Bab-17-94-95-Cek 20090130074348 9
Bab-17-94-95-Cek 20090130074348 9
A. UMUM
I. PENDAHULUAN
444
ke gi a ta n wilayah adalah daerah perkotaan atau kota yang
mempunyai wilayah pelayanan yang mencakup beberapa kawasan
atau kabupaten, merupakan pusat pelayanan jasa, produksi dan
distribusi, serta simpul transportasi untuk dan dari kawasan atau
kabupaten. Kelompok ini biasanya meliputi kota besar dan kota
sedang. Kelompok ketiga adalah pusat kegiatan lokal, yaitu daerah
perkotaan atau kota yang mempunyai wilayah pelayanan beberapa
kawasan dalam kabupaten dan umumnya merupakan kota sedang
atau kota kecil. Kelompok yang keempat adalah daerah perkotaan
atau kota yang mempunyai fungsi pelayanan khusus dalam
menunjang pengembangan sektor strategis, menunjang pengem -
bangan wilayah baru atau penyebaran kegiatan ekonomi dan
berfungsi pula sebagai daerah penyangga aglomerasi pertumbuhan
pusat kegiatan yang sudah ada. Tujuan pengelompokan tersebut
adalah untuk dapat merumuskan kebijaksanaan yang lebih terarah
dan sesuai dengan setiap kelompok tersebut.
445
tingkat perkembangannya, diukur antara lain dari tingkat
pendapatan, peran serta masyarakat dalam pembangunan, tingkat
kesehatan dan tingkat pendidikan masyarakatnya. Oleh sebab itu,
dikenal desa swadaya, desa swakarya, dan desa swasembada baik
yang masih berada pada tingkat mula, tingkat madya, maupun yang
sudah tingkat lanjut. Berdasarkan potensi dominan yang diolah dan
dikembangkan menjadi sumber penghasilan dan lapangan usaha
masyarakatnya, desa dapat digolongkan sebagai desa nelayan, desa
persawahan, desa perladangan, desa peternakan, desa perkebunan,
desa kerajinan atau industri kecil, desa industri sedang dan besar,
desa perdagangan, dan sebagainya. Berdasarkan lokasinya, desa
dapat dibedakan antara desa yang masih terpencil, terisolasi, desa
kepulauan, dan desa yang dekat atau mudah aksesnya ke kota. Hal
itu mempengaruhi karakteristik desa dan tingkat perkembangannya.
446
masih subsisten walaupun ada yang sudah menunjukkan gejala
berorientasi pasar. Lokasi desa tersebut relatif jauh dari kota atau
aksesnya ke kota tidak terlalu mudah. Tingkat perkembangan desa
kelompok ini kebanyakan adalah swakarya walaupun ada desa yang
telah mencapai tingkat perkembangan swasembada atau masih
swadaya.
447
sosial budaya, pendidikan dan kesenian, dan pintu keterkaitan
dengan dunia luar dan wilayah lainnya. Peranan perdesaan dalam
pembangunan nasional telah pula terlihat jelas. Hasil pembangunan
di perdesaan yang sebagian besar masih didominasi oleh sektor
pertanian telah mampu mengubah status bangsa Indonesia dari
pengimpor beras terbesar di dunia menjadi suatu bangsa yang
berhasil mencapai swasembada pangan sejak tahun 1984.
448
Kondisi yang kurang mendukung di daerah perdesaan telah
mendorong perpindahan masyarakat desa ke kota. Keterbatasan
lapangan pekerjaan dan keterbatasan lahan usaha serta sarana dan
prasarana pelayanan dasar di perdesaan mengakibatkan terjadinya
migrasi ke kota-kota. Hal ini membawa dampak, baik bagi daerah
perkotaannya sendiri maupun bagi daerah perdesaan. Penyediaan
sarana dan prasarana di perkotaan selalu terlambat mencukupi
kebutuhan yang meningkat pesat dengan adanya migrasi penduduk
tersebut. Keterbatasan lapangan kerja di daerah perkotaan menye-
babkan pengangguran tenaga kerja produktif dan meningkatnya
sektor informal. Kesenjangan tingkat kehidupan masyarakat
perdesaan dan perkotaan, serta antargolongan di perkotaan, seperti
yang terlihat dari perbedaan tingkat upah, ketersediaan dan akses
terhadap pelayanan dasar, dan ketersediaan dalam jumlah dan jenis
lapangan kerja masih belum terselesaikan. Ketiga hal tersebut telah
turut mengakibatkan rendahnya produktivitas dan terjadinya
kemiskinan di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan.
449
II. PEMBANGUNAN PERKOTAAN DAN
PERDESAAN DALAM PJP I
450
penurunan jumlah penduduk miskin di perkotaan ber-
langsung dengan tingkat kecepatan yang lebih lambat dibandingkan
dengan daerah perdesaan.
451
Investasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi di perko-
taan dan perdesaan telah semakin meningkat dari tahun ke tahun
dan memberikan hasil yang menggembirakan. Tingkat pelayanan
kota makin dapat dirasakan oleh hampir semua lapisan masyarakat,
terutama oleh penduduk berpenghasilan menengah dan rendah,
serta penduduk miskin di perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan
peningkatan penyediaan prasarana dasar dan permukiman di
perkotaan, antara lain melalui program perbaikan kampung dan
fasilitas kredit pemilikan rumah, KPR-BTN. Program perbaikan
kampung secara nasional telah memberikan manfaat kepada lebih
kurang 15 juta jiwa dalam bentuk perbaikan lingkungan tempat
tinggal, dan fasilitas KPR-BTN telah mencakup pembangunan
sekitar 875.700 unit perumahan yang tersebar di berbagai kota.
452
perdesaan, serta prasarana dan sarana penyehatan lingkungan,
sekolah dasar dan puskesmas/puskesmas pembantu.
453
KUD per kecamatan. Untuk mendukung kegiatan ekonomi rakyat
di perdesaan telah dibentuk pula lembaga penyalur kredit yang
hingga akhir Repelita V telah banyak tersedia dan menjangkau
hampir seluruh desa di tanah air. Untuk memberikan akses
terhadap perkreditan dan modal usaha yang lebih baik kepada
masyarakat berpenghasilan rendah di perdesaan, di beberapa
propinsi telah pula dikembangkan lembaga keuangan/perkreditan
desa seperti kredit usaha rakyat kecil (KURK), badan kredit
kecamatan (BKK), lembaga perkreditan kecamatan (LPK), lembaga
perkreditan desa (LPD), lumbung pitih nagari (LPN), disamping
badan kredit desa, bank perkreditan rakyat, dan penyebaran cabang
Bank Rakyat Indonesia (BRI) di tingkat perdesaan.
454
mekanisme perencanaan dari bawah yang dimulai dari musyawarah
pembangunan desa di tingkat desa, diskusi UDKP dan rapat
koordinasi pembangunan tingkat II.
455
Pembangunan selama ini telah mampu meningkatkan jumlah
desa maju, yang ditunjukkan oleh makin banyaknya desa
swasembada. Sampai akhir Repelita V dari sejumlah 63.920 desa
di seluruh Indonesia hanya 2 persen yang masih berstatus desa
swadaya, 21 persen desa swakarsa dan 77 persen desa telah
termasuk dalam kategori desa swasembada. Selain itu, dari
kegiatan program transmigrasi, pemukiman penduduk di daerah
baru telah pula menghasilkan jumlah desa baru yang berubah status
dari desa transmigrasi menjadi desa definitif. Demikian juga,
sebagian desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar hutan telah
dikembangkan melalui kegiatan bina desa hutan.
456
III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG
PEMBANGUNAN
1. Tantangan
457
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia sebagai pelaku utama
dalam kegiatan ekonomi makin tinggi. Keterbatasan akan sumber
daya manusia yang berkualitas ini berakibat pada rendahnya
produktivitas dan rendahnya kesempatan masyarakat daerah
perkotaan dan daerah perdesaan untuk berpartisipasi secara aktif
dalam pembangunan, di samping terbatasnya kesempatan dan
kemampuan untuk meningkatkan diversifikasi kegiatan
perekonomian, khususnya di daerah perdesaan. Sasaran
pertumbuhan ekonomi selama Repelita VI, yaitu rata-rata 6,2
persen per tahun, perlu didukung oleh peningkatan kemampuan
sumber daya manusia di perkotaan dan di perdesaan. Tantangan
yang dihadapi adalah mempersiapkan masyarakat perkotaan dan
perdesaan dengan keterampilan dan penguasaan teknologi agar
mampu berperan serta secara aktif dalam pembangunan.
458
lahan-lahan miring yang tidak diikuti dengan usaha konservasi
lingkungan yang memadai sehingga menimbulkan erosi tanah dan
menciptakan lahan kritis. Masalah yang lebih besar lagi adalah
perusakan lingkungan hidup yang langsung dirasakan masyarakat
perdesaan karena kurangnya pemahaman masyarakat, khususnya
pengusaha swasta di sektor pertambangan, perindustrian, kehutan -
an dan perikanan tentang pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi adalah mengatur
penggunaan dan penguasaan tanah, memantapkan kelestarian
lingkungan hidup, dan menegakkan hukum bagi pengelolaan
sumber daya alam secara bertanggung jawab demi pembangunan
yang berkelanjutan di perkotaan dan perdesaan.
2. Kendala
459
sumber daya manusia yang dapat mengelola pelaksanaan
pembangunan yang meliputi keterbatasan jumlah, kemampuan serta
pemahaman khususnya tentang keterkaitan pembangunan desa dan
kota, serta pembangunan yang berwawasan lingkungan;
keterbatasan struktur lembaga pemerintahan untuk mengelola
pembangunan perkotaan dan perdesaan; serta keterbatasan skala
ekonomi daerah perdesaan karena terbatasnya sumber daya.
3. Peluang
460
telah menghasilkan peningkatan kualitas angkatan kerja yang
memperbesar peluang bagi keberhasilan pembangunan perkotaan
dan perdesaan. Selain itu, berbagai hasil pembangunan selama PJP
I, seperti yang telah diuraikan di atas, merupakan modal bagi
pembangunan yang lebih meningkat dalam PJP II.
461
perluasan serta diversifikasi usaha agar makin mampu
mengarahkan dan memanfaatkan dana dan daya bagi peningkatan
pendapatan dan taraf hidupnya. Pembangunan berbagai sarana dan
prasarana perekonomian termasuk koperasi dan lembaga keuangan
ditingkatkan agar mampu berperanserta dalam pengembangan
ekonomi rakyat serta makin meningkatkan swadaya masyarakat
perdesaan dalam pembangunan.
2. Sasaran
a. Sasaran PJP II
b. Sasaran Repelita VI
462
serta meningkatnya mutu lingkungan hidup -- baik lingkungan
fisik, sosial maupun ekonomi -- di wilayah perkotaan dan
perdesaan sehingga mendukung pembangunan berkelanjutan.
3. Kebijaksanaan
463
B. PEMBANGUNAN PERKOTAAN
I. PENGANTAR
1. Sasaran
a. Sasaran PJP II
b. Sasaran Repelita VI
465
perseorangan; meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang
ditunjukkan oleh meningkatnya pendapatan per kapita dan
kualitas hidup penduduk yang makin merata; berkurangnya
jumlah penduduk miskin di perkotaan; serta meningkatnya
kualitas fisik lingkungan di perkotaan sesuai dengan baku
mutu lingkungan.
2. Kebijaksanaan
467
TABEL 17-1
KOTA-KOTA STRATEGIS DALAM PJP II
KHUSUSNYA REPELITA VI
A. METROPOLITAN 3)
1 Jakarta 15.524.000 20.000.000 33.000.000 5,80 5,20
2 Surabaya 3.987.000 4.987.000 9.882.000 4,80 4,80
3 Bandung 3.791.000 4.657.000 9.724.000 4,60 4,20
4 Medan 2.557.000. 3.141.000 5.146.000 4,80 4,20
5 Semarang 1.401.000 1.608.000 2.534.000 2,80 2,80
8 Yogyakarta 1.310.000 1.481.000 1.846.000 7,80 2,20
7 Palembang 1.287.000 1.529.000 2.708.000 3,90 3,50
8 Malang 1.254.000 1.563.000 2.904.000 5,00 4,50
9 Tegal 1.191.000 1.520.000 2.815.000 8,80 5,00
'
10 Ujungpandang 1.164.000 1.423.000 2.897.000 4,10 4,10
11 Surakarta 1.091.000 1.302.000 2.239.000 3,90 3,80
B. BESAR 4)
1 Cirebon 985.000 1.142.000 2.023.000 2,60 3,00
2 Kediri 770.000 948.000 1.709.000 5,60 4,20
3 Banjarmasin 834.000 764.000 1.379.000 3,90 3,80
4 Pekalongan 828.000 782.000 1.527.000 5,10 4,50
5 Padang 575.000 728.000 1.473.000 5,00 4,80
6 Bdr. Lampung 548.000 651.000 1.119.000 4,30 3,50
C. SEDANG 5)
1 Denpasar 497.000 714.000 1.489.000 8,50 7,50
2 Pontianak 485.000 593.000 1.262.000 4,10 4,10
3 Kudus 461.000 617.000 1.170.000 7,90 6,00
4 Pekanbaru 429.000 574.000 1.198.000 6,40 8,00
5 Tasikmalaya 425.000 505.000 895.000 4,10 3,50
6 Samarinda 418.000 567.000 1.366.000 8,30 6,30
7 Manado 407.000 495.000 938.000 3,60 4,00
8 Pasuruan/
Probolinggo 399.000 481.000 853.000 4,00 3,80
9 Jambi 385.000 518.000 1.077.000 6,90 8,00
10 Madiun 385.000 437.000 682.000 2,70 2,60
11 Purwokerto 375.000 478.000 951.000 6,00 5,00
12 Balikpapan 357.000 435.000s 858.000 4,00 4,00
13 Mataram 350.000 415.000 785.000 3,60 3,50
468
(1) (2)
(5) (6)
(3) (4)
D. KECIL 6)
1 Sorong 98.000 131.000 315.000 9,10 6,00
2 Dumai 93.000 113.000 205.000 4,30 3,80
3 Pare-Pare 93.000 108.000 205.000 3,00 3,00
4 Singkawang 88.000 107.000 223.000 3,00 4,00
5 Tarakan 87.000 105.000 209.000 2,30 4,00
6 Singaraja 85.000 103.000 178.000 3,30 4,00
7 Ternate 81.000 106.000 222.000 10,90 5,50
8 Bukittinggi 80.000 95.000 189.000 2,60 3,50
9 Sibolga 77.000 90.000 170.000 1,90 3,00
10 Watanpone 77.000 96.000 192.000 5,60 4,50
11 Bojonegoro 72.000 84.000 144.000 1,10 3,00
12 Baturaja 63.000 80.000 159.000 7,40 5,00
13 Palopo 63.000 73.000 124.000 3,20 3,00
14 Raba-Bima 61.000 75.000 143.000 2,50 4,50
15 Endo 57.000 71.000 132.000 6,10 4,50
16 Sumbawa Besar 56.000 70.000 132.000 5,50 4,50
17 Lubuk Linggau 55.000 69.000 128.000 6,10 4,50
469
(1) (4)
(2) (3) (5) (6)
E. KOTA-DESA 7)
1 Wamena 17.000 28.000 82.000 10,80 8,00
2 Rantepao 15.000 18.000 35.000 2,00 3,50
3 Saumlaki 8.000 8.000 18.000 14,90 5,00
4 Bandaneira 4.000 5.000 17.000 14,80 8,00
Catatan :
1) Pada akhir Repelita VI penduduk kota-kota strategis diperkirakan berjumlah 63,3 juta jiwa
atau sekitar 77 persen dari seluruh penduduk perkotaan, yaitu sekitar 82,4 juta jiwa;
sedangkan pada akhir PJP II penduduk kota-kota strategis mencapai 114,3 juta jiwa atau
sekitar 79 person dari seluruh penduduk perkotaan, yaitu sekitar 143,8 juta jiwa.
Jumlah penduduk kota-kota strategis disesuaikan dengan definisi kota pada butir 2).
2) Kota didefinisikan sebagal satu kota dan atau daerah perkotaan, yaitu kawasan yang
berciri kota dan mempunyai satu kota atau lebih sebagai pusatnya; jumlah penduduk
kota-kota strategis didefinisikan sebagai jumlah penduduk daerah pekotaan, kecuali
untuk kota-kota sebagal berikut: Balikpapan, Ambon, Batam, Lhokseumawe, Sukabumi,
Magelang, Situbondo, Palangkaraya, Purwakarta, Gorontalo, Tembilahan, Sorong,
Pare-Pare, Ternate, Bukittinggi, Sibolga, Watanpone, Bojonegoro, Baturaja, Palopo,
Raba-Bima, Ende, Sumbawa Besar, Lubuk Linggau, Sampit, Dill, Kotabaru, Rantau Prap
Biak, Maumere, Manokwari, Ubud, Tual, Buntok, Muaratewe, Wamena, Rantepao, Sauml
dan Bandaneira.
470
prasarana angkutan guna peningkatan aksesibilitas antara desa dan
kota; serta memanfaatkan ruang dan potensi kota secara efisien
melalui kegiatan penataan kota dan penataan bangunan.
471
Pemantapan kapasitas keuangan pemerintah kota dititikberat-
kan pada peningkatan pendapatan, efisiensi penggunaannya serta
pengerahan dana masyarakat dan dunia usaha, serta bantuan dan
pinjaman daerah. Mekanisme bantuan dan pinjaman daerah
diselenggarakan dengan pemberian kewenangan yang lebih besar
kepada pemerintah daerah dalam pengelolaannya, termasuk penin-
jauan kembali sumber-sumber keuangan daerah yang selama ini
belum dikelola daerah.
472
merupakan penjabaran dari rencana tata ruang kota, dan
menggambarkan perkiraan kebutuhan akan prasarana kota, baik
kebutuhan dasar maupun kebutuhan pengembangan ekonomi kota
dan wilayah belakangnya.
473
g. Meningkatkan Kualitas Lingkungan Fisik dan Sosial
Ekonomi Perkotaan
475
dan pengembangan sistem angkutan umum multimoda yang terpadu
untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang dan barang di
dalam kota. Khusus untuk kawasan Jabotabek (Jakarta-Bogor-
Tangerang-Bekasi) dan beberapa kota metropolitan lainnya,
pengembangan sarana angkutan umum massal diprioritaskan.
Prioritas diberikan juga kepada penyiapan kawasan industri dan
pusat permukiman berupa penyediaan sarana dan prasarana yang
memadai. Dalam seluruh kegiatan pembangunan sarana dan
prasarana kota, peran serta seluruh masyarakat, khususnya dunia
usaha didorong dan ditingkatkan dengan tetap memperhatikan,
meningkatkan dan memberi kemudahan bagi pengusaha kecil dan
menengah.
476
pengembangan jabatan dan kebutuhan pemerintah yang bersangkut-
an; dan (c) penyuluhan yang terencana dalam meningkatkan ke-
disiplinan serta mengembangkan kehidupan perkotaan yang lebih
tertib dan sadar hukum.
477
serta pemantapan tugas dan tanggung jawab aparat pemerintah
daerah dalam pengelolaan pembangunan perkotaan; (b)
peningkatan kemampuan aparat pemerintah daerah dalam
pembangunan perkotaan yang dikaitkan dengan peningkatan
kemampuan pengelolaan/manajemen perkotaan, penjenjangan
karier dan pengembangan struktur organisasi pemerintah daerah;
(c) penyiapan kelembagaan bagi terselenggaranya kerja sama
dengan masyarakat dan dunia usaha; (d) pemantapan kerja sama
dan koordinasi antar tingkatan pemerintahan untuk menangani
pembangunan kawasan di kota-kota metropolitan, di kota besar
yang mencakup beberapa wilayah administratif, dan di kawasan
permukiman baru; dan (e) pemantapan sistem informasi kota guna
mendukung efektivitas dan efisiensi perencanaan pembangunan
perkotaan.
478
C. PEMBANGUNAN PERDESAAN
I. PENGANTAR
Pembangunan selama PJP I telah berhasil meningkatkan taraf
hidup masyarakat, termasuk di perdesaan. Namun, dalam Repelita
VI dan PJP II pembangunan perdesaan harus dilanjutkan dan
ditingkatkan karena, meskipun telah dicapai banyak kemajuan,
masyarakat di perdesaan pada umumnya masih tertinggal
dibandingkan dengan masyarakat di perkotaan. Tantangan pokok
yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan dalam PJP II,
khususnya Repelita VI adalah mengatasi masalah kemiskinan di
perdesaan; meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan bertanggung
jawab untuk meningkatkan produksi bahan pangan dan bahan baku
industri; dan mengembangkan hubungan perdesaan dan perkotaan
yang saling menunjang serta saling menguntungkan.
479
II. SASARAN DAN KEBIJAKSANAAN
PEMBANGUNAN
1. Sasaran
a. Sasaran PJP II
b. Sasaran Repelita VI
480
2. Kebijaksanaan
481
b. Meningkatkan Kemampuan Produksi Masyarakat
482
penyehatan lingkungan; serta mengembangkan jaringan irigasi
perdesaan.
483
menjadi makin tinggi. Selain itu, kebijaksanaan ini dimaksudkan
untuk meningkatkan peran lembaga kemasyarakatan desa seperti
LKMD, KPD, dan PKK, kader konservasi alam, dan KPSA
sehingga masyarakat dapat lebih berpartisipasi aktif dalam
pembangunan.
484
perdagangan, pariwisata dan sebagainya; (d) pengembangan
program pendidikan dan keterampilan bagi pengembangan usaha
ekonomi setempat yang berorientasi pasar; dan (e) penyuluhan bagi
masyarakat perdesaan dalam rangka peningkatan keserasian
lingkungan hidup di desa. Dalam program ini perhatian khusus
diberikan kepada anak usia didik dan remaja serta pemuda putus
sekolah, terutama di desa-desa tertinggal.
485
juga dilakukan melalui kegiatan kelembagaan di perdesaan antara
lain LKMD, PKK, karang taruna, pramuka, dan koperasi.
486
pelayanan KUD dalam pemberian kredit dan pemasaran hasil
produksi; (b) pembinaan dan pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan kelompok usaha masyarakat agar berpotensi menjadi
lembaga perkoperasian yang lebih andal; (c) penyempurnaan
mekanisme penyaluran kredit untuk meningkatkan aksesibilitas
masyarakat perdesaan terhadap sumber pendanaan; (d) bantuan
khusus pengembangan kegiatan ekonomi rakyat; (e) peningkatan
prosedur dan mekanisme peran serta dunia usaha dalam
pembangunan ekonomi perdesaan; dan (f) pemantapan struktur
penguasaan tanah atau "land reform" dan penyertifikatan tanah
pertanian sehingga dapat dipergunakan untuk meningkatkan
kepastian usaha dan kegiatan usaha masyarakat.
487
wawasan dan keterampilan; (b) peningkatan kesehatan
masyarakat; (c) pengenalan teknologi tepat guna dalam
kegiatan usaha masyarakat; (d) pemantapan lembaga perdesaan
seperti KUD, lembaga kredit desa, dan fungsi lembaga
pemerintahan serta lembaga kemasyarakatan; (e) pengembangan
prasarana dasar dan prasarana ekonomi terutama transportasi;
dan (1) bantuan khusus untuk mengembangkan kegiatan
ekonomi rakyat.
488
Perumahan dan Permukiman; program pembinaan dan
pengembangan produktivitas dan kesempatan kerja dalam
Sektor Tenaga Kerja; program
pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup, program inven-
tarisasi dan evaluasi sumber daya darat, dan program penataan
ruang dalam Sektor Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, dan
berbagai program di sektor pertanian, industri, energi serta sektor-
sektor lain, yang kegiatannya akan memajukan kesejahteraan
masyarakat perdesaan.
489
Tabel 17—2
RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN
Tahun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 — 1998/99)
(dalam juta
rupiah)
No.
Kode Sektor/Sub Sektor/Program 1994/95 1994/95 — 1998/99