan
tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin (Corwin,
2009; h. 661).
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
ditemukan efek samping terapi sinar, antara lain: enteritis, hipertermia,
dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan kutu), gangguan minum, letargi dan
iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran
Ikterus dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.
a. Ikterus fisiologis
Penatalaksanaan asuhan kebidana pada bayi dengan ikterus fisiologis
sebagai berikut :
1. Lakukan perawatan bayi sehari-hari
2. Pemberian nutrisi secara adekuat terutama ASI
3. Bagi sebagian besar bayi dengan kenaikan bilirubin ringan, fototerapi
adalah penatalaksanaannya
4. Ikterus akibat pemberian ASI tidak perlu terapi (Corwin, 2009; h. 661).
b. Ikterus patologis
Penatalaksanaan asuhan kebidanan pada ikterus patologis :
1) Lakukan observasi dengan derajat ikterus, keadaan umum, dan TTV.
14
2) Lakukan pencegahan hipotermi
3) Lakukan rujukan bila terjadi ikterus patologi.
4) Pemberian nutrisi adekuat terutama ASI
(Saifuddin, 2007; h. 385).
Penatalaksanaan ikterus patologis di rumah sakit :
1) Lakukan pemeriksaan laboratorium
2) Lakukan fototerapi pada saat kadar bilirubin 10 – 20 mg/dL
3) Lakukan transfusi tukar jika fototerapi gagal untuk mencegah
kerusakan syaraf
(Sinclair, 2010; h. 360 – 361).
Penatalaksanaan di RSUD KRT Setjonegoro wonosobo :
Prosedur fototerapi :
a. Ada perintah dari dokter yang merawat untuk melaksanakan
fototerapi
b. Memberitahukan pada keluarga pasien (memberitahu manfaat dan
resiko dari tindakan tersebut)
c. Bila pasien setuju siapkan blangko inform concent untuk
ditandatangani
d. Merapikan tempat tidur, perlak, dan seprei
e. Melepas semua baju pasien
Menutup kedua mata bayi dengan kain hitam yang tidak tembus
cahaya
g. Menutup perut bagian bawah sampai alat genitalia dengan kain hitam
yang tidak tembus cahaya
h. Menghubungkan steker dengan arus listrik
i. Menekan tombol ON pada alat fototerapi
j. Mengatur jarak lampu dengan bayi ± 45 Cm
k. Melakukan penyinaran selama 24 jam dengan cara 1 x 24 jam
15
l. Mengontrol setiap jam selama penyinaran agar tidak terjadi
komplikasi yang tidak diharapkan
m. Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin seletah 2 paket fototerapi
selesai.
Efek samping dari fototerapi adalah :
a. Dehidrasi
b. Iritsi kulit dan diaperrash
c. Infertilitas gonadotropin
16
Biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat gangguan hemolisis darah
(ketidaksesuaian golongan Rhatau golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma,
gangguanmetabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibumenderita DM
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit menurun pada keluarga seperti hipertensi, DM dll.
3. Pemeriksaan Fisik
a) Kepala-leher.
Ditemukan adanya ikterus pada sklera dan mukosa.
b) Dada
Ikterus dengan infeksi selain dada terlihat ikterus juga akan terlihat pergerakan
dada yang abnormal.
c) Perut
Perut membucit, muntah, kadang mencret yang disebabkanoleh gangguan
metabolisme bilirubin enterohepatik.
d) Ekstremitas
Kelemahan pada otot.
e) Kulit
Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di daerahkepala dan leher termasuk
ke grade satu, dst.
f) Neurologis
Letargi, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah mencapai jaringan serebral,
maka akan menyebabkan kejang-kejang dan penurunan kesadaran.
4. Pola Fungsi Kesehatan
Meliputi pola persepsi, pola nutrisi dan metabolic, pola eliminasi, pola tidur, pola
toleransi dan koping stress, pola seksual dan reproduksi, pola kepercayaan.
5. Program Therapy
17
Berbagai terapi yang diberikan untuk mempercepat proses penyembuhan seperti
perawatan dengan fototerapi
6. Pemeriksaan Penunjang
Berbagai pemeriksaan laboratorium untuk mendukung tindakan medis seperti
pemeriksaan bilirubin
2.2.3 Intervensi
18
Membuat prioritas masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah dirumuskan
sebelumnya karena tidak semua diagnosa keperawatan diselesaikan secara bersama.
Menentukaan tujuan, tujuan ada dua yaitu tujuan jangka panjang untuk mengatasi masalah
secara umum dan tujuan jangka pendek untuk mengatasi etiologi guna mencapai tujuan
jangka panjang. Rumusan tujuan mencakup SMART yaitu specific (rumusan tujuan harus
jelas), measurabel (dapat diukur), achievable (dapat dicapai bersma pasien ), realistic
(dapat dicapai dan nyata), dan timing (harus ada target waktu).
2.2.4 Implementasi
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir proses keperawatan yang meliputi evaluasi proses
(formatif) dan evaluasi hasil (sumatif) dan mencakup penilaian hasil tindakan asuhan
keperawatan yang telah dilakukan (Martin dan Griffin, 2014). Evaluasi formatif adalah
evalusi yang dilakukan setelah perawat melakukan tindakan keperawatan yang dilakukan
terus menerus hingga mencapai tujuan. Evaluasi somatif adalah evaluasi yang dilakukan
setiap hari setelah semua tindakan sesuai diagnosa keperawatan dilakukan.
Evaluasi somatif terdiri dari SOAP (subjek, objektif, analisis dan planing). Subjek
berisi respon yang diungkapkan oleh pasien dan objektif berisi respon nonverbal dari pasien
respon- respon tersebut didapat setelah perawat melakukan tindakan keperawatan. Analisis
merupakan kesimpulan dari tindakan dalam perencanaan masalah keperawatan dilihat dari
kriteria hasil apakah teratasi, teratasi sebagiam atau belum teratasi. Sedangkan planing berisi
perencanaan tindakan keperawatan yang harus dilakukan selanjutnya.
19
Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan keberhasilan tujuan
tindakan yaitu tujuan tercapai apabila pasien menunjukan perubahan sesuai kriteria hasil
yang telah ditentukan, tujuan tercapai sebagian apabila jika klien menunjukan perubuahan
pada sebagian kriteria hasil yang telah ditetapkan, tujuan tidak tercapai jika klien
menunjukan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali.
I. IDENTITAS
Identitas Bayi Identitas Orang Tua
Nama bayi :By.Ny M (P) Nama Ayah :Tn. K
TTL :Palangka Raya 28 Umur Ayah :40 thn
September 2021 Pendidikan :SD
Jam Kelahiran :Perempuan Pekerjaan :Swasta
Agama Ayah :Islam
Nama Ibu : Ny.Martina Tin
Umur Ibu :39 thn
Pendidikan :SD
Pekerjaan :IRT
20
Agama Ibu :Islam
21
1. Berat Badan :1650 gram
2. Panjang Badan :40 cm
3. Lingkar Kepala :31 cm
- Sirkumferensia froto-occipital :……..cm
- Sirkumferensia mento-occipitalis:……..cm
- Sirkumferensia suboccipito-bregmatika:……..cm
- Sirkumferensia submento-bregmatika:……….cm
4. Lingkar Dada :27 cm
5. Lingkar lengan atas .cm
22
c. Suhu tubuh (rectal/axial) : 36,5oC
Masalah Keperawatan: Termoregulasi tidak efektif
d. Kepala/Leher
e. Mata: bersih
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah keperawatan
f. THT
- Telinga : normal,bersih
- Hidung : simestris normal
- Palatum : normal
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah keperawatan
23
Masalah keperawatan: Tidak ada masalah keperawatan
j. Kulit: kulit bayi tampak menguning
Masalah Keperawatan: Interik neunatus
Keluhan lain : Hiperbilirubinemia
Masalah Keperawatan: Gangguan Integritas Kulit
k. Keadaan dan kelengkapan tubuh dan ekstremitas
Bentuk normal, jari-jari tangan lengkap, tidak terdapat benjolan dan lesi
Masalah Keperawatan: Tidak ada maslah keperawatan
l. Tali pusat
Tali pusat bayi mulai kering, tali pusat belum lepas. Tidak tampak tanda-tanda infeksi
pada tali pusat bayi
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah keperawatan
m. Anus :Ada lubang anus/tidak: lubang anus yang sempurna
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah keperawatan
n. Mekonium
Adanya meconium di saluran pernapasan
Masalah keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
o. Refleks: (moro, menggenggam, menghisap, berjalan)
Refleks moro baik, belum dapat menggengam dengan baik, belum dapat menghisap susu dot
dengan baik, dan belum bisa berjalan.
p. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksan hasil laboratorium pada tanggal 01 September 2021
Parameter Nilai Nilai Normal Satuan
HB 16.8 14 – 24 g/dl
Hematokrit 52.0 44 – 64 %
Leukosit 15.97 4 - 10,5 103/uL
Trombosit 130 150 – 450 103/uL
Bilirubin 7.25 <1,1 Mg/dl
Total
Bilirubin 0.45 Mg/dl
24
Direk
Bilirubin 6.80 <0,75 Mg/dl
Indirek
r. Penatalaksanaan Medis
No Obat Indikasi Dosis Rute
1 Injeksi neo-k -Untuk mencegahan atau
mengobati hemoragic (kerusakan
atau pembengkakan dalam otak
akibat pecahnya pembuluh darah
didalam atau di dekat otak) yanh
dialami oleh bayi baru lahir.
25
bakteri pada bagian tubuh seperti jam
saluran pernafasan,saluran
pencernaan,saluran kemih,telinga
dan jantung
4 Gentacimin -Gentacimin termasuk 6 mg/48
golongan antibiotik jam
amininoglikosida. Obat
gentacimin bekerja dengan
menghentikan pertumbuhan
bakteri
26
ANALISA DATA
27
ANALISA DATA
DATA SUBYEKTIF
KEMUNGKINAN
DAN DATA MASALAH
PENYEBAB
OBYEKTIF
2. DS : - Kadar bilirubin yang tinggi Ikterik Noenatus
DO : dalam darah SDKI (D.0024)
-RR 31x/menit
- S: 36,6˚C Ikterik Neonatus
- BB:1650 gram
- Frekuensi denyut
jantung:125x/menit
- Terpasang CPAP
F1O2 21% PEEP 7
cmH2O
-Tampak sianosis
- Rawat inkubator
- Bilirubin 7.25 mg/dL
28
ANALISA DATA
29
ANALISA DATA
30
PRIORITAS MASALAH
1. Pola Nafaas Tidak Efektif berhubungan dengan Sindrom Hipoventilasi. (SDKI,D.0005,
Halaman 26) ditandai dengan RR 31x/menit, S: 36,6˚C, BB:1650 gram, Frekuensi denyut
jantung:125x/menit, Terpasang CPAP F1O2 21% PEEP 7 cmH2O
2. Ikterik neunatus berhubungan dengan bilirubin takterkonjungsi didalam sirkulasi ditandai
dengan kadar bilirubin yang tinggi dalam darah. (SDKI, D.0024, Halaman 66) ditandai
dengan RR 31x/menit, S: 36,6˚C, BB:1650 gram, Frekuensi denyut jantung:125x/menit,
Terpasang CPAP F1O2 21% PEEP 7 cmH2O, Tampak sianosis, Rawat inkubator, Bilirubin
7.25 mg/dL
3. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan efek fototerafi ditandai dengan stimulasi
pusat termoregulasi hipotalamus. (SDKI, D. 0149, Halaman 317) ditandai dengan RR
31x/menit, S: 36,6˚C, BB:1650 gram, Frekuensi denyut jantung:125x/menit, Terpasang CPAP
F1O2 21% PEEP 7 cmH2O, Tampak sianosis, Rawat inkubator, Bilirubin 7.25 mg/dL
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare ditandai
dengan jaundice radiasi atau fototherafi. (SDKI, D. 0129, Halaman 282) ditandai dengan
RR 31x/menit, S: 36,6˚C, BB:1650 gram, Frekuensi denyut jantung:125x/menit, Terpasang
CPAP F1O2 21% PEEP 7 cmH2O, Tampak sianosis, Rawat inkubator, Bilirubin 7.25
mg/dL, Kulit bayi tampak kering dan mengelupas.
31
RENCANA KEPERAWATAN
32
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
2. Ikterik neunatus Setelah dilakukan tindakan keperawatan Fototeraphi Neunatus ( SIKI, I 03091,Hal.119) Untuk menurunkan kadar bilirubin
berhubungan dengan selama 1x7 jam,diharapkan Interik
Observasi:
bilirubin takterkonjungsi neunatus pada pasien dapat teratasi dengan
didalam sirkulasi ditandai KRITERIA HASIL: (SLKI, L.14125, Monitor iterik pada sklera dan kulit bayi
dengan kadar bilirubin Halaman 33) Identifikasi kebutuhan cairan dengan usia gestasi
yang tinggi dalam darah. 1.Elasitas mningkat (5) dan berat badan
(SDKI, D.0024, Halaman 2.Kemerahan menurun (5)
Monitor suhu dan tanda vital setiap 4 jam sekali
66) 3.Suhu kulit membaik (5)
Monitor fototherafi (mis.hopertermi,diare,rush pda
ulit,penurunan berat badan lebih dari 8-10%)
33
Terapeutik
Edukasi:
Kolaborasi
34
Kolaboraso pemeriksaan darah vena bilirubin direk
dan indirek
Edukasi
35
memungkinkan
36
RENCANA KEPERAWATAN
37
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
1. Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan Perawatan integritas kulit SIKI .Untuk menjaga
kulit berhubungan keperawatan selama 1x7 I.11353, Hal 316 keutuhan,kelembaban,dan
dengan jam,diharapkan Interik neunatus pada Observasi mencegah perkembangan
hiperbilirubinemia dan pasien dapat teratasi dengan -Identifikasi penyebab gangguan mikroorganisme
diare ditandai dengan KRITERIA HASIL: (SLKI, integritas kulit (mis. Perubahan sirkulasi,
jaundice radiasi atau L.14125) perubahan status nutrisi, penurunan
fototherafi. (SDKI, D. kelembaban, suhu lingkungan ekstrem,
Elastisitas meningkat (5)
0129, Halaman 282) penurunan mobilitas)
Kemerahan Menurun (5)
Terapeutik
Suhu kulit membaik (5)
-Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
-Lakikan pemijatan pada area penonjolan
tulang, jika perlu
-Bersihkan parineal dengan air hangat,
terutama selama perode diare
-Gunakan produk berbahan petrolium
atau minyak pada kulit kering
-Gunakan produk berbahan ringan/alami
dan hipoalergik pada kulit sensitif
-Hindari produk berbahan dsar alkohol
pada kulit kering
38
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan : 1 O:
39
Mengi, wheezing, ronkhi kering).
Identifikasi kebutuhan cairan dengan usia gestasi dan berat -Jadwalkan pendidkan kesehatan sesuai kesepakatan
badan
-Berikan kesempatan untuk bertanya
40
Monitor suhu dan tanda vital setiap 4 jam sekali
Diagnosa Keperawatan : 3 O:
-Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis.
Elastisitas meningkat (5)
Perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan
Kemerahan Menurun (5)
kelembaban, suhu lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas)
Suhu kulit membaik (5)
41
2 Monitor bunyi napas tambahan (mis. Mengi,
wheezing, ronkhi kering).
3 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma).
4 Pertahankan kepatenan jalan napas.
5 Berikan oksigen jika perlu.
6 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
S: -
Rabu 29 September 2021 Diagnosa Keperawatan 4
O:
6. Monitor pola nafas
7. Monitor bunyi nafas tambahan - Penggunaan otot bantu pernafasan (5)
8. Pertahanankan kepatenan jalan nafas
- Dipsnea menurun (5)
9. Berikan oksigen jika perlu
10. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, - Pemanjangan fase eekspirasi (5)
42
1. Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas).
43
44
BAB
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ikterus adalah keadaan dimana meningginya kadar bilirubin didalam jaringan
ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna
kuning. Ini disebabkan oleh karena adanya timbunan bilirubin (zat/ komponen yang
berasal dari pemecahan hemoglobin dalam sel darah merah) di bawah kulit.
Ikterus dikelompokkan menjadi dua yaitu Ikterus fisiologis yang biasanya
timbul pada hari kedua dan ketiga dan tanpa ada dasar patologis sedangkan Ikterus
patologis muncul pada 24 jam pertama bayi lahir dan akan menetap selama 2 minggu
dan kadar bilirubinnya melampaui batas kadar hiperbilirubinemia. Penanganan pada
bayi ikterus bermacam-macam sesuai tingkatan dan kadar bilirubinnya.
4.2 Saran
Disarankan untuk pembaca Asuhan keperawatan ini agar tetap membaca
literature-literatur lainnya untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang
penyakit Ikterus Neonaturum.
45
DAFTAR PUSTAKA
Hassan, Rusepno. 2005. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI
Fraser, Diane M. dan Cooper, Margaret A. 2009. Buku Ajar Bidan Myles.
Edisi 14. Alih bahasa Sri Rahaya et al. Jakarta: EGC
Schwartz, M.William.2004. Pedoman Klinis Pediatri. Alih bahasa Brham
U.Pendit et al. Jakarta: EGC
Saifudin, Abdulbari. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Matenal dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP
Damanik,S. 2008. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Surabaya : FKUA
46
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
PERAWATAN METODE KANGURU
Disusun Oleh:
Ralin Andari
2019.C.11a.1057
47
Pokok Bahasan : Perawatan Metode Kanguru
Sub Pokok Bahasan : Cara perawatan metode kanguru
Sasaran : Ibu-Ibu yang memiliki bayi BBLR
Hari/Tanggal : Jumat, 8 Oktober 2021
Waktu : 20 menit
Tempat : Ruang Mawar RS dr Doris Sylvanus
5. Media
Leaflet
6. Kegiatan Penyuluhan
48
No Tahapan Kegiatan Kegiatan Peserta Waktu
Kegiatan
1) Pembukaan/ 1) Membuka kegiatan 1) Menjawab 2 menit
Pendahuluan 2) Memperkenalkan diri dan salam
menjelaskan tujuan dari tujuan 2) Mendengarkan
penyuluhan 3) Menyimak
3) Menyebutkan materi yang akan 4) Peserta
diberikan menyampaikan
4) Kontrak waktu penyampaian pendapatnya
materi
5) Mengkondisikan peserta untuk
berkonsentrasi
2) Pelaksanaan/ 1) Pengertian bayi baru lahir Menyimak seluruh 10
Penyajian 2) Keadaan normal bayi materi yang menit
3) Pemeberian ASI eksklusif pada diberikan
bayi baru lahir sampai dengan 6
bulan
4) Cara memandikan bayi
5) Cara perawatan tali pusat
3) Evaluasi/ 1) Menyimpulkan 1) Menyimpulkan 8 menit
Penutup 2) Menjawab pertanyaan 2) Memberi
3) Menanyakan pada peserta pertanyaan
tentang materi yang telah 3) Menjawab
diberikan, dan meminta kembali salam
peserta untuk mengulang materi
yang telah disampaikan
4) Memberi salam
7. Evaluasi
49
Pertanyaan:
a) Apa pengertian perawatan metode kanguru?
b) Apa tujuan perawatan metode kanguru?
c) Jelaskan keuntungan metode kanguru?
d) Jelaskan keriteria bayi untuk metode kanguru?
e) Jelaskan langkah-langkah metode kanguru?
f) Jelaskan pelaksanaan metode kanguru?
g) Jelaskan kriteria kebersihan metode kanguru?
50
Lampiran Materi
MATERI SATUAN ACARA PENYULUHAN
PERAWATAN METODE KANGURU
51
1. Bayi dengan berat badan > 2000 gram.
2. Tidak ada kelainan atau penyakit yang menyertai.
3. Refleks dan koordinasi isap dan menelan yang baik.
4. Perkembangan selama di inkubator (rumah sakit) baik.
5. Kesiapan dan keikutsertaan orang tua, sangat mendukung dalam
keberhasilan
52
seperti berdiri , duduk , jalan, makan dan mengobrol.
8) Mengenakan pakaian luar sebagai penutup.
c. Bila metode kanguru dilakukan dengan selendang.
1) Badan ibu sudah dalam keadaan bersih, dan dada tidak terhalang BH
2) Memakaikan topi , popok dan kaos kaki pada bayi
3) Meletakkan bayi diantara payudara, dada bayi menempel pada dada ibu.
4) Memalingkan kepala ke sisi kanan/kiri dengan sedikit menengadah
5) Memposisikan bayi dengan siku dan tungkai tertekuk , seperti katak.
6) Menggunakan selendang, handuk atau kain lebar yang dibuat sedemikian
untuk menjaga tubuh bayi.
7) Mengikat dengan kencang agar ibu dapat beraktivitas dengan bebas
seperti berdiri , duduk , jalan, makan dan mengobrol.
8) Mengenakan pakaian luar sebagai penutup.
d. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan metode kanguru.
1) Posisi ibu saat tidur yaitu dengan setengah duduk dengan meletakkan
bantal di belakang punggung ibu.
2) Bila ibu perlu istirahat , dapat digantikan oleh ayah atau anggota keluarga
yang lain.
3) Dalam pelaksanaan perlu diperhatikan persiapan ibu, bayi, pisisi bayi,
pemantauan bayi, cara pemberian ASI dan kebersihan ibu dan bayi
53
4. Bayi tumbuh dan berkembang optimal
5. Bayi dapat menetek kuat
54
55