Anda di halaman 1dari 53

BAB 17

PEMBANGUNAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN


BAB 17

PEMBANGUNAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN

A. UMUM

I. PENDAHULUAN

Kota adalah suatu wilayah geografis tempat bermukim


sejumlah penduduk dengan tingkat kepadatan yang relatif tinggi,
dengan kegiatan utamanya di sektor nonpertanian. Masyarakat
kota, selain terdiri atas penduduk asli daerah tersebut juga
pendatang dan merupakan suatu masyarakat yang heterogen, tidak
hanya dalam hal mata pencaharian, tetapi juga dalam hal agama,
adat, dan kebudayaannya. Kota dapat merupakan satu unit adminis-
tratif yang mempunyai organisasi pemerintahan sendiri, seperti
pemerintah daerah tingkat I (dati I), dalam hal ini khusus untuk
Jakarta, kotamadya yang berstatus daerah tingkat II (dati II) seba-
gai ibukota propinsi, dan kotamadya daerah tingkat II lainnya,
tetapi dapat pula merupakan bagian dari unit administrasi lain
dalam wilayah kabupaten/daerah tingkat II, seperti kota adminis-
tratif, kotamadya administratif, kota kecamatan sebagai ibukota
kabupaten, dan kota kecamatan.
443
Berdasarkan ukuran jumlah penduduk, kota diklasifikasikan
sebagai megapolitan dengan jumlah penduduk di atas 5 juta, kota
raya atau metropolitan dengan jumlah penduduk 1 sampai dengan 5
juta; kota besar dengan. jumlah penduduk 500.000 sampai dengan 1
juta; kota sedang dengan jumlah penduduk 100.000 sampai dengan
500.000; dan kota kecil dengan jumlah penduduk 20.000 sampai
dengan 100.000. Kota-kota tersebut dapat mempunyai jangkauan
pelayanan atau keterkaitan skala internasional, nasional, wilayah
(melayani satu propinsi atau lebih) atau lokal (melayani beberapa
kabupaten atau bagian dari sate kabupaten).

Suatu kawasan atau wilayah yang berciri kota dapat melebihi


satu wilayah administrasi dan mempunyai satu kota atau lebih
sebagai pusatnya, disebut sebagai daerah perkotaan. Kota atau
daerah perkotaan dapat membentuk satu sistem karena saling
keterkaitannya, baik secara fisik maupun secara sosial ekonomi.
Untuk kepentingan perumusan kebijaksanaan dan perencanaan
pembangunan, kota atau daerah perkotaan dibagi atas empat
kelompok perkotaan berdasarkan peranan dan fungsi pelayanannya
dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Keempat
kelompok tersebut adalah kota atau daerah perkotaan yang
berfungsi sebagai pusat kegiatan nasional, kota atau daerah
perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan wilayah, kota atau
daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan lokal, dan
kota atau daerah perkotaan lainnya yang mempunyai fungsi khusus
dalam menunjang sektor ekonomi tertentu.

Pusat kegiatan nasional adalah daerah perkotaan atau kota


yang mempunyai wilayah pelayanan skala nasional, di samping
merupakan pintu gerbang bagi keluar masuknya arus barang dan
jasa, juga merupakan simpul perdagangan dunia internasional.
Daerah tersebut merupakan pusat pelayanan jasa, produksi, dan
distribusi serta merupakan simpul transportasi untuk pencapaian
beberapa pusat kawasan atau propinsi. Kota metropolitan dan kota
besar biasanya termasuk dalam kelompok ini karena kelengkapan
sarana dan prasarana yang telah dimilikinya. Adapun pusat

444
ke gi a ta n wilayah adalah daerah perkotaan atau kota yang
mempunyai wilayah pelayanan yang mencakup beberapa kawasan
atau kabupaten, merupakan pusat pelayanan jasa, produksi dan
distribusi, serta simpul transportasi untuk dan dari kawasan atau
kabupaten. Kelompok ini biasanya meliputi kota besar dan kota
sedang. Kelompok ketiga adalah pusat kegiatan lokal, yaitu daerah
perkotaan atau kota yang mempunyai wilayah pelayanan beberapa
kawasan dalam kabupaten dan umumnya merupakan kota sedang
atau kota kecil. Kelompok yang keempat adalah daerah perkotaan
atau kota yang mempunyai fungsi pelayanan khusus dalam
menunjang pengembangan sektor strategis, menunjang pengem -
bangan wilayah baru atau penyebaran kegiatan ekonomi dan
berfungsi pula sebagai daerah penyangga aglomerasi pertumbuhan
pusat kegiatan yang sudah ada. Tujuan pengelompokan tersebut
adalah untuk dapat merumuskan kebijaksanaan yang lebih terarah
dan sesuai dengan setiap kelompok tersebut.

Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 (UU No. 5/79)


tentang Pemerintahan Desa disebutkan bahwa desa adalah suatu
wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai organisasi langsung di bawah camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Berbeda dengan kota, desa
mempunyai tingkat kepadatan yang tidak terlalu tinggi dan
biasanya kegiatan utamanya adalah di sektor pertanian. Masyarakat
desa pada umumnya merupakan masyarakat homogen dalam hal
agama, adat, kebudayaan, dan juga dalam mata pencahariannya.
Se l a nj ut n ya , sekelompok desa yang memiliki keterkaitan
fungsional yang erat, baik secara sosial maupun ekonomi, akan
membentuk suatu kawasan atau daerah perdesaan. Pada umumnya
desa ini adalah dari kelompok atau tipe desa yang sama dan
mempunyai sebuah pusat antardesa.

Desa yang terdapat di Indonesia beragam kondisi, karakteris -


tik sosial ekonomi, dan tingkat perkembangannya. Berdasarkan

445
tingkat perkembangannya, diukur antara lain dari tingkat
pendapatan, peran serta masyarakat dalam pembangunan, tingkat
kesehatan dan tingkat pendidikan masyarakatnya. Oleh sebab itu,
dikenal desa swadaya, desa swakarya, dan desa swasembada baik
yang masih berada pada tingkat mula, tingkat madya, maupun yang
sudah tingkat lanjut. Berdasarkan potensi dominan yang diolah dan
dikembangkan menjadi sumber penghasilan dan lapangan usaha
masyarakatnya, desa dapat digolongkan sebagai desa nelayan, desa
persawahan, desa perladangan, desa peternakan, desa perkebunan,
desa kerajinan atau industri kecil, desa industri sedang dan besar,
desa perdagangan, dan sebagainya. Berdasarkan lokasinya, desa
dapat dibedakan antara desa yang masih terpencil, terisolasi, desa
kepulauan, dan desa yang dekat atau mudah aksesnya ke kota. Hal
itu mempengaruhi karakteristik desa dan tingkat perkembangannya.

Untuk perumusan kebijaksanaan pembangunan, desa dapat


dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni desa cepat berkem -
bang, desa potensial berkembang, dan desa tertinggal. Tujuan
pengelompokan desa ini adalah untuk dapat merumuskan kebijaksa -
naan pembangunan yang lebih terarah dan sesuai dengan setiap
kelompok desa tersebut. Desa cepat berkembang . kebanyakan
adalah desa yang dekat dengan atau mempunyai akses yang mudah
ke kota. Biasanya kegiatan ekonomi masyarakatnya sudah mulai
menunjukkan adanya diversifikasi dan tidak semata-mata ber -
gantung pada sektor primer atau agraris saja. Masyarakatnya juga
sudah mulai menunjukkan perubahan dalam adat dan kebudayaan-
nya serta sudah mulai berorientasi pada ekonomi pasar. Kebanyak -
an desa cepat berkembang telah mencapai desa swasembada.

Kelompok desa yang kedua adalah kelompok desa potensial


berkembang, yaitu desa yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan dan pada umumnya kegiatan utama masyarakatnya
adalah di sektor primer, yaitu pertanian atau pertambangan. Pada
kelompok desa ini diversifikasi kegiatan masih terbatas dan
masyarakatnya masih menunjukkan ciri homogen dalam hal adat
dan kebudayaannya. Tingkat kegiatan ekonomi pada umumnya

446
masih subsisten walaupun ada yang sudah menunjukkan gejala
berorientasi pasar. Lokasi desa tersebut relatif jauh dari kota atau
aksesnya ke kota tidak terlalu mudah. Tingkat perkembangan desa
kelompok ini kebanyakan adalah swakarya walaupun ada desa yang
telah mencapai tingkat perkembangan swasembada atau masih
swadaya.

Kelompok desa yang ketiga adalah desa yang mempunyai


masalah khusus atau keterbatasan tertentu, seperti keterbatasan
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan aksesibilitas terbatas
ke pusat-pusat permukiman lainnya. Hal tersebut telah menyebab -
kan terjadinya kemiskinan di desa itu serta kondisinya relatif
tertinggal dari desa lainnya dalam mengikuti dan memanfaatkan
hasil pembangunan nasional dan daerah. Kelompok desa ini disebut
sebagai kelompok desa tertinggal. Kelompok ini akan didorong
secara khusus untuk mencapai tingkat perkembangan yang lebih
tinggi.

Pembangunan perkotaan dan perdesaan perlu dilakukan secara


terpadu, dengan meningkatkan peran serta, pengembangan
prakarsa dan swadaya gotong-royong masyarakatnya. Sesuai
dengan amanat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993,
pembangunan dilaksanakan oleh masyarakat dan Pemerintah.
Dalam hal ini masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan
Pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, serta
menciptakan suasana yang menunjang. Selanjutnya, sebagai
perwujudan Wawasan Nusantara, pembangunan perkotaan dan
perdesaan d i s e l e n g g a r a k a n dengan memperhatikan tingkat
pengembangan dan penyerasian laju pertumbuhan antara daerah
perkotaan dan daerah perdesaan.

Sejak Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I)


sampai dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima
(Repelita V), perkembangan dan dinamika kota terasa makin
menonjol. Peran perkotaan menjadi semakin penting sebagai pusat
kegiatan dan sekaligus pendorong pembangunan daerah dan
nasional, pusat modernisasi dan inovasi teknologi, pusat kegiatan

447
sosial budaya, pendidikan dan kesenian, dan pintu keterkaitan
dengan dunia luar dan wilayah lainnya. Peranan perdesaan dalam
pembangunan nasional telah pula terlihat jelas. Hasil pembangunan
di perdesaan yang sebagian besar masih didominasi oleh sektor
pertanian telah mampu mengubah status bangsa Indonesia dari
pengimpor beras terbesar di dunia menjadi suatu bangsa yang
berhasil mencapai swasembada pangan sejak tahun 1984.

Dalam pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah, perko-


taan dan perdesaan saling melengkapi dan membentuk satu sistem
yang saling terkait. Keterkaitan antara perdesaan dan perkotaan
terlihat dalam penyediaan bahan pokok, fasilitas dan pelayanan
dasar, penyediaan bahan baku, serta bahan setengah jadi dan
sumber daya manusia untuk industri dan kegiatan ekonomi lainnya.
Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan ini merupakan
dasar bagi pertumbuhan yang serasi antara desa dan kota.

Dengan memperhatikan karakteristik kota dan desa, setiap


pelaksanaan pembangunan di daerah perkotaan dan perdesaan akan
berbeda sesuai dengan ciri dan permasalahan yang ada. Keragaman
ini membutuhkan cara pengelolaan pembangunan yang lebih
terkoordinasi dan lebih terpadu berdasarkan karakteristiknya.
Kedua hal ini akan menjadi ciri yang penting dalam pelaksanaan
pembangunan di perkotaan dan perdesaan. Keserasian dan
keterpaduan dalam pembangunan sektor di daerah perkotaan dan
perdesaan diperlukan untuk menjamin efektivitas usaha pencapaian
sasaran pembangunan.

Pada awal Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I)


orientasi pembangunan masih bertumpu pada usaha pencapaian
sasaran sektoral. Kota dan desa dianggap belum menunjukkan
gejala yang memerlukan penanganan secara khusus. Sejalan
dengan keberhasilan pembangunan sektoral, dalam Rencana
Pembangunan Lima Tahun Keempat (Repelita IV) mulai terlihat
gejala yang menuntut perhatian pada dimensi ruang dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, khususnya daerah
perkotaan dan perdesaan.

448
Kondisi yang kurang mendukung di daerah perdesaan telah
mendorong perpindahan masyarakat desa ke kota. Keterbatasan
lapangan pekerjaan dan keterbatasan lahan usaha serta sarana dan
prasarana pelayanan dasar di perdesaan mengakibatkan terjadinya
migrasi ke kota-kota. Hal ini membawa dampak, baik bagi daerah
perkotaannya sendiri maupun bagi daerah perdesaan. Penyediaan
sarana dan prasarana di perkotaan selalu terlambat mencukupi
kebutuhan yang meningkat pesat dengan adanya migrasi penduduk
tersebut. Keterbatasan lapangan kerja di daerah perkotaan menye-
babkan pengangguran tenaga kerja produktif dan meningkatnya
sektor informal. Kesenjangan tingkat kehidupan masyarakat
perdesaan dan perkotaan, serta antargolongan di perkotaan, seperti
yang terlihat dari perbedaan tingkat upah, ketersediaan dan akses
terhadap pelayanan dasar, dan ketersediaan dalam jumlah dan jenis
lapangan kerja masih belum terselesaikan. Ketiga hal tersebut telah
turut mengakibatkan rendahnya produktivitas dan terjadinya
kemiskinan di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan.

Sebagai bagian dari pembangunan daerah, pembangunan


perkotaan dan perdesaan memerlukan perhatian yang lebih besar
dan khusus. Permasalahan yang timbul baik di perkotaan dan
perdesaan adalah saling terkait, dan makin sulit untuk ditangani
berdasarkan sektor-sektor secara tersendiri. Perkotaan dan
perdesaan merupakan suatu kesatuan yang memerlukan penge-
lolaan pembangunan secara terpadu dan terkait. Hal ini menuntut
adanya penyempurnaan dalam penyelenggaraan pembangunan
sektoral dengan memperhatikan keterkaitan antara kota dan desa.
Keterkaitan sosial dan ekonomi antara perkotaan dan perdesaan
merupakan landasan dalam perumusan kebijaksanaan pembangunan
perkotaan dan perdesaan dalam Pembangunan Jangka Panjang
Kedua (PJP II). Selanjutnya, kebijaksanaan pembangunan
perkotaan dan perdesaan dalam bab ini akan mencakup pokok
kebijaksanaan yang penting, yang akan dijabarkan secara lebih
terinci dalam bentuk program-program yang dilaksanakan oleh
tiap-tiap sektor, yang terurai dalam bab sektor yang bersangkutan,
secara terpadu dan terkait sate dengan yang lainnya.

449
II. PEMBANGUNAN PERKOTAAN DAN
PERDESAAN DALAM PJP I

Pembangunan dalam PJP I telah menghasilkan berbagai hal


yang menggembirakan dan merupakan modal bagi
pembangunan selanjutnya.

Laju pertumbuhan penduduk telah menurun secara


berangsur, yaitu menjadi 1,97 persen dalam dasawarsa 1980-
1990. Sebaliknya, penduduk perkotaan dalam dasawarsa
tersebut telah meningkat dengan laju rata-rata 5 , 5 persen per
tahun. Ini merupakan salah satu angka laju pertumbuhan
penduduk perkotaan yang tertinggi di dunia. Jumlah penduduk
perkotaan telah meningkat dari 32,8 juta jiwa pada tahun 1980
menjadi 55,9 juta pada tahun 1990, dan pada akhir Repelita V
mencapai 64,4 juta jiwa. Dalam kurun waktu yang sama,
jumlah penduduk daerah perdesaan bertambah dengan laju
pertumbuhan rata-rata 0,8 persen per tahun. Jumlah penduduk
perdesaan meningkat dari 114,5 juta pada tahun 1980 menjadi
123,9 juta jiwa pada tahun 1990 dan mencapai 124,8 juta jiwa
pada akhir Repelita V.

Berkat usaha pembangunan yang berlangsung selama ini,


kesejahteraan masyarakat telah meningkat. Hal ini terlihat
dalam bidang kesehatan dan pendidikan, yang telah
meningkatkan indeks mutu hidup yaitu angka gabungan dari
angka kematian bayi, usia harapan hidup, dan tingkat melek
huruf, baik di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan.
Penduduk perkotaan yang hidup di bawah garis kemiskinan
menurun dari 38,8 persen dari seluruh jumlah penduduk
perkotaan pada tahun 1976 menjadi 16,8 persen dalam tahun
1990. Penduduk miskin di daerah perdesaan pada waktu yang
sama berkurang jauh lebih cepat daripada di daerah perkotaan,
yaitu dari 40,4 persen dari seluruh jumlah penduduk perdesaan
menjadi 14,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengentasan
masyarakat dari kemiskinan di perkotaan dan di perdesaan
telah menunjukkan hasil yang menggembirakan walaupun

450
penurunan jumlah penduduk miskin di perkotaan ber-
langsung dengan tingkat kecepatan yang lebih lambat dibandingkan
dengan daerah perdesaan.

Berbagai kegiatan sektor ekonomi dalam kurun waktu


1975-1990 telah menunjukkan perubahan yang berarti dan
perekonomian nasional bergeser ke arah struktur ekonomi yang
bertumpu pada sektor industri dan jasa; umumnya sektor tersebut
berlokasi di daerah perkotaan. Dalam kurun waktu tersebut pangsa
industri secara nasional meningkat dari 9,6 persen menjadi 19,1
persen. Seiring dengan meningkatnya pangsa sektor industri,
pangsa sektor jasa secara nasional juga menunjukkan peningkatan
dari 50,5 persen menjadi 54,8 persen. Sementara itu, kontribusi
sektor pertanian terhadap ekonomi nasional, yang umumnya
dihasilkan di daerah perdesaan, mengalami penurunan, yaitu dari
40 persen menjadi 26,1 persen.

Dalam PJP I dari seluruh angkatan kerja, yaitu penduduk yang


berusia 10 tahun ke atas, proporsi terbesar masih terdapat di
perdesaan. Dalam kurun waktu 1982-1991, jumlah angkatan kerja
di perdesaan menunjukkan kenaikan sebesar 2 persen rata-rata per
tahun, walaupun dilihat dari proporsinya terhadap jumlah total
penduduk mengalami penurunan. Kualitas angkatan kerja
berdasarkan tingkat pendidikan di perdesaan telah menunjukkan
perbaikan. Jumlah angkatan kerja yang berpendidikan dasar dan
menengah meningkat dari sekitar 16,8 juta orang pada tahun 1982
menjadi 31,1 juta orang pada tahun 1991. Angkatan kerja
berpendidikan tinggi telah bertambah dari sekitar 123.000 orang
menjadi sekitar 366.000. Angkatan kerja perkotaan untuk periode
waktu 1982-1991 telah tumbuh dengan rata-rata 10 persen per
tahun. Jumlah angkatan kerja berpendidikan dasar dan menengah
meningkat dari sekitar 7 juta menjadi 14,7 juta orang, sedangkan
angkatan kerja yang berpendidikan tinggi telah meningkat dari
sekitar 388.000 menjadi 1,2 juta orang. Peningkatan kualitas
angkatan kerja ini tidak terlepas dari program pendidikan dan
keterampilan yang telah dilakukan.

451
Investasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi di perko-
taan dan perdesaan telah semakin meningkat dari tahun ke tahun
dan memberikan hasil yang menggembirakan. Tingkat pelayanan
kota makin dapat dirasakan oleh hampir semua lapisan masyarakat,
terutama oleh penduduk berpenghasilan menengah dan rendah,
serta penduduk miskin di perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan
peningkatan penyediaan prasarana dasar dan permukiman di
perkotaan, antara lain melalui program perbaikan kampung dan
fasilitas kredit pemilikan rumah, KPR-BTN. Program perbaikan
kampung secara nasional telah memberikan manfaat kepada lebih
kurang 15 juta jiwa dalam bentuk perbaikan lingkungan tempat
tinggal, dan fasilitas KPR-BTN telah mencakup pembangunan
sekitar 875.700 unit perumahan yang tersebar di berbagai kota.

Sebagian besar penduduk perkotaan telah menikmati pelayanan


air bersih, yaitu sekitar 65 persen dari total penduduk perkotaan
pada akhir Repelita IV meningkat menjadi sekitar 70 persen pada
akhir Repelita V. Jumlah kota yang sudah terlayani dalam pengelo-
laan persampahan sampai dengan akhir Repelita V mencapai
sebanyak 492 kota, sedangkan untuk pelayanan air limbah dan
drainase masing-masing mencapai 337 kota dan 242 kota.

Demikian pula pemenuhan kebutuhan dasar penduduk


perdesaan telah meningkat. Cakupan pelayanan sarana air bersih di
perdesaan telah meningkat dari sekitar 30,5 persen penduduk desa
pada akhir Repelita IV menjadi 55 persen pada akhir Repelita V.
Jumlah desa yang telah memperoleh pelayanan listrik bertambah
dari 2.244 desa pada tahun 1978 menjadi 25.803 desa pada tahun
1992. Program pemugaran perumahan telah pula dilakukan di
daerah perdesaan, yang pada tahun 1972 dilaksanakan di 900 desa
mencakup 32.746 rumah, dan terus berkembang menjadi 20.000
desa mencakup 240.000 rumah pada tahun 1992. Di samping itu,
fasilitas lainnya telah pula dikembangkan, meliputi berbagai
prasarana perekonomian berupa los pasar desa, tempat pelelangan
ikan, gudang/lumbung desa, prasarana dan sarana irigasi

452
perdesaan, serta prasarana dan sarana penyehatan lingkungan,
sekolah dasar dan puskesmas/puskesmas pembantu.

Pembangunan prasarana kesehatan dan pendidikan dasar


tersebar merata di seluruh daerah, baik perkotaan maupun
perdesaan. Jumlah puskesmas pada akhir Repelita I adalah 2.343
buah untuk melayani seluruh kecamatan. Pada tahun 1992/93
jumlah puskesmas meningkat menjadi 6.277 buah, ditambah pula
dengan puskesmas pembantu yang berjumlah 18.946 buah tersebar
di desa-desa. Jumlah bangunan SD pada tahun 1972 adalah sebesar
65.950 buah dan meningkat menjadi 148.457 buah pada tahun
1992.

Dalam PJP I perhatian yang makin besar diberikan terhadap


pengelolaan lingkungan dan konsep pembangunan berwawasan
lingkungan demi pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini
dicerminkan dengan dilaksanakannya berbagai program untuk
pelestarian lingkungan seperti perlindungan sumber daya kelautan,
kehutanan, pengelolaan wilayah konservasi dan program kali
bersih, program pengembangan energi alternatif demi pelestarian
lingkungan seperti energi surya, angin, biomasa dan biogas.
Kesadaran lingkungan ini telah berkembang disertai dengan
meningkatnya pelibatan masyarakat khususnya dalam pemeliharaan
kebersihan dan kelestarian lingkungan.

Dalam hal penataan ruang dan pengelolaan pertanahan telah


tersusun rencana tata ruang untuk beberapa propinsi, kabupaten,
kotamadya dan kawasan lainnya di daerah perkotaan yang dapat
digunakan untuk acuan lokasi pembangunan. Konsolidasi tanah
telah dilaksanakan di beberapa kota dan telah pula diujicobakan di
beberapa daerah perdesaan.

Dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi rakyat di


perdesaan, telah dibentuk koperasi unit desa (KUD) pada masing-
masing kecamatan yang dibina oleh badan pembimbing dan
pelindung KUD. Menjelang akhir Repelita V rata-rata terdapat 2-3

453
KUD per kecamatan. Untuk mendukung kegiatan ekonomi rakyat
di perdesaan telah dibentuk pula lembaga penyalur kredit yang
hingga akhir Repelita V telah banyak tersedia dan menjangkau
hampir seluruh desa di tanah air. Untuk memberikan akses
terhadap perkreditan dan modal usaha yang lebih baik kepada
masyarakat berpenghasilan rendah di perdesaan, di beberapa
propinsi telah pula dikembangkan lembaga keuangan/perkreditan
desa seperti kredit usaha rakyat kecil (KURK), badan kredit
kecamatan (BKK), lembaga perkreditan kecamatan (LPK), lembaga
perkreditan desa (LPD), lumbung pitih nagari (LPN), disamping
badan kredit desa, bank perkreditan rakyat, dan penyebaran cabang
Bank Rakyat Indonesia (BRI) di tingkat perdesaan.

Sejalan dengan peningkatan usaha pemerintah dalam menum-


buhkan ketersediaan sumber pembiayaan pembangunan dan
kegiatan masyarakat, partisipasi masyarakat dalam pembangunan
telah pula meningkat. Hal ini ditunjukkan, antara lain, dengan
perkembangan jumlah dana swadaya masyarakat dalam
pembangunan, dalam kaitannya dengan inpres desa, yaitu dari
Rp 50,1 miliar rata-rata per tahun (43 persen dari bantuan
pemerintah berupa inpres desa) dalam Repelita IV, meningkat
menjadi Rp 119 miliar rata-rata per tahun (55 persen dari bantuan
pemerintah berupa inpres desa) dalam Repelita V.

Dalam PJP I, pola pendekatan pembangunan yang melibatkan


partisipasi dan menumbuhkan inisiatif masyarakat dikembangkan
lebih jauh dengan pembentukan lembaga sosial desa (LSD) di
tingkat desa, dan unit daerah kerja pembangunan (UDKP) di
tingkat kecamatan yang bertujuan untuk membangkitkan dan
membina prakarsa masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan desa. Pada tahun 1980 fungsi LSD dikembangkan
dengan memasukkan unsur ketahanan masyarakat sehingga menjadi
lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD) sebagai lembaga
masyarakat yang membantu pemerintahan desa dalam
merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan di
desa. Di samping itu, sejak tahun 1981 telah dilembagakan

454
mekanisme perencanaan dari bawah yang dimulai dari musyawarah
pembangunan desa di tingkat desa, diskusi UDKP dan rapat
koordinasi pembangunan tingkat II.

Sampai akhir Repelita V, 66,2 persen LKMD sudah berfungsi


secara aktif. Pelaksanaan program kesejahteraan keluarga (PKK)
sampai dengan akhir Repelita V telah memberikan hasil yang
menggembirakan, terutama dengan meningkatnya keterampilan dan
pengetahuan masyarakat, khususnya wanita. Sementara itu, telah
disebarkan pula sejumlah besar tenaga kerja sukarela terdidik
(TKST) dan terbentuk kader pembangunan desa (KPD) di seluruh
desa, kader konservasi alam dan kelompok pelestari sumber daya
alam (KPSA) di beberapa desa yang berfungsi sebagai penggerak,
pembina, dan pembimbing masyarakat dalam menumbuhkan dan
mengembangkan prakarsa dan keswadayaan masyarakat desa. Di
samping itu, dalam dasawarsa 1970-an lahir pula berbagai macam
lembaga swadaya masyarakat yang ikut membantu pelaksanaan
program pengembangan masyarakat, yang di dalamnya terdapat
pekerja sukarela yang langsung berhubungan dengan kelompok
masyarakat yang membutuhkan (kelompok sasaran).

Partisipasi masyarakat dan dunia usaha, terutama di daerah


perkotaan, sudah makin meningkat, khususnya dalam penyediaan
sarana dan prasarana umum seperti angkutan umum, pembangunan
jalan, penyediaan air minum, pengelolaan lingkungan, termasuk
sampah dan penyediaan perumahan. Khusus untuk pembangunan di
bidang angkutan umum, pembangunan jalan dan penyediaan
perumahan untuk masyarakat berpendapatan menengah ke atas,
sektor swasta makin tangguh dan mampu berpartisipasi dengan
dukungan kemampuan keuangan dan manajemen yang mantap.
Sektor swasta juga telah mulai memperlihatkan perannya dalam
pembangunan di bidang-bidang tersebut untuk masyarakat
berpenghasilan rendah.

455
Pembangunan selama ini telah mampu meningkatkan jumlah
desa maju, yang ditunjukkan oleh makin banyaknya desa
swasembada. Sampai akhir Repelita V dari sejumlah 63.920 desa
di seluruh Indonesia hanya 2 persen yang masih berstatus desa
swadaya, 21 persen desa swakarsa dan 77 persen desa telah
termasuk dalam kategori desa swasembada. Selain itu, dari
kegiatan program transmigrasi, pemukiman penduduk di daerah
baru telah pula menghasilkan jumlah desa baru yang berubah status
dari desa transmigrasi menjadi desa definitif. Demikian juga,
sebagian desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar hutan telah
dikembangkan melalui kegiatan bina desa hutan.

Pelaksanaan program pembangunan prasarana kota terpadu


(P3KT) di setiap propinsi sangat bermanfaat dalam meningkatkan
kemampuan aparat, baik pusat maupun daerah. Forum koordinasi
antarsektor untuk pembangunan perkotaan juga telah terbentuk di
pusat dan di daerah. Hingga akhir Repelita V, pembangunan
perkotaan dengan pendekatan secara terpadu ini telah dilaksanakan
di 19 p r o p i ns i , dan 8 propinsi lainnya masih dalam tahap
persiapan, yaitu Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Timor Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.

Dalam Repelita V untuk daerah perdesaan, pendekatan keter -


paduan dilaksanakan melalui program pengembangan kawasan
terpadu (PKT) dalam rangka pengentasan kemiskinan yang telah
mencapai 7.900 desa di 1.420 kecamatan. Dalam rangka perbaikan
lingkungan permukiman di daerah perdesaan, telah dilaksanakan
program pembangunan perumahan lingkungan desa terpadu
(P2LDT) yang telah mengadakan perbaikan/pemugaran rumah
tidak layak huni sekitar 240.000 rumah di sekitar 20.000 desa,
serta penyediaan dan rehabilitasi prasarana dan sarana pelayanan
primer. Melalui P2LDT telah berhasil pula dilakukan pembinaan
sosial kemasyarakatan terhadap keluarga binaan, penanganan
permukiman nelayan dan pengembangan konsep pembangunan
perdesaan dengan pendekatan keterpaduan.

456
III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG
PEMBANGUNAN

Selama PJP I perkembangan perkotaan sangat pesat antara lain


didorong oleh perkembangan yang cepat di bidang industri dan
perdagangan, sehingga terjadi arus urbanisasi yang cukup pesat.
Daerah perdesaan juga telah berkembang meskipun tidak secepat
wilayah perkotaan. Pembangunan perkotaan dan perdesaan dalam
PJP II perlu mendapat perhatian yang lebih besar lagi, sehingga
berjalan lebih serasi dan saling menunjang. Untuk itu perlu
dikenali berbagai tantangan yang akan dihadapi, di samping
berbagai kendala dan peluang yang mempengaruhinya.

1. Tantangan

Walaupun jumlah penduduk miskin di Indonesia telah berku-


rang dari sekitar 60 persen dari seluruh penduduk pada tahun 1970
menjadi 15 persen pada tahun 1990, jumlah penduduk miskin
secara absolut masih amat besar, yaitu diperkirakan sebesar 27,2
juta orang. Hal ini merupakan masalah pokok yang pertama dalam
pembangunan perkotaan dan perdesaan. Penyebab kemiskinan
penduduk, baik di kota maupun di desa, adalah rendahnya tingkat
pendidikan dan keterampilan serta tingkat kesehatan yang
menyebabkan rendahnya kemampuan untuk berusaha atau untuk
memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak. Penyebab
lainnya adalah kurangnya sarana dan prasarana perhubungan yang
menghubungkan suatu kawasan miskin dengan kawasan yang lebih
maju sehingga membatasi peluang kawasan miskin tersebut untuk
berkembang. Untuk beberapa wilayah tertentu, tidak tersedianya
sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan,
telah pula mengakibatkan kemiskinan. Dengan demikian tantangan
yang dihadapi adalah menanggulangi masalah kemiskinan baik di
perkotaan maupun di perdesaan.

Masalah pokok yang kedua adalah sejalan dengan laju


pembangunan yang makin pesat, tuntutan akan peningkatan

457
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia sebagai pelaku utama
dalam kegiatan ekonomi makin tinggi. Keterbatasan akan sumber
daya manusia yang berkualitas ini berakibat pada rendahnya
produktivitas dan rendahnya kesempatan masyarakat daerah
perkotaan dan daerah perdesaan untuk berpartisipasi secara aktif
dalam pembangunan, di samping terbatasnya kesempatan dan
kemampuan untuk meningkatkan diversifikasi kegiatan
perekonomian, khususnya di daerah perdesaan. Sasaran
pertumbuhan ekonomi selama Repelita VI, yaitu rata-rata 6,2
persen per tahun, perlu didukung oleh peningkatan kemampuan
sumber daya manusia di perkotaan dan di perdesaan. Tantangan
yang dihadapi adalah mempersiapkan masyarakat perkotaan dan
perdesaan dengan keterampilan dan penguasaan teknologi agar
mampu berperan serta secara aktif dalam pembangunan.

Masalah pokok ketiga adalah keterbatasan sumber daya alam,


khususnya air dan tanah. Di satu pihak, dengan makin
meningkatnya laju pembangunan, sumber daya alam akan makin
banyak dibutuhkan. Di pihak lain, pemanfaatannya perlu dilakukan
secara berhati-hati dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.
Lahan perkotaan yang makin terbatas akan menyebabkan
pembangunan yang melebihi daya dukungnya atau mengakibatkan
pemanfaatan lahan pertanian di pinggiran kota. Pemanfaatan
sumber daya air, terutama di daerah perkotaan telah mencapai
tingkat yang mendekati batas ketersediaannya dan daerah
tangkapan airnya sebagian besar telah mengalami degradasi.
Limbah, pencemaran air dan tanah merupakan akibat pembangunan
yang selanjutnya berdampak negatif bagi pembangunan yang
berkelanjutan.

Khusus untuk daerah perdesaan, keterbatasan pengetahuan


masyarakat perdesaan dan aparat pemerintah dalam mengarahkan
kegiatan pembangunan di perdesaan, dan keterbatasan lahan usaha,
yang antara lain disebabkan adanya perubahan penggunaan tanah,
mengakibatkan terjadinya perambahan hutan dan perusakan kawas-
an lindung. Hal itu juga menyebabkan terjadinya pengusahaan

458
lahan-lahan miring yang tidak diikuti dengan usaha konservasi
lingkungan yang memadai sehingga menimbulkan erosi tanah dan
menciptakan lahan kritis. Masalah yang lebih besar lagi adalah
perusakan lingkungan hidup yang langsung dirasakan masyarakat
perdesaan karena kurangnya pemahaman masyarakat, khususnya
pengusaha swasta di sektor pertambangan, perindustrian, kehutan -
an dan perikanan tentang pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi adalah mengatur
penggunaan dan penguasaan tanah, memantapkan kelestarian
lingkungan hidup, dan menegakkan hukum bagi pengelolaan
sumber daya alam secara bertanggung jawab demi pembangunan
yang berkelanjutan di perkotaan dan perdesaan.

Masalah pokok keempat yang perlu diatasi dalam PJP II


adalah adanya ketimpangan antarwilayah, antarkota, dan antara
desa dan kota serta antargolongan dalam kota dalam tingkat
gaji/upah, ketersediaan sarana dan prasarana dasar yang
terjangkau, ketersediaan lapangan pekerjaan, ketersediaan bahan-
bahan pokok dengan harga yang wajar, nilai tukar barang dan jasa
antara desa dan kota, dan sebagainya. Di samping itu, terdapat
pula ketimpangan dalam ketersediaan sumber daya alam dan
sumber daya manusia, baik dari segi kualitas maupun kuantitas,
yang mengakibatkan tidak meratanya produktivitas wilayah dan
selanjutnya makin meningkatkan arus urbanisasi dan belum
tuntasnya penyelesaian masalah kemiskinan. Menjadi tantangan
pula untuk menyerasikan pembangunan dan menyerasikan
perbandingan nilai tukar barang dan jasa di perkotaan dan
perdesaan.

2. Kendala

Kendala yang dihadapi dalam pembangunan perkotaan dan


perdesaan meliputi keterbatasan kemampuan untuk menyediakan
sarana dan prasarana dalam jumlah yang mencukupi dan yang ter -
jangkau masyarakat. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan dana
dan penguasaan teknologi. Kendala lainnya adalah keterbatasan

459
sumber daya manusia yang dapat mengelola pelaksanaan
pembangunan yang meliputi keterbatasan jumlah, kemampuan serta
pemahaman khususnya tentang keterkaitan pembangunan desa dan
kota, serta pembangunan yang berwawasan lingkungan;
keterbatasan struktur lembaga pemerintahan untuk mengelola
pembangunan perkotaan dan perdesaan; serta keterbatasan skala
ekonomi daerah perdesaan karena terbatasnya sumber daya.

3. Peluang

Tiga hal yang merupakan peluang utama bagi pembangunan


perkotaan dan perdesaan dalam PJP II, disamping hasil yang telah
dicapai dalam PJP I adalah lokasi geografis Indonesia yang strate-
gic, berkedudukan di khatulistiwa dan terletak pada posisi silang
antara dua benua dan dua samudra serta adanya keanekaragaman
sumber daya alam yang masih dapat dimanfaatkan dan sumber
daya manusia dalam jumlah yang besar dan merupakan potensi
untuk dimanfaatkan.

Indonesia terletak dalam jalur perdagangan dari Eropa dan


Asia ke Australia dan mempunyai akses yang baik ke Eropa,
Amerika Utara dan. Amerika Selatan, serta ke Australia. Peluang
ini sangat penting bagi pembangunan daerah perkotaan sebagai
pusat kegiatan industri dan perdagangan dan bagi daerah perdesaan
sebagai pusat produksi barang primer dan pusat pengolahan awal
dari hasil tersebut.

Potensi sumber alam Indonesia meliputi bahan pertambangan,


keanekaragaman hayati, keindahan alam dan lahan yang subur,
disamping sumber alam kelautan yang masih perlu dikembangkan.
Selain itu, potensi sumber daya manusia Indonesia tidak terbatas
pada jumlahnya saja, tetapi juga kekayaan budaya, dengan
berbagai ragam adat, tradisi dan kesenian. Hal ini, selain
merupakan potensi untuk kepariwisataan, juga sebagai sumber
inspirasi dan pemacu semangat dalam pengelolaan dan pelaksanaan
pembangunan. Pembangunan sumber daya manusia dalam PJP I

460
telah menghasilkan peningkatan kualitas angkatan kerja yang
memperbesar peluang bagi keberhasilan pembangunan perkotaan
dan perdesaan. Selain itu, berbagai hasil pembangunan selama PJP
I, seperti yang telah diuraikan di atas, merupakan modal bagi
pembangunan yang lebih meningkat dalam PJP II.

IV. ARAHAN, SASARAN, DAN KEBIJAKSANAAN


PEMBANGUNAN

1. Arahan GBHN 1993

GBHN 1993 memberikan pengarahan tentang pembangunan


perkotaan dan perdesaan sebagai berikut.

Pembangunan perkotaan ditingkatkan dan diselenggarakan


secara berencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana
umum tata ruang, pertumbuhan penduduk, lingkungan
permukiman, lingkungan usaha dan lingkungan kerja, serta
kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial lainnya agar terwujud
pengelolaan perkotaan yang efisien dan tercipta lingkungan yang
sehat, rapi, aman, dan nyaman. Perhatian khusus perlu diberikan
pada peningkatan sarana dan prasarana umum yang layak.
Keserasian hubungan masyarakat perkotaan dan perdesaan serta
antarmasyarakat kota terus diupayakan agar terwujud keserasian
kehidupan masyarakat dalam segala aspek kehidupannya.

Pembangunan desa dan masyarakat perdesaan terus didorong


melalui peningkatan koordinasi dan peningkatan pembangunan
sektoral, pengembangan kemampuan sumber daya manusia,
pemanfaatan sumber daya alam dan penumbuhan iklim yang
mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat sehingga
mempercepat peningkatan perkembangan desa swadaya dan desa
swakarya menuju desa swasembada. Kemampuan masyarakat desa
untuk berproduksi dan memasarkan hasil produksinya perlu
didukung dan ditingkatkan melalui penataan kelembagaan dan

461
perluasan serta diversifikasi usaha agar makin mampu
mengarahkan dan memanfaatkan dana dan daya bagi peningkatan
pendapatan dan taraf hidupnya. Pembangunan berbagai sarana dan
prasarana perekonomian termasuk koperasi dan lembaga keuangan
ditingkatkan agar mampu berperanserta dalam pengembangan
ekonomi rakyat serta makin meningkatkan swadaya masyarakat
perdesaan dalam pembangunan.

2. Sasaran

a. Sasaran PJP II

Sasaran pembangunan perkotaan dan perdesaan dalam PJP II


adalah terwujudnya keserasian dan keseimbangan pembangunan
perkotaan dan perdesaan, antara desa dan kota, antardesa dan
antarkota dalam rangka pembangunan yang merata, berkeadilan
dan berkelanjutan.

b. Sasaran Repelita VI

Dalam mencapai sasaran umum pembangunan perkotaan dan


perdesaan dalam PJP TI, sasaran pembangunan perkotaan dan
perdesaan dalam Repelita VI adalah meningkatnya secara makin
serasi dan seimbang peranan daerah perkotaan dan perdesaan
dalam pembangunan nasional dan pembangunan daerah, dengan
meningkatnya otonomi daerah yang nyata, dinamis dan
bertanggung jawab; mantapnya keterkaitan, baik fisik maupun
sosial ekonomi, antara daerah perkotaan dan perdesaan;
tercapainya keseimbangan pertumbuhan pembangunan
antarwilayah, kawasan, desa dan kota; serta mantapnya lembaga
perekonomian di perkotaan dan perdesaan dalam menciptakan
struktur perekonomian yang lebih kukuh. Seiring dengan itu,
sasaran lainnya adalah meningkatnya partisipasi aktif masyarakat
dalam pembangunan; meningkatnya taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat termasuk semakin berkurangnya jumlah penduduk
miskin dan desa tertinggal baik di perkotaan maupun di perdesaan;

462
serta meningkatnya mutu lingkungan hidup -- baik lingkungan
fisik, sosial maupun ekonomi -- di wilayah perkotaan dan
perdesaan sehingga mendukung pembangunan berkelanjutan.

3. Kebijaksanaan

Dalam upaya mencapai sasaran pembangunan perkotaan dan


perdesaan akan dikembangkan berbagai kebijaksanaan dengan
menyelenggarakan pembangunan secara terpadu dengan
menciptakan keterkaitan sosial ekonomi yang serasi dan seimbang
antara desa dan kota sehingga mampu memperkecil ketimpangan -
ketimpangan antardesa, antarkota, antara desa dan kota, dan
antargolongan masyarakat di kota; meningkatkan pelaksanaan
desentralisasi dan pengembangan otonomi daerah melalui
pemantapan kelembagaan dan kemampuan pendanaan pemerintah
daerah; serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia di
daerah perkotaan dan perdesaan, khususnya bagi penduduk miskin,
melalui peningkatan akses dalam memperoleh pelayanan sosial
ekonomi dan melalui peningkatan pendidikan dan keterampilan,
sehingga mampu meningkatkan nilai tambah atas hasil
produksinya, dan dalam memasuki pasar tenaga kerja.
Kebijaksanaan lainnya adalah meningkatkan pemanfaatan sumber
daya alam yang lebih efisien melalui penyusunan rencana tata
ruang kota dan kawasan yang berkualitas yang dijabarkan ke dalam
rencana tata guna tanah dan air beserta prosedur pelaksanaannya,
menanamkan kesadaran lingkungan hidup yang lebih tinggi pada
seluruh lapisan masyarakat dan dunia usaha; serta meningkatkan
kemitraan dengan melibatkan masyarakat dan swasta pengusaha
sehingga mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pelaksanaan pembangunan di perkotaan dan perdesaan.

463
B. PEMBANGUNAN PERKOTAAN

I. PENGANTAR

Selama PJP I banyak kemajuan yang telah dicapai dalam


pembangunan perkotaan, yang ditandai dengan makin
meningkatnya kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat di
perkotaan. Namun, bersamaan dengan kemajuan tersebut masih
pula dihadapi berbagai permasalahan, terutama dalam
mempersiapkan seluruh masyarakat Indonesia menuju era tinggal
landas dalam PJP II, khususnya Repelita VI.

Masalah yang harus segera mendapat perhatian adalah


kemiskinan di perkotaan, keterbatasan kualitas dan kuantitas
sumber daya manusia dan alam, penurunan kualitas lingkungan
kota, serta kesenjangan tingkat pelayanan antarkota, antara kota
dan desa, serta antardesa. Dengan demikian, tantangan utama
dalam pembangunan perkotaan adalah menyelesaikan masalah
kemiskinan, mempersiapkan masyarakat kota agar mampu
berperan serta aktif dalam pembangunan, memelihara lingkungan
perkotaan yang sehat, mengatur pengelolaan lahan dan
memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, serta
menyerasikan pembangunan perkotaan dan pembangunan
perdesaan.

Dalam upaya pembangunan perkotaan dihadapi berbagai


kendala, terutama di antaranya adalah keterbatasan sumber daya
alam, seperti sumber air dan lahan perkotaan yang makin terbatas,
keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dan sumber dana
untuk menyediakan sarana dan prasarana yang mencukupi dan
terjangkau masyarakat serta keterbatasan struktur lembaga
pemerintahan untuk mengelola perkotaan.

Di sisi lain, ada berbagai peluang yang dapat dikembangkan


dan dimanfaatkan dalam pembangunan perkotaan sebagai hasil
pembangunan dalam PJP I, yaitu ketersediaan tenaga kerja yang
terampil yang makin banyak dan makin baik kualitasnya,
ketersediaan prasarana pendukung kegiatan ekonomi, serta
perangkat organisasi dan potensi masyarakat/dunia usaha yang
makin berkembang.
464
II. SASARAN DAN KEBIJAKSANAAN
PEMBANGUNAN

1. Sasaran

a. Sasaran PJP II

Sasaran pembangunan perkotaan pada akhir PJP II meliputi


terwujudnya keserasian dan keseimbangan pembangunan antara
desa-kota, antardesa dan antarkota; terwujudnya masyarakat kota
yang sejahtera secara merata; teratasinya masalah kemiskinan di
perkotaan; dan terwujudnya lingkungan perkotaan yang sehat serta
lestari.

Selama PJP II berbagai kebijaksanaan dan program


pembangunan perkotaan diarahkan untuk mewujudkan
perekonomian kota yang mantap disertai dengan tingkat
produktivitas kota yang tinggi, ditunjang oleh kualitas sumber daya
manusia yang memadai, yaitu tenaga kerja terampil, didukung oleh
tersedianya sarana dan prasarana ekonomi kota, serta ditunjang
oleh pola hubungan usaha yang saling menguntungkan antara
sektor informal, pengusaha kecil, menengah, dan besar.

b. Sasaran Repelita VI

Dalam Repelita VI berbagai sasaran tersebut diupayakan untuk


dicapai secara bertahap, yang kemajuannya ditandai dengan
terselenggaranya pengelolaan pembangunan perkotaan yang lebih
efektif dan efisien dalam pemanfaatan sumber daya alamnya,
mengacu pada rencana tata ruang kota yang berkualitas, termasuk
pengelolaan administrasi pertanahan yang lebih tertib dan adil, dan
ditunjang oleh kelembagaan pemerintah yang makin siap
melaksanakan otonomi daerah; makin mantapnya kemitraan
pemerintah daerah dengan masyarakat dan dunia usaha dalam
pelaksanaan pembangunan perkotaan, baik melalui organisasi
kemasyarakatan, lembaga swadaya maupun pengusaha

465
perseorangan; meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang
ditunjukkan oleh meningkatnya pendapatan per kapita dan
kualitas hidup penduduk yang makin merata; berkurangnya
jumlah penduduk miskin di perkotaan; serta meningkatnya
kualitas fisik lingkungan di perkotaan sesuai dengan baku
mutu lingkungan.

2. Kebijaksanaan

Untuk mewujudkan amanat GBHN 1993 serta mencapai


berbagai sasaran di atas, kebijaksanaan pembangunan perkotaan
dalam Repelita VI meliputi mengembangkan dan
memantapkan sistem perkotaan; meningkatkan kemampuan
dan produktivitas kota; meningkatkan kemampuan sumber
daya manusia; memantapkan kelembagaan dan kemampuan
keuangan perkotaan; melembagakan pengelolaan pembangunan
yang terencana dan terpadu; memantapkan perangkat peraturan
pendukung pembangunan perkotaan; serta meningkatkan
kualitas lingkungan fisik dan sosial ekonomi perkotaan.

a. Mengembangkan dan Memantapkan Sistem


Perkotaan

Pengembangan sistem perkotaan diarahkan untuk


memantapkan fungsi kota dan keterkaitannya secara fungsional
dan spasial agar dapat berfungsi optimal dalam penyediaan
pelayanan sosial-ekonomi dalam kota dan untuk kawasan di
sekitarnya. Untuk itu, daerah perkotaan atau kota dibedakan
berdasarkan peranan dan fungsi pelayanannya, yakni daerah
perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan nasional,
pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal dan kota-kota
atau daerah perkotaan yang mempunyai fungsi khusus dalam
menunjang pengembangan sektor strategis dan pengembangan
wilayah baru. Hal ini ditetapkan untuk menunjang pencapaian
efisiensi pembangunan dalam upaya meningkatkan daya dukung
kota, penyebaran konsentrasi kegiatan ekonomi, dan
pengendalian urbanisasi. Agar langkah kebijaksanaan
pengembangan sistem kota dapat diwujudkan dan
466
dengan mempertimbangkan efisiensi pendanaan, ditentukan kota-
kota strategis yang menjadi prioritas untuk ditangani dalam
Repelita VI. Kota strategis yang menjadi prioritas tersebut
diberikan dalam Tabel 17-1.

Kebijaksanaan pengembangan sistem kota meliputi upaya


menyelenggarakan pembangunan perkotaan dengan mempertim-
bangkan peranan dan fungsi kota serta keterkaitannya dalam
menunjang kawasan yang mempunyai potensi ekonomi tinggi
dalam sektor strategis; mendukung penyebaran kegiatan ekonomi
sekaligus sebagai penyangga aglomerasi pertumbuhan ekonomi di
kawasan perkotaan yang sudah berkembang cepat; menunjang
pengembangan wilayah baru, dan memantapkan stabilitas dan
pertahanan keamanan; serta mengarahkan pengembangan kota
dengan pemberian insentif yang menarik, penyederhanaan prosedur
investasi, dan peningkatan pelayanan prasarana pendukung
ekonomi kota.

b. Meningkatkan Kemampuan dan Produktivitas Kota

Peningkatan kemampuan dan produktivitas kota diselenggara-


kan guna menjamin pelaksanaan fungsinya sebagai pusat kegiatan
ekonomi secara lebih efektif dan efisien, dan sekaligus
meningkatkan daya dukung perkotaan dalam menghadapi arus
urbanisasi yang makin besar.

Kebijaksanaan pembangunan perkotaan dalam upaya


peningkatan kemampuan dan produktivitas kota selama Repelita VI
adalah mengembangkan kemampuan pemerintah daerah di kota,
terutama kota besar dan metropolitan, untuk melaksanakan
investasi pembangunan secara mandiri; meningkatkan peran
masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan prasarana dan
sarana perkotaan yang terjangkau oleh masyarakat, khususnya
masyarakat berpendapatan rendah; merangsang perkembangan ,
investasi di sektor ekonomi yang merupakan sektor andalan melalui
pembentukan sentra produksi serta penyediaan sarana dan

467
TABEL 17-1
KOTA-KOTA STRATEGIS DALAM PJP II
KHUSUSNYA REPELITA VI

Jumlah Penduduk 1) Pertumbuhan Penduduk


Akhir Akhir Akhir
Kota Strategic 2) Repelita V Repelita VI PJP II Repelita VI
1993/94 1998/99 2018/2019 1980-1990 1993/94-1998/99
(jiwa) (jiwa) (jiwa) (%) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

A. METROPOLITAN 3)
1 Jakarta 15.524.000 20.000.000 33.000.000 5,80 5,20
2 Surabaya 3.987.000 4.987.000 9.882.000 4,80 4,80
3 Bandung 3.791.000 4.657.000 9.724.000 4,60 4,20
4 Medan 2.557.000. 3.141.000 5.146.000 4,80 4,20
5 Semarang 1.401.000 1.608.000 2.534.000 2,80 2,80
8 Yogyakarta 1.310.000 1.481.000 1.846.000 7,80 2,20
7 Palembang 1.287.000 1.529.000 2.708.000 3,90 3,50
8 Malang 1.254.000 1.563.000 2.904.000 5,00 4,50
9 Tegal 1.191.000 1.520.000 2.815.000 8,80 5,00
'
10 Ujungpandang 1.164.000 1.423.000 2.897.000 4,10 4,10
11 Surakarta 1.091.000 1.302.000 2.239.000 3,90 3,80

B. BESAR 4)
1 Cirebon 985.000 1.142.000 2.023.000 2,60 3,00
2 Kediri 770.000 948.000 1.709.000 5,60 4,20
3 Banjarmasin 834.000 764.000 1.379.000 3,90 3,80
4 Pekalongan 828.000 782.000 1.527.000 5,10 4,50
5 Padang 575.000 728.000 1.473.000 5,00 4,80
6 Bdr. Lampung 548.000 651.000 1.119.000 4,30 3,50

C. SEDANG 5)
1 Denpasar 497.000 714.000 1.489.000 8,50 7,50
2 Pontianak 485.000 593.000 1.262.000 4,10 4,10
3 Kudus 461.000 617.000 1.170.000 7,90 6,00
4 Pekanbaru 429.000 574.000 1.198.000 6,40 8,00
5 Tasikmalaya 425.000 505.000 895.000 4,10 3,50
6 Samarinda 418.000 567.000 1.366.000 8,30 6,30
7 Manado 407.000 495.000 938.000 3,60 4,00
8 Pasuruan/
Probolinggo 399.000 481.000 853.000 4,00 3,80
9 Jambi 385.000 518.000 1.077.000 6,90 8,00
10 Madiun 385.000 437.000 682.000 2,70 2,60
11 Purwokerto 375.000 478.000 951.000 6,00 5,00
12 Balikpapan 357.000 435.000s 858.000 4,00 4,00
13 Mataram 350.000 415.000 785.000 3,60 3,50

468
(1) (2)
(5) (6)
(3) (4)

14 Serang 326.000 432.000 946.000 6,80 5,80


15 Jember 309.000 349.000 529.000 2,70 2,50
16 Garut 293.000 340.000 579.000 3,20 3,00
17 Pematang Siantar 285.000 330.000 541.000 3,40 3,00
18 Kisaran/Tg Balai 265.000 354.000 640.000 8,50 6,00
19 Ambon 252.000 327.000 683.000 6,20 5,40
19 Cilacap 227.000 259.000 407.000 2,90 2,60
20 Bengkulu 218.000 335.000 755.000 16,30 9,00
21 Klaten 211.000 245.000 413.000 4,90 3,00
22 Karawang 210.000 282.000 647.000 7,10 6,00
23 Palu 204.000 286.000 702.000 8,70 7,00
24 Banda Aceh 179.000 240.000 501.000 7,10 6,00
25 Kupang 162.000 202.000 415.000 4,90 4,50
26 Jayapura 150.000 190.000 397.000 4,80 4,80
27 Batam 147.000 259.000 754.000 16,40 12,00
28 Pangkal Pinang 138.000 160.000 283.000 3,80 3,00
29 Lhokseumawe 134.000 180.000 394.000 9,80 6,00
30 Kendari 130.000 190.000 486.000 9,10 8,00
31 Sukabumi 126.000 140.000 240.000 0,90 2,00
32 Magelang 125.000 132.000 161.000 -0,02 1,00
33 Situbondo 124.000 149.000 257.000 8,40 3,80
34 Palangkaraya 123.000 164.000 359.000 6,80 5,80
35 Kotabumi 117.000 153.000 319.000 9,00 5,50
36 Purwakarta 108.000 127.000 218.000 4,50 3,20
37 Gorontalo 108.000 138.000 261.000 4,00 4,00
38 Tembilahan 100.000 128.000 267.000 5,10 5,00

D. KECIL 6)
1 Sorong 98.000 131.000 315.000 9,10 6,00
2 Dumai 93.000 113.000 205.000 4,30 3,80
3 Pare-Pare 93.000 108.000 205.000 3,00 3,00
4 Singkawang 88.000 107.000 223.000 3,00 4,00
5 Tarakan 87.000 105.000 209.000 2,30 4,00
6 Singaraja 85.000 103.000 178.000 3,30 4,00
7 Ternate 81.000 106.000 222.000 10,90 5,50
8 Bukittinggi 80.000 95.000 189.000 2,60 3,50
9 Sibolga 77.000 90.000 170.000 1,90 3,00
10 Watanpone 77.000 96.000 192.000 5,60 4,50
11 Bojonegoro 72.000 84.000 144.000 1,10 3,00
12 Baturaja 63.000 80.000 159.000 7,40 5,00
13 Palopo 63.000 73.000 124.000 3,20 3,00
14 Raba-Bima 61.000 75.000 143.000 2,50 4,50
15 Endo 57.000 71.000 132.000 6,10 4,50
16 Sumbawa Besar 56.000 70.000 132.000 5,50 4,50
17 Lubuk Linggau 55.000 69.000 128.000 6,10 4,50

469
(1) (4)
(2) (3) (5) (6)

18 Sampit 54.000 78.000 182.000 10,00 7,00


19 Dili 52.000 87.000 153.000 8) 5,00
20 Kotabaru 50.000 59.000 107.000 9,80 3,50
21 Rantau Prapat 48.000 58.000 110.000 5,20 4,00
22 Biak 44.000 54.000 131.000 4,20 4,50
23 Maumere 42.000 51.000 69.000 8,20 4,00
24 Manokwari 39.000 47.000 89.000 3,20 4,00
25 Ubud 29.000 40.000 97.000 11,20 7,00
28 Tual 27.000 30.000 41.000 14,90 2,00
27 Buntok 21.000 28.000 80.000 7,40 8,00
28 Muaratewe 20.000 25.000 50.000 8) 5,00

E. KOTA-DESA 7)
1 Wamena 17.000 28.000 82.000 10,80 8,00
2 Rantepao 15.000 18.000 35.000 2,00 3,50
3 Saumlaki 8.000 8.000 18.000 14,90 5,00
4 Bandaneira 4.000 5.000 17.000 14,80 8,00

Catatan :

1) Pada akhir Repelita VI penduduk kota-kota strategis diperkirakan berjumlah 63,3 juta jiwa
atau sekitar 77 persen dari seluruh penduduk perkotaan, yaitu sekitar 82,4 juta jiwa;
sedangkan pada akhir PJP II penduduk kota-kota strategis mencapai 114,3 juta jiwa atau
sekitar 79 person dari seluruh penduduk perkotaan, yaitu sekitar 143,8 juta jiwa.
Jumlah penduduk kota-kota strategis disesuaikan dengan definisi kota pada butir 2).

2) Kota didefinisikan sebagal satu kota dan atau daerah perkotaan, yaitu kawasan yang
berciri kota dan mempunyai satu kota atau lebih sebagai pusatnya; jumlah penduduk
kota-kota strategis didefinisikan sebagai jumlah penduduk daerah pekotaan, kecuali
untuk kota-kota sebagal berikut: Balikpapan, Ambon, Batam, Lhokseumawe, Sukabumi,
Magelang, Situbondo, Palangkaraya, Purwakarta, Gorontalo, Tembilahan, Sorong,
Pare-Pare, Ternate, Bukittinggi, Sibolga, Watanpone, Bojonegoro, Baturaja, Palopo,
Raba-Bima, Ende, Sumbawa Besar, Lubuk Linggau, Sampit, Dill, Kotabaru, Rantau Prap
Biak, Maumere, Manokwari, Ubud, Tual, Buntok, Muaratewe, Wamena, Rantepao, Sauml
dan Bandaneira.

3) Metropolitan : jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa.


4) Besar : jumlah penduduk 500.000 sampai 1 juta jiwa
5) Sedang : jumlah penduduk 100.000 sampai 500.000 jiwa
8) Kecil : jumlah penduduk 20.000 sampai 100.000 jiwa
7) Kota-Dena : jumlah penduduk kurang dari 20.000 jiwa
8) Tidak ada data

470
prasarana angkutan guna peningkatan aksesibilitas antara desa dan
kota; serta memanfaatkan ruang dan potensi kota secara efisien
melalui kegiatan penataan kota dan penataan bangunan.

c. Meningkatkan Kemampuan Sumber Daya Manusia

Kebijaksanaan peningkatan kemampuan sumber daya manusia


diarahkan untuk menciptakan kondisi masyarakat perkotaan yang
sejahtera dan sekaligus mengurangi penduduk miskin di perkotaan,
menyiapkan masyarakat kota agar mampu berperan aktif dalam
menyelenggarakan pembangunan perkotaan, serta menyediakan
tenaga kerja terampil yang mampu memasuki pasar kerja di
perkotaan.

Kebijaksanaan peningkatan sumber daya manusia ditempuh


dengan memantapkan pengembangan sumber daya manusia melalui
peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan dan pendidikan,
terutama pendidikan kejuruan dan keterampilan; mengembangkan
penyuluhan yang efektif khususnya untuk meningkatkan kesadaran,
kedisiplinan serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota;
serta meningkatkan kualitas aparat pemerintah daerah melalui
pelatihan sejalan dengan pengembangan jabatan dan kebutuhan
Pemerintah yang bersangkutan.

d. Memantapkan Kelembagaan dan Kemampuan


Keuangan Perkotaan

Pembangunan perkotaan dilaksanakan berlandaskan asas


desentralisasi dan pengembangan otonomi daerah. Penyerahan
urusan dan tanggung jawab pengelolaan pembangunan perkotaan
dilakukan dengan memperjelas tugas tiap-tiap tingkat
pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat I
dan pemerintah daerah tingkat II, disertai dengan penyempurnaan
struktur pemerintahan kota, peningkatan kemampuan aparatnya,
juga diikuti dengan peningkatan kemampuan keuangan
pemerintahan kota.

471
Pemantapan kapasitas keuangan pemerintah kota dititikberat-
kan pada peningkatan pendapatan, efisiensi penggunaannya serta
pengerahan dana masyarakat dan dunia usaha, serta bantuan dan
pinjaman daerah. Mekanisme bantuan dan pinjaman daerah
diselenggarakan dengan pemberian kewenangan yang lebih besar
kepada pemerintah daerah dalam pengelolaannya, termasuk penin-
jauan kembali sumber-sumber keuangan daerah yang selama ini
belum dikelola daerah.

Kebijaksanaan pembangunan perkotaan dalam upaya


pengembangan kelembagaan dan keuangan pemerintahan kota
adalah menyempurnakan kelembagaan pemerintahan kota melalui
peningkatan efisiensi dan efektivitas kelembagaan kota disesuaikan
dengan kondisi dan tipologi daerahnya, perbaikan struktur organi-
sasi pemerintahan kota, pemenuhan kelengkapan unit fungsional,
dan peningkatan kemampuan aparatnya; memantapkan kapasitas
keuangan pemerintahan kota, terutama dengan penekanan pada
peningkatan pendapatan kota dan efisiensi penggunaannya,
penggunaan dana masyarakat dan dunia usaha dan pinjaman
daerah; serta menyempurnakan mekanisme hubungan keuangan
pemerintah pusat dan daerah, terutama mekanisme pinjaman
daerah dan bantuan dengan memperhatikan perkembangan dan
kemampuan pemerintah kota/daerah dan badan usaha milik daerah.

e. Melembagakan Pengelolaan Pembangunan yang


Terencana dan Terpadu

Pembangunan perkotaan dilakukan secara terencana dan


terpadu dengan memperhatikan asas keterbukaan dalam
pengambilan keputusan sesuai dengan hak dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat. Pembangunan perkotaan dilakukan
melalui dua jalur secara serempak yaitu pendekatan secara terpadu
antarsektor dan pendekatan sektoral. Pelaksanaan pembangunan
perkotaan dimulai dengan penyusunan rencana investasi atau
program pembangunan perkotaan jangka menengah, yang

472
merupakan penjabaran dari rencana tata ruang kota, dan
menggambarkan perkiraan kebutuhan akan prasarana kota, baik
kebutuhan dasar maupun kebutuhan pengembangan ekonomi kota
dan wilayah belakangnya.

Kebijaksanaan pengelolaan pembangunan perkotaan meliputi


upaya menyelenggarakan pembangunan perkotaan secara terpadu
antarsektor bagi kota yang mempunyai peranan penting dalam per-
tumbuhan ekonomi nasional, kota dengan permasalahan khusus,
kota dengan tingkat urbanisasi tinggi, kota baru, serta kota yang
besar dan berkembang pesat; menyelenggarakan pembangunan
perkotaan secara sektoral untuk kota atau bagian kota yang tidak
terlalu rumit permasalahannya dan perlu dipacu pemenuhan
kebutuhan dasar penduduknya terutama golongan berpenghasilan
rendah; memantapkan dan melembagakan penyusunan program
pembangunan perkotaan jangka menengah dalam kerangka meka-
nisme perencanaan pembangunan kota; serta mengembangkan dan
melembagakan fungsi koordinasi di semua tingkatan pemerintahan
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan
perkotaan, serta pembiayaannya.

f. Memantapkan Perangkat Peraturan Pendukung


Pembangunan Perkotaan

Meningkatnya peranan perkotaan dalam ruang wilayah nasional


menuntut pelaksanaan pembangunan yang tanggap
terhadap peningkatan dan perkembangan kebutuhan masyarakat
perkotaan. Untuk itu, peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan
pembangunan perkotaan dilengkapi dan dimantapkan sesuai dengan
kondisi dan tipologi daerahnya guna memperlancar pelaksanaan
pembangunan, memeratakan hasil-hasilnya, dan mengendalikan
dampak negatif pembangunan.

473
g. Meningkatkan Kualitas Lingkungan Fisik dan Sosial
Ekonomi Perkotaan

Pembangunan perkotaan diselenggarakan untuk mewujudkan


lingkungan fisik dan sosial ekonomi perkotaan yang berkualitas dan
terpelihara serta mampu mendukung pembangunan yang
berkelanjutan. Lingkungan fisik perkotaan dikembangkan dan
diatur dengan penataan aspek hukum dan penataan aspek fisik
penggunaan tanah guna menjamin tersedianya tanah yang
diperlukan bagi pembangunan, memberikan kepastian hukum,
mewujudkan keadilan penguasaan tanah bagi masyarakat, dan
menunjang terwujudnya kelestarian lingkungan hidup.

Dalam rangka mewujudkan kondisi tersebut, ditempuh


kebijaksanaan menetapkan dan menerapkan baku mutu lingkungan,
menetapkan dan memasyarakatkan peraturan pengendalian
pencemaran lingkungan di daerah perkotaan, dan menumbuhkan
kesadaran masyarakat untuk memelihara lingkungannya;
melembagakan pembangunan perkotaan yang mengacu pada
rencana tata ruang kota yang berkualitas dan operasional;
mengendalikan peruntukan tanah yang sesuai dengan daya dukung
lingkungan melalui tertib administrasi pertanahan; serta
memantapkan keamanan dan kesejahteraan lingkungan di perkotaan
melalui penanganan kesenjangan dan konflik sosial serta
kriminalitas.

III. PROGRAM PEMBANGUNAN

Untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut dikembangkan


program pembangunan perkotaan dalam Repelita VI sebagai
berikut.

1. Program Pemantapan Fungsi Kota

Untuk menjamin penyebaran kegiatan ekonomi, pengendalian


urbanisasi dan efisiensi pembangunan prasarana perkotaan, kota
perlu dikembangkan sesuai dengan fungsi dan strukturnya dalam
sistem kota. Program pemantapan fungsi kota ini dilaksanakan
474
melalui (a) pengidentifikasian dan pemantapan sistem kota-kota
nasional yang dijabarkan dari tata ruang nasional; (b) penataan kota
untuk kota besar dan padat yang mempunyai fungsi menunjang
kegiatan ekonomi nasional/wilayah (industri, pertanian, dsb.); (c)
penataan kota menengah atau pun kota lainnya sekitar pusat
kawasan cepat berkembang untuk berfungsi sebagai kota
penyangga; serta (d) pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat kota
bagi kota-kota di luar kawasan cepat berkembang disesuaikan
dengan potensi dan permasalahan daerah setempat.

2. Program Pembangunan Prasarana dan Sarana Kota

Untuk meningkatkan kemampuan dan produktivitas kota


dilakukan pembangunan prasarana dan sarana kota, baik prasarana
dan sarana dasar maupun pendukung ekonomi perkotaan.
Pembangunan prasarana dan sarana kota dilakukan secara terpadu
sesuai dengan tata ruang kota. Dalam hal ini termasuk peningkatan
pengelolaan pemanfaatan prasarana kota terutama dalam hal
pengoperasian dan pemeliharaannya. Program ini meliputi (a)
peningkatan penyediaan jaringan listrik dan telekomunikasi,
terutama untuk kawasan khusus, seperti kawasan industri dan
kawasan cepat berkembang; (b) pengembangan prasarana dan
sarana transportasi kota yang ditujukan untuk meningkatkan tingkat
pelayanan kota dalam hal penyediaan aksesibilitas di dalam kota,
kelancaran, keamanan dan kenyamanan pemakai jalan di dalam
kota dengan tarif terjangkau; (c) peningkatan pelayanan air bersih
kepada masyarakat kota dan kawasan industri; (d) pembangunan
prasarana penyehatan lingkungan permukiman, seperti jaringan
pematusan, pengolahan limbah, dan persampahan; serta (e)
pengembangan dan perbaikan fasilitas perumahan termasuk
pengembangan kawasan perumahan berskala besar dan
pembangunan kota baru.

Untuk melengkapi kegiatan di atas, program pengembangan


prasarana dan sarana dasar di pusat kegiatan nasional secara khusus
diarahkan pada usaha peningkatan pengelolaan sistem transportasi

475
dan pengembangan sistem angkutan umum multimoda yang terpadu
untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang dan barang di
dalam kota. Khusus untuk kawasan Jabotabek (Jakarta-Bogor-
Tangerang-Bekasi) dan beberapa kota metropolitan lainnya,
pengembangan sarana angkutan umum massal diprioritaskan.
Prioritas diberikan juga kepada penyiapan kawasan industri dan
pusat permukiman berupa penyediaan sarana dan prasarana yang
memadai. Dalam seluruh kegiatan pembangunan sarana dan
prasarana kota, peran serta seluruh masyarakat, khususnya dunia
usaha didorong dan ditingkatkan dengan tetap memperhatikan,
meningkatkan dan memberi kemudahan bagi pengusaha kecil dan
menengah.

3. Program Pengembangan Ekonomi Perkotaan

Untuk merangsang perkembangan investasi di sektor ekonomi


andalan dan mengembangkan kegiatan perekonomian diperkotaan,
dilaksanakan program pengembangan ekonomi perkotaan, yang
meliputi (a) pemantapan ketersediaan fasilitas pasar, sentra
produksi dan fasilitas perdagangan lainnya termasuk kemudahan
prosedur dan perizinan bagi kegiatan usaha masyarakat di
perkotaan; (b) pemantapan lembaga perekonomian sekaligus
peningkatan kemudahan pencapaian fasilitas keuangan guna
menunjang kegiatan usaha masyarakat; (c) pembinaan pengusaha
skala menengah, kecil, dan tradisional termasuk koperasi disertai
dengan pemantapan pola hubungan perdagangan yang saling
menunjang; dan (d) perluasan kesempatan kerja terutama bagi
tenaga kerja setempat.

4. Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan

Untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan pembangunan


perkotaan, maka dilaksanakan program pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan yang meliputi (a) pendidikan formal kejuruan dan
ketrampilan bagi aparat pemerintahan kota dalam pengelolaan
pembangunan dan keuangan perkotaan; (b) pelatihan peningkatan
kemampuan aparat pemerintahan kota sesuai dengan

476
pengembangan jabatan dan kebutuhan pemerintah yang bersangkut-
an; dan (c) penyuluhan yang terencana dalam meningkatkan ke-
disiplinan serta mengembangkan kehidupan perkotaan yang lebih
tertib dan sadar hukum.

5. Program Peningkatan Peran Serta Masyarakat

Untuk menyiapkan masyarakat kota agar mampu berperan


aktif dalam penyelenggaraan pembangunan perkotaan, dilaksana-
kan program peningkatan peran serta masyarakat yang meliputi (a)
peningkatan keterampilan dan pengetahuan masyarakat berpeng-
hasilan rendah sehingga dapat memasuki pasar tenaga kerja dan
atau berwiraswasta; (b) penyuluhan yang efektif dalam mengerah-
kan partisipasi masyarakat; dan (c) pengembangan sistem
kelembagaan yang memberikan iklim keterbukaan di dalam
pembangunan perkotaan.

6. Program Pemantapan Keuangan Perkotaan

Untuk meningkatkan pendapatan pemerintah kota dan efisiensi


penggunaannya diselenggarakan program pemantapan keuangan
perkotaan yang meliputi (a) penyempurnaan dan perbaikan sistem
bantuan kepada pemerintah kota berdasarkan kebutuhan pem-
bangunan di perkotaan dan potensi sumber dana lokal serta
kemampuannya untuk meminjam; (b) peningkatan pendapatan kota
untuk kepentingan pembangunan perkotaan; (c) penyempurnaan
dan penyederhanaan mekanisme pinjaman untuk pembiayaan
pembangunan; dan (d) mobilisasi tabungan masyarakat setempat
dan dunia usaha.

7. Program Kelembagaan Pemerintahan Kota

Untuk mendorong pelaksanaan pembangunan perkotaan secara


mandiri oleh pemerintah kota, diselenggarakan program
pemantapan kelembagaan pemerintahan kota, yaitu (a)
penyempurnaan fungsi dan struktur kelembagaan pemerintahan,

477
serta pemantapan tugas dan tanggung jawab aparat pemerintah
daerah dalam pengelolaan pembangunan perkotaan; (b)
peningkatan kemampuan aparat pemerintah daerah dalam
pembangunan perkotaan yang dikaitkan dengan peningkatan
kemampuan pengelolaan/manajemen perkotaan, penjenjangan
karier dan pengembangan struktur organisasi pemerintah daerah;
(c) penyiapan kelembagaan bagi terselenggaranya kerja sama
dengan masyarakat dan dunia usaha; (d) pemantapan kerja sama
dan koordinasi antar tingkatan pemerintahan untuk menangani
pembangunan kawasan di kota-kota metropolitan, di kota besar
yang mencakup beberapa wilayah administratif, dan di kawasan
permukiman baru; dan (e) pemantapan sistem informasi kota guna
mendukung efektivitas dan efisiensi perencanaan pembangunan
perkotaan.

8. Program Penataan Ruang, Pertanahan, dan


Lingkungan Perkotaan

Untuk memelihara lingkungan perkotaan dan mendukung


pembangunan yang berkelanjutan, dilaksanakan program penataan
ruang, pertanahan dan lingkungan perkotaan yang meliputi (a)
penyusunan dan pengendalian pemanfaatan rencana tata ruang
kota; (b) peningkatan/pengembangan pengelolaan administrasi
pertanahan, pemantapan tertib administrasi, tertib hukum, tertib
penggunaan serta tertib pemeliharaan tanah di wilayah perkotaan,
terutama bagi kepentingan pembangunan perkotaan; (c) peremajaan
kawasan kumuh dan penanganan kawasan kritis; (d) pembinaan
sektor informal dan pengusaha kecil untuk membuka kesempatan
lapangan pekerjaan dalam upaya pengentasan masyarakat dari
kemiskinan di perkotaan; (e) peningkatan konservasi kawasan
budaya dan bernilai historis serta penyediaan fasilitas sosial budaya
guna memelihara kelestarian budaya daerah dan meningkatkan
pariwisata nasional; dan (f) pemantapan luasan ruang terbuka
hijau.

478
C. PEMBANGUNAN PERDESAAN

I. PENGANTAR
Pembangunan selama PJP I telah berhasil meningkatkan taraf
hidup masyarakat, termasuk di perdesaan. Namun, dalam Repelita
VI dan PJP II pembangunan perdesaan harus dilanjutkan dan
ditingkatkan karena, meskipun telah dicapai banyak kemajuan,
masyarakat di perdesaan pada umumnya masih tertinggal
dibandingkan dengan masyarakat di perkotaan. Tantangan pokok
yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan dalam PJP II,
khususnya Repelita VI adalah mengatasi masalah kemiskinan di
perdesaan; meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan bertanggung
jawab untuk meningkatkan produksi bahan pangan dan bahan baku
industri; dan mengembangkan hubungan perdesaan dan perkotaan
yang saling menunjang serta saling menguntungkan.

Dalam menjawab tantangan tersebut, ada beberapa kendala


yang dihadapi, antara lain keterbatasan kemampuan pemerintah
desa untuk menyediakan sarana dan prasarana perdesaan secara
memadai; keterbatasan sumber daya manusia di perdesaan untuk
melaksanakan pembangunan dalam tempo yang lebih cepat;
keterbatasan kemampuan kelembagaan perdesaan; dan keterbatasan
skala ekonomi perdesaan.

Di samping berbagai kendala tersebut, ada peluang yang dapat


dikembangkan dalam pembangunan perdesaan, antara lain hasil
pembangunan selama PJP I; potensi sumber daya alam yang belum
dikembangkan; kualitas sumber daya manusia yang telah mulai
membaik; masih kuatnya budaya gotong-royong di kalangan
masyarakat perdesaan; meningkatnya mobilitas dan informasi yang
menjangkau masyarakat perdesaan.

479
II. SASARAN DAN KEBIJAKSANAAN
PEMBANGUNAN

1. Sasaran

a. Sasaran PJP II

Sasaran pokok pembangunan perdesaan dalam PJP II adalah


terciptanya kondisi ekonomi rakyat di perdesaan yang kukuh,
mampu tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan; tercapainya
keterkaitan perekonomian di perdesaan dan perkotaan; terwujudnya
masyarakat perdesaan yang sejahtera; dan teratasinya masalah
kemiskinan di perdesaan.

b. Sasaran Repelita VI

Sasaran pembangunan perdesaan dalam PJP II di atas,


diupayakan pencapaiannya secara bertahap dimulai dengan Repelita
VI. Dalam Repelita VI akan dilaksanakan percepatan pembangunan
perdesaan, yang tercermin dari sasaran meningkatnya kualitas
sumber daya manusia di daerah perdesaan dilihat dari tingkat
kesejahteraan, tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat
yang dapat mendorong prakarsa dan swadaya masyarakat
perdesaan; terciptanya struktur perekonomian yang lebih kukuh,
tercermin dari peningkatan diversifikasi usaha yang menghasilkan
berbagai komoditas unggulan setempat serta didukung oleh sarana
dan prasarana perekonomian di perdesaan yang lebih mantap;
makin berkembangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat
perdesaan akan pembangunan yang berwawasan lingkungan serta
upaya pelestarian lingkungan; makin berfungsinya lembaga
pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan desa untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan pembangunan perdesaan;
makin terjaminnya kepastian hukum bagi masyarakat perdesaan
mengenai penguasaan dan pengusahaan tanah yang sesuai dengan
hukum serta tradisi dan adat-istiadat setempat; serta berkurangnya
jumlah penduduk miskin di perdesaan dan jumlah desa tertinggal.

480
2. Kebijaksanaan

Untuk mewujudkan amanat GBHN 1993 serta mencapai


berbagai sasaran di atas, dikembangkan kebijaksanaan pemba -
ngunan perdesaan dalam Repelita VI dengan meningkatkan kualitas
tenaga kerja di perdesaan; meningkatkan kemampuan produksi
masyarakat; mengembangkan prasarana dan sarana di perdesaan;
melembagakan pendekatan pengembangan wilayah/kawasan
terpadu; serta memperkuat lembaga pemerintahan dan lembaga
kemasyarakatan desa.

a. Meningkatkan Kualitas Tenaga Kerja di Perdesaan

Kebijaksanaan peningkatan pendidikan dan keterampilan


tenaga kerja diarahkan untuk meningkatkan kemampuan sumber
daya manusia perdesaan agar dapat berperan a k t i f dalam
pembangunan, mampu memanfaatkan peluang usaha dalam skala
ekonomi yang lebih besar, mampu mengembangkan hasil produksi,
pengolahan basil produksi dan usaha pemasarannya, siap untuk
memasuki pasar kerja, terutama di perkotaan, yang selanjutnya
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Langkah kebijaksanaan peningkatan kualitas tenaga kerja di


perdesaan adalah meningkatkan fasilitas pelayanan pendidikan
dasar, menengah dan kejuruan, sesuai dengan potensi dan
kebutuhan masyarakat dan perekonomian setempat; mengembang -
kan pendidikan dan pelatihan keterampilan untuk menganekaragam-
kan dan mengolah hasil produksi sesuai dengan standar dan
kebutuhan pasar; meningkatkan kemampuan b e r o r g a ni s a s i
masyarakat perdesaan dalam suatu wadah kelembagaan yang
bersifat kooperatif; melaksanakan pembimbingan dan penyuluhan
yang efektif melalui kelompok usaha masyarakat perdesaan; serta
meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat perdesaan.

481
b. Meningkatkan Kemampuan Produksi Masyarakat

Kebijaksanaan meningkatkan kemampuan produksi masyarakat


diarahkan untuk mewujudkan struktur ekonomi perdesaan yang
lebih kukuh, berlandaskan sektor pertanian yang mantap dalam
mempertahankan swasembada pangan, meningkatkan keragaman
dan ketersediaan pangan, dan mendukung perkembangan industri
di perdesaan.

Langkah yang dilakukan dalam kebijaksanaan meningkatkan


kemampuan produksi masyarakat adalah mengembangkan dan
menerapkan teknologi tepat guna untuk dapat meningkatkan
kapasitas, kualitas, dan nilai tambah produksi; meningkatkan
fasilitas permodalan dan akses masyarakat terhadap modal, dengan
mengembangkan koperasi serta lembaga ekonomi dan keuangan
lainnya; serta memperluas sarana produksi pertanian, pengolahan
hasil pertanian dan sarana pemasarannya.

c. Mengembangkan Prasarana dan Sarana di


Perdesaan

Kebijaksanaan ini diarahkan untuk menciptakan keterkaitan


fungsional antardesa serta antara desa dan kota, membuka
keterisolasian desa, mempercepat perkembangan kegiatan sosial
dan ekonomi perdesaan, serta untuk lebih memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat perdesaan akan prasarana dan sarana dasar. Agar
upaya tersebut dapat dilakukan secara terpadu maka penjabarannya
dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang kabupaten.

Langkah kebijaksanaan yang akan ditempuh antara lain adalah


meningkatkan sarana dan prasarana perhubungan di perdesaan dan
memperluas jaringan pelayanannya, terutama perhubungan perin-
tis; memperluas pelayanan listrik di perdesaan; mengembangkan
sentra produksi dan pemasaran industri pertanian, industri kehutan-
an dan industri rakyat lainnya; meningkatkan dan memeratakan
ketersediaan fasilitas sosial bagi kesehatan, pendidikan, dan sarana

482
penyehatan lingkungan; serta mengembangkan jaringan irigasi
perdesaan.

d. Melembagakan Pendekatan Pengembangan Wilayah/


Kawasan Terpadu

Kebijaksanaan ini diarahkan agar penyelenggaraan pembangun-


an perdesaan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masyara-
kat di setiap desa melalui pendekatan pengembangan wilayah/
kawasan secara terpadu. Dengan pendekatan ini, pengembangan
suatu kawasan perdesaan ditangani secara lintas sektoral.
Penyelenggaraan pembangunan desa sepenuhnya dilakukan oleh
pemerintah daerah tingkat II ke bawah dengan melibatkan secara
aktif masyarakat setempat sejak proses perencanaan hingga
pelaksanaan dan pengendaliannya. Di samping pendekatan secara
lintas sektoral, pelaksanaan pembangunan secara terpadu dilakukan
di desa yang menjadi pusat pengembangan antardesa. Agar upaya
tersebut dapat dilakukan secara efektif perlu dilakukan pengenalan
desa yang mempunyai potensi untuk mendorong pengembangan
wilayah. Dalam hal ini perlu dilakukan pengenalan desa-desa pusat
pelayanan sesuai dengan arahan tata ruang tingkat II. Dengan
pendekatan ini, keterkaitan antardesa akan menjadi semakin erat.

Langkah-langkah kebijaksanaan yang akan ditempuh antara


lain adalah melaksanakan pembangunan secara terpadu, khususnya
dalam penanganan masalah kemiskinan; dan mengembangkan serta
melembagakan fungsi koordinasi pada tingkat perdesaan, ke-
camatan dan pemerintah tingkat II dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan pengendalian pembangunan perdesaan.

e. Memperkuat Lembaga Pemerintahan dan Lembaga


Kemasyarakatan Desa

Kebijaksanaan ini diarahkan agar pembangunan perdesaan


dilaksanakan secara efektif dan efisien sehingga kewenangan dan
tanggung jawab pemerintah desa dalam pengelolaan pembangunan

483
menjadi makin tinggi. Selain itu, kebijaksanaan ini dimaksudkan
untuk meningkatkan peran lembaga kemasyarakatan desa seperti
LKMD, KPD, dan PKK, kader konservasi alam, dan KPSA
sehingga masyarakat dapat lebih berpartisipasi aktif dalam
pembangunan.

Langkah yang ditempuh dalam kebijaksanaan di atas adalah


meningkatkan kemampuan aparat pemerintah desa dalam
pengelolaan dan administrasi pembangunan; menyempurnakan
struktur pemerintahan desa sesuai dengan tingkat perkembangan
desa yang bersangkutan; meningkatkan kemampuan pemerintah
desa dalam menggali sumber-sumber keuangan desa; menyediakan
prasarana dan sarana pemerintahan desa; mengembangkan sistem
informasi yang mendukung kegiatan perencanaan pembangunan
desa; serta mengembangkan dan memantapkan kemampuan dan
fungsi lembaga kemasyarakatan desa dalam menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat perdesaan.

III. PROGRAM PEMBANGUNAN

Dalam Repelita VI dikembangkan program pembangunan


perdesaan sebagai berikut.

1. Program Pengembangan Pendidikan dan


Keterampilan Masyarakat

Program pengembangan pendidikan dan keterampilan


masyarakat meliputi (a) pelaksanaan program wajib belajar
Sembilan tahun, dan pemberatasan buta huruf melalui pelaksanaan
kelompok belajar paket A dan B; (b) pengembangan keterampilan
masyarakat sehingga mampu memasuki pasar kerja yang ada di
desa maupun di kota; (c) penyediaan tenaga penyuluh/pembimbing
lapangan baik dari unsur pemerintah maupun nonpemerintah dalam
bidang produksi, pengolahan dan pemasaran barang dan jasa,
seperti pertanian, kehutanan, pertambangan, industri kecil,

484
perdagangan, pariwisata dan sebagainya; (d) pengembangan
program pendidikan dan keterampilan bagi pengembangan usaha
ekonomi setempat yang berorientasi pasar; dan (e) penyuluhan bagi
masyarakat perdesaan dalam rangka peningkatan keserasian
lingkungan hidup di desa. Dalam program ini perhatian khusus
diberikan kepada anak usia didik dan remaja serta pemuda putus
sekolah, terutama di desa-desa tertinggal.

2. Program Peningkatan Kesehatan Masyarakat

Program peningkatan kesehatan masyarakat meliputi: (a)


peningkatan gizi masyarakat melalui program penganekaragaman
pangan dan penyuluhan cara hidup sehat; (b) peningkatan upaya
kebersihan lingkungan; dan (c) peningkatan aktivitas pos pelayanan
terpadu (posyandu) yang memberikan pelayanan langsung kepada
masyarakat desa. Dalam program ini perhatian khusus diberikan
kepada kesehatan ibu hamil serta anak balita terutama di desa-desa
tertinggal.

3. Program Peningkatan Teknologi Perdesaan

Program peningkatan teknologi perdesaan meliputi: (a)


pengembangan dan penerapan teknologi yang dapat memacu
tumbuhnya agroindustri di perdesaan; (b) pengembangan dan
pemutakhiran pola usaha tani secara terpadu; dan (c) pengem-
bangan dan penggunaan teknologi lingkungan, khususnya dalam
penyediaan air bersih, sanitasi, dan lingkungan permukiman.

4. Program Peningkatan Peran Serta Masyarakat

Program ini bertujuan mendukung peningkatan peran serta


masyarakat perdesaan termasuk pemuda dan wanita, dalam
berbagai kegiatan pembangunan melalui kegiatan-kegiatan penyu-
luhan, penerangan, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangun-
an di perdesaan, serta kegiatan peningkatan keterampilan masyara-
kat berpenghasilan rendah di perdesaan. Selain itu, program ini

485
juga dilakukan melalui kegiatan kelembagaan di perdesaan antara
lain LKMD, PKK, karang taruna, pramuka, dan koperasi.

5. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana


Perdesaan

Program pembangunan prasarana dan sarana perdesaan


meliputi: (a) pengembangan prasarana dan sarana perhubungan
yang meliputi jalan dan jembatan, sarana angkutan, dermaga, serta
pengembangan listrik perdesaan serta pos, dan secara bertahap
telekomunikasi antara perdesaan dan pusat antardesa, dan antara
desa dengan kota terdekat; (b) peningkatan pelayanan air bersih
perdesaan; dan (c) peningkatan prasarana dan sarana kesehatan dan
pendidikan pusat antar desa.

6. Program Pemantapan Kelembagaan Perdesaan

Program pemantapan kelembagaan perdesaan meliputi (a)


peningkatan kemampuan aparatur pemerintah desa dalam mengelo-
la pembangunan disertai dengan perbaikan prasarana dan sarana
pemerintahan desa; (b) pemantapan fungsi dan peran LKMD; (c)
peningkatan program PKK sebagai salah satu wadah kegiatan
wanita dalam pembangunan; (d) pemantapan fungsi dan peran
KPD, kader konservasi alam, dan KPSA untuk membimbing dan
mengorganisasi masyarakat; (e) peningkatan kegiatan pramuka dan
karang taruna untuk mempersiapkan para remaja serta merangsang
dan memacu pemuda untuk berperan dalam pembangunan; (f)
pemantapan sistem dan mekanisme UDKP sebagai sarana koor-
dinasi pembangunan desa pada tingkat kecamatan; dan (g)
peningkatan lembaga pelayanan sosial lainnya bagi masyarakat
perdesaan, terutama yang menyangkut penyelesaian kepastian
hukum bagi masyarakat perdesaan mengenai penguasaan dan
pengusahaan tanah.

Sementara itu pemantapan lembaga ekonomi perdesaan, antara


lain, dilakukan melalui (a) peningkatan kapasitas dan jangkauan

486
pelayanan KUD dalam pemberian kredit dan pemasaran hasil
produksi; (b) pembinaan dan pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan kelompok usaha masyarakat agar berpotensi menjadi
lembaga perkoperasian yang lebih andal; (c) penyempurnaan
mekanisme penyaluran kredit untuk meningkatkan aksesibilitas
masyarakat perdesaan terhadap sumber pendanaan; (d) bantuan
khusus pengembangan kegiatan ekonomi rakyat; (e) peningkatan
prosedur dan mekanisme peran serta dunia usaha dalam
pembangunan ekonomi perdesaan; dan (f) pemantapan struktur
penguasaan tanah atau "land reform" dan penyertifikatan tanah
pertanian sehingga dapat dipergunakan untuk meningkatkan
kepastian usaha dan kegiatan usaha masyarakat.

Di samping program pembangunan tersebut di atas, program-


program berikut ini akan dilaksanakan berdasarkan tingkat
perkembangan desa. Untuk desa cepat berkembang, program-
program yang akan dilaksanakan secara khusus diarahkan untuk (a)
pengembangan pelayanan lembaga keuangan perdesaan khususnya
untuk usaha kecil; (b) penyediaan program pendidikan dan
keterampilan bagi pengembangan usaha ekonomi setempat yang
berorientasi pasar; (c) penyediaan informasi pasar dan informasi
umum lainnya bagi masyarakat untuk memasuki lapangan kerja di
sektor nonpertanian; dan (d) pengembangan sistem bapak angkat.

Program pembangunan untuk desa potensial berkembang


secara khusus diarahkan untuk: (a) penyediaan lembaga perkreditan
rakyat; (b) penyediaan program pendidikan dan keterampilan bagi
pengembangan usaha ekonomi setempat yang berorientasi pasar;
(c) penyediaan informasi pasar dan informasi umum lainnya bagi
masyarakat untuk memasuki lapangan kerja di sektor nonpertanian;
dan (d) penyediaan program pendidikan dan keterampilan yang
merangsang diversifikasi kegiatan usaha.

Bagi desa tertinggal, termasuk desa tertinggal di kawasan


kota, perhatian khusus diberikan melalui program (a)
pengembangan sumber daya manusia khususnya untuk perluasan

487
wawasan dan keterampilan; (b) peningkatan kesehatan
masyarakat; (c) pengenalan teknologi tepat guna dalam
kegiatan usaha masyarakat; (d) pemantapan lembaga perdesaan
seperti KUD, lembaga kredit desa, dan fungsi lembaga
pemerintahan serta lembaga kemasyarakatan; (e) pengembangan
prasarana dasar dan prasarana ekonomi terutama transportasi;
dan (1) bantuan khusus untuk mengembangkan kegiatan
ekonomi rakyat.

VI. RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN DALAM


REPELITA VI

Program-program pembangunan tersebut di atas


dilaksanakan baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat.
Dalam program-program tersebut, program dalam bidang
perkotaan khususnya untuk penataan kota dan bangunan, yang
akan dibiayai dengan anggaran pembangunan selama Repelita
VI (1994/95 - 1998/99) adalah sebesar Rp299.090,0 juta. Di
samping itu ada sejumlah program pembangunan perkotaan
yang akan dibiayai oleh sektorsektor lainnya, seperti
Pembangunan Daerah, Perumahan dan Permukiman,
Transportasi, Lingkungan Hidup dan Tata Ruang. Rencana
anggaran pembangunan perkotaan untuk tahun pertama dan
selama Repelita VI menurut sektor, sub sektor dan program
dalam sistem APBN dapat dilihat dalam Tabel 17-2.

Sedangkan program-program dalam bidang perdesaan akan


dilaksanakan dalam Sektor Pembangunan Daerah dan
Transmigrasi, seperti program pembangunan desa, melalui
Bantuan Pembangunan Desa, dan program pembangunan desa
tertinggal, melalui Bantuan Pembangunan Desa Tertinggal. Di
samping itu, program-program bidang perdesaan juga akan
dilaksanakan melalui program penyediaan dan perbaikan
perumahan, program penyediaan dan pengelolaan air bersih dan
program penyehatan lingkungan permukiman dalam Sektor

488
Perumahan dan Permukiman; program pembinaan dan
pengembangan produktivitas dan kesempatan kerja dalam
Sektor Tenaga Kerja; program
pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup, program inven-
tarisasi dan evaluasi sumber daya darat, dan program penataan
ruang dalam Sektor Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, dan
berbagai program di sektor pertanian, industri, energi serta sektor-
sektor lain, yang kegiatannya akan memajukan kesejahteraan
masyarakat perdesaan.

489
Tabel 17—2
RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN
Tahun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 — 1998/99)

(dalam juta
rupiah)
No.
Kode Sektor/Sub Sektor/Program 1994/95 1994/95 — 1998/99

14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

142 Sub Sektor Penataan Kota dan Bangunan

14.2.01 Program Penataan Kota 33.225,0 217.560,0


14.2.02 Program Penataan Bangunan 14.397,0 81.530,0

Anda mungkin juga menyukai