Anda di halaman 1dari 3

PEMBAHASAN FILSAFAT DAN HUKUM DI TENGAH COVID 19

Konten ini di produksi oleh Jiddan Maulana Daud

(ilustrasi covid19//pixabay)

https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01361522/penegakan-hukum-terkait-covid-19-

jangan-buat-ketegangan-baru-di-masyarakat

Kita ketahui, posisi Indonesia sekarang dalam keadaan pandemic. Muncul pertanyaan,
apakah filsafat memiliki peranan penting? Dan aturan-aturan hukum yang muncul di masa
pandemi

Filsafat tentu saja memiliki peran yang sangat penting dalam mengelaborasi setiap persoalan
krusial, termasuk soal pandemi covid 19. Peran filsafat itu, meminjam ungkapan Slavoj
Zizek, lebih sebagai unruhestifter – ‘pencipta kegaduhan’. Peran ini sudah dihayati filsafat
sejak zaman Sokrates, yakni “Die Jugend zu verderben, sie zu entfremden von der
vorherrschenden ideologisch-politischen Ordnung, radikalen Zweifel zu sa?en und sie dazu
zu befa?higen, eigensta?ndig zu denken” (“Mengguncang pikiran generasi muda,
menjauhkan mereka dari tatanan politik ideologi mainstream, menabur keraguan radikal, dan
memampukan mereka untuk berpikir mandiri.”)
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/314173/filsafat-dan-pandemi-covid-19#

Bagi kalangan hukum, tentu menarik untuk membicarakan hukum dan interaksinya dengan
serangan Covid-19 ini. Rentangannya cukup lebar, dari aksi Trump dan sejumlah negara atau
organisasi untuk menggugat Tiongkok yang secara absurd dituduh mengkultur dan dengan
sengaja atau tidak sengaja menyebarkannya ke seluruh dunia, deklarasi keadaan darurat,
peraturan penutupan atau pembatasan wilayah, pembatasan kegiatan warga, pengeluaran
kebijakan stimulus, bantuan langsung kepada penduduk dalam klaster pembatasan,  relaksasi
sejumlah kewajiban termasuk pajak, sampai sengketa antar sektor swasta maupun individu
karena ketidak-mampuan melaksanakan kewajiban dengan alasan terjadinya keadaan
memaksa (force majeure) yang katanya dikait-kaitkan juga dengan pernyataan Kepala Negara
tentang pandemi ini sebagai bencana nasional.
Peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh setiap pemerintah sangat tergantung dari sudut
pandang mereka dalam menilai pandemi Covid-19, dan seberapa siap mereka menghadapi
dampaknya secara ekonomi, hukum, sosial, politik dan tentu saja kemanusiaan. Setiap
pemimpin negara kalau ditanya tentu akan mengatakan bahwa mereka mengutamakan
keselamatan jiwa dan kesehatan warganya. Akan tetapi aturan hukum pertama yang mereka
keluarkan tidak selalu selaras dengan pernyataan politiknya. Kalau didalami sedikit,
keputusan untuk menyatakan keadaan darurat, melakukan lockdown seluruh negara atau
wilayah, melakukan kebijakan herd immunity, melakukan pembatasan wilayah, melakukan
pembatasan sosial skala besar, atau kebijakan apapun namanya, mencerminkan cara pandang
dan kesiapan dari suatu negara dalam menghadapi pandemi ini.

Karena vaksin belum ditemukan, sejumlah negara coba menerapkan herd immunity untuk
mengatasi pandemi covid-19. Pendekatan ini pertama kali dianjurkan Perdana Menteri
Inggris, Boris Johnson. Akan tetapi, pemerintah Inggris akhirnya mengubah kebijakan itu,
karena menurut perikiraan para ahli pendekatan herd immunity bisa berakibat pada
meningkatnya angka kematian di Inggris karena covid-19 sampai angka 250 ribu orang (Bdk.
Isabel Frey, 2020). Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan covid-19, Doni Monardo, pemerintah Indonesia
pada awal munculnya pandemi menolak memberlakukan lockdown dan pernah ingin
menerapkan pendekatan herd immunity (Bdk.
https://health.grid.id/read/352073064/indonesia-hindarilockdown- apakah-herd-
immunityakan- jadi-skenario?page=all).
filsafat memberikan pertimbangan etis atas kebijakan herd immunity untuk mengatasi
pandemi covid-19. Herd immunity atau kekebalan komunitas terbentuk setelah mayoritas
sembuh dari infeksi patogen. Caranya dengan vaksinasi atau membiarkan tubuh terinfeksi
penyakit.

kebijakan ekonomi neoliberal


Neoliberalisme dibangun di atas iman akan keadilan inheren pasar bebas yang dianggap
sebagai rasionalitas pasar yakni profit mendahului manusia. Dalam kaca mata neoliberalisme,
kebijakan herd immunity merupakan pendekatan yang paling efisien. Karena, membebaskan
negara dari tanggung jawab untuk membiayai sistem kesehatan melawan pandemi. Dari
perspektif neoliberalime, kematian karena pandemi covid-19 tidak dilihat sebagai akibat
kegagalan kebijakan negara, tapi karena virus yang terlalu ganas.

Era neoliberalisme, dalam pengertian dominasi kepentingan pasar di atas semua kepentingan
sosial lainnya, akan segera berakhir. Tentu saja, semua langkah ini disebabkan oleh keadaan
darurat. Namun, rakyat akan mengingat ini semua ketika dalam waktu dekat mereka akan
diberi tahu 'Tidak ada alternatif lain.' Dengan adanya krisis ini, ruang politik yang telah lama
diam telah digerakkan kembali. Setelah skeptisisme neoliberal yang telah berlangsung selama
empat dekade tentang negara, sebuah fakta yang sudah lama tidak aktif telah digerakkan
kembali: bahwa negara bangsa masih memiliki kekuatan kreatif yang sangat besar, kalau saja
mereka bersedia menggunakannya.

Seperti sebuah lampu sorot, krisis corona menyinari garis patahan geopolitik, ekonomi,
ideologi, dan budaya zaman kita. Mungkinkah retakan di bangunan ini bahkan menandakan
istirahat zaman? Apakah era turbo-globalisasi akan berakhir dengan membelah blok-blok
ekonomi utama? Apakah perang harga minyak menandakan berakhirnya ekonomi industri
fosil? Apakah sistem keuangan global sedang mengalami perubahan untuk menjadi rezim
baru? Apakah tongkat penjamin sistem telah beralih dari Amerika Serikat ke Tiongkok, atau
apakah kita sedang mengalami terobosan dunia dengan multi poros?

Krisis corona menjadi uji lapangan yang luar biasa. Jutaan orang sedang bereksperimen
dengan cara-cara baru dalam mengatur kehidupan mereka sehari-hari.

Satu hal yang pasti adalah bahwa virus corona dapat membawa terobosan bagi sejumlah tren
yang telah lama tersembunyi. Semua perkembangan ini saling mempengaruhi satu sama lain
dengan kecepatan yang menakjubkan. Kompleksitas ini menunjukkan bahwa krisis ini akan
lebih dalam dari resesi 2008. Pandemi ini dapat menjadi sekring yang membakar tong berisi
mesiu krisis sistem global.

Anda mungkin juga menyukai